pasar modern
DESCRIPTION
pengertrian pasar modernTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebijakan otonomi daerah menjadi pemicu banyaknya lahir Perda di berbagai tingkatan
propinsi dan kabupaten. Kebijakan tersebut memunculkan berbagai peraturan pendukung untuk
melegitimasi konsep otonomi daerah antara lain : UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, PP No. 1 tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Instrument hukum dari Pemerintahan Pusat inilah yang dijadikan landasan dan acuan dalam
penyusunan aturan di tingkat daerah dalam bentuk Perda.1
Sejalan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan porsi yang lebih besar kepada
setiap daerah untuk mengatur daerahnya masing masing, Salah satu faktor utama dalam
merealisasikan konsep otonomi daerah ialah dengan produk hukum (Perda). Kota Makassar yang
merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan kompleksitas masalah dan karaktersistik
masyarakatnya sangat perlu untuk mengatur segala problematika perkotaan. Salah satu yang
dianggap perlu untuk diatur ialah mengenai konsep perdagangan dalam hal ini persaingan
industri ritel.
Semenjak Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998 yang mengharuskan
diterapkannya segala program liberalisasi. Hal tersebut berujung pada ditandatanganinya letter of
intent dengan IMF yang memberikan peluang besar kepada investasi asing untuk masuk di
1 Huma, 2007. “Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori & Praktek”. Jakarta
1
Indonesia. 2 Salah satunya di bidang industri ritel. Sejak saat itu, peritel-peritel asing atau pasar
modern mulai berdatangan dan meramaikan industri ritel Indonesia. Pengusaha pasar modern
sangat aktif untuk melakukan investasi baik itu dalam skala Hypermarket, Supermarket dan
Minimarket. Salah satu contohnya adalah Continent, Carrefour, Hero, Walmart, Yaohan, Lotus,
Mark & Spencer, Sogo, Makro, Seven Eleven, dan Circle K.
Berdasarkan data AC Nielsen tahun 2008, diketahui bahwa pertumbuhan pasar modern
setiap tahunnya mencatat kisaran angka 10 % hingga 30 %. 3 Hal ini ditunjukkan dengan
ekspansi pasar modern sangat agresif hingga masuk ke wilayah pemukiman rakyat. Pasar
tradisional yang berada di wilayah pedesaan maupun pemukiman rakyat secara langsung terkena
imbasnya dengan berhadapan langsung dengan pasar modern tersebut. Persaingan diantara
keduanya pun tidak terhindari. Tidak hanya itu, karena minimnya aturan zonasi dari
pembangunan pasar modern maka pasar tradisional yang berada di kota-kota besar pun terkena
imbasnya. Persaingan head to head akibat menjamurnya pasar modern membawa dampak buruk
terhadap keberadaan pasar tradisional.. Salah satu dampak nyata dari kehadiran pasar modern di
tengah tengah pasar tradisional adalah turunnya omzet dan pendapatan terhadap pedagang pasar
setiap harinya.
Merespon keresahan tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No. 112
Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat
Perbelanjaan. Adapun arah kebijakan yang ingin dicapai antara lain pemberdayaan pasar
tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat,
2 Harvey, David. 2009, Januari. “Neoliberalisme & Restorasi Kelas Kapitalis”. Resist Book. Yokyakarta3 AC. Nielsen, 2008
2
serta saling menguntungkan; memberikan pedoman bagi penyelenggaraan ritel tradisional, pusat
perbelanjaan, dan toko modern; memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan
tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern; pengembangan
kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan
produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. 4 Untuk menegaskan Perpres 112, pemerintah
kembali mengeluarkan aturan pendukung yaitu Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Aturan ini,
lebih rinci mengatur mengenai zonasi, perjanjian perdagangan (traiding term) dan perizinan.
Berangkat dari Perpres 112 tahun 2007 dan Permendag No.58 Tahun 2008, beberapa kota
di Indonesia mulai menerapkan regulasi turunan untuk mendukungnya lewat Peraturan Daerah
(Perda). Beberapa daerah diantaranya Jawa Timur, Bandung, Manado, Solo, Makassar,
Tangerang dan Bekasi. Menarik dicermati, beberapa daerah yang telah terlebih dahulu membuat
Perda tentang perlindungan pasar tradisional masih mengalami permasalahan serius dalam
mengimplementasikannya di lapangan. Seperti yang ada di Provinsi Jawa Timur. Sejak Perda
tentang penataan pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di sahkan tahun 2008, efek positif
terhadap perlindungan pasar tradisional belum nampak. Bahkan beberapa tahun setelah terbitnya
Perda tersebut, ekspansi pasar modern dan toko modern justru semakin mendominasi. Beberapa
alasan yang mengemuka dikarenakan dalam Perda hanya mengatur secara normatif keberadaan
pasar tradisonal dan pasar modern. Sehingga dalam penegakkannya, pemerintah daerah dianggap
tidak serius.
4 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
3
Untuk kota Makassar sendiri, aturan mengenai industri ritel tertuang dalam Perda No.15
Tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern.
Perda ini merupakan produk hukum dari legislatif. Tujuan dari terbitnya Perda ialah ingin
melindungi pasar tradisional dan ekonomi kecil dari gencarnya pembangunan pasar modern di
kota Makassar. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Hj. Sri Rahmi, anggota DPRD Kota
Makassar yang juga menjadi salah satu Panitia Khusus (Pansus) pembuatan Perda No.15 Tahun
2009 di kota Makassar.
Regulasi mengenai perlindungan pasar tradisional menjadi suatu angin segar bagi para
pedagang pasar tradisional, aktifis, NGO dan pemerhati pasar tradisional dalam melindungi pasar
tradisional yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Makassar. Mengingat kontribusi pasar
tradisional sendiri terhadap masyarakat dan pemerintah kota Makassar tidak bisa dianggap
sepele. Dari total 16 pasar resmi yang ada di Kota Makassar, omzet yang disumbangkan untuk
pendapatan asli daerah dibidang retribusi baik sampah dan kios terbilang besar. Bahkan secara
historis, keberadaan pasar tradisional punya banyak sejarah perkembangan Kota Makassar.
Seperi pasar Boetoeng yang berdiri pada tahun 1917, merupakan pasar resmi pertama bentukan
dari kolonial Belanda dan menjadi objek pasar pertama pada saat itu dalam penerapan retribusi.
Selama proses pembentukan sampai menghasilkan Perda yang sah, memakan waktu
kurang lebih tiga bulan terhitung dari bulan Juli sampai dengan September 2009. Dalam proses
penyusunan, berbagai pihak menilai bahwa keterlibatan publik dan stakeholder yang terkait
dirasa sangat kurang. Walaupun keterlibatan publik tidak menjadi suatu kewajiban tetapi menjadi
ironi ketika suatu aturan yang tujuan dasarnya melindungi keberadaan pasar tradisional, justru
tidak melibatkan peran pedagang pasar tradisional dalam perumusan suatu Perda.
4
Pemerintah Kota Makassar yang didalamnya terdapat berbagai Satuan Perangkat Kerja
Dinas memiliki kewenangan dan tugas untuk melaksanakan Perda ini. Sesuai dengan amanat dari
UU.No.32 Tahun 2004, dimana pemerintah daerah berkewajiban untuk melaksanakan berbagai
Perundang-undangan yang dihasilkan. Menarik untuk dicermati bahwa Perda No. 15 ini,
semenjak diterbitkannya hampir tiga tahun lalu, belum mempunyai dampak positif terhadap
eksistensi pasar tradisional dan UMKM (Unit Mikro, Kecil, dan Menengah). Melihat fenomena
yang terjadi, ekspansi pasar modern di Kota Makassar justru semakin tidak terkendali. Hal
tersebut bisa dilihat dari data yang dikeluarkan lembaga Nielsen, dimana sepanjang tahun 2010
pertumbuhan minimarket meningkat 42 %, dimana menjadi 16.922 unit dibanding sebelumnya
sebesar 11.927 unit. contoh kasusnya.5 Pembukaan gerai-gerai minimarket baru seperti Alfamart,
Indomaret, Alfa Midi dan Alfa Express juga turut berperan dalam marginalisasi pasar lokal.
Bahkan khusus untuk AlfaMart, saat ini sudah membuka kurang lebih 60 gerai. 6
Alih alih meningkatkan daya saing pasar tradisional lewat aturan Perda, kenyataan justru
sebaliknya. Implementasi Perda dilapangan dirasa tidak berjalan sesuai harapan. Secara garis
besar pemerintah daerah dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Dinas yang berperan penting
dalam hal penegakkan hukum masih lemah. Dimana dalam Perpres ditekankan bahwa
pemerintah daerah diberikan kewenangan penuh dalam mengatur pemberian izin usaha dan
pendirian pasar modern. Alasannya, pemerintah daerah adalah pihak yang paling mengetahui
kondisi setempat dan mampu melakukan pemantauan secara berkala. Sehingga banyak orang
menilai bahwa aturan yang tertulis di dalam Perda serasa menjadi aturan ompong belaka karena
tidak di implementasikan secara serius.
5 AC. Nielsen, 20106 Wawancara dengan Abdul Hakim Pasaribu (KPD KPPU Kota Makassar). Rabu 23 November 2011. Pukul 10.00 Wita.
5
Berangkat dari pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji implementasi dari
Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern
di Kota Makassar dan dampaknya terhadap eksistensi pasar tradisional di Kota Makassar.
Adapun judul skripsi yang dimajukan ialah tentang “Eksistensi Pasar Lokal di Kota
Makassar” studi tentang Implementasi Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan
Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti terkait eksistensi pasar lokal
Kota Makassar dengan studi tentang implementasi perda no.15 tentang perlindungan,
pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern, maka peneliti membatasi
penelitian ini pada perumusan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi perda no.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar
tradisional dan penataan pasar modern oleh pemerintah Kota Makassar?
2. Bagaimana dampak implementasi perda tersebut terhadap eksistensi pasar lokal di tengah
maraknya pasar modern di Kota Makassar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan :
a. Menjelaskan dan mengetahui implementasi dari kebijakan Perda No.15 tahun 2009 di
Kota Makassar.
6
b. Menjelaskan dampak dari kebijakan Perda No.15 tahun 2009, terhadap perlindungan
pasar lokal yang ada di Kota Makassar.
2. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Mengetahui implementasi dari setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
kota, khususnya yang berhubungan dengan Perda no. 15 Tahun 2009 tentang
Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan Pasar Modern .
2) Mengetahui pengaruh dari hasil kebijakan Perda tersebut terhadap keberadaan
pasar lokal di kota Makassar.
3) Memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan
khususnya dalam penerapan kebijakan publik.
b. Manfaat Praktis
1) Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah kota Makassar dalam setiap
implementasi kebijakan , khususnya yang berhubungan dengan perlindungan
pasar tradisional.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, peneliti terlebih dahulu menjelaskan pendekatan institusional baru
sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan secara luas mengenai institusi dan cara kerjanya.
Dalam institusional baru dikenal banyak varian untuk melihat cara institusional bekerja. Salah
satu varian yang dipakai pada institusional baru ialah institusional pilihan rasional yang melihat
kecenderungan apa yang menyebabkan institusi bekerja terutama dalam mengimplementasikan
kebijakannya. Setelah itu menjelaskan tentang konsep dari kebijakan publik dan model-model
implementasi menurut beberapa ahli. Setelah itu menggambarkan konsep dan pemaknaan
tentang pasar. Terakhir, merumuskan pendekatan dan model implementasi dalam suatu kerangka
pemikiran dalam melihat dan menganalisis kecenderungan institusi dalam
mengimplementasikan kebijakan.
A. Pendekatan Institusionalisme Baru
Rhodes, R. (1997) dalam Marsh & Stoker mengatakan pendekatan institusional adalah
suatu subjek masalah yang mencakup peraturan, prosedur, dan organisasi formal pemerintahan.
Ia memakai alat-alat ahli hukum dan sejarahwan untuk menjelaskan batas-batas pada perilaku
politik maupun efektifitas demokratis 7. Dalam perjalanannya, pendekatan Institusional
mengalami semacam paradigma baru karena tidak tahan dengan berbagai kritikan yang datang
dari kubu behavioral dan strukturalisme yang mengatakan pendekatan institusionalisme
74 Marsh, David & Stoker, Gerry, 2011. “ Theory and Methods in Political Science”: Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media.
8
tradisional hanya berkutat pada organisasi politik dan pemerintahan formal saja tetapi tidak
keluar terhadap batasan yang lebih luas mengenai pemerintahan.
Berangkat dari desakan tersebut, para pemikir Institusionalisme mengembangkan suatu
paradigma baru yang dikenal dengan aliran Institusionalisme Baru. Pemikir yang
mengembangkan paradigma ini ialah March dan Olsen, yang melihat para pemikir ilmu politik
mainstream sebagai reduksionis karena menganggap institusi sudah tidak menarik lagi untuk di
kaji dalam ranah ilmu politik mainstream 8. March dan Olsen menegaskan bahwa institusi politik
memainkan suatu peran yang lebih otonom dalam membentuk hasil politik, menyatakan bahwa
organisasi kehidupan politik membuat suatu perbedaan.
Berangkat dari pertanyaan yang sangat menarik tentang apa yang menyusun suatu
institusi politik dan cara institusi politik itu bekerja dan menentukan serta mempertahankan
kepentingan, March dan Olsen mengemukakan suatu hipotesa. March dan Olsen melihat
kemampuan actor individu mempengaruhi bentuk dan berfungsinya institusi politik yang relative
otonom. Perubahan ini menarik pada saat perubahan institusional secara cepat. contohnya di
Inggris, inovasi institusional seperti privatisasi atau devolusi mempengaruhi perilaku politik, dan
bagaimana itu mempengaruhi politik yang sudah ada di institusi lama, pelayanan publik dan
kedaulatan parlementer. Ataukah di Negara bekas komunis Eropa Timur dan Tengah, bisakah
desain institusi politik baru mengubah perilaku politik kearah pengharapan demokrasi liberal. 9
8 Ibid. hal 1129 Ibid. hal 112
9
Tidak ada respon terhadap pertanyaan tersebut. Jika institusionalis ‘lama’ meremehkan
teori, institusionalis baru justru sangat antusias mengembangkan beraneka ragam proyek teoritis.
Jika institusionalis tradisional menggunakan metode deskriptif-induktif (menarik kesimpulan
dari penyelidikan empiris), Institusional-baru bereksperimen dengan pendekatan deduktif yang
berawal dari dalil-dalil teoritis tentang cara institusi bekerja. 10 Peralihan institusionalis dalam
ilmu politik sesungguhnya merupakan suatu rangkaian perkembangan, yang setidaknya pada
awalnya terjadi secara relatif independen satu sama lain. Sekarang telah banyak sekali
pendekatan institusional yang dikembangkan oleh para ahli, antara lain:
1. Institusionalis normatif mempelajari bagaimana norma dan nilai yang dikandung dalam
institusi politik membentuk perilaku individu ( lihat March dan Olsen (1984) dalam
Marsh, David & Stoker (2011)) 11
2. Institusionalis pilihan rasional menyatakan bahwa institusi politik adalah system aturan
dan desakan yang di dalamnya individu berusaha untuk memaksimalkan kegunaan
(kepentingan dan keuntungan) mereka (lihat Weingast (1986) dalam Marsh, David &
Stoker (2011)) 12
3. Institusionalis historis melihat pada bagaimana pilihan yang dibuat tentang desain
institusional sistem pemerintahan mempengaruhi pembuatan keputusan individu di masa
depan (lihat Hall dan Taylor (1996) dalam Marsh, David dan Stoker (2011)) 13
4. Institusionalis empiris, yang paling mirip dengan pendekatan ‘tradisional’,
mengelompokkan berbagai jenis institusional dan menganalisis dampak praktisnya
terhadap kinerja pemerintah (lihat Peters (1996) dalam David dan Stoker (2011)) 14
10 Ibid. hal 11311 Ibid. hal 11512 Ibid. hal 11513 Ibid. hal 11514 Ibid. hal 115
10
5. Institusionalis internasional menunjukkan bahwa perilaku negara disetir oleh desakan
struktural (formal dan informal) atau kehidupan politik internasional (lihat Rittberger
(1993) dalam David dan Stoker (2011)) 15
6. Institusionalis sosiologis mempelajari cara institusi menciptakan makna bagi individu,
memberikan batu-bata teoritis yang penting bagi institusionalisme normative dalam ilmu
politik (lihat Meyer dan Rowan (1991) dalam David dan Stoker (2011)) 16
7. Institusionalis jaringan menunjukkan bagaimana pola-pola interaksi yang diatur tapi
seringkali informal antara individu dan kelompok bisa membentuk perilaku politik (lihat
Mars dan Rhodes (1992) dalam David dan Stoker (2011)) 17
B. Konsep Kebijakan Publik
Dunn, 18 menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah kebijakan (policy) berasal dari
bahasa Yunani, Sansekerta, dan latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis
(Negara-kota) dan pur (kota) yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politea (Negara)
dan akhirnya dalam bahasa Inggris policie, yang berarti mengani masalah masalah publik atau
administrasi pemerintahan. Laswell dan Kaplan dalam Thoha, Miftah 19 memberikan definisi
tentang kebijakan yaitu sebagai program pencapaian tujuan, nilai nilai dalam praktek yang
terarah.
