parly bidar 4
TRANSCRIPT
TANTANGAN LINGKUNGAN EKSTERNAL
DALAM MILENIUM KETIGA
Memasuki decade 90-an banyak dari kita yang saat itu belum menyadari
bahwa kita memasuki suatu decade baru. Dekade yang oleh orang banyak orang
dikatakan sebagai awal dari suatu perubahan besar yang menuntut kita untuk
melakukan perubahan mendasar dalam menyikapinya.
Saat ini kita berada dalam suatu masa yang disebut Abad Otak dan
Milenium Pikiran (century of brain and millennium of mind). Perubahan
tantangan ini sebenarnya sudah terjadi pada pertengahan bahkan lebih terasa dan
terlihat lebih jelas dua-tiga tahun terakhir dari decade 90-an. Selanjutnya
perubahan tersebut menjadi begitujelas menunjukkan terjadinya suatu yang begitu
berbeda dibandingkan masa sebelumnya saat memasuki awal abad ke-21 atau
millennium III ini. Suatu perubahan lingkungan eksternal yang begitu sulit
diprediksi arahnya.
Kita dituntut untuk membangun dan menemukan sendiri jalan yang akan
kita tempuh untuk menuju masa depan yang kita inginkan. Pada masa lalu kita
hanya dituntut menentukan jalan mana yang akan kita pilih, dari begitu banyak
pilihan, untuk menuju masa depan. Pilihan jalan tersebut merupakan lanjutan dari
jalan di mana kita berada saat itu. Saat ini, kita berada “ diujung jalan” dari jalan
yang selama ini kita tempuh. Tiba-tiba kita menemukan jalan menuju masa depan
terputus dan berakhir. Tidak ada lagi petunjuk jalan yang jelas seperti masa
1
sebelumnya, bahkan tidak terlihat lagi adanya jalan ke depan, jalan masa lau
berujung dan berakhir di sini.
Ke mana kita selanjutnya menuju. Banyak jalan untuk dapat bertahan.
Sekadar menjadi lebih baik (good) di dalam lingkup apapun yang kita kerjakan
saat ini tidak cukup. Menjadi yang baik hanya akan membuat kita tetap berada”
diarena”, namun tidak akan membuat kita menjadi pemenang. Untuk menjadi
pemenang kita harus mampu mengatasi persaingan, memutuskan ke mana kita
harus menuju, dan memastikan bahwa kita berada dalam jalur yang benar, artinya
kita tidak bisa lagi berlomba dengan tetap mengikuti jalanan di arena seperti
biasanya, kita harus mampu membuat jalan terobosan sendiri agar mampu
mendahului lawan-lawan kita dan menjadi pemenangnya. Kita harus selalu lebih
cerdas dari pesaing-pesaing kita.
“Bab baru dalam cerita tiada akhir” telah dimulai diawal abad ke-21 ini.
Era yang berbeda mendorong kita untuk berpikir berbeda. Era baru menuntut
pemikiran baru. Era yang berbeda menuntut pola piker yang berbeda (different
times produce different minds). Masalahnya adalah perubahan dalam pola piker
ini terjadi karena terpaksa ataukah karena memang kita sudah menyadari dan
mengantisipasinya. Hal ini akan memberikan dampak yang jelas akan berbeda.
Banyak dari kita tidak lagi tahu lagi cara berpikir untuk diri kita sendiri.
Suatu gambaran “kemiskinan” dari Humanisme Barat, materi dan kekuasaan
menjadi”Tuhan”. Mensitir tulisan Prof.Dr. Sri-Edi Swasono dalam bukunya “
Ekspose Ekonomika Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (2003)
menggambarkannya dalam kaitan dengan sistem ekonomi sebagai
2
“Memprihatinkan sekali bahwa kita menyongsong sistem ekonomi pasar- bebas
lebih berapi-api daripada orang-orang Utara. Kita mempraktikan liberalisme
dan kapitalisme di sini lebih hebat daripada di negara-negara Utara
sendiri” ,hal.74.
Oleh karenanya perlu ditentukan benar-benar strategi yang cerdas dalam
memanfaatkan pinjaman tersebut. Bantuan berupa pinjaman tersebut diberikan
tetap dalam konteks kepentingan negara-negara maju, khususnya kepentingan
komersial dan ekonomi yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan
memenangkan persaingan global dalam mendominasi perekonomian dunia.
Jangan ditelan begitu saja motto dari misalnya Bank Dunia,” Our dream is a world
without poverty”, Hal-hal seperti ini sering menyesatkan karena pada dasarnya
masih kuat sikap mental kolonialnya yang memiliki pola piker,” to feel they knew
the best”. Suatu pola piker yang didasarkan pada beliefs bahwa merekalah yang
paling tahu apa yang terbaik untuk negara-negara berkembang.
Era Gobal adalah Era Krisis Makna. Pencarian makna dalam begitu
banyak aspek kehidupan di masyarakat dewasa ini, terlebih lagi masyarakat maju,
merupakan bukti. Tidak banyak lagi orang, bahkan dalam dunia pendidikan pun
telah banyak melupakan, mengenai pentingnya makna mengenai kehidupan.
Apakah hidup itu ? Apa arti pekerjaan bagiku ? Apa maknanya bahwa saya akan
mati suatu saat dan pasti ? kita tidak buta warna, tetapi banyak dari kita buta
makna .
Gambaran dari sistem ekonomi yang berkembang hingga saat ini
sebagaimana diuraikan oleh Sri-Edi Swasono (2003) dalam bukunya tersebut di
3
atas menggambarkan dengan jelas bagaimana sistem ekonomi pasar bebas benar-
benar menggambarkan kebutaan secara spiritual.
Kutipan dari Sri-Edi Swasono di atas memperlihatkan justru banyak dari
kita, terlebih lagi di negara-negara maju, tertinggal secara spiritual. Kita tertinggal
dalam membangun kecerdasan yang dapat menghadapi masalah ini. Kecerdasan
Spritual (SQ)- the meaning centered intelligence. Hanya dengan membangun
Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) saja tidaklah cukup.
Memasuki abad ke-21 ini terlihat jelas berkembangnya lagi tuntunan baru
yang harus mampu dijawab agar setiap organisasi dapat tetap hidup dan
berkembang. Tuntunan baru tersebut berupa harus dimilikinya modal kecerdasan
(intelegence capital) sebagai sumber daya saing organisasi. Kecerdasan dimaksud
adalah gabungan dari semua kecerdasan yang ada pada manusia. Mengacu pada
Danah Zohar dan Ian Marshal (2000) membagi kecerdasan manusia dalam tiga
jenis kecerdasan, yaitu Kecerdasan Spritual. (IQ), Kecerdasan Emosional
(EQ),dan Kecerdasan (SQ). Setiap organisasi harus mampu menjadi Organsasi
yang Cerdas (smart/intelligent organization).
Tuntunan masa sekarang adalah Organisasi yang Menciptakan
Pengetahuan (knowledge-creating organization) dan hanya organisasi yang cerdas
yang akan mampu untuk itu. Mereka yang hanya mampu mengakusisi
pengetahuan akan selalu tertinggal dibandingkan mereka yang mampu
mengembangkan/menciptakan pengetahuan.
4
DAYA SAING OTAK TANTANGAN
BAGI PARA PEMIMPIN
Untuk dapat menjawab tantangan perubahan saat ini kita harus bertumpu pada
sumber daya manusia yaitu daya saing kecerdasan dari manusia-manusia dari
setiap organisasi. Suatu tuntunan paling tidak berupa suatu perubahan dari
persaingan dalam kualitas sumber daya manusia melalui knowledge to knowledge
competition menjadi persaingan dalam kualitas dari sumber daya yang ada pada
manusia yaitu kecerdasannya.
Organ tubuh yang berhubungan langsung dengan kecerdasan manusia
adalah pada otaknya. Jadi tantangan persaingan saat ini adalah dalam” adu
kecerdasan”, atau disebut “intelligence to intelligence”. Oleh karena kecerdasan
manusia berada pada organ otaknya, jadi persaingan saat ini tepatnya disebut
dengan brain to brain competition.
Suatu perubahan lingkungan sebagai dampak dari perubahan teknologi
yang semakin lama semakin cepat. Pergeseran yang terlihat saat ini adalah arah
perubahan yang bergerak menuju pada pengembangan teknologi biologi. Banyak
pakar memprediksikan bahwa pada tahun 2020 dunia akan memasuki puncak dari
Era Teknologi Biologi. Bahkan diprediksikan juga dalam 25 tahun mendatang kita
akan akrab dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) seperti mengenai ukuran sepatu
kita sendiri.
Indikasi kearah “genetic engineering” tersebut semakin jelas terlihat
bahkan pada beberapa tahun terakhir dari decade 90-an yang lalu dan terus
berkembang semakin jelas akhir-akhir ini. Tekhnologi kloning pada beberapa
5
jenis hewan sudah menunjukkan hasilnya. Pro dan kontra perkembangan
teknologi cloning pada manusia sudah menjadi salah satu perdebatan yang
dibicarakan orang pada awal abad ke-21.
Bila kita menengok sejenak ke belakang, proses perubahan lingkungan
yang cepat ini sebenarnya sudah terindikasi pada sekitar empat puluh tahun yang
lalu yaitu beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II. Proses perubahan
ini terjadi semakin cepat dan sebenarnya terlihat lebih jelas dan lebih mudah bila
kita mencermatinya awal decade 90-an. Suatu proses transformasi yang dikenal
dengan sistem perkantoran tanpa kertas (paperless office system). Uang plastik
mulai dikenal dan perannya mulai menggantikan uang kertas, dan masih banyak
lagi contoh lainnya.
Tantangan pada Era Daya Saing Kecerdasan dewasa ini jauh lebih
menantang, terutama bagi seorang pemimpin. Tantangan ini dimaksud adalah
tantangan untuk mengubah pola piker (mindset). Tantangan ini merupakan
tantangan yang berasal dari dalam diri sendiri yang bahkan akan menentukan
sejauh mana seorang pemimpin mampu mengatasi tantangan eksternal yang
dihadapi organisasinya. Kemampuan seorang pemimpin dalam mengatasi
tantangan internalnya akan membuatnya mampu membawa organisasinya berhasil
mencapai berbagai tujuan (goals) sehingga dapat merealisasikan visi
organisasinya (corporate vision) dengan baik.
Bila secara internal kita tidak berhasil mengatasi tantangan internal ini
maka berarti kita memilih, suka atau tidak suka, untuk menjadi korban dari
6
perubahan lingkungan eksternal, korban situasi turbulensi yang tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan berkurang, atau sebaliknya.
DEKADE OTAK DAN KECERDASAN MANUSIA
Hasil penelitian otak pada decade 90-an dikatakan sebagai memberikan hasil yang
luar biasa yang melebihi hasil penelitian beberapa abad sebelumnya. Penelitian
pada otak tersebut antara lain menunjukkan bahwa otak emosional (limbic
system) ternyata memiliki kecerdasan sendiri dan mempunyai peran sentral dalam
menentukan efektivitas belajar dan bahkan disebut sebagai “otaknya otak”.
Diketahui juga bahwa otak manusia berubah secara fisik sesuai pengalamanya
ataupun usianya yang disebut dengan brain plasticity.
Melalui penelitiannya penelitannya Gardner pertama kali menemukan ada
tujuh macam kecerdasan. Kriteria yang dikembangkan untuk itu adalah bahwa
(Low Russell,1999) :
Kecerdasan harus dapat diukur,
Kecerdasan mestinya harus dinilai berdasarkan budaya orang yang bersangkutan
Intelegensia akan merupakan kekuatan yang dimiliki semua orang ketika mereka
menjadi kreatif atau sedang menyelesaikan masalah.
Sepuluh macam kecerdasan yang dapat berkembang pada manusia disebut
dengan multiple intelligences, termasuk perkembangan tiga kecerdasan lagi,
adalah (1) kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), (2) kecerdasan
logika (logical/ mathematical intelligence), (3) kecerdasan spatial/ visual (spatial/
visual intelligence), (4) kecerdasan bermain musik (musical intelligence), (5)
kecerdasan berbahasa/ berbicara (linguistic/ verbal intelligence), (6) kecerdasan
7
interpersonal (intrapersonal intelligence), (7) kecerdasan fisik/ utubh (bodily/
kinesthetic intelligence). Tambahan tiga kecerdasan lagi adalah (8) kecerdasan
emosional (emotional intelligence), (9) kecerdasan terhadap alam (naturalist
intelligence), dan (10) kecerdasan mengenai eksistensi diri (existential
intelligence).
Secara singkat masing-masing kecerdasan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk memahami orang lain
dan tampil dalam kemampuannya berinteraksi dengan baik dengan orang
lain. Singkatnya kecerdasan interpersonal adalah bagaimana manusia
dapat saling memahami satu sama lain yang juga memengaruhi bagaimana
mereka berkomunikasi.
Kecerdasan logika/ matematika adalah kemampuan untuk memproses
secara analitis. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan yang bersifat
kuantitatif
Kecerdasan spasial/ visual adalah suatu kemampuan dalam membangun
gagasan atau model, membayangkan penerapan dan mengubahnya yang
semuanya dalam pikirannya.
Kecerdasan musical adalah sensivitas terhadap irama, melodi, dan nada.
Kemampuan ini baik dalam posisi sebagai pendengar maupun sebagai
pelaku, terutama dalam dunia musik.
Kecerdasan linguistic /verbal yaitu kemampuan untuk mengekspresikan
pikiran-pikirannya secara jernih baik secara lisan ataupun tertulis.
8
Kecerdasan intrapersonal adalah suatu kemampuan untuk berkomunikasi
dengan diri sendiri antara lain dengan melakukan refleksi, merenung
mengenai dirinya dan sebagainya.
Kecerdasan fisik/ tubuh adalah suatu kemampuan dalam melakukan
gerakan fisik. Kecerdasan ini memiliki dua tipe yaitu tactile dan
kinesthetic. Orang yang memiliki kecerdasan tactile memiliki kemampuan
melalui sentuhannya (rabaan) dan manipulasi dari berbagai objek.
Sedangkan kecerdasan dengan kinesthetic memiliki kemampuan dalam/
melalui seluruh gerakan tubuhnya.
9
BAB 2
TURBULENSI INTERNAL PADA MANUSIA DALAM MILLENNIUM III
Perubahan lingkungan eksternal yang makin lama makin cepat dan saat ini
sudah begitu hebat sehingga disebut sebagai turbulensi memberikan dampak
langsung baik pada individu –individu dalam organisasi, masyarakat ataupun
bangsa. Situasi inilah yang terjadi saat kita memasuki Abad Otak dan Milenium
Pikiran diawal abad ke-21 sekarang. Dampak langsung tersebut bisa berupa
terjadinya perubahan, baik itu perubahan yang tidak terlihat (itangible) maupun
perubahan yang terlihat (tangible) pada individu, kelompok orang, ataupun
masyarakat bahkan bangsa sekalipun.
Perubahan yang tidak terlihat ‘dipermukaan’ disebut perubahan internal
adalah perubahan pada sisi lunak (the soft side) dari manusia, sedangkan
perubahan yang terlihat ‘dipermukaan’ berupa perubahan perilakunya. Perubahan
fisik baik internal maupun perubahan perilaku dapat berupa suatu perubahan
‘kecil-kecilan’ ataupun perubahan yang mendasar (transformasi). Transformasi
yang terjadi secara internal ataupun pada perilaku akan menjadi masalah bila
bergerak kea rah negatif dan destruktif terhadap individu itu sneidir ataupun pada
orang lain bahkan masyarakat. Di sisi lain transformasi yang positif pun tetap
merupakan suatu tantangan tersendiri walaupun akan memberikan konsekuensi
yang baik.
10
TANTANTANG TURBULENSI INTERNAL, KASUS INDONESIA
Transformasi internal pada seseorang dapat berupa suatu turbulensi internal,
dengan berbagai tingkatan. Turbulensi internal dapat saja terjadi pada seseorang
atau orang-orang pada skala perusahaan karena terkena misalnya perampingan
organisasi (downsizing) bahkan yang paling parah sampai berupa pemutusan
hubungan kerja (PHK) dari perusahaan dengan berbagai alasan. Atau bisa juga
karena seseorang harus memasuki masa pensiun padahal secara fisik dan mental
masih cukup kuat dan masih ingin tetap bekerja di perusahaan tersebut. Bisa juga
sesuatu yang dirasakan begitu menyenangkan, katakanlah seseorang yang
hidupnya secara ekonomi pas-pasan, tiba-tiba mendapat rezeki melimpah yang
membuat kehidupan dari sisi ekonominya berubah sama sekali.
Banyak dari kita tidak menyadari bahwa perubahan lingkungan eksternal
yang memberikan dampak langsung terhadap kehidupan sehari-hari tersebut
membuat terjadinya perubahan internal pada sisi yang paling dalam (itangible)
yang terjadi pada seseorang, masyarakat maupun bangsa sebagai penyebab
terjadinya perubahan yang terlihat pada perilakunya. Perubahan internal yang
terjadi seperti ini menuntut cara menyikapi atau menghadapinya harus berbeda.
Cara-cara lama tidak akan mampu lagi untuk dapat ‘berinteraksi’ dengan orang
atau orang-orang yang telah berubah jati dirinya tersebut.
Kerusuhan yang telah membawa begitu banyak penderitaan dan korban
harta bahkan nyawa, kekejaman yang terjadi dalam kerusuhan yang sulit dipahami
yang membuat kita tidak mengerti mengapa kita atau mereka bisa menjadi seperti
itu. Tiba-tiba kita sebagai bangsa dihadapkan pada kenyataan munculnya
11
perubahan perilaku masyarakat yang tampil dengan perilaku yang asing dan
bukan merupakan perilaku yang selama ini kita kenal dan kita miliki sebagai
bangsa Indonesia. Kita tidak bisa habis berpikir mengapa mereka begitu berubah
dan menampilkan perilaku yang tidak kita kenal sebagai perilaku ‘kita’.
Bagaimana mungkin mereka berubah menjadi kelompok manusia yang kejam dan
saling membunuh, bahkan terhadap tetangganya yang telah kenal baik beberapa
tahun sebelumnya. Sebenarnya banyak ‘letupan’ sosial yang telah terjadi
mencerminkan terjadinya proses perubahan pada perilaku masyarakat kita yang
pada umumnya tidak dipahami secara benar apa yang menjadi penyebabnya.
Pendekatan ataupun cara-cara yang selama ini berhasil dalam mengatasi
‘keributan masyarakat’ diterapkan. Pendekatan yang selama ini merupakan salah
satu ciri-ciri masyarakat kita dan selama ini berhasil baik berupa penyelesaian
secara musyawarah yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan melibatkan
para tokoh masyarakat, para pemuka agama, para informal leader, dari kelompok
masyarakat yang bertikai diterapkan. Kesepakatan, perdamaian atau apa pun
namanya berhasil dicapai. Namun usianya tidak bertahan lam. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap kesepakatan terjadi yang akhirnya menyadarkan kita bahwa
pendekatan ataupun cara-cara ‘masa lalu’ itu ternyata tidak berlaku lagi.
Analisis yang paling ‘popular’ terhadap turbulensi perilaku yang destruktif
ini mengarah pada suatu pola piker yang melihat gejolak sosial ini sebagai sesuatu
yang wajar. Gejolak karena euphoria dilihat sebab konsekuensi logis berupa
munculnya berbagai benturan horizontal di masyarakat. Hal ini dianggap sebagai
suatu kewajaran dan bukan sesuatu yang luar biasa dan perlu dipahami secara
12
tepat. Huru-hara yang terjadi merupakan suatu konsekuensi logis dari era orde
baru yang dianggap mengekang kebebasan berubah dalam era reformasi yang
memberikan kebebasan sebegitu luas. Dengan didiamkan saja maka pada
gilirannya masa euphoria akan berakhir sendiri dan masyarakat akan kembali
berprilaku normal seperti sebelumnya. Suatu justifikasi yang mengantar pada
pemahaman bahwa gejolak ini akan berhenti sendiri setelah terjadi
‘keseimbangan’ suatu pola piker ‘memaklumi’ yang diikuri dengan berbagai
argumentasi rasional sebagai pembenarannya.
Disisi lain, bila kita perhatikan sebenarnya gejolak di masyarakat ini sudah
terjadi beberapa tahun sebelumnya. Berbagai perkelahian antara pelajar di Ibu
kota menjadi semacam santapan rutin. Sayangnya adanya sikap ‘excuse’ ini
membuat kerusuhan ini hanya dilihat sebagai suatu bentuk kenakalan remaja yang
‘wajar’ dan karenanya cukup dilakukan pembinaan, dinasehati, dipanggil orang
tuanya dan sebagainya. Berbagai pendapat berkembang di masyarakat berusaha
untuk mencari akar permasalahannya.
Yang jelas gejolak yang terjadi di masyarakat kita baik dalam bentuk
perkelahian pelajar, tawuran antar kampong di Jakarta dan antar desa di beberapa
daerah Pantura di pulau Jawa, kerusuhan antaretnis diberbagai wilayah di tanah
air dan lainnya, merupakan suatu rangkaian proses perubahan destruktif serius
yang sedang terjadi pada kita sebagai bangsa. Yang berbeda hanyalah tampilan
perilakunya saja dimana kesamaannya adalah perubahannya bersifat negatif/
destruktif.
13
Cara-cara yang dilakukan dalam mengatasi turbulensi internal yang terjadi
pada suatu organisasi, kelompok atau masyarakat, saat ini cenderung lebih
simptomatis. Kita terjebak menjadi ‘pemadam kebakaran’ yang berpikir reaktif,
bukan berpikir proaktif apalagi antisipasif. Keterjebakan ini disebabkan kita masih
melihat secara keliru dan berpikir secara linear atau “kacamata kuda”. Kita lebih
sibuk mengatasi perilaku yang negatif oleh seseorang atau sekelompok orang,
bahkan perilaku bangsa dengan melihat secara terkotak-kotak dan tidak melihat
pada sumber yang menjadi penyebab terjadinya perubahan perilaku tersebut.
Padahal bila kita memaami dan mampu mengendalikan penyebabnya maka
perilaku yang negatif dari orang-orang atau kelompok masyarakat itu akan
menjadi terkendali dengan sendirinya.
Mengapa terjadi gonjang-ganjing yang tiada hentinya dan bergerak terus
kea rah yang semakin negatif pada masyarakat bahkan pada kita sebagai bangsa.
Dikatakan negatif karena berdampak terhadap menurunnya daya saing sebagai
bangsa. Perkembangan negatif ini bahkan sudah merambah hingga ke dunia
akademis dan bahkan memasuki sebagian institusi agama yang mestinya mampu
menjadi benteng yang akan membuat bangsa ini bergerak kea rah yang positif.
Gelar akademis baik doctor ataupun professor, bahkan ‘jabatan’ sebagai pemuka
agama pun tidak lagi bisa memberikan jaminan. Akhirnya kita kembali harus
melihat pada siapa manusianya, bukan pada apa profesi, jabatan, jenjang
akademisnya, status sosia atau posisinya di masyarakat.
Bagaimana dengan skala dunia. Sebenarnya bila kita mencermati dengan
seksama, hal yang sama, berupa turbulensi internal juga terjadi pada paling tidak
14
para elit pemerintah Amerika Serikat saat ini. Contoh yang paling jelas dan masih
segar dalam ingatan kita sikap negara adikuasa Amerika Serikat dengan dibantu
sebagian kecil negara lain melakukan invasi ke Irak tanpa persetujuan PBB.
Invansi yang ‘bar-bar’, tindakan terorisme dari negara adikuasa pada banyak
bangsa/ negara lain (negara-negara berkembang) memicu timbulnya perlawanan
yang radikal berupa terorisme yang “mewabah” di banyak negara. Kiranya masih
banyak lagi contoh-contoh perubahan perilaku yang begitu radikal dan mendasar
yang bergerak ke arah yang negatif yang menggambarkan penurunan kualitas kita
sebagai manusia yang berada, terjadi di penghujung abad ke-20 dan masih
berlangsung terus pada awal abad ke-21 ini.
Bila berbagai perilaku baik negatif maupun perilaku positif hanya
merupakan akibat maka penyebabnya adalah sesuatu yang merupakan sisi lunak
(the soft side) dari manusia. Sisi lunak yang menjadi sumber perilaku manusia ini
bekerja dengan membangun pola pikir (mindset) yang akan mengantar munculnya
perilaku tertentu pada manusia. Sisi lunak ini dalam spiral dynamics atau levels of
physhological existence theory disebut ‘DNA’ psikologis sosialnya. Sesuatu yang
paling dalam yang ada pada manusia yang menjadi dasar berkembangnya
keyakinan (beliefs) tertentu yang memunculkan makna dalam melihat situasi
eksternal yang dihadapi yang pada gilirannya akan membentuk pola pikir tertentu
yang terefleksi dalam perilakunya.
15
MEME SYSTEMS
Genetika adalah unit-unit informasi pada tubuh kita yang terbentuk secara alamiah
dari kontribusi genetika orang tua kita dan merupakan warisan. Di sisi lain memes
‘dilahirkan’ saat sistem saraf kita bereaksi terhadap suatu pengalaman. Jadi memes
adalah unit-unit informasi dari akumulasi pengalaman yang secara sadar kita
perleh berupa berbagai makna yang direkam dalam memori kita dan akan
membentuk pikiran kita yang disebut juga sebagai perangkat. Neurobiology dan
pola pikir (neurobilogical equipment and mindsets) yang mewakili atau
menggambarkan berbagai kapasitas otak kita (brain/mind capacities).
Suatu meme adalah berupa perintah –perintah terhadap perilaku yang
menurun dari generasi ke generasi, terhadap berbagai artifak sosial, dan juga
berbagai symbol sebagai cerminan dari nilai-nilai yang kuat yang menjadi perekat
suatu masyarakat. Sebuah meme dapat dianalogikan seperti virus intektual yang
mampu memperbanyak dirinya sendiri yang kita bisa lihat misalnya dalam gaya/
mode pakaian, gerakan-gerakan sosial, kecendrungan bahasa, rancangan arsitektur
bangunan, bentuk-bentuk kesenian, tren dalam keagamaan, bahkan juga dalam
pernyataan moral mengenai bagaimana membangun suatu kebiasaan baru di
masyarakat.
Big MEMEi disebut sebagai ‘a kind of wave like meta meme’ suatu
gabungan beberapa sistem atau ‘’value memes’ (MEME) yang bertindak sebagai
penarik-penarik (attractors) terhadap memes yang telah diperkaya sebagaimana
dijelaskan oleh Dawkins dan Csikszentimihalyi. “MEMEs” adalah ‘amino acid’
16
dari DNA psiko sosial kita yang bertindak sebagai kekuatan magnetic yang
menyatukan memes dan berbagai gagasan dalam paket-paket kohesif mengenai
pikiran-pikiran. ‘MEMEs’ juga bersifat vital karena dia dapat mencapai berbagai
kelompok orang untuk membentuk pola pikir dari kelompok –kelompok tersebut.
‘MEMEs’ adalah asam amino dari ‘DNA’ psikologis sosial kita yang
bertindak seperti kekuatan magnetis yang mengikat dan menyatukan memes yang
akhirnya membentuk suatu pikiran atau pola pikir tertentu. ‘MEME begitu vital
karena ia mampu ‘menular’ pada orang-orang/ kelompok orang dan membentuk
pola pikir baru.’MEMEs merupakan sesuatu yang begitu penting (linchpins) dari
budaya perusahaan yang akan menentukan bagaimana dan mengapa suatu
keputusan diambil. ‘MEMEs individu kita merupakan pilar dan menentukan
bagaimana personalitas kita dan sekaligus menentukan pola hubungan kita dengan
orang lain dan bahkan akan menentukan apakah kita menjadi orang yang mudah
memperoleh kebahagiaan ataukah kita menjadi orang yang sering merasa hampa
dalam menjalani hidup.
‘MEMEs membangun kecepatan dan proses untuk menyatukan berbagai
beliefs. Ia juga mampu membentuk struktur berpikir (mindset or ways of
thinking), sistem nilai, berbagai format politik, dan cara pandang dunia mengenai
peradaban ataupun membangun suatu tren secara global. Oleh karenanya Spiral
Dynamics dikatakan menggunakan pendekatan biopsikososial (biopsychosocial)
yang menggambarkan suatu perpaduan yang tidak statis (moving blend) dari
biologi alamiah (biological nature), pengalaman psikologis dan pembelajaran (the
17
psychological experience and learning), dan sosiologis dengan adanya interaksi
antar kelompokataupun kelompok dengan dunia/lingkungan eksternal.
Bagi organisasi atau perusahaan, ‘MEMEs memegang peran sentral
terhadap budaya perusahaan yang akan menentukan bagaimana dan mengapa
keputusan diambil yang menggambarkan kualitas keputusan-keputusan tersebut
yang pada gilirannya akan menentukan bagaimana kelangsungan hidup organisasi
tersebut. Bagi setiap orang, ‘MEMEs merupakan tiang utama bagi personalitas
kita, dan menentukan gaya bagaimana kita membangun hubungan dengan orang
lain dan juga menentukan kita dalam memberi makna terhadap suatu pengalaman/
peristiwa yang kita alami. Sejauh mana pemberian makna ini begitu penting,
pernyataan di bawah ini bisa memberikan gambaran lebih jauh ;
“ Bukan peristiwa atau kejadian yang akan menentukan
akan menjadi apa kita hari ini dan esok, tetapi makna
yang kita berikan terhadap kejadian/peristiwa yang kita alami tersebut”
Anthony Robbins Awaken The Giant Within,1991
Genetika pada manusia berkembang secara perlahan dan sekali terbentuk
dia akan menetap/ tidak berubah. Sebaliknya pola pikir atau sistem dalam
pengambilan keputusan ditentukan oleh ‘MEMEs terjadi jauh lebih cepat, tidak
statis tetapi dapat berkembang/berubah dengan berjalannya waktu. ‘MEMEs
begitu dominan dalam berbicara mengenai pembentukan perilaku manusia dan
dapat dilihat sebagai suatu archetype dan sering kali dipahami secara keliru
sebagai tipologi manusia. Perlu dipahami konflik pada MEMEs akan membuat
masalah pada individu itu sendiri, tidak berfungsinya suatu keluarga, bencana bagi
18
perusahaan, perpecahan pada lembaga keagamaan, dan bahkan bagi suatu
peradaban akan membuatnya bergerak ke arah kehancuran.
Dapat dijelaskan lebih jauh bahwa’MEMEs ini dapat dikatakan sebagai :
1. Suatu init kecerdasan yang membentuk berbagai sistem dan mengarahkan
perilaku manusia.
2. Ia sebagai suatu kerangka pengambilan keputusan (decision making
framework) yang berdampak terhadap semua pilihan dalam kehidupan.
3. Setiap’MEME dapat memanifestasikan dirinya baik dalam keadaan sehat
(positif) ataupun tidak sehat (negatif) bagi dirinya ataupun orang lain.
4. Setiap “MEME adalah suatu struktur berpikir yang berdiri sendiri dan
berbeda, tidak hanya berupa suatu kumpulan gagasan (set of ideas), nilai-
nilai atau sekadar sebagai suatu penyebab.
5. Ia dapat redup dan bersinar (bright) saat berbagai kondisi kehidupan (life
conditions) berubah (berupa waktu yang bersejarah, lokasi geografi,
berbagai masalah yang dihadapi, dan lingkungan sosial).
