partisipasi civil society dalam...
TRANSCRIPT
PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
(STUDI TERHADAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ABDAN SYAKURO
NIM:11140450000002
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
(STUDI TERHADAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ABDAN SYAKURO
NIM:11140450000002
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
v
ABSTRAK
ABDAN SYAKURO (11140450000002) PARTISIPASI CIVIL
SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI
TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LINGKUNGAN). Jurusan
Hukum Tata Negara, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018 M/1439 H.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah partisipasi civil society dalam
pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Lamongan. Yang menjadi tujuan
dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengatahui partispasi civil society dalam
pembentukan Peraturan Daerah kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014
tentang Izin Lingkungan serta pola relasi antara Pemerintah Daerah Kabupaten
lamongan dengan unsur civil society. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis
dengan pendekatan hukum empiris. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah melalui studi dokumen (studi kepustakaan). Dengan sumber
data berupa sumber data primer yang digunakan berupa wawancara dengan
berbagai pihak serta Peraturan Perundangan-undangan yang terkait dengan
masalah penelitian dan sumber data sekunder yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa civil society turut
berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan Daerah kabupaten Lamongan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan, yang mana dapat dilihat dengan
dihadirkannya Organisasi Masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
rapat dengar pendapat (public hearing) yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten
Lamongan melalui Badan Legislasi Daerah. Kemudian diketahui juga bahwa,
relasi yang terjalin antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dengan civil
society merupakan hubungan kemitraan mutualistik.
Kata Kunci : Partisipasi, Civil Society, Peraturan Daerah
Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S. H., M. Ag.
Daftar Pustaka : 1999 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena berkat
rahmat, nikmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW., Rasul pembimbing, penuntun, dan pemberi syafa’at kepada
umat di hari kiamat.
Skripsi yang berjudul “PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI TERHADAP PERATURAN
DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG IZIN
LINGKUNGAN)” ini disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk
menyelesaikan program Strata 1 (S1) di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentu saja, tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan dari perbagai pihak. Karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Dr. Hj. Maskufa, M. A., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak berkontribusi kepada
penulisan skripsi ini mulai dari pemilihan judul sampai skrisi ini berhasil
diselesaikan;
3. Ibu Sri Hidayati, M. A., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan arahan,
bimbingan, serta masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu syarif, S. H., M. Ag., selaku Dosen Pembimbing,
yang dengan sabar telah memberikan masukan, arahan, dan bimbingan
kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
5. Ibu Siti Hanna, M. A., Dosen Penasehat Akademik penulis, yang sejak
awal perkuliahan telah banyak memberikan banyak ilmu, arahan dan
vii
bimbingan serta membantu penulis dalam berbagai hal selama proses
perkuliahan;
6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk mengadakan
studi kepustakaan ;
7. Seluruh Dosen, Staf, dan Karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang
telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama masa
pendidikan berlangsung;
8. Orang tua penulis, Bapak Kasuwi dan Ibu Ismiati , yang tanpa kenal lelah
mendidik, mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis sehingga
penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik;
9. Saudara-saudara penulis, Hariruddin, Mufidatul Islamiyah, Riyadlul
Muttaqin dan Mujtahidul Ibad yang terus menemani serta memberikan
semangat selama penulis mengerjakan skrisi ini;
10. Syilvia Febriana Rosyida, yang telah dengan setia dan sabar menemani
penulis sejak awal pendidikan sampai dengan penyelesaian penulisan
skripsi ini;
11. Teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2014, yang
telah belajar dan berjuang bersama penulis dalam proses pendidikan,
terlebih kepada Baena Bina Bukhairi, Abdul Rahman, Khusnus Sa’bani,
Ali Sudrajat, Ismail Faruqi, Haikal Munzami dan Naufal Muhammad Faza
yang telah bersedia menjadi teman sekaligus mentor bagi penulis dalam
segala hal;
12. Sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Cabang Ciputat yang telah bersedia
menerima penulis untuk belajar dan berproses menjadi lebih baik.
Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah SWT., Tuhan yang
Maha Kuasa memberikan balasan dan pahala atas segala bantuan-bantuan dan jasa
yang telah diberikan kepada penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
viii
bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pembaca umumnya, Amin Ya
Rabbal Alamin.
Jakarta, 27 Sept5ember 2018 M
17 Muharram 1440 H
ABDAN SYAKURO
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI ....................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7
D. Studi Kajian Terdahulu ....................................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 13
BAB II PARTISIPASI DAN CIVIL SOCIETY ........................................... 14
A. Pengertian Partisipasi .......................................................................... 14
B. Bentuk Partisipasi ................................................................................ 16
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi .................................. 19
D. Pengertian Civil Society ...................................................................... 22
E. Karakteristik dan Komponen Civil Society ......................................... 25
F. Pembentukan Kebijakan Publik .......................................................... 26
x
BAB III DESKRIPSI UMUM WILAYAH KABUPATEN
LAMONGAN ................................................................................. 29
A. Kondisi Geografis dan Demografis ..................................................... 29
B. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat ..................................................... 30
C. Daya Saing Daerah .............................................................................. 32
D. Eksistensi Civil Society di Kabupaten Lamongan ............................... 33
BAB IV PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN LAMONGAN ...... 37
A. Pola Relasi Antara Civil Society dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamongan ............................................................. 37
B. Eksistensi dan Bentuk Partisipasi Civil Society Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Izin Lingkungan ................................................ 41
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 49
A. Kesimpulan .......................................................................................... 49
B. Saran .................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dan jawaban
dari krisis multi dimensi yang diakibatkan oleh keotoriteran rezim orde baru.
Iklim segar yang dibawa oleh angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas
dalam upaya-upaya penyaluran aspirasi. Kebebasan menyampaikan pendapat,
berekspresi, berserikat dan berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Ruang
politik pada era reformasi semakin terbuka lebar seiring dengan diberikannya
kesempatan dan kebebasan pada kelompok-kelompok masyarakat untuk
berekspresi dalam berbagai bentuk organisasi sosial politik non pemerintah
dengan mengusung berbagai asas dan tujuan masing-masing. Reformasi juga
merupakan suatu titik tolak menuju proses demokratisasi dalam segala bidang.
Dalam hal ini Dahl sebagaimana dikutip oleh Munafrizal Manan mengatakan
bahwa demokratisasi merupakan suatu proses perubahan dari pemerintahan yang
otoritarian yang cenderung tertutup terhadap liberalisasi dan partisipasi politik,
menuju poliarki yang memberikan kesempatan secara luas terhadap liberalisasi
dan partisipasi politik.1
Salah satu perwujudan dari reformasi di Indonesia adalah Otonomi
Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, otonomi daerah memiliki pengertian sebagai segala hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada.2 Hakikat dari adanya otonomi daerah ini adalah penyelenggaraan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan pemerintah
1 Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, (Yogyakarta: Resist Book, 2005),
h. 31.
2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (6).
2
daerah, artinya pemerintah daerah mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri dengan harapan supaya pembangunan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Kebebasan mengatur itu
merupakan bagian dari distribusi kekuasaan yang pelaksanaannya dilakukan
melalui pendelegasian kekuasaan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah harus berusaha dan
mampu mengembangkan diri, menggali seluruh potensi yang ada untuk
mensejahterakan warganya dan sekaligus mempertanggungjawabkan atas
pelaksanaan otonomi daerah. Lebih lanjut tujuan pemberian otonomi daerah
adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah,
memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas masyarakat.3
Konsekuensi lain dari otonomi daerah adalah pemerintahan daerah harus bisa
mandiri dalam membentuk peraturan untuk mengatur urusan dalam wilayahnya
yang disebut dengan Peraturan Daerah (Perda).
Terdapat unsur penting yang harus diperhatikan dalam pembentukan
Peraturan Daerah (Perda), yakni adanya partisipasi dari masyarakat. Partisipasi
masyarakat atau partisipasi publik dalam penyusunan peraturan daerah merupakan
hak masyarakat dan juga merupakan amanat Undang-Undang. Di dalam Pasal 96
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan serta dalam Pasal 237 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan secara jelas bahwa
masyarakat mempunyai hak untuk memberikan masukan baik secara lisan
maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di
dalamnya pembentukan peraturan daerah yang dapat dilakukan pada tahap
perencanaan/penyiapan maupun pada tahap pembahasan.
Salah satu pihak yang dapat berpartisipasi dalam menyampaikan pendapat
dan gagasannya dalam proses legislasi di daerah adalah civil society. Sebagai
salah satu elemen masyarakat, civil society dimaknai sebagai kumpulan institusi
atau organisasi di luar pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat
3 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 52.
3
kelompok-kelompok sosial dapat eksis bergerak.4 Civil society juga dapat
diartikan sebagai suatu tatanan sosial masyarakat yang memiliki peradaban
(civilization) di mana di dalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang
bersifat sukarela dan terbangun sebuah hubungan yang didasarkan pada suatu
ikatan yang bersifat independen terhadap negara. Partisipasi aktif dari civil society
ini akan menentukan keberlanjutan dari sebuah proses pembentukan kebijakan
dan produk hukum ditingkat pusat lebih-lebih ditingkat daerah, apakah nantinya
peraturan yang dibuat tersebut menjadi suatu peraturan yang dapat diabdikan
untuk kepentingan masyarakat atau sebaliknya. Afan Gaffar sebagaimana yang ia
kutip dari Einstadt menyatakan bahwa civil society mempunyai empat komponen
sebagai syarat, yaitu: (1) Otonomi, (2) Akses masyarakat terhadap lembaga
negara, (3) Arena publik yang bersifat otonom, (4) Arena publik yang terbuka
bagi seluruh elemen masyarakat. 5
Berdasarkan komponen tersebut di atas dapat dilihat bahwa civil society
sebagai ruang publik antara negara dan masyarakat mensyaratkan adanya
organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang mempunyai tingkat
kemandirian yang tinggi. Sehingga kekuasaan negara dibatasi oleh ruang publik
dalam bentuk partisipasi politik masyarakat yang ditujukan untuk pembentukan
kebijakan publik.
Civil society kian mendapat tempat dalam wacana publik di Indonesia,
terutama di era otonomi daerah yang sedang menuju pada konsep good
governance. Good governance menurut Achmadi, adalah pengelolaan pemerintah
yang baik, yang mengikuti kaidah-kaidah tertentu.6 Kata “baik” yang dimaksud
adalah mengutamakan partisipasi masyarakat sipil (civil society) dalam setiap
4 Hatifah SJ. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif
dan Partisipatif di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 5.
5 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 180.
6 Adib Achmadi, et.al., Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah, (Jakarta:
Masyarakat Transparasi Indonesia, 2002), h. 1.
4
proses pengambilan kebijakan maupun pembuatan produk hukum. Peran civil
society sangat dibutuhkan sebagai alternatif saluran partisipasi untuk
mendesakkan (pressure) kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi dari
masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat penting. Partisipasi dari civil
society ini sangat penting karena pada dasarnya kebijakan otonomi daerah
haruslah tetap mengedepankan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Jika
partisipasi masyarakat di daerah tinggi, maka proses terciptanya otonomi dan
desentralisasi akan terlaksana dengan lancar dan baik. Sebaliknya, bila aspirasi
dan kepentingan masyarakat tidak dikedepankan, maka akan menimbulkan
permasalahan baru di daerah.7 Selain itu peran civil society dalam
penyelenggaraan kekuasaan khususnya dalam tata kelola pemerintah daerah
menjadi salah satu acuan bagi pemerintah pusat dalam memberikan penilaian
kinerja (governance assesment) pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Instrumen tersebut adalah Indonesia Governance Index (IGI).8
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten/kota yang ada di
Jawa Timur yang tengah menggalami perkembangan dan pembangunan di
berbagai bidang. Perkembangan yang terjadi di Lamongan dapat terlihat dengan
semakin meningkatnya perekonomian di segala sektor, industri, perdagangan,
pendidikan dan jasa. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik sebagai
penunjang aktivitas warga merupakan salah satu tanda kemajuan peradaban
penduduk setempat. Namun, di sisi lain pembangunan yang saat ini sedang terjadi
juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan
penurunan kualitas lingkungan yang ditandai dengan munculnya berbagai
permasalahan lingkungan.
