pediatri sosial dr hawin nurdiana
DESCRIPTION
dr. Hawin NurdianaTRANSCRIPT
dr. Hawin Nurdiana
KASUS
Seorang anak pertama,laki-laki, dari pasutri umur 20 tahun, yang lahir dari riwayat selama dalam
kandungan ibu terkena Rubella. Pada saat lahir tidak langsung menangis, cukup bulan, sempat
mendapatkan fototerapi. Setelah lahir, pada saat usia 8 bulan belum bisa bolak-balik, tidak ada
satu katapun yang terucap, datang ke tempat anda. Apa yang akan anda lakukan. Anda di tingkat
pelayanan sekunder.
Pada kasus diatas, kita ketahui usia pasien adalah 8 bulan, belum bisa bolak-balik dan tidak ada
satupun kata yang terucap. Apabila melihat tahapan perkembangan anak menurut umur, pada Umur 6-9
bulan seharusnya anak sudah bisa:
- Duduk (sikap tripoid-sendiri)
- Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan.
- Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
- Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya
- Memungut 2 benda, masing-masing tangan pegang 1 benda pada saat yang bersamaan
- Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
- Bersuara tanpa arti, mamama,bababa,dadada,tatatata
- Mencari mainan/benda yang dijatuhkan
- Bermain tepuk tangan/ciluk ba
- Bergembira dengan melempar benda
- Makan kue sendiri
Sehingga pada anak ini mengalami gangguan perkembangan yang bias disebabkan oleh bermacam-
macam factor. Dari anamnesis diketahui bahwa anak laki-laki ini adalah anak pertama, dengan riwayat selama
kehamilan ibu menderita Rubella. Pada saat lahir tidak langsung menangis, cukup bulan, sempat
mendapatkan fototerapi.
Dari data ini bisa dipikirkan bahwa bayi ada kemungkinan menderita Rubella congenital,
mengalami asfiksia saat lahir dan mengalami hiperbilirubinemia. Untuk menetahui
1
penatalaksanaan yang tepat dilakukan pada pasien ini, mari kita tinjau pengaruh Rubella
kongenital,asfiksia dan hiperbilirubinemia pada proses tumbuh kembang.
TUMBUH KEMBANG
Tumbuh kembang anak mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda, namun saling
berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.Pertumbuhan berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan
ukuran berat(gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, m), umur tulang dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai
hasildari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-
masing dapat memenuhi fungsinya, termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai
hasil interaksi dengan lingkungannya
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang, yaitu:
1. Faktor Genetik. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses
tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah
dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan
kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur dan berhentinya
pertumbuhan tulang. Yang termasuk factor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin, serta suku bangsa.
2. Faktor Lingkungan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,
sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan merupakan lingkungan bio-psiko-sosial yang
mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Faktor lingkungan
secara garis besar dibagi atas faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih
didalam kandungan (faktor pranatal) dan faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak setelah lahir (faktor postnatal ). Terdiri atas mikro, mini, mesodan makro. Mikro
merupakan unit terkecil yang terdekat dengan anak, contoh: ibu,pengasuh. Mini merupakan unit
yang lebih besar dari mikro, mencakup keluarga inti,contoh: bapak, saudara, suasana rumah. Meso
2
merupakan unit yang lebih besar dari mini, mencakup situasi lingkungan di sekitar rumah, contoh:
sarana bermain, sarana pelayanan kesehatan, pendidikan, sekolah. Makro merupakan unit yang
lebih besardari meso, mencakup situasi lingkungan suatu negara, contoh: kebijakan pemerintah, stabilitas
nasional.
Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi
sampai lahir, antara lain: gizi ibu waktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia,endokrin, radiasi, infeksi ,stres
imunitas, anoksia embrio.
Faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang secara umum dapat digolongkan
menjadi:
1. Lingkungan biologis, antara lain: ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan
kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme dan hormon.
2. Faktor fisik, antara lain: cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah: sanitasi,keadaan rumah,
struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan hunian, radiasi.
3. Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, ganjaran ataupun hukuman yang
wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitasi nteraksi anak-orang tua.
4. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/pendapatan keluarga,pendidikan
ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumahtangga, kepribadian
ayah/ibu, adat-istiadat/norma-norma, agama, urbanisasi,kehidupan politik dalam masyarakat yang
mempengaruhi prioritas kepentingan anak,anggaran,dll.
3
Stimulasi yang harus dilakukan pada anak umur 6-9 bulan adalah:
4
Deteksi gangguan /penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan
Deteksi dini tumbuh kembang adalah kegiatan atau pemeriksaan untuk menemukan
secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang agar lebih mudah dilakukan penanganan
selanjutnya dan diintervensi. Bila penyimpangan terlambat maka intervensinya akan lebih
sulit.
Parameter pertumbuhan dari hasil pemeriksaan antopometri dapat memberikan gambaran
bagaimana pertumbuhan seorang anak terjadi, apakah normal atau menyimpang.Beberapa hal
yang berhubungan dengan parameter pertumbuhan adalah sebagai berikut:BB, Tinggi/panjang
Badan,Lingkar kepala.
5
Alat untuk deteksi dini gangguan pertumbuhan berupa beberapa kurva atau penilaian
terhadap arah garis pertumbuhan berdasarkan pengeplotan pada kurva baku dari beberapa
pengukuran antropometri yang telah dilakukan. Dari penilaian ini kita bisa tahu apakah ada
gangguan pada pertumbuhan anak misalnya:
- Perawakan pendek
- Makrosefal/mikrosefal
- Berat badan terhadap umur yang tidak naik (growth faltering, flat growth, loss of growth)
Sedangkan aspek-aspek perkembangan yang dipantau :
1. Gerak kasar atau motorik kasar : aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak
melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk,
berdiri dsb.
2. Gerak halus atau motorik halus : aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-
otot kecil, tetapi memerlukan kooedinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit,
menulis dsb.
3. Kemampuan bicara dan bahasa : aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk
memberikan respon terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah dan
sebagainya.
4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri
anak ( makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain), berpisah dengan ibu atau
pengasuh, bersosialisasi dgn lingkungannya, dsb.
Sekarang marilah kita lihat factor-faktor yang ada pada anak tersebut yang mempengaruhi proses
tumbuh kembangnya:
Penelitian Campbell mendapatkan faktor risiko keterlambatan bicara pada anak di bawah
umur tiga tahun adalah laki-laki, memiliki riwayat keluarga menderita terlambat bicara pada
masa kanak-kanak, pendidikan ibu kurang dan status social ekonomi yang kurang. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sidiarto L (2002) yang menyatakan bahwa rasio laki-laki dibandingkan
perempuan mencapai 8 : 1.
6
Secara teori dikatakan proses lateralisasi antara anak laki-laki dan anak perempuan
adalah berbeda. Pada anak perempuan, umumnya proses lateralisasi lebih mudah dibandingkan
anak laki-laki, sehingga proses maturasi lebih cepat. Hal ini sesuai teori Geschwind dan
Galaburda yang menyebutkan bahwa level tinggi dari testosteron pada masa prenatal
memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri. Sebaliknya, memberikan perkembangan
yang relatif lebih baik di hemisfer kanan. Karena laki-laki biasa terpapar testosteron level tinggi
selama perkembangan prenatal ( yang didapat sebagian besar dari testis dan sejumlah kecil dari
ibu), sehingga teori ini dapat diaplikasikan secara umum untuk perbedaan organisasi otak
yang menyeluruh antara laki-laki dan wanita.
RUBELLA
Bila infeksi virus terjadi pada kehamilan sekitar 12 minggu (umur kehamilan 3
bulan,maka pada bayi yang lahir timbul berbagai cacat Sindroma Rubella Kongenital (SRK),
dalam berbagai bentuk sebagai berikut:
- Pertumbuhan janin dalam rahim terhambat hingga bayi lahir dengan berat badan kurang.
- Cacat menetap pada penglihatan dan pendengaran (buta dan tuli)
- Kelainan jantung, biasanya Ventrikular Septal Defect(VSD), Persistent Ductus Arteriosus
(PDA)
- Kelainan pada mata,biasanya kornea keruh, katarak atau retinitis.