DUNIA ADALAH MANUSIA YANG EFEKTIFA: Keadaan adalah semesta N: Bertindak seperti hewan-hewan lainnya B: Misterius dan menakutkan O: Menghormati roh-roh dan hidup dalam
kelompok /klan agar aman C: Keras/ tangguh seperti hutan P: Berjuang untuk hidup dan mendominasi
pihak lain/ alam D: Dikendalikan dan dibimbing Q: Patuh pada otoritas yang sah dan
oleh ruh yang baik/ tuhan pada kebenaran E: Penuh dengan berbagai R: Secara pragmatis menguji berbagai
kemungkinan alternatif untuk sukses F: Habitat dari semua S: Masyarakat yang bekerja sama untuk
kemanusiaan berkembang G: Menuju kehancuran T: Belajar mengenai kehidupan dan
kebebasan individu H: Satu entitas untuk semua U: Mencari tatanan baru pada dunia yang
19
‘MEME MOTIF DASAR1. KUNING TANAH BENGE
(survival sense) (A-N, Dunia 1)
- Bertahan hidup berdasarkan kemampuan instinktif atau fisik semata
2. UNGU/PURPLE (kin spints)(B-O, dunia 2)
- Hubungan darah/ keluarga dan mistis dalam suatu dunai magis dan menyeramkan/ mengerikan
3. MERAH/ RED (kekuatan dewa-dewa(C-P, dunia 3)
- Berupaya agar memiliki kekuasaan dan memaksakan kekuasaannya atas orang lain dan alam melalui kebebasan yang eksploitatuf
4. BIRU /BLUE (kekuatan kebenaran) (D-Q, dunia 4
- Kebenaran mutlak pada satu cara yang benar patuh pada otoritas
5. ORANYE/ORANGE(strive drive)
- Pemikiran yang cenderung berpusat pada upaya agar segala sesuatu menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri saja
6. HIJAU /GREEN (human bond)(F-S, dunia 60
- Memberikan prioritas tinggi untuk kesejahteraan manusia dan membangun consensus
7. KUNING/YELLOW (flexflow) (G-T/A’-N’, dunia 7)
- Adaptasi yang lentur terhadap perubahan melalui keterkaitan dan cara pandang gambaran menyeluruh
8. PIRUS/TURQUOISE(pandangan global) (H-U/B’-O, Dunia 8)
- Perhatian pada dinamika dunia secara menyeluruh dan langkah-langkah aski pada tatanan mikro
20
BAB 3
OTAK DAN TANTANGAN PEMBELAJARAN
Tuntutan yang harus dipenuhi untuk dapat menyikapi secara tepat
tantangan perubahan lingkungan yang dihadapi saat ini adalah kemampuan
antisipatif bukan hanya proaktif apalagi reaktif untuk berubah secara cepat dan
tepat. Bahkan pada umumnya tuntutan perubahan pun tidak cukup hanya berupa
suatu perubahan restrukturisasi melainkan harus berupa transformasi. Menyikapi
tantangan perubahan bukan dengan mengeluh apalagi menyalahkan lingkungan
atau situasi yang berubah, termasuk menyalahkan globalisasi yang sedang terjadi.
Kemampuan untuk berubah pada seseorang mensyaratkan adanya keinginan dan
semangat belajar dan menjadikan belajar adalah bagian dari hidupnya. Disamping
itu, harus juga dipenuhinya tuntuan untuk mampu menjawab pertanyaan to lean
how to learn, how to unlearn, and hot to re learn. Jawaban atas pertanyaan ini
yang merupakan tantangan dalam membangun proses pembelajaran berkelanjutan
yang berdaya saing tinggi adalah dengan menjawab tantangan howthe brain learn
best.
Pembelajaran (learning) saat ini disebut sebagai suatu keterampilan untuk
bisa bertahan hidup (survival skill) baik untuk individu, organisasi, ataupun suatu
masyarakat bahkan bangsa sekalipun, “learning is the only survival skill today in
global competition” Perubahan pada diri seseorang sebagai hasil dari suatu
proses pembelajaran akan terlihat dari adanya perubahan perilakunya. Untuk itu
setiap orang harus dapat membangun perilaku pembelajaran (learning behavior)
21
agar belajar menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Proses membangun
perilaku pembelajaran akan berjalan baik dan berhasil bila seseorang telah
memiliki mental pembelajaran (learning mental).
Proses pembelajaran adalah proses mengisi/ menambah kekurangan yang
dimiliki seseorang yang harus tampil dalam perilakunya yang menjadi lebih
kompetitif /baik dari sebelumnya. Bila kemampuan ini tidak dimiliki maka cepat
atau lambat akan mengancam eksistensinya. Kekurangan ini bisa terjadi karena
adanya peningkatan ataupun perubahan tuntutan yang harus dihadapi seseorang
atau sekelompok orang, organisasi dan sebagainya.
OTAK MANUSIA PUNCAK MAHAKARYA TUHAN DI BUMI
Pada decade 90-an para ilmuwan negara-negara maju memahami dan
menyepakati bahwa kompleksitas serta keluarbiasaan otak manusia merupakan
puncak Mahakarya dari Tuhan YME. Tidak ada ciptaanNya di dunia ini yang
melebihi kehebatan otak manusia ini. Padangan semual bahwa sistem ruang
angkasa yang dianggap sebagai puncak dari Mahakarya Tuhan YME ternyata bila
dibandingkan dengan kompleksitas dan keluarbiasaan otak manusia, tidak ada
apa-apanya ciptaan yang luar biasa ini ada di kepala kita masing-masing, suatu
potensi luar biasa yang relatif tidak terbatas the great potential inside.
Kecerdasan Manusia
Pada tidak sejak perang dunia II lalu kita hanya mengenal secara luas adanya dan
peran strategis dari kecerdasan intelektual yang untuk mudahnya digunakan
singkatan IQ (intelellectual quotient). Kata intelligence berasal dari bahasa latin
22
intelligere yang artinya menghubungan atau menyatukan satu sama lain.
Kecerdasan intelektual atau kecerdasan inteligensia seseorang dapat diukur
dengan sebuah tes inteligensia (IQ tes) dengan ukuran kuantitatif sebagai berikut.
Kecerdasan rata-rata (average) dengan angka IQ 90 – 109, di atas rata-rata (above
average) dengan angka IQ 110-119, cerdas dengan angka IQ 120-129, dan jenius
dengan angka IQ 130 keatas. Sejak ditemukan alat ukur ini IQ digunakan sebagai
ukuran untuk ‘melihat; masa depan seseorang dalam kariernya. Makin tinggi IQ-
nya makin cemerlang masa depannya dan sebaliknya. Memasuki decade 90-an
penelitian mengenai otak yang dilakukan bertahun-tahun lalu telah memberikan
paling tidak dua tonggak besar yang mengoreksi posisi dan peran strategis dari
IQ.
Ditemukannya kecerdasan emosional disusul dengan kecerdasan spiritual
telah ‘mengakhir dominasi’ IQ. Penelitian yang dilakukan para pakar dari
beberapa negara maju pada decade 90-an memang menunjukkan bahwa peran
kecerdasan yang berada pada limbic system (EQ dan SQ) dari otak manusia
memberikan kontribusi minimal 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam
karier ataupun hidupnya, sedangkan kontribusi kecerdasan yang berada pada
neocortex manusia (IQ) hanya memberikan kontribusi maksimal 20% terhadap
keberhasilan hidup dan karier seseorang. Dari porsi kontribusi 80% dari EQ dan
SQ tersebut, ternyata kontribusi SQ minimal sebesar 48% dan EQ sebesar
minimal 38% terhadap keberhasilan hidup atau karier seseorang. Makna minimal
dalam kontribusi EQ dan SQ artinya masih dapat lebih besar lagi sedangkan
makna maksimal dan kontribusi IQ artinya dapat lebih rendah dari itu. Karenanya
23
setiap leader dalam abad otak dan millennium pikiran ini dituntut memiliki SQ
yang tinggi.
Sebenarnya masih banyak pandangan yang dikemukakan mengenai
kecerdasan manusia. Artinya tidak terbatas pada tiga kecerdasan tersebut diatas.
Paling tidak bisa menambahkan misalnya Adversity Quatient (AQ) yaitu
kecerdasan dalam menangani berbagai tantangan (handling challenges).
Resillency Quatient kemampuan untuk bangkit kembali (ability to bounce back).
Memasuki abad ke-21 ini bertambah lagi paling tidak dua pemahaman
mengenai kecerdasan yang masing-masing disebut sebagai kecerdasan spiral
(spiral quotient). Kecerdasan spiral dari spiral dynamics sebagai “knowlegde of
why and how human system change” Gambaran kecerdasan yang dikemukakan
dalam spiral dynamics juga memberikan gambaran menyeluruh mengenai
berbagai pemahaman mengenai kecerdasan yang berkembang pada saat ini.
Kerusakan Bukan Pada Pesawat TV Saya
Observasi lapangan yang saya lakukan pada beberapa perusahan di negara
kita, baik swasta nasional maupun BUMN, bahkan juga dibeberapa lembaga/
organisasi non-profit lainnya, memperlihatkan bahwa kepemimpinan yang
memiliki pola pikir yang kompetitif merupakan masalah yang dihadapi mereka.
Dari observasi terhadap lembaga politik dan birokrasi kita kiranya kesimpulan
yang sama akan diperoleh.
Ganjalan utamnya justru pada mental model yang saya sebut dengan
mental “the black kambing” atau mental “kerusakan bukan pada pesawat TV
24
saya” atau “mental mungkir” (denaying). Rizal Nurdin yang kebetulan Gubernur
Sumatera Utara juga menemukan indikasi kuat bahwa permasalahan utama dari
para pemimpin dari kebanyakan para elit politik dan jajaran birokrasi di daerahnya
adalah pada sikap mental yang belum menunjukkan sikap mental sebagai
pemimpin.
Neural Path Way dan Perilaku Manusia
Berubah pada dasarnya adalah menerima sesuatu yang baru ataupun yang berbeda
dengan apa yang sudah ada “dikepala” kita dan terlihat pada perubahan pola pikir
yang pada gilirannya terlihat dalam perilaku kita. Bahkan berubah sebenarnya
mengganti yang sudah ada “di kepala” kita dengan sesuatu yang baru, yaitu
mengubah atau mengganti kebiasaan perilaku tertentu yang sebelumnya sudah
menyatu dengan diri kita atau disebut kebiasaan. Suatu proses “menghapus”
neural path –way lama (unlearning process) dan menggantinya dengan neural
path way baru yang berbeda (learning system).
Sebenarnya perilaku kita sehari-hari adalah refleksi dari pola pikir kita.
Kebiasaan kita berperilaku dikendalikan oleh “program” diotak kita. Program
inilah yang mengendalikan dan membuat kita mampu melakukan kebiasaan kita
tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Semua program yang ada diotak kita
tersebut kitalah yang membangunnya. Namun pada umumnya program tersebut
kita bangun tanpa kita sadari. Sekali program tertentu sudah terbentuk maka
perilaku kita akan tampil sesuai dengan program tersebut yang disebut kebiasaan.
25
Semakin kuat program dimaksud semakin kuat tampil dalam perilaku kita yang
disebut dengan kebiasaan.
PEMBELAJARAN DAN PERUBAHAN
Pembelajaran (learning) adalah suatu proses yang akan membawa seseorang
berubah menjadi lebih baik atau lebih meningkat sesuatunya dari sebelumnya.
Setiap pemimpin harus selalu mampu berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya
dalam menghadapi tantangan turbulensi agar peran, agar tugas dan
tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk itu dia dituntut untuk
selalu menjadikan pembelajaran sebagai bagian dari sikap mental/ pola pikir dan
perilakunya (learning mental and learning behavior).
Pembelajaran adalah sebuah proses yang menuntut pengorbanan dari diri
sendiri berupa kerja keras melalui berbagai upaya yang harus dilakukan. Karena
proses pembelajaran adalah proses perubahan, kita bukan hanya dituntut kerja
keras tetapi juga dituntut untuk mau dan siap menghadapi resiko dalam proses
perubahan yang dilakukan.
Bahkan kita sudah cukup akrab dengan pernyataan seperti “life is learning
proses”. Agama Islam mengajarkan lebih jauh lagi melalui Hadist Nabi
Muhammad SAW “Belajarlah kamu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. Dari
sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan sesuatu yang
penting yang harus menjadi bagian dari perilaku kita selama hidup. Suatu amana
yang diberikan sang pencipta kita melalui titipNya di otak kita yang disebut
dengan The learning brain.
26
MENTAL PEMBELAJARAN
Mental pembelajaran merupakan suatu proses yang tidak terlihat yang terjadi pada
otak kita. Proses membangun mental pembelajaran melibatkan dua bagian otak
yaitu rasional dan otak emosional. Dalam proses ini otak emosional justru sangat
berperan menentukan keberhasilan proses tersebut. Sebenarnya proses
membangun mental pembelajaran ini begitu sederhana dan mudah bagi seseorang
tetapi sebaliknya justru bisa saja menjadi begitu sulit bagi orang lain. Proses ini
terdiri atas tiga tahapan. Pertama, tahapan membangun penyadaran diri (self
awarness), tahapan kedua adalah membangun dorongan diri (self acceptance) dan
terakhir adalah membangun dorongan dalam diri untuk meningkat (self
improvement). Ketiga tahapan ini terjadi begitu cepat dalam otak kita dalam
hitungan beberapa detik.
PERILAKU PEMBELAJARAN
Perilaku pembelajaran (learning behavior) merupakan bagi dari perilaku yang
harus dimiliki oleh setiap pemimpin bahkan juga oleh setiap orang. Tanpa adanya
perilaku pembelajaran tidak mungkin seseorang akan bisa berubah. Perilaku
pembelajaran merupakan suatu proses membangun kebiasaan yang menjadi
bagian dari perilakunya sehari-hari (embodied). Perilaku ini merupakan bagian
dari proses pembelajaran dan merupakan tindak lanjut setelah kita berhasil dan
mampu memiliki mental pembelajaran.
27
BAB 4
PARADIGMA BARU PEMIMPIN ABAD
OTAK DAN MILLENNIUM PIKIRAN
Bila kita mengkaji perubahan lingkungan eksternal ini pada lingkup suatu
organisasi/ institusi kita akan melihat bahwa cara-cara mengelola manusia pada
saat ini berbeda dengan paling tidak sepuluh tahun lalu. Para atasan dalam
organisas harus mampu mengubah pola pikir (itangible) dan harus terlihat dalam
tampilan perubahan perilakunya (tangible) dalam mengelola para “bawahannya”
kalau ingin menjadi “atasan” yang berhasil. Untuk itu kemampuan mengelola
“bawahan” yang hanya bersandarkan pada otoritas atau wewenangan formal saja
(formal authority) jauh dari cukup. Mereka harus mampu membuat otoritasnya
diterima oleh otak emosional (limbic system) bukan hanya oleh otak rasional
(neocortex) dari para “bawahannya” sehingga dia diterima baik secara formal
berdasarkan ketentuan organisasi yang ada maupun juga secara personal dari
orang-orang di sekitarnya baik secara emosional dan spiritual (emotionally and
spiritually acceptend). Hal ini hanya bisa dilakukan bila para atasan tersebut
adalah juga seorang leader (pemimpin) bukan hanya pimpinan.
The Singer Not The Song Syndrome
Konflik “atasan” versus “bawahan” sebagaimana diutarakan saat Gus Dur menjadi
presiden, yang dibahas pada bab I, memperlihatkan perubahan yang begitu
mendasar yang tidak terbayangkan akan terjadi pada paling tidak sepuluh tahun
28
lalu. Dari berbagai bentuk perilaku “pembangkangan” yang terjadi dari para
“bawahan” terhadap “atasan” mereka memperlihatkan adanya benang merah yaitu
hilangnya rasa hormat dan/ atau rasa percaya dari para “bawahan” terhadap
“atasan” mereka. Mereka tidak “takut” lagi terhadap peraturan yang berlaku,
mereka lebih melihat pada “siapa” atasnya ketimbang ‘apa” yang diucapkan oleh
atasannya tersebut.
Kalau kita mencermati akan terlihat berkembangnya suatu gejala yang
begitu jelas yang saya sebut sebagai the singer not the song syndrome, yaitu
sindroma penyanyinya bukan lagunya”. Para “penyanyi” tidak bisa lagi
mengandalkan pada “lagu” ang mereka “nyanyikan” pasti akan didengar oleh para
pendengar walaupun lagunya sedang “ngetop”. Pendengar hanya mau
mendengarkan lagunya sedang “ngetop”. Pendengar hanya mau mendengarkan
lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi yang mereka cintai. Karenanya para
“penyanyi” dituntut mampu menjadi penyanyi yang mampu membuat para
“pendengarnya” menjadi “jatuh cinta” padanya.
“Penyanyi” yang mereka cintai adalah para atasa, yang mampu
membangun rasa percaya (trust) dari para “bawahan”, sekaligus juga mampu
membangun rasa hormat (respect) mereka pada atasan tersebut. Kedua tuntutan
itulah yang merupakan tantangan untuk setiap leader di abad otak dan millennium
pikiran ini. Artinya leaders pada awal abad ke 21 ini adalah orang atau para atasan
yang mampu membuat para “bawahannnya” trust dan sekaligus respect padanya.
29
PERBEDAAN LEADER DAN MANAGER
Perbedaan antara leader dengan managers yang bila kita ringkas akan
memberikan gambaran kurang lebih berikut ini:
Leadership(Doing the right things)
Management (Doing things right)
Manusia Administrasi Transformasi Pemeliharaan Arah (direction) Jangka panjang & strategis Apa dan mengapa Komitmen Kerjasama tim Pemberdayaan Prinsip-prinsip Maksud tujuan Dll
Sesuatu sistem & struktur Inovasi Transaksional Perubahan Kecepatan Jangka pendek & operasional Bagaimana Kepatuhan Atasan –bawahan Pengendalian Tehnis praktis Cara/metode
Perbedaan ini mempunyai konsekuensinya masing-masing. Seorang
manager harus melakukan tugas pekerjaan yang diberikan oleh orang atau otoritas
yang lebih tinggi dan dia harus melakukannya sesuai dengan aturan main yang
juga diberikan padanya. Jadi, asalkan dia sudah melakukan tugas/ pekerjaan
sesuai dengan ketentuan yang ada, seandainya hasilnya belum seperti yang
diharapkan, dia praktis tidak akan disalahkan atau paling tidak dia tidak merasa
salah. Yang penting tidak terjadi “kesalahan prosedur”. Konotasinya adalah
seorang manager bekerja berdasarkan tatanan atau aturan yang ada sebagai
batasan, dan disebut sebagai berorientasi pada aturan (rules and regulation
oriented). Dengan kata lain, asalkan dia sudah bekerja sesuai aturan yang ada tapi
hasil akhirnya belum seperti yang diharapkan bukan menjadi tanggung jawabnya.
Perbedaan antara manager dengan leader ini dapat juga dilihat dari sisi
berikut ini.
30
Management Leadership
Berurusan dengan kompleksitas Mengelola kompleksitas dengan
planning & budgeting Mengembangkan kapasitas organisasi
untuk merealisasikan rencana dengan organizing & staffing
Memastikan mencapai apa yang direncanakan dengan melakukan controlling & problem solving
Berurusan dengan perubahan Memimpin perubahan yang konstruktif
dalam organisasi dengan menetapkan arah.
Attuning people, mengomunikasikan dengan menyakinkan sehingga timbul sinergi dari organisasi dalam menuju tujuan bersama
Memotivasi dan memberi inspirasi pada orang-orang di organiasinya
Dari perbedaan tersebut kita dapat melihat dengan jelas adanya tuntutan
faktor intangible yaitu sisi lunak dari manusianya (the soft side) yang berbeda dan
akan terlihat dari tindakan, keputusan dan berbagai tampilan perilakunya
(tangible) antara manager dengan leader. Jadi bukan sekadar perbedaan dalam
wawasan, kemampuan konseptual dan sebagainya yang bersifat hard skills.
Perbedaan yang mencolok justru pada soft skillnya.
Kedua peran ini sama-sama penting untuk keberhasilan suatu organisasi
dalam berbagai skala. Dapat dikatakan management (manager) dengan leadership
(leader) seperti satu mata uang dengan dua sisi. Berbicara perubahan dari suatu
organisasi, berarti kita berbicara peran pimpinan sebagai pemimpin. Perubahan
suatu organisasi hanya mungkin terjadi dan dilakukan oleh seorang leader
pemimpin. Tanpa leader tidak akan ada perubahan. Singkatnya dikatakan bahwa
tugas leaderi adalah leading change.
Sebaliknya perubahan yang dilakukan oleh leader prosesnya akan berjalan
dengan baik bila juga melibatkan peran manager karena tugas manager adalah
managing change. Tanpa adanya peran manager maka proses perubahan yang
dilakukan oleh seorang leader dapat menjadi kurang tertata dengan baik. Jadi
31
masing-masing mempunyai perannya dengan kontribusi yang berbeda untuk
keberhasilan suatu organisasi dalam menghadapi tantangan perubahan eksternal
yang dihadapinya dalam situasi turbulensi dewasa ini. Tuntutan pada saat ini
adalah setiap manager harus juga mampu berperan sebagai leader atau sebaliknya
dan mereka harus tahu kapan memainkan peran tersebut.
PARADIGMA BARU KEPEMIMPINAN
Menjelang akhir decade 90-an kita memasuki era persaingan yang disebut era
daya saing kecerdasan-competitive intelligence era, yang begitu berbeda bila
dibandingkan dengan situasi persaingan saat kita memasuki awal decade 90-an.
Bahkan di awal abad ke 21 ini situasi persaingan dalam globalisasi meningkat lagi
yang disebut brain to brain competition in knowledge economy dengan ciri-ciri
yang disebut cut throat competition. Persaingan “gorok leher” ini akan
menampilkan dua kelompok sebab konsekuensinya yaitu kelompok pemenang
(the winners) dan kelompok korban (the victims).
Sekali kita berada dalam kelompok korban, kita akan begitu sulit untuk
bisa melepaskan diri dari posisi ini. Mereka-mereka yang menjadi pemenang akan
terus berusaha menempatkan para korbannya dalam posisi seperti itu agar dapat
dieksploitasi terus menerus untuk kepentingan para pemenang selama mungkin.
Suatu situasi yang begitu berbeda dengan persaingan masa lalu yang
menampilkan kelompok pemenang (the winner) dan pecundang (the loser) yang
dapat berganti posisi relatif lebih mudah. Dengan demikian apa yang disebut
sebagai copetition sudah tidak berlaku lagi. Paling tidak kalaupun terjadi lebih
32
banyak bersifat sementara agar sama-sama sebagai the winner dapat
memanfaatkan secara maksimal pihak yang menjadi the victims.
TUNTUTAN PERGESERAN PERILAKU LEADERS
Dari perbedaan tuntutan peran antara manager dengan leader dapat dikatakan
secara singkat bahwa manager dalam menjalankan perannya lebih menekankan
pada pertimbangan aturan serta berbagai sistem yang semuanya bersifat formal
dan rasional. Artinya lebih mendasari tindakannya pada pemanfaatan IQ atau
bagian otak rasionalnya (neo cortex). Sebaliknya seorang leader lebih
menekgakan pada aspek manusianya dengan menekankan pada penggunaan EQ
dan terutama SQ, baru IQ. Pada konsep masa lalu perbedaan ini dalam penjelasan
yang sederhana sebagai perbedaan seorang manager yang lebih berorientasi pada
tugas (task oriented) ataukah berorientasi pada manusia yang menjalankan tugas
tersebut (people oriented).
Pergeseran Perilaku Leader
Dari Menjadi Bertumpu pada neocortex (otak rasional) Bertumpu pada limbic system (otak
emosional)
Lebih menekankan pada pertimbangan IQ dan belum dikenal penggunaan EQ terlebih lagi SQ
Lebih menekankan pada pertimbangan SQ, dengan spiritual capital yang didukung oleh EQ dan IQ
Berpikir linear Berpikir lateral dan serba sistem yang komplek adaptif (lateral and complex adaptive systema thinking)
Pengetahuan dan keterampilan Mastery
Academic smartness Street smartness
Explicit knowledge Tacit knowledge (sense & intuition)
Mengarahkan Meng-coach, menginspirasi
33
menyamakan pola pikir (attuning) Hierarkial (atas bawah) Bekerja dalam team (teamwork)
Pergeseran ini memperlihatkan adanya kecendrungan yang semakin
menempatkan sisi lunak (soft side) manusia menjadi semakin penting dan semakin
dalam yaitu tidak sekadar dari sisi psikologis tetapi justru dari sisi otak dan
pikiran, termasuk posisi ‘DNA’ psikologi dan SQ dengan kualitas spiritual
capitalnya yang mampu membuat dirinya dan organisasinya menjadi lebih
kompetitif berkelanjutan.
Kita bisa melihat dengan lebih jelas rangkaian kait mengkait mengenai
keberhasilan suatu organisasi termasuk keberhasilan transformasi organisasi
tersebut dengan leadernya. Kualitas suatu organisasi apa pun dari berbagai skala
dan bentuk ditentukan atau berbading lurus dengan kualitas leadernya. Artinya
kalau kita ingin mengetahui bagaimana kualitas suatu organisasi, lihatlah kualitas
leadernya yang juga akan menggambarkan bagaimana kualitas orang nomor
satunya. Apakah orang nomor satunya tersebut seorang manager, leader ataukah
super leader. Atau sebaliknya bila ingin kualitas organisasinya. Kemampuan
pengendalian dan optimalisasi serta peningkatan rasa dan perasaan ini merupakan
gambaran dari dua kecerdasannya yaitu SQ dan EQ.
MEMBEDAKAN LEADER DARI OTAKNYA
Kualitas seorang leader dalam suatu organisasi ditentukan oleh perpaduan antara
kemampuan manajerial yang didukung oleh keterampilannya untuk bekerja dalam
34
suatu tim (team work skill), dan kualitas kecerdasannya. Kualitas kecerdasan
merupakan gabungan dari tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual yang ada
pada neocortex, dan kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual yang ada
pada limbic system. Induk dari kecerdasan ini kecerdasan spiritual yang akan
menentukan bagaimana seorang leader memanfaatkan dua kecerdasan lainnya.
Kecerdasan spiritual ini disebut sebagai sumber kecerdasan, the edge of
intelligence.
Kecerdasan spiritual yang didukung oleh kecerdasan emosional
ditampilkan dalam perilaku oleh leaders dalam berinteraksi dengan orang lain
ataupun dengan lingkungan. Tingkat kecerdasan spiritual inilah melalui spiritual
capitalnya yang akan menampilkan kualitas ketegaran sikap dalam menentukan
pilihan yang dilandasi keyakinan serta prinsip–prinsip tertentu (guiding
principles) dan lainnya yang akan membuat orang lain merasa respek atau
sebaliknya. Sebenarnya dalam situasi yang gonjang ganjing di era global ini,
tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi sangat dibutuhkan baik oleh manager
ataupun leader sebagai individu dengan tetap danya perbedaan sesuai dengan
tuntutan peran dan tanggung jawab mereka masing-masing. Kecerdasan spiritual
yang tinggi akan membuat mereka menjadi orang-orang yang memiliki daya tahan
yang tinggi terhadap stress ataupun depresi, gigih, tidak mudah menyerah
(persistent) dan memiliki kemampuan tinggi untuk bertahan hidup yang pada
gilirannya akan menjadikan mereka orang-orang yang kompetitif.
Perbedaan dalam preferensi dominasi otak (brain dominance preference)
yang menggambarkan brain strengths, secondary streght serta brain resistence
35
seseorang yang menyebabkan mengapa perilaku seorang leader dan non leader
berbeda. Bahkan di antara leader sendiri bisa saja berbeda yang disebabkan
adanya perbedaan dalam perpaduan dari brain streght, secondary streght, dan
brain resistencenya. Walaupun demikian secara umum mereka memiliki
preferensi dominasi otak yang sama sebagai leader yang membuat mereka
memiliki beberapa perilaku utama yang sama yang memang membuat mereka
disebut sebagai leaders.
MENGEMBANGKAN OTAK LEADER
Melalui penelitiannya Herrman sampai pada suatu kesimpulan yang
menggembirakan bahwa preferensi dominasi otak ini dapat dikembangkan. Hal ini
sejalan dengan sifat plastis dari otak manusia. Kesimpulan ini didukung oleh
teknik-teknik yang dikembangkan Herrman melalui HBDI (Herrman brain
dominance technology) yang mampu mengubah preferensi dominasi otak
manager menjadi leader sejauh preferensi yang harus dirubah tidak termasuk
preferensi yang bersifat resistensi. Untuk itu orang yang bersangkutan harus
melakukan berbagai latihan (exercise) baik dirumah ataupun di tempat kerjanya
setelah tentunya di mengetahui preferensi mana yang harus dikembangkan
ataupun sebaliknya preferensi mana yang harus dikurangi bila bertentangan
dengan tuntutan preferensi untuk leader.
Pengalaman empiris kami menunjukkan proses perubahan ini
membutuhkan waktu sekitar 4- 6 bulan dimana hasilnya mulai terlihat dan harus
dilanjutkan terus selama paling tidak sampai dengan satu tahun. Setelah itu maka
36
proses perubahan yang bila dianalogikan seperti bola salju, dia sudah mampu
bergulir sendiri dan semakin kuat asakan jangan “diganggu” dengan kembali
mengerjakan pekerjaan/ tugas-tugas yang menghambat proses perubahan untuk
membangun preferensi dominasi otak sebagai leader.
Secara generik bila dilihat dari aspek pekerjaan, memperlihatkan mengapa
seorang leader harus memiliki brain strengths pada kuadran otak D-nya, dan
sebaliknya bagi manager dituntut harus memiliki brain strengths pada kuadran
otak B-nya.
BAB 5
KUALITAS MODAL SPIRITUAL SERTA JENJANG ‘DNA’
PSIKOLOGIS SOSIAL SEORANG PEMIMPIN
37
Bab ini akan dibahas mengenai kualitas leader dengan fokus pada peranan
sentral dari kualitas atau tingkat kematangan spiritual yang tinggi. Sekaligus
bahasan juga dari’DNA’ psikologis sosialnya. Seseorang yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi akan terlihat dalam tampilan perilaku yang
menunjukkan kematangan secara spiritual (spiritually nature). Dia akan menjadi
seseorang yang memiliki prinsip yang kuat atau orang berkarakter dan mampu
memberikan manfaat positif untuk kepentingan orang banyak.
Hal ini sangat diperlukan karena tantangan utama dan yang paling penting
yang dihadapi seseorang pemimpin adalah tantangan dalam menghadapi era daya
saing kecerdasan yang menyangkut keyakinan dan makna (belief and meaning)
yang sering kali tampil dalam bentuk pilihan yang menuntut ketegaran dan
kemantapan dalam menentukan sikap dan pengambilan keputusan. Tantangannya
sering kali muncul dalam bentuk konflik nilai-nilai yang harus dihadapi setiap
organisasi dalam sistem ekonomi kapitalisme dengan persaingan’gorok leher”
Berbagai tantangan dalam bisnis tidak terlepas dari tantangan dalam
politik antarnegara berupa konflik kepentingan. Campur tangan kekuatan politik
dalam bisnis sudah bukan sesuatu yang aneh lagi, bahkan kalau perlu dengan
menggunakan berbagai tekanan termasuk tekanan kekuatan militer,’persaingan’
antar negara dalam globalisasi, khususnya upaya negara industri maju pada
umumnya terutama pemerintah Amerika Serikat yang sering menggunakan
standar gandanya (double standard) dalam menentukan yang benar/ salah dan
baik/buruk, sangat membingungkan dan merugikan negara lain.
38
Untuk itulah pemimpin harus merupakan sosok yang tangguh, sosok yang
berkarakter, yang untuk itu harus memiliki posisi spiritual capital dan sejalan
dengan jenjang’DNA’ psikologis sosialnya yang tinggi. Dia tidak hanya dituntut
mampu melihat dan memahami akar permasalahan dengan tepat dari kompleksitas
permasalahan yang dihadapinya. Dia juga dituntut untuk memiliki kecerdasan
spiritual yang baik. Kecerdasan spiritual yang baik yang dapat dilihat dari posisi
jenjang spiritual capitalnya yang tinggi atau jenjang ‘DNA’ psikologis sosialnya
yang berkualitas akan menentukan sejauh mana dia mampu menjadi pemimpin
yang super yang memberi manfaat pada organsasi, masyarakat, bangsa, dan
bahkan dunia (Super leader). Suatu tantangan pada kualitasnya sebagai manusia.
Dalam memberi makna terhadap hidup dan kehidupan. Hanya pemimpin superlah
yang akan mampu memberikan nilai tambah pada hidup dan kehidupan organisasi
dan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan mampu menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangan organisasi/masyarakat yang dipimpinnya
(survive and growth), bahkan lebih luas lagi.
TANTANGAN INTELECTUAL/ HUMAN CAPITAL DALAM
KAPITALISME
Memasuki abad otak dan millennium pikiran ini, kita menghadapi
masyarakat dunia yang sangat diwarnai oleh kapitalisme dari negara-negara yang
secara ekonomi tergolong negara maju. Perhitungan untung rugi secara material
sangat diwarnai oleh keserakahan yang luar biasa, mau enak sendiri, dan lain
sebagainya. Hal ini semakin membuat jurang negara maju (kaya) dengan negara
berkembang (miskin) semakin besar. Hal ini terefleksi juga pada sebagian besar
39
negara terlebih pada negara berkembang dimana sebagian kecil masyarakat
menguasai ekonomi suatu negara yang membuat kesejangan kaya-miskin dalam
masyarakat di negara tersebut, semakin melebar.
Era Global adalah Era Krisis Makna. Pencarian makna dalam begitu
banyak aspek kehidupan di masyarakat dewasa ini, terlebih lagi mansayrakat
maju, merupakan bukti. Tidak banyak lagi orang, bahkan dalam dunia pendidikan
pun telah banyak dilupakan, mengenai pentingnya makna mengenai kehidupan.
Apakah hidup itu? Apa arti pekerjaan bagiku ? Apa maknanya bahwa saya akan
mati suatu saat dan pasti ? Kita tidak buta warna, tetapi banyak dari kita buta
makna.
Kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kita butuhkan karena semuanya
dikendalikan langsung ataupun tidak langsung oleh ‘selera’ negara-negara maju
atau dunia barat pada umumnya yang menempatkan kepentingan ekonomi sebagai
prioritas utama. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar negara
berkembang. Maraknya perampokan kayu dan ikan di Indonesia, semakin
meluasnya peredaran narkoba, dan masih banyak lagi yang semuanya terjadi
semata-mata untuk kepentingan segelintir orang yang merugikan masyarakat
banyak dan bangsa secara keseluruhan.
Kapitalisme sebagai acuan dasar diyakini mampu membawa kemakmuran
dan kesejahteraan dengan setiap pihak berupaya untuk meningkatkan daya
saingnya dengan memberikan yang terbaik. Kenyataannya justru sebaliknya,
kapitalisme menggambarkan kerakusan dari mereka yang kuat terhadap mereka
yang lemah, baik dalam skala perusahaan maupun bangsa. Intellectual/human
40
capital menjadi dasar dalam menentukan setiap keputusan yang justru
menyebabkan terjadinya instabilitas di dunia karena adanya dominasi ekonomi
dari negara-negara maju sebagai minoritas, khususnya Amerika Serikat terhadap
negara-negara berkembang sebagai kelompok mayoritas. Demikian juga hal yang
sama banyak terjadi dalam suatu negara atau pada suatu bangsa.
BAGAIMANA DI INDONESIA
Di Indonesia hal ini kita rasakan dengan adanya cukup banyak kalau tidak mau
dikatakan sebagai LSM yang bersuara lantang sebagai pahlawan yang membela
nasib rakyat. Predikat “Pahlawan” yang bukan tidak mungkin juga merupakan
bagian dari strategi besar yang dilakukan oleh dan demi keuntungan negara
adidaya tertentu atau kelompok kepentingan lain di luar negeri. Kegiatan mereka
seakan-akan membela kepentingan rakyat banyak. Mereka tampil dengan
membangun tabel persis seperti yang dijelaskan oleh John Perkins, sebagai
pahlawan yang memperjuangkan keadilan, pahlawan demokrasi, pahlawan
demokrasi, pahlawan HAM, dan berbagai issues lainnya dengan berbagai label
pahlawan yang dibangunnya. Sebenarnya mereka adalah orang-orang bayaran
yang mendapat alirn dana dari luar negeri. Mereka mau melakukan hal tersebut
karena kerasukan materi semata dengan berbagai pembenarannya yang seakan-
akan membela kepentingan rakyat banyak, demi keadilan, demi demokrasi, dan
segala macam demi lainnya sebagai pembungkusnya.
Kita tahu bagaimana kerja keras dari LSM seperti ini untuk memperlemah
dan bahkan menghancurkan integrasi Negara Kesatuan kita antara dengan
41
berbagai upaya memperlemah kekuatan TNI dengan
misalnya’mengkambinghitamkan’ sistem keamanandan pertahanan territorial
(Koramil), menentang upaya memperkuat sistem persenjataan TNI, meributkan
UU Intelijen, membuat berbagai keresahan atau kekacauan masyarakat di mana
kebanyakan melalui berbagai demonstrasi dengan menggerakkan karyawan,
elemen masyarakat lain, bahkan dengan menggunakan berbagai elemen
mahasiswa. Mereka begitu lantang seakan-akan membela kepentingan rakyat
banyak tetapi bila dikaji lebih dalam mereka kebanyakan menjalankan’pesanan’
untuk kepentingan beberapa negara industri maju. Di sisi lain para “pahlawan” ini
tidak bersuara saat kita dicurangi dalam referendum Timor Timur, misalnya,
Mereka menjadi diam saja bahkan terlihat acuh tak acuh bila negara industri maju
tersebut khususnya Amerika Serikat melakukan misalnya pelanggaran HAM baik
di Irak, penjara Guantanamo, tidak demokrasi dengan mendukung pemerintah di
banyak negara Amerika Latin yang justru ditaktor, penggunaan standar ganda, dan
sebagainya. saya tidak mengatakan semua kegiatan membela kepentingan rakyat
banyak dan menegakkan keadilan adalah kepanjangan tangan untuk kepentingan
negara lain, tetapi sebagian besar seperti itu. Bagaimana pula dengan terkuaknya
akhir-akhir ini berita adanya kegiatan CIA yang menggunakan pangkalan-
pangkalan militer atau lainnya di beberapa negara Eropa dan diduga juga di Asia
untuk penjara yang dioperasikan oleh CIA. Hal ini jelas-jelas melanggara
kedaulatan negara tersebut.
PERAN STRATEGIS KUALITAS SPIRITUAL CAPITAL
42
Kita harus menyadari bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual
(spiritual creature). Secara individual dalam kehidupan bermasyarakat banyak
dari kita tanpa sadar telah menjalani hidup tanpa tahu dan mampu menjawab
pertanyaan mendasar mengenai hidup dan kehidupan mereka kejar. Karenannya
tidak salah bila banyak dari mereka menjadi frustasi, terkena stress ataupun
depresi dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Mereka mencari sesuatu dalam
hidup yang mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka cari. Mereka hanya
merasakan ada ‘sesuatu’ yang hilang padahal begitu penting dalam kehidupan
mereka. Banyak dari kita membiarkan diri kita dikendalikan oleh berbagai
motivasi rendahan seperti kerakusan dan kemarahan. Kita melukai banyak orang
dan tanpa sadar kita melukai diri sendiri. Seirngkali hal ini terjadi karena kita
telah melakukan pilihan yang keliru dalam hidup kita tetapi tidak banyak dari kita
yang secara sengaja melakukan pilihan tersebut. Pada umumnya karena kita tidak
atau belum menyadarinya telah melakukan pilihan yang keliru ataupun yang
menyakitkan orang banyak bahkan merusak alam sekitar yang pada gilirannya
merusak kehidupan kita sendiri.
Karenanya tidak salah bila Era Global ini disebut sebagai Era Krisis Nilai-
nilai ataupun Era Krisis Makna. Tidak sedikit kelompok masyarakat berusaha
mencari ‘pegangan’ hidup dengan bergabung pada berbagai sekte atau berbagai
aliran tertentu dari banyak pemeluk hampir semua agama besar di dunia pada saat
ini. Kita lihat di Indonesia, tidak kurang melibatkan juga dunia artis, pejabat,
kaum intelektual dan sebagainya yang merasakan adanya kebutuhan yang begitu
penting yang belum diperolehnya dalam hidup. Kebutuhan yang mampu membuat
43
hidup dan kehidupannya lebih tenang, damai dan bahagia. Tidak ada pegangan
dalam hidup yang dialami oleh sebagian masyarakat saat ini memberikan dampak
berupa beban yang dirasakan begitu berat yang salah satunya adalah
berkembangnya “penyakit” masyarakat khususnya pada banyak negara industri
maju berupa stres.
KECERDASAN SPIRITUAL DAN MODAL SPIRITUAL
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan menyangkut moral (moral intelligence) yang mampu memberikan kita
pemahaman yang menyatu dalam diri kita untuk dapat membedakan sesuatu yang
benar dengan yang salah atau keliru.
Suatu kecerdasan yang mampu membuat kita meningkatkan kebaikan,
kebenaran/ kejujuran, merasakan keindahan dari hati yang dalam dan rasa welas
asih terhadap sesama yang merupakan sumber dari simpati dan empati. Karenanya
tidak salah bila kecerdasan spiritual juga disebut sebagai kecerdasan dalam jiwa
kita (soul intelligence) yang menyatu dalam diri kita (embodied) muncul dalam
pikiran (mind) perasaan dan membentuk karakter kita.
Disisi lain, spiritual capital merupakan formulasi dari kecerdasan spiritual
kita sehingga dapat dioperasionalkan dan menjadi dasar dalam gerak dan langkah
hidup dan kehidupan kita. Bila spiritual capital kita rendah kualitasnya maka akan
rendah pula motivasi dasar yang akan merefleksikan rendahnya kualitas hidup dan
kehidupan kita sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi
ini. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat kecerdasan spiritual kita. Spiritual
44
capital secara operasional berupa individual belief kita baik berupa belief dasar
(global belief) yang paling dalam (conviction), didukung oleh beliefs yang berupa
guiding principles (value), ataupun beliefs yang paling operasional yaitu if then
beliefs individual rules atau dalam konteks budaya organisasi disebut juga norma-
norma perilaku individual kita (individual norms behavior). Disamping tentunya
sekaligus merefleksikan sejauh mana seseorang menghayati makna dan arti hidup
dan kehidupan yang akan terlihat pada kualitas tujuan hidupnya (life goals)
sebagai acuan dasarnya.
Kualitas modal spiritual akan menentukan sejauh mana kita bisa mencapai
ketenangan yang sesungguhnya dalam hidup dan memperoleh kebahagian
(happiness) dan benar-benar hidup dirasakan sebagai tidak hampa (fulfillment)
terhadap apa yang kita capai ataupun peroleh, bukanya justra kehampaan
(emptiness). Dalam agama Islam disebut sebagai memperoleh berkah dan ridha
dari Allah SWT atau apa yang kita kerja dan capai dalam hidup kita. Dengan
kualitas modal spiritual yang tinggi kita akan mampu mensyukuri semua berkah
dan rezeki yang kita terima berapa besar pun tanpa kita lupa diri atau menjadi
sombong. Juga dengan modal spiritual yang tinggi kita mampu bersabar dalam
menerima atau menghadapi sesuatu yang tidak kita harapkan sehingga kita tidak
membuat diri kita tertekan secara mental atau kejiwaan. Semuanya bisa kita capai
karena kita mampu melakukan ataupun menerima sesuatu yang tidak kita
inginkan sekalipun dengan tetap bersabar dan rasa ikhlas. Kualitas spiritual capital
ini dapat dijelaskan secara praktis sebagai kualitas berarti dia memiliki modal
45
spiritual yang baik yang artinya memiliki tingkat kecerdasan spiritual yang baik
atau sebaliknya.
Kita akan tahu mau ke mana hidup kita dan mengapa demikian. Kita
mampu memberi makna terhadap arti hidup dan kehidupan sebagai mahluk paling
mulia ciptaan Tuhan di planet ini. Kualitas modal spiritual inilah yang akan
membuat kita sebagai manusia menjadi lebih mulia dari malaikat ataupun
sebaliknya menjadi lebih hina dari hewan. Kehadiran kita memberikan nilai
tambah pada hidup dan kehidupan sekeliling kita termasuk diri kita ataukah
sebaliknya, semuanya ditentukan oleh sejauh mana kualitas modal spiritual kita.
Motivasi yang timbul dari modal spiritual yang berkualitas tergambarkan pada
niat atau nawaitu yang menjadi pendorong untuk melakukan suatu kegiatan
bukanlah keuntungan material secara pribadi sebagai dijelaskan dalam pengertian
Intelectual/ Human capital dan tidak juga didasarkan oleh social capital.
Seorang ibu Theresia mau berbuat dan mengabdikan dirinya untuk kaum
miskin di Kalkuta – India merupakan contoh nyata bagaimana memahami
kecerdasan spiritual dengan modal spiritualnya yang mampu membuat hidup dan
kehidupan orang lain (banyak) di India berubah menjadi lebih baik tanpa harus
merugikan pihak lain. Bagi Anda yang beragama Islam, panduan utama mengenai
bagaimana tampilan perilaku seseorang yang seharusnya agar menjadi orang yang
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi atau berakhlak mulia sangat jelas yaitu
yang disebut sebagai manusia yang ikhlas dan rendah hati (tawadu’) yang mampu
membuat kehadirannya memberikan manfaat terhadap lingkungan, masyarakat
bahkan alam semesta semata-mata karena mengharapkan ridhanya Allah SWT.
46
Eksistensinya dengan perannya membuatnya mampu secara nyata memberikan
nilai tambah yang dilakukan dengan jujur dan tulus bagi peningkatan kualitas
hidup dan kehidupan orang banyak, bahkan alam semesta. Dalam Islam lebih jauh
dijelaskan juga sebagai orang-orang yang mampu menjalankan perintahNya dan
meninggalkan laranganNya. Tampilan perilakunya yang dalam agama Islam
disebut dengan orang yang berakhlak mulia.
Pelaksanaannya dimulai dengan lingkungan terdekat seperti keluarga,
tetangga, sanak saudara, selanjutnya pada masyarakat bahkan bangsa dan negara
serta juga dunia. Oleh karenanya bagi umat Islam tidak hanya diperintahkan untuk
melakukan sholat lima waktu tetapi diperintahkan untuk menegakkan sholat. Saya
memberi makna menegakkan sholat adalah menjadikan sholat bukan sekadar
ritual tetapi harus menyatu dan tampil dalam perilaku kita sehari-hari (embodied)
yang sudah menjadi neural path way yang akan memberikan kita ketenangan dan
kebahagian dalam menjalani hidup yang juga dijelaskan dalam Al Qur’an,
“ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, hati akan tenang”, sekaligus
menjadi manusia yang rahmatan lil alamin tersebut. Dalam Al Qur’an juga
dijelaskan sebagai berikut:
“Sungguh aku ini adalah Allah, tidak Tuhan selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku” (QS Thaha 20:14)Akan datang satu masa atas manusia, mereka melakukan shalat namun pada hakikatnya mereka tidak shalat”
Sebagai manusia yang menjadi rakhmatan lil alamin artinya dia pun
memperoleh kebahagian dan ketenangan yang sesungguhnya dalam hidupnya
dengan melakukan hal tersebut. Dia akan memperoleh fulfillment dalam hidupnya,
47
bukan kehampaan. Dia akan merasakan nikmatnya berupa memperoleh
kebahagian bukan sekadar kesenangan atas apa yang dicapainya, yaitu mendapat
ridho bukan laknat dari Allah SWT.
Bagi suatu organisasi, modal spiritual tercermin dari apa yang menjadi
keyakinan organisasi tersebut, untuk apa organisasi tersebut eksis, apa yang begitu
penting yang harus dicapai oleh organisasi, dan apa yang menjadi tanggung jawab
utamanya. Berbagai pertanyaan menyangkut modal spiritual bagi suatu organisasi
akan tertuang dalam misi organisasi yang menjadi dasar dan acuan dalam
menjawab mengapa dan untuk apa organisasi tersebut eksis. Jawaban atas
pertanyaan ini harus benar-benar jawaban yang menjadi keyakinan yang begitu
kuat dan menjadi komitmen bersama, suatu komitmen spiritual. Secara populer
rekan saya Sdr. Nono Kadiono S. Psy membedakan beberapa kualitas komitmen
dari yang paling rendah yaitu komitmen politik, komitmen rasional, hingga
komitmen emosional dan paling tinggi adalah komitmen spiritual. Bapak Giri S.
Hadihardjono sebagai salah satu pembicara dalam materi program angkatan IV
pelatihan Kepemimpinan Grup perusahaan BPIS tanggal 19 September 2001
menggambarkan bahwa komitmen adalah sesuatu yang sangat serius.
MOTIVASI DALAM SPIRAL DYNAMICS
Kajian dari spiral dynamics mengenai motivasi ini menjelaskan bahwa setiap
jenjang atau ‘MEME’ memiliki motifnya masing-masing dengan sistem nilainya,
48
termasuk juga motivatornya. Motif dasar ini yang mereflesikan kebutuhan dasar
dari seseorang yang menjawab pertanyaan ‘Mengapa seseorang melakukan/ tidak
melakukan sesuatu’.
LEADER, LEADERSHIP DAN LEADERSHIP MASTERY
Kualitas seorang pemimpin digambarkan dari kualitas kepemimpinannya
(leadership). Padahal kualitas kepemimpinan itu sendiri ditentukan oleh sejauh
mana leadershio msterynya. Dengan demikian kita dapat memberikan pengertian
bahwa Pemimpin adalah seseorang yang memiliki leadership mastery yang hebat.
Begitu banyak tulisan membahas mengenai pemimpin dan kepemimpinan ini
yang tentunya sangat ditentukan oleh mashab yang dipergunakan, pendekatan dan
sebagainya. Di samping juga begitu banyak aspek dari pemimpin dan
kepemimpinan yang dapat dibahas. Bahasan mengenai kepemimpinan dapat dari
aspek attribute kepemimpinan, aspek kompetensi, perilaku, peran dan sebagainya.
Ada pendapat yang melihat kepemimpinan yang efektif adalah
kemampuan memadukan atribut kepemimpinannya dengan hasil yang harus
dicapainya berupa dia memahami apa yang harus dilakukannya agar berhasil dan
dia tahu apa yang dibutuhkannya untuk bisa berhasil. Dengan demikian bila salah
satu tidak dimiliki maka kepemimpinannya menjadi tidak efektif. Bila seorang
pemimpin yang memiliki berbagai atribut kepemimpinan tetapi tidak mampu
menampilkan kinerja yang seharusnya sama dengan pemimpin yang berbakat dan
berkarakter tetapi tidak tahu apa yang dibutuhkannya untuk bisa menampilkan
kinerja yang seharusnya maka dia akan mampu mencapai sasaran namun hanya
49
jangka pendek saja. Karenanya untuk memahami atribut kepemimpinan ini kita
paling tidak harus mampu memahami siapa pemimpin itu, kemampuan apa yang
harus dimilikinya, dan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin. Pertanyaan
ini begitu mendasar dan sangat strategis bila kita berbicara mengenai pemimpin
dan kepemimpinan, sama seperti menjawab pertanyaan paling mendasar dalam
memimpin suatu perusahaan.
PEMIMPIN SUPER
Pemimpin super adalah seorang pemimpin yang mampu membuat orang-
orang yang dipimpinnya mau meningkatkan kemampuan dirinya untuk bagi
dirinya sendiri atau menjadi orang yang memiliki self mastery yang baik. Dia juga
mampu membangun komitmen dan membangun rasa memiliki yang akan
membuat mereka berusaha memberikan yang terbaik yang membuat mereka
berusaha memberikan yang terbaik serta mampu memberi makna terhadap tugas,
pekerjaan dan tanggung jawab serta peran dari para pengikutnya yang juga akan
membuat mereka mampu menentukan apa dan bagaimana mencapai berbagai
sasaran pekerjaan yang terbaik. Hal ini dilakukannya antara lain dengan
memberikan rekognisi terhadap eksistensi, peran dan hasil kerja para pengikutnya.
Dengan demikian, orang-orang ini akan memiliki kemauan dan kemampuan untuk
menggerakkan dirinya untuk selalu berusaha meningkatkan daya saingnya dan
mampu mengendalikan perilaku kerjanya agar sesuai dengan dan mendukung
tujuan dan strategi organisasi.
50
Kemauan Sebagai Professional
Menciptakan hasil yang luar biasa, merupakan katalisator perubahan dari
baik menjadi hebat. Menunjukkan keteguhan hati untuk melakukan hal-hal yang
diperlukan untuk mencapai hasil terbaik dalam jangka panjang seberapa pun
sulitnya. Membangun standar baku sebagai perusahaan yang hebat berkelanjutan,
tidak menerima dibawah standar tersebut.
Melihat cermin, bukan jendela untuk membagi tanggung jawab hasil-hasil
yang buruk, tidak pernah menyalahkan orang lain, faktor-faktor eksternal nasib
buruk.
Kepribadian Rendah Hati
Menunjukkan kerendahan hati, menghindari publikasi, tidak pernah
menyombongkan diri. Bertindak dengan tegar tanpa gembar-gembor, selalu
berangkat secara prinsipil pada standar yang istimewa, bukan pada karisma yang
memesona, dalam meningkatkan motivasi.
Menyalurkan ambisi pada perusahaan, bukan pribadi, mempersiapkan
pengganti demi keberhasilan yang lebih besar pada generasi berikutnya. Melihat
jendela, bukan cermin untuk membagi pujian dan penghargaan terhadap
kesuksesan perusahaan pada orang lain atau faktor-faktor eksternal dan nasib baik.
Kita bisa melihat di memang memiliki kualitas individual yang matang
dan mantap. Dia adalah orang yang memiliki tujuan hidup yang jelas, keyakinan
dan nilai-nilai yang kuat dalam menjalani hidupnya. Dia adalah orang yang
51
mampu menjawab dengan tepat “kenapa dia melakukan apa yang dia lakukan”.
Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki modal spiritual
yang tinggi atau berada pada jenjang kedelapan dari kelompok motivasi tingkat
tinggi yaitu motivasi pencerahan. Karenanya dia akan menjadi orang yang
memiliki dorongan diri yang sangat kuat dan tidak bisa dicegah untuk melakukan
berbagai langkah yang diperlukan untuk mencapai berbagai tujuan organisasi.
Bahkan dia tidak akan ragu-ragu untuk memberhentikan saudara kandungnya agar
organisasi yang dipimpinnya dapat menjadi organisasi yang hebat.
Eksekutif jenjang kelima ini menempatkan pengelolaan manusia dalam
posisi yang sangat penting yang berlandaskan tiga keyakinan sebagaimana
disampaikan Jim Collins 2001 yaitu:
1. Mulai dengan “SIAPA” daripada melihat lebih pada “APA” artinya yang
lebih penting adalah melihat siapa manusianya dari sisi kualitas yang bila
menggunakan istilah rekan saya Prof. Dr. Martani Huseini adalah melihat
wataknya bukan hanya kapabilias otaknya atau melihat SQ dan EQ nya
terlebih dahulu baru melihat IQnya.
2. Memiliki orang yang tepat berarti kita tidak akan menghadapi masalah
bagaimana memotivasi dan mengelola mereka lagi. Mereka sudah tahu apa
dan bagaimana melakukan tugas/ pekerjaan serta perannya dengan baik.
Dengan kematangan dari sisi spiritual dan emosional yang memadai akan
menghilangkan, paling tidak akan sangat mengurangi, beban untuk
melakukan pengendalian secara khusus.
52
3. Sebaliknya bila kita memiliki orang yang salah, kita tidak akan pernah
menjadi perusahaan yang hebat.
BAB 6
MENGGALI KEPEMIMPINAN INDONESIA
53
Memang benar sebagaian kita telah juga menerapkannya seperti antara lain
di kalangan TNI dikenal dengan 11 azas kepemimpinan TNI, Hasta Brata dari
POLRI, ataupun kepemimpinan yang dikemukana oleh Ki Hajar Dewantara, dan
lainnya namun sebagai masih belum dapat dijadikan acuan dalam berbicara
mengenai kepemimpinan kita sebagai bangsa Indonesia. Suatu acuan dalam
membangun kepemimpinan yang kompetitif bagi bangsa ini dalam menghadapi
tantangan di era global khususnya saat kita memasuki awal abad ke 21 ini. Dalam
berbicara kepemimpinan, sebagian besar kita masih lebih berkiblat ke barat.
Padahal di sisi lain di barat sendiri telah menyadari kelebihan dari Timur dalam
aspek ini yang dikenal dengan slogan ‘go east’. Kalau Jepang mampu berbicara
mengenai semangat bushido dalam kepemimpinan yang menjadi inspirasi banyak
dari kita.
Apa yang saya utarakan dalam bab ini lebih merupakan dorongan untuk
memacu kita semua untuk mulai melirik ke dalam diri bangsa kita untuk
menjadikan salah satu sumber utama dalam berbicara mengenai kepemimpinan
untuk kita, sekaligus sebagai kontribusi kita dalam berbicara mengenai
kepemimpinan secara umum. Masukan yang saya sampaikan ini tidak dilakukan
melalui penelitian yang mendalam sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, melainkan
melalui wawancara ataupun diskusi dengan beberapa orang yang dapat saya
jadikan sebagai narasumber. Masukan ini pun sebenarnya lebih sebagai
‘kebetulan’ karena saya memperolehnya melalui suatu proses yang lebih sebagai
kebetulan. Artinya tidak secara khusus saya berusaha memperolehnya.
54
NILAI-NILAI
Bagi pemimpin, nilai-nilai yang ada pada dirinya merupakan guiding
principles dalam menentukan berbagai sikap dan keputusan yang harus
diambilnya yang akan membuatnya tegar. Nilai-nilai tersebut bersumberkan pada
keyakinan dasar individualnya dimana bagi orang beragama, agama adalah
sumber dari individual beliefs dan valuesnya. Bila nilai-nilai adalah guiding
principles maka falsafah dapat dikatakan sebagai spirit atau jiwanya yang juga
bersumberkan pada global beliefnya. Sebagai negara dengan penduduk yang
beragama Islam terbesar di dunia, tentunya wajar bila agama Islam bagi sebagian
besar orang nilai-nilai inilah akan muncul pada sikap kita terhadap sesuatu dan
pada gilirannya juga akan membangun baik norma-norma perilaku individual
maupun norma-norma perilaku kelompok. Melalui norma-norma perilaku inilah
kita akan menentukan perilaku apa yang kita anggap benar atau salah. Hukuman
masyarakat adalah konsekuensi yang akan diterima seseorang oleh kelompoknya
karena menampilkan perilaku yang dianggap salah berdasarkan norma-normal
perilaku kelompoknya. Demikian juga tentunya bagi pemimpin yang lahir dan
besar di Indonesia.
PROSES PEMBELAJARAN
55
Proses pembelajaran terdiri atas proses membangun mental pembelajaran dan
perilaku pembelajaran. Khusus mengenai proses membangun perilaku
pembelajaran yang juga harus embodied yang artinya menjadi kebiasaan dalam
perilaku kita, dapat saya sampaikan yang berasal dari budaya Jawa yang disebut
Tiga N. Tiga N dimaksud adalah Niteni, Niruake, dan Nambahi yang juga
merupakan siklus.
Tahap ketiga atau terakhir dari siklus ini adalah Nambahi atau
menambahkan yang artinya kita melakukan peningkatan atau pengembangan dari
apa yang telah kita kuasai dari proses sebelumnya yaitu Niroake tersebut. Dari sini
tersirat bahwa proses pembelajaran harus memenuhi urutan tertentu sebagai suatu
protocol yang harus dipenuhi. Pesannya dapat dikatakan bahwa pembelajaran
menuntut kita untuk menghindarkan pola pikir instant, melahirkan membangun
pola pikir yang harus tampil dalam perilaku konsisten dan gigih, ulet.
PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN INDONESIA
Saya menyadari sepenuhnya bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan
Indonesia ini terlalu singkat, sederhana, minimal dan terbatas. Hal ini disebabkan
karena memang bahasan ini tidak dimaksudkan sebagai kajian lengkap mengenai
kepemimpinan Indonesia, melainkan lebih sebagai dorongan untuk dilakukannya
suatu penelitian lebih jauh mengenai pemimpin dan kepemimpinan Indonesia.
Diharapkan bahasan ini dapat menjadi dorongan bagi kita semua untuk melakukan
penelitian lebih jauh dan menyeluruh serta lengkap mengenai pemimpin dan
kepemimpinan di Indonesia.
BAB 7
56
MEMBANGUN BRAINWARE SELF MASTERY
Pemahaman konsep bahkan teori mengenai kepemimpinan sudah banyak
sekali dibahas, namun apa yang akan dibahas dalam bab ini adalah bagaimana
kualitas individual atau kualitas seorang pemimpin sebagai manusia yang akan
menentukan bagaimana kualitas kepemimpinannya. Pada bab ini bahasan akan
dilakukan dari sisi lunak terdalam pada manusia yaitu brainware self mastery
yang disebut juga brainware sel leadership. Program brainware self mastery
development ini telah diluncurkan sejak tahun 1997. Peningkatan dan pengkayaan
dilakukan secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan tantangan yang
dihadapi dan kemajuan penelitian mengenai otak terkait dengan daya saing
manusia khususnya dalam meningkatkan self masternya.
Adalah suatu kemustahilan seseorang akan dapat menjadi pemimpin bagi
orang lain kalau dia belum mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri.
Untuk bisa menjadi pemimpin terhadap dirinya sendiri atau tuan (master) dan
bukanya budak dari dirinya sendiri dia harus memiliki brainware self mastery.
Dia harus mampu mengendalikan dan memanfaatkan daya saing otak dan
pikirannya agar mampu tampil dengan perilaku yang berdaya saing tinggi
berkelanjutan yang berlandaskan kecerdasan spiritual (SQ) atau berada pada
jenjang spiral mind pada lapis kedua dengan posisi ‘DNA’ psikologis sosialnya
berada minimal pada A’ –N’ (G-T) bahkan B’-O’ (H-U). Untuk itu langkah awal
yang paling penting adalah dengan membangun hubungan baik, positif dan
produktif dengan diri sendiri dengan memiliki intra personal skill yang baik.
57
Selanjutnya dia harus dan akan lebih mudah membangun hubungan baik dengan
orang lain (interpersonal relationship) yang harus mampu tampil dalam
perilakunya sebagai suatu ketrampilan dalam berinteraksi dengan orang lain
(interpersonal skills).
Karena kualitas interpersonal relationship seseorang pada dasarnya adalah
gambaran dari kualitas intra personal relationship orang tersebut. Membangun
Brainware Self-Mastery dimulai dengan membangun hubungan baik dengan diri
orang lain atau lingkungan sekitar (interpersonal relationship). Mengembangkan
dua kemampuan ini adalah megembangan kecerdasan emosional dengan
membangun modal sosialnya yang harus berlandaskan niat baik (good faith/clean
motive) atau singkatnya harus bersumberkan pada kecerdasan spritualnya.
Kualitas hubungan baik dengan diri sendiri kita akan menentukan atau
mewarnai kualitas hubungan baik kita dengan orang lain dengan orang lain atau
lingkungan kita yang dapat digambarkan sebagai.
Interpersonal Relationship Q = f (Intra Personal Relationship Q) Q= quality.
Hubungan Baik dengan Diri Sendiri
Adalah sesuatu kemustahilan seseorang bisa membuat orang lain percaya
pada dirinya kalau dia sendri tidak percaya paad dirinya atau kalau dia kehilangan
self confidence. Hal ini dapat dianalogikan dengan seorang penjual yang
kurang/tidak yakin bahwa produk yang dijualnya berkualitas baik, mana mungkin
bisa meyakinkanorang lain bahwa produknya berkualitas baik. Atau seorang yang
tidak yakin atas gagasannya sendiri bagaimana mungkin dia mampu menyakinkan
dan membuat gagasannya sendiri bagaimana mungkin dia mampu meyakinkan
58
dan membuat gagasannya diterima orang lain. Saat saya pertama kali terjun
berbisnis sebagai wiraswasta tahun 1975, saat berusaha memenangkan penawaran
gypsum ceiling untuk Rumah Sakit Pusat Pertamina di Kebayoran Baru, Jakarta
yang merupakan proyek pertama kami, rekan senior saya Ir. John Suraputra yang
sudah lebih berpengalaman mengajarkan saya melalui suatu perumpamaan bahwa
seorang salesmen yang handal adalah kalau dia mampu meyakinkan calon
pembelinya bahwa warna barang yang ditawarkannya adalah hijau padahal warna
barang tersebut hitam. Untuk itu salesmen ini sebelumnya harus yakin bahwa
warna barang itu hijau bukan hitam. Intinya adalah kita tidak mungkin
meyakinkan orang lain mengenai sesuatu kalau kita sendiri tidak yakin.
Orang yang kehilangan kepercayaan pada dirinya pada umumnya
disebabkan karena pola pikirnya sendiri. Dia lebih melihat dirinya dari sisi
kekurangannya (non-streghts) saja, sedangkan dalam melihat orang lain yang
dilihat adalah sisi kelebihannya saja. Dia lupa bahwa tidak ada manusia yang
sempurna- no body is perfect. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
semata. Dia harusnya mampu memaahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan
disatu sisi (strengths) dan kekurangan disisi lain (non-strengths). Yang penting
adalah bagaimana memanfaatkan kelebihan dirinya secara optimal dan harus
bangga pada kelebihannya.
Rendah Diri vs Arogansi
Sebenarnya orang yang merasa rendah diri akan terlihat dengan hilangnya
kepercayaan pada kemampuan yang ada yang dimiliki oleh dirinya. Kalau kita
kaji lebih dalam, orang yang rendah diri sebenarnya di bawah sadar dia menjadi
59
orang yang tidak/belum mampu mensyukuri apa yang diperolehnya dari Tuhan
YME. Hal yang sama juga bila seseorang memiliki rasa percaya diri yang
berlebihan atau arogan. Rasa rendah diri dan arogansi ini sebenarnya seperti satu
mata uang dengan dua sisi. Arogansi adalah suatu sikap yang didasarkan pola
pikir bahwa untuk bisa merasa hebat atau besar hanyalah dengan cara
mengecilkan atau merendahkan orang lain. Baik rasa rendah diri maupun arogansi
menggambarkan ketidak mampuan membangun rasa nyaman dan tenang untuk
sejajar dengan orang lain. Sejajar artinya dia mengakui adanya kelebihan dan
orang lain tanpa harus merasa kecil atau rendah diri karena memiliki kekurangan,
dan juga menyadari adanya kekurangan pada orang lain dibandingkan dirinya
tanpa harus membuatnya merasa lebih hebat segala-galanya dari orang lain.
Adanya rasa rendah diri ataupun arogansi pada seseorang merupakan salah satu
indikasi masih belum berkembangnya kecerdasan spritualnya atau posisi modal
spritualnya masih berada dalam kelompok Kebutuhan Tingkat Rendah dalam
Skala Marshall.
Rasa rendah diri akan membuatnya tidak memiliki”keberanian” yang akan
membuatnya”kehilangan” kemampuan untuk menyatakan pikiran-pikirannya
secara independent ataupu kritis walaupun sebenarnya dia memilikinya. Dia
kehilangan kemampuan untuk berpikir mandiri dan kritis (independent and critical
thinking). Disisi lain, arogansi akan membuatnya tidak”mampu” untuk menerima
adanya perbedaan pendapat atau pikiran, apalagi untuk menerima pikiran orang
lain (terutama bawahannya) yang kritis yang bermanfaat untuk dirinya. Dia
menyukai orang-orang yang menyanjung dan selalu mengiyakan pendapatnya
60
(yes man! Asal Bapak Senang). Orang yang rendah diri ataupun arogan bukanlah
seorang pembelajar.
Munculnya rasa rendah diri ataupun arogansi pada dasarnya disebabkan
orang tersebut belum mampu membangun hubungan baik dengan dirinya sendiri
(intra personal relationship). Hal ini disebabkan adanya kekeliruan dalam
melakukan komunikasi atau dialog dengan dirinya sendiri (inner dialoque).
Kekeliruan dalam berdialog dengan dirinya karena dia melakukan internal dialog
dengan memilih (tanpa sadar)pilihan dialog dengan dirinya sendiri yang tidak
memberdayakan dirinya (disempowering inner dialogue). Inner dialogue yang
keliru ini pada dasarnya karena belum tahu atau tidak berlandaskan kecerdasan
spritualnya yang akan mewarnai ketulusan atau kemurnian dari hubungan baiknya
dengan orang lain.
Seseorang yang memiliki EQ yang tinggi tanpa disadari SQ yang tinggi
adalah seseorang yang memiliki ketrampilan interpersonal yang baik tetapi tanpa
adanya ketulusan (sincerity) ataupun belum/tidak didasari atas niat (nawaitu) yang
baik. Sebaliknya bila ketrampilan interpersonalnya dilandasi SQ maka seorang
tersebut disebut memiliki akhlakul khorimah. Jadi seseorang disebut memiliki
akhlakul khorimah adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
yang berlandaskan pada kecerdasan spiritual yang tinggi. Artinya tampilan
perilakunya yang baik, santun, menghargai orang lain,dan sebagainya sehingga
dia disukai oleh lingkungannya benar-benar dilakukan secara tulus dengan niat
baik. Bukan sekadar memperoleh “predikat” orang baik ataupun ada maksud-
maksud lainnya yang tidak baik.
61
Membangun Rasa Hormat (Respect) dan Rasa Percaya
Membangun Rasa Hormat (respect secara timbale balik tidak banyak berbeda
dengan membangun Rasa Percaya (trust) secara timbale balik. Untuk membangun
rasa hormat orang lain dan membuat orang lain hormat pada kita, kita harus
memulainya dengan membangun rasa hormat pada diri sendiri terlebih dahulu.
Memiliki rasa hormat pada diri sendir misalnya dalam bentuk menghormati janji
pada diri sendiri apalagi janji yang menyangkut orang lain. Seseorang yang
memberi makna dan menyakini bahwa janji adalah kehormatan, sehingga bila dia
melanggar janjinya berarti dia tidak memiliki kehormatan maka dia akan berusaha
secara serius untuk memenuhi janjinya. Bahkan lebih jauh lagi bahwa sebenarnya
janji adalah hutang yang wajib dilunasi. Komitmen adalah janji yang
penekanannya lebih pada diri sendiri. Orang yang mampu memjaga komitmennya
adalah orang memiliki rasa hormat pada dirinya.
Mengenai taqwa,dalam salah satu sholat jum’at yang saya ikuti, chotb
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Taqwa adalah (a) Beriman pada Allah
SWT,(b)Mendirikan Sholat, bukan sekadar mengerjakan sholat, (c) Percaya pada
Kitabullah (Al Quran), (d) Percaya pada Rukun Iman, dan (e) Beramal sesuai
dengan perintahNya. Beriman atau percaya disini haruslah menjadi suatu
keyakinan yang dalam tidak bisa ditawar-tawar lagi (conviction). Karenanya apa
yang menjadi keyakinan tersebut benar-benar telah menyatu dalam pikiran dan
prilaku sehari-hari. Harus sudah menjadi neural path-way yang secara otomatis
akan menggerakkan perilaku sehari-hari. Dalam hal ini kita dapat melihat
62
mengapa kualitas seorang ditentukan oleh tinggi/rendahnya kualitas individual
self-mastery-nya.
Membangun Rasa Hormat pada dasarnya adalah kemampuan untuk
memahami dan menghargai keyakinan (beliefs) dan nilai-nilai orang lain. Perilaku
atau tindakan kita tidak bertentangan dengan keyakinan dan nilai-nilai orang lain
tersebut. Bahkan membangun Rasa Hormat akan menjadi mudah bila perilaku dan
tindakan yang kita lakukan dengan jujur dan tulus sejalan dengan keyakinan dan
nilai-nilai orang lain yang mereka hargai. Karena pemahaman mengenai
individual and group/social beliefs dan individual and group/social values yang
merupakan komponen dasar dari modal spiritual harus benar-benar dikuasai dalam
membangunindividual self-mastery. Bila kita sebagai seorang pemimpin ingin
berubah beliefs ataupun values dari orang-orang dalam organisasi yang kita
pimpin kita anggap membuat mereka tidak kompetitif, kita perlu menerapkan
strategi ‘don’t fight forces, use them”.
Strategi ini penting sekali agar proses perubahan yang kita lakukan akan
dapat diterima dengan baik. Bila kita menerapkan strategi ini maka otak orang-
orang itu akan mendeteksi perilaku kita sebagai kawan (friend)bukan lawan (foe)
yang membuat daya akseptansi mereka tinggi atau dalam bahasa otak
disebut’otaknya terbuka’ untuk menerima masukkan.
Membangun Rasa Hormat adalah proses yang seratus persen menyangkut
aspek rasa (limbic system), sedangkan membangun Rasa Percaya merupakan
perpaduan antara Rasa (limbic system) dengan Rasio (neocortex) pada otak kita
walaupun harus tetap bersumber pada Rasa. Sebagaimana telah dijelaskan diawal
63
bab ini membangun Rasa Percaya orang pada kita harus dimulai dengan rasa
percaya kita pada diri kita. Dengan adanya Rasa Percaya diri yang kuat karena
dilandasi adanya keyakinan (beliefs) maka kita akan mampu tampil dalam
perilaku yang meyakinkan (confident). Secara rasional Rasa Percaya orang lain
pada kita dapat dikatakan merupakan kombinasi antara kompetensi atau keahlian
dengan data atau fakta yang ada atau yang kita sampaikan. Namun bila orang lain
sudah tidak mempercayai kita lagi, kompetensi ataupun fakta yang kita sampaikan
akan diberi makna atau dipersepsikan berbeda. Sebaliknya bila kita disukai dan
telah memperoleh kepercayaan dari orang lain, apa yang disampaikan, apalagi
kalau kita memiliki kompetensi atau fakta, orang akan mempercayai kita. Nabi
Muhammad SAW merupakan contoh suatu proses membangun Rasa Percaya
yang luar biasa. Rossulullah tidak memiliki kompetensi atau keahlian terhadap
apa yang disampaikan pada orang lain untuk dipercaya, dia orang biasa-biaas saja,
kecuali ‘track record-nya’ sebagai orang yang tidak pernah berbohong (al-Amin).
Dia juga bukan orang yang memiliki kedudukan sosial yang hebat dalam
lingkungannya.
Self- Mastery
Berbicara leadership kita harus berbicara mengenai leadhership mastery. Padahal
leadhership mastery baru dapat dicapai bila seseorang telah memiliki individual
self-mastery atau self-leadhership. Self –Mastery dalam leadhership-mastery
berbicara mengenai kualitas manusia dari seseorang pemimpin yang merupakan
kompetensi lunak (soft competency) yang harus dimiliki oleh leaders. Soft
competency ini memiliki posisi sentral dan strategis serta memberikan kontribusi
64
yang sangat menentukan untuk keberhasilan leaders dalam memimpin followers-
nya. Sejauh mana jenjang self-mastery akan menentukan sejauh mana
kemampuan seorang leaders untuk memperoleh Trust and Respect adalah dengan
melihat melalui sejauh mana keberhasilannya dalam membangun mutual trust and
mutual respect terhadap orang lain dan”anak buahnya” untuk dapat menjadi
followers-nya. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kualitas Trust and
Respect yang diperoleh seorang leader menggambarkan kualitas dari self-mastery-
nya.
Keyakinan (Belief)
Dalam membangun individual self-mastery ada tiga pilar dasar sebagai modal
spiritual utama untuk meningkatkan kecerdasan spiritual seseorang. Pilar utama
dari modal tersebut adalah keyakinan dasar (global belief) mengenai sesuatu, pilar
kedua adalah kemampuan menentukan Tujuan Hidup (life goals), dan pilar ketiga
adalah membangun Sistem Nilai lengkap dengan jenjangnya (values hierarchy).
Bagaimana kualitas modal spiritual akan tercermin dari bagaimana kualitas
belief-nya dalam melakukan sesuatu. Kita memilih menganut agama tertentu
karena kita memiliki menganut agama tertentu karena kita memiliki
keyakinana(belief) adanya Sang Maha Pencipta da meyakini bahwa ajaran agama
yang dipilihnya yang paling benar atau yang paling tepat dan dia merasakan
manfaatnya dalam menjalani hidupnya. Sebaliknya seseorang yang tidak
menganut agama tertentu adalah karena dia memiliki belief yang besebrangan
dengan mereka yang menganut agama. Dalam konteks agama,belief atau
keyakinan ini disebut sebagai iman. Kualitas seseorang dalam menjalankan ajaran
65
agama ditentukan oleh kualitas imanny, kualitas keyakinannya terhadap ajara
agamanya. Dalam agama Islam dikenal adanya enam keyakinan yang harus
menjadi dasar atau landasan dalam menentukan”you are what you believe” yang
disebut Rukun Iman.
Rukun Iman dalam ajaran Islam adalah beliefs yang harus menjadi beliefs
yang paling dalam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conviction). Mestinya
setiap umat Islam akan memiliki perilaku yang didasarkan atas Rukun Iman
sebagai conviction karena”you are what you believe”, Artinya bila perilakunya
belum didasarkan atas Rukun Imannya maka sebenarnya menggambarkan bahwa
Rukun Iman tersebut menjadi onviction baginya. Kualitas seorang umat islam
terhadap Rukun Iman akan terlihat sejauh mana kaulitas conviction-nya terhadap
Rukun Islam, terutama akan terlihat yang oleh Al-Qur-an dikatakan sebagai
sejauh mana dia mampu menegakkan sholat bukan sekedar mengerjakan sholat
dalam prilakunya sehari-hari. Suatu perilaku yang saya sebut sebagai perilaku
yang rahmatan lil alamin dengan tawadu. (rendah hati yang ikhlas). Bila
digunakan skala Marshall maka dia akan berada pada skala +8. Atau dalam
jenjang spiral dynamics dia akan berada pada jenjang-jenjang G-T atau B’-O’
(warna spiral pirus). Minimal pada jenjang A’-N’ (warna spiral Kuning).
Kualitas core intelligence (spiral intelligence) seseorang dari kajian Spiral
Dynamics menggambarkan bagaimana kualitas kerja otaknya sebagai suatu sistem
beradaptasi (coping system) agar mampu bertahan hidup (the neuropsychological
equipment for living) dalam menghadapi tantangan lingkungan yang ada (the
problem of living) yang akan menentukan di mana posisi ‘DNA’ psikologis
66
sosialnya (existential states). Coping system dari otak ini juga tercermin dari
bagaimana dia memberi makana terhadap tantangan hidupnya di mana makna
yang diberikan sangat ditentukan oleh belef-nya mengenai tantangan hidup itu
sendiri. Sebagaimana telah dibahas pada Bab II, existential states ini merupakan
gabungan dari dua spiral (double helix) yang terdiri atas delapan jenjang yaitu A-
N, B-O, C-P, dan seterusnya. Jadi phsychosocial double helix ini merupakan hasil
dari suatu interaksi yang terus menerus antara berbagai tantangan yang dihadapi
dan posisi dari jenjang atau kualitas dari kerja otaknya dari seseorang, organisasi
atau masyarakat. Kualitas dari kerja otak ini akan tampil dalam bentuk sistem
keyakinannya yang menjadi dasar dan menentukan bagaimana dia akan menyikapi
atau bereaksi terhadap tantangan hidup yang sedang dihadapinya. Dengan
perkataan lain core/ spiral intelligence dalam spiral dynamics menggambarkan
posisi sistem keyakinan dari seseorang atau sekelompok orang sesuai dengan
posisi jenjang ‘DNA’ psikologis sosialnya.
SELF MASTERY
Berbicara leadership kita harus berbicara mengenai leadership mastery. Padahal
leadership mastery baru dapat dicapai bila seseorang telah memiliki individual
self mastery atau self leadership. Self mastery dalam leadership mastery berbicara
mengenai kualitas manusianya dari seorang pemimpin yang merupakan
kompetensi lunak yang harus dimiliki oleh leaders. Soft competency ini memiliki
posisi sentral dan strategis serta memberikan kontribusi yang sangat menentukan
untuk keberhasilan leaders dalam memimpin followersnya. Sejauh mana jenjang
67
self mastery akan menentukan sejauh mana kemampuan seorang leader untuk
memperoleh trust and respects adalah dengan melihat melalui sejauh mana
keberhasilannya dalam membangun mutual trust and matual respect terhadap
orang lain dan “anak buahnya” untuk dapat menjadi followernya. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa kualitas trust and respect yang diperoleh
seorang leader menggambarkan kualitas dari self mastery nya.
BAB 8
68
MEMBANGUN BRAINWARE LEADERSHIP MASTERY
Bahasan mengenai bagaimana membangun atau mengembangkan
kepemimpinan ini dasarkan atas berbagai literature yang saya baca ditambah
pengalaman empiris yang telah ditetapkan sejak tahun 1998 dan mencapai
kematangannya pada tahun 2001 melalui program brainware leadership mastery
development berupa pelatihan yang dilanjutkan dengan program brainware
leadership improvement berupa coaching clinic secara berkala. Brainware
leadership development diterapkan untuk calon-calon pemimpin dimana
pengkayaannya dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan tuntutan tantangan
yang dihadapi dan sejalan dengan perkembangan berbagai hasil penelitian otak
yang saya ikuti melalui berbagai bahan tulisan. Program ini merupakan program
lanjutan dari program brainware self mastery development yang diluncurkan
tahun 1997 dan merupakan prasyarat untuk dapat mengikuti program brainware
leadership development. Program lanjutan dari brainware leadership development
ini adalah brainware leadership improvement program.
BRAINWARE LEADERSHIP MASTERY
Brainware leadership mastery adalah suatu kemampuan kepemimpinan yang
cerdas dengan daya saing tinggi berkelanjutan yang mampu menjawab tantangan
brain to brain competition in knowledge economy untutk menghadapi era global
saat memasuki the century of brain and millennium of mind di awal abad ke 21
ini. Pemahaman mastery dalam Brainware Leadership Mastery merupakan tacit
69
knowledge bukan sekadar terbatas pada penguasaan pengetahuan secara
konseptual (explicit knowledge) sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya.
Leadership Mastery dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu kemampuan
kepemimpinan yang sudah menajdi bagian dari pola pikir sehingga akan tampil
dan menjadi bagian dari perilakunya (embodied) sehari-hari dalam menjalankan
peran, tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin dalam abad otak
millennium pikiran ini. Suatu tampilan perilaku kepemimpinan yang cerdas yaitu
kepemimpinan yang memadukan secara optimal tiga kecerdasan yang ada pada
dirinya yaitu IQ,EQ, dan SQ dimana SQ menjadi sumber atau dasar dari dua
kecerdasan lainnya. Tampilan perilaku sebagai pemimpin yang didasarkan pda
modal spiritual yang tinggi yang mendasari modal sosial dan modal intelektual.
Modal intelektual yang dimilikinya sebagai leader terutam berupa tacit knowledge
menyangkut leadership yang diperlukan untuk dapat berperan sebagai leader yang
membuat mampu menjalankan peran dan melakukan tugasnya cara cerdas
disamping juga penguasaan konseptualnya sesuai dengan tuntutan tugas dan
perananya dalam manajemen.
Dengan demikian bila kita berbicara upaya pengembangan seorang untuk
menjadi leader tentunya berbeda dengan pengembangan untuk menjadi seorang
manager. Tuntutan pengembangan untuk menjadi leader dapat dikatakan sebagai:
Pengembangan kemampuan sensel/intuition bukan hanya rasionalitas
ataupun terbatas hanya pada explicit knowledge
Penguasaan (akuisisi) mengenai sesuatu kemampuan harus sudah menjadi
sesuatu yang menyatu dengan dirinya yang akan tampil dalam perilaku
70
tanpa harus diatur lagi sudah menjadi neural path way, bukan sebatas
pemahaman konseptual
Kemampuan mastery, bukan wisdom
Penekanan diberikan lebih pada street smartness bukan lagi hanya pada
academic smartnessnya
Tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi tidak dapat ditawar yang akan
tercermin dari kualias modal spiritualnya, minimal jenjang ketiga dari
kajian SQ melalui individual brainware assessment.
‘DNA’ psikologis sosialnya berada pada lapis kedua
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan akhir yang akan dicapai dari program brainware leadership mastery
development ini adalah dimilikinya kemampuan sebagai super leader yaitu
pemimpin yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang berbasiskan
kecerdasan spiritual untuk menghadapi tantangan millennium ketiga di awal abad
ke 21. Tujuan akhir ini dapat dicapai melalui suatu proses sekitar enam bulan dan
harus mendapat dukungan lingkungan di tempat kerja serta kerja keras dari yang
bersangkutan. Prasyarat lain adalah mereka harus memiliki individual brain
streght sebagai leader serta modal spiritualnya yang dibangun untuk
mendukungnya sebagai seorang pemimpin dalam memasuki awal abad otak dan
millennium pikiran dan siap menghadapi brain to brain competititon in knowledge
economy. Dengan dicapainya tujuan akhir ini maka telah terjadi kesamaan antara
kompetensi leadership yang diharapkan dari calon pemimpin dengan kompetensi
71
yang dimilikinya saat program selesai. Dengan perkataan lain program ini
menghilangkan kesenjangan kompetensi leadership yang dimiliki seorang peserta
di awal program dengan kompetensi leadership yang seharusnya dimilikinya pada
akhir program.
TAHAPAN IMPLEMENTASI
Pada tahapan implementasi ini pada dasarnya ada dua kemampuan yang
dibangun yang saya sebut sebagai TAK-1 atau membangun. Watak yaitu
membangun manusia yang memiliki jati diri atau menjadi authentic and relational
leader yang menggambarkan sifat-sifatnya sebagai manusia unggul. Kegiatan
pada TAK-1 merupakan proses membangun sisi lunaknya sebagai manusia.
Lainnya adalah membangun TAK-2 atau membangun. Otak yaitu membangun
kompetensi manajerialnya sebagai leader yaitu sisi kerasnya. Istilah TAK-1 dan
TAK-2 ini saya ambil dari istilah yang diperkenalkan oleh rekan saya Prof. Dr.
Martani Huseini. Hasil akhir yang akan dicapai dari tahapan ini adalah
dimilikinya pola pikir dan perilaku yang menyatu dalam dirinya berupa lima
perilaku yang menggambarkan jati dirinya sebagai manusia unggul melalui lima
sifatnya.
TAHAPAN TANTANGAN DAN PENGONDISIAN
72
Dua tahapan ini merupakan satu kesatuan yang harus dipenuhi agar tahapan
berikutnya dapat berjalan dengan efektif. Pada tahapan ini hasil yang akan dicapai
adalah terbangunnya penyadaran dan penerimaan diri baik dari manajemen
maupun calon-calon peserta program ini yang sebenarnya merupakan komitmen
spiritual, bukan sekadar penerimaan secara rasional ataupun emosional. Artinya
kebutuhan terhadap program pengembangan ini dirasakan sebagai kebutuhan yang
penting dan harus dilakukan bukan sekadar ikut-ikutan karena sedang menjadi
trend. Dengan demikian mereka akan menempatkan program ini dalam prioritas
penting dan siap dengan konsekuensi logisnya.
Ada tiga mcam kondisi yang harus dipenuhi pada tahapan ini. Kondisi
pertama berupa dirasakannya adanya tuntutan untuk pengembangan
kepemimpinan. Kondisi kedua sebagai tindak lanjutnya adalah dirasakannya
adalah kebutuhan untuk memiliki para pemimpin karena diyakini bila
kepemimpinan ini tidak dibangun maka organisasi atau perusahaan akan tidak
mampu lagi menghadapi tantangan yang harus dihadapi. Karena itulah secara
sadar dan dengan komitmen spiritual yang kuat manajemen memberikan
dukungan penuh untuk dilaksanakan program membangun kepemimpinan ini.
COACHING CLINIC DAN INTENSIVE WORKSHOP
Program coaching clinic dan intensive workshop ini terdiri atas dua kegiatan yang
masing-masing memiliki sasarannya sendiri. Program pertama berupa kegiatan
coaching individual dan grup untuk memantapkan individual neural path way
mereka yaitu neural path way dalam pola pikir dan perilaku sebagai pemimpin
73
dengan meningkatkan dan memantapkan individual self mastery dan leadership
mastery yang sebelumnya telah dibangun dan diperolehnya selama mengikuti
brainware leadershio development program. Kegiatan ini dilakukan ditempat
kerja mereka yang berdasarkan pengalaman membutuhkan waktu sekitar empat
sampai enam bulan. Metode utama yang diterapkan adalah action learning method
yaitu metode pembelajarn melalui kegiatan langsung dan nyata ditempat kerjanya
disamping juga beberapa metode pendukung lainnya.
Beberapa kendala dalam melaksanakan tugas kelompok adalah:
1. Kurangnya referensi yang mereka miliki dan belum memahami
metodologi dalam melakukan ‘how to’ di lapangan.
2. Tantangan untuk mencapai kesepakatan kelompok untuk menentukan
pilihan cara dalam melaksanakan tugas kelompok yang diberikan.
3. Sering terlupakan oleh mereka perlunya klarifikasi mengenai alat ukur/
kriteria yang dipakai dalam menentukan sejauh mana keberhasilan tugas
kelompok
4. Tidak mudah untuk menenmukan waktu bagi kelompok untuk berkumpul.
5. Adanya anggota kelompok yang terlihat malas atau ogah-ogahan.
6. Adanya kesibukan pekerjaan sehari-hari yang menjadi tanggung jawab
masing-masing.
Sedangkan kendalam dalam melaksanakan tugas individual adalah:
1. Masih belum berkembangnya kemampuan mengatur prioritas antara tugas
dan tanggungjawab sehari-hari dengan tugas dari kegiatan ini.
74
2. Kurang mendapat dukungan dari atasan langsung walaupun dari
manajemen puncak diperoleh dukungan penuh.
3. Adanya rivalitas tidak sehat antarunit kerja dalam mengejar target yang
menempatkan tugas-tugas individual mereka menjadi tidak dianggap
penting oleh unit kerjanya dan menjadi rendah prioritasnya.
4. Masih terbatasnya kemampuan utuk menentukan kriteria dan metode
dalam menyelesaikan tugas individualnya.
5. Tidak adanya dukungan keluarga, bila harus menyelesaikan tugas
individualnya diluar jam kerja atau saat hari libur.
6. Kadang-kadang dapat terjadi pada satu dua peserta yang menurun
semangatnya karena berbagai masalah pribadi yang dihadapi.
COACHING DAN FASILITASI
Kegiatan kedua dari program coaching dan workshop ini adalah membangun
kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan peran sebagai seorang coach
dan fasilitator.
Coaching
Coaching berbicara mengenai pengembangan secara terus menerus kapasitas
untuk menghasilkan kinerja yang optimal dan sekaligus suatu proses
pembelajaran dari orang-orang dalam organisasi baik individual ataupun tim dan
bagi seorang pemimpin, coaching berada pada jantung dari manajemen.
75
Fasilitasi
Tujuan kegiatan fasilitas adalah untuk membantu dalam mempercepat
perkembangan kapabilitas individual ataupun tim dan sekaligus mendorong
terbangunnya individual atau tim pembelajar. Karenanya kegiatan fasilitasi dapat
dikatakan juga sebagai proses pemberdayaan. Tantangan yang dihadapi seorang
fasilitator adalah untuk memicu agar individu atau tim mampu mengelola dirinya
sendiri yang efektif. Karenanya fasilitator paling tidak harus melakukan tiga hal
yaitu: (1) memberikan contoh mengenai self management yang dimaksudnya, (2)
menawarkan partisipasi yang terarah terhadap mereka dan (30 mendorong
munculnya dan berkembangnya pola pikir dan perilaku self control secara
bertahap untuk menuju self management.
76
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziah, Ibnul Qayyim, “Madarijus Salikin”, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, diterjemahkan oleh Abu Sa’id al-Falahi disunting oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. Jilid 2, Rabbani Press, Jakarta 1999.
Bahaudin, Taufik “Brainware Management” Generasi Kelima Manajemen Manusia, Elex Media Computindo, edisi III, 2000
Beck, Don Edward & Cowan, Christoper C “Spiral Dyanamics” mastering values, leadership and change Exploring the New Science of Memetics, Blackwell Publishers Inc, 1996, UK.
Bruce, Anne “Leaders Start to Finish” A Road Map for Developing and Training Leaders at All Level, American Society for Training and Development, 2001, USA.
Cowan, Christoper & Todorovic, Natasha, Spiral Dyanamics I & II The Emergent, Cyclical Level of Existence Theory of Dr. Clare W. Grave, NVC Consulting, Santa Barbara, CA, USA, 2002.
Collins, Jim ‘Good to Great” Why Some Companies Make the Leap and Others Don’t, Harper Collins Publishers Inc. New York, 2001.
Chilre, Doc Rozaman Deborah “Transforming Streets” The HeartMath” Solution for Relieving Worry, Fatigue and Tension, New Harbinger Publications, Inc, Oakland, CA, 2005.
Davis, Stan & Dacidson, Bill “2020 Vision” Tranform Your Business Today to Suceed in Tomorrow’s Economy 1st Fireside Ed, a Fireside Book, Published by Simon & Schuster, New York, 1991.
Drafth, Wilfred “The Deep Blue Sea” Rethiking the Source of Leadershio, a joint publication of the Jossey Bass Business & Management Series and The Center for Creative Leadership, San Fransisco, 2001.
Durcker, F. Peter “Managing in Turbulent Time”, Pan Books, London, 1991.
77