Selanjutnya dengan banyaknya kegiatan usaha di wilayah Kabupaten
Lamongan, sebagai upaya pembangunan dapat mengandung resiko terjadinya
7 Mokh. Najih, et.al., Hak Rakyat Mengontrol Negara: Membangun Model Partisipasi
Masyarakatdalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, (Malang: Intrans Publishing, 2006), h. 178.
8 Ayatullah Hadi, “Pola Hubungan Civil Society dan Pemerintah Lokal (Studi Kasus
Kegiatan NGO dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram Tahun 2011-
2015), (Prorgam Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta:
2017), t.d., h. 3.
5
pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup, maka untuk
memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya serta menjamin pemenuhan dan perlindungan atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat secara berkelanjutan9, Pemerintah Kabupaten Lamongan
membentuk sebuah instrumen hukum yang mengatur tentang izin lingkungan
yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1
Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan. Munculnya Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan Nomor 1 tahun 2014 tentang Izin Lingkungan, dapat dijadikan sebagai
contoh produk hukum yang menarik untuk diteliti karena meteri yang diatur
banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.
Bertolak dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap peran civil society dalam pembentukan Peraturan Daerah di
Kabupaten Lamongan, khususnya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan dalam Latar Belakang di atas,
diketahui berbagai permasalahan yang berkaitan dengan partisipasi dan
partisipasi civil society dalam proses legislasi di daerah yang dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pengetahuan masyarakat tentang legislasi.
b. Implementasi asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
pembentukan Perda di Kabupaten Lamongan.
c. Pola relasi antara civil society dengan Pemerintah Daerah.
d. Partisipasi civil society dalam pembentukan Perda di Kabupaten
Lamongan.
e. Implementasi Perda Izin Lingkungan.
f. Pengaruh Perda terhadap masyarakat.
9 Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan
Pasal 2 dan Pasal 3.
6
2. Pembatasaan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada, maka untuk
mempermudah pembahasan dalam penulisan penelitian ini serta agar arah
pembahasan tidak terlalu melebar dan keluar dari pokok pembahasan yang
semestinya, maka penulis merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini membahas mengenai partisipasi civil society yang ada di
wilayah Kabupaten Lamongan.
b. Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Perda Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin
Lingkungan.
3. Perumusan Masalah
Dari pokok permasalahan diatas dapat diuraikan menjadi 2 (dua) sub
permasalahan yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research
question), yaitu:
a. Bagaimana pola relasi antara civil society dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Lamongan?
b. Bagaimana eksistensi dan bentuk partisipasi civil society dalam
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun
2014 tentang Izin Lingkungan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana pola relasi antara civil society dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamongan.
2. Mengetahui bagaimana eksistensi dan bentuk partisipasi civil society
dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1
Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan.
7
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Sebagai media pembelajaran metode penelitian hukum sehingga dapat
menunjang kemampuan individu mahasiswa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya dan bagi peneliti
khususnya terhadap masalah pembentukan Peraturan daerah di
Kabupaten lamongan.
c. Dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis:
a. Dapat diketehui bagaimana Kabupaten Lamongan pola relasi antara
civil society dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan.
b. Dapat diketahui bagaimana dan sejauh apa sebenarnya civil society
berpartisipasi dalam pembentukan Perda Kabupaten Lamongan Nomor
1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan.
c. Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi Pemerintah Daerah serta
DPRD Kabupaten Lamongan.
D. Studi Kajian terdahulu
Ada beberapa penelitian yang membahas dan mengkaji tentang partisipasi,
civil society dan Peraturan Daerah (Perda), diantaranya adalah Dody Setyawan
yang menulis “Peran Civil Society Sebagai Pressure Grup Dalam Perumusan
Kebijakan Publik (Studi Pada Malang Corruption Watch [MCW])”. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa peran LSM Malang Corruption Watch
(MCW) dalam penyusunan APBD adalah melakukan Usaha-usaha agar proses
penganggaran berpedoman pada peraturan perundang-undangan, norma, dan
prinsip anggaran yang berlaku. Adapun cara yang digunakan LSM Malang
8
Corruption Watch (MCW) dalam menjalankan perannya adalah melalui advokasi
APBD.10
Artikel Jurnal yang ditulis Ni Made Ari Yuliartini Griadi dan Anak
Gunung sri Utari yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah”. Penelitian ini berkesimpulan bahwa hakikat pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda dapat memberikan landasan
yang baik dalam menciptakan suatu good governance serta memastikan adanya
implementasi yang lebih efektif. Pelaksanaan partisipasi masyarakat sendiri dapat
dilakukan dengan memberikan masukan-masukan atau pendapat dalam rapat
dengar pendapat umum, selain itu juga dapat disampaikan secara langsung kepada
anggota DPRD pada saat melakukan kunjungan kerja ataupun pada saat masa
reses.11
Dalam skripisi yang ditulis oleh Subekti yang berjudul “Partsipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Studi Partsipasi Masyarakat
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 23 Tahun
2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan Daerah)” menyimpulkan bahwa
Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Kabupaten Pemalang dibuat untuk
mengisi kekosongan hukum mengenai peraturan dalam bidang penanggulangan
kemiskinan daerah di Kabupaten Pemalang yang mana hal itu merupakan amanat
dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Selain itu
diketahui juga bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 23 Tahun
2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Kabupaten Pemalang dalam
pembentukannya sudah memberikan ruang partisipasi yang terbuka bagi
10 Dody Setyawan, “Peran Civil Society Sebagai Pressure Grup Dalam Perumusan
Kebijakan Publik (Studi Pada Malang Corruption Watch [MCW])”, Jurnal Reformasi, 1, 1 (Juli-
Desember, 2011), h. 13-22.
11 Ni Made Ari Yuliartini Griadi dan Anak Gunung sri Utari, “Partisipasi Masyarakat
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Kertha Patrika, 33, 1 (Januari, 2008), h. 1-5.
9
masyarakat dan melibatkan peran serta masyarakat sebanyak-banyaknya sesuai
dengan ciri hukum yang partisipatif.12
Badru Tamam dalam skripsinya yang diberi judul “Partisipasi Masyarakat
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Di Kabupaten Karawang (Studi
Terhadap Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan)” yang
pada kesimpulannya menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat di Kabupaten
Karawang dalam Pembentukan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Ketenagakerjaan dilakukan dengan 3 (tiga) bentuk, yakni: pertama, anggota
DPRD Karawang melakukan rapat dengar pendapat umum. Kedua, melakukan
kunjungan kerja ke daerah-daerah untuk mendengar aspirasi warga. Ketiga,
perwakilan elemen masyarakat memberikan masukan secara tertulis kepada
anggota DPRD Karawang. Sedangkan partisipasi dalam mengimplementasikan
Perda masih belum berjalan dengan baik utamanya dikalangan buruh pabrik atau
serikat kerja.13
Skripsi yang ditulis Hilman Purnama yang berjudul “Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Studi Terhadap Pembentukan
dan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 12 Tahun 2013
tentang Larangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol)” menyimpulkan
bahwa dalam pembentukan Peratuarn Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 12
Tahun 2013 tentang Larangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol
pada prinsipnya telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyusunan maupun pembahasan peraturan daerah baik
secara lisan maupun tertulis.14
12 Subekti, “Partsipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Studi
Partsipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 23
Tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan Daerah)”, (Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang: 2010), t.d.
13 Badru Tamam, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Perda)
Di Kabupaten Karawang (Studi Terhadap Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2011 tentang
Ketenagakerjaan)”, (Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah
Jakarta: 2017), t.d.
14 Hilman Purnama, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
(Studi Terhadap Pembentukan dan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 12
10
Dari beberapa tulisan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
ini berbeda dengan beberapa tulisan tersebut. Karya-karya terdahulu hanya
membahas tentang partispasi masyarakat dalam arti umum, yakni mencakup
individu dan kelompok. Sementara tulisan ini memfokuskan pada peran atau
partisipasi civil society dalam pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten
Lamongan serta lebih spesifik lagi membahas tentang Peraturan Daerah
Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan. Selain itu,
penelitian ini juga membahas tentang pola relasi antara civil society dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Secara umum metode penelitian dibagi menjadi tiga, yakni penelitian
kuantitatif, penelitian kuantitatif dan penelitian campuran. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni metode
penelitian yang di tujukan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang
oleh sejumlah individu atau kelompok orang dianggap bersumber dari
masalah-masalah sosial atau kemanusian.15
Sebagai penelitian yang berfokus pada kajian di bidang hukum, penelitian
ini termasuk dalam kategori penelitian hukum empiris, yaitu metode penelitian
hukum yang bertujuan untuk melihat hukum dalam arti nyata dan melihat
bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum
dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui wawancara dan studi dokumen (studi
kepustakaan). Studi dokumen merupakan salah satu teknik pengumpulan data
Tahun 2013 tentang Larangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol)”, (Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014), t.d.
15 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.
11
yang dilakukan dengan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan
content analisys.16
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan landasan teori
dengan mengkaji dan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen, laporan arsip, dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun
elektronik yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
sosiologi-politik, yakni dengan menganalisa norma hukum yang hidup di
tenngah masyarakat dan kemudian mengaitkannya dengan proses politik yang
terjadi dalam pembentukan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam dalam penelitian ini terdiri dari 2
(dua) macam. Pertama, sumber data primer, yang didapatkan melalui
wawancara atau interview dan peraturan perundang-undangan. Kedua, sumber
data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, dan hasil penelitian. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum,
meliputi:17
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan resmi, dan risalah dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi,
buku-buku, makalah-makalah, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian ini.
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), h. 21.
17 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 106.
12
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan meliputi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, ensiklopedia, majalah, surat
kabar dan situs internet yang bersangkut paut dengan pokok penelitian.
5. Teknik Analisis
Dalam pengolahan data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu dengan model interaktif dengan
beberapa tahapan yaitu melakukan reduksi data, sajian data, dan penarikan
kesimpulan. Pendekatan kualitatif mempunyai konsekuensi seorang peneliti
tidak lagi bekerja dengan angka-angka semata melainkan juga dengan
informasi, keterangan-keterangan, dan penjelasan-penjelasan dalam bentuk
kata atau kalimat sebagai perwujudan dari gejala yang diamati. Oleh karena itu,
teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis dengan logika atau
non-statistik.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripisi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing bab terdiri dari
sub bahasan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam penulisan dan
untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok, selain itu juga
untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari skripsi ini. adapun sistematika
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
studi kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
13
BAB II PARTISIPASI DAN CIVIL SOCIETY. Bab ini memuat pengertian
partisipasi, bentuk partisipasi, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi,
pengertian civil society, karakteristik dan komponen civil society.
BAB III DESKRIPSI UMUM WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN. Bab ini
menjelaskan tentang kondisi geografis dan demokrafis, kesejahteraan masyarakat,
daya saing daerah, dan eksistensi civil society di Kabupaten Lamongan.
BAB IV PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN LAMONGAN. Dalam bab ini
memuat tentang pemaparan dan pembahsan tentang hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis yang meliputi pola relasi antara civil society dan
pemerintah daerah Kabupaten Lamongan serta eksistesi dan bentuk partisipasi
civil society dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor
1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan.
