paper poling

40
Gerakan Sosial Melawan Korporasi Tambang: Studi Kasus pada Perlawanan Petani Lahan Pantai Selatan di Kulon Progo Tahun 2006-2014 Oleh Dicky D. Ananta Firmansyah Alam Akbar Zulaeny Pendahuluan Terhitung sejak tahun 2006 hingga sekarang, petani di pesisir selatan Kulon Progo banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pembicaraan tersebut mengacu pada apa yang terjadi pada mereka. Sejak periode tersebut, petani penggarap lahan pantai itu, mengalami kasus land grabbing yang disebabkan oleh adanya penambangan pasir besi. Perampasan tanah tersebut, seperti biasanya, kemudian memicu konflik diantara petani dengan perusahaan tambang dan pemerintah daerah. Perlawanan petani ini bukan tanpa alasan. Mereka melawan sebuah perampasan atas ruang hidup yang selama ini ditempati dan menjadi sumber penghidupannya, yaitu tanah. Atas dasar itu, kemudian petani berduyun-duyun untuk membuat sebuah organisasi sebagai kendaraaan melawan korporasi tambang yang hadir. Menjadi sangat menarik dalam kasus ini, apabila kita lihat aktor dari korporasi tambang. Hal itu karena di sana terlibat sebuah institusi besar yang bersifat feodal, dan dianggap oleh sebagian orang sebagai kekuatan pelindung, yaitu keraton Yogyakarta. 1 | Page

Upload: firmansyah-alam-akbar

Post on 28-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Paper politik lingkungan mengenai gerakan sosial menolak tambang di kebumen

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Poling

Gerakan Sosial Melawan Korporasi Tambang: Studi Kasus pada Perlawanan

Petani Lahan Pantai Selatan di Kulon Progo Tahun 2006-2014

Oleh Dicky D. Ananta

Firmansyah Alam AkbarZulaeny

Pendahuluan

Terhitung sejak tahun 2006 hingga sekarang, petani di pesisir selatan Kulon Progo

banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pembicaraan tersebut mengacu pada apa yang

terjadi pada mereka. Sejak periode tersebut, petani penggarap lahan pantai itu, mengalami kasus

land grabbing yang disebabkan oleh adanya penambangan pasir besi. Perampasan tanah tersebut,

seperti biasanya, kemudian memicu konflik diantara petani dengan perusahaan tambang dan

pemerintah daerah.

Perlawanan petani ini bukan tanpa alasan. Mereka melawan sebuah perampasan atas

ruang hidup yang selama ini ditempati dan menjadi sumber penghidupannya, yaitu tanah. Atas

dasar itu, kemudian petani berduyun-duyun untuk membuat sebuah organisasi sebagai

kendaraaan melawan korporasi tambang yang hadir. Menjadi sangat menarik dalam kasus ini,

apabila kita lihat aktor dari korporasi tambang. Hal itu karena di sana terlibat sebuah institusi

besar yang bersifat feodal, dan dianggap oleh sebagian orang sebagai kekuatan pelindung, yaitu

keraton Yogyakarta. Keterlibatan keraton ini melalui perusahaan yang didirikan oleh keluarga

keraton untuk menambang pasir besi tersebut. Dalihnya adalah untuk kemajuan ekonomi

masyarakat pesisir pantai selatan di wilayah Kulon Progo. Dari itu, kemudian dapat dilihat

bahwa keraton ternyata memiliki kekuatan ekonomi.

Pada paper ini, penulis akan memfokuskan diri untuk melihat gerakan perlawanan yang

dilancarkan oleh petani dari munculnya isu pertambangan di Kulon Progo hingga saat ini.

Analisis akan menggunakan beberapa konsep yang berhubungan dengan gerakan sosial. Oleh

karena itu, menjadi sangat penting di sini untuk melihat, apa yang menjadi sumber ketegangan

politik di Kulon Progo sehingga petani berani melawan tatanan feodal di bawah kendali keraton,

proses mobilisasi petani, hingga aksi-aksi kolektif di sana. Dengan demikian, maka paper ini

akan memproblematisasi mengenai bagaimana dinamika gerakan petani dalam melawan

1 | P a g e

Page 2: Paper Poling

korporasi tambang di Kulon Progo dari tahun 2006 hingg sekarang. Ini menjadi pembelajaran

penting bagi kita untuk mengetahui dampak dari proses pembangunan ekonomi yang tidak

memperhatikan aspek sosial dan ekologis.

Gerakan Sosial: dari Contentious Politics hingga Aksi Kolektif

Sebelum kita membicarakan gerakan perlawanan di Kulon Progo, perlu kita lihat

bagaimana literatur selama ini yang membahas teori gerakan sosial. Teori mengenai gerakan

sosial mulai berkembang pada abad ke-19 dengan dominasi studi kasus akademisi-akademisi

negara utara yang menitik beratkan pada perjuangan kelas-kelas sosial tertentu dengan isu-isu

tertentu. Kelas-kelas yang sering disinggung adalah kelas-kelas yang bersinggungan langsung

dengan adanya ketidakadilan atau proses penjarahan materialistik, misalnya petani dan buruh.

Namun sejak awal abad ke-20 paruh kedua gerakan gerakan sosial menjadi semakin variatif

dengan berbagai fitur baru baik dari pelaku gerakan sosial hingga isu-isu yang diperjuangkan di

dalam gerakan sosial tersebut1. Abdul Wahib Situmorang, dalam bukunya yang membahas

mengenai gerakan sosial, berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua bagian yang perlu

diperhatikan dalam memahami gerakan sosial, pertama mekanisme-mekanisme gerakan sosial

dan kedua, integrasi mekanisme tersebut dalam bentuk Contentious Politics.2 Pada paper ini,

penulis akan memfokuskan analisa mengenai gerakan sosial, tepatnya gerakan petani di Kulon

Progo dalam kerangka contentious politics.

Political Opportunity Structure (POS) pertama kali dipergunakan oleh Peter Eisinger

dalam American Political Science Review yang berfokus pada kasus gerakan sosial, revolusi, dan

nasionalisme. POS menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi sebagai akibat dari perubahan

struktur politik yang diikuti dengan kesempatan akan membawa perubahan dan hal inilah yang

dinilai menjadi sebuah momentum dari gerakan sosial3. Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles

Tilly membuat sebuah studi yang lebih komprehensif mengenai POS dengan menjabarkan

variabel-variabel selain yang diungkapkan oleh Einsinger. Argumen yang dibangun memang

1Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.hlm. 22 Ibid. hlm.33 Einsinger mengadopsi pandangan Tocqueville yang mengatakan bahwa revolusi tidak hanya terjadi ketika kelompok masyarakat tertentu berdalam dalam tekanan. Aksi kolektif berupa revolusi justru cenderung terjadi ketika terdapat sebuah momentum keterbukaan dalam sistem ekonomi dan politik yang mulanya tertutup.

2 | P a g e

Page 3: Paper Poling

senada dengan Einsinger yakni menekankan pada momentum dari keterbukaan politik dan

ekonomi, namun Mc Adams juga menambahkan variabel elite politik dan pelaku perubahan4

Dalam studi yang lain, Mc Adams mengkaji fenomena Contentious Politics atau

ketegangan politik dalam bukunya yang berjudul Dynamics of Contention. Di dalam buku ini,

Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly menjelaskan fenomena ketegangan politik melalui

empat konsep yaitu mobilizing structure, political opportunity, framing process dan repertoire of

contention.5 Menurut McAdam, perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah momentum dan

derajat tertentu akan menyebabkan munculnya mobilizing structure, political opportunity,

framing process dan repertoire of contention.

