pariwisata dan kemiskinan di kabupaten … i... · i pariwisata dan kemiskinan di kabupaten badung,...
TRANSCRIPT
i
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
I MADE PATERA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
1
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
I MADE PATERA NIM:1090771004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
DISERTASI
DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
2
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Pariwisata,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE PATERA NIM:1090771004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
ii
4
Disertasi Ini Telah diuji pada Ujian Terbuka Tanggal : 6 Januari 2016
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No : 4306/UN14.4/HK/2015 Tanggal : 22 Desember 2015
Ketua : Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S.
Anggota :
1. Dr. Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc
2. Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa, M.A.D.E.
3. Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS.
4. Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU
5. Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS
6. Dr. Putu Saroyeni Piartrini, SE., Ak. MM.
7. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc
iv
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa penulis mengucapkan puji syukur atas
kemurahan dan kasih karunia-Nya, sehingga penulisan disertasi dengan judul
Pariwisata dan Kemiskinan di Kabupaten Badung-Bali, dapat penulis selesaikan
dengan optimal. Penulisan ini memungkinkan terjadi dari dukungan, arahan serta
tambahan ilmu pengetahuan dari promotor, dan kopromotor serta bimbingan
anggota penguji sejak ujian kualifikasi sampai selesainya penulisan diseratasi ini.
Penulis menyampaikan penghargaan setulus hati kepada yang terhormat.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD. KEMD
beserta pembantu-pembantu rektor atas kesempatan dan fasilitas yang telah
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan penyelesaikan pendidikan Program
Doktor Pariwisata di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Prof.
Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K), dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made
Budiarsa, MA, Prof Made Sudiana Mahendra, Ph.D selaku asisten II beserta
seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, yang telah
memberikan penulis kesempatan dan fasilitas, untuk mengikuti perkulihan ini
sampai selesai.
Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., M.S., Guru Besar Fakultas Ekonomi pada
Program Studi Manajemen Universitas Udayana Denpasar, atas berkenan sebagai
promotor dan membimbing penulis dengan kesabaran yang tinggi. Kepakaran
beliau dalam bidang dunia akademik telah memberikan penulis pengetahuan yang
sangat bernilai dalam menyelesaikan disertasi ini. Dr. Ir. A.A.P Agung Suryawan
Wiranatha, MSc., selaku kopromotor yang telah membimbing penulis tanpa lelah
dan dengan sangat teliti. Pengalaman beliau memberikan saran dalam bidang
akademis dan empiris sangat bermanfaat dalam menyelesaikan penulisan ini.
vi
7
Ketua Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. I
Komang Gde Bendesa, M.A.D.E dan sekretaris program Dr. Ir. A.A.P. Agung
Suryawan Wiranatha, M.Sc yang senantiasa memberikan semangat, dan motovasi
dalam mengikuti studi sehingga penulis selalu bersemangat untuk mengikuti
perkuliahan.
Kepada para penguji disertasi : Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S., Dr.
Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, MSc., Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa,
M.A.D.E., Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS., Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU,
Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS dan Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc. yang telah
memberikan masukan berharga dan dukungan kepada penulis untuk mewujudkan
disertasi ini menjadi lebih baik.
Para dosen pengampu mata kuliah sejak dimulainya perkuliahan perdana
pada 31 Agustus 2010 dan dosen pengampu mata kuliah konsentrasi yang telah
berperan besar memberikan dorongan dan berbagi pengetahuan kepada penulis
sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan dengan sebaik-baiknya.
Terima kasih penulis disampaikan kepada Kepala Statistik Kabupaten
Badung, Kepala Statistik Provinsi Bali, Kepala Bappeda Kabupaten Badung,
Kepala Desa Belok Sidan dan Petang, Kepala Desa Jimbaran dan Desa Pecatu,
dan Manager Obyek Wisata Pecatu beserta jajarannya atas fasilitas dan waktu
yang diluangkan untuk melaksanakan fokus grup diskusi, membahas tentang
pariwisata dan kemiskinan di Badung Utara dan Badung Selatan.
Hormat dan terima kasih tidak terhingga penulis panjatkan kepada kedua
orang tua Ayah I Wayan Sengolan dan Bunda Ni Made Rempen (almarhum) yang
telah membesarkan dan memberikan falsafah kehidupan tentang cinta kasih,
hutang kepada orang tua tidak akan terbayarkan, dan hidup adalah pembelajaran
sampai akhir kehidupan itu sendiri. Istri setia yang penulis kasihi dan kagumi
vii
8
Irma Ellen Riupassa, dengan pengorbanan dan kesabaran yang tidak ternilai telah
memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi ini. Anak-anak tercinta dan
budiman Gede Reindra Patera, Rathendra Dinaçakti Patera, Astri Swarani Patera
dan Menantu terkasih Ida Ayu Arie Mayuni yang memberikan dukungan dan
kasih sayang dengan caranya masing-masing. Simon Reinier Riupassa dan
Ariantje Bondradine Sahanaya, mertua (almarhum) yang menjadi inspirator untuk
berbagi dalam kehidupan. Nio Tjoei Lian yang memberi pendidikan karakter
menjadi pribadi tangguh “Perseverance”, jujur, disipin, dan kerja keras.
Almarhum I Ketut Dharmasusila yang memberikan suri tauladan pentingnya
pendidikan. Sahabat tercinta, motivator dan teman diskusi akademik Dr. I
Nyoman Sudiarta, SE. M.Par dan Dr. I Wayan Suardana, SST.Par.M.Par. Terima
kasih kepada Lippo Group tempat penulis selama ini bekerja sebagai tulang
punggung perkuliahan yang memungkinkan penulis menyelesaikan disertasi ini.
Seluruh staf di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana dan Program
Doktor Pariwisata atas berbagai fasilitas, dan bantuan yang telah diberikan semasa
kuliah sampai disertasi ini terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak
yang dengan ihlas telah memberikan dukungan moral maupun material
Semoga semua amal baik Bapak, Ibu, Saudara mendapatkan balasan dari
Tuhan Yang Maha Esa. Semoga karya ilmiah ini yang jauh dari sempurna dapat
memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
pariwisata di Bali dan Indonesia pada umumnya.
Denpasar, 6 Januari 2016
Penulis,
I Made Patera
viii
9
ABSTRAK
Pariwisata Dan Kemiskinan Di Kabupaten Badung, Bali
Fenomena pariwisata dan kemiskinan telah ada sejak lahirnya peradaban manusia dan sejak tahun 1980-an telah menjadi perhatian serius para praktisi dan cendikiawan diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai sebuah pemahaman konsep abstrak, tetapi sebagai realitas terhadap ketidakadilan ekonomi dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia di berbagai negara kaya maupun negara miskin di dunia.
Tujuan penelitian adalah: 1) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian; 2) menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap pengentasan kemiskinan; 3) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan; dan 4) merumuskan strategi untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung data sekunder dan pendekatan kualitatif dengan data primer didapat melalui observasi, wawancara mendalam (depth-interview) dan diskusi kelompok terfokus (focuss group discussion). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung Selatan sebagai daerah terkaya di Bali dari hasil pariwisata.
Penelitian ini mengacu kepada Teori Neoliberalisme sebagai Grand Theory, didukung oleh teori Sosial Demokrat dan Teori Pemberdayaan. Kemiskinan menurut Neoliberalisme adalah persoalan individu dan kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar bebas. Menurut Sosial Demokrat kemiskinan muncul akibat dari ketidak adilan terhadap tatanan kehidupan masyarakat sebagai faktor dan Teori Pemberdayaan menekankan pada pendekatan untuk meningkatkan kemampuan pribadi atau kelompok masyarakat untuk melepaskan diri menuju kepada kemandirian secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data hasil penelitian untuk mudah dibaca dan analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu dengan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian membuktikan bahwa: 1) perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian; 2) kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan; dan 3) perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dan 4) untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan dilakukan dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan dibuat dalam satu strategi berbasiskan SWOT. Novelty penelitian yaitu: perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung berdampak signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan melalui 2 indikator yaitu Jumlah Kunjungan Wisatawan dan Kontribusi PHR sebagai indikator terkait langsung dengan pemerintah. Indikator Lama Tinggal dan Pengeluaran Wisatawan tidak berdampak terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Badung.
Kata kunci : Perkembangan pariwisata, kinerja ekonomi, kemiskinan
ix
10
ABSTRACT
Tourism And Poverty In Badung Regency, Bali
Tourism and poverty’s phenomenon had already been known since the birth of human civilization. In the 1980s poverty became a serious concern of practitioners and scholars in various part of the world, including Indonesia. Poverty is not only understood in understanding as an abstract concept, but also as a reality of economic injustice and inability to meet basic human needs in some rich countries but also in many developing countries in the world. The problem of poverty is a fundamental and tourism is one of the many ways to solve this. The objective of this paper is to study the role of tourism to poverty alleviation including: 1) to analyze the influence of tourism development toward economic performance; 2) to analyze the effect of economic performance on poverty eradication; 3) to analyze the influence of tourism on poverty alleviation; 4) to formulate a strategy to increase tourism's role in poverty alleviation in Badung Regency. This study uses quantitative approach supported by secondary data and qualitative approach using primary data obtained through observation, in-depth interviews and focus group discussions. Research was conducted in South Badung Regency in the most developed tourism growth and considered the richest district among all regencies in Bali Regencies. Various attempts have been made to alleviate poverty, however have not been able to resolve poverty problems. The grand theory of this study refers to Neoliberalism Theory, supported by Social Democratic Theory and Empowerment Theory. Neoliberalism emphasizes that poverty as an individual problem and prosperity can only be achieved by achievement of economic growth through free market mechanism. According to Social Democratic Theory the emergence of poverty came from outside of the community itself. While the emphasis on the Empowerment Theory is in improving the ability of individual or communities to become indepedence on economic, social welfare and political right. Data analysis using Partial Least Square (PLS) with statistical analysis descriptive and inferential statistics. In order to have a better understanding on the statiscal result, Descriptive Analysis is also used to describe the researched data, using inferential statistical analysis to test the research hypothesis. The results of the research indicated that: 1) the development of tourism showed positive and significant impact on economic performance; 2) economic performance showed negative and significant impact on poverty alleviation; 3) tourism development showed negative and significant effect on poverty alleviation and (4) in order to be able to increase tourism's role in poverty alleviation in Badung Regency the strategy is formulated by analyzing the strengths, weakness, opportunities and challenges based on Strength, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT) strategy. Key words: Tourism development, economic performance, poverty
x
11
RINGKASAN PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
Perkembangan pariwisata internasional merupakan sektor kegiatan
ekonomi global yang dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk
meningkatkan partisipasi mereka dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Bryden (1973) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata dan pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan mutualistis untuk mengentaskan kemiskinan.
Alasan memilih perkembangan pariwisata terhadap dampak kemiskinan di
Kabupaten Badung yaitu secara teoritis didasarkan atas hasil kesimpulan peneliti
yang berbeda yaitu dari Kelompok Ashley et al (2001), Spenceley dan Seif
(2003), Tores dan Momsen (2004: 249-5) yang menyatakan bahwa
pengembangan pariwisata berdampak positif pengentasan kemiskinan. Dari hasil
penelitian dilakukan Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) menyatakan
bahwa pengembangan pariwisata belum mampu mengentaskan kemiskinan.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk: (1) Menganalisis pengaruh
perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian di Kabupaten Badung,
(2) Menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung (3) Menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap
kemiskinan di Kabupaten Badung dan (4) Merumuskan strategi untuk
meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten
Badung. Landasan teori penelitian ini adalah Teori Pemberdayaan didukung oleh
Konsep Pariwisata, Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan. Menurut Rappaport
(1987: 139-142), pemberdayaan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
seseorang dalam menentukan pilihan terhadap kepentingan yang berdampak
positif bagi diri sendiri sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah sosial
dari ketidakberdayaan masyarakat. Perkins dan Zimmerman (1995: 570-571),
menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses partisipasi
berkesinabungan untuk menghilangkan berbagai keterbatasan, membangun
kepercayaan diri kerjasama, kematangan emosi, kemampuan beradaptasi dan
bertoleransi dengan orang lain.
xi
12
Penelitian ini menggunakan metode gabungan antara kuantitatif dan
kualitatif atau Mixed Method. Hal ini didasarkan pada pandangan Creswell, (2010:
22) dan Jonker et al (2011: 88) yang menyatakan bahwa semakin kompleks
masalah penelitian, memakai metode kualitatif dan kuantitatif dalam satu
penelitian akan saling memperkuat satu sama dari pada hanya menggunakan satu
metode penelitian secara terpisah. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui
pengambilan data sekunder dari sumber data yang ada di Kabupaten Badung.
Didukung oleh Kerangka Berfikir dan Konsep sebaga landasan untuk
memecahkan permasalahan yang ada dengan Hipotesis Penelitian yaitu: Hipotesis
Penelitian I: Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kemiskinan, Hipotesis 2: Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kemiskinan dan Hipotesis 3: Perkembangan Pariwisata
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan.
Data diolah dengan analisis statistik inferensial menggunakan Partial
Least Partial (PLS). Hasil pengujian hipotesis dipakai mengkonfirmasi hasil
penelitian dan teori-teori Jennings, (2001: 35), Denzin dan Lincoln, (2009: 1-4)
Pendekatan kualitatif juga dilakukan karena sebagian permasalahan yang diteliti
dilakukan secara deskriptif, melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth
interview) Untuk karakteristik kemiskinan dipakai statistik deskriptif untuk
mengkorfirmasi hasil analisis kuantitatif dan kegiatan diskusi kelompok terfokus
(focus group discussion). Teknik analisis yang dilakukan pada penelitian ini
terdiri atas: Analisis Kuantitatif dipergunakan untuk menjawab permasalahan
pertama, kedua dan ketiga, dengan menggunakan analisis Partial Least Square
sebagai alternatif pemodelan persamaan yang dasar teorinya lemah, bisa
digunakan untuk model replektif dan formatif (Ghozali 2011: 7-17), dan Analisis
Kualitatif dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah ke empat yaitu
bagaimana mengembangkan strategi peningkatan peran pariwisata dalam
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Informasi atau data yang tersedia
dianalisis melalui pendekatan Strength, Weakness, Opportunity dan Threat
(SWOT) melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan strategi pengentasan
xii
13
kemiskinan disusun berdasarkan matriks SWOT yaitu : (1) Strategi SO, (2)
Strategi ST, (3) Strategi WO dan (4) WT.
Hasil Pengujian menggunakan Partial Least Square (PLS) menghasilkan:
(1) Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian, hasil
pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan
pariwisata terhadap kinerja perekonomian menunjukkan nilai koefisien jalur
sebesar 0,871 dengan nilai t-statistik sebesar 71,567. Nilai t- statistik tersebut
lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201. Ini menunjukkan bahwa variabel
perkembangan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian.
Artinya bahwa semakin baik perkembangan pariwisata maka kinerja
perekonomian juga akan meningkat, (2) Pengaruh kinerja perekonomian terhadap
kemiskinan, hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh
signifikan variabel kinerja perekonomian (KP) terhadap kemiskinan (KM) dengan
nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462. Nilai
t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, menunjukkan ada
pengaruh yang signifikan antara variabel kinerja perekonomian terhadap
kemiskinan. Koefisien jalur yang bertanda negatif menunjukkan bahwa kinerja
perekonomian memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.
Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kinerja perekonomin (KP) maka
kemiskinan (KM) semakin menurun dan (3) Pengaruh perkembangan pariwisata
terhadap kemiskinan, koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap
kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099. Nilai t- statistik
tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201 menunjukkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara variabel perkembangan pariwisata dengan
kemiskinan. Koefisen jalurnya menunjukkan perkembangan pariwisata
memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan, artinya semakin baiknya
perkembangan pariwisata, berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan.
Kebaruan atau Novelty penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung berdampak signifikan dan negatif
terhadap tingkat kemiskinan melalui dua (2) indikator yaitu jumlah kunjungan
wisatawan dan kontribusi pajak hotel dan restoran (PHR), dimana kedua indikator
xiii
14
ini terkait langsung dengan penerimaan pemerintah dimanfaatkan untuk
pengentasan kemiskinan.Sedangkan dua indikator lainnya yaitu Lama Tinggal dan
Pengeluaran Wisatawan merupakan bagian dari pendapatan non-pemerintah
berupa keuntungan yang masuk ke pundi-pundi swasta untuk kepentingan sendiri
dan tidak dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Badung.
Keterbatasan penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut :
(1) Penelitian ini terbatas hanya memakai tiga variabel yaitu variabel pariwisata,
kinerja perekonomian dan variabel kemiskinan dan hanya melihat dampaknya dari
aspek ekonomi, (2) Tidak meneliti tentang pengaruh aspek non-ekonomi terhadap
kemiskinan, (3) Penelitian ini menggunakan data sekunder dari sumber terbatas
yaitu dari BPS Pemerintah Kabupaten Badung dan Provinsi Bali. Untuk
memperkaya hasil penelitian data sekunder dapat dicari dari sumber-sumber
lainnya, dan (4) Terbatasnya data time series yang tersedia hanya selama 14 tahun
sejak berdirinya pada tahun 1992 Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah
berpisah dari Kota Madya Denpasar.
Kesimpulan penelitian sebagai berikut: (1) Perkembangan pariwisata
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya
bahwa semakin baik perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian semakin
meningkat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dan nilai
t-statistik sebesar 71,567 lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, (2) Kinerja
perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan `terhadap kemiskinan. Artinya
semakin tinggi kinerja perekonomian, semakin menurun tingkat kemiskinan. Hal
ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik 15,462,
lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, (3) Perkembangan pariwisata
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Artinya bahwa
semakin meningkatnya perkembangan pariwisata, berdampak terhadap
menurunnya kemiskinan. Hal ini terlihat dari Koefisien jalur pengaruh
perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-
statistik 4,099, lebih besar dari nilai t-tabel 2,201, (4) Untuk peningkatkan peran
pariwista di Kabupaten Badung dalam pengentasan kemiskinan berdasarkan hasil
analisis SWOT sebagai berikut: (1). Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi
xiv
15
pariwisata alami dan meningkatkan pariwisata ekowisata, meningkatkan potensi
wisata jembatan “Tukad Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara,
memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O):
meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja
sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata, (3) Strategi (S+T)
dan (W+T): meningkatkan promosi melalui berbagai media dan bentuk promosi
lainnya.
Saran: (1) Perlu dikembangkan pilot project penelitian di Kecamatan
Badung Selatan untuk mengembangan rumput laut dan mengembalikan kejayaan
jeruk Pecatu dan untuk Desa Jimbaran untuk pengembangan kegiatan bersifat
ekonomis selain wisata kuliner pantai dengan mengoptimalkan pemanfaatan CSR
dari perusahaan swasta, (2 ) Penelitian dimasa mendatang perlu disempurnakan
dengan menambahkan variabel non ekonomi seperti variabel kesejahteraan
sebagai variabel mediasi diantara Perkembangan Pariwisata dan Kemiskinan, (3)
Untuk mengetahui pengaruh peran pariwisata dan kinerja perekonomian
terhadap kemiskinan perlu didukung dengan lebih banyak data primer dari sumber
yang lebih luas, (4) Pengembangan penelitian berkelanjutan di Badung Utara, di
Kecamatan Petang, Desa Plaga dan Desa Belok Sidan untuk mengembangkan
pertanian modern secara terintegrasi, berbasiskan masyarakat dengan melibatkan
badan-badan internasional, pemerintah, dan swasta yang berpengalaman di bidang
pertanian modern.
xv
16
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN --------------------------------------------------- i
HALAMAN SAMPUL DALAM -------------------------------------------------- ii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR / KOPROMOTOR ----------------- iii
PENETAPAN PANITIA UJIAN --------------------------------------------------- iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ------------------------------------ v
UCAPAN TERIMA KASIH -------------------------------------------------------- vi
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------- ix
ABSTRACT -------------------------------------------------------------------------- x
RINGKASAN ------------------------------------------------------------------------ xi
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- xvi
DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------- xx
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- xxii
DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------- xxiii
DAFTAR SINGKATAN ------------------------------------------------------------ xxiv
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar Belakang ---------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah ----------------------------------------------- 14
1.3 Tujuan Penelitian ------------------------------------------------- 14
1.4 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------ 15
1.4.1 Manfaat teoritis ------------------------------------------- 15
1.4.2 Manfaat praktis ------------------------------------------ 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA ----------------------------------------------------- 16
2.1 Penelitian Terdahulu ---------------------------------------------- 16
2.2 Landasan Teori, Konsep Pariwisata dan Kemiskinan --------- 24
2.2.1 Teori Pemberdayaan ------------------------------------- 24
2.3 Konsep Pariwisata ------------------------------------------------- 31
2.3.1 Pengertian wisatawan ------------------------------------ 33
2.3.2 Pro Poor Tourism ---------------------------------------- 37
xvi
17
2.3.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based
Tourism) --------------------------------------------------- 39
2.3.4 Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) ------ 47
2.3.5 Industri Pariwisata ---------------------------------------- 49
2.3.6 Pengembangan Pariwisata ------------------------------- 51
2.3.7 Pariwisata dan Kinerja Perekonomian ----------------- 59
2.4 Konsep Kemiskinan ----------------------------------------------- 60
2.4.1 Jenis Kemiskinan ----------------------------------------- 61
2.4.2 Penyebab Kemiskinan ------------------------------------ 61
2.4.3 Pengentasan Kemiskinan -------------------------------- 64
2.4.4 Indikator Kemiskinan ------------------------------------ 66
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir ------------------------------------------------- 71
3.2 Kerangka Konsep Penelitian ------------------------------------- 76
3.3 Hipotesis------------------------------------------------------------ 78
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian --------------------------------------------- 82
4.2 Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian --------------------------- 83
4.3 Variabel Penelitian ------------------------------------------------ 86
4.3.1 Identifikasi Variabel -------------------------------------- 86
4.3.2 Definisi Operasional Variabel --------------------------- 86
4.4 Jenis dan Sumber Data -------------------------------------------- 90
4.4.1 Jenis Data -------------------------------------------------- 90
4.4.2 Sumber Data ----------------------------------------------- 90
4.5 Teknik Pengumpulan Data --------------------------------------- 92
4.5.1 Observasi -------------------------------------------------- 92
4.5.2 Wawancara Mendalam (In-depth Interview) ---------- 92
4.5.3 Studi Dokumen ------------------------------------------- 93
4.5.4 Diskusi Kelompok terfokus (Focus Group
Discussion) ------------------------------------------------ 93
xvii
18
4.5.5 Pemilihan Informan -------------------------------------- 94
4.6 Metode Analisis Data --------------------------------------------- 95
4.6.1 Analisis Kuantitatif --------------------------------------- 95
4.6.2 Analisis Kualitatif ---------------------------------------- 98
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Kabupaten Badung -------------------------- 99
5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Badung ----------------- 101
5.1.2 Potensi Sarana dan Prasarana Kepariwisataan -------- 105
5.1.3 Lokasidan Jenis Daya Tarik Wisata di Kabupaten
Badung ----------------------------------------------------- 106
5.1.4 Gini Ratio Kabupaten Badung -------------------------- 110
5.1.5 Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung ------ 115
5.2 Gambaran Umum Desa Penelitian ---------------------------- 117
5.2.1 Desa Pelaga ----------------------------------------------- 117
5.2.2 Desa Bilok Sidan ----------------------------------------- 118
5.2.3 Desa Jimbaran -------------------------------------------- 118
5.2.4 Desa Pecatu ----------------------------------------------- 119
5.3 Deskripsi Pariwisata dan Ekonomi Kabupaten Badung------- 119
5.3.1 Perkembangan Pariwisata Kabupaten Badung -------- 119
5.3.2 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung ------------ 127
5.3.3 Variabel Kemiskinan di Kabupaten Badung ---------- 133
5.4 Hasil Pengujian Partial Least Square (PLS) ------------------- 144
5.4.1 Hasil pengujian outer model atau measurement
model ----------------------------------------------------- 144
5.4.2 Hasil pengujian Discriminant validity ----------------- 147
5.4.3 Hasil pengujian Reliability ------------------------------ 148
5.4.4 Pengujian model struktural (inner model) ------------- 149
5.5 Pengaruh Perkembangan Pariwisata, Kinerja Perekonomian,
dan Kemiskinan --------------------------------------------------- 150
5.5.1 Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap
Kinerja Perekonomian ----------------------------------- 152
xviii
19
5.5.2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap
kemiskinan ------------------------------------------------ 154
5.5.3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap
kemiskinan ------------------------------------------------ 156
5.6 Investasi di Kabupaten Badung ---------------------------------- 158
5.6.1 Investasi di Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta
Selatan ----------------------------------------------------- 158
5.6.2 Indikator Sosial Kecamatan Petang dan Kecamatan
Kuta Selatan ----------------------------------------------- 160
5.7 Analisis SWOT ---------------------------------------------------- 161
5.7.1 Strategi Peningkatan Peran Pariwisata Dalam
Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung ------ 162
5.8 Kebaruan Penelitian ----------------------------------------------- 163
5.9 Implikasi Temuan Penelitian ------------------------------------- 164
5.10 Keterbatasan Penelitian ------------------------------------------- 165
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ----------------------------------------------------------- 166
6.2 Saran -------------------------------------------------------------- 167
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 169
LAMPIRAN-LAMPIRAN ---------------------------------------------------------- 185
xix
20
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara, ke Indonesia Tahun 2008-2013 Rata-rata Pengeluaran, Lama Tinggal dan Penerimaan Devisa ----------------------------------------------------- 4
Tabel 1.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali Tahun
2009-2013 --------------------------------------------------------------- 7 Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun 2009-
2013 ---------------------------------------------------------------------- 8 Tabel 1.4 Rata-rata Lama Tinggal, Pengeluaran, Jumlah Wisatawan
Mancanegaradan Nusantara di Bali 2009-2013 --------------------- 9 Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan
di Bali Tahun 2009-2013 ---------------------------------------------- 10 Tabel 1.6 Investasi; PDRB dan Kemiskinan KabupatenBadung -------------- 11 Tabel 2.1 Karakteristik Pro Poor Tourism (PPT) ------------------------------ 39 Tabel 2.2 Prinsip Perkembangan Pariwisata Berdasarkan Komunitas
(CBT) -------------------------------------------------------------------- 46 Tabel 2.3 Perusahaan Kelompok Industri Pariwisata dan Produknya
Masing-masing ---------------------------------------------------------- 50 Tabel 2.4 Manfaat dan Kerugian dari Perubahan Sosial, Lingkungan dan
Ekonomis Akibat Pengembangan Pariwisata------------------------ 58 Tabel 2.5 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan --------------------------------- 69 Tabel 2.6 Kedudukan Penelitian Diantara Peneliti-peneliti yang Lain ------- 70 Tabel 4.1 Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 85 Tabel 4.2 Deskripsi Konstruk/Variabel, Indikator, Skala Pengukuran dan
Sumber Referensi ------------------------------------------------------- 89 Tabel 4.3 Sampel Kabupaten Badung -------------------------------------------- 91 Tabel 5.1 Luas Wilayah Kabupaten Badung Per Kecamatan Tahun 2013 --- 100 Tabel 5.2 Jumlah dan Jenis Daya Tarik Wisata (DTW) di Kabupaten
Badung Tahun 2013 ---------------------------------------------------- 108
xx
21
Tabel 5.3 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Ke Kabupaten Badung Tahun 2009 -2013 -------------------------------------------- 110
Tabel 5.4 Jumlah RTS Menurut Status Kesejahteraan Hasil PPLS 2011 ---- 112 Tabel 5.5 Perkembangan Beberapa Indikator Pariwisata Di Kabupaten
Badung (X1) ------------------------------------------------------------ 125 Tabel 5.6 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung (X2) -------------------- 133 Tabel 5.7 Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013 ------------------ 141 Tabel 5.8 Outer Loadings --------------------------------------------------------- 145 Tabel 5.9 Outer Loadings (Model Revisi) --------------------------------------- 147 Tabel 5.10 Cross Loadings --------------------------------------------------------- 148
Tabel 5.11 Composite Reliability -------------------------------------------------- 148 Tabel 5.12 Nilai R-Squares --------------------------------------------------------- 149 Tabel 5.13 Pengaruh Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian
terhadap Kemiskinan --------------------------------------------------- 151 Tabel 5.14 Rencana dan Realisasi PMA dan PMDN di Kabupaten Badung -- 159
xxi
22
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kunjungan Wisatawan Internasional 2013 --------------------- 2 Gambar 3.1 Kerangka Berpikir ------------------------------------------------- 74 Gambar 3.2 Kerangka Konsep ------------------------------------------------- 76 Gambar 4.1 Lokasi Penelitian -------------------------------------------------- 85 Gambar 4.2 Jalur Analisis PLS ------------------------------------------------- 96 Gambar 5.1 Data Gini Ratio Provinsi Bali Tahun 2000 – 2013 ------------ 111 Gambar 5.2 Hasil analisis outer model penelitian---------------------------- 145 Gambar 5.3 Hasil revisi analisis outer model --------------------------------- 146 Gambar 5.4 Diagram Struktural Hasil Uji Inner Model --------------------- 150 Gambar 5.5 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis ------------------------------- 151
xxii
23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rasio Gini Provinsi Bali Tahun 2004-2013 -------------------- 185 Lampiran 2 Frequencies -------------------------------------------------------- 186 Lampiran 3 PLS Output 1 ------------------------------------------------------ 192 Lampiran 4 PLS Output (Model Revisi) -------------------------------------- 199 Lampiran 5 Tabel Analisis SWOT--------------------------------------------- 206 Lampiran 6 Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Analisis SWOT - 209 Lampiran 7 Data Hasil Dokumentasi Penelitian----------------------------- 211 Lampiran 8 Data Hasil Dokumentasi Penelitian ----------------------------- 214
xxiii
24
DAFTAR SINGKATAN
AVE : Average Variance Extracted
BPS : Badan Pusat Statistik
CBT : Community Based Tourism
CSR : Corporate Social Responsibility
GATS : General Agreement on Trade and Services
JED : Jaringan Ekowisata Desa
KM : Kemiskinan
KP : Kinerja Perekonomian
KUB : Kelompok-kelompok Usaha Bersama
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MICE : Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition
MP3EI : Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PDRB : Pendapatan Domestik Regional Bruto
PLS : Partial Least Partial
PP : Perkembangan pariwisata
PPT : Pro Poor Tourism
RTS : Rumah Tangga Sasaran
SWOT : Strength, Weakness, Opportunity dan Threat
UEP : Usaha Ekonomi Produktif
UNESCO : United Nations Educational Sience and Cultural Organization
UNWTO : United Nation World Tourism Organization
WTO : World Tourism Organization
xxiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pariwisata internasional merupakan sektor kegiatan
ekonomi global yang dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk
meningkatkan partisipasi mereka dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Bryden (1973) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata dan pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan mutualistis untuk mengentaskan kemiskinan.
Pariwisata Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan pariwisata
global sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi yang melahirkan persetujuan
umum tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade and Services)
disingkat GATS. Persetujuan ini membuka hambatan tarif pada perdagangan jasa
di dunia dan diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2011. GATS membuka ruang
bagi pariwisata untuk bertumbuh menjadi salah satu industri jasa terbesar di
dunia, berperan sebagai penggerak (driving force) ekonomi global dengan regulasi
perdagangan dan jasa yang menguntungkan industri pariwisata negara maju.
Sejalan dengan Bryden (1973), Gibson (2009: 527-528) dan Leon (2006:
341) menyatakan bahwa pariwisata bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi
negara-negara sedang berkembang. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian
spektakuler kunjungan wisatawan internasional sebanyak 1,087 miliar pada tahun
2013, meningkat lima persen atau sebanyak 52 juta wisatawan dari tahun 2012
(1,075 miliar). Dari angka tersebut, 258 juta wisatawan berkunjung ke Asia
Pasifik, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya. Eropa sebagai penerima
1
2
kunjungan tertinggi sebanyak 563 juta wisatawan, meningkat sebesar lima persen
(534 juta) dari tahun sebelumnya. Amerika menerima 167 juta wisatawan dengan
kenaikan sebesar 3.6 persen seperti disajikan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Kunjungan Wisatawan Internasional 2013
Sumber (UNWTO, 2014).
Penerimaan pariwisata internasional tahun 2013 sebesar USD 1.159 miliar
meningkat lima persen dan Gross Domestic Product bertumbuh sembilan persen
menjadi USD 7.227,1 juta dari tahun 2012. Meningkatnya jumlah kunjungan dan
pendapatan pariwisata internasional menunjukkan semakin besarnya kontribusi
pariwisata terhadap pemasukan devisa dan semakin terbukanya kesempatan kerja
dan peluang untuk meningkatkan ekspor komoditas lokal. Ashley, et al (2001: 2)
sejalan dengan Hall (2008:19-21) menyatakan bahwa untuk setiap pengembangan
pariwisata diperlukan peran negara sebagai perumus pembangunan dan
pengendali kebijakan publik. Hal ini dimaksudkan agar peran kebijakan publik
3
sebagai kontrol untuk mencegah dampak negatif perkembangan pariwisata dan
mampu berkontribusi positif terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan tujuan pengembangan pariwisata Indonesia pemerintah
mencanangkan program-program inovatif untuk memperbesar pendapatan devisa
dan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara. Pemerintah merancang
Master Plan Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development
2011-2025 yaitu Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mempercepat peningkatkan ekonomi
berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing daerah di Indonesia. Tahun
2013 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Pangestu, 2013:14-25), menargetkan kedatangan 8,6 juta wisatawan dengan
pemasukan devisa USD 10 miliar dan 258 juta wisatawan nusantara dengan
pendapatan Rp. 180,6 trilliun untuk tahun 2013. Untuk tujuan tersebut pemerintah
merancang program-program unggulan, yaitu: (1) menambah penerbangan
langsung dari pangsa pasar sedang bertumbuh (emerging markets) seperti China,
Korea, Taiwan dan Rusia serta meningkatkan kualitas fisik dan layanan Bandara
Internasional Ngurah Rai, (2) perluasan pelabuhan kapal pesiar (cruise ship
terminal) Benoa untuk meningkatkan daya tampung wisatawan dari 118.000
orang menjadi 500.000 orang pada tahun 2016, (3) peningkatan kunjungan
wisatawan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) atau
pertemuan, insentif, konvensi dan pameran di daerah tujuan pariwisata potensial
seperti Medan, Makasar, Manado, Batam, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, (4)
wisatawan dengan minat khusus seperti wisata kesehatan dan kebugaran (medical
4
and wellness tourism), peninggalan bersejarah (historical and heritage tourism)
eco wisata serta konservasi alam (ecotourism and concervation), dan sampai
kepada (5) pengembangan Raja Ampat, Wakatobi, Bunaken dan Kota Tua Jakarta.
Selain rencana mempercepat pengembangan untuk peningkatan nilai lebih
di sektor pariwisata, serta terpeliharanya lingkungan dan beragam sumber daya
alam, pemerintah menjaga kekayaan biodiversity bernilai tinggi, untuk
memperkuat posisi Indonesia menuju pariwisata hijau (green tourism). Didukung
oleh keindahan alam dengan iklim tropis yang hangat, sejarah panjang keunikan
Indonesia yang menjadi kekuatan bangsa seperti warisan budaya bangsa
adiluhung, masyarakat yang hangat dan ramah, keamanan dan politik dalam
negeri yang stabil ikut memperkuat citra Indonesia sebagai daerah tujuan wisata
yang nyaman dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Pengembangan daerah
tujuan wisata di berbagai wilayah dengan beragam etnik dan sosial budaya
masyarakat, menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia.
Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada
tahun 2009-2013 seperti disajikan pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara, ke Indonesia tahun 2008-2013
Rata-rata Pengeluaran per hari, Lama Tinggal dan Penerimaan Devisa
TAHUN JUMLAH WISATAWAN
RATA-RATA PENGELUARAN
(USD)
RATA-RATA LAMA TINGGAL (HARI)
PENERIMAAN DEVISA (JUTA
USD) 2009 6.323.730 995,93 7,69 6.302,50 2010 7.002.944 1.085,75 8,04 7.063,45 2011 7.649.731 1.118,26 7,84 8.060,00 2012 8.044.462 1.133,35 7,70 9.010,00 2013 8.802.129 1.142,24 7,65 10.050,00 Total 37.822.996 5.476,00 31,00 40.486,00
Rata-Rata 7.564.599 1.095,00 6,30 8.097,00 Sumber: Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ) Kemenparekraf, Biro
Pusat Statistik, 2014
5
Selama lima tahun berturut-turut, kunjungan wisatawan mancanegara ke
Indonesia meningkat dari 6.323.730 orang tahun 2009, menjadi 8.802.129 orang
pada tahun 2013 dengan pengeluaran per hari sebesar USD 1.142,24/orang.
Penerimaan devisa meningkat secara signifikan yaitu sebesar USD 6.302,50 juta
pada tahun 2009 meningkat menjadi USD 10.050,00 juta pada tahun 2013.
Menarik untuk diketahui bahwa selama terjadinya krisis ekonomi dunia tahun
2009 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tidak mengalami
penurunan tetapi sebaliknya terjadi peningkatan kunjungan dari tahun ketahun.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan pariwisata nasional pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009, menempatkan
pariwisata Indonesia sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional.
Selain sebagai lokomotif pemasukan devisa, pariwisata juga bertanggung jawab
terhadap perlindungan nilai-nilai agama, sosial budaya, lingkungan hidup serta
memberi manfaat keadilan dan terhadap keseimbangan pemerataan pendapatan
masyarakat.Terkait tujuan ini dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
No 64 Tahun 2014 tentang peningkatan penyelenggaraan sektor kepariwisataan.
Penelitian Tosun (2000: 32) dan Eyben et al (2008) menyatakan bahwa
pariwisata diwajibkan mengikutsertakan peran masyarakat dalam penyediaan
produk pertanian hasil dari masyarakat sendiri. Penelitian tentang penanganan
pemerataan pendapatan masyarakat lokal di banyak negara sedang berkembang
dilakukan dengan memberikan pelatihan secara berkelanjutan tentang peningkatan
kualitas produk pertanian, mempercepat proses, memperpendek jaringan distribusi
produk-produk yang dihasilkan masyarakat setempat untuk kebutuhan pariwisata.
6
Selanjutnya pariwisata Bali sebagai salah satu tujuan wisata populer di
dunia muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat tradisional yang penuh
toleransi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pariwisata
itu sendiri. Ubud pada tahun 1930-an telah dikenal oleh wisatawan mancanegara
dan berkembang menjadi tempat berkumpulnya pelukis Rudolf Bonnet, Walter
Spies, Antonio Blanco, Han Snel, Arie Smith, dan penulis Rose Covarubias (Tara
et al 2004: 22). Dewasa itu Ubud telah menjadi magnet dan berdampak sangat
positif terhadap pertumbuhan pariwisata Bali sehingga pada tahun 1960-an Ubud
menjadi terkenal sebagai tujuan wisata yang exotic bagi wisatawan mancanegara.
Dibalik keterbatasan terhadap sumber daya alam, Bali terkenal akan
kehidupan sosial budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Kepariwisataan yang
dikembangkan di Bali sesuai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun
2012 adalah pariwisata budaya dengan Konsep Tri Hita Karana sebagai dasar
pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Tri Hita Karana
merupakan filosofi keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam di sekitar kita, dikembangkan
sebagai kekuatan spiritual dari kehidupan masyarakat Bali. Harmonisasi yang
bersifat vertikal dan horizontal, tidak hanya bermanfaat terhadap keberlangsungan
tatanan kehidupan religiusitas masyarakat tetapi juga menjadi akar budaya yang
kokoh bagi masyarakat Bali. Konsep Tri Hita Karana sangat terkait dengan
pelestarian alam, dan keunikan dari tradisi masyarakat yang unik sebagai kekuatan
bagi keberhasilan pariwisata Bali yang dilandasi oleh falsafah Agama Hindu.
7
Sebagai nafas kehidupan masyarakat Bali, Tri Hita Karana sangat relevan
untuk dijadikan dasar pertumbuhan pariwisata Bali (Geriya, 2010: 26). Semakin
meningkatnya perkembangan pariwisata mencerminkan bahwa Bali sebagai
tujuan wisata terbaik dunia, akibat dari dukungan masyarakat yang hangat dan
terbuka dengan keunikan sosial budaya. Peningkatan kunjungan wisatawan
mancanegara ke Bali dapat disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali Tahun 2009-2013
BULAN TAHUN 2009 2010 2011 2012 2013
Januari 174.541 179.273 209.093 231.675 232.935 Februari 147.704 191.926 207.195 230.103 241.868 Maret 168.205 192.579 207.907 231.257 252.210 April 188.776 192.579 224.704 249.006 242.369 Mei 190.803 203.388 209.058 231.721 247.972 Juni 200.566 228.045 245.652 272.400 275.667 Juli 235.198 254.907 283.524 314.244 297.878 Agustus 232.255 243.154 258.377 286.281 309.219 September 218.443 240.947 258.440 287.625 305.629 Oktober 221.282 229.904 247.565 257.288 266.562 November 184.803 199.861 221.603 246.626 307.276 Desember 222.546 227.251 253.591 281.159 299.013 Jumlah Pertumbuhan
2.385.122 2.576.142 2.826.709 3.137.385 3.278.598 +8 % +9,7 % +11 % +4,5 %
Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014
Persentase peningkatan kunjungan tertinggi sebesar 11 persen terjadi pada
tahun 2012 sebesar 3.137.385 wisatawan. Walaupun jumlah kunjungan wisatawan
tahun 2013 meningkat menjadi 3.278.598 dengan peningkatan sebesar 4,5 persen.
Hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah kedatangan wisatawan
dibandingkan dengan peningkatan penambahan jumlah hotel dari 159 hotel pada
tahun 2009 meningkat menjadi 227 hotel pada tahun 2013 (BPS Bali, 2014).
8
Semakin banyak dan beragamnya penambahan fasilitas dan layanan wisata
seperti bertumbuhnya budget hotel di daerah tujuan wisata Kota Denpasar dan
Badung Selatan serta tersedianya layanan wisatawan yang bervariasi mendorong
lebih banyaknya wisatawan berkunjung ke Bali. Faktor-faktor lainnya yang
mendukung pertumbuhan pariwisata, yaitu : (1) jarak tempuh yang relatif pendek
dari kota-kota besar di Indonesia, (2) tersedianya paket wisata yang menarik dan
tersedianya low cost airfare oleh Lion Air, AirAsia dan Citylink, (3) semakin
terjangkaunya biaya perjalanan wisata dan terjadinya perubahan pola hidup
dimana berwisata sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Dengan
kondisi yang menguntungkan tersebut, memungkinkan Bali bertahan sebagai
tujuan wisata sangat populer bagi wisatawan nusantara. Hal ini berdampak
terhadap semakin meningkatnya kunjungan wisatawan nusantara ke Bali dengan
peningkatan sebesar lima belas persen pada tahun 2013 sejumlah 6.976.536
wisatawan dibandingkan dengan tahun 2012 sebanyak 6.063.558 wisatawan.
Jumlah kunjungan wisatawan nusantara ke Bali seperti disajikan pada Tabel 1.3
Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun 2009-2013
BULAN TAHUN
2009 2010 2011 2012 2013 Januari 264.915 346.575 280.588 333.199 426.360 Februari 204.419 238.789 340.508 305.934 369.525 Maret 255.203 202.995 358.313 307.616 431.393 April 247.100 396.898 385.228 331.378 403.211 Mei 289.635 421.369 463.452 525.076 456.491 Juni 304.213 455.456 568.264 569.635 785.053 Juli 340.610 489.307 573.103 524.334 474.769 Agustus 280.972 377.570 440.751 661.334 878.278 September 352.257 594.662 609.633 572.359 473.697 Oktober 330.337 391.722 526.302 667.703 758.351 November 285.526 361.395 574.016 545.348 678.748 Desember 365.948 366.605 554.963 719.642 840.660 Total Pertumbuhan 3.521.135 4.646.343 5.675.121 6.063.558 6.976.536
+32 % +22 % +6,8 % +15 % Sumber: Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Bali, 2014
9
Meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali berdampak terhadap semakin
besarnya Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan bertumbuhnya
kegiatan ekonomi mikro yang tersebar di seluruh Bali. Dampak lainnya dapat
dilihat dari semakin tersedianya berbagai lapangan pekerjaan disektor pariwisata.
Terbukanya kesempatan kerja dengan ketrampilam terbatas seperti pelayanan
porter di airport, pekerjaan kasar di hotel, pemandu wisata, dan beragam
pekerjaan di berbagai usaha layanan wisata lainnya. Dinas Pariwisata Bali (2014:
58) mencatat pengeluaran rata-rata seorang wisatawan nusantara tahun 2009-2013
sebesar 548.000 rupiah per hari dengan rata-rata lama tinggal selama empat hari.
Pengeluaran wisatawan mancanegara sebesar USD 158,60 seorang per
hari dengan rata-rata lama tinggal selama 9,24 hari. Pengeluaran wisatawan
tersebut sudah termasuk biaya akomodasi, makan minum dan biaya perjalanan
lainnya, tidak termasuk biaya penerbangan. Rata-rata lama tinggal, pengeluaran
dan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Bali pada tahun
2009-2013 seperti disajikan pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4 Rata-rata Lama Tinggal, Pengeluaran, Jumlah Wisatawan
Mancanegara dan Nusantara ke Bali 2009-2013
Tahun
Wisatawan Mancanegara Wisatawan Nusantara
Jumlah Wisatawan
Lama Tinggal/
Hari
Pengeluaran/ Hari USD
Jumlah Wisatawan
Lama Tinggal/
Hari
Pengeluaran/ Hari Rp
2009 2.385.122 9,65 137,90 3.521.135 4,2 516.000 2010 2.576.142 8,75 147,40 4.646.343 4,4 503.000 2011 2.826.709 9,49 154,87 5.675.121 3,9 592.000 2012 3.137.385 9,27 155,27 6.063.558 3,6 635.000 2013 3.278.598 9,10 147,33 6.976.536 3,7 494.000
Rata-rata 2.840.791 9,24 158,60 5.376.539 4.0 548.000 Sumber: Dinas Pariwisata Bali, 2014.