BAB V PENUTUP. Bagian ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan
sebagai jawaban akhir dari pembahasan permasalahan dan juga saran-saran.
14
BAB II
PARTISIPASI DAN CIVIL SOCIETY
A. Pengertian Partisipasi
Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris
participation yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan.1 Banyak ahli
yang memberikan pengertian mengenai konsep partisipsi. Diantaranya Yulius
Slamet yang mengartikan partisipasi sebagai peran serta seseorang atau kelompok
masyarakat secara aktif dari proses perumusan kebutuhan, perencanaan, sampai
pada tahap pelaksanaan kegiatan yang baik melalui pikiran atau langsung dalam
bentuk fisik.2
Pengertian tentang partisipasi juga dikemukakan oleh Fasli Djalal dan
Dedi Supriadi, di mana partisipasi berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan
masyarakat atau kelompok untuk terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan
pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi juga diartikan bahwa
masyarakat mengetahui masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka,
membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.3
Sementara menurut Saldi Isra, sebagai suatu konsep yang berkembang
dalam sistem politik modern, partisipasi merupakan ruang bagi masyarakat untuk
melakukan negosiasi dalam perumusan kebijakan terutama yang berdampak
langsung terhadap kehidupan masyarakat.4
1 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet XXIX, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 419.
2 Yulius Slamet, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi, (Surakarta: Sebelas
Maret University Press, 1994), h. 7.
3 Fasli Djalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta: Adicita, 2001), h. 201-202.
4 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), h. 282.
15
Berbeda dengan Saldi Isra, Siti Irene Astuti mendefinisikan partisipasi
dengan keterlibatan mental dan emosi dari seseorang dalam situasi kelompok
yang mendorong mereka untuk menyokong kepada tujuan kelompok tersebut dan
ikut bertanggung jawab terhadap kelompoknya.5
Partisipasi sangat erat kaitannya dengan kesadaran warga, karena semakin
sadar seseorang bahwa dirinya diperintah, maka orang tersebut kemudian akan
menuntut untuk diberikan hak-haknya. Perasaan kesadaran seperti ini biasanya
dimulai dari orang-orang yang berpendidikan, orang yang kehidupannya lebih
baik, dan orang-orang terkemuka.6
Menurut Siti Irene Astuti yang ia nukil dari Cohen dan Uphoff, partisipasi
dibedakan menjadi empat jenis, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan,
partispasi dalam pelaksanaan, partispasi dalam pengabilan manfaat, dan
partisipasi dalam evaluasi.7
Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini
bersangkut paut dengan penentuan alternatif masyarakat yang berkaitan dengan
ide atau gagasan yang menyangkut kebutuhan bersama.Wujud pastisipasi dalam
pengambilan keputun ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan,
kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap program
yang ditawarkan.
Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan. Partisipasi ini meliputi
menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan
penjabaran program. Partisipasi jenis ini merupakan kelanjutan dari rencana yang
telah digagas sebelumnya.
Ketiga, partisipasi daam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam
pengambilan manfaat tidak dapat dilepaskan dari hasil pelaksanaan yang telah
dicapai, baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas
5 Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desantralisasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pendidikan, (Pustaka Pelajar, 2011), h. 50.
6 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013), h. 369.
7 Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desantralisasi dan Partisipasi,…..h. 61-63.
16
dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari segi
presentase keberhasilan program.
Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini
berkaitan dengan pelaksanaan program yang sudah direncanakan sebelumnya.
Partisipasi ini bertujuan untuk mengetahui capaian program yang sudah
direncanakan.
Berdasarkan beberapa pengertian partisipasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk keikutsertaan warga masyarakat, baik
secara individu maupun kelompok untuk ikut secara aktif dalam pengambilan
suatu keputusan atau pembentukan kebijakan.
B. Bentuk Partisipasi
Partsipasi masyarakat menjelma dalam bentuk yang berbeda-beda, apabila
dilihat dari cara keterlibatannya partisipasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu:8
1. Partisipasi langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu
dalam proses partisipasi. Partisipasi ini dapat terlaksana bila setiap orang
dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan
keberatan terhadap keinginan atau ucapan orang lain.
2. Partisipasi tidak langsung/perwakilan
Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya
melalui lembaga perwakilan yang sah.
Bentuk partisipasi menurut Effendi dalam Siti Irene Astuti, partisipasi
terbagi atas:
1. Partisipasi vertikal
Partisipasi vertikal, yaitu partisipasi antara masyarakat sebagai suatu
keseluruhan dengan pemerintah. Partisipasi vertikal ini terjadi dalam kondisi
8 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014), h. 200.
17
masyarakat tertentu di mana masyarakat berada sebagai status bawahan,
pengikut, atau klien.
2. Partisipasi horizontal
Partisipasi horizontal, yaitu partisipasi di antara sesama warga atau
anggota masyarakat, di mana masyarakat mempunyai kemampuan
berprakarsa dalam menyelesaikan secara bersama suatu kegiatan
pembangunan.9
Selain terbagi dalam beberapa bentuk, partisipasi juga dapat dibedakan
dalam beberapa tingkatan. Salah satunya sebagaimana dinyatakan oleh Sherry R
Arnstein yang dikutip oleh Sigit, bahwa berdasarkan kekuasaan yang diberikan
kepada masyarakat, partisipasi masyarakat terhadap program pemerintah dibagi
dalam 8 (delapan) jenjang mulai dari yang tertinggi sampai terendah sebagai
berikut:10
1. Citizen control, masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengendalikan
seluruh proses pengambilan keputusan. Pada tingkat ini masyarakat
memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang
berkaitan dengan kepentingannya. Masyarakat mempunyai wewenang dan
dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak
melakukan perubahan.
2. Delegated power, pada tingkat ini masyarakat diberikan pelimpahan
kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu. Untuk
menyelesaikan permasalahan, pemerintah harus mengadakan negosiasi
dengan masyarakat tidak dengan tekanan dari atas, dimungkinkan
masyarakat mempunyai tingkat kendali atas keputusan pemerintah.
3. Partnership, masyarakat berhak berunding dengan pengambil keputusan
atau pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi atas
masyarakat dan pemerintah. untuk itu, diambil kesepakatan saling
9 Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desantralisasi dan Partisipasi Masyarakat….., h. 58.
10 Sigit Wijaksono, “Penggaruh Lama Tingal Terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan Pemukiman”, Jurnal ComTech, 4, 1(Juni, 2013), h. 27.
18
membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan,
penyusunan kebijakan serta pemecahan masalah yang dihadapi.
4. Placation, pemegang kekuasaan (pemerintah) perlu menunjuk sejumlah
orang dari bagian masyarakat yang berpengaruh untuk menjadi bagian dari
anggota suatu badan publik, di mana mereka mempunyai akses tertentu
pada proses pengambilan keputusan.
5. Consultation, masyarakat tidak hanya diberi tahu tetapi juga diundang
untuk berbagi pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang
dikemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Adapun metode yang digunakan adalah survei tentang arah pikiran
masyarakat atau pertemuan lingkungan masyarakat dan publik hearing
atau dengar pendapat dengan masyarakat.
6. Informing, pemegang kekuasaan hanya memberikan informasi kepada
masyarakat terkait kegiatan, masyarakat tidak diberdayakan untuk
mempengaruhi hasil. Informasi dapat berupa hak, tanggung jawab dan
berbagai pilahan, tetapi tidak ada umpan balik untuk negosiasi dari
masyarakat. Kalaupun ada informasi hal itu sampaikan pada tahapan akhir
perencanaan sehingga masyarakat hanya punya sedikit kesempatan untuk
mempengaruhi rencana yang telah disusun.
7. Therapy, pemegang kekuasaan memberikan alasan proposal dengan
berpura-pura melibatkan masyarakat. Meskipun terlibat dalam kegiatan,
tujuannya lebih pada untuk mengubah pola pikir masyarakat ketimbang
mendapat masukan.11
8. Manipulation, merupakan tingkat partisipasi yang paling rendah, di mana
masyarakat hanya dipakai namanya saja. Kegiatan manipulasi ini
diperuntukkan untuk memperoleh dukungan publik dan menjanjikan
keadaan yang lebih baik meskipun hal itu tidak akan pernah terjadi.12
11 Ibid, h. 28.
12 Ibid, h. 28.
19
sejalan dengan penjelasan 8 jenjang partisipasi, Sigit membagi tipologi di
atas ke dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu:
1. Tidak ada partisipasi (non partisipation), yang meliputi:
a. Manipulation;
b. Therapy.
2. Partisipasi dalam bentuk hanya menerima ketentuan (degrees of tokenism),
yang meliputi:
a. Informing;
b. Consultating;
c. Placation.
3. Partisipasi yang mempunyai kekuasaan (degrees of citizen power), yang
meliputi:
a. Partnership;
b. Delegated power;
c. Citizen power.13
Bentuk-bentuk pelaksanaan partisipasi sangat bergantung pada situasi dan
kondisi masyarakat dan lingkungannya. Selain itu, tingkat kualitas sumber daya
manusia, kepedulian lembaga pendidikan atau lembaga swadaya masyarakat serta
sikap pemerintah sangat mempengaruhi bentuk partisipasi yang digunakan oleh
masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi
Secara umum terdapat 2 (dua) faktor yang mempengaruhi partisipasi,
yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri setiap individu
yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk turut berpartisipasi dalam suatu
kegiatan. Secara teoritis tingkah laku individu ditentukan oleh hal-hal yang
13 Ibid, h. 28.
20
bersifat sosiologis seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, pendidikan,
dan lamanya ia menjadi bagian dari masyarakat.14
Beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk turut ambil bagian
dalam proses partisipasi antara lain:
1. Pengetahuan dan keahlian;
2. Pekerjaan masyarakat;
3. Tingkat pendidikan dan buta huruf;
4. Jenis kelamin;
5. Kepercayaan terhadap budaya tertentu.15
Selain itu, sejumlah faktor lingkungan juga turut andil dalam
mempengaruhi hasil tingkat partisipasi seperti apakah suatu pemilihan
berlangsung pada saat terjadi krisis, sejauh mana relevansi kebijakan pemerintah
dengan kepentinagan individu, sejauh mana individu tunduk pada kelompok yang
berpengaruh dalam pemberiaan suara, dan sejauh mana individu mengalami
tekanan.
Adapun menurut Sunarti, faktor ekternal yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat adalah petaruh (stakeholder), yakni semua pihak yang berkepentingan
dan mempunyai pengaruh terhadap sebuah program. Petaruh kunci adalah siapa
yang mempunyai pengaruh sifnifikan atau mempunyai posisi penting guna
kesuksesan program.16
Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa problematika yang juga
berpengaruh terhadap partisipasi terutama yang menyangkut dengan peraturan
perundang-undangan. Setidaknya ada tiga faktor yang mendasari problematika
partisipasi tersebut, yaitu:
14 Sunarti, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Secara
Berkelompok”, Jurnal Tata Loka, 5, 1, (Januari 2003), h. 79.
15 Yoni Yulianti, “Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota Solok”, (Program Pasca sarjana
Universitas Andalas:2012), t. d., h. 10.
16 Sunarti, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan”,….. h.9.
21
1. Faktor Masyarakat
Yaitu masalah-masalah yang timbul dari dalam diri warga masyarakat,
diantaranya dikarenakan oleh:
a. Sikap apatis masyarakat;
b. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat;
c. Budaya paternalis yang masih kuat mengakar;
d. Tidak ada reward (berupa tindak lanjut) partisipasi masyarakat;
e. Responsibilitas masyarakat yang kurang;
f. Masyarakat tidak mengetahui mekanisme penyaluran aspirasi;
g. Keterbatasan akses masyarakat informasi;
h. Kurangnya daya dukung dari LSM atau media massa.
2. Faktor yuridis
Yakni faktor-faktor yang berkenaan dengan masalah regulasi, yang
diantaranya disebabkan karena:
a. Peraturan yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat;
b. Tidak adanya aturan yang dapat memaksa pemerintah untuk melibatkan
masyarakat dalam pembuatan peraturan;
c. Masih belum ada regulasi yang menjamin tersedianya informasi bagi
masyarakat;
d. Ketentuan tentang partisipasi yang tidak tegas dan mengikat;
e. Kurangnya sosialisasi peraturan atau kebijakan.
3. Faktor birokrasi
Faktor ini diantaranya diakibatkan oleh beberapa hal, yakni:
a. Sistem birokrasi yang belum memberikan ruang bagi publik;
b. Birokrasi yang diposisikan sebagai mesin;
c. Pemaknaan partisipasi yang kurang benar oleh birokrat;
d. Birokrasi yang kental dengan image uang;
e. Saluran aspirasi yang kurang baik;
f. Mobilitas massa yang kerap kali haya dijadikan kepentingan politik;
22
g. Partai politik yang belum mampu berkontribusi untuk kepentingan
masyarakat.17
D. Pengertian Civil Society
Istilah civil society dikenal juga dengan istilah masyarakat sipil, selain itu
sebagian ahli juga menyamakan istilah civil society dengan istilah masyarakat
madani. Civil society sendiri dimaknai sebagai kumpulan institusi atau organisasi
di luar pemerintah dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-
kelompok sosial dapat eksis bergerak.18
Dawam Raharjo mendefinisikan civil society sebagai suatu proses
penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama.
Menurutnya dalam masyarakat civil society, warga negara bekerja sama
membangun tatanan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang
bersifat non negara.19
Sementara menurut Azyumardi Azra, civil society atau masyarakat madani
adalah sekelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di
hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi
dan kepentingan publik.20
Lebih lanjut, Azyumardi menyatakan, masyarakat
madani lebih dari sekedar gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada
pembentukan masyarakat berkuaitas dan ber-tamaddun (civility).
Konsep mengenai civil society juga dapat diartikan sebagai suatu tatanan
sosial masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) di mana di dalamnya
terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah
17 Iza Rumesten R. S., “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah”, Jurnal Dinamika Hukum, 12, 1, (Januari 2012), h. 145-146.
18 Hatifah SJ. Sumarto, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif
dan Partisipatif di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 5.
19 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education…..,
h. 217. 20 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), h. 239.
23
hubungan yang didasarkan pada suatu ikatan yang bersifat independen terhadap
negara.
Dalam sejarahnya civil society atau masyarakat sipil untuk pertama kalinya
lahir dari perjalanan politik masyarakat sipil di Barat. Adalah Cicero (106-43 SM)
orang yang pertama kali menggunakan istilah civil society dalam filsafat
politiknya. Di sini civil society identik dengan negara (the state), yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas lain.21
Berbeda dengan Cicero,
Aristoteles (384-322 SM) tidak menggunakan istilah civil society, melainkan
koinoni politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan.22
Dalam perkembangannya, istilah civil society mengalami pergeseran
makna, sejalan dengan dinamika pemikiran dan faktor-faktor yang melingkupi
konteks di mana civil society itu diterapkan. Setidaknya minimal ada lima model
pemaknaan.23
Pertama, civil society yang identik dengan negara (state). Selain Cicero
dan Aristoteles, Thomas Hobbes dan Jhon Locke juga memahaminya sebagai
tahapan lebbih lanjut dari evolusi civil society, yang pada asasnya juga sama
dengan negara. Menurut Hobbes, sebagai suatu entitas negara civil society
mempunyai tugas meredam konflik dalam masyarakat. Karenanya, civil society
harus mempunyai sifat yang absolut yang mampu mengontrol sepenuhnya pola
interaksi warga negara. Berbeda dengan Hobbes, menurut Jhon Locke, civil
society hadir untuk melindungi kebebasan dah hak setiap warga negara. Sebab itu
civil society tidaklah absolut dan harus dibatasi perannya pada wilayah yang tidak
dapat dikelola masyarakat, serta tetap memberi ruang bagi negara secara wajar.
21 Muhamad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), h.1.
22 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education…..,
h. 217.
23 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, (Jakart: Logos, 1999), h. 21.
24
Kedua, civil society dimaknai sebagai sebagai visi etis dalam kehidupan
sosial. Ide ini dicetuskan oleh Adam Fergusen (1767), yang
mengkontekstualisasikan wacana civil society dengan konteks sosial-politik yang
terjadi di Skotlandia pada masa itu. Menurut Fergusen, ketimpangan sosial akan
hilang apabila publik memiliki solidaritas dan sentimen moral yang dapat
menghalangi munculnya kembali despitisme.
Ketiga, Thomas Paine (1792) yang memaknai civil society sebagai
antitesis dari negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah sangat
dibatasi, bahkan negara dianggap sebagai keiscayaan buruk belaka. Civil
societylah yang mengontrol demi keperluannya.24
Keempat, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan.
Wacana ini dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-
1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Hegel mengembangkan
pemaknaan civil society entitas yang cenderung melumpuhkan dirinya sendiri.
Lebih lanjut, Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat
tiga entitas sosial, yaitu: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Lain lagi menurut
Karl Marx yang memandang civil society sebagai masyarakat borjuis, sehingga
keberadaannya harus dihapuskan karena akan menjadi kendala untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas. Berbeda dengan Marx, Antonio Gramsci tidak
memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada
ideologis.25
Kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian
yang dikembangan oleh Alex de Tocqueville (1805-1859 M). Menurutnya civil
society tidak apriori maupun subordinasi dari lembaga negara. Model civil society
inilah yang kemudian menjadi basis kehidupan demokrasi modern, yag
24 Ibid, h. 24.
25 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education…..,
h. 219-220.
25
berlandaskan pada prinsip toleransi, desantrilasi, sukarela, swasembada, otonom,
dan konstitusionalisme.26
Sampai saat ini pemahaman para ahli tentang konsep civil society masih
berbeda-beda tergantung pada perspektif mana yang diikuti.
E. Karakteristik dan Komponen Civil Society
Civil society (masyarakat madani) membutuhkan unsur-unsur sosial yang
menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling terikat dan menjadi karakter khas dari civil
society. Para intelektual mendefinisikan karakteristik civil society sebagai
komunitas sosial dan politik yang pada umumnya memiliki peran dan fungsi yang
berbeda dengan lembaga negara.
Adapun beberapa unsur yang menjadi ciri civil society antara lain:
1. Ruang publik yang bebas (free public sphere), ruang publik yang bebas
merupakan sarana bagi warga masyarakat untuk mengemukakan
pendapatnya.
2. Demokrasi, demokrasi merupakan syarat mutlak bagi keberadaan civil
society. Tanpa demokrasi civil society tak mungkin dapat terwujud.
3. Toleransi, bahwa dalam rangka mewujudkan kehidupan yang berkualitas
dan berkeadaban, civil society menghajatkan sikap-sikap toleransi.27
4. Pluralisme, kemajemukan merupakan salah satu syarat lain dari
terbentuknya tatanan civil society.
5. Keadilan sosial, yakni adanya keseimbangan antara dan pembagian yang
proposional antara hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup
26 Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah….., h. 30-31.
27 Adapun yang menjadi sikap-sikap dari toleransi adalah kesediaan individu-individu
untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik dikalangan warga negara.
26
seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan
kesempatan.28
Dalam konteks civil society, menurut Meuthia Rochman ada tiga elemen
dasar dalam civil society yaitu:29
(1) masyarakat merupakan sumber perubahan,
hal ini didasarkan pada orientasi bahwa penyelenggaraan negara tidak dominan
ditentukan oleh pemerintah; (2) keterampilan dalam berorganisasi dengan prinsip
demokratis sangat diperlukan; (3) wajibnya penghormatan terhadap etika.
Sementara itu, Afan Gaffar sebagaimana yang ia kutip dari Einstadt
menyatakan bahwa civil society mempunyai empat komponen sebagai syarat:
pertama, otonomi, kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara, ketiga,
arena publik yang bersifat otonom dan keempat, arena publik yang terbuka bagi
seluruh elemen masyarakat. 30
Berdasarkan komponen tersebut di atas dapat
dilihat bahwa civil society sebagai ruang publik antara negara dan masyarakat
mensyaratkan adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang
mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi. Sehingga kekuasaan negara dibatasi
oleh ruang publik dalam bentuk partisipasi politik masyarakat yang ditujukan
untuk pembentukan kebijakan publik.
F. Pembentukan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan publik merupakan merupakan salah satu tahap dalam
rangkaian proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik. Kebijakan
didefinisikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi dasar suatu
rencana pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi
pernyataan, tujuan dan prinsip sebagai pedoman dalam mencapai sasaran.
28 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education…..,
h. 225-227.
29 Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat Kendala
dan Peluang Menuju Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2002), h. 182.
30 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 180.
27
Kebijakan juga dapat diartikan sebagai arah tindakan yang ditujukan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi sejumlah atau persoalan tertentu.
Sedangkan kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam definisi tersebut mengandung
makna bahwa kebijakan publik tersebut dibentuk oleh suatu badan pemerintahan
bukan swasta serta kebijakan tersebut menyangkut pilihan yang harus dilakukan
atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.31
Pada umumnya kebijakan bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda
dengan hukum dan peraturan, kebijakan lebih bersifat adaptif dan interpretatif,
meskipun kebijakan juga mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Kebijakan ini juga bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri khas spesifik.
Kebijakan juga memberikan kesempatan untuk dapat diinterpretasikan sesuai
dengan kondisi yang ada. Kebijakan ini merupakan rujukan utama bagi subjek
yang dikenai kebijakan dalam bertindak.32
Pembentukan kebijakan publik merupakan salah satu fungsi penting dalam
pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari
pembuat kebijakan terhadap proses pembuat kebijakan menjadi sangat penting
bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai. Kemampuan
dan pemahaman terhadap prosedur pembentukan kebijakan tersebut terhadap
kewenangan yang dihadapinya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan
publik dibentuk dan dilaksanakan pada semua tingkat pemerintahan, oleh karena
itu, tanggung jawab pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkat sesuai
dengan kewenangannya.33
31
A. G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.
32 http://www.kebijakankesehatanco.cc/2009/09/pengertian-kebijakan.html, diakses pada,
Minggu, 30 September 2018.
33 Larry N. Gerston, Public Policy Making in a Democratic Seciety: A Guide to Civic
Engagement, (Armonk: M. E. Sharpe, 2002), h. 14.
28
Terdapat empat hal pokok yang terkait dengan pembentukan kebijakan
publik yang sekaligus sebagai tahapan dalam pembentukannya, yaitu: 34
1. Perumusan kebijakan;
2. Implementasi kebijakan;
3. Evaluasi kebijakan;
4. Revisi kebijakan, yang merupakan perumusan kembali dari kebijakan.
Ada beberapa teori yang dapat digunakan dalam pembentukan kebijakan
publik, salah satunya di sampaikan oleh Anderson yang membagi dalam tiga teori,
yakni: Pertama, teori rasional-komprehenshif (the rational-comprehensive
theory) yang intinya mangarahkan agar pembentukan sebuah kebijakan publik
dilakukan secara rasional-komprehenshif dengan mempelajari permasalahan dan
alternatif kebijakan secara memadai.
Kedua, teori inkremental (the inkremental theory) adalah teori yang tidak
melakukan perbandngan terhadap masalah dan alternatif serta lebih memberikan
deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan. Teori
inkremental ini merupakan teori yang mencoba menyesuaikan dengan realitas
kehidupan melalui cara mendasarkan pluralisme dan demokrasi maupun
keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia.
Ketiga, teori mixed scanning yakni sebuah teori yang mencoba untuk
menggabungkan antara teori rasinal-komprehensif degan teori inkremental.35
34
Riant Nugroho, Public Policy,(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,2009), h. 494.
35 James E. Anderson, Public Policy Making, Boston: Houghton Mifflin Company,
2003.), h. 121-126.
29
BAB III
DESKRIPSI UMUM WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN
A. Kondisi Geografis dan Demografis
Lamongan merupakan sebuah Kabupaten yang berada di Propinsi Jawa
Timur. Secara geografis, wilayah Kabupaten Lamongan terletak pada 6o
5’ 54”
Lintang Selatan sampai dengan 7o 23’6” Lintang Selatan dan diantara 112
o 4’ 41”
Bujur Timur sampai 112o 33’ 12” Bujur Timur. Kabupaten Lamongan memiliki
luas wilayah kurang lebih 1.812,80 Km2 yang setara dengan 181.280 Ha atau +
3.78 % dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur dengan panjang garis pantai
sepanjang 47 Km.1 Batas administratif Kabupaten Lamongan berbatasan dengan:
a. Sebelah Barat : Kabupaten Tuban dan Bojonegoro;
b. Sebelah Utara : Laut Jawa;
c. Sebelah Timur : Kabupaten Gresik;
d. Sebeleh Selatan : Kabupaten Jombang dan Mojokerto.
Secara administratif Kabupaten Lamongan terbagi atas 27 kecamatan,
meliputi 462 Desa dan 12 Kelurahan yang terbagi dalam 1.486 dusun dan 309.976
Rukun Tetangga (RT).2
Kabupaten Lamongan dibelah oleh sungai Bengawan Solo dan secara garis
besar memiliki tiga karakteristik daratan, yaitu:
1. Bagian Tengah Selatan, merupakan dataran rendah yang relatif subur.
Daerah ini membentang dari Kecamatan Kedungpring, Babat,
1 http://lamongan.go.id/instansi/wp-content/uploads/sites/33/2013/05/Gambaran-
Umum-Kabupaten-Lamongan.pdf, diakses pada, Selasa 1 Mei 2018.
2 Ibid.
30
Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung, Sigio, Sarirejo, dan
Kembangbahu.
2. Bagian Selatan dan Utara, merupakan pegunungan kapur berbatu dengan
kesuburan sedang. Kawasan ini terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng,
Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro.
3. Bagian Tengah Utara, merupakan daerah Bonorowo yang merupakan
daerah rawan banjir. Kawasan ini meliputi, Kecamatan Sekaran, Maduran,
Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinangun, dan Glagah.3
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan pada tahun
2017 jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tercatat sebanyak 1.188.478 jiwa.
Jumlah tersebut mengalami kenaikan sekitar 285 jiwa bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk tahun 2016 yang mencapai 1.188.193 jiwa. Bila dibedakan
menurut jenis kelamin, penduduk laki-laki lebih rendah dengan jumlah penduduk
perempuan. Ini terlihat dari besarnya rasio jenis kelamin yaitu 94,46 persen di
tahun 2017, yang berarti rata-rata untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat
94 penduduk laki-laki. Meskipun demikian, dari sisi jumlah baik laki-laki maupun
perempuan menunjukkan kecenderungan meningkat selama periode waktu 2010-
2017.4
B. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Lamongan, bahwa pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Lamongan Pada tahun 2011 mencapai angka 7,08% dengan
dua sektor mengalami pertumbuhan di atas 10%, yaitu sektor pembangunan dan
kontruksi serta sektor jasa-jasa yang masing-masing pertumbuhannya berada pada
angka 25,10% dan 15,37%. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Lamongan mengalami kanaikan dibanding tahun 2011 dengan pertumbuhan
3 Ibid.
4 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, Statistik Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Lamongan 2017, (Lamongan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, 2017), h.
10.
31
mencapai 7,12 % dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor pembangunan dan
kontruksi, kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran.5
PDRB per kapita juga merupakan salah satu indikator makro ekonomi
untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat. PDRB per kapita ini
diperoleh dengan cara membandingan PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB
per kapita Kabupaten Lamongan pada Tahun 2012 sebesar Rp. 12.184.430,- atau
tumbuh 13,11% dari tahun 2011 sebesar Rp. 10.771.552,-.6
Indikator lain dari tingkat kesejahteraan adalah tingkat kesehatan
masyarakat. Semakin sehat kondisi suatu masyarakat, maka akan semakin
mendukung proses dan dinamika pembangunan ekonomi suatu wilayah semakin
baik, khususnya dalam meningkatkan tingkat produktivitas. Keberhasilan atas
upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam bidang kesehatan dapat diukur
dengan beberapa indikator kesehatan antara lain angka harapan hidup, angka
kematian bayi, angka kesakitan, prevalensi balita kurang gizi, dan indikator lain
yang berkaitan dengan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
Beberapa indikator yang digunakan untuk menggambarkan kondisi tingkat
kesehatan antara lain angka kelangsungan hidup bayi (AKHP) dan usai harapan
hidup.
Pada tahun 2016 dari setiap 1.000 kelahiran bayi di Kabupaten Lamongan
terdapat 969 bayi yang mencapai usia 1 (satu) tahun dengan angka kematian bayi
di tahun yang sama diproyeksikan menjadi 30,13 per 1.000 kelahiran atau atau
turun 3,0 point dari tahun 2015. Sementara dari hasil perhitungan Badan Pusat
statistik, rata-rata angka harapan hidup di Kabupaten Lamongan selama enam
tahun terakhir (2010-2016) menunjukkan trend meningkat yaitu dari 71,18 di
tahun 2010 menjadi 71,73 di tahun 2016.7
5 http://lamongan.go.id/instansi/wp-content....., diakses pada, Selasa 1 Mei 2018.
6 Ibid.
7 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, Indikator Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Lamongan 2016, (Lamongan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, 2016), h.
14-16.
32
Dari data tersebut di atas dapat terlihat bahwa setiap tahunnya terdapat
peningkatan perbaikan angka tingkat kesehatan masyarakat, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa di Kabupaten lamongan tingkat kesehatan
masyarakatnya dapat dikategorikan sudah baik.
C. Daya Saing Daerah
Masyarakat Kabupaten Lamongan harus siap menghadapi era globalisasi
dan persaingan pasar yang hal itu salah satunya ditandai dengan kemajuan
tekhnologi, keterbukaan informasi perdagangan bebas antar negara. Pada era
globalisasi ini masyarakat harus mampu untu memanfaat kan berbagai peluang
dan meraih berbagai kesempatan.
Perbandingan antara nilai PDRB dengan tenaga kerja yang terserap disebut
dengan produktivitas daerah. Nilai PDBR Kabupaten Lamongan tahun 2011
sebesar 12.920.440.000.000,- dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 716.414
orang. Dari sektor pertanian telah memberikan kontribusi sebesar 49,17% atau
sebesar Rp. 3.135.747.710.000,- dengan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian
sebanyak 335.091 orang, sehingga produktivitas daerah dari sektor pertanian
sebesar Rp. 8.830.828,46. Artinya satu tenaga kerja di sektor pertanian mendapat
pendapatan sebesar Rp. 8.830.828,46 setiap tahunnya. Untuk itu dibutuhkan
dukungan tekhnologi pertanian yang lebih canggih dalam meningkatkan besaran
PDRB, yang akan berujung pada kesejahteraan petani di Kabupaten Lamongan.8
Kabupaten Lamongan memiliki berbagai potensi yang apabila dikelola
dengan baik dan maksimal akan dapat meningkatkat taraf kehidupan masyarakat
dan bisa menjadi nilai lebih daerah apabila dibandingkan dengan daerah lain. Dari
sektor pertanian misalnya, Kabupaten Lamongan memilki lahan pertanian yang
beragam seperti lahan basah, lahan kering, dan lahan holtikultura. Kondisi
tersebut akan dapat mampu menciptakan swasembada pangan terutama melalui
program-program yang ada, seperti ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, dan
rehabilitasi.
8 http://lamongan.go.id/instansi/wp-content....., diakses pada, Selasa 1 Mei 2018.
33
Di sektor peternakan, pembengembangan dan budidaya ternak di
Kabupaten Lamongan mulai dari skala kecil hingga skala besar, turut
menyumbangkan kontribusi yang besar bagi daya saing daerah. Budidaya ternak
sapi di Kabupaten Lamongan merupakan sentra unggulan pengembangan ternak
jenis sapi PO di kawasan Jawa Timur. Sedangkan peternakan ayam banyak
dikembangkan dengan pola kemitraan dan mandiri.
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang
mempunyai potensi sumber daya perikanan yang cukup besar, yaitu perikanan
budidaya dan perikanan tangkap. Wilayah Kabupaten Lamongan yang
mempunyai batas fisik langsung dengan garis pantai merupakan lokasi yang
berpotensi dapat diandalkan dalam perekonomian wilayah dalam hal
pengembangan budidaya ikan pendapatan dalam sektor perikanan laut, di mana
saat ini juga didukung oleh keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong
yang mempunyai skla pelayanan regional. Selain potensi perairan laut, terdapat
beberapa wilayah di Kabupaten Lamongan yang mempunyai potensi perairan
tambak dengan potensi andalan berupa produk bandeng dan udang.9
D. Eksistensi Civil Society di Kabupaten Lamongan
Keberadaan civil society tidak terlepas dari peran serta gerakan sosial.
Gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil
yang didasari atas tiga ranah, yaitu: negara (state), perusahaan atau pasar
(corporation and market), dan masyarakat sipil.10
Selama ini ada sebagian yang memandang bahwa yang menjadi
penjelmaan dari masyarakat sipil tiada lain selain organisasi non-pemerintah.
Namun, sebenarnya organisasi non-pemerintah hanya merupakan salah satu dari
organisasi masyarakat sipil yang berdampingan dengan organisasi massa,
terutama organisasi keagamaan, organisasi komunitas, organisasi profesi, media,
9 Ibid.
10 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014), h. 231.
34
lembaga pendidikan, dan lembaga lain yang tidak masuk dalam ranah politik dan
ekonomi.
Civil society sudah menjadi salah satu tradisi yang kuat bagi bangsa
Indonesia. Bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah
berkembang pesat yang ditandai dengan kiprah beragam organisasi sosial
keagamaan dan pergerakan nasional dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Selain sebagai organisasi perjuangan penegak HAM dan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial, organisasi berbasis Islam telah menunjukkan kiprahnya
sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan
masyarakat sipil di Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, hal ini juga
terjadi di Kabupaten Lamongan. Bagaimana masyarakat sipil menjadi bagian
penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat.
Pendudukan Kabupaten Lamongan yang mayoritas beragama Islam
memberikan corak tersendiri dalam kehidupan sosial budayanya. Organisasi-
organisasi masyarakat berbasis Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), serta lembaga
pendidikan tradisional pondok pesantren yang merupakan salah satu komponen
masyarakat sipil telah sejak lama menunjukkan eksistensinya di kalangan
masyarakat. Tak sampai di situ organisasi massa keagamaan telah memberikan
banyak pengaruh tak hanya dalam bidang sosial kemasyarakatan tapi juga dalam
bidang ekonomi dan politik.
Salah satu bukti eksistensi civil society di Kabupaten Lamongan, terutama
yang berbasis keagamaan cukup kuat adalah bahwa di Kabupaten Lamongan
terdapat dua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama, yaitu PCNU Lamongan dan
PCNU Babat yang keduanya memiliki Badan Otonom Masing-masing, di
antaranya: Gerakan Pemuda Ansor, Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) dan
Ikatan Pemuda Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dan Ikatan Pencak Silat Nahdatul
Ulama Pagar Nusa. Berdirinya PCNU Babat sebenarnya banyak menimbulkan
beberapa kontoversi serta menciptakan kebingungan di kalangan Pengurus MWC
35
yang bingung menentukan akan ikut Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama yang
mana antara PCNU Lamongan dan PCNU Babat.11
Tidak hanya organisasi massa keagamaan, organisasi non-pemerintah
(NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga telah banyak berdiri di
Kabupaten Lamongan. Bahkan setiap tahunnya selalu muncul LSM baru yang
mendaftar ke kantor Bankesbangpol Kabupaten Lamongan. Sampai tahun 2014
terhitung lebih dari 250 LSM di Kabupaten Lamongan. 12
Dari segi kuantitas jumlah LSM yang beroperasi di Kabupaten Lamongan
saat ini sudah cukup banyak. Meningkatnya jumlah LSM itu dikarenakan
mudahnya pengurusan perijinan untuk mendirikan LSM. Sebagaimana Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang
dibutuhkan untuk mendirikan LSM sangat sederhana yakni cukup dengan
membuat izin ke notaris, memiliki ADRT dan susunan pengurus sudah bisa
mendirikan LSM. Sehingga tidak mengherankan apabila setiap tahunnya jumlah
LSM terus meningkat.
Meskipun demikian, Pemerintah Kabupaten Lamongan, dinilai masih
belum bisa mengkoordinasikan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di
wilayah Kabupaten Lamongan. Hal ini dilihat dari alokasi dana yang diberikan
untuk LSM. Dari sekitar 250 LSM yang ada baru sekitar 20 LSM yang mendapat
alokasi dana dari APBD Kabupaten Lamongan.13
Lembaga Swadaya Masyarakat di Kabupaten Lamongan pada umumnya
memiliki ruang lingkup kegiatan meliputi pemberdayaan masyarakat, penguatan
hak-hak sipil, advokasi dan pendampingan, monitoring dan pengawasan kebijakan
pemerintah daerah. Dalam bentuk kongkrit mereka menjadi mitra pemerintah
dalam berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat. Berbagai kegiatan
11
http://m.bangsaonline.com/berita/12949/pcnu-babat-sarat-kepentingan-akan-seret-
kasus-ke-muktamar, diakses, pada Sabtu 10 Mei 2018.
12 Sulikan, Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga Bidang Partai Politik dan
Lembaga Swadaya Masyarakat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lamongan,
Interview Pribadi, Lamongan, 7 Mei 2018.
13 http://m.suarabanyuurip.com/kabar/baca/lsm-di-lamongan-menjamur, diakses pada,
Senin 5 Mei 2018.
36
pembinaan, workshop, pelayanan pendidikan dan kesehatan serta proyek-proyek
pemberdayaan masyarakat seperti PNPM. Sementara LSM yang bergerak dalam
bidang advokasi dan pengawasan banyak melakukan kritik dan bersuara lantang
melaporkan berbagai penyimpanga termasuk dugaan korupsi pada berbagai
proyek pemerintah daerah.
37
BAB IV
PARTISIPASI CIVIL SOCIETY DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH DI KABUPATEN LAMONGAN
A. Pola Relasi Antara Civil Society dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Lamongan
Interaksi antara pemerintah dengan civil society sejatinya senantiasa
terjadi, termasuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan. Meskipun civil
society mempunyai karakteristik yang otonom, keswadayaan, dan
keswasembadaan, namun, saat mengaktualisasikan perannya sebagai pengawas
serta advokasi terhadap kebijakan negara, mediator partispasi, dan memberikan
civic edication, masyarakat sipil senantiasa berinteraksi dengan kepentingan
negara atau pemerintah daerah. Melalui penguasaan sumber daya politik serta
agenda pemerintah sebagai pihak eksternal, maka sebenarnya pemerintah ikut
mengatur keberadaan civil society. Kendatipun kedua entitas tersebut sebenarnya
memiliki orientasi yang sama yakni mengenai pengembangan masyarakat sipil.
Pemerintah Daerah Kebupaten Lamongan dapat dikatakan memiliki
hubungan yang baik dan cair dengan civil society. Di mana kedua entitas tersebut
saling mengerti dan mengahargai keberadaan, tugas, serta wewenang masing-
masing pihak.1 Hubungan baik tersebut di antaranya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yakni: orientasi isu, finansial, organisasional dan kebijakan.2
Faktor-faktor tersebut di atas, sangat menentukan karakterstik hubungan
dan dapat pula difungsikan sebagai variabel aturan yang menghubungkan antara
1 Dyan, Kepala Sub Bagian Pemerintahan Umum dan Kewilayahan Bagian Pemerintahan
Sekratariat Daerah Kabupaten Lamongan, Interview Pribadi, Lamongan 8 Mei 2018.
2 Ayatullah Hadi, “Pola Hubungan Civil Society dan Pemerintah Lokal (Studi Kasus
Kegiatan NGO dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram Tahun 2011-
2015), (Prorgam Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta:
2017), t.d., h. 55.
38
pemerintah daerah dengan civil society. Berdasarkan landasan teoritik, empat hal
penentu hubungan tersebut berada pada free public spahre, sebab pada free
public spahre ini lah pergulatan antara pemerintah daerah dengan civil society
terjadi.
Dalam public sphere ini warga masyarakat memiliki akses yang luas
kepada kepada lembaga-lembaga, baik lembaga negara seperti: birokrasi, lembaga
perwakilan dan peradilan, maupun lembaga non-negara seperti partai politik dan
kelompok kepentingan. Dalam public sphere ini juga terdapat diskursus yang
intensif tentang segala hal yang terjadi dalam negara sehingga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara memiliki tingkat akuntabilitas yang tinggi. Disamping
itu, masyarakat juga dilibatkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik
melalui diskusi-diskusi publik yang intensif.3
Hadirnya ruang publik yang bebas sebagai saluran komunikasi warga
dalam sistem demokrasi ini, pada gilirannya, akan memberikan dampak yang
positif ke arah demokrasi.
Selain itu, hubungan antara pemerintah dengan civil society juga sangat
bergantung pada sistem pemerintahan dan pada logika kelembagaan yang dianut
oleh sebuah negara. Di negara yang menganut sistem demokrasi seperti di
Indonesia masyarakat diberikan ruang yang cukup untuk melakukan aktivitas
sosial, politik dan ekonomi tanpa adanya dominasi dari pemerintah atau
sekelompok kecil orang serta memiliki akses yang luas kepada, akan tetapi ruang
yang diberikan pada masyarakat pun tidak sama baik sifat maupun bentuknya.
Di Kabupaten Lamongan pola yang digunakan dalam pelaksanaan
hubungan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dengan civil society
ialah pola kemitraan mutualistik. Dalam relasi kemitraan mutualistik yang dijalin
antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dengan civil society, kedua belah
pihak mempunyai peran masing-masing. Kedua pihak tersebut secara umum
mempunyai peran yang sama dalam kemitraan ini yaitu menjalankan kemitraan
3 Ayatullah Hadi, “Pola Hubungan Civil Society….., h. 49-50
39
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara bersama-sama.4
Secara khusus pemerintah memiliki peran sebagai penguat komitmen,
pendamping, dan berkontribusi baik secara fisik maupun non fisik, sementara civil
society berperan membantu pemerintah dalam mewujudkan permasalahan-
permasalahan yang menjadi kepedulian bersama.
Bukti bahwa hubungan yang dijalin adalah hubungan kemitraan
mutualistik adalah Pemerintah Daerah memberikan bantuan finansial kepada
sejumlah civil society yang berada di wilayah Kabupaten Lamongan misalnya
kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lamongan, Pimpinan Cabang
Nahdlatul Ulama Lamongan, Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Babat,
Pengurus Daerah Muhammadiyah Lamongan, Lembaga Swadaya Masyarakat
Cakrawal Keadilan, Lembaga Swadaya Masyarakat Locus Pemuda Maritim
Lamongan dan sejumlah organisasi masyarakat lain yang di akui atau telah
terdaftar secara resmi di Bakesbangpol Kabupaten Lamongan.5
Sebagai bentuk timbal balik, sejumlah organisasi masyarakat seringkali
ikut serta bersama pemerintah daerah dalam berbagai kegiatan seperti penyuluhan,
seminar dan kegiatan lain sebagai pengisi acara atau narasumber, yang mana
kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai upaya bersama antara Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamongan dengan civil society untuk meningkatkan kesadaran
warga masyarakat.
Contoh lain wujud hubungan baik pemerintah daerah dengan civil society
adalah dengan dilibatkannya LSM dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup
melalui kegiatan yang direncanakan, seperti keikutsertaan dalam pemberian
AMDAL dan UKL-UPK, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
4 Dyan, Kepala Sub Bagian Pemerintahan Umum dan Kewilayahan Bagian Pemerintahan
Sekratariat Daerah Kabupaten Lamongan, Interview Pribadi, Lamongan 8 Mei 2018.
5 Sulikan, Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga Bidang Partai Politik dan Lembaga
Swadaya Masyarakat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lamongan, Interview
Pribadi, Lamongan, 7 Mei 2018.
40
mangrove dan limbah domestik oleh LSM Lingkungan serta pemberdayaan
masyarakat dalam upaya menciptakan kampung bersih dan sehat.6
Apabila diperhatikan bahwa relasi kemitraan mutualistik yang dibangun
Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan civil society masuk dalam model
fasilitation atau collaboratin di mana pemerintah daerah mengaggap kegiatan
civil society sebagai sesuatu yang bersifat komplementer. Di mana pemerintah
mendukung dan memberikan fasilitas baik berupa finansial maupun
organisasional kepada civil society. Sementara, civil society mewujudkan
dukungan itu dengan menyediakan forum bagi pemerintah dan civil society untuk
membahas hal-hal yang menjadi kepedulian bersama secara intensif. Selain itu,
pemerintah daerah juga beranggapan bahwa dengan adanya kerjasama dengan
civil society merupakan suatu keuntungan. Karena dengan kerjasama itu, semua
potensi dapat dihimpun untuk mencapai tujuan bersama.7
Dalam hubungan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan
civil society ini, ke dua pihak tersebut sama-sama menyadari pentingnya aspek
kemitraan, yaitu untuk saling memberikan manfaat dan mendapat manfaat lebih,
sehingga akan dapat mencapai tujuan secara lebih optimal.
Berangkat dari pemahaman akan pentingnya melakukan kemitraan, para
pihak yang terlibat kerjasama memiliki kedudukan yang sama. Dalam relasi
kemitraan yang terjadi adalah hubungan yang saling mendukung untuk
memudahkan masing-masing pihak dalam mewujudkan visi dan misinya, serta
saling menunjang satu sama lain. Selain itu, kemitraan yang dijalin
dilatarbelakangi karena para pihak memiliki pandangan yang sama dalam melihat
realitas sosial di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan permasalahan
ekonomi, sosifal, budaya, dan lingkungan.
6 Buku Laporan Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten
Lamongan Tahun 2016, Bab IV, h. 15.
7 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 20.
