pelaksanaan program keselamatan pasien patient …
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN PROGRAM KESELAMATAN PASIEN
(PATIENT SAFETY) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH
SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2018
SKRIPSI
Oleh
REBECCA IVANA ANGGITA PASARIBU
NIM : 141000075
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKSANAAN PROGRAM KESELAMATAN PASIEN
(PATIENT SAFETY) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH
SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2018
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
REBECCA IVANA ANGGITA PASARIBU
NIM : 141000075
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERITAS SUMATERA UTARA
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
Pernyataan Keaslian Skripsi
Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul
„PELAKSANAAN PROGRAM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)
DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TAHUN 2018‟ beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan
ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila
kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya
saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Oktober 2018
Rebecca Ivana Anggita Pasaribu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
Telah diuji dan dipertahankan
Pada tanggal : 09 Oktober 2018
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes
Anggota : 1. Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.Kp
2. Putri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M, M.P.H
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
Abstrak
Keselamatan pasien di rumah sakit dibutuhkan dalam semua unit pelayanan
kesehatan di rumah sakit yang diharapkan dapat meminimalisir kesalahan medis
(medical error) baik dalam penanganan pada pasien di unit gawat darurat, rawat
inap maupun poliklinik. Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan memiliki angka
pencapaian sasaran keselamatan pasien antara 50-80%. Data ini membuktikan
bahwa pencapaian sasaran keselamatan pasien belum mencapai target yang
ditetapkan yaitu 100%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan
lebih mendalam tentang pelaksanaan Program Keselamatan Pasien di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data adalah wawancara
mendalam dan observasi. Analisa data dengan metode Miles dan Huberman. Hasil
penelitian menunjukkan pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat
inap Rumah Sakit Santa Elisabeth belum berjalan dengan maksimal. Hal ini
dilihat dari kurangnya kepatuhan dan kesadaran perawat dalam melakukan
pengecekan gelang pasien, perawat yang masih lupa memberikan stempel
readback, masih banyak petugas medis dan non-medis yang kurang patuh dalam
menjaga kebersihan tangan pada saat sebelum dan sesudah memberikan tindakan
kepada pasien, belum dijalankannya metode asesmen resiko terhadap pasien rawat
inap, perawat tidak rutin diberikan pengarahan atau sosialisasi, serta masih ada
sarana yang belum tersedia. Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Tim
Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien untuk lebih meningkatkan kinerja tenaga
kesehatan melalui memberikan sosialisasi secara rutin, kepada kepala perawat
pelaksana diharapkan agar melaksanakan tugas sesuai tahapan SOP dan mengikuti
pelatihan dan sosialisasi serta rutin melakukan pemeriksaan kondisi pasien
(khususnya yang beresiko untuk jatuh).
Kata kunci : Pelaksanaan Program, Keselamatan Pasien, Ruang Rawat Inap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
Abstract
Patient safety in hospitals are needed in all health care units in hospitals is
expected to minimize medical errors (medical errors) are good in handling
patients in the emergency unit, inpatient or hospital. Santa Elisabeth Hospital
Medan have patient safety goals achievement numbers between 50-80%. These
data prove that the achievement of patient safety goals have yet to achieve targets
set that is 100%. This research aims to know clearly and more about the patient
safety Program implementation in the Inpatient Santa Elisabeth Hospital medan
terrain. This research is qualitative research with the method of data collection is
in-depth interviews and observations. Analysis of the data was using Miles and
Huberman. The results of researched showed the implementation of patient safety
program in the Inpatient Santa Elisabeth Hospital Medan hasn't run maximumly.
It is seen from the lack of compliance and awareness within the nurse checked the
patient's wristband, a nurse still forgot to give a readback stamp, there are still
many medical officer and medical non-the less obedient in maintaining the
cleanliness of the hand at the time of before and after giving the action to the
patient, not to run the risk assessment methods against inpatients, nurses are not
routinely briefed or socialization, and there's still a means that is not yet
available. Based on the research results, is expected to a team of quality and
patient safety Committee to further improve the performance of health workers
through providing socialization on a regular basis, to the head nurse is expected
that implementers implement tasks appropriate stages of SOPS and follow the
training and socialization as well as routine checks the condition of the patient (in
particular those at risk to fall).
Keywords : Tackling of Program, Patient Safety, Inpatient Room
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
atas berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Program Keselamatan Pasien
(patient safety) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun
2018”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari beberapa pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan terhadap yang terhormat :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Drs. Zulfendri, M. Kes. selaku Kepala Departemen AKK sekaligus
selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing penulis
selama penulisan skripsi ini serta staf pengajar bagian Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan FKM USU
4. Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.Kp. selaku dosen penguji I (satu)
dan Puteri Citra Cinta Asyura Nasution S. KM, M.PH. selaku dosen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
penguji II (dua) yang telah memberikan masukan dan kritikan untuk
kesempurnaan skripsi saya
5. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU yang telah banyak membantu
dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan
6. Dr. Maria Christina, MARS, selaku Direktur Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melaksanakan penelitian dan memberikan informasi data untuk
kelancaran skripsi ini
7. Kedua orang tua, Harry Jonggi Pasaribu dan Ruth Chairy Dwi Yanti
(+) yang terkasih dan tersayang, dimana telah memberikan dukungan
doa yang luar biasa sejak lahir hingga sekarang. Sungguh bersyukur
dan terberkati mendapat dukungan dari kalian. Tuhan memberkati.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan pengetahuan
yang berarti bagi semua pihak dan untuk kemajuan ilmu Kesehatan Masyarakat.
Terima Kasih.
Medan, Oktober 2018
Penulis
Rebecca Ivana Anggita Pasaribu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
Daftar Isi
Halaman
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi i
Halaman Pengesahan ii
Halaman Penetapan Tim Penguji Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Istilah xiv
Riwayat Hidup xv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 9
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Tinjauan Pustaka 12
Keselamatan Pasien 12
Standar Keselamatan Pasien 13
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien 18
Sasaran Keselamatan Pasien 23
Rumah Sakit 37
Definisi Rumah Sakit 37
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit 39
Asas dan Tujuan Rumah Sakit 40
Klasifikasi Rumah Sakit 42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
Rumah Sakit Umum Kelas B 43
Aspek Pelayanan Rumah Sakit Umum Kelas B 43
Aspek Ketenagaan Rumah Sakit Umum Kelas B 45
Aspek Sarana, Prasarana, dan Organisasi Rumah Sakit Umum Kelas
B 47
Kerangka Pikir 50
Metode Penelitian 51
Jenis Penelitian 51
Lokasi dan Waktu Penelitian 51
Informan Penelitian 52
Definisi Konsep 53
Metode Pengumpulan Data 54
Metode Pengukuran 54
Metode Analisis Data 55
Hasil dan Pembahasan 58
Rumah Sakit Santa Elisabeth 58
Profil Rumah Sakit Santa Elisabeth 58
Sejarah Rumah Sakit Santa Elisabeth 59
Visi dan Misi 60
Struktur Organisasi 61
Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Santa Elisabeth 62
Karakteristik Informan 63
Program Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap 64
Identifikasi Pasien Dalam Program Keselamatan Pasien 65
Pelaksanaan Komunikasi Dalam Program Keselamatan Pasien 74
Hand Hygiene Dalam Program Keselamatan Pasien 82
Pengurangan Resiko Pasien Jatuh Program Keselamatan Pasien 90
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
Kesimpulan dan Saran 100
Kesimpulan 100
Saran 102
Daftar Pustaka 104
Daftar Lampiran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
Daftar Tabel
No Judul Halaman
1 Contoh Tahap Hasil Reduksi Data 56
2 Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Santa Elisabeth 62
3 Karakteristik Informan 63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
Daftar Gambar
No Judul Halaman
1 Kerangka Pikir 50
2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan 61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
Daftar Lampiran
No Judul Halaman
1 Pedoman Wawancara Mendalam 108
2 Standar SKP 117
3 Surat Permohonan Izin Penilitian 122
4 Surat Tanda Selesai Penelitian 123
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiv
Daftar Istilah
KTD Kejadian Tidak Diharapkan
KNC Kejadian Nyaris Cidera
KPC Kejadian Potensi Cidera
PPI Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
HIV Human Immunodeficiency Virus
HBV Hepatitis B Virus
HCV Hepatitis C Virus
WHO World Health Organization
SBAR Situation Background Assesment Recommendation
TKPRS Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
SPO Standar Prosedur Operasional
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xv
Riwayat Hidup
Penulis bernama Rebecca Ivana Anggita Pasaribu berumur 22 tahun,
dilahirkan di Medan pada tanggal 16 Juli 1996. Penulis beragama Kristen
Protestan, anak tunggal dari pasangan Bapak Harry Jonggi Pasaribu dan Ibu Ruth
Chairy Dwiyanti (+).
Pendidikan formal dimulai di TK Perwari Tri Sula tahun 2001. Pendidikan
sekolah dasar di SD Swasta Methodist 1 Medan tahun 2002-2008, sekolah
menengah pertama di SMP Swasta Kristen Immanuel Medan tahun 2008-2011,
sekolah menengah atas di SMA Swasta Kristen Immanuel Medan tahun 2011-
2014, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, Oktober 2018
Rebecca Ivana Anggita Pasaribu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
Pendahuluan
Latar Belakang
Keselamatan pasien (patient safety) didefinisikan sebagai layanan
yang bertujuan untuk tidak menciderai dan merugikan pasien ataupun
sebagai suatu sistem yang dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman (Depkes RI, 2006). Keselamatan pasien (patient safety)
merupakan acuan bagi seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia untuk
melaksanakan kegiatannya sehingga hal tersebut dapat dijadikan standar
guna meningkatkan mutu pelayanan. Salah satu dari standar keselamatan
pasien yang ada adalah hak pasien dalam menerima asuhan yang aman
(Permenkes RI, 2011).
Keselamatan pasien di rumah sakit sangat dibutuhkan dalam semua
unit pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diharapkan dapat
meminimalisir kesalahan medis (medical error) baik dalam penanganan
pada pasien di unit gawat darurat, unit rawat inap maupun unit poliklinik
(Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), 2008).
Sistem pelayanan untuk membuat pasien lebih aman yang
dimaksud dalam program keselamatan pasien adalah dengan diadakannya
asesmen resiko pada pasien, melakukan identifikasi pasien dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko yang ada pada pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjut serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
dan mencegah terjadinya cidera.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Insiden cidera juga dapat disebabkan oleh beberapa aspek;
misalnya karena adanya kesalahan dalam pemberian obat, kegagalan
dalam membangun komunikasi yang efektif dengan pasien, infeksi yang
berkaitan dengan pelayanan kesehatan, kesalahan dalam tindakan operasi,
kesalahan dalam penentuan lokasi dan pasien yang dioperasi. (Permenkes,
2011)
Perhatian terhadap keselamatan pasien sekarang ini sudah menjadi
begitu penting dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit, hal
ini terlihat dengan sudah diaturnya keselamatan pasien dalam beberapa
pasal pada ketentuan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah
sakit yang diantaranya dalam Pasal 3 huruf (b) yang menyatakan bahwa
pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah
sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
Selain itu juga terdapat dalam Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan
bahwa setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar
prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien
dan mengutamakan keselamatan pasien, dan dalam Pasal 43 ayat (1)
menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan
pasien.
Keselamatan pasien saat ini telah menjadi isu yang
diperbincangkan di berbagai negara. Isu ini berkembang karena masih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
banyaknya KTD dan KNC yang masih sering terjadi di rumah sakit.
Penelitian yang dilakukan oleh IOM (Institute of Medicine) pada tahun
1999 yang dilakukan di Washington DC, dilaporkan bahwa sebanyak
44.000 sampai dengan 98.000 orang meninggal setiap tahunnya di rumah
sakit karena kesalahan medis (Institute of Medicine, 2001).
Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat
menerbitkan laporan “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health
System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan
Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD
(Adverse Event) sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya meninggal.
(Institute of Medicine, 2000).
Di Indonesia data tentang KTD dan KNC masih sulit didapatkan
(KKP-RS, 2008). Laporan insiden keselamatan pasien berdasarkan
provinsi pada tahun 2007, ditemukan provinsi DKI Jakarta menempati
urutan tertinggi yaitu 37,9% di antara delapan provinsi lainnya, yaitu Jawa
Tengah 15,9 %, D.I. Yogyakarta 18,8%, Jawa Timur 11,7%, Sumatera
Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Aceh 10,7% dan Sulawesi
Selatan 0,7% (KKP-RS, 2008). Menurut Utarini (2011), keselamatan
pasien telah menjadi perhatian serius. Dari penelitiannya terhadap pasien
rawat inap di 15 rumah sakit dengan 4500 rekam medik menunjukkan
angka KTD yang sangat bervariasi, yaitu 8,0% hingga 98,2% untuk
diagnostic error dan 4,1% hingga 91,6% untuk medication error.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia berdasarkan
Provinsi menemukan bahwa dari 145 insiden yang dilaporkan sebanyak 55
kasus insiden (37,9%) terjadi di wilayah DKI Jakarta. Sedangkan
berdasarkan jenisnya dari 145 insiden yang dilaporkan tersebut didapatkan
KNC sebanyak 69 kasus (47,6%), KTD sebanyak 67 kasus (46,2%), dan
lain-lain sebanyak 9 kasus (6,2%) (Sutanto, 2014)
Sebuah rumah sakit di kota Medan melaporkan kejadian
insidennya pada tahun 2007 sebanyak 12 kasus, tahun 2008 sebanyak 1
kasus, tahun 2009 sebanyak 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 19 kasus,
tahun 2011 sebanyak 9 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 11 kasus. Total
semua insiden yang dilaporkan sebanyak 69 kasus. Dari laporan tersebut
terdapat 41 kasus (59,4%) adalah KTD, 26 kasus (37,7%) adalah KNC dan
2 kasus (2,9%) adalah KPC
Dalam Permenkes No. 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan
Pasien pasal 5 ayat (5) disebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib
mengupayakan tercapainya Sasaran Keselamatan Pasien. Sasaran
Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :
1) Mengidentifikasi pasien dengan benar;
2) Meningkatkan komunikasi yang efektif;
3) Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai;
4) Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar;
5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
6) Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.
Identifikasi pasien adalah tindakan yang dilakukan pada saat
sebelum melakukan tindakan keperawatan atau prosedur lain, pemberian
obat, transfusi atau produk darah, pengambilan darah dan pengambilan
spesimen lain untuk diuji secara klinis. Langkah dalam melakukan
identifikasi pasien awal yaitu dengan menanyakan tanggal lahir, nama
pasien, nomor rekam medis dan memeriksa gelang identifikasi yang
kemudian disesuaikan dengan data pasien yang sudah tercatat di rekam
medis. Nomor kamar atau tempat tidur tidak dapat digunakan untuk
melakukan identifikasi pasien. (Guesti, 2016)
Komunikasi yang efektif merupakan sasaran kunci terpenting
untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit. Sebagian besar
penyebab terjadinya kejadian sentinel pada pasien terjadi karena
ketidakakuratan informasi yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak
dilakukan secara efektif.
Menurut penelitian Iswati (2013) dan penelitian Saragih (2014),
rumah sakit merupakan tempat yang beresiko tinggi akan terjadinya
infeksi nosokomial atau infeksi baru yang didapatkan selama perawatan
berlangsung, sehingga menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan
sangatlah penting perannya dalam menurunkan 20%-40% resiko kejadian
infeksi nosokomial dan memaksimalkan pelaksanaan keselamatan pasien
di rumah sakit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
Menurut penelitian Angelita Lombogia dkk (2016), disebutkan
bahwa insiden pelanggaran dalam pelaksanaan keselamatan pasien
sebagian besar dilakukan oleh perawat karena perawat adalah petugas
kesehatan dengan jumlah yang paling mendominasi di instansi rumah
sakit, dan perawat juga adalah petugas kesehatan yang paling sering
melakukan tindakan serta berinteraksi langsung dengan pasien khususnya
pasien ruang rawat inap.
Berdasarkan hasil penelitian Angelia dkk (2012) di RSUD Dr. Sam
Ratulangi Tondano, ketersediaan sarana dan prasarana sangat penting
perannya dalam memaksimalkan pelaksanaan program keselamatan
pasien. Namun, sasaran keselamatan pasien masih banyak yang belum
tercapai dengan maksimal karena masih minimnya ketersediaan sarana dan
prasana.
Berdasarkan penelitian Totok dkk (2012) di Rumah Sakit Khusus
Ibu dan Anak (RSIA) PKU Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta,
pencapaian sasaran keselamatan pasien rumah sakit belum tercapai dengan
sempurna karena kebijakan yang berlaku namun belum lengkap dan sesuai
standar, serta ketidaksediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Berdasarkan penelitian Muhammad Faisal dkk (2014) di RSU
Bhakti Asih Kota Tangerang, pelaksanaan sistem keselamatan pasien
masih banyak yang belum dapat terlaksana 100% karena kurangnya
dukungan kebijakan dalam pelaksanaan dan penyediaan fasilitas yang
masih tergolong minim.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
Berdasarkan survei pendahuluan penulis yang dilakukan di Rumah
Sakit Santa Elisabeth, ditemukan bahwa masih kurangnya ketersediaan
hand sanitizer ataupun sabun cuci tangan di lorong ruang rawat inap dan
belum tersedianya wastafel yang dapat diakses oleh petugas maupun
pengunjung. Perawat ataupun dokter juga sangat jarang bahkan nyaris
tidak pernah terlihat mencuci tangan dengan hand sanitizer sebelum
ataupun sesudah memberikan tindakan kepada pasien. Berdasarkan standar
Permenkes No. 27 tentang PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
seharusnya di setiap ruang rawat tersedia fasilitas hand sanitizer / ABHR
(Alcohol Based Hand Rub).
Pada pasien hanya diberikan gelang identitas yang berisikan nama,
tanggal lahir, jenis kelamin dan nomor rekam medik saja. Pemberian
warna gelang juga tidak sesuai jenis kelamin. Berdasarkan standar
identifikasi pasien yang berlaku, seharusnya gelang berwarna merah muda
(pink) diberikan untuk pasien perempuan dan gelang berwarna biru
diberikan untuk pasien laki-laki. Kemudian pada saat pemasangan gelang,
perawat tidak memberikan informasi rinci sesuai dengan prosedur
identifikasi pasien.