- Kelainan pada telinga tengah biasanya bilateral pada organ cochlea dan organ corti.
- Kelainan darah berupa trombositopeni dan limfositopeni
- Kelainan susunan saraf pusat berupa chronic persisten encephalitis hingga mental
retardation.
- Kelainan pada system kekebalan tubuh berupa cell mediated imuno disorder yang terlihat
secara serologis IgM Rubella tinggi disertai IgG Rubella darah ibu juga tinggi.
- Kelainan pada sistem pencernaan berupa peradangan pancreas dan peradangan hati dan
berbagai gejala malabsorbtion syndrome.
- Kelainan tulang, berupa peradangan pada ujung tulang.
- Kelainan yang sering: Tuli telinga tengah, katarak, bola mata kecil,retinopati,
glaucoma,kelainan jantung dan mental retardation.
7
Bila ibu hamil terinfeksi virus padaumur kehamilan 4 bulan, resiko bayi lahir dengan
SRK hanya 10% dan itupun hanya kelainan jantung. Bila infeksi virus yang terjadi pada umur
kehamilan 5 bulan atau > 5 bulan, resiko bayi lahir dengan SRK semakin kecil, kalaupun ada
biasanya tuli telinga tengah. Untuk infeksi virus pada umur kehamilan diatas 20 minggu atau
lebih dari 5 bulan, resiko SRK boleh dikatakan sudah tidak ada, karena proses pembentukan
organ-organ janin sudah lengkap.
Untuk memastikan janin terinfeksi atau tidak, harus dilakukan pendeteksian virus Rubella
dengan bahan pemeriksaan yang diambil dari air ketuban atau darah janin. Pengambilan sampel
air ketuban atau pun darah janin harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan, dan
hanya dapat dilakukan setelah usia kehamilan di atas 22 minggu.(RSI Jakarta)
Kelainan-kelainan SRK pada bayi, bisa hanya salah satu yang disebut diatas, tetapi
mungkin saja dalam berbagai bentuk SRK. SRK dapat saja terjadi pada bayi meskipun ibu
terinfeksi virus Rubella dengan gejala klinis minimal, ataupun tanpa gejala klinis.
Lebih dari 50% kasus infeksi rubella pada Ibu hamil bersifat subklinis atau tanpa gejala
sehingga sering tidak disadari. Karena dapat berdampak negatif bagi janin yang dikandungnya
maka deteksi infeksi Rubella pada ibu hamil yang belum memiliki kekebalan menjadi sangat
penting. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi Rubella yang lazim dilakukan
adalah pemeriksaan anti Rubella IgM dan anti Rubella IgG pada contoh darah dari ibu hamil.
PENCEGAHAN
Memberikan Vaksinasi Rubella sekali pada saat wanita sebelum memasuki pernikahan
yang disebut Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 14-45 tahu, yang bias dijaring dari siswa
SMP, SMU, dan mahasiswabaru masuk universitas.
ASFIKSIA NEONATORUM
Eldestein menyimpulkan gangguan perkembangan bahasa dapat terjadi sebagai akibat
jangka panjang dari ensefalopati perinatal. Sedangkan ensefalopati perinatal disebabkan karena
8
hipoksia intrauterin dan antenatal yaitu ibu hamil yang menderita hipertensi, anemia, insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, persalinan dengan alat bantu dan asfiksia.
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera atau
beberapa saat sesudah lahir. Keadaan ini akan selalu diikuti dengan hipoksemia, hiperkarbia dan
asidosis. Asfiksia dapat terjadi selama periode intrauterin atau antepartum, durante partum
maupun postpartum. Bila janin mengalami asfiksia intrauterin berarti ia mengalami keadaan
gawat janin atau “fetal distress”. Secara klinis didapatkan : bayi tidak bernapas atau napas
“megap-megap” (gasping), denyut jantung < 100 x/menit, kulit sianosis. Dampak Asfiksia berat
pada organ adalah sebagai akibat dari vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke
organ yang kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot dan kulit agar penggunaan oksigen
berkurang. Aliran darah ke organ vital seperti otak, jantung meningkat. Pada hipoksia ringan,
detak jantung meningkat, meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi
otak, meningkatkan tekanan vena sentral dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan
hipoksia berat dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah jantung menurun dan
menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya
cadangan energi.
Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya
jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis sistemik, asam laktat akan
dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi. Hipoksia akan
mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun
sehingga menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang.
Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya
asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi serebrovaskuler dan
menurunnya fungsi jantung menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada
setiap jaringan. Cadangan glukosa dan energi berkurang dan timbunan asam laktat meningkat.
Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan adanya
kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi
dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, ion pump terganggu sehingga terjadi
penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat, dan aspartate ekstraseluler
9
Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang mengalami asfiksia sekarang
masih dalam penelitian. Teori yang dianut kematian sel otak melalui proses apoptotis dan
nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi dan stadium perkembangan
parensim otak yang cedera. Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik
ditandai sekelompok sel neuron edema, disintegrasi membran, pecahnya sel, isi sel tumpah ke
rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan fagositosis. Apoptosis terjadi pada
sel individu, sel mengerut, kromatin piknotik, membran sel membentuk gelembunggelembung
(“blebbing”), inti sel berfragmentasi dan sel terbelah dengan masing-masing pecahan (yang
mengandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus membran sel yang utuh, ini disebut
“apoptotic bodies”. Apoptotic bodies ini kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag
ataupun sel sekitarnya. Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately
cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel apoptotik
terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang immature.
Keadaan hipoksia, hiperkapnea dan asidosis yang terjadi akibat asfiksia dapat
menimbulkan kerusakan neuron akibat cedera otak iskemik. Jika bertahan hidup akan
menimbulkan gangguan perkembangan neurologis berupa ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI).
Kelainan neurologis yang dapat ditimbulkan akibat EHI antara lain : gangguan intelegensia,
kejang, gangguan perkembangan psikomotor dan kelainan motorik.
HIPERBILIRUBINEMIA
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar Bilirubin total serum >5 mg/dL (86
µmol/L). Di beberapa institusi bayi dinyatakan menderitahiperbilirubinemia apabila kadar
bilirubin total mencapai .12 mg/dL pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila
kadarnya .10 mg/dL.Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus yang merupakan
gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk
akhir pemecahan atau katabolisme heme yaitu bilirubin. Beberapa ahli menyebutkan bahwa
ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin >5 mg/dL. Tanpa memandang etiologi fisiologis
atau patologisnya, peningkatan kadar bilirubin indirek (unconjugated) membuat bayi berisiko
mengalami ensefalopati bilirubin atau kern-ikterus, yang merupakan salah satu penyebab
kerusakan otak pada masa bayi. Terdapat bukti-bukti bahwa peningkatan kadar bilirubin yang
10
moderatsekalipun tetap akan membuat bayi berisiko mengalami kelainan-kelainan kognitif,
persepsi, motorik dan auditorik. Penelitian-penelitian prospektif terkontrol telah mengungkapkan
adanya gangguan neurologis dan kognitif pada anak-anak yang mengalami peningkatan kadar
bilirubin indirek pada masa bayinya. Penelitian-penelitian statistikal yang luas pada bayi-bayi
aterm yangsehat, seperti yang dilaporkan the National Collaborative Perinatal Project, telah
mendeteksi adanya hubungan antara hiperbilirubinemia dalam kadar yang ’rendah’ yang
biasanya tidak diterapi dengan sequele neurologis dan motorik yang ringan. Penelitian-penelitian
klinis dan patologis yang lebih baru lagi telah membuktikan bahwa kadar bilirubin yang dahulu
dianggap aman ternyata membahayakan. Literatur terbaru menyatakan bahwa hiperbilirubinemia
derajat
sedang pada neonatus aterm yang sehat mungkin tidak aman untuk otaknya. Bilirubin dapat