41
Dengan adanya hubungan baik yang terjalin antara Pemerintah Daerah
Kabupaten Lamongan dan civil society ini diharapkan akan memunculkan civil
society yang mandiri yang akan mampu menerobos batas-batas kelas, serta
memiliki kapasitas politik yang lebih tinggi, sehingga mampu menjadi kekuatan
penyeimbang dari kekuatan pemerintah.8 Pemikiran ini relevan untuk menjelaskan
realitas pola relasi antara negara dan masyarakat di Indonesia. Hal ini karena, di
dalam kerangka kelembagaan yang baru, reformasi telah membuka ruang publik
yang jauh lebih luas dalam rangka mewujudkan kehidupan berdasarkan prinsip-
prinspi yang dicita-citakan oleh para tokoh reformasi.
Sebagai konsekuensi dari perkembangan kerangka kelembagaan tersebut,
civil society yang semula identik dengan organisasi yang independen yang berada
di luar pemerintahan, nyatanya mulai memposisikan diri sebagai bagian dari
pemerintahan dalam artian terkait bahkan masuk dalam struktur negara.
Pergeseran tersebut yang kemudian melahirkan paradigma baru, yakni civil
society diposisikan pada tingkatan yang sejajar dengan negara (pemerintahan).
Sebagai dampaknya, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang selama ini
menjadi materi pokok perjuangan civil society dikonseptualisasikan menjadi tema
sentral dalam pengembangan kelembagaan negara. Sementara itu, bagi
masyarakat kerangka kelembagaan baru dinilai telah membuka peluang untuk
mewujudkan masyarakat yang terbuka dan berkeadilan sosial.9
B. Eksistensi dan Bentuk Partisipasi Civil Society dalam Pembentukan
Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Izin Lingkungan
Hubungan yang baik antara Pemerintah Daerah dengan civil society,
menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan untuk selalu
melibatkan masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat atau
8 Emizal Amri, et.al, “Pola Hubungan Negara dan civil society Patterns State and Civil
Society Relations” Jurnal Politik, 12, 02, (2016), h. 1823.
9 Ibid, h. 1824.
42
civil society dalam setiap pengambilan kebijakan publiknya, termasuk juga dalam
hal pembentukan Peraturan Daerah.10
Hal ini karena partisipasi merupakan aspek yang penting dalam
merealisasikan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, profesional dan
akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. 11
Selain itu, partisipasi
juga merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan daerah, yang
mana pembentukan peraturan daerah sendiri merupakan pilar utama bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Peraturan Daerah di Kabupaten Lamongan sebagai bagian dari Peraturan
Perundang-undangan, dalam proses pembentukannya memberikan kesempatan
bagi warga masyarakat maupun kelompok masyarakat yang berdomisili di
Kabupaten Lamongan untuk memberikan masukan, baik secara lisan maupun
tulisan dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibuat oleh
lembaga Legislatif dan eksekutif.
Partisipasi civil society sebagai salah satu elemen masyarakat dalam
pengambilan kebijakan publik, termasuk di dalamnya pembentukan peraturan
daerah di Kabupaten Lamongan pada dasarnya memiliki kesempatan cukup besar
dan strategis. Hal ini karena, partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sendiri telah diatur dalam berbagai macam regulasi
diantaranya: pertama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana pada Pasal 96
menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun masukan
10 Shofi, Kepala Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamongan, Interview Pribadi, Lamongan 7 Mei
2018.
11 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic Education
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014), h. 199-200.
43
secara lisan dan/atau tulisan dilakukan melalui: rapat dengar pendapat, kunjungan
kerja, sosialisasi, dan seminar, lokakarya, dan diskusi.
Kedua, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Pada Penjelasan Pasal 354 ayat (1) dijelaskan bahwa yang termasuk
aspek partisipasi masyarakat mencakup penyusunan Perda dan kebijakan daerah
yang mengatur dan membebani masyarakat; perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemonitoran, pengevaluasian pembangunan daerah dan pengelolaan
aset atau sumber daya daerah serta pelayanan publik. Yang menurut ayat (3) hal
itu dilakukan melalui konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian
aspirasi, pengawasan, dan keterlibatan lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Ketiga, Pasal 90 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yang
menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/tulisan dalam pembentukan Peraturan Daerah, Perkada atau PB KDH.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah merupakan
suatu kekutan masyarakat untuk mempengaruhi hasil akhir kebijakan pemerintah,
yaitu manipulasi, delegasi kekuasaan, dan kendali masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah
terbagi atas tiga tingkat.12
Pertama, yang dikategorikan sebagai tidak adanya
partisipasi, yakni tingkat yang disebut manipulasi dan terapi. Kedua, yang
dikategorikan sebagai partisipasi semu, yakni tingkat yang disebut peradaman,
konsultasi, dan informasi. Pada tingkat ini, masyarakat didengarkan dan
diperkenankan berpendapat, tetapi tidak memiliki kemampuan dan tidak ada
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan secara sungguh-
sungguh oleh penentu kebijakan dan ketiga, yang dikategorikan sebagai
kekuasaan masyarakat, yakni tingkat kemitraan, delegasi kekuasaan, dan kendali
12 Sigit Wijaksono, “Penggaruh Lama Tingal Terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan Pemukiman”, Jurnal ComTech, 4, 1(Juni, 2013), h. 28.
44
masyarakat. Dalam tingkatan ini, masyarakat memiliki pengaruh dalam proses
penentuan kebijakan.
Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin
Lingkungan ini lahir dari adanya kebutuhan hukum masyarakat di Kabupaten
Lamongan akan perizinan yang mengatur tentang lingkungan mengingat
banyaknya kasus perusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di
Kabupaten Lamongan sebagai dampak dari berkembangnya pembangunan dan
industri. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran yang di duga dilakukan oleh
pabrik gula PT. Kebun Tebu Mas (KTM), polusi udara dan juga bau tidak sedap
yang diakibatkan dari kegiatan pabrik sehingga menyebabkan warga di sekitar
lokasi mengeluh dan merasa terganggu sehingga masyarakt sekitar pabrik sering
melakukan demonstrasi menuntut pabrik berhenti beroperasi. Selain itu
pengolahan limbah pabrik yang tidak sesuai dengan standart dengan membuang
limbah sisa produksi ke sungai/Kali Lamong yang menyebabkan terjadinya
kerusakan ekosistem sungai, terlebih air Kali Lamong kerap dimanfaatkan warga
untuk kebutuhan mencuci dan kegiatan lain.13
Ada juga kasus limbah bubur kertas
yang dibuang di wilayah perbukitan gunung kapur di Sunan Drajat yang kian hari
kian parah sehingga membuat warga menjadi resah dan marah. Yang tak kalah
menyita perhatian adalah kasus pencemaran air laut radius 4 hingga 5 mil dari
daratan laut Paciran yang menyebabkan beberapa jenis ikan tangkapan nelayan
Paciran mati, ditambah lagi kawasan tersebut merupakan kawasan wisata bahari
yang tentu akan mengakibatkan wisatawan enggan untuk datang sehingga
mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi pemerintah daerah sebagai
pengelola dan warga sekitar yang menggantungkan hidup dari keberadaan lokasi
wisata tersebut.14
13
http://kabarone.com/pencemaran-limbah-pt-ktm-semakin-parah-warga-melakukan-
gerakan-aksi-demo/, diakses, pada Senin 12 Mei 2018.
14 http://surabaya.tribunnews.com/polres-lamongan-geber-penyelidikan-dua-kasus-
dugaan-pencemaran-lingkungan, diakses, pada Senin 12 Mei 2018.
45
Selain karena kebutuhan hukum lingkungan, dibentuknya Peraturan
Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan juga
merupakan amanat atau pendelegasian dari Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang sebelumnya telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat. Karenanya, DRPD bersama Pemerintah Daerah Kabupaten
Lamongan merespon hal tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Daerah.
Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1
Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan, DPRD Kabupaten Lamongan berupaya
untuk melibatkan masyarakat dalam prosesnya, di antaranya dengan mengundang
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan
Hidup (BLH), Organisasi Masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat
khususnya yang berkonsentrasi di bidang lingkungan untuk turut terlibat dalam
pembahasan Raperda memalui forum rapat dengar pendapat (public hearing) di
Balegda.15
Pada rapat dengar pendapat oleh Panitia Khusus II Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Lamongan yang diadakan di Balegda pada tanggal 5
Mei 2014, beberapa perwakilan masyarakat yang diundang turut menyampaikan
pendapatnya. Di antaranya ialah Nur Salim, ketua LSM Jaringan Masyarakat
Lamongan atau Jamal yang menyampaikan ponolakannya terhadap industrialisasi
yang ada di Kabupaten Lamongan, kendatipun demikian ia meminta agar dalam
pembentukan Perda izin lingkungan ini lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru
sehingga menimbulkan kesan bahwa Peraturan Daerah tentang izin lingkungan ini
hanya copy-paste dari Peraturan Daerah di daerah-daerah lain, sebab menurutnya
suatu Peraturan Daerah haruslah mempunyai ciri khas tersendiri yang
mencerminkan kondisi di Lamongan.16
15 Shofi, Kepala Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamongan, Interview Pribadi, Lamongan 7 Mei
2018.
16 Risalah Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Lamongan Dalam Rangka Pembahasan 10
(Sepuluh) Raperda Kabupaten Lamongan Tahun 2014.
46
Masukan juga diberikan oleh Ir. Choirul Anam, M. Pd., dari Universitas
Islam Darul Ulum (UNISDA) Lamongan. Ia menyampaikan bahwa izin
lingkungan sejatinya memiliki dua sudut pandang penting. Pertama, dari segi
hukum bahwa izin lingkungan adalah instrumen untuk memberikan kepastian
hukum bagi siapa saja yang ingin melakukan usaha, sehingga harus benar-benar
jelas bagaimana mana aturan mainya. Kedua, dari segi ekologi izin lingkungan ini
upaya untuk melindungi kehidupan hayati yang baik yang telah diciptakan tuhan
dengan begitu sempurna serta untuk menjamin hak-hak manusia untuk menikmati
lingkungan yang baik dan sehat.17
Sementara itu, Drs. Imam Ghazali, sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul
Ulama Lamongan menekankan pentingnya lingkungan hidup yang bersih dan
sehat. Menurutnya, memperoleh kehidupan dengan lingkungan yang mendukung
adalah hak setiap warga negara karenanya sangat perlu dilakukan pengawasan
yang ketat terhadap para pelaku usaha, terutama terkait dampak yang ditimbulkan
serta tegas dalam melakukan penindakan bila mana terjadi penyimpangan demi
terjaganya kondisifitas dan terwujudnya kepentingan umum. Tak hanya itu ia juga
meminta agar ada instrumen khusus dalam Perda yang mewajibkan pelaku usaha
melakukan upaya konkrit sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan hidup.18
Pada forum yang sama juga, wakil ketua Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Lamongan K. H. Kusnan Sumber, S. Ag., meminta agar dalam
Peraturan Daerah tentang Izin Lingkungan ini nantinya masyarakat dilibatkan
secara aktif dalam mengawal dan mengawasi penyelenggaraan perizinan dan
pelaksanaannya. Hal ini karena masyarakat merupakan pihak yang akan sangat
dirugikan bila mana dalam perjalanannya terjadi penyelewengan dan kesalahan
yang berakibat pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup mereka.19
17
Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.
47
Tidak adanya Peraturan daerah yang dapat menjadi rujukan dalam
penyusunan serta mekanisme taknis pembentukan produk hukam daerah di
Kabupaten Lamongan, mengakibatkan masyarakat hanya dilibatkan dalam proses
pembahasan melalui rapat dengar pendapat umum di Balegda, dengan cara Badan
Legislasi Daerah meminta masyarakat atau kelompok masyarakat (civil society)
untuk memberi masukan atas Raperda yang disusun oleh pansus dalam rangka
penyempurnaan substansi materi Raperda. Sementara proses serapan lain dalam
pembentukan peraturan daerah seperti sosialisasi, seminar, lokakarya, dan diskusi
tidak dilakukan secara maksimal sehingga aspirasi masyarakat yang terserap juga
kurang maksimal.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan Peraturan Daerah di
Kabupaten Lamongan pada umumnya serta Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 khususnya telah mencerminkan Peraturan
Daerah yang sesuai dengan asas partisipatif sebagaimana yang telah diamanatkan
oleh Undang-Undang.
Apabila diperhatikan setiap prosesnya, dapat disumpulakan bahwa dari
segi keterlibatannya bentuk partisipasi yang digunakan dalam pembentukan
Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin
Lingkungan masuk dalam kategori partisipasi langsung, ini karena DPRD
Kabupaten Lamongan menghadirkan langsung masyarakat untuk bertemu,
bertatap muka dalam forum rapat dengar pendapat guna didengarkan aspirasinya.
Adapun dari segi posisi, ini termasuk partisipasi vertikal di mana pemerintah
memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada masyarakat biasa karena yang akan
keputusan pada akhirnya adalah pemerintah juga.
Selain itu, partisipasi yang ada juga bukan partisipasi penuh (citizen
control). Hal ini karena, suatu Perda dapat dikatakan partisipatif penuh bila
masyarakat dilibatkan dalam keseluruhan proses pembentukan peraturan daerah
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan
pengundangan. Sementara dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
48
Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan, masyarakat hanya
dilibatkan dalam proses penyusunan itu pun tidak jaminan bahwa aspirasi yang
disampaikan akan ditanggapi secara sungguh-sungguh sehingga partisipasi yang
digunakan termasuk dalam kategori partisipasi semu atau partisipasi consultation
di mana masyarakat tidak hanya diberi tahu tetapi juga diundang untuk berbagi
pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang dikemukakan akan
menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Padahal, dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan daerah, maka diharapkan peraturan daerah yang dihasilkan dapat
mencerminkan kenyataan sosial yang berlaku secara umum dalam masyarakat.
Pada dasarnya urgensi partisipasi dalam pembentukan peraturan daerah yakni,
pertama, Menjaring pengetahuan-pengetahuan, keahlian, pengalaman masyarakat
sehingga Perda yang dibentuk benar-benar memenuhi syarat peraturan daerah
yang baik. Kedua, menjamin Perda sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat, menumbuhkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab, dan akuntabilitas.
Ketiga, menumbuhkan adanya kepercayaan, penghargaan, dan pengakuan
masyarakat terhadap pemerintahan daerah.20
Partisipasi masyarakat ini merupakan salah satu hal terpenting dalam
pembentukan peraturan daerah, sebab dengan adanya partisipasi masyarakat
secara penuh, maka diharapkan Peraturan Daerah yang dibentuk nantinya adalah
Peraturan Daerah yang bener-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
berada di bawah bukan Peraturan Daerah yang hanya sesuai dengan perspektif
para elit semata.
20 Josef Mario Montiero, Pemahaman Dasar Hukum Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2016), h. 81.
49
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pola relasi pemerintah dengan civil society sangat bergantung pada logika
kelembagaan yang dianut oleh suatu pemerintahan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis dari institutional framework yang di dalamnya terdapat
berbagai macam kesepakatan dan ketentuan yang dapat dijadikan sebagai
acuan bagi pemerintah maupun berbagai organisasi kemasyarakatan
termasuk civil society. Lebih lanjut, hal tersebut akan berpengaruh terhadap
cara organisasi berpersepsi dan bertindak terhadap tindaknya. Berdasarkan
hasil penelitian ini diketahuai bahwa, relasi yang terjalin antara Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamongan dengan civil society merupakan hubungan
kemitraan mutualistik. Di mana kedua belah pihak mempunyai peran
masing-masing. Kedua pihak tersebut secara umum mempunyai peran yang
sama dalam kemitraan ini yaitu menjalankan kemitraan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara bersama-sama. Secara khusus
pemerintah memiliki peran sebagai penguat komitmen, pendamping, dan
berkontribusi baik secara fisik maupun non-fisik, sementara civil society
berperan membantu pemerintah dalam mewujudkan permasalahan-
permasalahan yang menjadi kepedulian bersama.
2. Partisipasi civil society jelas terbukti ada dalam proses legislasi di
Kabupaten Lamongan. Hal ini dapat dilihat dengan dihadirkannya
Organisasi Masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam rapat
dengar pendapat (public hearing) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamongan melalui Badan Legislasi
Daerah. Namun demikian, dalam pembentukan Peraturan Daerah Nomor 1
50
Tahun 2014 tentang Izin Lingkungan partisipasi yang digunakan bukanlah
partisipasi yang penuh (citizen control), karena dalam pelaksanaannya,
elemen masyarakat hanya dilibatkan dalam satu proses saja diantara
beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan suatu Peraturan
Perundang-undangan, yakni hanya dilibatkan dalam proses penyusunan saja.
Sedangkan dalam proses lain seperti perencanaan, pembahasan, pengesahan,
dan pengundangan masyarakat tidak dilibatkan. Ini menunjukkan bahwa
partisipasi yang dilaksanakan oleh DPRD dalam pembentukan peraturan
daerah adalah partispasi yang bersifat semu atau consultation, yakni
masyarakat diberikan informasi tentang pembentukan Perda juga diajak
dalam pembahasannya namun, apa yang menjadi hasil pembicaraan tersebut
belum tentu masuk atau menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
B. Saran
Kepada Pemerintahan Daerah Kabupaten Lamongan direkomendasikan
beberapa hal, yakni:
1. Lebih mengoptimalkan partisipasi masyarakat, utamanya unsur civil
society proses dalam pembentukan Peraturan Daerah. Hal tersebut, dapat
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
a. Mengikut sertakan masyakat /partisipan yang dianggap ahli dan
independen, kelompok masyarakat (civil society) sebagai representasi
masyarakat, kelompok profesi, dan LSM dalam kelompok kerja
pembentuk peraturan daerah;
b. Melakukan public hearing melalui seminar, lokakarya atau
mengundang stakeholders dalam rapat penyusunan Peraturan Daerah,
serta menjadikan apa yang menjadi hasil pembahasan bahan untuk
dimasukkan dalam materi Peraturan Daerah;
c. Melakukan uji sahih untuk mendapatkan tanggapan dan masukan;
d. Mengadakan kegiatan musawarah awal terhadap Peraturan Daerah
sebelum secara resmi dibahas oleh anggota DPRD;
51
e. Mempublikasikan Rancangan Peraturan Daerah untuk mendapatkan
tanggapan dari masyarakat.
2. Membentuk Peraturan Daerah yang dapat dijadikan rujukan dalam
pembentukan produk hukum daerah.
3. Tetap mendukung dan mendampingi setiap kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh civil society yang dapat memberikan dampak positif
terhadap masyarakat.
Kepada civil society di wilayah Kabupaten Lamongan direkomendasikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Harus lebih memaksimalkan perannya sebagai agen penguat partisipasi
masyarakat.
2. Menjaga dan meningkatkan kinerja serta perannya dalam mendidik dan
mencerdaskan masyarakat.
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Achmadi, Adib, et.al, Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah,
Jakarta: Masyarakat Transparasi Indonesia, 2002.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Anderson, James E., Public Policy Making, Boston: Houghton Mifflin Company,
2003.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, Statistik Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Lamongan 2017, Lamongan: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lamongan, 2017.
--------------, Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Lamongan 2016,
(Lamongan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, 2016
Azra, Azyumardi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Creswell, John W., Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Djalal, Fasli dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Yogyakarta: Adicita, 2001.
Dwiningrum, Siti Irene Astuti, Desantralisasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pendidikan, Pustaka Pelajar, 2011.
Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet XXIX,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Gerston, Larry N., Public Policy Making in a Democratic Seciety: A Guide to
Civic Engagement, Armonk: M. E. Sharpe, 2002.
Hikam, Muhamad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999.
53
Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidelsial Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013.
Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Karni, Asrori S., Civil Society dan Ummah, Jakart: Logos, 1999.
Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta: Resist Book,
2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2011.
MD, Maruto dan Anwari WMK., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat
Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2002.
Montiero, Josef Mario, Pemahaman Dasar Hukum Pemerintahan Daerah,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016.
Najih, Mokh, dkk., Hak Rakyat Mengontrol Negara: Membangun Model
Partisipasi Masyarakatdalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Malang:
Intrans Publishing, 2006.
Nugroho, Riant, Public Policy,Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,2009.
Slamet, Yulius, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi, Surakarta:
Sebelas Maret University Press, 1994.
Sumarto, Hatifah SJ., Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Subarsono, A. G., Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an Civic
Education Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Peraturan Perundang-undangan:
Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Izin
Lingkungan.
54
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Jurnal/Skripsi/Tesis:
Amri, Emizal, et.al, “Pola Hubungan Negara dan civil society, Patterns State and
Civil Society Relations” Jurnal Politik, Vol. 12, No. 02, (2016),
Griadi, Ni Made Ari Yuliartini dan Anak Gunung sri Utari, “Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”. Jurnal Kertha
Patrika. Vol. 33 No. 1 Januari 2008, (2008).
Hadi, Ayatullah, “Pola Hubungan Civil Society dan Pemerintah Lokal (Studi
Kasus Kegiatan NGO dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di
Kota Mataram Tahun 2011-2015), Tesis S2 Prorgam Studi Magister Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017.
Huda, Ni’matul, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, Januari 2006,
(2006). Purnama, Hilman. “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
(Studi Terhadap Pembentukan dan Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Cianjur Nomor 12 Tahun 2013 tentang Larangan Peredaran
dan Penjualan Minuman Beralkohol)”. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
R. S., Iza Rumesten, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, Januari 2012,
(2012).
Setyawan, Dody, “Peran Civil Society Sebagai Pressure Grup Dalam Perumusan
Kebijakan Publik (Studi Pada Malang Corruption Watch [MCW])”. Jurnal
Reformasi. Vol. 1 No. 1 Juli-Desember 2011, (2011).
Subekti, “Partsipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Studi
Partsipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Pemalang Nomor 23 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan
Daerah)”. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang,
2010.
55
Sunarti, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Secara
Berkelompok”, Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 1, Januari 2003, (2003). Tamam, Badru, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
(Perda) Di Kabupaten Karawang (Studi Terhadap Peraturan Daerah
Nomor 1 tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan)”, Skripsi S1 Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta,
2017.
Wijaksono, Sigit. “Penggaruh Lama Tingal Terhadap Tingkat Partisipasi
Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Pemukiman”. Jurnal
ComTech. Vol. 4. No. 1 Juni 2013. (2013).
Yulianti, Yoni, “Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota
Solok”, Tesis S2 Program Pasca sarjana, Universitas Andalas, 2012.
Internet:
http://kabarone.com/pencemaran-limbah-pt-ktm-semakin-parah-warga-
melakukan-gerakan-aksi-demo/, diakses, pada Senin 12 Mei 2018.
http://lamongan.go.id/instansi/wp-content/uploads/sites/33/2013/05/Gambaran-
Umum-Kabupaten-Lamongan.pdf, diakses pada 1 Mei 2018.
http://m.bangsaonline.com/berita/12949/pcnu-babat-sarat-kepentingan-akan-seret-
kasus-ke-muktamar, diakses pada 10 Mei 2018.
http://m.suarabanyuurip.com/kabar/baca/lsm-di-lamongan-menjamur, diakses
pada 5 Mei 2018.
http://surabaya.tribunnews.com/polres-lamongan-geber-penyelidikan-dua-kasus-
dugaan-pencemaran-lingkungan, diakses, pada Senin 12 Mei 2018.
http://www.kebijakankesehatanco.cc/2009/09/pengertian-kebijakan.html, diakses
pada, Minggu, 30 September 2018.