Selain itu, seharusnya diberikan gelang berwarna merah untuk
pasien yang memiliki alergi tinggi pada obat tertentu, gelang berwarna
abu-abu untuk pasien yang sedang menjalani kemoterapi, dan gelang
berwarna kuning untuk pasien beresiko jatuh dan memiliki pengawasan
ekstra (Permenkes, 2017). Hal ini disebabkan tidak disediakannya gelang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
identifikasi pasien sesuai dengan jenis yang sudah ditetapkan dan belum
lengkapnya kebijakan yang berlaku tentang identifikasi pasien di rumah
sakit.
Dokter memberitahukan terlebih dahulu setiap tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien baik secara langsung maupun melalui perawat.
Setelah menerima perintah ataupun hasil pemeriksaan baik secara lisan
ataupun melalui telepon dari dokter, beberapa perawat jarang membacakan
kembali secara lengkap apa diagnosa dan bagaimana tindakan lanjutan
yang akan diberikan serta bagaimana dampak atau efek samping yang
akan ditimbulkan dari tindakan tersebut, melainkan hanya membaca
sepenggal saja sehingga terkadang pasien kurang paham dengan informasi
yang disampaikan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pelatihan
perawat dalam memberikan informasi secara efektif kepada pasien.
Selain hasil pengamatan dan wawancara, berdasarkan data laporan
Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) Rumah Sakit Santa
Elisabeth dinyatakan bahwa 4 dari 6 sasaran keselamatan pasien masih
belum tercapai dengan maksimal (<100%). Sasaran kepatuhan identifikasi
pasien secara benar, komunikasi efektif dengan prosedur SBAR,
kepatuhan petugas dalam menjaga kebersihan tangan, dan kepatuhan
identifikasi pasien yang beresiko jatuh pencapaiannya masih berada
dibawah 100%.
Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara, dan data yang
diperoleh ditemukan bahwa pelaksanaan keselamatan pasien di ruang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
rawat inap belum memenuhi standar pelaksanaan keselamatan pasien di
rumah sakit sehingga mendorong peneliti untuk meneliti tentang
“Pelaksanaan Program Keselamatan Pasien (patient safety) di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2018”
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan identifikasi pasien di ruang rawat inap
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ?
2. Bagaimana implementasi komunikasi antara dokter dan perawat di
ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ?
3. Bagaimana implementasi hand hygiene petugas kesehatan untuk
pengurangan resiko infeksi di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan ?
4. Bagaimana implementasi pengurangan resiko pasien jatuh di ruang
rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ?
5. Bagaimana kecukupan fasilitas sarana dan prasarana yang
disediakan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang berkaitan
dengan pelaksanaan identifikasi pasien, hand hygiene, dan
pengurangan resiko pasien jatuh di ruang rawat inap ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan program
keselamatan pasien (patient safety) di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan Tahun 2018 yang meliputi :
1. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan identifikasi pasien di ruang rawat
inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
2. Untuk mengidentifikasi implementasi komunikasi antara dokter dan
perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
3. Untuk mengidentifikasi implementasi hand hygiene petugas kesehatan
untuk pengurangan resiko infeksi di ruang rawat inap Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan
4. Untuk mengidentifikasi implementasi pengurangan resiko pasien jatuh
di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
5. Untuk mengidentifikasi kecukupan fasilitas sarana dan prasarana yang
disediakan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang berkaitan dengan
pelaksanaan identifikasi pasien, hand hygiene, dan pengurangan resiko
pasien jatuh di ruang rawat inap
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan dan pertimbangan bagi pihak rumah sakit agar
program keselamatan pasien rumah sakit khususnya ruang rawat inap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
dapat berjalan dengan baik dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan.
2. Sebagai sumber informasi dalam memperkaya studi mengenai
penyelenggaraan program keselamatan pasien di ruang rawat inap.
3. Sebagai tambahan wawasan bagi peneliti tentang pelaksanaan program
keselamatan pasien di ruang rawat inap.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Tinjauan Pustaka
Keselamatan Pasien
Keselamatan (safety) sekarang ini telah menjadi isu global, hal ini
termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan
keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety),
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan
di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait dengan
kelangsungan hidup rumah sakit.
Kelima aspek keselamatan tersebut sangat penting perannya untuk
dilaksanakan di setiap rumah sakit. Karena semua kegiatan dan program dapat
berjalan dan dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan adanya pasien.
Karena itu keselamatan pasien adalah prioritas utama yang harus dilaksanakan
karena hal ini terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit itu sendiri.
Adapun tujuan dari dilaksanakannya keselamatan pasien di rumah sakit
yaitu menurut Depkes RI tahun 2011 adalah agar terciptanya budaya keselamatan
pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien
dan masyarakat, menurunnya angka KTD di rumah sakit, terlaksananya program–
program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD di rumah sakit itu
sendiri.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Standar Keselamatan Pasien. Karena begitu pentingnya keselamatan
pasien dirumah sakit sekarang ini, maka dibuatlah standar keselamatan pasien
dirumah sakit. Standar keselamatan pasien dirumah sakit ini akan menjadi acuan
atas setiap pelayanan yang akan diberikan oleh petugas kepada pasien. Menurut
Depkes RI, (2011) ada tujuh standar keselamatan pasien yaitu:
1. Hak pasien
Pasien dan keluarga pasien mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan yang telah diterimanya,
termasuk resiko kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan. Hal
ini disebabkan karena tujuan utamanya yang ganda, yaitu preventif kuratif,
promotif dan rehabilitatif. Hubungan antara dokter dan pasien pada
dasarnya bertumpu pada hak menentukan nasib sendiri dan hak informasi.
Dokter berkewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan
secara rinci kepada pasien serta keluarga pasien tentang rencana dan hasil
pelayanan, serta rencana pengobatan sehingga pasien mengerti dengan
benar bagaimana progress pengobatan yang sedang ia jalani. Pasien
berhak untuk tau informasi lengkap tentang ada atau tidaknya
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi yang berkaitan dengan
Kejadian Tidak Diharapkan.
2. Mendidik pasien dan keluarga
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarga pasien tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam keselamatan pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan mitra dalam proses pelayanan. Karena
itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme untuk mendidik pasien
dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam
asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan keluarga dapat :
a. memberikan informasi yang benar, jelas lengkap dan jujur.
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak
dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya yaitu :
a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat
pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan,
tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah
sakit.
b. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan
dapat berjalan baik dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan
komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan
keperawatan pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan,
aman dan efektif.
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki
proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak
Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien. Kriterianya yaitu :
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan yang
baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis
terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai degan tujuh langkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
yang antara lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi,
manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensi terkait
semua kejadian tidak diharapkan, dan secara proaktif
melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan
informasi hasil analisis unuk menentukan perubahan sistem
yang diperlukan agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program
keselamatan pasien
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan
pasien dan program meminimalkan insiden, yang mencakup
jenis-jenis Kejadian yang memerlukan perhatianmmulai dari
“Kejadian Nyaris Cedera” sampai dengan “Kejadian Tidak
Diharapkan”
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua
komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
dalam program keselamatan pasien
d. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk
asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan
jelas untuk keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan
jelas tentang Analsis Akar Masalah (RCA) “Kejadian Nyaris
Cedera” dan “Kejadian Sentinel” pada saat program
keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi
untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan
pasien secara jelas. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara
kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin pelayanan
pasien.
Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan
dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai
dengan tugasnya masing-masing. Setiap rumah sakit harus
mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan
inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang
kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan inter-
disiplin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien
Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal dan eksternal. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan
akurat. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain
proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien. Tersedia mekanisme dan kendala
komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Rumah
sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor
dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan
pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan
rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini,
praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien
(Permenkes No.11 Tahun 2017).
Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, rumah sakit
melaksanakan 7 (tujuh) langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit yang
terdiri dari (Permenkes No. 11 Tahun 2017) :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
2. Memimpin dan mendukung staf;
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
4. Mengembangkan sistem pelaporan;
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tahun 2007 resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS) mendorong rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan “Sembilan
Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, langsung atau bertahap, sesuai dengan
kemampuan dan kondisi rumah sakit masing-masing yaitu :
a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip
Nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM) yang membingungkan staf
pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat
(medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan
puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi
terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta
kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan
perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
b. Pastikan identifikasi pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien
secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada
bukan keluarganya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi
terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem
layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan
protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan pasien
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan dan di dalam serta antar tim pelayanan, bisa
mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat
dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi
ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis, memberikan
kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan
pertanyaanpertanyaan pada saat serah terima dan melibatkan para pasien serta
keluarga dalam proses serah terima.
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-
kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi
atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis
kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan,
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan
melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur “time out”
sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)
Semua obat-obatan, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko cairan
elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran, istilah dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang
spesifik.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi / pengalihan.
Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain
untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien.
Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat
dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home
medication list”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube)
Slang, kateter dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD yang bisa
menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang
salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.
Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara
detail / rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta pemberian makan
(misalnya slang yang benar).
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV,
dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan
kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan
khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien
dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah dan praktek jarum
sekali pakai yang aman.
i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh
dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah sakit-rumah sakit. Kebersihan
tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan
masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
“alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air
pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan
teknik-teknik yang lain.
Sasaran Keselamatan Pasien. Selain dari standar keselamatan, ada lagi
yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan keselamatan pasien yaitu sasaran
keselamatan pasien atau Patient Safety Goals. Sasaran keselamatan pasien
merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh
komisi akreditasi rumah sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-
Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan
juga oleh komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRSI), dan Joint
Commission International (JCI). Menurut Joint Commission International (2013)
, sasaran keselamatan pasien terdiri dari :
1. Identifikasi pasien dengan benar
Identifikasi pasien adalah suatu proses pemberian tanda pengenal atau
pembeda yang mencakup nomor rekam medis dan identitas pasien dengan tujuan
untuk membedakan antara pasien satu dengan pasien yang lainnya,sehingga
mempermudah petugas kesehatan dalam proses pemberian pelayanan kesehatan
kepada pasien yang datang berobat, serta untuk mencegah kesalahan dan
kekeliruan dalam proses pemberian pelayanan, pengobatan, tindakan atau prosedur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Dalam mengidentifikasi pasien terdapat beberapa elemen penting dalam
penilaian antara lain:
a) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomer kamar atau lokasi pasien
b) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah
c) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis
d) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan atau
prosedur
e) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.
Prosedur identifikasi pasien meliputi :
1. Penulisan nomor rekam medis
2. Penulisan identitas pasien yang disesuaikan dengan KTP / SIM / KK /
Paspor yang berlaku
3. Penulisan identitas pasien meliputi :
a) Nama Lengkap
b) Tempat / Tanggal Lahir
c) Jenis Kelamin
d) Alamat Lengkap
e) Agama
f) Pekerjaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
g) Nama Suami / Istri
h) Nama Ibu / Ayah
i) Penanggung Jawab
j) Tanggal Registrasi
4. Jika ada perubahan data identitas pasien pada kunjungan berikutnya
maka identitas pertama harus dirubah dengan identitas yang baru (up to
date)
5. Identifikasi pada gelang pasien, meliputi :
a) Pencantuman nomor rekam medis
b) Pencantuman nama lengkap
c) Pencantuman tanggal lahir
d) Warna gelang disesuaikan dengan kondisi pasien; warna biru untuk
pasien laki-laki, warna pink untuk pasien perempuan, warna merah untuk
pasien alergi, warna kuning untuk pasien resiko jatuh, dan warna ungu
untuk pasien yang tidak boleh diresusitasi.
e) Setiap dilakukan pemasangan gelang, petugas harus menjelaskan manfaat
gelang pasien dan bahaya jika menolak, melepas, dan menutupi gelang.
f) Sebelum pemberian pelayanan kepada pasien, petugas harus
mengidentifikasi pasien terlebih dahulu, meliputi : sebelum pemberian
obat, darah atau produk darah, mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis serta pemberian tindakan, petugas harus
menganamnesa identitas pasien dan mengecek gelang pasien secara teliti
dan terperinci.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif
Komunikasi efektif adalah sasaran kunci utama dari sasaran
keselamatan pasien karena komunikasi adalah penyebab yang paling
sering menimbulkan masalah keselamatan pasien (patient safety).
Komunikasi yang efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
dipahami oleh penerima dapat membantu mengurangi kesalahan dalam
pemberian pelayanan dan juga dapat membantu meningkatkan
keberhasilan pelaksanaan program keselamatan pasien. Maka dalam
pelaksanaan komunikasi efektif harus dibangun aspek kejelasan,
ketepatan, sesuai dengan konteks baik bahasa dan informasi, alur yang
sistematis, dan budaya.
Komunikasi yang tidak efektif akan menimbulkan risiko kesalahan
dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien. Sebagai contoh akibat
komunikasi yang tidak efektid yaitu terjadinya kesalahan dalam pemberian
obat ke pasien, kesalahan melakukan prosedur tindakan perawatan.
Mencegah terjadinya risiko kesalahan pemberian asuhan keperawatan
maka perawat harus melaksanakan sasaran keselamatan pasien komunikasi
efektif di Instalasi Rawat Inap. Komunikasi efektif dapat dilakukan antar
teman sejawat (dokter dengan dokter/ perawat dengan perawat) dan antar
profesi (perawat dengan dokter).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Rumah sakit perlu menyusun kebijakan dan atau prosedur untuk
mengatur pemberian perintah / pesan secara lisan dan lewat
telepon. Kebijakan dan atau prosedur itu harus memuat:
1) Perintah lengkap, lisan dan lewat telepon, atau hasil tes dicatat si
penerima.
2) Perintah lengkap, lisan dan lewat telepon, atau hasil tes dibaca-
ulang si penerima.
3) Perintah dan hasil tes dikonfirmasikan oleh individu si pemberi
perintah atau hasil tes.
4) Pelaksanaan yang konsisten dari verifikasi tepat-tidaknya
komunikasi lisan dan lewat telepon.
5) Alternatif yang diperbolehkan bila proses membaca-ulang tidak
selalu dimungkinkan, misalnya di ruang operasi dan dalam situasi
darurat di bagian gawat darurat atau unit perawatan intensif.
Komunikasi yang efektif dalam lingkungan perawatan kesehatan
membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan empati. Hal ini mencakup
mengetahui kapan harus berbicara, apa yang harus dikatakan dan
bagaimana mengatakannya serta memiliki kepercayaan diri dan
kemampuan untuk memeriksa bahwa pesan telah diterima dengan benar.
Meskipun digunakan setiap hari dalam situasi klinis, keterampilan
komunikasi perlu dipelajari, dipraktekkan dan disempurnakan oleh semua
perawat sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan jelas, singkat dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
tepat dalam lingkungan yang serba cepat dan menegangkan. Untuk itu
diperlukan pendekatan sistematik untuk memperbaiki komunikasi tersebut
salah satunya dengan cara komunikasi teknik SBAR (Rina, 2012).
Kerangka komunikasi efektif yang digunakan di rumah sakit
adalah komunikasi SBAR (Situation, Background, Assessment,
Recommendation), metode komunikasi ini digunakan pada saat perawat
melakukan serah terima ke pasien. Komunikasi SBAR adalah kerangka
teknik komunikasi yang disediakan untuk petugas kesehatan dalam
menyampaikan kondisi pasien.
SBAR adalah metode terstruktur untuk mengkomunikasikan
informasi penting yang membutuhkan perhatian segera dan tindakan
berkontribusi terhadap eskalasi yang efektif dan meningkatkan
keselamatan pasien. SBAR juga dapat digunakan secara efektif untuk
meningkatkan serah terima antara shift atau antara staf di daerah klinis
yang sama atau berbeda.
Melibatkan semua anggota tim kesehatan untuk memberikan
masukan ke dalam situasi pasien termasuk memberikan rekomendasi.
SBAR memberikan kesempatan untuk diskusi antara anggota tim
kesehatan atau tim kesehatan lainnya. Adapun keuntungan dari
penggunaan metode SBAR adalah:
a) Kekuatan perawat berkomunikasi secara efektif.
b) Dokter percaya pada analisa perawat karena menunjukkan
perawat paham akan kondisi pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
c) Memperbaiki komunikasi sama dengan memperbaiki keamanan
pasien.
Metode SBAR sama dengan SOAP yaitu Situation, Background,
Assessment,Recommendation. Komunikasi efektif SBAR dapat diterapkan
oleh semua tenaga kesehatan, diharapkan semua tenaga kesehatan maka
dokumentasi tidak terpecah sendiri-sendiri. Diharapkan dokumentasi
catatan perkembangan pasien terintegrasi dengan baik. Sehingga tenaga
kesehatan lain dapat mengetahui perkembangan pasien.
3. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, yang terjadi kurang lebih 48
jam setelah masuk rumah sakit, 3 hari setelah pulang dari rumah sakit,
sampai dengan 30 hari setelah operasi, ketika pasien dirawat untuk penyakit
non infeksi.
Infeksi ini tidak hanya terjadi kepada pasien, tetapi dapat juga
terjadi pada semua tenaga kesehatan yang bekerja didalamnya serta
pengunjung rumah sakit (WHO, 2002). Infeksi nosokomial disebabkan oleh
patogen yang mudah menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada pasien
rumah sakit yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah , sehingga
tidak mampu untuk melawan infeksi tersebut
. Dalam beberapa kasus, pasien mengalami infeksi karena kondisi
atau fasilitas kesehatan di rumah sakit yang buruk, dan atau karena staf
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
rumah sakit tidak mengikuti prosedur yang tepat seperti cuci tangan yang
baik dan benar (WHO,2009).
Kebersihan tangan (hand hygiene) merupakan tindakan
membersihkan tangan dengan sabun dan air (handwash) atau handrub
berbasis alkohol yang bertujuan mengurangi atau mencegah
berkembangnya mikroorganisme ditangan (WHO, 2009). Tindakan ini
merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi (Zulpahiyana, 2013). Hand hygiene dilakukan untuk
menghilangkan kotoran bahan organik dan membunuh mikroorganisme
yang terkontaminasi di tangan yang diperoleh karena kontak dengan pasien
terinfeksi/kolonisasi dan kontak dengan permukaan lingkungan.
Menurut Susianti (2008) dalam Zulpahiyana (2013), tujuan
dilakukannya hand hygiene yaitu;
1) Menekan atau mengurangi jumlah dan pertumbuhan bakteri pada
tangan
2) Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan
3) Mengurangi risiko transmisi mikroorganisme ke perawat dan
pasien serta kontaminasi silang kepada pasien lain, anggota
keluarga, dan tenaga kesehatan lain
4) Memberikan perasaan segar dan bersih. .
