pascakolonialitas dalam karya sampul buku ong hari … · 2020. 11. 20. · sampul buku memiliki...
TRANSCRIPT
i
PASCAKOLONIALITAS DALAM KARYA
SAMPUL BUKU ONG HARI WAHYU
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
MUHAMMAD TAUFAN AKBAR
146322016
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
PASCAKOLONIALITAS DALAM KARYA
SAMPUL BUKU ONG HARI WAHYU
Penelitian yang mengkaji sampul buku merupakan hal yang terbilang
masih terbatas di negeri ini. Penelitian ini sendiri sengaja mengkaji beberapa
sampul karya Ong Hari Wahyu, guna menunjukkan bagaimana sampul memiliki
makna dan sumbangsih bagi lanskap wacana perbukuan terlebih dalam
kebudayaan.
Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis proses kreatif Ong Hari
Wahyu dalam menciptakan empat sampul buku bernuansa pascakolonial. Analisis
atas empat sampul buku karya Ong Hari Wahyu ini untuk memperlihatkan unsur
pascakolonialitas di dalamnya. Dengan demikian penelitian ini pun membuktikan
unsur-unsur pascakolonial dalam empat sampul karya Ong Hari Wahyu.
Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis dan
beberapa sumber digital. Data tersebut diolah menggunakan analisis semiotika,
sedangkan penafsirannya menjadi tawaran utama dalam penelitian, dengan
menggunakan pendekatan pascakolonial. Pendekatan pascakolonial yang
dimaksud adalah konsepsi-konsepsi dari Homi K. Bhabha seperti “ambivalensi”,
untuk kemudian peneliti permasalahkan dengan kekaryaan Ong Hari Wahyu;
yaitu keempat karya desain sampul bukunya, sebagaimana telah disebutkan
sebagai objek kajian. Selain itu sejumlah langkah dilakukan dalam
mengumpulkan data gambar sampul buku dari beberapa karya Ong hingga
serangkaian wawancara yang kemudian dipilah dan dikerucutkan sesuai
kebutuhan pada penelitian ini.
Hasil dari tesis ini menunjukkan bahwa Pascakolonialitas Sampul Buku
karya Ong Hari Wahyu menampilkan beragam cerita yang tidak berhenti pada
ilustrasi atas isi buku semata, tetapi juga menghadirkan wacana mitos dan
ambivalensi tersendiri. Selain itu, tesis ini juga menunjukkan karya Ong Hari
Wahyu memberi banyak pertanyaan terkait identitas keindonesiaan pascakolonial.
Kata kunci: Sampul, Ong Hari Wahyu, Pascakolonial, Ambivalensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
POSTCOLONIALITY IN THE BOOK COVERS OF
ONG HARI WAHYU’S WORK
The researches analyzing book cover are quite limited in this country.
Particularly, this research is intentionally studying some book covers by Ong Hari
Wahyu in favor of showing how book covers had meaning and contribution for
the landscape of book matters discourse especially in terms of culture.
The purpose of this research is about analyzing the creative process of Ong
Hari Wahyu in creating four book covers with postcolonial essence. The analysis
of four book covers of Ong Hari Wahyu revealed the postcoloniality aspects
inside. Therefore, this research proved the postcolonial aspects in four book
covers of Ong Hari Wahyu‟s.
The sources of this research were collected from some written texts and
digital sources. The sources, later, were conducted by using semiotic analysis,
while the interpretation became the main suggestion of this research by using
postcolonial approach. The postcolonial approach was dealing with Homi K.
Bhabha‟s concepts such as “ambivalence” which later countered with Ong Hari
Wahyu‟s works: The four book covers as the objects of the study. Additionally,
some methods had been conducted in order to collect the pictorial sources of the
book covers from Ong‟s works, also some interviews were sorted and narrowed
down based on the needs of this research.
The result of this thesis presented that the postcoloniality of book covers
of Ong Hari Wahyu‟s revealed various stories which did not stop only on the
illustration of the book content, but also presenting a myth discourse and
particular ambivalence. Besides, this thesis also showed the works of Ong Hari
Wahyu giving many questions related to the identity of postcolonial Indonesia-
ness.
Keywords: Covers, Ong Hari Wahyu, Postcolonial, Ambivalence.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..….. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ................................ v
ABSTRAK ......................................................................................... ................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….....…… 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
D. Relevansi Penelitian .......................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 7
F. Kerangka Teori.................................................................................. 10
G. Metode Penelitian…………………………………………….......... 15
H. Sistematika Penulisan Tesis…………………………………. ......... 16
BAB II PERBUKUAN KITA: DARI PENERBITAN KE PENERBITAN … 17
A. Perbukuan Awal Indonesia: Pra-Kolonial Hingga Kemerdekaan ... 19
B. Surga Perbukuan Yogyakarta di Era Orde Baru ............................. 27
C. Sepintas Tentang Perwajahan Buku ................................................. 31
D. Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta .......................... 37
BAB III PUSARAN PROSES KREATIF ONG HARI WAHYU……………. 46
A. Namanya Hari, Parabane Ong, Memilih Menjadi Seniman ……… 47
B. Menggeluti Sampul di Senjakala Orde Baru ……………………… 50
C. Karya Ong Hari Wahyu di antara Perbukuan dan Reformasi ……... 53
BAB IV PERCIK AMBIVALENSI DALAM SAMPUL SI ONG....... ............. 63
A. Oples (Opini Plesetan ) …………………………………………… 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Rakyat Togog yang Terbungkam................................... ................... 68
B. Priayi Abangan……………………………………. ......................... 71
Priayi yang Rapuh….............. ........................................................... 71
C. Soeharto Dalam Cerpen Indonesia ……………………. .................. 74
Raja Republik yang Mapan............................................... ................ 75
D. Gadis Pantai…………………. ......................................................... 78
Gadis Lugu Jawa dalam Bidikan Lelaki Bangsawan ………........... 79
BAB V PENUTUP............................................................................ .................. 83
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... .............. 86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampul buku memiliki sejarah panjang. Secara fungsional sampul buku
pada awalnya hanya sebagai pelindung isi buku. Sebelum abad 19 sampul buku
dibuat dengan bahan atau material yang tebal atau dikenal sebagai hard cover.
Sampul depan biasanya hanya berisikan tulisan judul, atau bahkan judul dituliskan
pada punggung buku untuk kebutuhan indikator dalam penempatan di rak buku
perpustakaan, sehingga mudah dibaca. Bahan-bahan yang dipergunakan, pada
awalnya belum sepenuhnya kertas, bisa berupa kain, emas dan perak seperti
halnya manuskrip kuno lainnya.1 Baru pada perkembangannya, sampul buku
menggunakan bahan olahan kayu, tujuan utamanya berkisar sebagai pelindung isi
buku.
Sampul buku sendiri sejatinya merupakan visualitas yang darinya dikenali
baik sebagai penanda sebuah buku, maupun petanda isi buku. Hingga dalam
perkembangannya, jalinan petanda yang lahir dari sebuah visual sampul buku,
merupakan pesan tersendiri yang merepresentasikan isi buku atau bahkan
melampaui isi buku. Persoalan semacam inilah yang membuat sampul buku
demikian menggugah untuk ditempatkan sebagai sebuah kajian, di samping
sebagai sebuah subjek penelitian, mengingat di negeri kita masihlah terbilang
minim, khususnya menyangkut pendekatan humaniora. Dengan demikian, sampul
buku menjadi penting untuk ditempatkan ke dalam kerangka sosial-budaya,
1 Periksa St. Sunardi, ”Sampul Di Atas Sampul: Memeriksa Poster Promosi Buku Baru di
Yogyakarta”, dlm, St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika
(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 289-297.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sehingga kehadirannya menjadi representasi tersendiri dalam sebuah fenomena
sosial-ekonomi, dan budaya
Setelah tahun 1820-an ada perubahan besar dalam produksi buku dan
sampulnya. Industri yang lebih mekanikal membawa perubahan dalam pembuatan
sampul buku. Sampul mulai berwarna dan berfungsi sebagai penarik perhatian –
tidak semata sebagai pelindung isi buku.2 Dalam perkembangan berikutnya,
sampul buku memiliki peran dalam perspektif bisnis. Sampul buku tidak saja
secara etis sebagai pelindung isi buku, tetapi juga menjadi penarik perhatian
estetik bagi pasar pembaca atau konsumen, sehingga menjadi kekuatan promosi
tersendiri, bahkan sampul dalam taraf tertentu ibarat sebuah medium untuk
memfetiskan buku.3
Penulis tertarik untuk mencoba memulai dari konteks definisi art dalam
pengertian etis dan estetika, yaitu bahwa art merupakan bentuk produk yang
menghasilkan keindahan visual dan sekaligus mencerminkan pengalaman batin
seniman.4 Ketika kita memperhatikan sampul buku, kita akan melihat desain
grafis berupa bentuk garis, warna dan juga gambar atau lukisan tertentu. Seluruh
sampul yang terlihat sebagai desain grafis tersebut pada dasarnya adalah sebuah
tafsir perupa atau ilustrator yang melakukan tafsir terhadap isi –di luar
kepentingannya sebagai instrumen penarik pasar (baca: bisnis, promosi). Karya
tersebut mengandung entitas terpisah dan memiliki dunia sendiri yang kita sebut
sebagai wacana (discourse). Wacana, sebagaimana didefinisikan oleh Foucault,
merujuk pada: cara-cara membentuk pengetahuan, bersama dengan praktik-
2 Periksa laman https://www.illustrationhistory.org/genres/book-sampul. 3 St. Sunardi, ”Sampul Di Atas Sampul: Memeriksa Poster Promosi Buku Baru di Yogyakarta”,
dlm, St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika (Yogyakarta:
Jalasutra, 2012),. hlm. 293. 4 Definisi Seni, Journal Stanford Encyclopedia, 23 Oktober 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
praktik sosial, bentuk-bentuk subjektivitas dan hubungan kekuasaan yang melekat
di dalam pengetahuan serta hubungan yang saling terjalin.
Wacana dalam visual sampul buku ini yang secara mandiri terpisah dari
kepentingan bisnis, menjadi dunia tersendiri yang berisikan makna-makna tertentu
dan mengandung tafsir sosiologis dan artistik. Tesis ini mengkaji empat sampul
buku karya Ong Hari Wahyu, seorang seniman visual Indonesia yang cukup
menonjol. Pertama, Priayi Abangan karya Sapardi Djoko Damono, Opini
Plesetan (Oples) karya Emha Ainun Najib, Gadis Pantai, karya Pramoedya
Ananta Toer dan Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Empat karya sampul buku
Ong Hari Wahyu itu penulis pilih karena secara visual memperlihatkan nuansa
tertentu, yang mana menjadi pokok utama penelitian ini. Di satu sisi keempat
cover mewakili perkembangan kekaryaan Ong Hari Wahyu, yakni 1995, 2000,
2001 dan 2003. Di sisi lain, adalah menyoal representasi budaya Jawa yang
muncul dalam citra visual tersebut. Hal ini untuk kemudian kami kaitkan secara
konseptual di dalam pendekatan pascakolonial. Selain itu, cover tersebut
mencerminkan judul atau isi buku, sehingga menarik untuk dikaji secara semiotik
untuk mendapatkan makna-makna dari semua karya tersebut, yang tentunya
menunjukkan suatu tafsir Ong Hari Wahyu atas isi buku itu sendiri.
Ong Hari Wahyu sendiri sebagai seorang perupa visual atau desainer
sampul, dikenal oleh banyak penerbit sejak tahun 1990-an sebagai seniman yang
menghasilkan karya-karya bernuansa lama dalam format yang lebih baru –atau
dikenal sebagai karya-karya kontemporer. Karya-karya visualnya dalam bentuk
sampul buku tidak lepas dari kehidupannya sebagai seniman rupa visual.5 Maka,
5 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 06 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
tidak mengherankan apabila karyanya dalam bentuk sampul buku lahir dari proses
analisis dan tafsir atas wacana sosial dan kultural yang ada di Indonesia. Ong Hari
Wahyu menceritakan bahwa semua karyanya baik berupa lukisan atau karya
visual sampul didasari dari proses analisis serta tafsir teks dan konteks. Ketika
melukis sebuah karya di atas kanvas, Ong melakukan perenungan atas wacana
yang melingkupinya, baik itu sebagai cerita sejarah, mitologi maupun hal yang
faktual. Demikian pula ketika ia membuat karya-karya artistik di dalam film-film
yang ia garap. Proses itu juga ia lakukan saat membuat karya visual sampul buku.
Ong Hari Wahyu lahir dan besar di Madiun, Jawa Timur 22 Desember
1958. Ia mulai hijrah di Yogyakarta setelah menamatkan sekolah menengah atas
dan melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Jurusan Seni
Grafis. Selain mendapatkan predikat The Best of Art Director dalam film Daun di
Atas Bantal (1996), karya-karyanya, terutama sampul buku berjudul Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer mendapatkan pujian banyak pihak terutama oleh
penulis bukunya sendiri, yang mengatakan, “bagus sekali ini tepat seperti yang
penulis bayangkan”.6 Ong Hari Wahyu bahkan dianggap sebagai penancap
tonggak gaya sampul buku sepanjang tahun 1990-an hingga saat ini. Ong juga
disebut sebagai bagian dari tokoh revolusi estetik sampul buku Indonesia.7
Pengakuan bahwa Ong Hari Wahyu sebagai pelopor estetik sampul buku di dalam
industri penerbitan buku di Indonesia, tak pelak mencerminkan suatu asumsi
bahwa penciptaan atau kreasi sampul buku di Indonesia saat ini secara langsung
atau tidak banyak dipengaruhi oleh gaya Ong Hari Wahyu. Empat karya Ong Hari
Wahyu dalam studi penulis ini, setidaknya memiliki problematika yang menarik
6 Purwadmadi, Suroso Khocil Birawa, Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #13, UPTD
Taman Budaya, Yogyakarta, 2014. Hlm:112. 7 Purwadmadi, ibid, Hlm.111.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
untuk dikaji, baik sejak ia dalam proses penciptaan hingga pada lahirnya karya
secara utuh.
Akhirnya, secara pribadi, penelitian ini menjadi penting karena
menyangkut keterlibatan diri penulis di dunia perbukuan. Di mana, sebagai
pemilik usaha penerbitan buku, penelitian ini merupakan bagian penting dalam
upaya mengaplikasikan sampul buku di dalam konteks bisnis perbukuan. Selain
itu, sebagai kajian, penelitian ini melengkapi pengalaman penulis dalam dunia
perbukuan. Terutama demi memperdalam pemaknaan dan pengaplikasian sampul
buku dalam konteks struktur kebudayaan manusia itu sendiri. Dengan demikian
penelitian ini merupakan bentuk pengkajian atas subjek seniman dan karyanya,
yang berangkat dari pendalaman atas bidang keterlibatan personal yang intensif,
sehingga sebagai landasan etis, penelitian ini bukanlah suatu pengkajian akademik
yang nirmakna dan sebatas keasyikan intelektual semata, namun sebentuk upaya
penyambungan antara teori dan praksis.
B. Perumusan Masalah
Dari paparan di atas, rumusan pertanyaan utama penelitian ini adalah:
“Mengapa Ong Hari Wahyu menciptakan sejumlah sampul buku bernuansa
pascakolonial?” Rumusan itu dapat kita urai dalam pokok persoalan sebagai
berikut:
1. Latar belakang seperti apa yang menyertai proses kreatif Ong Hari Wahyu
dalam melahirkan karya-karyanya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
2. Jika karya sampul, sebagaimana diakui Ong merupakan sebentuk opini
secara visual,8 bagaimanakah representasi semiotik yang muncul di
dalamnya?
3. Dalam konteks pendekatan pascakolonial sebagai pisau bedah,
bagaimanakah unsur-unsur ambivalensi dan hibriditas tercakup dalam
satire sebuah sampul?
C. Tujuan Penelitian
Seperti yang terurai di dalam persolan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis sepilihan karya sampul Ong Hari Wahyu untuk
memperlihatkan bagaimana karya seni sampul merupakan jagad potensial
tersendiri di dalam konteks seni rupa. Sehingga sebagai sebuah
pernyataan, ia secara tersendiri bisa berkaitan dan/atau otonom dengan
konten judul berikut isi bukunya.
2. Maka, pengkajian atas keempat karya sampul dari Ong Hari Wahyu
setidaknya turut mewarnai pengkajian budaya di dalam ranah perbukuan,
dan seni visual itu sendiri.
3. Penelitian ini berupaya menunjukkan bahwa konsepsi di dalam pendekatan
pascakolonial, dapat berguna dalam menjabarkan fenomena budaya di
dalam seni sampul buku di Indonesia.
8 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
D. Relevansi Penelitian
Relevansi penelitian atas sampul Ong Hari Wahyu ini antara lain:
1. Melalui pengkajian representasi wacana estetik dan relevansi visual
sampul, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pada
pengembangan ilmu sosial humaniora, khususnya dalam kajian budaya.
Selain itu, diharapkan pula bahwa penelitian ini bisa menjadi referensi
bagi kepentingan bisnis perbukuan di Indonesia, mengingat bahwa dunia
buku adalah bagian dari pegembangan ilmu pengetahuan.
2. Penelitian ini pun diharapkan dapat mendorong apresiasi maupun
penciptaan karya-karya seni rupa dalam bentuk sampul buku di kalangan
seniman atau desainer sampul, dan utamanya bagi seluruh manusia selaku
pembaca buku.
3. Penelitian dalam kajian budaya ini diharapkan memberikan sumbangan
terhadap kajian sampul buku di kalangan akademis. Sehingga dapat pula
menjadi sumbangan yang mampu mendorong perkembangan mutu industri
di kalangan penerbitan buku di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Sampul sebenarnya lazim dimaksudkan sebagai sebuah jendela isi atau
abstraksi buku. Setiap karya visual senantiasa memiliki makna-makna yang
memberikan arah pengertian tertentu, baik itu secara ekstrinsik maupun intrinsik.
Dalam tradisi strukturalisme, pengertian ekstrinsik dan intrinsik dikenal dalam
upaya membedah karya sastra. Makna ekstrinsik berkait erat dengan latar riwayat
penciptaan karya dan juga seberapa jauh latar belakang pencipta mempengaruhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
karya yang diciptakan Sedangkan makna intrinsik adalah makna yang terkandung
di dalam struktur karya yang diciptakan.9 Dengan membongkar makna-makna
yang terkandung tersebut, baik pada sisi proses kreatif seniman maupun hasil
karyanya, penelitian ini diharapkan akan memperlihatkan makna-makna yang
mampu diafirmasi dan memberikan nilai-nilai tertentu terhadap perkembangan
seni sampul yang lebih luas di dalam kebutuhan industri penerbitan.
Beberapa kajian berkenaan sampul buku yang sudah ada, di antaranya
dilakukan oleh St. Sunardi dalam esainya “Seni dan Pasar”. St. Sunardi tidak
membahas dari sisi semantik dan semiologinya, hanya saja lebih membahas pada
sisi sejarah sampul buku di dunia dan perkembangan fungsi-fungsinya.10
Kajian
lain yang bisa kita jumpai, lebih pada pembahasan mengenai visual sampul
sebagai representasi isi, seperti karya Agus Purnomo berjudul Kajian Visual
Desain Sampul Novel “Filosofi Kopi”11
. Kajian Purnomo dibutuhkan dalam
konteks seni dalam kaitannya dengan pasar. Tulisan lain yang penulis temukan
adalah karya Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul
Trilogi Novel (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit
Lajang) Karya Ayu Utami”.12
Studi ini lebih menekankan pada proses kreatif
pembuatan sampul. Di luar itu penulis belum menemukan kajian sampul yang
lebih paradikmatik pada kajian budaya, sehingga penelitian ini menarik untuk
9 Bandingkan Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gajah Mada University
Press, 2010). 10 Baca St. Sunardi, “Sampul di Atas Sampul Memeriksa Poster Buku Baru di Yogyakarta”, dlm,
St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (Yogyakarta: Jalasutra,
2017), hlm. 289-297, 11
Kemadha, Vol 6 No.2, Oktober 2017 12
Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul Trilogi Novel (Si Parasit
Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang) Karya Ayu Utami”. Program Studi
S-1 Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia,
Yogyakarta, 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
penulis lakukan. Persoalan mendasar dari penelitian ini adalah memperkarakan
posisi karya sampul Ong Hari Wahyu dalam konteks pascakolonialitas.
Kajian sampul buku Ong Hari Wahyu ini memiliki perbedaan yang cukup
menyolok dengan dua kajian di atas. Pertama, Agus Purnomo menganalisis
kesesuaian isi buku serta efektivitas komunikasi untuk kebutuhan pasar pada
Novel “Filosofi Kopi”. Sementara itu, studi penulis ini lebih menekankan pada
aspek kode semiologis pada sampul buku Ong Hari Wahyu melalui pendekatan
ambivalensi pascakolonial. Output dari kajian ini yang penulis harapkan nantinya
adalah terbukanya tafsir semiologi terhadap empat karya sampul buku Ong Hari
Wahyu dalam konteks pascakolonialitas.
