panfacial fraktur

Upload: noviana-rahmawati

Post on 06-Mar-2016

460 views

Category:

Documents


44 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

FRAKTUR PANFACIALA. Definisi

Fraktur panfacial adalah patah tulang yang melibatkan wajah bagian atas, tengah, dan bagian bawah. Cedera tersebut umumnya terkait dengan cedera multisistem atau politrauma, sehingga pengobatan sering membutuhkan pendekatan tim. Setelah pasien stabil, dokter bedah maksilofasial berperan memulihkan bentuk dan fungsi dari wajah pasien (Erdem et al., 2010).B. Etiologi

Fraktur panfacial dapat disebabkan oleh berbagai cedera traumatis pada wajah. Penyebab paling umum dari fraktur panfacial adalah penyerangan (36%), kecelakaan lalu lintas (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), pekerjaan (3%), dan luka tembak (2%). Tabrakan kendaraan bermotor dan luka tembak ditemukan menjadi prediktor signifikan dari patah tulang panfacial (Mall, et al., 2014).

C. Anatomi

Struktur muskuloskeletal wajah sangat rumit. Wajah dibentuk oleh sistema tulang yang kompleks dan jaringan ikat yang memberi bentuk wajah. Sistem saraf pusat terletak sangat dekat dengan wajah. Pada kenyataannya, bagian posterior/permukaan internal wajah membentuk bagian anterior dari kubah kranial, dimana otak berada. Hal ini sangat penting diperhatikan ketika menilai cedera wajah (Kris et al., 2009).Wajah memiliki suplai darah yang relatif besar dengan sistem arteri dan vena yang luas. Sebagian besar pasokan arteri ke wajah berasal dari arteri fasialis dan termporalis eksternal. Kecuali arteri ophthalmic, yang berasal dari arteri karotis internal intrakranial dan kemudian masuk melalui kanal optik untuk memvaskularisasi bagian-bagian wajah. Hal ini membuat pembuluh darah wajah yang sangat kompleks - pada kenyataannya, cukup unik untuk wajah, banyak pembuluh wajah menyeberangi garis tengah untuk membentuk anastomosis dengan pembuluh darah yang berasal di sisi kontralateral. Karena fenomena ini, cedera yang membahayakan keutuhan pembuluh darah wajah (terutama arteri) dapat menyebabkan perdarahan dalam. Mengendalikan perdarahan ini dapat sedikit bermasalah karena tidak ada tekanan tunggal. Misalnya, menerapkan tekanan langsung pada laserasi besar dapat menghentikan pendarahan pada satu sisi laserasi, tetapi karena adanya anastomosis, hal ini hanya dapat meningkatkan perdarahan pada sisi lain dari luka (Kris et al., 2009).Persarafan wajah juga kompleks. Pada dasarnya, semua persarafan dari wajah melalui saraf kranial. Saraf wajah (saraf kranial VII) berfungsi pada sebagian besar fungsi motorik wajah. Saraf ini berasal dari batang otak dan keluar melalui tulang temporal tengkorak sebelum bercabang ke wajah, sehingga cedera saraf ini dapat menyebabkan kelumpuhan wajah (Kris et al., 2009).Sensorik wajah dipersarafi hampir seluruhnya melalui tiga cabang saraf trigeminal (saraf kranial V). Saraf ini juga berasal dari batang otak, tapi langsung bercabang menjadi tiga segmen sebelum berjalan melalui tengkorak. Letak cedera terjadi dan cabang saraf trigeminal yang dipengaruhi akan menentukan di mana parestesia yang terjadi (Kris et al., 2009).D. Patofisiologi

Sangat penting untuk membedakan cedera yang membutuhkan tindakan operasi segera dari cedera-cedera yang dapat ditunda operasinya. Operasi darurat diindikasikan lebih untuk menstabilkan kondisi pasien daripada untuk pengobatan definitif. Kadang-kadang, operasi langsung bisa menjadi prosedur definitif. Pengobatan awal segera pada pasien dengan cedera maksilofasial ditujukan pada pasien-pasien yang menunjukkan gejala:

Airway compromize: [5, 6, 7, 8, 9] Airway compromize umum terjadi pada orang dengan cedera maksilofasial berat dan mungkin memerlukan operasi segera untuk mengurangi tulang wajah yang patah menghalangi jalan napas. Sebuah saluran napas artifisial mungkin diperlukan untuk memfasilitasi prosedur bedah kemudian

Perdarahan berat: perdarahan berat dari segmen patah tulang juga mungkin memerlukan pembedahan segera untuk meligasi pembuluh darah besar atau untuk mengurangi segmen dan dengan demikian mengendalikan perdarahan

Luka terbuka lebar: debridement dan menutup luka terbuka yang luas secara berlapis. Luka yang akan digunakan kemudian sebagai akses untuk memperbaiki patah tulang bisa ditutup dengan penutup sementara.

Prosedur bedah kebetulan sedang dilakukan: Kadang-kadang, pasien dengan cedera multipel menjalani operasi segera dengan tujuan lain untuk mengobati cedera yang terjadi bersamaan. Melakukan pemeriksaan lengkap, debridement, dan menstabilkan cedera maksilofasial, serta mengambil foto gigi saat pasien dibius dapat memberikan keuntungan. Foto diambil untuk model studi dan dapat digunakan untuk membuat splint bedah untuk digunakan dalam operasi definitif (Beogo et al., 2013).E. Klasifikasi

1. Tipe fraktura. Fraktur simpel

Merupakan fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus, dan mandibula yang tidak bergigi

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstick fracture yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi

b. Fraktur kompoun

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membrana periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit

c. Fraktur komunisi

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian-bagian yang kecil dan remuk

Bisa terbatas ata meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak

d. Fraktur patologis

Keadaan tulang yang lemah oleh adanya penyakit tulang seperti osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemik sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan

2. Perluasan tulang yang terlibat

a. Komplit

b. Tidak komplit

3. Perluasan tulang yang terlibat

a. Transversal, horizontal atau vertikal

b. Oblique

c. Spiral

d. Komunisi

4. Hubungan antarfragmen

a. Displacement

b. Undisplacement

Angulasi

Distraksi

Kontraksi

Rotasi

Impaksi

F. Lokasi

Fraktur panfacial dapat terjadi pada berbagai tempat (Yadav et al., 2012), yaitu antara lain:

1. Fraktur tulang hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.

Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan perpindahan septum yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi empat.

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat trauma pada hidung atau wajah, antara lain:

Epiktasis

Perubahan bentuk hidung

Obstruksi jalan nafas

Ekimosis infraorbital

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.

Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung saja sehingga dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesi lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum.

b. Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.

c. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks, jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesua nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita.

Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang dapat dilakukan ialah:

a. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal dengan sedasi ringan.

Indikasi :

-Fraktur sederhana tulang hidung-Fraktur sederhana septum hidung

Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena pada waktu tersebut edem yang terjadi mungkin sangat sedikit.

b. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.

Indikasi :

Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung

Fraktur septum terbuka

Fraktur dislokasi septum kaudal

Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

2. Fraktur zigoma

Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang dasar dari rongga orbita atau rima orbita.

Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia. Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolam pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau trimalar.

Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah:

Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma)

Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata

Edem periorbita dan ekimosis

Perdarahan subkonjungtiva

Enoftalmus

Ptosis

Karena kerusakan saraf infra-orbita

Terbatasnya gerakan mandibula

Emfisema subkutis

Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Penanggulangan fraktur tulang zigoma:

Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma:

Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil yang baik.

Reduksi terbuka dari tulang zigoma:

Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola mata.

3. Fraktur arkus zigoma

Arkus zigoma merupakan bagian dari subunit wajah yang dikenal sebagai zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan tengkorak. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri waktu bicaraatau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koroid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi.

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma preaurikuler.

4. Fraktur tulang maksila (mid-facial)

Maksila (rahang atas) menggambarkan jembatan antara superior dasar tengkorak dengan bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan rongga mulut, rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang terkandung di dalam dan bersebelahan dengannya membuat maksila merupakan struktur yang penting secara fungsional dan kosmetik. Fraktur dari tulang maksila ini berpotensi mengancam nyawa karena dapat menimbulkan gangguan jalan nafas serta perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis sering terjadi pada fraktur maksila. Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang serius seperti pada jalan nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher dan perut harus dilakukan segera sebelum pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan tulang yang sangat hebat dan disertai infeksi.

Klasifikasi fraktur maksila dibagi menjadi 3 kategori:

a. Fraktur Maksila Le Fort I

Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum dan apertura piriformis.

b. Fraktur Maksilla Le Fort II

Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebarang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribiformis dan atap sel ethmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

c. Fraktur Maksilla Le Fort IIIFraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut ethmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid dan lamina kribiformis.

Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang stabil adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila. Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien dengan fraktur luas. Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa:

a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.

b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan pemasangan kawat baja atau mini plate.

c. Fiksasi dengan pin.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.

5. Fraktur tulang orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Orbita dibentuk oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma,tulang maksila, tulang lakrimal, tulang ethmoid, tualang sphenoid dan tulang palatina.

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler, saraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya ini berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola mata terhadap pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita.

Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa:

a. Enoftalmus

b. Eksoftalmus

c. Diplopia

d. Asimetris pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

e. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita.

6. Fraktur tulang mandibula

Fraktur ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan yang sempurna.

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut:

a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula

b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior

c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak

d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan maloklusi

e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi

f. Rasa nyeri saat mengunyahg. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan lunak

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung geligi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang lengkung ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkung gigi atas ke lengkung kiki bawah. Fraktur mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat ataupun pelat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung.

Skoring fraktur mandibula

7. Diagnosis dan Tata Laksana

Perawatan awal bergantung pada kepatahan cedera. Cedera rahang wajah dan sedera laring dapat bervariasi mulai dari fraktur tulang hidung tanpa epistaksis bermakna dan hanya dengan deeformitas hidung minor hingga cedera remuk wajah yang paling luas dimana melibatkan secara luas seluruh kepala dan leher. Perawatan awal berupa evaluasi umum secara cepat dari tanda-tanda vital pasien dan bila perlu pelaksanaan tindakan-tindakan dasar penyokong hidup (Tekelioglu et al., 2013).Pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan penghisapan rongga mulut dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris lainnya. Bila pasien dalam keadaan koma atau bila fraktur mandibula mengakibatkan dasar mulut menjadi tidak stabil disertai prolaps lidah ke dalam faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin diperlukan. Jika untuk alasan apapun suatu jalan nafas oral ternyata tidak memuasakan dan ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan bila mungkin, oleh karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak btul-betul mengenal anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. Trakeostomi darurat perlu harus dibatasi pada keadaan dimana segala tindakan lain telah gagal atau jika dicurigai terjadi cedera laring (Tekelioglu et al., 2013).Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Keadaan ini biasany berespon dengan penggantian volume dan tindakan hemostatik yang tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis (Jayita et al., 2013). Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Seperti cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada trauma kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk saat cedera serta deskripsi rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden terjadi. Detil seperti apakah pasien mengenakan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi petunjuk cedera yang harus dicari (Ranganath et al., 2011).Pemeriksaan fisik harus dilakukan sesegera mungkin oleh karena pembengkakan akan menyamarkan deformitas tulang maupun tulang rawan. Hal pertama yang harus diamati adalah status kesadaran pasien, oleh karena adanya cedera otak merupakan prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien setelah fungsi pernapasan dan kardiovaskular stabil. Jaringan lunak yang menutup kepala dan leher perlu di inspeksi secara cermat dan menyeluruh guna mencari laserasi termasuk bagian dalam telinga, hidung dan mulut. Mobilitas wajah perlu perhatian khusus karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh sangat penting artinya dalam penatalaksanaan pasien berikutnya. Semua luka perlu dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah ada cedera tulang atau tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka (de Melo et al., 2013).Pemeriksaan mempalpasi seluruh kepala dan leher mulai dari puncak kepala dan bergerak kebawah, untuk mencari fraktur yang tergeser atau struktur gerak yang abnormal. Integritas sutura frontozigomatikus perlu diperhatikan, dimana biasanya mengalami fraktur. Perhatian khusus diarahkan pada daerah frontal dimana fraktur sinus dapat menimbulkan komplikasi intrakranial yang cukup bermakna, seperti fistula cairan cerebrospinal, yang mana memerlukan penanganan segera. Fraktur sinus frontalis biasanya ditandai dengan suatu lekukan pada daerah tengah dahi. Terkadang fragmen-fragmen fraktur dapat dipalpasi pada lapisan epidermis, atau sedalam luka jaringan lunak. Pada palpasi hidung, perlu diperhatikan adanya deformitas tulang atau gerakan abnormal, khususnya septum. Mobilitas septum paling baik ditentukan dengan memegang septum anterior dengan ibu jari dan jari tengah dan ditekan dari samping. Pipi perlu dipalpasi apakah ada nyeri tekan yang biasanya menunjukan fraktur zigoma. Seluruh mandibula seharusnya dipalpasi untuk menentukan ada nyeri tekan yang mengesankan fraktur. Gerakan mandibula yang abnormal ataupun fraktur tergeser dapat juag diketahui dari palpasi. Gigi perlu diperiksa apakah ada gerakan abnormal ataupun peka nyeri oleh karena fraktur dan luksasi gigi memerlukan penanganan segera. Leher perlu dipalpasi untuk menentukan apakah ada udara bebas yang memberi kesan ruptur percabangan trakeobronkhial, serta untuk mencari krepitasi atau nyeri tekan di atas laring yang mengesankan fraktur laring (de Melo et al., 2013).Cedera vertebra cervikalis, seperti cedera ataupun dislokasi dapat disyaratkan oleh spasme otot tengkuk, namun hal itu tidak selalu terjadi. Dianjurkan imobilisasi pada cedera berat adalah seolah-olah telah terjadi suatu cedera vertebra servikalis, sampai secara radiografi dan klinis dapat dibuktikan bahwa vertebra servikalis dalam keadaan normal (Rusman et al., 2014). Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Fraktur hidung biasanya paling baik terlihat dengan radiogram lateral, sementara fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus paranasal paling jelas diperlihatkan dengan proyeksi waters. Penilaian laminagrafik dapat sangat membantu dalam usaha menentukan apakah ada fraktur dasar orbit ataupun fossa kranii anterior. Fraktur mandibula paling jelas terlihat dalam pandangan oblik atau lebih disukai dengan radiogram panoramik. CT scan mungkin akan sangat membantu dalam mendiagnosis cedera tulang wajah ataupun laring. Laserasi pipi yang hebat dapat dievaluasi menggunakan teknik sialografi guna menentukan apakah duktus parotis masih utuh (Navaneetham et al., 2009). Prioritas tindakan

Dalam perawatan pasien trauma telah dikembangkan suatu skala prioritas yang sangat jelas menyusul tindakan resusitasi yang bertujuan menstabilkan jalan napas dan mempertahankan curah jantung. Urutannya adalah: a. Evaluasi dan penanganan tiap cedera SSP, b. Evaluasi dan penanganan tiap cedera abdomen ataupun toraks, c. Penanganan trauma pada jaringan lunak, wajah dan ekstremitas dan d. Reduksi dan fiksasi dari fraktur wajah dan ekstremitas. Bilamana diterapkan pada kasus trauma wajah maka panduan ini mengharuskan luka jaringan lunak ditutup dalam empat hingga enam jam pertama setelah cedera (Mall et al., 2014).Pasien dengan fraktur panfacial biasanya stabil setelah masuk rumah sakit tetapi sebanyak 35% dari mereka memerlukan alat bantu saluran napas selama jam berikutnya. Cedera midface/Le Fort III dan patah tulang mandibula dapat menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas. Airway harus diamankan pada cedera midface dan terutama pada trauma panfacial, terutama rahang di garis fraktur, memerlukan perhatian khusus. Teknik intubasi yang berbeda serta modalitas bedah untuk saluran napas telah dijelaskan dalam berbagai literatur. Penelitian besar telah menunjukkan bahwa pada kebanyakan kasus trauma maksilofasial, jalan nafas diamankan dengan (oro/naso) intubasi trakea (80%), sedangkan cara lain adalah dengan cricothyrotomy darurat (8%) atau tracheostomy (6%) yang lebih sedikit tersedia. Di sisi lain, rute oral untuk intubasi trakea bisa lebih aman dalam beberapa cedera maksilofasial terutama pada bidang bedah dan oklusi dengan gigi yang kadang-kadang diperlukan untuk stabilisasi fraktur maksila dan mandibula (Deka et al., 2015).8. Ringkasan

DAFTAR PUSTAKA1. Sourav S, Vandana D, Surgical Approaches and Management of Panfacial Trauma : A Case Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2015;9(8):ZD13-ZD142. Ranganath K, Kumar HRH, The Correction of Post-Traumatic Pan Facial Residual Deformity. J. Maxillofac. Oral Surg. 2011;10(1):20-24

3. Yadav SK, et al. Rogue-Elephant-Inflicted Panfacial Injuries : A Rare Case Report. Case Report in Dentistry. 2012. doi:10.1155/2012/127957

4. Asnani U, et al. Panfacial Trauma - A Case Report. International Journal of Dental Clinics. 2010;2(2):35-38

5. Erdem G, et al. Minimally invasive approaches in severe panfacial fractures. Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery. 2010;16(6):541-545

6. Jayita P, et al. Bilateral Sphenopalatine Artery Embolisation in Panfacial fractures-a case report. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine Public Health .2013;5(1):30-36

7. Mall BB, et al. Panfacial Trauma-A Flexible Surgical Approach. Journal of Universal College of Medical Sciences. 2014;2(3):41-44

8. Amaral MB, et al. Superolateral dislocation of the intact mandibular condyle associated with panfacial fracture: a case report and literature view. Dental Traumatology. 2011;27: 235-240 doi: 10.1111/j.1600-9657.2011.00980.x

9. de Melo WM, et al. Using the Bottom-Up and Outside-In Sequence for Panfacial Fracture Management: Does It Provide a Clinical Sgnificance ?. The Journal of Craniofacial Surgery . 2013;24(5):e479-e48110. Anwer HMF, et al. Submandibular approach for tracheal intubation in patients with panfacial fractures. British Journal of Anaesthesia. 2007;98(6):835-40

11. Navaneetham, et al. Submental intubation the answer to panfacial trauma. Department Of Oral & Maxillofacial Surgery. 2009

12. Deka D, et al. Submental intubation: A solution for anesthetic dilemma in mid- and panfacial fractures. Journal of Medical Society. 2015:29(1):23-25

13. Premalatha MS, et al. Submental intubation in patients with panfacial fractures: A prospective study. Indian Journal of Anaesthesia. 2011;55(3):299-304

14. Babu I, et al. Submental tracheal intubation in a case of panfacial trauma. Kathmandu University Medical Journal. 2008;6(1):102-10415. Rusman B, et al. Wire internal fixation: an absolete, yet valuable method for surgical management of facial fractures. Pan African Medical Journal. 2014; 17:219 doi:10.11604/pamj.2014.17.219.3398

16. Chauhan A, et al. Submandibular intubation in pan-facial trauma patients: an alternative approach for intraoperative airway management. International Journal of Research and Development in Pharmacy and Life Sciences. 2015;4(3):1549-155817. Deepak K, et al. (2013). Update on Craniomaxillofacial Trauma. North Memorial Trauma Updat, July Vol 21.

18. Kris SM, et al. (2009). Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Division of Facial Plastic and Reconstructive Surgery, Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine; Clinical Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University of California, San Diego

19. Hassani A, Motamedi MHK. Salient Points to Observe in Panfacial Fracture Management. Trauma Monthly. 2012;17(3):361-2. DOI: 10.5812/traumamon.809020. Abhishek S, et al. (2012). Transmylohoid/Submental Endotracheal Intubation in Pan-facial Trauma: A Paradigm Shift in Airway Management with Prospective Study of 35 Cases. Indian Journal Otolaryngol Head Neck Surg (JulySept 2013) 65(3):255259.

21. Bogo R, et al. Associated injuries in patients with facial fractures: a review of 604 patients. Pan African Medical Journal. 2013;16:119 doi:10.11604/pamj.2013.16.119.3379

22. Arslan ED, et al. Assesment of maxillofacial trauma in emergency department. World Journal of Emergency Surgery. 2014; 9(13)

23. Udeabor SE, et al. Maxillofacial Fractures: Etiology, Pattern of Presentation, and Treatment in University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt, Nigeria. Journal of Dental Surgery. 2014;

24. Deliverska EG, Rubiev M. Facial Fractures and Related Injuries in Department of Maxillo-facial Surgery, University Hospital St. Anna, Sofia. Journal of IMAB- Annual Proceeding (Scientific Papers). 2013;19(2):289-291

25. Tekelioglu UY, et al. Submental Orotracheal Intubation in Maxillofacial Fracture Surgery: Report of Two Cases. Turk J Reanim. 2013; 41:232-4