Himpunan Perawat Pengendali Infeksi Indonesia (HPPI) tahun 2010
menyatakan bahwa waktu melakukan cuci tangan, adalah bila tangan kotor,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
saat tiba dan sebelum meninggalkan rumah sakit, sebelum dan sesudah
melakukan tindakan, sebelum, saat, dan sesudah kontak dengan pasien,
lingkungan pasien, sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, serta
sesudah ke kamar mandi. Indikator mencuci tangan digunakan dan harus
dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan
(Depkes RI, 2008), yaitu :
1) Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa
(kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan
bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan
infus.
2) Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien,
setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi,
setelah menyentuh selaput mukosa.
WHO memperkenalkan konsep five moments hand hygiene sebagai
evidence-based untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial yang harus
dilaksanakan sesuai dengan seluruh indikasi yang telah ditetapkan tanpa
memperhatikan apakah petugas kesehatan menggunakan sarung tangan atau
tidak.
Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum
kontak. Indikasi “sebelum” momen ditujukan untuk mencegah resiko
penularan mikroba untuk pasien. Tiga momen lainnya terjadi setelah kontak,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
hal ini ditujukan untuk mencegah risiko transimisi mikroba ke petugas
kesehatan, perawat, dan lingkungan pasien.
WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene yang
dimaksud meliputi :
1. Sebelum menyentuh pasien
Hand hygiene yang dilakukan sebelum menyentuh pasien yang
bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan mikroorganisme,
dan di beberapa kasus melawan infeksi dari luar, oleh kuman berbahaya
yang berada di tangan.
2. Sebelum melakukan prosedur bersih / aseptik (membersihkan luka)
Hand hygiene yang dilakukan sebelum melakukan prosedur bersih
/ aseptik bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan infeksi
kuman berbahaya, termasuk kuman yang berada di dalam tubuh pasien.
3. Setelah kontak dengan cairan tubuh pasien
Hand hygiene yang dilakukan setelah kontak dengan cairan tubuh
pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari infeksi oleh
kuman berbahaya dari tubuh pasien dan mencegah penyebaran kuman di
lingkungan perawatan pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
4. Setelah menyentuh pasien
Hand hygiene dilakukan setelah menyentuh pasien bertujuan
untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman yang berada di tubuh
pasien dan melindungi lingkungan perawatan pasien dari penyebaran
kuman.
5. Setelah menyentuh peralatan di sekitar pasien
Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh peralatan di
sekitar pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman
yang berada di tubuh pasien yang kemungkinan juga berada di
permukaan/benda-benda di sekitar pasien dan untuk melindungi
lingkungan perawatan dari penyebaran kuman.
4. Pengurangan resiko pasien cidera karena jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk dilantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subjek (pasien)
yang dalam keadaan sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa
disengaja. Tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran,
atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab spesifik yang jenis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Stanley, 2006)
Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan
untuk terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang
pada saat istirahat yang dapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak
dapat dilihat karena suatu kondisi adanya penyakit seperti stroke, pingsan,
dan lainnya.
Adapun faktor-faktor resiko penyebab resiko jatuh adalah :
1. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan
mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam
kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik
tersebut antara lain adalah :
a) Gangguan muskoskeletal ( misalnya : gangguan berjalan)
b) kelemahan ekstremitas bawah
c) kekakuan sendi
d) kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan
gelap, keringat dingin, pucat dan pusing
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
2. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya)
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin,
tersandung benda-benda Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain :
a) Cahaya ruangan yang kurang terang
b) Lantai yang licin
c) Tempat berpegangan tidak kuat, tidak stabil atau tergeletak di
bawah
d) Tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok
e) Obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan
Perawat penanggung jawab pelayanan yang bertugas akan
mengidentifikasi dan menerapkan “Prosedur Pencegahan Jatuh” berdasarkan
pada :
1) Kategori risiko jatuh (rendah, sedang, tinggi)
2) Kebutuhan dan keterbatasan per-pasien
3) Riwayat jatuh sebelumnya dan penggunaan alat pengaman (safety
devices)
4) Asesmen klinis harian
Intervensi pencegahan jatuh :
1. Tindakan pencegahan umum (untuk semua kategori) :
a) Lakukan orientasi kamar inap kepada pasien
b) Posisikan tempat tidur serendah mungkin, roda terkunci, kedua
sisi pegangan tempat tidur terpasang dengan baik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
c) Ruangan rapi
d) Benda-benda pribadi berada dalam jangkauan (telepon genggam,
tombol panggilan, air minum,kacamata)
e) Pencahayaan yang adekuat (disesuaikan dengan kebutuhan
pasien)
f) Alat bantu berada dalam jangkauan (tongkat, alat penopang)
g) Optimalisasi penggunaan kacamata dan alat bantu dengar
(pastikan bersih dan berfungsi)
h) Pantau efek obat-obatan
i) Anjuran ke kamar mandi secara rutin
j) Sediakan dukungan emosional dan psikologis
k) Beri edukasi mengenai pencegahan jatuh pada pasien dan
keluarga
2. Kategori risiko tinggi : lakukan tindakan pencegahan umum dan hal-
hal berikut ini.
a) Beri tulisan di dekat tempat tidur pasien “pencegahan jatuh”
b) Beri penanda berupa gelang berwarna kuning yang dipakaikan di
pergelangan tangan pasien
c) Sandal anti licin
d) Tawarkan bantuan ke kamar mandi/penggunaan pispot setiap 2
jam (saat pasien bangun) dan secara periodik (saat malam hari)
e) Kunjungi dan amati pasien setiap 2 jam oleh petugas medis
f) Nilai kebutuhan akan:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Fisioterapi dan terapi okupasi
Alarm tempat tidur
Tempat tidur rendah (khusus)
Usahakan lokasi kamar tidur berdekatan dengan pos perawat
(nurse station)
3. Edukasi pasien/keluarga
Pasien dan keluarga harus diinformasikan mengenai faktor resiko
jatuh dan setuju untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh yang telah
ditetapkan. Pasien dan keluarga harus diberikan edukasi mengenai faktor
risiko jatuh di lingkungan rumah sakit dan melanjutkan keikutsertaannya
sepanjang keperawatan pasien
1. Informasikan pasien dan keluarga dalam semua aktivitas sebelum
memulai penggunaan alat bantu
2. Ajari pasien untuk menggunakan pegangan dinding
3. Informasikan pasien mengenai dosis dan frekuensi konsumsi obat-
obatan, efek samping, serta interaksinya dengan makanan/obat-
obatan lain.
4. Dokumentasikan semua kegiatan pencegahan risiko jatuh pada
catatan keperawatan
Rumah Sakit
Definisi Rumah Sakit. Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif serta
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat bagi yang
membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut.
Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yanglebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan
rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang dimaksud
dengan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Pelayanan yang diberikan rumah sakit dapat dibagi atas dua golongan,
yaitu pelayanan utama dan pelayanan pendukung. Pelayanan utama terdiri atas
pelayanan medis, pelayanan keperawatan, dan pelayanan kefarmasian. Pelayanan
pendukung meliputi pelayanan laboraturium, pelayanan gizi dan makanan, rekam
medis, bank darah, sentra sterilsasi, pemeriksaan sinar-X, dan layanan sosial.
Pelayanan utama di rumah sakit tidak mampu dilaksanakan sesuai fungsinya tanpa
pelayanan pendukung tersebut.
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit. Pasal 4 Undang Undang No 44 tahun
2009 Tentang Rumah Sakit memuat bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas untuk
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk
menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit
mempunyai fungsi:
a) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan,
dan
d) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Pengaturan tugas dan fungsi Rumah Sakit yang terkait dengan banyaknya
persyaratan yang harus dipenui dalam pendirian Rumah Sakit merupakan salah
satu bentuk pengawasan preventif terhadap Rumah Sakit. Di samping itu
penetapan sanksi yang sangat berat merupakan bentuk pengawasan represifnya.
Pengaturan tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh aspek pelayanan kesehatan
sebagai suatu hal yang menyangkut hajat hidup sangat penting bagi masyarakat.
Pengaturan tentang peran dan fungsi Rumah Sakit sebelumnya meliputi hal-hal
berikut ini:
1. Menyediakan dan menyelenggarakan :
b) Pelayanan medik
c) Pelayanan penunjang medik
d) Pelayanan perawat
e) Pelayanan rehabilitas
f) Pencegahan dan peningkatan kesehatan
2. Sebagai tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik atau tenaga
paramedik
3. Sebagai tempat penelitian dan pengembangan lmu dan teknologi bidang
kesehatan.
Asas dan Tujuan Rumah Sakit. Dalam pasal 2 Undang Undang No 44
tahun 2009 disebutkan “Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien, serta mempunyai fungsi sosial”.
Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit tidak dapat dijauhkan dari
ketentuan bahwa masyarakat berhak atas kesehatan sebagaimana dirumuskan
dalam berbagai ketentuan undang-undang, salah satunya dalam undang-undang
nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Sementara itu pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tinginya,
diantaranya dengan menyediakan fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan, dan salah
satu fasilitas pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit.
Adapun tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit adalah seperti dirumuskan
dalam pasal 3 Undang-Undang Kesehatan, dimana disebutkan bahwa:
“Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dalam pasal 3 Undang Undang No 44 tahun 2009 penyelenggaraan
Rumah Sakit bertujuan:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit, dan
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Klasifikasi Rumah Sakit. Jenis rumah sakit dapat dilihat dari jenis
pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan, rumah sakit terbagi
atas Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Yang dimaksud dengan
Rumah Sakit Umum adalah pelayanan kesehatan yang disediakan mencakup
semua bidang dan jenis penyakit, sedangkan Rumah Sakit Khusus hanya
menyediakan pelayanan kesehatan pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau
kekhususan lainnya.
Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi Rumah Sakit
Publik dan Rumah Sakit Privat. Rumah Sakit Publik dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah daerah, badan hukum yang bersifat nirlaba, sedangkan Rumah Sakit
Privat dikelola oleh badan hukum yang bersifat profit, yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan, klasifikasi rumah sakit dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
a. Rumah Sakit Umum kelas A
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
d. Rumah Sakit Umum kelas D;
2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
a. Rumah Sakit Khusus kelas A
b. Rumah Sakit Khusus kelas B
c. Rumah Sakit Khusus kelas C
RS Santa Elisabeth Medan merupakan rumah sakit umum kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B. Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit
yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis luas dan subspesialis
terbatas. Rumah sakit kelas B didirikan di setiap ibukota provinsi (provincial
hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah
sakit pendidikan yang tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai rumah
sakit kelas B.
Aspek pelayanan rumah sakit umum kelas B. Pelayanan yang diberikan
oleh Rumah Sakit Umum Kelas B paling sedikit meliputi :
a. Pelayanan Medik
1. Pelayanan gawat darurat harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat)
jam sehari secara terus menerus
2. Pelayanan medik spesialis dasar meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
3. Pelayanan medik spesialis penunjang pelayanan anestesiologi,
radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.
4. Pelayanan medik spesialis lain paling sedikit berjumlah 8 (delapan)
pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi pelayanan
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah,
kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik.
5. Pelayanan medik subspesialis paling sedikit berjumlah 2 (dua)
pelayanan subspesialias dari 4 (empat) subspesialis dasar yang
meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialis bedah meliputi
penyakit dalam, kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi.
6. Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 3
(tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, dan orthodonti.
b. Pelayanan Kefarmasian
Meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai, serta pelayanan farmasi klinik.
c. Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan
Meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan
d. Pelayanan penunjang klinik
Meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk semua golongan
umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
e. Pelayanan penunjang non klinik
Meliputi pelayanan laundry/llinen, jasa boga/dapur, teknik dan
pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem
informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem penanggulangan
kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
f. Pelayanan rawat inap
1. Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik
Pemerintah;
2. Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
3. Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah
Sakit milik swasta;
Aspek ketenagaan rumah sakit umum kelas B. Sumber daya manusia
(SDM) Rumah Sakit Umum Kelas B terdiri atas :
a. Tenaga Medis
1. 12 (dua belas) dokter umum untuk setiap pelayanan medik dasar
2. 3 (tiga) dokter gigi umum untuk setiap pelayanan medik gigi dan
mulut
3. 3 (tiga) dokter spesialis untuk pelayanan medik spesialis dasar
4. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
5. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik lain
6. 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan subspesialis
7. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik
spesialis gigi dan mulut
b. Tenaga Kefarmasian
1. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
2. 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh
paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
3. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
4. 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh
minimal 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
5. 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit
2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
6. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat
inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit;
7. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau
rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.
Aspek sarana, prasarana dan organisasi rumah sakit umum kelas B.
Sarana dan prasarana serta struktur organisasi pada Rumah Sakit Umum Kelas B
adalah sebagai berikut :
1. Aspek Sarana
Aspek sarana bangunan Rumah Sakit terdiri atas:
a. Ruang rawat jalan;
b. Ruang rawat inap;
c. Ruang gawat darurat
d. Ruang operasi;
e. Ruang perawatan intensif;
f. Ruang kebidanan dan penyakit kandungan;
g. Ruang rehabilitasi medik;
h. Ruang radiologi;
i. Ruang laboratorium
j. bank darah Rumah Sakit
k. Ruang sterilisasi;
l. Ruang farmasi;
m. Ruang rekam medis;
n. Ruang tenaga kesehatan;
o. Ruang pendidikan dan latihan;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
p. Ruang kantor dan administrasi;
q. Ruang ibadah;
r. Ruang tunggu;
s. Ruang penyuluhan kesehatan masyarakat Rumah Sakit;
t. Ruang menyusui;
u. Ruang mekanik;
v. Ruang dapur dan gizi;
w. laundry;
x. kamar jenazah;
y. taman;
z. pengelolaan sampah; aa.
aa. pelataran parkir yang mencukupi.
2. Aspek Prasarana
Prasarana Rumah Sakit meliputi :
a. Instalasi air;
b. Instalasi mekanikal dan elektrikal;
c. Instalasi gas medik dan vakum medik;
d. Instalasi uap;
e. Instalasi pengelolaan limbah
f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
g. petunjuk, persyaratan teknis dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan
darurat
h. Instalasi tata udara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
i. sistem informasi dan komunikasi;
j. ambulans
3. Aspek Organisasi
Struktur organisasi rumah sakit umum kelas B sebagaimana dimuat dalam
Permenkes No. 56 Tahun 2014 adalah paling sedikit terdiri atas :
1. Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit
2. Unsur pelayanan medis
3. Unsur keperawatan
4. Unsur penunjang medis
5. Komite medis
6. Satuan pemeriksaan internal
7. Administrasi umum dan keuangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
Kerangka Pikir
Gambar 1. Kerangka Pikir
Program Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien
1. Identifikasi Pasien
2. Komunikasi Efektif
3. Pencegahan Resiko
Infeksi Pasien
4. Pengurangan Resiko
Pasien Jatuh
5. Meningkatkan
Keamanan Obat-
Obatan
6. Memastikan tepat
lokasi, tepat prosedur,
dan tepat pasien
pembedahan
1. Ketersediaan sarana
dan prasarana
2. Pelatihan dan
sosialisasi
3. Kebijakan dan
implementasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang mengungkapkan kejadian atau
fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian
berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi.
Penelitian ini menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan
dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam
suatu masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, hubungan antar
variabel yang timbul, perbedaan antar fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap
suatu kondisi yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam
tentang pelaksanaan program keselamatan pasien (patient safety) di ruang rawat
inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian. Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan terletak di Jalan Haji Misbah No. 7, Medan Maimun, Kota
Medan, Sumatera Utara dengan pertimbangan yaitu 4 dari 6sasaran keselamatan
pasien belum mencapai target 100% (Laporan Panitia Mutu dan Keselamatan
Pasien Tahun 2017).
Waktu Penelitian. Waktu dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret 2018 sampai dengan selesai.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah unsur yang sedang terlibat dan atau
memiliki kemampuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan kebijakan
Permenkes No. 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan.
Informan dalam penelitian ini adalah yang mengetahui permasalahan
dengan jelas, mampu mengemukakan pendapat secara baik dan benar, dapat
dipercaya untuk dapat menjadi sumber data yang baik serta bersedia dan mampu
memberikan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu pelaksanaan
program keselamatan pasien (patient safety) di ruang rawat inap.
Informan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode
teknik purposive, yaitu teknik yang dilakukan untuk memilih informasi yang
bersedia dan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan topik
penelitian, yang terdiri dari :
1. Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien
2. Kepala Ruang Rawat Inap
3. Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
4. Pasien Rawat Inap
5. Wadir Pelaksanaan Logistik
6. Dokter
7. Petugas Laboratorium
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Definisi Konsep
a. Identifikasi Pasien adalah suatu upaya atau usaha yang dilakukan dalam
sebuah pelayanan kesehatan sebagai suatu proses yang bersifat konsisten,
prosedur yang memiliki kebijakan atau telah disepakati, diaplikasikan
sepenuhnya, diikuti dan dipantau untuk mendapatkan data yang akan
digunakan dalam meningkatkan proses identifikasi yang merupakan suatu
sistem identifikasi kepada pasien untuk membedakan antara pasien satu
dengan yang lain sehingga memperlancar atau mempermudah dalam
pemberian pelayanan kepada pasien dan terhindar dari kesalahan dalam
pemberian pelayanan kesehatan.
b. Komunikasi efektif adalah proses mengirim pesan yang dilakukan dua
arah antara tenaga keperawatan dan dokter, antar tenaga keperawatan serta
antara tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya secara lisan atau
via telepon untuk melaporkan hasil pemeriksaan medis dengan dilakukan
read back dengan tepat dan benar untuk instruksi lisan yang diterima
c. Hand Hygiene adalah suatu upaya atau tindakan membersihkan tangan,
baik dengan menggunakan sabun antiseptik di bawah air mengalir atau
dengan menggunakan handrub berbasis alkohol dengan langkah-langkah
yang sistematik sesuai urutan, sehingga dapat mengurangi jumlah bakteri
yang berada pada tangan yang bertujuan untuk menurunkan resiko infeksi
karena sering kontak antara petugas dan pasien.
d. Pasien beresiko jatuh adalah pasien yang beresiko mengalami insiden
secara cepat dan tiba-tiba berpindah posisi dari tempat tidur ke lantai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
sampai setengah atau lebih bagian tubuh berada di lantai, sehingga
memungkinkan pasien mengalami cedera ringan sampai berat atau tidak
menimbulkan cedera.
e. Ketersediaan sarana dan fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat yang mendukung dan dibutuhkan untuk memudahkan dalam
pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat inap.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam dengan
berpedoman pada panduan wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
yang berisi tentang variabel-variabel penelitian. Untuk melengkapi hasil
wawancara mendalam, peneliti juga memerlukan dokumen-dokumen yang terkait
dengan tujuan penelitian.
Metode Pengukuran
Untuk menjaga kualitas dan keakuratan data, maka dilakukan triangulasi.
Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu
dengan membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-
orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakanya sepanjang waktu,
membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
(Moleong, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
Metode Analisis Data
Menurut Sugiyono (2010) yang mengutip metode Milles dan Huberman,
analisa data kualitatif dengan dilakukan secara simultan dengan proses
pengumpulan data, interpretasi data dan dibuat matriks untuk mempermudah
dalam melihat data secara lebih sistematis. Data yang sudah terkumpul dibahas
secara mendalam dalam bentuk naratif atau menjabarkan unit-unit.
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dilokasi penelitian (data lapangan) dituangkan
dalam uraian laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang
penting kemudian dicari tema atau polanya. Selanjutnya pada saat
pengumpulan data berlangsung diadakan tahap reduksi data, kemudian
membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus dan
menulis memo.
Berikut adalah contoh reduksi data yang dilakukan oleh peneliti pada
saat peneliti melakukan wawancara kepada salah satu informan mengenai
kepatuhan petugas kesehatan dalam menjaga kebersihan tangan :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Tabel 1
Contoh Tahap Hasil Reduksi Data
Fokus Penelitian Hasil Wawancara Hasil Reduksi Data
Kepatuhan Petugas
Dalam Menjaga
Kebersihan Tangan
(Hand Hygiene)
“Memang kalau dari segi
ketersediaan hand sanitizer
sudah lumayan lah, tapi ya
itu tadi meskipun sudah
ada tersedia, masih banyak
juga petugas yang tidak
mencuci tangannya
sebelum visit atau memberi
tindakan. Itu sebenarnya
karena masih kurang sering
diadakan sosialisasi,
jadinya masih banyak yang
lupa.”
Kurang maksimalnya
pencapaian sasaran
kepatuhan petugas
dalam menjaga
kebersihan tangan
bukan semata-mata
disebabkan oleh
kurangnya ketersediaan
sarana, namun karena
jarangnya sosialisasi
yang dilakukan
terhadap semua
petugas kesehatan di
Rumah Sakit (klinis
dan non-klinis)
Sumber : Proses Wawancara & Reduksi Data Peneliti (2018)
2. Penyajian Data
Penyajian data berguna untuk membantu mempermudah peneliti untuk
dapat melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari
penelitian. Batasan yang diberikan dalam penyajian data adalah sekumpulan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini, penyajian data
diwujudkan dalam bentuk uraian. Akan tetapi, paling sering digunakan untuk
menyajikan data dalam penelitian ini adalah dengan teks naratif.
3. Penarikan Kesimpulan
Verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian
berlangsung. yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama
proses pengumpulan data. Peneliti menganalisis dan mencari pola, tema,
hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, yang dituangkan dalam
kesimpulan. Dalam penelitian ini penarikan kesimpulan dilakukan dengan
pengambilan intisari dari rangkaian kategori hasil penelitian berdasarkan
observasi, wawancara serta dokumentasi hasil penelitian.
Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin
dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin tidak, karena masalah dan rumusan masalah di dalam penelitian
kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah di
lapangan (Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Hasil dan Pembahasan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
Profil rumah sakit santa elisabeth medan. Rumah Sakit Santa Elisabeth
merupakan salah satu rumah sakit swasta yang terletak di Jalan Haji Misbah
Nomor 7 Medan, Medan Maimun, Sumatera Utara. Rumah Sakit Santa Elisabeth
merupakan rumah sakit kelas B pendidikan yang memiliki kapasitas 289 tempat
tidur, 90 orang tenaga dokter spesialis, 17 orang tenaga dokter umum, 277 tenaga
paramedis dan 260 orang tenaga non medis.
Rumah Sakit Santa Elisabeth dilengkapi dengan Ruang Rawat Inap yang
terdiri dari Ruang Penyakit Dalam, Ruang Rawat Bedah, Ruang Rawat
Perinatologi, Unit Stroke. Ruang Rawat Jalan yang terdiri dari Ruang UGD,
Ruang One Day Care, Poli Bedah, Poli Umum, Poli Penyakit Dalam, MCU, Poli
Gigi, St. Katarina, Ruang KIA, dan Ruang HD. Penunjang Medis terdiri dari
Radiologi : Rontgent, Ct- Scan, MRI, Laboratorium, PMI, Farmasi (Rawat Jalan
dan Rawat Inap), Hemodialysis (HD), Unit Fisioterapi, Unit BKIA, Unit
Endoscopy, Unit Electro Encephato Gram (EEG), dan Unit Gizi.
Awal diresmikannya RS Santa Elisabeth Medan pada tanggal 19
November 1930. RS Santa Elisabeth Medan pada awalnya dikelola langsung oleh
Moeder Overste yang memiliki wewenang penuh baik mengelola rumah sakit
maupun dalam kongregasi (biara). Istilah “direktur” baru dikenal dan digunakan
dalam rumah sakit pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1966, rumah sakit
mulai mengalami perubahan besar dalam hal manajemen rumah sakit, yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
dengan adanya struktur kepemimpinan baru dan pemisahan yang jelas antara
pimpinan rumah sakit dan pimpinan kongregasi (biara).
Sejarah rumah sakit santa elisabeth medan. Sejarah berdirinya rumah
Sakit Santa Elisabeth tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Suster FSE di
Indonesia yang diawali dengan undangan Mgr.Mathias pada tahun 1922, ketika
itu beliau ingin mengembangkan pelayanan sosial, khususnya pelayanan
kesehatan di Indonesia. Untuk maksud itu beliau mencari tenaga ke Negeri
Belanda melalui Mgr.Hopmans di Breda. Permintaan ini disetujui dan
Mgr.Hopmans meminta tenaga kepada Moeder Asisia sebagai Pemimpin
Kongregasi FSE di Breda.
Pada tanggal 29 Agustus 1925, empat suster (Sr.Pia, Sr.Philothea,
Sr.Gonzaga dan Sr.Antonette) berangkat dari berangkat dari negeri Belanda dan
tiba di Medan 29 September 1925. Keempat suster ini tinggal di sebuah rumah
kecil di Jl.Wasir sekarang Jl.Kol.Sugiono 8 Medan. Rencana semula mereka akan
membantu di rumah sakit pemerintah, tetapi karena tidak diterima akhirnya meeka
melayani penderita sakit dan menolong persalinan dari rumah ke rumah.
Pelayanan ini kurang efektif karena sangat terbatas, sehingga diputuskan membeli
sebuah rumah unuk tempat suster-suster sekaligus tempat merawat orang sakit
dari rumah ke rumah.
Pelayanan ini semakin berkembang, karena itu diputuskan mendirikan
sebuah rumah sakit di daerah Polonia dan pada tanggal 11 Pebruari 1929 diadakan
batu pertama. Pembangunan rumah sakit berjalan lancar dan sejak Mei 1930
sebagian rumah sakit mulai difungsikan untuk menampung 25 pasien yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
dirawat pertama sekali. Pada tanggal 19 November 1930 pembangunan rumah
sakit rampung, dan saat itu juga rumah sakit diresmikan. Rumah sakit baru diberi
nama : “Rumah Sakit Santa Elisabeth”
Rumah sakit yang sudah berjalan dengan baik, terpaksa harus dikosongkan
karena situasi perang. Jepang meminta agar suster-suster menyerahkan rumah
sakit untuk dijadikan markas tentara. Suster-suster meninggalkan rumah sakit, ada
yang ditawan, ada yang mengungsi ke berastagi dan sebagian ke Jl. Gajah Mada
Medan. Sejak peristiwa ini pelayanan di rumah sakit berhenti.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, suster-suster dibebaskan dari kamp tahanan
dan dikembalikan ke medan, tapi mereka tidak dapat kembali ke rumah sakit,
karena rumah sakit sudah dikuasai Inggris. Maka untuk sementara suster-suster
tinggal di Jl. Gajah Mada, kemudian pindah ke Jl. Imam Bonjol, tetapi mereka
belum juga dibenarkan mengambil alih rumah sakit, karena rumah sakit dikuasai
lagi oleh Badan Pemerintah Belanda yang disebut Diens van Volks Gezondheid
(DVG) yang diketuai dr.Steen. Suster-suster hanya dibenarkan bekerja di rumah
sakit sebagai karyawan. Akhirnya atas kesepakatan dr.T.Mansur dengan Diens
van Volks Gezondheid (DVG) secara resmi rumah sakit diserahkan kembali
kepada suster-suster pada tanggal 4 Mei 1950.
Visi dan misi. Visi RS Santa Elisabeth Medan adalah ”Menjadi Tanda
Kehadiran Allah di Tengah Dunia Dengan Membuka Tangan dan Hati Untuk
Memberikan Pelayanan Kasih yang Menyembuhkan Orang – Orang Sakit dan
Menderita Sesuai Dengan Tuntutan Zaman.”
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
Adapun misi RS Santa Elisabeth Medan untuk mewujudkan visi tersebut,
yaitu:
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas atas dasar
kasih.
2. Meningkatkan sumber daya manusia secara profesional untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas.
3. Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai dengan tetap
memperhatikan masyarakat lemah.
Struktur organisasi
Struktur organisasi yang ada di Rumah Sakit Santa Elisabeth adalah
sebagai berikut :
Gambar 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit Santa Elisabeth
Struktur organisasi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, terdiri dari:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
1. Direktur rumah sakit
2. Wakil direktur, terdiri atas:
a. Pelayanan medik
b. Pelayanan keperawatan
c. Pelayanan keuangan
d. Pelayanan umum dan operasional
3. Komite, terdiri atas:
a. Medik
b. Etik
c. Keperawatan
4. Kepanitian, terdiri atas:
a. Panitia mutu dan keselamatan pasien
b. Panitia rekam medik
c. Panitia penelitian dan pengembangan
d. Panitia farmasi terapi
e. Panitia pencegahan dan pengendalian infeksi
f. Panitia transfusi darah
g. Panitia keselamatan dan kesehatan kerja
Tenaga kesehatan rumah sakit santa elisabeth. Jumlah tenaga
kesehatan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan adalah sebanyak 493 orang
untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
Tabel 2
Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Santa Elisabeth
No. Tenaga Kesehatan Jumlah
1 Dokter Umum 17
2 Dokter Spesialis 78
3 Dokter Gigi 3
4 Dokter Gigi Spesialis Bedah
Mulut
1
5 Perawat 226
6 Ners 29
7 Perawat Bedah 2
8 Perawat Gigi 3
9 Apoteker 1
10 Analis Farmasi 32
11 Keteknisian Medis 45
12 Tenaga Kesehatan Masyarakat 2
13 Tenaga Kesehatan Lainnya 58
Sumber : Profil Rumah Sakit Santa Elisabeth Tahun 2017
Karakteristik Informan
Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
Tabel 3
Karakteristik Informan
No. Informan Umur
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Pendidikan /
Nomor Rekam
Medis
Jabatan
1. Informan 1 48 Perempuan S2 Panitia Mutu dan
Keselamatan
Pasien (Komite
Keselamatan
Pasien)
2. Informan 2 40 Perempuan S1 / Ners Kepala Ruang
Rawat Inap
3. Informan 3 36 Perempuan DIII
Keperawatan
Perawat Pelaksana
Ruang Rawat Inap
4. Informan 4 38 Perempuan - Pasien Rawat Inap
5. Informan 5 41 Laki-Laki S1 Pelaksanaan
Logistik
6. Informan 6 65 Laki-Laki Profesi Dokter
Spesialis
Dokter
7. Informan 7 43 Perempuan S1 Petugas
Laboratorium
8. Informan 8
23 Laki-laki
S1 Keluarga Pasien
9. Informan 9 21 Perempuan D3 Keluarga Pasien
Program Keselamatan Pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2018
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah
terjadinya cedera. Insiden cidera dapat juga terjadi dari aspek seperti kesalahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
pemberian obat, kegagalan komunikasi, infeksi yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan, kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.
Pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan berhak memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
(Undang-Undang tentang Kesehatan dan Rumah Sakit Pasal 32n UU
No.44/2009). Pelayanan kesehatan dengan mengutamakan keselamatan pasien
perlu dilakukan diseluruh bagian rumah sakit, termasuk salah satunya di ruang
rawat inap. Keselamatan pasien menjadi prioritas utama dalam layanan kesehatan
dan merupakan langkah kritis pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan
serta berkaitan dengan mutu dan citra rumah sakit.
Dalam pelaksanaannya, program keselamatan pasien memiliki
beberapa sasaran yang harus tercapai untuk mendukung keberhasilan program
keselamatan pasien tersebut. Sasaran keselamatan pasien terdiri dari
pelaksanaan identifikasi pasien, pelaksanaan komunikasi yang efektif,
pencegahan terjadinya infeksi dengan hand hygiene, dan pengurangan resiko
pasien jatuh. Sasaran-sasaran ini yang menjadi acuan wawancara mendalam
dalam penelitian ini
Identifikasi pasien dalam program keselamatan pasien. Hasil
wawancara mendalam tentang pelaksanaan identifikasi pasien dalam program
keselamatan pasien sebagai salah satu sasaran pelaksanaan program keselamatan
pasien diperoleh informasi :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
“Kalo untuk gelang pasien belum intensif sih dalam hal
pengecekannya dek. Paling sering ngeliat nomor kamarnya, karna
rata-rata hafal gitu. Selama ke ruangan rawat inap kayaknya memang
masih jarang dilakukan sama teman-teman sesama perawat disini,
yaa memang sosialisasinya pun juga belum intensif sih. Paling ya
teman-teman disini karena sudah hafal sama pasiennya langsung aja
lah, kalau mau ngasih obat misalnya bilang buu ini obatnya yaa.
Mungkin di ruang VIP yang sudah lumayan intensif ya, karena di VIP
teman-teman sudah rutin dan mulai sudah dibiasakan. Jadi ya
sebenarnya harapan saya memang perlu dievaluasi lagi sih dek.”
(Informan 2)
Berdasarkan pernyataan dari hasil wawancara informan 2 dapat
diketahui bahwa pelaksanaan identifikasi pasien belum sesuai dengan SOP
yang ada. Hal tersebutn terlihat dari kebiasaan perawat yang sering tidak
memeriksa gelang pasien karena para perawat mengaku merasa sudah
hafal akan ruangan-ruangan dan nama-nama pasien sehingga tidak perlu
memeriksa kembali gelang yang dipakai oleh pasien. Dari pernyataan
informan juga dapat diketahui bahwa masih terdapat perbedaan kepatuhan
dalam pelaksanaan identifikasi pasien antara ruang VIP dan ruang reguler.
Pernyataan informan tentang pelaksanaan identifikasi pasien
pengetahuan perawat tentang identifikasi pasien, SOP yang
mengatur, dan hambatan dalam melaksanakan identifikasi pasien.
“Ya, rata-rata sih kita sebagai perawat sudah tau apa itu identifikasi
pasien, gimana pelaksanaannya secara umum. SOP yang ngatur
tentang itu pun juga ada.. cuma memang pada saat pelaksanaannya,
kita masih suka lupa. Misalnya begini, jujur, penjelasan tentang obat
yang akan diberikan kita gak pernah kasih penjelasan secara detail,
cuma sekedar ngomong aja ini ya bu obatnya.. nanti dimakan jam
sekian.. tapi kita ndak menjelaskan obat ini tujuannya apa. Paling
kalo obat-obat yang agak “ekstra” pemberiannya, dijelasin lah.
Terus kalo soal konfirmasi identitas pasien, kalo itu pasien baru ya
awal-awalnya dikonfirmasi sih.. ditanya namanya, liat gelangnya..
tapi kalo pasien lama, biasanya kita udah hafal cuma liat nomor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
kamar ato nomor bednya aja.. Kalau soal kendala, memang masih
kurang sosialiasi dan pelatihan patient safety disini dek. Makanya
memang diharapkan rutinlah dibuat pelatihan supaya semua
pencapaian di rumah sakit ini bisa memenuhi standar.” (Informan 3)
Berdasarkan pernyataan informan 3 dari hasil wawancara diatas
dapat diketahui bahwa rata-rata perawat sudah paham tentang bagaimana
pelaksanaan identifikasi pasien secara umum dan sudah memahami
bagaimana prosedur yang seharusnya dilaksanakan. Rumah sakit juga
sudah memiliki SOP yang memuat tentang pelaksanaan identifikasi pasien
sendiri baik untuk poli umum ataupun ruang rawat inap.
Namun yang menjadi kendala dalam pelaksanaan identifikasi
pasien tersebut adalah perawat yang sering lupa dan terkadang merasa
tidak perlu memeriksa kembali identitas pasien dikarenakan merasa ingat
akan pasien (khususnya pasien yang sudah lama dirawat).
Terlihat juga bahwa ketegasan pihak rumah sakit dalam
menjalankan kebijakan di rumah sakit masih kurang, sehingga masih
banyak perawat dan petugas lainnya yang kurang patuh dalam
melaksanakan pekerjaan di rumah sakit.
Pernyataan informan tentang pelaksanaan identifikasi pasien oleh
perawat
“Pas kemaren baru pertama masuk kamar opname kemarin aja
palingan susternya nanya nama dek. Itupun ya dia gak ada kasih tau
namanya siapa dan dia itu kerja shift dari jam berapa sampai jam
berapa kayak yang adek tanya itu. Paling ya cuma nanya nama saya
aja, terus langsung pasang gelang, terus infus dan lain-lain lah dek.
Kadang pas mau ganti botol infus atau mau ngambil darah pun ya
ada sih satu dua orang yang nanya nama lengkap terus ngeliat gelang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
saya. Tapi ada juga beberapa yang langsung aja tanpa nanya atau
liat gelang gitu.” (Informan 4)
Berdasarkan pernyataan informan 4 dari hasil wawancara diatas
dapat diketahui bahwa SOP identifikasi pasien belum terlaksanakan
dengan baik. Terlihat dari perawat yang tidak membiasakan untuk
memperkenalkan diri kepada pasien, tidak mengecek identitas pasien saat
sebelum memberikan tindakan (mengganti infus atau mengambil sampel
darah), tidak menanyakan kembali nama pasien untuk memastikan
identitas pasien, dll.
“Perawatnya ramah dek. Pas kemarin awal masuk langsung dicek
gitu namanya, tanggal lahirnya, nomor-nomor gitu, terus juga
perkenalin diri. Saya merasa bagus pelayanannya. Perawatnya pun
kalau misalnya mau mengganti botol infus atau misalnya mau ngasih
obat dan mau ngambil darah gitu kan, biasanya dia nanya nama saya
dulu terus ditulis ke label-label gitu baru ditempel ke botolnya.”
(Informan Pasien Rawat Inap Ruangan Pauline VIP Kelas I)
Berdasarkan pernyataan informan diatas terlihat bahwa para perawat
sudah melaksanakan identifikasi pasien dengan baik dan benar. Perawat
rajin mengecek kembali identitas pasien sebelum memberikan tindakan
kepada pasien yang bersangkutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perawat sudah melaksanakan identifikasi pasien sesuai dengan SOP yang
berlaku.
“Ya pas masuk dipasang gelang yang udah ada namanya gitu lah.
Gak ada kenalan-kenalan juga sih gitu siap masuk yaudah susternya
paling nyatat-nyatat terus permisi keluar. Palingan kalo mau ngasih
obatlah, bilang buu ini obatnya atau makan obat dulu ya buu.. udah
gitu aja lah palingan dek” (Informan Pasien Rawat Inap Ruangan
Santa Lidwina)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
Berdasrkan pernyataan informan diatas terlihat pelaksanaan identifikasi
pasien masih kurang berjalan dengan lancar. Terlihat dari masih minimnya
interaksi antara perawat dan pasien.
Berdasarkan pernyataan dari beberapa informan diatas tentang
pelaksanaan identifikasi pasien, dapat diketahui bahwa pelaksanaan
identifikasi pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth belum
maksimal pelaksanaannya. Terlihat dari masih rendahnya kesadaran dan
kepatuhan perawat untuk melaksanakan tugas sesuai dengan SOP
identifikasi pasien yang sudah diterapkan. Sehingga pelaksanaan sasaran
program keselamatan pasien tidak berjalan dengan maksimal.
Ketepatan identifikasi pasien dalam mendukung pelaksanaan
program keselamatan pasien adalah penting terhadap lima sasaran lainnya
dalam keselamatan pasien untuk dapat dijalankan dengan baik.
Pelaksanaan identifikasi pasien ini adalah penting perannya untuk
menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pemberian tindakan
yang dapat menimbulkan kecelakaan atau kejadian tidak diharapkan yang
tentunya dapat merugikan pasien dan rumah sakit itu sendiri.
Identifikasi pasien adalah proses pencatatan data pasien yang benar
sehingga dapat menetapkan dan mempersamakan data tersebut dengan
individu yang bersangkutan, identifikasi tersebut dilakukan mulai pasien
datang sampai pasien pulang. Adapun terdapat lima elemen pada sasaran
ketepatan identifikasi pasien, yaitu :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak
boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk
darah
3. Pasien diidentifikasi sebelum pengambilan darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan
5. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi
Berdasarkan penelitian Guesthi dkk (2016) dikatakan bahwa
perawat penting untuk memperhatikan pelayanan keperawatan kepada
pasien terutama dalam menerapkan patient safety, oleh karena itu penting
untuk dilakukan kegiatan pelatihan keselamatan pasien kepada petugas
untuk meningkatkan kualitas pelayanan di ruang rawat inap.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perawat melakukan
identifikasi pasien hanya dengan menanyakan pasien, bukan nama panjang
pasien, dan terkadang juga tidak menanyakan nama sama sekali hanya
berpatokan pada nomor kamar saja dengan alasan bahwa perawat sudah
kenal pasien.
Sedangkan menurut standar TKPRS yang berlaku di Indonesia,
petugas harus menanyakan nama pasien dengan dua nama pasien, maksud
dari hal tersebut adalah nama lengkap dari pasien tersebut. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kesalahan jika terdapat pasien yang memiliki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
nama yang sama. Perawat juga seharusnya mengidentifikasi pasien dengan
minimal dua identitas pasien, seperti nama pasien, tanggal lahir, atau
nomor rekam medis pasien. Adapun SOP yang berlaku implementasinya
di lapangan belum sesuai dengan pelaksanaan di lapangan. Dapat
disimpulkan dari elemen pertama hingga kelima belum sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan.
Standar Prosedur Operasional (SPO) tentang identifikasi pasien di
Rumah Sakit Santa Elisabeth medan masih ada beberapa hal yang kurang
dari elemen sasaran ketepatan identifikasi pasien. Prosedur ini belum
disosialisasikan kepada perawat secara keseluhan. Berdasarkan penelitian,
tidak semua perawat mendapatkan sosialisasi dari kepala ruangan terkait
SPO ketepatan identifikasi pasien. Beberapa perawat lainnya mengaku
belum pernah mendapat sosialisasi terhadap SPO ketepatan identfiikasi
pasien. Oleh karena itu, prosedur identifikasi pasien tidak diketahui secara
keseluruhan oleh perawat. Sosialisasi seharusnya dilakukan secara
menyeluruh kepada seluruh perawat agar pelaksanaan ketepatan
identifikasi pasien berjalan dengan optimal. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian Yudhawati dan Listiowati, yang menyatakan bahwa sosialisasi
dan SPO yang belum optimal menjadi hambatan dalam pelaksanaan
ketepatan identifikasi pasien oleh perawat.
Berdasarkan penelitian, tidak semua perawat mengetahui dengan
tepat SPO identifikasi pasien yang ada di Rumah Sakit Santa Elisabeth.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Hanya sebagian kecil perawat yang mengetahui dengan tepat prosedur
dalam mengidentifikasi pasien.
Prosedur yang sering terlewat oleh perawat saat melakukan
identifikasi pasien yaitu mengidentifikasi pasien dengan dua identitas
pasien dan melakukan verifikasi dengan membandingkan data pasien
dengan gelang identitas yang digunakan pasien. Hal ini dapat membuat
pelaksanaan ketepatan identifikasi pasien tidak berjalan dengan optimal.
Oleh karena itu, tim keselamatan pasien perlu melakukan sosialisasi terkait
prosedur identifikasi pasien agar pelaksanaan ketepatan identifikasi pasien
dapat berjalan optimal.
Berdasarkan penelitian, perawat juga sering tidak menanyakan
identitas pasien dengan pertanyaan terbuka jika sudah mengenal pasien
atau pasien tersebut sudah lama dirawat di rumah sakit. Hal ini karena
beberapa perawat berpikir agar pasien tidak merasa bosan ditanya terus-
menerus oleh perawat saat melakukan tindakan/asuhan pada pasien.
Berdasarkan penelitian, sebagian besar pasien/keluarga pasien
mengatakan tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang identifikasi
pasien dan kegunaan gelang identitas. Berdasarkan SPO pemasangan
gelang, bahwa petugas merupakan petugas yang memiliki tanggung jawab
untuk menjelaskan kegunaan gelang identitas dan pentingnya identifikasi
pasien. Namun, pada praktiknya, yang memakaikan gelang identitas
kepada pasien yaitu perawat, tetapi perawat tidak memberikan penjelasan
saat memasangkan gelang identitas. Sedangkan pasien harus ikut terlibat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
dalam ketepatan identifikasi pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian
Anggraeni dkk yang menyatakan bahwa untuk menghindari kesalahan
identifikasi pasien, pasien dan keluarga dilibatkan secara aktif dengan
memberikan penjelasan / edukasi tentang resiko jika terjadi kesalahan
identitas dengan meminta pasien dan keluarga untuk bertanya dan
mencocokkan data pasien.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Rumah Sakit
Santa Elisabeth belum melaksanakan proses identifikasi pasien dengan
maksimal. Hambatan dalam pelaksanaan proses identifikasi pasien adalah
perawat jarang menanyakan kembali nama lengkap pasien dan jarang
memeriksa gelang identifikasi untuk memastikan identitas pasien.
Untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pemberian tindakan
ataupun diagnosa, yang dilakukan dalam proses identifikasi pasien adalah
selalu mengkonfirmasi ulang identitas pasien yang akan diberikan
tindakan seperti menanyakan kembali nama lengkap ataupun tanggal ulang
tahun pasien, memeriksa gelang identitas yang dipakai pasien untuk
menyocokkan identitas pasien, tetapi yang dilakukan perawat adalah
hanya melihat nomor kamar pasien untuk pasien yang sudah lama dirawat
dengan alasan bahwa perawat sudah mengenal dan hafal akan nama
pasien.
Kurang maksimalnya peran perawat dalam melaksanakan
identifikasi pasien rawat inap ini sejalan dengan pernyataan pada
penelitian Guesthi dkk (2016) disebabkan oleh pelatihan dan sosialisasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
yang jarang diberikan serta kurang rutinnya monitoring dan evaluasi yang
dilakukan pihak rumah sakit sehingga menyebabkan kurangnya kesadaran
dan pengetahuan perawat dalam pelaksanan proses identifikasi pasien
tersebut.
Pelaksanaan komunikasi dalam program keselamatan pasien. Hasil
wawancara mendalam tentang pelaksanaan komunikasi dalam program
keselamatan pasien diperoleh informasi :
Pernyataan informan tentang pelaksanaan komunikasi oleh
perawat dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan
komunikasi
“Komunikasi disini lisan dan tulisan sih dek. Kan, kalau untuk status
dan laporan pastinya bersifat tulisan. Untuk menerima dan
memberikan informasi atau perintah, biasa secara lisan (melalui
telepon). Kemudian baca isi status dan lainnya. Terkadang karena
berlomba dengan waktu, dan terburu-buru. Komunikasi tidak terjadi
dua arah jadinya dek. Hanya sebatas membaca kemudian tidak sempat
bertanya jawab dan tidak sempat juga nanya hal yang misalnya kurang
paham. Kalo ada hal-hal penting ajalah baru dikasihtau secara lisan.
Ya harapannya sih rutin diadakan evaluasi dan sosialiasi supaya
tercapai komunikasi dua arah. Jadi kalo ada yang gak ngerti bisa
ditanyain.” (Informan 3)
Berdasarkan pernyataan informan 3 diatas dapat diketahui bahwa
pelaksanaan komunikasi antara dokter dan perawat masih terkendala dari
segi waktu, sehingga perawat tidak terlalu leluasa untuk bertanya
mengenai perintah yang diterima melalui telepon yang menyebabkan
penyebaran informasi kurang meluas. Sehingga perawat tidak bisa
melaksanakan tugasnya secara maksimal karena kurang jelasnya informasi
yang diterima. Pelaksanaan komunikasi masih kurang maksimal dari segi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
kurangnya sosialisasi dan pelatihan yang diterima oleh perawat, sehingga
masih ada beberapa perawat yang kurang paham akan prosedur
pelaksanaan komunikasi.
Pernyataan informan tentang prosedur komunikasi dalam serah
terima pasien, sistem komunikasi yang digunakan, dan hambatan
dalam pelaksanaan komunikasi antar sesama petugas
“Kalau komunikasi yang terjadi disini pastinya lisan, hanya kalau
untuk status dan laporan pasti secara tertulis. Kalau proses transfer
atau serah terima pasien, misalnya dari ruang rawat inap ke kamar
bedah, ahli anastesi harus memberitahu terlebih dahulu bagaimana
kondisi pasien secara umum, kemudian apa kesulitan yang dimilki
pasien. Lalu, disertai dengan perawat yang memberikan laporan
perawatan, resep obat yang sudah diterima pasien, dan cairan yang
dibutuhkan pasien. Kalau dari sistem komunikasi antara dokter dan
perawat, disini menggunakan sistem SBAR. Hambatannya ada sih,
beberapa perawat kadang kurang tanggap dalam pelaksanaan read
back, suka lupa ngasih stempel read back di rekam medis pasien.
Setelah meghubungi DPJP, langsung dikerjain aja perintahnya
akibatnya lupa ngestempel rekam medisnya. Harapannya ya
diharapkan untuk lebih rutin dilakukan sosialisasi patient safety
terlebih untuk perawat.” (Informan 6)
Berdasarkan pernyataan informan 6 diatas, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan komunikasi organisasi sudah mendekati optimal. Hanya saja
berkendala di pengetahuan perawat yang masih kurang yang disebabkan
oleh kurang luasnya penyebaran informasi mengenai prosedur dalam
pelaksanaan komunikasi SBAR, sehingga masih banyak perawat yang
lalai dalam pelaksanaan komunikasi tersebut.
Pernyataan informan petugas lab tentang tidak adanya kendala
dalam penyampaian informasi seputar hasil pemeriksaan
“Dari laboratorium sendiri tidak ada hambatan, pelaporan yang kami
lakukan juga selalu tepat waktu.. setelah hasil keluar, kami langsung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
komunikasikan ke perawat biasanya kemudian informasi selanjutnya
sudah menjadi wewenang perawat dan dokter lah.” (Informan 7)
Berdasarkan pernyataan informan 7 diatas, dapat diketahui bahwa
sistem pelaporan hasil laboratorium sudah dilaksanakan dengan optimal.
Pelaksanaan pelaporannya sudah sesuai dengan standar prosedur yang
menyatakan bahwa pelaporan harus dilaksanakan dengan waktu yang
minimalis sehingga pasien tidak perlu menunggu terlalu lama.
Pernyataan informan tentang keluhan dalam pelayanan yang
diterima seputar penyampaian hasil diagnosa yang cukup lama
“Kekurangan yang dirasakan selama dirawat disini sih kadang kalo
ngasihtau hasil lab, apalagi hasil cek darah gitu, mau kadang gak
sesuai janji. Kan kadang janjinya tuh diambil darahnya pagi terus
sorenya udah keluar kan.. kadang perawatnya harus bolak balik
ditanya soal hasilnya, barulah ntar dikasihtau. Suka terlambat
ngasihtau hasilnya. Terus kadang yaudah mereka datang cuma ngasih
berkas hasilnya aja, gak dijelasin lagi selengkapnya. Harus nunggu
dokter lagi katanya. Tapi kadang dokternya pun lama kali datang.
Harus nunggu lagi”. (Informan 4)
Berdasarkan pernyataan informan 4 diatas, dapat diketahui bahwa
masih kurang sigapnya kinerja perawat dan dokter dalam menyebarkan
informasi terkait hasil laporan laboratorium kepada pasien dan keluarga
pasien yang menyebabkan pasien harus menunggu terlalu lama untuk
mendapatkan hasil dan penjelasan mengenai hasil pemeriksaan
laboratorium.
Berdasarkan pernyataan beberapa informan diatas dapat diketahui
bahwa pelaksanaan komunikasi di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa
Elisabeth ini adalah lisan dan tulisan. Metode yang digunakan adalah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
metode komunikasi SBAR. Terlihat bahwa informan secara sebagian besar
sudah melaksanakan SBAR dengan maksimal, khususnya dalam hal
proses serah terima pasien, perawat ruangan sudah melaksanakan dengan
maksimal. Namun dari pernyataan informan 4 (pasien rawat inap) dapat
terlihat kekurangan dari proses penyampaian hasil laboratorium oleh
perawat dan dokter yang terlalu lama.
Hal tersebut menunjukkan belum maksimalnya pengetahuan dan
kinerja perawat dan belum maksimalnya komunikasi efektif karena hal
tersebut belum sesuai dengan standar komunikasi efektif yang menyatakan
bahwa proses komunikasi itu harusnya terlaksana secara cepat dan tepat
serta tidak memakan waktu yang lama.
Tantangan lainnya adalah proses komunikasi antara dokter dan
perawat. Terlihat masih banyak perawat yang kurang efektif yaitu masih
terdapat perawat yang lupa melaksanakan read back yang dikarenakan
masih kurangnya sosialisasi yang diterima para perawat dalam hal
program patient safety dimana hal tersebut dapat menyebabkan kurang
optimalnya pelaksanaan sasaran program keselamatan pasien.
Keselamatan pasien menjadi tuntutan masyarakat dalam
pelaksanaan program keselamatan pasien dirumah sakit yang perlu
dilakukan, maka rumah sakit perlu melaksanakan sasaran keselamatan
pasien (SKP). Sasaran keselamatan pasien tersebut meliputi ketepatan
identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
tepatprosedur, tepat-pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan, dan pengurangan risiko pasien jatuh.
Dari enam sasaran keselamatan pasien, unsur yang utama dari
layanan asuhan ke pasien adalah komunikasi efektif (Permenkes RI No.
1691/Menkes/Per/VIII/2011).
Komunikasi yang efektif merupakan kunci bagi perawat untuk
mencapai keselamatan pasien berdasarkan sasaran keselamatan pasien di
rumah sakit. Metode komunikasi yang efektif adalah dengan
menggunakan komunikasi SBAR, komunikasi SBAR (Situation,
Background, Assesment, Recomendation).
Penggunaan alat komunikasi SBAR dapat meningkatkan kualitas
dan kelengkapan transfer informasi dan kepuasan pasien yang mengalami
patah tulang pinggul, hal ini sesuai dengan sasaran keselamatan pasien
yaitu kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi.
Komunikasi SBAR dapat meningkatkan dampak panggilan dari telepon
sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien akibat tindakan yang
dilakukan oleh dokter junior, hal ini tertuang dalam standar keselamatan
pasien rumah sakit yaitu komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk
mencapai keselamatan pasien.
Penggunaan komunikasi yang tepat dengan read back telah
menjadi salah satu sasaran dari program patient safety yaitu peningkatan
komunikasi yang efektif. Komunikasi SBAR meningkatkan komunikasi
lewat telepon antara perawat dan dokter sehingga dapat dikomunikasikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
dengan jelas dan baik dan dapat meningkatkan keselamatan pasien hal ini
tertuang dalam standar keselamatan pasien rumah sakit yaitu penggunaan
metode peningkatkan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien.
Menggunakan SBAR dapat meningkatkan komunikasi dalam tim
rehabilitasi interprofessional. Proses komunikasi SBAR adalah alat yang
berguna penataan komunikasi verbal dalam tim interprofessional dalam
pengaturan rehabilitasi. Alat SBAR telah digunakan oleh mayoritas
anggota tim dan telah sesuai diintegrasikan ke dalam komunikasi setiap
hari. Hal ini terus digunakan secara terusmenerus untuk keperluan
mendesak dan tidak mendesak pada situasi SBAR merupakan Teknik
komunikasi yang menjanjikan untuk mentransfer informasi kepada pasien,
komponen yang meningkatkan pengiriman informasi subjektif,
meningkatkan komunikasi informasi kritis dan menciptakan redundansi,
yang menetapkan pola yang diharapkan pada komunikasi.
Situation Background Assessment Recommendation (SBAR)
adalah alat komunikasi dalam melakukan identifikasi terhadap pasien
sehingga mampu meningkatkan kemampuan komunikasi antara perawat
dan dokter. Tujuan komunikasi SBAR yaitu Dokter lebih memperhatikan
karena informasi yang ringkas, Perawat bekerja lebih cepat,
Mengkomunikasikan masalah dengan jelas, Memberi kesempatan
menyampaikan saran kolaborasi, Keuntungan SBAR Kekuatan perawat
berkomunikasi secara efektif, Dokter percaya pada analisa perawat karena
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
menunjukkan perawat paham akan kondisi pasien, Memperbaiki
komunikasi sama dengan memperbaiki keamanan pasien. Pengenalan
komunikasi SBAR di rumah sakit sebagai rujukan meningkatkan persepsi
komunikasi yang efektif dan kolaborasi dengan perawat. Perawat yang
lebih baik dan lebih siap untuk memanggil dokter setelah pengenalan
SBAR, dengan menggunakan Item SBAR dalam catatan pasien. jumlah
kematian tidak terduga menurun.
Kepuasan dokter terhadap penggunaan komunikasi SBAR karena
dapat menatasi masalah dokumentasi yang lengkap dan kendala waktu.
Teknik SBAR merupakan metode pendidikan yang efektif untuk bermain
peran perawat dan dapat digunakan sebagai alat untuk membangun
komunikasi yang efektif antara profesional kesehatan.
Pelatihan komunikasi SBAR diterima untuk tahun pertama, dengan
perbaikan di kedua kemampuan untuk menerapkan SBAR untuk presentasi
kasus simulasi dan retensi pada sesi tindak lanjut. Format ini adalah layak
digunakan sebagai pelatihan metode dan diterima dengan baik oleh dokter.
Penelitian di masa depan akan berguna dalam memeriksa penerapan
umum model SBAR untuk komunikasi di lingkungan klinis dan pelatihan
program residensi.
Menurut Erel Joffe, et al (2013) menunjukan bahwa komunikasi
SBAR dapat meningkatkan komunikasi lewat telepon antara perawat dan
dokter dengan menggunakan tool SBAR yang sudah terstruktur dan akurat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
sehingga masalah dapat dievaluasi dan dikomunikasikan dengan jelas dan
baik dan dapat meningkatkan keselamatan pasien.
Hal ini sejalan dengan penelitian Sukesih (2015) yang menyatakan
berdasarkan The Joint Commision World (2007) telah menyampaikan
bahwa komunikasi SBAR harus selalu disosialisasikan kepada staf
diseluruh ruang perawatan. Tenaga keperawatan profesional yang
menjalankan pekerjaan berdasarkan ilmu sangat berperan dalam
penanggulangi komplikasi penyakit dan terjadinya infeksi nosokomial
serta memperpendek hari perawatan pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2014) menunjukan
Pelatihan komunikasi SBAR efektif dalam meningkatkan mutu operan
jaga di bangsal Wardah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, hal
ini menunjukan bahwa komunikasi SBAR efekif melibatkan tenaga
kesehatan, pasien dan keluarga disesuaikan kondisinya dapat membantu
dalam komunikasi, baik individu dengan tim yang akhirnya dapat
mempengaruhi perubahan dalam meningkatkan mutu operan jaga dan
meningkatkan keselamatan pasien, sehingga ada dampak positif dan
terlihat ada perbaikan pada pelaporan insiden keselamatan pasien.
Penelitian lain tentang komunikasi SBAR adalah penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2013) tentang pelatihan Komunikasi SBAR dalam
Meningkatkan Motivasi dan Psikomotor perawat tujuan penelitian
menganalisis efektifitas pelatihan komunikasi SBAR dalam meningkatkan
motivasi dan psikomotor perawat di ruang perawatan medikal bedah. Pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
penelitian ini dilaporkan adanya temuan baru bahwa komunikasi SBAR
dapat meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat hal ini dapat
mempengaruhi kinerja perawat dan dapat meningkatkatkan budaya kerja
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan sehingga dapat
meningkatkan keselamatan pasien.
Setelah dilakukan penelitian dan dibandingkan dengan hasil
penelitian terdahulu dan teori-teori yang mendukung, maka dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan komunikasi di ruang rawat inap Rumah
Sakit Santa Elisabeth sudah terlaksana dengan baik namun belum secara
optimal (belum mencapai 100%), hal ini dikarenakan masih ada sedikit
kelalaian yang dilakukan perawat yang disebabkan oleh kurangnya
pelatihan dan sosialisasi yang terima oleh perawat.
Pelaksanaan hand hygiene dalam program keselamatan pasien. Hasil
wawancara mendalam tentang pelaksanaan hand hygiene dalam program
keselamatan pasien diperoleh informasi :
Pernyataan informan tentang pelaksanaan hand hygiene, sarana cuci
tangan yang tersedia, hambatan dalam ketersediaan sarana, serta
SOP yang mengatur hand hygiene
“Setiap pengambilan sampel , petugas selalu menggunakan
handschoon, tapi sebelum nya petugas harus cuci tangan terlebih
dahulu. Biasanya handscoon disini tidak sekali pakai tapi biasanya
setelah 2 atau 3 kali pakai baru diganti, karena di masing-masing
ruangan tersedia cairan antiseptik untuk membersihkan handschoon,
jadi harus tetap steril. Pokoknya semuanya harus bersih. Kalo disini
sarana cuci tangan ya ngandalkan hand sanitizer, karna wastafel masih
jarang sekali (khususnya di ruang rawat inap bahkan gak ada). Nah
kalo soal hambatan, ya itu tadi ketersediaan sarananya masih minim
dek. Kalo soal peraturan SOP gitu ya jelas ada disini, tapi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
implementasinya masih belum sesuai sih menurut saya. Karna bahkan
dokter ato perawatnya pun masih banyak „tuh yang lupa cuci tangan
pake handsanitizer atau lupa pake handschoon. Harapannya ya kalo
bisa ditingkatkan lah pelatihan dan sosialisasi tentang cuci tangan ini,
dan sarananya diperhatikan ditingkatkan jumlahnya.” (Informan 2 dan
3)
Berdasarkan pernyataan informan 2 dan 3 diatas, dapat diketahui
bahwa penyediaan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan hand
hygiene dalam program keselamatan pasien belum dilaksanakan dengan
maksimal. Karena masih minimnya ketersediaan wastafel untuk
mencuci tangan bagi pasien maupun pendatang / pasien rawat jalan
yang mengunjungi poli umum.
Pelaksanaan hand hygiene hanya berfokus kepada penggunaan
hand sanitizer yang dimana sebenarnya hal tersebut belum optimal
untuk membersihkan tangan dari kotoran ataupun kuman bakteri.
Hambatan lainnya dari variabel sasaran ini adalah pengimplementasian
SOP yang masih kurang optimal karena masih ada dokter dan perawat
yang lupa untuk mencuci tangan dengan hand sanitizer pada saat
sebelum dan sesudah memberikan tindakan / rawatan kepada pasien.
Hal tersebut disebabkan oleh masih kurangnya sosialisasi dan pelatihan
yang diterima oleh petugas kesehatan.
Pernyataan informan tentang ketersediaan sarana cuci tangan,
pendapat petugas seputar keoptimalan pelaksanaan hand hygiene,
dan pelatihan seputar hand hygiene
“Disini ada tersedia hand sanitizer, kalau wastafel biasanya di toilet
saja. Saya pribadi sih memang jarang makenya. Karena terkadang
merasa tindakan itu tidak terlalu perlu. Disamping itu juga karena mau
cepat, jadinya lupa, makanya yaudah langsung aja. Itu aja sih.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
Menurut saya memang perlu di lakukan rapat untuk 1 kali dalam 1
semester agar bisa lebih di sosialisasikan oleh pimpinan rumah sakit
untuk selalu melakukan cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan.
Kalau bisa dibuat strukturnya atau platformnya di rumah sakit. Bisa
juga dibuat poster-poster yang mendukung. Karena kan mungkin kita
sudah pada lupa. Mungkin karena sudah lama juga” ( Informan 6)
Berdasarkan pernyataan informan 6 diatas, dapat diketahui bahwa
masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan petugas kesehatan akan
pentingnya menjaga kesehatan tangan (hand hygiene) saat sebelum dan
sesudah melakukan atau memberikan tindakan kepada pasien. Terlihat
dari pernyataan pasien yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak
terlalu perlu untuk dilakukan dan karena ingin cepat maka dari itu
informan meengabaikan hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya hand hygiene, infeksi
nosokomial, poster-poster yang memuat prosedur / tahapan mencuci
tangan, sehingga sebagian besar petugas tidak ingat dan tidak terlalu
peduli untuk menjaga kebersihan tangannya.
Pernyataan informan tentang kebiasaan petugas saat sebelum, saat,
dan sesudah memberikan tindakan pada pasien
“Kalo sepenglihatan saya sih, kalo dokter/perawatnya visit ke kamar,
misal mau ngambil darah, atau mindahin infus, jarang sih pake sarung
tangan yang putih itu. Biasanya ya langsung aja dek.” (Informan 4)
Berdasarkan pernyataan informan 4 diatas, dapat diketahui bahwa
perawat atau dokter tidak membiasakan mencuci tangan atau
menggunakan handscoon saat sebelum dan sesudah memeriksa ataupun
memberikan tindakan perawatan kepada pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
Pernyataan informan tentang SOP yang mengatur hand hygiene
dan implementasinya, kendala dalam pelaksanaan hand hygiene,
dan harapan informan untuk pelaksanaan hand hygiene
selanjutnya
“Untuk program patient safety ini memang sudah terbentuk disini sejak
lama, dan SOPnya pun untuk tiap sasaran juga sudah ada... namun
memang yang kami akui dalam hal implementasinya masih kurang dek.
Kendala dalam pelaksanaannya bukan dari segi dana. Dana kami ada,
hanya saja kurang di support manajemennya. Masih jarangnya
dilakukan monitoring dan evaluasi disini. Khususnya dalam segi
sarana dan prasarananya ya dek. Seperti wastafel, masih jarang kan?
Lebih dominan jumlah hand sanitizer dibandingkan ketersediaan
wastafel. Hal itu terjadi karena seringnya terjadi perbedaan pendapat,
karna masih ada juga yang menganggap tidak terlalu perlu sering
mengadakan pelatihan karena menganggap laporan PMKP masih
„aman‟ dengan angka kejadian yang tergolong minim itu.. Kalau dari
segi dana mungkin posting-posting pembiayaannya harus diefektifkan
lagi ya, dibuat skala prioritas seperti itu. Harapan saya sih untuk tim
ini memang ditingkatkan efektivitasnya (khususnya evaluasi dan
monitoring serta pelaksanaan pelatihan) dalam pelaksanaan program
ini.” (Informan 1 dan 5)
Berdasarkan pernyataan informan 1 dan 5 diatas, dapat diketahui
bahwa pelaksanaan hand hygiene belum dapat mencapai hasil yang
optimal dikarenakan berkendala dari dukungan manajemen rumah sakit
yang menganggap „sepele‟ sasaran keselamatan pasien ini karena merasa
bahwa laporan PMKP masih berada di batas yang aman. Kurang
maksimalnya pelaksanaan sasaran ini disebabkan juga oleh kurangnya
evaluasi dan monitoring serta sosialisasi yang dilakukan dan diberikan
kepada petugas.
Dari pernyataan beberapa informan diatas dapat diketahui bahwa
pelaksanaan hand hygiene masih belum mencapai target karena berkendala
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
pada ketersediaan sarana yaitu ketersediaan wastafel dan sabun yang
masih minim jumlahnya dan kurangnya evaluasi dan monitoring serta
pelatihan kepada petugas-petugas kesehatan yang ada di rumah sakit.
Terlihat dari pernyataan informan Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien
serta Wadir penyediaan logistik, bahwa implementasi dari SOP yang
sudah ada juga masih sangat kurang.
Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya evaluasi dan monitoring
yang dilakukan kepada para petugas kesehatan yang bertugas sehingga
masih banyak terdapat petugas yang lupa untuk mencuci tangan pada saat
sebelum dan sesudah melakukan pemeriksaan / tindakan kepada pasien
dimana hal tersebut dapat menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan
program keselamatan pasien.
Hal ini sejalan dengan penelitian Nelia (2014) yang menyatakan
bahwa salah satu langkah dari pihak rumah sakit untuk untuk membentuk
sikap positif dan meningkatkan meningkatkan pengetahuan perawat adalah
dengan ketrampilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Mengadakan
pelatihan atau sosialisasi secara periodik. Karena pelatihan bagi rumah
sakit dalam menerapkan prosedur hand hygiene dan sosialisasi dapat
memberikan dampak yang positif untuk mencegah terjadinya infeksi
nosokomial terhadap sikap perawat dalam melakukan hand hygiene dan
juga dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Hal ini
sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan upaya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
untuk melakukan perubahan perilaku afektif yang meliputi perubahan
sikap seorang terhadap sesuatu.
Salah satu faktor yang dapat mencegah dan mengurangi resiko
terjadinya infeksi nosokomial adalah dengan menjaga kebersihan tangan
(hand hygiene) terutama pada petugas kesehatan di rumah sakit. Hand
hygiene merupakan membersihkan tangan dengan sabun dan air
(handwash) atau handrub berbasis alkohol yang bertujuan mengurangi atau
mencegah berkembangnya mikroorganisme ditangan (WHO, 2009). Hand
hygiene (kebersihan tangan) merupakan teknik dasar yang paling penting
dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Hand hygiene adalah cara
yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial.
Tujuan dilakukan hand hygiene adalah untuk menghilangkan
mikroorganisme. Hand hygiene dilakukan untuk menghilangkan kotoran
bahan organik dan membunuh mikroorganisme yang terkontaminasi di
tangan yang diperoleh karena kontak dengan pasien terinfeksi/kolonisasi
dan kontak dengan permukaan lingkungan.
WHO memperkenalkan konsep five moments hand hygiene sebagai
evidence-based untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial yang harus
dilaksanakan sesuai dengan seluruh indikasi yang telah ditetapkan tanpa
memperhatikan apakah petugas kesehatan menggunakan sarung tangan atau
tidak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
WHO telah mengembangkan moment untuk kebersihan tangan
yaitu Five Moments for Hand Hygiene, yang telah diidentifikasi sebagai
waktu kritis ketika kebersihan tangan harus dilakukan yaitu sebelum kontak
dengan pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah terpapar cairan tubuh
pasien, setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan
lingkungan pasien.
Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum
kontak. Indikasi “sebelum” momen ditujukan untuk mencegah resiko
penularan mikroba untuk pasien. Tiga momen lainnya terjadi setelah
kontak, hal ini ditujukan untuk mencegah risiko transimisi mikroba ke
petugas kesehatan, perawat, dan lingkungan pasien.
WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene yang
dimaksud meliputi :
1. Sebelum menyentuh pasien
Hand hygiene yang dilakukan sebelum menyentuh pasien
bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan mikroorganisme,
dan di beberapa kasus melawan infeksi dari luar, oleh kuman
berbahaya yang berada di tangan.
2. Sebelum melakukan prosedur bersih / aseptik
Hand hygiene yang dilakukan sebelum melakukan prosedur
bersih / aseptik bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
infeksi kuman berbahaya, termasuk kuman yang berada di dalam tubuh
pasien.
3. Setelah kontak dengan cairan tubuh pasien
Hand hygiene yang dilakukan setelah kontak dengan cairan
tubuh pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari
infeksi oleh kuman berbahaya dari tubuh pasien dan mencegah
penyebaran kuman di lingkungan perawatan pasien.
4. Setelah menyentuh pasien
Hand hygiene dilakukan setelah menyentuh pasien bertujuan
untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman yang berada di tubuh
pasien dan melindungi lingkungan perawatan pasien dari penyebaran
kuman.
5. Setelah menyentuh peralatan di sekitar pasien
Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh peralatan di
sekitar pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari
kuman yang berada di tubuh pasien yang kemungkinan juga berada di
permukaan/benda-benda di sekitar pasien dan untuk melindungi
lingkungan perawatan dari penyebaran kuman.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa
pelaksanaan hand hygiene di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa
Elisabeth belum dilaksanakan dengan maksimal. Hal ini disebabkan oleh
pelaksanaannya berkendala pada ketersediaan sarana dan kurangnya
pelatihan serta sosialisasi, sehingga menimbulkan rendahnya kesadaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
petugas kesehatan untuk menjaga kebersihan tangan pada saat sebelum
dan sesudah memberikan tindakan pada pasien. Di rumah sakit sudah
tersedia hand sanitizer, namun wastafel yang disertai sabun cuci tangan
dan air mengalir belum tersedia. Belum dianggap pentingnya PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) di Rumah Sakit Santa Elisabeth,
sehingga masih jarangnya dilaksanakan pelatihan terkait kebersihan
tangan.
Pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh dalam program
keselamatan pasien. Hasil wawancara mendalam tentang pelaksanaan
pengurangan resiko pasien jatuh dalam program keselamatan pasien diperoleh
informasi :
Pernyataan informan tentang SOP yang mengatur dan sosialisasi
terkait pengurangan resiko pasien jatuh
“Kalau SOP yang mengatur tentang pengurangan resiko pasien jatuh
khususnya untuk pasien rawat inap, sejauh ini memang belum ada ya.
Kami pun memang belum pernah mendapat sosialiasi tentang ini.. belum
lagi pun memang jarang juga dilaksanakan sosialisasi terkait program
patient safety ini.” (Informan 2 dan 3)
Berdasarkan pernyataan informan 2 dan 3 diatas, dapat diketahui
bahwa pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh masih sangat minim
dikarenakan belum ada SOP yang mengatur tentang pengurangan resiko
pasien jatuh, belum pernah mendapat sosialisasi dan pelatihan. Minimnya
pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh menyebabkan masih sering
terabaikannya pasien-pasien yang seharusnya termasuk dalam kategori
beresiko untuk jatuh sehingga tidak mendapatkan pelayanan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
pengawasan khusus. Hal ini yang menyebabkan rendahnya cakupan
pencapaian sasaran pengurangan resiko pasien jatuh.