Pada buku berjudul Merupa Buku, karangan Koskow,13
disinggung
beberapa sampul buku dan penerbitan khususnya di Yogyakarta yang pada saat itu
mewarnai dunia perbukuan di Indonesia pada tahun 1990-an hingga 2005.
Selebihnya tidak ada yang mengangkat tema atau menyinggung dengan
pendekatan pascakolonial, melainkan membahas di wilayah pembacaan sampul di
wilayah visual.
Buku berikutnya adalah tulisan Adhe,14
di mana fokus buku ini pada
wilayah perkembangan dan perjalanan penerbit Yogyakarta. Sedangkan mengenai
sampul hanya disinggung sedikit pada bab yang membahas tentang sampul buku
yaitu pada bab Episode I Penerbit Kecil di Jogja. Selebihnya buku ini mengurai
perkembangan serta perjalanan dunia penerbitan buku khususnya yang ada di
Yogyakarta, dari lingkungan perbukuan, minat wacana, tema penerbitan serta cara
kerja produksi, distribusi dan pemasaran hingga munculnya generasi penerbit
13
Koskow, Merupa Buku (Yogyakarta; LKIS, 2009). 14
Adhe, Declare, kamar kerja penerbit Jogja (1998-2007) (Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit
Jogja), 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
baru. Pada bab-bab tertentu juga dibahas tentang izin copyright, kualitas
terjemahan yang buruk dan royalti penulis. Kesemuanya memberi dorongan bagi
penulis menempatkan sampul buku ke dalam sejarah perbukuan, hal mana di
dalam buku karangan Adhe, kendati sebagai penjajagan yang terbilang satu-
satunya, khususnya menyangkut sejarah penerbitan buku di Yogyakarta, namun
masihlah terbatas dan tidak spesifik. Hal terakhir inilah yang penulis upayakan
melalui penelitian ini, yakni menyangkut sampul buku dan pemaknaan visualnya.
Dari empat karya sampul buku Ong Hari Wahyu yang menjadi objek
kajian ini, muncul dua asumsi. Pertama, ada unsur subordinasi dan dominasi
dalam setiap struktur wacana gambar sampul buku tersebut. Kedua, memunculkan
mitos-mitos modern dalam dunia politik yang juga menghadirkan ambivalensi
dalam struktur politik. Pada konteks ini, penulis tergelitik untuk mengaitkannya
dengan realitas politik di masa rezim Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru
mengklaim sebagai pemerintahan yang demokratis, namun di sisi lain menerapkan
kebijakan politik melalui “pengawasan melekat” yang membungkam kebebasan
masyarakat atau rakyat. Hal ini terbaca ketika penulis melihat proses kreatif yang
dilakukan Ong Hari Wahyu di atas. Dengan demikian pada bab-bab berikutnya
akan menjadi lebih jelas bagaimana membaca “Pascakolonialitas Dalam Karya
Sampul Buku Ong Hari Wahyu‟.
F. Kerangka Teori
Penelitian pascakolonialitas dalam empat karya sampul buku Ong Hari
Wahyu dijalankan dengan menggunakan teori dan konsep-konsep sebagai
berikut: Teori semiotika diaplikasikan untuk membaca gejala visual empat karya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
sampul Ong. Makna konotasi dan denotasi dipakai untuk membaca unsur-unsur
signifier visual. Konsep pascakolonial yang digunakan adalah dalam kerangka
pemahaman pascakolonial yang berkisar tentang jejak-jejak kolonial setelah masa
kolonial. Jejak-jejak itu dapat mewujud dengan berbagai macam bentuk, baik itu
melalui pengetahuan yang bersifat abstrak ataupun fisik.
Strategi identifikasi akan diterapkan untuk melihat sampul Ong yang
berupa media visual. Kajian pascakolonial dalam penelitian ini tidak semata-mata
menyoal periodisasi, yakni segala yang terjadi setelah kolonial pergi atau negeri
terkoloni itu merdeka. Namun merupakan sebentuk penjelasan maupun
pemahaman atas kondisi kebudayaan yang terjadi sejak tersentuh oleh kolonial
maupun terus terjadi hingga hari ini.15
Dalam hal ini, pascakolonialitas adalah
takdir yang tidak bisa ditolak dalam realitas empiris masyarakat Indonesia,
maupun sebagai suatu gejala yang akan datang. Pascakolonialitas, bagi penulis
ibarat hantu yang terus membayangi kondisi Indonesia yang lalu, kini dan akan
datang.
Realitas historis tersebut, kemudian memberikan gambaran yang jelas
tentang perjalanan posisi bangsa dan keberadaan manusia yang saling terhubung
antara bangsa penjajah dan terjajah, manusia merdeka dan manusia terbelenggu
sejak masa lalu hingga masa kini. Di mana kita melihat hubungan yang tidak
setara antara bangsa terjajah dan dijajah, atau antara manusia merdeka dan
terbelenggu sejak masa awal imperialisme.16
Perjumpaan pengalaman tersebut
15 Bill Aschroft, Gareth Griffins dan Helen Trifin, The Empire Writes Back: Theory and Practice
in Post-colonial Literatures (London & New York: Routledge, 1989), page. 2. 16
Selengkapnya penulis pelajari dari Bill Aschroft, Gareth Griffins dan Helen Trifin, Post-
Colonial Studies: The Key Concepts Second Edition (London & New York: Routledge, 2007), pp.
168-173.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
pada akhirnya membentuk makna kehadiran dalam kode-kode kultural tertentu
pada karya-karya sampul Ong.
Untuk menelisik bagaimana struktur pengetahuan dari karya-karya sampul
Ong yang merepresentasikan jejak-jejak efek kolonialisme, secara khusus penulis
akan membahas melalui ambivalensi, yang merupakan salah satu konsep yang
diusung Homi K. Bhabha ketika mendedahkan persoalan mimikri hingga
apropriasi di dalam masyarakat pascakolonial. Konsep tersebut akan berbicara
tentang bagaimana hubungan relasi kekuasaan yang menyebabkan subjek terjajah
hadir dan menampilkan fisiknya dalam wujud relasi yang berubah-rubah.
Perpaduan antara ketertarikan (attraction toward) dan penolakan (repulsif form),
menandai relasi antara penjajah dan terjajah. Sifat ambivalen hadir karena subjek
yang dihubungkan dengan wacana kolonial berada di situasi yang tidak tetap. Ia
tidak serta merta menentang penjajah namun dalam satu sisi, subjek menyetujui
pengetahuan terjajah. Ketidaktetapan tersebut terlihat secara teoritis dari
keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance) yang dialami subjek kolonial.
Dua kutub tersebut selalu berubah-ubah dan tidak stagnan. Instagnasi atau
ketidak-stagnan-an ini memunculkan identitas pascakolonial kemudian menjelma
kondisi hibrid, dalam mana Bhabha menyinggung: “The trace of what is
disavowed is not repressed but repeated as something different –a mutation, a
hybrid”.17
Ketidak-stagnan-an maupun ketidak-mapanan inilah yang khas dalam
konsep ambivalensi di dalam teori Homi K. Bhabha, yang mencerminkan
persoalan identitas di dalam subjek pascakolonial.18
17
M.H. Nurul Huda, “Membongkar Kekerasan Epistemis”, dlm, Mudji Surisno dan Hendar
Putranto Eds, Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.
113-120. 18
Homi K. Bhabha, Location of Culture (New York: Routledge, 1994), hlm. 111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Adapun relevansi persoalan identitas pascakolonial di dalam representasi
sampul buku ini terbukti demikian kentara, khususnya ketika dipahami sebagai
sebuah jalinan visual dengan benang merah penandaan tertentu. Tidak
ketinggalan rangkaian manifestasi citra visual tertentu yang muncul, sehingga
kesatuan sampul buku dari Ong Hari Wahyu layak ditempatkan ke dalam wacana
visual atas realitas rumit simbol atau representasi keterbelahan identitas yang
khas dalam jagad pascakolonial, atau setidaknya sebagai sebuah kritik atas kuasa
Orde Baru.
Kemudian, penulis sendiri sengaja menggunakan metode semiotika dalam
pengungkapan jalinan tanda, sehingga sanggup ditelaah jejaring penanda maupun
utamanya petanda, yang memudahkan penulis untuk dikaitkan ke dalam kerangka
pascakolonial di atas. Konsep semiotika yang akan penulis gunakan sendiri
adalah teori mitos milik Roland Barthes. Secara umum semiotika adalah ilmu
tentang tanda. Manusia pada umumnya berusaha mengkomunikasikan dirinya
melalui tanda-tanda khususnya dalam hal ini adalah tanda visual. Dalam teori
mitos Barthes sebuah narasi diciptakan melalui proses signifikasi (penandaan)
secara kultural. Mitos adalah tanda yang direproduksi terus menerus, yang
dilahirkan dari sistem signifikasi tingkat kedua atau second-order semiological
system.19
Mitos sebagai pengembangan dari makna konotasi, dalam perspektif
Barthes, kemudian selalu menaturalisasikan kenyataan. Sehingga melalui mitos
inilah, sebuah fenomena atau realitas sosial terkesan apa adanya (an sich). Dari
sana, secara struktural, sistem penandaan yang bekerja mempermainkan relasi
kekuasaan di dalam penciptaan proses penanda baru, diulang terus menerus dan
19
Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), hlm. 113.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
direproduksi melalui permainan kode struktural yang berbeda. Hal tersebut
menempatkan mitos sebagai language-robbery, atau perampok bahasa, sebab ia
mempermainkan realitas sistem penandaan dan melampauinya.20
Dengan kata
lain, mitos mencabut realitas sebuah tanda tertentu dari akar historisnya.21
Dengan demikian, penggalian atas kinerja penandaan yang terkandung
dalam visual sampul buku, menjadi sebuah upaya untuk mengungkap bagaimana
penandaan bekerja dan memungkinkan sebuah pesan kepada pembaca/penonton.
Di satu sisi pengunaan konsep Barthes tentang pentingnya konotasi, hingga
melahirkan mitos, berhasil membantu dalam menelaah visual yang hadir dalam
karya-karya sampul Ong Hari Wahyu. Di sisi lain, pisau bedah pascakolonial,
memungkinkan penulis melengkapi hasil penelusuran dengan metode semiotika.
Hal tersebut memicu penjelasan akan kemungkinan-kemungkinan makna yang
terkandung dari sebuah sampul, sehingga berkaitan dalam suatu proses identitas
kebudayaan.
Akhirnya, dari gabungan antara semiotika dan pascakolonial, penulis
meyakini bahwa sampul Ong Hari Wahyu, yang penulis tampilkan di dalam
kajian, dapat dipahami sebagai suatu wacana visual maupun pesan penting bagi
suatu kajian budaya. Artinya teori semiotika dan pascakolonial yang digunakan,
sanggup menjembatani suatu analisis atas sebuah sampul, baik Ong Hari Wahyu,
maupun cover-sampul lain pada umumnya.
20 Roland Barthes, Ibid, page. 131. 21
St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2002), hlm. 87.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
G. Metode Penelitian
Data penelitian ini sebagian besar berasal dari sumber-sumber teks tertulis
dan beberapa sumber digital. Metode penelitian yang digunakan ialah analisis
semiotika sebagai elaborasi atas teks sampul, disusul dengan pendekatan konsep
ala kajian pascakolonial, terhadap seniman dan keempat karya desain sampul
buku sebagaimana telah disebutkan selaku objek kajian. Metode untuk
menjalankan tesis ini meliputi sejumlah langkah dalam mengumpulkan data
gambar sampul buku dari beberapa karya Ong kemudian dipilah dan dikerucutkan
sesuai kebutuhan pada penelitian ini. Adapun metode wawancara dipergunakan
untuk memperkuat analisis atas cover itu sendiri, sehingga mencoba menautkan
persepsi yang muncul dalam pengakuan lisan Ong Hari Wahyu, dengan apa yang
penulis temukan. Hal ini mengingat Ong tidak pernah menuliskan secara literal
mengenai proses kreatif kekaryaan sampulnya.
Penelitian ini sendiri, sebagaimana lazimnya kelengkapan heuristik,
melibatkan sepenuhnya metode penelitian kepustakaan. Sehingga penulis sengaja
melakukan serangkaian penjajagan ke berbagai perpustakaan untuk menemukan
sumber yang diperlukan. Wawancara dilakukan terhadap Ong Hari Wahyu secara
khusus, dan pihak-pihak yang memiliki informasi penting terkait tema penelitian
ini, yaitu Buldanul Khuri dan Hairus Shalim sebagai penerbit dan pegiat buku di
Yogyakarta. Metode interview tersebut sebagai pelengkap dalam menganalisis
konteks sejarah maupun konteks yang melatarbelakangi perspektif yang tercermin
dalam karya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
H. Sistematika Penulisan Tesis
Sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut; Bab I berisi pendahuluan
yang memaparkan latar belakang pemilihan topik penelitian, perumusan masalah,
serta kerangka teoritis yang dipakai untuk menjawab permasalahan penelitian.
Bab II secara khusus memberikan gambaran sejarah perbukuan awal
Indonesia sebelum kolonial hingga masa kemerdekaan, kemudian perkembangan
penerbitan buku di Yogyakarta pada masa Orde Baru, hingga pergeseran orientasi
dan perubahan gaya sampul.
Bab III sendiri berkutat pada pemaparan profil Ong Hari Wahyu dan
konteks sosial historisnya dari lingkungan di masa orde baru hingga karya,
industri dan gerakan.
Bab IV mengurai secara semiotik citra-citra yang tampak di dalam empat
karya sampul buku Ong Hari Wahyu di dalam empat buku; Soeharto dalam
Cerpen Indonesia, Priayi Abangan, Oples (Opini Plesetan) dan Gadis Pantai.
Adapun di dalam hal ini, sebagaimana disinggung dalam kerangka teori, dalam
analisis digunakan pendekatan pascakolonial.
Bab V berisi kesimpulan yang mencoba merangkum jawaban atas
pertanyaan rumusan masalah, yang telah dielaborasikan di dalam bab-bab
sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
BAB II
PERBUKUAN KITA: DARI PENERBITAN KE PENERBITAN
Bab ini mengetengahkan sejarah singkat dunia perbukuan di Indonesia
sebelum masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Tujuannya adalah untuk
memberikan latar sebuah peristiwa perbukuan di tanah air. Kemudian pembahasan
dilanjutkan dengan pembahasan seputar perbukuan di Yogyakarta pada masa orde
baru hingga perwajahan sampul buku. Secara umum gambaran tentang
perkembangan penerbitan pada masa orde baru mengalami perkembangan dan
dinamika dengan pengawasan yang ketat oleh pemerintah. Pembahasan
selanjutnya lebih menitikberatkan secara sosio-historis dalam konteks apa yang
mempengaruhi perwajahan sampul buku di Yogyakarta. Pembahasan seperti ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran semangat kebudayaan anak-anak
muda di masa tersebut.
Sulit membayangkan kelahiran Indonesia, tanpa perbukuan, sebab tokoh-
tokoh pendiri republik sendiri merupakan kelas menengah terdidik yang
dibesarkan salah satunya oleh bacaan-bacaan mereka. Kelas menengah terdidik
dari kalangan pribumi merupakan lapisan elite modern, yang mana di samping
sebagai pembaca, kemudian menjadi penulis buku. Taruhlah contoh, Soekarno
sebagai proklamator penting dalam kemerdekaan Indonesia terkenal menyukai
beberapa buku di masa mudanya, seperti karangan-karangan Pieter Jelles
Troelstra berjudul Gedenkschriften, dan Sociaal-Democratie na de Oorlog (1921),
lalu buku karangan Karl Kautsky, Sozialismus und Kolonialpolitik, hingga karya-
karya Voltaire, JJ Rosseau, Karl Marx, Engels, Ernest Renan dan tentu masih
banyak lagi. Soekarno pun kemudian melahirkan berbagai karangan seperti:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Sarinah, pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia menggugat; Lalu yang
terkenal adalah buku berjudul: Di Bawah Bendera Revolusi dalam dua jilid tebal
yang diterbitkan oleh negara. Demikian pula dengan tokoh-tokoh di Indonesia
baik yang dikanonkan sebagai pahlawan nasional, maupun berbagai tokoh yang
muncul di masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan, dapat dipastikan
merupakan agensi penting dalam perbukuan sejak resepsi hingga produsen.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa perbukuan, di samping sebagai
medium, mustahil dilepaskan dari kenyataan kapitalisme. Dalam sejarahnya, buku
kerap disangkutkan dengan penemuan Johannes Gutenberg, yang membuat mesin
cetak rendah manual. Sampai kemudian mesin cetak yang dikenal sebagai
letterpress itu digunakan untuk kepentingan produksi massal kitab Injil atau yang
dikenal sebagai Bibel Gutenberg yang dikenal sebagai Alkitab 42 baris; yang
mana hasil cetakannya didistribsikan ke seantero Eropa.22
Akan tetapi buku
sebagai hasil dari teknik seni grafis cetak tinggi, tampaknya telah dimulai lebih
dulu di Cina, dan baru populer digunakan di Eropa, semata-mata demi keperluan
mencetak dan mempublikasikan acara-acara kebaktian gereja dan naskah-naskah
Bibel, pada kisaran medio 1420-an.23
Metode saat itu masihlah menggunakan
cutting block atau mengukir permukaan balok kayu dengan bentuk-bentuk teks
atau gambar secara terbalik (mirror image), untuk kemudian dilumuri dengan tinta
dan dicetakkan ke dalam kertas. Dari situ teknik mencetak kian berkembang,
misalnya dengan adanya teknik cetak dalam atau Intaglio gravure pada 1480, lalu
22 Periksa misalnya dalam Benedict R.Og Anderson, Imagined Communities, terjemahan:
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 23
Hanny Kardinata, Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (Jakarta: DGI
Press, 2015) Hlm. 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
teknik tipografi (1518) hingga huruf Garamond pada medio 1540-an.24
Mulai dari
situ, dunia perbukuan yang bermula dari tradisi berabad-abad sejak masa kuno,
seperti Mesir, Babilonia dsb, dalam mana melibatkan kinerja tekun para seniman
penyalin, untuk kemudian secara perlahan ditinggalkan. Alhasil dunia kapitalisme
perbukuan kian pesat, di samping sebagai anak kandung seni grafis, sekaligus
konsekuensi dari revolusi teknologi cetak.
A. Perbukuan Awal Indonesia: Sebelum Kolonial hingga Kemerdekaan
Ketika definisi perbukuan adalah hasil dari produksi massal mesin cetak,
maka sejarah perbukuan di Indonesia dapat dikatakan secara resmi, dimulai ketika
mesin cetak didatangkan pada tahun 1659, yang mana diperkirakan bermerek
Faber & Schleider. Kala itu mesin tersebut hadir sebagai bagian dari misi
penyebaran agama Nasrani. Kendati demikian, oleh sebab tenaga ahli, yakni
operator mesin tersebut belum menguasai secara maksimal, maka mesin cetak
tersebut sempat menganggur selama beberapa tahun.25
Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa wilayah nusantara sendiri telah
memiliki tradisi literasi hingga pembuatan dan penyalinan buku. Tak heran
karangan-karangan masyhur seperti yang bermediakan batu prasasti hingga daun
lontar menjadi primadona di berbagai kerajaan kuno di nusantara. Hingga
kemudian teknologi kertas mulai diperkenalkan, baik kertas dari Cina, maupun
kertas buatan sediri misalnya kertas dluwang. Sejak saat itu tradisi penulisan
berkembang pesat, baik di bawah kerajaan-kerajaan Islam mupun tradisi santri di
pesantren-pesantren.
