partai politik-dalam-islam

23
Partai Politik dalam Islam Makna dan Fungsi Partai Politik Kini Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama. Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu: Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat. Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

Upload: mailan-bastari

Post on 16-Apr-2017

101 views

Category:

Government & Nonprofit


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Partai politik-dalam-islam

Partai Politik dalam Islam

Makna dan Fungsi Partai Politik Kini

Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:

Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.

Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.

Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.

Belajar dari Realitas Partai

Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?

Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin.

Page 2: Partai politik-dalam-islam

Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.

Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.

Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.

Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.

Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.

Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam.

Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Memaknai Partai Politik Islam

Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis, Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan partai yang benar?

Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.

Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang

Page 3: Partai politik-dalam-islam

memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

» هلك ما كل األنبياء تسوسهم إسرائيل بنو كانت

خلفاء وسيكون بعدي نبي ال ه وإن نبي خلفه نبي

»فيكثرون

Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):

األنبياء ) فيهم (تسوسهم ظهر إذا كانوا أنهم أي

ما ويزيل أمرهم يقيم لهم نبيا لهم الله بعث فساد

بد , ال أنه إلى إشارة وفيه التوراة أحكام من غيروا

الطريق على يحملها بأمورها قائم من للرعية

الظالم من المظلوم وينصف الحسنة

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.

Karakteristik Partai Politik Islam

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.

Page 4: Partai politik-dalam-islam

Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).

Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)

Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).

Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.

Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:

1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.

Page 5: Partai politik-dalam-islam

2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.

3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).

4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.

5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.

6. Melakukan aktivitas:

a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.

b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.

c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.

d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.

e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.

Arah Jalan

Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem akan berubah.

Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.

Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan perubahan mendasar apapun.

Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:

Page 6: Partai politik-dalam-islam

1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.

2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.

3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah berfirman:

لله إال الحكم إن

Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)

Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:

الكافرون هم فأولئك ه الل أنزل بما يحكم لم ومن

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)

الظالمون هم فأولئك ه الل أنزل بما يحكم لم ومن

Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)

الفاسقون هم فأولئك الله أنزل بما يحكم لم ومن

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)

Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.

Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.

Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul

Page 7: Partai politik-dalam-islam

quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.

Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:

1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.

2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.

3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.

Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.

4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.

5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.

6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.

Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.

Page 8: Partai politik-dalam-islam

Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.

Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. []

Mengupas Ideologi Politik Partai-partai ISLAM yang Memudar Dalam massa reformasi sekarang ini mengapa ideologi politik dari partai politik Islam atau berbasis massa Islam cenderungmemudar? Disini perlu diperjelas apa yang dinamakan dengan ideologi yang dipahami dan politik apa yangdijalankanolehpartaipolitiktersebut.

Nah, ketika kita berbicara ideologi berarti kita berbicara kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Kemudian kalau kita menghubungkan dengan politik sebagai ilmu, maka kita akan menemukan pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan.

Adapun kalau kita menghubungkan dengan politik praktis, artinya penerapan politik dalam kehidupan, maka kita akan membicarakan segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Sekarang, kalau kita berbicara ideologi politik yang dipahami dan dijalankan oleh partai Islam, maka kita berbicara segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara yang diacukan pada asas yang mendasari kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai politik Islam tersebut.

Nah sekarang timbul pertanyaan, apakah ideologi yang dipahami oleh partai Islam?

Ideologi yang dipahami adalah kumpulan konsep bersistem yang ada dalam Islam yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai Islam tersebut.

Kemudian, apakah ideologi yang dipahami oleh partai Islam di Indonesia?

Ideologi yang dipahami oleh partai Islam di Indonesia adalah kumpulan konsep bersistem yang ada dalam pancasila yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai Islam tersebut.

Jadi, jelas berbeda antara ideologi yang dipahami oleh partai Islam dengan ideologi yang dipahami oleh partai Islam di Indonesia.

Nah, karena ideologi yang dipahami oleh partai Islam di Indonesia didasarkan pada pancasila yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai Islam tersebut, maka ideologi partai-partai Islam dan ideologi partai-partai yang berbasis masa Islam adalah tidak jauh berbeda dengan ideologi partai-partai non Islam atau ideolopgi partai-partai yang berbasis bukan pada massa Islam. Mengapa ?

Karena ideologi partai-partai non Islam atau ideologi partai-partai yang berbasis bukan pada masa Islam mendasarkan kumpulan konsep bersistem-nya pada pancasila yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai-partai non-Islam atau partai-partai yang berbasis pada massa non-Islam tersebut.

Jadi sekarang sudah bisa diambil garis lurus dari apa yang diuraikan diatas yaitu ideologi politik dari partai politik Islam atau berbasis massa Islam yang ada di Indonesia makin memudar. Pemudaran tersebut disebabkan karena kumpulan konsep bersistem yang ada dalam Islam yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai Islam tersebut telah dirobah dan diacukan pada pancasila yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai politik Islam.

Karena itu ideologi politik yang dipahami dan dijalankan oleh partai Islam di Indonesia makin memudar disebabkan oleh adanya kebijaksanaan politik yang menyangkut segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara

Page 9: Partai politik-dalam-islam

yang bukan diacukan pada asas Islam yang mendasari kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai Islam tersebut, melainkan diacukan pada asas pancasila yang merupakan juga dasar ideologi negara.

Seterusnya tentang pertanyaan: ”Faktor-faktor apa yang menyebabkan memudarnya ideologi politik dari partai politik Islam atau berbasis massa Islam?”

Nah, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas yaitu salah satu faktor penyebab memudarnya ideologi politik dari partai politik Islam adalah Islam yang tidak dijadikan sebagai acuan untuk membangun kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai politik Islam tersebut.

Sekarang, karena memang Islam adalah bukan acuan untuk pembangunan kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai politik Islam di Indonesia tersebut, maka lambat laut konsepsi yang dijadikan sebagai sistem untuk memberikan arah dan tujuan partai politik Islam makin jauh dari sumber-nya, yaitu Islam.

Selanjutnya, faktor lain yang sangat mempengaruhi memudarnya ideologi politik partai Islam ini adalah karena dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu"

adalah sama dengan penetapan yang ada di negara-negara sekuler. Artinya, bebas bagi setiap warga untuk beragama atau tidak, agama tidak ada sangkut pautnya dengan negara.

Mengapa agama tidak ada sangkut pautnya dengan negara? Karena tidak ada satu ayatpun dalam UUD'45 yang mengatakan bahwa

"Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (Sunnah) Muhammad SAW"

Kemudian lagi pertanyaan: ”Mengapa dalam pemilu 1999 dan 2004, partai-partai politik Islam baik itu yang berideologi Islam atau berbasis massa Islam kalah dari partai politik yang berideologi non-Islam?”

Nah, kalau kita kembali memperhatikan hasil pemilihan umum tahun 2004, maka akan terlihat dan terbaca bahwa Golkar dan PDI-P adalah memang partai politik sekuler yang mempunyai jumlah kursi terbanyak di DPR, misalnya Golkar mendapat 128 kursi dan PDI-P mendapatkan 109 ditambah dengan PD yang memperoleh 55 kursi.

Adapun partai politik yang berbasis massa ummat Islam seperti PPP yang mendapat 58 kursi, PAN mendapat 53 kursi, PKB mendapat 52 dan PKS mendapat 45 adalah sebenarnya pada dasarnya sama juga dengan partai politik sekuler seperti Golkar dan PDI-P, karena memang bukan Islam yang dijadikan sebagai acuan untuk membangun kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai-partai politik yang berbasis massa ummat Islam tersebut, melainkan pancasila.

Disamping partai-partai politik yang berbasis massa ummat Islam adalah pancasila yang dijadikan acuan pembuatan kumpulan konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai-partai politik ini, juga partai-partai politik ini terpecah kedalam bebagai pemahaman dan kebijaksanaan politik masing-masing. Misalnya, PKB dengan NU-nya jelas tidak mungkin bisa bersatu dengan PAN bersama Muhammadiyah-nya. Begitu juga partai PKS sampai kiamat tidak mungkin bisa bersatu dengan PKB bersama NU-nya Abdurrahman Wahid. Juga dengan PPP yang merupakan hasil fusi sejumlah partai politik Islam yang berasaskan Pancasila sampai kiamat tidak mungkin bersatu dengan PKB-nya Abdurrahman Wahid dan PAN bersama Muhammadiyah-nya. Begitu pula dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang ada dipengaruhi oleh Masyumi sampai kiamat tidak akan bersatu dengan PKB-NU-nya Abdurrahman Wahid.

Nah, karena memang partai-partai politik yang berbasis ummat Islam ini lahir karena organisasi massa-nya, maka akan sulit untuk dipersatukan.

Jadi, selama partai-partai politik Islam yang berbasis ummat Islam membawakan suara kelompoknya masing-masing, maka selama itu partai politik sekuler seperti Golkar dan PDI-P akan terus mendominasi dalam DPR RI.

Page 10: Partai politik-dalam-islam

Hanya, yang bisa dilakukan oleh partai-partai politik Islam yang berbasis massa ummat Islam adalah melakukan kerjasama di DPR atau boleh dinamakan membentuk pakta kerjasama ketika menghadapi persoalan-persoalan yang dianggap penting.

Contohnya, ketika Panitia khusus DPR RI membuat RUU Pemerintahan Acheh, maka fraksi DPR RI dari PKB bergandengan tangan dengan fraksi DPR RI dari PDI-P untuk memotong dan memangkas isi MoU Helsinki. Tetapi, misalnya kalau ada suara untuk melakukan amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 agar dikembalikan lagi kepada Piagam Jakarta, maka serentak hampir seluruh anggota DPR RI menentangnya.

Selanjutnya, pertanyaan : “Apa implikasi dari kekalahan partai Islam dan pemudaran ideologi politik tersebut pada massa yang akan datang?”

Akibat dari pemudaran ideologi politik partai Islam yang bermassa ummat Islam di Indonesia dan bercerai-berainya partai-partai politik Islam ini akan menyulitkan tegaknya Islam secara kaffah. Selanjutnya, pengaruh sekularisme makin kuat dalam kehidupan di RI, sehingga menjadi awan mendung hitam bagi hidup dan berkembangnya Islam. Islam adalah hanya merupakan agama pribadi dan tidak diterima sebagai acuan hukum dalam kehidupan berpemerintahan dan bernegara. Inilah suatu tanda tumbuh dengan suburnya sekulerisme di RI.

Kemudian lagi pertanyaan: ”Upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh partai politik Islam agar ideologi politiknya berjalan dengan baik?”

Selama yang dijadikan dasar bangunan dan kumpulan konsep bersistem mengacu pada pancasila yang akan menjadi arahan dan tujuan untuk kelangsungan hidup partai-partai Islam yang berbasis massa ummat Islam ditambah partai-partai politik Islam ini tetap membawa masing-masing kebijaksanaan politik kelompoknya, maka selama itu tidak mungkin berjalan ideologi politik partai politik Islam yang berbasis massa ummat Islam berjalan dengan baik.

Disamping itu, kalau kita ingin membangun dan menegakkan Islam melalui jalur sistem dan konstitusi yang ada sekarang, maka sulit terwujud. Dikarenakan berdiri dan tegaknya Islam bukan melalui cara demokrasi yang berlaku sekarang, melainkan harus mencontoh kepada apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Artinya, membangun dan menegakkan Islam dan negara Islam harus diluar sistem yang ada sekarang. Contohnya, tegaknya Islam dan negara Islam pada mulanya bukan di Mekkah, tetapi setelah hijrah ke Yatsrib atau Madinah sekarang. Kemudian, setelah berdiri negara Islam di Yatsrib, baru Mekkah dapat ditundukkan.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

http://pudarnya-idiologi-partai-islam.blogspot.com/

Prospek Partai Politik   Islam Tak lama lagi, tepatnya 13 bulan ke depan, Indonesia akan menggelar pemilu secara langsung kali kedua. Sudah tentu, suhu politik kian memanas dan euforia mendirikan partai-partai baru kian bermunculan. Hingga kini, kurang lebih ada sekitar 112-an partai politik baru yang telah mendaftar di Departemen Hukum dan HAM saat ini. Dari sekian banyak partai baru tersebut, setidaknya terdapat sepuluh parpol Islam ataupun parpol yang berbasiskan ormas Islam. Untuk itu, pesta demokrasi 2009 masih akan tetap diwarnai pertarungan parpol Islam.

Pertarungan antarparpol Islam tersebut dapat berimplikasi terhadap parpol Islam itu sendiri, terutama pada parpol Islam lama yang pernah mengikuti pemilu 2004 seperti PPP, PKS, PBB, PBR, PAN maupun PKB. Pertanyaannya, bagaimana pertarungan parpol Islam pada 2009? Pengamat politik Prof. Dr. Azyumardi Azra, menilai bahwa peluang parpol berbasis Islam seperti PPP, PKB, PBB, PAN dan PKS pada Pemilu 2009 masih sangat kecil.

Pernyataan di atas diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) oktober 2007, bahwa ditemukan tidak adanya pergeseran yang signifikan dalam area Islam politik pada tingkat elektoral.

Page 11: Partai politik-dalam-islam

Survei LSI menunjukkan bahwa partai Islam dan partai berbasis Ormas Islam masih berada pada level di bawah ketiga partai nasionalis atau sekuler yakni: PDI Perjuangan 20%, Golkar (17,5%) dan PD 14%. Sementara parpol Islam hanya menempati: PKB 4%, PAN 3%, PPP 4% dan PKS 4% dari 1300 jumlah sampel di 33 propinsi dengan margin of error +/- 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%.

Temuan survei di atas tentunya tidak dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh perilaku pemilih. Namun setidaknya hal tersebut dapat menjadi tantangan dan intropeksi bagi partai Islam maupun partai berbasis Ormas Islam untuk berbenah diri dan bekerja lebih keras dalam menghadapi pertarungan politik pada pemilu 2009.

Konflik Intern Partai

Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, partai-partai Islam telah banyak terbentuk dan ikut dalam pemilu. Saat ini kehidupan partai-partai Islam kondisinya masih buruk. Secara umum, gambaran partai-partai Islam dalam 10 tahun terakhir diwarnai koflik internal yang berujung pada perpecahan partai sehingga terbentuklah partai Islam baru.

PKB, misalnya, sebagian pendukungnya kini telah mendirikan dan bergabung ke dalam Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Partai ini dipelopori oleh sejumlah politisi dan kiai khos yang tidak sepaham dengan PKB. Karena itu, PKNU dapat membuat warga Nahdliyin terbelah, bahkan PKNU dapat mengurangi konstituen PKB secara signifikan pada 2009.

Tidak hanya dikalangan Nahdliyin, PAN pun mengalami perpecahan. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Partai Matahari Bangsa (PMB). Berdirinya PMB dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Muhammadiyah terhadap PAN, yang gagal memperjuangkan aspirasi politik warga Muhammadiyah. Karena itu juga, konstituen Muhammadiyah akan menjadi terbelah.

Potret di atas menunjukkan, konflik internal parpol Islam tampaknya akan menjadi masalah utama yang akan menjebak mereka dalam titik nadir berpolitik pada pesta demokrasi 2009. Pecahan partai tersebut dapat diprediksi akan terjadi penggembosan politik pada induk pecahan partai tadi. Jika itu yang terjadi, maka suara partai Islam dan partai berbasis ormas Islam sulit diprediksi untuk memperoleh suara melampaui batas angka 30 % jika ditotal dari angka keseluruhan parpol Islam.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa parpol yang berdasarkan Islam atau menjadikan umat Islam sebagai basisnya, sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda menguat dan terkonsolidasi; masih tetap bergumul dengan pelbagai masalah internal, yang membuat hampir tidak mungkin bagi mereka dapat berkembang menjadi parpol yang kuat, modern, mampu menarik massa pemilih sehingga memiliki peluang yang kuat pada 2009.

Peluang Parpol Islam

Dinamika politik Islam di Indonesia menarik dan unik dibandingkan dengan negara Islam lainnya. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi setiap kali Pemilu digelar parpol yang berbasiskan Islam tetap saja mendapatkan dukungan minoritas. Kondisi seperti itu diyakini masih akan terjadi pada Pemilu 2009 mendatang. Pertanyaannya, bagaimana sebetulnya peluang dan seharusnya partai Islam menghadapi pemilu 2009?

Meminjam perspektif Syamsuddin Harris, peluang parpol Islam maupun berbasis massa Islam tidak akan besar pada 2009. Menurutnya, ada pelbagai faktor yang dapat menyebabkan masih minimnya dukungan terhadap parpol Islam pada 2009. Salah satunya, parpol Islam masih kurang responsif terhadap kondisi masyarakat, ideologi partainya cenderung eksklusif serta krisis kepemimpinan dalam tubuh partai.

Dari bermacam faktor di atas, hendaknya parpol Islam melakukan pembenahan intra maupun ekstra untuk meningkatkan dan paling tidak mempertahankan suara pemilihnya. Untuk itu, dalam memperkuat titik lemahnya, setidaknya beberapa hal bisa dilakukan oleh parpol Islam. Pertama, parpol Islam hendaknya responsif terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat dengan harus menjalankan program yang dapat menyelesaikan masalah riil masyarakat, baik bidang pendidikan, pengangguran dan kemiskinan. Karena itu, parpol Islam harus merevitalisasi politik yang simbolik menjadi politik yang substantif, dalam arti menjabarkan secara jelas visi dan misi keislaman ke dalam program dan kerja politik yang relevan di masa kini.

Page 12: Partai politik-dalam-islam

Kedua, partai Islam harus lebih mengedepankan kepentingan jangka panjang daripada jangka pendek partai. Kepentingan jangka panjang dalam arti tidak terjebak pada kekuasaan. Karena kekuasaan akan menjadikan partai-partai Islam melupakan tujuan jangka panjangnya. Dan sejauh ini, sindrom itulah yang masih menjangkiti parpol Islam.

Ketiga, parpol Islam hendaknya bisa menjaga fatsoen politiknya. Melakukan hal ini perlu hati-hati karena kerakusan dalam berpolitik akan menjadikan boomerang yang siap menghantam bangunan karakter partai yang telah terbentuk secara mapan.

Terakhir, parpol Islam hendaknya menggunakan manajemen modern dalam mengelola partai. Saat ini, manajemen keuangan parpol Islam belum memiliki sumber dan pengelolaan keuangan yang baik. Ini disebabkan oleh tidak adanya manajemen dan sumber keuangan yang jelas dalam partai. Selama ini, dapat disinyalir terjadinya konglemerasi dalam partai Islam. Konglemerasi dalam arti para konglemerat berada di belakang sumber keuangan partai-partai Islam yang pemasukan dan pengelolaan dananya dilakukan secara rahasia dan tertutup.

Melihat berbagai potret di atas, parpol Islam harus segera melakukan rekontruksi dan penataan mendasar agar posisinya pada 2009 meningkat dan membaik. Di samping itu, partai-partai Islam harus mempersiapkan kader-kadernya yang mampuni untuk menyuplai penyelenggara negara yang dapat memberikan solusi dan menyelesaikan persoalan kebangsaan yang multidimensi baik di bidang ekonommi, budaya dan sosial politik.

http://satriajenggala.wordpress.com/2008/07/24/prospek-partai-politik-islam/

http://detikislam.com/2008/07/26/reposisi-partai-politik-menjelang-2009/

Categorized | Analisis

Reposisi Partai Politik Menjelang 2009Posted on 26 July 2008

Singgih Saptadi (http://singgihs.web.id)

PengantarDengan mengikuti pesta demokrasi daerah-daerah di Indonesia (Pilkada, Pilgub), kita temukan besarnya pemilih golput. Pergulatan meraih tampuk kursi nomor satu di Jawa Barat ternyata hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan Hade, pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih yang mengambil posisi golput dalam Pilgub Sumatera Utara malah lebih besar lagi, sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih.

Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara Fauzi Bowo dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%). Jika kita pernah mengikuti pemilihan kepala desa, mungkin kita akan tersenyum, bahwa kursi kosonglah yang menjadi pemenang di berbagai pilgub tersebut. Artinya, rakyat tidak menemukan pilihan dari berbagai calon yang maju dalam pilgub. Bahkan, untuk pilgub Jawa Tengah yang berlangsung 22 Juni 2008, angka golput sangat tinggi, mendekati 50%.

Tingginya angka golput berarti rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan kepala daerahnya. Fenomena ini dikuatirkan berlanjut pada Pemilihan Umum 2009 nanti.

Banyak faktor yang mendorong besarnya angka golput, seperti kurangnya sosialisasi pilgub dan lancar/tidaknya proses pendaftaran pemilih oleh KPUD, namun citra ideologis partai politik juga harus diperhatikan.

Partai Nir-Ideologi

Page 13: Partai politik-dalam-islam

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Abdul Hafiz Anshary memperkirakan pada 2009, pemilu akan diikuti oleh parpol dengan jumlah yang lebih banyak daripada 2004. Munculnya parpol-parpol baru tidak bisa kita pungkiri mengingat sejak pemilu 2004 kita melihat perpecahan di tubuh berbagai parpol.Melihat perpecahan di tubuh berbagai parpol, maka akan kita temukan faktor non-ideologislah yang menyebabkan terpecahnya parpol. Faktor non-ideologis yang dimaksud adalah kepentingan kelompok dan individu.

Faktor non-ideologis ini juga bisa kita lihat dari warna koalisi yang dibangun oleh berbagai parpol ketika menghadapi pilkada. Para pengamat politik sering menyebutnya koalisi multi-platform atau koalisi nir-ideologi atau koalisi “bukan-bukan”. Koalisi bukan berbasis Islam, bukan nasionalis, bukan pula Kristen, bukan platform parpol yang berkoalisi. Di satu daerah, parpol A berplatform Islam berkoalisi dengan parpol B berplatform nasionalis. Di daerah lain, parpol A malah berhadap-hadapan dengan parpol B.

Terkait dengan koalisi “bukan-bukan”, banyak orang berkomentar. Budiman Sujatmiko mempertanyakan ideologi parpol-parpol yang ada. Dilihat dari visi, misi dan gerak parpol, tidak ditemukannya perbedaan antar parpol. Isu yang diusung pun lebih pada mencari popularitas daripada menampilkan karakter parpol yang ideologis.Pada dasarnya, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Barometer Muhamad Qodari, koalisi “bukan-bukan” ini dibentuk bukan karena parpol sangat ideologis, sehingga koalisinya tak berwarna tegas. Namun sebaliknya, parpol-parpol yang berkoalisi tidak ideologis. Akhirnya yang mengemuka kepentingan keuasaan, parpol terkesan inkonsisten dan tidak memuaskan massa pendukung. Lebih gawat lagi, koalisi seperti ini akan melahirkan pemerintahan yang tidak efektif, karena banyaknya kepentingan parpol pengusung dan individunya.

Fenomena Partai Mengambang

Koalisi nir-ideologis ini juga disorot oleh Eep Saefulloh Fatah, sebagai parpol mengambang. Jika masa Orba kita sering mendengar istilah massa mengambang, maka demokratisasi era reformasi ini memunculkan fenomena partai mengambang. Karakter partai mengambang dijelaskan oleh Eep sebagai pertama, partai yang nir-ideologi, dimana partai menganut pragmatisme.

Kedua, partai nir-identitas, dimana kita tidak bisa menemukan perbedaan antara parpol satu dan lainnya, kecuali dari bendera dan nama.

Ketiga, oligarkis, dimana partai sangat terpusat pada figur pimpinan dan elite parpol. Dari berbagai survei beberapa tahun belakangan diperoleh suara bahwa rakyat merasa parpol tidak bekerja untuk mereka, malah sebaliknya mereka hanyalah instrumen parpol.

Keempat, nir-konstituten. Meski ada beberapa parpol dengan massa fanatik, namun suara pemilih tetap dibutuhkan. Uang terjadi parpol mendekat ke rakyat ketika menjelang masa pemilu. Eep mengatakan bahwa hubungan partai dengan pemilih bersifat ad hoc, sementara dan bubar selepas pemilu.

Masalah Kaderisasi

Masalah ketidak-berhasilan kaderisasi parpol bisa dilihat dari kemenangan wajah-wajah baru atas wajah-wajah lama dalam pilkada. Namun, kemenangan wajah-wajah baru di pentas pilgub tetap tidak menunjukkan citra ideologis parpol pengusungnya. Dari visi, misi dan program kerja pasangan calon di berbagai pilgub, sekali lagi kita tidak menemukan perbedaan yang signifikan.Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya memilih dengan rasional mereka, tetapi lebih pada citra yang sangat dipengaruhi sisi emosional mereka.

Lebih menyedihkan lagi, ketika parpol “mencomot” public figure khususnya artis. Ini membuktikan dugaan bahwa parpol gagal melakukan kaderisasi.

Kegagalan kaderisasi juga bisa dibaca dari sebuah survei harian nasional yang diturunkan pada pertengahan April 2008. Survei ini menunjukkan kalangan LSM yang mengetahui masalah dan akademisi yang menguasai teknik solusi tidak tertarik masuk ke dalam kancah politik. Bisa jadi, keengganan mereka terlibat dalam parpol dirasakan akan menghambat potensi diri dan memperlemah kontribusi mereka dalam kemajuan Indonesia. Dengan kata lain, partai politik tidak dilihat sebagai tempat yang tepat untuk membangun negeri ini.

Page 14: Partai politik-dalam-islam

Edukasi Parpol untuk Rakyat Pemilih

Ada sebuah pernyataan dari petinggi parpol yang sedang mengalami pertikaian internal, bahwa pertikaian dalam tubuh partainya adalah sebuah pelajaran politik bagi rakyat. Kita tidak tahu apa makna sesungguhnya pernyataan tersebut. Namun, sungguh disayangkan jika paradigma pendidikan politik yang seharusnya berpolitik secara baik dan benar, bergeser dengan tampilan “kekerasan politik”. Padahal, di media massa, sajian pertikaian dan kekerasan dalam acara televisi ditegur oleh Komisi Penyiaran Independen dan tidak dianggap bagian pendidikan.

Edukasi parpol untuk rakyat membutuhkan kejelasan ideologi parpol. Ideologi parpol akan menentukan arah gerak dan kerja parpol di tengah masyarakat. Ketika partai kosong dari ideologi, maka kita tidak bisa berharap banyak dari parpol untuk melakukan edukasi bagi masyarakat.Banyaknya parpol saat ini juga tidak menjamin edukasi politik bagi masyarakat. Banyaknya parpol, kata Budiman Sujatmiko, lebih menampakkan berseraknya aktivitas politik. Karena ideologinya kosong, parpol lebih pas dilihat sebagai kumpulan orang belaka, bukan kumpulan orang dengan ideologi yang sama. Ketika kosong dari ideologi, parpol hanyalah kendaraan untuk sampai ke kekuasaan.Dalam isu mutakhir, kenaikan harga BBM, banyak parpol menolaknya. Namun, penolakan mereka tidak mencerminkan dorongan ideologi parpol, sehingga penolakan hanyalah penolakan belaka tanpa solusi ideologis. Masyarakat pun tidak melihat penolakan oleh parpol sebagai keberpihakan kepada rakyat.

PenutupReposisi Parpol untuk menghadapi 2009 tak lain adalah reideologisasi parpol. Parpol harus memiliki warna tegas dalam kiprahnya di dunia politik dan masyarakat. Berpegang teguh pada ideologi dalam setiap gerak partai adalah edukasi terbaik yang bisa dilakukan parpol. Komitmen terhadap ideologilah yang akan menjadikan sebuah partai tumbuh besar di tengah masyarakat. Dengan ideologi parpol pula, pemerintahan akan berjalan dengan arah dan program yang jelas, bukan sekedar berkuasa, namun tidak efektif.

Jika parpol sudah ideologis, kita boleh optimis partisipasi rakyat dalam pemilu akan tinggi dan kita tidak malu kepada dunia bahwa the real winner dalam pemilu Indonesia bukan lagi kursi kosong.

Page 15: Partai politik-dalam-islam
Page 16: Partai politik-dalam-islam
Page 17: Partai politik-dalam-islam