10
Gambaran peran pariwisata menurut Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2014)
ditunjukkan oleh tingginya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali tahun 2009-
2013. Sementara itu persentase penduduk miskin di Bali masih berada pada
kisaran empat persen atau rata-rata 170.298 orang/tahun. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pariwisata merupakan sektor unggulan sebagai penggerak
kinerja perekonomian dan pembangunan di Bali, namun belum sepenuhnya
mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat Bali. Jumlah dan persentase
penduduk miskin dan garis kemiskinan di Bali seperti disajikan pada Tabel 1.5.
Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Bali
Tahun 2009-2013
Tahun Jumlah Penduduk
Miskin (Orang)
Persentase Penduduk Miskin
(%)
Garis Kemiskinan, per kapita/bulan
(Rp) 2009 181.700 5,13 196.466 2010 174.900 4,88 208.152 2011 166.200 4,20 233.172 2012 168.800 4,18 249.997 2013 159.890 3,95 295.210
Rata-rata 170.298 4,00 236.599 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014
Pariwisata Kabupaten Badung memiliki posisi strategis dengan adanya
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sebagai pintu gerbang utama masuknya
wisatawan mancanegara dan nusantara. Posisi strategis ini semakin memperkuat
Kabupaten Badung sebagai pusat pertumbuhan investasi di bidang pariwisata.
Didukung oleh Kecamatan Kuta Selatan yaitu Desa Jimbaran dan Desa Pecatu
sebagai daerah pariwisata intensif. Tingginya perkembangan pariwisata di
Kecamatan Kuta Selatan, semakin memperkuat posisinya sebagai penyumbang
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar untuk Kabupaten Badung.
11
Sedangkan desa Plaga dan Belok Sidan sebagai daerah pariwisata non-intensif di
Badung Utara sebagai daerah pertanian dengan udara sejuk dan ekowisatanya
yang dikelola masyarakat, menjadi daya tarik wisatawan untuk ke Badung Utara.
Pengembangkan pariwisata model ini sejalan dengan Giampiccoli dan Kalis,
(2012: 2) tentang community based tourism dan manfaatnya bagi masyarakat.
Pesatnya pertumbuhan pariwisata dan dampak positifnya terhadap
perkembangan perekonomian di Kabupaten Badung terlihat dari peningkatan
investasi dan penerimaan PDRB Kabupaten Badung. Popularitas dan pesatnya
pertumbuhan sebagai tujuan pariwisata di Badung didukung oleh keberadaan
hotel-hotel mewah berstandar nasional maupun internasional seperti The Ayana,
Banyan Tree Uluwatu, Le Grande Bali, Four Seasons dan tersedianya sarana
pendukung pariwisata bertaraf internasional lainnya menjadikan Kabupaten
Badung daerah terkaya di Bali. Dibalik kebesaran nama Badung dengan predikat
kabupaten terkaya di Bali, Badan Pusat Statistik Badung mencatat masih adanya
kemiskinan di Kabupaten Badung seperti disajikan pada Tabel 1.6 berikut ini.
Tabel 1.6 Investasi, PDRB dan Kemiskinan di Kabupaten Badung
Tahun Investasi ( Ribuan Rupiah )
PDRB ( Jutaan Rupiah )
Jumlah Penduduk Miskin
Persentase Penduduk Miskin (%)
Garis Kemiskinan (Rupiah)
2009 2,362,541,294 12,875,498.13 13.950 3,28 282,559 2010 1,890,474,000 14,926,782.41 17.700 3,23 312,602 2011 8,536,644,646 16,403,381.18 14.630 2,62 346,460 2012 5,334,590.363 18,996,102.98 12.510 2,16 376,092 2013 6,046,968,601 20,988,078.20 14.550 2,46 406,408 Rata-rata 4,834,243,780.80 16,837,968.58 14.670 2,75 344,824
Sumber : BPS Badung, 2014, Bappeda Provinsi Bali 2014
12
Masih adanya kemiskinan di Kabupaten Badung dan ketidakseimbangan
Badung Utara dan Badung Selatan perlu disinergikan dengan menjadikan
pertanian di Badung Utara sebagai basis dari penggembangan agrowisata
berkelanjutan (sustainable tourism) sebagai pilar pertumbuhan perekonomian
(UNWTO, 2013: 21). Untuk memperkecil ketidakseimbangan pertumbuhan
ekonomi Badung Utara dengan Badung Selatan dilakukan dengan dukungan
infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai untuk mempercepat
pertumbuhan pariwisata di Badung Utara. Sejalan dengan Ashley et al (2001)
melalui perencanaan pengembangan yang baik, pertumbuhan pariwisata akan
berdampak positif terhadap mengentaskan kemiskinan. Sebaliknya menurut
Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) tanpa perencanaan pengembangan
yang baik, pariwisata tidak mampu mengentaskan kemiskinan:
”Within tourism planning there has been a growing realization that tourism development may not be alleviating poverty and that pro poor policies and practices must develope”. Ancaman yang dihadapi Kabupaten Badung dalam pengembangan
pariwisata yaitu tidak terkendalinya pertumbuhan hotel berbintang dengan jumlah
281 hotel pada tahun 2014. Semakin banyaknya pertumbuhan hotel terutama
dibangunnya city hotels dan munculnya private villas yang tidak terkendali, akan
semakin tidak terhindarkan terjadinya persaingan tidak sehat dan terjadinya
perang harga di dalam pengembangan pariwisata. Walaupun di sisi lain
penerimaan Pemerintah Kabupaten Badung terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) pada tahun 2014 mencapai Rp. 23,556 (triliun), tetapi persaingan
harga yang tidak sehat akan berdampak terhadap semakin murahnya penawaran
13
harga kamar hotel yang berdampak langsung terhadap penerimaan PHR dan
terhadap program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung.
Alasan memilih perkembangan pariwisata terhadap dampak kemiskinan di
Kabupaten Badung didasarkan atas hasil kesimpulan teoritis dua peneliti berbeda
dan masih terdapatnya orang-orang miskin di Kabupaten Badung sebagai berikut:
1) Kelompok Ashley et al (2001), Spenceley dan Seif (2003), Tores dan
Momsen (2004: 249-5) dan Anwar (2012) menyatakan bahwa pengembangan
pariwisata melalui partisipasi masyarakat secara langsung berdampak positif
dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Penerapan pro poor tourism
dengan memberikan perhatian dan kesempatan kepada masyarakat dalam
kegiatan pariwisata memberi dampak positif terhadap meningkatnya
kesejahteraan masyarakat dan berkurangnya jumlah penduduk miskin.
2) Kelompok Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) menyatakan bahwa
pengembangan pariwisata belum mampu mengentaskan kemiskinan.
3) BPS Badung (2014) menyatakan masih adanya penduduk miskin di
Kabupaten Badung dengan rata-rata sebanyak 14.670 orang/tahun dari tahun
2009-2013, dan rata-rata garis kemiskinan sebesar Rp. 344.824
4) Pernyataan informan yang menyatakan bahwa masih terdapat masyarakat
miskin di Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan tanpa pemilikan tanah dan di
Desa Pecatu dan Jimbaran.
14
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang,masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja
perekonomian masyarakat di Kabupaten Badung?
2) Bagaimanakah pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung?
3) Bagaimanakah pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung?
4) Bagaimanakah strategi untuk peningkatan peran pariwisata dalam pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Badung ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pariwisata
dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Badung, sedangkan tujuan khusus
penelitian ini adalah:
1) Menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja
perekonomian di Kabupaten Badung.
2) Menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung.
3) Menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung.
4) Merumuskan strategi untuk meningkatan peran pariwisata dalam pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Badung.
15
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, khususnya
di bidang manajamen pariwisata yang berorientasi pada pengentasan
kemiskinan (propoor tourism).
2) Hasil penelitian dijadikan dasar untuk membuat konsep dan strategi secara
komprehensif mengenai peran pariwisata, dalam pengentasan kemiskinan
(poverty alleviation) melalui penyediaan kesempatan kerja, peningkatan dan
pemerataan pendapatan, didukung oleh pendidikan dan pelatihan-pelatihan
tentang kepariwisataan bagi masyarakat di Kabupaten Badung.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini dapat dijadikan masukan sebagai berikut:
1) Masukan bagi Pemerintah Kabupaten Badung, untuk merekonstruksi program
pengelolaan pariwisata dalam menentukan langkah-langkah mengentaskan
kemiskinan sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat.
2) Bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) pariwisata khususnya
pemerintah yang diwakili oleh Bappeda dan Dinas Pariwisata Kabupaten
Badung serta pengusaha swasta di bidang pariwisata untuk menerapkan
kebijakan pro poor tourism.
3) Masukan bagi para pemerhati lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan
penggiat pariwisata sebagai acuan dalam pendampingan jalannya
pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelusuran pustaka terkait dengan peran pariwisata dalam pengentasan
kemiskinan dilakukan melalui buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah dan publikasi cetak
lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Kajian pustaka ini didukung
oleh hasil penelitian sebelumnya yang banyak dilakukan di Afrika Selatan,
Bangladesh, Pakistan, Peru dan di sejumlah negara berkembang lainnya.
Penelitian pariwisata dan kemiskinan di Indonesia dilakukan Ashar, Nurhidayati,
Ramadani, dan Sudipa di Ubud Bali melengkapi penulisan kajian pustaka ini.
Penelitian Anwar (2012) dengan judul “Poverty Alleviation Through
Sustainable Tourism: A Critical Analysis of Pro Poor Tourism And Implications
For Sustainability In Bangladesh” dilakukan di daerah pariwisata berpenduduk
miskin di Bangladesh menyatakan bahwa pariwisata telah terbukti yaitu: (1)
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perekonomian masyarakat miskin di
Bangladesh, (2) mampu mempertahankan nilai sosial budaya masyarakat lokal
dari pengaruh asing, dan (3) mampu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan
masyarakat. Analisis kritis peran pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan di
Bangladesh menunjukkan bahwa: (1) dinamika pariwisata dengan pemanfaatan
tanah dan sumber daya alam lainnya secara berlebihan dan tidak terkontrol,
berdampak terhadap sangat mahalnya harga tanah dan harga komoditas lainnya,
(2) pemanfaatan atas tanah-tanah strategis yang dimiliki masyarakat secara turun
16
17
temurun yang dibeli oleh investor dengan harga murah, menjadikan masyarakat
miskin kehilangan tanah mereka dan terpinggirkan dari tempat kelahirannya.
Karim et al (2012) dalam penelitian tentang integrasi pro poor tourism
dalam pariwisata berbasis masyarakat (Integrating pro-poor tourism activities in a
community-based idea of development: the case of the district of Hunza-Neger,
Pakistan) mengemukakan bahwa secara ekonomi makro, industri pariwisata telah
menjadi salah satu industri global yang dimonopoli oleh negara maju dan
merambah hampir keseluruh negara sedang berkembang. Sebagai sebuah negara
berkembang, pariwisata Pakistan mampu menjadi motor untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya terhadap Gross Domestic Product
(GDP), terjadinya peningkatan ekspor produk pariwisata dan pendapatan pajak.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sebagai sebuah alternatif bagi
pengembangan pariwisata diawali dari tradisi sosial dan budaya masyarakat yang
diintegrasikan dengan masyarakat secara lebih luas didaerah yang berbasis
pariwisata dan non pariwisata. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kegiatan pro-
poor tourism dapat dijadikan strategi pengembangan komunitas yang lebih luas,
yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat yang termarginalkan.
Penelitian Wood (2005) tentang pariwisata yang berkelanjutan di Peru
utara dengan judul “Pro-poor tourism as a means of Sustainable Development in
the Uctubamba Valley, Northern Peru”, menekankan bahwa pendekatan pro poor
dimaksudkan untuk mengembangkan komponen masyarakat untuk ikut terlibat
dalam perencanaan masterplan di Peru Utara. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui manfaat dari penerapan pariwisata berbasis komunitas dengan
18
melakukan penelitian langsung ke sektor-sektor kegiatan ekonomi, termasuk
penelitian ke pasar tradisional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah
penerapan pariwisata berbasis masyarakat memiliki implikasi terhadap
pengembalian investasi dan pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya
alam. Penelitian Wood (2005) menyimpulkan sebagai berikut: (1) pelayanan
produk yang dihasilkan masyarakat apabila dikemas dengan baik bisa dijadikan
strategi diversifikasi komersial dalam rangka memenuhi permintaan pasar, (2)
kemampuan masyarakat untuk terlibat didalam kegiatan pariwisata sangat
menentukan keberhasilan dari penerapan pariwisata berbasis masyarakat.
Spenceley dan Seif (2003) menganalisis strategi dari lima perusahaan
swasta yang bergerak dibidang pariwisata di Afrika Selatan dengan tujuan untuk:
1) mengatasi masalah kemiskinan dalam mengembangkan pembangunan bagi
masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata dan, 2) menganalisis dampak
biaya terhadap pendekatan pro poor tourism di Afrika Selatan. Penelitian ini
dilakukan terhadap perusahaan pariwisata yang bergerak di bidang layanan wisata
safari, wisata diving, dan fasilitas kasino dengan fasilitas golf. Temuan penelitian
ini menyatakan terjadinya hubungan langsung antara keuntungan ekonomi dan
non-ekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan pro-poor tourism dan
dampak posisif pariwisata terhadap masyarakat miskin di pedesaan.
Ashley et al (2001) secara mendalam mengkaji pengalaman empiris
terhadap strategi pro poor tourism dari enam studi kasus yang dilakukan di
Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal. Penelitian dengan
judul Making Tourism Work For The Poor, menyatakan bahwa penelitian di
19
negara yang diteliti, dan menyatakan bahwa peran pro poor tourism (PPT) sangat
signifikan dan positif terhadap ha-hal sebagai berikut yaitu: (1) terhadap
terbukanya kesempatan kerja baru, (2) terjadinya peningkatan dan pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, (3) bertumbuhnya pelaku kegiatan
ekonomi mikro dan, (4) semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin.
Scheyvens dan Momsen (2008) meneliti tentang pengurangan kemiskinan
di negara kepulauan kecil (Tourism and Poverty Reduction: Issues for Small
Island States), menyatakan bahwa hampir semua negara di kepulauan kecil
menggantungkan harapan dari pariwisata sebagai sumber pendapatan devisa untuk
pembangunan negaranya. Hasil penelitian ini didukung Torres and Momsen
(2004: 294-5) menyatakan bahwa industri pariwisata merupakan mesin
pertumbuhan ekonomi bagi negara kepulauan kecil sebagai sumber devisa,
meningkatkan penerimaan pajak dan terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat.
Penelitian Nurhidayati (2012) dengan judul “Pengembangan Agrowisata
Berkelanjutan Berbasis Masyarakat, Kota Batu, Jawa Timur” menyatakan bahwa
Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat merupakan
salah satu pendekatan yang dapat diterapkan sebagai sebuah alternatif strategi
pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat setempat untuk meningkatkan
kesejahteraan. Prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan
agrowisata dikaji dan diterapkan sesuai dengan faktor-faktor yang ada korelasi
dan berpengaruhnya terhadap keberhasilan agrowisata. Peneliti mencatat bahwa
penerapan prinsip ekonomi dari pariwisata agrowisata berbasis masyarakat kota
Batu Jawa Timur berdampak positif terhadap: (1) penyerapan tenaga kerja lokal,
20
(2) bertumbuhnya usaha makro untuk menunjang kebutuhan pariwisata melalui
kegiatan yang dilakukan masyarakat, (3) berdampak terhadap meningkatnya
pendapatan masyarakat yang diterima dari wisatawan (4) berdampak pada
perubahan nilai sosial masyarakat akibat pertukaran nilai budaya yang muncul
dari interaksi wisatawan dengan tuan rumah dan, (5) terjalinnya silang budaya
sebagai simbul modernitas antara wisatawan dan masyarakat sebagai tuan rumah.
Penelitian Ramadani (2012) berjudul ”Perencanaan Pariwisata Pro-
Masyarakat Miskin” (pro poor tourism) di Kampung Baru, Jakarta Barat sebagai
daerah tujuan wisata berkelanjutan dengan fokus penelitian tentang penyediaan
layanan tentang kenyamanan kepada wisatawan dan strategi pengelolaan
pariwisata untuk mempertahankan Kampung Wisata Budaya di Kampung Baru di
wilayah Jakarta Barat. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melibatkan
masyarakat miskin dalam pengembangan pro poor tourism membuktikan bahwa
pariwisata mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kampung Baru di Jakarta
Barat. Ramadani menyimpulkan bahwa pro poor tourism bermanfaat dalam
pengentasan kemiskinan melalui: (1) semakin terciptanya kesempatan kerja baru,
(2) pertumbuhan perekonomian bagi masyarakat miskin, dan (3) semakin
meningkat pemerataan pendapatan masyarakat dan berkurangnya kemiskinan.
Ashar (2008) meneliti tentang ”Studi Model Kelembagaan Pengentasan
Kemiskinan Melalui Industri Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal Di Jawa
Timur”. Alasan memilih lokasi penelitian dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Jawa Timur melebihi dari angka rata-rata kemiskinan nasional. Tujuan penelitian
tersebut untuk memformulasikan konsep kelembagaan yang mampu membuka
21
peluang kerja bagi masyarakat atau rumah tangga miskin di daerah tujuan wisata
di Jawa Timur agar kegiatan pariwisata mampu memberikan kontribusinya yang
positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Menurut Ashar (2008), untuk
mengentaskan kemiskinan diperlukan tiga unit kajian dalam industri pariwisata
yaitu: (1) unit usaha pariwisata, (2) wisatawan, dan (3) rumah tangga kurang
mampu. Melalui pemahaman struktur perekonomian di daerah pariwisata, peneliti
mendapatkan gambaran yang jelas tentang intensitas hubungan industri pariwisata
dengan perekonomian setempat, kapasitas sumberdaya ekonomi kaum miskin,
tingkat pendidikan, keterampilan dan kesiapan masyarakat untuk mendapatkan
pekerjaan. Penelitian Ashar (2008) sejalan dengan Ashley et al (2001) dan
Cattarinich (2001) menyatakan bahwa peran sektor pariwisata sangat positif bagi
pertumbuhan perekonomian mikro bagi masyarakat miskin. Masyarakat terlibat
menciptakan beragam produk-produk cendera mata yang dibutuhkan wisatawan.
Wahyudi (2007) meneliti tentang Pariwisata, Pengentasan Kemiskinan dan
Millenium Development Goals (MDGs) menyatakan bahwa manfaat pariwisata
tidak terbatas hanya sebagai sumber pemasukan devisa tetapi juga berperan untuk
peningkatan penerimaan pajak, masuknya investasi dan terbukanya peluang
kesempatan kerja untuk pemerataan pendapatan masyarakat dan mengurangi
kemiskinan. Wahyudi menyatakan bahwa semakin tingginya kebutuhan manusia
untuk berekreasi mendorong semakin pesatnya perkembangan pariwisata dan bisa
menjadi salah satu jawaban terhadap pengentasan kemiskinan. Penelitian
Wahyudi (2007) sejalan dengan penelitian Gibson (2009) menyatakan bahwa
pengentasan kemiskinan dimaksudkan bukan sebagai upaya belas kasihan tetapi
22
sebagai program pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat dengan konsep
ekonomis yang saling menguntungkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Melalui pengembangan pariwisata akan terbuka berbagai peluang bagi
masyarakat, seperti : (1) terbukanya kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau
pekerjaan paruh waktu dibidang pariwisata, (2) bagi masyarakat yang karena
terbatasnya pendidikan dan tidak mempunyai keterampilan tertentu, bisa
dipekerjakan sebagai pemandu wisatawan untuk snorkeling, trecking, atau jasa
pemandu wisata lainnya, (3) masyarakat setempat diuntungkan karena mendapat
tambahan pendapatan dari pelayanan yang mereka berikan kepada wisatawan, (4)
keuntungan lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat berupa kesempatan
untuk memulai kegiatan usaha kecil seperti membuka warung makanan dan
minuman. Untuk usaha ini harus diberikan pendidikan dan pelatihan kepada para
pekerja tentang pentingnya kebersihan dan sanitasi dari makanan yang disajikan
dan etika melayani wisatawan, dan (5) untuk menyediakan sarana transportasi
seperti sepeda dayung, sepeda motor atau mobil untuk angkutan wisatawan.
Sudipa (2014) meneliti ”Kemiskinan Dalam Perkembangan Industri
Pariwisata di Kelurahan Ubud” menyimpulkan bahwa: (1) pesatnya
perkembangan pariwisata telah mengangkat Ubud menjadi salah satu tujuan
wisata terkenal di dunia. Pendapatan dari sektor pariwisata dimanfaatkan untuk
mengentaskan kemiskinan melalui kebijakan finansial dan non finansial, di
dukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan
pendampingan dalam melaksanakan program pemerintah, (2) masih adanya
23
kemiskinan struktural di Ubud akibat dari faktor eksternal berupa kebijakan
pemerintah yang kurang tepat dalam menangani kemiskinan. Hal ini dapat dilihat
dari penanganan yang kurang terpadu, tidak jelasnya acuan yang dipakai dan
terjadinya penanganan yang tumpang tindih dalam pengentasan kemiskinan, (3)
faktor internal berdampak terhadap munculnya kemiskinan alamiah akibat dari
rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak terhadap rendahnya
kinerja, (4) ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses sumber daya alam
yang terbatas dari dari pemiliki modal yang berkorabolasi dengan penguasa, (5)
kemiskinan dan kesenjangan masyarakat memunculnya apatisme di masyarakat,
dan (6) ketidak berhasilan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan
mewariskan masyarakat miskin secara turun temurun.
Penelitian Ashley et al (2001), Eyben et al (2008), dan Tosun (2000: 32)
yang dilakukan di Afrika dan Bangladesh menyatakan bahwa pariwisata
berdampak positif terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Penerimaan pariwisata dari devisa dan dari sumber lainnya bermanfaat untuk
pembangunan bangsa dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pembangunan pariwisata membuka masuknya investasi padat modal dan padat
karya, bertambahnya lapangan kerja dan untuk meningkatkan daya beli rakyat.
3. Pengelolaan pro-poor tourism sebagai sebuah model pariwisata melalui
pemberdayaan dan dengan melibatkan masyarakat secara langsung berdampak
positif dalam pengentasan kemiskinan
4. Untuk tercapainya tujuan pro-poor tourism diperlukan konsep pengembangan
daerah pariwisata yang terintegrasi dengan kepentingan masyarakat miskin.
24
5. Pendekatan pro-poor memberikan keuntungan secara langsung (direct profit)
kepada masyarakat miskin secara ekonomis maupun non-ekonomis.
2.2 Landasan Teori, Konsep Pariwisata dan Kemiskinan
2.2.1 Teori Pemberdayaan
Teori pemberdayaan berasal dari ilmu psikologi kemasyarakatan, pada
umumnya digunakan untuk meneliti tentang konsep kejiwaan terkait dengan
pengembangan pribadi atau sekelompok orang atau masyarakat secara umum.
Menurut Rappaport (1987: 139-142), pemberdayaan bermanfaat untuk
meningkatkan kemampuan seseorang dalam menentukan pilihan terhadap
kepentingan yang berdampak positif bagi diri sendiri, dan didefinisikan sebagai
sebuah pengembangan konsep teoritis, secara luas sebagai pendekatan untuk
memecahkan masalah sosial dari ketidakberdayaan masyarakat (developed the
concept theoretically and presented it as a worldview that includes a social policy
and anapproach to the solution of social problems stemming from powerlessness).
Perkins dan Zimmerman (1995: 570-571), menyatakan bahwa
pemberdayaan merupakan sebuah proses partisipasi berkesinabungan dan
dilakukan secara terstruktur untuk menghilangkan berbagai keterbatasan menuju
hasil akhir seperti untuk membangun kerjasama, kepercayaan diri, kematangan
emosi, kemampuan beradaptasi, toleransi dan mengasah diri, sesuai dengan
tujuan pemberdayaan (theories of empowerment include both processes and
outcomes, suggesting and actions, activities, or structures may be empowering,
and that the outcome of such process result in a level of being empowered).
25
2.2.1.1 Definisi Pemberdayaan
Definisi umum tentang pemberdayaan dimaknai sebagai sebuah proses
sosial yang bersifat multidimensional dan bertujuan untuk membantu mengatasi
kehidupan individu-individu maupun kelompok-kelompoak masyarakat tertentu
dalam lingkungannya masing-masing dengan melibatkan diri secara mendalam
terhadap masalah-masalah penting yang terjadi di masyarakat (Page et al, 1995).
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat dimaknai
sebagai usaha untuk mengembangkan dan melepaskan diri dari kemiskinan dan
keterbelakangan, menuju kepada kemandirian ekonomi, sosial, budaya dan
politik. Dalam arti luas termasuk tentang penguasaan teknologi, pemilikan modal,
dan akses terhadap sumber informasi dan manajemen. Konsep pemberdayaan
masyarakat (community empowerment) menjadi dasar community based
development) dimana masyarakat sebagai tulang panggung pembangunan
berperan aktif dalam proses pemberdayaan untuk mendorong masyarakat menjadi
mandiri, melepaskan dari kemiskinan dan keterbelakangan (Kartasasmita, 1997).
Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk membantu masyarakat
atau individu yang lemah berkompetisi secara efektif dengan kelompok lain,
dengan membantu mereka melalui pengajaran melakukan pendekatan, melalui
media, turut melibatkan diri dalam kegiatan politik dan menyadarkan mereka
tentang bagaimana bekerja di dalam sebuah sistem (Empowerment is a process of
helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with
other interests, by helping them to learn anduse in lobbying, using the media,
engaging in political action, understanding how to work the system). Definisi ini
26
dimaksudkan agar masyarakat maupun individu yang lemah diberikan bantuan
pelatihan dan kesempatan menumbuhkan rasa percaya diri untuk menjadi kreatif
dan meningkatkan kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan.
Pemberdayaan juga diartikan sebagai pembagian kekuasaan untuk
meningkatkan kesadaran politik dan mendorong masyarakat lemah untuk
memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dari hasil pembangunan yang
mereka bisa nikmati (Bonfigliali, 2003: 125). Konsep pemberdayaan menurut
Friedman (2002: 43) adalah pembangunan sebagai sebuah alternatif yang
mengutamakan kegiatan politik melalui pengambilan keputusan yang mandiri
melalui partisipasi demokrasi dan pembelajaran sosial untuk melindungi
kepentingan rakyat baik untuk kepentingan individu atau kelompok masyarakat.
Proses pemberdayaan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama
memiliki dua kecenderungan, yaitu:
1. Kecenderungan primer, yaitu melaui sebuah proses dengan membangun dari
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada kelompok-kelompok
masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya guna. Pemberdayaan
berarti meningkatkan kesadaran dari potensi miliknya dan melengkapinya
dalam upaya membangun kemandirian melalui organisasi.
2. Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong, memotivasi dan mengembangkan orang-orang agar
mempunyai kemampuan dan kemandirian ekonomis, politik dan sosial budaya
sebagai pilihan hidup melalui sebuah proses dialog (Sumodiningrat, 2002: 37).
27
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) atau sebagai sebuah mekanisme untuk mencegah
terjadinya proses pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang akhir-akhir ini banyak
dikembangkan sebagai upaya untuk mencari sebuah alternatif terhadap konsep-
konsep pertumbuhan yang terjadi di masa lalu (Friedman, 2002). Pemberdayaan
masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi, terkait dengan nilai-nilai
kehidupan, sosial budaya, berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat
berdasarkan partisipasi (participatory) dan berkelanjutan (Chambers, 2005: 66).
Kartasasmita (2006: 102) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan
masyarakat menurut sebagian besar praktisi dan akademisi merupakan sebuah
proses yang komplek dengan berbagai pengembangan alternatif (alternative
development). Dalam sebuah konsep demokrasi inklusif, yaitu perkembangan
demokrasi melalui pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial budaya mandiri tanpa
adanya perbedan jender dan bukan sebagai sebuah warisan secara turun-temurun.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan terhadap individu anggota
masyarakat, tetapi juga terkait erat dengan pranata-pranata modern di dalam
menanamkan nilai-nilai budaya seperti konsep kerja keras, hidup hemat, terbuka,
dan bertanggung jawab merupakan bagian dari upaya pemberdayaan. Demikian
pula halnya dengan pembaharuan institusi-institusi sosial yang diintegrasikan ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranannya dalam pengembangan masyarakat.
Sumodiningrat (2002: 71), menyatakan bahwa dalam melakukan proses
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi sebagai berikut: (1)
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
28
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia di dalam
masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dalam arti bahwa tidak
ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah
punah. Pemberdayaan adalah sebuah upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya, (2) memperkuat
(empowering) potensi yang dimiliki masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah
nyata, menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses
ke dalam berbagai peluang (opportunities). Penekanannya terletak pada
bagaimana peningkatan partisipasi masyarakat mampu memberi jalan keluar
untuk mendapatkan kesempatan yang tersedia bagi kepentingan masyarakatnya.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan
pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi, (3) pemberdayaan
mengandung arti melindungi dan memperkuat orang-orang lemah melalui potensi
dan langkah nyata agar tidak semakin lemah.
2.2.1.2 Indikator pemberdayaan
Apabila seseorang atau sekelompok orang telah diberdayakan, maka
mereka akan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan atas kemauan dan
langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai
(Alsop et al 2005). Dalam memberdayakan masyarakat, peran pemerintah sangat
diperlukan untuk menghilangkan berbagai keterbatasn melalui penerapan prinsip-
prinsip dasar dari penatakelolaan pemerintahan yang baik (the basic principles of
good governance) seperti dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi hak asasi
29
manusia kebebasan berserikat, penegakan hukum yang berkeadilan serta
menyediakan layanan sosial kepada masyarakat (Bonfiglioli, 2003). Untuk
memberdayakan masyarakat akar rumput, dibanyak negara berkembang telah
umum diterapkan undang-undang yang mengatur tentang pemberdayaan
masyarakat melalui keterlibatan langsung di dalam pengelolaan manajemen
lingkungan (environmental management). Reformasi dalam hal penegakan hukum
akan berdampak sangat positif terhadap pelestarian lingkungan dan secara
ekonomis akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas (Bonfiglioli, 2004).
Keynes (2004) secara kuantitatif menyatakan bahwa ada lima indikator
pemberdayaan dalam membangun penguasaan dan kepercayaan diri, kemampuan
berkomunikasi dan menganalisis masalah secara efektif. Dengan kematangan
emosi seseorang akan mampu bersikap lebih toleran untuk berbagi pandangan
dengan orang lain. Bagi masyarakat tertentu, pemberdayaan menyangkut
membangun kepercayaan, bekerjasama, dan berbagi pandangan di dalam
mencapai tujuan tertentu yaitu:
1. Confidence & Understanding (Pengertian dan Keyakinan): Pengertian serta
keyakinan diri untuk melakukan insiatif merupakan modal dasar membangun
kepercayaan dan pemberdayaan diri dalam melakukan kegiatan organisasi.
2. Skills in Analysis & Communication (Kemampuan komunikasi dan analisis):
Kemampuan berkomunikasi dan menganalisis suatu permasalahan, didukung
rencana kerja, kesiapan strategi yang matang dan pemahaman pemberdayaan
akan memudahkan tercapainya tujuan pemberdayaan yang diinginkan.
30
3. Trust, Caring & Tolerance (Kepercayaan, Mengasihi dan Toleransi): Memilih
kelompok masyarakat yang dapat dipercaya, mampu saling mengasihi dan
mampu bertoleransi terhadap yang lainnya, akan membuka ruang komunikasi
lebih luas untuk meningkatkan pemberdayaan. Toleransi dimaknai untuk
membantu kelompok memperjuangkan hakminoritas.
4. Communication & Cooperation (Kerjasama dan Komunikasi): Kesediaan
untuk bekerjasama dan berkomunikasi untuk mengingatkan kehadiran
anggota untuk merencanakan sesuatu diperlukan dalam proses pemberdayaan.
5. Access to Information (Akses Terhadap Informasi): Keterbukaan untuk
mengakses informasi tentang pemahaman tentang pemberdayaan secara lebih
luas, mempercepat proses pemberdayaan individu atau kelompok masyarakat.
Sedangkan pemberdayaan bagi penduduk lokal menurut Helling, et al
(2005), merupakan upaya untuk memotivasi masyarakat tidak berdaya dan
termarjinalkan, dengan memberikan kesempatan lebih banyak untuk berpartisipasi
secara aktif melalui kegiatan sosial budaya, aspirasi politik dan keterlibatan
mereka dalam kegiatan ekonomi. Dengan terbukanya kesempatan kerja dan
peluang-peluang lainnya akan memberikan keuntungan sebagai berikut:
1. Opportunities for People to Participate. Terbukanya berbagai kesempatan
bagi orang-orang untuk ikut berpartisipasi untuk menghilangkan keterbatasan
dan mempercepat proses pemberdayaan. Dengan memberikan dorongan
kepada setiap orang untuk melibatkan diri mulai dari proses perencanaan dan
terlibat dalam pengembangan serta mengetahui tujuan yang ingin dicapai.
31
2. People’s Capabilities to Partisipate Effectively. Kemampuan orang-orang
untuk berpartisipasi secara efektif, membuka kesempatan untuk berinteraksi
dengan memahami makna pemberdayaan, terbuka kesempatan lebih percaya
diri didalam berinteraksi, lebih toleran untuk berbagi pandangan dengan orang
lain. Partisipasi masyarakat yang efektif akan menghasilkan kinerja yang lebih
baik dalam berbagai pandangan untuk mendatangkan hasil lebih optimal.
2.3 Konsep Pariwisata
World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pariwisata sebagai
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk tinggal diluar tempat tinggalnya
sendiri untuk sementara waktu, tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk
tujuan wisata atau tujuan lainnya yang tidak bertujuan untuk mendapatkan
pekerjaan atau gaji ditempat yang dikunjungi. Pariwisata terbangun dari hubungan
antara wisatawan dengan perusahaan yang menyediakan layanan wisata, didukung
oleh pemerintah dan badan usaha yang bergerak dibidang pariwisata untuk
menyiapkan sarana yang dibutuhkan oleh wisatawan (Theobald, 2005: 17).
Menurut Jamieson et al (2004: 2) dan Reisinger (2009: 8), kepariwisataan
merupakan keseluruhan kegiatan yang melibatkan pemerintah, perusahaan yang
digerakkan oleh swasta, badan-badan lainnya yang terkait dengan pariwisata dan
masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan dan mengatur kebutuhan
wisatawan seperti menyiapkan penginapan, kegiatan perjalanan pelayanan barang
dan jasa yang menjadi kebutuhan wisatawan. Sedangkan meneurut Cooper et al
(1993: 4) menyatakan bahwa pariwisata merupakan kegiatan multidimensi dengan
unsur utama yang terdiri dari:
32
1. Kegiatan perjalanan dari tempat seseorang, keberbagai daerah tujuan wisata di
luar tempat kelahiran atau asal mereka. (Tourism arises out of a movement of
peole to, and their stay in, various destinations).
2. Dua unsur dalam pariwisata yaitu berkunjung ke daerah tujuan wisata dan
tinggal sambil melakukan kegiatan yang ingin dilakukan di tempat mereka
melakukan kegiatan wisata. (There are two elements in tourism, the journey to
the destination and the stay, including activities at the destination).
3. Pariwisata merupakan perjalanan untuk sementara waktu yang dilakukan
seseorang diluar tempat asal atau dimana mereka tinggal dan bekerja. Selama
mereka tinggal dan melakukan kegiatan wisata yang berbeda dengan apa yang
mereka dilakukan di tempat asal mereka. (The journey and stay take place
outside the normal place of residence and work, so that tourism gives rise to
activities which are distinct from the resident and working polulations of the
places through and in which they travel and stay).
4. Perjalanan ke daerah tujuan wisata merupakan kegiatan sementara dalam
jangka waktu tertentu dengan tujuan bahwa mereka akan kembali ketempat
asal mereka setelah selesai melakukan kegiatan wisata, beberapa hari, minggu
atau bulan. (The movement to destinations is temporary and short term in
character the intention is return home within a few days, weeks or months).
5. Tujuan berwisata yang dikunjungi untuk menetap untuk sementara waktu
untuk tidak menetap atau mencari pekerjaan tetap. (Destinations are visited
for purposes other than taking up permanent residence or employment).
33
Pike (2008: 23) menyatakan munculnya kegiatan pariwisata dengan minat
khusus yang sekarang semakin populer, seperti: (1) kegiatan wisata yang
dibarengi dengan melakukan kegiatan bisnis, (2) wisata pendidikan dan penelitian
lapangan dilakukan oleh siswa, mahasiswa dan akademisi untuk tujuan
penelitian,(3) kelompok wisatawan melakukan perjalanan wisata sambil berjudi
ketempat kasino, (4) mereka yang melakukan berwisata sambil melakukan
kegiatan wisata alam, (5) berwisata sambil melakukan ziarah dan kegiatan
spiritual, (6) berwisata sambil mengunjungi sahabat dan keluarga.
2.3.1 Pengertian wisatawan
Untuk memahami secara utuh tentang pemahaman pariwisata, kajian ini
memperdalam istilah-istilah yang terkait dengan pariwisata untuk melengkapi
penulisan ini. United Nations (2003) memberikan pengertian wisatawan (tourist)
yaitu kunjungan yang dilakukan oleh seseorang yang datang di suatu negara untuk
berwisata selama masa waktu tertentu, bukan untuk menetap, atau bekerja
dinegara yang dikunjungi untuk mendapatkan upah. Sedangkan Theobald
(2005: 17) menyatakan bahwa wisatawan adalah pengunjung sementara yang
tinggal minimal selama 24 jam di negara yang dikunjungi dengan tujuan untuk
berlibur dan rekreasi, bisnis, kesehatan, keagamaan atau urusan keluarga,dan
tujuan lainnya. Menurut Undang-undang Kepariwisataan No 10/2009 wisatawan
didefinisikan sebagai seseorang yang melakukan kegiatan wisata. Sedangkan
menurut Reisinger (2009: 10-11) tujuan wisatawan datang ke suatu tujuan wisata
berdasarkan berbagai motivasi seperti sebagai berikut:
34
1 Mengisi waktu senggang, untuk berekreasi, bersenang-senang, berlibur,
untuk alasan kesehatan, studi, keluarga dan kebutuhan pribadi lainnya.
2 Melakukan perjalanan bersamaan dengan kegiatan bisnis.
3 Melakukan perjalanan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan atau sebagai
utusan melakukan kegiatan ilmiah, diplomatik, untuk keperluan keagamaan,
olahraga dan sebagainya).
Sesuai bentuk kegiatannya Cohen (2005: 26) wisatawan dapat dibedakan
menjadi empat yaitu:
1. Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah dan mempergunakan
alat-alat tradisional buatan sendiri tanpa sentuhan teknologi modern.
2. Explorer, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan dengan mengatur
perjalanannya dengan menentukan arah dan tujuan sendiri tanpa mengikuti
kegiatan seperti diatur di dalam sebuah paket perjalanan. Wisatawan explorer
yang juga sering disebut dengan off the beaten track, yaitu mereka yang
bepergian menuju tempat-tempat yang tidak dilakukan wisatawan pada
umumnya. Tujuan dari wisatawan seperti ini ialah untuk mencari dan
menemukan tujuan wisata alternatif yang unik, dengan memanfaatkan fasilitas
dengan standar lokal. Wisatawan seperti ini biasanya berinteraksi aktif dengan
masyarakat lokal dalam tentang kehidupan sosial budaya mereka sehari-hari.
3. Individual mass tourist, yaitu wisatawan yang menyerahkan pengaturan
perjalanannya sepenuhnya kepada biro perjalanan wisata untuk mengunjungi
daerah tujuan wisata yang pada umumnya sudah dikenal secara luas oleh para
35
wisatawan. Perjalanan ini dilakukan secara individu atau kelompok kecil
melalui paket wisata yang diatur oleh biro perjalanan wisata didalam paket
yang sudah termasuk layanan pesawat udara, hotel dengan paket makanan dan
tour yang sudah diatur sebelumnya untuk mengunjungi daerah tujuan wisata.
4. Organized mass tourist, yaitu perjalanan wisatawan yang telah diatur dari
perencanaan awal oleh biro perjalanan wisata di negara asal wisatawan untuk
mengunjungi daerah tujuan wisata tertentu di negara lain, mengunjungi daya
tarik wisata tertentu sampai pengaturan kembali ketempat asal wisatawan.
Pengaturan organized mass tourist dilakukan biro perjalanan setempat
dipandu oleh seorang pemandu wisata yang sudah berpengalaman dengan bahasa
yang dipahami wisatawan dan pemandu wisata mengenal daerah tujuan yang akan
dikunjungi. Organized mass tourist melakukan perjalanan berkelompok didalam
group-group besar melalui kerjasama dengan biro perjalanan setempat selaku
partner di dalam pengaturan perjalanan sesuai program yang telah disetujui.
Penyediaan sarana transportasi sejak kedatangan wisatawan di bandara sampai
berakhirnya melakukan kunjungan, semuanya diatur oleh biro perjalanan lokal.
Berdasarkan sifat dan lokasi dimana wisatawan itu berkunjung, (Tosun,
(2000: 58) menyatakan bahwa perjalanan wisata diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Foreign Tourist (Wisatawan asing)
Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang dilakukan di suatu
negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya tinggal.
Wisatawan asing di Indonesia disebut wisatawan mancanegara disingkat
wisman.
36
2. Domestic Foreign Tourist
Orang asing atau sekelompok orang yang bertempat tinggal di suatu
negara tertentu, melakukan perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia
tinggal disebut dengan domestic foreign tourist. Misalnya petugas kedutaan
negara asing melakukan perjalanan wisata di negara dimana mereka bertugas,
tidak melakukan perjalanan wisata kenegara lain atau di negaranya sendiri.
3. Domestic Tourist
Yaitu wisatawan suatu negara tertentu yang melakukan perjalanan antar
kota,di antara pulau atau di dalam batas wilayah negaranya sendiritanpa
melewati perbatasan dengan negara lain.
4. Indigenous Foreign Tourist
Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugas atau jabatannya
berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya untuk melakukan perjalanan
wisata di wilayah negaranya sendiri. Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan
dari domestic foreign tourist.
5. Transit Tourist
Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu
yang dengan sengaja atau karena hal-hal tertentu didalam perjalanannya
mengharuskan mereka singgah di suatu negara yang bukan menjadi tujuannya.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke negara yang dituju, transit bisa dilakukan
untuk sementara waktu, biasanya kurang dari 24 jam. Transit dilakukan
dengan tinggal sementara di dalam bandara suatu negara atau bermalam di
hotel yang berada di bandara (airport’s hotel) atau di tempat transit terdekat.
37
6. Business Tourist
Business tourist, sering dimaknai dengan sebutan business and pleasure
yaitu seseorang melakukan kombinasi perjalanan dimana melakukan bisnis
sebagai tujuan utama dan melakukan kegiatan wisata dalam waktu luang
sebagai kegiatan tambahan untuk kenikmatan sendiri.
2.3.2 Pro Poor Tourism
Pro-poor tourism (PPT) bukanlah sebuah bagian atau produk khusus dari
pariwisata, tetapi sebuah upaya pendekatan untuk membuka berbagai kesempatan
yang sebelumnya tertutup dan tidak mampu diakses oleh masyarakat setempat.
Pengenalan pro poor tourism sebagai sebuah wacana internasional telah
dimulai sejak tahun 1999, diprakarsai oleh berbagai institusi multilateral dan oleh
lembaga-lembaga non pemerintah (non-governmental organizations) di banyak
negara di dunia. Mereka berpandangan bahwa pariwisata mampu memberi
kontribusi positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berperan di dalam mengentaskan
kemiskinan (Scheynes dan Momsen, 2008). Menurut Ashley, et al (2000: 4-5),
pro poor tourism memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat seperti:
tersedianya pekerjaan formal bagi masyarakat dibidang pariwisata, pendapatan
dari pengadaan barang dan jasa atau pekerjaan sampingan, keuntungan yang
didapat dari kegiatan ekonomi dan pendapatan kolektif dari kegiatan yang
dilakukan masyarakat miskin. Selanjutnya Roe et al (2001) menyatakan bahwa
pro poor tourism, membuka kesempatan kerja yang dulunya sulit didapatkan oleh
masyarakat dan tersedianya pelatihan-pelatihan peningkatan ketrampilan untuk
mendapatkan pekerjaan lebih baik dan pendapatan lebih tinggi. Lebih jauh pro
38
poor tourism dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat setempatsebagai partner
pengembangan pariwisata setempat, khususnya di dalam proses pengambilan
keputusan tentang keberlangsungan pengembangan pariwisata di masa depan.
Kehadiran pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui regulasi
penanam modal akan meningkatkan masuknya investasi pembangunan dibidang
pariwisata dan memberi manfaat kepada masyarakat melalui kegiatan ekonomi
dan meningkatkan daya beli masyarakat. Perlunya peraturan pemerintah tentang
pelestarian lingkungan untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang
terbatas, melalui pendidikan dan pelatihan. Program pro poortourism menekankan
pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk memberikan keuntungan kepada
masyarakat miskin (Ashley et al 2001: 2; Hall, 2007: 37). Orientasi pro poor
tourism melalui para penggiat pariwisata di daerah tujuan wisata tertentu
mempunyai sasaran yang jelas yaitu untuk memberi manfaat langsung kepada
masyarakat miskin melalui pendidikan, program pelatihan berkelanjutan,
menyediakan sarana kesehatan dan pendidikan memadai untuk masyarakat
miskin. Dengan meningkatnya kesejahteraan, masyarakat terbebas dari
kemiskinan dan menikmati kehidupan lebih baik (Anwar, 2012: 15).
Selanjutnya Harrison (2008), menyatakan bahwa pro poor tourism sebagai
sebuah metode dengan strategi khusus, berperan untuk meningkatkan kegiatan
pariwisata dan mampu memberikan keuntungan ekonomis kepada orang miskin.
Dengan kerjasama dan komitmen dari para pemangku kepentingan pariwisata,
orang miskin akan menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh pariwisata. Roe
et al (2004: 20) sejalan dengan Harrison, (2008) yang menyatakan bahwa
39
keterlibatan masyarakat dalam pro poor tourism dimaksudkan agar masyarakat
diberikan kesempatan untuk menikmati hasil pariwisata. Karakteristik kegiatan
pariwisata pro poor tourism dan non-propoor seperti disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Pro Poor Tourism (PPT)
Bukan PPT PPT Antikapitalis Fokus untuk mengikutsertakan orang miskin kedalam pasar
kapitalis untuk meningkatkan lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat
Berbeda dari sistem pariwisata yang besar
Sangat tergantung dari pasar dan struktur pariwisata
Sebuah teori atau model Orientasi berdasarkan penelitian dari keuntungan pariwisata untuk manfaat bagi orang miskin
Ceruk pariwisata Berlaku terhadap setiap model pariwisata, termasuk yang bersekala besar atau kecil, dari sekala regional, nasional yang dikelola oleh sektor swasta.
Sebuah metode khusus Menggunakan beragam metode, tidak satupun khusus untuk PPT
Hanya untuk orang miskin Keuntungan juga dinikmati oleh orang bukan miskin Hanya tentang kelaparan atau pendapatan rendah
Memiliki pengertian yang luas tentang kemiskinan, ketidakbebasan, kesempatan, kekuasaan, keterampilan dan pendidikan.
Hanya untuk keuntungan pribadi
Fokus untuk keuntungan komunitas, seperti air, sanitasi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur
Hanya untuk tingkat atas atau kelompok tertentu
Memerlukan kerjasama dan komitmen dari para perencana, pemerintah, sektor swasta untuk memastikan bahwa orang miskin mendapat keuntungan dari pariwisata.
Sumber; Harrison (2002).
2.3.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)
Sebagai sebuah model pariwisata yang dikembangkan beberapa tahun
belakangan ini, Pariwisata Berbasiskan Masyarakat (Community Based Tourism)
memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan
atau mereka yang hidup di kota-kota kecil dengan standar hidup rendah, dengan
melibatkan mereka dalam kegiatan secara langsung dalam pariwisata, seperti
dalam pelestarian budaya dan lingkungan (Goodwin dan Santili, 2009: 4).
40
Pernyataan Tasci et al (2003: 10-11) sejalan dengan Goodwin dan Santili
(2009) yang menyatakan bahwa konsep pariwisata berbasis masyarakat
dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan
masyarakat miskin yaitu mereka yang secara tradisional hidup sebagai petani atau
nelayan, tinggal secara turun temurun di daerah yang potensial untuk
pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat
dimaksudkan untuk memberi peluang kepada masyarakat setempat yang pada
umumya terdiri dari masyarakat asli setempat yang tidak memiliki kekuatan untuk
mendapatkan berbagai akses yang tersedia di dunia pariwisata. Hasil CBT
diharapkan mampu untuk meningkatkan kehidupan masyarakat menjadi lebih
baik. Menurut Joppe (1996: 475) tujuan pengelolaan CBT melalui pendekatan
masyarakat (community approach) sejalan dengan bentuk pengelolaan pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism) yaitu dengan melibatkan masyarakat dan
tokoh-tokoh informal setempat sebagai tulang punggung dari pengembangan
pariwisata lokal. Pendekatan ini bertujuan memberikan manfaat langsung (direct
benefits) kepada masyarakat untuk meningkatkan tingkat kehidupan mereka
dalam rangka pengentaskan kemiskinan (poverty alleviation).
Konsep Community Based Tourism (CBT) menekankan pada partisipasi
dan kesadaran masyarakat setempat melaui pemberdayaan dan kemandirian
masyarakat untuk mengembangan pariwisata secara berkelanjutan (sustainable
tourism). Strategi pengembangan CBT dilakukan secara terpadu seperti dalam
penanganan konservasi alam dan lingkungan di daerah yang potensial sebagai
daerah tujuan wisata, dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan
41
memberikan pendidikan dan pelatihan-pelatihan secara berkelanjutan, masyarakat
dipersiapkan untuk memasuki dunia pariwisata dan nerperan aktif di dalam
kegiatan pariwisata. Secara konseptual pariwisata berbasis masyarakat didasarkan
atas beberapa hal sebagai berikut : (1) pendekatan partisipatif kepada masyarakat
dan mengikut sertakan kepemilikan masyarakat sebagai patner pengembangan
pariwisata, (2) melibatkan mereka sebagai pengelola aktif dan, (3) hasil pariwisata
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan untuk mengentaskan kemiskinan
(Armstrong, 2012: 2; Giampiccoli dan Kalis, 2012: 174; Sebele, 2010: 137).
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dilakukan dengan strategi
konstruktif, berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: (1)
memberdayakan masyarakat melalui kepemilikan pribadi atau berkelompok dalam
pengembangan pariwisata, (2) mengikutsertakan masyarakat dalam setiap
kegiatan CBT, (3) menumbuhkembangkan kebanggaan komunitas, (4)
meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, (5) menjamin pelestarian
lingkungan, (6) mempertahankan keunikan dan karakter sosial budaya lokal, (7)
memfasilitasi berkembangnya pembelajaran sosial budaya, (8) saling menghargai
perbedaan budaya dan martabat manusia, (9) mendistribusikan keuntungan secara
adil kepada anggota masyarakat (10) pendapatan pariwisata didistribusikan secara
berkeadilan (Godwin dan Santilli; 2009: 5-6) dan (Ashley et al 2001).
Pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di sebagian besar negara-
negara sedang berkembang didasarkan atas partisipasi yang melibatkan
masyarakat kurang berdaya secara ekonomis dan dalam keterbatasan untuk
mengakses kesempatan yang tersedia dibidang pariwisata. Hasil pariwisata
berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan perekonomian, disesuaikan dengan
42
kondisi setempat, mengacu kepada tujuan pengembangan pariwisata yaitu: (1)
tersedianya perencanaan awal yang matang untuk mengembangan pariwisata di
suatu tempat tertentu, (2) terpeliharanya pelestarikan alam dan lingkungan di
daerah tujuan wisata yang dikembangkan, (3) menjaga kehidupan sosial budaya
masyarakat setempat, (4) menjaga agar pariwisata tetap bisa dikembangkan di
masa mendatang, (5) pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
dan mengentasan kemiskinan (Giampiccoli dan Kalis, 2012: 2).
Penerapan community based tourism didaerah tujuan wisata dengan latar
belakang kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang berbeda-beda, harus
disesuaikan dengan kondisi setempat dengan tetap mengacu kepada tujuan
pengembangan pariwisata didalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, menjaga
lingkungan dan melestarikan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat.
Perlunya perencanaan detail yang dipersiapkan dengan bebagai pertimbangan
yang matang, sebagai dasar untuk mengembangkan suatu daerah tujuan wisata.
Sejalan dengan penelitian Giampiccoli dan Kalis (2012: 2); dan oleh Tasci
et al (2013: 71) tentang manfaat yang didapat dari pengembangan pariwisata
berbasiskan masyarakat, penelitian Communty Based Tourism yang dilakukan
oleh Yayasan Wisnu yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali
bekerja sama dengan Jaringan Ekowisata Desa (JED), dengan tujuan untuk
membantu masyarakat pedesaan dengan melakukan kegiatan ekowisata dengan
melibatkan masyarakat setempat. Konsep JED merupakan perlawanan terhadap
kegiatan pariwisata massal dengan tujuan sebagai berikut: (1) mengikut sertakan
masyarakat setempat dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan yang
demokratis dan manajemen pengelolaan pariwisata, (2) dana yang tersedia dari
pariwisata dimanfaatkan untuk membantu pengembangan dan kegiatan pelestarian
43
lingkungan, (3) meminimalisasi dampak pariwisata terhadap rusaknya sumber
daya alam, dan (4) melakukan kegiatan pertukaran budaya antara masyarakat dan
wisatawan untuk memperkaya dan memperkuat ketahanan budaya lokal.
Dipilihnya Desa Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan dan
Nusa Ceningan sebagai desa homogen berlatar belakang daerah pertanian.
Menurut penelitian Amstrong (2012: 2), Sebele (2010: 137), Giampiccoli
dan Kalis (2012: 174), pengembangan daerah tujuan wisata harus memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut: (1) Getting organized, yaitu melakukan
pengorganisasian merupakan masalah pertama yang perlu dilakukan bersama
masyarakat terfokus terhadap rencana aksi (action plan) yang terorganisasi
dengan baik seperti dalam menyusun tim kerja yang akan dilibatkan didalam
perencanaan pembangun, menyusun berbagai prosedur dan langkah-langkah
persiapan di dalam membangun daerah tujuan wisata yang dimaksudkan, (2)
Identify community values, yaitu mengindentifikasi nilai-nilai yang terdapat di
masyarakat, untuk menentukan apa yang diharapkan wisatawan yang berkunjung
kedaerah tujuan wisata yang akan dibangun. Secara spesifik perlu diperhatikan
kontribusi apa saja yang akan diterima dari wisatawan dan sebaliknya layanan apa
saja yang akan disajikan oleh masyarakat sebagai tuan rumah (host) untuk
memberikan kepuasan kepada mereka, (3) Visioning process, yaitu proses
melakukan pertemuan secara teratur dengan anggota masyarakat hendaknya
dilakukan secara partisipatif, komunikatif, terutama didalam merumuskan tujuan
pembangunan yang diinginkan. Intensitas dan komitmen masyarakat akan
menentukan mencapai baik buruknya pencapaian dari dari visi dan misi yang
hendak dicapai, (4) Inventory of attractions, yaitu menentukan apa yang akan
ditawarkan komunitas tersebut kepada wisatawan. Identifikasi atraksi tersebut
44
berdasarkan kategori dan tipologi wisatawan apa yang sesuai dengan atraksi
tersebut, (5) Assessment of attractions, yaitu melakukan analisa mendalam setiap
detail dari atraksi tersebut, termasuk didalamnya kualitas atraksi dan target
wisatawan yang dituju, (6) Establish Objectives, yaitu menentukan sasaran yang
ingin dicapai oleh setiap unit bisnis, dilengkapi dengan analisa biaya dan
keuntungan yang ingin dicapai, (7) Impact Analysis, yaitu menentukan segala
potensi dan besarnya biaya yang akan dikeluarkan untuk membuat dampak
analisis dan perencanaan untuk memperkecil biaya yang ditanggung, (8) Business
Plan, yaitu membuatkan perencanaan bisnis tentang pencapaian target yang ingin
dicapai setiap tahun dan menentukan sumber-sumber keuangan yang akan dipakai
dalam kegiatan usaha, (9) Marketing Plan, yaitu membuat strategi pemasaran
sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai untuk setiap unit usaha atau produksi,
dan (10) memonitor pencapaian target penjualan produk yang telah ditetapkan.
Prinsip pendekatan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat
dilakukan dengan pola partisipatif dimulai dari perencanaan, pelaksanaan
pengembangan di lapangan dan terhadap kontrol yang telah direncanakan diawal
perencanaan. Masyarakat dilibatkan dalam aktifitas pariwisata sampai kepada
penentuan menentukan dari hasil yang didapatkan dari pariwisata dan
memberikan bagian yang menjadi hak mereka. Pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat bisa dijadikan strategi dalam rangka memobilisasi masyarakat untuk
berpartisipasi sebagai partner aktif dalam pengelolaan CBT. Untuk meningkatkan
kualitas managerial dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat diperlukan
pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan sehingga hasil pengembangan
pariwisata dapat dinikmati masyarakat secara optimal (Tasci et al 2013: 15).
45
Prinsip pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat dikategorikan
yang memberikan manfaat kepada masyarakat yaitu: (1) dalam bentuk ekonomi
yaitu pertumbuhan ekonomi itu sendiri dan dampak yang dinikmati berupa
meningkatnya pendapatan masyarakat dan dampaknya terhadap pengentasan
kemiskinan, kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pengembangan
pariwisara dengan mengikut sertakan modal yang dimiliki oleh masyarakat, (2)
pelestarian budaya sebagai dampak dari pengelolaan pariwisata yang melibatkan
masyarakat, keterlibatan masyarakat di dalam pelestarian budaya, (3) ikut sertanya
masyarakat terlibat dalam kegiatan sosial yang timbul dari kegiatan bersama yang
dilakukan oleh masyarakat, serta munculnya tingkat kesadaran masyarakat (4)
munculnya kesadaran dan hak-hak politik masyarakat sebagai akibat dari adanya
kegiatan interaktif yang dilakukan oleh pemerintah, (5) pembelajaran kepada
masyarakat tentang pentingnya memahami manajemen didalam pengembangan
pariwisata dimana masyarakat sebagai tulang pungung dari kegiatan pariwisata.
Prinsip-prinsip pengembangan CBT seperti disajikan pada Tabel 2.2.
46
Tabel 2.2 Prinsip Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (CBT)
No Prinsip Indikator Sumber 1 Ekonomi Meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat
miskin Taski et al (2013)
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi mendapat keuntungan dari hasil pariwisata
Yoppe (1996)
Terbukanya kesempatan kerja Pengentasan kemiskinan Pengikutsertaan kepemilikan masyarakat
Giampicolli dan Kalis (2013)
Pendapatan dari pengelolaan pariwisata Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Amstrong et al (2012)
Pengentasan kemiskinan Kontribusi pariwisata kepada masyarakat Meningkatkan kualitas hidup komunitas Mendistribusikan keuntungan secara adil Mendukung pengembangan kepemilikan komunitas untuk tujuan CBT
Godwin dan Santili (2009)
2 Budaya Pelestarian budaya Joppe (1996) Menumbuhkembangkan kebanggaan komunitas
Mempertahankan keunikan karakter dan budaya lokal Memfasilitasi berkembangnya pembelajaran antar budaya
Godwin dan Santili (2009)
Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia Pemberdayaan menuju kemandirian (ketidak tergantungan)
Giampicolli dan Kalis (2012)
3 Sosial Pengikutsertakan komunitas dalam kegiatan CBT Godman dan Santili (2009)
Pendekatan dengan pola partisipatif Meningkatkan kesadaran sosial masyarakat
Yoppe (1996)
4 Politik Kesadaran dan partisipan masyarakat Amstrong et al
Melibatkan tokoh masyarakat didalam pengembangan CBT Peran pemerintah
Yoppe (1996)
5 Manajemen Perencanaan (business plan), pengorganisasian, komunikasi dengan masyarakat, program kerja, analisis perencanaan, analisis dampak
Okazaki (2013)
47
2.3.4 Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism)
Pariwisata berkelanjutan dimaksudkan sebagai sebuah pengelolaan wisata
dari semua model pariwisata mulai dari segmen pasar ceruk (niche tourism
segments) sampai pariwisata berskala massal (mass tourism), dilakukan melalui
penerapan yang seimbang terhadap tiga aspek mendasar sebagai berikut:
(1) Pelestarian lingkungan secara konstruktif, terpeliharanya keanekaragaman
hayati, ekosistem dan sumber daya alam secara terus menerus.
(2) Menghormati sosial budaya dan tatanan kehidupan masyarakat setempat,
melestarikan peninggalan sejarah dan tradisi lokal yang bernilai tinggi.
(3) Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat,
terpeliharanya kehidupan sosial budaya, pariwisata berkelanjutandan
berkurangnya kemiskinan (United Nations Environment Programme, 2005)
Secara lebih lebih luas Mowforth dan Munt (200: 98-99) menulis tujuh
prinsip dasar terkait dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan yaitu: (1)
keberlangsungan sosial (social sustainability) berupa kemampuan masyarakat
untuk menjaga kehidupan sosial yang harmonis sebagai akibat dari pengembangan
pariwisata didaerah tujuan wisata tertentu, (2) keberlangsungan budaya (cultural
sustainability) sebagai penjaga dan penerus tradisi yang telah hidup dimasyarakat
secara turun temurun dari pengaruh negatif budaya luar, (3) keberlangsungan
ekonomi (economic sustainability) yaitu memastikan sejauh mana pariwisata
membawa dampak positif dan negatifnya terhadap perekonomian rakyat, (4)
terpeliharanya lingkungan (environmental sustainability) sebagai isu kunci dari
pariwisata berkelanjutan untuk pelestarian dan penggunaan sumber daya alam
48
untuk kepentingan pariwisata itu sendiri, (5) elemen pendidikan (education
element) yaitu terjadinya proses pendidikan saling pengertian antara wisatawan
dan tuan rumah, tentang pemahaman lingkungan dan pembelajaran sosial budaya
masyarakat, (6) membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk partisipasi
aktif di dalam pengelolaan pariwisata yang sedang dikembangkan, (7) membuka
kemungkinan untuk memberi bantuan konservasidan restorasi bangunan terhadap
peninggalan kuno seperti Candi Borobudur seperti yang telah dilakukan United
Nations Educational Sience and Cultural Organization (UNESCO).
Menurut Wood (2005: 20-21), tujuan pariwisata berkelanjutan adalah
untuk menghindari dampak negatif lingkungan, menjaga nilai luhur kehidupan
masyarakat dari pengaruh budaya asing, menjaga dampak negatif terhadap
perubahan sosial budaya dan tradisi luhur sehingga wisatawan tetap menikmati
daerah tujuan wisata yang dikunjungi. Sedangkan keberhasilan pengembangan
pariwisata berkelanjutan menurut Roe et al (2004: 63) terlihat dari lima konsep
dasar sebagai sebagai berikut: (1) pertumbuhan ekonomi yang sehat, (2) terjadinya
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, (3) terjaganya kelestarian struktur
alam dan terlindungnya sumber daya alam, (4) berkembangnya kebudayaan
masyarakat, dan (5) kepuasan wisatawan termenuhi dengan pelayanan yang baik.
Selanjutnya UNWTO (2013: 21) mengatakan bahwa pariwisata memiliki
bermacam karakteristik yang bernilai tinggi seperti lingkungan dan sumber daya
alam yang alami, musim dengan udara yang hangat, sumber daya manusia
berlimpah dan peninggalan bersejarah bernilai tinggi. Didukung oleh potensi
lainnya pariwisata dapat dikembangkan secara berkelanjutan pariwisata di negara
49
berkembang dapat bertumbuh secara berkelanjutan. Keberhasilan pengembangan
pariwisata sangat tergantung dari dukungan lima pilar utama sebagai berikut: (1)
peraturan pemerintah yang mendukung perkembangan pariwisata (tourism policy
and governance), (2) keberhasilan kinerja perekonomian, pertumbuhan investasi
berdaya saing sehat untuk pengembangkan pariwisata. (economic performance,
investment and competitiveness), (3) peningkatan ketenagakerjaan, dari sumber
daya manusia tersedia (employment, decent work and human capital), (4)
berkurangnya kemiskinan dan peningkatan kehidupan sosial (poverty reduction
and social inclusion), dan (5) terjaganya sumber dayaalam dan lingkungan budaya
(sustainability of the natural and cultural environment).
2.3.5 Industri Pariwisata
Pariwisata tidak bisa dilepaskan sebagai sebuah kegiatan industri (tourism
industry) sebab telah menjadi kekuatan bisnis yang terintegrasi dengan sektor-
sektor industri lainnya dan tidak memungkinkan untuk berdiri sendiri tanpa
didukung oleh elemen-elemen dari kelompok usaha lainnya. Tanpa dukungan dari
elemen usaha-usaha terkait lainnya, pariwisata akan sulit dilakukan oleh para
wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Theobald (2005: 31) menyatakan
bahwa secara fenomenologis pariwisata secara sosial dan ekonomi kurang tepat
disebut sebuah industri tetapi dampaknya yang sangat luas terhadap industri
lainnya menyebabkan pariwisata telah menjadi sebagai sebuah industri sendiri.
World Tourism Organization (WTO, 2012: 12) menyatakan bahwa
industri pariwisata merupakan industri dengan karakteristik khusus yang didukung
oleh beragam produk dan sarana layanan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
yang dibutuhkan oleh wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Di dalam
50
melakukan kegiatan wisata diperlukan sektor-sektor pendukung pariwisata
sebagai berikut : (1) tersedianya akomodasi dari berbagai kategori sesuai dengan
pilihan para wisatawan (accomodation for visitors), (2) tersedianya tempat
layanan makanan dan minuman seperti restoran yang layak untuk wisatawan (food
and beverage serving activities), (3) pelayanan kereta api (railway passenger
transport), (4) transportasi darat untuk wisatawan ( road passenger transport), (5)
layanan angkutan laut untuk kegiatan wisatawan ( water passenger transport), (6)
angkutan udara (air passenger transport), (7) penyewaan sarana transportasi
(transport equipment rental), (8) biro perjalanan umum yang melayani reservasi,
pengaturan wisata dan jasa-jasa lainnya (travel agencies and other reservation
services activities), (9) pertunjukan kesenian, seni dan budaya (cultural activities),
(10) tersedia sarana rekreasidan kegiatan olah raga (sports and recreational
ativities). Berbagai jenis perusahaan dimaksudkan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perusahaan Kelompok Industri Pariwisata dan Masing-Masing Produknya
No Jenis Perusahaan ( Industri Pariwisata) No Produk yang di hasilkan
(Produk Industri Pariwisata) 1 Travel agent / Tour Operator 1 Informasi tentang paket wisata 2 Perusahaan penerbangan 2 Seats dan pelayanan lainnya
3 Angkutan pariwisata (Taxi, bus, dan lain-lain) 3 Pelayanan transfer ke hotel dan
bandara, pelayanan sewa mobil
4 Akomodasi (Hotel, Motel, dan lain-lain) 4 Kamar dan pelayanan lainnya
5 Restaurant dan sejenisnya 5 Makanan dan minuman
6 Impresariat, amusement, dan lain-lain. 6 Hiburan dan atraksi wisata
7 Local Tour Operator 7 City shightseeing/ city tour 8 Shopping Centre 8 Cendramata dan oleh-oleh 9 Bank / Money Changer 9 Penukaran valuta asing
10 Retail Stores 10 Bermacam-macam keperluan wisatawan dalam perjalanan
Sumber : Yoeti (2008: 4). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, (2008: 4).
51
2.3.6 Pengembangan Pariwisata
Pengembangan pariwisata merupakan sebuah proses dinamis yang terjadi
hampir di seluruh negara di dunia, sebagai salah satu sumber pendapatan negara
melalui pemasukan devisa bagi pembangunan negara. Negara-negara sedang
berkembang (developing countries) menjadikan pariwisata sebagai sebuah potensi
besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan berbagai
infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Theobald
(2005:163-165) pengembangan pariwisata berdampak terhadap kehidupan sosial
budaya, sebagai sarana untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan
pembangunan daerah. Keberhasilan dari pengembangan pariwisata sangat
ditentukan dari kematangan perencanaan, evaluasi serta pengawasan dan umpan
balik yang dilakukan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Schilcher (2007: 58) untuk mengetahui besarnya potensi dan
kemungkinan dari munculnya permasalahan dari suatu daerah tujuan wisata,
pengembangan pariwisata hendaknya dimulai dengan kegiatan penelitian dan
observasi terhadap daya tarik wisata yang akan dikembangkan. Kegiatan promosi
melalui media cetak, elektronik, maupun melalui multimedia dilakukan untuk
lebih mempercepat pengenalan dari destinasi wisata yang dikembangkan didalam
dan diluar negeri. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, pengembangan
daerah tujuan wisata hendaknya melibatkan masyarakat setempat.
Pengembangan suatu daerah tujuan pariwisata merupakan proses panjang
yang dimulai dari perencanaan, pembangunan fisik, sampai dengan penyediaan
beragam pelayanan yang diperlukan oleh wistawan. Masyarakat perlu dilibatkan
52
dalam menentukan arah dari tujuan pembangunan pariwisata dan tentang
pemahaman dari dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan dari kegiatan
pariwisata itu sendiri. Fridgen (1996: 219-221) menyatakan bahwa dampak
positif dari pertumbuhan pariwisata adalah sebagai berikut:
1). Increase in employment. Semakin terbukanya peluang kerja bagi masyarakat,
semakin bertambahnya peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih baik.
Secara ekonomis berdampak terhadap pemerataan pendapatan masyarakat dan
kesejahteraan bagi masyarakat setempat serta berkurangnya pengangguran.
2). Stimulation of business activity. Munculnya kegiatan bisnis baru akan diikuti
oleh pertumbuhan kegiatan ekonomi mikro dengan masyarakat lokal sebagai
pelaku utama, bertumbuhnya kegiatan berskala nasional dan internasional.
Meningkatnya perekonomian merupakan indikator keberhasilan pembangunan
3). Increase inbusiness diversity. Meningkatkan pertumbuhan beragam kegiatan
bisnis pengadaan kebutuhan pariwisata seperti pembangunan hotel, restoran,
dan jasa wisata lainnya sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pariwisata.
4). Increase in tax collection. Meningkatnya penerimaan pajak oleh pemerintah
bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan sarana prasarana pariwisata.
5). Increase in sales of good and services. Meningkatnya penjualan dari barang
dan jasa akibat meningkatnya kebutuhan yang diperlukan oleh wisatawan.
6). Increase in community pride and concern for community history, culture,
attraction, and artifacts. Meningkatnya perkembangan masyarakat akibat dari
pertumbuhan pariwisata di daerahnya sendiri. Menjadi bangga karena bisa
memperkenalkan seni budaya, adat istiadat, keunikan kerajinan tangan yang
53
diproduksi sendiri. Menjadi sebuah momentum bersejarah dibangunnya sarana
prasarana pariwisata di daerah sendiri. Berdampak positif bagi munculnya
untuk kegiatan berkesenian kolektif sebagai sumber pendapatan masyarakat
dan terbukanya kesempatan kerja untuk pendapatan dan kehidupan lebih baik.
7). Enhancement of community appearances. Sebagai daerah yang terbuka untuk
tujuan wisata, dengan keunikan obyek wisata didukung oleh keramah tamahan
dan kehangatan masyarakat menjadi pendukung dikembangkan sebuah tujuan
wisata berkualitas dan sebagai pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
8). Conservation or restoration of historic sites or attractions. Memelihara atau
membangun kembali peninggalan bersejarah atau mempertahankan atraksi
budaya masyarakat setempat wajib dilakukan sebagai bagian dari kebutuhan
atraksibagi wisatawan untuk ketika mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
9). Concervation of natural resources and tourist attraction. Melestarikan sumber
daya alam dan memelihara atraksi untuk wisatawan dimaksudkan agar
pariwisata tetap terjaga kelestariannya, sebagai usaha menarik wisatawan
untuk berkunjungan kembali.
Selanjutnya Fridgen (1996) menyatakan dampak negatif pariwisata yang
harus diantisipasi adalah sebagai berikut:
1). Increase in the use of sewer and water systems, requiring further development
of the community infrastructure. Peningkatan terhadap pemakaian pipa sistem
pengelolaan air bersih dibawah tanah untuk keperluan pariwisata tidak bisa
dihindarkan. Pengembangan infrastruktur diperlukan untuk pengelolaan air
bersih dan limbah yang dibutuhkan masyarakat setempat dan juga wisatawan.
54
2). Increase in the cost of maintenance and repairs of the community
infrastructure. Peningkatan biaya pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur
menjadi tinggi dan pemeliharaan dalam jangka perlu dilakukan secara teratur.
3). Increase in number of people and vehicles, resulting in congestion. Terjadinya
peningkatan jumlah pendudukdan semakin banyaknya jumlah kendaraan
menjadi masalah bagi perkembangan pariwisata. Penggunaan kendaraan baru
semakin banyak jumlahnya, sama seperti meningkatnya pencari kerja baru di
daerah-daerah urban. Semakin banyaknya pemakaian kendaraan pribadi
menjadi penyebab dari semakin meningkatnya kemacetan polusi udara.
4). Shifts in the pace of community’s cultural and social life, as well as the
community’s structure. Terjadinya perubahan sosial budaya dan pola hidup
masyarakat akibat dari interaksi antara wisatawan dengan tuan rumah.
Kejadian ini dapat mempengaruhi terjadinya perubahan struktur masyarakat.
5). Damage to the environment. Pariwisata menjadi salah satu penyebab dari
rusaknya sumber daya alam dan lingkungan. Apabila penggunaan tanah
persawahan, pembangunan dipantai, tebing-tebing kali dan lingkungan serta
alam yang terbatas tidak diatur undang-undang dan pelestarian alam tidak
dijaga dengan baik dalam jangka panjang akan merugikan masyarakat sendiri.
6). New or increased expenses relates promotions, advertising, and marketing.
Biaya-biaya baru atau peningkatanbiaya promosi, reklame dan biaya
marketing lainnya diperlukan untuk meningkatkan kedatangan wisatawan.
55
7). Investment cost incurred New or icreased by the community. Munculnya biaya
investasi baru, peningkatan biaya investasi dapat dilakukan oleh masyarakat
setempat atau melalui penanaman modal yang datangnya dari luar negeri.
Menurut Schyvens dan Momsen (2008: 36), pariwisata secara umum pada
hakekatnya sangat terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Pariwisata
membuka ruang bagi masyarakat sebagai tuan rumah (host) untuk berinteraksi
dengan wisatawan sampai kepada pengenalan kegiatan ekonomi mereka sehari-
hari. Unsur-unsur yang terlibat didalam kegiatan pariwisata seperti pemerintah,
penanam modal (swasta) beserta masyarakat berperan didalam fungsinya masing-
masing untuk kepentingan bersama menuju tercapainya tujuan pengembangan
pariwisata yaitu terwujudnya masyarakat sejahtera. Dari sudut pandang sosial
ekonomis, kegiatan pariwisata membuka peluang bagi terbukanya kesempatan
kerja bagi masyarakat setempat. Hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan
melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja proyek sejak dimulainya
pembangunan sarana fisik seperti pembangunan hotel, restoran dan sarana
lainnya. Tenaga kerja dengan keterampilan kasar (non-skill) dipekerjakan sesuai
dengan kemampuan mereka dan bagi yang berketerampilan lebih tinggi
dipekerjakan sesuai dengan tingkatannya sesuai dengan yang kebutuhan hotel.
Burns dan Holden (1995: 140-141) mengatakan bahwa dampak dari
pengembangan pariwisata dapat dilihat dari beberapa aspek seperti berikut:
1). Dari sudut pandang ekonomi, pengembangan pariwisata dapat memberikan
sumbangan terhadap penerimaan yang masuk ke kas pemerintah daerah
melalui meningkatnya pendapatan pajak, retribusi pembangunan, parkir, dan
56
pendapatan lainnya. Masuknya penanaman modal secara besar-besaran akan
berdampak terhadap semakin berumbuhnya kehidupan ekonomi rakyat.
2). Pendapatan dari sektor sektoral seperti pemasukan ijin pembangunan hotel,
pendapatan pajak perdagangan, hotel dan restoran dan dari pendapatan
lainnya, membuka kesempatan bagi pemerintah untuk mengembangkan
infrastruktur untuk meningkatkan kualitas pelayanan pariwisata.
3). Sektor perikanan dan pertanian akan berdampak positif, sebab dari hasil
pertanian dan penangkapan ikan diperlukan oleh hotel maupun restoran untuk
kebutuhan pariwisata. Meningkatnya pendapatan petani dan nelayan dari hasil
penjualan produk mereka akan mampu memperbaiki kesejahteraan mereka.
4). Terbukanya kesempatan kerja di sektor yang terkait dengan industri pariwisata
berdampak terhadap berkurangnya pengangguran. Masyarakat memiliki
kesempatan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengembangan diri.
5). Pariwisata menjadi sumber devisa bagi pembangunan bangsa, untuk
mengembangkan sarana dan prasarana pariwisata. Wisatawan yang berlibur
kesuatu negara akan membelanjakan langsung uang mereka kepada
masyarakat setempat di toko-toko cenderamata, atau memakai jasa pelayanan
langsung yang disediakan oleh masyarakat seperti menjadi pemandu wisata.
Peran pengembangan pariwisata dari sudut sosial budaya menurut Selinger
(2009: 3-4) adalah untuk meningkatkan pengenalan terhadap budaya bangsa,
peninggalan bersejarah tanah air dan memotivasi sikap toleransi dan persahabatan
dalam pergaulan antar bangsa. Sedangkan Tasci et al (2013: 3-4) berpendapat
bahwa perkembangan pariwisata global menguntungkan dunia yaitu sebagai
57
alternatif sumber pendapatan bagi pengembangan dan pertumbuhan ekonomi
dunia khususnya bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang
berkembang. Melalui pendapatan devisa dan keuntungan ekonomis dan finansial
lainnya seperti pemasukan pajak dan pendapatan yang diterima langsung oleh
masyarakat dari kunjungan wisatawan mancanegara (direct expenditure on
international traveller). Pengembangan infrastruktur yang dilakukan pemerintah
dan swasta bermanfaat untuk kepentingan umum dan percepatan pertumbuhan
ekonomi. Pariwisata berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan
kemungkinan dijadikan industri bersih (green industry) dan perannya membawa
misi bagi perdamaian dunia. Selain besarnya manfaat yang didapat dari
pariwisata, tidak bisa dihindari bahwa disisi lain pariwisata juga bisa berdampak
negatif terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sosial budaya, berubahnya
prilaku masyarakat dan tatanan kehidupan berkeluarga. Rusaknya lingkungan
akibat dieksploitasinya alam secara berlebihan untuk kepentingan pariwisata
berdampak terhadap rusaknya sumber air bersih dan keindahan alam. Tanah
pertanian produktif yang dipakai secara berlebihan untuk kepentingan pariwisata
berdampak mahalnya harga tanah dan semakin tidak terjangkaunya daya beli
masyarakat membeli tanah untuk kepentingan sendiri. Perkembangan pariwisata
yang mengikuti pola life cycle merugikan daerah tujuan wisata yang tidak lagi
diminati wisatawan. Pariwisata sangat dipengaruhi oleh faktor luar yang sering
tidak diprediksi sehingga berisiko besar apabila terjadi ganggugan keamanan dan
politik di dalam dan di luar negeri yang berpotensi terhadap menurunnya jumlah
kunjungan wisatawan, munculnya pengangguran dan terjadinya kerugian usaha.
58
Manfaat dan kerugian pariwisata seperti terlihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Manfaat dan Kerugian dari Perubahan Sosial,Lingkungan dan Ekonomis
Akibat Pengembangan Pariwisata Keuntungan Sosial Pemasukan devisa untuk mendukung pembangunan
fasilitas dan jasa pariwisata didaerah yang belum berkembang
Mendorong partisipasi dan kebanggaan masyarakat terlibat didalam pengembangan pariwisata
Terjadinya pertukaran budaya dan interaksi antara tuan rumah dengan wisatawan
Menjaga keberlangsungan budaya, festival rumah dengan wisatawan
Pengembangan infrastruktur pariwisata, bermanfaat untuk kepentingan umum
Mendorong meningkat kebanggaan kolektif masyarakat Meningkat kualitas kehidupan masyarakat Mengundang orang luar untuk mengisi pekerjaan
tertentu Memanfaatkan pariwisata untuk belajar bahasa asing
dan keahlian tertentu Pendapatan langsung masyarakat bermanfaat untuk
pembangunan komunitas Pendapatan dana untuk sosial dan kemanusian
Kerugian Sosial Munculnya pengaruh pola hidup baru yang bertentangan
dengan tradisi lokal seperti penggunaan obat terlarang dan minuman keras.
Pariwisata berdampak negatif sebagai pengaruh terhadap prilaku masyarakat dan pola kehidupan keluarga
Peningkatkan terjadinya penyebaran terjadinya penyakit lokal.
Menjadikan semakin meningkatnya jumlah pertambahan penduduk
Pariwisata mempengaruhi harga pelayanan masysrakat lokal akibat dari tingginya daya beli wisatawan dibandingkan dengan tuan rumah seperti kenaikan harga ditempat rekreasi.
Meningkatnya kriminalitas dan perlakuan yang tidak sopan terhadap wisatawan.
Menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia akibat dari terpinggirkannya masyarakat dan ditutupinya tempat – tempat umum yang dulunya menjadi milik masyarakat.
Keuntungan Lingkungan Adanya dukungan untuk perlindungan terhadap tradisi
dan budaya masyarakat lokal dan juga terhadap pelestarian sumber daya alam
Dorongan untuk merevitalisasi, melindungi dan meningkatkan sarana yang diperlukan oleh masyarakat
Kemungkinan dikembangkan pariwisata menjadi industri bersih (green tourism) yang berkelanjutan.
Kerugian Lingkungan Terjadinya pengerusakan terhadap kelestarian alam
seperti sumber air, karang laut dan tempat bersejarah Timbulnya masalah sampah, kebisingan dan polusi Terjadinya tingkat persaingan yang tinggi terhadap
pemanfaatan laha yang terbatas, pemakian air yang berlebihan yang berakibat terhadap terdegradasinya sumber alam, fauna dan rusaknya keindahan alam.
Meningkatnya penggunaan transportasi, semakin meningkatnya polusi dan emisi kendaraan.
Keuntungan Ekonomi Pariwisata membantu dan menumbuhkan diversifikasi
dari pertumbuhan dan kesetabilan ekonomi lokal Pemerintah mendapatkan pendapatan tambahan dari
pajak terkait dengan pariwisata yang bukan dari pariwisata
Terjadinya beragam dampak (muliplier effect) yang menguntungkan masyarakat akibat dari pertumbuhan ekonomi
Masuknya dana segar yang berputar dimasyarakat untuk meningkatkan perumbuhan ekonomi, mengundang masuknya bisnis dan jasa layanan baru yang diperlukan untuk mendukung kebutuhan pariwisata
Pemanfaatan banyaknya kebutuhan tenaga kerja (labor intensive) yang diperlukan didalam pembangunan sarana pariwisata, baik untuk tenaga terampil untuk pekerjaan tertentu dan juga untuk tenaga tidak terampil
Terjadinya transaksi dan pemasukan nilai tukar yang sangat besar yang dilakukan secara langsung oleh wisatawan
Meningkatnya pembangunan komersial yang muncul didaerah pariwisata seperti pengembangan perumahan dan sarana komersial untuk menunjang kebutuhan wistawan
Kerugian Ekonomi Pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan dll,
merupakan dana besar bisa menjadi beban pemerintah lokal.
Meningkatnya harga tanah untuk untuk kebutuhan parisata dan mahalnya harga barang dan jasa yang memberatkan kehidupan masyarakat.
Kebocoran : keuntungan perusahaan kembali keluar negeri dan tidak dinikmati oleh masyarakat lokal. Nilai tukar (foreign exchange) kembali kenegara asal akibat dari transaksi import
Wisatawan tidak datang sepanjang masa, sehingga terjadi pengurangan karyawan ketika musim sepi dan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja.
Masih banyak pekerjaan didunia pariwisata yang dibayar murah terutama bagi karyawan dengan keterampilan rendah dan kecilnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di hotel.
Pengaruh terosis, resesi ekonomi dunia dan tidak terjaminnya keamanan wisatawan, berdampak terhadap pendapatan pariwisata dan para pengerjanya
Pariwisata mengukuti pola product life cycle, dimana destinasi pariwisata yang tidak menarik tidak lagi dikunjungi oleh wisatawan akan hilang dari persaingan mendatangkan kerugian bagi masyarakat setempat.
Sumber: Diadopsi dari://geographyfieldwork.com/TourismProsCons.htm, (Tasci, et al 2013).
59
2.3.7 Pariwisata dan Kinerja Perekonomian Pariwisata dalam perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi
dunia, berkepentingan terhadap pelestarian sosial budaya, dukungan terhadap
tradisi lokal dan meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia termasuk di
negara-negara miskin (least developed countries), termasuk meningkatkan
kesediaan pangan (Wall dan Mathieson, 2006: 77-78). Meningkatnya peran
pariwisata semakin memberi banyak manfaat yang dinikmati oleh negara-negara
berkembang (developing countries), seperti penerimaan devisa, terjadinya
multiplier effect yaitu berkembangnya mata rantai pendapatan dari satu sektor unit
usaha ke unit usaha lainnya dan dampaknya terhadap pendapatan pajak bagi
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (Richardson, 2010: 1).
Athanasopoulou (2013:7-16) menyatakan bahwa mata rantai pariwisata
berupa kegiatan perdagangan antara negara, peningkatan kinerja perekonomian,
export import, perdagangan, penyediaan tenaga kerja dan pertumbuhan investasi
serta timbulnya beragam kontribusi terkait pelayanan pariwisata sebagai berikut:
1). Kedatangan wisatawan internasional (International tourist arrival)
2). Pendapatan negara-negara secara internasional (International tourism receipt).
3). Pengeluaran wisatawan internasional (Expenditure on international travel)
4). Penyediaan layanan wisata (Trade in travel services)
5). Kontribusi pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (Travel and tourism
industry’s contribution to GDP)
6). Kontribusi Pariwisata terhadap ketenagakerjaan (Travel and tourism
industry’s contribution to employment)
60
7). Kontribusi Pariwisata terhadap investasi modal (Travel and tourism industry’s
contribution to capital invesment)
2.4 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan sudah ada sejak timbulnya peradaban manusia dimuka bumi
dan merupakan indikator utama dari ketertinggalan/keterbelakangan suatu negara.
Bappenas (2010: 8-10) membagi konsep kemiskinan menjadi dua bagian yaitu
kemiskinan relatif (relative poverty) yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar akibat dari pengaruh kebijakan pembangunan yang berdampak
terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat, dan kemiskinan absolut (absolut
poverty) yaitu kemiskinan akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti kebutuhan sandang pangan,
kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan air bersih. Sedangkan konsep kemiskinan
kultural menurut Elesh (1970: 4), terjadi akibat dari jebakan perilaku internal
perorangan atau sekelompok masyarakat yang mengakibatkan mereka tidak
mampu melakukan mobilitas secara sosial dan kemiskinan struktural terjadi akibat
dari pengaruh faktor-faktor external berupa aturan yang tidak berpihak kepada
orang miskin seperti terbatasnya kesempatan kerja dan ketidakmampuan
mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.
Konsep kemiskinan dapat dilihat dari ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan pokok (basic needs approach) dan dari aspek kemampuan ekonomis
dan kesejahteraan yang rendah, serta keterbatasan partisipasi politik dan sosial
budaya mereka sehari-hari (Laderchi et al 2006). Menurut Bank Dunia standar
kemiskinan yang dimasukkan dalam rancangan Millenium Development Goals
61
(MDG) yaitu mereka yangpada tahun 1999 hanya mampu menghasilkan US$
1.00/hari dan setelah direvisi tahun 2005 menjadi US$ 1.25/hari (Edward, 2006;
World Bank, 2008; Nehen 2012: 193). BPS Bali(2012: 493) menggambarkan
kemiskinan sebagai kondisi dari ketidakmampuan seseorang atau sekelompok
masyarakat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak akibat dari rendahnya
pendapatan dan terbatasnya akses ke sektor ekonomi dan faktor-faktor lainnya.
2.4.1 Jenis Kemiskinan
Menurut jenisnya kemiskinan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1)
kemiskinan alamiah, yang disebabkan oleh manusianya sendiri seperti tidak
adanya niat untuk berubah dari kebiasaan hidup miskin, rendahnya pendidikan
dan sumber daya yang dimiliki, (2) kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang
terkait erat dengan sikap seseorang atau kelompok dalam masyarakat yang tidak
mau memperbaiki tingkat hidupnya sendiri walaupun ada pihak lain yang mau
memberikan bantuan, (3) kemiskinan struktural, yang diakibatkan oleh
kelembagaan, organisasi pemerintah atau tatanan struktur sosial dalam masyarakat
yang menyebabkan tidak terjadinya mobilitas secara vertikal dimana orang kaya
senantiasa menikmati hasil kekayaannya sedangkan orang-orang miskin tetap
hidup di dalam kemiskinannya (Harniati, 2010: 26; Soedjatmoko, 2008: 46-61).
2.4.2 Penyebab Kemiskinan
Hampir tiga miliar penduduk dunia saat ini hidup dari pendapatan kurang
dari dua dollar Amerika per hari. Lebih dari satu miliar hidup dalam kemiskinan
absolut, menggelandang dan terlantar di daerah kumuh, terinfeksi penyakit
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang mematikan. Penyebab
62
kemiskinan merupakan lingkaran setan (vicious circle), muncul dari berbagai
faktor yang saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini
terjadi akibat dari sistem perekonomian dan politik dunia yang tidak memihak
kepada masyarakat miskin dan terjadinya hambatan kehidupan politik dan sosial
sial budaya yang terjadi di masyarakat global (Corbett dan Fikkert, 2012:11).
Nehen (2012: 201-203) menulis beberapa indikator penyebab kemiskinan,
yaitu: (1) rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan
berkolerasi langsung dengan kinerja dan rendahnya produktivitas kerja dan
berakibat terhadap rendahnya pendapatan yang diterima, (2) terbatasnya
kesempatan kerja, berkorelasi terhadap tidak meratanya pendapatan masyarakat,
(3) terbatasnya fasilitas umum seperti sarana pendidikan dan tidak tersedianya
fasilitas kesehatan bagi masyarakat berdampak kepada semakin buruknya kondisi
masyarakat, (4) masih ditemukan budaya masyarakat yang menolak perubahan
motivasi dan etos kerja untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik.
Menurut Papilaya (2013: 43-46) penyebab kemiskinan yang terjadi
dimasyarakat adalah: (1) faktor perilaku seseorang, yaitu rendahnya upaya
mengubah sikap untuk meninggalkan kebiasaan lama, (2) faktor personal berupa
rendahnya keterampilan, pengetahuan kepribadian dan sistem nilai serta
kemampuan sikap untuk bertindak, (3) faktor situasional, dipengaruhi oleh
lingkungan, sosial budaya dan ekonomi, (4) ketidakmampuan pemerintah
memenuhi pemerataan pendapatan masyarakat berdampak terhadap ketimpangan
distribusi pendapatan yang berpotensi untuk memunculkan kemiskinan relatif.