24
Hanny Kardinata, Ibid, Hlm. 17. 25 Hanny Kardinata, Ibid, hlm. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren adalah produk yang tumbuh di
bumi nusantara sejak ratusan tahun lalu. Dalam pesantren dikenal sistem
pendidikan yang bertumpu pada dua kitab utama. Pertama, Al-qur‟an, dan kedua
Hadits. Melalui dua sumber itu, kemudian lahir tradisi penulisan kitab, baik
sebagai tafsir agama hingga hukum praktik agama. Hal ini diperkirakan telah
dimulai semenjak para penyebar Islam yang masyhur, yakni Wali Songo yang
telah mempergunakan kertas buatan Cina, yang biasanya berwarna kuning, dari
situ kemudian kitab-kitab karya Ulama Arab, Mesir hingga Nusantara sendiri
dikenal luas dengan istilah Kitab Kuning.26
Lantas ketika kehadiran bangsa Eropa, khususnya para pedagang VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie), kertas-kertas Eropa mulai hadir. Di
kemudian hari, kertas Eropa juga mulai dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan
Islam, misalnya Mataram Islam, yang sejak 1755 telah terpecah menjadi Surakarta
dan Yogyakarta. Dua kerajaan itu pun, hingga kini masih menyimpan naskah-
naskah yang ditulis oleh para pujangganya. Seiring menguatnya peranan bangsa
Eropa, dalam menentukan arah sejarah di berbagai wilayah Nusantara, maka
dunia penulisan dengan medium kertas, kian beririsan dengan berbagai
kedatangan dan kepentingan bangsa Eropa pada medio abad 18. Di saat
bersamaan, Drukkerij (industri percetakan) pada abad 17 dan 18 terbilang masih
tersentral pada pusat-pusat kekuasaan kerajaan maupun kalangan Belanda. Baru
pada abad 19 hingga utamanya pada awal abad 20, perbukuan benar-benar mapan
di kepulauan nusantara, di bawah nama sebuah koloni: Hindia-Belanda.
26 Periksa Ahmad Baso, Pesantren Studies 2b (Jakarta: Pustaka Afid, 2012), disini diungkap
berbagai aspek tradisi pesantren dalam kaitannya dengan produksi teks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Di masa inilah buku bacaan mengalami persebaran yang luas, baik
didatangkan oleh penerbit-penerbit dari negeri Induk, maupun sebagai bagian dari
distribusi penerbit-penerbit di koloni. Misalnya perusahaan penerbitan dan
pecetakan milik pemerintah, yakni Landsrukkerij, pada 1835 melalui L.D. Brest
van Kempen, mengeluarkan izin khusus untuk menjual buku-buku untuk publik,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Bukan hal aneh jika kala
itu seluruh buku yang dijual, dan tersebar di perusahaan penerbitan hingga toko-
toko buku seperti Boekhandel G. Kolff & Co, adalah buku buku impor dari negara
Induk Kolonial Belanda.27
Baru di kemudian hari Landsdukkerij menerbitkan
buku sendiri untuk kepentingan koloni. Landsdukkerij sendiri juga menerbitan
buku-buku dalam berbagai bahasa yakni Arab, Jawa, Lampung, Mandailing,
Makassar, Bali, Yunani, Sansekerta dan Cina.28
Adapun kontennya beragam, dari
menyoal kebutuhan sekolah-sekolah hingga kebutuhan penyebaran gagasan
maupun pemikiran para tokoh Intelektual. Di Hindia-Belanda sendiri, kala itu
bermunculan para penulis, baik dari kalangan “pribumi”, Eropa peranakan atau
Indo hingga etnis Tionghoa. Kebanyakan dari mereka menulis karya sastra,
seperti puisi/syair, prosa/novel, hingga naskah sandiwara/teater. Dalam hal ini,
pemerintah kolonial sendiri telah mengatur sedemikian rupa. Dalam masa akhir
abad 19 hingga awal abad 20 misalnya, di Hindia Belanda dikenal penerbitan
milik pemerintah kolonial, yakni Balai Pustaka.
27
Toko buku ini didirikan oleh Willem Van Haren Noman pada 1848, menempati rumah sewa, di
Buiten Nieuw Poort Straat, Batavia, yang kini dikenal Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta. Baru
pada 1894 mendirikan cabangnya di Noordwijk Sraat yang kini dikenal sebagai jalan Juanda.
Termasuk kemudian di kota-kota lain seperti Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Madiun, Kediri,
Malang, Surabaya dan Jember. Periksa dalam Fadrik Aziz, “Yang Mati Meninggalkan Buku”, dlm,
Majalah Historia, No 36. Th. III, 2017, hlm. 22. 28
Bandingkan Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan
Kesusasteraan Sunda Abad 19 (Depok: Komunitas Bambu, 2013). Dalam penelitian ini Moriyama
menunjukkan bagaimana kesusastraan sunda dihidupkan melalui peran media cetak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Balai Pustaka sendiri awalnya adalah Kantoor voor de Volkslectuur atau
Komisi Bacaan Rakyat yang pembentukannya ditetapkan melalui Surat Keputusan
Pemerintah No. 12, tanggal 14 September 1908. Komisi ini sendiri didirikan demi
memenuhi kebutuhan Direktur Pendidikan dalam mempertimbangkan dan
menentukan bacaan-bacaan yang sesuai untuk rakyat di Hindia-Belanda.29
Baru
kemudian Balai Pustaka resmi berdiri pada 1917, dengan memulai memberikan
bacaan-bacaan untuk diktat ajar sekolah, maupun karangan terjemahan dari
penulis negeri induk kolonial maupun karya-karya yang masyhur di Eropa,
misalnya: The last Mohicans (1826) karya James F. Cooper, The Adventures of
Tom Sawyer (1876) karya Mark Twain, dan Sans Familie (1878) karya Hector
Malot. Hal itu seturut dengan arus perkembangan medium cetak, baik surat kabar,
majalah, dan buku. Balai Pustaka, atau saat itu Balai Poestaka sendiri terbukti
penting bagi persebaran karya-karya “pribumi”, misalnya novel legendaris yakni
Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli dan Salah Asuhan (1928) karya Abdul
Muis dsb.
Dalam hal ini perlu dicatat bagaimana Balai Poestaka sebagai penerbit
pemerintah melakukan sensor ataupun penyeleksian terkait gagasan dalam
karangan yang muncul dan dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan
jajahan. Karya dari tokoh-tokoh pergerakan macam Mata Gelap (1914) dan
Student Hijo (1919), karya Mas Macro Kartodikromo; lalu Hikayat Kadiroen
(1919) karangan Semaoen tidak masuk dalam kriteria Balai Pustaka, mengingat
kedua penulis tersebut dikenal sebagai tokoh pergerakan Sarekat Islam (1911),
organisasi yang kritis terhadap pemerintah kolonial.
29
Periksa Misalnya Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007 (Yogyakarta:
Komunitas Penerbit Jogja, 2007), hlm. 27.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Di samping itu, politik kolonial lainnya, terlihat dari bagaimana Balai
Pustaka menerbitkan buku-buku dengan penyuntingan ejaan hingga tata bahasa
Indonesia yang dikonstruksi seragam sesuai dengan bagaimana bahasa Indonesia
ingin mereka (baca: penjajah) ciptakan. Dengan kata lain, Balai Pustaka telah
mencipta aparatus wacana kolonial, sehingga melahirkan kanon-kanon sejak
mencetak para penulis, hingga soal kebakuan gaya bahasa Indonesia itu sendiri,
hal yang kemudian meminggirkan karya-karya dalam bahasa lain, seperti Melayu
Pasar, Melayu Tionghoa.30
Pemerintahan kolonial kala itu, khususnya terhitung sejak 1908 hingga
invasi Jepang pada 1942, terjadi peningkatan terbitan dari Landsdrukkerij.
Landsdrukkerij sendiri terbukti memonopoli terbitan departemen-departemen
pemerintah seperti De Javsche Courant hingga Het Staatbad Van Nederlands-
Indie beserta publikasi resmi pemerintah lainnya. Adapun sejatinya sejak abad 19,
perbukuan sudah mulai menampakkan bisnisnya. Misalnya dalam soal toko buku
kala itu, telah dikenal firma G. Kolff & Co, yang pada waktu didirikan tahun
1848, hanya memiliki satu saingan, yakni firma Lange & Co yang memang
didirikan lebih dulu pada 1839. Baru kemudian perusahaan swasta lain
bermunculan yakni G.C.T van Dorp, dan Albrecht & Co.31
Dalam kenyataannya, G. Kolff & Co berperan pada banyak buku-buku
pelajaran, termasuk pula buku-buku tentang catatan perjalanan, laporan penelitin,
sains, etnografi sosial, sejarah hingga panduan budidaya pertanian. G Kolff & Co
inilah yang sempat bekerja sama dengan Balai Pustaka untuk menerbitkan
Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat pada tahun 1936, dengan
30 Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda”, dlm, Prisma, No.
10 Tahun XX, Oktober 1991, hlm. 37. 31
Fadrik Aziz, Ibid, hlm. 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
bilingual (Melayu dan Belanda) dan oplah cetak 1000 eksemplar.32
G Kolff & Co
yang kemudian bernama perusahaan lengkap: NV. Koninklijke Boekhandel en
Drukkerij G. Kolff & Co, di masa Jepang mengalami pengambilalihan, dan
percetakannya yang terbilang modern kala itu digunakan untuk mencetak uang
Jepang. Bahkan di masa merdeka pun, peralatan G. Kolff & Co digunakan untuk
mencetak ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Sampai menjelang masa kemerdekaan, Balai Pustaka tetap eksis begitupun
N.V. Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G. Kolff & Co. Setelah menerbitkan
beberapa buku karya Johannes Leimana dan Abdul Muis, perusahaan ini
mengalami gelombang nasionalisasi dan namanya dirubah oleh BANAS (Badan
Nasional Perusahaan-Perusahaan Belanda).33
Sedangkan Balai Pustaka
dipertahankan oleh pemerintah Indonesia, menimbang manfaatnya bagi
persebaran buku-buku bacaan. Pada paruh pertama abad 20, Balai Pustaka milik
pemerintah Indonesia ini tercatat tak kurang menerbitkan ulang 128 judul buku
dengan tiras mencapai 603.000 eksemplar.34
Adapun kala itu dikenal nama-nama penulis seperti Idrus dengan karya
Dari Ave Maria sampai Djalan Lain ke Roma; Utuy Tatang Sontani dengan karya
Tambera; Mochtar Lubis dengan karya Si Djamal dan penulis terkemuka
Indonesia yang di kemudian hari nyaris menerima Hadih Nobel, yakni Pramoedya
Ananta Toer yang menelurkan Perburuan dan Boekan Pasar Malam. Pram sendiri
32
Fadrik Aziz, Ibid, hlm. 24. 33
Op.cit, hlm. 25. Disebutkan bahwa NV. Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G. Kolff & Co di
Jakarta dan Surabaya, diubah namanya menjadi Percetakan Gita Karya. Sedangkan N.V.G Kolff
Inktfabriek di Jakarta menjadi Pabrik Tinta Gita Karya. Lalu Nederlands Indonesische Uitgevers
Maatschappij Noordhoff Kolff N.V. di Jakarta menjadi penerbitan Noor Komala. Dan melalui PP
(Peraturan Pemerintah) No. 24 tahun 1962, ketiganya dilebur ke dalam Perusahaan Percetakan,
Penerbitan dan Pabrik Tinta Gita Karya alias PN Gita Karya. 34
Ahmad Husain, “Kisah Tentang Buku (bagian 2): Sekilas Perkembangan di Indonesia”, dlm:
www.duamata.blogspot.com.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
sempat menulis tentang perubahan Balai Pustaka di masa merdeka yang
menurutnya lebih terbatas geraknya bahkan disebutnya “tidak bernyawa lagi”.
Sebab di samping otonomi dipersempit dan hanya menjadi sambungan dari
kementrian PPK; Balai Pustaka mulai kehilangan pula peran besarnya yang
dahulu di masa kolonial memiliki sumbangsih penting dan masyhur di bidang
pendidikan hingga kebudayaan Indonesia, termasuk dalam mengenalkan di
hadapan dunia.35
Selain karya-karya penulis dalam negeri, muncul pula berbagai karangan
terjemahan dari penulis-penulis dunia seperti Anton Chekov, John Steinback,
Fyodor Dostoyoevsky, Sinclair Lewis, Hasseck, John Russel, Maupasant, Omar
Khayyam dsb. Di masa ini tentu saja tidak hanya penerbitan milik pemerintah saja
yang bergerak dalam bisnis perbukuan, tercatat berbagai penerbit di Jakarta
seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat yang kemudian merubah nama menjadi
Dian Rakyat dan Penerbit Endang, lalu penerbit Ganaco yang berada di
Bandung.36
Menjelang masa “Indonesia Merdeka” inilah, badan yang
menyambungkan penerbitan-penerbitan mulai didirikan, terhitung dengan
dicetuskannya IKAPI atau Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1950. Kala itu
IKAPI telah mewadahi 17 penerbit yang tersebar di berbagai kota, diantaranya
Medan, Padang, Bukittinggi, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya.37
Selain itu, perbukuan Indonesia kala itu disemarakkan dengan diadakannya
festival buku untuk pertama kalinya, yakni Pekan Buku Indonesia tahun 1954.
35 Pramoedya Ananta Toer, “Balai Pustaka Harum Namanja di dunia Internasional dahulu”, dlm,
Madjalah Star. No, 580. 9 Februari 1957, hlm. 10-11. 36
Ahmad Husain, ibid. 37
Periksa dalam laman: www.ikapi,org
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Dalam acara tersebut, toko buku dan penerbitan, NV Gunung Agung merupakan
pemrakarsa utama, dimana motor utamanya adalah Haji Mas Agung, seorang
Tionghoa bernama asli Tjio Wie Tay.38
Menarik diketahui bahwa setahun
sebelumnya, Gunung Agung diresmikan dengan mengadakan pameran buku, dan
melalui Pekan Buku Indonesia, NV Gunung Agung sengaja memprakarsai sebuah
perhelatan festival buku skala nasional.
Tidak tanggung-tanggung, acara selama tujuh hari antara 8 sampai 14
september itu menghadirkan ribuan buku, termasuk berbagai penerbitan,
percetakan setanah air. Acara Pekan Buku Indonesia ini sendiri dihadiri berbagai
tokoh penting termasuk Soekarno dan Hatta, menteri pendidikan waktu itu
Mohamad Yamin, Walikota Djakarta Raja, Soediro, Menteri Penerangan, Dr. F.
L. Tobing dsb. Dalam arsip katalog, disertakan data-data percetakan, penerbitan
seantero Indonesia beserta alamatnya. Adapun dalam katalog juga tampak
bagaimana wacana perbukuan telah menjadi agenda kebudayaan nasional,
sehingga dimuat berbagai aspek terkait buku, mulai dari opini para tokoh-tokoh
seperti Gayus Siagian, Nugroho Notosusanto, Ramadhan KH, Sri Harjati Siagian
dan masih banyak lagi; hingga berbagai perkembangan peran buku dalam
pendidikan, termasuk ringkasan tentang adanya kongres perpustakaan nasional.39
Dari perkembangan tersebut, telah tampak medan perbukuan Indonesia
pasca merdeka, yang dapat dipahami berbagai kecenderungan dalam wajah literasi
dan bursa pengetahuan. Nantinya nama-nama penerbit sebagian menghilang,
38
Hal mana nama Gunung Agung sendiri adalah terjemahan dari nama Tionghoa, Tjo Wie Tay itu
sendiri. 39 Periksa Margono (Peny.), Ibid. Buku yang agaknya semacam katalog ini menyajikan berbagai
informasi lengkap dunia perbukun sampai prosesi berlangsungnya acara pembukaan hingga
penutupan. Periksa juga Lampiran Tambahan dan Pembetulan dari buku tersebut. Acara ini
terbilang merupakan festival buku paling pertama dan terpenting.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
ketika harus melewati fase tragedi politik dan kemanusiaan 1965-1966. Sebab di
fase inilah pengkebirian segala unsur yang dianggap komunis itu, beberapa
perkembangan di bidang ide dan gagasan hingga perbukuan itu sendiri mengalami
perubahan besar. Kendati demikian wajah perbukuan Indonesia seiring naiknya
Soeharto pada 1967, menandai babak Orde Baru, yang juga menentukan politik-
wacana perbukuan.
B. Surga Perbukuan Yogyakarta Era Orde Baru
Menuju medio 1970an, berbagai penerbitan terus bermunculan, yang mana
tampak berada dalam kategori-kategri tertentu. Di samping muncul penerbit
Gramedia pada tahun 1974; yang kelak menjadi raksasa yang memonopoli
perbukuan, berikut toko-toko bukunya yang beredar di berbagai pulau di
Indonesia. Gramedia adalah bagian dari KKG (Kelompok Kompas-Gramedia), di
mana KKG memiliki banyak anak perusahaan seperti penerbitan, percetakan, dan
toko buku. Anak perusahaan dalam bentuk media atau penerbitan yang kita kenal
antara lain adalah Harian Kompas, Jakarta Post, Intisari. Selain itu ada Bola,
Otomotif, Hai. Sedangkan perusahaan penerbitan yang besar adalah Gramedia
Pustaka Utama, Elex Media, Komputindo, Grasindo, Kepustakaan Populer
Gramedia, Penerbit Buku Kompas, dan Buana Ilmu Populer.40
Dari situ Gramedia
menjadi pemain tunggal yang nyaris memonopoli wacana media massa di
Indonesia, sepanjang masa Orde Baru. Meskipun demikian, di luar perusahaan
penerbitan milik KKG tersebut, masih banyak penerbitan yang memiliki gagasan
40
“30 tahun Gramedia Penerbitan: Dengan Buku menuju Indonesia Baru”, Kompas, 25 Maret
2004.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
atau konsep besar, terutama yang berada di Yogyakarta di masa akhir Orde Baru.
Penerbit-penerbit ini menerbitkan buku-buku kritis di medio 1990-an.
Sebelumnya, sebagai suatu gambaran, di masa sampai dengan medio
1980-an, dapat kita cermati penerbit-penerbit yang memasarkan buku-buku
bercorak keagamaan. Terdapat kecenderungan umum beredarnya buku-buku
islami yang bersifat kanonik-normatif, hal mana dapat ditilik dari terbitan-terbitan
penerbit al-Maarif dari Bandung. Buku-buku yang diterbitkan seperti Al-Qur;an,
Hadits Nabi, Tuntunan Ibadah, Surat Yasin, Kumpulan Doa, dan beberapa
pemikiran Islam lainya. Sedikit lebih berat misalnya Penerbit Bulan Bintang dari
Jakarta maupun Pustaka Panjimas, yang banyak menampilkan buku-buku
pemikiran Islam untuk kalangan terdidik. Sedangkan buku-buku dengan tema
agama yang lebih umum diterbitkan oleh Penerbit Thoha Putra Semarang dan
Menara Kudus Surabaya. Terbitan serius terkait pemikiran Islam, kian menguat di
tahun 1980-an dengan lahirnya penerbit Mizan. Mizan Sendiri lahir dari tiga
orang mantan dewan redaksi jurnal Pustaka Salman ITB, yakni Haidar Bagir,
Zainal Abidin Salman dan Ali Abdullah Assegaf.41
Lantas bagaimana dengan kota
Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar?
Menarik untuk disoroti terkait Yogyakarta pada medio 1980-an,
sebagaimana kasus Mizan, muncul sebuah penerbitan berbasis keagamaan Islam
dan beririsan dengan Kampus UGM, yakni penerbit Shalahuddin Press. Didirikan
oleh Ahmad Fanani pada tahun 1984, Shalahuddin Press berupaya hampir sama
dengan Bulan Bintang maupun Mizan yang berfokus pada penerbitan buku-buku
pemikiran Islam yang kritis. Menarik untuk dicatat bahwa kemunculan
41
Dilansir dari Ridwan Muzir, “Santri Tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas judul-judul buku
Swa-bantu Islam di Indonesia”. Thesis (belum diterbitkan). Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2012/2013, hlm. 43-49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Shalahuddin Press, dengan beberapa tokoh penting, nantinya berpengaruh pada
corak penerbitan Yogyakarta. Mereka adalah Ong Hari Wahyu (desainer sampul),
Ari Widjaja (desainer sampul) Musthofa W. Hasyim (editor), dan Buldanul Khuri
(Staf Tata Artistik). Dari Shalahuddin press inilah, Adhe Ma‟ruf dalam bukunya,
menelisik silsilah dunia perbukuan yang mewarnai Yogyakarta di kemudian hari,
khususnya pada 1990-an, jelang reformasi, hingga 2000an.42
Adhe membuat
silsilah yang bermula dari Shalahuddin Press yang kemudian menurun
berkelindan dengan Bentang Budaya, di bawah motor Buldanul Khuri. Sebelum
itu sempat muncul penerbit bernama Serikat Islam (SI press) yang turut
dikelolanya. Sedangkan saat Bentang Budaya membesar, lahirlah anak-anak
penerbitan darinya seperti Pustaka Promethea, Mata Bangsa, Lazardi, Semesta,
Pohon Sukma dan Mata Angin. Ada pula yang masih beririsan yakni Teplok Press
dan C-Books.
Adapun dua nama penerbitan yang menjadi sangat penting dalam arus
persebaran buku dan pemikiran adalah Pustaka Pelajar dan LKiS (Lembaga
Kajian Islam dan Sosial). Pustaka Pelajar dengan anak penerbitan seperti Mitra
Pustaka, Baca dan Mitra Bocah Muslim, didukung toko bukunya yang tersebar di
empat titik di Yogyakarta. Pustaka Pelajar dari segi penerbitan selain
menampilkan wacana Islam, ia juga melahirkan banyak buku-buku terjemahan
terkait pemikiran ilmu sosial-Humaniora, hingga filsafat. Buku-buku pustaka
pelajar inilah yang pasca reformasi 1998, cukup banyak mewarnai bacaan
mahasiswa.