Pernyataan informan tentang pelaksanaan pengurangan resiko pasien
jatuh
“Pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh memang masih kurang
maksimal, dikarenakan masih minimnya pelatihan dan sosialiasi yang
kami laksanakan terhadap perawat. Disamping itu juga karena masih
belum diterbitkannya SOP yang mengatur tentang kebijakan pengurangan
resiko pasien jatuh tersebut. Maka dari itulah kenapa pencapaian
pengurangan resiko pasien jatuh ini yang paling terendah diantara
seluruh pencapaian program patient safety di rumah sakit ini, karena
memang pengurangan resiko pasien jatuh ini belum terlalu diperhatikan.
Jadi belum ada tuh, dilaksanakan asesmen resiko terhadap pasien.
Jadinya gak tau, kalo pasien itu termasuk kategori beresiko atau enggak.
Karena asesmen resiko itu belum dilaksanakan disini. Jadi ya istilahnya,
kalo pasien masuk ya masuk aja gitu tanpa diasemen terlebih dahulu.”
(Informan 1)
Berdasarkan pernyataan informan 1 diatas, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh belum dilaksanakan secara
maksimal dikarenakan tidak pernahnya dilaksanakan asesmen resiko
terhadap pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit sehingga para petugas
tidak mengetahui bagaimana riwayat jatuh pasien dan apakah pasien
tersebut beresiko untuk jatuh atau tidak.
Pernyataan informan tentang pelatihan dan sosialisasi tentang
pengurangan resiko pasien jatuh dan peran perawat dalam
mengontrol keamanan pasien rawat inap
“Selama dirawat disini belum pernah ada sosialisasi atau penyuluhan
tentang menjaga keamanan gitu sih. Alat bantu yang diajarin ya cuma bel
buat manggil suster dek. Suster paling bilang kalo ada apa-apa pencet aja
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
ya bu belnya. Jarang sih mereka ngecek kamar mandi atau apa.. paling ya
kalo saya butuh bantuan ke kamar mandi aja baru datang. Kalo ngecek
kondisi yaa biasa lah dek pas shift pertama sama kedua. Terus palingan
pas mereka mau ganti shift, keliling lah suster itu dari kamar ke kamar
ngasitau kalau mereka udah ganti shift. Selebihnya sih enggak pernah.”
(Informan 4 : Pasien Rawat Inap Ruang Santa Yoseph Kelas III)
Berdasarkan pernyataan informan 4 diatas, dapat diketahui bahwa
masih kurangnya edukasi tentang menjaga keamanan bagi pasien,
sehingga pasien masih kurang pengetahuannya dalam mengambil tindakan
pertama jika terjadi kejadian tak terduga. Pengawasan yang dilakukan
perawat juga masih kurang rutin, terlihat dari perawat yang tidak
melakukan pengecekan kamar mandi untuk mencegah terjadinya pasien
jatuh akibat lantai yang licin. Hal ini disebabkan oleh pelatihan dan
sosialisasi mengenai pengurangan resiko pasien jatuh yang belum pernah
diberikan kepada petugas kesehatan.
“Saya rasa sih perawatnya cukup standby dek. Perawatnya rajin juga
ngecek kamar. Terus dikasihtau bel daruratnya ada di dekat tempat tidur.
Jadi katanya kalau ada apa-apa tinggal pencet bel aja. Di kamar dan di
sepanjang dinding lorong Pauline ini juga ada semacam pegangan buat
pasien pegang pas jalan. Petugas kebersihannya juga rajin banget ngepel
lantai sampai betul-betul kering jadi lantainya gak pernah licin dek.
Menurut saya mereka menjaga keamanan pasien banget sih.” (Informan
Pasien Rawat Inap Ruang Pauline VIP Kelas I)
Berdasarkan pernyataan informan diatas dapat terlihat bahwa
keamanan pasien sangat terjaga. Perawat juga aktif memeriksa kamar pasien
dan lingkungan sekitar kamar pasien untuk mengantisipasi terjadinya pasien
jatuh. Terlihat bahwa pelaksanaan pengurangan resiko jatuh sudah berjalan
dengan baik di ruang Pauline ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Pernyataan informan tentang ketersediaan sarana pendukung
pengurangan resiko pasien jatuh di rumah sakit santa elisabeth
“Kalau fasilitas patient safety yang paling minim ketersediaannya sih
menurut saya fasilitas terkait resiko pasien jatuh. Soalnya memang sampai
sekarang pun belum ada tuh sticker atau penanda khusus yang diberikan
pihak rumah sakit untuk membedakan pasien yang masuk kategori
beresiko untuk jatuh. Jadi ya makanya itu memang sampai sekarang masih
sulit untuk mendeteksi semua pasien yang termasuk kategori beresiko
untuk jatuh.” (Informan 5)
Berdasarkan pernyataan informan 5 diatas, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh juga terkendala pada segi
sarana yang belum memadai.
Dari pernyataan beberapa informan diatas dapat dilihat bahwa
seluruh informan menyatakan pelaksanaan pengurangan resiko pasien
jatuh memang masih sangat jauh dibawah standar. Terlihat adanya
perbedaan pemberian pelayanan antara ruang rawat inap VIP dan ruang
rawat inap kelas III kebawah.
Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan manajemen rumah
sakit berupa pembentukan SOP / kebijakan yang mengatur tentang
pengurangan pasien beresiko jatuh dan pemantauan implementasinya dari
pihak rumah sakit sendiri. Dari pernyataan para informan terlihat juga
bahwa pelatihan tentang pengurangan resiko pasien jatuh belum pernah
diberikan, asesmen resiko yang belum diterapkan sehingga pasien yang
beresiko untuk jatuh masih “lolos” dari pengkategorian dan tidak
mendapatkan pelayanan yang seharusnya sesuai dengan kondisi mereka.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Hal-hal tersebut diatas merupakan tantangan-tantangan yang harus
dicapai oleh pihak panitia keselamatan rumah sakit santa elisabeth dalam
rangka memenuhi target sasaran keselamatan pasien.
Menurut penelitian Sugeng dkk (2013) disebutkan bahwa dalam
program keselamatan pasien khususnya pelaksanaan pengurangan resiko
pasien jatuh harus ditunjang dengan penyusunan Standar Prosedur
Operasional (SPO) manajemen resiko pasien jatuh yang terdiri dari SPO
screening pasien resiko jatuh, SPO pemasangan gelang identitas resiko
jatuh, SPO edukasi kepada pasien dan keluarga tentang resiko jatuh, SPO
pengelolaan pasien resiko jatuh, SPO penanganan pasien jatuh, SPO
pelaporan Insiden Kejadian Pasien pelayanan keperawatan. Sosialisasi dan
pelatihan manajemen pasien resiko jatuh dilakukan untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada petugas, khususnya perawat dalam
menunjang pelaksanaan program manajemen resiko pasien jatuh.
Kegiatan sosialisasi dan pelatihan dilakukan untuk mendorong
partisipasi aktif dan memberikan kesempatan pada peserta untuk belajar.
Pelaksanaan manajemen resiko pasien jatuh juga melibatkan keluarga atau
penunggu pasien, mengajak keluarga untuk terlibat dan berperan aktif
dalam pelaksanaan manajemen resiko pasien jatuh.
Dalam program ini petugas atau perawat mengajarkan hal-hal atau
tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah pasien terjatuh dalam
bentuk kegiatan edukasi kepada pasien dan atau keluarga tentang resiko
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
pasien jatuh dengan dibantu sarana berupa leaflet penanganan pasien
resiko jatuh.
Pasien yang dirawat di RS akan selalu memiliki resiko jatuh terkait
dengan kondisi dan penyakit yang diderita, contohnya pada pasien dengan
kelemahan fisik akibat dehidrasi, status nutrisi yang buruk, perubahan
kimia darah (hipoglikemi, hipokalemi); perubahan gaya berjalan pada
pasien usia tua dengan gaya jalan berayun/tidak aman, langkah kaki
pendek-pendek atau menghentak; pasien bingung atau gelisah yang
mencoba untuk turun atau melompati pagar tempat tidur yang dipasang;
pada pasien dengan diare atau inkontinensia.
Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi pasien jatuh,
contohnya lantai kamar mandi yang licin, tempat tidur yang terlalu tinggi,
pencahayaan yang kurang. Sedangkan dampak dari insiden jatuh yang
dialami pasien secara fisik adalah cidera ringan, sampai dengan kematian,
secara financial memperpanjang waktu rawat dan tambahan biaya
pemeriksaan penunjang (CT Scan kepala, rontgen, dll) yang seharusnya
tidak perlu dilakukan, dan dari segi hukum berisiko untuk timbulnya
tuntutan hukum bagi rumah sakit.
Meskipun demikian, resiko jatuh dapat dicegah dan banyak hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah pasien jatuh dan meminimalkan
cidera akibat jatuh. Dengan mengenali resiko jatuh maka akan dapat
diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan pencegahan
yang sesuai. Oleh karena itu, memahami resiko jatuh, melakukan tindakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
pencegahan, dan penanganan pasien jatuh, merupakan langkah yang harus
dilakukan untuk menurunkan resiko jatuh dan cidera pada pasien yang
dirawat. Resiko jatuh dapat dicegah, namun mencegah resiko jatuh bukan
berarti pasien harus membatasi mobilitas dan aktivitasnya (contohnya
berjalan, mandi, BAB, BAK, dsb) dan mengharuskan pasien untuk berada
di tempat tidur saja.
Oleh karena itu pencegahan resiko jatuh membutuhkan intervensi
dan modifikasi sesuai kebutuhan individual pasien berdasarkan hasil
pengkajian terhadap faktor resiko jatuh pasien.
Dalam upaya mengurangi resiko pasien cedera karna jatuh kita
perlu memperhatikan beberapa hal seperti usia, riwayat jatuh, aktivitas,
defisit (penglihatan, pendengaran), kognitif, pola BAB dan BAK,
mobilitas/motori. Kita harus memperhatikan usia karena resiko jatuh orang
yang lanjut usia misal 65 tahun akan lebih tinggi dibanding pada usia
dewasa, biasanya semakin bertambah tua usia seseorang tingkat
penglihatannya akan menurun, penurunan ini pun harus kita perhatikan
karna penurunan penglihatan jelas dapat mengganggu orang tersebut
beraktivitas dan dapat menyebabkan suatu cedera.
Pengurangan resiko pasien jatuh memerlukan komitmen yang
tinggi dari pimpinan dan seluruh staf. Rumah sakit harus memiliki budaya
aman agar setiap orang sadar dan memiliki tanggung jawab terhadap
keselamatan pasien karena pencegahan pasien jatuh merupakan tanggung
jawab seluruh staf di RS baik medik maupun non medik, tetap dan tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
tetap. Seluruh karyawan harus waspada terhadap risiko jatuh pasien dan
berpartisipasi dalam melakukan tindakan pencegahan diseluruh area rumah
sakit dimana pasien berada, baik area klinis/perawatan maupun area non
klinis (contohnya: area parkir, ruang tunggu, koridor RS, ruang
administrasi, dll).
Penilaian meliputi berbagai aspek seperti riwayat jatuh,
menggunaan alat bantu jalan, kebiasaan berjalan, kebiasaan berkemih,
penyakit dan obat yang dikonsumsi, dan lain - lain. Penilaian terhadap
resiko jatuh diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dan meningkatkan
kewaspadaan terhadap pasien beresiko jatuh. Dengan mengenali resiko
jatuh maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan
tindakan pencegahan yang sesuai.
Dalam mencapai sasaran tersebut, maka pada umumnya rumah
sakit diharapkan untuk:
1. Mampu melakukan pengkajian (penilaian = assessment) sedini
mungkin risiko jatuh pasien, dan melakukan pengkajian ulang jika
diindikasikan demikian, misalnya jika terjadi perubahan kondisi, atau
mendapatkan obat yang bisa meningkatkan risiko jatuh si pasien.
2. Pada pasien yang diidentifikasi memiliki risiko jatuh, maka dinilai
apakah perlu dilakukan intervensi atau tidak, jika seandainya perlu,
maka ada prosedur untuk hal tersebut yang dikenal sebagai
pencegahan jatuh pada pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
3. Saat intervensi atau prosedur tersebut dilakukan, maka perlu
dilakukan pengawasan, tentu saja juga melalui pendokumentasian;
apakah cara yang dilakukan berhasil, dan apakah cukup efektif.
4. Rumah sakit juga perlu menetapkan kebijakan serta panduan dalam
mendukung pencapaian sasaran ini. Terutama dalam hal melindungi
pasien yang ada di lingkungan rumah sakit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan sasaran keselamatan pasien pengurangan resiko pasien jatuh
di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth masih jauh dibawah
standar dan masih belum memenuhi standar yang sudah diterapkan
(100%). Terlihat dari semua pernyataan responden yang menyatakan
bahwa belum diterapkannya metode asesmen resiko terhadap pasien,
sehingga terkadang pasien yang sebenarnya termasuk kategori beresiko
untuk jatuh tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan tindakan khusus.
Sesuai dengan pernyataan responden dinyatakan bahwa hambatan
penyebabnya karena masih sangat kurangnya pelatihan dan sosialiasi yang
diberikan oleh pihak rumah sakit.
Sehingga kurangnya tingkat pengetahuan para petugas (khususnya
perawat) dalam melaksanakan pengurangan resiko jatuh pada pasien
tersebut. Ketika dibandingkan dengan teori dan penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa asesmen resiko itu penting untuk dilakukan, terlihat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
bahwa pelaksanaan pengurangan resiko pasien jatuh masih belum
terlaksana dengan optimal.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pelaksanaan program
keselamatan pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth
Medan dilihat dari pelaksanaan identifikasi pasien, komunikasi,
pelaksanaan hand hygiene, dan pengurangan resiko jatuh pada pasien
dapat disimpulkan pelaksanaan program keselamatan pasien sudah
berjalan dengan cukup baik, hanya saja belum maksimal. Dikatakan belum
maksimal karena terlihat masih ada petugas kesehatan yang kurang patuh
terhadap SOP yang berlaku, sarana yang belum 100% memadai,
implementasi SOP belum maksimal, dan masih adanya perbedaan
pelayanan yang diterima antara pasien ruang rawat inap kelas VIP dan
pasien ruang rawat inap kelas III kebawah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Program keselamatan pasien dengan 4 sasaran keselamatan pasien di
ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan belum maksimal, dalam
pelaksanaannya masih belum sesuai dengan standar keselamatan pasien (SKP),
hal ini dilihat dari :
1. Pelaksanaan ketepatan identifikasi pasien masih belum dijalankan secara
maksimal
Pelaksanaan identifikasi pasien melalui identitas pasien belum dijalankan
sesuai dengan standar yang berlaku. Kurangnya pelatihan dan sosialisasi
terkait keselamatan pasien terhadap perawat menyebabkan kurangnya
pengetahuan dan ketanggapan perawat dalam melaksanakan identifikasi
pasien. SOP yang sudah ada namun pengimplementasiannya masih sangat
minim dan belum maksimal. Perawat jarang memeriksa atau menanyakan
kembali nama lengkap pasien karena dengan alasan sudah hafal / ingat
akan pasien, maka perawat hanya mengecek melalui nomor kamar pasien
saja. Belum maksimalnya ketepatan identifikasi pasien dapat
mempengaruhi pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat
inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan dimana hal ini dapat
menyebabkan resiko terjadinya kesalahan dalam memberikan tindakan,
obat, mengambil spesimen dll.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
2. Perawat yang masih kurang terlatih dalam pelaksanaan readback
Komunikasi adalah sasaran pertama yang paling penting perannya dalam
pelaksanaan program keselamatan pasien. Jika pelaksanaan komunikasi
kurang efektif, akan berdampak pada kekeliruan dalam hal penerimaan
informasi dan pemberian tindakan. Berdasarkan hasil pelaksanannya
belum memenuhi standar (100%), hal ini disebabkan kurangnya pelatiha
dan sosialisasi terkait patient safety terhadap perawat sehingga
pengetahuan perawat masih tergolong rendah akan pelaksanaan metode
SBAR dan readback ini.
3. Masih banyaknya petugas medis / non-medis yang belum menjaga hand
hygiene saat sebelum / sesudah memberikan tindakan pada pasien
Memeriksa pasien dan memberikan tindakan pasien tanpa menjaga
kebersihan tangan (hand hygiene) sangat dapat berdampak pada kesehatan
pasien. Pasien yang dirawat adalah dalam kondisi tubuh yang „rentan‟
terhadap kuman dan penyakit. Salah satu wadah tempat masuknya kuman
dan penyakit adalah melalui tangan. Kurangnya kebersihan saat berkontak
langsung dengan pasien dapat mengakibatkan pasien, keluarga pasien, atau
orang lain yang berkunjung ke rumah sakit terjangkit penyakit lain (infeksi
nosokomial). Hal ini akan sangat mempengaruhi pelaksanaan program
keselamatan pasien di Rumah Sakit Santa Elisabeth
4. Belum dijalankannya metode asesmen resiko terhadap pasien rawat inap
Metode asesmen resiko penting perannya dalam mencegah terjadinya
pasien jatuh dari tempat tidur, tergelincir, ataupun terjadinya kecelakaan-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
kecelakaan lainnya yang tentu dapat membahayakan keselamatan pasien
tersebut (khususnya lansia dan anak-anak), dengan tidak dilakukannya
asesmen resiko pada pasien rawat inap maka akan memperbesar
kemungkinan kelalaian yang dapat berdampak pada keselamatan pasien
tersebut. Hal ini akan sangat mempengaruhi pelaksanaan program
keselamatan pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth
Medan.
5. Ketersediaan sarana yang masih minim
Sarana (logistik) di rumah sakit adalah hal yang sangat penting dalam
menunjang keberhasilan pelaksanaan program di rumah sakit. Dengan
kurangnya ketersediaan sarana tentu akan sangat mempengaruhi
pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan.
Saran
1. Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan (Tim PMKP)
Diharapkan kepada Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan agar :
1. Meningkatkan kinerja tenaga kesehatan (khususnya perawat) dengan
memberikan pelatihan dan sosialiasi terkait keselamatan pasien serta
memberikan edukasi terhadap perawat dan petugas kesehatan lainnya
terkait sasaran-sasaran keselamatan pasien secara rutin dan merata
dalam mencapai keberhasilan program keselamatan pasien dengan
pencapaian 100% di tiap sasarannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
2. Meningkatkan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan dan
pencapaian program keselamatan pasien dalam mengontrol pencapaian
program keselamatan pasien.
3. Mempertimbangkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana yang
masih belum memadai terkait program keselamatan pasien
4. Membuat kebijakan dan mengalakkan pelatihan serta sosialisasi terkait
pelaksanaan pengurangan pasien resiko jatuh
5. Mengikutkan semua petugas kesehatan (khususnya perawat) dalam
pelatihan dan seminar terkait keselamatan pasien
2. Kepala Perawat Pelaksana
Diharapkan kepada kepala perawat pelaksana agar :
1. Melaksanakan tahap-tahap pemberian tindakan pada pasien sesuai
dengan SOP yang berlaku
2. Mengikuti pelatihan dan sosialiasi untuk meningkatkan kemampuan
dalam pelaksanaan program
3. Meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang beresiko untuk jatuh
dengan rutin melakukan pemeriksaan kondisi pasien dan lingkungan
sekitarnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
Daftar Pustaka
Al-Amri, Nura Miftha. 2016. Kesiapan rumah sakit umum daerah Dr. R. M. Djoelham
dalam implementasi sistem keselamatan pasien (patient safety) tahun 2015.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Budiono, Sugeng; Sarwiyata, Tri Wahyu; Alamsyah, Arief. (2014). Pelaksanaan
program manajemen pasien dengan resiko jatuh di rumah sakit. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(1), 80-82.
Cintha, Guesti Lunes Mutiara; Suryoputro, Antono; Jati, Sutopo Patrio. (2016).
Analisis pelaksanaan identifikasi pasien dalam rangka keselamatan pasien di unit
rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 4(4), 45-48.
Cosway, B., Stevens, A.C., & Panesar, S. (2012). Clinical leadership : a role for
students. British Journal of Hospital Medicine, 73(1).
Darmojo R.B.M. (2004). Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Panduan nasional keselamatan
pasien rumah sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Upaya peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit (konsep dasar dan prinsip). Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Dwi, S; Zuhrotunida; Syahridal. (2016). Implementasi sasaran keselamatan pasien di
ruang rawat inap RSU Kabupaten Tangerang. JKFT, 2(2), 65-67.
Fauzia, Neila. (2014). Kepatuhan standar prosedur operasional hand hygiene pada
perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(1),
94-96.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
Institute of Medicine. 2000. To err is human : building a safer of health system.
Kohn, L.T., Corrigan, J.M., Donaldson, M.S. (Ed). Washington DC: National
Academy Press.
Institute of Medicine. Committee on quality of health care in america. 2001. Institute
of Medicine Reports Composite Summary. Washington DC: National Academy
Press.
Ismainar, H. (2015). Keselamatan pasien di rumah sakit. Edisi ke-1., Tujuan, Sasaran,
dan 7 Langkah Keselamatan Pasien (hal. 10-30). Yogyakarta : Deepublish.
Keles, Angella; et al. (2015). Analisis pelaksanaan standar sasaran keselamatan
pasien di unit gawat darurat RSUD Dr. Sam Ratulangi Tondano sesuai dengan
akreditasi rumah sakit versi 2012, 5(3), 253-258.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pedoman nasional keselamatan
pasien rumah sakit (patient safety). Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
KKP-RS. (2008). Pedoman pelaporan keselamatan pasien. Jakarta : KKP-RS
Lambogia, Angelita; et al. (2016). Hubungan perilaku dengan kemampuan perawat
dalam melaksanakan keselamatan pasien (patient safety) di ruang akut instalasi
gawat darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. e-journal Keperawatan (e-
Kep), 4(2), 4-7.
Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Triangulasi (hal.6-10)
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Peraturan Menteri Kesehatan RT. (2011) Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia nomor 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien di Rumah Sakit.
Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. (2017). Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia nomor 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
Peraturan Menteri Kesehatan RI. (2017). Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia nomor 27 tahun 2017 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian
infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. (2014). Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia nomor 56 tahun 2014 tanggal 18 Agustus 2014 tentang klasifikasi dan
perizinan rumah sakit. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Priyoto, dan T. Widyastuti. (2014). Kebutuhan dasar keselamatan pasien. Edisi ke-1.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rumah Sakit Santa Elisabeth. (2017). Laporan panitia mutu dan keselamatan pasien
rumah sakit santa elisabeth medan tahun 2017.
Siregar, C. J. P. Amalia, L. (2004). Farmasi rumah sakit teori dan penerapannya.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Stanley, M. Beare, P.G. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik. Jakarta : EGC
Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Metode Milles
dan Huberman. Bandung : Alfabeta
Sukesih., Istanti Permatasari Y. (2015). Peningkatan patient safety dengan
komunikasi SBAR. Jurnal Program Pascasarjana Universits Muhammadiyah
Yogyakarta, 177-183.
Ulva, Fadillah. (2014). Gambaran komunikasi efektif dalam penerapan keselamatan
pasien (studi kasus rumah sakit X di kota padang). Jurnal Keperawatan,
Kebidanan, dan Kesehatan Masyarakat, 3(2), 55-57.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Jakarta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
World Health Organization. (2009). Guidelines on hand hygiene in health care.
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44102/9789241597906_eng.pdf;js
essionid=E0ECB912FB8ED588AF20521FE1838D0C?sequence=1. Anonim.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
Lampiran 1. Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
Pelaksanaan Program Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2018
I. Daftar Pertanyaan untuk Informan Perawat Pelaksana di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
a. Identitas Informan
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Pendidikan Terakhir :
5. Tanggal Wawancara :
b. Pertanyaan
Pertanyaan mengenai identifikasi pasien
1. Bagaimana pelaksanaan identifikasi pasien disini ?
2. Apa saja langkah-langkah identifikasi pasien yang anda ketahui ?
3. Bagaimana proses pelaksanaan identifikasi pasien yang seharusnya
dilakukan menurut anda ?
4. Apakah ada hambatan yang dialami dalam pelaksanaan identifikasi
pasien disini ?
5. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur identifikasi
pasien? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang berlaku?
6. Apa harapan anda terkait pelaksanaan identifikasi pasien disini ?
Pertanyaan mengenai komunikasi
1. Bagaimana sistem pelaksanaan komunikasi yang terjadi disini?
Apakah secara lisan atau tulisan?
2. Apakah pernah diadakan pelatihan terkait pelaksanaan komunikasi
efektif disini ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
3. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
komunikasi disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang
berlaku?
4. Bagaimana sistem komunikasi antara dokter dan perawat disini ?
5. Dalam proses transfer pasien dari ruang rawat inap ke ruang rawat lain
atau sebaliknya, bagaimana proses komunikasi yang dilaksanakan?
6. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
komunikasi disini ?
7. Apa harapan anda terkait pelaksanaan komunikasi disini untuk
kedepannya ?
Pertanyaan mengenai menjaga kebersihan tangan (hand hygiene)
untuk mengurangi dan mencegah resiko infeksi nosokomial
1. Bagaimana pelaksanaan mencuci tangan disini ?
2. Bagaimana ketersediaan sarana untuk mencuci tangan disini ?
3. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
menjaga kebersihan tangan (hand hygiene) disini ?
4. Apakah pernah diberikan pelatihan atau sosialiasi terkait mencuci
tangan disini ?
5. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
komunikasi disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang
berlaku?
6. Apa harapan anda terkait pelaksanaan hand hygiene disini untuk
kedepannya ?
Pertanyaan mengenai pengurangan resiko pasien jatuh
1. Bagaimana pelaksanaan pengurangan pasien resiko jatuh disini ?
2. Bagaimana penanganan terhadap pasien bila ditemukan pasien tersebut
termasuk ke dalam pasien resiko jatuh ?
3. Apakah anda pernah mengikuti pelatihan atau sosiliasi terkait dengan
pengurangan resiko pasien jatuh ?
4. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
pengurangan dan pencegahan pasien resiko jatuh disini ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
5. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
pasien resiko jatuh disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan
standar yang berlaku?
6. Apa harapan anda terkait pengurangan pasien resiko jatuh disini untuk
ke depannya ?
II. Daftar Pertanyaan untuk Informan Kepala Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
a. Identitas Informan
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Pendidikan Terakhir :
5. Tanggal Wawancara :
b. Pertanyaan
Pertanyaan mengenai Identifikasi Pasien
1. Bagaimana pelaksanaan identifikasi pasien disini ?
2. Apa saja langkah-langkah identifikasi pasien yang anda ketahui ?
3. Bagaimana proses pelaksanaan identifikasi pasien yang seharusnya
dilakukan ?
4. Apakah ada hambatan yang dialami dalam pelaksanaan identifikasi
pasien disini ?
5. Apakah pernah dilaksanakan pelatihan (khususnya untuk perawat)
terkait identifikasi pasien disini ? Jika ya, seperti apakah pelatihan
yang dilaksanakan ?
6. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur identifikasi
pasien? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang berlaku?
7. Apa harapan anda terkait pelaksanaan identifikasi pasien disini ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
Pertanyaan mengenai komunikasi
1. Bagaimana sistem pelaksanaan komunikasi yang terjadi disini?
Apakah secara lisan atau tulisan?
2. Apakah pernah diadakan pelatihan terkait pelaksanaan komunikasi
efektif disini ?
3. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
komunikasi disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang
berlaku?
4. Bagaimana sistem komunikasi antara dokter dan perawat disini?
5. Teknik komunikasi yang bagaimana yang digunakan dalam
pelaksanaan komunikasi disini (oleh perawat dan dokter) ?
6. Dalam proses transfer pasien dari ruang rawat inap ke ruang rawat lain
atau sebaliknya, bagaimana proses komunikasi yang dilaksanakan?
7. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
komunikasi disini ?
8. Apa harapan anda terkait pelaksanaan komunikasi disini untuk
kedepannya ?
Pertanyaan mengenai menjaga kebersihan tangan (hand hygiene)
untuk mengurangi dan mencegah resiko infeksi nosokomial
1. Bagaimana pelaksanaan mencuci tangan disini ?
2. Bagaimana ketersediaan sarana untuk mencuci tangan disini ? Apakah
sudah lengkap ?
3. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
menjaga kebersihan tangan (hand hygiene) disini ?
4. Apakah pernah diberikan pelatihan atau sosialiasi (khususnya untuk
perawat) terkait mencuci tangan disini?
5. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
komunikasi disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan standar yang
berlaku?
6. Apa harapan anda terkait pelaksanaan hand hygiene disini untuk
kedepannya ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
Pertanyaan mengenai pengurangan resiko pasien jatuh
1. Bagaimana pelaksanaan pengurangan pasien resiko jatuh disini ?
2. Bagaimana penanganan terhadap pasien bila ditemukan pasien tersebut
termasuk ke dalam pasien resiko jatuh ?
3. Apakah pernah dilaksanakan pelatihan atau sosialiasi terkait
pengurangan resiko pasien jatuh disini? Jika pernah, seperti apakah
pelatihan yang diberikan?
4. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
pasien resiko jatuh disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan
standar yang berlaku?
5. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
pengurangan resiko pasien jatuh disini ? Apa saja ?
6. Bagaimana solusi dan tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi
hambatan tersebut ?
7. Apa harapan anda terkait pengurangan pasien resiko jatuh disini untuk
ke depannya ?
III. Daftar Pertanyaan untuk Informan Panitia Mutu dan
Keselamatan Pasien Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
a. Identitas Informan
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Pendidikan Terakhir :
5. Tanggal Wawancara :
b. Pertanyaan
Pertanyaan mengenai Identifikasi Pasien
1. Apa pengertian dari identifikasi pasien dalam sebelum proses
pemberian pelayanan?
2. Apa pentingnya identifikasi pasien saat sebelum pemberian pelayanan
kesehatan ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
113
3. Adakah kebijakan, panduan, SOP, peraturan yang mengatur
identifikasi pasien di ruang rawat inap?
4. Bagaimana isi SOP tentang identifikasi pasien di ruang rawat inap ?
5. Siapa saja petugas yang terlibat dalam identifikasi pasien di ruang
rawat inap?
6. Apakah pernah dilakukan upaya sosialisasi SOP atau panduan tersebut
kepada perawat pelaksana?
7. Pernahkah dilakukan evaluasi terkait pemahaman perawat terhadap
SOP dan implementasi atau kepatuhan staf dalam pelaksanaan
identifikasi pasien di ruang rawat inap ?
8. Apa saja kendala yang pernah diterima pada pelaksanaan identifikasi
pasien rawat inap?
9. Bagaimana solusi untuk menanggulangi kendala-kendala yang muncul
selama pelaksanaan identifikasi pasien tersebut?
10. Bagaimana harapan anda terkait pelaksanaan identifikasi pasien rawat
inap untuk kedepannya?
Pertanyaan mengenai komunikasi
1. Bagaimana sistem pelaksanaan komunikasi yang terjadi disini?
Apakah secara lisan atau tulisan?
2. Apakah pernah diadakan pelatihan terkait pelaksanaan komunikasi
efektif disini? Jika pernah, seperti apakah pelatihan yang dilaksanakan
tersebut?
3. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
komunikasi disini?
4. Bagaimana isi kebijakan atau SOP yang mengatur tentang komunikasi
tersebut ?
5. Bagaimana ketentuan sistem komunikasi antara dokter dan perawat
disini?
6. Teknik komunikasi yang bagaimana yang digunakan dalam
pelaksanaan komunikasi disini (oleh perawat dan dokter) ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
114
7. Dalam proses transfer pasien dari ruang rawat inap ke ruang rawat lain
atau sebaliknya, bagaimana proses komunikasi yang dilaksanakan
disini?
8. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
komunikasi disini ?
9. Apa harapan anda terkait pelaksanaan komunikasi disini untuk
kedepannya ?
Pertanyaan mengenai menjaga kebersihan tangan (hand hygiene)
untuk mengurangi dan mencegah resiko infeksi nosokomial
1. Bagaimana pelaksanaan mencuci tangan disini ?
2. Apa saja sarana yang disediakan untuk pelaksanaan pengurangan dan
pencegahan resiko infeksi disini?
3. Apakah pernah diberikan pelatihan atau sosialiasi (khususnya untuk
perawat) terkait mencuci tangan disini?
4. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
hand hygiene disini?
5. Jika ada, bagaimana isi kebijakan atau SOP yang mengatur tentang
hand hygiene tersebut?
6. Menurut anda, apakah pelaksanaan hand hygiene disini sudah optimal?
Apa alasannya?
7. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
menjaga kebersihan tangan (hand hygiene) disini ? Jika ada, apa saja
hambatan tersebut?
8. Bagaimana solusi yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan
tersebut?
9. Apa harapan anda terkait pelaksanaan hand hygiene disini untuk
kedepannya ?
Pertanyaan mengenai pengurangan resiko pasien jatuh
1. Bagaimana pelaksanaan pengurangan pasien resiko jatuh disini ?
2. Bagaimana penanganan terhadap pasien bila ditemukan pasien tersebut
termasuk ke dalam pasien resiko jatuh ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
115
3. Apakah pernah dilaksanakan pelatihan atau sosialiasi terkait
pengurangan resiko pasien jatuh disini? Jika pernah, seperti apakah
pelatihan yang diberikan?
4. Apakah ada kebijakan, panduan, atau SOP yang mengatur tentang
pasien resiko jatuh disini? Jika ada, apakah sudah sesuai dengan
standar yang berlaku?
5. Bagaimana isi kebijakan atau SOP yang mengatur tentang
pengurangan resiko pasien jatuh disini ?
6. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan
pengurangan dan pencegahan pasien resiko jatuh disini ?
7. Jika ada, apa saja hambatan yang pernah dialami?
8. Bagaimana solusi dan tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi
hambatan tersebut ?
9. Apa harapan anda terkait pengurangan pasien resiko jatuh disini untuk
ke depannya ?
IV. Daftar Pertanyaan untuk Informan Pasien Rawat Inap Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan
a. Identitas Informan
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Nomor RM :
b. Pertanyaan
1. Apa saja yang dilakukan perawat pada saat bapak/ibu pertama kali
masuk ruang rawat inap dan akan dirawat?
2. Apakah perawat pernah memberikan penjelasan tentang guna gelang
yang diberikan kepada bapak/ibu?
3. Apakah sebelum memberikan pelayanan (seperti memberikan obat,
mengambil darah/spesimen, dll) perawat memeriksa gelang anda
terlebih dahulu?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
116
4. Apa kekurangan dan kelebihan yang bapak/ibu rasakan selama dirawat
inap disini?
5. Apakah pada saat akan memberikan pelayanan perawat menjelaskan
secara rinci tentang diagnosa dan tindakan apa yang akan
dilaksanakan?
6. Pada saat perawat / dokter visit dan saat akan memberikan pelayanan,
apakah anda melihat perawat / dokter mencuci tangan sebelumnya ?
7. Apakah perawat sering mengecek kondisi anda ? (disesuaikan dengan
ciri, kondisi, dan kebutuhan pasien)
8. Apakah perawat pernah menanyakan riwayat pasien pernah jatuh atau
tidak pada pasien atau keluarga ?
9. Apakah perawat pernah memberikan penyuluhan tentang bagaimana
menjaga keamanan selama masa dirawat?
10. Apakah perawat mengenalkan alat bantu darurat kepada pasien dan
keluarga?
11. Apakah perawat selalu mengecek seluruh daerah yang dapat
menyebabkan jatuh, seperti kondisi kamar mandi misalnya?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
117
Lampiran 2. Standar SKP
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Standar SKP I
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
memperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi
pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain.
Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu:
1. Pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima
pelayanan atau pengobatan; dan
2. Kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu
tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi
pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan
lain.
Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,
tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor
kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
Kebijakan dan/ atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas
berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
118
unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma
tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi
untuk dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/
prosedur
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Standar SKP II
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas
komunikasi antar para pemberi layanan.
Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang
dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan
kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito
melalui telepon ke unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/ atau prosedur untuk perintah lisan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
119
telepon termasuk: mencatat (memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap
atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah
membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan
mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.
Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa
diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau
ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan
kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau
yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
Sasaran III : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Maksud dan Tujuan Sasaran III
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120
Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan
termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream
infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan
(hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO,
dan berbagai org internasional.
Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan
kebijakan dan/ atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di
rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO
Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
Sasaran IV : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
pasien dari cedera karena jatuh.
Maksud dan Tujuan Sasaran IV
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien
rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
121
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi
alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan
oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan
cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
122
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penilitian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
Lampiran 4. Surat Tanda Selesai Penelitian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA