pedoman pengujian kebijakan...

47
[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ] 1 Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional dan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL

Upload: ngodiep

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

1

Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional dan Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan

PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL

Page 2: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

2

Judul: Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional untuk Pemenuhan Hak Konstitusional dan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan ISBN :

1. Indikator 2. Kebijakan 3. Konstitusi 4. Diskriminasi Penyusun: Andy Yentriyani Dahlia Madanih Indraswari Pera Sopariyanti Muhammad Daeroby Tim Diskusi: KH Husein Muhammad Kunthi Tridewiyanti Ninik Rahayu Virlian Nurkristi Khariroh Ali Nina Nurmila Penerbit Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Jalan Latuharhary Nomor4B Menteng, Jakarta Pusat, 10310 Telepon : 021 3903963 Faksimili : 021 3903922 Email : [email protected] Web-site : www.komnasperempuan.or.id Cetak Tahun: 2015 © Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memegang penuh hak cipta atas publikasi ini. Semua atau sebagian dari publikasi boleh digandakan untuk segala pendidikan pemajuan hak-hak konstitusional warga Negara, upaya menghapuskan diskriminasi, khususnya perempuan, dan demokrasi. Dalam menggunakannya, mohon menyebutkan sumber dan menginformasikan kepada Komnas Perempuan. Program dan publikasi ini dapat terselenggara atas dukungan kedutaan Besar Norwegia. Pendapat yang diungkapkan dalam pedoman ini sepenuhnya tanggung jawab Komnas Perempuan dan tidak mewakili pendapat atau posisi lembaga dana yang membantu perencanaan, pengembangan dan pelaksana program ini.

Page 3: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

3

DAFTAR ISI Daftar Isi Sekapur sirih ..................................................................................................................... I. Pendahuluan..................................................................................................................

I.1. Kerangka konseptual pedoman pengujian.................................................... I.2. Pengertian kebijakan daerah .......................................................................... I.3. Memahami prinsip non diskriminasi, kesetaraan substantif &

tanggung jawab Negara ……………………………………………………. I.4. Pengguna dan cara menggunakan.................................................................

II. Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional.............................................................

1. Kriteria Prinsip................................................................................................... 1.1 Prinsip keadilan.......................................................................................... 1.2 Prinsip pengayoman dan kemanusiaan..................................................... 1.3 Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia............................................

2. Kriteria Yuridis....................................................................................................

2.1 Kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan.....................................................................................................

2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah .............................................................. 2.3 Relevansi acuan yuridis............................................................................... 2.4 Kemutakhiran yuridis.................................................................................. 2.5 Kelengkapan dokumen...............................................................................

3. Kriteria Substantif................................................................................................

3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi (tujuan: penghapusan diskriminasi & kekerasan terhadap perempuan)...........................................................

3.2 Kejelasan subyekk dan obyek subyekk pengaturan.......................................... 3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi................................................................ 3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan.............................................................

III. Lembar Kerja Pengujian Kebijakan Konstitusional …………........................................ IV. Daftar Pustaka V. Lampiran

1. 40 Hak Konstitusional yang dijamin dalam UUD NRI 1945........................... 2. Contoh Pengujian Kebijakan Konstitusional……………………………….

Page 4: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

4

SEKAPUR SIRIH Penyusunan buku “Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional” dilatarbelakangi oleh kebutuhan yang mendesak untuk merawat mandat konstitusi, utamanya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah. Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional ini merupakan tindak lanjut dari usulan berbagai pihak kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk melakukan upaya penguatan kapasitas yang menitikberatkan pada kerjasama lintas institusi dalam rangka mencegah dan menangani kebijakan diskriminatif yang banyak tersebar di Indonesia. Otonomi daerah adalah salah satu alat utama desentralisasi di masa reformasi. Model ini mempunyai peluang untuk menghadirkan kebijakan yang semakin berpihak pada warga. Sayangnya, Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 15 tahun pelaksanaan otonomi daerah, yang ditandai dengan diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, juga melahirkan kebijakan yang diskriminatif, dan karenanya, menjadi kebijakan yang inkonstitusional. Sejak dikeluarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan tahun 2009 yang menemukan 154 kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas1, jumlah kebijakan diskriminatif itu terus bertambah hingga tahun 2014 mencapai 365 kebijakan. Sampai penghujung tahun 2014, belum ada satupun kebijakan yang dibatalkan oleh pemerintah daerah. Upaya pengawasan yang dilakukan pemerintah nasional masih sangat terbatas, antara lain dengan melakukan klarifikasi kepada pemerintah daerah. Pada tahun 2013 telah ada 7 surat klarifikasi yang dikirimkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk Pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dan bertambah menjadi 16 surat klarifikasi pada tahun 2014. Melalui kehadiran kebijakan diskriminatif, kebijakan yang seharusnya memberikan perlindungan jaminan konstitusional namun justru melakukan diskriminasi terhadap warga Negaranya. Sebagian dari kebijakan diskriminatif ini dilahirkan atas nama agama dan moralitas yang didefinisikan secara sempit oleh kelompok mayoritas di daerah tersebut. Hal ini telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan perempuan secara khusus, dan kelompok minoritas dan marginal pada umumnya. Komnas Perempuan berpendapat bahwa kehadiran kebijakan yang diskriminatif jika tidak segera ditangani akan terus mengikis kualitas demokrasi, mengikis kewibawaan, kepastian, dan integritas hukum nasional, serta menciptakan pelembagaan diskriminasi. Akibatnya, pembatasan, pengurangan, dan pengabaian hak-hak konstitusional perempuan dan kelompok minoritas terus berlangsung. Tidak berjalannya perlindungan secara substantif terhadap perempuan dan kelompok minoritas, memperlihatkan bahwa praktik demokrasi yang berjalan masih mengedepankan proses prosedural sehingga mengabaikan proses partisipasi dan perlindungan substantif. Pembiaran kondisi ini menyebabkan Indonesia mencapai situasi krisis

1 Dari 154 kebijakan diskriminatif, sebanyak 63 kebijakan secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan yang mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan (38 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi), dan 4 pengabaian perlindungan buruh migran. Selebihnya, 82 kebijakan daerah mengatur tentang agama yang sesungguhnya merupakan kewenangan pusat dan telah berdampak pada pembatasan kebebasan tiap warga Negara untuk beribadat menurut keyakinannya dan mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas. Sebanyak 9 kebijakan lainnya merupakan pembatasan atas kebebasan memeluk agama bagi kelompok Ahmadiyah. Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 provinsi- Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Jakarta, Komnas Perempuan, 2010.

Page 5: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

5

yang memperlihatkan keberagaman, keadilan, kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat, dan masa depan bangsa dipertaruhkan.2 Pada mulanya, sejumlah pihak berkeberatan bahkan mempertanyakan penilaian Komnas Perempuan mengenai keberadaan kebijakan diskriminatif ini, meskipun banyak pula yang mendukung hasil pemantauan tersebut. Untuk itu, Komnas Perempuan terus mendiskusikan baik hasil temuan maupun cara pengujian yang digunakan dalam pemantauan itu. Diskusi ini terutama dilakukan dengan para penyelenggara Negara, pihak-pihak yang melakukan advokasi kebijakan, serta masyarakat luas dalam merumuskan suatu kebijakan. Dari hasil diskusi dikenali adanya kebutuhan yang mendesak untuk membangun pemahaman konseptual tentang prinsip non-diskriminasi, pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan dan wawasan nusantara. Tanpa pemahaman ini, sulit bagi seseorang untuk dapat mengidentifikasi konstitusionalitas sebuah kebijakan daerah. Ketidakpahaman justru dapat menghadirkan kebijakan diskriminatif atas nama upaya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi perempuan khususnya. Menyikapi kebutuhan tersebut, buku “Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional” ini didahului dengan catatan ringkas konseptual guna memandu para pengguna alat uji ini. Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan pada konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) dan pemaknaannya. Indikator pengujian yang dikembangkan mengacu kepada prinsip-prinsip perumusan kebijakan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada mulanya, juga mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, indikator pengujian juga mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Semua acuan ini dimaksudkan untuk memastikan perlindungan dan pencegahan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, terutama terhadap perempuan. Mencermati status daerah istimewa yang diatur dalam Pasal 18B (1) UUD 1945, indikator pengujian yang dikembangkan juga melihat kesesuaian pengaturan daerah istimewa dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas materi muatan, khususnya terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dilahirkan di daerah serta kewajiban dan larangan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan daerah dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun empat daerah khusus yang dimaksud adalah Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Khusus DKI Jakarta, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dengan cara ini, Komnas Perempuan bermaksud berkontribusi untuk memastikan pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah berjalan seiring dengan mandat konstitusi, termasuk untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi.

2 Ibid. Hal. 75

Page 6: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

6

Sementara alat pengujian telah lebih dulu disosialisasikan sejak tahun 2010, upaya menyusun buku pedoman ini baru dimulai pada tahun 2012. Dalam proses penyusunannya, Komnas Perempuan melakukan diskusi intensif dengan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, dan setidaknya 17 kementerian/lembaga Negara lainnya dalam forum-forum strategis. Komnas Perempuan juga telah mengkonsultasikan pedoman pengujian ini dengan Biro Hukum dari 13 pemerintah daerah, yang ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi bersama di 5 Provinsi, dan 8 daerah di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, Komnas Perempuan bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terimakasih kepada Biro Hukum Provinsi Jawa Barat (2013), Biro Hukum Provinsi Sumatera Barat (2013), Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh (2013), Bagian Hukum Kabupaten Sukabumi (2013), Bagian Hukum Kabupaten Tasikmalaya, Sekretaris Daerah Kabupaten Cianjur, Bagian Hukum Kabupaten Solok, Bagian Hukum Kota Bukit Tinggi (2013), Badan Hukum Kabupaten Lombok Timur, Bagian Hukum Kabupaten Dompu, dan Bagian Hukum Kota Mataram (2013), Biro Hukum Provinsi Kalimantan Selatan (2014), Biro Hukum Provinsi Nusa Tenggara Barat (2014), dan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sulawesi Selatan (2014). Juga, kepada Prof. Dr. Saldi Isra, Dr. Maruar Siahaan, Dr. I Dewa Gede Palguna, dan Muktiono, yang telah bersedia menjadi pemateri dalam kegiatan sosialisasi dan memberikan masukan yang memperkuat muatan pedoman pengujian. Terima kasih juga kami sampaikan kepada jaringan kerja, dalam kapasitas individual maupun organisasional, yang terhubung dalam kelompok reformis lokal. Dukungan ini sangat berarti dalam memantapkan baik muatan materi pengujian serta upaya membangun pemahaman yang lebih baik tentang perlindungan hak-hak konstitusional bagi warga Negara dalam perumusan kebijakan publik, khususnya dalam upaya memajukan pemenuhan hak-hak perempuan. Dalam perencanaan, publikasi buku “Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional” baru akan diselenggarakan setelah seluruh rangkaian sosialisasi, yang sekaligus menjadi ajang untuk memperoleh masukan bagi buku pedoman ini. Komnas Perempuan berbangga bahwa berbagai upaya mengenalkan persoalan dan peluang memperbaiki dampak yang diakibatkan oleh kebijakan diskriminatif berujung pada lahirnya UU Nomor 23 tahun 2014 yang menggantikan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 23 tahun 2014 ini memberikan arah baru dalam peran pengawasan pemerintah terhadap kebijakan daerah baik dari segi muatan maupun kewenangan dan prosedur pencegahan dan pembatalan kebijakan daerah. Menyambut arah baru ini, pedoman pengujian ini pun kemudian disesuaikan dengan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sesuai dengan masukan banyak pihak, Komnas Perempuan akan melanjutkan upaya sosialisasi pedoman pengujian ini, dan mendorong pihak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengadopsi pedoman ini sebagai alat kerja mencegah dan mengatasi persoalan kebijakan daerah yang diskriminatif. Tentunya upaya ini membutuhkan dukungan banyak pihak untuk dapat berhasil. Selamat membaca dan mengujicobakannya. Bersama-sama kita bisa mendorong lahirnya kebijakan daerah yang konstitusional, utamanya yang turut mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia. Jakarta, 16 Juni 2015 Komnas Perempuan