42
Adhe, Ibid. Adhe membuat grafik silsilah yang bermula dari Shalahuddin Press yang kemudian
menurun berkelindan dengan berbagai penerbitan kecil yang menentukan perbukuan di
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Tidak kalah dengan Pustaka Pelajar, adalah LKiS, hal mana LKiS
merupakan penerbitan yang digawangi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, yakni Imam Aziz, dan M. Jadul Maula, disusul kemudian oleh Hairus
Salim dan Ahmad Fikri. LKiS kemudian sangat gencar menerbitkan buku-buku
pemikiran kritis, terkait Islam, sejarah, sosial-humaniora, filsafat hingga tasawuf.
Namun menjadi penting bahwa LKiS pada mulanya sempat menerbitkan buku
yang berkaitan dengan tema-tema kritis, khususnya menjelang gerakan mahasiswa
turut serta dalam upaya menggulingkan rezim Soeharto. Pada masa ini ada
berbagai bacaan liar,43
atau bacaan terlarang yang tidak diterbitkan melalui
penerbitan, sebab akan dipersulit dalam perizinannya. Aktivis Mahasiswa yang
turut serta dalam panggung reformasi, kala itu tak asing dengan buku-buku seperti
karangan Pramoedya Ananta Toer, Karl Marx maupun yang berkaitan dengan
gerakan, tersebar melalui fotokopian. Episode inilah yang dapat dikatakan turut
menyemai keberanian dalam gerakan penerbitan, terlebih dengan masih adanya
pelarangan/sensor atas buku.44
Setelah masa reformasi, Yogyakarta mengalami banjir perbukuan yang
melahirkan nama-nama penerbit seperti: Jendela, Indonesia Tera, Akar Indonesia,
Yayasan Untuk Indonesia, Ikon Teralitera, Gelombang Pasang, Galang Press,
Qalam, Jalasutra, Fajar Pustaka, Mahatari, Logung Pustaka, Ombak, Navila, Buku
Baik dan masih banyak lagi.45
Akhirnya babak penting dalam perbukuan
Yogyakarta tiba dalam wajah alernatif. Dahulu di masa kolonial, sempat hadir
43
Terkait istilah bacaan Liar, sebenarnya sudah marak sejak jaman kolonial, khususnya karangan –
karangan yang dianggap kritis maupun karangan yang berbahasa di luar bahasa yang dikanonkan.
Simak tulisan menarik: Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (E-book:
Edi Cahyono Experience). 44 Bandingkan dengan Iwan Awaluddin Yusuf dkk, Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah
Paradoks Demokrsi dan Kebebasan Berekspresi (Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator
Media, bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia), hlm. 131-133. 45
Amati Silsilah Grafis yang dibuat Adhe Ma‟ruf.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
nama-nama penerbitan, seperti Kolff Buning, yang tampaknya masih anak
perusahaan dari G. Kolff & Co.46
Kala itu Kolff Buning menempati gedungnya di
Jalan Malioboro, dan setelah nasionalisasi 1957-1959, berubah menjadi
percetakan negara, dan kini digunakan gedungnya untuk perpustakaan Jogja
Library. Di masa merdeka, Yogyakarta mengenal nama-nama penerbit seperti
Diwarno S.M, Djiwa Baru dan Tridjaja.47
Penerbit dalam corak N.V atau
Naamloose Venotschaap ini kemudian terus mengalami perubahan, dan menjelang
masa Orde Baru, muncul CV-CV penerbit kecil sebagaimana disinggung
sebelumnya. Akhirnya menjelang banjirnya penerbit-penerbit kecil akhir Orde
Baru hingga periode Reformasi, corak CV jadi kian cair, dan wajah alternatif
penerbitan di Yogyakarta, bahkan Indonesia sendiri, memicu istilah “penerbit
gang”, atau penerbit yang lahir dari kontrakan-kontrakan mahasiswa. Inilah surga
perbukuan jogja yang dari situ terbaca arah literasi dan politik perbukuan
Indonesia. Lantas kemana arah penerbitan Indonesia?
C. Sepintas Tentang Perwajahan Buku
Menjawab pertanyaan di atas, tampaknya harus dipetakan kembali tentang
wajah perbukuan. Artinya, perbukuan mengalami kompleksitas, yang
menempatkan buku tidak semata sebagai medium bacaan, dengan konten tulisan
dan gagasan cuma pengetahuan yang terkandung di dalamnya, sehingga tampilan
atau perwajahan buku menjadi demikian penting dalam memasarkan buku
maupun menampilkan visualitas tertentu. Dalam fase inilah, sampul buku menjadi
suatu dunia tersendiri, yang alih-alih membantah jargon “Don‟t judge book from
46
Periksa Laman www.dpad.jogjaprov.go.id. 47
Margono (Peny), Tambahan dan Pembetulan Pekan Buku Indonesia 1954, hlm. 91.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
the cover”, malahan menciptakan kontestasi wacana dan estetika visual buku
tersendiri.
Dalam singgungan sebelumnya telah disebutkan bahwa beberapa agensi
penting dalam penerbit Shalahuddin Press melahirkan gelombang baru dalam
desain sampul. Hal ini bukan berarti menafikkan buku-buku dan desain sampul
sebelumnya. Namun perwajahan sampul buku, mulai dipandang dengan semangat
estetik. Keindahan sampul disusul visualitas baik semotik maupun
simbolik/ikonografi yang ada, merujuk pada resepsi visual atas isi buku, yang
menawarkan ambiguitas atau liminalitas dalam sampul buku, yakni antara
mengilustrasikan isi buku, dengan menawarkan visualitas dan estetika tertentu;
kemudian menempatkan desainer sampul sebagai author/pengarang.
Kepengarangan sampul inilah yang dalam konteks Yogyakarta menjadi layak
dikaji khususnya semenjak maraknya wajah buku, baik dari Shalahuddin Press,
Bentang Budaya, hingga LKiS dan Pustaka Pelajar. Dari situ keagenan desainer
sampul, menjadi pengusung pesan-pesan yang melampaui isi buku itu sendiri.
Adapun nama-nama seperti Ari Widjaja, Ong Hari Wahyu, Buldanul Khuri,
Haitami el Jaid, Nurudien, dsb, menjadi kajian yang sangat menarik terkait
perbukuan jogja di akhir Orde Baru maupun Awal Reformasi.
Perkembangan sampul di Indonesia terbilang sangat menarik. Semenjak
masa Balai Pustaka di masa kolonial, hingga Balai Pustaka dinasionalisasi di masa
merdeka, hingga masa Pustaka Jaya, disusul berbagai penerbitan di Yogyakarta
seperti Bentang, memiliki kesinambungan dan perubahan. Di masa Kolonial,
buku-buku yang dipamerkan di Kolf & Co, terbitan Balai Pustaka, sampul lebih
bersifat retorika judul buku. Jika terdapat gambar, sebatas ilustrasi sederhana dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
isi buku. Demikian pula di masa terbitan Balai Pustaka di masa kolonial.
Beberapa terbitan pada masa Hindia-Belanda telah menampakkan ilustrasi yang
menarik. Pada masa Balai Pustaka juga demikian, sebagaimana Salah Asuhan
(1928) karya Abdul Muis, yang diterbitkan tanpa ilustrasi. Baru kemudian muncul
ilustrasinya pada periode 1950-an.48
Memang pada masa itu perkembangan ilustrasi gambar, tidak hanya pada
sampul buku, namun juga mewarnai perkembangan dunia komik hingga ilustrasi
di dalam majalah maupun harian surat kabar. Watak memang terus menguat di
masa merdeka, misalnya pada novel-novel roman di dekade 1950-an, terbukti
tampak seni rupa sampul buku, berkembang demikian ilustratif, semisal dalam
roman-roman yang terbit kala itu.49
Adapun jika menyangkut kisah cinta, maka
akan tampak ilustrasi realis sepasang lelaki dan perempuan. Namun menarik
bahwa di kala itu, sudah mulai muncul ilustrasi sampul roman yang menampilkan
unsur lokalitas, misalnya dalam sampul Roman “Perkawinan Penuh Rahasia”
karya Bachtiar Junus, sebagaimana ditampilkan dalam buku Koko Hendri Lubis,
tampak sosok laki-laki memakai peci, dan tampak pula wanita memakai
kerudung. Hal mana berkaitan dengan konteks pengarang yang Minangkabau,
juga cerita yang banyak mengambil muatan nilai-nilai Islam, berakibat pada
sampulnya yang menampakkan nilai-nilai lokal citra keislaman yang berkembang
48 Umar Junus, “Novel Nasib: Suara Non-Kolonial dalam Penerbitan Kolonial”, dlm Jurnal Kalam
No. 21, Tahun 2004, hlm. 43. Adapun Junus menyinggung di dalam catatan kakinya, bertolak dari
artikelnya “Illustrasions and Malay Stories: A Preliminary Statement”, Malay Literature, 1, No. 1,
1988). Yakni mengenai fenomena novel Abdul Muis tersebut, tanpa ilustrasi, oleh sebab:
“Bagaimana Hanafi dan Corrie mesti dilukiskan. Apa saja cara yang digunakan akan berdampak
negatif terhadap wajah penjajah.” Dari sini dapat dicatat bahwa masalah ketiadaan ilustrasi
menjadi persoalan politis tersendiri dalam konteks masa kolonial. 49 Cermati foto-foto buku yang ditampilkan oleh Koko Hendri Lubis terkait Roman Medan, dalam
Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (Jakarta: Gramedia,
2018), hlm. 103; 114; 116; 118; 122; 124; 126; 130; 132; 134; 138; 140; 143; 146; 150; 152; 154;
156; 161; 164; 158, dst.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
di masyarakat Minangkabau.50
Adapun roman-roman lain yang berkembang di
tahun 60-an, semisal terbitan Balai Pustaka, sebagai contoh buku Nur Sutan
Iskandar, Katak Hendak Menjadi Lembu, yang menampilkan ilustrasi realis katak
dan lembu, serta wajah seorang pria. Menarik pula bahwa perkembangan ilustrasi
sampul buku pada saat itu, selain bersifat realis yang berupa sketsa wajah
manusia, juga realisme dalam bentuk suasana atau pemandangan. Misalnya buku
Ia Sudah Bertualang karya W.S. Rendra, terbitan N.V. Nusantara, Bukittinggi-
Jakarta,51
menampilkan lukisan Motinggo Boesje, yang juga seorang sastrawan.
Lukisan Motinggo Boesje, dalam buku karya Rendra tersebut tampak demikian
bernuansa pemandangan yang terbilang sederhana tetapi membangun kesan puitis.
Warna yang digunakan hanyalah dua warna yakni merah dan biru, adapun latar
putih didapat dari warna kertas sampulnya.
Pada masa buku-buku di era Indonesia Merdeka antara 1940an sampai
1960an buku-buku bersampul realis ilustratif baik sketsa maupun pemadangan
sangatlah tampak. Dan dari situlah, terbilang kerja-kerja seniman rupa dalam
dunia sampul buku mulai berkembang cepat. Hal ini menunjukkan bersatunya
kinerja seniman dengan kinerja dunia penerbitan buku. Pola semacam ini terus
berlanjut hampir di berbagai terbitan-terbitan sampai tahun 70-an dan 80-an.
Hanya saja variasi realis mengalami penambahan misalnya bentuk-bentuk abstrak.
Hal ini sendiri sejalan dengan perkembangan seni rupa di Indonesia yang pada
masa pasca 1965, perkembangan realisme mengalami surut, dan beralih pada
abstrak.52
Fenomena sampul buku semacam inilah yang menempatkan sampul
50
Lihat Koko Hendri Lubis, Ibid, hlm. 186. 51
W.S. rendra, Ia Sudah Bertualang (Djakarta-Bukittingi: N.V. Nusantara, 1963). 52
Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer
Indonesia Sejak 1966 (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm 48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
buku, yang beralih dari sekedar ilustrasi atas buku, menuju kesenimanan sampul
buku.
Dalam hal kesenimanan sampul buku inilah, nantinya bermunculan para
seniman penggarap sampul buku yang makin marak di dekade 1990an. Di satu
sisi, adanya perkembangan teknologi dari desain berbasis cetak manual menuju
era komputerisasi. Artinya mulai merebaknya era penggunaan aplikasi desain
grafis dalam komputer yang digunakan dalam penerbitan buku, termasuk desain
sampul buku. Di masa inilah, Ong Hari Wahyu muncul di dunia penerbitan
sebagai desainer sampul buku. Latar belakang pendidikannya dari seni grafis ISI
Yogyakarta membuat karya-karyanya menarik dan inovatif. Generasi Ong
berbeda dengan seniman sampul buku di masa tahun 40-an sampai 70/80-an yang
masih berbasis seniman rupa manual.
Ong Hari Wahyu dalam hal ini bersama beberapa seniman sampul yang
dilahirkan di generasi desainer grafis, mewarnai berbagai terbitan buku. Beberapa
penerbit di era 90-an yang mengedepankan desain sampul buku adalah Pustaka
Pelajar, LKiS, dan Bentang Budaya. Ketiga penerbit tersebut berasal dari
Yogyakarta. Adapun ketiga penerbit buku tersebut, pernah melibatkan Ong Hari
Wahyu sebagai perancang sampul atau cover. Ong Hari Wahyu memiliki
keunikan tersendiri, sebab ia dibesarkan tidak semata dari dunia desain grafis,
tetapi juga akrab dengan dunia seni rupa secara umum. Hal inilah yang membuat
penelitian ini menjadi unik, sebab Ong Hari Wahyu dan karya sampulnya
menghadirkan nuansa seni rupa yang dikemas dalam racikan desain sampul.
Melalui sampul-sampul seperti terbitan buku periode 1990-an hingga
2000-an, Ong Hari Wahyu menampilkan corak-corak karya, yang terbilang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
mewakili wacana yang khas pascakolonial. Batasan periodik ini penulis tekankan,
terkait kenyataan bahwa karya-karya Ong Hari Wahyu pada periode itu memiliki
nuansa berbeda dari corak desain sampul sebelum masa Ong. Beberapa cover
buku tidak saja memperlihatkan kesesuaian tema, tetapi juga nilai estetika yang
tinggi. Hal tersebut dapat dicermati dari beberapa cover yang ia kerjakan, sebut
saja pada karya cover buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit Bentang Budaya
dan Mata Bangsa.
Dalam rentang periode antara 2000-2002 itulah buku-buku terbitan
Bentang Budaya dan Mata Bangsa menghadirkan beberapa tema yang sangat
kontektual dengan sejarah Indonesia atau secara umum kajian Indonesia. Pada
masa itu kita bisa mendapatkan buku-buku seperti Kebudayaan Indis dan Gaya
Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (2000) karangan Prof. Dr. Djoko
Soekiman; Sex Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2003)
karangan Otto Sukatno CR. Kita juga bisa mendapatkan karya-karya sejarah dan
politik oleh peneliti Indonesia maupun Indonesianis, seperti, Kuasa Kata: Jelajah
Budaya- budaya Politik di Indonesia (2000) karangan Benedict Anderson, Opium
to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-bandar Opium Cina, Indonesia
Kolonial 1860-1910 (September, 2000) karangan James Rush, The Indonesian
Killings: pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (Desember, 2000)
karangan Robert Cribb, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai
dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 (Februari, 2001), Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 (November, 2002) karangan Prof. Dr.
Kuntowijoyo, kelimanya dari penerbit Mata Bangsa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Sangat jelas semua karya itu merupakan respon Ong Hari Wahyu atas
tema-besar yang ia tangkap dari konten bukunya, yang kemudian ia wujudkan
dalam karya cover dan bahasa visualnya. Sampai di sini pembatasan ini penulis
perkuat dengan adanya kedekatan Ong Hari Wahyu dengan Buldanul Khuri,
selaku pemilik atas dua penerbitan tersebut. Oleh sebab itu, menjadi penting
untuk memahami Ong Hari Wahyu sebagai bagian dari seniman sampul buku
yang berada di dalam arus perubahan pendekatan perwajahan isi buku di jelang
akhir dekade kekuasaan Orde Baru.
D. Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta
Industri penerbitan buku di Yogyakarta di masa Orde Baru pada mulanya
hanya merupakan bisnis biasa yang terkadang tanpa mempertimbangkan sisi
estetika buku secara keseluruhan.53
Ong Hari Wahyu memberikan contoh penerbit
tua seperti Kedaulatan Rakyat yang menerbitkan secara asal buku cerita silat: Api
Di Bukit Menoreh yang dicetak tanpa pertimbangan estetika tersebut. Biasanya
buku hanya diterbitkan dengan pertimbangan asal laku di pasar.
Menurut Hairus Salim, salah seorang pelaku di dunia perbukuan, yakni di
dalam LKIS, pernah menjelaskan, bahwa saat periode 1980an akhir sampai
1990an awal, penerbit besar yang eksis di Yogyakarta hanyalah Kanisius. Baru
kemudian penerbit seperti Salahudin Press dan Sari Ilmu Press, itu pun kemudian
kolaps. Sementara ketika menjelang medio 1990an hingga 2000an awal, buku-
buku yang di luar penerbit Yogyakarta, banyak diwarnai oleh terbitan Misan dari
53 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Bandung, lalu dari Jakarta ada Erlangga, Rajawali, Grafiti, Sinar Harapan dan
tentunya Gramedia. Salim mengemukakan bahwa:
“Dulu penerbit menjual pakai jasa distributor ke toko buku. Tidak ada
yang namanya penjualan langsung. Baru kalau ada pameran buku tahunan
yang diselenggarakan IKP, atau badan-badan lainnya, itu penerbit baru
bisa menjual langsung. Makanya waktu itu hanya orang yang berinvestor
besar yang berani bikin penerbit, gak bisa kecil-kecilan. Nggak bisa kalau
pas-pasan ke penerbit, misalkan dengan uang 100 juta, langsung nyungsep
itu, karena nanti akan ada hukum distribusi dan hukum pemasaran,
sehingga nggak mudah menentukan pasar. Jadi secara umum cuma orang
yang punya modal besar yang bisa masuk ke penerbit dan menjadi
penerbit.”54
Pada masa itu, para penerbit buku tidak mempertimbangkan baik itu dari
segi estetika sampul atau buku secara keseluruhan, sehingga buku-buku yang
diterbitkan kurang memberikan rangsangan pada pembacanya. Tren mulai
bergeser ketika anak-anak muda di antaranya Ong Hari Wahyu dan Buldan mulai
memasuki dunia penerbitan, terutama bagaimana Ong Hari Wahyu dan kawan-
kawan melakukan sebuah proses kreatif yang lebih inovatif terhadap perwajahan
sampul dan buku secara umum. Di antaranya membuat tafsir sampul dan konten
yang dimulai dengan penerapan hukum-hukum seni rupa dan grafis dan membuat
lay out isi secara lebih rapi dan enak dibaca. Gerakan baru ini bisa dikatakan
diinisiasi oleh Buldanul Khuri, yang mendirikan Penerbit Bentang pada tahun
1992 setelah Penerbit Shalahuddin Press bubar55
. Di penerbit Bentang ini Buldan
mengajak Ong Hari Wahyu mengisi posisi sebagai desainer sampul. Menurut
Buldanul Khuri, di Yogyakarta, bahkan di Indonesia, Ong Hari Wahyu adalah
desainer sampul paling bagus dan memberi warna baru. Untuk keperluan penerbit
Bentang saja, Ong selalu membuat cover dengan kualitas bagus, kendati biasanya
agak lamban. Buldanul Khuri juga menambahkan, bahwa dalam soal typografi,
54
Wawancara dengan Hairus Salim, 2 Mei 2019. 55
Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Ong tidak pernah membuat yang jelek untuk buku-buku yang digarapnya.
Kemahiran dalam typografi ini menurutnya didapat salah satunya dari Ari Wijaya
dari penerbit Shalahudin Press. “Entah Si Ong menyadari atau tidak kepekaan
terhadap huruf itu, Ari Wijaya yang menambahkan” terangnya.56
Namun, meskipun telah melakukan semacam upaya yang cukup progresif
terhadap kreativitas produksi buku dibanding penerbit-penerbit lama, terutama
dalam menciptakan wajah sampul buku, Ong Hari Wahyu sendiri masih belum
mampu melakukan eksplorasi yang cukup bebas. Ada dua alasan yang cukup
menonjol mengapa itu bisa terjadi. Pertama, akses informasi yang masih terbatas
membuat para kreator kekurangan bahan referensi. Kedua, adanya penerapan
pengawasan melekat rezim Orde Baru, di mana setiap penerbit harus mendapatkan
izin terlebih dahulu dari pihak Kejaksaan untuk menerbitkan naskah mereka. Dua
alasan tersebut membuat para kreator/penerbit buku, terutama Ong Hari Wahyu
menjadi terhambat kebebasannya dalam berekpresi.
