pedoman penatalaksanaan bph di indonesia

67
Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia PENDAHULUAN Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH ataubenign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapathiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia

Upload: lukman

Post on 15-Feb-2016

42 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

Page 1: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia

PENDAHULUAN Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH ataubenign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapathiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalammemacu terjadinya proliferasi sel-sel prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai factor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat. Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya. Penyusunan guidelines di berbagai negara maju ternyata berguna bagi para dokter maupun spesialis urologi dalam menangani kasus BPH dengan benar.

Page 2: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Prevalensi BPH Bergejala Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia

seperti halnya rambut yang memutih. Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031. Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat diketemukan padasebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini me-ningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus.

DIAGNOSIS BPH Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai Pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International Consultation on BPH (IC-BPH) 3 membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi: pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional), sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory, recommended, optional, dan not recommended. Anamnesis Pemeriksaan awal terhadap pasien BPHadalah melakukan anamnesis atau wawancarayang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:.o Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah menggangguo Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalamicedera, infeksi, atau pem-bedahan) o Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual o Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi o Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan. Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejalaobstruksi akibat pembesaran prostat adalahInternational Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untukmenilai dan memantau keadaan pasien BPH.Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yangmasing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total

Page 3: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:o Skor 0-7: bergejala ringano Skor 8-19: bergejala sedango Skor 20-35: bergejala berat.Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawabanPemeriksaan fisik Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleksdi daerah sacral.Urinalisis Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, diantara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter. Pemeriksaan fungsi ginjal Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika

Page 4: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan PSA (Prostate SpecificAntigen) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/mlo 50-59 tahun:0-3,5 ng/mlo 60-69 tahun:0-4,5 ng/mlo 70-79 tahun: 0-6,5 ng/mlSebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaann PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.Catatan harian miksi (voiding diaries) Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik.Uroflometri Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Q), pancaran rata-rata(Qavemax),waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dansering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan ototndetrusor. Demikian pula (pancaran)

Page 5: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Q max dengan derajatBOO sebagai berikut: Q max < 10 ml/detik 90% BOO Q 10-14 ml/detik 67% BOO Q max >15 ml/detik 30% BOO Harga Q max dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Q max normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akanmemberikan respons yang baik setelah max.Pemeriksaan residual urine Residual urine atau post voiding residualurine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal didalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residualurine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mLdengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapanpersen pria normal mempunyai residual urinekurang dari 5 mL dan semua pria normalmempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kanpengukuran langsung sisa urine melalui 25,269,14. 9kateterisasi uretra setelah pasien berkemih,maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisaurine melalui USG atau bladder scan. Pengukuranmelalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkandengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagipasien, dapat menimbulkan cedera uretra,menimbulkan infeksi saluran kemih, hinggaterjadi bakteriemia9,14. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yangcukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukurresidual urinenya pada waktu yang berlainan padahari yang sama maupun pada hari yang berbeda,menunjukkan perbedaan volume residual urineyang cukup bermakna

Page 6: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

9. Variasi perbedaan volumeresidual urine ini tampak nyata pada residualurine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkanvolume residual urine yang tidak terlalu banyak(<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktuhampir sama25.Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkatmenandakan adanya obstruksi, sehingga perludilakukan pembedahan; namun ternyatapeningkatan volume residual urine tidak selalumenunjukkan beratnya gangguan pancaran urineatau beratnya obstruksi9. Hal ini diperkuat olehpernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003),bahwa volume residual urine tidak dapatmenerangkan adanya obstruksi saluran kemih.Namun, bagaimanapun adanya residu uirnemenunjukkan telah terjadi gangguan miksi.Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak(Wasson et al 1995)29, demikian pula padavolume residual urine lebih 350 ml seringkalitelah terjadi disfungsi pada buli-buli sehinggaterapi medikamentosa biasanya tidak akanmemberikan hasil yang memuaskan. 13Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikanpemeriksaanPVRsebagaibagian

daripemeriksaan

Page 7: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

awalpadaBPHdanuntuk

memonitorsetelahwatchfulwaiting.Karena

variasiintraindividualyangcukuptinggi,

pemeriksaanPVRdikerjakanlebihdarisatukali

dansebaiknyadikerjakanmelaluimelaluiUSGtransabdominal5,10,12-14. Pencitraan traktus urinarius Pencitraan traktus urinarius pada BPHmeliputi pemeriksaan terhadap traktus urinariusbagian atas maupun bawah dan pemeriksaanprostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPHdikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untukmengungkapkan adanya: (a) kelainan pada 28

Page 8: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

saluran kemih bagian atas, (b) divertikel atauselule pada buli-buli, (c) batu pada buli-buli, (d)perkiraan volume residual urine, dan (e) perkiraanbesarnya prostat. Pemeriksaan pencitraanterhadap pasien BPH dengan memakai IVP atauUSG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkanadanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanyasebagian kecil saja (10%) yang membutuhkanpenanganan berbeda dari yang lain9. Oleh karenaitu pencitraan saluran kemih bagian atas tidakdirekomendasikan sebagai pemeriksaan padaBPH, kecuali jika pada pemeriksaan awaldiketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksisaluran kemih, (c) insufisiensi renal (denganmelakukan pemeriksaan USG), (d) riwayaturolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalanipembedahan pada saluran urogenitalia5,9-14. Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya prostatatau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidakdirekomendasikan10. Namun pemeriksaan itumasih berguna jika dicurigai adanya strikturauretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untukmenilai bentuk, besar prostat, dan mencarikemungkinan adanya karsinoma prostat.Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidakdirekomendasikan sebagai pemeriksaan rutin,kecuali hendak menjalani terapi: (a) inhibitor 5-areduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan stent,(d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilaibentuk dan ukuran kelenjar prostat dapatdilakukan melalui pemeriksaan transabdominal(TAUS) ataupun transrektal (TRUS)5,10,13

Page 9: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

. Jikaterdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaanUSG melalui transrektal (TRUS) sangatdibutuhkan guna menilai kemungkinan adanyakarsinoma prostat5Uretrosistoskopi . Pemeriksaan ini secara visual dapatmengetahui keadaan uretra prostatika dan bulibuli.Terlihatadanyapembesaranprostat,

obstruksiuretradanleherbuli-buli,batubuli-buli,

trabekulasibuli-buli,selule,dandivertikelbulibuli.Selainitusesaat sebelumdilakukan

sistoskopidiukurvolumeresidualurinepasca

miksi.Sayangnya

Page 10: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

pemeriksaaninitidak

mengenakkanbagipasien,bisamenimbulkan

komplikasiperdarahan,infeksi,cedera uretra, danretensiurinesehinggatidakdianjurkansebagai

pemeriksaanrutinpadaBPH.Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akandilakukan tindakan pembedahan untuk menen-5,9,12-14,tukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atauprostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasusyang disertai dengan hematuria atau dugaanadanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangatmembantu dalam mencari lesi pada bulibuli5,6,10,13. Pemeriksaan urodinamika Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapatmenilai bahwa pasien mempunyai pancaran urineyang lemah tanpa dapat menerangkanpenyebabnya, pemeriksaan uro-dinamika(pressure flow study) dapat mem-bedakanpancaran urine yang lemah itu disebabkan karena

Page 11: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) ataukelemahan kontraksi otot detrusor

55,9,13,14.Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendakmenjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yangdikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan olehBPO melainkan disebabkan oleh kelemahankontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan initindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat.Pemerik-saan urodinamika merupakanpemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPHbergejala5,10,12,13.Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaanyang paling baik dalam menentukan derajatobstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkankeberhasilansuatutindakanpem-bedahan.

MenurutJavleetal (1998)30, pemeriksaan inimempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%,dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasipemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah:berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80tahun dengan volume residual urine>300 mL,Q>10 ml/detik, setelah menjalani pembedah-anradikal pada daerah pelvis, setelah gagal denganterapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-bulineurogenikmax

Page 12: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

10. Pemeriksaan yang tidak direkomendasikanpada pasien BPH Berbagai pemeriksaan saat ini tidak direkomendasikansebagaipirantiuntukdiagnosis

padapasienBPH,kecualiuntuktujuanpenelitian,

diantaranyaadalah13:1. IVU, kecuali jika pada pemeriksaan awal didapatkan adanya: hematuria, infeksisaluran kemih berulang, riwayat pernahmenderita urolitiasis, dan pernah menjalanioperasi saluran kemih. 2. Uretrografi retrograd, kecuali padapemeriksaan awal sudah dicurigai adanyastriktura uretra.

6 3. Urethral pressure profilometry (UPP)4. Voiding cystourethrography (VCU)5. External urethral sphincter electromyography6. Filling cystometrography. PILIHAN TERAPI PASIEN BPH Tujuan terapi pada pasien BPH adalahmengembalikan kualitas hidup pasien. Terapiyang ditawarkan pada pasien tergantung pada

Page 13: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisiobyektif kesehatan pasien yang diakibatkan olehpenyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1)tanpa terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi (Tabel1)4. Di Indonesia, tindakan TransurethralResection of the prostate (TURP) masihmerupakan pengobatan terpilih untuk pasienBPH. Tabel 1 Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna Terapi intervensiObservasi Medikamentosa 4 Pembedahan Invasif minimal Watchful waiting Watchful waiting Antagonis adrenergik-a Inhibitor reduktase-5a Fitoterapi Watchful waiting artinya pasien tidakmendapatkan terapi apapun tetapi perkem-banganpenyakitnya keadaannya tetap diawasi olehdokter10,12,13. Pilihan tanpa terapi ini ditujukanuntuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,yaitu keluhan ringan yang tidak mengganguaktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masihmenawarkan watchful waiting pada pasien BPHbergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19).Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor

Page 14: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

IPSS > 7), pancaran urine melemah (Q < 12mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30gram tentunya tidak banyak memberikan responterhadap watchful waiting31max.Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberipenjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkindapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopiatau alkohol setelah makan malam, (2) kurangikonsumsi makanan atau minuman yangmenyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi ataucokelat), (3) batasi penggunaan obat-obatinfluenza yang mengandung fenilpropanolamin, 12Prostatektomi terbukaEndourologi: TURPTUIPTULPElektrovaporisasi TUMTHIFUStent uretra TUNAILC (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5)jangan menahan kencing terlalu lama5. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentangperubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volumeresidual urine5,10. Jika keluhan miksi bertambahjelek daripada sebelumnya, mungkin perludifikirkan untuk memilih terapi yang lain.

Page 15: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Medikamentosa Pasien BPH bergejala biasanya memer-lukanpengobatan bila telah mencapai tahap tertentu.Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaanyang mengganggu, apalagi membahayakankesehatannya, direkomen-dasikan pemberianmedikamentosa. Dalam menentukan pengobatanperlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasarpertimbangan terapi medikamentosa, jenis obatyang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasiselama pemberian obat11. Perlu dijelaskan padapasien bahwa harga obat-obatan yang akandikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsidalam jangka waktu lama. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapatditentukan kapan seorang pasien memer-lukanterapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medi-kamentosaatau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalahberusaha untuk: (1) mengurangi resistensi ototpolos prostat sebagai komponen dinamik atau (2)mengurangi volume prostat sebagai kom-ponenstatik. Jenis obat yang digunakan adalah4,14: 1. Antagonis adrenergik reseptor a yang dapat berupa:a. preparat non selektif: fenoksibenzaminb. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoraminc. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin2. Inhibitor 5 a redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride3. Fitofarmaka Antagonis reseptor adrenergik-a Pengobatan dengan antagonis adrenergik abertujuan menghambat kontraksi otot polosprostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher

Page 16: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalahobat antagonis adrenergik-a non selektif yangpertama kali diketahui mampu memper-baiki lajupancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.Namun obat ini tidak disenangi oleh pasienkarena menyebab-kan komplikasi sistemik yangtidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensipostural dan menyebabkan penyulit lain padasistem kardiovaskulera14,14. Diketemukannya obat antagonis adrener-gik- dapat mengurangi penyulit sistemik yangdiakibatkan oleh efek hambatan pada-a darifenoksibenzamin. Beberapa golongan obatantagonis adrenergik a yang selektif mempu-nyaidurasi obat yang pendek (short acting) diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kalisehari, dan long acting yaitu, terazosin,doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikansekali sehari141. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-a terbukti dapat memperbaiki gejalaBPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu,meningkatkankualitashidup(QoL), dan

meningkatkanpancaranurine.Rata-rata obatgolonganinimampu

Page 17: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

memperbaikiskorgejala

miksihingga30-45%atau4-6poinskorIPSSdan

Q hingga 15-30% dibandingkan dengansebelum terapimax13,32. Perbaikan gejala meliputikeluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudahdirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat.Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangkawaktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya 2intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 612bulan10.Dibandingkan dengan inhibitor 5a reduktase, golongan antagonis adrenergik-a lebih efektifdalam memperbaiki gejala miksi yangditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, danlaju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwapemberian kombinasi antagonis adrenergik-adengan finasteride tidak berbeda jikadibandingkan dengan pemberian antagonisadrenergik-a saja33. Sebelum pemberian antagonisadrenergik-a tidak perlu memper-hatikan ukuranprostat serta memperhatikan kadar PSA; lainhalnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-a

Page 18: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

reduktase10,13. Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang hampir sama dalammemperbaiki gejala BPH. Meskipun mempu-nyaiefektifitas yang hampir sama, namun masingmasingmempunyaitolerabilitas danefekterhadap

sistemkardiovaskuleryangberbeda.Efek

terhadapsistemkardiovaskulerterlihatsebagai

hipotensipostural,dizzines,dan astheniayang

seringkalimenyebabkanpasienmenghentikan

pengobatan32. Doksazosin dan terazosin yangpada mulanya adalah suatu obat antihipertensiterbukti dapat memperbaiki gejala BPH danmenurunkan tekanan darah pasien BPH denganhipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluhdizziness setelah pemberian doksazosin maupun

Page 19: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin,dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensipostural terjadi pada 2-8% setelah pemberiandoksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1%setelah pemberian tamsulosin atau plasebo. Dapatdipahami bahwa penyulit terhadap sistemkardiovasuler tidak tampak nyata pada tamsulosinkarena obat ini merupakan anta-gonis adrenergika yang superselektif, yaitu hanya bekerja padareseptor adrenergik-a. Penyulit lain yang dapattimbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkanbanyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin,yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 01%13,321A.Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-atergantung padadosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis,efek yang diinginkan makin nyata, namundisamping itu komplikasi yang timbul pada sistemkardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelumdilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yangakan diberikan harus disesuaikan dahulu dengancara meningkat-kannya secara perlahan-lahan(titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman danefektif14

7 . Dikatakan bahwa salah satu kelebihandari golongan antagonis adrenergik-a1A

8 (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasiseperti golongan obat yang lain. Tamsulosinmasih tetap aman dan efektif walaupun diberikanhingga 6 tahun

Page 20: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

34. Inhibitor 5 a-redukstase Finasteride adalah obat inhibitor 5-areduktase pertama yang dipakai untuk mengobatiBPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambatpembentukan dihidrotestosteron (DHT) daritestosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 a-redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa ujiklinik menunjukkan bahwa obat ini mampumenurunkan ukuran prostat hingga 20-30%,meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skorAUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaanurine. Efek maksimum finasteride dapat terlihatsetelah 6 bulan13,14. Pada penelitian yangdilakukan oleh McConnell et al (1998) tentangefek finasteride terhadap pasien BPH bergejala,didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg perhari selama 4 tahun ternyata mampu menurunkanvolume prostat, meningkatkan pancaran urine,menurunkan kejadian retensi urine akut, danmenekan kemungkinan tindakan pembedahanhingga 50%35. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi padapemberian finasteride ini minimal, di antaranyadapat terjadi impotensia, penurunan libido,ginekomastia, atau timbul bercak-bercakkemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkankadar PSA sampai 50% dari harga yangsemestinya sehingga perlu diperhitungkan padadeteksi dini kanker prostatFitofarmaka 13,14 . Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentudapat dipakai untuk memperbaiki gejala akibat

Page 21: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologiktentang kandungan zat aktif yang mendukungmekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat inibelum diketahui dengan pasti. Kemungkinanfitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,menurunkankadarsexhormone

bindingglobulin(SHBG),inhibisibasic

fibroblastgrowthfactor(bFGF)dan

epidermal

growthfactor(EGF),mengacaukanmetabolisme

prostaglandin,efek anti-inflam-masi,menurunkan

outflowresistance,danmemperkecilvolume

prostat.

Di

Page 22: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

antarafito-terapiyangbanyak

dipasarkanadalah:Pygeumafricanum,Serenoa

repens,Hypoxisrooperi,Radixurticadanmasih

banyaklainnya14. Terapi intervensi Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan,yakni teknik ablasi jaringan prostat ataupembedahan dan teknik instrumentasi alterna-tif.Termasuk ablasi jaringan prostat adalah:pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laserprostatektomi. Sedangkan teknik ins-trumentasialternatif adalah interstitial laser coagulation,TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretraPembedahan Mungkin sampai saat ini solusi terbaik padaBPH yang telah mengganggu adalah pembedahan,yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yangmenyebabkan obstruksi. Cara ini memberikanperbaikan skor IPSS dan secara obyektifmeningkatkan laju pancaran urine5,10-13. Hanyasaja pembedahan ini dapat menimbulkan berbagaimacam penyulit pada saat operasi maupun pasca

Page 23: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

bedah. Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yangsudah menimbulkan komplikasi, diantaranyaadalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksisaluran kemih berulang karena BPO, (3)hematuria makroskopik karena BPE, (4) batubuli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal yangdisebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuliyangcukupbesarkarenaBPO11. Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikanpadaBPHyangtelahmenimbulkan

keluhansedanghinggaberat,tidakmenunjuk-kan

perbaikansetelahpemberianterapinonbedah,

danpasienyangmenolakpemberianterapi

Page 24: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

medikamentosa.Terdapattigamacamteknik

pembedahanyangdirekomendasikandiberbagai

negara,yaituprostatektomiterbuka,insisiprostat

transuretra(TUIP),danreseksiprostattransuretra

(TURP)5,11,13,37. Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien diantara tindakan pada BPH yang lain danmemberikan perbaikan gejala BPH 98%.Pembedahan terbuka ini dikerjakan melaluipendekatan transvesikal yang mula-muladiperkenalkan oleh Hryntschack dan pen-dekatanretropubik yang dipopulerkan oleh Millin.Pendekatan transvesika hingga saat ini seringdipakai pada BPH yang cukup besar disertaidengan batu buli-buli multipel, divertikula yangbesar, dan hernia inguinalis37. Pembedahan

Page 25: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

terbuka dianjurkan pada prostat volumenyadiperkirakan lebih dari 80-100 cm3. dilaporkanbahwa prostatektomi terbuka menimbulkankomplikasi striktura uretra dan inkontinensia 36. urine yang lebih sering dibandingkan denganTURP ataupun TUIP12,13,37.Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH.Menurut Wasson et al (1995)29 pada pasiendengan keluhan derajat sedang, TURP lebihbermanfaat daripada watchful waiting. TURPlebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkanprosedur bedah terbuka dan memerlukan masapemulihan yang lebih singkat. Secara umumTURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga100%4,37. Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling seringadalah perdarahan sehingga mem-butuhkantransfusi. Timbulnya penyulit biasa-nya padareseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram,usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lamareseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadikurang dari 1%. Penyulit yang timbul di kemudian hariadalah: inkontinensia stress <1% maupuninkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,56,3%,kontrakturleherbuli-buliyang

Page 26: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

lebihsering

terjadipada prostatyangberukurankecil0,93,2%,dan disfungsiereksi.Angkakematian

akibatTURPpada30haripertamaadalah0,4%padapasienkelompokusia65-69tahundan1,9%

padakelompokusia80-84tahun37. Denganteknik operasi yang baik dan manajemenperioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baikpada dekade terakhir, angka morbiditas,mortalitas, dan jumlah pemberian transfusiberangsur-angsur menurun.

Page 27: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

38. TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostatyang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidakdijumpai pembesaran lobus medius, dan tidakdiketemukan adanya kecurigaan karsinomaprostat12,13. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandipada tahun 1973, dengan melakukan mono insisiatau bilateral insisi mempergunakan pisau Collingmulai dari muara ureter, leher buli-buli-sampai keverumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsulaprostat37. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, danlebih sedikit menimbulkan komplikasidibandingkan dengan TURP. TUIP mampumemperbaiki keluhan akibat BPH danmeningkatkan Q meskipun tidak sebaikTURP39max. Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini memakairoller ball yang spesifik dan dengan mesindiatermi yang cukup kuat, sehingga mampumembuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkanperdarahan pada saat operasi, dan masa mondokdi rumah sakit lebih singkatLaser Prostatektomi 4,13,36,37

9. Energi laser mulai dipakai sebagai terapiBPH sejak tahun 1986, yang dari tahun ke tahun

Page 28: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenisenergi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapatdipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre,atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu60-650C akan mengalami koagulasi dan padasuhu yang lebih dari 1000C mengalamivaporisasi4,37. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkankomplikasidanpenyembuhanlebihcepat,

tetapikemampuandalammeningkatkanperbaikan

gejalamiksimaupunQ tidak sebaik TURP.Disamping itu terapi ini membutuhkan terapiulang 2% setiap tahunmax40,41,42. Kekurangannyaadalah: tidak dapat diperoleh jaringan untukpemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG),sering banyak menimbulkan disuria pasca bedahyang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidaklangsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan

Page 29: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

peak flow rate lebih rendah dari pada pascaTURP37. Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan pesat akhir-akhirini. Penelitian klinis memakai Nd:YAGmenunjukkan hasil yang hampir sama dengancara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikanskormiksidanpancaranurine.Meskipun

demikianefek lebihlanjutdariLaser masihbelum

banyakdiketahui.Teknikinidianjurkanpada

pasienyangmemakaiterapiantikoagulandalam

jangkawaktulamaatautidakmungkin

Page 30: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

dilakukan

tindakanTURPkarenakesehatannyaTindakan invasif minimal Termoterapi 37. Termoterapi kelenjar prostat adalahpemanasan > 45oC sehingga menimbulkannekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombangpanas dihasilkan dari berbagai cara, antara lainadalah: (1) TUMT (transurethral microwavethermotherapy), (2) TUNA (transurethral needleablation), (3) HIFU (high intensity focusedultrasound), dan (4) Laser. Makin tinggi suhu didalam jaringan prostat makin baik hasil klinikyang didapatkan, tetapi makin banyak

10 menimbulkan efek samping. Teknik termoterapiini seringkali tidak memerlukan mondok di rumahsakit, namun masih harus memakai kateter dalamjangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu3-6 minggu untuk menilai kepuasan pasienterhadap terapi ini. Pada umumnya terapi ini lebihefektif daripada terapi medikamnetosa tetapikurang efektif dibandingkan dengan TURP. Tidakbanyak menimbulkan perdarahan sehingga cocokdiindikasikan pada pasien yang memakai terapiantikoagulansia13,37.Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang mikro yang disalurkan melaluikateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapatmerusak kelenjar prostat yang diinginkan.Jaringan lain dilindungi oleh sistem pendingin

Page 31: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

guna menghindari dari kerusakan selama prosespemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendahdan dapat dikerjakan tanpa pembiusan. TUMTterdiri atas energi rendah dan energi tinggi.TUMT energi rendah diperuntukkan bagiadenoma yang kecil dan obstruksi ringan,sedangkan TUMT energi tinggi untuk prostatyang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMTenergi tinggi menghasilkan respon terapi yanglebih baik, tetapi menimbulkan morbiditas yanglebih besar daripada yang energi rendah5,13,37. Teknik TUNA memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampaimencapai 1000 C, sehingga menyebab-kannekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri ataskateter TUNA yang dihubungkan dengangenerator yang dapat membangkitkan energi padafrekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberiananestesi topikal xylocaine sehingga jarum yangterletak pada ujung kateter terletak pada kelenjarprostat13. TUNA dapat memperbaiki gejalahingga 50-60% dan meningkatkan Q hingga40-50% Pasien sering kali masih mengeluhhematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine,dan epididimo-orkitis10max.Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat pada HIFU berasaldari gelombang ultrasonografi dari transduserpiezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10MHz. Energi dipancarkan melalui alat yangdiletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjarprostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum.

Page 32: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejalaklinis 50–60% dan Q rata-rata meningkat 40–50%. Efek lebih lanjut dari HIFU belumdiketahui, dan sementara tercatat bahwakegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiaptahun10. maxStent Stent prostat dipasang pada uretra prostatikauntuk mengatasi obstruksi karena pembesaranprostat. Stent dipasang intraluminal di antara leherbuli-buli dan di sebelah proksimal verumontanumsehingga urine dapat leluasa melewati lumenuretra prostatika. Stent dapat dipasang secaratemporer atau permanen. Yang temporer dipasangselama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yangtidak diserap dan tidak mengadakan reaksi denganjaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembalisecara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisamengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkannyeri perineal, dan disuriaPengawasan berkala 13. Semua pasien BPH setelah mendapatkanterapi atau petunjuk watchful waiting perlumendapatkan pengawasan berkala (follow up)untuk mengetahui hasil terapi serta perjalananpenyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukanpemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulangjika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu.Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS,uroflometri, atau pengukuran volume residu urinepasca miksi. Pasien yang menjalani tindakanintervensi perlu dilakukan pemerik-saan kultururine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksisaluran kemih akibat tindakan itu. Jadwalpemeriksaan tergantung pada terapi yang dijalanioleh pasien seperti terlihat pada tabel 2.

Page 33: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

10Tabel 2: Jadwal pengawasan berkala pasien BPH 1 tahun setelah terapiModalitas terapi Watchfulwaiting Antagonisadrenergika Inhibitor5- areduktase 6minggu12minggu 6bulan Evaluasitahunan - - + + - + + + + - + + Operasi + + + +Invasifminimal + + + + Adaptasi dari EAU BPH guidelines 200210 Rekomendasi Diagnosis dan TerapiPasien BPH DIAGNOSIS BPH Diagnosis pasien BPH ditegakkanberdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yangsistematis mulai dari pemeriksaan awal yaitupemeriksaan yang harus dikerjakan pada semuapasien dan pemeriksaan tambahan yang hanyadikerjakan pada pasien-pasien tertentu.

Page 34: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Pemeriksaan awal bisa dilakukan oleh semuapetugas kesehatan dengan berbagai ragamkemampuan dan ketersediaan sarana. Pemeriksaaninidibedakanmenjadipemeriksaanyang

harusdikerjakanpada setiappasien(mandatory)

danpemeriksaanyangharusdikerjakanjika

fasilitasuntukpemeriksaanitutersedia

(recommended).Pemeriksaantam-bahanyang

bersifat

optional dikerjakan pada kasus-kasustertentu dan terutama dikerjakan oleh spesialisurologi. Berbagai pemeriksaan itu adalah: Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokterumum, dokter spesialis non urologi,maupun spesialis urologi: I. Pemeriksaan awal 1. Harus diperiksa oleh setiap dokter/tenaga

Page 35: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

kesehatan (bersifat mandatory) meliputi: i. Anamnesis/wawancara tentang riwayatpenyakit untuk menyingkirkan penye-bablain dari gangguan miksi, atau untukmengungkap kemungkinan ada-nyapenyakit lain yang mempengaruhi hasilterapi yang akan diberikan. ii. Pemeriksaan fisik termasuk disini adalahcolok dubur dan pemeriksaan neu-rologis iii. Urinalisis untuk mencari kemungkinanadanya hematuria dan leukosituria 2. Diperiksa jika fasilitas tersedia (bersifatRecommended), meliputi: i. PSA guna menyingkirkan kemungkinanadanya karsinoma prostat stadium awal.Pemeriksaan ini terutama ditawarkankepada pasien yang mempunyai usiaharapan hidup lebih dari 10 tahun atauusianya belum mencapai 70 tahun. ii. Test faal ginjal (kreatinin serum) untukmenilai kemungkinan adanya penyulitBPH pada saluran kemih bagian atas.Peningkatan harga kreatinin dalam serummerupakan indikasi untuk melaukan evaluasi terhadap sistem urinaria bagianatas iii. IPSS dan QoL untuk menentukan derajatkeluhan miksi dan kualitas hidup, kecualijika pasien yang sebelumnya sudahmemakai kateterisasi karena retensi urine. iv. Catatan harian miksiDari pemeriksaan awal tersebut didapatkan pasiendengan kategori:A. Pasien yang hanya mengeluh LUTS dan dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam: A.a. pasien dengan tingkat gangguan ringan (IPSS = 7) A.b. pasien dengan tingkat gangguan sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35)B. Pasien-pasien yang pada saat pemeriksaan awal diketemukan adanya: (a) kecurigaanadanya keganasan prostat pada colok dubur,(b) PSA abnormal, (c) hematuria, (d) nyeri

Page 36: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

pada suprasimfisis, (e) kelainan neurologis,(f) buli-buli teraba penuh, dan (g) faal ginjalabnormal, (h) riwayat adanya infeksi salurankemih berulang, pernah operasi urologi,pernah menderita tumor saluran kemih, ataupernah menderita batu saluran kemih. Padapasien-pasien ini diperlukan pemeriksaanpemeriksaantam-bahanyangbersifat

spesialistiksehinggaharusdirujukke

spesialisurologiuntukmencarikemungkinan

adanyapenyakitakibat komplikasiBPH ataupenyakitlain.Penyakit-penyakittersebut

adalah:

i.KomplikasiyangterjadiakibatBPH di

antaranya adalah: retensi urine, hematuria,batu buli-buli, dan insufisiensi ginjal

Page 37: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

ii. Penyakit lain yang memberikan keluhanmirip BPH atau yang bersamaan denganBPH adalah: karsinoma prostat, karsinomabuli-buli,buli-bulineurogenik,ataustrikturauretra.

II. Pemeriksaan tambahan Pasien-pasien yang termasuk kategori Aa, tidakmemerlukan pemeriksaan tambahan dan tidakmendapatkan terapi apapun (watchful waiting),sedangkan pada pasien-pasien yang termasukgolongan Ab, jika diperlukan informasi yanglebih lanjut dan lebih objektif tentang keluhanyang dinyatakan pasien, mungkin perlumendapatkan pemeriksaan tambahan yangbersifat optional. Pemeriksaan-pemeriksaantersebut di antaranya adalah: i. Ultrasonografi (USG) transabdominal atautransrektal. Dari USG ini dapat diketahuiukuran maupun morfologi kelenjar

11

12 prostat, batu pada buli-buli, atau divertikelbuli-buli. Besarnya prostat perlu diketahuijika dipilih terapi inhibitor 5-a reduktase. ii. Pancaran urine dengan uroflometeriii. Volume residual urine sehabis miksi diukur secara tidak langsung denganmemakai ultrasonografi transabdominal. Dari hasil pemeriksaan tersebut selanjut-nyadidiskusikan dengan pasien kemungkinan terapiyang dipilihnya. Mungkin pasien tetap memilihtanpa obat, dengan obat, atau terapi intervensi.Jika terapi intervensi sebagai pilhannya,selanjutnya pasien dirujuk ke spesialis urologi.

Page 38: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Namun jika pasien memilih terapimedikamentosa, obat yang dipilih sebagai linipertama adalah penghambat alfa adrenergik alfa,dan pilihan kedua adalah inhibitor 5-alfareduktase. Pemeriksaan oleh spesialis urologi: Spesialis urologi melakukan pemeriksaanpasien LUTS sama dengan yang telah dilakukanoleh para dokter umum atau dokter spesialis nonurologi pada saat melakukan pemeriksaan awaldan sebagian pemeriksaan tambahan. Jika pasienyang telah menjalani pemeriksaan awal atau telahdirawat ternyata membutuhkan perawatanspesialis urologi, selanjutnya dilakukanpemeriksaan-pemerik-saan tambahan yang lain.Pasien-pasien yang memerlukan pemeriksaantambahan yang bersifat optional itu adalah: o Pasien dengan keluhan LUTS yangmengganggu yakni derajat keluhan sedang(IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35) ataukategori A.b. yang memilih terapiintervensi o Pasien dengan keluhan LUTS yangmengganggu yakni derajat keluhan sedang(IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35) ataukategori A.b. yang tidak berhasil setelahmendapatkan terapi medikamentosa. o Pasien yang pada pemeriksaan awaldiketemukan kelainan lain di-sampingLUTS atau kategori B. Pemeriksaan yang dilakukan oleh spesialispada pasien dengan kategori A.b., di antaranyaadalah: i. Urodinamika (pressure flow study).Pemeriksaan ini berguna sebelum pasienmenjalani tindakan pembedahan, yaituuntuk membedakan bahwa pancaran yanglemah pada pemeriksaan uroflometri itumemang disebabkan karena obstruksiprostat (BPO), dan bukan karenakelemahan kontraksi otot detrusor (non BPO). Pada pasien non BPO dilakukanterapi sesuai dengan penyakitnya,

Page 39: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

sedangkan pasien BPO ditawarkanbeberapa terapi intervensi sesuai denganfasilitas yang tersedia. Urodinamikaterutama ditujukan pada pasien yang padapemeriksaan uroflometri menunjukkanQ>10 ml/detik dengan volume miksi<150 mL dan terutama pada pasien tua. maxii. Uretrosistoskopi. Pemeriksaan uretrosistoskopipadapasienBPHtanpa

komplikasihanyadikerjakanpadasaat

yangbersamaansebelumdilakukan

tindakanpembedahan.Tujuanpemeriksaaniniadalahuntukmenyingkirkan

kemungkinanterdapatkelainanlainpada

salurankemih

Page 40: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

bagianbawahyang

menyertaiBPH,danuntukmenentukan

bentukmaupunukuran(panjang

obstruksi)prostatgunapemilihanmetode

terapi.

Pada pasien kategori B, pemeriksaantambahan yang harus dijalani adalah: i. Kultur urine untuk mengetahui infeksi padasaluran kemih ii. Pencitraan yang meliputi USG atau IVP.Tentunya pemeriksaan IVP tidakdiperbolehkan pada insufisiensi ginjal.Jika diduga terdapat striktura uretra,dilakukan uretrografi retrograd. iii. Sitologi urine ditujukan untuk mendeteksikemungkinan adanya karsinoma seltransisional. iv. Uretrosistoskopi untuk mencarikemungkinan adanya kelainan lain nonBPH (karsinoma buli-buli) atau kelainanlain yang merupakan komplikasi dariBPH. TERAPI BPH 1. Watchful waiting. Ditujukan untuk pasien

Page 41: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

dengan gejala ringan atau sedang dengan keluhanyang tidak mengganggu (IPSS=7) dan pasienyang menolak terapi medikamentosa. pasienhanya diberikan petunjuk, di antaranya adalah:o Hindari obat-obatan yang dapat menyebab-kan terjadinya serangan LUTS atau retensiurine akut o Batasi minum yang menyebabkan diuresis,terutama pada malam hari o Diperbanyak melakukan aktivitas fisik. Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama terapi atau keluhanbertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberianterapi medikamentosa. 2. Medikamentosa. Ditujukan untuk pasiendengan keluhan sedang (IPSS 8-19) hingga berat(20-35) atau pasien yang tidak menunjukkanperbaikan setelah watchful waiting. Pilihanpertama adalah antagonis adrenergik-a(doksazosin, terazosin, atau tamsulosin),kemudian pilihan kedua adalah inhibitor 5areduktase. Inhibitor 5a reduktase dipilih padavolume prostat yang cukup besar (>40 gram)sehingga diperlukan pemeriksaan besarnyaprostat. Evaluasi untuk mengetahui keberhasilanterapi dan efek samping obat perlu dilakukanuntuk menentukan perlu tidaknya pemberian obatdilanjutkan atau diganti dengan metode lain.Untuk itu diperlukan waktu 2-4 minggu jikadiberikan terapi antagonis adrenergik-a danpaling sedikit 3 bulan pada pemakaian inhibitor5a reduktase. Jika pasien tidak menunjukkanperbaikan dengan terapi medikamentosa atauterjadi efek samping yang tidak diinginkan, pasiendirujuk ke spesialis urologi guna mendapatkanterapi intervensi.

133. Intervensi. Merupakan tindakan

14

Page 42: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo KT, KhouryS, Mc Connell J (editors). Benign prostatichyperplasia. 5th International consultation onBPH. London, Health Publication Ltd, 519-535,2001 6. Ramsey EW, Elhilali M, Goldenberg SL,Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et al.Practice patterns of Canadian urologist in BPHand prostate cancer. J Urol 163: 499-502, 2000 7. Kirby RS, Christmas TJ. Benign prostatichyperplasia, 2nd edition. Mosby Int, 1997. 8. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-kelainan jinak,diagnosis, dan penanganan. Jakarta: AsianMedical, 15, 1999 9. McConnell. Guidelines for diagnosis andmanagement of BPH.http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/chp43.asp 10. de la Rossette JJMH, Alivizatos G,Madersbacher S, Nording J, Emberton M, danSanz CR. EAU guidelines on benign prostaticHyperplasia (BPH). Eur Urol 40: 256-263, 2001 11. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensussementara benign prostatic hyperplasia diIndonesia, 2000 12. Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al.Guidelines for the diagnosis and treatment ofbenign prostatic hyperplasia: a comparative,international review. Urology 58: 642-650,2001 13. AUA practice guidelines committee. AUAguideline on management of benign prostatichyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis andtreatment recommendations. J Urol 170: 530547,2003 14. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgicalmanagementof benignprostatic

hyperplasia.Dalam:Campbell’s

Page 43: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

urology,edisi

ke7. editor: WalshPC,RetikAB,VaughanED,

danWeinAJ. Philadelphia:WBSaunders Co.,

1337-1378,2002

15. Barry MJ, Fowler FJ, O’Leary MP, et al. TheAmerican Urological Association SymptomIndex for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol148: 1549, 1992 16. Kirby M. Management of benign prostatichyperplasia (BPH) in a primary care setting.http://www.urohealth.org/editorials/display_editorial.asp?EDITORIAL_ID=79&EDITORIAL_CAT=BPH 17. Roehrborn CG, Sech S, Montoya J, Rhodes T,dan Girman CG Interexaminer reliability andvalidity of a three-dimensional model to assessprostate volume by digital rectal examination.Urology, 57:1087, 2001 18. Laguna P dan Alivizatos G. Prostate specificantigen and benign prostatic hyperplasia. CurrOppin urol 10: 3-8, 2000 19. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J,Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al.Serum prostate specific antigen is a strongpredictor of future prostate growth in men withbenign prostatic hyperplasia. J Urol 163: 13-20,2000

Page 44: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

20. Roehrborn CG, McConeell JD, Lieber M,Kaplan S, Geller J, Malek GH, et al. Serumprostate-specific antigen concentration is apowerful predictor of acute urinary retentionand need for surgery in men with clinicalbenign prostatic hyperplasia. Urol 53, 473-480,2000 21. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto S, et al.Studi analitik pengaruh pemasangan kateterterhadap kadar antigen spesifik prostat dalamdarah pada pasien hiperplasia prostat jinakdengan retensi urine. JURI, 10: 1-8, 2003 22. Dawson C dan Whitfield H. ABC urology:Bladder outflow obstruction. BMJ, 312:767770,1996 23. Brown JS, McNaught KS, Wyman JF, BurgioKL, Harkaway R, Bergner D et al.Measurement characteristics of voiding diaryfor use by men and women with overactivebladder. Urol, 61:802-809, 2003 24. Steele G, Sullivan MP, Sleep DJ, and Yalla SP.Combination of symptoms score, flow rate, andprostate volume for predicting bladder outflowobstruction in men with lower urinary tractsymptoms. J Urol, 164: 344-348, 2000 25. Dunsmuir WD, Feneley M, Bryan J, dan KirbyRS. The day-to day variation (test-retestreliability) of residual urine measurement. BJU77, 192-193, 1996 26. Reynard JM, Peters TJ, Lim C, dan Abrams P.The value of multiple free-flow studies in menwith lower urinary tract symptoms. BJU, 77:813-818, 1996 27. Jepsen JV, Leverson G, dan Bruskewitz RC.Variability in urinary flow rate and prostatevolume. J Urol, 160: 1689-1694, 1998 28. Prasetyawan W dan Sumardi R. Korelasi antaravolume residu urine dan adanya obstruksi padapenderita dengan simtom BPH denganmenggunakan pressure flow study. JURI, 10:19-21, 2003. 29. Wasson JH, Reda DM, Bruskewitz RC, et al. Acomparison of transurethral surgery with

Page 45: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

watchful waiting for moderate symptoms ofbenign prostatic hyperplasia. N Eng J Med 332:75-79, 1995 30. Javle P, Jenkin SA, Machin DG, dan ParsonKF. Grading of benign prostatic obstruction canpredict the outcome of transurethralprostatectomy. J Urol 160: 1713-1717, 1998 31. Jacobsen SJ, Jacobsen DJ, Girman CJ, et al.Treatment for benign prostatic hyperplasia among community dwelling men: the OlmstedCounty study of urinary symptoms and healthsstatus. J Urol 162: 1301-1306, 1999 32. deMey C. ablocker therapy for lower urinarytract symptoms sugestive of benign prostaticobstruction: what are the relevant differences inrandomized controlled trials?. Eur Urol 38(Supll): 25-39, 2000 1 33. Lepor H, Williford WO, Barry MJ, Brawer MK,Dixon CM, Gromley G, et al. The efficacy ofterazosin, finasteride, or both in BPH.NEJM335:533-539, 1996 34. Narayan P, Evans CP, dan Moon T. Long termsafety and eficacy of tamsulosin for thetreatment of lower urinary tract symptomsassociated with benign prostatic hyperplasia. JUrol 170: 498-502, 2003 35. McConnell JD, Bruskewitz R, Walsh P,Andriole G, Lieber M, Holtgrewe HL, et al.The efect of finasteride on the risk of acuteurinary retention and the need for surgicaltreatment among men with benign prostatichyperplasia. N Eng J Med 338: 557-563, 1998 36. Barba M, Leyh H, dan Hartung. Newtechnology in transurethral resection of theprostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2000 37. Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan MianoL. Invasive and minimally invasive treatmentmodalities for lower urinary tract symptoms:what are the relevant differences in randomisedcontrolled trials? Eur Urol 38(suppl): 7-17,

Page 46: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

2000

38. Uchida T, Ohori M, Soh S, Sato T, Iwamura M,Ao T, dan Koshiba K. Factor influencingmorbidity in patients undergoing transurethralresection of the prostate. Urology 53: 98-105,1999 39. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, danAbrams P. Transurethral incision comparedwith transurethral resection of the prostate forbladder outlet obstruction: a systemic reviewand meta-analysis of randomised controlledtrials. J Urol 165: 1526-1532, 2001 40. Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST,Gujral S, Chacko KN, Wright M, et al. Arandomised trial comparing transurethralresection of the prostate, laser therapy andconsevative treatment of men with symptomsassociated with benign prostatic enlargement:The ClasP study. J Urol 164: 65-70, 2000 41. Hoffman RM, MacDonald R, Slaton JW, danWilt TJ. Laser prostatectomy versustransurethral resection for treating benignprostatic obstruction: sytematic review. J Urol169: 210-215, 2003 42. Van Melick HHE, Van Venroy GEPM,Eckhardt MD, dan Boon TA. A randomisedcontrolled trial comparing transurethralresection of the prostate, contact laserprostatectomy and electrovaporization in menwith benign prostatic hyperplasia: analysis ofsubjective changes, morbidity and mortality. JUrol 169: 1411-1416, 2003

15

16 RINGAN (IPSS < 7) o Gejala tidak mengganggu

Page 47: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

o Tidak menghendaki terapi Memilih terapi non invasif Watchful waiting Gagal Medikamentosa Gagal Pemeriksaan awal o Anamnesiso Pemeriksaan fisik, colok duburo Urinalisiso Test faal ginjal o PSAoCatatan harian miksi IPSS dan QoLSEDANG HINGGA BERATIPSS 8-19 dan 20-35 Pemeriksaan tambahan o Uroflometrio PVR (volume residual urine)o USG Diskusi dengan pasien tentang pemilihan terapi Rujuk ke spesialisurologi Memilih terapi invasif Rujuk ke spesialisurologi

Jika pada pemeriksaan awal didapatkan:o DRE curiga ganaso PSA abnormalo Hematuriao Nyerio Kelainan neurologiso Teraba buli-bulio Faal ginjal abnormalo Riwayat pernah: operasi urologi, menderita urolitiasis, keganasan urogenitalia Rujuk ke spesialis

Page 48: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

urologi PENATALAKSANAAN OLEH SPESIALIS UROLOGIo Pemeriksaan tambahano Terapi intervensi Gambar 1: Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk dokter umum dan spesialis non urologi. DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life, PVR: post voiding residual urine,TAUS: transabdominal ultrasonography,TRUS: transrectal ultrasonography. RINGAN (IPSS < 7) o Gejala tidak menggangguo Tidak menghendaki terapi Watchful waiting Gagal Gambar 1: Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi. DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life, PVR: post voiding residual urine, IVP: intravenous pyelography, TAUS:transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal ultrasonography, dan BPO: benign prostatic enlargement. Memilih terapi non invasif Pemeriksaan awal o Anamnesiso Pemeriksaan fisik, colok duburo Urinalisiso Test faal ginjal o PSAoCatatan harian miksi SEDANG HINGGA BERATIPSS 8-19 dan 20-35 Pemeriksaan tambahan o Uroflometrio PVR (volume residual urine)o USG Diskusi dengan pasien tentang pemilihan terapi Pemeriksaan tambahano Urodinamikao Uretrosistoskopi Non obstruksi

Page 49: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

ObstruksiBukan BPO Terapi sesuaidiagnosis IPSS dan QoLMemilih terapi invasif BPOJika pada pemeriksaan awal didapat:o DRE curiga ganaso PSA abnormalo Hematuriao Nyerio Kelainan neurologiso Teraba buli-bulio Faal ginjal abnormalo Riwayat pernah: operasi urologi, Medikamentosa Terapi intervensi Gagalmenderita urolitiasis, keganasan urogenitalia Pemeriksaan tambahano Pencitraan (IVP, USG,uretrografi retrograd) o Uretrosistoskopio Sitologi urineBPH DENGAN KOMPLIKASIo Retensi urine berulango Hematuriao Batu buli-bulio ISK berulango Insufisiensi ginjal

17Bukan BPHo Karsinoma Prostato Karsinoma Buli-bulio Striktura uretrao Buli-buli neurogenik Terapi invasif minimal Pembedahan Terapi sesuaidiagnosis

Page 50: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

18 Lampiran 1: Skor IPSS dan Kualitas hidup

Nama: ……………………………………… No Catatan medik: ……………………………….Umur: ……………………………………… Tgl Pemeriksaan: ………………………………….

Dalam 1 bulan terakhir 1. Seberapa sering Anda merasamasih ada sisa selesai kencing? 2. Seberapa sering Anda haruskembali kencing dalam waktukurang dari 2 jam setelah selesaikencing? 3. Seberapa sering Andamendapatkan bahwa Andakencing terputus-putus? 4. Seberapa sering pancaran kencingAnda lemah? 5. Seberapa sering pancaran kencingAnda lemah? 6. Seberapa sering Anda harusmengejan untuk mulai kencing? 7. Seberapa sering Anda harusbangun untuk kencing, sejakmulai tidur pada malam harihingga bangun di pagi hari? International Prostate Symptom Score (IPSS) Tidakpernah Kurangdarisekalidalam lima kali

Page 51: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Kurangdari setengah Kadangkadang

(sekitar

50%)

Lebihdarisetengah 0 1 2 3 4 5

0

0

0

0

0

0

1

1

1

1

1

1

Page 52: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

2

2

2

2

2

2

3

3

3

3

3

3 Skor IPSS Total (pertanyaan 1 sampai 7) = Senangsekali Seandainya Anda harus menghabiskansisa hidup dengan fungsi kencingseperti saat ini, bagaimana perasaanAnda? Senang Padaumumnya puas Campuranantara puasdan tidak

4

4

Page 53: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

4

4

4

4 Padaumumnyatidak puas Hampirselalu

5

5

5

5

5

5 Tidakbahagia Skor kualitas hidup (QoL)=

Skor Buruksekali

Page 54: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Nama __________________________________ Tanggal ___________________________ CATATAN HARIAN MIKSICONTOH HARI KE-1 HARI KE-2 Urgensi Ngompol Minum Urgensi Ngompol Minum Waktu JumlahUrine Urgensi Ngompol Minum Waktu JumlahUrine TOTAL TOTAL TOTAL

19

Page 55: Pedoman Penatalaksanaan BPH Di Indonesia

Waktu JumlahUrine