Page 7: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

7

I. PENDAHULUAN Sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melansir hasil pemantauannya pada tahun 2009 mengenai kebijakan diskriminatif yang dilahirkan atas nama agama, keinginan mayoritas dan otonomi daerah, berbagai pihak menanyakan cara pemilahan kebijakan daerah itu. Komnas Perempuan kemudian terus-menerus mendiskusikan kerangka uji yang digunakan, termasuk kepada pihak Badan Pusat Statistik yang pada saat itu tengah membangun indeks demokrasi Indonesia. Dalam diskusi lintas kementerian dan lembaga, Komnas Perempuan diminta untuk mengembangkan kerangka tersebut menjadi sebuah alat uji yang dapat digunakan oleh lebih banyak pihak yang terlibat dalam pembentukan dan pengawasan kebijakan daerah. Menanggapi permintaan ini, Komnas Perempuan lalu menyusun sebuah pedoman pengujian, yang awalnya kami sebut dengan indikator kebijakan konstitusional. Indikator kebijakan konstitusional ini kemudian dirembugkan dengan banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun daerah. Komnas Perempuan melakukan diskusi intensif dengan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, dan setidaknya 17 kementerian/lembaga Negara lainnya dalam forum-forum strategis. Juga, berdiskusi dengan Biro Hukum dari 13 pemerintah daerah, yang ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi bersama di 6 provinsi, yaitu melalui kerjasama dengan Biro Hukum Provinsi Jawa Barat (2013), Biro Hukum Provinsi Sumatera Barat (2013), Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh (2013), Biro Hukum Provinsi Kalimantan Selatan (2014), Biro Hukum Provinsi Nusa Tenggara Barat (2014), dan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sulawesi Selatan (2014). Diskusi di tingkat provinsi juga diperluas ke tingkat kabupaten/kota, antara lain melalui kerjasama dengan Bagian Hukum Kabupaten Sukabumi (2013), Bagian Hukum Kabupaten Tasikmalaya, Sekretaris Daerah Kabupaten Cianjur, Bagian Hukum Kabupaten Solok, Bagian Hukum Kota Bukit Tinggi (2013), Badan Hukum Kabupaten Lombok Timur, Bagian Hukum Kabupaten Kabupaten Dompu, dan Bagian Hukum Kota Mataram (2013). Hasil konsultasi di atas memberikan banyak masukan pada penyempurnaan alat uji ini, yang kemudian kita kenal dengan sebutan Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional. Seluruh proses konsultasi dan diskusi berakhir pada pertengahan tahun 2014. Hasil pertemuan dengan lebih dari 17 kementerian/lembaga di tingkat nasional, pedoman pengujian ini diharapkan dapat diadopsi di tingkat kementerian terkait, utamanya Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah. Di tengah proses finalisasi pedoman pengujian ini, lahir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kehadiran UU Nomor 23 Tahun 2014 ini membuncahkan asa bahwa upaya pencegahan dan penanganan yang sugguh-sungguh dan lebih efektif akan berjalan dengan lebih cepat. Hal ini karena di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 terdapat pengaturan yang lebih jelas dan tegas mengenai ketentuan perencanaan, penyusunan, penetapan dan pengawasan kebijakan daerah. Dengan perkembangan ini dan untuk memastikan manfaat dari alat uji ini, pedoman ini kemudian disesuaikan dengan UU yang baru tersebut. 1.1. Kerangka Konseptual Pedoman Pengujian Pedoman pengujian ini dimaksudkan sebagai alat untuk menguji apakah sebuah kebijakan, khususnya kebijakan daerah, memenuhi syarat-syarat kesesuaiannya dengan peraturan

Page 8: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

8

perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam tata pemerintahan Indonesia, konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar peraturan perundang-undangan. Pada bagian pembukaan dalam konstitusi, tepatnya pada paragraf keempat, kita dapat menemukan bunyi Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam tata kelola Negara-bangsa Indonesia. Inilah alasan mengapa pedoman pengujian ini kemudian diberi tajuk “Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional”. Sebagai alat uji, pedoman ini dapat diibaratkan sebagai sebuah saringan, alat menyaring yang menentukan kelayakan sebuah kebijakan menopang pemenuhan mandat konstitusi, khususnya terkait dengan tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. Salah satunya yang berulang kali ditegaskan dalam konstitusi adalah tanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, hak warga Negara, dan hak penduduk dalam kapasitasnya sebagai individu maupun kelompok - semua ini kita kenal sebagai hak-hak konstitusional. Untuk kebutuhan pemahaman tentang tanggungjawab Negara ini, Komnas Perempuan mengidentifikasi setidaknya ada 40 hak konstitusional dalam 14 rumpun hak yang diamanatkan di dalam UUD 1945 (lihat di lampiran 1). Mandat konstitusi ini juga dapat ditemukan di dalam berbagai turunan produk perundang-undangan. Karena memfokuskan diri pada pemenuhan hak asasi manusia, dan utamanya dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, maka dalam pemaknaan mandat konstitusi ini, Komnas Perempuan terutama mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Berbagai UU yang menjadi acuan tersebut merupakan bagian dari kerangka kerja HAM, dimana beberapa diantaranya adalah instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi, atau diadopsi oleh Indonesia menjadi hukum nasional. Khususnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, kita dapat menemukan prinsip non-diskriminasi, keadilan substantif, dan kewajiban Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 hingga Pasal 16 dari konvensi tersebut. Prinsip-prinsip ini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai landasan pemahaman yang sangat penting dimiliki oleh tiap-tiap pengguna dari pedoman pengujian ini. Dalam konteks kajian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah maka acuan pedoman pengujian ini adalah juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU Nomor 12 Tahun 2011 kita dapat menemukan acuan tentang perencanaan, penyusunan, penetapan dan pengawasan peraturan perundang-undangan. Secara khusus, Pasal 6, Ayat 1 dan 2 mengatur tentang asas materi muatan; Pasal 7, Ayat 1 dan 2 tentang jenis, hierarki dan materi muatan, dan Pasal 10 hingga Pasal 15 yang mengatur materi muatan sesuai jenis dan hierarkhi. Pengaturan ini merupakan cerminan dari landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang perlu dimiliki dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis inilah yang diadopsi dalam pedoman pengujian ini, yang dimaknai dengan prinsip non-diskriminasi, keadilan substantif dan tanggung jawab Negara. Adapun makna dari ketiga landasan tersebut adalah:

Page 9: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

9

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat

1.2. Pengertian Kebijakan Daerah3 Secara literal, kebijakan daerah adalah rangkaian konsep, asas, pedoman operasional, dan cara bertindak yang menjadi garis besar dan acuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan daerah merupakan pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemerintahan.

Dalam terminologi hukum, pengertian kebijakan daerah dibedakan dalam arti sempit dan dalam arti luas;

1. Dalam arti sempit, kebijakan daerah berarti setiap peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama kepala daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota dalam bentuk peraturan daerah (perda) atau di Aceh disebut qanun. Jenis kebijakan ini memiliki sifat mengatur (regeling), dapat memuat sanksi, dan membebankan sesuatu kepada pihak-pihak yang menjadi subyek hukum.

2. Dalam arti luas, adalah setiap peraturan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga di daerah, baik berupa produk bersama DPRD dengan kepala daerah maupun produk pemerintah daerah semata. Kebijakan daerah kategori ini bisa berupa peraturan daerah dan peraturan gubernur/bupati/wali kota/kepala desa yang bersifat pengaturan (regeling). Bisa juga berupa Surat Keputusan (SK), Surat Edaran (SE), dan penetapan lainnya yang bersifat penetapan (beschikking) dan pengaturan administratif.

Kebijakan daerah yang bersifat pengaturan maupun penetapan merupakan dasar penyelenggaraan otonomi daerah. Secara khusus, kebijakan daerah yang bersifat penetapan berfungsi sebagai pengaturan administratif dalam menjalankan kewenangan kelembagaan pemerintahan di daerah.

Mengenai kebijakan daerah itu, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 kita temukan pengaturan tentang peraturan daerah provinsi dan kabupaten/Kota, yaitu produk perundang-undangan yang dihasilkan bersama kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan daerah diatur baik berupa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah, sebagaimana juga sebelumnya telah diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

1.3. Memahami Prinsip Non Diskriminasi, Kesetaraan Substantif dan Tanggungjawab Negara

3 Lihat Panduan Pemantauan Kebijakan Daerah dengan Perspektif HAM dan Keadilan Gender, berangkat dari pengalaman Aceh, Komnas Perempuan: Jakarta, 2007. Hal. 7-8

Page 10: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

10

1.3.1. Prinsip Non Diskriminasi Prinsip non diskriminasi di dalam tata kelola Negara dan bangsa Indonesia merupakan salah satu prinsip utama. Hal ini antara lain dapat dibaca pada bagian mukadimah atau pembukaan UUD 1945, yang menyebutkan kehadiran Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…..”. Prinsip non diskriminasi ini juga dapat ditemukan dalam batang tubuh, terutama pada:

1. Pasal 27 menyebutkan bahwa “Segala warga Negara berkesamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…”,

2. Pasal 28I(2) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”,

3. Pasal 28H(2) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Sementara itu, pengertian tentang diskriminasi dapat ditemukan pada, antara lain: - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 yaitu :

“Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

- Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pada Pasal 1 konvensi ini disebutkan bahwa yang dimaknai sebagai diskriminasi adalah: “Setiap pembedaan, pengabaian, atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan, mempengaruhi atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.”

- Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras

dan Etnik menyebutkan bahwa: “Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Berdasarkan pada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka secara singkat, konsep diskriminasi dapat dibagi menjadi empat unsur, yaitu ideologi yang mendasari, aksi, itikad, dan akibat dari sikap/tindakan yang membeda-bedakan itu, sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1 berikut ini.

Page 11: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

11

Diagram 1 Mengenali Konsep Diskriminasi4

a. b.

Ideologi Diskriminasi terjadi ketika seseorang dibeda-bedakan dalam kesempatannya untuk menikmati hak asasinya dengan alasan-alasan yang dibentuk sedemikian rupa dan membangun kondisi seolah pembedaan tersebut diperbolehkan atau dianggap wajar karena identitas yang dimiliki orang tersebut. Alasan yang dimaksud antara lain: ras, etnis, agama, afiliasi politik, kasta, status perkawinan, usia, dan juga gender. Gender adalah sebuah konstruksi sosial yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konstruksi ini, pembedaan peran dan kapasitas perempuan berdampak pada akses atas kesempatan yang sama untuk dapat menikmati hak-haknya yang utuh sebagai manusia, atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Alasan pembedaan ini dapat berdiri sendiri, namun kerap kali justru berkait kelindan menyebabkan seseorang memiliki kerentanan yang berlipat ganda karena identitas seseorang juga tidak pernah tunggal.

Aksi Diskriminasi terjadi ketika sebuah tindakan yang membeda-bedakan itu menyebabkan seseorang tidak dapat menikmati hak-hak asasinya secara utuh. Biasanya dikenal ada tiga model aksi, yaitu:

- Pembedaan (distinction), misalnya perempuan baru dapat berjalan-jalan sebebas laki-laki ketika ia menggunakan busana tertentu;

- Pembatasan (restriction), misalnya perempuan hanya diperbolehkan berjalan sendirian di waktu-waktu tertentu;

- Pengabaian (exclusion), misalnya perempuan tidak boleh berjalan ke luar rumah kecuali bila dikawal oleh laki-laki yang berhubungan darah atau perkawinan dengannya.

4 Konsep kerja tentang diskriminasi ini disadur dari PLD, CEDAW: Restoring Rights to Women, New Delhi. 2004. hal. 27-30

Unsur Diskriminasi Penjelasan

Hambatan yang dimaksud adalah dalam hal pengakuan (Recognition), penikmatan (Enjoyment; akses) dan/atau penggunaan hak (exercise): kemampuan untuk memilih dan merealisasi hak, dan untuk memperoleh perlindungan dan penegakan hak yang efektif. Dengan ataupun tanpa niat atau tujuan aksi

Tindakan yang secara langsung ataupun tidak langsung melakukan pembedaan (distinction), pembatasan (restriction) ataupun pengabaian (exclusion).

Alasan, seperti gender, ras, suku bangsa, agama, afiliasi politik, dan lain-lain.