Perkembangan selanjutnya secara sosio-historis dalam konteks apa yang
mempengaruhi perwajahan sampul buku di Yogyakarta adalah spirit atau
semangat berkebudayaan anak-anak muda di masa Ong Hari Wahyu. Semangat
kebudayaaan ini yang tidak ditemukan dalam konteks penerbitan buku di daerah
mana saja di Indonesia. Pada lazimnya, para penerbit buku berangkat dengan
semangat bisnis atau orientasinya pada keuntungan semata. Di Yogyakarta,
penerbit-penerbit muda justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak mengabdi
pada keuntungan semata, atau bekerja demi mendapatkan untung. Semangat ini
juga berpengaruh terhadap ongkos produksi yang menjadi sangat murah
56
Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan Penerbit Bentang yang
didirikan Buldan lebih dikenal sebagai penerbit gerakan yang biasanya nirlaba.
Aktivitas mereka didasari oleh semangat memberikan akses pendidikan
pada masyarakat melalui buku yang diterbitkan, pada satu sisi, dan semangat
melengkapi identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan menghadirkan buku
murah dan bermutu sebagai cindera mata. Hal itu terbukti dengan ramainya orang-
orang memborong buku ketika berada di Yogyakarta. Kesadaran inilah yang
semakin memperkokoh ikatan kolektif atau kegotong-royongan di antara anak-
anak muda Yogyakarta, terutama dalam konteks penerbitan. Ketiga faktor
semangat itu pulalah yang kemudian mempengaruhi kreativitas dalam membuat
sampul buku dan jenis buku terbit yang berbeda dengan penerbit-penerbit di
Indonesia. Ketika para penerbit mayor seperti Gramedia mempertimbangkan
sebuah naskah membutuhkan waktu tiga bulan, penerbit-penerbit Yogyakarta
tidak membutuhkan waktu lama memutuskan apa yang akan diterbitkan. Tidak
heran jika kemudian banyak buku-buku seri wacana filsafat dan kritis diterbitkan
di Yogyakarta di masa itu. Maksudnya buku-buku Yogyakarta memang
memberikan banyak informasi tentang dunia literasi, namun lemah dalam konteks
penerjemahan karena terlalu cepat memutuskan produksi.
Jika di masa Orde Baru atau di akhir masa Orde Baru penerbit Yogyakarta
lebih berorientasi pada semangat membangun wacana kritis tanpa
mempertimbangkan keuntungan. Maka di masa Reformasi terutama medio 2005
penerbit-penerbit di Yogyakarta lebih banyak dimasuki semangat bisnis yang
utama ketimbang membangun literasi atau wacana kritis. Kala itu dunia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
penerbitan marak dengan buku-buku fiksi, terutama fiksi remaja dan novel pop
roman, demi mengejar oplah pembelian yang tinggi.
Pergeseran orientasi dari penerbitan bacaan yang bersifat kritis, dalam hal
ini biasanya mengandung muatan kritik sosial maupun politik, untuk kemudian
beralih pada penerbitan tema-tema popular demi mengejar oplah pembelian, alias
mengejar keuntungan bisnis, tentunya juga mempengaruhi perwajahan sampul
buku. Dalam hal ini, mulai muncul upaya perwajahan buku yang menarik secara
visual, sehingga menggugah konsumen. Pergeseran itu, sebagaimana diakui Ong
Hari Wahyu, demikian tampak menjadi fenomena yang menentukan arus
perbukuan di Yogyakarta.
Meskipun demikian, Ong Hari Wahyu masih berkarya melalui tafsir dan
intuisi seorang seniman seni rupa tanpa mengabaikan aturan main seni grafis yang
berlaku. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Buldan ketika ia
mempertimbangkan desain sampul buku-buku yang diterbitkan Bentang Pustaka,
yakni dengan memilih karakter setiap pelukisnya. Tak heran jika menurut Buldan,
bahwa dalam proses pembuatan sampulnya, Ong terbilang sama sekali tidak
meniru atau mengambil inspirasi dari gaya sampul lain yang muncul di masa itu.
Adapun nuansa pasca kolonialitas dalam karya-karya Ong Hari Wahyu pun bisa
dikatakan lahir dari latar belakang yang membentuk semangat zamannya dan
mempengaruhi karya-karyanya. Di masa Orde Baru yang penuh tekanan politik,
melahirkan sikap kritis sebagai bentuk perlawanan. Dari semangat zaman tersebut
memberikan dampak terhadap kesinambungan dalam cara berproses kreasi hingga
saat ini. Sampul buku sebagai karya desain, selain mengandung unsur estetik dan
komunikasi, juga mengandung unsur nilai. Hal ini karena desain tidak lepas dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
nilai-nilai budaya yang membentuknya. Desain ada dan tercipta selalu dalam
ruang budaya.57
Ruang-ruang budaya dalam hal ini tentu terus memberi
kesempatan celah seturut kehendak zaman selama sikap kritis ada dan
berlangsung sesuai konteks yang hadir.
Sampul buku sebagai media komunikasi visual memiliki beragam aspek
bahasa visual, antara lain tipografi (cara mengorganisir huruf), tata letak, ilustrasi,
jenis kertas, dan finishing cetak. Sebagai sebuah karya desain, aspek-aspek
tersebut membentuk citra sampul buku seperti yang direncanakan. Peran ilustrasi
dalam sampul umumnya sebagai daya tarik. Akan tetapi, ditinjau dari
perkembangan gaya, ilustrasi dapat menjadi penanda gaya desain dalam kurun
waktu tertentu (ikon zaman).58
Gaya desain di sini dapat dilihat dari tren ilustrasi
tertentu yang mendominasi pada zaman tertentu.
Kendati demikian, pada masa orde baru secara umum pengerjaan sampul
di semua penerbitan masih belum berani mengolah secara kreatif, apalagi
menampilkan simbol-simbol yang sensitif bagi rezim orde baru yang hegemonik,
seperti lars sepatu militer dan lain sebagainya. Dalam hal ini, nilai fungsional
buku, tetap merupakan pertimbangan utama, ketimbang nilai artistik. Sehingga tak
jarang buku tentang Kartini misalnya, pasti akan selalu menampilkan foto wajah
kartini dengan pakaian jawanya, sehingga fungsional yang dimaksud lebih kepada
pembentuk identitas seperlunya semata, alih-alih melindungi buku.59
Bahkan
sebagai ide promosi pun, sampul buku masih bukan dianggap sebagai potensi.
Bahkan buku yang dicetak untuk kepentingan buku ajar, baik di sekolah maupun
57
Koskow, Merupa Buku (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 31. 58
Koskow, Ibid, hlm.32. 59
St. Sunardi, “Sampul di Atas Sampul Memeriksa Poster Buku Baru di Yogyakarta”, dlm, St.
Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (Yogyakarta: Jalasutra,
2017), hlm. 292.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
kampus, kerap tampak tidak mementingkan desain sampulnya harus seperti apa.
Mengingat sudah memiliki pasar khusus, apalagi menyangkut dosen-dosen yang
menjadi penulis bukunya.
Hal-hal semacam ini di kemudian hari mengalami perubahan, khususnya
di jelang akhir otoritas Orde Baru, seiring dengan gelombang gerakan mengkritisi
rezim, hingga puncaknya pada reformasi. Dalam masa “menyongsong reformasi”
inilah, beberapa buku-buku kritis lahir dari berbagai penerbit, mulai dari yang tak
bersampul, fotokopian, hingga secara sederhana dicetak oleh penerbit-penerbit
kecil, atau yang kala itu dikenal sebagai penerbit gang (berlokasi di kawasan kos-
kosan mahasiswa, atau di kampung-kampung).60
Dari sini mulai lahir pula
keberanian untuk mengolah ekspresi-ekspresi, termasuk di dalam sampul. Faktor
politik senjakala rezim Orde Baru, bersambut gayung dengan gairah ekspresi dan
kebebasan seni yang bersaling-silang dengan arus informasi. Kendati demikian,
hanya beberapa penerbit yang cukup penting untuk didudukkan di dalam medan
pertarungan pasar perbukuan yang mengkombinasikan atau mensintesiskan, di
satu sisi nilai fungsional buku sebagai pembungkus dan pelindung buku, maupun
sekedar sebagai identitas pelengkap, dan di sisi lain nilai artistik yang
mengedepankan desainer-desainer sampul hingga layout buku, yang juga
melibatkan seniman-seniman. Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang didirikan
Buldanul Khusri, yang merupakan dua penerbitan yang muncul di zaman itu,
dengan keberanian sintesis tersebut, bahkan sengaja menghadirkan buku-buku
dengan bobot isi atau kualitas gagasan yang mewarnai wacana tertentu, khususnya
60
Penerbitan semacam ini di era pasca reformasi dikenal dengan istilah “penerbit indie”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
di bidang sastra, sosial, seni dan budaya. Tak heran Buldanul Khuri pernah
berkata, bahwa “Buku harus memberi perubahan sosial.”61
Maka terbitan Bentang Budaya dan Mata Bangsa pada dekade 1990an
hingga 2000an, seakan melanjutkan tongkat estafet dari masa Pustaka Jaya,
dengan sentuhan semangat yang beriringan dengan senjakala rezim, maupun
menyongsong era pasca-otoritas dengan perlahan dibukanya angin kebebasan
berekspresi. Dari situ, setidaknya perjumpaan antara penerbit dan perupa, yang
sebenarnya di Indonesia sudah terjalin cukup lama, kian diperkuat. Tentunya
dalam hal ini terkait perihal penggarapan sebuah sampul buku. Dalam proses
keberlanjutan kerjasama perupa atau seniman lukis dengan dunia penerbitan buku,
di masa 1990-an sampai 2000-an inilah, Ong Hari Wahyu terbilang menjadi
perantara. Ong Hari Wahyu di satu sisi adalah seorang seniman sekaligus
desainer, namun ia juga turut merancang aplikasi penggunaan karya-karya rupa
dari seniman-seniman.
Dalam hal ini, Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang digawangi
Buldanul Khuri, sengaja menggunakan karya-karya seniman rupa, untuk
kemudian disortir dan dirancang ke dalam sampul oleh Ong Hari Wahyu. Posisi
Ong Hari Wahyu, baik sebagai perancang sampul yang mengolah dari karya
lukisnya atau mengolah dari bahan milik seniman lain menghasilkan karya yang
dinilai sangat berkualitas. Hal ini tidak lepas dari keutuhannya dalam menggarap
61 Dorothea Rosa Herliany, sempat menuliskan biografi pendek tentang Buldanul Khuri, ia sengaja
melampirkan komentar Buldan berkaitan dengan visi penerbitannya, yakni: “Buku itu harus
memperkaya otak dan jiwa, Buku seni dan sastra itu bagian dari memperkaya jiwa kita, sedangkan
buku-buku non-fiksi bisa memperkaya otak kita. Selain dua ini, itu tidak bisa disebut buku. Hanya
sekedar leaflet atau brosur. Sekali baca, dibuang ke tong sampah.” Dan juga: Buku adalah karya
seni rupa dan karya intelektual. Karena itu, isunya harus bagus, kovernya harus bagus. Kalau
isinya sudah bagus, kovernya tak bagus, waduh, buku kok jelek. Sebagai karya seni rupa, buku
harus tampil menarik. Itu artinya menghargai pembaca yang membeli buku, Kita sajikan menu
masakan yang rasanya enak, kira-kira begitu.” Periksa Dorothea Rosa Herliany, Buldan dengan
Tiga Bukan (Yogyakarta: Mata Angin, 2018), hlm. 45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
prosesnya dari awal hingga akhir. Dengan demikian karya Ong Hari Wahyu di
dalam visual perbukuan menentukan sebuah corak seni rupa sampul buku di
Yogyakarta, bahkan Indonesia.
Sampai di sini, bisa kita simpulkan bahwa semangat atau spirit adalah
penentu utama di dalam proses kreatif para penerbit di dalam menghasilkan desain
sampul buku yang diterbitkan. Semangat atau spirit ini juga mewakili zaman di
mana kemudian mempengaruhi setiap penerbit atau pelakunya. Semangat zaman
ini pula yang mempengaruhi dan membentuk karya-karya Ong Hari Wahyu, baik
di masa Orde Baru hingga Refomasi. Dalam rentang waktu itulah, Indonesia
mengalami fase yang banyak dipenuhi semangat kritik atas rezim, alias semangat
perlawanan. Dalam semangat perlawanan tersebutlah, corak pembuatan sampul
turut terinfluensi. Adapun latar belakang konteks jaman itulah yang membuat
karya-karya sampul Ong Hari Wahyu sejalan dengan kontek pascakolonialitas,
yakni adanya sentuhan efek antara resistensi dan keterikatan dengan realitas orde
baru, di sisi lain, sebagai pemahaman kenyataan melalui pendekatan
pascakolonial, konsepsi ambivalensi ala Bhabha, cukup berguna di dalam
membedah representasi visual yang ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
BAB III
PUSARAN PROSES KREATIF ONG HARI WAHYU
Bab ini akan membahas hal seputar proses kreatif dan lingkungan Ong
Hari Wahyu di masa Orde Baru. Pertama-tama akan dikemukakan tentang proses
kreatif para penerbit buku di masa Orde Baru hingga pelarangan buku.
Pembahasan Selanjutnya akan memfokuskan pada karya Ong Hari Wahyu. Dari
gambaran ini akan ditemukan sebuah proses kreatif karya yang hadir di antara
industri dan gerakan di mana rezim masih membatasi ruang gerak dalam berkarya.
Seperti telah disinggung dari bab sebelumnya, bahwa geliat penerbitan
buku di Yogyakarta tidak berorientasi bisnis semata, terlebih pada dekade 1980
sampai 1990-an, tidak sedikit penerbit buku menganggap buku sebagai kendaraan
perubahan. Hal ini yang membedakan penerbitan buku di Yogyakarta dengan
daerah lain di Indonesia. Salah satu yang paling kentara adalah spirit perlawanan
terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Perlawanan terhadap rezim otoritarian-
militer itu menjadi solidaritas pengikat di antara para penerbit pada dekade 1980-
an, seperti Salahudin Press hingga Bentang Budaya di Yogyakarta.62
Selama ini, perlawanan terhadap Orde Baru ditafsirkan sebagai
perlawanan pada pembatasan ekspresi dan pendapat. Tetapi jika melihat
bagaimana perlawanan itu dalam konteks perbukuan di Yogyakarta, perlawanan
terutama sekali diarahkan pada kenyataan dari Orde Baru yang menjadi pintu
masuk kapitalisme.63
Penerbitan sebagai medium perubahan, bukan semata bisnis,
dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru melahirkan semangat lain, yaitu
62
Lihat Silsilah Grafis dalam Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007
(Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja, 2007), Lampiran. 63
Dalam sebuah sesi perbincangan yang dilanjutkan dengan wawancara dengan Buldanul Khuri
26 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
menjadikan buku sebagai ciri khas Yogyakarta, mengupayakan buku sebagai
oleh-oleh (cindera mata), sehingga mendorong lahirnya kreativitas dalam desain
sampul serta layoutnya. Pada saat itu, salah seorang desainer sampul buku yang
menonjol di Yogyakarta, bahkan Indonesia adalah Ong Hari Wahyu.64
Di sini akan dibahas, dengan segala keterbatasan, latar belakang dan
proses kreatif Ong Hari Wahyu, terutama melihat keterlibatannya pada konteks
budaya dan politik perlawanan yang berkembang pada saat jelang akhir kekuasaan
orde baru hingga era reformasi, dan bagaimana keterlibatan tersebut membentuk
latar belakang karya-karya sampul bukunya.
A. Namanya Hari, Parabane Ong, Memilih Menjadi Seniman
Ong lahir dengan nama asli Hari Wahyu Widodo. Hari tumbuh besar di
lingkungan keluarga sederhana di Madiun. Menurut pengakuannya, Ong Hari
Wahyu dilahirkan pada 22 Desember 1958 di Madiun.65
Ayahnya adalah seorang
polisi pamong praja di masa Orde Lama. Hari sendiri mulai dikenal sebagai Ong
sejak masa kecil. Sejak mulai mengenal bermain bersama teman-teman masa
kecilnya itulah, entah oleh kesepakatan apa, teman-temannya mulai
memanggilnya dengan paraban atau sebutan Ong. Hari sendiri kemudian
menerima nama “Ong”, tanpa mengerti maksud panggilan tersebut. Masa TK, SD
hingga SMA, dijalani Ong di Madiun. Namun siapa justru di Madiun itu pula, dia
bertemu dengan lingkaran para seniman IKIP Seni Rupa, bahkan sebagaimana
64
Wawancara dengan Buldanul Khuri, 26 April 2019. 65
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu pada 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
telah disinggung sebelumnya, termasuk sempat bertemu Sudjojono, “Saya ingat
betul bentuk orangnya pakai kaca mata dan pipa (rokok) gitu” terangnya.66
Kala itu IKIP Seni Rupa Madiun, sebagaimana pengakuan Ong, sangat
rajin melakukan pameran. Pameran tersebut bukan dilangsungkan di dalam
gedung, akan tetapi didisplay di pinggir jalan. Keberadaan IKIP Seni Rupa di
daerah semacam ini memberikan pengaruh sangat kuat kepada anak-anak yang
tumbuh di sekitarnya. Perjumpaan anak-anak dengan kesenian dan senimannya
termediasi oleh lembaga sekolah seni daerah semacam IKIP Seni Rupa Madiun.
Pertemuan dan perjumpaan dalam lingkungan seni itu tidak bisa dilepaskan
sebagai faktor penting yang membentuk orientasi estetis anak-anak dan remaja,
termasuk Ong yang saat itu sedang tumbuh menyusun kekuatan imajinasinya.
Setelah akhirnya lulus dari bangku SMA, Ong sempat menganggur sebentar,
hingga akhirnya memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah di ASRI
Yogyakarta. Dapat dipahami bahwa Ong mulai memantapkan diri untuk bergelut
di dunia kesenian.
Memang saat masuk pada tahun 1980, ASRI sudah berubah menjadi
STSRI ASRI, dengan nama ASRI dipertahankan sebagai imbuhan dengan tanpa
berperan sebagai akronim. Pada waktu itu, sebagian seniornya masih mengikuti
kuliah tiga tahun untuk mencapai gelar BA (Bachelor of Art) seperti tradisi
sekolah Belanda. Ong sendiri sebagai mahasiwa STSRI ASRI menyadari betul
posisi kampusnya yang merupakan kawah candradimuka para seniman di seantero
Indonesia. Terlebih, seperti diakui Ong, bahwa:
“Pada saat itu ada seni rupa baru, dulu guru saya empu-empu
semua. Fadjar Sidik, Widayat, yang melukis, menggambar,
66
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
membahasakan visual tidak sebatas pada ilmu seni rupa, tetapi
pada intuisi dan roso-nya. Guru-guruku top-top ya. Belum lagi ada
Nyoman Widarso. Kesemuanya orang yang memang secara
kesenian murni, memang punya jiwo.”67
Orientasi menjadi seniman kala itu dikatakan oleh Ong, bahwa situasinya
berbeda, tidak ada yang berkarya semata-mata demi penjualan karya, karena karya
tidak laku dan tidak ada yang membeli. Kalau karya dikoleksi jurusan, dosen, itu
sudah cukup bahagia, setidaknya dikoleksi Pak Widayat, itu sudah prestasi. Maaf,
jika sekarang lulusan S1 melanjutkan studi S2, kemudian menjadi dosen.
Sementara itu, pameran saja tidak pernah, lalu yang diajarkan itu apa? Apakah
sekedar teori, atau apakah sekedar membaca? Kesenian itu bermain, untuk melihat
perkembangan zaman, bukan sekedar dari teks buku.”68
Ong pun juga mengaku bahwa atmosfer mahasiswa seni saat itu sangatlah
menggairahkannya dalam berkarya. Ong menambahkan:
“Waktu itu orang datang ke tempat teman, itu sudah biasa melukis. Dulu
itu kos-kosan masih sangat nyaman, dan yang saya kangeni itu bau cat
minyak, aromanya itu lho, apalagi musiknya The Rolling Stones,
suasananya psychedelic 1970an. Waktu itu masih kental suasana gitu. Nah
suasana keseniannya seperti itu, jadi nggak menyimpan kecurigaan dan
nggak punya tendensi untuk popular, maupun untuk jadi kaya.” 69
Pengalaman dan perjalanan Ong Hari Wahyu sejak masih di kota
kelahirannya di Madiun hingga ketika ia belajar dan kuliah di STSRI ASRI itulah,
yang memberikan pengaruh besar terhadap proses kreatifnya, termasuk dalam hal
mencipta sampul bukunya. Pada saat terlibat dengan Salahuddin Press, Ong mulai
mengalami intensitas keterlibatan dengan perbukuan. Salahuddin Press mampu
mengikat banyak kalangan dengan berbagai latar belakang. Pada mulanya mereka
fokus pada perlawanan monopoli penerbitan dan distribusi buku oleh kelompok
67 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019. 68
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019. 69 Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
bisnis mainstream. Setelah itu mereka mencoba mencari benang pengikat
berbagai kelompok yang beragam di Yogyakarta untuk perubahan.