Struktur Mobilisasi (Mobilization Structure) juga menjadi salah satu mekanisme yang

penting dalam gerakan sosial seperti yang ditekankan oleh Mc Adams. Faktanya adalah tidak

semua gerakan sosial dapat dijelaskan dengan mekanisme POS dan hal inilah yang selanjutnya

membuat para peneliti sosial lainnya melihat gerakan sosial dari sudut pandang yang berbeda

yakni Struktur Mobilisasi. Berbeda dari POS yang bercondong pada “momentum keterbukaan

lembaga politik dan ekonomi”, dalam struktur mobilisasi ide dan fokus yang dibangun justru

menekankan pada keterlembagaan sistem politik yang baik dapat membangun aksi-aksi kolektif

berikut dengan pilihan bentuk gerakan. Struktur Mobilisasi juga dipandang sebagai sebuah cara

kelompok gerakan sosial untuk melebur dalam aksi kolektif, termasuk taktik gerakan dan bentuk

gerakan sosial, baik organisasi formal gerakan sosial maupun jaringan sosial dalam kehidupan

sehari-hari. Lebih jelasnya, mobilizing structure ditandakan dengan bersatunya aktor-aktor yang

melawan dengan cara yang rasional di mana organisasi atau pemimpinnya dapat memobilisasi

sumber yang ada untuk melakukan aksi tertentu6.

Lebih lanjut, Tarrow menjelaskan bahwa substansi dari gerakan sosial disusun dalam

sebuah proses yang dinamakan framing process. Bert Klandermans dalam Tarrow (2011)

mendefinisikan framing process sebagai sebuah proses dari aktor sosial, media dan anggota

masyarakat untuk ikut serta menafsirkan, mendefinisikan dan mengkaji ulang hubungan negara

berikut dengan aktor-aktor yang berkonflik. Proses framing ini bukan hanya menyangkut

masalah pola hubungan semata namun juga memberikan sebuah identifikasi terhadap identitas

4 Yang dimaksudkan dengan pelaku perubahan adalah mereka aktor-aktor yang bersinggungan langsung dengan skema ketimpangan atau ketidakadilan atau isu dari gerakan sosial tertentu.5 Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, Dynamics of Contention, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 146 Ibid. hlm. 16

3 | P a g e

Page 4: Paper Poling

kelompok-kelompok yang berkonflik (“kami” dan “mereka”). Framing proses juga penting

dalam mengetahui sukses atau gagalnya sebuah gerakan sosial, karena framing juga berkaitan

dengan pemahaman mengenai fokus masalah yang diperjuangkan berikut dengan strategi dalam

memperjuangkan masalah tersebut7. Lalu, interaksi antara mobilizing structure, political

opportunity dan framing process ini membentuk repertoire of contention berupa pilihan bentuk

taktik dan strategi aksi dalam menjalankan aksi kolektif berikut dengan variasi strategi aksi

tersebut, seperti dengan melakukan aksi demonstrasi, long march, okupasi, aksi damai, melalui

jalur hukum dan sebagainya.

Pemaknaan Contentious politics sendiri dalam pandangan McAdams dimaknai sebagai

sebuah proses:

“……episodic, public, collective interaction among makers of claims and their

objects when (a) at least one government is a claimant, an object of claims, or a

party to the claims and (b) the claims would, if realized, affect the interests of at

least one of the claimants.”8

Dalam definisi mengenai ketegangan politik tersebut, dapat dilihat bahwa ketegangan

politik berlangsung secara episodik bukan berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu, ia terjadi

dalam ranah publik bukan sekedar dalam tataran elit dan konflik yang terjadi di dalamnya

diakibatkan oleh klaim yang dibuat entah dari pemerintah maupun dari objek yang lain (seperti

masyarakat) mengenai klaim tersebut. Klaim yang berbeda inilah yang akhirnya membuat kedua

belah pihak yang saling berebut klaim berujung pada konflik. Ketegangan politik, menurut

Sidney Tarrow, terjadi ketika masyarakat biasa yang mendapatkan bantuan dari warga negara

yang berpengaruh dan mampu mengubah suasana publik dimana mereka bersatu untuk melawan

elit ataupun pemerintah yang berwenang.9

Konflik Pasir Besi Kulon Progo

Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh

tanah pasir, materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir

pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8 km, terbagi dalam 4 kecamatan

dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan 7 David A. Snow dan Robert D. Benford, Ideology, Frame Resonance and Participant Mobilization (Greenwich, Conn: JAI Press, 1988)8 Doug McAdam, ibid, hlm. 59 Sidney Tarrow, ibid, hlm. 6

4 | P a g e

Page 5: Paper Poling

kedalaman air tanah antara hingga 12 meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000 meter dari

permukaan laut yang diperkirakan luas lahan pasir pantai daerah Kulon Progo bisa mencapai

3.600.000 m2, atau sekitar 3600 hektar. Namun dari 3600 hektar tersebut, sebanyak 2500 hektar

lahan pantai digunakan untuk pertanian dan perkebunan.10

Dilihat dari sisi historis, pada awalnya pesisir pantai Kulon Progo hanyalah gundukan

pasir pantai yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dikuasai oleh siapapun, gundukan pasir

tersebut tersebar di desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan, dan Karangwoni.

Namun pada awal tahun 1980-an, salah seorang petani mencoba berinisiatif menanam produk

hortikultura di lahan pasir tersebut. Kegiatan bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang

pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangan teknik pengairan dan pemupukan

membuat hasil panen cabe, melon dan semangka yang semakin baik dan banyak.

Pada tahun 2003, Potensi pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo mulai terdeteksi, hal itu

diindikasi dari temuan kajian geologi yang menyebutkan bahwa kandungan pasir besi di Kulon

Progo sendiri mencapai 300 juta ton kubik dengan produktivitas mencapai 500.000 hingga 2 juta

ton per hari. Potensi pasir besi yang luar biasa ini berkaitan dengan sifat dan karakteristik

mineral magnetik yang terdapat di dalam pasir besi. Adanya variasi mineral magnetik di dalam

pasir besi memungkinkan munculnya pilihan alternatif dalam pemanfaatan pasir besi yang lebih

komersial. Adapun pilihan alternatif tersebut adalah kandungan vanadium yang berharga di

dalam perut pasir Kulonprogo. Dengan demikian, pasir besi di pesisir selatan wilayah Kulon

Progo tersebut dapat dikatakan emas hitam, karena harganya bisa seribu kali lipat dibanding besi

biasa.11

Untuk melihat bagaimana Keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi, spesifiknya

pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini, maka kita perlu melihat aktor-aktor di

dalamnya serta dengan cara apa Keraton aktor-aktor tersebut melanggengkan tujuan-tujuan

ekonominya. Dalam kasus di Kulon Progo, keterlibatan dan awal terbentuknya PT Jogja Magasa

Iron (JMI) serta aktor lainnya perlu ditinjau agar kita dapat memiliki gambaran yang utuh

mengenai keraton sebagai kekuatan ekonomi di Yogyakarta.

Pada awalnya, potensi yang besar dari keuntungan pasir besi di Kulon Progo ini yang

menarik keraton Yogyakarta dan investor untuk melakukan eskavasi pertambangan di daerah

10 Wasisto Raharjo Jati, “Predatory Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon Progo”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 hal.9411 Ibid.hal.98

5 | P a g e

Page 6: Paper Poling

tersebut, lalu keraton bersama investor mendirikan perusahaan dengan nama PT Jogja Magasa

Mining (JMM). PT. JMM ini kemudian akhirnya bertransformasi menjadi Jogja Magasa Iron

(JMI), perusahaan ini yang kemudian memegang lisensi untuk menambang pasir di Kulon Progo.

Ketertarikan tersebut tidak lepas dari keinginan pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat dan Puro Pakualaman yang ingin mengembangkan Provinsi Yogyakarta melalui

tambang pasir besi yang dianggap sangat potensial.12 Keinginan kedua Raja tersebut kemudian

berkembang menjadi pendirian industri, tidak hanya wilayah pertambangan, di pesisir pantai

selatan yang merupakan tanah Sultan dan Paku Alam jika kita merujuk pada segi historis wilayah

tersebut. Atas dasar itulah kemudian pada tanggal 6 Oktober 2005 dibentuk PT Jogja Magasa

Mining (PT. JMM) oleh Lutfi Heyder, Imam Syafi, GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun dan

BRMH Hario. Tiga nama terakhir yang disebutkan merupakan keturunan dari Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan PT Jogja Magasa Mining ini juga diikuti dengan

perjanjian kerja sama manajemen dengan AKD (Australian Kimberly Diamond Limited) untuk

melakukan penelitian awal potensi pasir besi.13 Legitimasi untuk melakukan kegiatan

penambangan didapat ketika dikeluarkannya Kuasa Pertambangan No.