Page 12: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

12

Itikad Sesungguhnya, ada tidaknya niat tidak penting untuk menentukan terjadi tidaknya diskriminasi. Artinya, diskriminasi bisa saja terjadi meskipun tidak ada niat sejak awal untuk membeda-bedakan hak seseorang. Namun, sebuah tindakan disebut diskriminasi ketika tindakan dan hasil dari tindakan tersebut menghalangi seseorang dapat menikmati haknya secara utuh. Akibat Untuk dapat memastikan apakah sebuah tindakan, dengan ataupun tanpa niat, membeda-bedakan seseorang adalah diskriminasi maka perlu diperiksa dulu akibat yang ditimbulkan dari tindakan itu. Diskriminasi terjadi ketika tindakan tersebut menyebabkan seseorang terhalangi, terhambat ataupun tidak dapat menikmati sama sekali hak-hak asasinya. Termasuk di dalamnya adalah hak atas pengakuan, hak untuk menikmati dan menggunakan hak asasinya itu dan memperoleh perlindungan dan pemulihan hak bila terjadi pelanggaran.

Bentuk-Bentuk Diskriminasi5 Dalam mengenali diskriminasi, kita mengenali adanya beberapa bentuk diskriminasi, antara lain:

1. Diskriminasi langsung dan tak langsung Diskriminasi langsung adalah tindakan yang sengaja dilakukan sehingga menyebabkan

seseorang mengalami pembedaan, pembatasan maupun pengabaian hak-haknya sebagai manusia. Diskriminasi tidak langsung adalah tindakan yang tidak sengaja dilakukan tetapi menyebabkan seseorang kehilangan kesempatan untuk menikmati hak asasinya secara utuh, atau bahkan tidak ada sama sekali. Termasuk diskriminasi tidak langsung adalah kebijakan yang mengabaikan pembedaan yang ada di dalam masyarakat terhadap golongan tertentu yang menyebabkan seseorang tidak dapat menikmati hak-haknya. Sebagai contoh, kebijakan yang mensyaratkan izin dari pasangan sebelum dapat berpergian ke luar negeri. Meskipun tidak bermaksud membedakan antara laki-laki dan perempuan, syarat serupa ini lebih membebani perempuan. Dalam banyak masyarakat, izin dari pasangan lebih dituntut kepada perempuan. Akibatnya, perempuan akan lebih sulit

5 Sebagian besar bahan diperoleh dari Hand-out 1: Understanding Discrimination-Article 1 of CEDAW Convention. IWRAW, Our Rights are not Optional! Advocating for the Implementation of CEDAW through its Optional Protocol. A Resource Guide. 1999. Materi lengkapnya dapat di akses di http://www.iwraw-ap.org/protocol/practica.html

Sebab hak asasi bersifat melekat pada setiap diri manusia, maka adalah penting untuk memahami bahwa dalam mengenali diskriminasi, ada

tidaknya itikad untuk mendiskriminasi menjadi tidak relevan ketika sebuah tindakan pembedaan menyebabkan ketimpangan dalam penikmatan hak-

hak asasi dan kemerdekaan yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia tanpa kecuali. Dalam praktiknya, kerap diskriminasi terjadi dengan alasan hendak melindungi, bahkan terhadap pihak yang dirugikan. Misalnya, aturan yang

melarang perempuan untuk beraktivitas di luar rumah tanpa pendamping laki-laki. Aturan ini dibuat dengan alasan melindungi perempuan dari kejahatan

seksual. Namun, aturan ini mendiskriminasi perempuan karena menyebabkannya tidak dapat menikmati hak asasi atas kemerdekaan

bergerak atas dasar kesetaraan dengan laki-laki.

Page 13: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

13

berpergian ke luar negeri dibandingkan laki-laki meskipun mereka memiliki hak yang sama atas mobilitas (bepergian).

2. Diskriminasi de facto dan de jure Diskriminasi hadir dari sebuah tindakan (de facto) dan juga dari produk perundang-

undangan atau kebijakan (de jure). Karenanya, kajian tentang diskriminasi perlu melihat baik pada produk hukum, kebijakan, prosedur maupun praktik sehari-hari. Bisa jadi, sebuah produk hukum atau kebijakan telah mencabut atau mengatur larangan tentang diskriminasi, namun dalam kenyataannya praktik diskriminasi tersebut masih berlangsung. Lahirnya peraturan yang melarang diskriminasi berbasis ras/etnis, misalnya, tidak serta-merta menghilangkan praktik rasisme di dalam masyarakat, dan bahkan tidak juga di kalangan aparat penegak hukum.

3. Diskriminasi struktural Diskriminasi tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Ada pula yang telah berlangsung

lama, dengan berbagai variasi bentuk dan akibatnya. Inilah yang biasanya disebut sebagai diskriminasi struktural. Dalam situasi ini maka dibutuhkan langkah-langkah koreksi untuk mempercepat kemajuan pemenuhan hak bagi pihak yang selama ini dirugikan, termasuk dengan melakukan langkah-langkah khusus sementara.

4. Diskriminasi berlapis Seringkali seseorang mengalami diskriminasi karena lebih dari satu alasan. Contohnya,

seorang perempuan adat mengalami diskriminasi karena ia bagian dari masyarakat adat yang terpinggirkan tetapi juga karena ia perempuan. Kesempatan perempuan itu untuk mengakses haknya mungkin semakin kecil karena usianya yang muda dan karena status perkawinannya.

5. Diskriminasi yang bertautan Diskriminasi yang dialami di satu bidang bisa saja menyebabkan diskriminasi di bidang

lainnya. Diskriminasi dalam hal pendidikan dapat berakibat pada diskriminasi dalam akses untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah secara tegas melarang materi kebijakan daerah memuat diskriminasi atas dasar apapun. Disebutkan dalam Pasal 250, diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender adalah bertentangan dengan kepentingan umum. Karena itu, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 251, kebijakan daerah yang bermuatan diskriminasi wajib dibatalkan.

Page 14: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

14

Aplikasi Konsep Diskriminasi dalam Mengkaji Kebijakan Konsep diskriminasi digunakan untuk mengkaji kebijakan dalam tiga tahapan, yaitu proses perumusan kebijakan, muatan atau isi kebijakan dan dampak pelaksanaan atau implementasi kebijakan.

1.3.2. Kesetaraan substantif Pemahaman tentang prinsip non diskriminasi perlu dikuatkan dengan pemahaman kesetaraan substantif. Kerap difahami prinsip non diskriminasi sebagai perlakuan yang sama tanpa mempertimbangkan perbedaan biologis maupun ketidaksamaan yang lahir dari sistem yang tidak menguntungkan (disparities dan disadvantage) pihak tertentu. Akibatnya, perlakuan yang sama tersebut justru dapat menyebabkan ketidakadilan, dan karenanya, menjadi sebuah tindak diskriminasi, yang sering dikenali sebagai diskriminasi tidak langsung. Sebagai contoh, sebuah kebijakan yang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan tidak serta merta berarti memberikan manfaat yang sama bagi laki-laki dan perempuan, dan bahkan sebaliknya dapat merugikan satu pihak. Misalnya, aturan tentang wajib sekolah bagi anak. Aturan ini berlaku baik bagi anak perempuan juga anak laki-laki. Meski memiliki akses yang setara, tidak berarti anak perempuan dapat berpartisipasi dengan setara. Di lokasi terpencil di mana infrastruktur pendidikan tidak tersedia, orang tua harus menitipkan anaknya ke tempat lain untuk bersekolah, di luar pulau misalnya. Atas alasan kekuatiran pada keamanan anak, maka

Tahapan Prinsip Non Diskriminasi Bidang yang diteliti

Perumusan Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan

Latar belakang penyusunan Prosedur dan proses penggalian pendapat masyarakat

Muatan Pengakuan atas hak yang sama Kesempatan yang sama Manfaat yang sama Perlakuan khusus, bila dibutuhkan

Maksud dan tujuan kebijakan Definisi dan cakupan aturan Keseluruhan muatan Perhatian pada pembedaan dalam masyarakat yang menyebabkan satu kelompok masyarakat akan lebih menjadi target pelaksanaan aturan, atau tidak dapat menggunakan kesempatan dan tidak memperoleh manfaat yang sama dari aturan tersebut dibandingkan dengan kelompok lainnya

Dampak Manfaat yang sama Implikasi pada penikmatan hak asasi

Proses dan prosedur pelaksanaan kebijakan Manfaat dan/atau kerugian yang dirasakan oleh setiap anggota masyarakat Proses dan prosedur pengawasan pelaksanaan kebijakan, termasuk mekanisme keluhan masyarakat

Page 15: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

15

orang tua lebih enggan menyekolahkan anak perempuannya daripada anak laki-laki. Belum lagi kebiasaan setempat yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Sekolah dianggap kurang diperlukan oleh perempuan yang pada akhirnya juga harus berada di dalam rumah. Sekolah bagi perempuan lebih dimaknai untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai pendamping dalam perannya menjadi istri dan ibu daripada untuk pengembangan diri dan kepemimpinan sebagaimana dimaknai bagi anak laki-laki. Akibatnya, anak perempuan yang menginternalisasi nilai/kebiasaan ini juga tidak mendapat mengambil manfaat yang sama dari partisipasinya di dunia pendidikan. Contoh lainnya adalah aturan di sebuah perusahaan mengenai pengurangan jumlah pegawai, baik terhadap laki-laki maupun perempuan yang bekerja kurang dari 5 tahun. Sekilas, tidak ada diskriminasi berbasis gender dalam aturan ini. Namun, perusahaan ini baru mulai menerima pegawai perempuan empat tahun terakhir. Karenanya, pekerja perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dari aturan tersebut. Sementara itu, di beberapa daerah ditemukan aturan yang melarang setiap orang untuk berada di tempat tertentu pada waktu tertentu yang menimbulkan dugaan bahwa ia adalah pekerja seks. Aturan serupa ini buruk karena multitafsir, dan juga memberikan kerugian lebih kepada perempuan karena persepsi masyarakat tentang pekerja seks lebih merekat kepada perempuan daripada laki-laki. Singkatnya, upaya menghapus diskriminasi perlu dilakukan dengan menyadari adanya perbedaan hakiki dan juga mengupayakan pengentasan terhadap akar masalah yang menyebabkan ketimpangan sosial yang merugikan pihak tertentu itu. Karena itu, prinsip non-diskriminasi perlu dilaksanakan dengan memastikan hadirnya kesetaraan substantif, yang hadir dalam tiga level, yaitu:

- Kesetaraan atas akses - Kesetaraan untuk berpartisipasi - Kesetaraan dalam manfaat

Sebagai contoh sebuah perusahaan memberlakukan aturan promosi yang sama bagi laki-laki dan perempuan berbasis kapasitas dan kinerja, termasuk jumlah waktu bekerja. Bagi perempuan yang mengambil cuti haid, hamil dan melahirkan, aturan yang sama ini memiliki dampak pada akses yang berbeda atas kesempatan yang ada karena jumlah waktu bekerja mereka berbeda dibandingkan laki-laki. Cuti haid, hamil dan melahirkan perlu, dan hanya, diberikan kepada perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya (ini berbeda dengan cuti pengasuhan anak yang juga dapat diakses oleh pegawai laki-laki dan telah diadopsi oleh beberapa Negara). Jika tidak diberikan, malah akan mendiskriminasi perempuan. Menyikapi situasi ini, perusahaan perlu membuat kebijakan perlakuan khusus bagi pegawai perempuan yang menggunakan hak cuti tersebut agar tidak kehilangan haknya atas partisipasi yang setara dengan pegawai laki-laki, dan memperoleh manfaat yang setara dari kesempatan promosi yang ada.

Konstitusi Indonesia menjamin hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kemudahan dan perlakuan khusus ini adalah bagian dari langkah korektif atau untuk memperbaiki keadaan, atau juga dikenal dengan sebutan

“langkah/aksi afirmasi”. Langkah afirmasi ini ada yang bersifat permanen dan ada pula yang bersifat sementara. Pembedaan yang dilakukan sebagai bagian dari

langkah korektif ini tidak termasuk diskriminasi, karena ditujukan untuk mempercepat pencapaian kesetaraan yang substantif.