Pada masa itulah, fenomena penerbitan buku di Yogyakarta mulai
mengalami perkembangan menarik. Hal ini terbukti dengan lahirnya sejumlah
penerbitan setelah Shalahuddin Press, yakni muncul penerbit-penerbit kecil. Di
masa inilah Ong Hari Wahyu dapat dikatakan terpengaruh untuk terus
menguatkan karirnya di bidang seni sampul buku.
B. Menggeluti Sampul di Akhir Kekuasaan Orde Baru
Di masa Orde Baru, kekuasaan rezim hampir tidak terbatas dan terpusat
pada Presiden Soeharto. Tak heran di masa ini, dikenal sistem birokrasi otoritarian
yang juga khas berwatak angkatan darat.70
Hampir semua sisi kehidupan
masyarakat diawasi secara ketat, terutama soal kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Tidak ada ruang bagi wacana kritis. Tanpa kecuali semua yang
berhubungan dengan literasi media dan wacana harus mendapatkan izin dari
kejaksaan. Demikian pula dengan naskah-naskah penerbit harus mendapatkan izin
pihak kejaksaan sebelum dapat diterbitkan menjadi buku.71
Keadaan ini membuat
penerbit dan para kreator sampul buku menjadi terhambat kebebasannya dalam
mengekspresikan karya-karyanya karena takut akan mendatangkan masalah. Tak
heran jika di masa Orde Baru, banyak terjadi kasus pelarangan buku.
Pelarangan di masa Orde Baru biasanya mengedepankan kriteria-kriteria
yang membuat buku harus diberangus, mulai dari: Bertentangan dengan UUD
1945; Mengandung dan menyebarkan ajaran atau faham Marxisme-
70 Bandingkan dengan Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and
Fall of The New Order (London: Routledge, 1998). 71
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Leninisme/Komunisme; Merusak Persatuan dan Kesatuan Masyarakat, Bangsa
dan Negara RI; Merusak Kepercayaan Masyarakat terhadap kepemimpinan
nasional; Merusak Akhlak dan memajukan pencabulan/pornografi; hingga
dianggap bertentangan dengan GBHN.72
Kriteria-kriteria semacam ini digunakan
untuk memperkuat hegemoni negara terhadap dunia bacaan warganya.
Pembatasan-pembatasan yang dilakukan Orde Baru dimulai dari berbagai
lini kehidupan, termasuk menciptakan tafsir tunggal atas sejarah Indonesia, baik
melalui penulisan sejarah hingga melalui monumen-monumen yang kesemuanya
memposisikan Angkatan Darat sebagai aktor utama.73
Hal semacam ini jelas
menghambat lajur perbukuan hingga gerakan. Dalam masa inilah Ong
memposisikan diri dan menghadapi realitas keterkekangan yang ada, namun terus
berupaya melanjutkan hidup, maupun proses kreatif berkeseniannya. Mengenai
hal yang terakhir ini, Yogyakarta tidak pernah berhenti memberi ruang maupun
lingkaran pertemanan, yang membentuk habitus penting bagi Ong untuk
mengalihbahasakan kritik terhadap kekuasaan ke dalam karya-karya sampulnya.
Ong Hari Wahyu sendiri bercerita bagaimana pada mulanya dirinya
merasa selalu diawasi oleh rezim bahkan dirinya tidak mampu memastikan orang-
orang di lingkungannya adalah teman atau tanaman aparat untuk mengawasi dan
merekam setiap gerak-geriknya. Hal ini tentu mempengaruhi bagaimana Ong Hari
Wahyu melakukan berbagai keputusan hidup, khususnya dalam menghadapi
pembatasan bagi kaum intelektual, termasuk seniman-seniman yang ada. Bila
72 Fauzan, Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Yogyakarta: LKIS,
2002), hlm. 142-145. Buku ini menjelaskan cukup gambalang bagaimana politik pelarangan
bersangkutan dengan perkembangan pengetatan kehidupan publik yang secara sistematik
dilakukan oleh negara. 73
Bandingkan misalnya Katherine E. Mc Gregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar
Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indoesia (Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
mundur ke belakang, kita juga menemukan latar belakang bagaimana Ong Hari
Wahyu dibesarkan dalam sebuah keluarga militer dan lingkungan yang memiliki
aktivitas seni seperti keberadaan IKIP Seni Rupa di Madiun.
Selama kuliah Ong Hari Wahyu bekerja membuat spanduk, iklan dan lain
sebagainya. Ia pun kemudian bergabung dengan sebuah percetakan sebagai lay
outer isi dan kemudian menjadi desainer sampul buku, terutama ketika bergabung
dengan penerbit Salahudin Press di UGM. Di dalam penerbitan yang didominasi
anak-anak muda progresif itu Ong Hari Wahyu berkreasi dengan bayang-bayang
ancaman Orde Baru. Begitu juga ketika Ong Hari Wahyu diminta Buldanul Khuri
untuk menjadi desain grafis Bentang Pustaka yang ia dirikan.
Dalam hal sampul buku inilah, menurut keterangan Buldanul Khuri,
seniman Si Ong yang juga banyak terinspirasi dari sampul-sampul album musisi
kenamaan dunia seperti, khususnya Pink Floyd ini, kemudian dengan caranya,
turut membawa sebuah angin perubahann pada dunia perbukuan Yogyakarta. Saat
itu sampul-sampul buku Bentang Pustaka terbukti melahirkan visualitas
perbukuan yang artistik. Tak heran buku-buku terbitan Bentang Pustaka pun,
selain dari segi kontens isi, diperkuat pula dengan corak sampul yang demikian
jauh berbeda dengan umumnya penerbit di Indonesia yang umunya bercover
terlalu sederhana, kendati sudah menggunakan pendekatan grafis. Realitas
semacam itulah yang kemudian membentuk bahkan memaksa Ong Hari Wahyu
untuk terus mengolah diri dan daya hidupnya sebagai seniman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
C. Kekaryaan Ong Hari Wahyu di antara Perbukuan dan Reformasi
Di masa Orde Baru industri penerbitan adalah industri yang sangat mahal.
Artinya, ketika seseorang ingin berbisnis di dunia penerbitan, maka harus
memiliki modal yang cukup besar. Hairus Salim menjelaskan, bahwa:
“Dahulu kalau mencetak tidak mungkin bisa 1.000 eksemplar. Memang
waktu itu paling banyak bisa sampai 1.500 eksemplar, tetapi sangatlah
jarang. Sekarang sekali nyetak rata-rata 3.000 eksemplar, sebab semakin
dikit jumlah cetakan, tentu semakin mahal. Jadi beda banget kan, sekarang
kita nyetak 20 atau 25 eksemplar saja bisa, jadi si penerbit bisa melakukan
seleksi dengan ketat, artinya mempertimbangkan dengan sangat matang,
dari segi isi misalnya, sehingga kekuatan dan kualitas seorang penulisnya
diperkirakan, khususnya dalam memprediksi pasar, laku apa enggak.
Kalau diprediksi tidak laku, ya nggak berani menerbitkan bukunya.
Kalaupun ada yang berani menerbitkan, tentu berarti punya banyak duit.”74
Dari situ dapat dipahami bahwa bisnis perbukuan kala itu memang
dipandang layak jika memberikan keuntungan yang besar. Berbeda dengan zaman
Reformasi, bisnis penerbitan bisa dijalankan oleh siapa saja dengan modal relatif
kecil karena perkembangan teknologi mesin cetak, khususnya dengan hadirnya
mesin cetak digital, sehingga memungkinkan mencetak secara terbatas, sehingga
modal pun bisa disesuaikan.
Di Yogyakarta ada fenomena berbeda yang melawan arus utama bisnis
penerbitan buku. Menurut Buldan, pendiri Bentang Budaya setelah era penerbit
Salahudin Press, berdiri di awal 1980an, kaum muda yang terdiri dari mahasiswa
UGM, IAIN dan ISI membawa semangat baru dalam dunia penerbitan. Mereka
tidak menjadikan bisnis atau keuntungan sebagai satu-satunya tujuan, tetapi
mereka membawa semangat gerakan anak muda yang mencoba memecahkan
kebekuan semangat literasi masyarakat melalui buku-buku yang lebih variatif dan
kritis sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni rezim Orde
74 Wawancara dengan Hairus Salim, 2 Mei 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Baru.75
Ong Hari Wahyu sendiri bercerita betapa di tahun-tahun itu sangat
terbatas akses bacaan mereka karena semua dikontrol oleh pihak penguasa.
Bacaan dunia terbuka ketika teman-teman mereka seperti Henry Dim pulang dari
Eropa dan membawa oleh-oleh buku secara ilegal.
Kondisi itu cukup meresahkan bagi kalangan muda terpelajar Yogyakarta,
terutama para penggiat literasi yang kemudian mendirikan penerbitan-penerbitan
yang orientasinya tidak semata hanya mencari keuntungan secara finansial.
Seperti penerbit Bentang Budaya sendiri yang diakui oleh Buldanul Khuri lebih
dikenal sebagai penerbit gerakan atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
ketimbang penerbit berpola bisnis. Produk-produk bukunya lahir dari diskusi-
diskusi yang cepat dan meliputi wacana-wacana kritis, baik itu berupa esai-esai
dari kolumnis kritis seperti Emha Ainun Najib, Nirwan Dewanto dan buku-buku
terjemahan yang saat itu tidak ada penerbit yang menerbitkan.
Ong Hari Wahyu dan Buldanul Khuri pendiri penerbit Bentang Budaya
kemudian berkolaborasi menghasilkan buku-buku dengan sampul yang jauh
berbeda atau progresif secara visual. Masyarakat buku pun mencatat bahwa karya-
karya sampul Ong Hari Wahyu memiliki daya pikat tersendiri karena secara
estetika tidak saja memiliki bobot artistik, namun juga memiliki bobot makna
yang kuat yang merepresentasikan isi. Eksistensi dengan label penerbit gerakan
inilah yang justru membuat Bentang Budaya menampilkan karya-karya Ong Hari
Wahyu sebagai ikon tersendiri di kancah dunia penerbitan di Indonesia.
Bila kita cermati karya-karya sampul buku Ong Hari Wahyu di era 1990-
an hingga awal 2000-an, kita akan banyak mendapati sampul buku dengan
75 Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
gambar-gambar yang ia sebut sebagai „lawasan‟. Sebuah gambar yang berlatar
masa lalu atau tradisi masa lalu di Jawa. salah satu sampul buku berjudul
“Soeharto Dalam Cerpen Indonesia” karya Seno Aji Darma, dkk terlihat Soeharto
duduk dan berpakain ala raja Mataram Islam. Sedangkan dalam buku karya
Sapardi Djoko Darmono, “Priyayi Abangan” terlihat gambar seorang pria Jawa
berblangkon dengan muka dan bibir merah badut. Demikian pula dengan buku
“Opini Plesetan-Oples” karya Emha Ainun Najib memperlihatkan gambar Togog,
seorang tokoh punakawan yang dibungkam kain. Sedangkan buku Pramudya
Ananta Toer, “Gadis Pantai” memperlihatkan gadis dan pria berpakain Jawa.
Keempat sampul buku itu menjadi fokus utama analisis di dalam penelitian ini.
Kendati demikian di luar empat sampul tersebut, karya sampul lain dari Ong Hari
Wahyu menampakkan kesan klasik. Hal tersebut memang disesuaikan dengan
tema-tema maupun judul dari buku-buku yang cenderung bertemakan sejarah dan
budaya maupun sastra. Gambar-gambar di bawah ini adalah beberapa contoh
sampul buku karya Ong Hari Wahyu.
Gambar sebelah kiri: Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosiopsikologis atas Watak
Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
Gambar sebelah kanan: Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta:
Lentera Dipantara, 2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Gambar sebelah kiri: James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-
Bandar Opium Cina, Indonesia, Kolonial, 1860-1910 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000).
Gambar sebelah kanan: Otto Sukatno CR, Seks Para Pengeran: Tradisi dan Ritualisasi
Hedonisme Jawa (Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002).
Gambar sebelah kiri: Benedict R.O‟G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya
Politik di Indonesia (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000).
Gambar sebelah kanan: Pramoedya Ananta Toer, Midah Si Manis Bergigi Emas (Jakarta:
Lentera Dipantara, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Gambar sebelah kiri: Prof. Dr. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris Madura 1850-1940 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).
Gambar sebelah kanan: Darwis Khudori, Orang-Orang Kotagede (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000).
Gambar sebelah kiri: I Ngurah Suryawan, Bara di Bali Utara: Genealogi Kekerasan dan
Pergolakan Subaltern (Yogyakarta: Prenada Mesia Group, 2010).
Gambar sebelah kanan: Mochtar Buchori, Indonesia Mencari Demokrasi (Yogyakarta:
Insist Press, 2005).
Beberapa contoh karya Ong Hari Wahyu di atas setidaknya menunjukkan
bukti-bukti kecenderungan tertentu. Kecenderungan yang dimaksud, adalah
adanya bahasa visual yang di satu sisi berpijak pada relevansi judul buku maupun
isi buku, sedang di sisi lain, berusaha menginterpretasikan, atau diistilahkan Ong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
sebagai opini visualnya atas buku tersebut. Bisa dipastikan, Ong selalu berusaha
membaca bukunya terlebih dahulu sebelum memulai menggarap desain
sampulnya. Sebagaimana diakui Ong pada penulis, bahwa jika tidak sempat
membaca naskah bukunya, ia akan bertanya pad a pihak penerbit yang meminta
jasanya atau bahkan kepada penulisnya langsung.76
menyesuaikan dengan tema-
tema atau muatan buku itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kerja
kreatif membuat desain sampulnya sendiri, Ong Hari Wahyu tampak selalu
dilekatkan pada buku-buku bertemakan ilmu sosial dan budaya. Stereotype ini
sejatinya menjadi faktor tersendiri dalam membentuk karakter lawasan yang ada.
Sebagaimana diakui Ong Hari Wahyu dalam wawancara dengan penulis, karya-
karya yang cenderung „lawasan‟ itu muncul dengan intuisi pribadinya,
menyangkut kebutuhan tema-tema terbitan buku yang disodorkan padanya.77
Namun, perlu ditegaskan melalui penelitian ini, bahwa dalam hal
„lawasan‟ inilah, justru tampak pendekatan tertentu. Pertama, „lawasan‟ sebagai
sebuah style, dapat dipahami sebagai bentuk penciptaan karya yang berbasis pada
adaptasi atas objek-objek dari masa silam. Sebagaimana Ong mengakui bahwa:
“Saya suka barang antik, saya pun punya buku-buku lawas banyak banget, foto-
foto lawas juga banyak banget, itu sampai tidak terawat.78
Menariknya,
memanfaatkan objek, khususnya secara spesifik adalah foto-foto lama,79
untuk
kemudian diolah secara artistik menjadi sampul, merupakan salah satu ciri khas
utama dari Ong Hari Wahyu.
76 Obrolan dengan Ong Hari Wahyu, tidak direkam. 77
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, pada 30 April 2019. 78
Wawancara dengan Ong… Ibid 79
Hal ini juga diakui oleh Hairus Salim, bahwa Ong menggunakan inspirasi dari buku-buku dan
gambar-gambar lama. Wawancara dengan Hairus Salim, pada 2 Mei 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Penulis melihat bahwa ada semacam kegelisahan atas kondisi akhir Orde
Baru dan era Reformasi itu sendiri, yang mengandung kondisi ambang. Kondisi
ambang ini ditunjukkan dalam penyejajaran antara figur berwarna dengan figur
dan latar belakang yang hitam putih. Sebagaimana bisa diperhatikan dari beberapa
contoh sampul di atas, misalnya dalam sampul Buku karya Prof, Dr.
Kuntowijoyo, yakni: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-
1940, maupun karya Darwis Khudori, Orang-orang Kotagede, yang sengaja
memberi warna pada satu sisi dan membuat menjadi hitam putih pada sisi lain.
Kondisi penyejajaran antara yang berwarna dan yang hitam putih itulah yang
menandai suatu ambiguitas tersendiri.
Kedua, karya Ong Hari Wahyu ini, dalam sebutan “lawasan” dari para
kolega-koleganya ini, mengandung pula kehendaknya untuk menampilkan
kembali khazanah tempo dulu, sebagai bahan kekaryaan. Persoalan ini secara
estetik menjadi tawaran tersendiri, sedang secara ideologis, penulis meyakini
adanya tawaran kritis dari Ong Hari Wahyu, berupa “opini visual”-nya tersebut,
alih-alih sekedar menjawab atau menuruti judul maupun isi buku.
Memang, sebagaimana diakui oleh Ong, bahwa di masa Orde Baru,
hegemoni rezim membuat banyak penerbit membatasi diri dalam berkreasi di
dalam perwajahan buku. Hal-hal semacam itu, membentuk pola karya yang dalam
pengakuan Buldan sebagai orang yang berpendidikan desain visual dan sekaligus
praktisi penerbitan buku di Indonesia, merupakan karya-karya yang luar biasa dari
kebiasaan para perancang sampul buku di Yogyakarta dan Indonesia secara umum
pada masa Orde Baru. Karya-karya Ong Hari Wahyu tampak memiliki kekuatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
secara artistik dan membentuk paradigma baru. Karena pada masa itu sampul
buku lebih bermain grafis sederhana.
Dalam soal penyesuaian dengan tafsir buku, Ong sempat mengakui bahwa
ia tidak banyak membaca buku yang akan digarap sampulnya. Tetapi ia tak jarang
sengaja menanyakan pada yang mengetahui entah dari pihak penerbit ataupun dari
sananya langsung mengenai garis besar isi bukunya. Hal inilah yang
menyebabkan karya Ong kian menarik sebab melibatkan proses kreatif yang tidak
sembarangan dan penuh pertimbangan. Adapun sebagai sebuah proses kreatif, apa
yang dilakukan Ong menunjukkan bahwa sampul buku merupakan wacana
tersendiri yang memerlukan kinerja tersendiri, melampaui sebatas ilustrasi atas isi
buku. Hal terakhir inilah yang makin menampakkan kekhasan dari karya-karya
sampul Ong Hari Wahyu.
Selain persoalan lingkungan pembentuk proses kreatif, hingga kesesuaian
isi buku; karya-karya Ong Hari Wahyu juga menunjukkan muatan simbol-simbol
dari citra lawasan atau bernuansa tempo dulu. Maka pada akhirnya “opini visual”
Ong, bagi penulis selain menampakkan kritik, juga perlawanan atas kemapanan
suatu tafsir. Karya Ong sendiri juga menjelma strategi tersendiri dalam memberi
sentuhan visual bertema sejarah ataupun klasik, sehingga memberi makna luas
pada jagad sampul buku.
Karya Ong Hari Wahyu pun, tampak menjadi demikian menarik dari
segala latar belakang maupun lingkungan pembentuknya, bahasa kritis yang
dilesapkan ke dalam bahasa visual, hingga caranya menafsir isi buku ke dalam
bahasa visual; kemudian membawa pada keterbelahan pemaknaan. Sebagaimana
dapat diperhatikan, bahwa representasi-representasi simbolik secara denotasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
menampilkan masa silam, dan serta merta memberi pesan-pesan tersendiri baik
sejak muatan buku hingga pengalaman dan tafsirnya atas buku ke dalam pilihan-
pilihan visual hingga warnanya. Di sisi lain secara konotasi jelas menampilkan
suatu keterbelahan antara keserbawarnaan dan kehitam-putih-an. Sedangkan judul
pada buku-buku itu sendiri memperlihatkan satu konteks situasi kesejarahan
Indonesia dan seolah mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru. Artinya, secara
konotasi, penulis melihat adanya opini visual Ong Hari Wahyu di dalam
menerjemahkan bukunya, dengan konteks jamannya, menjadi sebuah penegasan
keadaan yang tak menentu.
Ketidakmenentuan semacam inilah yang secara semiotik menciptakan
mitos antara yang lampau dan yang sekarang bahkan yang akan datang.