masuk ke otak bila ia tidak terikat dengan albumin atau tidak terkonjugasi atau ’bebas’ (Bf) atau
bila ada kerusakan pada sawar darah otak. Bilirubin dibentuk dari hemoglobin sekitar 75%-nya
dari hemolisis dan 25% dari eritropoiesis yang inefektif. Bilirubin mempengaruhi fungsi
mitokhondria dengan menghambat kerja enzim-enzim mitokondria, mengganggu sintesis
Deoxyribonucleid acid (DNA), menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesis protein,
memecah fosforilasi oksidatif dan menginhibisi uptake tyrosine (suatu ’marker’ untuktransmisi
sinaptik). Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid yang membentuk presipitat yang
melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari
penelitian-penelitian yang telah menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara
patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada
system saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia. Dari beberapa penelitian dibuktikan
bahwa model toksisitas neuronal selektif terjadi menyerupai kejadian iskemia otak. Homeostasis
ion kalsium (Ca2+) adalah mekanisme dasar utama yang menyebabkan kematian sel neuron dan
peningkatan eksitabilitas neuron. Banyak neuron menggunakan proteinprotein pembuffer ion
kalsium untuk mempertahankan kadar kalsium intrasel yang rendah. Dari percobaan-percobaan
terhadap tikus-tikus Gunn ikterik, ditunjukkan bahwa terdapat keterlambatan aktivitas dari ion
kalsium dan ’Calmodulin dependent protein kinase II’ (CaM kinase II), yang merupakan bahan
yang dibutuhkan oleh protein kinase sel dalam proses fosforilasi. Secara invitro didapatkan
bahwa bilirubin menghambat aktivitas CaM kinase II, yang dianggap berhubungan dengan
berbagai fungsi neuron penting, seperti : penglepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi
11
ion yang diatur oleh kalsium dan juga dinamika neuroskeletal. Didalam otak kerentanan terhadap
efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel, kematangan otak dan metabolisme otak.
Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah otak seperti : infeksi/sepsis, asidosis, hipoksia,
hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas dapat mempengaruhi masuknya bilirubin ke dalam
otak, sehingga menimbulkan kerusakan neuron.
Namun menurut Chen (1995), bayi hiperbilirubinemia dengan hasil kadar bilirubin total serum
tertinggi 10-20 mg/dl, memperlihatkan hasil DDST yang masih dalam batas normal, sedangkan
pada kadar > 20 mg/dl, didapatkan 22 % mengalami gangguan pada sektor motorik kasar dan
motorik halus.70 Newman dan Klebanoff mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara
kadar bilirubin total serum neonatal .20 mg/dl dengan hasil pemeriksaan neurologis yang
abnormal, namun tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan pemeriksaan neurologis
yang abnormal pada usia 7 tahun. Dampak dari toksisitas bilirubin baik jangka pendek maupun
jangka panjang sangat tergantung dari : lamanya paparan bilirubin pada neuron yang menentukan
tejadinya nekrosis neuron, lokasi kerusakan, besarnya gangguan metabolisme yang terjadi,
kecepatan penanganan, serta faktor-faktor lingkungan baik biologis, fisik dan psikososial.
Dampak kerusakan neuron juga dapat dikurangi dengan adanya teori plastisitas otak yang sangat
berhubungan dengan perkembangan otak bayi dan anak, yaitu kemampuan susunan saraf untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan atau kerusakan yang terjadi termasuk akibat toksisitas
bilirubin. Alasan mengapa hiperbilirubinemia tidak menjadi faktor risiko yang signifikan
terhadap disfasia perkembangan mungkin disebabkan karena : jalur kerusakan otak akibat
hiperbilirubinemia secara tidak langsung mengenai system auditori, sedangkan pada penelitian
ini, gangguan auditori sudah dilakukan penapisan dengan menggunakan BERA. Kemungkinan
yang lain adalah factor kecepatan penanganan pada bayi dengan hiperbilirubinemia yaitu dengan
fototerapi intensif.
Bila gangguan bicara dan bahasa tidak diterapi dengan tepat, akan terjadi gangguan
kemampuan membaca, kemampuan verbal, perilaku, penyesuaian psikososial dan kemampuan
akademis yang buruk. Anak yang mengalami kelainan berbahasa pada masa pra-sekolah, 40%
hingga 60% akan mengalami kesulitan dalam bahasa tulisan dan mata pelajaran akademik .
Sidiarto L (2002) menyebutkan bahwa anak yang dirujuk dengan kesulitan belajar spesifik, lebih
dari 60% mempunyai riwayat keterlambatan bicara. Sedangkan Rice (2002) menyebutkan,
12
apabila disfasia perkembangan tidak diatasi sejak dini, 40% - 75% anak akan mengalami
kesulitan untuk membaca. Itulah sebabnya pencegahan dan deteksi dini gangguan perkembangan
berbahasa pada anak sangat penting. Maka yang harus kita lakukan pada kasus diatas adalah:
I. Anamnesis
Anamnesis harus diarahkan pada usaha mencari data dasar anak dan keluarga (pedigree),
profil gangguan bahasa pada anak dan keluarga, riwayat kehamilan dan persalinan ibu dan
riwayat perkembangan anak. Disfasia perkembangan pada masa kanak-kanak dapat terlihat
sebagai keluhan langsung perkembangan bicara. Dokter anak mempunyai patokan normatif ,
yaitu : bila anak yang sudah berumur 3 tahun tidak bisa mengucapkan 3 kata, maka harus
dipikirkan kemungkinan perkembangan disfatik dan ada alasan untuk segera dirujuk. Secara
tidak langsung disfasia perkembangan dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut :
- Problem perilaku, yaitu perilaku hiperkinetik dan sering disertai agresifitas
- Problem dalam pergaulan sosial, misalnya tidak bisa mengekspresikan diri, tidak bisa ikut
bermain dalam permainan kelompok atau tidak bisa ikut dalam diskusi / obrolan dalam
kelompok, sering ditertawakan teman-temannya.
- Pada umur sekolah sering ditemukan problem membaca dan mengeja.
Pada umumnya pada anak yang lebih besar dengan disfasia perkembangan, yang menonjol
adalah anak itu mempunyai problem dalam dialog, sering menjawab dengan “ya” atau “tidak”
atau dengan kalimat pendek pendek. Bercerita spontan kelihatannya lebih mudah meski ceritanya
kacau. Kadang-kadang ceritanya dapat dimengerti, tetapi banyak kesalahan pada susunan
kalimatnya (urutan kata, arti, pemakaian kata sandang). Sebagian besar mempunyai problem
penemuan kata yang menyebabkan waktu berbicara tersendat-sendat, kata-kata yang seharusnya
digunakan diganti dengan kata yang mirip. Banyak juga di antara anak disfasia perkembangan
mempunyai problem mencatatkan sesuatu sehingga perintah-perintah, nama-nama, nomor telpon
serta daftar-daftar angka perkalian di sekolah tidak bisa diingat dengan baik.
II. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologik
lengkap, fungsi pendengaran dan fungsi penglihatan. Pemeriksaan neurologis lengkap meliputi
13
pemeriksaan neurologis anak, neurologis minor seperti adanya hemisindrom dan fungsi luhur
(atensi, fungsi bahasa, memori, kognisi, visuospasial dan praksis). Pada sebagian besar kasus
tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan neurologi klasik. Namun pada pemeriksaan
Neurologi khusus sering didapatkan tanda-tanda neurologi minor atau samar (soft neurologic
sign). Sepintas tanda ini tidak begitu jelas atau kalau dijumpai sering menimbulkan keraguan
apakah tanda ini merupakan suatu gambaran disfungsi atau variasi normal. Berbeda dengan hard
sign yang menunjukkan kelainan di bagian tertentu sistem saraf, seperti adanya refleks patologis,
meningkatnya refleks fisiologis dan spastisitas yang mencerminkan disfungsi traktus piramidalis.
III.Pemeriksaan dengan instrumen penyaring
Untuk menilai gangguan perkembangan bicara dikenal beberapa instrumen penyaring.
Instrumen penyaring yang digunakan pada penelitian ini adalah Denver Developmental
Screening Test (Denver II) dan Early Language Milestone Scale / ELMS-2 (Coplan dan
Gleason). Uji skrining perkembangan Denver II sering digunakan karena mempunyai rentang
usia yang cukup lebar (mulai bayi lahir sampai usia 6 tahun). Penilaiannya mencakup semua
aspek perkembangan baik aspek personal sosial, bicara, motorik halus dan motorik kasar( Sesuai
dengan kasus diatas yang juga mengalami gangguan motorik). Waktu yang digunakan sekitar 30-
45 menit. Kesimpulan hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut normal
atau dicurigai memiliki gangguan tumbuh kembang pada salah satu atau banyak aspek. Tes
Denver II gagal mendiagnosis lebih dari setengah anak dengan gangguan bahasa ekspresif
(Borowitz, 1986), sehingga kurang dapat mengidentifikasi anak dengan keterlambatan bicara.
ELMS cukup sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari
3 tahun. Tes ini menitikberatkan pada bahasa ekspresif, reseptif dan penglihatan, terutama
mengandalkan laporan orang tua dengan sedikit tes untuk anak bila diperlukan. Pelaksanaannya
dapat dilakukan di tempat praktek dan hanya memerlukan waktu beberapa menit . Pemeriksaan
ELMS-2 dapat membedakan keterlambatan bicara akibat gangguan pendengaran, retardasi
mental atau autisme. Pada gangguan pendengaran terdapat hasil ELMS- 2 abnormal pada
auditory expressive dan auditory reseptif, sedangkan pada retardasi mental dan autisme selain
terjadi abnormalitas pada keduanya, juga terjadi abnormalitas pada visual. Coplan dkk telah
menguji sensitifitas dan spesifisitas ELMS dengan hasil cukup baik yaitu 97 % dan 93 %.
ELMS-2 dapat digunakan sebagai uji tapis kelompok risiko rendah maupun risiko tinggi,
kelompok dengan cacat fisik, serta dapat pula mendeteksi keterlambatan bicara akibat gangguan
14
pendengaran. ELMS juga dapat diterapkan pada seluruh status sosial pada masyarakat dan pada
semua tingkat pendidikan orang tua.
IV. Pemeriksaan penunjang
Seperti kelainan disfungsi minimal otak umumnya, jarang sekali digunakan pemeriksaan
tambahan seperti foto rontgen, Elektroensefalografi (EEG) dan CT scan.13 Pemeriksaan anak
dengan disfasia perkembangan dilakukan untuk menyingkirkan penyebab gangguan bicara-
bahasa lainnya seperti gangguan pendengaran, retardasi mental dan autisme. Untuk
menyingkirkan adanya gangguan pendengaran perlu dilakukan pemeriksaan otologis dan
audiometris.17 Pada anak pemeriksaan otologis dapat dilakukan oleh bagian Telinga Hidung
Tenggorokan ataupun dengan test Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Tes BERA
dapat digunakan sebagai deteksi dini gangguan pendengaran karena dapat dipergunakan pada
segala usia, tidak tergantung pada kondisi anak sedang tidur atau bangun dan merupakan alat
deteksi yang efektif untuk mengukur abnormalitas telinga bagian tengah dan dalam, BERA
menggunakan ”click stimulus” untuk menggambarkan respon elektrik dari batang otak dengan
pengukuran melalui elektrode permukaan. Sensitivitas dari BERA dilaporkan sebesar 100% dan
spesifitas 97- 98%.Apabila alat ini tidak dimiliki oleh tingkat pelayanan sekunder, maka pasien
harus dirujuk.
V. Edukasi
a) Keluarga harus memperhatikan tingkat perkembangan & bahasa,kekuatan &
kebutuhan anak tersebut.
b) Datang untu Evaluasi menyeluruh sebaiknya dilakukan setidaknya 1 kali setahun
c) Vaksin MMR harus tetap diberikan ketika umur 15 bulan meskipun ada riwayat
infeksi rubella.Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya
telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Kesehatan Anak. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;2006.
2. Beers N. Developmental screening tools. Pediatrics 2005;118(1):410-33. Fadlyana E. Buku Pelatihan Denver II. Unit Kelompok Kerja (UKK) Tumbuh
Kembang-Pediatri Sosial IDAI. Jakarta.4. Hidajati Z. Faktor Resiko Disfasia Perkembangan Pada Anak.Thesis. 2009
16