Page 16: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

16

Contoh lain dari kebijakan perlakuan khusus adalah model kuota dalam pemilihan anggota perwakilan rakyat atau dalam komposisi kelembagaan penentu kebijakan. Tanpa kuota, dikuatirkan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan dalam struktur dan sistem yang ada tidak memiliki kesempatan yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan bersama. Kuota bagi perempuan, misalnya, didasarkan pada pemahaman bahwa di banyak masyarakat, perempuan masih dianggap tidak memiliki kapasitas menjadi pemimpin. Bahkan, ada masyarakat yang menganggap perempuan tidak pantas menjadi pemimpin karena larangan agama dan atau tradisi. Meski hukum mengatur kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam pemerintahan, tanpa sistem kuota, hambatan budaya ini tidak memungkinkan perempuan bersaing secara setara dengan laki-laki untuk menduduki posisi kepemimpinan itu. 1.3.3. Tanggungjawab Negara Sebagaimana disebutkan di atas, dalam konstitusi disebutkan bahwa tanggung jawab penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia ada pada Negara, terutama pemerintah. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada lima konsep penting dalam memahami konsep tanggung jawab Negara dalam memastikan penikmatan hak untuk bebas dari diskriminasi, yaitu:6

1. Kewajiban menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata, dimana Negara

memiliki kewajiban untuk menciptakan perangkat, dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, untuk mewujudkan kesetaraan substantif. Negara secara terus-menerus dituntut untuk menyatakan sikapnya dengan tegas dalam menentang segala bentuk diskriminasi. Negara juga dituntut mengenali bahwa identitas seseorang yang sifatnya jamak (intersectionality) menyebabkannya menjadi lebih rentan terhadap diskriminasi: bisa itu jenis kelamin, ras, etnis/suku, agama, keyakinan politik, kemampuan ekonomi, dan kedudukan sosial lainnya. Dalam kait kelindan keberagaman identitas, diskriminasi berbasis jenis kelamin pun dapat memiliki dampak yang berbeda bagi perempuan dari kelompok sosial yang berbeda, misalnya antara perempuan etnis Jawa dan etnis Papua, yang tinggal di perkotaan dan desa, di pegunungan dan pesisir, dan atau antara yang beragama yang diakui oleh Negara dan yang memeluk agama leluhur. Karenanya, Negara perlu memperbaiki data terpilah dan analisa yang lebih mumpuni tentang berbagai bentuk diskriminasi dan kerentanan perempuan secara umum maupun di dalam kelompok sosial tertentu. Negara pun dituntut untuk memastikan perangkat yang disiapkan, dalam bentuk kebijakan, program maupun kerangka kelembagaan, juga menyasar berbagai aspek kehidupan agar mampu mengatasi berbagai faktor penyebab ketimpangan sosial yang menjadi akar dari diskriminasi tersebut. Termasuk perangkat yang disiapkan adalah sistem pemantauan yang independen yang memungkinkan adaya perbaikan dan penambahan dari perangkat yang diciptakan itu agar menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya secara nyata.

2. Tanggungjawab atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan, hak untuk bebas dari diskriminasi dan menikmati dengan utuh kesetaraan yang substantif. Tanggung jawab atas penghormatan mensyaratkan Negara untuk menahan diri dari menyusun hukum, kebijakan, aturan, program, prosedur administrasi dan struktur institusi yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkal hak kelompok tertentu, khususnya perempuan, untuk dapat dengan setara menikmati hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan

6 General recommendation Nomor 28 on the core obligations of states parties under article 2 of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women

Page 17: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

17

budaya. Tanggung jawab atas perlindungan mensyaratkan Negara untuk melindungi perempuan dari segala tindak diskriminasi yang dilakukan baik oleh aktor Negara maupun non-Negara dan mengambil langkah-langkah yang secara langsung menghapuskan kebiasaan dan segala praktik yang mengedepankan prasangka maupun meneguhkan ketimpangan sosial, khususnya yang berbasis jenis kelamin dan stereotipe peran bagi laki-laki dan perempuan. Tanggungjawab atas pemenuhan mensyaratkan Negara untuk mengambil berbagai langkah yang diperlukan agar tiap warga, termasuk antara perempuan dan laki-laki, untuk dapat menikmati haknya secara setara baik secara de jure maupun de facto. Termasuk di dalam langkah ini adalah kemudahan atau perlakuan khusus, jika dibutuhkan. Negara perlu memastikan pemenuhan tanggungjawabnya ini melalui penyusunan kebijakan publik, program dan kerangka kelembagaan yang ditujukan untuk menyikapi kebutuhan spesifik kelompok masyarakat yang terpinggirkan yang memungkinkan mereka mengembangkan potensinya setara dengan kelompok lainnya, termasuk antara perempuan dan laki-laki. Singkatnya, tanggung jawab ini meliputi tanggung jawab dalam hal memastikan cara atau tindakan, serta tanggung jawab terhadap hasil dari cara atau tindakan itu dalam menghapus segala bentuk diskriminasi.

3. Tindakan Khusus Sementara,7 tindakan khusus sementara adalah sarana atau cara yang

dapat dan harus digunakan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat dalam hal pengakuan, penikmatan dan penerapan hak asasi manusia. Tindakan khusus sementara didasarkan pada pemahaman bahwa kesetaraan dan non-diskriminasi tidak berarti perlakuan yang sama. Istilah “sementara” diperkenalkan karena langkah khusus tersebut perlu dibedakan dengan kebijakan lainnya secara terus-menerus diperlukan untuk memenuhi hak asasi kelompok tertentu, misalnya cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan. Disebut “sementara” karena bila situasi yang diharapkan telah dicapai maka langkah khusus tersebut perlu dihentikan. Menghentikan sistem kuota bagi perempuan ketika hambatan dipilih sebagai pemimpin telah berhasil diatasi adalah contohnya. Istilah “khusus” juga perlu dicermati sebab dapat menjebak kita untuk menempatkan kelompok yang dimaksud, dalam hal ini perempuan, dipersepsikan sebagai kelompok yang lemah, korban semata-mata. Situasi ini tidak akan memberdayakan perempuan. Istilah “khusus” sesungguhnya merujuk pada tujuan tertentu yang diharapkan melalui tindakan tersebut. Istilah “tindakan” merujuk pada spektrum yang luas dari berbagai langkah kebijakan, instumen, dan praktik di tingkat legislatif, eksekutif, yudikatif, dan administrasi, termasuk program-program outreach, alokasi atau realokasi sumber daya, kemudahan, rekrutmen dengan target tertentu, penerimaan dan promosi kepegawaian, tujuan-tujuan yang terukur dalam kurun waktu tertentu, dan sistem kuota. Pilihan pada “tindakan” mana yang paling tepat adalah sesuai dengan konteks persoalan yang dihadapi, baik itu terhadap akar masalah maupun dampak yang ditimbulkan dari diskriminasi itu.

4. Uji tuntas (due diligence).8 Elemen uji tuntas merupakan alat yang sangat penting dalam memastikan akuntabilitas Negara dalam pelaksanaan tanggung jawabnya Negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak. Tanggung jawab ini meliputi semua pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh aparat Negara maupun aktor privat, di ranah publik maupun personal. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa ketidakhadiran Negara dalam menindak diskriminasi yang dilakukan oleh aktor privat (non-

7 General recommendation Nomor 25, on article 4, paragraph 1, of the Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women, on Temporary Special Measures 8 Abdul-Aziz, Zarizana & Moussa, Janine. Due Diligence Framework: State Accountability Framework for

Eliminating Violence against Women, International Human Rights Initiative, Inc. (IHRI). Malaysia. 2014.

Page 18: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

18

Negara) akan meneguhkan ketimpangan sosial yang ada yang menyebabkan diskriminasi tersebut mewujud.

Pada konteks penyusunan kebijakan, elemen uji tuntas mensyaratkan Negara memeriksa dengan sungguh-sungguh materi muatan kebijakan itu menyasar pada akar masalah dan dampak diskriminasi, termasuk dengan mengatur soal kemudahan dan tindakan khusus jika dibutuhkan, serta memastikan bahwa muatan dan pelaksanaan kebijakan tidak bersifat diskriminatif, termasuk dengan mengantisipasi dampak buruk yang mungkin hadir. Dalam hal kebijakan ini diarahkan untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan atau untuk perlindungan bagi perempuan (atau kelompok lainnya), maka uji tuntas perlu meliputi ranah pencegahan, perlindungan, penuntutan, penghukuman dan ketersediaan pemulihan bagi korban kekerasan.

- Pada ranah pencegahan, Negara perlu menunjukkan kemumpunian tindakannya dalam memastikan ketidakberulangan diskriminasi (dan kekerasan), yang menyasar pada mengurangi kerentanan dan akar masalah dari diskriminasi (dan kekerasan) itu. Tindakan yang dimaksud dapat berupa hukum dan kebijakan, maupun program-program seperti pelatihan dan kampanye.

- Ranah perlindungan kerap disebut juga pencegahan sekunder, yaitu mencegah terjadinya diskriminasi (dan kekerasan) lebih lanjut dengan memastikan korban memperoleh layanan dukungan yang ia butuhkan dan tepat waktu. Termasuk di dalam tindakan di ranah perlindungan adalah menyediakan layanan pengaduan, rumah aman, fasilitas konseling dan perintah perlindungan, serta pelatihan-pelatihan bagi para awak pemberi layanan.

- Penuntutan merujuk pada tugas untuk memastikan penegakan hukum terhadap pelaku diskriminasi (dan kekerasan). Pada ranah ini, Negara dituntut untuk dapat menunjukkan adanya upaya sungguh-sungguh penegakan hukum yang memutus impunitas secara efektif, segera, imparsial, menyeluruh dan dengan mastikan proses yang tidak mengulang atau menimbulkan trauma baru bagi korban.

- Penghukuman memfokuskan pada upaya memastikan para pelaku tindak kejahatan (diskriminasi dan kekerasan) bertanggung jawab atas tindakannya. Negara perlu dapat menunjukkan bahwa penghukuman yang dilakukan dilandasi semangat untuk tidak menolerir segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.

- Dalam aspek pemulihan bagi korban, Negara memastikan adanya upaya untuk mengurangi dampak yang diderita korban akibat tindak diskriminasi (dan kekerasan) yang terjadi, baik dalam bentuk ganti rugi, kompensasi, restitusi, rehabilitasi maupun lainnya, yang terwujud dalam bentuk uang maupun barang dan bahkan simbol yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban dalam jangka panjang.

5. Harmonisasi Hukum Nasional yaitu pengujian dan perubahan hukum dan kebijakan di

seluruh tingkatan tata kelola Negara, yaitu dari desa hingga pusat, agar sesuai atau konsisten dengan jaminan hak manusia sebagai hak warga Negara. Dalam tanggung jawab ini, Negara perlu memastikan pembatalan semua hukum, kebijakan, program atau sikap yang menyebabkan atau memicu tindak diskriminasi (dan kekerasan). Negara perlu memastikan bahwa upaya pengujian dan perubahan hukum dan kebijakan dilakukan secara efektif dan tidak ditunda-tunda, termasuk dengan beralasan tentang situasi politik, sosial dan budaya masyarakat, ekonomi, hukum, dll. Sebaliknya, Negara memiliki kewajiban untuk melakukan perubahan-perubahan di sektor tersebut, termasuk dengan meggunakan hukum sebagai alat perubahan masyarakat (transformasi sosial) yang memungkinkan penghapusan segala bentuk diskriminasi atas dasar apapun. Dalam konteks Indonesia, harmonisasi hukum nasional bukan saja mungkin tetapi juga sebuah

Page 19: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

19

kewajiban untuk memastikan pelaksanaan mandat konstitusi, antara lain sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 23 Tahun 2014.