Sebagaimana mitos menyediakan arkhetipe-arkhetipe interpretatif untuk
menguraikan makna dunia-kehidupan yang kita alami dengan pandangan terhadap
masa kini melalui masa silam.80
Ketidakstabilan yang dicitrakan secara konotatif,
menginterpelasi tatapan pembaca maupun pembeli ketika seketika menemukan
buku itu di rak-rak toko buku. Sebab rak buku di dalam toko buku, tak ubahnya
sebuah galeri, dengan sampul-sampul buku tak ubahnya sebagai lukisan-lukisan
yang terpajang.
Penulis membayangkan di tahun 2000an, seseorang pembeli akan tiba di
bilangan pasar Beringingharjo, dan berhenti di Shopping, persis sebelum TBY
(yang kini menjadi Taman Pintar, sedangkan TBY berpindah ke bagian utara);
maka ketika ia tiba di para penjual buku yang menjejerkan buku-buku terbitan
Bentang, yang banyak diwarnai karya Ong Hari Wahyu, maka akan ada
80 Peter Pericles Trifonas, Barthes dan Imperium Tanda (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
perjumpaan tatapan yang rumit. Perjumpaan yang menerima keterbelahan dalam
warna dan yang tak warna hingga menemukan kedirian sang pembeli di suatu
masa yang sedang berubah secara politis, untuk kemudian secara asosiatif, serta
merta tatapannya menangkap visualitas sekaligus membaca judul buku-buku
sejarah dan sosial-budaya. Dari keadaan yang penulis bayangkan itulah, maka
penelitian ini lahir sebagai sebuah pencarian jawaban atas pengalaman yang
dengan sejatinya secara personal dialami sendiri oleh penulis. Penulis pun
meyakini bahwa demikian kiranya yang kurang lebih dialami orang lain. Di mana
kompleksitas ini bagi penulis masih terus menampilkan ambivalensi, baik
personal Ong Hari Wahyu, di dalam hidupnya, penulis sendiri, hingga terkait
identitas Indonesia atau “keindonesiaan” itu sendiri.
Akhirnya, kompleksitas menyangkut konteks jaman, pemaknaan hingga
bahasa visual menjadi trading point di dalam representasi simbol maupun gambar
yang ditampilkan dan dirancang Ong hari Wahyu di dalam setiap sampul-
sampulnya. Kendati tidak mudah memberi benang merah untuk semua karya-
karya sampulnya, namun beberapa sampul akan penulis tampilkan guna
menegaskan makna pascakolonialitas yang diakibatkan dari mitos yang lahir dari
sistem pertandaan sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini akan selengkapnya
disinggung dalam bab berikutnya, berkaitan empat cover yang secara sengaja
dipilih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
BAB IV
PERCIK AMBIVALENSI DALAM SAMPUL SI ONG
“aku ki jarang pameran tunggal, soale aku ki wes pameran terus mben dino!81
”
Ong Hari Wahyu a.k.a Si Ong
Bab ini akan mengulas empat sampul buku Ong Hari Wahyu dengan
menggunakan pendekatan kajian pascakolonial dan melihat bagaimana
menempatkannya sebagai gerbang pembuka bagi munculnya karya-karya baru
setelah era Orde Baru. Dalam bab sebelumnya, telah disinggung bagaimana
lingkungan yang membentuknya secara kultur pendidikan, hingga konteks politik.
Terkait yang terakhir ini, lingkungan Orde Baru pada dasarnya memiliki
persamaan sifat dengan wacana kolonial Belanda yang bersifat koersif, represif,
hegemoni dan indoktrinatif. Di mana, bisa kita mafhumi bahwa dominasi
Belanda, baik semenjak para pedagangnya yang bersenjata hingga pemerintahan
Perancis dan Belanda di Indonesia mewariskan sikap-sikap otoritarian pada masa
Indonesia berdiri.
Dari sini manusia modern Indonesia memang bermakna sebagai identitas
pascakolonial. Artinya identitas manusia Indonesia muncul seiring
persentuhannya dengan penjajahan koloni, selaku colonized, dengan apparatus
fisik hingga apparatus ideologi penjajah alias colonizer. Perjumpaan yang sudah
terlanjur terjadi dan menampakkan ekses-eksesnya hingga kini dan akan datang,
menuntut digunakannya pembongkaran struktur subordinasi kolonial dengan
pendekatan pascakolonial.
81
Seloroh Ong Hari Wahyu dalam salah satu obrolan dengan penulis. Penulis ingat betul ungkapan
beliau, kendati secara waktu, ungkapan tidak muncul pada sesi wawancara yang telah terekam dan
tertranskrip.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Adapun salah satu konsepsi penting di dalam pendekatan pascakolonial
adalah apa yang digelontorkan oleh Homi K. Bhabha. Dalam bukunya yang
masyhur, “Location of Culture”, mencoba mendudukkan berbagai penjelasan di
seputar pelacakan atas kedirian atau identitas subjek-subjek sejak bersentuhan
dengan pascakolonial.82
Kemudian ditemukanlah adanya persepsi-persepsi dari
pihak penjajah atas terjajah, sejak pertama perjumpaannya, berupa stereotipisasi.
Tak heran manusia non-barat dipandang sebagai makhluk inferior. Namun di sisi
lain, kolonialisme dilegitimasi dengan memahaminya sebagai misi
“pemberadaban”, sehingga manusia non-Barat, sebagai objek, atau sederhananya
sebagai anak didik, perlu dididik dan dibina oleh sang Bapak kolonial ini, agar
bisa menjadi maju sebagaimana negeri induk koloni sang Bapak kolonial ini.
Bahkan, sebagai sebuah wacana kolonial yang meresap di diri terjajah
hingga hari ini, adalah mengenali diri atau berkaca dengan cermin yang telah
dibuat barat. Cermin ini dibuat dari tafsiran atau definisi atas dirinya yang dibuat
pihak barat, sebagaimana stereotipisasi yang dibuat atau “ditemukannya” sejak
awal berjumpa. Ketidakseimbangan ini, menjadikan pemahaman atas kedirian
terjajah selalu tidak utuh, bahkan pongah. Sehingga ketika si terjajah berupaya
meniru Barat, sebagaimana dicontohkan Barat, tidak pernah benar-benar berhasil.
Sedang di sisi lain, pihak Barat yang selalu mengajari bahwa pihak terjajah itu
menjadi seperti mereka, rupanya juga tidak pernah ingin disamakan atau disetarai
oleh terjajah yang terdidik secara Barat. Sehingga a subject of a difference that is
almost the same but not quite, atau bahkan secara rasistik, almost the same but not
82 Homi K. Bhabha, Location of Culture (New York: Routledge, 1994), hlm. 113.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
white.83
Dari sinilah ambivalensi terjadi baik dalam diri si penjajah maupun bagi
diri terjajah.
Konsekuensi dari kondisi tersebut, bagi subjek terjajah, selalu terjadi
upaya meniru atau oleh Bhabha disebut mimikri. Bhabha menjelaskan bahwa
mimikri tersebut pada akhirnya sebagai suatu sikap mockering, atau olok-olok
yang penulis pahami sebagai semacam pemenuhan atas tatanan maupun Bahasa
penjajah yang didapat dari pendidikan yang dibuat para penjajah (barat) itu
sendiri. Akhirnya, mimikri mengandung resistensi tersendiri. Lebih jauh Bhabha
melihat bahwa kondisi semacam ini membuat posisi subjek pascakolonial itu
bersifat hibrida, artinya ia memuat berbagai lapisan identitas, sebagai konsekuensi
psikologis atas perbenturan antara barat dan “non-Barat: tersebut, maupun secara
kultural adalah kosmopolitanisme sejak sebelum kolonial itu sendiri, sebagaimana
kenyatan sirkulasi budaya itu sendiri, maupun saat di masa kolonial itu sendiri.
Akhirnya penulis sendiri berkeyakinan bahwa kenyataan Indonesia hingga pasca
Orde Baru, bahkan pasca reformasi ini, merupakan bagian dari genealogi mimikri,
ambivalensi maupun hibrida itu sendiri. Penulis sengaja menyoroti satu konsepsi
saja, yakni ambivalensi identitas atau kedirian ini, yang tercermin dari konotasi
(mitos) yang lahir dari tatapan atas system of significance,84
sampul-sampul yang
dibuat Ong Hari Wahyu.
Adapun karya-karya yang dimaksud, sengaja berkutat pada empat sampul
dalam rentang waktu yang berbeda. Berikut ini akan diperlihatkan makna
ambivalensi pascakolonialitas melalui pembongkaran mitos yang ada dalam ke
83 Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, on,
October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis (Spring, 1984), page.127 and
130.. 84
Roland Barthes, Elements of Semiology, translated by Annette Lavers and Colin Smith (New
York: Hill and Wang, 1981), page 89-90.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
empat buku tersebut. Perlu ditegaskan lagi, bahwa yang dimaksud mitos yang
lahir dari sistem pertandaan semiologis, sebagaimana penulis singgung sejak bab
sebelumnya adalah bagian dari penjelasan utama Roland Barthes. Dalam esainya,
Barthes menyebut bahwa mitos sebagai tipe wicara (a type of speech), yaitu mitos
adalah sistem komunikasi, sehingga mitos berarti pula sebuah pesan. Mitos bukan
merupakan konsep, gagasan atau objek, mitos merupakan mode penandaan (a
mode of significaton), suatu bentuk (form). Semua dapat menjadi mitos selama ia
menjadi wacana (discourse).85
Bertolak dari penjelasan dasar di atas mengenai konsepsi mitos maupun
ambivalen, penulis berusaha menegaskan relevansi dua konsepsi tersebut ketika
diterapkan dalam membedah karya sampul dari Ong Hari Wahyu. Secara
sederhana, sampul-sampul diudar sistem penandaannya secara visual hingga
mencapai derajat konotatif yang dominan, sehingga berpotensi menjadi mitos
tersendiri secara kontekstual, sebagaimana disinggung penjelasannya dalam akhir
bab sebelumnya. Untuk kemudian dibarengi dengan penjelasan konsepsi
ambivalensi yang khas ala pendekatan pascakolonial, guna menunjukkan posisi
sampul Ong Hari Wahyu di dalam pemaknaan para pembaca atau penonton (baca:
penatap), setidaknya sebagaimana yang dialami penulis itu sendiri.
Berikut ini empat sampul karya Ong Hari Wahyu yang akan dikaji dan
dianalisis sesuai dengan pembahasan fokus utama pada penelitian. Adapun alasan
dipilihnya empat cover ini, sebagaimana disinggung di dalam bab awal, bahwa
kemunculan empat sampul tersebut tidak menunjukkan jarak yang presisi sebagai
rentang periodisasi, yakni Oples: Opni Plesetan (1995), Priyayi Abangan: Dunia
85 Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), page. 107-115.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Novel Jawa Tahun 1950-an (2000), Soeharto dalam Cerpen Indonesia (2001) dan
Gadis Pantai (2003). Sementara secara visual, selain adanya benang merah
denotasi nilai-nilai maupun representasi simbolik dari budaya Jawa, juga adanya
konotasi-konotasi kuasa, sarkastik hingga alasan-alasan tertentu yang akan penulis
terangkan di dalam masing-masing penjelasan sbb:
A. OPLES (Opini Plesetan)
Judul : Oples: Opini Plesetan
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan
Tahun terbit : Juli, 1995
Keterangan : Cetakan pertama
Tebal : 350 hlm
Desain Sampul : Ong Hari Wahyu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Rakyat Togog yang Terbungkam
Buku ini diterbitkan Mizan yang membeli Bentang Budaya di kemudian
hari. Kumpulan esai ini semula terbit pada kolom Tabloid Mingguan Detik dan
Adil di tahun 1990-an. Emha Ainun Nadjib sebagai seniman dan budayawan yang
tersohor di Indonesia menulis dengan membangun satire-satire tentang kekuasaan
Orde Baru dan keadaan masyarakat,
Menurut Ong Hari Wahyu ketika ia menerima naskah itu, ia melakukan
diskusi informal dengan teman-teman Teater Gandrik dan seniman lainnya.
Lahirnya figur Togog dalam sampul buku itu karena ada semacam seloroh
bagaimana keadaan nasib mereka sebagai rakyat kecil yang dibungkam kebebasan
bicara mereka. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, sampul buku Oples atau
Opini Plesetan berisi tokoh mitologis dalam pewayangan bernama Togog.
Togog seperti halnya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah golongan
punakawan; yaitu masyarakat kelas rakyat jelata yang menjadi pembantu para
kelas bangsawan. Perbedaannya adalah, jika Semar, Gareng, Petruk dan Bagong
adalah pembantu para bangsawan golongan kanan atau para kesatria yang lurus,
sementara Togog adalah punakwan atau pembantu dari kelas bangsawan golongan
kiri atau para durjana.
Bila kita melihat gambar sampul buku tersebut secara semiotik,
denotasinya satu figur wayang kulit dari tokoh Togog yang mulutnya diikat
dengan sebuah kain. Ong Hari Wahyu tampak jelas ingin menyampaikan secara
konotatif akan suatu kondidi keterbungkaman. Adapun nilai mitos yang dibangun
adalah bahwa representasi rakyat jelata yang dibungkam. Secara kontekstual,
kemunculan cover ini adalah tiga tahun sebelum lengsernya Soeharto, artinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
masa-masa panas menuju reformasi. Di masa itu boleh dibilang masyarakat telah
mulai gelisah dengan kondisi Orde Baru, sedang kemunculan esai-esai Emha
Ainun Nadjib merupakan bagian dari suara-suara kritis yang jelas bertalian
dengan kekuasaan.
Adapun Togog sendiri adalah representasi rakyat jelata yang dibungkam
oleh penguasa, sehingga tak mampu menyuarakan aspirasi batinnya. Persoalannya
adalah mitos Togog dalam pewayangan, seperti yang sudah disampaikan di atas
merupakan punakawan yang dikenal di durjana. Sementara, Ong Hari Wahyu
sebenarnya ingin membangun konotasi simbol dan representasi dari masyarakat
atau rakyat kecil yang tengah dibungkam oleh rezim Orde Baru.
Penggunaan simbol Togog ini menjadi kurang relevan dengan konteks
persoalan yang ada, karena ada figur punakawan lain yang lebih representatif
dengan konteks keadaan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam dunia
pewayangan, Togog adalah punakawan yang menyertai kaum jahat. Sementara
punakwan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah punakawan yang
menyertai para satria. Ong Hari Wahyu sangat terang menjelaskan di muka bahwa
keputusannya mengambil figur Togog adalah hasil diskusi informal bersama
teman-temannya secara spontan.
Sementara secara bersamaan, konsepsi mitos rakyat sebagai Togog,
menunjukkan adanya ambivalensi tersendiri. Subjek rakyat Indonesia, baik di
masa kolonial Belanda, maupun terus berlanjut hingga masa pasca merdeka,
rupanya menemui rezim Orde Baru yang dalam beberapa hal kerap dianggap
sebagai neo-kolonialisme. Hal itu menjelaskan bahwa representasi rakyat sebagai
Togog adalah suatu konsekuensi keterbelahan identitas yang muncul akibat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kehendak menjadi sosok rakyat yang baik, tentu bukanlah sebagai Togog, yang
mana dalam karakter wayang cenderung pada karakter antagonis. Namun toh
Togog sendiri merupakan bayangan dari Semar, dalam mana Semar sendiri
merupakan tokoh dewa yang protagonis.
Antagonisme Togog yang masih memiliki keterkaitan personal dengan
protagonisme Semar, menjadi kenyataan akan ambiguitas rakyat itu sendiri.
Sehingga alih-alih sebagai identitas yang mapan, rakyat sendiri merupakan
identitas yang labil, kalau bukan hibrida. Rakyat yang labil, antara baik dan buruk
menjadi suatu pernyataan atau opini visual tersendiri dari Ong. Ong secara
ambivalensi, hendak mengatakan bahwa rakyat sendiri adalah subjek yang bak
Togog nan penuh keterbelahan antara baik dan buruk, antara terjajah (jongos),
namun juga menjadi penjajah (tuan), antara anti Orde Baru, dengan yang pro Orde
Baru. Keterbelahan rakyat ala Togog ini sendiri, ditampilkan Ong sedang
terbungkam. Garis besar yang dinyatakan dalam opini visual Ong Hari Wahyu,
alih-alih isi bukunya, adalah sebuah mitos bahwa rakyat yang tak menentu,
semuanya sedang terepresi, ditutup kemungkinannya bersuara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
B. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an
Judul : Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya
Tahun terbit : Juli, 2000
Keterangan : Cetakan pertama
Tebal : 434 hlm
Desain Sampul : Ong Hari Wahyu
Priayi yang Rapuh
Priyayi Abangan karya Sapardi Djoko Damono ini membahas novel-novel
di masa tahun 1950-an. Buku ini awalnya adalah Disertasi Sapardi Djoko Damono
yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1989, dengan judul asli "Novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, isi, dan Struktur". Yayasan Bentang
Budaya menerbitkannya sebagai buku teks tahun 2000.
Buku tersebut mengungkap persoalan priayi abangan yang menjadi tren
novel di masa tahun 1950-an. Priayi abangan sendiri adalah kelompok atau kelas
bangsawan Jawa yang disebut priayi. Mereka beragama Islam namun secara
terbatas. Dalam sampul buku tersebut Ong Hari Wahyu menampilkan secara
denotatif, yakni satu sosok pria berdiri dengan tangan kanan di atas perut,
mengenakan beskap berwarna krem keputihan, dengan jarik dan blangkon ala
Solo. Sementara wajahnya berwarna putih pucat layaknya wayang wong
punakawan, dengan make up putih dan bibir berlipstik merah melengkung ke
bawah. Di samping pria itu terlihat kursi kayu rotan biasa dipergunakan untuk
duduk santai.
Sekilas kita melihat kesatuan konotasi penampakan sosok pria Jawa
berwajah pucat, bersinar angkuh dengan bibir yang meremehkan. Ong Hari
Wahyu tampaknya ingin menunjukkan mitos sifat-sifat priayi yang peragu dan
terhormat secara privilese, melalui representasi penanda berupa warna-warna
pucat. Citra ini mengkonotasikan pula karakter priayi Jawa yang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan kaum feodal di Jawa yang telah ada sejak lama di
dalam tradisi kekuasaan Jawa, khususnya semenjak kolonialisme Belanda mapan,
dan menciptakan suatu kalangan priayi baru yang dihasilkan dalam sistem
Pendidikan ala kolonial. Nantinya priayi baru inilah yang kerap berjarak dengan
keadaan rakyat jelata, dan secara ironis kerap menjadi juru bicara rakyat akibat
konsekuensi negara warisan kolonial, yang membuatnya selalu berada di posisi
yang diperlukan, atau dikonstruksi secara modern sebagai pihak yang paling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
berhak menjadi pamong masyarakat, dengan sejumlah alasan formal akibat
didikan kolonialnya.
Secara keseluruhan, Ong hendak menunjukkan mitos keberadaan priayi
Jawa yang serba problematis, dan lagi-lagi ambigu antara sebagai subjek yang
berasal dari rakyat itu sendiri, tetapi dalam praktiknya selalu secara ironis
mewakili lapisannya sendiri, sebab priayi menduduki bahkan berpijak pada
lapisan kelas bawah. Apa yang dimaksud priayi bangsawan maupun priayi
terdidik, adalah mereka yang terdidik oleh pendidikan (warisan) kolonial. Seperti
muatan isi bukunya, pada dasarnya piyayi tetaplah merupakan subjek yang
ambivalen. Priyayi bisa menjadi bagian dari rakyat, namun sekaligus juga berjarak
dengan rakyat lainnya. Mereka mewakili sebagian rakyat di dalam kepentingan
sosial maupun politis. Para priyayi ini mewarisi tradisi kolonial yang terus
direproduksi di dalam masyarakat Indonesia, baik di awal merdeka, Orde Baru
hingga masa reformasi itu sendiri.
Kendati dalam buku ini berkaitan dengan persoalan sastra dan kalangan
terpelajar (priyayi terdidik) yang menjadi produsen sastra Indonesia di medio
1950-an, namun toh secara tatapan, kekuatan “opini visual” Ong Hari Wahyu
berhasil menampilkan mitos priayi yang mendua, yang ambang, meragukan atau
bahkan rapuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
C. Soeharto dalam Cerpen Indonesia
Judul : Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an
Penulis : Y.B. Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram
Jamil, F. Rahardi, Joni Ariadinata, Indra Trenggono, M. Fudoli
Zaini, Jujur Prananto, Agus Noor, Sunaryono Basuki KS, Bonari
Nabobenar, Moes Loindong, Triyanto Triwikromo.
Editor : M. Shoim Anwar.
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya
Tahun terbit : Oktober, 2001
Keterangan : Cetakan pertama
Tebal : 184 hlm
Desain Sampul : Ong Hari Wahyu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Raja Republik yang Mapan
Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh para
sastrawan Indonesia dengan tema sifat kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru.