63
Munculnya masyarakat miskin akibat dari ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti sandang pangan, biaya kesehatan
dan kemampuan untuk memiliki tempat tinggal sebagai pemenuhan standar hidup
disebut dengan masyarakat dengan kemiskinan absolut. Hal ini terjadi akibat dari
hilangnya hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
masyarakat miskin semakin termarjinalkan. Menurut (BPS, 2008), kemiskinan
diakibatkan oleh liberalisasi ekonomi dan menciptakan negara pemenang dengan
penguasai ekonomi dan teknologi modern. Politik ekonomi neoliberalisme yang
dikuasai oleh negara maju untuk mengkondisikan negara sedang berkembang dan
negara miskin sebagai negara kalah tanpa kekuatan untuk menyaingi negara maju,
memunculkan kemiskinan baru di negara berkembang yaitu:
1. Kemiskinan berkaitan dengan pembangunan tidak berkeadilan, penerapan
pembangunan yang tidak seimbang dan cenderung melahirkan kemiskinan
baru. Masyarakat kehilangan hak atas tanah yang dijual kepada pemilik
modal. Mereka tercabut dari akar budayanya dan menjadi masyarakat terasing
didaerahnya sendiri. Hasil dari penjualan tanah akan dinikmati dalam waktu
pendek dan tanpa kemampuan mengelola kuangan, akan menjadikan mereka
masyarakat urban di daerahnya sendiri tanpa keahlian memadai.
2. Kemiskinan sosial terlihat pada kondisi sosial ekonomis masyarakat yang
kurang mampu seperti anak-anak, kaum perempuan dan bias gender, yang
mendapat perlakukan diskriminasi atau dieksploitasi secara ekonomi.
3. Kemiskinan konsekuensial akibat dari faktor eksternal seperti konflik-konflik
yang terjadi di masyarakat, bencana alam, kerusakan alam dan lingkungan.
64
Tidak terkontrolnya jumlah penduduk yang berdampak terhadap rendahnya
kualitas sumber daya manusia menjadi penyebab kemiskinan di masyarakat.
2.4.3 Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan tidak akan hilang dengan sendirinya. Apabila pemerintah
tidak sanggup untuk mensejahterakan masyarakatnya dan pengelolaan kemiskinan
tidak dilakukan dengan tepat sasaran, maka orang miskin akan menjadi lebih
miskin dan akan mewariskan kemiskinan secara turun temurun.
Pertemuan Dunia tentang Pengembangan Sosial (World Summit on Social
Development) pada tahun 1977, memperkirakan terdapat sebanyak 1,2 miliar
penduduk miskin di dunia yang berpenghasilan dibawah USD 1.00/hari dan lebih
dari dua miliar penduduk berpenghasilan dibawah USD 2.00/hari.Pada
persidangan umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) tahun 2000,
dicanangkan Tujuan Pembangunan Milinium (Millenium Development Goals)
menempatkan prioritas utama pengentasan kemiskinan dan kelaparan ektrim bagi
masyarakat miskin yang hidup dengan USD 1.00/hari (United Nations, 2007).
Keberhasilan pengentasan penduduk miskin di dunia yang berjumlah 1,8
miliar jiwa dengan penghasilan kurang dari USD 1.25 menunjukkan bahwa pada
tahun 1990 jumlahnya berkurang menjadi 1,4 miliar jiwa. Kemiskinan absolut
yang berjumlah 2 miliar jiwa di negara-negara berkembang pada tahun 1990,
menurun menjadi 1,4 miliar jiwa pada tahun 2008 (United Nations, 2012). World
Bank (2013:6-8) mencatat program pengentasan kemiskinan di negara
berkembang seperti diagendakan oleh Millenium Development Goals agar mampu
melewati target yang direncanakan pada tahun 2015 sebesar 50 persen penduduk
65
miskin di dunia. Jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang dari USD
1.25/hari menurun dari 47 persen pada tahun 1990 menjadi 22 persen tahun 2010.
Zastrow (2008: 237) menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan melalui
peningkatkan kesejahteraan dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Pendekatan Absolut. Pendekatan ini didasarkan pada batas minimum yang
harus dimiliki untuk mencapai kebutuhan dasar bagi keperluan suatu keluarga.
Keluarga dikatakan miskin apabila tidak mempunyai penghasilan atau
pendapatannya tidak mencapai batas minimum yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan minimal hidupnya. Kelemahan pendekatan ini terletak
pada kenyataan bahwa kebutuhan setiap keluarga menjadi berbeda,
disebabkan oleh kondisi sosial, lingkungan dan tempat tinggal mereka.
2) Pendekatan Relatif. Pendekatan ini membandingkan antara pendapatan
seseorang atau rumah tangga dengan rata-rata pendapatan populasi yang
didasari pada ketidak-seimbangan pendapatan. Selama ketidakseimbangan
pendapatan masih ada, selama itu kemiskinan akan tetap ada. Pendekatan ini
mengatakan bahwa kemiskinan dan distribusi pendapatan masyarakat dalam
kehidupan nyata, tidak sama untuk semua tempat.
3) Pendekatan Kebutuhan Dasar. Pendekatan yang menekankan pada dua unsur
penting. Pertama, bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi pendapatan
yang tidak dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar akan pangan, papan,
pakaian, dan barang-barang rumah tangga tertentu. Kedua, pendapatan
tersebut juga tidak dapat memenuhi hal penting lainnya seperti kebutuhan air
bersih, sanitasi, transportasi umum, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.
66
2.4.4 Indikator Kemiskinan
Salah satu alat untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah indikator
kemiskinan. Sebelas indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) yaitu:
1) Keterbatasan pangan, merupakan ukuran dari jumlah kecukupan dan mutu
pangan yang dikonsumsi seperti rendahnya asupan kalori, buruknya gizi yang
dinikmati oleh bayi, anak balita dan ibu.
2) Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan berkualitas yang tersedia bagi
masyarakat miskin, berupa tempat fasilitas layanan kesehatan yang jauh dari
tempat mereka tinggal. Mahalnya biaya pengobatan dan perawatan kesehatan
berakibat tidak mampunya masyarakat miskin mendapatkan standar layanan
kesehatan yang dibutuhkan. Sebaliknya, layanan kesehatan berkualitas hanya
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi.
3) Sarana pendidikan yang sulit didapat. Indikator diukur dari terbatasnya sarana
pendidikan yang tersedia. Mahalnya biaya pendidikan berakibat terhadap
kecilnya kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mengakses sarana
pendidikan yang tersedia.
4) Tidak tersedianya kesempatan kerja dan usaha, seperti kecilnya kesempatan
kerja berdampak terhadap perbedaan pengupahan kaum pria terhadap kaum
wanita. Langkanya kesempatan berusaha berdampak terhadap lemahnya
perlindungan bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5) Keterbatasan akses terhadap layanan perumahan dan sanitasi. Indikator yang
digunakan adalah kesulitan memiliki perumahan akibat tingginya harga tanah.
67
Hal ini berdampak terhadap tidak cukup tersedianya permukiman yang sehat
dan layak huni. Keterbatasan sanitasi berdampak terhadap kesehatan rakyat.
6) Keterbatasan akses terhadap air bersih. Indikator yang digunakan adalah
sulitnya mendapatkan air bersih. Penguasaan sumber air secara berlebihan
berdampak terhadap rendahnya kualitas air. Akses terhadap sumber air
sebagai sumber daya alam seharusnya dikelola pemerintah untuk kepentingan
umum tetapi sebaliknya dikelola oleh swasta untuk kepentingan komersial.
7) Keterbatasan akses terhadap tanah. Indikator yang digunakan adalah struktur
atas kepemilikan dan penguasaan tanah. Hilangnya kepemilikan tanah untuk
kepentingan komersial dan sulitnya mengakses kembali tanah dengan harga
yang mahal merupakan persoalan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
8) Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikator yang digunakan
adalah buruknya kondisi lingkungan hidup dan rendahnya sumber daya alam.
Indikator ini sangat terkait dengan penghasilan yang bersumber dari sumber
daya alam, seperti daerah perdesaan, daerah pesisir, dan daerah pertambangan.
9) Tidak adanya jaminan rasa aman. Indikator ini berkaitan dengan tidak adanya
jaminan keamanan yang didapat masyarakat. Penegak keamanan harus berlaku
adil bagi masyarakat didalam menjalani kehidupan sosial maupun ekonomi.
10) Keterbatasan akses untuk partisipasi. Indikator ini diukur melalui rendahnya
keterlibatan masyarakat mendapatkan akses dalam pengambilan kebijakan.
11) Besarnya beban kependudukan, indikator ini berkaitan dengan besarnya
tanggungan keluarga dan beratnya tekanan hidup yang dialami masyarakat.
68
Untuk mengukur kemiskinan, Harniati (2007: 21) dalam penelitiannya
memakai indikator-indikator sebagai berikut:
1) The incidence of poverty (the poverty headcount index), yaitu gambaran
besarnya persentase dari jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran
konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan (the proportion of the
population with a standard of living below the poverty). Tujuan the poverty
head count index adalah untuk memungkinkan melakukan perbandingan
kemiskinan atau mengevaluasi kemiskinan atas kebijakan proyek tertentu.
2) The depth of poverty (the poverty gap index), yaitu gambaran tentang
dalamnya kemiskinan, berupa jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang
miskin terhadap garis kemiskinan. Indikator ini menggambarkan ukuran
pendapatan masyarakat per kapita yang diperlukan untuk mengentaskan
kemiskinan. Semakin besar indeks kemiskinan, semakin jelek kemiskinan.
3) The severity of poverty, atau yang disebut dengan keparahan kemiskinan;
memperlihatkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
paling mendasar seperti sandang, pangan, air bersih dan perumahan.
Penyebab kemiskinan menurut neoliberalisme dengan memakai indikator
kemiskinan seperti lemahnya pengaturan pendapatan individu, sedangkan ukuran
kemiskinan yang dipakai oleh teori sosial demokrat memakai pendekatan relatif
dalam kaitannya dengan kebutuhan seseorang di masyarakat. Berdasarkan tolok
ukur ini orang yang tergolong miskin berdasarkan kedudukan mereka dengan
memperhatikan tingkat perbedan kehidupannya dibandingkan dengan rata-rata
mutu kehidupan yang berlaku umum. Hal ini seperti disajikan pada Tabel 2.5.
69
Tabel 2.5 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
No Sumber Variabel Indikator 1 Nehen (2012) Kemiskinan 1) Rendahnya pendidikan
2) Terbatasnya kesempatan kerja 3) Pendapatan rendah
Fasilitas umum
4) Tidak tersedia layanan kesehatan 5) Air bersih 6) Listrik
Budaya 7) Susah merubah kebiasaan lama 8) Rendahnya motivasi kerja
2 Papilaya (2013) Budaya 1) Rendahnya upaya meninggalkan kebiasaan lama
2) Rendahnya keterampilan Situasional 3) Pengaruh lingkungan, sosial, budaya dan
ekonomi Kebijakan
pembangunan 4) Terjadinya ketimpangan distribusi
3 BPS (2008) Globalisasi 1) Melahirkan negara pemenang 2) Hegemoni ekonomi 3) Kemiskinan di negara sedang berkembang 4) Negara miskin sebagai negara kalah
Pola Pembangunan
5) Pembangunan tidak seimbang 6) Masyarakat tidak siap berpartisipasi 7) Masyarakat terpinggirkan 8) Tercabut akar budaya 9) Kehilangan hak kepemilikan 10) Tanah terjual 11) Masyarakat menjadi miskin
Sosial 12) Kemiskinan kelompok dalam masyarakat 13) Kemiskinan anak-anak, kelompok minoritas 14) Bias gender, diskriminasi, exploitasi ekonomi
Konsekuensial 1) Terjadi konflik 2) Bencana alam 3) Kerusakan lingkungan 4) Tingginya jumlah penduduk
4 Bapenas (Harniati, 2010)
Ekonomi 1) Keterbatasan pangan 2) Keterbatasan akses terhadap tanah
Fasilitas umum
3) Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan
4) Sarana pendidikan yang susah didapat 5) Layanan perumahan yang terbatas 6) Terbatasnya layanan air bersih
Sumber daya alam
7) Kondisi lingkungan yang buruk 8) Sumber daya alam yang terbatas
Kemiskinan 9) Sarana pendidikan sulit didapat 10) Kesempatan kerja terbatas
Sosial 11) Tidak ada jaminan rasa aman 12) Terbatasnya akses partisipasi 13) Besarnya beban kependudukan
Sumber : Nehen (2012), Papilaya (2013), BPS (2008), Bapenas (Harniati, 2010)
70
Tabel 2.6 Kedudukan Penelitian Diantara Peneliti-peneliti yang Lain
No Peneliti Tahun
Variabel
Sosial Budaya
Pendapatan Masyarakat
Pertumbuhan Ekonomi
Pelayanan Produk
Kesejahteraan masyarakat
Kesempatan Kerja Devisa Investasi
Indeks Kedalam
Kemiskinan
Indeks Keparahan Kemiskinan
Rasio Gini
1 Anwar 2012
2 Karim et. al 2012
3 Word 2005
4 Spencely dan Self
2013
5 Ashley et.al 2001
6 Nurhidayati 2012
7 Ramadani 2012
8 Ashal 2008
9 Gibson 2009
10 Eyben et. al 2008
11 Tosun 2003
12 Scheyvens dan Momsen
2008
13 Torres dan Momsen
2004
14 Cattarich 2001
15 Wahyudi 2007
16 Made Patera 2015
71
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEPTUAL
DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir disusun dari abstraksi teoritis dan kajian penelitian
terdahulu didukung oleh kajian empiris induktif terkait dengan perkembangan
pariwisata di Kabupaten Badung. Terus meningkatnya kunjungan wisatawan,
lama tinggal dan besarnya pengeluaran wisatawan memberi peluang kegiatan
ekonomi yang berdampak positif terhadap kinerja perekonomian dan terhadap
pengentasan kemiskinan sebagai indikator keberhasilan di Kabupaten Badung.
Kontribusi Perdagangan, Hotel dan Restauran (PHR), penyerapan tenaga
kerja dan meningkatnya investasi dibidang pariwisata yang disumbangkan kepada
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Badung, menempatkan Kabupaten Badung
sebagai kabupaten dengan pertumbuhan tertinggi di sektor perekonomian di Bali
(BPS Badung, 2014). Sebagai kabupaten terkaya sekabupaten/kota di Bali,
pemerintah Kabupaten Badung memanfaatkan pendapatan dari sektor pariwisata
untuk pembangunan infrastruktur dan peningkataan prasarana. Sedangkan
pendapatan yang diterima langsung oleh masyarakat berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut World Bank (2013: 7-9),
pengembangan pariwisata membuka berbagai peluang melalui masuknya investasi
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, terbukanya lapangan kerja,
meningkatnya pendapatan pemerintah melalui sektor pariwisata, khususnya
terhadap meningkatnya pendapatan devisa bagi pembangunan bangsa.
71
72
Berbagai penelitian yang dilakukan di negara-negara berkembang
membuktikan bahwa apabila strategi pengelolaan pariwisata diarahkan kepada
keberpihakan kepada orang miskin (pro poor tourism) maka pariwisata dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Hall, 2007: 1-2; Muhanna, 2007: 37-38;
Mitchel dan Faal, 2007: 463; Guo, 2008: 3; Scheyvens dan Momsen, 2008: 24;
Goodwin, 2008: 869). Strategi lainnya adalah lebih terfokusnya kepada orientasi
pembangunan pariwisata dengan cara memperpendek mata rantai distribusi hasil
pariwisata. Cara ini akan dapat mengoptimalkan peranan dari pertumbuhan
pariwisata dalam pengentasan kemiskinan. Misalnya memfasilitasi masyarakat
lokal dengan wisatawan dalam penyediaan kebutuhan wisatawan atau dalam
pengembangan daerah tujuan wisata yang lebih menarik dan menguntungkan
masyarakat lokal (Hill et al 2006: 164; Mograbi dan Rogerson, 2007: 86;
Harrison, 2008: 854-856). Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan
masyarakat lokal didalam proses pengambilan keputusan tentang kegiatan
pariwisata yang sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumber daya setempat
(Selinger, 2009; Ashley dan Hayson, 2006; dan Ashley dan Roe, 2002: 4-6).
Sedangkan pertumbuhan pariwisata secara berkelanjutan dapat diketahui
dari apakah masyarakat secara langsung dapat menikmati hasil pariwisata dan
merasakan peningkatan kesejahteraan mereka secara terus menerus. Pemerintah
dan para pemangku pariwisata harus mampu mengimplementasikan kebijakan
pariwisata berbasis masyarakat (commnity based tourism) secara konsisten.
Penerapan pariwisata model ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat melalui
pemberian pelatihan praktis di bidang pariwisata, tentang peningkatan kinerja, dan
73
secara finansial memberikan dukungan bagi kredit usaha, rencana pengembangan
usaha, produk wisata dan tentang pemasaran pariwisata. Dalam keterbatasan
masyarakat seperti tentang rendahnya kompetensi dan teknis pengelolaan bisnis
pariwisata, masyarakat perlu diberi pembinaan sehingga pengembangan
pariwisata dapat berjalan lebih cepat (Muhanna, 2007: 39; Karim et al 2012: 3-4).
Untuk mewujudkan gagasan peningkatan sumberdaya manusia untuk
pengembangan pariwisata diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk merubah
pola pikir dari seorang penonton menjadi pelaku aktif dalam dunia pariwisata.
Masyarakat diberikan pelatihan dan pendampingan secara berkesinabungan.
Pengembangan pariwisata berbasiskan masyarakat wajib dilakukan
melalui pemberian pelatihan praktis tentang peningkatan kinerja dan memberikan
dukungan finansial berupa kredit untuk pengembangan usaha. Optimalisasi
sumber daya manusia di daerah pengembangan wisata lokal yang masih tertinggal
perlu dilakukan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mampu bersaing untuk meningkatkan
kesempatan kerja, sehingga jumlah masyarakat miskin menjadi berkurang.
Berbeda dengan bentuk pengelolaan pariwisata dalam skala besar yang
mengandalkan kekuatan kapital, alternatif dari konsep pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat dengan pola padat karya lebih sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat lokal dan secara ekonomis akan mengutungkan masyarakat itu
sendiri. Model pariwisata berbasis masyarakat lebih tahan uji dalam menghadapi
terjadinya krisis ekonomi (Mitchel dan Faal, 2007; Mograbi dan Rogerson, 2007:
88). Strategi yang dipandang efektif untuk merealisasikan suatu kebijakan jika
74
dikelola dengan tepat akan mampu mengurangi kemiskinan, diantaranya dengan
melibatkan pemerintah dan memberdayakan masyarakat melalui proses
perencanaan dan pemecahan masalah seperti disajikan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
Kebijakan Swasta
P
L
S
SWOT
Masyarakat Jumlah penduduk miskin yang
turun naik, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1998
Pariwisata Mendatangkan pendapatan bagi
pemerintah daerah dan masyarakat
Kebijakan Pemerintah
Peran pariwisata dalam pengentasan
kemiskinan di Badung
Masalah 1 Pengaruh perkembangan
pariwisata terhadap kinerja perekonomian Teori/Konsep : 1/ 4
Masalah 2 Pengaruh kinerja
perekonomian terhadap tingkat kemiskinan
Teori : 1 & 2
Masalah 3 Pengaruh perkembangan
pariwisata terhadap tingkat kemiskinan
Teori /Konsep: 1& 2/5
Rekomendasi
Strategi
Masalah 4 Strategi peningkatan
peran pariwisata dalam pengetasan kemiskinan
Teori/Konsep : 3/4, 5&6
Teori
1. NeoLiberalisme 2. Kemiskinan 3. Pemberdayaan
Konsep
4. Pariwisata 5. Pro Poor Tourism 6. Community Based
Tourism
75
Kerangka berpikir penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pemerintah Kabupaten Badung mendatangkan pendapataan terbesar dari
hasil pariwisata jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Bali.
Hasil pariwisata juga dinikmati secara langsung oleh masyarakat Badung.
2) Dari besarnya pendapatan Kabupaten Badung ternyata masih terdapat
jumlah penduduk miskin yang belum dapat dituntaskan oleh pemerintah.
3) Melalui pendekatan teori dan konsep pariwisata dikaji secara lebih
mendalam keberadaan kemiskinan dan faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan kemiskinan di Kabupaten Badung.
4) Dikaji apa saja peran pemerintah dan swasta di dalam pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Badung
5) Untuk mengungkap lebih dalam dampak penelitian terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung dipakai pendekatan kuantitatif dengan analisis PLS
(Partial Least Square) dan pendekatan kualitatif dengan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity dan Threat).
6) Temuan penelitian diharapkan akan menghasilkan strategi baru tentang
peran pariwisata yang orientasinya berpihak kepada orang miskin (pro
poor tourism) di Kabupaten Badung
7) Pembahasan hasil penelitian dibuatkan simpulan dan dibuatkan saran
untuk dijadikan rekomendasi sebagai pedoman pemerintah dan swasta
sebagai panduan didalam menerapkan kebijakan baru terhadap
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung.
76
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian dibentuk berdasarkan uraian yang terdapat
pada kerangka berpikir. Kemudian berdasarkan kerangka berpikir tersebut dapat
dibentuk sebuah model penelitian seperti disajikan pada Gambar 3.2 dan
selanjutnya diikuti dengan rumusan hipotesis.
Keterangan:
Gambar 3.2
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dapat dijelaskan sebagai sebuah keterkaitan
antara perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian dan kemiskinan. Dengan
perencanaan strategis dan terintegrasi pro poor tourism dan dampaknya terhadap
kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat (Spenceley dan Seif, 2003).
Jumlah kunjungan, lama tinggal dan pengeluaran wisatawan merupakan indikator
perkembangan pariwisata berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian.
X1.1 Kunjungan Wisatawan
X1.2 Kontribusi PHR
X1.3 Lama tinggal Wisatawan
X1.4 Pengeluaran Wisatawan
Y1.2 Indeks
Kedalaman Kemiskinan
Y1.1 Jumlah
Penduduk Miskin
Y1.3 Indeks
Keparahan Kemiskinan
X2.1 Pertumbuhan
PDRB
X2.2 Penyerapan tenaga kerja
X2.3 Investasi
Kinerja Perekonomian
(X2)
Perkembangan Pariwisata
(X1)
Kemiskinan (Y)
77
Sedangkan indikator peningkatan kerja perekonomian lainnya berupa: (1) naik
tutunnya peningkatan investasi (2) pendapatan yang diterima sektor pariwisata (3)
bertumbuhnya penyediaan layanan wisata, (4) besarnya kontribusi pariwisata
terhadap pertumbuhan produk domesik bruto dan (5) sejuh mana meningkatnya
penanaman modal terhadap perkembangan pariwisarta (Brida et al 2008).
Menurut Athanasopoulou (2013:7-16), indikator pariwisata lainnya yang berperan
dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan perdagangan, peningkatan
kegiatan export import antar negara dan penyediaan tenaga ahli (skilled labour).
Karim, et al (2012) melakukan penelitian tentang perkembangan
pariwisata mengatakan bahwa pariwisata Pakistan berdampak terhadap
pengentasan kemiskinan melalui peningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
diterima dari peningkatan Gross Domestic Product (GDP), peningkatan ekspor
dari produk-produk pariwisata seperti kerajinan tangan dan dari produk industri
lainnya serta melalui pendapatan pajak dari kegiatan ekonomi pariwisata.
Ashley et al (2001) dalam penelitian yang dilakukan negara sedang
berkembang seperti Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan
Nepal menyatakan bahwa dari sintesa terhadap temuan studi yang diteliti
menunjukkan bahwa pariwisata berperan terhadap terbukannya kesempatan kerja
baru, bertumbuhnya perekonomian mikro. Pertumbuhan ekonomi mikro
berdampak langsung terhadap peningkatan dan pemerataan pendapatan
masyarakat dan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Dampak
pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian didukung oleh konsep
community based tourism (Tasci, et al, 2013: 10-11); Joppe (1996: 475) dan
78
Armstrong (2012: 2). Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa dampak
pengembangan pariwisata di dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dilakukan
dengan pelestarian lingkungan dan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat.
3.3 Hipotesis
Hipotesis adalah rumusan jawaban sementara terhadap suatu masalah
penelitian yang atau masih belum diketahui atau berupa praduga dan harus
dibuktikan kebenarannya dengan data penelitian. Berdasarkan kerangka konsep
yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat di buat hipotesis sebagai berikut:
3.3.1 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian
Pariwisata sebagai sebuah industri dengan pertumbuhan dinamis bergerak
diberbagai bidang layanan seperti layanan transportasi, agen perjalanan dan biro
perjalanan wisata, akomodasi, perdagangan dan sektor terkait lainnya pariwisata
merupakan sumber utama pendapatan devisa. Semakin meningkatnya jumlah
kunjungan dan pengeluaran wisatawan berdampak terhadap kinerja
perekonomian. Dalam Evaluating the Contribution of Tourism to Ecomonic
Growth, Brida, et al (2007), menyatakan bahwa tidak mudah menghitung
pengaruh pariwisata terhadap perkembangan perekonomian. Catatan ini bertolak
belakang dengan beberapa penelitian yang menyatakan sebaliknya seperti yang
dikatakan oleh Wall dan Matheison (2006: 7-78) bahwa peran pariwisata
mendorong pertumbuhan ekonomi di negara maju dan juga di negara sedang
berkembang dan hasil penelitian Del Corpo et al (2008: 4-5) di Eropa tentang
pariwisata abad ke 21 menyatakan bahwa pariwisata akan bertumbuh semakin
besar dan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di benua Eropa. Hal ini
79
dimungkinkan terjadi akibat dari semakin bertumbuhnya sektor wisata urban di
Eropa didukung oleh meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk diatas umur
enam puluh tahunan dan yang memungkinkan mereka mengambil waktu liburan
semakin semakin panjangnya dan tersedianya harga tiket pesawat terbang murah.
Rumusan hipotesis sebagai berikut:
H 1: Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja perekonomian.
3.3.2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi menurut Rodrick (2007) secara historis merupakan
salah satu solusi yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
dan mengurangi kemiskinan. Sedangkan pernyataan Fields (2007) dalam
Economic, Labor Markets, and Poverty Reduction selanjutnya mengkonfirmasi
bahwa pertumbuhan okonomi sangat terkait dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat termasuk mereka yang berada dalam keadaan yang paling miskin.
Menurut Dahlquist (2013), penelitiannya “Does Economic Growth Reduce
Poverty” (Apakah pertumbuhan Ekonomi Mengurangi Kemiskinan) menyatakan
terhadap korelasi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan,
pertanyaannya adalah instrumen apa yang harus dilakukan untuk mendistribusikan
agar hasil dari pertumbuhan ekonomi memberi keuntungan kepada semua orang.
Pemberian beasiswa melalui CSR yang dilakukan pemerintah dan swasta
seperti oleh Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, PT Pertamina, sedangkan
secara spesifik dalam ahubungan kinerja ekonomi perusahan yang bergerak
dibidang pariwisata seperti BTDC Nusa Dua memberikan beasiswa kepada
80
SMAKN dan Ramayanan hotel memberikan beasiswa kepada SMP Sunariloka
(Bappeda Badung, 2014). Sedangkan menurut Krongkaew et al (2006), yang
meneliti tentang hubungan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan
pengentasan kemiskinan (economic growth, employment, and poverty reduction)
di Thailand menyatakan bahwa dampak pertumbuhan perekonomian terhadap
kemiskinan terlihat seperti berikut:
“it is almost universally accepted that economic growth is a necessary condition that brings about an increase in income, which, in turn, pushes people out of poverty” (secara universal bisa diterima bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dipastikan memberi dampak meningkatnya pendapatan, yang menyebabkan berkurangnya kemiskinan).
Hipotesisnya dirumuskan sebagai berikut:
H 2: Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan
3.3.3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan
Penelitian Hall (2007:1-2), Mitchel dan Faal, (2007:563) dan Guo
(2008:3) tentang pro poor tourism yaitu sebuah model pengelolaan pariwisata
yang berpihak kepada orang miskin menyatakan bahwa pengalaman yang
dilakukan di negara-negara berkembang membuktikan bahwa hasil pengelolaan
pariwisata berdampak terhadap meningkatkatnya kesejahteraan masyarakat Hasil
penelitian Mograbi dan Rogerson (2007: 86), Hill et al (2006: 164) dan Harrison
(2008: 854-856) menyatakan bahwadengan memberdayakan masyarakat secara
partisipatif dalam pengadaan produk hasil pertanian untuk kebutuhan pariwisata,
memungkinkan mereka untuk mendapatkan hasil dari pekerjaannya untuk
meningkatan kesejahteraan. Ashar (2008) sejalan dengan Hill et al (2006: 164),
81
Mitchael dan Faal (2007: 563) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat
dalam pro poor tourism memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata. Kesempatan mendapatkan pekerjaan
dan pendapatan lebih baik merupakan keuntungan langsung (direct benefits) yang
diterima orang miskin.
Hipotesisnya dirumuskan sebagai berikut:
H 3: Perkembangan Pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan
82
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode gabungan antara metode kuantitatif
dengan metode kualitatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Creswell, 2010: 22)
dan Jonker et al (2011: 88) menyatakan bahwa dengan semakin kompleksnya
masalah penelitian, memakai metode gabungan kualitatif dan kuantitatif dalam
satu penelitian akan saling memperkuat satu sama lainnya, dari pada
menggunakan hanya satu metode penelitian secara terpisah. Dalam penelitian ini
hasil penelitian kualitatif dipakai untuk mendukung hasil penelitian kuantitatif.
Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pengambilan data sekunder dari
sumber data yang tersedia di Kantor Statistik, Kantor Satuan Kerja Peringkat
Daerah Badung dan beberapa tulisan terkait dengan penelitian yang tersedia di
instansi lainnya. Data yang tersedia diolah dengan analisis statistik inferensial
menggunakan Partial Least Partial (PLS). Hasil pengujian hipotesis dipakai
mengkonfirmasi hasil penelitian dan teori-teori yang dirujuk (Jennings, 2001: 35;
Denzin dan Lincoln, 2009; 1-4; Tewksbury, 2009; Babbie, 2005: 389-390).
Pendekatan kualitatif juga dilakukan dalam penelitian ini karena sebagian
dari permasalahan yang diteliti dilakukan melalui penelusuran (ekplorasi) secara
deskriptif, melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), peneliti
sebagai instrumen kunci (key instrument) melakukan penelitian ke lapangan.
Untuk mengetahui karakteristik kemiskinan dipakai statistik deskriptif bertujuan
untuk mengkorfirmasi hasil analisis kuantitatif. Langkah berikutnya dengan
82
83
melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) untuk
mengeksplorasi masalah yang spesifik, berkaitan dengan strategi pengentasan
kemiskinan. Pendekatan kualitatif menurut (Moleong, 2002: 9-11; dan Jennings,
2001: 210-211) sebagai sebuah paradigma fenomenologis dengan menggunakan
metode induktif untuk mengungkap keterkaitan dari berbagai faktor untuk
mendapatkan temuan dijadikan konsep dasar untuk menciptakan grounded theory.
4.2 Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah tujuan wisata berbeda yaitu di Kabupaten
Badung Selatan, di Kecamatan Kuta Selatan yaitu di daerah Pecatu dan Jimbaran
dan di daerah Badung Utara, di Kecamatan Petang desa Plaga dan Belok Sidan.
Penelitian dampak pariwisata terhadap kemiskinan dilakukan selama bulan
Oktober 2014-Juni 2015 dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Kecamatan Kuta Selatan Desa Pecatu merupakan daerah kegiatan pariwisata
intensif yaitu pertumbuhan beragam kegiatan pariwisata dalam skala lokal,
nasional sampai skala internasional dengan karakteristik pantai dan tebing
yang indah dan udara hangat. Daerah ini berkembang dengan cepat, menjadi
incaran investor untuk pembangunan diberbagai aspek pariwisata. Sebelum
berkembangnya pariwisata Pecatu, sebagian besar masyarakat pecatu hidup
dengan bertanam padi tadah hujan dan palawija. Jumlah masyarakat miskin di
Pecatu pada tahun 2011 sebanyak 144 RTM (BPS Badung, 2014) termasuk
kemiskinan absolut 31 RTM, ditambah miskin dan hampir miskin sebanyak
113 RTM. Kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat Pecatu mengikuti
program transmigrasi ke daerah Sulawesi. Setelah masuknya UNUD ke Bukit
84
dan dikembangkannya The Nusa Dua Area Development Plan pada tahun
1973, barulah daerah Pecatu menjadi alternatif pengembangan pariwisata.
Sedangkan Desa Jimbaran yang terkenal dengan potensi pantai Jimbaran
sebagai pusat sea food kuliner di Badung, memiliki hotel bertaraf
internasional dan dekat dengan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai,
memiliki 550 pengusaha pelaku bisnis pariwisata mulai dari sektor ekonomi
mikro sampai pengusaha hotel bertaraf internasional. Desa Jimbaran menurut
Lurah Bapak I Ketut Rimbawan sejak tahun 2015 masih memiliki 13 RTM.
2) Berbeda dengan Kuta Selatan, Kecamatan Petang dengan Desa Plaga dan
Desa Bilok Sidan sebagai daerah pariwisata non intensif dengan pertumbuhan
pariwisata terbatas pada agro wisata. Dengan karakteristik pegunungan
dengan udara sejuk dan kehidupan masyarakatnya tergantung dari pertanian,
peternakan, perikanan dan pengelolaan sumber daya alam lainnya. Desa Plaga
memiliki 619 RTM terdiri dari 136 RTM absolut, 236 RTM miskin dan 248
RTM hampir miskin dan Desa Bilok Sidan memiliki 400 RTM terdiri dari
189 RTM absolut, 144 RTM miskin dan 67 RTM hampir miskin.Kecamatan
Petang di Badung utara khususnya Desa Plaga mempunyai potensi besar hasil
pertanian sebagai pusat penghasil sayur asparagus dikelola oleh Koperasi
Tani Mertanadi dengan jumlah anggota 105 orang.
3) Lokasi penelitian empat desa dimaksud di Badung Utara maupun Badung
Selatan belum pernah dilakukan penelitian tentang peran pariwisata atau
penelitian sejenis lainnya terhadap pengentasan kemiskinan.
Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.1
85
Tabel 4.1 Lokasi Penelitian
Kabupaten Kecamatan Desa Kecamatan / Desa
Badung
Kuta Selatan Pecatu Pariwisata Intensif Jimbaran
Petang Pelaga Pariwisata Non Intensif Belok/Sidan
Gambar 4.1
Lokasi Penelitian
86
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Identifikasi Variabel
Variabel atau faktor adalah sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan
dan berperan sangat penting dalam suatu penelitian. Berdasarkan masalah dan
hipotesis penelitian dapat diidenfikasi variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1) Variabel independen (variabel bebas) yaitu Perkembangan Pariwisata (X1).
Variabel ini mempengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya perubahan atau
yang mempengaruhi variabel lain. Variabel ini juga sering disebut dengan
variabel eksogen. Dalam analisis multivariat variabel sering disebut dengan
konstruk.
2) Variabel independen kedua (varibel bebas) yaitu Kinerja Perekonomian (X2),
Variabel ini mempengaruhi variabel lain yaitu variabel Kemiskinan.
3) Variabel dependen (variabel terikat) yaitu variabel Kemiskinan (Y), variabel
yang dipengaruhi oleh variabel lain yaitu Perkembangan Pariwisata dan
Kinerja Perekonomian. Variabel ini sering juga disebut dengan variabel
endogen.
4.3.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian adalah:
1) Perkembangan Pariwisata, dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian
yang telah dilakukan oleh Theobald (2005: 163-165), Shilcher (2007: 58),
Burn dan Holden (1995: 40-141), Selinger (2009: 3-4) dan Tasci et al
(2013: 3-4), adapun indikator yang diukur adalah:
87
a) Jumlah Kunjungan Wisatawan yaitu jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara dan wisatawan nusantara.
b) Kontribusi PHR yaitu kontribusi pajak dari hotel dan restoran.
c) Lama Tinggal Wisatawan yaitu rata-rata lama tinggal wisatawan
mancanegara dan nusantara di Kabupaten Badung.
d) Pengeluaran Wisatawan yaitu rata-rata pengeluaran wisatawan
mancanegara dan nusantara selama menginap dan berwisata di
Badung, kecuali biaya pesawat udara.
Penelitian Irawan (2013) tentang “Analisis Faktor Penentu Pengeluaran
Wisatawan Melalui Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan Di Provinsi
Kalimantan Tengah” menyatakan bahwa: frekuensi kunjungan wisatawan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran wisatawan, lama
tinggal wisatawan berpengaruh langsung dan signifikan terhadap
pengeluaran wisatawan.
2) Kinerja Perekonomian
Konsep kinerja perekonomian yang digunakan adalah penelitian Wall dan
Mathieson (2006:77-78), Richardson (2010:1) dan Athanasopoulou (2013:
7-16). Adapun indikator-indikator yang diukur adalah:
a) Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto, berupa besarnya
peningkatan PDRB yang dihitung dari kinerja perekonomian sebagai
dampak dari kegiatan pariwisata dan perdagangan.
b) Penyerapan Tenaga Kerja yaitu jumlah keseluruhan tenaga kerja yang
diserap oleh lapangan usaha.
88
c) Investasi yaitu jumlah besarnya investasi yang dicatat setiap tahunnya
sebagai dampak dari kinerja pariwisata.
3) Kemiskinan
Konsep kemiskinan didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Laderchi et al (2006), BPS Bali (2012: 493), Nehen (2012: 201-203),
Papilaya (2013: 43-46), Zastrow (2008:237). Indikator yang diukur adalah:
a) Jumlah penduduk miskin yaitu jumlah penduduk miskin yang didapat
dari data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung.
Sedangkan orang miskin adalah mereka yang tingkat pendapatannya
lebih rendah dari garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) di
Kabupaten Badung tahun 2013 setara dengan 2100 kilo kalori untuk
makanan ditambah 54 non makanan atau Rp. 406.408/kapita/bulan.
b) Indeks Kedalaman Kemiskinan berupa ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin besar nilai indeks kedalaman kemiskinan,
semakin jauh jarak kemiskinan atau semakin jelek kemiskinan itu.
Semakin kecil nilai indeks kedalaman kemiskinan, ia akan semakin
mendekati ke garis kemiskinan atau kemiskinan itu semakin membaik.
Indeks Kedalaman Kemiskinan 1,01% atau selisih dalam persen
terhadap kemiskinan yaitu: selisih jarak antara pengeluaran penduduk
miskin dengan garis kemiskinan sebesar 1,01% dibawah GK.
c) Indeks Keparahan Kemiskinan yang disebut varian antara pendapatan
masing-masing penduduk miskin yaitu: gambaran tentang penyebaran
pengeluaran diantara penduduk miskin yang semakin heterogen dari
89
yang sangat miskin sampai miskin. Apabila varian kemiskinan makin
besar berarti kemiskinan heterogen sekali, ada yang sangat miskin
sampai ke fakir miskin. Kondisi ini semakin menyusahkan pemerintah
mengentaskan kemiskinan. Adapun konstruk atau variabel, indikator
dan sumber penelitian disajikan pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Deskripsi Konstruk/Variabel, Indikator , Skala Pengukuran dan
Sumber Referensi Jenis Konstruk Nama
Konstruk/ Variabel /Simbol
Jumlah Indikator
Indikator/ Parameter/Simbol
Skala Sumber
Eksogen Perkembangan Pariwisata (PP) atau X1
4 Jumlah Kunjungan Wisatawan(X1.1)
Rasio Theobald (2005: 163-165), Shilcher (2007:58), Burn dan Holden (1995:140-141), Selinger (2009:3-4) dan Tasci et al (2013:3-4)
Kontribusi PHR (X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan (X1.4)
Eksogen Kinerja Perekonomian (KP) atau X2
3 Pertumbuhan PDRB (X2.1)
Rasio Wall dan Mathieson (2006:77-78), Richardson (2010:1) dan Athanasopoulou (2013:7-16).
Penyerapan Tenaga Kerja (X2.2)
Investasi (X2.3)
Endogen Kemiskinan (KM) atau Y
3 Jumlah penduduk miskin (Y1)
Rasio Laderchi et al (2006), BPS Bali (2012: 493), Nehen (2012: 201-203),Papilaya (2013: 43-46),Zastrow (2008:237).
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Y2)
BPS Badung (2014)
Indeks Keparahan Kemiskinan (Y3)
BPS Badung (2014)
90
4.4 Jenis dan Sumber Data
4.4.1 Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif
dan kualitatif dengan uraian sebagai berikut:
1) Data kuantitatif
Yaitu data berupa informasi yang berbentuk bilangan, memiliki
satuan hitung dan nilainya dapat berubah-rubah atau bersifat variatif
seperti: jumlah kedatangan wisatawan, lama tinggal ataubesarnya jumlah
pengeluaran mereka. Data kuantitatif diperoleh dari dokumen yang
tersedia di kantor BPS Kabupaten Badung yang terkait dengan tujuan
penelitian yaitu : Bappeda Kabupaten Badung, BPS Provinsi Bali, dan
BPMPD Provinsi Bali.
2) Data kualitatif
Yaitu jenis data yang tidak dalam bentuk angka dan tidak
mempunyai satuan hitung, tetapi berupa ciri-ciri, sifat, keadaan atau
gambaran dari obyek yang diteliti. Data kualitatif dicatat dari informasi
yang diperoleh langsung dari informan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan
terbuka saat melakukan interview dan diskusi kelompok dengan informan.
4.4.2 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dengan pertian
sebagai berikut:
1) Data Primer
Data primer didapat melalui : (1) observasi lapangan terhadap
daerah yang diteliti untuk mendapatkan gambaran umum tentang
91
pariwisata dan kemiskinan sebelum turun kelapangan untuk melakukan
penelitian di Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan di Kecamatan Petang, dan
Desa Jimbaran dana Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan, (2) melalui
wawancara didapatkan informasi tentang kondisi kemiskinan di desa
masing-masing dan, (3) melalui FGD didapatkan informasi terkini tentang
potensi desa dan kelemahannya untuk merancang strategi pengembang
pariwisata dan pengentasan kemiskinan dimasing-masing desa.
2) Data Sekunder
Yaitu data yang sudah tersedia sebagai referensi penunjang
penelitian diperoleh dari sumber tidak langsung yaitu: (1) Indikator
Pengembangan Pariwisata terdiri dari: Jumlah Kunjungan Wisatawan ke
Kabupaten Badung, Kontribusi PHR, Lama Tinggal Wisatawan, (2)
Indikator Kinerja Perekonomian: terdiri dari Pertumbuhan PDRB,
Penyerapan Tenaga Kerja dan Investasi, dan (3) Indikator Kemiskinan di
Kabupaten Badung terdiri dari : Jumlah Penduduk Miskin, Presentase
Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan
Kemiskinan. Data dari masing-masing selama 14 tahun (tahun 2000-
2013) didapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Satuan Kerja
Peringkat Daerah (SKPD) dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
92
4.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui:
4.5.1 Observasi
Tindakan yang dilakukan dalam observasi yaitu: (1) melakukan pengamatan
awal dengan mencermati situasi di lingkungan lokasi penelitian secara
langsung dan sistematis terhadap obyek-obyek yang diteliti, (2) mencatat
fenomena atas setiap gejala penting untuk mendapatkan pemahaman
mendalam tentang kejadian selama observasi, (3) menggunakan alat
pembantu seperti kamera dan merekam kejadian yang terkait dengan tujuan
penelitian.
4.5.2 Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam dilakukan langsung untuk menggali pemaknaan dan
persepsi narasumber tentang pariwisata dan kemiskinan di Desa Plaga dan
Desa Bilok Sidan dari nara sumber Ibu Dewa Aji dan I Ketut Sueta di Desa
Pecatu dan nara sumber I Made Rame (48 tahun) dan I Made Neka (75
tahun) di Desa Pecatu. Pokok-pokok pertanyaan yang dirancang berupa
pertanyaan terbuka, mudah dimengerti, netral, dan tidak bersifat
mengarahkan. Wawancara dilakukan terstruktur secara terus menerus
hingga mencapai titik jenuh (saturated). Kriteria narasumber adalah mereka
yang mampu memberi informasi seperti: (1) para pelaku usaha pariwisata,
(2) pemerintah setempat yang memahami pariwisata, (3) tokoh masyarakat
di lokasi pariwisata yang diteliti dan (4) akademisi, pemerhati dan penggiat
masalah sosial dan aktivis lembaga swadaya masyarakat.
93
4.5.3 Studi Dokumen
Dilakukan melalui pengamatan dan pengumpulan berbagai data yang
diperlukan dan dapat dipercaya dari institusi yang terkait dengan penelitian.
4.5.4 Diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion)
Diskusi kelompok terfokus merupakan salah satu panduan metode riset
kualitatif untuk mendapatkan informasi dari permasalahan tertentu.
Menurut Krueger dalam Babbie, (2005: 317) Focus Group Discussion
dilakukan melalui diskusi kelompok beranggotakan 6-8 orang. Dengan
pimpinan seorang atau dua orang moderator sebagai pemandu diskusi.
Dalam FGD di Desa Plaga dan Bilok Sidan dihadiri oleh tokoh masyarakat
setempat, pelaku pariwisata dan dipimpin oleh DR I Nyoman Sudiarta
sebagai moderator. Sebelum FGD dimulai terlebih dahulu disiapkan
dokumen panduan diskusi, alat pencatat dan perekam. Teknik ini
menghasilkan data hasil cek silang yang lebih akurat terhadap data yang
tersedia sebelumnya. FGD merupakan pola yang paling efektif untuk
mendapatkan data kualitatif yang bermutu megenai permasalahan lokal
yang bersifat spesifik. Selain teknik wawancara, Focus Group Discussion
(FGD) merupakan salah satu metode riset kualitatif yang dilakukan melalui
diskusi secara sistematis dan terfokus untuk membahas persoalan yang
tidak pasti atau suatu masalah yang tidak bisa digeneralisir dilakukan
secara exploratif. Lima keuntungan FGD yaitu: (1) merupakan metode
penelitian sosial menyangkut realitas kehidupan dalam lingkungan sosial,
94
(2) bersifat lentur, (3) dengan kepastian tinggi, (4) memberi hasil lebih
cepat dan (5) tidak memerlukan biaya tinggi. Hasil FGD dijadikan sebagai
alat verifikasi bagi data yang tersedia untuk dibuatkan transkripnya sebelum
dianalisis. Cooper dan Schlinder (2008: 171) menyatakan bahwa untuk
mendapatkan hasil penelitian terbaik, narasumber yang dipilih haruslah
orang-orang berkualitas dan memahami bidang yang diteliti.
Fokus grup diskusi di Desa Pelaga dan Belok Sidan dilaksanakan di desa
Bilok Sidan dengan informan kunci adalah I Ketut Sueta yang mengundang
kepala desa Pelaga dan Bilok Sidan serta tokoh masyarakat dan Kelompok diskusi
terfokus di desa Jimbaran dan Pecatu dilaksanakan di dua tempat yaitu di desa
Jimbaran dan Pecatu. Informan kunci di desa Jimbaran adalah Kepala Desa
Jimbaran dan Kepala desa Pecatu. Kegiatan kelompok diskusi diikuti oleh pemuka
masyarakat dan tokoh pariwisata yang mengelola daya tarik wisata Uluwatu.
4.5.5 Pemilihan Informan
Pemilihan informan di ke dua wilayah penelitian dilakukan dengan metode
purposif sampling yaitu mereka yang dengan alasan tertentu dipilih dipilh menjadi
informan dengan pertimbangan bahwa mereka mengetahui tentang permasalahan
pariwisata dan kemiskinan di daerh penelitian. Jumlah informan yaitu masing-
masing (3) tiga informan untuk wawancara mendalam (depth-interview) untuk
mendapatkan hasil hasil wawancara sampai pada titik akhir dari penelususan
secara mendalam (saturated) dan (5) lima informan untuk wawancara yang
sifatnya lebih umum terkait dengan pemahaman informan tentang pariwisata,
95
kemiskinan dan pengetahuan lainnya. Untuk kegiatan diskusi kelompok, dipilih 9
(sembilan) tokoh masyarakat setempat, akademisi, dan pelaku pariwisata untuk
FGD di Desa Pelaga dan Belok Sidan dan di Desa Jumbaran dan Desa Pecatu.
4.6 Metode Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas:
4.6.1 Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dipergunakan untuk menjawab permasalahan pertama,
kedua dan ketiga, dengan menggunakan analisis Partial Least Square (PLS). PLS
sebagai alternatif Pemodelan Persamaan Struktural yang dasar teorinya lemah,
bisa digunakan sebagai konfirmasi teori (Wold, 1966). Indikator Variabel Laten
tidak hanya memenuhi untuk model reflektif, tetapi juga model formatif. Model
reflektif adalah model yang variabel latennya bisa berupa hasil pencerminan
indikatornya (faktor), dan Model Formatif yaitu model dimana variabel laten bisa
dibentuk oleh indikatornya (Ghozali 2011: 7-17).
Langkah-langkah analisis PLS adalah sebagai berikut:
1) Merancang model struktural (inner model)
2) Merancang model pengukuran (outer model).
3) Mengkonstruksi diagram jalur.
4) Konversi diagram jalur ke sistem persamaan.
5) Estimasi koefisien jalur, Loading dan Weight
6) Evaluasi Goodness of Fit
7) Pengujian hipotesis (Resampling Bootstraping).
96
Diagram jalur analisis PLS, digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.2 Jalur Analisis PLS
Keterangan:
X1 : Perkembangan Pariwisata X1.1 : Jumlah kunjungan wisatawan X1.2 : Kontribusi PHR X1.3 : Lama tinggal wisatawan X1.4 : Pengeluaran wisatawan X2 : Kinerja Perekonomian X2.1 : Pertumbuhan PDRB X2.2 : Penyerapan tenaga kerja X2.3 : Investasi Y1 : Kemiskinan Y1.1 : Jumlah penduduk miskin Y1.2 : Indeks Kedalaman Kemiskinan Y1.3 : Indeks Keparahan Kemiskinan 4.6.2 Analisis Kualitatif
Teknik analisis kualitatif dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah
keempat yaitu bagaimana mengembangkan strategi peningkatan peran pariwisata
dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Informasi atau data yang
tersedia dianalisis melalui pendekatan Strength, Weakness, Opportunity dan
X2.1 X2.2 X2.3
Perkembangan Pariwisata
(X1)
Kinerja Perekonomian
(X2)
Kemiskinan (Y)
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
Y1.1 Y1.2 Y1.3
97
Threat (SWOT) dirancang dengan seksama melalui Focus Group Discussion
(FGD) untuk mendapatkan persepsi tentang daerah yang diteliti untuk mencapai
tujuan yang ingin dicapai (Kreuger, 1944: p.6 dalam Wahyuni, (2015: 77).
Selanjutnya menurut Merton dan Kendal (1946) dalam Wahyuni (2015:
78), FGD dapat dipergunakan untuk mencari data sebagai berikut: (1) Focus
groups can help to generate hypotheses if researcher are exploring new territory
(dapat membantu menghasilkan hipotesis bagi peneliti yang mengexplorasi
tempat penelitian baru), (2) Focuss Group findings can help to interpret survey
responses if the focus group are conducted mid-way through a mixed-mehod
research project (dapat membantu memberikan gambaran tentang pendapat
apabila focus group dilakukan dipertengahan jalan dengan menggunakan metode
campuran), (3) Focuss group can offer insight into statistical findings-especially if
undexpected outcomes occur (Vaughn et al 1996), (dapat membantu hasil
penemuan statistik apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan) dan (4) Focus
groups are often conducted to assist program development of evaluation (focus
groups sering dilakukan untuk membantu mengevaluasi program pengembangan).
Untuk membantu pencapaian sasaran yang diinginkan dengan
mengindentifikasi masalah-masalah internal yaitu tentang kekuatan (strength) dan
kelemahan (weakness) yang dimiliki, sedangkan tentang peluang (opportunity)
dan ancaman (threat) didapat dari informasi external. Dari keseluruhan informasi
yang sudah ditentukan untuk masing-masing kelompok, disusun strategi tentang
implementasi program untuk pengentasan kemiskinan (Sutikno et al 2011).
Strategi pengentasan kemiskinan disusun berdasarkan matriks SWOT
yaitu : (1) Strategi SO, (2) Strategi ST, (3) Strategi WO dan (4) Strategi WT.
98
Keseluruhan analisis kualititatif dilakukan melalui FGD dilakukan sebanyak tiga
kali yaitu di Desa Plaga Belok Sidan, di Desa Jimbaran dan di Desa Pecatu
Peserta FGD ditentukan sesuai dengan kapabilitas mereka tentang pemahaman
pariwisata. Di Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan FGD dihadiri oleh tokoh
masyarakat formal dan non formal yang memahami persoalan pariwisata dan
kemiskinan, juga dihadiri oleh pimpinan kelompok sadar wisata didampingi dan
oleh pelaku pariwisata yang terlibat langsung di masing-masing desa penelitian.
FGD di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu dihadiri oleh lurah, tokoh masyarakat
akademisi, pelaku pariwisata dan direktur pengelola dari obyek wisata Uluwatu.
99
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Kabupaten Badung
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten diwilayah Provinsi
Bali, berkembang dari sistem pemeritahan kerajaan sebelum era kolonial dengan
nama Nambangan. Nama ini diciptakan I Gusti Ngurah Made Pemecutan akhir
abad 18. Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Badung (2014) mencatat perselisihan
masyarakat Sanur dengan pedagang cina Kwee Tek Tjiang yang menuntut
kompensasi 3000 ringgit atas penjarahan barang dagangan dari kapalnya yang
terdampar di pantai Sanur pada tanggal 27 Mei 1904. Ditolaknya tuntutan
Gubernur Jenderal Van Hentz oleh Raja Badung I Gusti Ngurah Denpasar,
menimbulkan ketegangan hubungan politik khususnya dengan Residen J.
Escbach, kemudian G. Bruyn memunculkan Puputan Badung 20 September 1906.
Pada awal kemerdekaan dibentuk pemerintahan Swatantra Tingkat II
Badung dan pada masa Orde Baru berubah bentuk menjadi Kabupaten Daerah
Tingkat II Badung. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 1Tahun 1992
tentang Pembentukan Kota Madya (Kodya), Denpasar dengan status Kota
Administratif sebagai pusat pemerintahan Badung ditingkatkan statusnya menjadi
Kotamadya Denpasar. Kabupaten Badung terpisah menjadi kabupaten yang
berdiri sendiri, mencakup wilayah Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi dan
Kuta. Kecamatan Kuta kemudian dimekarkan menjadi tiga wilayah yaitu
Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta dan Kecamatan Kuta Selatan. Luas
99
100
wilayah Kabupaten Badung yang semula 520,73 Km2 berkurang menjadi 418,52
Km2seperti terlihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Luas Wilayah Kabupaten Badung
Per Kecamatan Tahun 2013
No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Kepala
Keluarga
Rata-rata Jiwa Per Kepala Keluarga
(km2) Persentase (%)
1 Kuta Selatan 101,13 24,16% 33.927 3,8 2 Kuta 17,52 4,19% 31.653 2,9 3 Kuta Utara 33,86 8,09% 29.821 3,8 4 Mengwi 82,00 15,59% 29.865 4,3 5 Abiansemal 69,01 16,49% 19.924 4,5 6 Petang 115,00 27,48% 6.697 4,0 Jumlah 418,52 100% 151.887 3,8
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Tahun 2014
Kabupaten Badung berkembang menjadi daerah dengan beragam layanan
yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta seperti tersedianya pendidikan
tinggi negeri dan swasta, layanan kesehatan melalui rumah sakit umum dan
swastaberkualitas. Badung bertumbuh sebagai pusat kegiatan ekonomi di Bali
bagian selatan didukung oleh pesatnya perkembangan pariwisata sebagai tulang
punggung dari pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Badung dengan penduduk yang
multi etnis dari berbagai daerah di Indonesia hadir dengan tujuan untuk
memanfaatkan tersedianya sarana pendidikan berkualitas dan untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik akibat dari terbukanya pekerjaan di dunia pariwisata.
Pembauran kehidupan sosial budaya masyarakat berbasis agama Hindu dengan
masyarakat pendatang berasal dari suku dan agama berbeda dengan beragam
pekerjaan berbeda dan sebagian besar pada usaha mikro mampu menjalin
keharmonisan untuk menunjang Badung sebagai daerah tujuan wisata dunia.
101
5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Badung
Secara geografis Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan
Kabupaten dan Kota Provinsi Bali, dengan luas 418.52 Km2 atau 7,43% dari luas
Pulau Bali dengan luas kewenangan pengelolaan wilayah laut seluas 466,20 Km2
disepanjang 81,3 km garis pantai dari Pantai Mengening Kecamatan Mengwi
sampai dengan Pantai Tanjuang Benoa di Kecamatan Kuta Selatan. Memiliki
iklim tropis dengan musim kemarau dan musim hujan diselingi oleh musim
pancaroba. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kabupaten Badung (BPS Badung,
2013) mencatat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 373,6
mm dan curah hujan terendah 17,8 mm pada bulan Juli dengan suhu rata-rata
26,8c. Wilayah Kabupaten terletak antara 8°14"20"-8°50"48" Lintang Selatan dan
115o05"00" - 115°26"16" Bujur Timur. Badung berada pada posisi paling selatan
dengan batas wilayah sebagai berikut:
1. Batas Utara : Kabupaten Buleleng
2. Batas Timur : Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar
3. Batas Selatan : Samudera Indonesia
4. Batas Barat : Kabupaten Tabanan
Kabupaten Badung Utara terdiri dari daerah pegunungan dengan udara
sejuk berbatasan dengan Kabupaten Buleleng. Badung bagian tengah merupakan
daerah relatif datar, sebagian besar dimanfaatkan untuk persawahan, berbatasan
dengan Kabupaten Gianyar dan Kotamadya Denpasar di sebelah Timur dan
Kabupatan Tabanan bagian sebelah barat. Badung selatan merupakan dataran
rendah dengan pantai berpasir putih berbatasan dengan Samudra Indonesia.
102
Kecamatan Petang memiliki wilayah seluas 115 Km2 (27,48%) merupakan
wilayah yang paling luas di Kabupaten Badung Utara. Geografis Badung Utara
sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan, dengan tebing-tebing curam,
menjadi hulu dari beberapa sungai yang mengalir di Kabupaten Badung.
Penggunaan lahannya hampir 85,4 % (9.827 ha) dari luas keseluruhan 11.500 ha
berupa lahan pertanian dan 15 % (1.093 ha) diantaranya adalah lahan persawahan
dengan teras-teras disepanjang lereng bukit, sisanya berupa hutan seluas 1.525 ha,
dan permukiman 148 ha. Keseluruhan penduduk sebanyak 27.576 orang dengan
mata pencaharian sebagian besar penduduk sejumlah 19.303 orang (70 %) sebagai
petani. Mereka hidup terorganisir secara turun temurun, melakukan kegiatan
dalam lembaga Subak yaitu sistem pertanian tradisional masyarakat Bali.
Potensi wilayah Badung Utara sebagai masa depan agrowisata Bali telah
dijadikan prioritas utama untuk melindungi dan menjaga kelesatarian wilayah
pertanian di Desa Pelaga, Desa Bilok sebagai wilayah konsevasi di Kecamatan
Petang dan sekitarnya. Pengembangan hutan rakyat yang telah ditetapkan sebagai
kawasan penyangga perlu diperkuat sebagai strategi pengembangan Badung utara
untuk mempertahankan kelestarian alam dan keberlangungan hidup masyarakat
melalui: (1) pengendalian pemanfaatan ruang pada kawawan tangkap hujan dan
kawasan resap air, (2) agro bisnis perlu dikembangkan melalui tata kelola
pertanian yang terintegrasi melalui penyediaan sarana-prasarana produksi,
pengolahan hasil pertanian, (3) membantu pemasaran dan dukungan dari lembaga
keuangan (4) bekerjasama dengan perguruan tinggi berupa bantuan penyuluhan
103
dan penelitian, (4) pembinaan sumberdaya masyarakat melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan, untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam
mengelola sumberdaya alam yang tersedia.
Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Badung untuk
mencapai tujuan yang direncanakan, melalui pendekatan model sebagai berikut:
(1) model Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif
Kondisi Pedesaan merupakan metode pendekatan yang memungkinkan
masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka
merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Hal ini sejalan dengan
peran yang dilakukan oleh Universitas Udayana dalam program pelayanan
masyarakat Petang membentuk kelompok Sadar Wisata untuk meningkatkan
pemahaman tentang manfaat pariwisata bagi kehidupan masyarakat. Model PRA
semakin meluas dilakukan sebagai landasan pembangunan di negara-negara
berkembang dan diakui kegunaannya dalam menganalisis paradigma
pembangunan berkelanjutan dengan menempatkan manusia sebagai inti dalam
proses dari pembangunan dimaksud. Peran manusia tidak hanya ditempatkan
sebagai penonton tetapi sebaliknya, harus berperan aktif dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan dapat menikmati hasil pembangunan, (2) model
entrepreneurship capacity building (ECB), yaitu kerjasama dengan menciptakan
partner untuk membangun usaha-usaha mikro, bekerja sama dengan para ahli
dengan memberikan pelatihan, akses pasar dan lembaga keuangan dan (3) model
teknologi transfer (IT) yaitu model alih teknologi kemasyarakatan yang semakin
104
berkembang untuk membantu masyarakat didalam mengatasi masalah-masalah
kehidupan. Secara garis besar kegiatan yang dilakukan dapat menjadi: (1) Usaha
objek agrowisata stroberi organik dikembangkan secara kemitraan dengan
masyarakat pemilik tanah, (2) Pemberdayaan pengolahan kuliner khas masyarakat
setempatdikembangkan menjadi industri rumah tangga, (4) Pengembangan Unit
Pengolahan Kopi fermentasi bagi Subak Abian, (5) Obyek wisata air terjun
Nungnung, jalur tracking obyek agrowisata di perkebunan jeruk dan kopi dan
Pura Pucak Mangu dikembangkan secara kemitraan dengan masyarakat setempat.
Badung Selatan didukung wilayah: (1) Pecatu dengan pemandangan laut
selatan yang eksotis dan Pura Uluwatu yang berkedudukan diatas tebing, (2)
Pantai kuta dan Jimbaran dengan udara hangat dengan pesisir pantai landai
dengan pemandangan sunset disenja hari menjadi daya tarik wisatawan, (3)
didukung obyek-obyek wisata Garuda Wisnu Kencana Cultural Park sebuah
taman wisata di Tanjung Benoa, pantai Dream Land pantai favorite bagi
wisatawan nusantara dan mancanegara. Kecamatan Kuta Selatan dengan wilayah
101,13 Km2 (24,16%), telah berkembang menjadi tempat investasi dari sejumlah
investor dengan penanam modal besar-besaran dengan dibangunnya hotel-hotel
berstandar internasional seperti Bulgari Resort, Ayana, Alila Villas Uluwatu, The
Edge Bali, Semara Luxury Villa Resorts dan lebih dari 30 (tiga puluh) hotel-hotel
mewah lainnya sebagai sumber pendapatan pajak. Pesatnya perkembangan
pariwisata di Kuta Selatan sekaligus menjadi penyumbang terbesar dari PDRB
Badung dan dengan tersedianya hampir semua fasilitas pariwisata memperkokoh
Badung Selatan sebagai pusat investasi bagi investor pariwisata internasional.
105
Untuk menghindari terdegradasinya lingkungan dan keindahan alam di
Kabupaten Badung, pemerintah menyiapkan strategi optimalisasi pemanfaatan
tata ruang kawasan seperti pengendalian pembangunan di kawasan rawan
bencana. Sedangkan terkait dengan pelestarian pengembangan pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism development), pemerintah telah menyiapkan :
(1) sistem jaringan transportasi terpadu untuk memudahkan pengguna transportasi
menuju pusat-pusat kegiatan pariwisata, (2) pengembangan sarana-prasarana
pariwisata untuk kemudahan wisatawan mencapai pusat-pusat pembelanjaan, (3)
meningkatkan infrastruktur, serta obyek-obyek wisata berstandar internasional, (4)
ruang-ruang tidak harmonis menuju kawasan pariwisata diperindah, dijadikan
bernilai tambah sehingga bisa dinikmati oleh wisatawan.
5.1.2 Potensi Sarana dan Prasarana Kepariwisataan
Beragam potensi kepariwisataan di Kabupaten Badung sesuai dengan
ketentukan Undang-undang tentang Kepariwisataan Republik Indonesia seperti
diatur dalam pasal 22 Nomor 10 tahun 2009 telah memenuhi persyaratan
Kabupaten Badung sebagai sebuah destinasi wisata. Yang dipersyaratkan oleh
undang-undang seperti pembangunan fisik, penyediaan dan pengelolaan fasilitas
yang diperlukan untuk pariwisata tersedia di Kabupaten Badung.
Pemerintah mencatat penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang
dibangun menjadi pendukung terhadap peningkatan wisatawan mancanegara dan
nusantara berkunjung ke Kabupaten Badung dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Badung,
106
telah diimbangi dengan penambahan jumlah akomodasi wisata dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2013. Hotel melati dari 505 dengan 11.463 menjadi 778
buah dengan 28.330 kamar, Pondok Wisata meningkat dari 395 dengan 1.986
menjadi 837 buah dengan 3.372 kamar. Perkecualian terjadi pada hotel berbintang
yang jumlahnya tidak berubah sebanyak 98 buah dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2013 dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar.
Selain penambahan jumlah kamar hotel, peningkatan jumlah sarana
pariwisata lainnya yang berkualitas meliputi rumah makan, bar dan restoran serta
sarana angkutan wisata tirta, pengadaan jasa transportasi. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas layanan bagi tamu-tamu mancanegara. Selain itu
pemerintah Kabupaten Badung memandang juga meningkatkan potensi agro
wisata sebagai wisata alam dan pengembangan komoditi hasil budidaya pertanian
di Badung utara. Untuk wisatawan nusantara obyek wisata Jembatan Tukad
Bangkung di Petang, Pantai Pandawa di Kecamatan Kuta Selatan yang dikenal
dengan sebutan pantai rahasia dengan latar belakang perbukitan dan ukiran batu
kapur Panca Pandawa yang dinikmati oleh wisatawan dalam dan luar negeri.
5.1.3 Lokasi dan Jenis Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung
Kabupaten Badung sangat kaya akan lokasi dan jenis daya tarik wisata
yang tersebar di enam kecamatan, yaitu: (1) Kuta Selatan, (2) Kuta, (3) Kuta
Utara, (4) Mengwi, (5) Abiansemal, (6) Petang, dan tersebar di lebih dari 15
kelurahan atau desa yang ada di kabupaten Badung. Adapun daya tarik tersebut
terdapat di desa: (1) Pecatu, sebanyak lima daya tarik wisata, (2) Benoa memiliki
107
tiga daya tarik wisata, (3) Tanjung Benoa sebanyak tiga data tarik wisata, (4)
Jimbaran memiliki dua daya tarik wisata, (5) Desa Plaga memiliki dua daya tarik
wisata selebihnya (6) ungasan, (7) Jimbaran, (8) Tuban, (9) Legian, (10)
Kerobokan, (11) Canggu, (11) Munggu, (2) Kapal, (13) Mengwi, (14) Baha, (15)
Sangeh, (16) ) Petang , (17) Tibubeneng, dan (18) Sading serta (19) Legian.(20)
Blahkiuh, masing masing memiliki satu jenis daya tarik wisata.
Dari keseluruhan daya tarik wisatadi Kabupaten Badung yang berjumlah
33 lokasi sebanyak 21 lokasi atau 64 persen berada di wilayah Badung Selatan.
Sebagian besar berupa obyek wisata alam terutama wisata pantai yang berada
pada posisi strategis untuk berdirinya bermacam kelas dan kualitas hotel dan
restoran. Keindahan beberapa pantai di Kabupaten Badung seperti pantai Kuta,
Jimbaran, Siluban dan pantai Pandawa yang dikenal luas oleh wisatawan muda
untuk berselancar antara bulan Juni sampai dengan September setiap tahunnya.
Wisatawan berusia lebih lanjut yang sebagian besar merupakan wisatawan
mancanegara dari Eropa Barat seperti para cendikiawan atau pemerhati budaya
lebih tertarik dengan wisata budaya dan memilih tinggal di daerah yang lebih
tenang seperti di Nusa Dua atau di daerah tujuan wisata di Sanur di Denpasar.
Sedangkan wisatawan mancanegara yang tertarik dengan keindahan alam dan
lingkungan seperti wisata alam seperti pengelolaan pertanian sebagian besar
berkunjung ke wilayah Badung bagian utara di Kecamatan Petang dan sekitarnya,
selain menikmati keindahan alam dan wisata agro,juga menikmati jenis wisata
trekking, climbing dan bicycling. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 5.2
108
Tabel 5.2 Jumlah dan Jenis Daya Tarik Wisata (DTW) di Kabupaten Badung
Tahun 2013
No Nama DTW Jenis DTW Lokasi Kecamatan Desa/Kelurahan
1 Kawasan Luar Pura Uluwatu Wisata Budaya Kuta Selatan Pecatu 2 Pantai Suluban Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 3 Pantai Nyanyang Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 4 Pantai Padang-Padang Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 5 Pantai Labuan Sait Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu 6 Pantai Batu Pageh Wisata Alam Kuta Selatan Ungasan 7 Pantai Samuh Wisata Alam Kuta Selatan Benoa 8 Pantai Gerger Sawangan Wisata Alam Kuta Selatan Benoa 9 Pantai Nusa Dua Wisata Alam Kuta Selatan Benoa 10 Pantai Tanjung Benoa Wisata Alam Kuta Selatan T. Benoa 11 Pelestarian Penyu di Deluang Sari
Tanjung Benoa Wisata Alam Kuta Selatan T. Benoa
12 Taman rekreasi Hutan bakau Wisata Alam Kuta Selatan T. Benoa 13 Pantai Jimbaran Wisata Alam Kuta Selatan Jimbaran 14 Garuda Wisnu Kencana (GWK) Wisata Budaya Kuta Selatan Jimbaran 15 Pantai Kedonganan Wisata Budaya Kuta Tuban 16 Pantai Kuta Wisata Alam Kuta Kuta 17 Water Bom Wisata Buatan Kuta Kuta 18 Pantai Legian Wisata Alam Kuta Legian 19 Pantai Petitenget Wisata Alam Kuta Utara Kerobokan 20 Pantai Canggu Wisata Alam Kuta Utara Canggu 21 Pantai Seseh Wisata Alam Kuta Utara Munggu 22 Pura Sada Kapal Wisata Budaya Mengwi Kapal 23 Kawasan Luar Pura T. Ayun Wisata Budaya Mengwi Mengwi 24 Desa Wisata Baha Wisata Budaya Mengwi Baha 25 Bumi Perkemahan Blahkiuh Wisata Remaja Abiansemal Blahkiuh 26 Alas Pala Sangeh Wisata Alam Abiansemal Sangeh 27 Tanah Wuk Wisata Remaja Abiansemal Sangeh 28 Air Terjun Nungnung Wisata Alam Petang Plaga 29 Wisata Agro Pelaga Wisata Alam Petang Plaga 30 Kawasan Luar Pura Pucak Tedung Wisata Budaya Petang Petang 31 Pantai Brawa Wisata Alam Kuta Utara Tibubeneng 32 Kawasan Pura Keraban Langit Wisata Budaya Mengwi Sading 33 Monumen Tragedi Kemanusiaan
(MTK) Wisata Budaya Kuta Legian
Sumber: Dinas Pariwisata Badung, 2014.
Lokasi wisata di Badung Selatan seperti Kuta, Legian, Nusa Dua dan
Jimbaran terkenal dengan pesona alam pantainya, memiliki hampir semua fasilitas
yang dibutuhkan pariwisata yang serba menjanjikan kepuasan wisatawan tersedia
mulai dari yang datang untuk berselancar sampai kepada wisatawan tinggal di
hotel bertaraf internasional. Tersedianya penginapan mulai dari budget hotel
seperti hotel melati yang menjadi pilihan wisatawan low cost budget seperti
penggemar surfing atau wisatawan setara lainnya, juga hotel kelas menengah
109
sampai kepada hotel dan villa bertaraf internasional melengkapi Badung Selatan
sebagai tujuan wisata favorit bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara.
Daya tarik wisata budaya yang berlokasi di kecamatan lainnya di Badung seperti
Kawasan Luar Pura Taman Ayun Mengwi (Royal Water Temple) yang dibangun
pada tahun 1634 oleh I Gusti Agung Putu raja pertama kerajaan Mengwi. Pura
dengan taman yang indah ini pada tahun 2002 diusulkan oleh Pemda Bali kepada
UNESCO sebagai satu World Heritage List, sebagai salah satu arsitektur kuno.
Sebagai tempat persembahyangan milik keluarga Raja Mengwi,Pura
Taman Ayun mencerminkan kebersamaan, kedamaian rohani antara manusia dan
keindahan alam disekitarnya. Konsep Pura Taman Ayun sebagai tempat suci
tempat pemujaan umat Hindu yang merefleksikan filosofi Tri Hita Karana dan
berfungsi sebagai Subak yaitu sebuah konsep sistem pengairan tradisional yang
telah berlaku secara turun temurun yang juga dimanfaatkan untuk
keberlangsungan hidup masyarakat disekitar pura. Pura Taman Ayun tidak hanya
menjadi sebuah daya tarik wisata, tetapi juga dimanfaatkan untuk kebutuhan
masyarakat seperti untuk mengairi tanah pertanian disekitar pura. Hal ini
dilakukan melalui sistem aliran air yang saling berhubungan dari danau-danau
kecil yang terdapat di dalam dan di luar pura, dialirkan ke daerah pertanian ke
arah selatan Pura Taman Ayun. Kabupaten Badung yang secara geografis terletak
di pusat kegiatan pariwisata didukung oleh beragam daya tarik wisata alam dan
kehidupan sosial budaya yang hangat dan keunikan masyarakat, menjadi salah
satu indikator bagi wisatawan untuk tinggal lebih lama di Kabupaten Badung.
Data kunjungan wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung selama
tahun 2009-2013 disajiakan pada Tabel 5.3.
110
Tabel 5.3 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Ke Kabupaten Badung
Tahun 2009 -2013
No Bulan Tahun/Jumlah (orang) Pertumbuhan 2009 2010 2011 2012 2013
1 Januari 164,643 168,923 202,660 248,289 207,677 16,35%
2 Pebruari 139,370 187,781 201,320 219,475 219,379 8.70%
3 Maret 161,169 194,482 201,833 227,846 224,597 6,32%
4 April 179,879 178,549 221,014 219,984 229,639 3,75%
5 Mei 181,983 196,719 204,489 215,868 242,205 0,70%
6 Juni 190,617 219,574 240,154 238,296 272,548 1,92%
7 Juli 224,636 247,778 278,041 258,781 294,651 3,82%
8 Agustus 222,441 236,080 250,835 254,020 305,620 6,04%
9 September 208,185 229,573 251,737 243,722 305,667 8,26%
10 Oktober 210,935 223,643 241,370 255,709 262,440 7,66%
11 Nopember 163,531 194,152 216,402 241,985 293,826 8,93%
12 Desember 182,556 215,804 246,880 268,044 290,194 8,86% Jumlah 2,229,945 2,493,058 2,756,579 2,892,019 3,148,443 81,36% Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, 2014
5.1.4 Gini Ratio Kabupaten Badung Teori ketimpangan distribusi pendapatan diperkenalkan oleh (Kuznets,
1955) dikenal dengan Inverted U Hypothesis atau Hipotesis U Terbalik. Kuznets
berpendapat bahwa pada awal pembangunan akan terjadi distribusi pendapatan
yang tidak merata dimana orang kaya akan mengumpulkan harta lebih banyak dari
orang miskin (the rich accumulate more wealth than the poor) dan pada tingkat
pembangunan tertentu distribusi pendapatan menjadi semakin merata. Sedangkan
realitas menunjukkan sebaliknya dimana ketika perkembangan pembangunan di
bidang pariwisata semakin tinggi di Kabupaten Badung ketimpangan pendapatan
di masyarakat menjadi semakin lebar. Untuk mengetahui kondisi sosial dan
kemiskinan masyarakat di Kabupaten Badung dapat dilihat dari indikator
111
ketimpangan distribusi pendapatan dari 40 persen jumlah penduduk
berpendapatan terendah yang berada di Kabupaten Badung. Rasio Gini Kabupaten
Badung Tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2015
Gambar 5.1
Data Gini Ratio Provinsi Bali Tahun 2000 – 2013
Dengan memakai ukuran ketimpangan rasio gini berkisar antara 0-1,
terlihat pergerakan peningkatan rasio gini Kabupatern Badung dengan nilai
0,2273 pada tahun 2009 yang tergolong ketimpangan rendah (0-0,35), menjadi
ketimpangan sedang yaitu 0,3468 mendekati 0,35 pada tahun 2013 (BPS Badung,
2015). Terkait dengan semakin tajamnya ketimpangan pendapatan masyarakat,
pemerintah Kabupaten Badung memperkenalkan program bagi kelompok
masyarakat yang berpendapatan rendah dengan membuka akses terhadap sumber
daya ekonomi dan sumber daya lainnya dibidang pariwisata.
112
Untuk memahami gambaran lebih mendalam tentang tingkat kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan masyarakat Desa Pelaga, Bilok Sidan, Desa Pecatu
dan Jimbaran dapat dilihat dari data RTS tentang seperti tersedia pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Jumlah RTS Menurut Status Kesejahteraan Hasil PPLS 2011
Kode Kecamatan/Desa Status Kesejahteraan
Jumlah 1 2 3
KUTA SELATAN 182 300 262 744 PECATU 31 68 45 144 UNGASAN 11 31 31 73 KUTUH 17 39 33 89 BENOA 49 38 40 127 TANJUNG BENOA 10 14 17 41 JIMBARAN 64 110 96 270
PETANG 540 788 700 2.028 CARANGSARI 64 129 156 349 GETASAN 42 50 36 128 PANGSAN 7 35 55 97 PETANG 51 107 78 236 SULANGAI 51 88 60 199 PELAGA 136 235 248 619 BELOK/SIDAN 189 144 67 400
JUMLAH 722 1.088 962 2.772 Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2015 Keterangan : 1. Sangat miskin; 2. Miskin; 3. Hampir miskin Data BPS Badung terakhir pada tahum 2011 tentang kemiskinan
menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan sangat signifikan antara Rumah
Tangga Sasaran (RTS) dengan status sangat miskin Plaga dan Bilok Sidan
sejumlah 325 RTS dengan 379 RTS miskin dan 315 RTS hampir miskin.
Sedangkan di Badung Selatan daerah penelitian Pecatu dan Jimbaran mencatar
sejumlah 95 RTS sangat miskin, 178 RTS miskin dan 141 RTS hampir miskin.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan sebesar
40,3 persen di Pecatu, jauh lebih tinggi dari pengentasan masyarakat sangat
113
miskin sebesar 20,5 persen dan masyarakat hampir miskin sebesar 35,2 persen
dari masyarakat sangat miskin. Berbeda dengan di Plaga dan Belok Sidan, Desa
Plaga dengan jumlah 619 RTS, terdiri dari 136 RTS sangat miskin, 235 RTS
miskin dan 248 RTS hampir miskin. Sedangkan Desa Belok Sidan memiliki 400
RTS dengan 189 RTS sangat miskin, 144 RTS miskin dan 67 RTS hampir miskin.
Data terakhir yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Badung tentang
kemiskinan di Badung Utara dan Badung Selatan disimpulkan sebagai berikut:
1. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Plaga berhasil ditingkatkan. Hal ini
dimungkinkan sebab perekonomian Plaga sudah lebih diberdayakan melalui
pengembangan agrobisnis khususnya asparagus dengan kualitas tinggi.
2. Terdapat ketimpangan yang signifikan antara Desa Belok Sidan dengan Desa
Plaga walaupun merupakan desa yang bertetangga.
3. Terdapat ketimpangan antar-desa yang sangat tinggi, yaitu Kecamatan Kuta
Selatan memilik 744 RTS sedangkan Kecamatan Petang dengan 2.028 RTS.
Untuk meningkatkan nilai lebih dari hasil pertanian dan kehutanan dalam
upaya meningkatkan perekonomian dan daya beli masyarakat di Badung Utara,
diperlukan dukungan pemerintah yang lebih intensif terhadap pengembangan
diversifikasi produk-produk pertanian dan mengembalikan penanganan asparagus
dan strawberry yang pernah menjadi produk unggulan pertanian Badung Utara.
Sedangkan untuk menghasilkan produk kehutanan yang sementara ini lebih
banyak dipakai untuk kebutuhan lokal, diperlukan dukungan pemerintah untuk
memaksimalkan pengelolaan hasil kehutanan menjadi produk berkualitas untuk
kebutuhan industri. Perlunya bantuan alat-alat produksi modern dan
pemberdayaan melalui kewirausahaan untuk kesejahteraan masyararakat.
114
Pola penanganan kemiskinan di Jimbaran terutama kemiskinan absolut
dilakukan oleh Pemerintah Desa sebagai berikut: (1) bantuan bedah rumah dengan
nilai Rp. 30.000.000 untuk setiap RTS ditingkatkan menjadi bantuan
pembangunan rumah siap pakai senilai Rp. 125.000.000 untuk setiap RTS, (2)
Pemerintah Desa merencanakan pembangunan rumah minimal untuk 2 (dua) RTS
setiap tahunnya, (3) untuk meringankan beban masyarakat terhadap kemiskinan
relatif, pemerintah memberikan beasiswa untuk tingkat Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas kepada anak-anak keluarga
miskin. Pengeluaran yang dulunya memberatkan masyarakat miskin terkait
dengan biaya sosial seperti iuran untuk upacara di Desa, kebersihan dan keamanan
dan santunan untuk kematian yang dulunya menjadi biaya pribadi, sekarang
diambil alih menjadi tanggung jawab desa. Sumber untuk pengentasan
kemiskinan yang diperoleh desa berasal dari: (1) partisipasi para pemangku
kepentingan pariwisata dari tingkat yang paling bawah seperti para pedagang kecil
(usaha mikro), (2) toko-toko permanen dan semi permanen, (3) restauran besar
dan kecil, (4) hotel melati, villa, hotel berstandar nasional sampai internasional,
dan (5) setiap usaha lainnya yang berdomisili di Desa Jimbaran.
Kemiskinan di Desa Pecatu yang tersisa dalam hitungan puluhan sejak
tahun 2014, pola penanganan kemiskinannya masih dilakukan dengan pola bedah
rumah. Sedangkan khusus untuk pengentasan kemiskinan relatif sejalan dengan
apa yang dilakukan di Desa Jimbaran. Sumber dana untuk pembangunan desa
termasuk didalamnya pengentasan kemiskinan, terutama didapat dari hasil
pengelolaan obyek wisata Desa Pecatu. Pendapatan Desa Pecatu sebesar
Rp.21.000.000.000 setiap tahunnya sebagian disetor kepada Pemerintah
115
Kabupaten Badung sesuai dengan yang diatur oleh peraturan daerah dan sisanya
dibagikan ke tiga banjar di Desa Pecatu yaitu Desa Tengah, Desa Kangin dan
Desa Kauh masing-masing mendapat Rp.6.000.000.000. Bermacam kewajiban
masyarakat yang dulunya menjadi tanggungan masyarakat sekarang menjadi
tanggungan Desa Pecatu. Dilihat dari kemiskinan absolut, jumlah RTS di Kuta
Selatan lebih rendah dan homogin jika dibandingkan dengan kemiskinan absolut
di Kecamatan Petang. Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil diskusi
group terfokus yaitu: (1) kemiskinan absolut di Kecamatan Kuta Selatan jauh
lebih rendah dari Kabupaten Petang. Ini mendukung fakta bahwa Kuta Selatan
sebagai pusat kegiatan pariwisata lebih berdaya secara ekonomi, (2) sementara
jumlah RTS di Desa Petang jauh lebih banyak karena rendahnya pergerakan
sektor perekonomianrakyat setempat untuk menghasilkan barang-barang dan jasa
yang bernilai tambah, dan (3) masih terjadinya ketimpangan yang cukup besar
antar desa-desa di Kecamatan Petang.
5.1.5 Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung
Diberbagai penelitian yang dilakukan di negara sedang berkembang
menyatakan bahwa sektor pariwisata atau secara lebih spesifik pengembangan
sektor pariwisata mempunyai potensi sangat besar untuk mengurangi kemiskinan.
Pengembangan pariwisata sebagai bagian dari pembangunan nasionalyang
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, menurut paham neoliberalime merupakan
bagian dari konsep perdagangan bebas yang menekankan kepada kebebasan
pengelolaan ekonomi dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini secara konstitusi
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengatur bahwa bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
116
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa kekayaan alam
sebagai milik bersama dan bukan milik perusahaan asing atau kelompok tertentu.
Program pengentasan kemiskinan sesuai dengan visi dan misi Kabupaten
Badung yaitu pengentasan kemiskinan bekerjasama dengan sektor swasta
mewujudkan pencapaian ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.
Konsep pengentasan kemiskinan ini sejalan dengan teori Sosial Demokrat tentang
perlunya keterlibatan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Sedangkan
pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat sejalan dengan
pemerintah terkait dengan pembangunan berkelanjutan
Sebagai bagian dari isu global, pengentasan kemiskinan dilakukan dalam
bentuk kerja sama dengan sektor pariwisata dan sektor swasta lainnya dengan
memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kontribusi
menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan dengan
mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatannya
(Ardianto dan Machfudz, 2011: 35). CSR dewasa ini masih belum teregulasi
dengan baik dan masih bersifat insidentil pada umumnya dikaitkan dengan even-
even tertentu misalnya untuk merayakan hari jadi perusahaan, atau peringatan hari
kemerdekaan, atau dalam bentuk kegiatan sosial lainnya seperti membersihkan
pantai, membuat tong sampah di kawasan pariwisata, menanam pohon mangrove,
pemberian beasiswa kepada anak-anak karyawan dan sumbangan barang-barang
ex hotel dan villa. Komitmen sektor swasta sebagai bagian dari tanggung jawab
sosial untuk mengentaskan kemiskinan melalui CSR masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan total pebisnis swasta di Kabupaten Badung sebagai berikut.
Selama tahun 2009-2013 program bedah rumah menempati urutan teratas
117
didukung oleh 6 (enam) perusahan swasta dengan total CSR sebesar Rp.
2.513.250.500 diikuti program program beasiswa sebagai program populer
didukung oleh dua puluh perusahaan dengan jumlah CSR sebesar Rp.
124.926.500 dan sisanya berupa pemberian sembako. Dilihat dari jumlah
kontribusi yang disalurkan perusahaan swasta kepada pemerintah untuk
kesejahteraan masyarakat masih sangat kecil. CSR menghadapi persepsi bahwa
perusahaan sudah membayar pajak daerah dan karenanya CSR merupakan biaya
tambahan yang membebani perusahaan. Pengikut CSR di Kabupaten Badung
masih terbatas pada kontribusi dari perusahan daerah dan dari sektor perhotelan.
5.2 Gambaran Umum Desa Penelitian
Alasan menentukan lokasi penelitian di Badung Utara dan Badung Selatan
didasarkan kepada strategi pengembangan wilayah dicanangkan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung masing-masing sebagai daerah konservasi dan pengembangan
integral untuk daerah Plaga dan Bilok Sidan, dan pengembangan pariwisata untuk
daerah Jimbaran dan Pecatu di Badung Selatan dengan gambaran sebagai berikut:
5.2.1 Desa Pelaga
Desa Plaga merupakan dataran terdiri dari daerah pertanian, perkebunan,
kehutanan peternakan dengan fungsi utama sebagai daerah konservasi dan
wilayah pengembangan pertanian terintegrasi dengan penekanan pada pertanian
bertumpu pada agro wisata dan wisata alam. Untuk tujuan pengembangan ini
Pemerintah Kabupaten Badung telah melakukan program-program meningkatkan
kuantitas dan kualitas produk-produk hasil pertanian, perikanan, peternakan yang
dikelola kelola masyarakat setempat melalui pengembangan teknologi pertanian
118
sayur mayur dan asparagus berkualitas. Program peningkatan sumber daya
manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung, seperti melalui
pameran produk-produk pertanian bekerjasama dengan swasta dan meningkatkan
pemasaran dari hasil pertanian telah berhasil meningkatkan citra produk pertanian
untuk kepentingan pariwisata.
5.2.2 Desa Belok Sidan
Desa Bilok Sidan memiliki geografis yang sama dengan Desa Plaga
merupakan daerah pertumbuhan agribisnis masa depan untuk menciptakan variasi
komoditas unggulan yang mampu menciptakan produk-produk pertanian
berkualitas ekspor. Dari hasil diskusi grup terfokus di Bilok Sidan, dewasa ini
hasil produk pertanian baik di Desa Plaga dan Desa Belok Sidan masih berkualitas
rendah dan perlu terus ditingkatkan untuk bisa diterima untuk kebutuhan pasar
pariwisata. Dukungan pemerintah melalui program pro growth diikuti dengan
dukungan mengembangkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan melalui kemudahan
akses permodalan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
5.2.3 Desa Jimbaran
Sebagai pusat pengembangan pariwisata, daerah Kuta Selatan khususnya
Desa Jimbaran merupakan pionir dari daerah tujuan wisata, diawali dengan
berdirinya Hotel Bali Intercontinental dan Four Seasons Jimbaran. Sebagai daerah
strategis dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai, Kuta Selatan menjadi
magnet berdirinya hotel-hotel berbintang, restoran berkualitas internasional. Desa
Jimbaran bersama-sama dengan Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan
merupakan salah satu penyumbang PHR terbesar bagi Kabupaten Badung.
119
5.2.4 Desa Pecatu
Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan dengan Pura Uluwatu, sebagai
salah satu tempat pemujaan masyarakat Bali memiliki posisi sangat penting dalam
kegiatan Agama Hindu, dewasa ini menjadi pusat kegiatan pariwisata dalam skala
nasional dan internasional. Dengan karakteristik pantai dan tebing yang indah dan
udara hangat, wilayah Kuta Selatan berkembang cepat, menjadi incaran investor
untuk pembangunan berbagai aspek sarana pariwisata. Sebelum berkembangnya
pariwisata, sebagian besar masyarakat di Desa Pecatu hidup dengan bertanam padi
tadah hujan dan palawija sebagai sumber mata pencaharian utama. Sulitnya
kondisi perekonomian menyebabkan banyak masyarakat Pecatu mengikuti
program transmigrasi. Dengan dibangunnya kampus Universitas Udayana di
Bukit dan dikembangkannya Kawasan Nusa Dua dan Pecatu menjadi alternatif
pengembangan pariwisata di Badung Selatan maka Desa Pecatu berkembang
menjadi kawasan pariwisata. Dari hasil diskusi group terfokus dengan tokoh
masyarakat Pecatu, dewasa ini pendapatan dari hasil kunjungan wisatawan ke
Uluwatu mencapai Rp.21.000.000.000 setiap tahunnya dan setelah membayarkan
kewajiban desa ke pemerintah daerah, sisanya dibagikan ke tiga banjar di Desa
Pecatu masing-masing Rp. 6.000.000.000 untuk kesejahteraan masyarakat.
5.3 Deskripsi Pariwisata dan Ekonomi Kabupaten Badung
5.3.1 Perkembangan Pariwisata Kabupaten Badung
Sejalan dengan tantangan dan dinamika Otonomi Daerah, Pemerintah
Kabupaten Badung melakukan kajian dan tindakan inovatif dalam menggerakkan
120
perekonomian untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan aset
potensial secara profesional berdampak positif bagi perekonomian daerah.
Dinas Pariwisata Badung (2014: 5) menyatakan bahwa dari keseluruhan
pendapatan asli daerah Badung, sejumlah sembilan puluh persen merupakan
kontribusi dari hasil pariwisata dan tujuh puluh persen dari padanya berasal dari
PHR. Pesatnya pertumbuhan pariwista di daerah Kuta dan Jimbaran dengan
berdirinya hotel-hotel berbintang, restoran berkualitas internasional dan didukung
oleh sarana penunjang lainnya seperti tersedianya sarana-sarana yang menyiapkan
keperluan wisatawan berkontribusi terhadap peningkatnya PDRB Badung. Untuk
meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata pemerintah menaruh perhatian
khusus dan visi dan misi pengembangan pariwisata yang selektif dan bervariatif.
Pengembangan pariwisata menurut pandangan Fridgen (1996: 219-221)
mendatangkan dampak positif dan dampak negatif, harus diantisipasi oleh
Pemerintah Kabupaten Badung untuk menjaga keseimbangan antara besarnya
dampak positif (benefits) yang didapat, dibandingkan dengan kerugian (cost/lost)
yang diterima oleh pemerintah dan yang dinikmati oleh masyarakat Kabupaten
Badung. Langkah-langkah untuk menghindari rusaknya lingkungan, menurunnya
kualitas air akibat exploitasi berlebihan untuk pariwisata, hilangnya tanah
pertanian tulang punggung budaya masyarakat merupakan priorias utama yang
harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Sejalan dengan Fridgen,
secara umum dampak positif dari pertumbuhan pariwisata di Kabupaten Badung
dapat dilihat dari: (1) Semakin terbukanya peluang kerja bagi masyarakat
(increase in employment), (2) munculnya kegiatan usaha baru dan beragam
(Stimulation and increase in business diversity) yaitu mulai dari berkembanganya
121
perekonomian mikro sampai dengan pertumbuhan investasi dalam sekala besar,
(3) meningkatnya perdagangan barang dan jasa di Kabupaten Badung. Dampak
positif pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di Kabupaten
Badung Selatan khususnya oleh manajemen pengelola obyek wisata khususnya
Obyek Wisata Uluwatu terlihat dari partisipasi masyarakat terlihat dalam
penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang dilibatkan sebagai karyawan,
terciptanya kegiatan usaha kecil di sekitar daya tarik wisata dengan menyiapkan
tempat usaha bagi masyarakat untuk berjualan menyiapkan kebutuhan wisatawan
dan pengunjung lainnya yang berkunjung ke Uluwatu. Konsep pengembangan
ekonomi makro yang diterapkan kepada masyarakat lokal khususnya masyarakat
Uluwatu telah menghasilkan dampak positif berupa peningkatan kehidupan
ekonomi kemasyarakatan yang dinikmati oleh masyarakat Uluwatu. Dampak
positif yang dirasakan oleh masyarakat antara lain: (1) tumbuhnya kebanggaan
masyarakat dengan dikembangkannya daya tarik wisata di daerahnya (increase in
community pride and concern for community history, culture, attraction, and
artifacts), (2) menggali potensi seni pertunjukan di masyarakat untuk
dipersembahkan kepada wisatawan yang berkunjung ke Uluwatu berdampak
terhadap kesejahteraan masyarakat dan menurunnya kemiskinan di desa Pecatu.
Sedangkan dampak negatif dari pengembangan pariwisata di Kabupaten
Badung dapat dilihat dari: (1) hilangnya tanah persawahan akibat pemanfaatan
yang berlebihan untuk kebutuhan pariwisata dan dampak negatif lainnya yang
berujung pada rusaknya lingkungan (damage to the environment), (2)
meningkatnya penduduk urban dan tersedianya sarana transportasi pribadi
berdampak terhadap kemacematan lalu lintas (increse in number of people and
122
vehicle, resuslting in congestion), dan (3) bertumbuhnya investasi dalam sekala
besar berdampak terhadap semakin meningkatnya biaya hidup bagi orang miskin.
Visi Pemerintah Kabupaten Badung yaitu mengembangkan pariwisata
berkelanjutan berkualitas, ramah lingkungan dan berwawasan budaya dengan
melibatkan masyarakat sejalan dengan pandangan (Mowforth dan Munt, 2009:
98-99) tentang pengembangan pariwisata berkelanjutan yaitu: (1) menjaga
kehidupan sosial yang harmonis (social sustainability) dari dampak negatif
pengembangan pariwisata didaerah tujuan wisata tertentu, (2) memberikan
pendidikan kepada masyarakatsebagai penerus tradisi agar mampu menjaga
keberlangsungan warisan budaya secara berkelanjutan (cultural sustainability)
dari pengaruh negatif budaya luar, (3) menjaga agar perkembangan pariwisata
menjadi kekuatan bagi sumber pertumbuhan perekonomian berkelanjutan
(economic sustainability), bagi bagi masyarakat luas dan sanggup memberi
dampak positif terhadap mengentasan kemiskinan (poverty reduction), (4)
menjaga pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas
(environmental sustainability) untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan, (5)
mendidik masyarakat sebagai sebuah proses (education element) untuk saling
mengerti dan saling menghormati antara wisatawan dan masyarakat sebagai tuan
rumah (host) dan secara bersama-sama menjaga pertumbuhan pariwisata tanpa
merusak lingkungan melalui peningkatkan pembelajaran sosial budaya
masyarakat, (6) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
secara langsung dalam pengelolaan pariwisata dan (7) melakukan pelestarian
terhadap peninggalan bersejarah (cultural heritage) melalui bantuan kerjasama
dengan United Nations Educational Sience and Cultural Organization
(UNESCO) untuk merestorasi bangunan kuno.
123
Pengembangan pariwisata di Badung Selatan khususnya pengelolaan daya
tarik wisata Uluwatu, dilakukan melalui proses panjang dengan tahapan yang
memakan waktu lama dengan melibatkan masyarakat didampingi oleh pimpinan
non-formal setempat (Yoppe, 1996). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Fridgen (1996: 219-221) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata
memerlukan waktu panjang dengan melibatkan masyarakat dari perencanaan
menuju kepada perkembangan pembangunan fisik sampai pemberian layanan
yang diberikan kepada wisatawan. Selama proses pengembangan obyek wisata,
masyarakat diberikan pemahaman agar tujuan wisata Uluwatu mampu berperan
positif di dalam pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal. Dinamisnya
perkembangan obyek wisata Uluwatu, menuntut pengelolaan obyek wisata yang
profesional dan mandiri. Obyek wisata Uluwatu yang awalnya dikelola oleh Desa
Adat, sejak bulan Juni 2014 dikelola oleh manajeman yang berdiri sendiri.
Dampak positif pengelolaan berbasis masyarakat yang diterapkan oleh
manajemen pengelola obyek wisata Uluwatu sejalan dengan yang dinyatakan
Fridgen (1996) terlihat dari partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan
pariwisata dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang dilibatkan
sebagai karyawan (increase in employement), terciptanya kegiatan usaha kecil di
sekitar daya tarik wisata (stimulation of business activity) dengan menyiapkan
tempat usaha bagi masyarakat untuk berjualan menyiapkan kebutuhan wisatawan
mancanegara dan wisatawan nusantara serta para pengunjung lainnya yang
berkunjung ke Uluwatu. Konsep pengembangan ekonomi makro yang diterapkan
kepada masyarakat lokal khususnya masyarakat Uluwatu telah menghasilkan
dampak positif berupa peningkatan kehidupan ekonomi kemasyarakatan yang
124
dinikmati oleh masyarakat Uluwatu. Dampak positif lainnyayang dirasakan oleh
masyarakat: (1) tumbuhnya kebanggaan masyarakat dengan dikembangkannya
daya tarik wisata di daerahnya (increase in community pride and concern for
community history, culture, attraction, and artifacts), (2) dengan menggali potensi
seni pertunjukan yang tersedia di masyarakat untuk dipersembahkan secara teratur
kepada wisatawan yang berkunjung ke Uluwatu berdampak terhadap
kesejahteraan masyarakat dan menurunnya kemiskinan di desa Pecatu.
Untuk mencapai tingkat perkembangan yang direncanakan untuk tahun
2000-2013 dari indikator-indikator perkembangan pariwisata yang tersedia,
Pemerintah Kabupaten Badung menggunakan empat indikator yang diukur untuk
memperkuat landasan misi pemerintah untuk mengetahui dampak perkembangan
pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian. Indikator ini merupakan
indikator utama untuk melihat sejauh mana dampak perkembangan pariwisata di
Kabupaten Badung dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomi bagi
masyarakat miskin di daerah Kabupaten Badung dan sejauh mana pendapatan
yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Badung melalui kontribusi dari
pemasukan pajak kegiatan perdagangan hotel dan restoran dapat dimanfaatkan
untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Indikator-indukator yang
dimaksud adalah: (1) jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan
nusantara yang datang ke Kabupaten Badung, (2) jumlah penerimaan pajak hotel
dan restoran khususnya yang bersumber dari Badung Selatan sebagai kontributor
PHR terbesar untuk Kabupaten Badung, (3) peningkatan lama tinggal wisatawan,
dan (4) pengeluaran wisatawan selama mereka tinggal di Kabupaten Badung.
Variabel perkembangan pariwisata selanjutnya terlihat pada Tabel 5.5.
125
Tabel 5.5 Perkembangan Beberapa Indikator Pariwisata
Di Kabupaten Badung (X1)
Jumlah Kunjungan
Wisatawan (orang) (X1.1)
Kontribusi PHR (Dalam Jutaan)
(X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan / Hari (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan / Hari (X1.3)
2000 466,111 1,551,722.82 5,90 819,213 2001 1,128,940 1,760,542.27 4,44 822,990 2002 382,443 1,982,526.74 5,28 826,768 2003 249,845 2,183,219.66 4,00 830,545 2004 223,548 2,420,490.15 4,20 834,323 2005 383,613 2,815,368.11 4,08 838,100 2006 497,899 3,024,626.55 3,97 841,878 2007 473,774 3,427,697.13 3,74 845,655 2008 734,861 3,973,530.83 3,85 792,500 2009 812,489 4,898,698.14 3,93 913,060 2010 774,753 5,467,109.15 3,75 839,460 2011 682,382 5,998,644.44 3,60 891,483 2012 1,092,413 6,508,632.44 3,60 926,890 2013 1,192,129 7,260,307.93 3,55 801,195 Total 5.215,607 47.540.361,120 47,550 10.181,857 Rata-Rata 401,201 3.656.950,855 3,66 783,220
Sumber : BPS Kabupaten Badung, BAPPEDA Bali Data Diolah 2014 Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dapat dilihat rata-rata kunjungan wisatawan
mancanegara dan nusantara tahun 2000-2013 ke Kabupaten Badung sebanyak
401.201 wisatawan. Menurut (BPS Badung, 2014) hal ini berdampak langsung
langsung terhadap kontribusi rata-rata penerimaan PHR sebesar Rp.3.656.950,855
juta/tahun dengan rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara dan nusantara
selama 3,66 hari, dan rata-rata pengeluran wisatawan sebesar Rp. 783.220/hari.
Dengan semakin meningkatnya pendapatan PHR Kabupaten Badung akan
memudahkan pemerintah untuk melaksanakan program-program pengentasan
kemiskinan di kantong-kantong pariwisata di Kabupaten Badung.
Data BPS Kabupaten Badung menyatakan bahwa jumlah kunjungan
wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara pada masa krisis ekonomi tahun
126
1978tidak menunjukkan penurunan kunjungan wisatawan, tetapi malah terjadi
sebaliknya dimana jumlah kunjungan wisatawan meningkat sangat signifikan
dengan dengan pencapaian jumlah kunjungan tertinggi pada tahun 2012 yaitu
sebanyak 1,092,413 wisatawan dan pada tahun 2013 sebanyak 1,192,129 wisatawan.
Sedangkan rata-rata kontribusi pajak Hotel dan restoran Kabupaten Badung tahun
2000-2013 sebesar Rp. 3.656.950,855 juta/tahun. Kedua komponen ini merupakan
indikator pendukung terhadap terjadinya peningkatan kinerja perekonomian
sebagai pendukung dari program mengentaskan kemiskinan di Kabupaten
Badung. Hal ini dimungkinkan terjadi akibatkan dari pertumbuhan pariwisata
internasional dan dampaknya terhadap pariwisata Kabupaten Badung yang
mencapai 1,087 miliarwisatawan, dengan jumlah pendapatan pariwisata dunia
mencapai USD 1.159 miliar, dan pendapatan Produk Domestik Bruto Dunia
menjadi USD 7.227,1 juta pada tahun 2013 (UNWTO, 2014).
Hasil diskusi group terfokus tentang perkembangan pariwisata Kabupaten
Badung dapat digambarkan sebagai berikut: (1) pesatnya pertumbuhan pariwisata
Kabupaten Badung utamanya didukung oleh peningkatan terus menerus jumlah
kunjungan wisatawan dan terjadinya peningkatan pendapatan PDRB dari tahun ke
tahun. Peningkatan kedua indikator dimaksud berdampak positif dan signifikan
terhadap kenerja perkonomian tetapi masih belum sepenuhnya mampu
menuntaskan kemiskinan di Kabupaten Badung, (2) laju pertumbuhan pariwisata
di Kabupaten Badung dikhawatirkan berdampak negatif akibat dari berbagai
aspek kebijakan seperti pemanfaatan tanah pertanian produktif yang tidak
terkendali. Tanah rakyat dibeli dengan harga murah untuk kepentingan pariwisata
dan berdampak langsung terhadap sulitnya masyarakat Badung membeli tanah
untuk kepentingan sendiri, (3) terhadap inkonsistensi dari penerapan peraturan
127
pemerintah terhadap pengembangan pariwisata berdampak semakin menambah
semerawutnya pembangunan pariwisata dan mempercepat terdegradasinya
sumber-sumber air bersih dan rusaknya lingkungan, sumber daya alam dan
hilangnya jalur hijau semakin tidak jelasnya rencana pengembangan pariwisata di
Kabupaten Badung, (4) pemilikan dan pengelolaan pariwisata berbasis kapitalis
dengan modal besar, tidak mungkin dilakukan orang lokal. Masyarakat lokal akan
menjadi penonton di daerahnya sendiri tanpa berdaya untuk menikmati hasil
pariwisata, (5) lemahnya daya tahan masyarakat Badung memperlemah ketahanan
budaya dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, (6) laju pertumbuhan
pariwisata berbanding lurus dengan kehancuran yang ditimbulkan oleh pariwisata
itu sendiri seperti bergesernya pola hidup masyarakat menjadi rasionalis, (7)
semakin besarnya jumlah penduduk urban dari tahun ketahun berdampak terhadap
terjadinya perubahan demografi, dengan semakin bergesernya norma-norma
kehidupan masyarakat dan semakin terdesaknya penduduk lokal, (8) semakin
bergesernya pola hidup masyarakat mengikuti pola hidup konsumtif, (9)
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja didominasi oleh masyarakat
pendatang. Dengan hidup hemat, disiplin dengan etos kerja lebih tinggi dari
masyarakat lokal berdampak dengan semakin terdesaknya masyarakat lokal,
memunculkan masyarakat miskin dan semakin terpinggirkan di daerahnya sendiri.
5.3.2 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung
Hasil kinerja perekonomian Kabupaten Badung terlihat dari meningkatnya
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara signifikan selama tahun 2010-
2013 yaitu: Rp. 14.926.782.410.000 Pada tahun 2010, Rp. 16.403.381.180.000
pada tahun 2011, Rp. 18.996.102.980.000 pada tahun 2012 dan
128
Rp.20.988.078.2000.000 pada tahun 2013 (BPS Badung, 2014). Sedangkan BPS
Badung (2015) mencatat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung
yaitu: Rp. 979.194.610.828 pada tahun 2010, Rp. 1.406.298.099.449 pada tahun
2011, Rp. 1.872.346.181.795 pada tahun 2012, sebesar Rp. 2.279.113.502.085
pada tahun 2013 dan Rp. 2.722.625.562.620 untuk tahun 2014.
Meningkatnya kinerja perekonomian dapat dilihat dari tingginya tingkat
pertumbuhan diberbagai bentuk kegiatan ekonomi mikro mulai dari
bertumbuhnya pedagang keliling, pedagang makanan di tenda-tendadan kegiatan
di warung-warung permanen yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Tempat
melakukan kegiatan usaha tidak hanya memanfaatkan lokasi strategis perkotaan,
tetapi juga di ruang-ruang sempit pinggiran jalan, sampai merambah ke pasar-
pasar tradisional di desa-desa yang adalah milik Desa Adat Kabupaten Badung.
Potensi pertumbuhan ekonomi ini dimanfaatkan dan didominasi oleh
masyarakat pendatang dengan mengalahkan masyarakat lokal yang seharusnya
memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
dengan membangun sendiri kekuatan ekonomi di daerah mereka masing-masing.
BPS Badung (2014) menunjukkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Badung
sebesar 6,72 persen per tahun selama tahun 2000-2013.
Selain ditunjang oleh pertumbuhan usaha mikro, dan dukungan usaha
menengah dan besar melalui pembangunan sarana akomodasi seperti hotel dan
villa bertaraf internasional, Kuta Selatan diuntungkan sebagai penyelenggara
kegiatan berskala internasional seperti ASEAN Summit Meeting, APEC Meeting,
Miss World yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi di Badung Selatan.
129
Peningkatan perekonomian yang didukung oleh perkembangan pariwisata,
sejalan dengan rumusan hipotesis I (satu) yaitu perkembangan pariwisata
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian di Kabupaten
Badung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wall dan Mathieson (2006: 77-78)
yaitu perkembangan pariwisata mendorong pertumbuhan perekonomian negara-
negara sedang berkembang (developing countries) dan negara miskin (least
developed countries) melalui pertumbuhan ekonomi mikro.
Selanjutnya Athanasopoulou (2013: 7-16) menyatakan bahwa pariwisata
berkontribusi terhadap kinerja perekonomian melalui investasi modal untuk
pembangunan fasilitas pariwisata berskala besar didaerah tujuan pariwisata.
Pembangunan hotel-hotel berskala internasional dengan sarana penunjang lainnya
seperti terlihat di Badung Selatan termasuk di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu,
melalui mata rantai bisnisnya berperan besar dalam mendorong kegiatan ekonomi
mikro dan menengah mulai dari pengadaan kebutuhan barang-barang untuk
pariwisata, sampai kepada kegiatan export produksi masyarakat dalam skala
besar. Kegiatan ekonomi yang muncul dari perkembangan pariwisata berdampak
terhadap semakin terbukanya kesempatan kerja di Kabupaten Badung. Indikator
lainnya seperti banyaknya kedatangan wisatawan mancanegara dan nusantara ke
Kabupaten Badung memberi dampak positif terhadap pendapatan pemerintah
daerah, termasuk kontribusinya terhadap pendapat produk domestik bruto. Selain
itu, pendapatan dari pariwisata internasional (International tourism receipt) juga
berupa devisa Indonesia. Secara lebih rinci Athanasopoulou (2013:7-16)
menyatakan bahwa pendapatan dari kegiatan pariwisata meliputi : (1) pendapatan
yang menjadi bagian dari wisatawan internasional (international tourism receipt),
130
(2) penyediaan layanan wisata (trade and travel services), (3) kontribusi
pariwisata terhadap produk domestik bruto (travel and tourism industry’s
contribution to GDP), dan (4) kontribusi pariwisata terhadap investasi modal dan
ketenagakerjaan (contribution to capital invesment and employment) yang
dinikmati oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kinerja perekonomian.
Untuk menjaga keberlanjutan sektor kepariwisataan, Kabupaten Badung
perlu melakukan inovasi dan diversifikasi daerah tujuan wisata baru dan terobosan
promosi ke daerah pemasaran baru. Sedangkan pembangunan di sektor industri
diarahkan kepada pengembangan industri kecil dan menengah sebagai industri
kreatif, memanfaatkan bahan baku lokal untuk menciptakan produk-produk
berkualitas, mendukung pembangunan di sektor pariwisata dan pertanian.
Menurut Pemerintah Daerah Kabupaten Badung (2015), pertumbuhan
ekonomi bersumber dari potensi sosial ekonomi, geografis dan daya alam yang
tersedia di Badung Utara dan Badung Selatan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Badung Utara yang meliputi Kecamatan Petang yaitu Desa Plaga dan Desa
Bilok Sidan merupakan dataran tinggi dengan fungsi utama sebagai daerah
konservasi dan wilayah pengembangan pertanian terintegrasi dengan
penekanan pada pertanian, perkebunan dan peternakan. Sedangkan pariwisata
Kecamatan Petang dikembangkan sebagai daerah wisata alam dan agro
wisata. Didukung oleh potensi wisata alam dan daerah pertanian sebagai
tulang punggung kehidupan masyarakat Plaga dan Bilok Sidan, pariwisata
Badung Utara sangat dimungkinkan untuk dikembangkan lebih optimal
dijadikan obyek pengembangan wisata agro. Untuk tujuan ini diperlukan
dukungan penuh Pemerintah Kabupaten Badung untuk meningkatkan
131
kuantitas dan kualitas produk-produk hasil pertanian, perikanan, peternakan
dan kerajinan tangan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sampai dewasa
ini hasil produk pertanian masih berkualitas rendah dan belum sepenuhnya
bisa diterima untuk kebutuhan pasar pariwisata. Untuk meningkatkan kinerja
perekonomian di Badung Utara pemerintah telah melakukan pengembangan
teknologi pertanian sayur mayur dan asparagus berkualitas tinggi sehingga
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketahanan pangan
dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas pertanian melalui
teknologi ramah lingkungan. Dukungan pemerintah terhadap akses
permodalan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mikro dengan harapan
bahwa pertanian rakyat akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan agribisnis, diperlukan
variasi komoditas unggulan yang mampu menciptakan produk-
produkpertanian berkualitas. Untuk meningkatkan perekonomian di Badung
Utara, diperlukan dukungan pemerintah dan swasta terhadap peningkatan
sumber daya manusia, khususnya terhadap kemampuan petani untuk
meningkatkan pemasaran dari hasil pertanian melalui pameraan produk-
produk pertanian secara teratur bekerja sama dengan swasta.
2. Badung Selatan yaitu Desa Jimbaran dan Desa Pecatu yang memiliki udara
tropis dengan keindahan pantai Jimbaran dan tebing-tebing laut di Desa
Pecatu merupakan potensi besar sebagai daerah pengembangan pariwisata
untuk membangun hotel dan vila bertaraf internasional. Investasi besar
lainnya yang dilakukan para investor untuk pengembangan Kuta Selatan pada
132
umumnya dilakukan untuk membangun fasilitas pariwisata seperti
pembangunan condominium yaitu fasilitas akomodasi hunian non-hotel.
Condominium pada umumnya dijual kepada perorangan dengan status strata
title sebagai hak milik pribadi dengan pengelolaan secara ekonomi dan
professional, pada umumnya oleh manajemen tersendiri. Keuntungan hasil
pengelolaan dibagi antara manajemen dengan masing-masing pemilik
condominiun. Dibangunnya fasilitas pariwisata di Kuta Selatan sebagai sarana
penunjang kebutuhan wisatawan seperti pembangunan perkantoran swasta,
fasilitas perbelanjaan one stop shopping (mall), fasilitas rekreasi (recreational
facilities), dibangunnya rumah sakit berstandar internasional untuk
menyedialan fasilitas medis untuk kenyamanan wisatawan.
Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung didukung oleh cepatnya laju
pertumbuhan pariwisata di Bali Selatan, secara umum menunjukkan pendapatan
PDRB yang terus meningkat sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013.
Pencapaian PDRB terlihat yang sangat siginifikan terjadi pada tahun 2008 dengan
pencapaian mendekati Rp. 10,5 triliun, terus meningkat hampir mencapai Rp. 21
triliun pada tahun 2013. Hal yang sama terjadi pada peningkatan penyerapan
tenaga kerja dan besarnya investasi. Meningkat nya rata-rata perimaan PDRB,
penyerapan tenaga kerja dan besarnya investasi, menunjukkan dampak positif dari
kinerja perekonomian di Kabupaten. Hal ini diakibat oleh semakin
berkembanganya laju pertumbuhan pariwisata di Kabupten Badung. Kinerja
Perekonomian Kabupten Badung seperti disajikan pada Tabel 5.6
133
Tabel 5.6 Kinerja Perekonomian
Kabupaten Badung (X2)
Tahun PDRB
(Jutaan Rupiah ) (X2.1)
Penyerapan Tenaga Kerja
(orang) (X2.2)
Investasi (Ribuan Rupiah)
(X3.3) 2000 3.433.683,38 101.626 148.750.200 2001 4.086.884,27 118.433 152.801.324 2002 4.818.028,87 135.239 154.931,201 2003 5.247.929,98 152.046 1.101.407.059 2004 5.891.231,65 168.853 2.360.745.445 2005 7.004.648,18 185.659 4.140.660.000 2006 7.701.192,62 202.466 1.652.957.796 2007 8.799.215,12 219.273 5.305.717.700 2008 10.478.390,93 227.091 6.043.268,777 2009 12.875.498,13 231.628 2.362.541.294 2010 14.926.782,41 310.147 1.890.474.000 2011 16.403.318,18 305.897 8.536.644.646 2012 18.996.102,98 313.338 5.334.590.363 2013 20.998.078,20 330.897 6.048.968.601 Total 104.705.716,20 2.671.696 492.849.190,79
Rata-Rata 8.054.285,86 205.515 37.911.476,21 Sumber : BPS Kabupaten Badung, Bappeda Provinsi Bali 2014
5.3.3 Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Badung
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan
ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan di Kabupaten
Badung. Fenomena kemiskinan yang kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang saling berkaitan seperti tingkat pendapatan yang rendah, penyediaan layanan
kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan kondisi lingkungan yang buruk.
Menurut Rudrick (2007) salah satu instrumen untuk mengurangi
kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat bisa
dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi. Dilema yang dihadapi adalah dengan
pendapatan PDRB terbesar diantara kabupaten/kota se Bali, Kabupaten Badung
masih menghadapi kemiskinan yang terdapat di kantong-kantong pariwisata. Dari
hasil diskusi group terfokus di Badung Utara dan di Badung Selatan, kemiskinan
134
yang ada di wilayah Badung sebagian besar dikategorikan sebagai kemiskinan
kultural yang erat kaitannya dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang tidak mau memperbaiki tingkat hidupnya sendiri. Peran pihak lain menjadi
tidak berarti akibat pengaruh lingkungan dan tradisi yang membelenggu pola
hidup mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran Nehen (2012: 201-203) yang
menyatakan bahwa penyebab kemiskinan di Kabupaten Badung yaitu: (1)
rendahnya tingkat pendidikan produktivitas kerja, (2) buruknya fasilitas kesehatan
masyarakat, dan (3) budaya masyarakat yang menolak perubahan untuk
meningkatkan kehidupan lebih baik. Sedangkan pesatnya perkembangan
pariwisata berdampak berhadap membanjirnya tenaga kerja ke Kabupaten Badung
dengan ketrampilan rendah dan pendidikan tidak memadai, memunculkan
masalah sosial baru yang memunculkan daerah-daerah kumuh, di daerah urban
dan di kantong pariwisata Badung Selatan yang menimbulkan kemiskinan baru.
Pembahasan dalam diskusi group terfokus tentang pertumbuhan pariwisata
Desa Plaga, Desa Jimbaran dan Desa Pecatu menemukan kesimpulan bahwa
sebagian besar masyarakat lokal masih dipengaruhi oleh tradisi dan lingkungan
dengan etos kerja rendah. Berhadapan dengan etos kerja tinggi dari masyarakat
pendatang dengan hidup hemat, ulet, memungkinkan mereka menghasilkan
pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat setempat. Didorong
oleh pola hidup konsumtif, masyarakat lokal tersisih dari tempat kelahirannya
dan tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Hambatan sosial budaya
membelenggu penduduk lokal mempersulit pelaksanaan program kesejahteraan
dan pengentasan kemiskinan (Corbett dan Fikkert, 2012: 11). Diskusi group
terfokus ditindak lanjuti dengn melakukan depth-interview sebagai berikut:
135
1) I Made Rame, umur 48 tahun, lahir dan dibesarkan di Banjar Tengah Desa
Pecatu, bekerja sebagai petugas keamanan villa di pantai Suluban,
menyatakan bahwa kemiskinan masih ada di Desa Pecatu. Lebih lanjut I
Made Rame menyatakan sebagai berikut:
“Dumunan sedurung pariwisata berkembang sekadi mangkin, akeh masyarakat ring Pecatu kari miskin. Tanah warisan keadol ring calo miwah investor. Jinah sane kepolihang anggene ngewangun, numbas tanah pengentos, sisane anggena malegan-legan. Wenten naler tanah pangentos sane sampun katumbas malih adol ipun, raris pamuputne wargane kembali miskin. Sesampune pariwisata berkembang sekadi mangkin wenten perubahan hidup. Masyarakat preside ngontrakin tanah ring tamu asing anggen ipun rumah pribadi wiadin villa. Hasil ngontrakkan tanah anggen ipun berbisnis sekadi membangun rumah kontrakan wiadin rumah kost. Indik masyarakat miskin tiang nenten uning, rarisang takenan ring Kelian Dinas” (Pantai Suluban Pecatu, 10 Februari 2015).
(Dahulu sebelum pariwisata berkembang seperti sekarang ini masih
banyak terdapat masyarakat miskin di Pecatu. Tanah warisan dijual kepada
perantara jual beli tanah atau langsung kepada penanam modal. Sebagian
dari uang hasil penjualan tanah mereka dipergunakan untuk membangun
atau memperbaiki rumah, sebagian lainnya untuk membeli tanah pengganti
dan sisanya dipakai untuk berfoya-foya. Dalam perjalanan waktu, tanah
pengganti yang sudah dibeli dijual lagi, yang menjadikan mereka kembali
menjadi miskin. Sesudah pariwisata berkembang seperti sekarang ini,
terjadi perubahan hidup. Masyarakat biasa mengontrakkan tanah mereka
ke wisatawan asing,dipakai untuk rumah tinggal atau villa pribadi. Hasil
menyewakan tanah dipakai untuk membangun rumah-rumah penginapan.
Informasi tentang jumlah masyarakat miskin diketahui oleh Kelian Dinas).
Dari hasil wawancara penulis menyimpulkan bahwa sejak berkembangnya
136
pariwisata di Badung Selatan, kemiskinan di Desa Pecatu semakin
berkurang. Yang menonjol adalah terjadinya perubahan pola pikir
masyarakat yang tidak lagi menjual tanah milik mereka, sebaliknya hanya
mengontrakkan dan hasilnya dipakai untuk meningkatkn kesejahteraan
mereka.
2) I Made Neka umur 75 tahun, berasal dari Banjar Kangin Pecatu hasil dari
deph-interview mendapatkan Informasi sebagai berikut:
“Mangkin masyarakate sampun sadar, nenten wenten sane ngadol tanah. Warisan ipune dikontrakkan, jinah sane kapolihan anggen ipun biaya hidup keluarga” (10 Februari 2015) (Sekarang masyarakat sudah mulai sadar bahwa mereka tidak lagi menjual
tanah. Tanah warisan mereka dikontrakkan dan hasilnya dipakai untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga).
3) Wawancara dengan keluarga Wayan Sabur umur 54 tahun tinggal di Br.
Menega Jimbaran mendapatkan informasi bahwa keluarga miskin yang
mendapatkan bantuan rumah dari LPM Jimbaran bekerja sama dengan
pengusaha-pengusaha yang bergerak dibidang pariwisata memberikan
bantuan rumah siap pakai. Selain keluarganya, LPM juga memberikan
banruan rumah siap pakai kepada keluarga I Wayan Wasa, umur 55 tahun
yang juga tinggal di Br. Menega.
4) Sedangkan wawancara mendalam di Badung Utara dengan Ibu Dewa Aji
Kasna, kelahiran tahun 1976 pemilik Warung Kopi di Desa Plaga,
bersuamikan Bapak Dewa Kasna penggarap sebidang tanah kopi milik
keluarga. Keluarga ini dikaruniai dua anak yang masih belajar di Sekolah
137
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Desa Plaga. Lebih lanjut Ibu Dewa Aji
menyatakan:
“Ring Desa Plaga akehan wargane nenten madrebe tanah sane karyanine pedidi. Kantun akeh warga sane miskin lan arang keluarga sane sugih. Keluara sane miskin polih bantuan saking Pemerintah Badung anggen ipun mecikang umah (bedah rumah). Pemerintah ngewehin `bantuan 15 juta rupiah, kekirangane ketanggung olih warga sane nguwenang umahe”(Plaga, 24 Februari 2015) (Di Desa Plaga sebagian besar masyarakat tidak memiliki tanah hak milik
yang digarap sendiri. Masih banyak orang miskin dan sebagian besar
tanah sawah dimiliki oleh orang tertentu. Di Plaga jarang ada orang
kaya. Pemerintah Kabupaten Badung membantu keluarga miskin memalui
program bedah rumah berupa bantuan sebesar 15 juta rupiah dan
kekurangannya ditanggung sendiri oleh pemilik rumah).
5) Pernyataan Ibu Dewa Aji Kasna dibenarkan oleh I Ketut Sueta, seorang
pendidik, tokoh masyarakat, pegiat pariwisata dan Ketua Kelompok Sadar
Wisata di Desa Bilok Sidan. Selanjutnya I Ketut Sueta menyatakan:
“Diantara 170 Kepala Keluarga (KK) warga Desa Bilok Sidan, yang memiliki tanah hak milik hanya sebanayak 22 KK. Mereka adalah penduduk yang pertama kali datang sebagai pendatang sebagai transmigrasi lokal di Bilok Sidan dan mengatur pembagaian tanah mereka masing-masing. Masyarakat yang tidak memiliki tanah sendiri, hidup sebagai petani penggarap dan pekerjaan sambilan lainnya seperti berdagang atau sebagai pekerja bangunan (Bilok Sidan, 06 Juni 2015). Gambaran kemiskinan dari hasil wawancara yang dilakukan di Badung
Selatan dan di Badung Utara sejalan dengan penelitian dilakukan oleh Corbert dan
Fikkert (2012:11) yang menyatakan bahwa selain munculnya kemiskinan absolut
akibat dari ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal seperti
sandang pangan dan tidak memiliki tempat tinggal. Perkembangan globalisasi
138
yang melahirkan yang memberikan kepada industri pariwisata dunia kemudahan-
kemudahan untuk mengembangkan pariwisata di negara berkembang, melahirkan
kemiskinan dibanyak negara berkembang termasuk di Kabupaten Badung.
Berdasarkan dari wawancara dengan lima informan menunjukkan indikasi bahwa
adanya kecendrungan terjadinya menurunya kemiskinan di Badung selatan lebih
cepat jika dibandingkan dengan di Badung Utara.
Melihat dampak pertumbuhan pariwisata terhadap peningkatan kinerja
perekonomian, dan masih terdapatnya kemiskinan di Badung Utara dan di Badung
Selatan, pemerintah daerah sudah melakukan program pemberdayaan dan
pengentasan kemiskinan bekerjasama dengan para pengusaha di bidang pariwisata
melalui peraturan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dewasa ini masih
berbentuk philanthropy-capitalism yaitu sebuah bentuk kamuflase sebuah praktik
kedermawanan kapitalisme bagi orang miskin (Ardianto dan Machfudz, 2011).
Sedangkan konsep pengembangan pariwisata yang diperlukan di pedesaan di
Badunbg Utara ialah kerjasama melalui pemberdayaan setiap desa dengan
program-program pengembangan menjadikan desa sebagai pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi (Bali Post, 3 Agustus 2015). Konsep ini sejalan dengan
Bonfiglioli (2004) yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat perlu
dibebaskan dari halangan di dalam menjalankan melaksanakan prinsip-prinsip
dasar dengan penata kelolaan pemerintahan yang baik (the basic principles of
good governance) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi terkait dengan hak asasi manusia, kebebasan berserikat, penegakan
hukum yang berkeadilan dan terhadap hak layanan sosial kemasyarakatan.
Dengan meningkatkan pembangunan sektor riil di Badung Utara seperti
139
pengembangan produk asparagus dilakukan oleh Koperasi Tani Mertanadi,
pengembangan perkebunan dan pengolahan kopi arabika oleh Koperasi Sumber
Mertha Buana. Dengan pola kerjasama antar UKM, program untuk mengakses
pasar bagi produk kehutanan dan pertanian di Badung Utara dibiayai pemerintah.
Selain program pengentasan kemiskinan yang dilakukan melalui CSR yang
didapatkan dari partisipasi para pengusaha swasta, Pemerintah Kabupaten Badung
telah menempatkan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama yang relevan,
terukur dan termonitor seperti: (1) melalui perluasan pelayanan masyarakat miskin
terhadap akses pelayanan kesehatan dan pendidikan serta kesempatan untuk
melakukan kegiatan usaha, (2) memberikan rangsangan melalui pendidikan non
formal seperti pelatihan berkaitan dengan kewirausahaan, dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, (3) penyediaan sarana dan prasarana untuk
lingkungan pemukiman, (4) menyediakan sumber daya keuangan melalui dana
bergulir sebagai sumber modal usaha untuk masyarakat miskin.
Untuk mendukung percepatan program kesejahteraan masyarakat terkait
dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah Kabupaten Badung telah
menetapkan Lima Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan berupa program-
program unggulan seperti: (1) pro growth, yaitu sebuah konsep pertumbuhan yang
berkeadilan diikuti dengan pemerataan distribusi kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat, (2) Pro Jobs, yaitu sebuah konsep yang diciptakan untuk memperluas
lapangan pekerjaan dan mencipatakan iklim usaha yang kondusif, (3) pro poor,
berupa program-program sosial untuk pemberdayaan dan kesejahteraan untuk
percepatan penanggulangan kemiskinan, (4) pro culture, dimaksudkan untuk
melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal budaya masyarakat dan
140
pencegahan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata,
dan (5) pro environment, berupa pelestarian alam dan lingkungan secara
berkelanjutan mengacu pada terbatasnya daya dukung di Kabupaten Badung.
Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan melalui berbagai
program yang dilakukan pemerintah daerah seperti pemberian Dana Pendamping
(BOS) bagi siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) yang diberlakukan bagi sekolah negeri dan swasta. Pemerintah Kabupaten
Badung menerapkan juga pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dan memberikan
bantuan beasiswa yang ditujukan kepada masyarakat miskin atau kepada
masyarakat yang secara ekonomis kurang mampu untuk membiayai mahalnya
pendidikan bagi anak-anak mereka. Pemberian Beasiswa sudah diberlakukan
sejak diterapkan anggaran pemerintah daerah pada tahun 2010.
Terkait dengan program kesehatan sebagai sebuah kebutuhan layanan
masyarakat kurang mampu di Kabupaten Badung, Jaminan Kesehatan Bali
Mandara (JKBM) yaitu program pemerintah untuk meringankan masyarakat
miskin dari biaya rumah sakit yangdilakukan pemerintah terhadap layanan selama
24 jam di Puskesmas. Selain itu program-program sosial kemasyarakatan yang
telah diberlakukan pemerintah seperti Peningkatan Kualitas Rumah Sehat untuk
meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, program fasilitas perbaikan jalan
sarana transportasi utuk lingkungan masyarakat dan program peningkatan
perekonomian berupa kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) masyarakat yang
kurang mampu. Untuk memperkuat desa-desa di Kabupaten Badung pemerintah
daerah membentuk Kelompok-kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi masyarakat
umum dan bagi masyarakat kreatif yang kurang mampu.
141
Selanjutnya terhadap upaya penanggulangan kemiskinan (Bappeda
Badung, 2014), Pemerintah Kabupaten Badung telah melaksanakan Peraturan
Presiden nomor 15/2010 yaitu Tiplogi Perlindungan Sosial bagi pasyarakat miskin
tentang pencepatan penanggulangan kemiskinan dengan seperti dalam Klaster I
yaitu Program berbasis perlindungan sosiala dan Keluarga, Klaster II yaitu
Program berbasis pemberdayaan masyararakat, Klaster III yaitu Program berbasis
usaha mikro kecil dan menengah dan Klaster IV Program lain pro rakyat.
Kondisi kemiskinan di Kabupaten Badung (2000- 2013) seperti disajikan
pada Tabel. 5.7.
Tabel 5.7 Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013
Tahun
Jumlah Penduduk
Miskin (000 jiwa)
Garis Kemiskinan
(Rp/Kap/bln)
Persentase Penduduk
Miskin
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Indeks Keparahan
Kemiskinan
2000 21,66 47.621 5,96 1,05 0,25 2001 21,08 74.607 5,70 0,99 0,23 2002 16,90 101.593 4,68 0,93 0,22 2003 21,40 128.579 5,31 0,86 0,20 2004 20,50 155.564 5,00 0,80 0,19 2005 22,00 208.271 5,25 0,81 0,19 2006 18,20 217.507 4,57 0,52 0,10 2007 17,40 221.695 4,28 0,46 0,07 2008 13,70 234.959 3,28 1,01 0,34 2009 14,00 282.559 3,28 0,35 0,06 2010 17,70 312.602 3,23 0,39 0,06 2011 14,60 346.460 2,62 0,27 0,05 2012 12,51 383.985 2,16 0,33 0,08 2013 14,55 406.408 2,46 0,27 0,06
Total 246,20 3.122.410 57,78 8,71 2,1 Rata-Rata 18,94 240.185 4,44 0,67 0,16
Sumber : BPS Kabupaten Badung, Data diolah 2014
142
1. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Badung antara tahun 2000-2013
menunjukkan penurunan sangat signifikan dari tahun ke tahun. Jumlah rata-
rata penduduk miskin antara tahun 2000-2005 menunjukkan angka tertinggi
yaitu sebesar 20.590 jiwa/tahun. Antara tahun 2006-2009 jumlah penduduk
miskin menurun sangat signifikan menjadi 15.825 jiwa/tahun dengan
penurunan sebesar 23,14 persen dari rata-rata tahun sebelumnya. Rata-rata
jumlah penduduk antara tahun 2010-2013 menjadi 14.840/tahun atau
menunjukkan penurunan sebesar 6,25 persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Terus berkurangnya jumlah penduduk miskin dari tahun 2000 sampai tahun
2013 menunjukkan keberhasilan pemerintah pengentasan kemiskinan di
Kabupaten Badung. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyudi (2007)
dan Gibson (2007) yang menyatakan bahwa pesatnya pengembangan
pariwisata bisa menjadi salah satu jawaban terhadap terciptanya peluang kerja
di sektor pariwisata yang berkorelasi langsung terhadap tingkatan pemerataan
pendapatan masyarakat dan menurunnya jumlah penduduk miskin.
2. Garis kemiskinan (GK) juga disebut sebagai batas kemiskinan yaitu
pendapatan minimum yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup di
suatu daerah atau negara tertentu. Untuk Kabupaten Badung garis kemiskinan
dihitung sama dengan 2100 kilo kalori untuk makanan ditambah 54 komoditi
non makanan, atau disetarakan dalam bentuk rupiah sebesar
Rp.406.408/kapita/hari (BPS Badung, 2014).
Rendahnya GK sebesar Rp. 47.621 pada tahun 2000, meningkat
menjadi Rp.74.607 pada tahun 2001 menunjukkan bahwa walaupun terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat dari tahun ke tahun, tetapi pendapatan
143
masyarakat masih tergolong rendah dan belum terjadi peningkatan yang
signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Peningkatan rata-rata GK pada
tahun 2002-2004 menjadi sebesar Rp.128.580/tahun dan meningkatnya GK
sebesar 44,65 persen pada tahun 2005-2009 menjadi rata-rata
Rp.232.300/tahun menunjukkan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sedangkan pencapaian GK rata-rata Rp. 362.360/tahun untuk
tahun 2010-2012 dengan garis kemiskinan rata-rata 2,62 persen/tahun.
Dengan terus meningkatnya angka rata-rata garis kemiskinan dari tahun
ketahun, menunjukkan semakin meningkatnya sejahteranya masyarakat dan
semakin berkurangnya tingkat kemiskinan di Kabupaten Badung.
3. Indeks kedalaman kemiskinan yaitu seberapa jauh rata-rata pengeluaran
orang miskin terhadap garis kemiskinan. Pada tahun 2000 indeks kedalaman
kemiskinan di Kabupaten Badung sebesar 1,05 persen atau selisih dalam
persen terhadap kemiskinan, artinya bahwa selisih jarak antara pengeluaran
penduduk miskin dengan garis kemiskinan sebesar 1,05 persen atau 1,05
persen dibawah Rp. 406.408. Rata-rata kedalaman kemiskinan dari tahun ke
tahun sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Badung
masih berada dalam kisaran dibawah 0,65 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata pengeluaran orang miskin masih berada 0,65 persen dari
angka garis kemiskinan di Kabupaten Badung. Data indeks kedalaman
kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013 masing-masing
sebesar 0,33 (Rp.383.985). Hal ini menunjukkan pencapaian terbaik dari
kemampuan ekonomis masyarakat Badung mendekati garis kemiskinan di
Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 406.408.
144
4. Indeks keparahan kemiskinan, juga disebut sebagai tingkat variasi atau varian
diantara orang miskin yaitu: dengan semakin besarnya indeks keparahan
kemiskinan berarti jumlah orang miskin menjadi semakin heterogen.
Sebaliknya dengan semakin kecil indeks keparahan kemiskinan, jumlah
orang miskin menjadi semakin homogin.
Gambaran dari kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Badung
dapat dilihat dari hubungan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan
kemiskinan sebagai berikut:
1) Prosentase jumlah penduduk miskin bisa saja menurun, tetapi indeks
keparahan kemiskinan bisa menjadi bertambah tinggi atau menjadi semakin
meningkat. Artinya bahwa pada kondisi seperti ini, jumlah orang miskin
secara absolut akan menurun, tetapi jumlah penduduk miskin menjadi
semakin bertambah miskin.
2) Prosentase penduduk miskinnya meningkat, dan indeks kedalaman
kemiskinannya menurun. Artinya bahwa prosentase kemiskinan bisa saja
meningkat tetapi kedalaman kemiskinan akan menjadi semakin rendah.
5.4 Hasil Pengujian Partial Least Square (PLS)
Sesuai dengan persyaratan yang digunakan dalam pemodelan SEM dengan
menggunakan Partial Lesat Square (PLS) dengan melakukan langkah-langkah
sebagai berikut (Hidayat dan Widjanarko, 2012)
5.4.1 Hasil pengujian outer model atau measurement model
Hasil analisis model tentang pengaruh perkembangan pariwisata terhadap
kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan disajikan pada Gambar 5.3.
145
Gambar 5.2
Hasil analisis outer model penelitian Terdapat tiga kriteria didalam penggunaan teknik analisis data dengan
Smart PLS untuk menilai outer model yaitu convergent validity, discriminant
validity, serta average variance extracted (AVE) dan composite reliability
(Ghozali, 2008). Outer model dinilai dengan cara melihat convergent validity
seperti terlihat pada Tabel 5.8. Penelitian ini menggunakan batas minimal loading
factor sebesar 0,5. Hasil analisis selengkapnya seperti terlihat pada lampiran 3.
Tabel 5.8 Outer Loadings
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 (Jumlah kunjungan wisatawan) 0,739 x1.2 (Kontribusi PHR) 0,948 x1.3 (Lama tinggal wisatawan) -0,817 x1.4 (Pengeluaran wisatawan) 0,428 x2.1 (Pertumbuhan PDRB) 0,970 x2.2 (Penyerapan tenaga kerja) 0,979 x2.3 (Investasi) 0,849 y1.1 (Jumlah penduduk miskin) 0,992 y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) 0,956 y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan) 0,929
0.970 0.979 0.849
0.739
0.948
-0.817
0.428 0.992 0.956 0.929
X2.1 X2.2 X2.3
Y1.1 Y1.2 Y1.3
Perkembangan Pariwisata
(X1)
Kinerja Perekonomian
(X2)
Kemiskinan (Y)
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
146
Hasil pengolahan seperti terlihat pada Tabel 5.8 menunjukkan bahwa nilai
outer model telah memenuhi kriteria convergent validity, dimana semua indikator
memiliki loading factor di atas 0,50 kecuali indikator lama tinggal wisatawan
(X1.3) dan indikator pengeluaran wisatawan (X1.4), memiliki loading factor di
bawah 0,5. Hal ini menyebabkan kedua indikator tersebut dikeluarkan dari model.
Alasan lain yang menyebabkan kedua indikator dimaksud negatif adalah
terjadinya kondisi pariwisata tidak normal, yaitu ketika jumlah kunjungan
wisatawan meningkat justru hotel-hotel dihuni oleh rombongan-rombongan besar
dengan nilai beli rendah. Mereka hanya menginap tanpa makan dan minum di
hotel dan membelanjakan uang mereka yang terbatas ditempat umum.
Revisi hasil analisis outer model diperlihatkan pada Tabel 5.9,
selengkapnya disajikan pada lampiran 4. Hasil revisi analisis outer model seperti
terlihat pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Hasil revisi analisis outer model
0.971 0.979 0.846
0.856
0.954
0.992 0.957 0.928
X2.1 X2.2 X2.3
Y1.1 Y1.2 Y1.3
Perkembangan Pariwisata (X1)
Kinerja Perekonomian
(X2)
Kemiskinan (Y)
X1.1
X1.2
147
Tabel 5.9 Outer Loadings (Model Revisi)
Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan
Pariwisata x1.1 (Jumlah kunjungan wisatawan)
0,856
x1.2 (Kontribusi PHR) 0,954 x2.1 (Pertumbuhan PDRB) 0,971 x2.2 (Penyerapan tenaga kerja)
0,979
x2.3 (Investasi) 0,846 y1.1 (Jumlah penduduk miskin) 0,992
y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) 0,957
y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan) 0,928
Hasil pengolahan data sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.9
memperlihatkan bahwa nilai outer model memenuhi kriteria convergent validity
dimana semua indikator memiliki loading factor di atas 0,50. Dapat disimpulkan
bahwa konstruk mempunyai convergent validity yang baik.
5.4.2 Hasil pengujian Discriminant validity
Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator
(faktor) dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika
korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk
lainya, maka hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada
blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya.
148
Tabel 5.10 Cross Loadings
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 -0,542 0,560 0,856 x1.2 -0,949 0,939 0,954 x2.1 -0,951 0,971 0,942 x2.2 -0,953 0,979 0,869 x2.3 -0,702 0,846 0,569 y1.1 0,992 -0,932 -0,854 y1.2 0,957 -0,946 -0,886 y1.3 0,928 -0,829 -0,759
Sumber: Lampiran 4
Data pada Tabel 5.10 menjelaskan bahwa nilai cross loadings
menunjukkan adanya discriminant validity yang baik. Hal tersebut dapat dilihat
dari nilai korelasi indikator terhadap konstruknya (loading factor) lebih tinggi
dibandingkan nilai korelasi indikator tersebut dengan konstruk lainnya.
5.4.3 Hasil pengujian Reliability
Menurut Ghozali (2008: 40) bahwa reliabilitas suatu konstruk dapat dinilai
dari composite reliability yang berfungsi untuk mengukur internal consistency
yang nilainya harus diatas 0,60.
Tabel 5.11 Composite Reliability
No Konstruk Composite Reliability
1 Kemiskinan 0,972 2 Kinerja Perekonomian 0,953 3 Perkembangan Pariwisata 0,902
Sumber: Lampiran 4.
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa nilai composite reliability dari semua
konstruk adalah diatas 0,60 maka konstruk sudah memenuhi kriteria reliabel.
149
5.4.4 Pengujian model struktural (inner model)
Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan
pada substantive theory. Dalam menilai model dengan PLS, dimulai dengan
melihat R-squares untuk setiap variabel laten dependen. Hasil pengujian inner
model dapat melihat hubungan antar konstruk dengan cara membandingkan nilai
signifikansi dan R-square dari model penelitian (Ghozali, 2008: 42). Diagram
struktural hasil uji inner model diperlihatkan pada Gambar 5.5. Nilai R-Square
diperoleh pada Tabel 5.12
Tabel 5.12 Nilai R-Squares
No Konstruk R Square 1 Kemiskinan 0,899 2 Kinerja Perekonomian 0,758 3 Perkembangan Pariwisata 0,000
Sumber: Lampiran 4
Nilai R-square variabel Kemiskinan sebesar 0,899 dapat diintepretasikan
bahwa 89,9% variabilitas konstruk Kemiskinan dijelaskan oleh variabel
Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian, sedangkan 10,1% konstruk
Kemiskinan dijelaskan oleh variabel di luar model. Demikian juga dengan
variabel Kinerja perekonomian, memiliki R square 0, 758 yang artinya 75,8%
variabilitas kinerja pereknomian disebabkan oleh perkembangan pariwisata dan
24,2% disebabkan oleh variabel di luar model.
150
Gambar 5.4 Diagram Struktural Hasil Uji Inner Model
Sumber: Lampiran 4
Model struktural tersebut dinamai model reflektif dimana covariance
pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi
dari konstruk unidimensional yang digambarkan dengan bentuk elips dengan
beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan
bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada
indikator. Dalam model tersebut terdapat satu variabel eksogen yaitu variabel
perkembangan pariwisata dan dua variabel endogen yaitu kinerja perekonomian
dan kemiskinan. Ketiga variabel tersebut memiliki indikator masing-masing.
5.5 Pengaruh Perkembangan Pariwisata, Kinerja Perekonomian, dan
Kemiskinan
Pengujian hipotesis tentang koefisien jalur atau pengaruh variabel
perkembangan pariwisata (PP) terhadap kinerja perekonomian (KP), pengaruh
kinerja perekonomian (KP) terhadap Kemiskinan (KM) dan pengaruh
0.971 0.979 0.846
0.856
0.954
0.992 0.957 0.928
X2.1 X2.2 X2.3
Y1.1 Y1.2 Y1.3
Perkembangan Pariwisata
0,000
Kinerja Perekonomian
0,758
Kemiskinan 0,899
X1.1
X1.2
151
perkembangan parisiwata (PP) terhadap kemiskinan (KM) seperti disajikan pada
Gambar 5.5 dan Tabel 5.13.
Gambar 5.5 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis
Sumber: Lampiran 4
Tabel 5.13 Pengaruh Perkembangan Pariwisata dan Kinerja
Perekonomian terhadap Kemiskinan
Original Sample
(O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error
(STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
Kinerja Perekonomian -> Kemiskinan
-0.762 -0.754 0.049 0.049 15.462
Perkembangan Pariwisata -> Kemiskinan
-0.207 -0.217 0.051 0.051 4.099
Perkembangan Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
0.871 0.875 0.012 0.012 71.567
Sumber: Lampiran 4
0.000 Perkembangan
Pariwisata
0.971 0.979 0.846
-0.207
0.992 0.957 0.928
0.871 -0.762
X2.1 X2.2 X2.3
Y1.1 Y1.2 Y1.3
X1.1
X1.2
0.899 Kemiskinan
0.758 Kinerja
Perekonomian
0.856
0.954
152
Pengujian terhadap hipotesis dalam metode PLS dilakukan dengan
menggunakan simulasi terhadap setiap hubungan yang dihipotesiskan. Dalam hal
ini dilakukan metode bootstraping terhadap sampel. Metode bootstraping juga
berfungsi untuk meminimalkan masalah ketidaknormalan data penelitian yang
digunakan. Pada penelitian ini telah ditentukan sebelumnya nilai T-tabel dengan
signifikansi 5%, dk=11, adalah sebesar 2,201. Semua koefisien jalur pada Tabel
5.12 memiliki nilai t statistik di atas 2,201 sehingga dinyatakan memiliki
pengaruh yang signifikan. Pengujian masing-masing hipotesis dibahas pada sub
berikut ini.
5.5.1 Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa pengaruh
perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian menunjukkan nilai
koefisien jalur sebesar 0,871 dengan nilai t-statistik sebesar 71,567. Nilai
t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201. Ini menunjukkan
bahwa variabel perkembangan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perekonomian. Artinya bahwa semakin baik perkembangan pariwisata maka
kinerja perekonomian juga akan meningkat. Hal ini berarti hipotesis 1 diterima.
Hasil hipotesis ini sejalan dengan pandangan Theobald (2005: 79) yang
menyatakan bahwa pariwisata berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian
terutama sebagai sumber penerimaan devisa, meningkatkan investasi, perpajakan
serta kesempatan kerja. Meningkatnya penerimaan devisa yang masuk ke kantong
pemerintah dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur seperti pembukan jalan
baru untuk memperlancar distribusi barang-barang perekonomian. Hasil penelitian
ini mendukung hasil penelitian Gibson (2009: 527-528); Leon (2006:34); World
153
Tourism Organization (2014); Asley et al (2001), dalam Hall (2008) dan
Pangestu (2013: 14-25), yang menyatakan bahwa pariwisata berperan penting
dalam pertumbuhan perekonomian makro maupun mikro. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa meningkatkan kinerja perekonomian diakibatkan oleh meningkatnya
jumlah kunjungan wisatawan, penyerapan tenaga kerja dan masuknya investasi
baru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pariwisata
(WTO, 2014; Pangestu, 2013; Disparda Bali, 2014; Ashley et al, 2001). Melalui
pelatihan berkelanjutan, masyarakat diberdayakan untuk menciptakan produk-
produk pertanian yang dibutuhkan pariwisata seperti untuk membuat cendera mata
untuk wisatawan. Nurhayati (2012) yang melakukan penelitian pada agrowisata
di Jawa Timur menyatakan bahwa PPT dapat digunakan sebagai strategi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui penyerapan tenaga kerja
lokal dimana agrowisata dikembangkan. Lebih lanjut dinyatakan melalui industri
pariwisata PPT dapat meningkatkan perekonomian secara makro yang
mendukung peningkatan pendapatan masyarakat serta juga memberi manfaat non
ekonomi seperti adanya pertukaran nilai budaya akibat dari adanya interaksi
antara wisatawan dengan masyarakat lokal sebagai tuan rumah (Nurhayati, 2012)
dan (Ashley et al 2001).
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Wahyudi (2007) yang
meneliti pengaruh pariwisata dalam pengentasan kemiskinan dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yaitu tentang pengentasan kelaparan dan
kemiskinan ektrim (eradicate extreme poverty and hunger) bagi penduduk dunia
dengan pendapatan dibawah USD 1,25 per hari. Temuan penelitian ini juga
154
memperkuat hasil penelitian Gibson (2009), yang menyatakan bahwa pariwisata
berkontribusi positif di dalam meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
5.5.2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh signifikan
variabel kinerja perekonomian (KP) terhadap kemiskinan (KM) dengan nilai
koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462. Nilai
t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, menunjukkan bahwa
ada pengaruh yang signifikan antara variabel kinerja perekonomian terhadap
kemiskinan. Koefisien jalur yang bertanda negatif menunjukkan bahwa kinerja
perekonomian memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.
Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kinerja perekonomin (KP) maka
kemiskinan (KM) semakin menurun. Hal ini berarti hipotesis 2 diterima.
Hasil hipotesis ini dukung oleh penelitian Wahyudi (2007) yang
menyatakan pariwisata sebagai sumber pemasukan devisa, juga berperan untuk
peningkatan penerimaan pajak, masuknya investasi dan terbukanya peluang
kesempatan kerja untuk pemerataan pendapatan masyarakat dan mengurangi
kemiskinan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Jonaidi
(2012); Siregar (2010); Dewantoro dkk (2014) yang menemukan pengaruh
perekonomian terhadap kemiskinan. Secara umum digambarkan meningkatnya
perekonomian (PDRB), Investasi berdampak pada pengurangan kemiskinan.
Jonaidi (2012) melakukan penelitian di tiga puluh tiga provinsi di Indonesia
meneliti pengaruh investasi, harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Penelitiannya menyatakan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh dan peningkatan investasi PMA dan PMDN
155
berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat
penanaman modal asing dan penanaman dalam negeri berdampak terhadap
menurunnya tingkat kemiskinan di Indonesia.
Sejalan dengan Jonaidi (2012) kemiskinan akan menjadi lebih parah saat
terjadi krisis ekonomi akibat dari banyaknya industri yang menutup lapangan
kerja dan karyawan kehilangan lapangan kerja. Selain itu tingkat inflasi yang
tinggi berdampak terhadap semakin banyaknya pengangguran dan meningkatnya
kemiskinan seperti terjadi ketika munculnya krisis ekonomi Asia pada tahun
1978. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewantoro dkk (2014) di Sumatera
Utara yang mengatakan bahwa perekonomian agregat berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan. Artinya bahwa semakin meningkat perekonomian akan
semakin berpengaruh terhadap menurunnya tingkat kemiskinan. Lebih jauh
dikatakan bahwa sektor pertanian yang berkelanjutan, selain terbukanya
kesempatan kerja di sektor industri-industri pengolahan makanan, sektor
perdagangan, sektor pariwisata, angkutan umum dan sektor komunikasi.
Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Kakwani dan Pernia
(2000) yang dilakukan di dua negara sedang berkembang yaitu Laos dan Thailand
dan di Korea sebagai sebuah negara industri modern. Penelitian mereka
menemukan bahwa menurunnya tingkat kemiskinan di negara yang diteliti
dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang terjadi terutama disektor perdagangan,
pertanian, disektor jasa pelayanan dan perdagangan, sektor industri dan pelayaan
jasa lainnya. Selanjutnya penelitian ini menemukan konsep pro growth dan
trickle-down development melalui pembagian pendapatan yang merata perlu
156
dikembangkan sebagai konsep pengentasan kemiskinan di negara-negara sedang
berkembang maupun di negara-negara maju (Kakwani dan Pernia, 2000).
5.5.3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan
Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan
sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099. Nilai t- statistik tersebut
lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara variabel perkembangan pariwisata dengan kemiskinan. Koefisen
jalurnya menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata memberikan pengaruh
negatif terhadap kemiskinan, artinya bahwa semakin bertambah baiknya
perkembangan pariwisata, berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan.
Hal ini berarti hipotesis 3 diterima.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Anwar (2012); Karim et
al (2012); dan Wood (2005) yang meneliti pro poor tourism berbasis
kemasyarakatan dapat mengurangi kemiskinan. Pro-poor tourism dapat dijadikan
strategi untuk pengembangan peran masyarakat untuk berpartisipasi dalam sektor
pariwisata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang termarginalkan dan
untuk mengurangi kemiskinan. Penelitian Ashar (2008) di Jawa Timur sejalan
dengan Ashley et al (2001) dan Cattarinich (2001) yang menyatakan bahwa peran
sektor pariwisata sangat positif bagi pertumbuhan prekonomian mikro bagi
masyarakat miskin. Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Nurhayati
(2012); Ramadani (2012) dan Ashar (2008) yang meneliti tentang peran
pariwisata dalam mengurangi kemiskinan yang dikenal dengan istilah Pro Poor
Tourism (PPT).
157
Spenceley dan Seif (2003) menganalisis strategi lima perusahaan swasta
yang bergerak dibidang pariwisata di Afrika Selatan untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan mengembangkan pembangunan bagi masyarakat yang tinggal di
daerah tujuan wisata dan melakuknan analisis dampak serta besarnya biaya
terhadap pendekatan pro poor tourism di Afrika Selatan. Penelitian ini dilakukan
terhadap perusahaan pariwisata yang bergerak di bidang layanan operasi safari,
wisata diving, fasilitas kasino dan fasilitas golf. Temuan penelitian ini
menyatakan terjadi hubungan langsung antara keuntungan ekonomi dan non-
ekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan pro-poor tourism dan semakin
terbukanya mata pencaharian masyarakat miskin di pedesaan di Afrika Selatan.
Hasil temuan ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ashley et al (2001),
yang melakukan penelitian tentang peran pariwisata sebagai strategi untuk
mengurang kemiskinan dengan istilah pro poor tourism. Penelitian yang
dilakukan di Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal
menemukan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin yang terdapat di
enam negara tersebut. Lebih lanjut Scheyvens dan Momsen (2008) juga
menyatakan bahwa pariwisata berperan penting dalam mengentaskan kemiskinan.
Penelitian ini mendukung hasil penelitian Ramadani (2012) yang
melakukan penelitian di Kampung Baru, Jakarta Barat sebagai daerah tujuan
wisata berkelanjutan dengan fokus penelitian tentang penyediaan layanan tentang
kenyamanan kepada wisatawan dan strategi pengelolaan pariwisata untuk
mempertahankan Kampung Wisata Budaya di Kampung Baru. Manajemen
pariwisata yang peduli pada msyarakat miskin mampu mengurangi tingkat
kemiskinan di Kampung Baru di Jakarta Barat. Ramadani (2012) menyatakan
158
bahwa pro poor tourism bermanfaat dalam pengentasan kemiskinan melalui (1)
penciptaan kesempatan kerja baru, (2) tingkat kehidupan ekonomi masyarakat
miskin menjadi lebih baik, dan (3) peningkatan dan pemerataan pendapatan
masyarakat miskin menjadi semakin baik. Sejalan dengan Ramdani, Gibson
(2009: 527-528 dan Leon (2006: 341) menyatakan bahwa pengembangan
pariwisata bermanfaat mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang. Sebaliknya hasil penelitian yang berbeda diperoleh oleh Jamieson et
al (2004: 2) dan Roy (2010) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata tidak
sepenuhnya mampu mengentaskan kemiskinan.
5.6 Investasi di Kabupaten Badung
5.6.1 Investasi di Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan
Perkembangan investasi Kabupaten Badung terpusat Kecamatan Kuta
Selatan, Kecamatan Kuta dan Kuta Utara, berdampak positif terhadap kontribusi
PHR bersumber dari perdagangan, biro jasa, restoran, hotel dan podok wisata,
mencapai 70 persen dari keseluruhan pendapatan PHR yang diterima oleh
Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini menunjukkan tertinggalnya pertumbuhan
investasi di tiga kecamatan lainnya yaitu di Kecamatan Petang, Kecamatan
Mengwi, dan Kecamatan Abiansemal. Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) mendominasi investasi di Kabupaten Badung dibandingkan dengan
investasi Penanaman Modal Asing (PMA). Terkait dengan investasi PMDN
Kecamatan Petang dan di Kecamatan Kuta Selatan menarik untuk diperhatikan
bahwa besarnya investasi di Kecamatan Kuta Selatan mencapai Rp.
282.652.444.000 (32,14 persen) sangat tidak sebanding dengan investasi di
159
Kecamatan Petang sebesar Rp. 401.000.000 (0,05 persen). BPS Badung (2015)
mencatat jumlah Rumah Tangga Sejahtera (RTS) tahun 2011sebesar 744 RTS di
Kuta Selatan, berbanding dengan 2.772 RTS di Kecamatan Petang. Artinya bahwa
pesatnya perkembangan pariwisata di Kuta Selatan mampu menekan jumlah
orang miskin, melalui terbukanya kesempatan bekerja yang berdampak terhadap
peningkatnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kondisi
ini merupakan anomali dari kondisi peran pariwisata terhadap pengentasan
kemiskinan bahwa besarnya investasi ternyata belum mampu mengantaskan
kemiskinan seperti dinyatakan hasil wawancara bahwa masih banyak terdapat
orang miskin di Kuta Selatan. Ketimpangan bertumbuhnya pembangunan seperti
terlihat dari perbedaan yang menyolok antara antara besarnya investasi di Badung
Utara dengan Badung selatan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.14
Tabel 5.14 Rencana dan Realisasi PMA dan PMDN di
Kabupaten Badung
Per Kecamatan Kabupaten Badung
No Lokasi PMA
NO Bidang Usaha
PMDN Rencana
(RP) Realisasi
(RP) % Rencana (RP)
Realisasi (RP) %
1 Kecamatan Kuta Selatan
229.325.045.000 24.000.000.000 10,47% 1 Perdagangan 541.366.864.699 541.366.864.699 61,56%
2 Kecamatan Kuta
734.017.521.000 36.000.000.000 4,90% 2 BIRO Jasa 55.000.000 55.000.000 0,01%
3 Kecamatan Kuta Utara
535.680.000.000 19.000.000.000 3,55% 3 Restoran 70.221.693.401 70.221.693.401 7,99%
4 Kecamatan Mengwi
12.000.000.000 - 0,00% 4 Pondok Wisata
11.534.500.000 11.534.500.000 1,31%
5 Kecamatan Abiansemal
- - 0,00% 5 Hotel 256.238.511.920 256.238.511.920 29,14%
6 Kecamatan Petang
- - 0,00%
Total 1.511.022.566.000 79.000.000.000 5,23 Total 879.416.570.020 879.416.570.020 10%
Sumber : Bapeda Badung, Perekonomian Badung, BPS Badung, 2015
Dari data pada Tabel 5.14 Pemerintah Kabupaten Badung harus
mengambil langkah nyata untuk memacu pembangunan pariwisata Badung Utara.
Pengalihan mega investasi model Badung Selatan dengan kepemilikan segelintir
160
orang tidak sepatutnya dilakukan di Badung Utara. Sebaliknya pembangunan
pariwisata bebasiskan masyarakat (community based tourism) dengan kepemilikan
lebih banyak, untuk pemerataan dan untuk meningkatkan nilai tambah yang
dihasilkan oleh investasi itu secara otomatis dinikmati oleh lebih banyak orang.
PHR yang dihasilkan oleh Pemda Badung dijadikan sarana pengembangan
Badung Utara.
5.6.2 Indikator Sosial Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan
Dari besarnya perbedaan pertumbuhan investasi di Kecamatan Kuta
Selatan dibandingkan dengan Kecamatan Petang dan luas wilayah Kecamatan
Kuta selatan (101,13 km2) lebih kecil dari luas wilayah Kecamatan Petang
(115,00 km2), data BPS Badung mencatat bahwa daya beli masyarakat di
Kecamatan Petang sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan daya beli
masyarakat di Kuta Selatan. Hal ini dapat dilihat dari pengguna listrik di Kuta
Selatan tercatat 39.977 keluarga dengan jumlah penduduk 115.918 jiwa
dibandingkan dengan pengguna listrik di Kecamatan Petang sebanyak 7.480
keluarga dengan jumlah penduduk 26.243. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengguna
listrik di Kecamatan Peetang adalah murni penduduk lokal, sedangkan pengguna
listrik di Kecamatan Kuta Selatan adalah masyarakat lokal ditambang dengan
masyarakat pendatang yang datang sebagai masyarakat urban karena kepentingan
ekonomis atau bekerja disektor pariwisata. Kondisi seperti dimaksud diatas
memperlihatkan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi ketimpangan
pendapatan dan daya beli yang sangat tajam antara masyarakat di Badung Utara
dengan masyarakat di Badung Selatan, seperti digambarkan oleh keadaan sosial di
masyarakat di Kecamatan Petang.
161
5.7 Analisis SWOT
Adapun pendekatan yang digunakan untuk membuat strategi pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Badung pada dua lokasi penelitian yang berbeda yaitu
di Badung Utara dan Badung Selatan. Di Badung Utara dipilih Desa Pelaga dan
Desa Belok Sidan dan di Badung Selatan dipilih Desa Jimbaran dan Desa
Uluwatu. Dengan analisis SWOT yaitu faktor internal dan faktor eksternal
kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman di desa Pelaga dan Belok
Sidan dijabarkan sebagai berikut:
1) Analisis Internal (kekuatan), terdiri dari elemen: (1) potensi alam pegunungan,
(2) udara yang sejuk dan dingin, (3) jalan raya yang baik, (4) pemberdayaan
perekonomian agro, (5) produk kehutanan di wilayah Plaga untuk keperluan
Industri, (6) tingkat perlindungan sosial masyarakat lebih tinggi.
2) Analisis Internal (kelemahan), terdiri dari elemen: (1) jauh dari pusat kota/dan
bandara, merupakan salah hambatan bagi niat wisatawan untuk mengunjungi
obyek wisata (2) transportasi umum ke desa Pelaga dan Belok, (3) rendahnya
tingkat pendidikan masyarakatsebagai kelemahan untuk memberikan layanan
wista, (4) kepemilikan lahan, (5) Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang.
3) Analisis Eksternal (peluang), terdiri dari elemen: (1) kunjungan wisatawan
dunia yang semakin meningkat, (2) adanya dukungan pemerintah provinsi dan
kabupaten serta industri perjalanan wisata, (3) tingginya partisipasi
masyarakat, (4) tumbuhnya industri pariwisata dan perekonomian mikro dan,
(5) adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan
162
4) Analisis Eksternal (ancaman), terdiri dari elemen: (1) globalisasi, (2) krisis
ekonomi, (3) peperangan dan ketidak stabilan keamanan, wabah penyakit, (4)
lemahnya promosi dan kurangnya dukungan biro perjalanan wisata
Selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
5.7.1 Strategi Peningkatan Peran Pariwisata Dalam Pengentasan
Kemiskinan di Kabupaten Badung
Menurut Ashley, (2000: 4-5), Scheynes dan Momsen, (2008)
pengembangan pariwisata berdampak positif terhadap meningkatkannya
pertumbuhan perekonomian, dan terhadap pengentasan kemiskinan. Pandangan
ini sejalan dengan Ashley et al (2001; Siregar dan Wahyuniarti, (2010), dan
Jonaidi, (2012). Strateginya adalah sebagai berikut:
1. Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan
Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami, meningkatkan
pariwisata ekowisata, meningkatkan potensi wisata jembatan “Tukad
Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara, memberdayakan
masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O): meningkatkan
berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama
dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata dan meningkatkan
kebersihan, (3) Strategi (S+T): melestarikan potensi wisata alam, peningkatan
sumberdaya manusia dalam menghadapi globalisasi dan pengaruh krisis dari
luar dan meningkatkan kebersihan, (4) (W+T) yaitu meningkatkan promosi
untuk pariwisata Badung Utara melalui berbagai media dan bentuk promosi
lainnya.
163
2. Desa Jimbaran dan Desa Pecatu
Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami dan fasilitas
pariwisata memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan,
(2) Strategi (W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan
dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan
pariwisata, (3) Strategi (S+T): meningkatkan berbagai sarana transportasi,
pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku
kepentingan pariwisata, dan (4) (W+T) yaitu meningkatkan promosi untuk
pariwisata Badung Selatan dan melalui berbagai media dan bentuk promosi
lainnya.
Tabel analisis SWOT Desa Pelaga, Belok Sidan, Jimbaran dan Pecatu selanjutnya
dapat dilihat pada Lampiran 6.
5.8 Kebaruan Penelitian
1. Kebaruan atau Novelty penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung menurunkan kemiskinan
melalui dua (2) indikator yaitu jumlah kunjungan wisatawan dan kontribusi
pajak hotel dan restoran (PHR), dimana kedua indikator ini terkait langsung
dengan penerimaan pemerintah dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan.
Sedangkan dua indikator lainnya yaitu Lama Tinggal dan Pengeluaran
Wisatawan merupakan bagian dari pendapatan non-pemerintah berupa
keuntungan yang masuk ke pundi-pundi swasta untuk kepentingan sendiri dan
tidak dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Badung.
164
2. Konsep pembangunan berbasis neoliberalisme yang dikembangkan di Badung
Selatan yang berdampak terhadap kesenjangan ekonomi dan sosial budaya,
selayaknya tidak dikembangkan ke lokasi lainnya di Kabupaten Badung.
Untuk pemerataan pembangunan, dikembangkan Pariwisata Berbasis
Masyarakat (Community Based Tourism) khususnya Badung Utara dan
daerah lainnya di Kabupaten Badung.
5.9 Implikasi Temuan Penelitian
Temuan hasil penelitian ini, dapat dijabarkan menjadi dua bagian yaitu:
5.9.1. Implikasi teoritis
Implikasi teoritis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
(1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritis bagi pengembangan
penelitian menggunakan pendekatan qualitatif dan didukung pendekatan
kualitatif.
(2) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritis menggunakan
variabel perkembangan pariwisata sebagai variabel anteseden terhadap KP
dan KM.
5.9.2 Implikasi manajerial
Implikasi manajerial penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam
mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan berbasis kinerja
perekonomian pada daerah tujuan wisata.
(2) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam
mengembangkan strategi mengurangi kemiskinan menggunakan
165
pendekatan manajemen pariwisata yang diintegrasikan dengan kinerja
perekonomian (KP).
5.10 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut:
1). Penelitian ini terbatas hanya memakai tiga variabel yaitu variabel pariwisata,
kinerja perekonomian dan variabel kemiskinan dan hanya melihat dampaknya
dari aspek ekonomi.
2). Tidak meneliti tentang pengaruh aspek non-ekonomi terhadap kemiskinan.
Sedangkan jika merujuk pada penelitian Karim et al (2012), (Spenceley dan
Seif, 2003) dan Ashley et al (2001), selain melihat pengaruh pariwisata
terhadap kemiskinan dari sisi ekonomi, pariwisata juga berdampak terhadap
kehidupan sosial budaya dan lingkungan.
3). Terbatasnya variabel penelitian bisa dilengkapi dengan menambah variabel
dan indikator penelitian serta dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan
tidak hanya dari sisi ekonomis tetapi juga dari persepektif non-ekonomis.
4). Penelitian ini menggunakan data sekunder dari sumber terbatas yaitu dari
BPS Pemerintah Kabupaten Badung dan Provinsi Bali. Untuk memperkaya
hasil penelitian data sekunder dapat dicari dari sumber-sumber lainnya.
5). Terbatasnya data time series yang tersedia hanya selama 14 tahun sejak
berdirinya pada tahun 1992 Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah
berpisah dari Kota Madya Denpasar.
166
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan penelitian, hipotesis dan hasil pembahasan
kesimpulannya adalah sebagai berikut:
6.1.1 Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja perekonomian. Artinya bahwa semakin baik
perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian semakin meningkat. Hal
ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dan nilai t-statistik
sebesar 71,567 lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 2,201.
6.1.2 Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan `terhadap
kemiskinan. Artinya semakin tinggi kinerja perekonomian, semakin
menurun tingkat kemiskinan. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur
sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462, lebih besar dari nilai
t-tabel yaitu sebesar 2,201.
6.1.3 Perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan. Artinya bahwa semakin meningkatnya perkembangan
pariwisata, maka berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan.
Hal ini terlihat dari Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata
terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099,
lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201.
166
167
6.1.4 Untuk peningkatkan peran pariwista di Kabupaten Badung dalam
pengentasan kemiskinan berdasarkan hasil analisis SWOT sebagai berikut:
Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami dan
meningkatkan pariwisata ekowisata, meningkatkan potensi wisata
jembatan “Tukad Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara,
memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi
(W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar
kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan
pariwisata, (3) Strategi (S+T) dan (4) (W+T): meningkatkan promosi
untuk pariwisata Badung Utara dan Badung Selatan melalui berbagai
media dan bentuk promosi lainnya.
6.2 Saran
Dengan adanya keterbatasan penelitian ini maka untuk menyempurnakan
penelitian selanjutnya disarankan rekomendasi sebagai berikut:
1) Perlu dikembangkan penelitian berkelanjutan di Kecamatan Badung Selatan
berupa pilot project yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat setempat
untuk mengembangan rumput laut dan mengembalikan kejayaan jeruk Pecatu.
Sedangkan untuk Desa Jimbaran untuk pengembangan kegiatan bersifat
ekonomis selain wisata kuliner pantai Jimbaran dengan dukungan dana dari
pemerintah dan mengoptimalkan pemanfaatan CSR dari perusahaan swasta.
2) Penelitian dimasa mendatang perlu disempurnakan dengan menambahkan
variabel non ekonomi seperti variabel kesejahteraan sebagai variabel mediasi
diantara Perkembangan Pariwisata dan Kemiskinan.
168
3) Untuk mengetahui pengaruh peran pariwisata dan kinerja perekonomian
terhadap kemiskinan perlu didukung dengan lebih banyak data primer dari
sumber yang lebih luas.
4) Pengembangan penelitian berkelanjutan di Badung Utara, di Kecamatan
Petang, Desa Plaga dan Desa Belok Sidan untuk mengembangkan pertanian
modern secara terintegrasi, berbasiskan masyarakat dengan melibatkan badan-
badan internasional, pemerintah, dan swasta yang berpengalaman di bidang
pertanian modern.
169
DAFTAR PUSTAKA
Alsop, Ruth., Heinson, Nina. 2005. Measuring Empowerment in Practise Structuring Analysis and Framing Indicators, World Bank olicy Research Working paper 3510, February 2005.
Anwar, Jahid Md. 2012. “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis Of 'Pro-Poor Tourism' And Implications For Sustainability In Bangladesh”, Research Report Presented to Professor COOPER Malcolm J. M. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Of Master of Science in International Cooperation Policy, hlm. 1-94.
Armstrong, Rebecca. 2012. “An analysis of the conditions for succes of community based tourism enterprises”. International Centre for Responsible Tourism. Pp.1-52
Ardianto, Elvinaro dan Machfudz, Dinsin.M. 2011. Efek Kedemawanan Pebisnis dan CSR. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia.
Ashar, Khusnul. 2008, Analisis Makro dan Mikro Jembatan ekonomi Indonesia. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang.
Ashley, Caroline., Dilys Roe and Harold Goodwin. 2001. “Pro-Poor Tourism Strategies: Making Tourism Work For The Poor”, ODI (Overseas Development Institute).
Ashley, Caroline., Roe, Dilys., Goodwin, Harold. 2001. Pro Poor Report No. 1. Pro Poor Tourism Strategies: Making Tourism Wo rk For The Poor, The Russell Press, Nottingham, NG6 OBT
Ashley, Caroline and Dilys Roe. 2002. “Making Tourism Work for the Poor: Strategies and Challenges in Southern Africa”. Development Southern Africa. Vol: 19. No. 1.
Ashley, Caroline and Gareth Hayson. 2006. “From Philanthropy to a Different Way of Doing Business: Strategies and Challenges in Integrating Pro-Poor Approaches into Tourism Business”. Development Southern Africa. Vol: 23. No. 2.
Ashley, Caroline and Goodwin, Harold. 2007. Pro Poor Tourism’: What’s gone right and what’s gone wrong? Overseas Development Institute Unite kingdom.
170
Athanasopoulou, Anna. 2013. Tourism as a driver of economic growth and development in the EU-27 and ASEAN regions. EU Center, Singapore.
Babbie, Earl 2005. The Basic of Social Research, Third Edition, Chapman University, Thompson Wadsworth, USA
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka 2012, UD. Sarana Ilmu Denpasar, Bali.
Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan 2008, Jakarta
Bali Post. 3 Agustus 2015. Menanggulangi Kemiskinan Desa Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi.
BAPPEDA/Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. 2014. Buku Data Bali Membangun.
BAPPEDA/Litbang Kabupaten Badung. 2014. Upaya Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Melalui CSR di Kabupaten Badung
BAPPENAS/Badan Perencanaan Pembanguan Nasional. 2006. Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004-2012.files/6613/7890/Buku_Datin_Kinerja_Pembangunan_2004-2012 .pdf. 30 April 2013. Diunduh tangal 01 April 2014.
BAPPENAS, Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan nak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan. Evaluasi Pelayanan Kerluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin. 2010
Bonfiglioli, Angelo. 2003. Empowering the Poor, United Natioans Capital Development Fund
_______. 2004. United nations Capital Development Fund, Anwar, Jahid Md. 2012. “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis Of 'Pro-Poor Tourism' And Implications For Sustainability In Bangladesh”, Research Report Presented to Professor COOPER Malcolm J. M. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Of Master of Science in International Cooperation Policy.
BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial. 2002. Penduduk. Fakir Miskin Indonesia 2002. BPS. Jakarta.
BPS/Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2014. Badung Dalam Angka.
BPS/Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Bali Dalam Angka 2014
171
Brannen, Julia. 1992. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Brookfield, USA: Avebury, Aldershot Publisher.
Brian Garrod. 2001.Local Partisipation in the Planning and Management of Eco-tourism: A Revised Model Approach, University of the West of Eng-land, Bristol.
Brida. Juan Gabriel, Pereyra, Juan Sebastian, Devesa, Maria, Jesus Such. Evaluating the Contribution of Tourism to Economikc Growth. http://ssm.com/abstract=10184466. Diunduh 06 January 2015.
Brown, Donald. 2005. “Poverty-Growth Dichotomy”. Dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press, New York.
Bryden, J. 1973. Tourism and Development: A Case Stydy of the Commenwealth Carribean. Cambridge: Cambridge University Press.
Burns, Peter M., Holden, Andrew. 1995. Tourism A New Perspective. Prentice Hall, 1955 Englewood Cliffs, NJ 07632
Butler, Eamonn. 2011. The Condensed Wealth of Nation and The Incridibly Condensed Theory of Moral Sentiments. Adam Smith Research of Trust, England
Cattarinich, X. 2001. Pro-Poor Tourism Initiatives in Develiping Countries: Analysis of Secondary Case Studies. PPT Working Paper No. 8. ODI, Edmonton.
Chambers, Robert. 2005. Memahami Desa Secara Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Chan, Kit Ying Sharon dan Kulkarni, Kishore G. 2006. A test of the Kuznet U Hypothesis: Income Inequality Behind the Rapid Economic Growth in China. University of Denver, Denver, CO 80208, USA
Cohen. 2005. Sosiologi Pariwisata. CV Andi Offset. Yogyakarta.
Cooper, Chris; Fletcher, John, Gilbert, David; Wanhill, Stephen. 1993. Tourism Principle & Practice.Pitman Publishing, London.
Cooper, Donald R. dan Pamela S. Schlinder. 2008. Business Research Methods. Mc Graw-Hill. New York.
Corbett, Steve and Fikkert, Brian. 2012. When Helping Hurt. Moody Publishers 820N.Lasalle Boulevard Chicago, II 60610 USA
172
Cornwall, Andrea, and Karen Brock, 2005, “Beyond Buzzwords Poverty Reduction, Participation and Empowerment in Development Policy”, United Nations Research Institute for Social Development, hlm. 1-34.
Cox, C. 2004. Teaching Language Arts: A Student- and Response-Centered Classroom. Allyn and Bacon. Boston.
Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: SAGE Publications.
Dahlquist, Matilda. 2013. Does Economic Growth reduce Poverty?An Empirical Analysis of the Relationship between Poverty and Economic Growth Across Low-and Middle-income Countries, Illustrated by the Case of Brazil. Södertörn University, Sweden
Damanik, J dan Weber H. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta, Penerbit Andi.
Damanik, J. 2005. “Kebijakan Publik dan Praksisi Demokratic Governance di Sektor Pariwisata”, Jurnal ISIP, 8(2), Juli.
_______. 2008, Internasionalisasi Program Pendidikan sebagai Strategi Peningkatan Daya Saing SDM Pariwisata, Jurnal Kepariwisataan Nasional, Vol. 3 No. 1.Damanik, J., 2009. “Managing the Uncertainty of the Indonesia Tourism Sustainbility”, Proceeding Internasional Seminar on Sustainable Tourism Management, Maejo University, Chiang Mai.
Davidson, Thomas Lea and William, F. Theobald. 2005. What Are Travel and Tourism: Are They Really an Industri?,Printed in the United States of Amerika.
Del Corpo, Barbara., Gasparino, Ugo., Bellino, elena and Malizia, William. (2008: 4-5). Effect of Tourism Upon the Economy of small and Medium Sized European Cities.Cultural Tourists and “The Others: Social Science Research Network Electric paper Collection http://ssrn.com/abstract-1140611. Nota Di Lavoro 22.2008
Denzin, Norman K andLincoln, Yvonna S. 2005. Qualitative Research. Third Edition. Sage Publication. Inc. California.
Dewantoro, Pendi., Rujiman, dan Sariadi, Agus. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Mebidangro, Jurnal Ekonomi, Vol. 17, No. 3, hal. 140-164.
Dilys., Harris Catherine., Andrade, de Julio. 2003. Addressing Poverty Issues in Tourism Standard, PPT Working Paper No.14, hal.1-14.
173
Dinas Pariwisata Kabupaten Badung. 2014. Profil Dinas Pariwisata Kabupaten Badung Tahun 2014. Bali
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2014. Bali Tourism Statistic. Bali
Djaelani, Aunu Rofiq. 2013. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif, Majalah Ilmiah Pawiyatan, FPTK IKIP Veteran Semarang.
Djaya, Ashad Kusuma. 2012. Teori-teori Modernitas dan Globalisasi Kreasi Wacana, Bantul.
Edgar L. Jackson and Thomas L. Burton. 1999. Leisure Studies Prospects for the Twenty First Century. Venture Publishing, Inc. State College, Pennsylvania, USA
Edward, Peter. 2006. UNDP, Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil
Elesh, David. 1970. Poverty Theories and Income Maintenance: Valadity and Policy Relevance. The Institute for Research on Poverty University of Wisconsin, USA.
Emanurl, de Kadt. 1979. Tourism Pasport to Development. A join World Bnk-Unesco Study
Eyben, Rosalind., Naila Kabeer and Andrea Cornwall. 2008. “Conceptualising empowerment and the implications for pro poor growth”, Report to DAC POVNET on empowerment, 1-37.
Fields, Gary S. 2007. ILRI Impact Brief-Economic Development, Labor Markets and Poverty Reduction. Cornel University, ILR School
Fridgen, Joseph D. 1996. Dimensions of Tourism, Educational Institut of the American Hotel & Lodging Association Michigan 48906
Friedman, John. 2002. Empowerment The Politics of A lternative Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
Geriya, I Wayan. 2010, “Antara Aneka Paradoks dan Budaya Hibrida”, Jendela Pariwisata Indonesia, Inisiator, Panudiana Kuhn.
Ghozali, H. Imam, (2006). Strictural Equation Modeling. Metode Alternatif Dengan Partial Least Square (PLS). Badan Penerbit UNDIP Semarang.
Giampiccoli, Andrea and Janet Hayward Kalis. 2012. “ Community-based tourism and local culture: the case of the amaMpondo” PASOS. Revista de Tourismo y Patrimonio Cultular. Vol: 10. No. 1. pp. 173-188.
174
Gibson, Chris. 2009. “Geograpies of tourism: critical research on capitalism and local livelihoods”. Progress in Human Geography. Vol: 33. No. 4.
Goodwin, Harold and Rosa Santilli. 2009. ”Community-Based Tourism: a success?. Responsible Tourism. pp. 1-37.
Goodwin, Harold. 2008. “Pro-poor Tourism: a response”. Third World Quarterly. Vol: 29. No. 5. pp. 869-871.
Gordon, David. 2005. Indicators of Poverty and Hunger. University of Bristol, New York.
Gunn, Clare A with Var Turgut. 2002. Tourism Planning Fourth Edition. Basic, concepts, Cases Routledge Taylor&Francis Group. New York
Guo, Lan. 2008. “Pro-Poor Tourism in China: Preliminary Investigation”. PhD of School of Contemporary Chinese Studies. University of Nottingham. pp. 1-18.
Hadinoto, Kusudianto. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Destinasi Pariwisata, UI Press, Jakarta.
Hall, C Michael. 2008. Tourism Planning. Policies, Processes and Relationships. Pearson Education Limited, England
______. 2007. Pro-Poor Tourism: Who Benefits?, Perspectives on Tourism and Poverty Reduction. Channel View Publications. New Zealand
Harniati. 2007. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistemdan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hidayat, Noermayanti dan Otok, Bambang Widjanarko. 2012. Pemoderal Structural Equation Modeling (SEM) Berbasis Varian Pada Derajat Kesehatan di Provinsi Jawa Timur 2010, Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012.
Harrison, David. 2008. “Pro-Poor Tourism: a Critique”. Third World Quartertly. Vol: 29. No. 5. pp. 851-869.
Harvery, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta, Resisst Book, 2009.
Hatton, M.J. 2010, Community Based Tourism in the Asia-Pacific, School of Media Studies a at Humber College. Canada.
175
Helling, L., Serrano, R., & Warren, D. 2005. Linking community empowerment, decentralized governance, and public service provision through a local development framework: Social Protection, The World Bank.
Hendriwan, 2003. ”Penanggulangan Kemiskinan Dalam Kerangka Kebijakan Desentraslisasi”, Makalah Falsafah Sains (PPS 772). Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.
Hill, Trevor., Etienne Nel and Dayle Trotter. 2006. “Small-Scale, Nature-Based Tourism as a Pro-Poor Development Intervention: Two Examples in Kwazulu-Natal, South Africa”. Journal Compilations.
Ife, J.W. 2005. Community Development: Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice. Longman, Melbourne.
Jamieson, Walter., Harold Goodwin and Christopher Edmundo. 2004. “Contribution of Tourism To Poverty Alleviantion: Pro-Poor Tourism and Challenge of Measuring Impacts” For Transport Policy and Tourism Section Transpor and Tourism Devision UN ESCAP.
Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. John Wiley and Sons Australia. Sidney and Melborne.
Johannes, Muller., 1997. Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Jonaidi, Arius. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Kajian Ekonomi, Vol. 1, No. 1, hal. 140-164.
Jonker, Jan., Pening, J.W., Bartjan., Wahyuni, Sari. 2011. Metode Penelitian Pantuan untuk Master dan Ph.D. di Bidang Manajemen, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Joppe, Marion. 1996. Sustainable Community Tourism Development Revisited, Tourism Management, Vol. 17 No.7, pp 475-479, 1996. Elsevier Science Ltd, Great Britain
Kadt, Emanuel de. 1976. Tourism Passport to Development. A joint World Bank Unesco Study, Oxford University Press, New York.
Kakwani, Nanak and Pernia, Ernesto M. 2000. What is Pro Poor Growth? Asian Development Bank Review, Vol.18, No.1,pp. 1-16.
Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional. 1996.
176
Karim, Rehmat., Faqeer Mohammad., Loris Serafino. 2012. “Integrating pro-poor tourism activities in a community-based idea of development: the case of the district of Hunza-Neger, Pakistan”, Proceedings of the International Colloquium on Tourism and Leisure (ICTL) 2012 Bangkok, www.ictlconference.com.
Kartasasmita, Ginandjar. 2006.Pembangunan Untuk Rakyat-Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Penerbit PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
______. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat, Disampaikan pada Saresehan DPD GOLKAR Tk I. Jawa Timur Surabaya, 14 Maret 1997.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2015. Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Jakarta.
Keynes, Milton. Powerful Information, Grassroots International Development, MK 139AP, UK. www.poweful information.org. Diunduh 20 Januari,2014.
Kirdar, Uner dan Leonard Silk. 2005, People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press, New York.
Krongkaew, Medhi., Chamnivickorn, Suchittra., Nitithanprapas, Isriya. 2006.
Economic Growth, Employment, and Poverty Reduction. The case of Thailand www.ilo.org/.../wcms_120671.pdf. Diunduh 15 September, 2015
Kuncoro, Mudrajad.2000. Ekonomi Pembangunan. Teori Masalah dan Kebijakan, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Kuznet, Simon, 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review VolumeXLV. March, 1955, Volume One.
Laderchi, Caterina Ruggeri., Saith Ruhi., Stewart. 2006. U N D P,Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil
Leon, Yolanda M. 2006. “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods in the Dominican Republic’s Coastal Areas”. Journal of Development Studies. Vol: 43. No. 2.
Lewis and Brown. 2008. “Title: Pro-Poor Tourism: A Vehicle for Development in Trinidad and Tobago”. Sir Arthur Lewis Institute of Social and Economic Studies (SALISES). pp. 1-22.
Lieter, Bernard., De Meulenaere. 2003. Sustaining Cultural Vitalaity in a Global World: The Balinese example
177
Lincoln and Guba (1987)., Creswell (1944) dan Agusta (2005). Asumsi-Asumsi Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif, ivanagusta.files.wordpress.com/.../ivan-metode kualiatif. Diunduh Januari 2014-09-24.
Local Environmental Governance and the Decentralized Management of Natural Resources. 2004. New York 10017.
Louis Helling,Louis.,Serano, Rodrigo., Warren, David. 2015.Community Driven Development. Lingking Community Empowerment, Decentralized Governance, and Public Service Provision Through a Local Development Framework, Social Protection Advisory Service, The World Bank, Washington, D. C.
Meaton, Julia dan Robinson., Alex J. 2003. Bali Beyond The Bomb: Disparate Discourses and Implication For Sustainability.
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2009. Buku Undang - Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1994. Qualitatif Data Analysis. Second Edition. Sage Publications. London
______. 2002. Analisis dan Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta.
Mitchell, Jonathan and Jojoh Faal. 2007. “Holiday Pacpage Tourism and the Poor in the Gambia”. Development Southern Africa. Vol: 24. No. 3.
Mograbi, Jonathan and Cristian M. Rogerson. 2007. “Maximising the Local Pro-Poor Impact of Dive Tourism: Sodwana Bay, South Africa”. Urban Forum. Vol: 18. No. 85. pp. 104.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 40252
Mowforth, Martin and Munt, Ian. 2009. Tourism and Sustainability, Development, globalization and new tourism in the Third World, Routledge. London
Mubyarto. 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta. BPFE-UGM.
Muhanna, Emaad. 2007. “Problem and Perspectives in Management”. Tourism Development Strategies and Poverty Elimination. Vol: 5. No. 1. pp. 37. 14pgs.
Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia, penerbit Udayana University Press, Bali.
178
Neil Leiper. 2004. Tourism Management, Pearson Hospitality Pearson Education Australia
Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian, Jakarta: Prenada Media Grup.
Nurhidayati, Sri Endah. 2012, “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas di Kota Batu, Jawa Timur”, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nurkse. 2000. Problems Of Capital Formation In Underdeveloped Countrieswww.bps.go.id. Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI).
Okazaki, Efsuko. 2008. “A Community-Based Tourism Model: Its Conception and Use” Jurnal of Sustainable Tourism. Vol:16. No. 5. pp. 551-529.
Page, Net.,Czuba, Chery E. 1999. Journal Of Extension, www.joe.org, October 1999//Volume 37//Number 5 // Commentary // 5COM1. Diunduh 21 Jamuary, 2014
Pangestu, Mari Elka. 2013. Tourism Sector in 2013: Continues Resilience?Jakarta Post Outlook 2003, Jakarta
Papilaya, Eddy Chiljon. 2013. 7 Kiat Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pemiskinan Bangsa.PT. Penerbit IPB Press, Bogor.
Paul Aondona, Angahar. 2012. “Fast Tracking Economic Empowerment and Poverty Reduction through Support of Local Councils for Micro and Small Businesses in Nigeria”, International Journal of Business and Management Tomorrow, Vol. 2 No. 4, hlm. Hlm. 1-9.
Pemerintah Kabupaten Badung. 2013. Tinjauan Perekonomian Kecamatan 2010-2012.
_______. 2014a. Monografi Desa dan Kelurahan Pelaga.
_______. 2014b. Monografi Desa dan Kelurahan Belok Sidan.
_______. 2014c. Monografi Desa dan Kelurahan Jimbaran.
_______. 2014d. Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
_______. 2015. BADUNGKAB.CO.ID. Membedah LKPJ AMJ Bupati Badung Periode 2010-2015.
_______. 2015. Kondisi Umum Pembangunan di Kabupaten Badung.
179
Pemerintah Propinsi Bali. 2009. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (DSPKD) Propinsi Bali Tahun 2010-2014.
Perkins, Douglas D., Zimmerman, Mark A. 1995. Empowerment Theory, Research, and Application. American Journal of Community Physchology, Vol 23, No 5, 1995.
Pike, Steven. 2008. Drstination Marketing An Integrated Markeeting Communication Approach. Elsevier Inc USA.
Prajoga,M. J.1973. The Nusa Dua Area Development Plan, Directorate General of Tourism Ministry Communications Republic of Indonesia, Jakarta
Rahardjo, Dawam. 2013. Temu Nasional Penanggulangan Kemiskinan 2013 “Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Mendukung Sinergi Multipihak untuk Pengembangan Usaha Mikro. Sinergi Indoneisa, Jakarta.
Ramadani, Mutiara. 2012.Perencanaan Pariwisata Pro-Masyarakat Miskin di Kampung Baru, Jakarta Barat.
Rappaport, Julian. 1987. Term of Empowerment/Exemplars of Prevention, Toward a Theory for Community Physchology. American Journal of Community Physchology, Vo.15, No.2. 1987
Reisinger, Yvette. 2009. International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier Inc, New York.
Richardson, Robert B. 2010. Michigan State University. The Contribution of Tourism to Economic Growth and Food Security. USAID Mali
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, University of Maryland.
Robinson, J Alex and Meaton, Julia. 2005. Bali beyond the Bomb; Disparate Discourses and implications for Sustainability, University of Hudderfield, UK.
Robinson, William I. 2004. A Theory of global Capitlism: Production, Class, and State in a Transnational World. http://www.goodreads.com/book/show/ 189463.A_Theory_of_Global_Capitalism. Diunduh 16 Februari 2015.
Rodick, Dani. (2007). One Economics, Manyaa Revipes: Globalization, Institutions and Economic Growth. Harvard University
Roe, Dilys and Penny Urquhart. 2001. “Pro-Poor Tourism: Harnessing the World’s Largest Industry for the World’s Poor”, IIED (International Institute for Enviorenment and Development). London
180
Roe, Dilys., Caroline Ashley., Sheila Page and Dorothea Meyer. 2004. “Tourism and the Poor: Analysing and Interpreting Tourism Statistics from a Poverty Perspective”, PPT (Pro-Poor Tourism), hlm. 1-29. Roe.
Rogerson, Christian M. 2006. “Pro-Poor Local Economic Development in South Africa: The Role of Pro-Poor Tourism”. Local Environment. Vol. 11. No. 1.
Roy, Hiranmoy. 2010. Social ScienceReasearchNetwork. The Role of Tourism to Poverty Alleviation. http://papers.ssrn.com/s013.cfm?abstract_id=1999971 Diunduh 03 September, 2014.
Scheyvens, Regina and Janet H. Momsen. 2008. “Tourism and Proverty Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism Geographies. Vol: 10. No. 1. pp. 22-41.
Schiffman, Leon., Kanuk., Leslie Lazar. 2008. Prilaku Konsumen. Edisi Ketujuh, Jakarta.
Schilcher. 2007. Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa. Bandung.
Sebele, Lesego S. 2010. “Community-based tourism ventures, benefits and challenges: Khama Rhino Sanctuary Trus, Central District, Botswana” Tourism Management. Vol:31. pp. 136-146.
Selinger, Evan. 2009. “Ethics and Poverty Tours”. Philosophy ad Public Policy Quarterly. Vol: 29. No. 1/2. pp. 112-122.
Setyawan, Anton Agus. 2001. “Kemiskinan Dunia Ketiga dalam Perspektif Ekonomi Politik Internasional”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Masalah Ekonomi Pembangunan, Penerbit Balai Penelitian dan Pembangunan Ekonomi FE UMS, Vol. 2, No. 2, Surakarta.
Sheldon, Pauline J and Teresa Abenoja. 2001. “Resident attitudes in a mature destination: the case of Waikiki”. Tourism Management. Vol. 22, 435-443.
Siregar, Hermanto dan Wahyuniarti, Dwi, Pustaka.blog.mb.ipb.ac.id/files
/2010/.../dampak-ptbmbhn-ek_hermanto. Diunduh tanggal 27 Mei 2015, hal. 23-40.
Smith, Adam. 1778. The Wealth of Nation: The Inquiry into The Wealth of Nation. New York 2007
Soedjatmoko.2008. Pembangunan dan Kebebasan. LP3ES, Jakarta.
Spenceley, Anna and Jennifer Seif. 2003, “Strategies, Impacts and Costs of Pro-Poor Tourism Approaches in South Africa”, International Centre for Responsible Tourism, PPT Working Paper No. 11, page. 1-44.
Stamboel, Kemal A. 2012. Panggilan Keberpihakan: Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
181
Stiglitz, Joseph E. 2003.Globalization And Its Discontents. W.W Norton & Company, Inc., 500 Fith Avenue, New York, NY 10110
Sudipa, I Nyoman. 2014. Disertasi: Kemiskinan Dalam Industri Pariwisata Di Kelurahan Ubud. Program Doktor Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Suharto, Edi. 2007. Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung (http://.policy.hu/suhatro/modula/makindo 13.htm). Diunduh tanggal 2 Juni 2014. 09:48
Sukijo. 2009. Cakrawala Pendidikan, Juni 2009, Th XXXVIII, No.2. FISE Unversitas Negeri Yogyakarta.
Sumodiningrat, G. 2002.Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial, Gramedia, Jakarta.
Sutikno., Soedjono, Eddy Setiadi., Rumiati., Agnes Tuti dan Latip, Triwuwarno. 2011. Pemilihan Program Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Dengan Pendekatan sistem Jurnal ekonomi Pembangunan Volume 11, Nomor 1, Juni 2010 hal 135-147.
Suyana Utama, I Made. 2006. Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap
Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi serta Kesejahteraan Masyarakat di Propinsi Bali. Disertasi. Universitas Udayana.
Tara., Ariawan, Odeck., Ballinger, Rucina., James, Jamie., Mohamad, Gunawan., Murdoch, James., Reisner, Stefan., Toth, Andy., Cody., Shwaiko, Lynn. 2004. Ubud Is A Mood, A ali Purnati Book, Gianyar
Tasci., Asli D.A., Semrad, Kelly J., Yilmaz Semih S. 2013, Community Based Tourism Finding The Equilibrium in COMCEC Contact, Setting the Pathway for the Future. COMCEC Coordination Office, Ankara, Turkey.
Tewksbury, Richard. 2009. Qualitative versus Quantitative Methods: Understanding Why Qualitative Methods are Superior for Criminology and Criminal Justice. Journal of Theoretical and Philosophical Criminology, Vo 1 (1) 2009. University of Louisville, USA
Theobald, William F. 2005. Global Tourism Third Edition, Elsevier Inc, New York.
Thomas, Vinod., Wang, Yan and Fan, Xibo. 2005. Journal: MeasuringEducational Inequity: Ginni Coefficients of Education. http://www.worldbank.org/devforum/forumqog3.html.
182
Tjokrowinoto, Moeljarto. 2005. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata. Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.
Tourism and Hospitallity Studies, Introduction to Tourism. 2013. The Government of Hong Kong, Special Administrative Region. Education Bureau, Hong Kong
Torres, Rebecca and Janet Henshall Momsen. 2004. “Challenges and Potential for Linking Tourrism and Agriculture to Achieve Pro-Poor Tourism Objectives”. Progress in Development Studies. Vol: 4. No. 4.
Tosun, Ceva. 2000. “Limits to community participation in the tourism development process in developing countries”, Tourism Management, Vol. 21, hlm. 613-633.
Towner, John. 1995. What is Tourism’s History. Tourism Management. Vol.16.5. pp.339-343. Elsevier Science Ltd, Great Britain
United Nations Environment Program. 2005. Division of Technology, Industry and Economics, France.
United Nations World Tourism Organization. Understanding Basic Glosarryhttp://media.unwto.org/en/content/understanding-tourism-basic-glossary. Diunduh tanggal 19 Maret 2015
______.World Tourism Barometer, Volume 11, January 2013.
______. 2003. Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism Development, Economic And Social Commission For Asia And The Pacific, hlm. 1-172.
______. 2007. Report On The Achievement Of Millenium Goals of Indonesia
______. 2012. The Millenium Development Goals Report. New York.
______. 2012. We can End Poverty 2012, Millineum Development Goals, New York.
______. 2013. The Millineum Development Reports. New York
______. 2013. Sustainable Tourism Development, Madrid, Spain.
______. 2013. International on the rise boosted by strong performance in Europe, Press Release, PR no.: PR 13066, Madrid 2013
______. 2014. Tourism Highlite 2014 Editions, Madrid, Spain
Wahyudi, Heri. 2007. “Pariwisata, Pengentasan Kemiskinan dan MDGs”, UPBJJ-UT, Denpasar.
183
Wahyuni, Sari. 2015. Qualitative Research Method Theory and Practice, 2nd Edition, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Wall, Geoffrey dan Mathieson, Alister. 2006. Tourism, Change, Impact and Opportunities.Pearson Educational Limited, England.
Widiateja, IGN Parikesit. 2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata, Udayana University Press 2.
Wold, Herman. 1966. Theory and Application of Partial Least Squares, Department of Statistics University of Uppsla, Sweden.
Wood, Kenneth. 2005. Pro-poor tourism as a means of Sustainable Development in the Uctubamba Valley, Northern Peru,Junal University of Greenwich, School of Science Departtment of Earth and Environmental Sciences page 1-116.
Woodsong, Mack N., and Macqueen K. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. North Carolina: Research Triangle Park.
World Bank. 2002.Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Tools and Practices 20, hlm. 1-280.
______. 2002.Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Tools and Practices 20, hlm. 1-280.
______. 2003. Bali Beyond The Tragedy. Impact and Challenges for Tourism-led Development in Indonesia
______. 2008. World Development Indicator. Poverty Data, A Supplement to World Development Indicators. Washington. D.C. 20433 USA.
______. 2013. Annual Report 2013
World Tourism Organization. 2004. Tourism 2020 Vission, Madrid: WTO.
______. 2011. United Nations World Travel Organization Annual Report, Spain.
______. 2012. Metodological Notes to the Tourism Data Base, Spain
World Tourism Organizationwww.world-tourism.org. Malta Tourism Digestwww.mtadigest.com.mt. Diunduh tanggal 17 Agustus 2013, jam 10.00 wita
World Travel Tourism Council. 2013. [email protected]. Travel and Tourism Economic Impact 2013
WTTC, World Travel Tourism Council. 2012. Travel and Tourism Economic World Impact, 2012, London
184
Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Yudhoyono, H Susilo, Bambang. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 64 Tahun 2014, Koordinasi Strategis Lintas Sektoral Penyelenggaraan Kepariwisataan, Jakarta.
Zastrow, Charles H. 2008. Understanding Human Behavior and The Social Environment, 6th ed, Thomson, USA.
185
Lampiran 1
Rasio Gini Provinsi Bali Tahun 2004-2013
Sumber : Bali Dalam Angka, 2015
Kabupaten/ Kota
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Jembrana 0.2159 0.2611 0.2325 0.2376 0.2583 0.2370 0.2575 0.4020 0.3706 0.3710
Tabanan 0.2104 0.2329 0.2606 0.2481 0.2437 0.2525 0.2596 0.3648 0.3473 0.3862
Badung 0.2693 0.2966 0.2794 0.1740 0.2673 0.2273 0.2864 0.3385 0.3258 0.3468
Gianyar 0.1866 0.2561 0.2844 0.2408 0.2788 0.2487 0.2717 0.3279 0.3362 0.3254
Klungkung 0.1909 0.2761 0.2448 0.2259 0.2876 0.2871 0.2857 0.3777 0.3473 0.3599
Bangli 0.1735 0.2330 0.2179 0.1809 0.2365 0.2263 0.2217 0.2678 0.3053 0.3073
Karangasem 0.2232 0.2499 0.2317 0.2288 0.2082 0.2147 0.2325 0.2916 0.2877 0.3293
Buleleng 0.2327 0.2754 0.2385 0.2111 0.2485 0.2612 0.2557 0.3434 0.3330 0.3755
Denpasar 0.2543 0.2620 0.2865 0.2685 0.2661 0.2652 0.2950 0.3399 0.4248 0.3638
BALI 0.2669 0.3284 0.3046 0.2788 0.3104 0.31 0.37 0.41 0.43 0.403
186
Lampiran 2 Frequencies
Frequency Table
Statistics
14 14 14 14 14 14 14 14 14 140 0 0 0 0 0 0 0 0 0
649657.1429 3833794.0 4.1350 838432.8571 10118642 214470.9286 3E+009 4.1271 4.1271 .645785862.48136 512522.72 .18026 10094.31024 1546993.7 20502.76436 7E+008 .33920 .33920 .08043590140.5000 3226162.0 3.9500 831322.5000 8250204.0 210869.5000 2E+009 4.4250 4.4250 .6600
223548.00a 1551723.00a 3.60 792500.00a 3433683.0a 101626.00a 1E+008a 3.28 3.28 .27321267.988 1917684.4 .67449 37769.45047 5788320.4 76714.31973 3E+009 1.26919 1.26919 .300941.032E+011 3.68E+012 .455 1426531389 3E+013 5885086852 7E+018 1.611 1.611 .091
968581.00 5708585.00 2.35 134390.00 17564395 229271.00 8E+009 3.80 3.80 .78223548.00 1551723.00 3.55 792500.00 3433683.0 101626.00 1E+008 2.16 2.16 .27
1192129.00 7260308.00 5.90 926890.00 20998078 330897.00 9E+009 5.96 5.96 1.059095200.00 53673116 57.89 11738060.00 1E+008 3002593.00 5E+010 57.78 57.78 9.04
ValidMissing
N
MeanStd. Error of MeanMedianModeStd. DeviationVarianceRangeMinimumMaximumSum
Kunjunganwis.
KontribusiPHR Lama tinggal
Pengeluaranwis.
Pertumb.ODRB
PenyerapanTK Investasi
Jml pend.miskin
Indekskedalaman
Indekskeparahan
Multiple modes exist. The smallest value is showna.
Kunjungan wis.
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
223548.00249845.00382443.00383613.00466111.00473774.00497899.00682382.00734861.00774753.00812489.001092413.001128940.001192129.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
187
Kontribusi PHR
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
1551723.001760542.001982527.002183220.002420490.002815368.003024627.003427697.003973531.005398644.005467109.005898698.006508632.007260308.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Lama tinggal
1 7.1 7.1 7.12 14.3 14.3 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
3.553.603.743.753.853.933.974.004.084.204.445.285.90Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
188
Pengeluaran wis.
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
792500.00801195.00811483.00819213.00822990.00826768.00830545.00832100.00834323.00839460.00841878.00845655.00913060.00926890.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Pertumb. ODRB
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
3433683.004086884.004818029.005247930.005891232.007004648.007701193.008799215.0010478391.0012875498.0014926782.0016403318.0018996103.0020998078.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
189
Penyerapan TK
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
101626.00118433.00135239.00152046.00168853.00185659.00202466.00219273.00227091.00231628.00305897.00310147.00313338.00330897.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Investasi
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
148750200.00152801324.00154931201.001101407059.001652957796.001890474000.002360745445.002362541294.004140660000.005305717700.005334590363.006043268777.006048968601.008536644646.00Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
190
Jml pend. miskin
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.62 14.3 14.3 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
2.162.462.623.233.284.284.574.685.005.255.315.705.96Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Indeks kedalaman
1 7.1 7.1 7.11 7.1 7.1 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.62 14.3 14.3 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
2.162.462.623.233.284.284.574.685.005.255.315.705.96Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
191
Indeks keparahan
2 14.3 14.3 14.31 7.1 7.1 21.41 7.1 7.1 28.61 7.1 7.1 35.71 7.1 7.1 42.91 7.1 7.1 50.01 7.1 7.1 57.11 7.1 7.1 64.31 7.1 7.1 71.41 7.1 7.1 78.61 7.1 7.1 85.71 7.1 7.1 92.91 7.1 7.1 100.0
14 100.0 100.0
.27
.33
.35
.39
.46
.52
.80
.81
.86
.93
.991.011.05Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
192
Lampiran 3 PLS Output 1 Structural Model Specification
PLS Quality Criteria Overview AVE Composite
Reliability R Square
Cronbachs Alpha
Communality Redundancy
Kemiskinan 0.920 0.972 0.908 0.956 0.92033 0.7369 Kinerja Perekonomian
0.873 0.954 0.797 0.927 0.87286 0.6838
Perkembangan Pariwisata
0.574 0.497 -0.038 0.5738
Redundancy redundancy Kemiskinan 0.737 Kinerja Perekonomian 0.684 Perkembangan Pariwisata Cronbachs Alpha Cronbachs
Alpha Kemiskinan 0.956 Kinerja Perekonomian 0.927 Perkembangan Pariwisata -0.038
0.970 0.979 0.849
-0.324
0.739
0.948
-0.817
0.428 0.992 0.956 0.929
0.893 -0.652
Y1.1 Y1.2 Y1.3
0.000 Perkembangan
Pariwisata
0.797 Kinerja
Perekonomian
0.908 Kemiskinan
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
Y2.1 Y2.2 Y2.3
193
Latent Variable Correlations Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan 1 Kinerja Perekonomian
-0.941 1
Perkembangan Pariwisata
-0.906 0.893 1
R Square R Square Kemiskinan 0.908 Kinerja Perekonomian 0.797 Perkembangan Pariwisata
Cross Loadings Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
x1.1 -0.542 0.557 0.739 x1.2 -0.949 0.937 0.948 x1.3 0.724 -0.769 -0.817 x1.4 -0.379 0.169 0.428 y1.1 -0.950 0.970 0.928 y1.2 -0.953 0.979 0.905 y1.3 -0.702 0.849 0.627 y2.1 0.992 -0.931 -0.884 y2.2 0.956 -0.945 -0.891 y2.3 0.929 -0.828 -0.831
AVE AVE Akar AVE Kemiskinan 0.920 0.959 Kinerja Perekonomian 0.873 0.934 Perkembangan Pariwisata 0.574 0.757
194
Communality communality Kemiskinan 0.920 Kinerja Perekonomian 0.873 Perkembangan Pariwisata
0.574
Total Effects Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
-0.652
Perkembangan Pariwisata
-0.906 0.893
Composite Reliability Composite
Reliability Kemiskinan 0.972 Kinerja Perekonomian 0.954 Perkembangan Pariwisata 0.497
Outer Loadings Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.739 x1.2 0.948 x1.3 -0.817 x1.4 0.428 y1.1 0.970 y1.2 0.979 y1.3 0.849 y2.1 0.992 y2.2 0.956 y2.3 0.929
195
Outer Model (Weights or Loadings) Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.739 x1.2 0.948 x1.3 -0.817 x1.4 0.428 y1.1 0.970 y1.2 0.979 y1.3 0.849 y2.1 0.991 y2.2 0.956 y2.3 0.929
Path Coefficients Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
-0.652
Perkembangan Pariwisata
-0.324 0.893
Outer Weights Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.271 x1.2 0.465 x1.3 -0.368 x1.4 0.135 y1.1 0.394 y1.2 0.390 y1.3 0.279 y2.1 0.357 y2.2 0.361 y2.3 0.323
196
Inner Model T-Statistic Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian 9.102 Perkembangan Pariwisata 4.309 62.609
Total Effects (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O) Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
Kinerja Perekonomian -> Kemiskinan
-0.652 -0.657 0.072 0.072
Perkembangan Pariwisata -> Kemiskinan
-0.906 -0.908 0.011 0.011
Perkembangan Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
0.893 0.896 0.014 0.014
Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
Kinerja Perekonomian -> Kemiskinan
-0.652 -0.657 0.072 0.072 9.102
Perkembangan Pariwisata -> Kemiskinan
-0.324 -0.319 0.075 0.075 4.309
Perkembangan Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
0.893 0.896 0.014 0.014 62.609
197
Outer Weights (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
x1.1 <- Perkembangan Pariwisata
0.271046 0.268504 0.032656 0.032656 8.299924
x1.2 <- Perkembangan Pariwisata
0.465193 0.46333 0.026716 0.026716 17.412625
x1.3 <- Perkembangan Pariwisata
-0.368192 -0.367382 0.021229 0.021229 17.344163
x1.4 <- Perkembangan Pariwisata
0.135404 0.129854 0.046406 0.046406 2.917797
y1.1 <- Kinerja Perekonomian
0.3938 0.393081 0.009262 0.009262 42.519091
y1.2 <- Kinerja Perekonomian
0.38966 0.388929 0.007312 0.007312 53.29282
y1.3 <- Kinerja Perekonomian
0.278958 0.279625 0.009697 0.009697 28.766873
y2.1 <- Kemiskinan
0.357006 0.356331 0.006644 0.006644 53.735846
y2.2 <- Kemiskinan
0.361456 0.360756 0.007255 0.007255 49.821986
y2.3 <- Kemiskinan
0.323259 0.323894 0.005439 0.005439 59.435895
Outer Loadings (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
x1.1 <- Perkembangan Pariwisata
0.7388 0.7353 0.0666 0.0666 11.0906
x1.2 <- Perkembangan Pariwisata
0.9477 0.9495 0.0063 0.0063 151.2964
x1.3 <- Perkembangan Pariwisata
-0.8174 -0.8175 0.0243 0.0243 33.6509
x1.4 <- Perkembangan
0.4280 0.4142 0.1356 0.1356 3.1554
198
Pariwisata y1.1 <- Kinerja Perekonomian
0.9698 0.9700 0.0022 0.0022 433.7969
y1.2 <- Kinerja Perekonomian
0.9787 0.9791 0.0038 0.0038 254.9294
y1.3 <- Kinerja Perekonomian
0.8487 0.8500 0.0263 0.0263 32.2229
y2.1 <- Kemiskinan
0.9918 0.9918 0.0015 0.0015 656.2347
y2.2 <- Kemiskinan
0.9562 0.9571 0.0099 0.0099 96.2066
y2.3 <- Kemiskinan
0.9290 0.9303 0.0171 0.0171 54.2116
199
0.971 0.979 0.846
-0.207
0.992 0.957 0.928
0.871 -0.762
Lampiran 4. PLS Output (Model Revisi)
Structural Model Specification PLS Quality Criteria Overview
AVE Composite Reliability
R Square
Cronbachs Alpha Communality Redundancy
Kemiskinan 0.920 0.972 0.899 0.956 0.920 0.786 Kinerja Perekonomian 0.873 0.953 0.758 0.927 0.873 0.643
Perkembangan Pariwisata 0.821 0.902 0.796 0.821
Redundancy redundancy Kemiskinan 0.7857 Kinerja Perekonomian 0.6433
Perkembangan Pariwisata
0.000 Perkembangan
Pariwisata
Y1.1 Y1.2 Y1.3
Y2.1 Y2.2 Y2.3
X1.1
X1.2
0.899 Kemiskinan
0.758 Kinerja
Perekonomian
200
Cronbachs Alpha
Cronbachs Alpha
Kemiskinan 0.95642 Kinerja Perekonomian 0.92656
Perkembangan Pariwisata 0.79590
Latent Variable Correlations
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan 1 Kinerja Perekonomian -0.943 1
Perkembangan Pariwisata -0.871 0.871 1
R Square R Square Kemiskinan 0.899 Kinerja Perekonomian 0.758
Perkembangan Pariwisata
Cross Loadings
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 -0.542 0.560 0.856 x1.2 -0.949 0.939 0.954 y1.1 -0.951 0.971 0.942 y1.2 -0.953 0.979 0.869 y1.3 -0.702 0.846 0.569 y2.1 0.992 -0.932 -0.854 y2.2 0.957 -0.946 -0.886 y2.3 0.928 -0.829 -0.759
201
AVE Konstruk AVE Akar AVE Kemiskinan 0.920273 0.9593
Kinerja Perekonomian 0.872525 0.9341
Perkembangan Pariwisata 0.891301 0.9441
Communality communality Kemiskinan 0.920 Kinerja Perekonomian 0.873
Perkembangan Pariwisata 0.821
Total Effects
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian -0.762
Perkembangan Pariwisata -0.871 0.871
Composite Reliability
Composite Reliability
Kemiskinan 0.972 Kinerja Perekonomian 0.953
Perkembangan Pariwisata 0.902
202
Outer Loadings
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.856 x1.2 0.954 y1.1 0.971 y1.2 0.979 y1.3 0.846 y2.1 0.992 y2.2 0.957 y2.3 0.928 Outer Model (Weights or Loadings)
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.856 x1.2 0.954 y1.1 0.971 y1.2 0.979 y1.3 0.846 y2.1 0.992 y2.2 0.957 y2.3 0.928 Path Coefficients
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian -0.762
Perkembangan Pariwisata -0.207 0.871
203
Outer Weights
Kemiskinan Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
x1.1 0.402 x1.2 0.688 y1.1 0.4023 y1.2 0.3879 y1.3 0.2712 y2.1 0.358021 y2.2 0.364982 y2.3 0.318542 Inner Model T-Statistic Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kemiskinan Kinerja Perekonomian 15.462 Perkembangan Pariwisata
4.099 71.567
204
Outer Model T-Statistic Kemiskinan Kinerja
Perekonomian Perkembangan Pariwisata
x1.1 14.42 x1.2 251.24 y1.1 454.20 y1.2 247.97 y1.3 28.67 y2.1 628.91 y2.2 83.78 y2.3 45.83 Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
Kinerja Perekonomian -> Kemiskinan
-0.762 -0.754 0.049 0.049 15.462
Perkembangan Pariwisata -> Kemiskinan
-0.207 -0.217 0.051 0.051 4.099
Perkembangan Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
0.871 0.875 0.012 0.012 71.567
Outer Weights (Mean, STDEV, T-Values) Original
Sample (O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
x1.1 <- Perkembangan Pariwisata
0.402 0.399 0.036 0.036 11.043
x1.2 <- Perkembangan Pariwisata
0.688 0.688 0.055 0.055 12.437
y1.1 <- Kinerja Perekonomian
0.402 0.402 0.010 0.010 40.377
y1.2 <- Kinerja Perekonomian
0.388 0.388 0.008 0.008 49.637
205
y1.3 <- Kinerja Perekonomian
0.271 0.271 0.010 0.010 26.247
y2.1 <- Kemiskinan
0.358 0.358 0.008 0.008 47.494
y2.2 <- Kemiskinan
0.365 0.365 0.009 0.009 41.029
y2.3 <- Kemiskinan
0.319 0.318 0.006 0.006 49.595
206
Lampiran 5 Tabel Analisis SWOT
No
Nama Desa
Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Ancaman (T)
1 Desa Pelaga
1. Potensi Alam pegunungan 2. Udara yang sejuk dan
dingin. 3. Jalan raya yang baik 4. Pemberdayaanperekonomi
an agro 5. Produk kehutan Plaga
untuk keperluanIndustri 6. Tingkat coverage
perlindungan sosial masyaarakat lebih tinggi
1. Transportasi umum ke desa Pelaga dan Belok
2. Tingkat pendidikan masyarakat
3. Kepemilikan lahan
4. Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat.
2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata.
3. Tingginya partisipasi masyarakat
4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali
5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan
1. Globalisasi
2. Krisis ekonomi
3. Wabah penyakit
4. Kurangnya dukungan biro perjalanan wisata
2 Desa Belok Sidan
1. Potensi Alam pegunungan 2. Udara yang sejuk dan
dingin. 3. Jalan raya yang baik 4. Obyek wisata air panas
Pinikit, trecking, peninggalan scarpagus
5. Budaya Wayang Wong Sida.
1. Jauh dari pusat kota/dan bandara.
2. Transportasi umum ke desa Pelaga dan Belok
3. Tingakt pendidikan masyarakat
4. Kepemilikan lahan
5. Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat.
2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata.
3. Partisipasi masyarakat yang tinggi.
4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali
5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan.
1. Globalisasi 2. Krisis
ekonomi 3. Wabah
penyakit 4. Kurangnya
dukungan biro perjalanan wisata
207
3 Desa Jimbaran
1. Potensi alam pantai 2. Jalan raya yang baik 3. Dekat dengan pusat
pariwiwisata dan bandar udara
4. Transportasi yang lancar 5. Pusat kuliner Jimbaran 6. Potensi pengembangan
taman rekreasi pantai.
1. Tingakat pendidikan masyarakat
2. Kepemilikan lahan
3. Kebersihan daya tarik wisata masih kurang
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat.
2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata.
3. Partisipasi masyarakat yang tinggi.
4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali
5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan.
1. Globalisasi
2. Krisis ekonomi
3. Wabah penyakit
4. Jumlah kamar hotel melebihi daya dukung Bali
4 Desa pecatu
1. Potensi alam pantai 2. Jalan raya yang baik 3. Dekat dengan pusat
pariwiwisata dan bandar udara
1. Tingakt pendidikan masyarakat
2. Kepemilikan lahan
3. Kebersihan daya tarik wisata masih kurang
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat.
2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata.
3. Partisipasi masyarakat yang tinggi.
4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali
5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan.
1. Globalisasi
2. Krisis ekonomi
3. Wabah penyakit
4. Jumlah kamar hotel melebihi daya dukung Bali
Sumber: Hasil FGD, Wawancara dan observasi lapangan di Desa Pelaga, Belok Sidan, Jimbaran dan Pecatu.
208
Selanjutnya, dengan menggunakan analisis kekutan dan kelemahan serta
peluang dan ancaman atau yang dikenal dengan SWOT analisis, maka dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) strategi S+O, dengan strategi S+O maka kegiatan
yang dapat dilakukan adalah: (a) mempertahankan potensi alam yang dimiliki
masing-masing desa, (2) mempertahankan partisipasi masyarakat dengan bekerja
pada industri pariwiata dan kegiatan wirausaha yang terkait pariwiwata. Strategi
W+O menggambarkan adanya kelemahan namun memiliki pelung untuk
meningkatkan pariwisata, perekonomian dan kemiskinan. Adapun strategi
mengentaskan kemiskinan sebagai berikut: (a) meningkatkan pendidikan
masyarakat terutama pendidikan pariwisata, (b), peningkatan transportasi massal.
Strategi S+T dan W+T merupakan faktor ekternal yang berpengaruh terhadap
perkembangan pariwisata dan kemiskinan. Strategi S+T dapat dilakukan beberapa
kegiatan sebagai berikut (a) meningkatkan moda transportasi massal, dan peran
pemerintah dan swasta untuk mengentaskan kemiskinan. Sedangkan strategi WT
dapat dilakukan kegiatan sebagain berikut, meningkatkan kemampuan bidang
informasi teknologi. Selengkapnya disajikan pada lampiran 6.
Adapun analisis kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan
peran pariwiata dan perekonomian dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten
Badung disajikan pada Lampiran 6.
209
Lampiran 6
Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Analisis SWOT Faktor Internal -
Ekternal Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Inte
rnal
Faktor Internal
Faktor Eksternal
1. Potensi alam yang alami 2. Memiliki kelompok sadar wisata 3. Memiliki potensi wisata buatan
“Tukad bangkung” 4. Jalan raya yang mulus 5. Memiliki tanah pertanian dan
perkebunan yang dapat ditanami aneka ragam tanaman holtikultura dan tahunan
1. Trasportasi umum dan pariwisata
2. Tingkat Pendidikan masyarakat yang msih rendah
3. Kebersihan kurang 4. Kepemilikan Lahan
Peluang (O) Strategi S+O Strategi W+O
Ekst
erna
l
a) Peran pemerintah b) Minat wisatawan
terhadap wisata alam
c) Daya beli wisatawan
d) Minat berwisata Nusantara dan Mancanegara masyarakat yang tinggi
e) Partisipasi masyarakat tinggi
f) Adanya Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah
g) Berkembangnya industri pariwiata di Bali.
1. Adanya tren wisatawan (d) dan segmen pasar yang menyukai (b) serta didukung (c), (e) dan (a, f) wisata alam, daya beli yang semakin perlu mempertahankan potensi dan peran masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi pariwisata menjadi potensi ekonomi yang berkelanjutan.
2. Mempertahankan peran serta masyarakat dalam mendukung pelestarian lingkungan alam dengan memanfaatkan potensi pertanian dan hasil pertanian untuk mendukung kebutuhan pariwisata khususnya kebutuhan hotel dan sebagai tempat wisata.
1. Musuh utama pariwisata adalah masalah (3,4) maka diperlukan strategi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bidang pariwisata.
2. Adanya masalah (5) perlu ditanggulangi dengan menyediakan transportasi umum yang gratis atau berbayar.
3. Adanya masalah (6) perlu diantisipasi dengan pemberdayaan lahan milik pemerintah untuk digarap oleh masyarakat, sehingga akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
4. Pentingnya menanam tanaman yang dibutuhkan oleh indutri pariwisata di kabupaten Badung dan Bali secara umum.
5. Perlu adanya kerjasama dengan pihak hotel untuk mempekerjakan sumber daya manusia yang ada didesa, dengan cara membuat MOU antara pihak hotel atau stake holder lainnya dengan pihak desa.
Tantangan (T) Strategi S+T Strategi W+T a) Teknologi dan
informasi b) Persaingan c) Peran BPW d) Krisis Ekonomi e) Globalisasi f) Adanya
pembinaan bidang pariwisata
1. Berbagai potensi wisata yang dimiliki masing masing desa (1,2) perlu dilakukan promosi yang lebih gencar menggunakan (a) yang berbasis internet dan memanfaatkan peran berbagai pihak seperti (d, 2) meningkatkan kunjungan wisatawan selanjutnya
1. Berbagai kekurangan (1,2,3,4,5,6) dan tantangan (a,b.c,d,e,f) perlu memberdayakan kelompok sadar wisata dan organisasi yang ada di desa dengan memanfaatkan teknologi internet untuk memasarkan potensi desa dan peningkatan kemampuan sumber daya
210
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Serta berdampak pada tingginya kebutuhan tenaga kerja yang berasal dari desa setempat.
2. Globalisasi dan persaingan serta krisis ekonomi perlu diantisipasi dengan peningkatan sumber daya manusia dengan cara sosialisasi pentingnya pendidikan termasuk pendidikan pariwisata bagi masyarakat.
manusia serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan bidang ekonomi dan pariwisata
2. Menambah lahan pertanian dan membentuk lembaga yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dengan bekerjasama dengan lembaga ekonomi dan pariwisata.
211
Gambar 1. Observasi di Desa Belok Sidan
Gambar 2. Kegiatan Pertanian Masyarakat
Gambar 4. Mengunjungi SMPN 3 Petang
LAMPIRAN 7 DATA HASIL DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 3. Meninjau Agri Bisnis
212
Gambar 5. Setelah Wawancara
dengan tokoh masyarakat Belok Sidan
Gambar 6. Lokasi Focus Group Discussion
Gambar 7. Pra Group Discussion
Gambar 8. Diskusi Group Discussion
213
Gambar 9. Setelah Wawancara dengan wisatawan Mancanegara
Gambar 10. Bagus Agri Pelaga
Gambar 11. Wawancara dengan responden di Pelaga
Gambar 12. Contoh Rumah Masyarakat
Miskin di Pelaga
214
Gambar 3. Penerima Bantuan Rumah Dari Desa Jimbaran
Gambar 1.Kantor Desa Adat Jimbaran
Gambar 2.Bersama Lurah Jimbaran
Gambar 4.Wisatawan Mancanegara
LAMPIRAN 8 DATA HASIL DOKUMENTASI PENELITIAN
215
Gambar 8.Menuju Objek Wisata Uluwatu
Gambar 6.FGD Di Jimbaran
Gambar 7.FGD Pecatu
Gambar 5.FGD Di Pecatu
216
Variabel Perkembangan Pariwisata Di Kabupaten Badung (X1)
Jumlah
Kunjungan Wisatawan (orang)
(X1.1)
Kontribusi PHR (Dalam Jutaan)
(X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan / Hari (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan / Hari (X1.3)
2000 466,111 1,551,722.82 5,90 819,213 2001 1,128,940 1,760,542.27 4,44 822,990 2002 382,443 1,982,526.74 5,28 826,768 2003 249,845 2,183,219.66 4,00 830,545 2004 223,548 2,420,490.15 4,20 834,323 2005 383,613 2,815,368.11 4,08 838,100 2006 497,899 3,024,626.55 3,97 841,878 2007 473,774 3,427,697.13 3,74 845,655 2008 734,861 3,973,530.83 3,85 792,500 2009 812,489 4,898,698.14 3,93 913,060 2010 774,753 5,467,109.15 3,75 839,460 2011 682,382 5,998,644.44 3,60 891,483 2012 1,092,413 6,508,632.44 3,60 926,890 2013 1,192,129 7,260,307.93 3,55 801,195 Total 5.215,607 47.540.361,120 47,550 10.181,857 Rata-Rata 401,201 3.656.950,855 3,66 783,220
217
Variabel Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung (X2)
Tahun Pertumbuhan PDRB
(Jutaan Rupiah ) (X2.1)
Penyerapan Tenaga Kerja
(orang) (X2.2)
Investasi (Ribuan Rupiah)
(X3.3) 2000 3.433.683,38 101.626 148.750.200 2001 4.086.884,27 118.433 152.801.324 2002 4.818.028,87 135.239 154.931,201 2003 5.247.929,98 152.046 1.101.407.059 2004 5.891.231,65 168.853 2.360.745.445 2005 7.004.648,18 185.659 4.140.660.000 2006 7.701.192,62 202.466 1.652.957.796 2007 8.799.215,12 219.273 5.305.717.700 2008 10.478.390,93 227.091 6.043.268,777 2009 12.875.498,13 231.628 2.362.541.294 2010 14.926.782,41 310.147 1.890.474.000 2011 16.403.318,18 305.897 8.536.644.646 2012 18.996.102,98 313.338 5.334.590.363 2013 20.998.078,20 330.897 6.048.968.601 Total 104.705.716,20 2.671.696 492.849.190,79
Rata-Rata 8.054.285,86 205.515 37.911.476,21
218
Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013
Tahun
Jumlah Penduduk
Miskin (000 jiwa)
Garis Kemiskinan
(Rp/Kap/bln)
Persentase Penduduk
Miskin
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Indeks Keparahan
Kemiskinan
2000 21,66 47.621 5,96 1,05 0,25 2001 21,08 74.607 5,70 0,99 0,23 2002 16,90 101.593 4,68 0,93 0,22 2003 21,40 128.579 5,31 0,86 0,20 2004 20,50 155.564 5,00 0,80 0,19 2005 22,00 208.271 5,25 0,81 0,19 2006 18,20 217.507 4,57 0,52 0,10 2007 17,40 221.695 4,28 0,46 0,07 2008 13,70 234.959 3,28 1,01 0,34 2009 14,00 282.559 3,28 0,35 0,06 2010 17,70 312.602 3,23 0,39 0,06 2011 14,60 346.460 2,62 0,27 0,05 2012 12,51 383.985 2,16 0,33 0,08 2013 14,55 406.408 2,46 0,27 0,06
Total 246,20 3.122.410 57,78 8,71 2,1 Rata-Rata 18,94 240.185 4,44 0,67 0,16