1.4. Pengguna dan Cara Menggunakan Pedoman ini terutama ditujukan kepada para pembuat kebijakan dan setiap pihak yang terlibat dalam penyusunan kebijakan daerah. Meskipun pedoman ini memfokuskan pada kebijakan daerah, secara umum alat uji ini juga dapat digunakan untuk memeriksa produk perundangan-undangan yang lebih tinggi dari kebijakan daerah yang dibentuk di bawah konstitusi. Sebab menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pedoman ini idealnya digunakan untuk memeriksa secara teliti produk hukum/kebijakan yang disusun sebelum ditetapkan. Untuk dapat memahami secara utuh, pedoman pengujian ini sebaiknya dilatihkan sebelum digunakan. Pelatihannya sebaiknya dilakukan secara integratif dalam pelatihan susun rancang (suncang) kebijakan. Namun, ia dapat juga dilatihkan sebagai tindak lanjut dari pelatihan suncang (susun rancang) itu. Pelatihan tentang pedoman ini sebaiknya dikombinasi dengan pelatihan tentang Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, yang juga telah dikembangkan oleh Komnas Perempuan dan sejumlah lembaga lainnya yang juga memiliki keprihatinan serupa. Hal ini karena pedoman pengujian ini mendorong pendalaman peserta didik dalam memahami makna hak-hak konstitusional, prinsip non diskriminasi dan tanggungjawab Negara yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari aturan tentang materi muatan sebagaimana dijabarkan terutama dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 23 Tahun 2014. Pedoman pengujian ini juga dapat digunakan sebagai alat belajar-mengajar di lingkungan akademik yang memberikan perhatian pada persoalan kebijakan publik, tata Negara, hukum, demokrasi, politik, keadilan gender, dsb. Hal ini karena lembar pengujian yang dikembangkan dalam pedoman mensyaratkan kajian kritis terhadap materi muatan dari kebijakan yang ditilik.

Page 20: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

20

1. Prinsip Keadilan

2. Prinsip Pengayoman

dan Kemanusiaan

3. Prinsip NKRI

1. Kesesuaian jenis, hirarki, dan

materi muatan

2. Kesesuaian kewenangan

3. Relevansi Acuan Yuridis

4. Kemutahiran Acuan Yuridis

5. Kelengkapan Dokumen

1. Kesesuaian Isi dengan Tujuan

2. Kejelasan Subyekk dan Obyek Pengaturan

3. Kejelasan Prosedur dan Birokrasi

4. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

II. Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional Bertumpu pada landasan dan kerangka pikir sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya, maka pedoman pengujian ini menggunakan tiga kriteria untuk memeriksa konstitusionalitas sebuah kebijakan, yaitu (1) Kriteria prinsip, (2) Kriteria yuridis, dan (3) Kriteria substantif. Masing-masing kriteria memiliki indikator turunan, yang dirangkumkan dalam diagram 2 berikut ini:

Diagram 2

Tiga Kriteria Pengujian Kebijakan Konstitusional

Dengan maksud mempermudah pemahaman para penyusun dan pemerhati kebijakan daerah, ketiga kriteria dengan 11 indikatornya merupakan pengolahan dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas materi muatan yang dipergunakan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Pasal 5 dari UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan ada 10 asas yang harus tercermin dalam muatan peraturan perundang-undangan yaitu:

- pengayoman, - kemanusiaan,

Kriteria

YURIDIS

Kriteria

SUBSTANTIF

Kriteria

PRINSIP

Page 21: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

21

- kebangsaan, - kekeluargaan, - kenusantaraan, - Bhinneka Tunggal Ika, - keadilan, - kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, - ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau, - keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Ketujuh asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan kesepuluh asas materi muatan ini berlaku dalam penyusunan kebijakan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 237 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini berbunyi:

“Asas pembentukan dan materi muatan [peraturan daerah] berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pada Pasal 246 UU Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa asas pembentukan dan materi muatan peraturan daerah (perda) serta pembentukan perda itu berlaku mutatis mutandis terhadap asas pembentukan, materi muatan dan pembentukan peraturan kepala daerah (perkada). Pengaturan ini lebih singkat, namun juga jelas, jika dibandingkan dengan pengaturan pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam konteks otonomi khusus, kesepuluh asas pembentukan peraturan UU dan asas materi muatan yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 juga dimandatkan sebagai rujukan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara khusus asas materi muatan disebutkan dalam Pasal 237 Ayat 1 dari UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam hal pembentukan qanun. Ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa selain asas sebagaimana yang disebut pada Ayat (1), qanun dapat memuat asas lain sesuai dengan materi muatan qanun yang bersangkutan. Dalam hal ini, Komnas Perempuan berpendapat asas lain yang dimaksudkan dalam Ayat (2) adalah bersifat tambahan (komplementer) dan karenanya tidak dapat bertentangan dengan asas yang telah disebutkan dalam Ayat (1). Lebih lanjut penjelasan tentang ketiga kriteria dan 11 indikatornya adalah sebagai berikut:

1. Kriteria Prinsip

Kriteria prinsip adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, serta sebagai landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum-hukum. Kriteria prinsip mengandung tuntutan etis, dan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Komnas Perempuan menurunkannya menjadi 3 indikator dari Kriteria PRINSIP, yaitu :

1. Prinsip keadilan. 2. Prinsip pengayoman dan kemanusiaan 3. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

1.1. Prinsip Keadilan

Page 22: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

22

Pasal 6 Ayat (1.g) UU Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara. Prinsip keadilan dimaksudkan untuk diaplikasi dalam penikmatan hak asasi manusia, setidaknya sebagaimana dijamin di dalam Konstitusi, terutama pada Pasal 28A-J, Pasal 27 (1-3), 28, Pasal 29 (2), dan Pasal 31 (1). Untuk memastikan pelaksanaan prinsip keadilan, maka kita perlu kembali merefleksikan terhadap pelaksanaan asas non-diskriminasi, kesetaraan substantif dan kewajiban Negara. Untuk pengujian kebijakan konstitusional, prinsip Keadilan mencakup enam sub indikator, yaitu (a) jaminan kesamaan dan kedudukan di hadapan hukum, (b) kepastian hukum, (c) praduga tidak bersalah, (d) jaminan pada peradilan yang adil, (e) memuat hak atas kemudahan dan perlakuan khusus, dan (f) kesesuaian dengan asas lainnya di bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pemaknaan dari prinsip keadilan ini diatur dalam undang-undang antara lain:

1.1.1. Jaminan kesamaan dan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan; artinya rumusan tidak memuat aturan yang bersifat membedakan penikmatan hak asasi manusia berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Jaminan kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintah merupakan turunan dari prinsip non diskriminasi. Jaminan ini dapat ditemukan pada:

Pasal Pasal 27 (1), 28D (1 dan 3), 28I (2) UUD 1945

Pasal 2, 7, 8, 9, 15 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 1, 3(2-3), 4, 5 (1-2), 6 (1-2), 45, 52 (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 2, 3, 14, 16, 25, 26 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Pasal 6 Ayat 1 butir h UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 227 (a) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Pasal 47 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

1.1.2. Kepastian Hukum. Rumusan hukum dan kebijakan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak multi tafsir maupun kontradiktif dengan hukum lainnya sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan pada makna dan aturan yang ada. Jaminan kepastian hukum ini dapat ditemukan pada:

Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 2 (b-c,g) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Pasal 3(2-3), 4, 5 (1-2), 18(1-5), 19 (1-2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 6 Ayat 1 Butir i Undang-Undang Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 20 (b), Pasal 237 (1.i) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1.1.3. Asas Praduga Tidak Bersalah. Dalam hal seseorang dituduh melakukan tindak kejahatan maka ia perlu diperlakukan seperti orang yang tidak bersalah sampai ia dinyatakan bersalah oleh sebuah proses peradilan yang dapat

Page 23: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

23

dipertanggungjawabkan. Asas dalam hukum pidana ini penting dipahami dalam penyusunan kebijakan daerah yang memuat pengaturan pidana [ringan] sehingga dalam proses pelaksanaannya tidak melanggar hak warga Negara.

Pasal 28D (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 5.1, 18 (1-5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 14 (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Pasal 2 (d) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Pasal 6.2, 8.1 UU Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pasal 227 (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1.1.4. Jaminan Peradilan yang Adil (Fair Trial), yaitu kondisi dimana setiap orang dapat merasa yakin bahwa akan ada peradilan yang diselenggarakan dengan adil dan dengan kepastian. Jaminan ini dapat ditemukan pada:

Pasal 28D (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 14(1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005

Pasal 2(d) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 2, 3, 6, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 7, 5 (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 227 (1e) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Pasal 50 dan 51 UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada Pasal 51 diatur kewenangan pengadilan adat.

1.1.5. Memuat Hak atas Kemudahan dan Perlakuan Khusus. Guna mencapai persamaan dan keadilan, maka Negara memiliki kewajiban untuk menyusun kebijakan, program atau langkah lainnya yang dirasakan perlu untuk mengentaskan akar persoalan dari pembedaan yang ada.

Pasal 28H (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 3 dan 4 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 10 (1), 14 (1) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005

Pasal 1 (4), 2 (2) Konvensi Anti Diskriminasi Rasial yang disahkan lewat UU Nomor 29 Tahun 1999

Pasal 5 (3), 41(2), 42, 49, 54, 66 (1-7) Undang-undang Nomor39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 148, 217 (3-4), 231 UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh

Pasal 5(2), 12, 19(1), 28(3), 43, 44, 47, 61, 62 (2-3) UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

1.1.6. Kesesuaian dengan asas lain di bidang hukum/peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

Page 24: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

24

Pasal 6 (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

1.2. Prinsip Pengayoman dan Kemanusiaan Prinsip pengayoman dalam penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Prinsip pengayoman meliputi unsur adanya rasa aman dalam masyarakat, dan adanya perlindungan hak semua lapisan masyarakat. Prinsip kemanusiaan dalam penjelasan UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia. Oleh karena itu prinsip kemanusiaan meliputi unsur adanya klausul mendorong pemenuhan hak asas manusia, adanya jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Pengayoman dan kemanusiaan adalah sepadan dengan mandat konstitusi tentang tanggung jawab Negara untuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Tanggung jawab Negara tersebut tertuang dalam Pasal 28 I Ayat 4 UUD 1945. Pengabaian, pembatasan, pengucilan dan pembedaan pada pemenuhan HAM dan hak konstitusional

Dalam perjalanan mengentaskan diskriminasi menuju persamaan dan keadilan, UU Otonomi Khusus Papua dapat dirujuk sebagai praktik baik. Hak atas kemudahan dan perlakuan khusus secara lebih terperinci dijabarkan dalam UU ini. Hal ini tidak terlepas semangat UU ini untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan hak asasi manusia penduduk asli Papua. Mengenali struktur, budaya dan kebiasaan setempat, UU ini juga merupakan lompatan dalam memastikan jaminan prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan, sebagaimana terlihat dalam langkah afirmasi pada Pasal 47 yang juga diejawantahkan dalam komposisi perwakilan dalam Majelis Rakyat Papua. Pasal 47 berbunyi:

Untuk menegakkan hak asasi manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Perhatian khusus ini juga dapat kita temui pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tepatnya pada Pasal 231 Ayat 1, yaitu:

Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.

Page 25: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

25

karenanya merupakan pelanggaran yang dilakukan Negara terhadap mandat yang diberikan oleh konstitusi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks otonomi khusus, tanggung jawab ini ditegaskan kembali pada Pasal 45 UU 21 Tahun UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam pengujian kebijakan konstitusional ada dua sub-indikator yang digunakan, yaitu kepastian jaminan (a) perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia, dan (b) prinsip uji tuntas pada pelaksanaan tanggungjawab Negara untuk pemenuhan HAM.

1.2.1. Perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia: a. Jaminan atas hak atas rasa aman

Pasal 28G (1) UUD 1945

Pasal 2, 5, 15,16 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 1.1, 1.4, 9(2), 29 (1), 30 (1), 35 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 2,3,9(1),16 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005

Pasal Pasal 227 (2) dan 231 (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

b. Jaminan atas hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Pasal 28G (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 2 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 1.1, 1.4, 9(2), 29 (1), 30 (1), 35 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 2,3,9(1),16 dan Pasal 6(1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005

c. Jaminan atas hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi

Pasal 28 G(1), 28H (2), dan 28I(2) UUD 1945

Pasal 2 s.d. 16 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pasal 2,3, 24 dan 26 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005

Pasal 1 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial yang disahkan lewat UU Nomor 29 Tahun 1999

Pasal 250 Ayat 2 butir e UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 20 (k) ,237 (g) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Page 26: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

26

d. Jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan dan bentuk-bentuk penghukuman yang kejam atau tidak manusiawi lainnya

Pasal 28 G (2) dan 28 I (1) UUD 1945

Pasal 2c Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984

Pasal 3,12,15 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 227 Ayat 2 butir b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1.2.2. Prinsip uji tuntas (due dilligence) dalam pelaksanaan tanggung jawab Negara pada

pemenuhan hak asasi manusia. Prinsip ini menuntut tingkat kesungguhan, pertimbangan matang dan ketelitian yang layak dilakukan oleh Negara dalam menyusun hukum, kebijakan, program maupun langkah-langkah lainnya. Kewajiban ini mencakup langkah pencegahan yang memperkirakan akibat, termasuk cidera/kerusakan/dampak buruk (harm) yang mungkin, langkah penghukuman proporsional terhadap pelaku pelanggaran dan juga, upaya pemulihan korban.

Pasal 1,2,3,4 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Prinsip uji tuntas ini merupakan bagian tidak terpisahkan

Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kebijakan diskriminatif mengurangi hak atas rasa aman dan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Kebijakan serupa itu memiliki materi muatannya yang membatasi dan mengingkari hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Pembatasan dan pengingkaran atas hak ini berarti Negara telah melakukan tindakan inkonstitusIonal. Contohnya, peraturan daerah yang mewajibkan busana tertentu berdasarkan interpretasi tunggal agama tertentu. Kerap para penyusun dan pendukung aturan tersebut beralasan bahwa aturan tersebut merupakan kewajiban agama dan hanya dibebankan kepada para pemeluknya. Penting dipahami bahwa konstitusi menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga Negaranya untuk memeluk agama dan keyakinan dan beribadat sesuai dengan agama dan keyakinannya itu. Memaksakan interpretasi tertentu, karenanya bertentangan dengan jaminan hak konstitusional. Apalagi, berbusana adalah bagian dari ekspresi diri, dan pilihan mengekspresikan atau tidak mengekspresikan identitas tertentu adalah bagian dari pilihan sesuai hati nurani yang kemerdekaannya dijamin oleh konstitusi. Contoh lainnya adalah kebijakan yang mengatur prostitusi dengan aturan multitafsir yang justru mengkriminalkan perempuan. Aturan ini disebut-sebut ditujukan untuk melindungi perempuan dari tindak eksploitasi dan perdagangan orang. Namun, kehadiran aturan multitafsir yang justru mengkriminalkan perempuan menunjukkan bahwa Negara tidak melaksanakan prinsip uji tuntas dalam perumusan kebijakan dalam menghadapi persoalan sosial yang kompleks. Persoalan serupa adalah dalam aturan daerah tentang jam malam bagi perempuan, yang menyebabkan perempuan tidak dapat menikmati haknya, atas dasar kesetaraan dengan laki-laki, untuk bebas bergerak/mobilitas.

Page 27: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

27

dari pelaksanaan tanggung jawab Negara untuk secara de jure memenuhi hak asasi manusia.

Prinsip uji tuntas juga perlu diterapkan dalam hal bila ada muatan materi yang mengandung pembatasan hak. Prinsip ini akan memeriksa keterujian alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J Ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 guna memastikan tidak mengakibatkan warga Negara kehilangan hak asasinya.

1.3. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Landasan mengenai NKRI diatur dalam Pasal 1 (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, prinsip NKRI ini disebutkan sebagai asas materi muatan yang harus ada, yaitu asas kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam tata kelola pemerintahan yang terdesentralisasi, UU Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah adalah:

“menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Selain Pasal 1 butir 2 yang disebutkan di atas, lebih lanjut kewajiban memelihara keutuhan NKRI juga dinyatakan pada Pasal 1 Butir 6 dan 12, Pasal 25 Ayat 1.a, 67 (a), 83 (1), 108 (b,c), dan 161 (b,c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Untuk pengujian kebijakan konstitusional, prinsip NKRI kemudian diturunkan dalam 3 sub-indikator, yaitu (a) asas kebangsaan, (b) asas kenusantaraan, dan (c) asas Bhinneka Tunggal Ika.:

1.3.1. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3.2. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1.3.3. Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berNegara.

Ketiga asas di atas merupakan pokok acuan dalam membentuk suatu kehidupan Negara bangsa dalam bentuk susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingkari dan mengabaikan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pengingkaran terhadap konstitusi sebagai landasan tertinggi yang dijadikan dasar bersama. Pelanggaran atas prinsip ini akan membawa arah bangsa menuju jalan disintegrasi dan perpecahan, yang artinya akan menghancurkan Negara kebangsaan yang dicita-citakan secara bersama.

Page 28: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

28

Daerah Istimewa Pada Pasal 18 (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Pengakuan ini pada saat bersamaan tidak menganulir konsep NKRI, sehingga pelaksanaan otonomi khusus atau penyelenggaraan daerah istimewa perlu untuk tetap patuh pada integritas hukum nasional. Penegasan tentang hal ini dapat ditemukan pada:

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa: o Pasal 1 (2), Aceh adalah daerah provinsi yang bersifat istimewa dan diberi

kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

o Pasal 26 Ayat 2 d menyebutkan bahwa Anggota DPRA/DPRK mempunyai kewajiban mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

o Pasal 46 Ayat 1 menyebutkan bahwa gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dalam melaksanakan tugas mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mempertahankan kedaulatan, dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

UU Nomor13 Tahun 2012 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, menyebutkan: o Pasal 1 (1): Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah provinsi yang

mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

o Pasal 1 (2): Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa

o Pasal 1 (7): Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY.

o Pasal 4e: Pengaturan Keistimewaan DIY dilaksanakan berdasarkan asas kebhinneka-tunggal-ika-an

o Pasal 5 (c): Pengaturan keistimewaan DIY bertujuan mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

o Pasal 15 (1a): Gubernur dan Wakil Gubernur berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Pasal 1 (a) UU Nomor 21 Tahun 2001, kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 29: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

29

Pasal 1(2) UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Kriteria Yuridis

Kriteria yuridis adalah unsur dalam pengujian kebijakan konstitusional untuk memastikan kejelasan dan ketepatan acuan hukum yang dijadikan landasan suatu kebijakan. Kepatuhan pada kriteria yuridis adalah penting untuk melaksanakan mandat konstitusi dalam membentuk Indonesia sebagai Negara hukum dan untuk merawat integritas hukum nasional. Ada 5 indikator yang digunakan dalam kriteria yuridis, yaitu (1) asas kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, (2) kewenangan pemerintah daerah, (3) relevansi acuan yuridis, (4) kemutakhiran acuan yuridis dan (5) kelengkapan dokumen. Kelima indikator ini dikembangkan dengan mengacu pada UUD NRI Tahun 1945, UU Nomor 12 Tahun 2011, dan UU Nomor 32 Tahun 2004, antara lain: 2.1. Kesesuaian Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Perundang-Undangan Menyimak perkembangan kebijakan diskriminatif, Komnas Perempuan perlu menegaskan kembali bahwa UUD 1945 adalah dasar tertinggi pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam memeriksa jenis, hirarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, maka perlu mengacu pada :

Pasal 1 (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum.

Pasal 3 (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 7(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur bahwa hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam kebijakan diskriminatif asas NKRI diingkari dengan pengaturan tidak memperhatikan kemajemukan dan keragaman penduduk, agama, suku dalam kehidupan masyarakat. Contohnya:

1. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa konsideran perda bersandarkan adat basandi syarak

2. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa perda tersebut hanya dikhususkan bagi orang Islam Pasal 13(1), dan dalam Pasal 13 (2) disebutkan bahwa orang yang bukan beragama Islam untuk menyesuaikan diri.

3. Peraturan Daerah Provinsi Aceh (Qanun) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dimana memuat aturan yang bukan kejahatan di dalam sistem hukum Indonesia dan pengaturan yang multi tafsir sehingga meninggalkan prinsip kepastian hukum yang menjadi bagian penting dalam menjaga integritas hukum nasional.

Page 30: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

30

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 (1) ini kemudian dikunci dalam Pasal 7(2) bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Penjelasan mengenai hierakhi ini bahwa penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kepatuhan pada hirarki peraturan perundang-undangan adalah tidak terkecuali dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 1 (2), Pasal 26(2), dan Pasal 46(1).

Pembatalan kebijakan daerah Jika kebijakan daerah bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka kebijakan daerah, termasuk qanun batal demi hukum. Hal ini diatur dalam:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa pembatalan Perda dilakukan jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan (Pasal 250 Ayat 1 dan 2).

Pasal 235 (2) UU Nomor11 Tahun 2006, bahwa pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan Kepentingan Umum, antar Qanun, dan Peraturan Perundang-undangan, kecuali diatur lain dalam Undang-undang ini. Komnas Perempuan berpendapat bahwa mandat konstitusi tetap menjadi acuan utama yang tidak dapat dikesampingkan dengan adanya pengaturan lain di dalam UU tersebut.

Pasal 38 (1) UU Nomor13 Tahun 2012 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta: Perdais yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, nilai dan budaya masyarakat DIY atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Menteri.

2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah

Hasil dokumentasi Komnas Perempuan menemukan bahwa ada peraturan daerah yang tidak lagi menjadikan UUD 1945 sebgai dasar hukum tertinggi dalam pengaturannya. Kedua peraturan tersebut adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Aceh Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) di Provinsi NAD, dimana landasan hukumnya menggunakan al-Qur’an dan hadis sebagai dasar tertinggi.

Hasil dokumentasi juga menunjukkan bahwa hampir seluruh peraturan daerah yang diskriminatif hanya mencantumkan Pasal 18 UUD 1945 sebagai acuan. Acuan formalitas ini tidak cukup dalam memastikan pelaksanaan mandat Konstitusi. Sebaliknya, justru menyebabkan aturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Page 31: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

31

UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah urusan pemerintahan konkuren diserahkan ke daerah. Urusan pemerintahan konkuren ini terbagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Lebih lanjut pengaturan urusan pemerintahan konkuren diatur dalam Pasal 11 s.d. 24 UU. Nomor 23 Tahun 2014. Urusan pemerintahan absolut adalah sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yang menurut Pasal 10 Ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 meliputi (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama. Adapun penjelasannya, menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, adalah sebagai berikut:

o Yang dimaksud dengan “urusan politik luar negeri” misalnya mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya.

o Yang dimaksud dengan “urusan pertahanan” misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian wilayah Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga Negara, dan sebagainya.

o Yang dimaksud dengan “urusan keamanan” misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara, dan sebagainya.

o Yang dimaksud dengan “urusan yustisi” misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.

o Yang dimaksud dengan “urusan moneter dan fiskal nasional” adalah kebijakan makro ekonomi, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya.

o Yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya. Daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya.

Penegasan urusan absolut dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, terutama tentang “urusan agama” menjadi penting di tengah politisasi identitas yang kerap mendasari lahirnya kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kerap para pengusung kebijakan diskriminatif serupa ini beralasan bahwa aturan tersebut dibentuk sebagai bagian dari pendidikan keagamaan, keinginan mayoritas dan/atau sesuai dengan ciri khas daerah.

o Penting untuk menegaskan bahwa kekhasan daerah tetap memliki tempat dalam penyusunan peraturan, namun sesuai dengan Pasal 236 Ayat 4 bahwa “Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Page 32: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

32

o Berkaitan dengan itu, selain harus memperhatikan batasan dari pendelegasian urusan pemerintahan, maka keikutsertaan daerah dalam pengembangan bidang pendidikan keagamaan harus dalam koridor aturan lainya, antara lain: Kekhususan dan keberagaman daerah diafirmasi dalam dalam Pasal 18A Ayat (1) UUD

1945 dalam rangka pembagian kewenangan pusat dan daerah dan tetap dalam kerangka NKRI.

Dalam menjalankan kewenangannya kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga Negara dan/atau golongan masyarakat lain. Hal ini diatur dalam Pasal 76 Ayat 1 Butir a dan b Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

Kewenangan Pemerintah Daerah Status Istimewa UUD NRI Tahun 1945 memang mengakui adanya pemerintahan daerah istimewa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B (1) UUD 1945. Pengakuan ini juga dinyatakan dalam Pasal 399 UU Nomor 23 Tahun 2014, yang memandatkan pengaturannya dalam Undang-undang. Sebagaimana dijelaskan di atas, baik UU pemerintahan Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Papua, penyelenggaraan otonomi khusus tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, pelaksanaan kewenangan khusus yang diberikan tetap harus tunduk pada Konstitusi. Dalam skala mikro, penyusunan kebijakan daerah tetap tunduk pada hirarki perundang-undangan. Berkait dengan itu, urusan pemerintah absolut adalah juga urusan pemerintahan yang dikecualikan dari pelaksanaan otonomi khusus, sebagaimana diatur dalam:

o Pasal 26 UU Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota NKRI

o Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua o Pasal 7 Ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Adapun kewenangan khas yang dimiliki oleh masing-masing daerah khusus tersebut di atas adalah antara lain: DKI Jakarta

- Kewenangan otonom pemerintah DKI Jakarta meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang (a) tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; (b) pengendalian penduduk dan permukiman; (c) transportasi; (d) industri dan perdagangan; dan (e) pariwisata

DI Yogyakarta

- Kewenangan dalam urusan Keistimewaan DIY meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur; b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. kebudayaan; d. pertanahan; dan e. tata ruang.

- Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan DIY didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.

Provinsi Papua

Page 33: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

33

- Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua

- Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), yaitu representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

- Pengakuan mekanisme peradilan adat, dengan pengeculian pada kewenangan memberikan hukuman dalam bentuk penjara atau kurungan dan untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana tanpa persetujuan pengadilan negeri.

- Afirmasi bagi orang asli Papua dalam berbagai sendi pemerintahan, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan dalam kepengurusan partai politik dan aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, perumahan dan perekonomian.

Provinsi Aceh

- Kewenangan pelaksanaan Syariat Islam, yang meliputi aqidah, syari’ah dan akhlak, yang mencakup ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam

- Kewenangan Mahkamah Syariah untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara jinayah (hukum pidana)

- Qanun mengenai jinayah dikecualikan dari ketentuan mengenai muatan ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang- undangan, ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maupun ancaman pidana atau denda lainnya sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.

Intepretasi yang luas dari kewenangan khusus pelaksanaan Syariat Islam, tanpa ada

pengawasan yang mumpuni menyebabkan Aceh memiliki potensi yang lebih besar

menghadirkan kebijakan yang berkontradiksi dengan konstitusi. Padahal, UU Pemerintah Aceh pun tetap menyebutkan kewajiban untuk tunduk pada konstitusi.

Pemberlakukan hukuman cambuk merupakan contoh kebijakan yang bertentangan

dengan jaminan konstitusi, terutama atas hak untuk bebas dari penyiksaan, yang juga dijamin di dalam UU Pemerintahan Aceh. Alasannya, karena ada kebolehan untuk mengatur bentuk hukuman lain sebagaimana disebut dalam Pasal 241. Contoh lain adalah pemidanaan terhadap tindakan yang bukan kejahatan dalam hukum pidana nasional, seperti tindak berduaan antara jenis kelamin yang berbeda tanpa perlu melakukan apapun, sebab langsung dituduh sebagai tindakan mesum (khalwat). Pengaturan serupa ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan menggugurkan jaminan hak untuk bebas dari rasa takut melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya.

Page 34: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

34

2.3 Relevansi Acuan Yuridis

Dalam lampiran I Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 BAB V tentang penjelasan terkait landasan yuridis menjelaskan bahwa “Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah tidak relevan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Oleh karena itu yang dimaksud dengan relevansi acuan yuridis merupakan landasan yuridis yang menyangkut persoalan hukum yang berkait dengan subtansi atau materi yang diatur. Dalam hal pengaturan terkait perlindungan terhadap perempuan dan pencegahan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, maka harus mengacu pada a.l.:

1. Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat kemanusiaan.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 5. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. 6. UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil

dan Politik 7. UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak

Ekonomi, sosial dan Budaya

2.4 Kemutakhiran Acuan Yuridis Penyusunan kebijakan daerah perlu mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan terkini, artinya peraturan perundang-undangan yang digunakan mengacu undang-undang yang sudah disahkan sesuai dengan kronologis pengesahan. Jika pengesahan kebijakan pada tahun 2014 maka undang-undang yang digunakan hingga tahun 2014.

Komnas Perempuan mencatat bahwa dari data kebijakan diskriminatif, kebijakan terkait langsung pengaturan terhadap perempuan kerap tidak menggunakan undang-undang yang disebutkan di atas. Kalaupun diebutkan, pemahaman tentang makna masih sangat terbatas. Akibatnya, meskipun disebut tujuan dari kebijakan itu adalah untuk melindungi perempuan, tetapi muatan materinya justru melakukan diskriminasi terhadap perempuan, bahkan mengkriminalisasi.

Page 35: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

35

Komnas Perempuan mencatat dari data Kebijakan diskriminatif yang yang muncul sejak tahun 1999 hingga 2011 yang mengatur busana, kebijakan terkait prostitusi, anti maksiat, ketertiban umum, kebijakan tentang buruh migran tidak menggunakan kemutakhiran Undang-undang yang sudah berlaku, seperti instrumen HAM yang sudah diratifikasi. Contohnya, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Wilayah Kota Tangerang. Peraturan ini mencantumkan dasar hukumnya Undang–undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dan tidak menjadikan undang-undang yang terkait dengan perlindungan perempuan yang sudah menjadi hukum nasional, misalnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain UU yang disampaikan di atas, guna mencapai tujuan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, sesuai dengan fokus persoalan yang menjadi muatan materi, kebijakan yang dapat diacu adalah juga UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan dan Pencegahan Tindak Perdagangan Orang, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain.

2.5 Kelengkapan Dokumen

Kelengkapan dokumen mencakup ketersediaan naskah-naskah rujukan maupun verifikasi proses diskusi proses penyusunan kebijakan. Salah satunya adalah naskah akademis, yang berisikan penjelasan dan/atau keterangan yang memberikan informasi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan kebijakan daerah. Kewajiban adanya naskah akademik diatur dalam Pasal 43(3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk Undang-undang dan Pasal 56 untuk Peraturan Daerah. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 naskah akademik merupakan suatu persyaratan dalam penyusunan rancangan undang-Undang atau rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.9 Meskipun tidak diwajibkan, Komnas Perempuan berpendapat bahwa ketersediaan naskah akademik memiliki arti penting dalam memperlihatkan sejauh mana Negara menjalankan prinsip uji tuntas (due diligence) dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dalam naskah akademis ini dapat ditemukan penjelasan mengenai alasan penyusunan, dan sejauhmana langkah yang disusun secara cermat menyikapi akar masalah dan dampak dari sebuah persoalan yang sedang disikapi, termasuk tentang perlindungan perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa sebagian besar kebijakan daerah yang diskriminatif tidak dilengkapi dengan naskah akademis. Tidak pula ditemukan catatan proses diskusi dari naskah kebijakan yang ada sehingga dapat mengenali sejauh mana partisipasi kelompok-kelompok masyarakat dan perbedaan pendapat mendapatkan porsi yang seimbang dalam pertimbangan penetapan kebijakan.

3. Kriteria Substantif Selain kriteria prinsip dan kriteria yuridis, pedoman pengujian ini juga menggunakan kriteria substantif. Pada kriteria substantif, ada empat indikator yang menjadi tolak ukur konstitusionalitas sebuah kebijakan daerah, yaitu (a) kesesuaian antara tujuan dan isi; (b)

9 Penjelasan bagian I. Umum (d) Hal. 2

Page 36: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

36

kejelasan subyekk dan obyek pengaturan; (c) kejelasan birokrasi dan prosedur, serta (d) kedayagunaan dan kehasilgunaan. 3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi

Sebuah kebijakan yang baik adalah kebijakan yang memiliki tujuan yang jelas dan rumusan isi yang sesuai dengan langkah pencapaian tujuan tersebut. Dalam hal kebijakan yang bertujuan menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, maka kebijakan tersebut perlu untuk:

1. Tidak memuat Pasal-Pasal yang membedakan, membatasi dan/atau menghambat penikmatan hak asasi perempuan, atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Artinya, kebijakan ini perlu memastikan prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, bagi laki-laki dan perempuan untuk dapat menikmati hak asasi secara penuh. Kriteria ini berlandaskan pada :

Pasal 27 (1), 28D (1), dan 28 I (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Pasal 2 dan 15 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

2. Tidak memuat pendekatan yang menempatkan perempuan sebagai pencetus tindak kekerasan atau diskriminasi (blaming the victims) 2.1 Tidak mendasarkan persoalan kekerasan terhadap perempuan sebagai isu

moralitas dan rumusan pengaturan mengenai perlindungan terhadap perempuan menjamin bahwa pengaturan tidak berakibat pada kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 (a) UU Nomor 7 Tahun 1984

2.2 Tidak mengrkiminalisasi perempuan korban, yaitu dengan tidak memuat pendekatan yang menempatkan perempuan korban kekerasan sebagai pelaku pelanggar kebijakan. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 (d) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

2.3 Tidak memuat rumusan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, dimana perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam ketidakpastian tersebut. Jaminan kepastian hukum diatur dalam Pasal 28D(1) UUD NRI 1945

2.4 Tidak memuat rumusan pengaturan yang meneguhkan stigma atau sterotiype gender, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 a Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

3.2 Kejelasan Subyek dan Obyek Pengaturan

Kejelasan pengaturan subyek mencakup kejelasan tentang pihak-pihak yang diatur atau pihak-pihak yang dinyatakan melanggar perda. Kejelasan obyek pengaturan mencakup sasaran pengaturan hukum yang terkait dengan hak dan kewajiban subyek hukum. Kejelasan pengaturan subyek dan obyek hukum memberikan jaminan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan perlu memuat “asas kejelasan rumusan.” Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

Page 37: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

37

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dengan kejelasan ini berarti ada jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi setiap warga Negara. Sebaliknya ketidakjelasan subyek yang diatur akan memberikan ketidakpastian hukum dalam masyarakat dan berpotensi pada pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional.

3.1. Kejelasan Prosedur dan Birokrasi

Kebijakan daerah juga perlu memuat dengan jelas lembaga yang berkewenangan dalam penyusunan dan bertanggungjawab pada pelaksanaan. Pasal 5(b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat Pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang. Kewenangan pelaksanaan peraturan daerah diatur dalam Pasal 246 Ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, dan Pasal 246(1). Dalam hal kebijakan daerah yang memuat aturan pidana maka satuan polisi pamong praja (Satpol PP, atau juga wilAyatul hisbah/WH dalam konteks Aceh) menjadi salah satu pihak yang ditunjuk bertanggungjawab untuk penegakannya. Sampai saat ini, masih sedikit perhatian diberikan dalam mengawasi pelaksanaan kewenangannya Satpol PP/WH, yang tentunya perlu berpedoman pada konstitusi dan undang-undang. Pengawasan ini juga diperlukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (d) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah disahkan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, agar Negara dapat memastikan bahwa para pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga Negara menahan diri untuk melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan. Untuk memastikan pengawasan ini, maka kebijakan daerah perlu memuat mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan, termasuk penanganan pengaduan masyarakat. Pengaturan pengaduan masyarakat dijamin dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik.

Komnas Perempuan mencatat bahwa sejumlah kebijakan tentang prostitusi menjadi kebijakan yang diskriminatif karena gagal menghadirkan kejelasan rumusan terkait subyekk dan obyek pengaturan. Misalnya, Peraturan Daerah Kota Tanggerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran menyebutkan subyek pengaturannya adalah siapa saja yang “dapat dicurigai” melakukan tindak pelacuran. Dalam konteks sosial budaya setempat, maka pihak yang segera dan lebih sering dicurigai adalah perempuan. Perda Tanggerang tersebut juga memuat ketidakjelasan obyek pengaturan. Perilaku yang dilarang adalah berada di suatu tempat pada suatu waktu yang dapat dianggap tindakan pelacuran, seperti berada di tepi jalan di malam hari. Pengaturan ini jelas menimbulkan gangguan jaminan perlindungan hukum dimana seseorang [perempuan] dapat dengan gampang dituduh melakukan tindak pelanggaran padahal ia tengah menunggu jemputan atau angkutan publik. Kondisi ketidakpastian hukum inilah yang menyebabkan sejumlah perempuan mengalami kriminalisasi, termasuk Lilis, seorang pramusaji yang kemudian dipidana sebagai pelaku prostitusi. Dalam kondisi stress dan dimiskinkan akibat kehilangan pekerjaan dan stigma sebagai pelaku prostitusi, ia meninggal dunia.

Page 38: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

38

3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan

Pasal 5 (e) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagai situasi dimana setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berNegara. Dalam hal upaya pengentasan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, maka asas kedayagunaan dan kehasilgunaan perlu memuat jaminan manfaat yang sama untuk penikmatan hak atas dasar keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Jaminan manfaat yang sama untuk penikmatan hak keadilan bagi perempuan dan laki-laki diatur dalam Pasal 2(a) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disahkan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam memastikan jaminan manfaat tersebut maka kebijakan daerah perlu memuat antisipasi pada kemungkinan persoalan dalam implementasi atau pelaksanana kebijakan. Hal ini mengacu pada Pasal 5 (d) tentang “asas dapat dilaksanakan” dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Komnas Perempuan mencatat bahwa kebijakan diskriminatif, seperti pengaturan busana dan tentang prostitusi tidak saja bermasalah dari tingkat rumusan yang tidak jelas maupun mengakibatkan pembatasan penikmatan hak bagi perempuan. Kebijakan diskriminatif yang berpotensi mengkriminalkan perempuan atas prasangka moralitas juga bermasalah di tingkat pelaksanaan. Di tengah persoalan penegakan hukum yang lemah akibat korupsi yang merajalela, aturan diskriminatif serupa ini membuka peluang baru bagi pemerasan dan penyalahgunaan wewenang lainnya.

Page 39: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

39

III. Lembar Kerja Pengujian Kebijakan Konstitusional Dari penjabaran tentang pedoman pengujian yang disebutkan di atas maka berikut ini adalah ringkasan Pedoman Pengujian Konstitusionalitas Kebijakan yang dapat dijadikan rujukan cepat dalam pengujian kebijakan konstitusional. Pedoman ini kemudian diterjemahkan ke dalam lembar kerja pengujian yang terdapat di akhir bagian ini. Untuk contoh pengisian, silahkan merujuk pada lampiran.

Ringkasan Pedoman Pengujian Konstitusionalitas Kebijakan Daerah 1. Kriteria Prinsip

1.1. Prinsip Keadilan* 1.1.1. Jaminan kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan 1.1.2. Asas kepastian hukum 1.1.3. Asas praduga tidak bersalah 1.1.4. Asas jaminan pada peradilan yang adil (fair trial) 1.1.5. Asas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama (affirmative action) 1.1.6. Asas kesesuaian dengan asas lainnya di bidang hukum peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan.

1.2. Prinsip Pengayoman dan Kemanusiaan* 1.2.1. Perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat

setiap warga Negara dan penduduk Indonesia, terutama dalam hal:

Jaminan atas hak atas rasa aman

Jaminan atas hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Jaminan atas hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi

Jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan dan bentuk-bentuk penghukuman yang kejam atau tidak manusiawi lainnya

1.2.2. Pemeriksaan cermat pada pelaksanaan tanggung jawab Negara pada pemenuhan hak asasi manusia (due diligence), termasuk atas muatan materi yang mengandung pembatasan hak

1.3. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia*

1.3.1. Asas kebangsaan, yaitu mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3.2. Asas kenusantaraan, berarti senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; termasuk merawat unifikasi/kesatuan hukum nasional.

1.3.3. Asas Bhinneka Tunggal Ika, berarti harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berNegara.

2. Yuridis

2.1. Asas kesesuaian jenis, hirarki dan muatan materi perundang-undangan, dimana UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi pembentukan peraturan perundang-undangan.*

Page 40: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

40

2.2. Kewenangan pemerintah daerah*, adalah kewenangan untuk melaksanakan mandat urusan pemerintah daerah di luar urusan pemerintah, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter, fiskal nasional, dan agama

2.3. Relevansi Acuan Yuridis*. Untuk tujuan penghapusan diskriminasi dan kekerasan

terhadap perempuan, acuan utama kebijakan adalah UU Nomor 7 Tahun 1984, UU Nomor 5 Tahun 1998, UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Inpres Nomor 9 Tahun 2000.

2.4. Kemutakhiran Acuan Yuridis, dimana kebijakan disusun dengan berbekal pengetahuan

pada perkembangan landasan hukum yang tersedia. Guna mencapai tujuan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, kebijakan yang dapat diacu adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan dan Pencegahan Tindak Perdagangan Orang, dan lain-lain.

2.5. Kelengkapan Dokumen, terutama ketersediaan naskah akademik yang berisikan

penjelasan dan/atau keterangan yang memberikan informasi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan kebijakan daerah. Dalam pengujian, syarat kelengkapan dokumen ini hanya dapat dibebankan pada kebijakan daerah yang diterbitkan setelah UU Nomor 12 Tahun 2011 diberlakukan.

3. Substantif

3.1. Kesesuaian antara tujuan dan isi* 3.1.1. Tidak memuat Pasal-Pasal yang membedakan, membatasi dan/atau menghambat

penikmatan hak asasi perempuan, atas dasar kesetaraan dengan laki-laki 3.1.2. Dalam hal pengaturan pencegahan kekerasan terhadap perempuan

Tidak memuat pendekatan yang menempatkan perempuan sebagai pencetus tindak kekerasan (blaming the victims)

Tidak memuat pendekatan yang menempatkan perempuan korban kekerasan sebagai pelaku pelanggar kebijakan (kriminalisasi perempuan korban)

Tidak mendasarkan persoalan kekerasan terhadap perempuan sebagai isu moralitas

Tidak memuat rumusan pengaturan yang meneguhkan stigma atau stereotip terhadap perempuan, dan terutama perempuan korban

3.2. Kejelasan subyek dan obyek pengaturan

3.2.1. Ada identifikasi jelas subyek yang diatur 3.2.2. Ada identifikasi jelas obyek yang diatur 3.2.3. Tidak memuat rumusan multitafsir

3.3. Kejelasan prosedur dan birokrasi

1.3.1. Memuat lembaga yang berkewenangan dan bertanggung jawab pada pelaksanaan.

1.3.2. Memuat mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan, termasuk penanganan pengaduan masyarakat

3.4. Kedayagunaan dan kehasilgunaan* 3.4.1. Memuat jaminan manfaat yang sama untuk penikmatan hak atas dasar keadilan bagi perempuan dan laki-laki 3.4.2. Memuat antisipasi pada kemungkinan persoalan dalam implementasi

Page 41: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

41

Lembar Pengujian Kebijakan Konstitusional Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara

Nama Kebijakan:

Kriteria Pemenuhan Indikator

Keterangan

Ya Tidak Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU

Komentar

1. Prinsip

1.1. Keadilan*

1.2. Pengayoman dan Kemanusiaan*

1.3. Negara Kesatuan Republik Indonesia*

2. Yuridis

2.1. Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan*

2.2. Kewenangan Pemerintah Daerah*

2.3. Relevansi Acuan Yuridis*

2.4. Kemutakhiran Yuridis

2.5. Kelengkapan Dokumen

3. Substantif

3.1. Kesesuaian antara tujuan dan isi*

3.2. Kejelasan Subyekk dan Obyek Pengaturan*

3.3. Kejelasan prosedur dan birokrasi

3.4. Kedayagunaan dan kehasilgunaan*

Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi

A. Kriteria yang diberi tanda asterik merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka suatu kebijakan dianggap tidak konstitusional dan batal demi hukum.

B. Kesimpulan (pilih salah satu) […..] Kebijakan Konstitusional […..] Kebijakan Konstitusional tapi perlu diperbaiki […..] Kebijakan Inkonstitusional dan perlu dibatalkan

C. Rekomendasi

1. ................................

D. Catatan Perbaikan

Page 42: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

42

IV. Daftar Pustaka Abdul-Aziz, Zarizana & Moussa, Janine. Due Diligence Framework: State Accountability Framework for Eliminating Violence against Women. Malaysia: International Human Rights Initiative, Inc. (IHRI), 2014. General recommendation Nomor 25 of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women on Temporary Special Measures General Recommendation Nomor 28 on the core obligations of States parties under article 2 of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women IWRAW. Our Rights are not Optional! Advocating for the Implementation of CEDAW through its Optional Protocol. A Resource Guide. Malaysia: IWRAW, 1999 Komnas Perempuan. Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan, 2010. Komnas Perempuan. Panduan Pemantauan Kebijakan Daerah dengan Perspektif HAM dan Keadilan Gender: Berangkat Dari Pengalaman Aceh. Jakarta: Komnas Perempuan, 2007 PLD. CEDAW: Restoring Rights to Women. New Delhi: PLD, 2004 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Khusus DKI Jakarta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 13 Tahun 20012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Page 43: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

43

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Page 44: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

44

Lampiran Lampiran 1

40 Hak Konstitusional yang di Jamin dalam UUD NRI 1945

40 HAK KONSTITUSIONAL DALAM 14 RUMPUN HAK

I. HAK ATAS KEWARGANEGARAAN

1 Hak atas status kewarganegaraan Pasal 28D (4)

2 Hak atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan

Pasal 27(1),

Pasal 28 D (1), Pasal 28 D (3)

II. HAK ATAS HIDUP

3 Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya,

Pasal 28A,

Pasal 28I (1)

4 Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang Pasal 28B (2)

III. HAK UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI

5 Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya

Pasal 28C (1)

6 Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

Pasal 28H (3)

7 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial

Pasal 28F

8 Hak mendapat pendidikan Pasal 31 (1),

Pasal 28 C (1)

IV. HAK ATAS KEMERDEKAAN PIKIRAN & KEBEBASAN MEMILIH

9 Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani Pasal 28I (1)

10 Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan Pasal 28E (2)

11 Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

Pasal 28E (1), Pasal 29 (2)

12 Hak untuk bebas memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal

Pasal 28E (1)

13 Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul Pasal 28E (3)

14 Hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani

Pasal 28E (2)

Page 45: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

45

V. HAK ATAS INFORMASI

15 Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia

Pasal 28F

VI. HAK ATAS KERJA & PENGHIDUPAN LAYAK

16 Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

Pasal 27 (2)

17 Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

Pasal 28D (2)

18 Hak untuk tidak diperbudak Pasal 28I (1)

VII. HAK ATAS KEPEMILIKAN & PERUMAHAN

19 Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Pasal 28H (4)

20 Hak untuk bertempat tinggal Pasal 28H (1)

VIII. HAK ATAS KESEHATAN & LINGKUNGAN SEHAT

21 Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin Pasal 28H (1)

22 Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat Pasal 28H (1)

23 Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan Pasal 28H (1)

IX. HAK BERKELUARGA

24 Hak untuk membentuk keluarga Pasal 28B (1)

X. HAK ATAS KEPASTIAN HUKUM & KEADILAN

25 Hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil

Pasal 28D (1)

26 Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D (1), Pasal 27 (1)

27 Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum Pasal 28I (1)

28 Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut Pasal 28I(1)

XI. HAK BEBAS DARI ANCAMAN, DISKRIMINASI & KEKERASAN

29 Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Pasal 28G (1)

30 Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

Pasal 28G (2), Pasal 28I(1)

Page 46: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

46

31 Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun

Pasal 28I (2)

32 Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

Pasal 28H (2)

XII. HAK ATAS PERLINDUNGAN

33 Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya

Pasal 28G (1)

34 Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

Pasal 28I (2)

35 Hak atas perlindungan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

Pasal 28I (3)

36 Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Pasal 28B (2),

Pasal 28I (2)

37 Hak untuk memperoleh suaka politik dari Negara lain Pasal 28G (2)

XIII. HAK MEMPERJUANGKAN HAK

38 Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

Pasal 28C (2)

39 Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat

Pasal 28

Pasal 28 E (3)

XIV. HAK ATAS PEMERINTAHAN

40 Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan

Pasal 28D (3)

Pasal 27 (1)

Page 47: PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONALkomnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Pedoman... · wawasan nusantara. ... Pedoman pengujian ini disusun dengan mendasarkan

[BUKU PEDOMAN PENGUJIAN KEBIJAKAN KONSTITUSIONAL ]

47

Lampiran 2

Contoh