008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan lokasi pertambangan

terletak di sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto, Kabupaten Kulon

Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan lahan Pakualaman, dengan luas

area pertambangan 4.076,7 Ha.

Kisah ini kemudian berlanjut pada tahun 2008 dengan dilakukanya join venture antara PT

JMM dan Indomines Ltd dari Australia sehingga PT JMM bertransformasi dan berubah nama

menjadi PT JMI (Jogja Magasa Iron). Seiring dengan transformasi tersebut, status Kuasa

Pertambangan yang sebelumnya dimiliki oleh PT JMI kemudian meningkat menjadi Kontrak

Karya pada tanggal 4 November 2008, dengan luas area 2.987,79 Ha, yang terletak di sepanjang

pantai antara Sungai Progo dan Sungai Serang.14 Dalam proses penandatanganan Kontrak Karya

tersebut, PT. JMI diwakili oleh Presiden Komisaris Lutfi Heyder dan Menteri ESDM Purnomo

Yusgiantoro sebagai perwakilan pemerintah.15 Berdasarkan Kontrak Karya tersebut, PT. JMI

12 “Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses pada 27 April 2014 pukul 13.0313 Ibid.14 Ibid.15 AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya), Makalah tidak diterbitkan, tanpa tahun. Diunduh dari https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi_Kulon_Progo_Anatomi_Esk

6 | P a g e

Page 7: Paper Poling

mengantongi izin operasi selama 30 tahun.

Dengan adanya kontrak karya tersebut, PT Jogja Magasa Iron siap menanamkan investasi

1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus memproduksi besi kasar

(pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo. Rincian investasi itu 600 juta dolar AS untuk tambang

dan 1,1 miliar dolar AS untuk infrastruktur. Dari tambang pasir besi yang menggunakan sistem

pertambangan terbuka tersebut, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak 20 juta dolar

AS per tahun, pendanaan lokal 7 juta dolar AS per tahun dan royalti 11,25 juta dolar AS per

tahun. Pemprov Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan mendapat kontribusi pengembangan

masyarakat dan wilayah sebesar 1,5 % dari penjualan atau senilai 7 juta dolar AS per tahun

selama 10 tahun pertama dan selanjutnya sebesar 2 %. 18 Wilayah aplikasi kontrak karya seluas

2.987 hektar itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun pertama, per 2012, jika itu

menguntungkan akan ditingkatkan sampai 5 juta ton.16

Menjelang akhir 2012 misalnya, Indo Mines Limited tak lagi menguasai saham PT JMI

karena dibeli oleh Grup Rajawali. Ini merupakan kelompok bisnis raksasa milik Peter Sondakh.

Saham sebesar 57,12 persen milik perusahaan asal Australia tersebut dibeli secara bertahap

dengan dana hingga mencapai lebih dari Aus$ 50 juta.17 Kelompok bisnis itu bukanlah pemain

baru, walaupun sempat turun-naik dihantam krisis moneter pada 1998.

Sebelumnya, pada Desember 2010, Peter diumumkan sebagai salah satu orang terkaya

kedelapan di Indonesia oleh majalah Forbes. Selain mengendalikan PT JMI, Grup Rajawali  juga

memiliki dua perusahaan pertambangan lainnya yakni PT Golden Eagle Energy Tbk untuk batu

bara, serta PT Meares Soputan Mining, dengan komoditas emas. Dalam sejumlah laporan

disebutkan, Peter Sondakh  pada periode 1980-an juga dikenal dekat dengan anak mantan

Presiden Soeharto: Bambang Trihatmodjo. Salah satu wujud bisnisnya,  keduanya mendirikan

jaringan televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 1989.18

Potensi ekonomi yang besar pada lahan yang ditempati oleh petani sejak tahun 1980-an

ini kemudian menjadi alasan land grabbing terjadi pada para petani tersebut. Ini kemudian yang

alasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta diakses pada 20 Mei 2014 pukul 12.32 WIB16 AB.Widyanta, ibid. hlm..517 Anugerah Perkasa, ”Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses pada 2 Mei 2014 pukul 16.30 WIB18 Ibid.

7 | P a g e

Page 8: Paper Poling

menjadi akar konflik bagi kasus penambangan pasir besi yang melibatkan Keraton-Pemerintah

Daerah, baik Kulon Progo dan D.I. Yogyakarta, dengan petani hingga sekarang.

Konflik Agraria: Contentious Politics Petani dan Korporasi Tambang

Dari narasi di atas, sebenarnya potensi dan sumber konflik antara petani dengan

perusahaan tambang dan pemerintah daerah, terletak pada perebutan lahan yang menjadi lokus

kontestasi kepentingan dua kelompok tersebut. Proses land grabbing yang dimaksud di sini

secara jelas menunjukan bahwa lahan pantai yang dikelola petani selama lebih dari dua puluh

tahun, dan beberapa telah disertifikasi, diklaim sebagai milik keraton yang kemudian digunakan

sebagai area penambangan pasir besi. Di sisi lain, keraton di sini juga menjadi aktor ekonomi

secara langsung dengan adanya perusahaan yag didirikannya (PT. JMM kemudian

bertransformasi menjadi PT. JMI). Posisi ini kemudian didukung oleh pemerintah daerah dan

pusat dengan dikeluarkannya Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya Pertambangan. Dengan

itu, klaim keraton sebagai pemilik tanah petani di atas, mengakibatkan petani kehilangan

lahannya. Selain itu, land grabbing ini sekaligus menghancurkan sumber pendapatan petani

sebagai penggarap lahan pantai.

Konflik tanah antara petani dan korporasi tambang dapat ditelusuri dari adanya dualisme

pengaturan tanah di Yogyakarta. Dualisme pengaturan tersebut kemudian berdampak pada

adanya kerancuan hukum mengenai pemilik lahan dari pesisir selatan Kulon Progo. Di satu sisi,

keraton mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya, sehingga dapat digunakannya untuk

aktivitas tambang. Adapun tanah yang diklaim tersebut masuk sebagai tanah Sultanaat Ground

(SG) dan Pakualamanaat Ground (PAG). Di sisi lain, petani secara sah merasa berhak memiliki

lahan yang ditempatinya sejak dekade 1980-an. Kerancuan akan kepemilikan tanah di pesisir

pantai ini yang kemudian menjadi sumber dari ketegangan politik (contentious politics) antara

petani dan perusahaan tambang (di sini merupakan milik keraton), dan pemerintah daerah.

Ketegangan politik diantara keduanya yang membuat perlawanan petani mengemuka hingga hari

ini.

Secara historis, SG dan PAG merupakan produk turunan dari adanya perjanjian Giyanti,

atau sering juga disebut dengan Pilahan Nagari (Pembagian Negeri) pada 13 Februari 1755 di

Desa Giyanti.19 Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan gelar Sampeyan dalem

19 Kerajaan Mataram terlibat dalam konflik perang saudara yang kemudian diselesaikan dengan membagi daerah kerajaan menjadi dua yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih M. C. Ricklefs dalam

8 | P a g e

Page 9: Paper Poling

Ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdurrachman Sajidin

Panotogomo Kalifatullah. Sultan Hamengku Buwono mendapat setengah dari wilayah kerajaan

Mataram di sebelah barat dengan nama kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat.20 Dari adanya

pembagian kerajaan tersebut, Belanda sebagai penguasa kolonial mengakui adanya empat daerah

otonomi, yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan Pakualaman.

Dari adanya pengakuan itu, salah satu kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang cukup

mengemuka dan masih terwariskan hingga kini adalah soal tanah yang diatur oleh Paniti Kismo,

yaitu Sultan Ground/Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamanaat Ground (PAG) yang

berdasarkan pada Rijksblad 1918. Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad

Pakualaman No 18 tahun 1918 menyatakakan bahwa, “Sakabehing bumi kang ora ana tanda

yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”

(semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan menurut hak eigendom, maka tanah itu

adalah milik kerajaanku)21. Inilah asal mula adanya tanah SG dan PAG.

Tanah Sultan dan tanah Paku Alaman merupakan semua tanah yang berada di wilayah

keraton Kasultanan dan Puro Paku Alaman kecuali tanah-tanah yang sudah diberikan hak

kepemilikannya kepada siapapun. Definisi ini mengacu pada domein verklaring yang berlaku

sejak zaman pendudukan Belanda yaitu tahun 1918, dan dikukuhkan melalui UU No. 3 Tahun

1950 tentang Keistimewaan Yogyakarta dan Perda DIY No. 5 Tahun 1954, hingga dinyatakan

kembali pada tanggal 11 April 2000 pada acara Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah-Tanah

Keraton DIY antara pemerintah dan instansi terkait. Salah satu poin penting dari peraturan

tersebut adalah Yogyakarta memiliki kekuasaan untuk mengatur hak atas tanahnya, sebagaimana

dinyatakan sebagai domein verklaring yang berlaku pada tahun 1918. Namun jelas bahwa

Peraturan daerah tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta di atas, dibuat sebagai

aturan yang sifatnya sementara, sambil menunggu adanya hukum tanah nasional.22

Pada masa Orde Lama dilakukan dekolonisasi hukum agraria dengan mengkaji ulang

Agrarische Wet 1870 hingga akhirnya pada tanggal 24 September 1960, terbentuk dasar hukum

baru dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah UU PA. UU PA

Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009), hlm 50.20 Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Ibid., hlm 50-51.21 Ahmad Nashih Luthfi, dkk, ibid. hlm. 15522 Ibid. hlm. 168

9 | P a g e

Page 10: Paper Poling

diikuti oleh peraturan pengganti pemerintah, undang-undang No.56 Tahun 1960 (yang dikenal

dengan undang-undang landreform). Bersamaan dengan itu, pada tahun 1973 Sultan HB IX

pernah berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya meminta DIY diperlakukan

sama dengan daerah lain dalam bidang agraria. Surat itu dibalas 11 tahun kemudian melalui

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun

1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan dengan Perda No 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan

Berlaku Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY yang secara resmi menghapuskan

Rijksblad No 16/1918 dan Rijksblad No 18/1918 yang diatur Perda DIY No 5 Tahun 1954.23

Semangat dari adanya UU PA ini adalah adanya land reform, dimana tanah yang

terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok harus diserahkan pada negara untuk di

redistribusikan pada petani atau kelompok masyarakat yang tidak memiliki tanah. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah sebagai sebuah kekayaan material.

Dengan itu diharapkan kehidupan masyarakat yang adil dan setara dapat dijalankan.

Meski UU PA telah diberlakukan, tanah yang dikenai UU PA hanya pada tanah yang

berhukum Barat dan tanah-tanah yang sebelumnya dikenai program Prona. Dengan kata lain,

tanah yang telah diberikan kepada Barat dulunya, bukan tanah keraton sepenuhnya. Dengan

demikian pemberlakuan UU PA lagi-lagi bukan untuk memperjelas status tanah meski

diidealkan oleh Sri Sultan demikian, melainkan aspek politiklah yang justru mendominasi

dimana tanah merupakan milik Keraton.24 Di sisi lain, meski UU PA telah diberlakukan, konsep

tanah adalah milik raja, sebagaimana dibenarkan oleh UU No 3/1950 dilanjutkan dengan Perda

DIY No. 5 Tahun 1954 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta tetap berjalan. Melalui

kebijakan tersebut, peraturan tanah di Yogyakarta bersifat otonom, sehingga memberi tameng

terhadap intervensi hukum tanah nasional (UU PA).25 Artinya, tanah-tanah SG dan PAG tetaplah

eksis diakui oleh keraton dan pemerintah.

Bukti bahwa SG dan PAG masih eksis hingga saat ini, dapat dilihat dari tanah yang

dikuasai keraton dengan mekanisme tersebut. Keberadaan tanah Sultan dan tanah Paku Alaman

tersebut diakui baik oleh masyarakat luas maupun pemerintah. Hal tersebut terlihat dengan jelas

dimana jika pemerintah daerah hendak menggunakan tanah di wilayah Yogyakarta harus terlebih

23 “Bertani atau Mati” diunduh dari http://selamatkanbumi.com/ID/bertani-atau-mati/ diakses pada 3 Mei 2014 pukul 05. 30 WIB.24 Luthfi, op.cit., hlm 175-176.25 Ibid.

10 | P a g e

Page 11: Paper Poling

meminta izin pada pihak Keraton. Demikian juga mereka kalangan usaha yang ingin berinvestasi

di Yogyakarta. Sementara masyarakat mengakui tanah itu ditandai dengan penerimaan Surat

Kekancingan yang ada di tangan masyarakat yang menjelaskan bahwa status tanah yang

ditempati adalah tanah magersari. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa kekuasaan

atas tanah di Yogyakarta masih dipegang oleh pihak Keraton pasca diberlakukannya UU PA

sekalipun.

Berdasarkan data Biro Tata Pemerintahan DIY, hingga tahun 2005, ada sekitar 6.000

hektar (60.000.000 meter persegi) lebih tanah Keraton dan Puro yang tersebar di seluruh wilayah

DIY.26 Tanah SG kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman. Sedangkan, PAG

banyak di Kulon Progo.27 Berbeda dengan hitungan yang dilakukan oleh majalah Himmah edisi

tahun 2002, jumlah total tanah SG dan PAG yang ada di DIY seluas 37.782.661 meter persegi.28

Perbedaan jauh hampir dua kali lipat ini justru menunjukkan ketidakjelasannya bidang mana saja

yang dianggap tanah SG dan PAG sehingga mempengaruhi hasil penghitungan. Pihak keraton

dan Paku Alaman sendiri tidak tahu persis di mana letak tanah SG dan PAG.

Bentangan SG dan PAG di DIY bisa luas tersebut, sebab berdasarkan Rijksblad

Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat

dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan

dan kadipaten. Akar konflik tepat terjadi saat keraton (sekaligus Pemerintah Daerah), mengklaim

bahwa tanah yang dikelola petani di lahan pesisir selatan Kulon Progo tersebut merupakan

bagian dari Pakualamanaat Ground (PAG).

Sementara itu, pesisir pantai selatan Kulon Progo sendiri pada awalnya merupakan

kawasan tandus dan gundukan pasir pantai tak bertuan yang tidak bernilai ekonomi apapun di

kawasan Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan dan Karangwuni. Namun

demikian, pada awal 1980-an salah seorang petani dari dari empat desa tersebut mencoba

berinisiatif menanam produk hortikultura di lahan pasir tersebut. Kegiatan bercocok tanam di

atas lahan pasir berkembang pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas,

26 Dian Yanuardi, Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. Makalah disampaikan dalam International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012. (Organized by the Land Deals Politics Initiative (LDPI) and hosted by the Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, NY). hlm. 1527 Geoge Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”, diunduh dari http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/ diakses pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.28 Luthfi, dkk, op.cit. hlm. 172-173

11 | P a g e

Page 12: Paper Poling

perkembangan teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon dan

semangka yang semakin baik dan banyak. Bersamaan dengan itu, jumlah masyarakat yang ikut

bercocok tanam juga bertambah. Hal itu kemudian memicu tumbuhnya pesisir selatan Kulon

progo menjadi salah satu pemukiman petani.

Secara umum pola sebaran permukiman di daerah permukiman adalah mengelompok

dengan bentuk memanjang sepanjang pantai, dari timur ke barat. Tingginya ekspektasi terhadap

produk hortikultura dari pertanian pesisir selatan terutama cabai, tomat, dan sayuran hijau

lainnya baik di pasaran lokal maupun provinsi lainnya menjadikan kawasan pesisir selatan

dengan cepat berkembang menjadi kawasan padat penduduk dengan tingkat densitas tinggi.

Jumlah sebaran penduduk di pesisir pantai selatan dapat dilihat dalam tabel berikut,

Sumber: Wasisto Raharjo Jati, 2013

Karena telah menempati tanah yang tak bertuan dan itu lebih dari dua puluh tahun, maka

banyak warga kemudian mengajukan sertifikasi. Hal ini dibenarkan oleh peraturan UU No. 5

Tahun 1960 tentang Pembaharuan Agraria, dimana tanah yang tak bermiliki kemudian dikelola

selama lebih dari dua puluh tahun dapat diajukan sertifikasi. Adapun dalam Peraturan Daerah

Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai tanah secara

turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik.29 Dari itu, kemudian warga mengklaim

secara sah memiliki tanah yang ditempatinya.

Dari area konsesi yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM, menurut Pemerintah DIY

yang juga keraton Jogja, 80% tanah yang masuk dalam proyek tambang pasir besi itu adalah

29 Wasisto Raharja Jati, op.cit. hlm. 106

12 | P a g e

Page 13: Paper Poling

PAG, artinya hampir seluas 2400 hektar diklaim milik Keraton.30 Padahal sebenarnya di wilayah

tersebut banyak tanah yang sudah dilegalisasi dengan sertifikasi tanah oleh petani berdasarkan

peraturan di atas. Berdasarkan itu, lahan dalam proyek tersebut yang menjadi milik keraton

hanya seluas 200 hektar, sisanya adalah milik petani dengan sertifikat yang dapat dibuktikan.31

Land grabbing dalam kasus ini terjadi saat klaim dari keraton (dan Pemerintah daerah) yang

menyatakan bahwa tanah di pesisir Kulon Progo adalah bagian dari PAG dan diperuntukan

sebagai lahan penambangan pasir besi, sedangkan secara sah tanah tersebut telah dimiliki petani

dengan bukti sertifikat yang dipunyainya. Contentious politics hadir di antara saling klaim

kepemilikan lahan yang menjadi area konsesi tambang pasir besi.

Peta pasir besi konflik

Sumber: Wasisto, 2013

Selain konflik agraria sebagai sumber utama contentious politics, petani menolak adanya

tambang pasir besi di wilayah tempat tinggalnya karena berhubungan dengan eksistensi

kehidupan mereka. Hal yang utama adalah hilangnya mata pencaharian mereka karena lahan

pantai yang selama ini menghidupinya masuk dalam area tambang. Akibatnya, mereka kemudian

kehilangan mata pencaharian. Kegiatan bertani di pesisir pantai bagi para warga merupakan

penyangga hidup mereka yang berjumlah 50 ribu jiwa. Supriyadi, ketua PPLP, mencontohkan

bahwa bagi yang mempunyai lahan garapan tanaman cabai 1.200 meter persegi saja bisa dipanen

sebanyak 30 kali dengan hasil rata-rata Rp 70 juta dalam waktu enam bulan. Sedangkan bagi

30 Dian Yanuardi, op.cit, hlm. 1431 Wasisto Raharjo Jati, op.cit. hlm. 107

13 | P a g e

Page 14: Paper Poling

yang tidak mempunyai lahan garap bisa menjadi buruh petik cabai dengan bayaran Rp 30 ribu

hingga Rp 50 ribu per hari.32

Hal kedua yang membuat mereka kemudian melawan land grabbing yang terjadi di lahan

yang dimilikinya datang dari adanya ancaman penganguran secara besar-besaran sebagai akibat

dari hilangnya mata pencaharian sebagai petani. Kondisi tersebut yang secara struktural akan

membuat penduduk menjadi buruh di kemudian hari. Menurut Supriyadi, ketua PPLP, Meskipun

penambangan pasir besi itu akan membuka lapangan kerja bagi warga pesisir, seberapa banyak

yang bisa diserap sebagai buruh tenaga kerja di penambangan itu. Selain itu setelah nanti

penambangan besi berakhir, bagaimana nasib anak-cucu mereka nanti. Warga lebih memilih

bertani, karena masih bisa diwariskan kepada anak cucu, ketimbang menjadi buruh

penambangan yang tidak akan bisa mewariskan apapun kepada anak cucu.33

Selain persoalan sosial, masalah ekologis juga menjadi alasan dari petani untuk menolak

adanya tambang pasir besi di wilayahnya. Dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan

oleh penambangan pasir besi itu meliputi beberapa poin berikut, (1) kerusakan ekosistem gumuk

pasir. Ini berhubungan dengan yang terjadi di Cilacap saat penambangan pasir besi dijalankan di

sana, tsunami kecil sering terjadi dan masuk ke area warga. Petani Kulon Progo

mengkahwatirkan hal demikian terjadi di sana. Apalagi penambangan ini tidak dilakukan dengan

analisam Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. AMDAL beru ada setelah

izin konsesi diberikan. (2) Intrusi air laut ke daratan. Hal ini berhubungan dengan pengambilan

pasir besi yang akan membuat air laut bisa masuk ke sumur-sumur warga. (3) Abrasi laut selatan.

Abrasi laut selatan akan semakin parah karena rencana penambangan hingga kedalaman hingga

14,5 meter dengan panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer. (4) Rusaknya lahan pertanian

pesisir pantai. Puluhan ribu petani mengkhawatirkan lahan mereka akan rusak akibat dari

penambangan, padahal saat ini mereka sudah menikmati dengan kehidupan bertani di pantai

ini.34

Hal di atas yang menjadi sumber contentious politics antara petani dan korporasi

tambang. Sumber utamanya adalah pada land grabbing yang dilakukan oleh perusahaan tambang

tersebut melalui konsesi lahan yang diklaim sebagai milik keraton melalui mekanisme tanah

32 AB. Widyanta, op.cit, hlm. 9 33 Ibid.34 Ibid, hlm. 9-10

14 | P a g e

Page 15: Paper Poling

PAG. Padahal tanah-tanah tersebut telah dimiliki petani secara legal. Land grabbing ini membuat

petani kehilangan mata pencahariannya dan berpotensi mengalami krisisi sosial dan ekologis.

Perlawanan Petani: Contentious Politics ke Aksi Kolektif

Kemunculan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dilatarbelakangi oleh keresahan

warga Kulonprogo terkait rencana penambangan pasir besi yang dilakukan di lahan pesisir pantai

yang notabene merupakan lahan pertanian masyarakat.Isu-isu yang berkembang di kalangan

petani serta mimbar-mimbar masjid desa menimbulkan keresahan masyarakat pesisir

pantai.Sejumlah petani dari empat kecamatan (Galur, Panjatan, Temon, dan Wates) yang

mencakup 10 desa (Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan,

Jangkaran, dan Karangwuni) pun mengorganisir diri dan membentuk Paguyuban Petani Lahan

Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) pada 1 April 2006. Di sesepuhi oleh salah seorang adik Sri

Sultan HB X, Adjie Kusumo, PPLP dibentuk untuk menolak rencana pertambangan pasir besi di

wilayah mereka.35

Pada awal pembentukan PPLP, Adjie Kusumo terlibat dalam pengorganisasian para

petani lahan pantai.Namun, PPLP akhirnya memutuskan untuk independen dan tidak lagi

melibatkan Adjie Kusumo36.Hal ini kemudian diasumsikan karena perseteruan politik

antarapemerintah pusat dengan pemerintah provinsi yang terkait RUUK Yogyakarta (2010),

telah merubah peta konflik internal Keraton Yogyakarta.Konsolidasi internal Keraton berhasil

meminimalisir friksi Sri Sultan HB X dan Adjie Kusumo.Dalam situasi itu, tidak strategis bagi

PPLP untuk tetap melibatkan Adjie Kusumo.37 Pada perkembangannya, isu-isu terkait

pertambangan pasir besi yang berkembang di masyarakat mulai berbuah kenyataan ketika para

petugas PT Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik keluarga penguasa politik di

Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman—mulai mensosialisasikan rencana

penambangan pasir besi itu. Proses sosialisasi dilakukan melaluibeberapa jalur: sosialisasi

langsung kepada warga, sosialisasi melalui sejumlah tokoh formal daninformal, dan sosialisasi

melalui dinas pemerintah daerah maupun kantor DPRD Kulon Progo. Namun, sosialisasi yang

dilakukan mendapatkan tentangan dan penolakan dari masyarakat yang tergabung dalam PPLP.

Proses dinamika konflik ini kemudian membuat penulis berargumen bahwa munculnya gerakan 35AB. Widyanta, ibid. hlm 3.36 Hasil penuturan Nasib Wardoyo (40 tahun), Warga Karangwuni 5, anggota PPLP, dikutip dari AB. Widyanta, ibid. 37Ibid.

15 | P a g e

Page 16: Paper Poling

sosial yakni PPLP diawali oleh suatu pra-kondisi dimana terjadi ketegangan (contentious

politics) menyangkut politik agraria dimana ada 2 pihak yang saling kontra. Petani lahan pantai

yang kemudian mendirikan PPLP dengan pihak perusahaan yakni PT JMM yang kemudian

berubah nama menjadi PT JMI beserta pemerintahan keraton yang notabene memiliki

kewenangan atas lahan (Sultan Ground dan Pakualaman Ground).

Berdasarkan adanya contentious politics menurut pandangan Abdul Wahib Situmorang

dalam sebuah mekanisme gerakan sosial, dalam studi yang lain, Mc Adams mengkaji fenomena

Contentious Politics atau ketegangan politik dalam bukunya yang berjudul Dynamics of

Contention. Di dalam buku ini, Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly menjelaskan

fenomena ketegangan politik melalui empat konsep yaitu mobilizing structure, political

opportunity, framingprocess dan repertoire of contention.Konsep political opportunity ini sendiri

berkaitan dengan kemunculan PPLP sebagai efek dari keterbukaan politik dan ekonomi dalam

lingkup desentralisasi pemerintahan utamanya dalam studi kasus di Jogja. Kemudian dari

desentralisasi itulah muncul keterbukaan ekonomi yang menjadi pintu masuk ketegangan politik

sehingga memunculkan gerakan sosial PPLP.

Setelah adanya political opportunity, McAdams kemudian menggambarkan mekanisme

gerakan sosial melalui konsep mobilizing structure.Konsep mobilizing structure tergambar

melalui adanya upaya strukturisasi gerakan via jaringan-jaringan PPLP.Terkait dengan jaringan

perjuangan, PPLP melakukan aliansi atau kerjasama dengan lembaga-lembaga diantaranya LBH

Yogja, Walhi Yogya, sejumlah LSM, dan beberapa kalangan akademis. Selain berjejaring

dengan lembaga-lembaga tersebut, Kemudian berdasarkan konsep framing structure, PPLP

dalam hal ini sebagai bentuk gerakan sosial memiliki dasar landasan kemunculannya, fokus

tujuan pendiriannya, pendefinisian pihak-pihak yang tergabung didalammnya, serta

pendefinisian siapa pihak-pihak yang bertentangan dengannya.

Ada empat faktor yang menjadiraison d’etre terbentuknya politik identitas di kalangan

petani lahan pasir. Pertamaadalah proses reintegrasi masyarakat pedesaan dengan penduduk

lahan pantai. Reintegrasi juga berarti reagrarianisasi yang berperan besar terjadinya ruralisasi

pemuda desa yang bekerja di kota untuk kembali bertani. Implikasi yang muncul adalah bertani

kini dipandang sebagai pekerjaan yang menjanjikan seiring dengan meningkatnya harga

pangan.Kedua, Adanya perbaikan kesejahteraan bagi petani lahan pasir. Adanya sistem

komunalisasi pertanian yang dilakukan oleh petani berimplikasi pada menurunnya tingkat

16 | P a g e

Page 17: Paper Poling

kemiskinan, persediaan pangan yang bertambah, dan naiknya pendapatan dari setiap panen raya

yang diestimasi mencapai 130 juta rupiah per hektar dengan asumsi hasil panen sehari mencapai

8-9 ton dengan harga sekilo Rp 15.000. Begitu berharganya bertani di lahan pasir inilah yang

memunculkan semboyan “bertani atau mati” sebagai bentuk penegasan atas penolakan tambang

pasir besi.Ketiga, adanya kebangggan bagi kelompok petani sebagai pionir dalam pertanian

lahan pasir yang pertama di Indonesiayang pertama dilakukan di Kulonprogo. Maka, konteks

kesuburan dan produktivitastanahpasir besi menjadi narasi penting dalam pembentukan identitas

tersebut (Yanuardy,2012).Keempat, Mutualisme ekonomi antara sektor agraris dengan

geomorfologis tersebut pada akhirnya menghasilkan keuntungan yang maksimal. Dari hasil

pertanian bawang merah, petani akan mendapatkan penghasilan Rp53.085.977,48 untuk

setiaphektarnya. Sementara untuk usaha tani komuditas cabai, petani memperoleh penghasilan

sebesar Rp 8.668.116,68untuk setiap hektarnya. Secara keseluruhan, produksi pertanian di 1

hektar lahan pasir bisa memberi keuntungan bersih sebesar lebih dari Rp 30 juta dalam

setahun.Hal ini tentu saja jauh lebih tinggi dibandingkan apabila hanya menanam padi pada 1

hektar sawah yang hanya memberi keuntungan maksimal Rp 4 juta setahun. Maka tidaklah

mengherankan, apabila petani pesisir lahan pantai berusaha mati-matian untuk mempertahankan

tanah pertanian terhadap upaya eskavasi lahan pantai pesisir selatan Kulon Progo oleh PT Jogja

Magasa Mining selaku investor38

Setelah adanya framing structure, McAdams dkk kemudian melanjutkannya melalui

sebuah mekanisme repertoir of contention. PPLP sebagai gerakan sosial kemudian memiliki

bentuk dan cara perjuangannya dalam menentang serta menolak rencana tambang pasir besi di

wilayah pantai Kulon Progo. Bentuk dan cara penolakan yang dilakukan melalui berbagai bentuk

yakni aksi damai maupun non-damai dengan cara yang beragam seperti demonstrasi, advokasi

via jaringan yang dimiliki, hingga cara-cara agresif.Pada 27 Agustus 2007, PPLP berdemonstrasi

di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek

pertambangan pasir besi.Bupati Toyo Santosa Dipo dan Ketua DPRD Kulon Progo Kasdiyono

menyetujui tuntutan wargasecara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri jika terjadi

pengingkaran di kemudian hari39.Lima bulan paska persetujuan, guna mencari kejelasan

informasi seputar mega proyek pasir besi yang serba simpang-siur, pada 4 Februari 2008,

38Wasisto Jati Raharjo, op.cit, hlm. 97-98.39Penolakan Rencana Pemerintah Melakukan Penambangan Biji Besi dalam Berita Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm.9-10 dikutip dari AB. Widyanta.ibid. hlm 3.

17 | P a g e

Page 18: Paper Poling

sejumlah perwakilan dari PPLP melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR RI (yang

membidangi masalah energi, sumber daya mineral, ristek dan lingkungan hidup) di Senayan

Jakarta. Menurut Widodo, anggota PPLP, selama ini ternyata Komisi VII hanya memperoleh

informasi sepihak yang menyatakan bahwa tidak pernah ada masalah di lapangan dan

masyarakat telah menerima rencana proyek tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk tidak

menyetujuinya.Karenanya, Komisi VII berencana akan terjun langsung ke lapangan untuk

mengetahui kondisimasyarakat yang sebenarnya, agar tidak ada anggota masyarakat di Kulon

Progo yang dirugikan. Selain beraudiensi di Senayan, PPLP juga diterima Kedutaan Besar

(Kedubes) Australia di Jakarta untuk membicarakan persoalan yang sama40.

Sebulan berselang, pada 1-5 Maret 2008, warga Desa Bugel didukung PPLP yang

berjumlah ratusan orang, menggelar aksi pemblokiranjalan yang merupakan akses

keluarmasuknya kendaraan Pilot Project PT. Jogja Magasa Mining (JMM) menuju pantai Trisik.

Aksi yang diikuti hingga ratusan warga itu ditempuh lantaran Bupati dan Ketua DPRD Kulon

Progo ingkar terhadap kesepakatan tahun sebelumnya. Sementara warga lainnya memblokir

jalan, pada 4 Maret 2008, sebagian anggota PPLP melakukan konferensi pers di kantor LBH

Yogyakarta, yang menegaskan bahwa pelaksanaan uji coba pilot project penambangan pasir besi

di Desa Trisik dan Banaran, Kecamatan Galur, pada dasarnya melanggar prosedur. Anggota

PPLP memegang masukan dari Komisi VII DPR RI yang beberapa waktu sebelumnya

berkunjung ke sana bahwa pilot project tidak boleh dilakukan sebelum AMDAL (Analisa

Dampak Lingkungan) terbit41. Serangkaian aksi-aksi penolakan ini semakin memperjelas PPLP

sebagai lembaga gerakan sosial masyarakat petani di wilayah pesisir Kulon Progo.

Pada 3-6 Juni 2008, PPLP bertemu dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) dalam rangka investigasi yang dilakukannya di Kulon Progo. Dalam pertemuan

bersamaperwakilan PPLP dan LBH, Nurkholis selaku Anggota Subkomisi Pemantauan dan

Penyelidikan Komnas HAM, menyampaikan dua hasil kesimpulan investigasi: (1). Ada dugaan

pelanggaran HAM karena hak-hak warga mendapat informasi proyek penambangan terabaikan.

Eksekutif dan perusahaan pelaksana proyek harus mencatat hal itu; (2). Masyarakat lahan pantai

Kulon Progo terpecah dua kubu (yang pro dan yang kontra).Ada indikasi bahwa Bupati Kulon

Progo danjajarannya belum banyak berperan. Selain dua hasil investigasi itu, ditegaskan pula

40http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=152231&actmenu=36 seperti dikutip dari AB. Widyanta. ibid.41Ibid., hlm 4.

18 | P a g e

Page 19: Paper Poling

bahwa Komnas HAM akan mengerucutkan rekomendasi ke Presiden, meski tak ada jaminan

rekomendasi pasti disetujui42.

Kemudian, pada 21 Juli 2008, PPLP bersama ribuan massanya (1.500 orang) melakukan

demostrasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan mendesak Fakultas Kehutanan untuk

membatalkan kerjasama penelitian rehabilitasi pasca penambangan pasir besi dengan PT Jogja

Magasa Mining(JMM). Aksi demonstrasi itu terjadi lantaran UGM tidak memberikan sikap

resmi setelah PPLP mengirim surat permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali. Mengingat kerasnya

reaksi petani pantai lahan pasir untuk mendesak pembatalan penelitian tersebut, maka Rektor

UGM Soejarwadi dan Dekan Fakultas Kehutanan M. Na’iem pun akhirnya bersedia

membatalkan kerjasama penelitian itu dengan penandatangan suratpernyataan43.

PPLP kembali berunjuk rasa, pada 23- 25 Oktober 2008, guna menuntut pertanggung-

jawaban Ketua DPRD dan Bupati Kulon Progo yang pernah menandatangani pernyataan

penolakan rencana tambang pasir besi pada tanggal 27 Agustus 2007 lalu. Selaintak satu pun

anggota dewan masuk kantor, Ketua DPRD Kulon Progo, Kasdiyono, juga dikabarkan masih ada

di Jakarta untuk menghadiri pertemuan Asosiasi Ketua DPRD Kota dan Kabupaten se-Indonesia.

Sementara, Bupati Kulon Progo, Toyo Santoso Dipo, belum kembali dari tugas dinas di

Jakarta44.Perjuangan PPLP dari awal pembentukannya pada April 2006 kemudian berbanding

terbalik dengan kenyataan di lapangan. Tepat pada 4 November 2008, muncul berita di media

massa bahwa kontrak karya tambang pasir besi Kulon Progo resmi ditandatangani. Kontrak

karya antara PT. Jogja MagasaIron (JMI) yang diwakili Phil Welten, Presiden Komisaru Kutfi

Heyder dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, itu mengantongi ijin operasi selama 30

tahun45. Perjuangan mereka dari kurun 2006-2008 tidak membuahkan hasil ketika PT JMM yang

kemudian berubah nama menjadi PT Jogja Magasa Iron (JMI) mendapat kontrak karya terkait

tambang pasir besi di wilayah Kulon Progo.

42 “Komnas HAM Akan Beri Presiden Rekomendasi Soal Lahan Pasir Besi”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Presiden.Rekomendasi.Soal.Lahan.Pasir.Besi pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.47 WIB43 “UGM Batalkan Kesepakatan dengan PT JMM”, diunduh dari http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakatan.dengan.PT.JMM pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.52 WIB44 “Petani Pantai Tatap Tunggui DPR”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 22.02 WIB45“Sesepuh PPLP Sesalkan Kontrak Penambangan Pasir Besi”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir. Besi. Pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 10.17 WIB

19 | P a g e

Page 20: Paper Poling

Pasca diterbitkannya kontrak karya terkait izin pertambangan pasir besi kepada PT JMI,

situasi yang berkembang adalah terjadinya konflik-konflik yang melibatkan masyarakat yang

tergabung dalam PPLP dengan pihak-pihak pemerintah maupun perusahaan tambang. Pada 8

Juni 2009, enam orang warga Desa Karangsewu (Mukidi, Wagiyo, Dwi Santoso, Tukijo,

Sugiyanto dan Ponco), Kecamatan Galur, diperiksa di Markas Polisi Resort Kulon Progo atas

tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan. Sebelumnya, mereka terlibat konflik

dengan kepala dukuh III Karangsewu,Isdiyanto, menyangkut persoalan pendataan para petani

penggarap lahan pasir di kawasan yang rencananya akan dijadikan lokasi penambangan pasir

besi46. Periode waktu setelahnya, kasus-kasus kriminalitas menjadi modus bagi perusahaan untuk

menekan masyarakat.Tingkat radikalitas masyarakat Kulon Progo kemudian meningkat.

Pada 20 Okober 2009, terjadi bentrokan fisik antara petani Paguyuban Petani Lahan Pasir

Kulon Progo dengan aparatkepolisian, saat unjuk rasa menentang acara konsultasi publik

penambangan pasir besi pesisir selatan Kulon Progo. Polisi menembakkan gas air mata untuk

mengusir massa yang mulai beringas karena kecewa. Dua petani dilaporkan luka berat dan

puluhan yang lain luka ringan47. Konflik sempat mereda selama kurun waktu setahun namun

pada 17 Desember 2010, situasi pesisir selatan KulonProgo, DI Yogyakarta, tiba-tiba memanas

setelah kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA –Andal) rencana penambangan pasir

besi diterima oleh Komisi Amdal Kulon Progo. Ribuan warga yang ingin melindungi tanah

garapan, warga menutup Pilot project Idan menyandera enam dari tujuh mobil rombongan

surveyor (PT Pudipon Nusantara Makmur yang diduga rekanan PT Jogja Magasa Iron) serta

menyegel lokasi proyek percontohan tambang pasir besi di DesaKarangsewu, Kecamatan

Galur48.

Selang sepuluh hari kemudian, 27 Desember 2010, didampingi kuasa hukumnya LBH

Yogya, Petani lahan pasir Kabupaten Kulon Progo melaporkan Bupati Kulon Progo Toyo S Dipo

ke polisi. Bupati dinilai melanggar undang-undang dengan mengeluarkan izin pemanfaatan

pesisir pantai menjadi kawasan pertambangan pasir besi. Surat Keputusan Bupati bernomor 140

46 Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html dikutip dari AB. Widyanta. ibid.47“Bentrok dengan Polisi, 2 Petani Kulon Progo Luka Berat”, diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka.Berat pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 10.54 WIB.48“Pesisir Kulon Progo Memanas”, diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.01 WIB

20 | P a g e

Page 21: Paper Poling

tertanggal 11 Mei 2010 itu melanggar pasal 37 ayat 7 UU No 26 tahun 2007 tentang tata ruang

dan wilayah. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap pejabat pemerintah dilarang mengeluarkan

izin yang tidak sesuai dengan tata ruang49.

Radikalisasi warga kembali terjadi pada 9 April 2011. Warga menangkap dan

menyandera tujuh buruh bangunan di pilot project penambangan pasir besi milik PT Jogja

Magasa Iron (JMI) selama dua jam. Tujuh orang yang disandera itu adalah warga desa tetangga.

Penangkapan dan penyanderaan itu pun akhirnya berbuntut ditangkapnya Tukijo oleh Polisi

pada 1 Mei 2011. Selang dua hari penangkapan Tukijo, 3 Mei 2011, sekitar 1.500 warga

Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) mendatangi Mapolres Kulonprogo. Kedatangan warga

dengan 20 unit truk dan 50 sepeda motor tersebut menyampaikan tuntutan agar polisi

membebaskan rekan mereka, Tukidjo warga Gupit, Karangsewu, Galur yang ditangkap polisi

atas tuduhan melakukan penyanderaan terhadap 7 buruh lepas PT Jogja Magaza Iron (JMI)50.

Atas penangkapan Tukijo, LBH Yogyakarta melayangkan surat gugatan praperadilan ke

Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada 9 Mei 2011. Selain tak menunjukkan surat

identitas penangkapan, polisi yang juga telah melanggar UU No. 12 tahun 2005 tentang konvensi

internasional hak sipil politik. Tapi akhirnya, Polisilah yang memenangkan gugatan praperadilan

pada 24 Mei 2011.Sebulan berselang, sidang perdana Tukijo pun digelar pada 16 Juni 2011,

dengan materi, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum51.

Selain bentuk-bentuk tekanan yang bermodus tindak kriminal, PT JMI beserta

pemerintah juga melakukanan intimidasi kepada masyarakat untuk melepaskan kepemilikan

tanahnya kepada pihak perusahaan. Menurut Widodo, ketua PPLP setelah Supriadi, mengatakan

bahwa intimidasi-intimidasi tersebut dilakukan oleh pemerintah dan kaki tangan PT JMI. 

Karena intimidasi itu juga akhirnya banyak warga melepas lahannya.Itu akibat dari gerakan akar

rumput tak mengetahui arti perjuangannya sendiri.Sejak awal warga dari Karangwuni memang

kurang solid dengan perjuangan PPLP.Ketika kami gelar acara-acara, yang datang itu-itu

49http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html seperti dikutip dari AB. Widyanta.ibid..50“Ribuan Warga PPLP Gruduk Mapolres Kulonprogo”, diunduh dari http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.10 WIB51“Besok Sidang Perdana Tukijo Digelar”, diunduh dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.15 WIB

21 | P a g e

Page 22: Paper Poling

saja.Akhirnya yang menolak melepas lahannya ya itu-itu saja52. Pola gerakan PPLP pada

akhirnya selain mendapat tantangan dari perusahaan maupun pemerintah juga mendapat

tantangan lain dari internal PPLP itu sendiri.

Keempat mekanisme contentious politics seperti yang ditulis McAdams, Tarrow, dan

Tilly telah menjadikan PPLP sebagai suatu gerakan sosial yang utuh dimana gerakannya

mencakup empat mekanisme contentious politics yakni political opportunity, mobilizing

structure, framing structure, hingga repertoir of contention.

Penutup

Dari argumen di atas dapat dilihat bahwa perlawanan petani terhadap korporasi tambang

tidak hadir dengan sendirinya. Hal itu diawali dari adanya ketegangan politik (contentious

politics) yang disebabkan dari perampasan tanah yang dimiliki oleh petani. Perampasan tanah ini

terjadi dengan klaim yang dilakukan oleh keraton atas tanah yang telah ditempati dan ditanami

petani sebagai bagian dari Paku Alamanaat Grounded (PAG). Tanah yang diklaim itu akan

dijadikan sebagai lahan konsesi tambang pasir besi, dimana perusahaan tambang tersebut juga

didirikan dan dimiliki oleh keraton. Konflik agraria ini yang menjadi sumber contentious politics

antara petani penggarap lahan pantai dengan korporasi tambang (keraton) dan pemerintah

daerah. Selain itu, sumber ketegangan politik juga dihadirkan dari dampak sosial dan ekologis

yang akan ditimbulkan dari pertambangan itu.

Dari ketegangan politik tersebut, muncul sebuah gerakan sosial yang di dalamnya dapat

kita lihat terdiri dari beberapa variabel, seperti political opportunity, struktur mobilisasi, proses

framing dan repertoire. Dinamika perlawanan petani di Kulon Progo, dapat dianalisa dengan

kerangka konseptual demikian. Berbagai mobilisasi, diskusi, aksi, dan konsolidasi merupakan

bagain dari gerakan yang dilakukan petani utnuk melawan secara total hadirnya tambang di

wilayahnya. Tujuan besar dari adanya gerakan sosial yang dilakukan oleh petani di Kulon progo

tersebut secara umum adalah untuk mempertahankan tanah sebagai ruang hidup dan sumber

penghidupannya. Di sisi lain juga untuk mempertahankan tatanan ekologis dan lingkungan dari

kerusakan yang ditimbulkan oleh korporasi tambang pasir besi di lahan pesisir selatan Kulon

Progo. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi mereka yang berakal atas ekspansi kapital yang

52“Widodo: Mengabaikan Hal-Hal Kecil adalah Masalah Besar”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/widodo-mengabaikan-hal-hal-kecil-adalah-kesalahan-besar/ pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.29 WIB

22 | P a g e

Page 23: Paper Poling

tidak memperhatikan dampak sosial dan ekologis dari manusia yang sebenarnya sebagai subyek

pembangunan itu sendiri.

Daftar Pustaka

Sumber referensi buku:

McAdam, Doug, dkk. Dynamics of Contention. Cambridge: Cambridge University Press, 2004

Situmorang, Abdul Wahib. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2007.

Snow, David A. dkk. Ideology: Frame Resonance and Participant Mobilization. Greenwich,

Conn: JAI Press, 1988

Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics 3rd Edition.

Cambridge: Cambridge University Press, 2011

Sumber referensi jurnal:

23 | P a g e

Page 24: Paper Poling

Jati, Wasisto Raharjo. “Predatory Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon

Progo”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013

Ricklefs, Lih M. C. dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. “Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat

dan yang Dilupakan”. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009.

Yanuardi, Dian. “Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession

Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia” Makalah disampaikan dalam

International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012.

Sumber referensi internet:

“Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses pada 27 April

2014 pukul 13.03

AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan

Resolusinya), Makalah tidak diterbitkan, tanpa tahun. Diunduh dari

https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi_Kulon

ProgoAnatomi_Eskalasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta diakses pada 20 Mei 2014 pukul

12.32 WIB

Anugerah Perkasa, ”Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari

http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses pada 2 Mei

2014 pukul 16.30 WIB

“Bertani atau Mati” diunduh dari http://selamatkanbumi.com/ID/bertani-atau-mati/ diakses pada

3 Mei 2014 pukul 05. 30 WIB

Geoge Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”, diunduh dari

http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/ diakses

pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.

“Komnas HAM Akan Beri Presiden Rekomendasi Soal Lahan Pasir Besi”, diunduh dari

http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Preside

n.Rekomendasi.Soal.Lahan.Pasir.Besi pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.47 WIB

“UGM Batalkan Kesepakatan dengan PT JMM”, diunduh dari

http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakata

n.dengan.PT.JMM pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.52 WIB

24 | P a g e

Page 25: Paper Poling

“Petani Pantai Tatap Tunggui DPR”, diunduh dari

http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd

pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 22.02 WIB

“Sesepuh PPLP Sesalkan Kontrak Penambangan Pasir Besi”, diunduh dari

http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.

Penambangan.Pasir. Besi. Pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 10.17 WIB

“Bentrok dengan Polisi, 2 Petani Kulon Progo Luka Berat”, diunduh dari

http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Ku

lon.Progo.Luka.Berat pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 10.54 WIB.

“Pesisir Kulon Progo Memanas”, diunduh dari

http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas

pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.01 WIB

“Ribuan Warga PPLP Gruduk Mapolres Kulonprogo”, diunduh dari

http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulon

progo.html pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.10 WIB

“Besok Sidang Perdana Tukijo Digelar”, diunduh dari

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-

Perdana-Tukijo-Digelar pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.15 WIB

“Widodo: Mengabaikan Hal-Hal Kecil adalah Masalah Besar”, diunduh dari

http://indoprogress.com/2014/04/widodo-mengabaikan-hal-hal-kecil-adalah-kesalahan-

besar/ pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.29 WIB

25 | P a g e