15 Ibid. hal 11516 Ibid. hal 11517 Ibid. hal 11518 Dunn, William N, 2000. ”Pengantar Analisis Kebijakan Publik”.Yokyakarta: Hanindita Graha Widya19 Thoha, Miftah, 1999. “Dimensi dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara”. Jakarta: PT. Grafindo Persada
11
Menurut Anderson (1979) dalam Winarno 20 menyatakan bahwa kebijakan merupakan
arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh suatu actor atau sejumlah actor
dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Konsep kebijakan ini mempunyai implikasi
yaitu: (1)titik perhatian dalam membicarakan kebijakan berorientasi pada maksud dan tujuan,
bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan sudah direncanakan oleh aktor aktor yang
terlibat dalam sistem politik, (2) suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan
berbagai kebijakan lainnya dalam masyarakat, (3) kebijakan adalah apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah, (4) kebijakan dapat
bersifat positif dan negative, dan (5) kebijakan harus berdasarkan hukum sehingga memiliki
kewenangan masyarakat untuk mematuhinya.
Kebijakan dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu
proses, dan sebagai suatu kerangka kerja.21 Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan
serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang
sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang
sebagai suatu cara dimana melalui cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai
produknya; dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan proses tawar menawar dan
negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.
Menurut Friedrick dalam Kismartini, 22 mengartikan kebijakan sebagai serangkaian
tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
20 Winarno, B, 2007. “Teori dan Proses Kebijakan Publik”. Yokyakarta: Media Pressindo21 Keban, Y. T, 2004. “Enam dimensi strategis administrasi publik, konsep, teori dan isu. Yokyakarta: Gava Media22 Kismartini, dkk, 2005. “Analisis Kebijakan Publik”. Jakarta: Universitas Terbuka
12
dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksana
usulan kebijakan tersebut dalam mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan definisi diatas, berarti
pemerintah harus mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan untuk merespon dan
menaggulangi permasalahan yang ada dengan memperhatikan sumberdaya yang dimiliki serta
menerima masukan dari seseorang/kelompok, sehingga ada jalan keluar yang terbaik dan
dihasilkan melalui proses yang fair.
Dunn dalam Dwidjowijoto 23 menjelaskan tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan
adalah sebagai berikut:
1. Fase penyusunan agenda, dimana para pejabat baik itu yang dipilih lewat pemilu maupun
diangkat, mengangkat isu tertentu menjadi agenda publik.
2. Fase formulasi kebijakan, dimana didalamnya pejabat merumuskan alternative kebijakan
untuk mengatasi masalah yang dirumuskan.
3. Adopsi kebijakan; disini alternative kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas dan consensus kelembagaan.
4. Implementasi kebijakan, yang didalamnya kebijakan yang diambil dilaksanakan oleh
unit-unit administrasi dengan memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya, terutama financial dan
manusia.
5. Penilaian kebijakan;di sini unit-unit pemeriksaan dan akuntansi menilai apakah lembaga
pembuatan kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan pembuatan kebijakan
dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
23 Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media Komputindo
13
Menurut Chander dan Plano (1988:107) dalam Keban 24 kebijakan publik adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan yang diambil telah banyak membantu para
pelaksana ditingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-
masalah publik. Bahkan, Chandler dan Plano juga beranggapan bahwa kebijakan publik
merupakan bentuk intervensi yang terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok
masyrakat tertentu agar dapat berperan dalam pembangunan maupun setiap tindakan yang
dikerjakan oleh pemerintah.
Sementara itu Islamy dalam Kismartini, 25 telah mengumpulkan beberapa pengertian
kebijakan publik seperti pendapat Thomas R. Dye, George C. Edwards dan Ira Sharkansky,
James Anderson dan David Easton. Dimana terdapat beberapa sudut pandang dari para ilmuwan
administrasi publik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1). Kebijakan publik dipandang sebagai tindakan pemerintah. Thomas R. Dye, mengemukakan
kebijakan publik sebagai “apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan”.
Dalam upaya mencapai tujuan Negara, pemerintah perlu mengambil pilihan langkah tindakan
yang dapat berupa melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Tidak melakukan sesuatu apa
pun merupakan sesuatu kebijakan publik karena merupakan upaya pencapaian tujuan dan pilihan
tersebut memiliki dampak yang sama besarnya dengan pilihan langkah untuk melakukan sesuatu
terhadap masyarakat.
24 Keban, Y. T. (2004). “Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu”. Yokyakarta: Gava Media25 Kismartini, dkk. 2005. “Analisis Kebijakan Publik”. Jakarta: Universitas Terbuka
14
Senada dengan pandangan Dye adalah George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, yaitu :
kebijakan publik adalah “apa yang dinyatakan dan dilakukan atau dilakukan oleh pemerintah
yang dapat ditetapkan dalam peraturan-paraturan perundang-undangan atau dalam bentuk policy
statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan
pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan
pemerintah”. Sementara itu, James E. Anderson memeberikan definisi kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
2) Kebijakan publik dipandang sebagai pengalokasian nilai-nilai masyarakat yang dilakukan
pemerintah. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, mengemukakan bahwa kebijakan publik
adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Sedangkan
David Easton mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai sevcara
paksa (sah) kepada seluruh anggota masyrakat.
3) Kebijakan publik dipandang sebagai rancangan program-program yang dikembangkan
pemerintah untuk mencapai tujuan. James E. Anderson mengemukakan bahwa kebijakan publik
adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah. Sementara itu, Edwards III dan Sharkansky mengemukakan bahwa kebijakan publik
adalah suatu tindakan pemeriintah yang berupa program-program pemerintah untuk mencapai
sasaran dan tujuan.
Dwidjowijoto 26 telah merumuskan definisi yang lebih sederhana, yaitu kebijakan publik
adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk
26 Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media komputindo
15
merealisasikan tujuan Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk
mengantar masyrakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju
pada masyrakat yang dicita-citakan.
Berdasarkan berbagai sudut pandang terhadap pengertian kebijakan publik di atas,
tampaklah bahwa kebijakan publik hanya dapat ditetapkan pemerintah, pihak-pihak lain atau
yang lebih dikenal dengan sebutan aktor-aktor kebijakan publik hanya dapat memepengaruhi
proses kebijakan publik dalam kewenangannya masing-masing. Menurut Dye dalam Kismartini,
27 hal ini disebabkan oleh 3 hal dari kewenangan yang dimiliki pemerintah, yaitu:
a) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memberlakukan
kebijakan publik secara universal kepada publik yang menjadi sasaran (target group).
b) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melegitimasi atau
mengesahkan kebijakan publik sehingga dapat diberlakukan secara universal kepada publik yang
menjadi sasaran (target group).
c) Hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan
kebijakan publik secara paksa kepada publik yang menajdi sasaran (target group)
Sementara Broomley (1989:3) telah menyusun model kebijakan berdasarkan hirarki
dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga tingkatan yang berkaitan dengan proses
penyusunan kebijakan dalam kelembagaan yaitu tingkat kebijakan (policy level), tingkat
organisasi (organizational level) dan tingkat operasional (operational level).
27 Kismartini, dkk, 2005. “Analisis Kebijakan Publik”. Jakarta: Universitas Terbuka
16
Pada tingkat kebijakan pernyataan umum dibahas dan diformulasikan oleh lembaga
legislative. Pada tingkat oraganisasi, kekuasaan dipegang oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya
tingkat operasional merupakan operasionalisasi kegiatan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi
atau lembaga masing-masing sebagai petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari kebijakan
untuk menghasilkan outcome yang diharapkan. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
harus mendapatkan respon positif dari masyarakat pengguna kebijakan.
Dalam tingkat operasional, ada anggapan bahwa ketika pemerintah membuat suatu
kebijakan tertentu, maka kebijakan tersebut dengan sendirinya akan dengan mudah dapat
dilaksanakan oleh pembuat kebijakan dan hasilnya akan mendekati seperti apa yang dharapkan
oleh pembuat kebijakan. Menurut Smith dalam Wahab, 28 pandangan demikian tidak seluruhnya
benar sebab di negara-negara dunia ketiga, implementasi kebijakan publik justru merupakan batu
sandungan terberat dan serius bagi efektifitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang
sosial dan ekonomi. Hal ini juga ditegaskan oleh Dwidjowijito 29 bahwa implementasi kebijakan
adalah hal yang paling berat, karena disini pada masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai
dalam konsep muncul dilapangan.
C. Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah
jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun
28 Wahab, Solichin Abdul, 1997. “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta: Bumi Aksara29 Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media komputindo
17
kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers
untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan
mengatur perilaku kelompok sasaran.
Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan
pemerintah. Badan badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke
hari yang membawa dampak pada warga negaranya. Dalam literatur Negara klasik, politik dan
administrasi dipisahkan. Politik, menurut Frank Goodnow dalam Subarsono, 30yang menulis pada
tahun 1900, berhubungan dengan penetapan kebijakan yang akan dilakukan oleh Negara. Ini
berhubungan dengan nilai keadilan, dan penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan administrasi, berhubungan dengan implementasi apa
yang harus dilakukan oleh negara dan apa yang efisien untuk dalam mengimplementasikan
kebijakan publik.
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh
Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku
kelompok sasaran (target group). Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh
banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun
variabel organisasional, dan masing masing variabel pengaruh tersebut saling berinteraksi satu
sama lain.
30 Subarsono, G. A, 2008. “ Analisis Kebijakan Publik”. Yokyakarta: Pustaka Pelajar
18
Dalam penerapannya terdapat berbagai model dalam Implementasi kebijakan yang
dihasilkan oleh para ahli. Seperti George C. Edwards III (1980) 31 yang memandang
implementasi dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3)
disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Dan keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama
lain.
Berbeda dengan pandangan Mazmanian dan Sabatier (1983) 32, yang mengatakan ada tiga
kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni (1) karakteristik dari
masalah (trac-tability of the problems), (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of
statute to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting
implementation)
Menurut Meter dan Horn, 33 ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi,
yakni; (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan
penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Model implementasi yang dikemukakan oleh Merilee S. Grindle (1980).34 Menurutnya,
ada dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni; isi kebijakan (content
of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan
mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi
kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups, sebagai contoh, masyarakat di
31 Ibid, hal 9032 Ibid, hal 9433 Ibid, hal 9934 Ibid, hal 93
19
slum areas lebih suka menerima program air bersih atau pelistrikan daripada menerima program
kredit sepeda motor; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu
program yang bertujuan merubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit
diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan
kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah
sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program
didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi
kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas
kelompok sasaran. Adapun model implementasinya digambarkan dengan skema berikut ini:
Skema 2.1
20
Model Implementasi Grindle, Merilee S, 1980:11 35
Untuk memudahkan peneliti dalam kefokusan menganalisis masalah, maka peneliti
mengambil model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Merilee S. Grindle. Alasan
memilih model ini karena dinilai cocok dalam menggambarkan cara cara institusi dalam
mengimplementasikan kebijakan terutama mengenai Perda no. 15 tentang perlindungan,
pemberdayaan pasar tradisional dan pentaan pasar modern.
D. Konsep dan Pemaknaan Tentang Pasar
Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak hanya bersumber
dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya, melainkan bersumber dari pemaknaan
tentang konsepsi pasar sebagai tempat berlangsungnya transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar
35 Ibid, hal 94
21
Tujuan kebijakan
Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh:
A. Isi kebijakan1. Kepentingan kelompok sasaran2. Tipe manfaat3. Derajat perubahan yang diinginkan4. Letak pengambilan keputusan5. Pelaksana program6. Sumberdaya yang dilibatkan
B. Lingkungan Implementasi1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi
actor yang terlibat2. Karakteristik lembaga dan penguasa3. Kepatuhan dan daya tanggap
Tujuan yang ingin dicapai…?
Program aksi dan proyek individu yang didesain dan didanai
Program yang dilaksanakan sesuai rencana
Mengukur Keberhasilan
Hasil Kebijakan
a. Dampak pada masyarakat, individu & kelompok
b. Perubahan dan penerimaan masyarakat
dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan
politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai tempat
bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salah satu implikasi dari proses
perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910) merupakan salah satu ahli
ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar dalam kerangka
pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik.
Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan
masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam
tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang
diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk
mendapatkan laba maksimum 36.
Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan budaya yang
membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua kategori masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara otonom menentukan keputusan bebas. Dalam
masyarakat seperti itu, pasar merupakan kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan
konsumen 37. Jika keputusan produsen ditentukan oleh biaya alternatif, harapan laba, dan harapan
harga pasar, maka keputusan konsumen ditentukan oleh daya beli, pendapatan minus tabungan,
harga dan harapan harga komoditas, serta faktor individual (minat, kebutuhan, dll). Dalam
masyarakat prakapitalistik, sebaliknya, kolektivisme menentukan keputusan individual. Pasar
dalam masyarakat seperti itu merupakan pertemuan sosial, ekonomi, dan kultural. Jika keputusan
36 Boeke, J. H, 1953. “Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia. N. V. Haarlem: HD Tjeenk Willink & Zoon.37 Sastradipoera, Komaruddin, “Pasar Sebagai Etalase Harga Diri”., dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage.
22
produsen lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi pendapatan yang telah
dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai kolektif yang dapat diraihnya.
Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi pasar di
kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi masyarakat prakapitalistik
yang ciri cirinya tampak dalam kelompok masyarakat yang masih berpatokan pada kolektivitas,
kegiatan ekonomi yang berlangsung di pasar (dalam arti tempat bertemunya penjual dan
pembeli) masih sangat diwarnai oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka,
hubungan personal antara penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’), serta
kedekatan hubungan sosial (yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam membeli barang
atau konsep ‘berhutang’). Karakteristik semacam ini pada kenyataannya tidak hanya ditemukan
dalam masyarakat perdesaan sebagaimana ditesiskan Boeke, tapi juga dalam masyarakat
perkotaan, yang bermukim di kota-kota besar di Indonesia. Kondisi semacam inilah yang
kemudian memunculkan dualisme sosial, yang tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem
sosial yang berasal dari luar masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan bertahan di
wilayah yang sama.
Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak hanya merupakan
arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat pertemuan warga untuk saling
interaksi sosial atau melakukan diskusi informal atas permasalahan kota 38. Pemaknaan ini
merefleksikan fungsi pasar yang lebih luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya
dalam berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti
38 Wahyudi dan Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo Surabaya Cermin Buruknya Pengelolaan Pasar”. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.
23
kebijakan perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi
ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar inilah yang
kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa kapitalistik, yang lebih
menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan, kemudahan, dan kelengkapan fasilitas
namun menampilkan sisi lain yang individualistis, “dingin”, dan anonim.
Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi individu yang
menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak diimbangi oleh pelembagaan nilai-
nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat. Kebiasaan sosial di kalangan masyarakat
perkotaan yang seyogianya menampakkan ciri-ciri masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya
masih menunjukkan kebiasaan masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian
memunculkan fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki lima di sekitar
mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi yang timpang di mana salahsatu
pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain berada dalam posisi termarginalkan, baik dalam
kerangka struktural maupun kultural. Friedman dalam Sastradipoera,39 menjelaskan bahwa
kesenjangan dalam pola relasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan dalam basis kekuasaan
sosial. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar menawar di
pasar terutama disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis
kekuasaan sosial tersebut. Beberapa penyebabnya adalah ketidaksamaan untuk memperoleh
modal atau aktiva produktif, ketidaksamaan dalam memperoleh sumber-sumber finansial,
ketidaksamaan dalam memasuki jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja, dan
ketidaksamaan akses untuk menguasai informasi.
39 Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”., dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage. Hal 112.
24
Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan
tawarmenawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni: (1) hilangnya harga diri (self-esteem)
karena pembangunan sistem dan pranata sosial dan ekonomi gagal mengembangkan martabat
dan wibawa kemanusiaan; dan (2) lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari
masyarakat yang berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian. Kondisi
ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi
salahsatu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional dalam persaingan dengan pasar
modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini semakin terbatas. Bila selama ini pasar
modern dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas,
dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer, area pasar modern
yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok
penjualan sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para
pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi
rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Akibatnya,
keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.
Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih
suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan
modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan
tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang.
Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar tradisional.
25
Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern belum
secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang mendukung pasar tradisional,
misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga
produk yang masuk ke pasar tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang
masuk ke pasar modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung
memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah
ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar modern untuk
masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan melebihi standar minimal.
Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial bukan
hanya antara pasar tradisional dengan pasar modern, tapi semakin meluas mengarah pada konflik
horizontal di masyarakat. Pembedaan kategori pasar tradisional dan pasar modern juga
menunjukkan stigmatisasi dan diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih
sarat dengan makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas strata
masyarakat.
E. Kerangka Pemikiran
Proses dalam implementasi kebijakan merupakan kajian yang memiliki kaitan yang
sangat erat dalam aliran institusional. Karena melibatkan organisasi politik baik itu formal dan
non-formal serta aktor aktor yang terlibat didalamnya. Dalam proses implementasi kebijakan
biasanya memiliki banyak faktor pendukung sehingga implementasinya berjalan baik. Seperti
yang dikemukakan oleh Grindle bahwa setidaknya ada dua variabel besar yang mendukung,
26
yaitu: isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Isi kebijakan meliputi: (1) kepentingan kelompok
sasaran yang termuat dalam isi kebijakan; (2) manfaat yang diterima oleh target groups; (3)
perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) letak program sudah tepat; (5) apakah
kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan baik; dan (6) sumberdaya yang memadai.
Sedangkan lingkungan kebijakan meliputi: (1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang
dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi
dan rejim berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsifitas kelompok sasaran.
Adanya variabel tersebut, maka kajian mengenai implementasi kebijakan mengharuskan
untuk meneliti tentang isi dari kebijakan, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam kebijakan
tersebut, institusi institusi baik formal dan non formal beserta aktor aktor yang terlibat
didalamnya, dan kepentingan apa yang melandasi dari setiap keputusan.
Pada poin ini, penulis mencoba menggambarkan skema kerangka pemikiran dalam
menganalisis implementasi Perda No.15 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional
dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar. Dalam menganalisis implementasi Perda tersebut
terlebih dahulu menjelaskan isi dari Perda dan tujuan yang ingin dicapai serta sasarannya (target
groups). Setelah itu penulis berusaha menjelaskan proses implementasinya dengan melihat
institusi institusi dalam pemerintahan daerah Kota Makassar yang terlibat serta aktor aktornya
dan kepentingan apa yang bermain didalamnya. Disini peneliti mencoba memakai aliran
institusionalis Baru dengan model pilihan rasional. Dimana dalam metode ini, peneliti melihat
cara institusi atau aktor aktor didalamnya bekerja didasari oleh kecenderungan pemaksimalan
kepentingan. Dan terakhir, peneliti berusaha untuk menjelaskan dampak dari implementasi Perda
27
No.15 tersebut terhadap eksistensi pasar lokal yang ada di Makassar. Secara umum, kerangka
pemikiran ini dapat dilihat dalam skema berikut :
F. Skema Berpikir
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan tentang perangkat-perangkat penelitian, mulai dari pemilihan
lokasi penelitian, tipe dan dasar penelitian, teknik pengumpulan data, analisa data serta konsep
operasional yang sangat membantu dalam kelangsungan penelitian ini.
A. Lokasi dan Objek Penelitian
28
Perda No. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern
Implementasi & Penegakkan Perda oleh Pemerintah dalam hal ini SKPD yang terkait
Dampak Penerapan Perda Terhadap Objek yang dilindungi, dalam hal ini Pasar Tradisional
TujuanMelindungi Pasar Tradisional dari Maraknya Pembangunan pasar modern
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Alasan memilih Kota Makassar
sebagai lokasi penelitian karena Makassar adalah satu-satunya daerah di Sulawesi Selatan yang
memiliki Perda tentang perlindungan pasar tradisional. Selain itu, di Makassar terdapat 16 pasar
resmi dan 23 pasar darurat dan lingkungan, yang keberadaannya akan terancam oleh maraknya
pertumbuhan dan pembangunan pasar pasar modern.
Objek penelitian adalah Perda No. 15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar
tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar. Alasan memilih Perda No. 15 tentang
perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar,
karena dalam Perda ini memuat aturan aturan tentang pendirian pasar modern, yang selama ini
oleh berbagai kalangan banyak dilanggar oleh pasar pasar modern dalam pembangunannya,
contohnya: pada pasal 7, dimana dalam pendirian pasar modern harus membuat analisa dampak
sosial ekonomi masyarakat dan kebertahanan pasar tradisional. Alasan lainnya ialah peneliti mau
melihat sampai sejauh mana tahapan implementasi Perda tersebut dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kota Makassar.
B. Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan ialah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang
menggambarkan secara jelas dan menganalisis mengenai implementasi dari kebijakan Perda No.
15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota
Makassar oleh pemerintah daerah serta dampak dari implementasi tersebut bagi eksistensi pasar
tradisional di Kota Makassar.
29
Dasar penelitian yang digunakan ialah kualitatif yang menggambarkan secara jelas
mengenai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, seperti isi kebijakan
dalam hal ini tujuan dan sasaran, aktor aktor yang terlibat, mulai dari pemerintah daerah dalam
hal ini dinas terkait, DPRD, Organisasi Pedagang Pasar Tradisional, pengusaha pasar modern,
dll, khususnya dalam penerapan Perda No.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar
tradisional dan penataan pasar modern di Kota Makassar.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Adapun yang dimaksud sebagai berikut:
a. Data Primer
Data Primer dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yaitu data yang diperoleh
langsung dari informan melalui wawancara secara mendalam untuk mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya terutama yang berkaitan dengan penerapan kebijakan
perda No.15 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar
modern di Kota Makassar. Proses wawancara ini menggunakan pedoman wawancara
(interview guide), agar wawancara tetap berada pada fokus penelitian. Informan yang
akan penulis wawancarai dalam pengumpulan data, ada lima yaitu:
a. DPRD Kota Makassar
b. Perusahaan Daerah Pasar Kota Makassar
c. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Makassar
30
d. Kepala Perizinan Kota Makassar
e. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kota Makassar
f. Ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong
g. Kamar Dagang Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan
b. Data Sekunder
Data sekunder dilakukan dengan studi pustaka dengan mengumpulkan dan
menganalisis arsip atau dokumen mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan
kajian dan fokus penelitian. Arsip dan dokumen yang dimaksud dapat berupa artikel
dan berita di surat kabar ataupu di internet, peraturan perundang undangan terkait,
dokumen dokumen perencanaan Kota Makassar, data statistik, dan tulisan tulisan yang
dapat memperkaya data yang dikumpulkan.
D. Teknik Analisis Data
Analisa data akan berlangsung hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Hal ini
untuk membantu peneliti melihat sejumlah kekurangan penelitian ini, sekaligus untuk menarik
dugaan-dugaan sementara yang akan dikaji lebih mendalam. Proses ini akan dimulai dengan
penulisan data yang lebih teratur dari proses pengumpulan informasi yang dilakukan melalui
proses wawancara, pencatatan lapangan serta observasi. Hal ini untuk memudahkan peneliti
mencermati sejumlah informasi tersebut. Informasi ini selanjutnya akan di triangulasi untuk
memastikan keabsahan (validity) data.
Langkah selanjutnya adalah penyajian data yang diperoleh dari hasil analisis serta
interpretasi terhadap sejumlah informasi selama penelitian. Penggunaan penyajian data ini untuk
memudahkan peneliti memahami data. Selain itu, juga akan membantu dalam menentukan
31
tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut, seperti melakukan proses analisis lebih dalam.
Kesimpulan sementara ini selanjutnya akan dicermati untuk menghasilkan kesimpulan
penelitian, dan akan dituliskan secara deskriptif-analitis. Penelitian ini akan berakhir ketika data
sudah mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Kependudukan Kota Makassar
Penelitian ini dilakukan di Makassar. Makassar adalah ibukota dari provinsi Sulawesi
Selatan. Wilayah Makassar sebagian besar merupakan kawasan pesisir dengan ketinggian 0-20
meter dari permukaan laut, dengan luas wilayah 175,77 km². Luas wilayah tersebut secara
administratif terbagi dalam 14 Kecamatan dengan 143 kelurahan, dan pada tahun 2009 tercatat
dengan jumlah penduduk terbanyak di Sulawesi Selatan, yakni 1.271.870 jiwa. Dari jumlah
tersebut, 617.747 jiwa merupakan laki-laki dan 654.123 jiwa adalah perempuan yang tersebar
dengan kepadatan sekitar 7.235/km².40
40 Sulawesi Selatan Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
32
Tabel 01: Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan Di
Kota Makassar
Kode Wilayah Kecamatan Luas Area(km2) Persentase terhadap luas Kota Makassar(%)
-1 -2 -3 -4
10 Mariso 1,82 1,04
20 Mamajang 2,25 1,28
30 Tamalate 20,21 11,50
31 Rappocini 9,23 5,25
40 Makassar 2,52 1,43
50 Ujung Pandang 2,63 1,50
60 Wajo 1,99 1,13
70 Bontoala 2,10 1,19
80 Ujung Tanah 5,94 3,38
90 Tallo 5,83 3,32
100 Panakkukang 17,05 9,70
110 Manggala 24,14 13,73
101 Biringkanaya 48,22 27,43
111 Tamalanrea 31,84 18,11
7371 MAKASSAR 175,77 100,00
Sumber : Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Makassar
33
Tabel 02 : Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin diKota
Makassar pada tahun 2009.
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
-1 -2 -3 -4
0 – 4 67.309 56.306 123.615
9 – May 63.494 66.162 129.656
10 – 14 61.488 56.04 117.528
15 – 19 60.285 72.389 132.674
20 – 24 66.806 87.28 154.086
25 – 29 56.272 71.356 127.628
30 – 34 55.521 56.561 112.082
35 – 39 45.491 52.304 97.795
40 – 44 37.014 29.526 66.540
45 – 49 25.729 29.164 54.893
50 – 54 18.456 24.183 42.639
55 – 59 15.296 19.563 34.859
60 – 64 18.558 17.179 35.737
65 + 18.551 24.066 42.617
Jumlah/Total 610.27 662.079 1.272.349
Sumber: Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Makassar
B. Kondisi Perekonomian Masyarakat Kota Makassar
34
Perkembangan Kota Makassar juga memicu kegiatan ekonomi yang kian pesat, hal ini
misalnya dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah perusahaan perdagangan yang mencapai
14.584 unit usaha, dengan rincian 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah, dan
7.574 perdagangan kecil. Untuk perkembangan industri, di Makassar terdapat 21 industri besar
dan 40 industri sedang yang menempati Kawasan Industri Makassar di kecamatan Biringkanaya,
serta selebihnya di kecamatan Tamalanrea dan Panakkukang yang masing-masing terdiri dari 5
unit. 41
Selain Sejumlah industri diatas, di Makassar, pembangunan ekonomi ditopang dengan
sejumlah akses masuk, yaitu pelabuhan Sukarno-Hatta dan Bandar Udara Sultan Hasanuddin,
serta dua terminal angkutan darat, Terminal Umum Mallenkeri dan Terminal Regional Daya.
Sektor perekonomian masyarakat kota Makassar pada umumnya bergerak disektor jasa,
perdagangan, perikanan (nelayan) serta industri melalui salah satu kawasan industrinya,
Kawasan Industri Makassar (KIMA). Sementara sektor perdagangan, khususnya kebutuhan
rumah tangga di kota ini berlangsung di pusat-pusat perbelanjaan modern serta pasar-pasar lokal
(tradisional).
Sebagaimana perkembangan kota pada umumnya, sebagai salah satu pusat
perekonomian, Makassar juga menjadi tujuan masyarakat dari sejumlah daerah di Sulawesi
Selatan dalam memasarkan produk-produk pertaniannya. Mereka yang datang dari sejumlah
daerah ini, pada umumnya bergerak disektor ‘informal’ seperti menjadi pedagang di pasar lokal
dan pa’gadde-gadde. Namun munculnya sejumlah pusat perbelanjaan modern dalam satu dekade
terakhir berpengaruh pada keberadaan dan keberlangsungan perekonomian masyarakat di sektor
41 Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Makassar.
35
informal tersebut. Dimana pasar lokal dan gadde-gadde tidak lagi menjadi penyangga utama
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di Makassar sendiri, terdapat sekitar 65 pasar lokal, baik resmi ataupun darurat yang
menjadi tempat transaksi pemenuhan kebutuhan masyarakat kota Makassar.42 Pasar-pasar lokal
ini menempati sejumlah tempat di Makassar, baik ditengah-tengah perkotaan seperti pasar
Terong, pasar Grosir Butung, dan pasar Pabbaeng-baeng. Ataupun yang menempati jalan-jalan
pemukiman warga, seperti pasar di perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Sebagai salah
satu sektor perekonomian masyarakat, keberadaan pasar lokal kini kian terancam dengan
sejumlah pasar-pasar modern, seperti Carrefour, Hypermart dan Giant
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan temuan penelitian tentang bagaimana implementasi dari Perda
No. 15 tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar
modern dijalankan oleh pemerintah kota Makassar dan dampaknya terhadap pasar lokal yang ada
di kota Makassar. Hal ini sangat perlu untuk membantu menganalisis kecenderungan apa yang
mendasari aktor aktor di pemerintahan dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD)
melakukan setiap tindakannya dalam mengimplementasikan Perda.
A. IMPLEMENTASI PERDA NO.15 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN,
PEMBERDAYAAN PASAR TRADISONAL DAN PENATAAN PASAR MODERN
DI KOTA MAKASSAR
42 Data Active Society Institute (AcSI) tahun 2008.
36
Dalam konteks perlindungan pasar tradisional di Indonesia, terlepas dari ideal atau
tidaknya peraturan per-undang undangan yang mengaturnya. Ada satu penyakit kronis yang
sampai saat ini tidak terobati. Penyakit tersebut adalah implementasi dan penegakan
hukumannya. 43 Contoh kasus di beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta dan Bandung.
Setelah terbitnya Perpres No.112 Tahun 2007 serta peraturan turunannya lewat Permendagri
No.58 Tahun 2008 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern, tidak lantas memberikan suatu payung hukum yang jelas kepada nasib pasar
tradisional dan para pedagang di dalamnya. Untuk kasus kota Jakarta, terdapat enam pasar yang
dikategorikan “mati” antara lain Pasar Sinar Utara, Pasar Karet Pedurenan, Pasar Blora, Pasar
Cipinang Baru, Pasar Muncang, dan Pasar Prumpung Tengah. 44 Kematian beberapa pasar
tersebut terjadi karena dalam lima tahun terakhir, pendirian ritel modern dalam hal ini
Hypermarket terjadi semakin massif. 45 Dari data yang dikeluarkan oleh APPSI, penurunan
omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot tajam sampai dengan 60 %, setelah hadirnya
Hypermarket. 46
Lain halnya yang terjadi di kota Bandung. Daerah yang menjadi ikon wisata Jawa Barat
ini, semakin hari semakin bertumbuh pesat terutama dalam bidang perdagangannya. Hal ini
memberikan efek terhadap gaya hidup masyarakatnya dalam hal berbelanja. Gaya hidup
berbelanja tersebut disokong dengan maraknya pembangunan beberapa pusat perbelanjaan dan
toko modern yang berada disana. Sehingga membuat beberapa pasar tradisional mengalami
43 Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2008, Oktober. “Pemantauan terhadap Implementasi Perda-perda Bermasalah”
44 Smeru, 2007. “Dampak Pendirian Supermarket Terhadap Pasar Tradisional”, Indonesia45 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI bekerja sama
dengan PT Indef Eramadani (INDEF), 2007, Desember. “Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Pasar Tradisional”, Jakarta
46 Sumber : Ac Nielsen, 2008
37
penurunan omzet yang sangat tajam. 47 Hal tersebut mendorong pemerintah Kota Bandung untuk
menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2009 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern. Dalam perjalannanya, Perda tersebut tidak lantas membuat aktivitas
persaingan antara pasar tradisional dan ritel modern tersebut semakin membaik. Dari 50 pasar
tradisional yang ada di kota Bandung tidak berimbang dengan populasi ritel modern yang
mencapai 147 unit. Ini menandakan perkembangan ritel modern cukup signifikan di Kota
Bandung. 48
Dalam perjalanannya, banyak kalangan mengharapkan agar Perpres 112 Tahun 2007 dan
permendagri No. 53 Tahun 2008 menjadi salah satu solusi terhadap konflik antara pasar
tradisional dengan pasar modern. Tetapi saat ini masih terdapat ketidakjelasan tentang
implementasi Perpres untuk tujuan perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional. Banyak
daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak pelaksanaan tidak melakukan apa apa karena
ketidakpahaman tentang implementasi dari Perpres dan Permendagri tersebut. Seperti apa
sesungguhya implementasi tentang zonasi dari pasar modern terhadap pasar tradisional dan
pemberdayaan pasar tradisional serta UMKM dapat dilaksanakan secara optimal. Kejelasan
konsep yang dibangun oleh Perpres 112 Tahun 2007 dan Permendagri Tahun 53 Tahun 2008
menjadi sandaran utama banyak kalangan sehingga mereka mengharapkan penjelasan yang lebih
rinci terkait hal tersebut.
Ketidakjelasan konsep lantas memberikan stimulus kepada beberapa daerah untuk
membuat suatu peraturan turunan dari Perpres 112 Tahun 2007 dan Permendagri No. 53 Tahun
2008. Salah satu daerah yang membuat Peraturan tentang perlindungan pasar tradisional ialah
47 Caroline Paskarina, S.IP., M.Si, dkk, 2007. “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung” Pusat Penelitian Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Bandung
48 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
38
Kota Makassar. Lewat Perda No. 15 Tahun 2009 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar
Tradisonal dan Penataan Pasar Modern diharapkan mampu untuk memecahkan masalah
persaingan di antara pasar modern dan tradisional yang ada di kota Makassar. Hal itu seperti
diungkapkan dalam wawancara bersama Hasanuddin Leo, yang merupakan anggota komisi B
Bidang Perekonomian dan Keuangan DPRD kota Makassar.
“ realitas pasar tradisional saat ini, di tengah maraknya pasar modern yang berkembang di kota Makassar, merupakan tuntutan kota Makassar sebagai kota metro. Untuk mengantisipasi terpuruknya pasar tradisional maka pemerintah dan DPRD mengeluarkan Perda tentang perlindungan pasar tradisonal” 49
Kebijakan publik, menurut William Dunn merupakan alat dalam menangani masalah
masalah publik atau administrasi pemerintahan. 50 Begitupun Dwidjowijoto 51 telah merumuskan
definisi yang lebih sederhana, yaitu kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara,
khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan Negara yang bersangkutan.
Kebijakan publik dipandang juga sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.
Berdasarkan definisi kebijakan publik tersebut, tampaklah bahwa kebijakan publik hanya dapat
ditetapkan pemerintah, pihak-pihak lain atau yang lebih dikenal dengan sebutan aktor-aktor
kebijakan publik, yang dapat memepengaruhi proses kebijakan publik dalam kewenangannya
masing-masing.
49 Wawancara dengan Hasanuddin Leo (DPRD Kota Makassar). Kamis 03 September 2011. Pukul 11.20 Wita.
50 Dunn, William N, 2000. ”Pengantar Analisis Kebijakan Publik”.Yokyakarta: Hanindita Graha Widya51 Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media komputindo
39
Senada dengan itu, politisi partai PKS Hj. Sri Rahmi mengatakan bahwa konsep
pembuatan Perda ialah untuk menjaga keberlangsungan pasar tradisional agar konsumennya
tidak diambil oleh pasar modern dan toko modern. Baginya keberlangsungan pasar tradisional di
kota Makassar semakin hari semakin berada pada ambang gulung tikar. 52 Pernyataan tersebut
sangat beralasan melihat fenomena saat ini, dimana pendirian pasar modern berada dekat dengan
keberadaan pasar tradisional. Sehingga pemerintah dalam melakukan tanggung jawabnya, dalam
melindungi pasar tradisional harus di dukung oleh suatu aturan yang mengikat setiap masyarakat
agar patuh.
Perda No.15 Tahun 2009 mengemukakakan bahwa kepentingan kelompok sasaran (target
groups) yang dituju berasal dari pasar tradisional dan pasar modern. Dalam konsep
impelementasi kebijakan, Merilee S. Grindle, 53 mengemukakan bahwa terdapat dua hal penting
dalam terealisasinya suatu kebijakan. Pertama, melingkupi isi kebijakan. Dalam isi kebijakan,
Merilee S. Grindle mengemukakan enam variabel yang mempengaruhinya, antara lain
tercakupnya kepentingan kelompok sasaran (target groups); tipe manfaat; derajat perubahan yang
diinginkan; letak pengambilan keputusan; pelaksana program; dan sumberdaya yang dilibatkan.
Kedua, lingkungan implementasi. Ada tiga variabel yang mempengaruhi antara lain : kekuasaan,
kepentingan dan strategi actor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; dan kepatuhan
serta daya tanggap.
Merujuk pada Pasal 21 mengenai perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional
dikatakan pada ayatnya yang ke 2 bahwa penyelenggaraan pasar tradisional harus menyediakan
fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat, higienis, aman, tertib dan ruang
52 Wawancara dengan Hj. Sri Rahmi (DPRD Kota Makassar). Jumat 02 September 2011. Pukul 10.00 Wita.53 Grindle, Merilee.S dalam Subarsono, G. A, 2008. “ Analisis Kebijakan Publik”. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 93
40
publik yang nyaman. Selanjutnya pada ayatnya yang ke empat dikatakan bahwa dalam
penyelenggaraan tersebut, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh di dalamnya. Merujuk
pada ayat tersebut, saat ini pengelolaan pasar Tradisional di Makassar diberikan kepada PD.
Pasar Makassar Raya, dimana sebelumnya dikelola oleh Dinas Perpasaran. Tetapi setelah
diterbitkannya Perda kota Makassar No. 12/2004 tentang ‘Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota
Makassar’ maka hak pengelolaan pasar diberikan kepada pihak swasta demi terciptanya
pengembangan pasar tradisional yang lebih maju dan tertata rapi.
Dari data yang di keluarkan oleh PD. Pasar Makassar Raya, terdapat 16 pasar tradisional
resmi yang ada di kota Makassar. Sedangkan dari data yang dikeluarkan oleh AcSI menunjukkan
selain 16 pasar resmi tersebut, di kota Makassar terdapat kurang lebih 34 pasar tidak resmi atau
yang biasa disebut pasar darurat. 54 Berikut beberapa pasar yang dikategorikan resmi dan tidak
resmi.
Nama Pasar Tradisional Yang Ada di Kota Makassar (versi AcSi 2009)
No Kecamatan
Pasar Tradisional
Resmi Tidak resmi
1Biringkanaya
Pusat Niaga Daya
Bulu-bulu
Daya
Seputar Mesjid
2
Tamalanrea
Wesabbe
Pasar BTP
Pasar Blok A
54 Active Society Institute (AcSI), 2009. “Laporan Penelitian Studi Etnografi dan Observasi Pasar-Pasar Lokal di Tengah Pertumbuhan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di Kota Makassar”. Makassar
41
3 Panakkukang Toddoppuli Karuwisi
Tamamaung
Panaikang
Tello baru
Belakang Profesional
Paropo
4 Makassar Kerung-kerung Rimo
5 Mamajang Maricaya Harimau
6 Ujung Pandang Baru Sawah
7 Bontoala Terong
Kalimbu
Tinumbu
Tette Kulantu
8 Tallo Pannampu Galangan
Rappokalling
9 Ujung Tanah Pelelangan
10 Wajo Sentral
Butung
Sentral Jaya
Cidu
Bonerate
Irian
11 Mariso Sambung Jawa Kokolojia
Senggol
Tanjung
12 Tamalate Pabaeng-baeng Barombong
42
Hartaco
Kanal
Bontomanai
Manuruki
13 Rappocini Jipang Raya
Skarda
Rappocini Raya
14 Manggala Antang
Borong Raya
Kassi
Pemberian label resmi dan tidak resmi pada pasar tradisional dikarenakan perbedaan
dalam terjadinya pasar dan dalam pengelolaannya. Ada dua alasan terbentuknya pasar
tradisional. Pertama, pasar tradisional dibentuk oleh masyarakat setempat dikarenakan kebutuhan
akan tempat untuk aktifitas jual-beli. Kedua, pasar tradisonal terbentuk karena perintah atau
intruksi dari pemerintah. Itu bisa kita lihat dari pasar Inpres (Intruksi Presiden). Sedangkan
dalam pengelolaannya, pasar resmi dikelola oleh Pd. Pasar Makassar sedangkan untuk pasar
tidak resmi dikelola oleh masyarakat sekitar atau juga pemilik dari lahan pasar. 55
Dalam perjalanannya, peran pasar tradisional untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak
bisa dibilang kecil. Seperti yang diungkapkan oleh Syamsul Bahri, kepala Bag. Keuangan PD.
Pasar Makassar Raya, bahwa dari 16 pasar tradisional yang ada di kota Makassar, setiap
tahunnya menyumbangkan omzet untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkisar 5 miliar rupiah.
55 Wawancara dengan Zainal Siko. Kamis 20 Oktober 2011. Pukul 20.00 Wita.
43
Itu belum termasuk pengelolaan retribusi dan pajak untuk 34 pasar tidak resmi, yang juga
dikelola oleh PD. Pasar dibantu dengan warga sekitar. 56
Selain menjadi penyumbang aset PAD bagi pemerintah, beberapa pasar juga diantaranya
menyimpan banyak history bagi perkembangan kota Makassar di masa lalu. Seperti contohnya
Pasar Boetoeng yang merupakan salah satu pasar tertua di Makassar, yang pertama kali
menerapkan sistem retribusi bagi pedagangnya. Itu bisa dilihat dari ‘Surat edaran tertanggal 1
September 1917 No. 15 tertanda W. Fryling. Pada saat itu, pasar Boetoeng juga menjadi salah
satu bagian terpenting dari konsep penataan kota bagi kolonial Belanda untuk menata
kesemrawutan yang dilakukan pedagang yang menggelar dagangannya di badan badan jalan
(stret vendor).57
Menurut PD. Pasar Makassar Raya yang diwakili oleh Syamsul Bahri mengungkapkan
bahwa saat ini kondisi pasar tradisional yang ada di kota Makassar sangat memprihatinkan. Dari
16 pasar tradisional, sekitar setengahnya berada dalam posisi kritis. Ini diakibatkan kondisi pasar
tradisional sendiri yang sudah semakin tua, kotor, dan mengakibatkan ketidak nyamanan pembeli
yang masuk ke dalam pasar. Maraknya pendirian Hypermarket dan supermarket juga menjadi
salah satu penyebab matinya keberadaan pasar tradisional di kota Makassar. Dimana hal tersebut
mengakibatkan konsumen dari pasar tradisional menurun tajam.
“ pengaruh yang terjadi akibat pendirian pasar modern dan toko modern di kota Makassar terhadap pasar tradisional bisa dilihat dari kurangnya konsumen yang datang ke pasar tradisional. keadaan itu semakin diperparah dengan kondisi pasar tradisonal yang semakin semrawut. Mulai dari fasilitas yang tidak memadai sampai pada soal kebersihannya.”58
56 Wawancara dengan Syamsul Bahri (Kepala Bag. Keuangan PD. Pasar Makassar Raya). Rabu 14 September 2011. Pukul 13.30 Wita.
57 Active Society Institute (AcSI), 2009. “Laporan Penelitian, Studi Etnografi & Observasi Pasar-pasar Lokal di Tengah Pertumbuhan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di kota Makassar”. Makassar
58 Wawancara dengan Syamsul Bahri (Kepala Bag. Keuangan PD. Pasar Makassar Raya). Rabu 14 September 2011. Pukul 13.30 Wita.
44
Terkait dengan disahkannya Perda No. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar, bagi PD. Pasar
sendiri merupakan angin segar bagi keberlangsungan pasar tradisional di kota Makassar. Lebih
jauh lagi, di pasar tradisional merupakan tempat berbagai macam pekerjaan dan aktifitas yang
menyokong ribuan orang yang hidup disana. Jika dibandingkan dengan pasar modern dan toko
modern dalam hal penyerapan tenaga kerja, pasar tradisional lebih banyak menyerap tenaga kerja
dibandingkan pasar modern.
”Pasar tradisional harus dipertahankan karena disana terdapat banyak orang yang menaruh hidupnya dan bekerja disana” 59
Terkait dengan hal tersebut, dalam kajian Miftah Wirahadikusumah disebutkan bahwa,
sektor informal (pedagang pasar tradisional dan UMKM) dapat berfungsi sebagai ‘katup
pengaman’ atas konflik kapitalis dan borjuis dalam hubungan pemodal-pekerja di level industry
kota. Bahkan lebih jauh dari sekedar katup pengaman bagi relasi pekerja-pemodal, sektor
informal juga mampu memberi peluang kerja yang jauh lebih lebar dari pada yang dapat
ditampung oleh sektor informal. 60
Dari data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (APRINDO)
mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat 13.000 pasar tradisional yang menghidupi 12,5 juta
pedagang kecil.61 Ini menguatkan bahwa keberadaan pasar tradisional di Indonesia sangat
penting dan harus di lindungi. Perlindungan tersebut bisa saja tidak berarti jika penerapan
59 Ibid.60 Wirahadikusumah, Miftah, 1991. “Sektor Informal Sebagai Bumper Pada Masyarakat Kapitalis”, LIPI-Jakarta.61 Aprindo News, Oktober 2009.
45
Peraturan mengenai perlindungan pasar tradisional baik tingkat nasional dan daerah tidak
dijalankan secara tegas.
Perda No. 15 tahun 2009 mengatakan bahwa perlindungan adalah segala upaya
pemerintah daerah dalam melindungi pasar tradisional, usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dari persaingan yang tidak sehat dengan pasar modern, toko modern dan sejenisnya,
sehingga tetap eksis dan mampu berkembang menjadi lebih baik sebagai layaknya suatu usaha.
Definisi perlindungan menurut Perda diartikan bahwa pemerintah berkewajiban
memberikan perlindungan kepada pasar tradisional, antara lain: status hak pakai lahan pasar,
lokasi usaha yang strategis dan menguntungkan, kepastian hukum dalam status hak sewa
terhadap penggusuran, dan perlindungan terhadap timbulnya persaingan usaha tidak
sehat/seimbang dengan pelaku usaha di pasar modern dan toko modern. Disini dijelaskan bahwa,
pemerintah kota merupakan aktor yang paling berpengaruh dalam menjalankan setiap aspek
yang berhubungan dengan status hukum seperti hak pakai lahan pasar dan status hak sewa yang
berkibat pada penggusuran di kemudian hari.
Beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini berbanding terbalik dengan harapan yang
ada. Sejak pengelolaan pasar diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar, beberapa pasar
tradisional mengalami “pemoderenan” atau yang biasa disebut revitalisasi pasar. Dengan
berlandaskan konsep otorianisme (tidak melibatkan pedagang dalam pengambilan keputusan
seperti penetapan harga kios dan model pasar), perusahaan daerah menggaet beberapa investor
asing untuk berinvestasi membangun pasar tradisional yang lebih modern. Lihat saja pasar
Terong yang pada tahun 1996 dirombak total menjadi empat tingkat atas kerjasama dengan
46
developer PT. Prabu Sejati. Begitu pula pasar Sentral yang dirubah namanya menjadi Makassar
Mall, dan beberapa pasar tradisional lainnya seperti pasar Kampung Baru dan pasar Niaga Daya.
Konsep pemoderenan tersebut menjadi sia-sia karena gagal menampung seluruh pedagang kecil
untuk berjualan di dalam area gedung baru.
Gagalnya menarik para pedagang untuk berjualan di dalam area gedung baru disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu
menjadi modern menyebabkan kesulitan para pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola
permodalan harian, untuk bertahan di dalam pasar. Alasannya, harga yang dipatok developer
terhadap kios dan lapak sangat mahal sehingga membuat beberapa pedagang bermodal kecil
lebih memilih berjualan di luar gedung baru.
Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya
berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan akses ke
pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga, adanya dualisme
kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan Daerah) dan direktur pengelola
atau developer (Perusahan Swasta). Dua model manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran
kepala pasar adalah pelayanan terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil),
sementara pihak developer adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko,
lods, basement).62
Keinginan PD. Pasar dan Developer agar para pedagang menempati area gedung pasar
banyak ditolak para pedagang. Hal tersebut membuat PD. Pasar dan Developer melakukan
62 Active Society Institute (AcSI), 2009 .“Laporan Penelitian, Studi Etnografi & Observasi Pasar-pasar Lokal di Tengah Pertumbuhan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di kota Makassar”. Makassar.
47
beberapa langkah seperti melabeli pedagang yang berjualan di luar area pasar sebagai pedagang
liar (illegal) atau mengirim preman dan tentara untuk menakut nakuti pedagang.63 Hal tersebut
dialami oleh Daeng Jama. Pedagang di pasar Terong yang sehari harinya menjual asam ini,
memiliki banyak pengalaman berhadapan dengan tentara dan preman utusan Developer. Ia
seringkali diancam untuk digusur secara paksa jika permintaan untuk masuk ke gedung pasar
tidak di indahkan. Walaupun Daeng Jama memiliki lapak hamparan di lantai dua gedung pasar
tetapi ia tetap saja menolak untuk masuk dikarenakan kondisi lantai dua sudah tidak berfungsi
layaknya suatu area jual beli.64
Konsep tentang pasar dapat dipahami dari berbagai perspektif, seperti perspektif
ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam
pengertian luas, sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salah
satu implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke (1910)
merupakan salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar
dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat
kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik
dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat
dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang
diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk
mendapatkan laba maksimum 65.
63 Prabowo, Agung, 2009 . “Gerakan Perlawanan Pedagang Pasar Terong Terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Makassar Pasca Pembangunan Gedung Tiga Lantai”, Hasil Penelitian Skripsi. Makassar.64 Wawancara dengan Daeng Jama (Pedagang Asam di Pasar Terong). Jumat 13 Agustus 2011. Pukul 10.00 Wita.65 Boeke, J. H, 1953. “Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia. N. V. Haarlem: HD Tjeenk Willink & Zoon.
48
Walaupun Daeng Jama dan beberapa pedagang lainnya di pasar Terong menolak untuk
pindah, tetap saja mereka dipungut retribusi oleh pengelola pasar. Hal tersebut banyak
dikeluhkan pedagang pasar Terong kepada pengelola dimana kewajiban untuk membayar
retribusi setiap harinya dipenuhi tetapi hak untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam
berdagang tidak didapatkan. Keluhan dari pedagang pasar juga dibenarkan oleh Hasanuddin Leo.
Legislator dari partai PDK tersebut mengatakan dalam wawancara bahwa pemerintah jangan
hanya tahunya memungut retribusi saja. Karena hakekat retribusi bisa dilakukan jika pelayanan
sudah diterapkan. Layanan yang dimaksud berbentuk insfrastruktur yang layak bagi pedagang
dan kenyamanan bagi pembeli dalam berbelanja di pasar tradisional.
“ pemerintah jangan hanya memungut retribusi saja. Karena sesungguhnya retribusi itu, kalau kita kembali dari definisi bahwa retribusi dipungut setelah ada layanan. Ini yang perlu disadari oleh pemerintah bahwa berikan dulu layanan dalam bentuk insfrasturktur yang layak sehingga pedagang dapat menjual dengan baik dan bisa dikunjungi oleh pembeli dengan nyaman pula. Ini akan mempunyai sebab-akibat karena dengan baiknya pasar tradisional, pengunjung akan tetap eksis di pasar tradisional.”66
Menanggapi hal tersebut, PD. Pasar yang diwakili oleh kepala Bagian Keuangan,
Syamsul Bahri mengungkapkan bahwa anggaran perbaikan untuk 16 pasar tradisional di kota
Makassar mencapai Rp.192 miliar. Pemerintah kota hanya memberikan porsi sangat kecil untuk
perbaikan pasar tradisional sehingga biaya perbaikan biasanya didapat dari hasil kerjasama
dengan developer atau bantuan dari pihak donor. Seperti yang terjadi pada pasar Sambung Jawa
yang mendapatkan bantuan dari World Bank untuk memperbaiki beberapa fasilitas penunjang
pasar.
“untuk memperbaiki 16 pasar tradisional di kota Makassar dibutuhkan anggaran Rp.192 miliar dan pemerintah tidak mempunyai anggaran sebesar itu. PD. Pasar
66 Wawancara dengan Hasanuddin Leo (DPRD Kota Makassar). Kamis 03 September 2011. Pukul 11.20 Wita.
49
dan pemerintah biasanya bekerjasama dengan investor dan pihak donor untuk memperbaiki beberapa pasar yang ada”67
Kendala lain yang dihadapi ketika pengelolaan pasar diberikan sepenuhnya kepada pihak
swasta dalam hal ini PD.Pasar dan Developer ialah penetapan biaya kepemilikan kios dan lods.
Contoh kasus di pasar Terong, untuk harga satu lods berkisar 10 – 20 juta rupiah. Sementara kios
yang berukuran 2 x 1,5m bisa mencapai Rp. 60 juta dan untuk ukuran 2 x 2m dipatok dengan
harga Rp. 80 juta. Dengan jangka waktu yang sangat pendek dalam mencicilnya yang kurang
lebih 4 tahun. Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam
mengakses lods yang demikian mahal itu.68
Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi pedagang pasar lokal maka diperlukan
peran lebih dari pemerintah untuk mengatur dan menjembatani persoalan yang berhubungan
dengan biaya sewa kios atau lods. Ketika konsep rent seeker (mencari untung besar) yang
diberlakukan oleh PD.Pasar beserta Developer, maka jangan harap pedagang akan tertib untuk
tidak menjual di badan badan jalan di luar area gedung pasar.
Pendekatan yang sesuai dengan fenomena tersebut bisa didapat dalam teori
institusionalisme baru. March dan Olsen 69 mengemukakan bahwa aktor individu dalam hal ini
developer dapat mempengaruhi suatu keputusan politik yang dibuat oleh aktor politik. Keputusan
politik yang dimaksud ialah seperangkat peraturan perundang-undangan yang ada. Kebijakan
67 Wawancara dengan Syamsul Bahri (Kepala Bag. Keuangan PD. Pasar Makassar Raya). Rabu 14 September 2011. Pukul 13.30 Wita. 68 Active Society Institute (AcSI), 2009 .“Laporan Penelitian, Studi Etnografi & Observasi Pasar-pasar Lokal di Tengah Pertumbuhan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di kota Makassar”. Makassar69 Marsh, David & Stoker, Gerry. 2011. “ Theory and Methods in Political Science”: Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media.
50
yang seharusnya bersifat otonom berubah menjadi peraturan yang bersifat kondisional. Itu
dikarenakan negara yang seharusnya bertanggung jawab secara penuh dalam memberikan
perlindungan kepada masyarakat dalam hal bekerja terusik oleh kekuatan kapital yang sangat
besar. Sehingga pemerintah yang tadinya memiliki kekuatan penuh dalam mengendalikan setiap
keputusan berubah menjadi lemah akibat sumber daya yang dimiliki tidak ada. Hasilnya terjadi
apa yang dinamakan swastanisasi. Perpindahan tanggung jawab dari negara kepada pihak luar
(pengusaha).
Melihat kondisi dalam pengelolaan pasar lokal yang masih carut marut, menyebabkan
kerugian kepada pihak swasta sendiri dalam hal ini developer sebagai pembangun gedung pasar,
Dimana setiap lods dan kios yang dibangun tidak terisi. Bukan itu saja, dampak yang sama pun
akan menghinggapi pemerintah kota. Dikarenakan beberapa pedagang mengancam tidak mau
lagi membayar retribusi yang ditetapkan. Jika hal tersebut terjadi maka pendapatan yang masuk
lewat retribusi ke PAD akan berkurang. Kecenderungan itu bisa dilihat dari pemasukan PD.
Pasar untuk tahun 2011, dimana target pemasukan dari 16 pasar tradisional yang di kelola
berkisar Rp. 5.477.348.550 dan sampai pada bulan September masih berkisar pada angka
Rp.3.485.080.000,-.70
Sementara itu di dalam berbagai pertemuan, potensi tumpang tindih peran antara daerah
dan pusat sangat besar terjadi. Hal ini sering terlihat dari saling lempar tanggung jawab keduanya
dimana dinyatakan oleh pusat bahwa pengembangan pasar di daerah sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah daerah. Tetapi pada saat yang sama Pemerintah Daerah merasa mereka
harus menunggu peran Pemerintah Pusat terkait dengan upaya pengembangan pasar. menyikapi
70 Wawancara dengan Syamsul Bahri (Kepala Bag. Keuangan PD. Pasar Makassar Raya). Rabu 14 September 2011. Pukul 13.30 Wita.
51
hal tersebut, Departemen Perdagangan menyatakan bahwa mereka memiliki anggaran bagi
pengembangan pasar, tapi tidak cukup untuk memperbaiki seluruh pasar. Karena itu mereka
kemudian hanya membuat pasar contoh dan cara pengelolaan pasar tradisional yang baik dan
benar.
Selain pemberdayaan yang masih harus ditata dengan serius, konsep perlindungan juga
masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus dibenahi. Sejak diterbitkannya
Perda No.15 tahun 2009 di kota Makassar, populasi pasar modern sampai saat ini justru
meningkat tajam. Dari hasil data terakhir yang diperoleh dilapangan terdapat 10 golongan
Hypermarket yang berada di kota Makassar. Berikut nama-nama golongan Hypermarket dan
lokasinya di kota Makassar.
Nama Hypermarket Yang Ada di Kota Makassar (observasi per-Oktober 2011)
No. Nama Perusahaan Jumlah Lokasi
1. Carefour 6 Panakkukang Square
Pengayoman Makassar
Tamalanrea Makassar
Trans Studio
Karebosi Link
MTC Karebosi
2. Lotte Mart 1 Mall Panakkukang
3. Makro 1 Sultan Alauddin Makassar
4. Hypermart 1 Mall Panakkukang
5. Gyant 1 Panakkukang Makassar
52
Dari hasil positioning paper KPPU mengungkapkan bahwa yang paling mempengaruhi
keberadaan pasar tradisional ialah hypermarket dan supermarket.71 Itu dikarenakan pasar
tradisional dan hypermarket/supermarket menjual produk yang serupa, yaitu jenis produk seperti
sembako, ikan, sayur, daging, dan kebutuhan sandang lainnya. Sedangkan keberadaan
minimarket berjejaring seperti Alfamart, Alfamidi, Alfa Express dan Indomaret mempunyai
dampak tetapi tidak terlalu signifikan terhadap pasar tradisional. Dampak keberadaan
minimarket berjejaring tersebut lebih kepada toko kelontong atau pa’gadde-gadde. Hal tersebut
seperti diungkapkan juga dalam wawancara bersama Abdul Hakim Pasaribu selaku ketua Komisi
Pengawas Daerah (KPD) KPPU daerah Makassar. Ia mengatakan :
“ dari kajian yang dilakukan oleh KPPU, keberadaan minimarket berjejaring dalam hal ini Alfamart, Alfamidi, Alfaexpress, dan Indomaret lebih mempunyai dampak kepada toko kelontong dibanding pasar tradisional karena karaktersitik produk yang dijual di minimarket sama dengan yang dijual di toko kelontong. sedangkan yang paling mempengaruhi pasar tradisional ialah hypermarket dan supermarket”72
Dari data KPD KPPU kota Makassar, terdapat sekitar 155 minimarket berjejaring yang
sudah mempunyai izin. Jumlah minimarket di kota Makassar dalam kurun waktu 2009 -2011 tren
pertumbuhannya meningkat drastis. Berikut data jumlah minimarket berjejaring yang sudah ada
dan mendapatkan izin untuk membangun di kota Makassar.
71 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta 72 Wawancara dengan Abdul Hakim Pasaribu (KPD KPPU Kota Makassar). Rabu 23 November 2011. Pukul 10.00 Wita.
53
Nama nama minimarket berjejaring yang ada di kota Makassar (KPPU,data per Juli
2011)73
Pernyataan KPPU bahwa tren pertumbuhan pasar modern dan toko modern dalam dua tahun
terakhir meningkat tajam bisa menjadi suatu ironi penegakkan kebijakan Perda No. 15 tahun
2009. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang ditunjuk dalam operasionalisasi kegiatan belum
berjalan secara maksimal. Hal tersebut bisa dilihat dari riset yang dilakukan oleh Lembaga
Nielsen yang menyebutkan pertumbuhan minimarket sepanjang 2010 di Indonesia meningkat 42
persen menjadi 16.922 unit dibanding tahun sebelumnya sebesar 11.927 unit. Saat ini di seluruh
Indonesia minimarket nyaris menembus angka 17 ribu. Data Nielsen juga menunjukkan toko
atau pasar tradisional di kota besar dan pedesaan menurun masing-masing 2 – 4 persen di tahun
2010.74
Dalam pelaksanaan suatu Perda membutuhkan setidaknya tiga tingkatan institusi yang
saling terkait. Broomley 75, membagi tiga tingkatan tersebut antara lain tingkat penyusunan
kebijakan (policy level), tingkat organisasi (organizational level) dan tingkat operasional
(operational level). Pada tingkatan kebijakan, pernyataan umum dibahas dan diformulasikan oleh
73 Data Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas Jumlah Minimarket di Kota Makassar, per-Juli 2011 74 AC.Nielsen, 2010 . “Laporan Pertumbuhan Ritel Modern dan Dampaknya Terhadap Ritel Tradisional”. Jakarta.75 Bromley dalam Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media komputindo. Hal 45
54
No. Nama Perusahaan Jumlah
1. Alfa Express 25
2. Alfa Midi 29
3. Alfa Mart 66
4. Indomaret 35
Jumlah 155
lembaga legislatif. Pada tingkat organisasi, kekuasaan dipegang oleh lembaga eksekutif dan
selanjutnya pada tingkatan operasional merupakan tingkat teknis dalam operasionalisasi suatu
kebijakan. Dalam tingkat operasional biasanya tergabung dalam instansi atau lembaga formal
yang ditunjuk sesuai fungsi dan tugas masing masing. Disinilah tujuan atau outcome yang
diharapkan dari suatu kebijakan berperan penting karena bersentuhan langsung dengan target
groups.
Laju pertumbuhan pasar modern dan toko modern yang semakin massif di Makassar
sebenarnya bisa dikendalikan didalam Perda No.15 Tahun 2009 tentang perlindungan,
pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern. Pada pasal 7 ayat 2 huruf I
dijelaskan mengenai pendirian Hypermarket harus memenuhi analisis mengenai dampak sosial
ekonomi dari pasar tradisional yang berada di sekitarnya. Dari pasal tersebut saja sebenarnya
mampu membatasi pendirian pasar modern jika dijalankan dengan baik. Pengetahuan yang
memadai dari segenap institusi pemerintah dalam menjalankan konsep Perda sangat dituntut.
Sebagai kota jasa dan perdagangan, kota Makassar berusaha melengkapi segala fasilitas
yang mendukung ke arah pengembangan kota. Konsep pembangunan menjadi hal utama. Salah
satu konsep yang saat ini di usung oleh pemerintah kota Makassar adalah menjadikan kota
Makassar sebagai kota dunia. Untuk mendukung hal tersebut, harus ditopang oleh segala simbol
modernitas. Pembangunan perumahan elite, pertokoan, hotel, arena rekreasi, pusat perbelanjaan,
Mall, dan pasar modern dilakukan secara serampangan. Paradigma pemerintah yang selalu
menganggap keberhasilan kota bisa dilihat dari bangunan modern apa yang sudah berdiri
menjadi suatu ironi menyedihkan. Masyarakat yang bekerja dengan modal kecil dan mikro
tergerus oleh pengusaha yang mempunyai kapital besar. Bahkan beberapa orang yang duduk di
dalam lembaga formal yang selakunya netral terhadap semua pelaku usaha menganggap para
55
ekonomi kecil dan mikro sebaiknya ditiadakan saja. Karena tidak memberikan konstribusi besar
kepada PAD.
Dalam wawancara bersama bapak Hary selaku Kepala Seksi Usaha dan Sarana
Perdagangan di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal) kota
Makassar, mengungkapkan bahwa keberadaan pasar dan toko modern di kota Makassar
merupakan hal yang sangat wajar. Itu dikarenakan kota Makassar merupakan kota metropolitan
dan mempunyai visi menjadi kota dunia. Hal tersebut harus di topang dengan segala modernitas
yang ada, salah satunya pasar dan toko modern. Di beberapa kota modern di dunia sudah tidak
ada lagi pasar tradisional yang menurutnya sudah ketinggalan jaman. Konsumen membutuhkan
kepastian harga yang selama ini tidak diperoleh melalui kios-kios baik di rumahan maupun di
pasar lokal.
“konsekuensi dari kota metropolitan ialah pembangunan pasar dan toko modern dimana mana. Kalau tidak mau adanya pasar modern, yah tinggal di hutan saja. Di beberapa negara modern di dunia, pasar tradisional sudah tidak ada lagi karena dianggap sudah ketinggalan jaman”76
Selain itu, pertumbuhan pasar moderen berimplikasi langsung pada meningkatnya
Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar. Ia mencontohkan penjual tomat yang dilapak-lapak itu
tidak memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Artinya, kalau pedagang yang tidak memiliki
SITU berarti tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Sementara pasar modern
memiliki SITU, jadi memberikan kontribusi terhadap PAD.77
Pernyataan dari Disperindagdal tersebut, sangat jelas keberpihakannya kepada pasar dan
toko modern untuk pendiriannya secara massif di kota Makassar. Dukungan serupa juga
76 Wawancara dengan Hari (Kepala Seksi Usaha & Sarana Perdagangan Disperindagdal Kota Makassar). Senin 01 Agustus 2011. Pukul 13.45 Wita. 77 Ibid.
56
dilontarkan oleh Kadin Provinsi Sulawesi Selatan. Lewat ketuanya, Zulkarnain Arief
mengatakan kehadiran minimarket yang ada di kota Makassar menjadi suatu indikator tingkat
perekonomian sebuah kota sudah maju. Keberadaan minimarket seharusnya menjadi pemantik
bagi pedagang tradisional dan toko kelontong untuk mengembangkan usahanya.78
Dilihat dari aspek persaingan semata maka kita akan memperoleh fakta bahwa kehadiran
ritel modern sangat sesuai dengan prinsip-prinsip universal persaingan usaha yang sehat, dimana
kehadiran mereka telah menyebabkan terciptanya beberapa nilai positif yakni hadirnya alternatif
tempat belanja yang sesuai dengan tuntutan konsumen (nyaman dan mudah), harga yang
cenderung bergerak turun (sebagian dihasilkan oleh efisiensi distribusi), kualitas barang semakin
beragam dan sebagainya.
Tetapi dalam analisis terdahulu, selain nilai positif juga terdapat efek negatif, terkait
dengan munculnya permasalahan sosial di sisi lain. Hasil analisis paling tidak menyimpulkan ada
tiga potensi besar yang mengarah kepada terjadinya hal tersebut antara lain tersingkirnya pelaku
usaha ritel kecil/tradisional, potensi ambruknya produsen dalam negeri terutama pemasok yang
masuk dalam kelompok usaha kecil dan menengah, dan terakhir adalah tersingkirnya pelaku
usaha distributor lokal oleh system yang mengedepankan efisiensi yang muncul dalam bentuk
hubungan langsung antara peritel modern dengan pabrikan/manufaktur. 79
Pandangan berbeda muncul dari KPD KPPU kota Makassar lewat ketuanya Abdul Hakim
Pasaribu. Ia menganggap bahwa persaingan antara Hypermarket dan pasar Tradisional, ,
78 Wawancara dengan Zulkarnain Arief (Ketua KADIN Prov. Sulawesi Selatan). Selasa 04 Oktober 2011. Pukul 11.00 Wita.
79 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
57
merupakan persaingan yang tidak sehat. Itu dikarenakan perbedaan modal antara keduanya,
dimana Hypermarket dan Minimarket adalah perusahaan dengan modal yang sangat besar yang
mampu menerapkan strategi dagang apapun. Sedangkan di pasar tradisional adalah usaha yang
bermodal kecil yang rentan mengalami kebangkrutan. Konsep inilah yang diatur dalam UU No.
5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“ konsep dari persaingan usaha tidak sehat ialah tidak diperbolehkannya persaingan secara head to head antara usaha yang memiliki modal kecil vs usaha yang memiliki modal besar. Karena ketika itu dilagakan maka otomatis usaha yang memiliki modal besar akan dengan mudah memenangkan persaingan dengan usaha modal kecil”80
Regulasi yang patut menjadi bahan perhatian serius ialah mengenai izin pendirian dari
pasar modern. Dalam pemberian izin pembangunan pasar dan toko modern, terdapat beberapa
SKPD yang berwenang didalamnya. SKPD tersebut antara lain Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal), Dinas Tata Ruang dan Bangunan
(Distarub), dan Kantor Perizinan. Ketiga SKPD masing masing mempunyai tugas dalam proses
perizinan suatu pasar dan toko modern untuk berdiri. Dari observasi dan penelitian dilapangan,
peneliti menyusun alur pemberian izin kepada pasar dan toko modern untuk berdiri. Berikut alur
alur pemberian izin pembangunan pasar dan toko modern.
Alur Perizinan Pembangunan Pasar & Toko Modern (Observasi)
80 Wawancara dengan Abdul Hakim Pasaribu (KPD KPPU Kota Makassar). Rabu 23 November 2011. Pukul 10.00 Wita.
58
Kantor perizinan1. akte pendirian perusahaan2. NPWP3. neraca perusahaan
Setelah disperindag acc, kemudian diterbitkan izin pendirian oleh kantor perizinan
Dinas Tata Ruang & Bangunan(IMB)
Disperindag(Surat Izin Tempat Usaha)
Disperindag1.tinjauan lapangan dengan menelaah kesesuaian usaha dengan kondisi ekonomi sosial, dampak pendirian pasar modern terhadap pasar tradisional dan UMKM di daerah sekitar2. Berita Acara3. menghitung retribusi dengan rumusan tertentu
Pemohon/ pengusaha pasar & toko modern
Dari alur yang telah disajikan diatas menunjukkan masing masing SKPD memiliki tugas
yang berbeda-beda. Dari wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Bangunan (Distarub), yang
diwakili oleh Dony, mengatakan bahwa tugas dari Distarub sendiri dalam proses perizinan
pembangunan pasar modern dan toko modern ialah dengan penerbitan Izin Membangun
Bangunan (IMB). Dalam proses penerbitannya, Distarub selalu mengacu kepada Satuan
Operasional Program (SOP) dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Makassar.
Dimana dalam RTRW tersebut dijelaskan mengenai klasifikasi tata ruang wilayah kota
Makassar, antara lain lokasi perdagangan, perindustrian, pendidikan, wisata, dan perkantoran.
Untuk pendirian pasar dan toko modern diupayakan untuk diarahkan ke wilayah perdagangan.
Lanjutnya ia mengatakan, bahwa saat ini pembangunan pasar dan toko modern yang marak di
kota Makassar juga dipengaruhi oleh Perda RTRW kota Makassar yang belum rampung. Karena
mengacu pada aturan pemerintah pusat yang mengharuskan setiap daerah mengajukan Perda
RTRW untuk 20 tahun kedepan, sedangkan untuk beberapa daerah di Indonesia dan juga
termasuk Makkassar masih memiliki Perda RTRW yang masih didasarkan pada jangka waktu 10
tahun. Sehingga hal tersebut membuat beberapa wilayah di kota Makassar mengalami
kesemrawutan pembangunan.81
81 Wawancara dengan Dony (Dinas Tata Ruang & Bangunan Kota Makassar). Kamis 25 Agustus 2011. Pukul 14.00 Wita.
59
Dinas Perhubungan(surat izin gangguan lalu lintas)-jika diperlukan
Sebagai regulasi yang lebih tinggi, Perpres No.112 Tahun 2007 mengatur setiap daerah
untuk tidak memberikan izin pendirian kepada pasar modern dan pasar tradisional jika dalam
suatu daerah tersebut belum memiliki RTRW. Untuk kasus kota Makassar, saat ini memang
belum mempunyai Perda revisi RTRW yang dimaksud. Sehingga ketika pemerintah jeli dan
menjalankan fungsinya sebagai pengawas seperti yang tertera dalam Perda No.15 tahun 2009,
seharusnya banyak pasar modern yang bisa ditinjau lagi keberadaannya. Perda RTRW menjadi
sangat penting sebagai arahan dalam pembangunan suatu kota di masa depan.
Tugas Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindagdal)
berbeda pula. Menurut Hery, selaku Seksi Usaha dan Sarana Perdagangan di Disperindagdal,
mengungkapkan tugas dinasnya dalam pemberian izin pasar dan toko modern ialah penerbitan
Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Dalam proses penerbitan SITU, Disperindagdal selalu
melakukan tinjauan ke lapangan terhadap usaha yang akan diberikan izin, tujuannya untuk
mengetahui seberapa besar kontribusi dari tempat usaha tersebut terhadap pemasukan daerah
(PAD). Baginya, pasar modern yang ada di kota Makassar lebih mempunyai manfaat dari segi
ekonomis dibandingkan dengan lapak lapak yang ada di pasar tradisional.
“ pasar modern saat ini lebih memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan pasar tradisional. contohnya penjual tomat dan pedagang kecil lainnya di pasar tradisional yang tidak memiliki SITU. Kalau yang tidak memiliki SITU berarti tidak memberikan kontribusi bagi PAD. Kalau pasar modern itu ada SITU nya sehingga memberikan kontribusi bagi PAD sedangkan lapak lapak di pasar tradisional tidak memiliki SITU”82
Peran Kantor Perizinan menurut Kepala Seksi Perizinan bapak A. Pangerang, ialah lebih
bersifat administratif saja. Dalam artian, ketika persyaratan dari Distarub dan Disperindagdal 82 Wawancara dengan Hari (Kepala Seksi Usaha & Sarana Perdagangan Disperindagdal Kota Makassar). Senin 01
Agustus 2011. Pukul 13.45 Wita.
60
sudah selesai, Kantor Perizinan memverifikasi berkas dari pemohon (paengusaha pasar dan toko
modern) dan mengesahkannya lewat penerbitan izin usaha. Tetapi ketika berkas pemohon
tersebut belum rampung, akan dikembalikan lagi kepada pemohon tersebut untuk
melengkapinya. Misalnya, ketika minimarket akan dibangun di suatu lokasi yang berada tepat di
jalan raya, Kantor Perizinan melihat perlu untuk pengusaha minimarket untuk menyertakan izin
gangguan lalu lintas yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan, dan ketika persyaratan rampung
barulah kantor Perizinan menerbitkan izin usahanya.
“ Kantor perizinan bertugas hanya sebatas kajian administrasi bukan bagian teknis. Bagian teknis itu berlangsung di disperindagdal. Meliputi izin usaha. Kajian administrasi melingkupi verifikasi berkas pemohon dan setelah berlangsung di bagian teknis lalu di eksekusi disini, berawal dari sini dan berakhir disini. Di kantor perizinan hanya mengeksekusi barang jadi setelah diolah di dinas yang bertugas secara teknis“83
Melihat fenomena dalam dua tahun terakhir, dimana pasar dan toko modern yang hampir
mengisi sudut sudut kota Makassar, Hj. Sri Rahmi berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena
para SKPD yang terlibat dalam pemberian izin pembangunan pasar dan toko modern tidak
mengetahui konsep yang terkandung dalam Perda. Dimana Perda No.15 tahun 2009 tentang
perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern merupakan payung
hukum utama dalam memberikan izin kepada pasar dan toko modern untuk berdiri.
“ dalam izin pembangunan pasar dan toko modern di Makassar, pemerintah bersama SKPD yang terkait tidak mengetahui isi Perda yang seharusnya menjadi payung hukum utama dalam pemberian izin berdirinya pasar dan toko modern”84
83 Wawancara dengan A.Pangerang (Kepala Seksi Perizinan Kantor Perizinan Kota Makassar). Senin 08 Agustus 2011. Pukul 12.12 Wita.84 Wawancara dengan Hj. Sri Rahmi (DPRD Kota Makassar). Jumat 02 September 2011. Pukul 10.00 Wita.
61
Dari pernyataan Hj.Sri Rahmi tersebut patut dicermati bahwa dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, para SKPD yang bertugas dalam keluarnya izin pembangunan pasar dan toko
modern hanya bekerja menurut aturan dinas masing masing. Sehingga bisa dilihat bahwa saat ini
izin pendirian pasar dan toko modern sangat mudah prosesnya. Asumsi tersebut bisa dilihat dari
pernyataan Dinas Tata Ruang & Bangunan (Distarub) lewat bapak doni bahwa dalam setiap
persyaratan pemberian IMB bagi pengusaha toko modern dalam hal ini Minimarket, selalu
mengikuti SOP yang berlaku secara umum dan tidak ada perbedaan persyaratan dengan
pendirian rumah dan bangunan biasanya. 85
Ketidakpahaman dari lembaga formal dalam menjalankan konsep dari Perda membuat
aturan tersebut hanya menjadi aturan ompong belaka. Kepatuhan dan daya tanggap yang tidak
mumpuni semakin diperparah dengan karakteristik pemerintah yang lebih condong kearah
developmentalism dan modernisasi. Ukuran kemajuan suatu kota diukur dari seberapa banyak
pembangunan yang bersimbolkan modernitas berlangsung. Pemerintah dengan obsesinya
menjadikan kota Makassar sebagai kota dunia direspon postif oleh pengusaha dengan
membangun setiap jengkal kota dengan pasar modern. Seperti yang diutarakan oleh Mars dan
Olsen, 86 bahwa kepentingan aktor politik selalu beriringan dengan kepentingan aktor individu
selaku kepentingan keduanya saling menguntungkan.
Keberpihakan pemerintah yang tidak berimbang kepada pasar tradisional menyebabkan
konsep Perda hanya menjadi aturan formal belaka yang tidak dijalankan. Merujuk pada isi Perda
No. 15 tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar
Modern di Kota Makassar, terdapat beberapa pasal dan point yang menjelaskan tentang
85 Wawancara dengan Dony (Dinas Tata Ruang & Bangunan Kota Makassar). Kamis 25 Agustus 2011. Pukul 14.00 Wita.86 Marsh, David & Stoker, Gerry. 2011. “ Theory and Methods in Political Science”: Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media.
62
persyaratan lokasi dari pendirian pasar dan toko modern. seperti pada pasal 7 ayat 2 huruf I yang
menjelaskan mengenai pendirian Hypermarket harus memenuhi analisis mengenai dampak sosial
ekonomi dari pasar tradisional yang berada di sekitarnya. Pada pasal yang sama di ayat 6 poin 4
dikemukakan bahwa pendirian minimarket wajib memperhatikan keberadaan toko/warung yang
lebih kecil dengan melakukan kajian dampak sosial ekonomi.
Terkait mengenai analisa dampak sosial ekonomi pendirian pasar modern, ada dua
pertemuan yang dilakukan terkait mengenai hal tersebut. Pertemuan yang pertama, dilakukan
pada tanggal 25 Januari 2011 atas inisiatif DPRD kota Makassar. Pertemuan tersebut dilakukan
di kantor DPRD kota Makassar sendiri. Dalam pertemuan tersebut stakeholder yang diundang
antara lain Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal (Disperidagdal), Kantor
Perzinan dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Keuangan kota Makassar. Adapun komisi di
DPRD yang berwenang didalamnya ialah komisi B bidang Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan
berlangsung dipimpin oleh Hj.Sri Rahmi, yang saat itu masih menjadi ketua komisi B di DPRD
Kota Makassar didampingi oleh sekertaris komisi B, Hasanuddin Leo. Menurut Hasanuddin Leo,
keberadaan pasar modern dan toko modern seperti minimarket harus memenuhi persyaratan yang
ada dalam Perda No.15 Tahun 2009 tentang perlindungan pasar tradisional.87 Baginya Perda
tersebut sudah jelas diatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi investor dalam hal
perizinan, yakni melampirkan dampak sosial ekonomi sebelum izinnya diterbitkan.
Senada dengan pernyataan tersebut, anggota komisi B lainnya Haeruddin Hafid menilai
Perda No. 15 Tahun 2009 tidak mengatur radius keberadaan antara pasar dan toko modern
dengan pasar tradisional dan toko kelontong disekitarnya. Sehingga larangan pembangunan
minimarket di sekitar pasar tradisional belum dapat dilakukan. Diharapkan kedepan ada regulasi
87 Wawancara dengan Hasanuddin Leo (DPRD Kota Makassar). Kamis 03 September 2011. Pukul 11.20 Wita.
63
dari Pemerintah kota Makassar untuk membuat aturan turunan dari Perda No.15 tahun 2009.
Aturan turunan tersebut bisa lewat Peraturan Walikota (Perwali) yang didalamnya berisi
mengenai kejelasan radius antara pembangunan pasar dan toko modern dengan pasar tradisional
dan toko kelontong. Dewan tidak pernah menghalangi pengusaha yang ingin berinvestasi di kota
Makassar tetapi harus ada kebijakan jelas yang diberlakukan Pemerintah Kota untuk mengatur
kehadiran minimarket, tegasnya .88
Menanggapi hal tersebut, Kepala Disperindagdal, Takdir Hasan Saleh menjelaskan,
pihaknya tidak serta merta mengeluarkan izin kepada pasar modern jika tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan. Persyaratan teknis harus dipenuhi dulu oleh pengusaha baru
kemudian diserahkan ke Perizinan untuk diterbitkan izin usahanya.89 Pada saat itu sudah sekitar
54 minimarket khusus Alfa Mart yang berdiri di kota Makassar dan untuk minimarket berjejaring
lainnya Disperindagdal belum mempunyai data lengkapnya. Hadir pula pada pertemuan tersebut,
Asisten II Bidang Ekonomi dan Keuangan Pemkot Makassar, Burhanuddin yang menganggap
pemkot tetap memperhatikan keberadaan pasar tradisional serta pasar modern yang ada. Karena
kehadiran keduanya bisa memberikan dampak ekonomi yang positif bagi perkembangan kota
Makassar.90
Patut untuk dicermati bahwa isi Perda No. 15 tahun 2009, memang tidak memiliki aturan
yang kuat mengenai zonasi atau radius yang ditetapkan untuk pendirian suatu pasar dan toko
modern terhadap pasar tradisional yang berada terlebih dahulu di sekitarnya. Isi Perda tersebut
hanya mengatakan bahwa dalam perizinan suatu pasar dan toko modern haruslah memenuhi
persyaratan, salah satunya menyertakan analisis mengenai dampak sosial ekonomi dari
88 Wawancara dengan Haeruddin Hafid (DPRD Kota Makassar). Kamis 03 September 2011. Pukul 12.00 Wita.89 Wawancara dengan Takdir Hasan Saleh (Kepala Dinas Disperindagdal Kota Makassar). Senin 01 Agustus 2011. Pukul 15.00 Wita.90 Wawancara dengan Hasanuddin Leo (DPRD Kota Makassar). Kamis 03 September 2011. Pukul 11.20 Wita.
64
masyarakat, pasar tradisional, dan toko kecil yang lebih dulu ada disekitarnya. Sehingga
lemahnya aturan tersebut banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha pasar dan toko modern
dalam menerbitkan perzinannya.
Menurut Merille C Grindelle, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua, yaitu : Isi
kebijakan dan lingkungan implementasi. Dalam isi kebijakan, Grindelle mengemukakan bahwa
suatu aturan akan berjalan dengan baik jika isi dari kebijakan bisa secara langsung dimengerti
oleh para pelaksana kebijakan. Dalam pengertian tersebut, isi yang terkandung secara tegas
menyentuh objek objek kebijakan secara jelas dan konkrit. 91
Pertemuan kedua terkait penegakkan Perda No.15 Tahun 2011 dilangsungkan pada bulan
Juli 2011 di kantor KPPU kota Makassar. Pertemuan tersebut yang di prakarsai oleh KPPU kota
Makassar. Dalam pertemuan tersebut diundang beberapa SKPD terkait antara lain Dinas
Perindustrian,Perdagangan dan penanaman Modal (Disperindagdal), Dinas Tata Ruang dan
Bangunan (Distarub) dan Kantor Perizinan. Pertemuan tersebut membahas mengenai kordinasi
antara para SKPD dalam pemberian izin kepada pasar dan toko modern.
Dari diskusi tersebut, Abdul Hakim Pasaribu memberikan kesimpulan bahwa para SKPD
yang bertugas mengeluarkan izin pendirian pasar dan toko modern tidak terjalin kordinasi yang
baik. Ia mencontohkan, ketika para pengusaha pasar dan toko modern sudah memiliki IMB yang
dikeluarkan oleh Dinas Tata Ruang & Bangunan, secara otomatis izin untuk memiliki Surat Izin
Tempat Usaha (SITU) yang dikeluarkan oleh Disperindagdal dengan mudahnya juga keluar. Itu
dikarenakan, pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan telah terlebih dahulu melakukan analisa
dampak ekonomi dan sosial terhadap izin usaha pasar modern. Sehingga pihak Disperindagdal
91 Grindle, Merilee.S dalam Subarsono, G. A, 2008. “ Analisis Kebijakan Publik”. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 93
65
tidak perlu lagi melakukan kajian yang sama. Hal tersebut sangat disayangkan oleh Abdul Hakim
Pasaribu, yang menilai setidaknya ada analisis dampak sosial yang betul betul mencerminkan
kondisi setempat bukan pada formalitas persyaratan semata. 92
Menurutnya pula Disperindagdal dan Distarub dalam mengeluarkan SITU dan IMB harus
mengarahkan pendirian pasar dan toko modern tersebut di lokasi bisnis supaya tidak terjadi apa
yang dinamakannya market power, yang akan menghancurkan usaha usaha ekonomi kecil yang
ada di pasar dan toko tradisional.93
Berkaitan dengan itu, sejauh ini jumlah izin usaha baru yang telah dikeluarkan
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mencapai 1.994 izin usaha. Jumlah ini dilaporkan
didominasi jenis usaha minimarket. Hal tersebut diungkapkan oleh bapak Hery selaku Kepala
Bidang Perdagangan Disperindagdal Kota Makassar.94 Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi B
bidang Ekonomi dan Keuangan DPRD kota Makassar, Irwan ST menganggap bahwa pendirian
minimarket tidak dikategoriakan ke dalam toko modern sehingga perizinannya seperti toko toko
biasa. Disini bisa dilihat bagaimana Disperindagdal tidak melakukan kajian khusus mengenai
dampak dari pendirian minimarket terhadap toko toko kecil yang ada sebelumnya. Itu sebabnya
tidak mengherankan kalau ditemukan banyak minimarket di mana-mana, sebagaimana
mudahnya menemukan toko toko lain di sekitar kita.95
Kendati demikian, Disperindagdal dipastikan bakal kembali menerbitkan ratusan izin
usaha minimarket lain demi mengejar target PAD Rp1,5 miliar. Hingga September, realisasi
92 Wawancara dengan Abdul Hakim Pasaribu (KPD KPPU Kota Makassar). Rabu 23 November 2011. Pukul 10.00 Wita.93 Ibid94 Wawancara dengan Hari (Kepala Seksi Usaha & Sarana Perdagangan Disperindagdal Kota Makassar). Senin 01
Agustus 2011. Pukul 13.45 Wita.95 Wawancara dengan Irwan ST (DPRD Kota Makassar). Selasa 06 September 2011. Pukul 09.00 Wita.
66
pendapatan Disperindagdal dari izin usaha, baru mencapai 40,54% atau sekitar Rp603 juta.
Sehingga untuk memenuhi target yang belum terealisasi tersebut, pihak Disperindagdal
akan kembali menerbitkan izin usaha baru yang didalamnya kembali di dominasi oleh izin pasar
dan toko modern.96 Ini menandakan bahwa kepentingan pemerintah demi pemasukan daerah
lewat izin usaha berjalan lurus dengan kepentingan pengusaha yang memiliki modal besar untuk
membangun gerai demi gerai pasar dan toko modernnya. Sehingga hal ini menciptakan suatu
kolaborasi antara pemerintah-pengusaha yang terjaga dan saling memerlukan. Dengan
menggunakan kerangka berpikir rational choice dimana institusi politik adalah sistem aturan dan
desakan yang di dalamnya individu berusaha untuk memaksimalkan kepentingan dan
keuntungan, tidak terkecuali dalam suatu implementasi kebijakan.
B. DAMPAK IMPLEMENTASI PERDA NO.15 TAHUN 2009 TENTANG
PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN PASAR TRADISONAL DAN
PENATAAN PASAR MODERN TERHADAP EKSISTENSI PASAR
TRADISIONAL DI KOTA MAKASSAR
Tempat paling subur bagi pelaku usaha sektor informal adalah pasar tradisional yang
berada disudut sudut pemukiman masyarakat. Pelaku usaha ini mengisi ruang “informalitas kota”
untuk menjajakan hasil produksi dari desa dan usaha usaha kecil dan menengah yang
berbasiskan rumahan. Denyut nadi usaha ini sudah berdenyut sejak sebuah komunitas eksis
dalam suatu ruang yang terisi baik oleh arus migrasi maupun arus pertumbuhan penduduk kota.
96 Makassar Terkini News, 2011, 16 Oktober, Senin. “Minimarket Dominasi Izin Permohonan Usaha Baru”\. Makassar
67
Salah satu contoh pasar lokal yang ada di kota Makassar yang terbentuk atas kebutuhan
masyarakat adalah pasar Terong. Pasar ini didirikan secara alamiah berdasarkan pertumbuhan
masyarakat sekitarnya. Ada dua faktor pendorong (push factor ) terbentuknya pasar Terong,
pertama pertumbuhan masyarakat di kota Makassar yang semakin hari semakin banyak karena
arus migrasi dari desa akibat maraknya aksi gerombolan Qahar Mudzakkar di berbagai daerah di
Sulawesi Selatan pada tahun 196oan.97 Alasan kedua ialah pasar Kalimbu yang terlebih dahulu
ada, sudah tidak mampu menampung pembeli dan penjual yang semakin banyak menjejali setiap
sudut sudut pasar untuk melakukan proses jual beli disana.
Arus migrasi yang semakin banyak dari daerah baik itu karena alasan mencari
penghidupan yang lebih baik ataupun karena gerakan gerombolan yang semakin massif sehingga
mendorong para migran tersebut ke kota Makassar. Akan tetapi kedatangan mereka tidak
ditopang dengan terbukanya lapangan kerja yang luas. Sehingga hal tersebut menciptakan suatu
usaha yang hanya mengandalkan logika kebertahanan hidup (economic survival). Bahkan sektor
informal dapat berfungsi sebagai ‘katup pengaman’ atas konflik kapitalis dan borjuis dalam
hubungan pemodal-pekerja di level industry kota. Lebih jauh lagi dari sekedar katup pengaman
bagi relasi pekerja-pemodal, sektor informal juga mampu memberi peluang kerja yang jauh lebih
lebar dari pada yang dapat ditampung oleh sektor formal.98
Akan tetapi, keberadaan pasar tradisional dan pedagang di dalamnya, saat ini mengalami
keterancaman. Itu bisa dilihat dari semakin sepinya kunjungan konsumen ke pasar tradisional
yang ada di kota Makassar. Seperti penuturan Daeng Lala, yang merupakan ketua Persaudaraan
97 Salim, Ishak dkk, Kerjasama Infid, 2011. “ Laporan Hasil Riset Gadde-Gadde Makassar Dalam Ancaman Ekspansi Minimarket Moderen”. Makassar98 Wirahadikusumah, Miftah, 1991 . “Sektor Informal Sebagai Bumper Pada Masyarakat Kapitalis”, LIPI-Jakarta
68
Pedagang Pasar Terong Makassar (SADAR). Ia mengatakan bahwa semenjak berdirinya pasar
modern dalam hal ini Hypermart dan Carefour, omzet pedagang pasar Terong semakin hari
semakin menurun. Bahkan selama beberapa tahun terakhir banyak pedagang yang mengalami
gulung tikar.
“ banyak pedagang yang tidak menjual lagi di pasar Terong dikarenakan semakin banyaknya pasar modern yang dibangun di kota Makassar. walaupun masih ada pedagang yang menjual tetapi pendapatan yang mereka dapat sudah tidak bisa diandalkan lagi dan hanya cukup untuk makan sehari saja “99
Melihat persaingan yang terjadi antara ritel tradisional dan ritel modern terdapat
persaingan menurut golongannya. Untuk golongan Hypermarket mempunyai dampak yang
relative berpengaruh terhadap pasar tradisional, sedangkan untuk golongan minimarket,
kehadirannya berdampak pada pa’gadde-gadde.100 Persaingan menurut golongan tersebut
dikarenakan karakter jenis jualan yang sama serta batasan luas bangunannya. Seperti golongan
hypermarket dan pasar tradsisional yang memiliki karakter jenis jualan yang sama seperti
menjual kebutuhan sehari hari seperti sembako, ikan, daging, sayur, buah dan kebutuhan
sandang. Sedangkan untuk golongan minimarket dan toko kelontong menjual kebutuhan yang
lebih sederhana seperti minuman dan makanan ringan, rokok, sabun, dan lainnya.
Dampak keberadaan hypermarket terhadap pasar tradisional di Makassar juga bisa dilihat
di sekitar jalan Toddopuli. Disana terdapat pasar Inpres Toddopuli yang di kelilingi oleh empat
perusahaan yang dikategorikan hypermarket dan satu pasar segar. Keempat golongan
hypermarket tersebut antara lain Carefour, Hypermart, Lotte Mart dan Gyant. Menurut daeng
99 Wawancara dengan Daeng Lala (Ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong Makassar). Sabtu 29 Oktober 2011. Pukul 15.15 Wita.100 Wawancara dengan Abdul Hakim Pasaribu (KPD KPPU Kota Makassar). Rabu 23 November 2011. Pukul 10.00 Wita.
69
Uddin, pedagang campuran yang berada di pasar Inpres Toddopuli mengatakan keberadaan
hypermarket dan pasar segar membuat omzetnya menurun drastis. Dimana sebelum hypermarket
dibangun, omzetnya bisa mencapai 2 Jt perhari tetapi untuk saat ini berkurang hanya berkisar
300-400 ribu perharinya.101 Pendapat serupa juga diungkapkan oleh daeng Olle. Pedagang yang
sehari harinya menjual sayur dan bumbu dapur ini mengatakan saingan yang paling besar saat ini
adalah Carefour dan pasar segar. Daeng Olle mengatakan, sejak carefour berdiri hampir 10 tahun
dan pasar segar setahun terakhir, omzetnya berkurang drastis berkisar setengah dibandingkan
sebelum Carefour dan pasar segar berdiri. Sehingga kondisi ini mengharuskan anak anaknya
untuk tidak bersekolah lagi dan turut bekerja menopang perekonomian keluarga. 102
Keresahan yang dialami oleh pedagang pasar tradisonal akan maraknya pasar modern
sangat beralasan. Dengan modal yang sangat besar, pasar modern dapat menerapkan strategi dan
manajemen dagang yang tidak bisa dilakukan oleh pedagang pasar tradisonal. Mulai dari
promosi, fasilitas yang memberikan kenyamanan kepada konsumen, distribution center sendiri,
sampai pemberian diskon besar besaran terhadap suatu barang. Bahkan, masyarakat banyak
menilai pergi ke pasar modern bukan hanya bertujuan untuk melakukan transaksi jual beli
melainkan sebagai ajang rekreasi keluarga. Sehingga hal ini memunculkan pola yang baru
kepada masyarakat dalam hal berbelanja.
Pola masyarakat yang cenderung berubah dalam hal berbelanja tidak di respon oleh
pemerintah kota untuk meningkatkan kualitas pasar lokalnya. Dalam wawancara bersama PD.
101 Wawancara dengan Daeng Uddin (Pedagang Campuran di Pasar Inpres Toddopuli Makassar). Minggu 28 Agustus 2011. Pukul 14.00 Wita.102 Wawancara dengan Daeng Olle (Pedagang Sayuran di Pasar Inpres Toddopuli Makassar). Minggu 28 Agustus 2011. Pukul 15.00 Wita.
70
Pasar Makassar Raya dikatakan bahwa dari 16 pasar lokal yang ada di Makassar, setengahnya
mengalami kondisi yang memprihatinkan. Kondisi tersebut dikarenakan fasilitas-fasilitas yang
menunjang keberadaan pasar lokal tidak ada atau mengalami kerusakan yang sudah cukup parah.
Sehingga menyebabkan jual-beli dan interaksi sosial antara pembeli-penjual menjadi terganggu.
Untuk kasus kota Makassar, pemerintah berada pada posisi dilematis. Disatu sisi pemerintah
ingin memperbaiki pasar lokal karena menjadi salah satu sumber PAD yang sangat potensial,
tetapi di sisi lain pemerintah hanya memiliki sedikit dana untuk memperbaiki semua pasar.
Sehingga pemerintah kota selalu melibatkan investor dalam memperbaiki pasar.
Salah satu contohnya bisa dilihat di pasar Terong. Pasar yang sudah terbentuk pada tahun
1960-an ini sudah mengalami beberapa perbaikan atau bagi pemerintah sering disebut dengan
revitalisasi pasar. Terakhir tahun 1995 pasar Terong di revitalisasi kerjasama antara pemerintah
dan pengusaha (developer). Dimana awalnya Pasar Terong berupa hamparan disulap menjadi
gedung berlantaikan empat. Tetapi masalah muncul dikemudian hari. Pedagang pasar tidak
mampu mengakses lods dan kios yang berada di gedung pasar dikarenakan harga yang dipatok
pihak developer sangat tinggi. Perekonomian pedagang pasar lokal yang di dominasi oleh
ekonomi mikro dan kecil. Sehingga hal tersebut membuat banyak pedagang memilih untuk
berjualan di badan-badan gedung pasar atau di jalan-jalan seputaran Terong, Sawi, Kangkung
dan Bayam. Nampaknya pemerintah kota lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau
para pengusaha yang menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan
yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan.
71
Sejak era walikota Daeng Patompo tahun 1970 di Makassar, banyak pasar lokal
mengalami revitalisasi menjadi pasar inpres demi cita-cita mempercantik wajah fisik kota. Kota
Makassar mengalami perkembangan menjadi kota metropolitan. Perluasan wilayah dilakukan
karena pertumbuhan penduduk semakin banyak. Kabupaten sekitar Makassar, seperti Gowa,
Maros, dan Takalar menyerahkan sebagian wilayahnya untuk permukiman baru. Kecamatan
Tamalanrea, Daya hingga Sudiang merupakan daerah Maros di masa lalu. Demikian pula di
daerah Pabaeng-Baeng, Manuruki, hingga Malengkeri adalah wilayah Kabupaten Gowa.
Sementara wilayah Takalar yang kini masuk wilayah administratif Makassar adalah
Barombong.103
Untuk mendukung cita-cita perkembangan kota Makassar menjadi kota metropolitan
maka pemerintah membuka pintu ekonomi seluas-luasnya bagi investor luar. Investor tersebut
berkekuatan modal finansial yang besar. Merancang apa saja dengan penuh simbol-simbol
modernitas. Di sisi lain, ekonomi warga kota kebanyakan menerapkan logika kebertahanan
ekonomi (economic survival).
Dalam suatu tesisnya, Boeke (1910) mencoba menerangkan fenomena terbentuknya pasar
dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat
kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik
dengan masyarakat kapitalistik terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat
dalam tingkatan prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang
diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya untuk
mendapatkan laba maksimum 104.
103 Salim, Ishak dkk, Kerjasama Infid, 2011. “ Laporan Hasil Riset Gadde-Gadde Makassar Dalam Ancaman Ekspansi Minimarket Moderen”. Makassar104 Boeke, J. H, 1953. “Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia. N. V. Haarlem: HD Tjeenk Willink & Zoon.
72
Dalam pekembangannya, pasar modern semakin luas berdiri di pelosok pelosok kota dan
desa. Hal tersebut memanfaatkan celah dari aturan yang tidak tegas dari pemerintah. Regulasi
Perpres No,112 tahun 2007 dan Permendagri No.58 tahun 2008 tidak mampu meredam penetrasi
yang dilakukan secara massif dari pasar modern. Untuk kota Makassar, setelah terbitnya Perda
No.15 tahun 2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar
modern lantas tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengendalian pasar modern.
Konsep perlindungan hanya menjadi aturan formal belaka tanpa bisa di tegakkan. Aturan
mengenai pendirian pasar modern harus menyertakan dampak sosial-ekonomi dari pasar
tradisional dan usaha kecil yang telah terlebih dahulu berada disekitarnya dijalankan dengan
tidak serius. Indikasi kearah permainan antara kelompok pengusaha pasar modern bersama
pemerintah semakin menguak kepermukaan. Segala faktor tersebut menyisahkan kesedihan
tersendiri pada keberadaan pasar tradisional dan pedagang di dalamnya.
Kehadiran pasar modern dengan market power yang sangat besar, berbasiskan kapital,
mampu menggerus setiap lawan termasuk pasar tradisional. Kita bisa melihat dari posisi
Carefour saat ini. Berbagai strategi bisnis yang dikembangkannya untuk menopang brand image
sebagai ritel penyedia barang dengan harga termurah di Indonesa, selalu menjadi trend dalam
pengelolaannya di Indonesia. Dalam berbagai hal harus diakui bahwa Carrefour telah
berkembang menjadi trend setter bisnis ritel Indonesia.
Hal yang juga dianggap luar biasa dari Carrefour adalah brand image tersebut ternyata
mampu mendorongnya menjadi sebuah pencipta traffic (lalu lintas) orang berbelanja, di pusat-
73
pusat perbelanjaan (mall). Apabila Carrefour hadir menjadi salah satu tenant dalam sebuah pusat
perbelanjaan, maka tenant-tenant lain akan dengan sendirinya berdatangan, sehingga tingkat
hunian pusat perbelanjaan akan dapat dioptimalkan. Kondisi ini secara faktual dapat dilihat dari
beberapa fenomena yang terjadi di Jakarta, ketika Carrefour mendapatkan izin untuk beroperasi
di daerah Kuningan (Jakarta), tempat tersebut ramai dikunjungi banyak orang. Tetapi setelah
izinnya dicabut oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Carrefour keluar dari wilayah tersebut,
maka kemudian tempat tersebut kembali sepi seperti semula. Sebaliknya di mall Ambassador,
yang sebelumnya sepi dari kunjungan pembelanja serta merta menjadi ramai setelah Carrefour
menjadi salah satu tenantnya. Kondisi ini kemudian diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan
oleh AC Nielsen yang menyatakan bahwa Carrefour dan Hypermart merupakan toko-toko ritel
terfavorit di mata masyarakat. 105
Dalam konsep ekonomi, jelas bahwa pasar tradisional disatu sisi memiliki modal kecil
akan kalah jika disaingkan dengan pasar modern dengan kapital dan market power yang besar.
Persaingan tidak seimbang yang terjadi antara ritel tradisional dan ritel modern kerap membawa
implikasi sosial, karena tersisihnya ritel tradisional dan membawa konsekuensi terhadap
hilangnya mata pencaharian sebagian penduduk.
Selain tidak seimbangnya kemampuan dalam hal modal dan kapital, harus diperhatikan
pula model pengelolaan dalam pasar lokal, dimana sampai saat ini masih terjebak dalam model
pengelolaan yang masih jauh dari upaya menawarkan model yang bisa lebih menarik konsumen.
Kesan kumuh, tidak aman dan tidak nyaman dan sejumlah atribut tidak baik lainnya masih
melekat dalam diri ritel tradisional di mata konsumen. Hal ini sesungguhnya sangat tergantung
105 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
74
dari keinginan pemerintah sebagai pemilik pasar tradisional untuk mengembangkannya. Kondisi
pasar tradisional saat ini sangat memprihatinkan, karena jauh dari upaya pengembangan yang
memadai.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagaimana dijelaskan
pada bagian pembahasan, yaitu :
1. Dalam mengimplementasikan Perda No.15 Tahun 2009, pemerintah kota Makassar
secara teknis SKPD yang terkait tidak berjalan dengan baik. Aturan dalam Perda yang
dinilai masih dibaikan oleh pemerintah ialah mengenai pemberdayaan dan
Perlindungan pasar lokal. Untuk Pemberdayaan, pemerintah seakan lepas tangan
dalam pengelolaan pasar lokal dengan memberikan hak sepenuhnya kepada PD.Pasar
Makassar Raya dan developer yang bernuansa korporasi. Sehingga pedagang pasar
yang mempunyai modal kecil dan mikro tidak bisa mengakses lapak/kios yang sangat
mahal. Untuk konsep perlindungan, pemerintah seakan memberikan kelonggaran
kepada pengusaha pasar modern dalam penerbitan izin. Sehingga ekspansi pasar
modern di kota Makassar tidak terelakkan dan hal tersebut membuat pasar lokal
semakin tersudutkan.
75
2. Terdapat kepentingan yang saling beriringan antara pemerintah dan pengusaha pasar
modern. Disatu sisi pemerintah kota ingin menjadikan kota Makassar sebagai kota
dunia. Berbagai simbol modernitas dimunculkan salah satunya pasar modern. Selain
itu, pemerintah kota Makassar ingin merealisasikan target pemasukan bagi PAD
tahun 2011 lewat perizinan perdagangan. Kedua kepentingan pemerintah ini sangat
sejalan dengan kepentingan dari pengusaha pasar modern yang menginginkan
ekspansi yang luas terhadap gerai-gerainya .
3. Pendirian pasar modern di kota Makassar mengalami pertumbuhan yang pesat setiap
tahunnya. Hal tersebut membuat keberadaan pasar tradisional semakin tersudutkan.
Pendapatan yang diperoleh dari pedagang pasar tradisional semakin hari semakin
menurun. Kondisi ini berlangsung karena strategi predatory praicing yang diterapkan
oleh pasar modern yang mengakibatkan market share berubah, yang awalnya
konsumen membeli ke pasar tradisional beralih ke pasar modern.
B. SARAN
1. Melihat regulasi dari Perda yang sangat lemah terutama yang berhubungan dengan
sistem zonasi, maka perlu di lakukan moratorium kembali Perda No. 15 Tahun 2009
ini. Moratorium tersebut bisa lewat Perda perubahan ataupun Peraturan Walikota
yang didalamnya terdapat regulasi yang ketat dan jelas atas jarak yang seharusnya
diberikan kepada pasar dan toko modern untuk berdiri. Ketentuan zonasi wajib
76
mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial pasar tradisional dan sektor informal
yang berada di sekitarnya, agar tercipta iklim usaha yang adil dan sehat.
2. Pemerintah dalam setiap aktifitasnya terutama yang berhubungan dengan
implementasi kebijakan publik, perlu melihat aturan yang mendasarinya. Seperti
pada pemberian izin kepada pasar dan toko modern untuk berdiri. Pemerintah dalam
memberikan izin bukan bekerja pada SOP yang berlaku di setiap dinasnya saja tetapi
harus melihat Perda No. 15 Tahun 2009 sebagai payung hukum yang lebih tinggi.
3. Sangat perlu perubahan paradigma dari pemerintah yang menganggap bahwa sesuatu
yang tradisional itu sudah ketinggalan jaman. Sangat jelas ketika melihat slogan dari
pemerintah kota Makassar yang menginginkan Makassar sebagai kota dunia dan
untuk merealisasikan impian tersebut maka diciptakanlah segala simbol-simbol
modernitas salah satunya pasar dan toko modern. Selain itu, paradigma yang harus
diubah dari pemerintah ialah perlakuan yang adil bagi setiap pelaku usaha, baik itu
pelaku usaha kecil dan pelaku usaha besar. Dimana setiap izin usaha yang
dikeluarkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha besar seperti hypermarket dan
minimarket, tidak melulu bertujuan mengejar target PAD. Tetapi bagaimana
pemerintah harus mempunyai sikap perlindungan kepada pelaku-pelaku usaha kecil
yang terdapat di pasar lokal dan UMKM.
4. Semakin menjamurnya hypermarket dan minimarket di kota Makassar membuat
dampak negatif yang sangat besar terhadap keberadaan pasar tradisional dan sektor
77
informal lainnya. Sehingga sangat perlu dilakukan moratorium kembali izin dari
pendiriannya. Dimana dari hasil penelitian, banyak terdapat hypermarket dan
minimarket yang menyalahi aturan mengenai analisis dampak sosial ekonomi dari
masyarakat dan pelaku-pelaku usaha kecil yang berada disekitarnya. Dalam hal ini,
pemerintah seharusnya mempunyai hak mengawasi pendirian pasar dan toko modern
yang melanggar aturan Perda dengan memberikan sanksi yang tegas berupa
pencabutan izin usaha.
5. Pengembangan pasar lokal harus lebih memperhatikan aspek kelangsungan usaha
bagi pedagang yang sebelumnya menempati pasar. Oleh karena itu, penting
dipertimbangkan mengenai daya dukung ekonomi dan kemampuan pedagang untuk
mengakses lokasi berjualan di pasar lokal. Penataan pasar lokal bukan berarti
pembangunan gedung fisik yang megah melainkan pada fasilitas yang dianggap
penting bagi konsumen, yakni: kenyamanan, keamanan, kebersihan, kedekatan lokasi
dengan pemukiman, dan terjaganya kualitas barang yang diperdagangkan. Selain itu,
konsep pemberdayaan yang masih belum maksimal perlu di galakkan lagi oleh
pemerintah. Misalnya dengan memberikan pinjaman lunak atau pelatihan manajemen
usaha kepada pelaku-pelaku usaha kecil dan mikro yang banyak terdapat di pasar
lokal.
78
DAFTAR PUSTAKA
A.C. Nielsen. Riset. 2008
AC.Nielsen, 2010 . “Laporan Pertumbuhan Ritel Modern dan Dampaknya Terhadap Ritel Tradisional”. Jakarta
Active Society Institute (AcSI), 2009. “Laporan Penelitian Studi Etnografi dan Observasi Pasar-Pasar Lokal di Tengah Pertumbuhan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di Kota Makassar”. Makassar
Aprindo News, Oktober 2009
Boeke, J. H. 1953. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by Indonesia. N. V. Haarlem. HD Tjeenk Willink & Zoon.
Caroline Paskarina, S.IP., M.Si, dkk, 2007. “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung” Pusat Penelitian Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Bandung
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yokyakarta. Hanindita Graha Widya
Dwidjowijoto, R. N. 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta. Elek Media Komputindo.
Harvey, David. 2009, Januari. “Neoliberalisme & Restorasi Kelas Kapitalis”. Resist Book Yokyakarta
Huma. 2007. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori & Praktek. Jakarta.
Keban, Y. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu. Yokyakarta. Gava Media
Kismartini, dkk. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta. Universitas Terbuka.
Kompas, Artikel. 2006, 2 Juni. Jangan Biarkan Pasar Bersaing dengan Hipermarket.
79
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2008, Oktober. “Pemantauan terhadap Implementasi Perda-perda Bermasalah”. Jakarta
Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Makassar
Makassar Terkini News, 2011, 16 Oktober, Senin. “Minimarket Dominasi Izin Permohonan Usaha Baru”. Makassar
Marsh, David & Stoker, Gerry. 2011. Theory and Methods in Political Science: Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media.
Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
Prabowo, Agung, 2009 . “Gerakan Perlawanan Pedagang Pasar Terong Terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Makassar Pasca Pembangunan Gedung Tiga Lantai”, Hasil Penelitian Skripsi. Makassar
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan PT Indef Eramadani (INDEF), 2007, Desember. “Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Pasar Tradisional”. Jakarta
Salim, Ishak dkk, Kerjasama Infid, 2011. “ Laporan Hasil Riset Gadde-Gadde Makassar Dalam Ancaman Ekspansi Minimarket Moderen”. Makassar
Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”., dalam Ajip Rosidi, dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancage.
Setiawan, Bonnie. 2003. “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada tubuh WTO” dalam Neoliberalisme. Yokyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Smeru, newsletter. 2007. Pasar Tradisional di Era Persaingan Global. Jakarta.
Smeru, 2007. “Dampak Pendirian Supermarket Terhadap Pasar Tradisional”. Indonesia
Subarsono, G. A. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yokyakarta. Pustaka Pelajar.
Thoha, Miftah. 1999. Dimensi Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta. PT. Grafindo Persada.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Bumi Aksara.
Wahyudi dan Ahmadi. Kasus Pasar Wonokromo Surabaya Cermin Buruknya Pengelolaan Pasar. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.
80
Winarno, B. 2007. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yokyakarta. Media Pressindo.
Wirahadikusumah, Miftah, 1991. “Sektor Informal Sebagai Bumper Pada Masyarakat Kapitalis”, LIPI-Jakarta
81