Ong Hari Wahyu mendapatkan tugas membuat sampul buku tersebut.
Di dalam sampul tersebut terlihat secara denotatif, gambar seorang raja ala
Mataram yang berpakaian beskap hitam dengan lencana lambang garuda
Pancasila, berkupluk, jarik membalut celana panjang dan tengah duduk di sebuah
kursi di atas dampar kencana, lengkap dengan meja dan paidon di sebelah
kanannya. Sementara mimik wajahnya agak mendongak dengan tatapan yang
secara konotatif menunjukkan citra sosok pemimpin yang dingin penuh wibawa.
Namun, bila kita amati secara denotatif, raja tersebut jelas berasosiasi dengan
wajah Presiden Soeharto, sebagaimana merepresentasikan secara gamblang apa
yang menjadi subjek di dalam judul buku ini. Dialah Presiden Republik Indonesia
yang berkuasa di masa Orde Baru (1967-1998). Dalam mana secara konteks, saat
buku ini diterbitkan, atau saat Ong menyusun cover ini pun, Sang Presiden yang
digambarkan bak raja itu baru saja lengser keprabon.
Secara representatif, gambar itu pertama memberikan kesan penampilan
seorang raja Mataram Islam dengan ciri-ciri di atas. Gambar itu memberikan
simbol dan analogi kekuasaan tertinggi dalam sistem hierarki di Jawa. Di mana
seorang raja Jawa adalah puncak dari struktur dan hierarki dari masyarakat feodal.
Seorang raja adalah pusat dari segala kekuasaan politik. Secara historis kekuasaan
feodal raja di bawah langsung atau menjadi subordinasi kekuatan dominan yaitu
pemerintah kolonial. Di masa kolonial, rakyat jelata dari kalangan pribumi adalah
kelas terendah dalam struktur kelas sosial. Diskriminasi ganda atas kalangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
rakyat jelata oleh kalangan bangsawan atau kaum feodal dan kaum kulit putih
yang menjajah mengakibatkan orang menginginkan mendapatkan pengakuan
sosial hingga di masa Orde Baru. Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia
modern yang berkuasa selama 32 tahun dan hingga kini secara faktual terbukti
tercatat sebagai seorang tiran yang represif dan koersif sekaligus, seturut berbagai
catatan kejahatan dan kekerasan yang terjadi terhadap warga negaranya.
Secara semiotik, sampul buku tersebut meliputi penanda (denotatif) dalam
bentuk visual (materi) Soeharto adalah seorang raja Mataram. Sementara secara
petanda (konotatif) memberikan makna bahwa Soeharto adalah analogi dai sifat
raja yang berkuasa tanpa batas dan menjadi pusat kekuasaan di masa demokrasi.
Maka mitos semiotik yang muncul dalam “opini visual” Ong Hari Wahyu dalam
buku ini adalah Suharto sang presiden republik berkuasa bak raja Mataram.
Dalam gambar tersebut dapat dilihat adanya unsur ambivalensi, terutama,
pertama sifat hibrid di dalam cara berpakaian seorang raja Mataram yang
mengenakan beskap atau kemeja yang biasa diadopsi dari cara berpakain para
raja dan bangsawan di Eropa atau Turki. Sementara kupluknya berasal dar tradisi
Kekhalifahan Turki. Masalahnya konsep mimikri di dalam kajian Homi K.
Bhabha adalah sikap peniruan yang didasarkan pada kebutuhan psikologis
mayarakat inferior agar dipersepsikan sama dengan kelompok superior. Tindakan
meniru ini kemudian juga menciptakan kondisi hibrid seperti contoh gambar
tersebut.
Ong Hari Wahyu menempelkan sifat mimikri tersebut dalam upayanya
untuk membuat satire terhadap eksistensi kekuasaan Soeharto melalui
penggambaran seorang raja Mataram. Artinya sampul buku tersebut berbicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
tentang sifat kekuasaan Soeharto yang berada di masa demokrasi, namun bersikap
otoriter sebagai presiden negara republik, namun masih bersifat feodal seperti sifat
seorang raja Jawa di masa lalu. Citra wajah berkesan dingin dan tenang, dalam
gestur duduk nan mapan, jelas menunjukkan posisi Soeharto yang demikian
hegemoni di dalam kenyataan Indonesia, tak heran di tengah reputasi buruknya di
dalam keadilan di Indonesia, dia tetap memiliki jejaring para pewarisnya maupun
para pemujanya. Dari sini Ong berhasil menghadirkan mitos ambivalen, akan
subjek raja di era republilk yang penuh luka namun tetap mapan di dalam
kursinya, sebagaimana konteks politik kala buku ini diterbitkan, yang mana
kelengseran Soeharto yang terbukti penuh kesalahan-kesalahan pun, rupanya tidak
berhasil dihukum secara layak, atau sesuai prosedur hukum modern, atau keadilan
yang semestinya. Ironisme semacam inilah yang demikian kentara di dalam
jalinan mitos dan ambivalensi yang tampak di dalam karya sampul tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
D. Gadis Pantai
Judul : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun terbit : Juli, 2003
Keterangan : Cetakan kesepuluh
Tebal : 280 hlm
Desain Sampul : Ong Hari Wahyu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Gadis Lugu Jawa dalam Bidikan Lelaki Bangsawan
Buku Gadis Pantai karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer adalah roman
trilogi, namun sejatinya dua buku lanjutan tersebut raib setelah disita aparat di
masa Orde Baru. Seri pertama Gadis Pantai adalah satu-satunya yang
terselamatkan dan pada akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Lentera Dipantara pada
tahun 2003, bahkan cerita roman ini sebenarnya tidak selesai (unfinished) seperti
yang dikemukakan pada pengantar buku tersebut. Pertama terbit dalam cerita
bersambung di Lentera/Bintang Timur.
Gadis Pantai bercerita tentang seorang gadis remaja Jawa yang tinggal di
pesisir utara yang harus berangkat untuk melayani seorang pria bangsawan yang
selama hidupnya tak ia kenal. Bahkan ketika acara pinangan pun pria itu hanya
mengirim sepucuk keris pusaka sebagai wakil dirinya di hadapan orangtua dan
dirinya yang masih kecil.
Ong Hari Wahyu membuat gambar sampul buku itu dengan pola realis
melalui gaya Ruang Waktu Datar (RWD). Ruang Waktu Datar adalah bahasa rupa
yang dikemukan oleh Profesor Dr. Primadi Tabrani untuk menyebut pola lukisan
khas Timur, yaitu menyatunya ruang, waktu dan datar atau tidak perspektif seperti
halnya lukisan Barat yang perspektif.
Ong sendiri dalam hal ini tampak menggunakan foto lama, yang sengaja
diolah dengan permainan warna. Di sebelah kiri, secara denotatif, sosok wanita
muda khas Jawa yang bersanggul, wajah dengan mimik terdiam, pandangan
tertuju ke depan, yang seakan kosong. Perempuan itu berpakaian kebaya hijau
terang dan jarit atau kain batik coklat tua dengan motif bunga-bunga sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
bawahan. Tangan kanannya menapak pada tikar anyaman bambu tempat dirinya
duduk, sedang tangan kirinya memegangi ujung stagen (atau pengikat perut).
Sedang di sebelah kanan, secara denotatif tampak seorang lelaki
berpakaian khas Jawa, dengan beskap dan lencana, serta bawahan kain jarik,
sementara tangan kanannya memegang tongkat. Di sebelah kanannya, tampak
seorang lelaki yang tampak lebih pendek, memegangi payung. Latar pantai yang
berwarna biru dengan langit berawan dan beberapa tetumbuhan termasuk tampak
pohon kelapa. Hal itu jelas menunjukkan pantai, sebagaimana judul bukunya
yakni Gadis Pantai. Artinya latar pantai jelas merespon judul itu sendiri, sehingga
identitas pantai telah ditegaskan secara ilustratif.
Sementara secara konotatif, keseluruhan pemandangan dan subjek yang
digambarkan adalah sosok perempuan Jawa dari kelas biasa, sebagaimana
tercermin dari motif batiknya yang terduduk menampakkan ekspresi lugu
sekaligus pasrah. Sementara sesosok bangsawan yang dipayungi jongosnya,
sedang meliriknya dari kejauhan. Dua gambar yang tampaknya berasal dari foto
lawas ini sengaja Ong sandingkan guna memenuhi citra perjumpaan dua kelas
sosial tersebut. Berbeda dari tiga buku sebelumnya, karya ini merupakan respon
atas sebuh judul novel, yang agaknya Ong sengaja merespon penuh garis besar
penceritaan isi buku, yakni sebagai kisah gadis yang berada dalam jerat
feodalisme Jawa yang patriarkis, dan dikisahkan si Gadis diperistri bangsawan
untuk kemudian ditinggalkan begitu saja setelah kebutuhan seksnya terpenuhi. Isu
yang paling utama dalam sampul buku itu adalah tentang relasi kekuasaan
dominan yang diwakili oleh seorang pria berkuasa, kaya raya yang memaksakan
kehendaknya untuk mendapatkan seorang gadis remaja demi kesenangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Adapun perlu diketahui bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis
buku ini, amat memuji sampul yang dibuat Ong. Menurut Pram, sampul tersebut
merupakan visualitas yang representatif sesuai dengan harapannya tentang citra
kisah gadis pantai. Bertolak dari situ, dapatlah dipahami bahwa karya Ong ini
cenderung lantang menampilkan mitos sebuah paradoks kelas yang dipertegas
dengan citra berwarna dan hitam putih. Dari sini hendak ditunjukkan kisah
keberdampingan bangsawan pria dan wanita kelas rendah yang berada dalam
relasi penindasan, di mana pihak perempuan adalah subjek yang tersubordinasi
dalam kuasa bangsawan tersebut.
Mitos kekontrasan inilah, yang melalui permainan juktaposisi antara
berwarna dan hitam-putih, ditambah dengan penggunaan foto lama, yang boleh
jadi disesuaikan Ong dengan perkiraan jaman yang sekiranya sesuai dengan isi
cerita, menunjukkan suatu persoalan ambiguitas. Ambivalensi subjek terjajah
adalah ketika berhadapan dengan penjajah, kedirian terjajah maupun penjajah
terdapat pada saling hubung yang melengkapi kedirian masing-masing. Hanya
saja keterhubungan subjek terjajah dan dijajah adalah relasi saling menyangkal.
Pihak terjajah meniru karena dikonstruk untuk meniru, tetapi tidak pernah bisa
menjadi apa yang ditiru, sebab memang sejak awal memang bukan bagian dari
yang ditiru. Peniruan, atau mimikri yang terjadi bersifat setengah-setengah,
bahkan menjadi sebentuk olok-olok atau mockering dari si terjajah. Si terjajah
berupaya meniru tetapi sadar bahwa tidak bisa meniru dan bahkan menciptakan
suatu varian aspal yang pada akhirnya mendistorsi kemapanan pihak yang ditiru.
Sementara si penjajah sendiri, seperti disinggung di bab sebelumnya,
bahwa menghendaki si terjajah meniru dirinya (penjajah) sepenuhnya sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
dalih pemberadaban. Sementara si penjajah tidak pernah rela yang terjajah
menjadi benar-benar sefasih dirinya, sehingga tetap dibedakan kendati secara
“adab” telah sama persis. Dalam hal ini rasisme dan segala stereotip penjajah tetap
dilestarikan guna memberi jarak antara terjajah dan penjajah, seturut
ketidakikhlasan si penjajah melihat terjajah menjadi sepertinya. Sudut pandang si
penjajah seperti ini jelas menujukkan ambiguitas psikologis, yang melahirkan
ambivalensi identitas. Sebagaimana Bhabha menulis: Black skin splits under the
racist gaze, displaced into signs of bestiality, genitalia, grotesquerie, which reveal
the phobic myth of the undifferentiated whole white body.86
Ambivalensi terjajah dan ambivalensi penjajah, sama-sama berada dalam
ekses keterjumpaan pascakolonial, yang dalam konteks Indonesia telah banyak
meresap di dalam alam budaya feodalisme Jawa seiring kemapanan kolonial
Belanda di kerajaan-kerajaan Jawa. Pendeknya, kisah yang ditampilkan Pram,
bagaimanapun adalah ranah ambivalensi yang khas dari wacana pascakolonial,
sebab relasi kebangsawanan semacam itu memang demikian kentara
mencerminkan kehidupan Jawa modern, ketika telah menjadi bagian dari
kekuasaan kolonial. Sementara karya Ong melalui mitos penyejajaran yang
timpang, sebagaimana citra warna dan tak berwarna (hitam-putih), sebagaimana
konotasi kelas yang ada, menjadi “opini visual” yang lugas dalam menyimbolkan
suatu ambivalensi di balik relasi kuasa itu sendiri.
86 Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, on,
October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis (Spring, 1984), page.132-133.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
BAB V
PENUTUP
Setelah penjabaran dalam bab-bab di atas, penulis ingin menegaskan
kembali bagaimana penelitian ini dibangun dari sebuah upaya untuk menunjukkan
bagaimana sebuah sampul sanggup melahirkan kesan atau citra maupun
pemaknaan, yang melampaui isi sebuah buku.
Di satu sisi isi buku memang secara literal terrepresentasikan dalam judul
yang menjadi penambat di dalam bangunan visual sampul. Akan tetapi sampul
Ong Hari Wahyu, sebagai “opini visual” -sebagaimana diakui Ong sendiri-
menjelma suatu tafsir atas isi buku, maupun sebuah karya seni yang melahirkan
pemaknaan tersendiri yang lebih luas, kalau bukan mendongkrak nilai konten
sebuah buku.
Di luar persoalan pasar perbukuan, sebagaimana sejak awal bab ini secara
sepintas disinggung garis besar kronologi penerbitan di Indonesia, sampul buku
rupanya terbukti hadir dari sebuah keniscayaan transisi sebuah zaman yang
menyambut baik teknologi percetakan, khususnya desain sampul. Selain itu
diharapkan pula menjadi warna bagi berkembangnya gaya pemaknaan sampul
sejak nilai fungsional, hingga nilai estetik.
Proses kreatif Ong Hari Wahyu yang dibentuk dari latar sosial, latar
politik, latar pendidikan, dan latar budaya zamannya menjadikannya sebagai
seniman yang mampu merespon perubahan zaman. Era perubahan sosial-politik
itu terbahasakan dalam cara Ong Hari Wahyu menyambut naskah-naskah sejarah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
sosial, seni dan budaya hingga politik, melalui bahasa “opini visualnya” di dalam
karya sampul.
Karya sampul sebagai sebuah opini visual tersebut, melalui penelitian ini
terbukti menghadirkan elemen-elemen yang terjalin di dalam sistem penandaan
yang secara khas sesuai dengan struktur kinerja semiotika visual. Di mana karya
Ong Hari Wahyu mampu menjadi representasi yang aktual dan kontekstual seperti
yang dinarasikan dalam isi buku. Selain itu, secara visual artistik, karya Ong Hari
Wahyu memperlihatkan kuatnya estetika reproduksi foto-foto lawas, yang
cenderung berdekatan dengan foto-foto sosok manusia Indonesia di masa
kolonial.
Dalam konteks pendekatan pascakolonial sebagai pisau bedah, tesis ini
telah menganalisis empat sampul karya dari Ong Hari Wahyu, yakni Oples: Opni
Plesetan (1995), Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (2000),
Soeharto dalam Cerpen Indonesia (2001) dan Gadis Pantai (2003). Hasil dari
analisis tersebut menunjukkan muatan yang kuat di dalam penciptaan mitos
semiotika visual. Di mana muatan makna d dalam karya Ong berhasil melahirkan
pemaknaan yang sejalan dengan konsepsi ambivalensi yang khas di dalam
pendekatan pascakolonial.
Akhirnya, apa yang tampak di dalam keempat karya Ong Hari Wahyu itu
adalah sebuah gambaran kekuatan mitos yang dibangun dalam rajutan sistem
penandaan. Melalui rajutan itu, sebuah mitos yang berpijak pada konotasi yang
kuat, melahirkan sebuah ketersingkapan status ambivalen di balik subjek-subjek
sampul, baik itu Togog, Priayi, Soeharto dan Hubungan Gadis dan Lelaki
Bangsawan beserta Jongosnya itu sendiri. Masing-masing subjek di dalam karya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
sampul itu menegaskan mitos keterbelahan, bahwasanya di dalam diri tidak ada
yang utuh atau mapan sebagai suatu identitas tunggal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
DAFTAR PUSTAKA
Artikel
“30 tahun Gramedia Penerbitan: Dengan Buku menuju Indonesia Baru”, Kompas,
25 Maret 2004.
Fadrik Aziz, “Yang Mati Meninggalkan Buku”, dlm, Majalah Historia, No 36.
Th. III, 2017.
Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda”, dlm,
Prisma, No. 10 Tahun XX, Oktober 1991.
Kemadha, Vol 6 No.2, Oktober 2017.
MC. Ricklefs, Asal Usul Kaum Abangan, dlm, Majalah Historia, 28 Januari
2019.
Pramoedya Ananta Toer, “Balai Pustaka Harum Namanja di dunia Internasional
dahulu”, dlm, Madjalah Star. No, 580. 9 Februari 1957.
Buku
Adhe, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007. Yogyakarta: Komunitas
Penerbit Jogja, 2007.
Ahmad Baso. Pesantren Studies 2b. Jakarta: Pustaka Afid, 2012.
Anderson, Benedict. Imagined Communities. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1972.
Bhabha, Homi. K. “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial
Discourse”, on, October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on
Psychoanalysis (Spring, 1984), page.132-133.
________________. Location of Culture. New York: Routledge, 1994.
Burhan Nurgiyantoro.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gajah Mada
University Press, 2010.
Dorothea Rosa Herliany, Buldan dengan Tiga Bukan. Yogyakarta: Mata Angin,
2018.
Fauzan, Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia.
Yogyakarta: LKIS, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Harker, Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, Eds, (Habitus x Modal) +
Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran
Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Hanny Kardnata, Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia.
Jakarta: DGI Press, 2015.
Iwan Awaluddin Yusuf dkk, Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah Paradoks
Dmokrsi dan Kebebasn Berekspresi. Yogyakarta: Pemanau Regulasi dan
Regulator Media, bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia.
Koko Hendri Lubis, Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan. Jakarta:
Gramedia, 2018.
Linda. “Representasi Pernyaian dalam Karya Sastra Melayu Rendah”, Tesis S2.
Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. 2009.
Margono (Peny.). Pekan Buku Indonesia 1954. Djakarta: Penerbit Gunung
Agung, 1954.
McGregor, Katherine L. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi
Militer dalam Menyusun Sejarah Indoesia (Yogyakarta: Penerbit Syarikat,
2008).
Miklouho-Maklai, Brita L. Menguak Luka Masyarakat: beberapa Aspek Seni
Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966. Jakarta: Gramedia, 1997.
Moriyama, Mikihiro.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan
Kesusasteraan Sunda Abad 19.
Mudji Surisno dan Hendar Putranto, Eds.Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Purwadmadi dan Suroso Khocil Birawa.Profil Seniman dan Budayawan
Yogyakarta #13, UPTD Taman Budaya, Yogyakarta, 2014.
Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (E-book: Edi
Cahyono Experience).
Ridwan Muzir, “Santri Tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas judul-judul buku
Swa-bantu Islam di Indonesia”. Thesis (belum diterbitkan). Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta 2012/2013.
St. Sunardi, Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2002.
_________, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-esai Seni dan Estetika.
Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Vatikiotis, Michael R.J.. Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall of
The New Order. London: Routledge, 1998.
W.S. Rendra, Ia Sudah Bertualang. Djakarta-Bukittingi: N.V. Nusantara, 1963.
Yngvie Ahsanu Nadiyya berjudul “Proses Kreatif Desain Sampul Trilogi Novel
(Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang)
Karya Ayu Utami”. Skripsi S1. Program Studi S-1 Desain Komunikasi Visual,
Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 2017.
Internet
Ahmad Husain, “Kisah Tentang Buku (bagian 2): Sekilas Perkembangan di
Indonesia”, dlm: www.duamata.blogspot.com. Diakses 19 Januari 2017.
https://www.illustrationhistory.org/genres/book-sampul. Diakses 10 Januari 2016.
Journal Stanford Encyclopedi. Diakses 23 Oktober 2017.
www.ikapi,org. Diakses 24 Maret 2017.
www.dpad.jogjaprov.go.id. Diakses 17 Mei 2018.
Wawancara
Wawancara dengan Ong Hari Wahyu, 06 Maret 2018. Di Rumahnya, daerah
Nitiprayan.
Wawacara dengan Hairus Salim pada 02 Mei 2019. Di Rumahnya, daerah
Piyungan.
Wawancara dengan Buldanul Khuri, pada 26 April 2019. Di Rumahnya, daerah
Maguwoharjo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI