pembagian harta gono-gini (harta bersama) dalam …

77
PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: ARSILLIYA RIFDA NIM: 11150430000071 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

34 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(Analisis Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum (S.H)

Oleh:

ARSILLIYA RIFDA

NIM: 11150430000071

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 3: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 4: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 5: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

iv

ABSTRAK

Arsilliya Rifda. NIM 11150430000071. “PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI

(HARTA BERSAMA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF (Analisis Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg)”. Program Studi

Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pandangan Hukum Islam

dan Hukum Posotif terkait pembagian gono-gini (harta bersama) dan alasan dan

latar belakang munculnya Putusan Nomor: 115/pdt.G/2012/PTA. Bandung.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan hukum normatif.

Dimana penelitian ini bersifat deskritif-analitis-komparatif, artinya penulis akan

mendeskripsikan bagaimana pembagian harta bersama (gono-gini) dalam

perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif dengan menggunakan analisis

putusan nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg. Kemudian membandingkan hasil

analisis tersebut ke dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pembagian harta bersama (gono-

gini) dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan Nomor:

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg) Pembagian harta bersama dalam pandangan hukum

Islam dan hukum positif telah sesuai pada umumnya dibagi dua sama rata diantara

suami istri. Dalam perspektif Hukum Islam, jika pembagian harta bersama jika

terjadi pasangan suami istri yang telah bercerai itu mengedepankan cara

perdamaian (musyawarah). Berdasarkan pandangan tersebut, sesungguhnya harta

bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah

maupun berdasarkan kehendak hukum Islam itu sendiri dengan memakai KHI

Pasal 97 pembagian seperdua bagi suami dan istri. Sedangkan dalam perspektif

hukum positif hal ini didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 37 dan KUH

Perdata pasal 128-129 bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,

maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri. Namun di dalam undang-

undang di atas sepanjang para pihak tidak menentukan lain maka diatur menurut

hukumnya masing-masing.

Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung

dalam membagi harta bersama adalah dengan berlandasan dari rasa keadilan,

sehingga sikap hakim dalam memutuskan perkara tersebut lebih kepada hukum

yang timbul pada masyarakat (KHI pasal 229). Namun majelis Hakim

mempertimbangkan bahwasanya ketika bangun rumah ada campur tangan kedua

orang tua suami dan istri. Praktek di Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam

putusan No: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg pembagian istri adalah 1/3 bagian, sedang

bagian suami adalah 2/3 bagian. Tentunya hakim mempunyai dasar-dasar yang

kuat.

Kata kunci: Hukum Islam, Hukum Positif, Pembagian Harta Bersama (Gono-

Gini)

Pembimbing: 1. Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.

2. Mu’min Rouf, M.A

Daftar Pustaka: 1965 s.d 2014

Page 6: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j Je ج

h ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z zet ز

s es س

Page 7: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

vi

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

ع

koma terbalik di atas hadap

kanan

gh ge dan ha غ

f ef ف

q Qo ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

ء

apostrop

y ya ي

Page 8: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

vii

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

a fathah ــــــــــ

i kasrah ــــــــــ

u dammah ــــــــــ

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya

sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

ai a dan i ــــــــــ ي

au a dan u ــــــــــ و

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

â a dengan topi diatas اـــــ

î i dengan topi atas ىـــــ

û u dengan topi diatas وـــــ

Page 9: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

viii

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan

lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf

syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: الإجثهاد =al-ijtihâd

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî

‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi

huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شريعة 1

-al- syarî ‘ah al الشريعة الإسلامية 2

islâmiyyah

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam

transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa

jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan

Page 10: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

ix

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata

sandangnya. Misalnya, البخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara

ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama

tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis

Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan

berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

al-darûrah tubîhu almahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1

الإقتصاد الإسلامي 2 al-iqtisâd al-islâmî

أصول الفقه 3 usûl al-fiqh

al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah الأصل فى الأشياء الإباحة 4

المصلحة المرسلة 5 al-maslahah al-mursalah

Page 11: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

x

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti

sekarang ini.

Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga

kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik

berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis

tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara

khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta

para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., M.A, Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H, Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab.

3. Bapak dosen penasehat akademik penulis.

4. Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag, dan Bapak Mu’min Rouf, M.A, dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,

saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda K.H M.Taman Majid.dan Nyai. Hj.

Nurohmatillah terima kasih atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan

berjuang sampai ke titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan,

memberikan arahan serta dukungan kepada penulis. Juga kepada kakak-

Page 12: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

xi

kakakku, ang makhsus, ang anik, ce nova dan adik-adikku, saifi, nabhan, dan

silvi yang telah menemani, memberikan doa serta dukungan dan dorongan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Untuk ka Fahrul Rinaldi terima kasih selalu menemani saya sampai saat ini

dan selalu memberikan dorongan dan menasehati serta doa sehingga penulis

bisa menyelesaikan skripsi ini.

8. Untuk Siti Afifah Indriani terima kasih kepada sahabat kamar saya yang

selalu semangat menyelesaikan skripsi dan mendorong saya terus serta doa

nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini semoga bersahabatan ini

tidak akan putus.

9. Untuk Frida Laili, Nurul Hidayati, Lee mita, Ike Sustikawati, Meilani

Pansella, Fatimatun Hurin, Dayu Dyana Zahir, yang telah menerima penulis

menjadi teman suka maupun duka. Semoga persahabatan ini akan selalu

terjali dan sampai Jannah-Nya.

10. Juga Terima kasih kepada teman-teman KKN terkhusus Nisa, Sara, Putre,

Syahla, Iin, Cici yang selalu membantu selama di KKN penulis dengan tulus

dan ikhlas, serta menjadi teman bermain yang asyik sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.

11. Keluarga Besar yang telah menemani dan mewarnai hari-hari penulis selama

perkuliahan. Juga kepada teman seperjuangan PMH 2015 yang telah memberi

pengalaman yang berharga selama perkuliahan.

12. Keluarga Besar Mahasiswa Cirebon Jakarta yang telah menemani pengabdian

selama dibangku perkuliahan yang selalu memberikan motivasi besar dan

semanagat berorganisasi.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan

yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan

amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin

Jakarta, 08 Agustus 2019

Penulis

Page 13: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI .....................................i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI...................................ii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH..................................................iii

ABSTRAK…...…………………………………………………………………..iv

PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………...v

KATA PENGANTAR………………………...………………...........……….....x

DAFTAR ISI……………………………………………………………….........xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah..................................6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................................7

D. Review Studi Terdahulu.......................................................................8

E. Metode Penelitian.................................................................................9

F. Sistematika Penulisan..........................................................................11

BAB II KAJIAN TEORI HARTA GONO-GINI (HARTABERSAMA)

A. Pengertian Harta Gono-Gini...............................................................13

B. Dasar Hukum Harta Gono-Gini..........................................................15

C. Ruang Lingkup Harta Gono-Gini.......................................................17

D. Terbentuknya Harta Gono-Gini..........................................................19

E. Hak dan Tanggung Jawab Suami Istri Terhadap Harta Gono-Gini....21

BAB III PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA)

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pembagian Harta Gono-Gini Perspektif Hukum Islam.......................23

B. Pembagian Harta Gono-Gini Perspektif Hukum Positif.....................31

C. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang

Harta Gono-Gini..................................................................................38

Page 14: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

xiii

BAB IV ANALISIS TERHADAP SENGKETA TENTANG KETENTUAN

PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI PUTUSAN NOMOR

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

A. Deskripsi Putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg.........................40

B. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg..................................................................42

C. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg..................................................................48

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................53

B. Saran....................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 15: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Harta gono-gini (harta bersama) dan perjanjian perkawinan sering

luput dari perhatian masyarakat karena mereka sering menganggap

perkawinan adalah suatu perbuatan yang suci sehingga tidak etis jika

membicarakan masalah harta benda. Namun, fakta-nya perbincangan isu-isu

itu sangat penting sebagai panduan bagi pasangan suami istri dalam

mengarungi bahtera rumah tangga, selanjutnya untuk memahami perspektif

hukum positif dan hukum Islam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum membahas lebih dalam konsep

harta gono-gini, kita perlu memahami terlebih dahulu definisi harta gono-

gini dan bagaimana dasar hukumnya menurut peraturan yang berlaku di

Indonesia.1

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja

terjadi di kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan

hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan

merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan

budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana

budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat

yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.

Perkawinan menurut Perundangan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor. 1

Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

1Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 27.

1

Page 16: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

2

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Jadi menurut perundangan perkawinan itu

ialah ikatan antara seorang pria dengan wanita, berarti perkawinan sama

dengan perikatan.2

Sebagai mana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing

pihak dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

sebelum melakukan akad nikah. Maksud barang bawaan adalah harta yang

dibawa masing-masing suami istri ke dalam ikatan perkawinan.

Zahri Hamid memandang bahwa hukum Islam mengatur sistem

terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan

tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan).

Hukum Islam juga memberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk

membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan.

Mereka berdua dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka

secara hukum.3Pandangan Hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan

suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta

suami dan mana harta istri, mana harta bawaan suami dan mana harta

bawaan istri sebelum perkawinan, mana harta suami/istri yang diperoleh

secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta gono-gini yang

diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan harta

tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami atau harta

istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.4

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama

tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat

berharga. Sedangkan yang tidak berwujud bisa berupa hak atau kewajiban.

Harta bersama perkawinan di Indonesia diatur dalam UU No.1 Tahun 1974,

Bab VII pada Pasal 35, 36, dan 37. Pada pasal 35 (1) dijelaskan, harta benda

2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 28. 3Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di

Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 110. 4Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di

Indonesia, hlm. 111.

Page 17: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

3

yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 36

mengatur status harta yang diperoleh masing-masing suami istri. Pada pasal

37, dijelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing5

Hilman Hadikusuma menjelaskan akibat hukum yang menyangkut

harta bersama berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang

hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada

kesepakatan antara mantan suami istri, hakim dapat mempertimbangkan

menurut rasa keadilan yang sewajarnya.6 Dengan demikian, akibat suatu

perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda,

tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk

mengatur harta bersama. Dasar hukum tentang harta bersama dapat

ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan berikut:

a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1),

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta

benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta

kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut

sebagai harta bersama.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa

“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum

terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak

diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta

bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau

diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”

c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta

bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya

harta milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan

adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup

5Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 179-180.

6Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 189.

Page 18: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

4

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, masalah harta bersama

hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari

Pasal 35 sampai Pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi

Hukum Islam dalam Bab XIII mulai dari Pasal 85 sampai Pasal 97.7

Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana pemaparan di atas,

secara global dan jelas dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini/harta

bersama harus dibagi 50% dan 50% tetapi dalam Putusan Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA Bandung memutuskan pembagian harta bersama yang

dimiliki keduanya setelah pasca Perceraian penggugat 1/3 bagian dan

tergugat 2/3 bagian, dalam eksepsinya Tergugat/ Terbanding mengatakan

obyek sengketa yang digugat oleh Penggugat/ Pembanding sebenarnya

bukan harta bersama (gono-gini) kedua pihak, akan tetapi sebagai harta

bawaan (milik pribadi) Tergugat/ Terbanding, namun eksepsi Penggugat/

Pembanding keberatan sebab menurut Penggugat/ Pembanding yang digugat

oleh Penggugat/ Pembanding adalah harta bersama kedua pihak, bukan harta

bawaan Tergugat/ Terbanding. Sehingga putusan tersebut harus diperiksa

terlebih dahulu dalam pokok perkaranya.

Bisa dilihat kembali berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan

Hukum Positif hakim tidak progresif dan sejalan mengenai pengharaman

tersebut atau bahkan dimungkinkan adanya sanksi yang berat bagi

pelakunya seiring dengan aturan yang berlaku.8

Menurut penulis langkah Hakim membuat putusan terhadap

pembagian harta gono-gini tidaklah adil dan dapat merugikan salah satu

pihak tidak menutup kemungkinan putusan-putusan yang selanjutnya akan

sama dengan putusan yang sama halnya tidak melihat argumentasi Hukum

yang berlaku.dan kemungkinan akan mengulangi tindakan serupa pada masa

7M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 272.

8Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 59.

Page 19: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

5

yang akan datang, penulis sangat memahami anggapan salah satu pihak

yang merasa di rugikan karena ketidakadilan.

Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud

dengan keadilan adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau

dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia.

Dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

ى ی ل و ع ل و اء � د ھ ط ش س ق ال ین ب ام و ونوا ق نوا ك ین آم ذ ا ال یھ ا أ

ا� ا ف یر ق و ف ا أ � ی ن ن غ ك ن ی ین إ ب ر ق الأ ن و ی د ال و و ال م أ ك فس ن أ

وا ل د ع ن ت ى أ و ھ عوا ال ب ت لا ت ا ف م ھ ى ب ل و و أ وا أ و ل ن ت إ و

ا یر ب لون خ م ع ا ت م ان ب ك ن � إ وا ف رض ع ت

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang

benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun

terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat

kalian. Jika kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu

kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu

karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian

memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka

sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang

kalian kerjakan.” (An-Nisaa’ ayat 135)

Namun terlepas dari Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA Bandung yang merugikan salah satu pihak, Putusan

PTA ini berdampak terhadap tingkat kepercayaan masyarakat ke

pengadilan, karena dinilai putusan ini mengistimewakan bagi salah satu

pihak yang berbanding terbalik dan berbenturan dengan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dan Hukum Positif yang jelas menjelaskan sangat rinci tentang

pembagian harta bersama. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul:

Page 20: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

6

“PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis

Putusan Nomor 115/Pdt.G /2012/PTA.Bdg)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan masalah 1) Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas

beberapa masalah yang dapat di identifikasikan:

a. Harta bersama (gono-gini) menurut Hukum Islam.

b. Harta bersama (gono-gini) menurut Hukum Positif.

c. Pembagian harta bersama menurut Hukum Islam.

d. Pembagain harta bersama menurut Hukum Positif.

e. Dasar pertimbangan hakim terhadap Putusan Nomor 115/pdt.G

/2012/PTA.Bdg.

f. Perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.

g. Dasar hukum tentang harta bersama menurut peraturan undang-

undang.

h. Harta bersama dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.

i. Harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam.

j. Harta bersama dalam kitab undang-undang hukum perdata.

k. Kompilasi Hukum Islam membagi harta bersama masing-masing

50%.

l. Hakim membuat putusan terhadap pembagian harta bersama

tidaklah adil.

2) Pembatasan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifkasi masalah di atas,

mengingat terlalu luas dan banyak problematika yang timbul dalam

penelitian ini, Agar lebih fokus maka penulis membatasi penelitian ini

dalam kajian perspektif Hukum Islam dan hukum positif (Putusan Nomor:

115/pdt.G /2012/PTA.Bdg )”.

Page 21: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

7

3) Perumusan masalah

Berdasarkan batas-batasan permasalahan di atas maka pokok

permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana hukum Islam dan hukum positif memandang Putusan Nomor:

115/pdt.G/2012/PTA.Bdg yang mengabulkan pembagian Harta bersama

untuk istri dapat bagian 1/3 sedangkan untuk suami dapat bagian 2/3?

Kemudian masalah pokok di atas dapat dijawab dengan lebih

dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih terperinci sebagai berikut:

a. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap

pembagian harta gono-gini?

b. Bagaimana pertimbangan hakim tentang putusan sengketa harta

gono-gini putusan nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu:

a. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Posotif

terkait pembagian gono-gini (harta bersama)

b. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang munculnya Putusan

Nomor: 115/pdt.G/2012/PTA. Bandung.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademik, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat

menambah pengetahuan dan keilmuan dalam memahami Putusan

Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg didalam kajian Hukum Islam

dan Hukum positif. Kemudian menambah literatur perpustakaan

khususnya dalam bidang perbandingan madzhab dan hukum dan

pada pembaca umumnya.

b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan

penjelasan kepada masyarakat tentang latar belakang munculnya

Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg yang mengabulkan

pembagian harta bersama dan dikaji dalam Hukum Islam dan

Hukum Positif.

Page 22: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

8

D. Review Studi Terdahulu

Setelah peneliti melakukan review studi terdahulu, peneliti

menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang mengangkat

pembahasan mengenai pembagian harta gono-gini (harta bersama) dari

sudut pandang yang berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis.

Penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1. Ahmad Ferizqo Acdhan, Hukum Keluarga Tahun 2018, Analisis Yuridis

tentang Pembagian Harta Bersama dan Warisan Perkawinan Poligami

(Putusan Mahkamah Agung Nomor: 489 /K/Ag/2011). Skripsi ini

mengenai pertimbangan hukum hakim mengenai pembagian harta bersama

dan warisan perkawinan poligami dan memakai studi kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 489/K/Ag/2011.

2. Marlina, Akhwal Al-Syahsiyah Tahun 2014, Penyelesaian Gugatan Harta

Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Mengetahui bagaimana hakim pengadilan agama Jakarta Selatan

menyelesaikan perkara sengketa harta bersama.skripsi ini lebih mengacu

kepada praktik penyelesaian sengketa harta bersama di pengadilan agama

Jakarta Selatan dan menyumpulkan sejumlah putusan tentang harta

bersama di pengadilan agama tingkat pertama dalam hal ini PA Jakarta

Selatan.

3. Abdul Kahfi, Akhwal Al-Syahsiyah Tahun 2015, Pembagian Harta

Bersama di Tinjau dari Perspektif Gender (Putusan Nomor:

278/Pdt.G/2012/PA.Rks). Penetapan atas pembagian harta bersama akibat

perceraian di Pengadilan Agama Rangkas Belitung pembagian harta

bersama ini ditinjau perspektif gender dan dihubungkan dengan putusan

nomor: 278/pdt.G/2012/PA.Rks.

4. Rhezza Pahlawi, Akhwal Al-Syahsiyah Tahun 2013, Penyelesaian

Sengketa Harta Bersama melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan

Negeri di Jakarta Selatan. Skripsi ini lebih mengacu kepada praktik

penyelesaian sengketa harta bersama jadi menggunakan gabungan antara

peneletian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris.

Page 23: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

9

Berdasarkan literature di atas, penulis memfokuskan pada

pandangan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No 1 Tahun

1974 terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama di Bandung Perkara

Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg.

E. Metode Penelitian

Guna medapatkan data dan pengelolahan data yang diperlukan

dalam kerangka penyusunan penulisan penelitian ini, penyusun

menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis

normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan

penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.9

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam mengolah dan

menganalisa data adalah penelitian kualitatif. Penulis menggunakan

metode kualitatif dengan cara menganalisa dengan menggunakan

penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.10 Dalam

hal ini objeknya ialah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam

dan sebuah Putusan Hakim di Pengadilan Tinggi Agama Nomor:

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg.

3. Sumber Data

9Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.

10Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PUAJ, 2007), hlm. 29.

Page 24: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

10

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber

penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.11

Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum

ini adalah:

1) Al-Qur’an dan Al-Hadits

2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3) Undang-Undang Hukum Perdata

4) Kompilasi Hukum Islam

5) Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-

Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap

putusan hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam perkara

Nomor: (115/Pdt.G/2012/PTA. Bdg)

c. Data Tersier

Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan

penelitian ini meliputi:

1) Kamus Hukum.

2) Media Internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam

penulisan penelitian ini adalah

a. Teknik studi kepustakaan, yaitu: Teknik pengumpulan data dengan

mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-

catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting

dari media internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah

11Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 141.

Page 25: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

11

yang digunakan untuk menyusun penulisan penelitian ini yang

kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat.

5. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang

diperoleh baik data primer, data sekunder, maupun data tersier maka data

tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan

menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta

menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan

dalam penulisan ini.

F. Sistematika Pembahasan

Penulis mengkontruksikan penelitian tersebut dalam bab per bab

yang masing-masing bab tersebut dibagi ke dalam sub-sub bab dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab I Sebagaimana layaknya satu karya ilmiah hasil penelitian

dalam bentuk skripsi maka uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan

prosedur standar suatu penelitian dalam bentuk skripsi karena itu penulis

memulai uraian ini dengan menjelaskan latar belakang masalah mengapa

penelitian ini dilakukan kemudian identifikasi, pembatasan dan

perumusahan masalah. Di samping itu, tentu saja penulis juga menjelaskan

apa tujuan dan manfaat penelitian, serta menentukan metode apa yang

digunakan untuk penelitian. Uraian ini ditempatkan pada Bab I dengan

judul Pendahuluan.

Bab II, Selanjutnya untuk memberikan gambaran umum kepada

pembaca tentang teori harta bersama dengan segala bentuknya dalam

kajian Islam maupun undang-undang maka penulis memaparkan hal-hal

yang bersifat umum berkaitan dengan pengertian harta bersama, dasar

hukum, ruang lingkup, terbentuknya harta bersama, hak dan tanggung

jawab suami istri terhadap harta bersama. ini dimaksudkan sebagai pintu

gerbang bagi pembaca untuk memahami konsep-konsep dasar tentang

harta bersama.

Page 26: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

12

Bab III juga menguraikan hal-hal yang bersifat teoritis tentang

konsep pembagian harta bersama menurut Hukum Islam dan Hukum

Positif, serta persamaan dan perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif

dalam konsep pembagian harta bersama.

Bab IV penulis melakukan analisis putusan nomor:

115/Pdt.G/2012/PTA Bandung deskripsikan putusan PTA Bandung

dengan menjelaskan kronologi dan pertimbangan hakim dalam persamaan

dan perbedaan antara hukum islam dan hukum positif. Bab ini merupakan

bab inti dari uraian skripsi dan di sini dikemukakan berbagai sudut

pandang berkaitan dengan hal ini.

Bab V Sebagai bagian akhir dari skripsi ini adalah penutup. Penulis

memaparkan hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana

tergambar dalam skripsi ini dan kemudian diakhiri dengan saran. Saran

yang penulis pandang relevan untuk perbaikan dari apa yang sudah ada

sekarang ini.

Page 27: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

BAB II

KAJIAN TEORI HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA)

A. Pengertian Harta Gono-Gini

Gono-gini merupakan sebuah istilah hukum yang popular di

masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah yang digunakan

adalah gono-gini yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil

dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan

istri”. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-

gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.

Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-

formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No

1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama.

Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi

digunakan dalam bahasa hukum konvensional.

Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah

lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya,

diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang berlaku di masing-

masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta

sihareukat, di Minangkabau masih dinamakan hartasuarang; di Sunda

digunakan istilah guna-kaya, di Bali disebut dengan druwe gabro, dan di

Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.1

Dengan berjalannya waktu, rupanya istilah “gono-gini” lebih populer

dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis, yuridis, maupun

dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya. Dan dalam

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 Ayat 1 harta benda yang diperoleh selama

1Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hlm. 18.

13

Page 28: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

14

perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dalam UU No. 1

Tahun 1974 Pasal 35 Ayat 2 Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.2 Kompilasi hukum islam Pasal 87 sebagai berikut :

1. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh adalah

di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain dalam perjanjian perkawinan

2. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau

lainnya.3

Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk

memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak diganggu oleh pihak

lain. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpaSuami

yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa ikut sertanya istri

berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu . demikian pula

halnya istri yang menerima pemberian, warisan, mahar, dan sebagainya tanpa

ikut sertanya suami berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang

diterimanya itu.

Harta bawaan yang telah mereka miliki sebelum terjadi perkawinan

juga menjadi hak masing-masing.4 Hal ini amat penting agar keserasian hidup

perkawinan dapat tercapai antara suami dan istri hendaklah senantiasa saling

bersikap terbuka. Apa yang menjadi keinginan istri diketahui suami, demikian

pula sebaliknya yang menjadi keinginan suami diketahui oleh istri. Adanya

harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta

2Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 72.

3Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, hlm. 73.

4Soermiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 102.

Page 29: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

15

milik masing-masing suami atau istri. Pada dasarnya tidak ada pencampuran

antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi

hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi

hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Harta bawaan masing-masing suami

dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan

adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain dalam perjanjian kawin.5

Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta

kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik

sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan

berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun.6

B. Dasar Hukum Harta Gono-Gini

Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau

tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh

Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran

harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak

menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta

gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang, hukum Islam, hukum adat

dan peraturan lain, seperti berikut:

1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah

“harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta

kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai

harta gono-gini.

2. KUH Perdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan

perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara

5Slamet Abidin Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 182.

6Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 15.

Page 30: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

16

suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain

dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,selama perkawinan

berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan

antara suami istri.”

3. KHI pasal 85, disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan

itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami

istri”. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam

perkawinan (gono-gini).

4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak

ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan”.7

Dari sisi Hukum Islam, baik ahli hukum kelompok syafi’iyah maupun

para ulama yang paling banyak diikuti oleh ulama lain, tidak ada satupun yang

sudah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana

yang dipahami oleh hukum adat. Dalam Al-Qur’an dan sunnah, harta bersama

tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Harta kekayaan istri tetap menjadi

milik suami dan dikuasai sepenuhnya.8 Harta bersamaan antara suami dan istri

dalam istilah fiqh muamalah dapat dikategorikan sebagai syirkah, yaitu akad

antara dua pihak yang saling berserikat dalam hal modal dan keuntungan.

Dalam kitab-kitab fiqh telah banyak dibahas, akan tetapi tidak dalam bab

nikah melainkan pada bab buyu’. Syirkah digolongkan sebagai suatu usaha

yang sah oleh para ahli hukum Islam sepanjang tidak ada kecurangan atau

ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.9

Demikianlah yang dimaksud Pasal 35 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa

kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat

dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini sejalan dalam firman Allah:

7Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, 2010.

8Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 127.

9Ghufron A. Mashadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 93.

Page 31: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

17

بھ بعضكم على ل � ا ولا تتمنوا ما فض جال نصیب مم بعض للر

من فضلھ إن ا اكتسبن واسألوا � اكتسبوا وللنساء نصیب مم

كان بكل شيء علیما �

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah

kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.

(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang

mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari

apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian

dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala

sesuatu. (QS Al-Nisa[4]:32).

Harta bersama jadi harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan

di luar hadiah atau warisan. Maksudnya harta yang didapat atas usaha mereka,

atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan10

C. Ruang Lingkup Harta Gono-Gini

Menurut pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

bahwa harta bersama meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri

sepanjang perkawinan saja. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan

sesudah perceraian menjadi harta pribadi masing-masing. Hadiah, hibah,

wasiat dan warisan menjadi harta pribadi kecuali para pihak berkehendak

untuk memasukan ke dalam harta bersama.11

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hukum perkawinan

menyatakan, bahwa Hukum Islam mengatur system terpisahnya harta suami

10Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 161-162.

11Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI Tahun 2001.

Page 32: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

18

istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan

dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam memberikan kelonggaran kepada

pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada

akhirnya akan mengikat secara hukum.12

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hukum perkawinan Islam

menyatakan, Hukum Islam memberikan pada masing-masing pasangan baik

suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa

diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan,

dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu

tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya.

Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya

perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.13

Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas tentang harta

gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau harta

bawaan. Namun demikian ketentuan Islam yang memisahkan harta kekayaan

suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi

proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta gono gini tidak

disinggung secara jelas dan tegas dalam Hukum Islam. Dengan kata lain,

masalah harta gono-gini merupakan wilayah hukum yang belum terpikirkan

(ghoiru al mufakkar fih) dalam Hukum Islam, sehingga oleh karena itu,

terbuka bagi ahli Hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan

qiyas.

Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan

dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah

harta gono-gini merupakan salah satunya, di mana di dalamnya merupakan

12Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA, 2005), hlm. 192.

13Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 35.

Page 33: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

19

hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang

diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini14.

D. Terbentuknya Harta Gono-Gini

Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa

harta gono-gini termasuk dapat di qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri

menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya

hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.

Harta gono-gini dapat di qiyaskan sebagai syirkah karena dapat

dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja,

meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang

dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga,

memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan rumah tangga lainnya.

Harta gono-gini sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri

selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai

jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran

harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. Dikatakan

sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini

itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama

perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian

merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah

abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat

Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.

Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah

merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang

mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh

dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.15

14Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 40. 15Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 164-165.

Page 34: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

20

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini

merupakan bentuk syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama

atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk

syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan

usaha, syirkah dalam gono-gini merupakan bentuk kerjasama antara suami

dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan

warohmah termasuk di dalamnya harta dalam perkawinan. Pasal 1 sub f jo

pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa harta bersama adalah

harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, baik benda itu terdaftar atas nama

suami ataupun sebaliknya atas nama istri. Akan tetapi barang pribadi apabila

harta yang dipergunakan untuk membeli benda tersebut menggunakan harta

pribadi suami istri dengan kata lain harta yang dibeli dengan harta yang

berasal dari barang pribadi adalah milik pribadi. Bisa juga terjadi suami istri

memiliki harta bersama setelah terjadi perceraian, dengan ketentuan bahwa

uang yang dipergunakan untuk membeli benda itu berasal dari harta bersama

semasa perkawinan terdahulu, sehingga ini juga akan tetap dibagi sama

banyak. Pengaturan tentang bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal

93 Kompilasi Hukum Islam:

a. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa

benda berwujud atau tidak berwujud.

b. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda

bergerak, dan surat-surat berharga.

c. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

d. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak

atas persetujuan pihak lainnya.16

16 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, 2010.

Page 35: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

21

Penjelasan pasal 93 tersebut menunjukan adanya respons terhadap

perkembangan modernisasi, seperti surat-surat berharga (polis, bilyet giro,

saham dan lain-lain). Dengan demikian, pengertian harta kekayaan menjadi

sangat luas, tidak hanya barang-barang yang secara material langsung dapat

dikonsumsi. Ini menunjukan bahwa kompilasi telah mengantisipasi

problematika perekonomian modern. Yang terpenting adalah penggunaan

kekayaan tersebut, baik untuk kepentingan salah satu pihak, atau kepentingan

bersama, harus didasarkan kepada persetujuan mereka.

E. Hak dan Tanggung Jawab Suami Istri Terhadap Harta Gono-Gini

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suami bertangggung

jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Istri juga

turut bertanggung jawab terhadap harta bersama, maupun harta suami yang

ada padanya. UU no 1 tahun 1974 Pasal 36:

1. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua

belah pihak

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Kompilasi Hukum Islam pasal 89 “Suami bertanggung jawab menjaga

harta bersama ,harta istri maupun harta sendiri”. Pasal 90 “Istri turut

bertanggung jawab menjaga harta bersama ,maupun harta suami yang ada

padanya”. Pasal 92 “Suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak

diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.17

Isi pasal-pasal di atas merupakan penjabaran firman Allah QS Al-

Nisa[4]:34

17Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75.

Page 36: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

22

بعضھم على بعض وبما ل � امون على النساء بما فض جال قو الر

الحات قانتات حافظات للغیب بما حفظ � أنفقوا من أموالھم فالص

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian

yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan

sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah

yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak

ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).....(Al-Nisa[4]:34)

Utang bersama merupakan semua utang-utang atau pengeluaran yang

dibuat, baik oleh suami ataupun istri atau bersama-sama, untuk kebutuhan

kehidupan keluarga mereka, pengeluaran untuk kebutuhan mereka bersama,

termasuk pengeluaran sehari-hari. Sedangkan utang pribadi merupakan utang-

utang yang dibuat suami ataupun istri untuk kepentingan pribadi mereka, yang

bukan merupakan pengeluaran sehari-hari atau pengeluaran untuk

kepentingan harta pribadi mereka masing-masing.18

Jadi pertanggung jawaban utang suami atau istri dibebankan harta

masing-masing dan harta bersama itu diperoleh selama masa perkawinan baik

hak maupun tanggung jawabnya maka suami istri mempunyai andil yang

sama atas harta bersama.

18J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 74-75.

Page 37: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

BAB III

PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA)

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pembagian Harta Gono-Gini Perspektif Hukum Islam

Al-Qur’an maupun Hadist tidak menjelaskan dengan tegas bahwa

harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya,

dan juga tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama

masa perkawinan itu menjadi harta gono-gini. Sehingga masalah ini

merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad, yaitu dengan

menggunakan akal pikiran manusia dengan sendirinya pemikiran tersebut

harus sesuai dengan Hukum Islam. Di dalam hukum fiqih Islam tidak

membahas secara rinci masalah harta gono-gini suami istri dalam perkawinan,

melainkan hanya dalam garis besarnya saja. Sehingga menimbulkan

penafsiran yang berbeda. Para pakar Hukum Islam di Indonesia, ketika

merumuskan pasal 96-97, Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 yaitu:

1. apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak

pasangan yang hidup lebih lama

2. pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau

suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya

yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan

agama.

Dan Pasal 97 yaitu: Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak

seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian

perkawinan.1

KHI setuju untuk mengambil syirkah abdan sebagai landasan

merumuskan kaidah-kaidah tentang harta gono-gini suami istri. Para perumus

1Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), hlm. 77.

23

Page 38: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

24

KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat.

Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadi ‘urf

sebagai sumber hukum.2

Dalam harta bersama (harta gono-gini) memang tidak dijumpai di Al-

Qur’an dan Hadist karena harta gono-gini itu berasal dari hukum adat pada

masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga

salah satunya adalah masyarakat Indonesia. Untuk menggali hukumnya maka

harta bersama dianalogikan kepada syirkah, seperti yang telah diuraikan

sebelumnya bahwa harta gono-gini dihasilkan bersama oleh pasangan suami

istri selama mereka terikat dengan tali perkawinan atau kata lain yang

dihasilkan oleh syirkah antara suami istri.

Harta Benda Bersama Menurut Hukum Islam Konsep harta gono-gini

beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih

(Hukum Islam). Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan

persoalan hukum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-

mufakkar fih) oleh ulama-ulama fikih terdahulu, karena masalah harta gono-

gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian

fikih Islam klasik, isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah

pengaturan nafkah dan hukum waris. Hal inilah yang banyak menyita

perhatian kajian fikih klasik.3

Hukum Islam tidak melihat adanya gono-gini. Hukum Islam lebih

memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Dalam kitab-

kitab fikih, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan

oleh suami-istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata

lain disebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan

jalan syirkah antara suami-istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu

2Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Pengadilan Agama dan Zakat, (Jakarta: Sinar Grafika, cet I, 1995), hlm. 33.

3Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju, 1997), hlm. 93.

Page 39: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

25

dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya

adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (32):

ا جال نصیب مم بھ بعضكم على بعض للر ل � ولا تتمنوا ما فض

ا اكت اكتسبوا وللنساء نصیب مم من فضلھ إن � سبن واسألوا �

كان بكل شيء علیما

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah

kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.

(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang

mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa

yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari

karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(QS Al-Nisa[4]:32).

Bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan

dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula. Hukum Islam juga

berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi

hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan

suami kepadanya. Namun Al-Qur’an dan Hadis tidak memberikan ketentuan

yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsung

perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas

nafkah yang diberikan suaminya. Al Qur’an dan Hadist juga tidak

menegaskan secara jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam

perkawinan, maka secara langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut.4

Perspektif hukum Islam tentang gono-gini atau harta bersama sejalan

dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama

suami-istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak

4Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 95.

Page 40: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

26

dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada

umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang pada umumnya

tidak mengenal pencaharian bersama suami-istri. Yang dikenal adalah istilah

syirkah atau perkongsian. Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta

suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak

ditentukan dalam perjanjian perkawinan).

Hukum Islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami-istri

untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat

secara hukum. Hukum Islam memberikan pada masing-masing pasangan baik

suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa

diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan,

dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu

tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya.

Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya

perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami-istri.5

Para Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang pembagian macam-

macam Syirkah dalam pembahasan perkongsian (syirkah) yang diperbolehkan

dan yang tidak diperbolehkan.

Secara garis besar Fuqaha Mesir (mayoritas bermadzhab Syafi,i dan Maliki),

membagi syirkah kepada empat macam yaitu: Syirkah Inan, Syirkah Abdan,

Syirkah Mufawwadhah, dan Syirkah Wujuh.

a. Syirkah Inan, yaitu syirkah terbatas dalam bentuk penggabungan

harta dan usaha untuk mendapatkan untung. Sedangkan perolehan

masing- masing pihak dengan cara lain seperti salah seorang

mendapat hibah, hadiah atau lainnya, tidak menjadi syirkah dan tetap

menjadi milik masing-masing.

5Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat, hlm. 35.

Page 41: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

27

b. Syirkah Abdan, yaitu syirkah dalam bidang pemberian jasa atau

melakukan pekerjaan. Jasa atau pekerjaan yang dilakukan itu

mungkin jasa atau pekerjaan yang sama mungkin juga jasa atau

pekerjaan yang berlainan.

c. Syirkah Mufawwadhah, yaitu syirkah yang tidak terbatas dalam

penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung serta

meliputi pula perolehan masing-masing pihak dengan cara lain

seperti seseorang mendapatkan hadiah, hibah dan lain-lain.

d. Syirkah Wujuh, adalah syirkah antara dua orang atau lebih dengan

hanya bermodalkan kepercayaan.6

Sedangkan Ulama Madzhab Hanafi, seperti yang dapat disimpulkan membagi

syirkah menjadi:

a. Syirkah Milk, ialah syirkah terhadap suatu benda atau kekeayaan

dengan tidak ada kesengajaan untuk mengadakan perjanjian khusus

terlebih dahulu.

b. Syirkah Uqud, ialah syirkah yang timbulnya karena adanya perjanjian

terlebih dahulu antara dua orang atau lebih mengenai suatu usaha.

Syirkah ini dibagi enam macam:

- Syirkah Mufawwadhah bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua

orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan.

- Syirkah ‘Inan bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua orang atau

lebih tentang suatu macam perniagaan atau segala macam

perniagaan.

- Syirkah Abdan Mufawwadhah, ialah perkongsian dengan

bermodal tenaga yang kemudian ada pembagian yang sama

antara keuntungan atau kerugian.

6Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 54.

Page 42: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

28

- Syirkah Abdan Inan, yaitu perkongsian tenaga dengan perbedaan

tenaga kerja dan upah.

- Syirkah Wujuh Mufawwadhah, yaitu perkongsian dengan

bermodalkan tenaga kerja.

- Syirkah Wujuh Inan, yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat.

Para Ulama sepakat tentanng bolehnya syirkah ‘Inan, sedangkan dalam

syirkah mufawwadhah hanya Madzhab Hanafi dan Maliki yang

memperbolehkan sedangkan Madzhab Syafi’i tidak memperbolehkannya.

Begitu juga dalam Syirkah Abdan, menurut Madzhab Syafi’i adalah tidak

boleh sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Hambali adalah boleh hanya

saja Iman Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka lakukan adalah sama

sejenis dan satu tempat. Dan dalam Syirkah Wujuh, hukumnya boleh menurut

Mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan menurut Syafi’iyah dam Malikiyah

adalah tidak boleh.

Alasan Imam Syafi’i tidak memperbolehkanSyirkah Mufawwadhah

dikarenakan syirkah ini mengandung bermacam-macam ghurur (penipuan

dan ketidaktentuan). Sedangkan alasan ketidakbolehan Syirkah Abdan,

menurut Imam Syafi’I karena syirkah (perkongsian) hanya berlaku pada harta

bukan pada tenaga.7

Adapun Ulama yang memperbolehkan syirkah jenis ini (syirkah

abdan) yaitu Malikiyah dan Hanabilah beralasan bahwa tujuan dari

perkongsian antara lain adalah dalam pembagian Harta Bersama (gono-gini)

antara suami-istri ketika terjadi perceraian tidak ada pembagian masing-

masing secara pasti (tsabit) misalkan, istri 50% dan suami 50%. Namun

pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan istri

berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Inilah yang disebut dengan

7Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 55.

Page 43: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

29

as-Shulhu (perdamaian) antara suami dan istri. Syirkah Abdan boleh

dilakukan, baik pekerjaan antara yang berserikat itu sama ataupun berbeda,

baik keduanya bekerja atau salah satu dari keduanya saja yang bekerja baik

keduanya bekerja sendiri-sendiri maupun bersama-sama, syirkah ini juga

dinamakan dengan syirkah a’mal (pekerjaan), abdan (badan), shana’i

(kerajinan) atau taqabbul (penerimaan).8

Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat di

kalangan Ulama dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia

dapat disimpulkan bahwa harta bersama (gono-gini) termasuk dalam syirkah

abdan, dikatakan syirkah abdan karena dalam kenyataannya sebagian besar

suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting

tulang berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari atau

jika memang hanya suami yang bekerja sedangkan istri sebagai ibu rumah

tangga tetap istri memiliki peranan besar dalam menjaga keutuhan dan

kelangsungan keluarga seperti mengurusi urusan rumah tangga, memelihara

dan mendidik anak-anak, bahkan berbelanja menyediakan makan dan minum

ketika suami bekerja maka dengan hal ini suami telah menerima bantuan yang

sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-

hari yang secara tidak langsung mempengaruhi juga pada jumlah harta yang

diperoleh

Pada dasarnya para Ulama tidak menentukan secara pasti tentang

pembagian harta (benda) syirkah antara dua orang yang berserikat ketika

perserikatan itu bubar, begitu juga dal syirkah abdan atau as-shulhu.

Dengan demikian berdasarkan dalil di atas jika suami istri bercerai dan

hendak membagi harta gono gini maka dapat ditempuh dengan jalan

perdamaian (as-shulhu) yaitu pembagian harta gono gini bergantung pada

8Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 56.

Page 44: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

30

musyawarah dan kesepakatan antara suami istri Semuanya dibenarkan oleh

syara’ selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh

berdasarkan kerelaan masing-masing.9

Para perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan

dengan hukum adat. Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan

menjadikan ’urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al-adatu al-

muhakkamah. Pendapat tersebut memang bisa dibenarkan bahwasanya sebuah

kebiasaan atau ’urf bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum.10

Aturan-aturan tersebut menunjukan adanya usaha-usaha dari para

tokoh Islam untuk mengakomodasi Hukum Islam dengan hukum adat. Karena

sebagian besar buku tentang fiqh tidak mengatur tentang harta gono-gini, yang

merupakan sebuah nilai-nilai yang sudah sangat lama mengakar dalam

kehidupan masyarakat setempat. Para ulama merasa berkewajiban untuk

memasukkan intuisi masyarakat ini ke dalam nilai-nilai hukum Islam. Sikap

kompromi terhadap hukum adat ini didorong oleh fakta bahwa pada

kenyataannya kehidupan sehari-hari orang Indonesia tidak berhenti untuk

mengamalkan aturan-aturan yang berasal dari hukum adat. Sedangkan untuk

menghapuskannya adalah jelas sesuatu yang sangat mustahil dan juga karena

tidak sesuai dengan jiwa hukum Islam yang mengijinkan hukum adat untuk

dipraktekkan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar hukum

Islam.11

Menurut penulis, pada dasarnya, tidak ada percampuran harta

kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini), konsep

harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang

berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum Islam

9Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013.

10Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 98. 11Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm.

148.

Page 45: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

31

dan hukum positif yang berlaku di negara kita. Sekali mereka itu terikat dalam

perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi satu baik

harta maupun anak-anak. Dalam perspektif Hukum Islam, jika pembagian

harta bersama jika terjadi pasangan suami istri yang telah bercerai itu

mengedepankan cara perdamaian (musyawarah). Hal ini dalam KHI Pasal 97

yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing

berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam

perjanjian perkawinan”. Berdasarkan pandangan tersebut, sesungguhnya harta

bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah

maupun berdasarkan kehendak hukum Islam itu sendiri.

B. Pembagian Harta Gono-Gini Perspektif Hukum Positif

Dalam Pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat

perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara

harta kekayaan suami istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin

tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang

perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan

penyimpangan dari ketentuan itu, suami istri harus menempuh jalan dengan

perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139-154 KUH Perdata.12

Perjanjian sebagaimana tersebut di atas itu, haruslah dilaksanakan

sebelum perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta

autentik di muka notaris, akta autentik ini sangat penting, karena dapat

dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang

harta bawaan masing-masing suami istri. Jika tidak ada perjanjian kawin yang

dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka semua harta suami dan istri

12 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), hlm. 99.

Page 46: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

32

terjadi perbauran dan dianggap harta bersama. Kemudian dalam Pasal 128-

129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara

suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri. Tanpa

memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya

diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang

berlaku dalam kehidupan masyarakat.13

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

Pasal 35-37 dikemukakan bahwa:

Pasal 35

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama.

2. Harta bawaan dari Masing-masing suami istri terhadap harta yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di

bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Dalan pasal di atas apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut

diatur menurut hukumnya masing-masing.

Pasal 36

1. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu

atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bersama tersebut.

13 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, hlm. 102.

Page 47: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

33

Menurut Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan jo. Pasal 87 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa istri

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta

tersebut tanpa ikut campur suami istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau

mengagunkan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk

melakukan tindakan.

Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak

mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami istri. Dengan

demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan

mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing.

Penjelasannya yang dimaksud dengan hukumnya yaitu masing-masing dengan

hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dalam kenyataannya jika

terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak

akan mendapatkan separuh dengan harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut

bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat

pula dengan kesepakatan itu membagi harta bersama tersebut menurut

kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh

mengesampingkan peraturan yang ada.14

Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 96

3. apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak

pasangan yang hidup lebih lama

14UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.

Page 48: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

34

4. pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau

suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya

yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan

agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan.15

Berdasarkan pasal 96 kompilasi hukum Islam dan pasal 37 undang-

undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dikemukakan bahwa harta

bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian

atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing

mendapatkan setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama

perkawinan berlangsung.16

Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama setengah

untuk istri dalam kasus-kasus tertentu dapat dilenturkan mengikat realita

dalam kehidupan keluarga di beberapa daerah indonesia ini ada pihak suami

yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam

hal ini, sebaiknya para praktisi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan. Oleh

karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi pihak suami

dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang

menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami perlu

dilenturkan lagi sebagai-mana yang diharapkan oleh pasal 229 kompilasi

hukum islam.

Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-

gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian,

maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan

15Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, hlm. 77.

16UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.

Page 49: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

35

antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk

penyelesaian.

Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui

putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian

melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi

lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan

dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.17

Masalah-masalah hukum harta bersama (harta gono-gini) yang aktual

dan sering timbul di pengadilan agama saat ini meliputi banyak di pengadilan

agama saat ini meliputi banyak hal, di antaranya adalah masalah uang

pertanggungan asuransi kecelakaan lalu lintas, asuransi kecelakaan

penumpang, hasil harta bawaan, kredit yang belum lunas, hingga sistem

pembagian harta gono-gini.

Dalam pasal 119 KUH Perdata disebutkan bahwa mulai saat

perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah kesatuan bulat antara

harta kekayaan suami istri sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin

tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh

ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antar suami istri.

Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami-

istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal

139 sampai Pasal 154 KUH Perdata. Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH

Perdata, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-

istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa memerhatikan

dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh.18

Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan Perundang-

undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketenteraman umum yang

17Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 129.

18Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, cet Ke-19, 1985), hlm. 51-53.

Page 50: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

36

berlaku dalam kehidupan masyarakat. Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami-istri terhadap harta

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

pengawasan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak.

Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk

melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila

perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur

menurut hukum masing-masing.

Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan

bahwa, “Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap harta pribadi masingmasing”. Mereka bebas menentukan terhadap

harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya,

dihibahkan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk

melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya.

Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami-istri dalam

menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta pribadi mereka. Ketentuan

ini bisa dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, di mana ditegaskan

bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami-istri karena

perkawinan dan harta istri tetap mutlak jadi hak istri dan dikuasai penuh

olehnya, begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai

penuh olehnya. Mengenai wujud harta pribadi itu sejalan dengan apa yang

telah dijelaskan.19

Dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Ketentuan ini

sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan

19Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.ii, 1997), hlm. 201.

Page 51: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

37

sebelum akad nikah dilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi

suami atau istri adalah:

1. Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan

mereka laksanakan,

2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi

terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan.20

Di luar jenis ini semua harta langsung masuk menjadi harta bersama

dalam perkawinan. Semua harta yang diperoleh suami-istri selama dalam

ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara

tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan

harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta

bersama, tidak menjadi soal apakah istri atau suami yang membeli, tidak

menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu

atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.

Jadi dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU KUH Perdata dalam pasal

37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-129 KUH Perdata bahwa apabila

putusnya tali perkawinan antara suami-istri, maka harta bersama itu dibagi

dua antara suami-istri. Namun di dalam undang-undang dipakai kaidah

sepanjang para pihak tidak menentukan lain atau kaidah diatur menurut

hukumnya masing-masing.21

Menurut penulis, pembagian harta bersama pada umumnya dibagi dua

sama rata diantara suami istri. Hal ini didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974

dan UU KUH Perdata dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-

129 KUH Perdata bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,

maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri. Namun di dalam

undang-undang dipakai kaidah sepanjang para pihak tidak menentukan lain

20Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII “Harta Benda dalam Perkawinan”, pasal 35.

21Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, cet.i, 2000), hlm. 127.

Page 52: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

38

atau kaidah diatur menurut hukumnya masing-masing. Sementara itu harta

bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-

masing yang tidak perlu dibagi secara bersama.

C. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang

Harta Gono-Gini

a. Persamaan Harta Bersama Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta bersama diartikan

sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka

diikat dalam tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan

bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan

syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu

dengan yang lain dan tidak dapat dibeda bedakan lagi. Dasar

hukumnya adalah Al Qu’ran surat An-nisaa ayat 32 dimana

dikemukakan bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang

mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka

usahakan pula.22

Dalam hukum positif maupun hukum Islam hubungan suami

istri dalam rumah tangga harus berlaku baik dan seimbang antara hak

dan kewajiban suami istri sebagai kepala rumah tangga memiliki

kewenangan untuk membagi atau mengurus harta bersama dengan

berlaku adil, tidak mengambil keuntungan sendiri dan bila terjadi

perselisihan harta bersama antara suami istri hendaknya diajukan

kepada Pengadilan Agama. Pada dasarnya tidak ada kontradiksi antara

hukum positif, hukum Islam dalam memandang harta bersama.

Dari ungkapan di atas sejalan dengan apa yang tercantum

dalam UU no. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah harta benda

22Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 129.

Page 53: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

39

yang diperoleh selama perkawinan. Artinya harta kekayaan yang

diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta

bersama.23 Pasal 119 KUHPer yaitu “mulai saat perkawinan

dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta

kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu sesuai dengan perjanjian

kawin tidak diadakan ketentuan lain”.

b. Perbedaan Harta Bersama Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Dalam Al Qur’an dan Hadist tidak dijelaskan secara detail

terkait pembagian harta bersama, bahkan dalam konsep Islam harta

suami milik suami dan di atur oleh suami sepenuhnya dan harta istri

milik istri dan dikuasai oleh istri, akan tetapi suami wajib menafkahi

istri dan keluarganya, namun dalam konsep Islam harta bersama di

qiyaskan dengan kata syirkah (percampuran) harta antara suami dan

istri.

Pada pembagian harta bersama menurut KHI berdasarkan pada

Pasal 97 harta bersama setelah perceraian dibagi rata, masing-masing

½ bagian antara suami dan isteri sama. Sementara itu, menurut UU No.

1 Tahun 1974 dan KUH Perdata pembagian harta bersama dibagi dua

suami dan istri tapi dapat dilakukan atas bukti-bukti yang diajukan

oleh penggunggat dan tergugat atau diatur atas hukumnya masing-

masing.

23Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII “Harta Benda dalam Perkawinan”, pasal 35.

Page 54: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

BAB IV

ANALISIS TERHADAP SENGKETA TENTANG KETENTUAN

PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI PUTUSAN NOMOR

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

A. Deskripsi Putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Pada tanggal 1 februari 2012 seorang istri mengajukan gugatan tingkat

banding ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung, lalu Pengadilan Tinggi

Agama Bandung telah memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

banding.

Seorang istri yang berusia 31 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga,

bertempat tinggal di jalan elang raya kota Cirebon, dahulu Penggugat

sekarang Pembanding. Seorang suami yang berusia 30 tahun, pekerjaan

swasta, bertempat tinggal di jalan sungai rokan komplek perumahan

pertamina bima, kabupaten Cirebon, dahulu Penggugat sekarang

Pembanding.1

Ketika duduk perkara dalam putusan pengadilan Agama Cirebon

tanggal 18 januari 2012 Nomor: 229/Pdt.G/2011/PA. CN bahwa amarnya

berbunyi menolak gugatan istri, lalu istri mengajukan permohonan banding

atas putusan Pengadilan Agama Cirebon. Permohonan banding yang diajukan

oleh istri telah diajukan dalam tenggang waktu dengan cara-cara sebagaimana

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka permohonan

banding tersebut harus dinyatakan dapat diterima.

Setelah itu Pengadilan Tinggi Agama mempelajari dan meneliti

dengan seksama berkas perkara berita acara Persidangan Peradilan tingkat

pertama, suami menyatakan objek sengketa yang digugat oleh istri

sebenarnya bukan harta bersama (gono-gini) kedua pihak, akan tetapi sebagai

harta bawaan (milik pribadi) suami, sekalipun ada pemberian dari orang tua

istri berupa bahan bangunan senilai + Rp. 62.071.900,- maka kalau istri akan

1Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, tentang Harta Bersama, hlm. 1.

40

Page 55: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

41

menarik pemberian dari orang tuanya tersebut, harus diajukan gugatan

perdata yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga Pengadilan

Agama Cirebon tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara ini.

Lalu istri keberatan, sebab menurut istri yang digugat istri adalah harta

bersama kedua pihak, bukan harta bawaan suami. Tetapi suami tetap

mengatakan objek sengketa yang digugat istri adalah harta bawaan suami,

bukan harta bersama kedua pihak, maka harus diperiksa terlebih dahulu

apakah harta tersebut adalah harta bawaan suami ataukah harta bersama

kedua belah pihak.2

Kemudian pokok perkara istri telah mengemukakan keberatan tersebut

dalam tingkat pertama dan tingkat banding. Lalu Pengadilan Tinggi Agama

mempertimbangkannya bahwa istri mengatakan objek sengketa yang berupa

sebidang tanah pekarangan seluas 222 m2 atas nama suami dinyatakan

sebagai harta bersama kedua pihak dan kemudian dilakukan pembagian

antara kedua pihak. Tetapi suami keberatan atas gugatan istri nya karena

objek sengketa tersebut bukan harta bersama kedua pihak sebab diperoleh

dari orang tuanya sebesar Rp. 300.000.000,- dan saat proses melanjutkan

pengerjaan bangunan, ada pemberian dari orang tua istri nya juga berupa

bahan bangunan senilai + Rp. 62.071.900,- lalu Pengadilan Tinggi Agama

menganggap bahwa pemberian dari kedua orang tua nya masing-masing

untuk kepentingan kedua pihak dalam membangun rumah tangga, yang

demikian objek sengketa tersebut adalah harta bersama kedua belah pihak.3

Dalam hal pembagiannya, yakni berapa hak masing-masing pihak atas

obyek sengketa tersebut, maka harus dipertimbangkan besarnya kontribusi

kedua belah pihak. Kenyataannya pemberian yang diperoleh dari orang tua

suami lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian yang diperoleh dari

2Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, tentang Harta Bersama, hlm. 2.

3Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, tentang Harta Bersama, hlm. 3.

Page 56: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

42

orang tua istri, maka wajar jika hak bagian suami lebih besar daripada hak

bagian istri.

Akhirnya Hakim memutuskan objek sengketa tersebut bahwa

sebidang tanah seluas 222 m2 atas nama suami nya adalah harta bersama

(gono-gini) istri dan suami yang belum dibagi. Lalu menetapkan hak bagian

masing-masing pihak atas harta bersama tersebut, istri medapatkan hak

sebesar 1/3 bagian dan suami mendapatkan hak sebesar 2/3 bagian. Suami

lebih besar daripada istri, putusan tersebut dijatuhkan di Bandung pada hari

selasa tanggal 15 Mei 2012 dengan dihadiri Ketua Majelis, masing-masing

kedua Hakim Anggota, panitera pengganti, tetapi tidak dihadiri pihak suami

(Terbanding) dan istri (Pembanding).4

B. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau

tradisi yang berkembang di Indonesia. Walaupun kata “gono-gini” berasal

dari konsep adat jawa, namun ternyata di daerah lain juga dikenal dengan

konsep yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti “hareuta

sirakeat” dari Aceh, “harta suarang” dari bahasa Minagkabau, “guna kaya”

dari bahasa Sunda, dan “duwe gabro” dari Bali.5 Konsep ini kemudian

didukung oleh hukum positif di negara kita di dalam undang-undang dan

aturan hukum lainnya.

Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) pasal 85

disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak

menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”. Pasal ini

telah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata

lain, Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya harta besama dalam

4Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, tentang Harta Bersama, hlm. 4.

5Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), hlm. 10.

Page 57: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

43

perkawinan, walaupun sudah menikah tetap tidak menutup kemungkinan ada

harta masing-masing dari suami dan istri.6

Jika kita menegakkan hukum harus ada tiga unsur yang selalu harus

diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan

(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit). Demikian, jika hakim

hendak memutuskan perkara, maka pijakannya harus pada tiga unsur

tersebut.

Sengketa harta bersama oleh orang yang beragama Islam diselesaikan

di Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan absolut yang tertuang di

dalam pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang telah beberapa kali diamandemen.7 Sengketa harta

bersama merupakan masalah yang cukup rumit karena berkaitan dengan harta

benda suami istri yang meminta bagian masing-masing tatkala bercerai. Maka

di sinilah hakim harus menggunakan tiga unsur di atas. Seperti dalam perkara

Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg yang akan penulis bahas pada Bab IV ini.

Dalam Bab VII pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tentang harta benda dalam

perkawinan, diatur sebagai berikut : “Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama” (Pasal 35 ayat (1)) “Sejak saat

dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama

menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak ditentukan lain

dalam perjanjian perkawinan”.

Dalam kasus sengketa Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg,

Pengadilan Tinggi Agama mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas

perkara yang terdiri dari Berita Acara Persidangan peradilan tingkat pertama,

dan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak yang berperkara, salinan resmi

putusan Pengadilan Agama Cirebon tanggal 18 Januari 2012 bertepatan

dengan tanggal 24 Shaffar 1433 H Nomor 229/Pdt.G/2011/PA CN. dan

6Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, hlm. 13. 7Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1993), hlm. 2.

Page 58: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

44

setelah pula memperhatikan pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat

pertama, memori banding dari Penggugat/ Pembanding serta kontra memori

banding dari Tergugat/ Terbanding, ternyata Majelis Hakim tingkat pertama

belum mengadilinya, maka Pengadilan Tinggi Agama akan

mempertimbangkannya terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan

mengenai pokok perkara, setelah mempertimbangkan objek sengketa yang

digugat oleh Penggugat/ Pembanding sebenarnya bukan harta bersama (gono

gini) kedua pihak, akan tetapi sebagai harta bawaan (milik pribadi).

Penggugat/ Pembanding keberatan, sebab menurut Penggugat/

Pembanding yang digugat oleh Penggugat/ Pembanding adalah harta bersama

kedua pihak, bukan harta bawaan Tergugat/ Terbanding. Gugatannya pada

pokoknya Penggugat/ Pembanding mohon agar obyek sengketa yang berupa

sebidang tanah pekarangan yang terletak di Kelurahan Karyamulya

Kecamatan Kesambi Kota Cirebon yang diuraikan dalam Sertifikat Hak Guna

Bangunan No. 1538/ Kelurahan Karya Mulya seluas 222 m2 a.n. Dennis

Hertanto berikut bangunan rumah yang berdiri di atas tanah tersebut

dinyatakan sebagai harta bersama (gono-gini) kedua pihak dan kemudian

dilakukan pembagian antara kedua pihak sebagaimana mestinya.

Tetapi gugatan Penggugat/ Pembanding tersebut Tergugat/

Terbanding keberatan, antara lain karena Tergugat/ Terbanding menganggap

bahwa obyek sengketa tersebut bukan sebagai harta bersama kedua pihak,

sebab diperoleh dari orang tuanya sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta

rupiah) dan saat dalam proses melanjutkan pengerjaan bangunan, mendapat

sumbangan dari orang tua Penggugat/ Pembanding berupa bahan bangunan

senilai + Rp.62.071.900;- (enam puluh dua juta tujuh puluh satu ribu sembilan

ratus rupiah).

Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam

perkawinan antara suami dan istri (harta bersama). Kompilasi Hukum Islam

pasal 86 ayat (1), menegaskan bahwa “Pada dasarnya tidak ada

percampuran antara harta istri dan suami karena perkawinan”. Pada ayat

(2) disebutkan bahwa “Pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan

Page 59: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

45

dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami

dan dikuasai penuh olehnya”. Konsideransi dari pasal ini adalah untuk

melindungi hak masing- hak masing dan menghargai hasil jerih payah satu

pihak dengan pihak lain. Oleh karena itu perjanjian perkawinan sangatlah

penting jika di kemudian hari terpaksa harus membagi harta bersama karena

perceraian.

Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta bersama suami dan

istri, sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1), namun bukan berarti

dalam perkawinan hanya ada harta bersama atau gono-gini yang diakui, hal

ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 85 KHI yang menyatakan tidak

menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri dalam harta

bersama tersebut. Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai

berikut :

1. Harta gono-gini

Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 91 ayat (1), harta gono- gini

bisa berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami dan istri harus bisa

menjaga harta gono-gini ini dengan penuh amanah, sebagaimana diatur

dalam KHI pasal 89, sebagai berikut : “Suami bertanggung jawab

menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri”.

2. Harta bawaan

Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri

yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh

warisan dan hadiah. Tentang harta bawaan, Undang-undang

Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, “Harta bawaan masing-

masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing- masing

sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-

masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Berdasarkan ketentuan ini, suami maupun istri berhak memiliki

sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain

dalam perjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam

Page 60: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

46

KHI pasal 87 ayat (1). Harta bawaan bukan termasuk dalam harta bersama.

Suami atau istri berhak menggunakan harta bawaannya masing-masing dan

juga dapat melakukan perbuatan hukum atas hartanya masing-masing.

Dasarnya adalah Undang-undang Perkawinan pasal 36 ayat (2), dan hal ini

senada juga dinyatakan dalam KHI pasal 87 ayat (2). Berdasarkan ketentuan

ini, harta masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangannya

yang lain. Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika dalam

perjanjian perkawinan menyebutkan adanya peleburan atau penyatuan antara

harta bersama dan harta bawaan.8

Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri,

maka harta bersama atau gono-gini menjadi milik keduanya. Untuk

menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama,

yaitu hak milik dan hak guna, artinya mereka berdua sama-sama berhak

menggunakan harta bersama tersebut dengan syarat harus mendapat

persetujuan dari pasangannya. Jika suami hendak menggunakan harta

bersama, dia harus meminta persetujuan istrinya.

Demikian juga sebaliknya, jika istri hendak menggunakan harta

bersama, maka dia harus izin kepada suaminya. Undang-undang Perkawinan

pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Mengenai harta bersama suami atau

istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Jika penggunaan

harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak keduanya,

tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena merupakan tindak

pidana yang bisa saja dituntut secara hukum. Dasarnya dalam KHI pasal 92 :

“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual

atau memindahkan harta bersama”. Suami atau istri juga diperbolehkan

menggunakan harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat

persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4)

8Ismail Muhammad Syah, Pencarian Bersama Suami Istri; Adat Gono-Gini dari Sudut Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hlm. 16.

Page 61: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

47

mengatur bahwa : “Harta bersama dapat dijadikan jaminan oleh salah satu

pihak atas persetujuan pihak lain”

Menurut penulis, hal ini sudah cukup memberikan keadilan bagi

Pembanding dan Terbanding dalam perkara tersebut. Harta bersama dibagi ½

bagian untuk masing-masing pihak jika dalam kondisi normal. Namun dalam

hal ini, perkara tersebut bisa disebut kasuistis. Kita harus melihat sejauh mana

peranan suami dan istri dalam mengumpulkan harta bersama tersebut dan

bagaimana mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sebagai

suami-istri. Walaupun tidak sesuai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam,

hakim lebih mengedepankan keadilan.

Pengadilan Tinggi Agama merasa adil jika untuk bagian Penggugat/

Pembanding atas harta bersama adalah 1/3 (sepertiga) bagian, sedang bagian

Tergugat/ Terbanding adalah 2/3 (dua pertiga) bagian karena pada

kenyataannya pemberian yang diperoleh dari orang tua Tergugat/ Terbanding

lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian yang diperoleh dari orang tua

Penggugat/ Pembanding, maka wajar dan bahkan seharusnya jika hak bagian

Tergugat/ Terbanding juga lebih besar daripada hak bagian Penggugat/

Pembanding.

Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam pasal

28 Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, yaitu

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Sebagai “wakil Tuhan”, hakim mempunyai

wewenang untuk membuat hukum, yang biasa disebut “Judge made Law”.

Maka dari itu, setiap putusan pasti diawali dengan kalimat “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA”.9Sebagaimana diketahui tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum,

yaitu:

1. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya

2. Setiap warga negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum

9Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 21.

Page 62: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

48

3. Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam

kehidupan masyarakat.10

Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung

terus menerus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-

peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan

asas-asas keadilan11. Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin

adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula

bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.12

Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa putusan hakim dalam

perkara 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg sudah benar dan telah memenuhi rasa

keadilan, meskipun tidak sesuai dengan yang diatur dalam KHI karena tujuan

dari hukum adalah keadilan dan keadilan adalah segala-galanya. Keberanian

tersebut telah dipraktekkan dengan memahami bahwa pasal 97 KHI yakni

janda atau duda cerai mendapat setengah adalah jika dalam ketentuan standar

normal dan UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 37 bila perkawinan putus karena

perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dengan

demikian, pembagian harta bersama tidak selamanya dibagi dua sama rata

diantara suami dan istri. Pembagian harta bersama seharusnya dilakukan

secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidak adilan antara mana yang

merupakan hak suami dan mana yang hak istri.

C. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor

115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Di dalam Hukum Islam tidak membahas secara rinci masalah harta

gono-gini suami istri dalam perkawinan, melainkan hanya dalam garis

besarnya saja. Sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda. Al Qur’an

tidak mengatur lembaga harta bersama dalam perkawinan. Dalam kitab fikih

pun tidak menyebut tegas mengenai harta bersama selama perkawinan yang

10Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 21.

11Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 48. 12Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hlm.

34.

Page 63: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

49

disebut sebagai harta kekayaan perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan

firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa’ (4) : 32, yaitu :

ا اكتسبوا جال نصیب مم بھ بعضكم على بعض للر ل � ولا تتمنوا ما فض

ا اكتسبن واسأ كان بكل شيء وللنساء نصیب مم من فضلھ إن � لوا �

علیما

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah

kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.

(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang

mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa

yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari

karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(QS Al-Nisa[4]:32).

Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapat harta

mereka sesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan

mendapatkan haknya sesuai dengan jerih payahnya. Maka, ketika terjadi

perceraian masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan apa yang

mereka telah usahakan.

Konsep harta bersama, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,

hanya merupakan produk hukum adat, yang kemudian dikonsepkan di dalam

hukum positif Indonesia.

Dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan kebiasaan

masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam

diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat kebiasaan

disebut“’Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan kaidah yang

menyatakan : “Al’adatu muhakkamah” Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan

sandaran hukum.

Namun adat kebiasaan ini tidak serta merta harus diadopsi menjadi

hukum positif. Adat tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :

Page 64: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

50

1. ‘Urf berlaku umum;

2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i;

3. ‘Urf tersebut sudah berlaku sejak lama, bukan kebiasaan

yang baru saja terjadi;

4. Tidak bertentangan dengan tashrih.

Oleh karena itu, sah-sah saja jika dalam perkawinan suami-istri bersepakat

mengadakan persatuan harta.13Tidak menyebutkan adanya harta bersama.

Ahli-ahli yang berpendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam di

antaranya adalah Satria Effendi dan Abdullah Siddik. Sedangkan ahli-ahli

yang menyatakan adanya harta bersama dalam Islam, salah seorang di

antaranya adalah Sayuti Thalib.14 Masalah syirkah atau harta bersama asal

mulanya dari hukum adat. Harta bersama di dalam fikih bisa disebut sebagai

hasil syirkah. Ada dua pendapat yang mengenai harta bersama (syirkah)

dalam Islam. Ada pendapat yang menyatakan harta bersama dapat terjadi

dalam perkawinan Islam.

Dengan adanya pernikahan, terjadi perkongsian terbatas (syarikatur

rajuli filhayati), yaitu kongsi sekutu seorang suami dalam melayari bahtera

hidup, maka antara suami istri dapat terjadi syirkah abdaan (perkongsian

tidak terbatas), syirkah di bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan

(perkongsian tenaga). Kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan

merupakan harta kekayaan tambahan akibat usaha/ pekerjaan bersama. Ada

juga yang berpendapat bahwa Islam tidak mengenal harta bersama kecuali

dengan tegas dilakukannya syirkah, hal ini bersandar pada pendapat yang

mengatakan bahwa tidak ada harta bersama, harta yang menjadi hak istri tetap

menjadi milik istri dan tidak dapat diganggu gugat termasuk oleh suami,

begitu pula apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi

hak milik suami kecuali bila ada syirkah, perjanjian bahwa harta suami-istri

tersebut bersatu. Hal ini kemudian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,

13Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm. 150.

14Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), hlm. 54.

Page 65: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

51

dalam Bab XIII.

Dalam setiap putusan pengadilan, pada bagian paling awal dari putusan

tersebut pasti diselipkan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Yang berarti bahwa keadilan harus

ditegakkan sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.

Tuhan menginginkan keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya sesuai

firman di atas. Dan sesuai dengan kaidah amar dalam ushul fikih “al-ashlu fil

amri lil wujub”, pada dasarnya perintah menunjukkan adanya suatu

kewajiban. Maka oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita menegakkan

keadilan.

Pada putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, hakim PTA Bandung

telah berusaha memberikan keadilan bagi para pihak. Hal itu dilihat dari

prosesnya yang panjang, ketika Pembanding (yang dulunya Tergugat) tidak

puas dengan putusan hakim PA Cirebon Nomor 229/Pdt.G/2011/PA CN lalu

mengajukan banding ke PTA Bandung. Dan menurut penulis, setelah

menelaah kasus ini, hal itu telah sesuai dengan asas-asas keadilan. Baik

dilihat dari hukum positif maupun hukum Islam/fikih.

Putusan hakim yang paling mencolok adalah ketika hakim memutuskan

pembagian harta bersama sebidang tanah pekarangan Hak Guna Bangunan,

terletak di kelurahan Karyamulya Kecamatan Kesambi Kota Cirebon,

diuraikan dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1538/ Kelurahan

Karyamulya, Surat Ukur tanggal 22 Juli 2008 No. 205/Karyamulya/2008,

seluas 222 m2, a.n. Dennis Hertanto S.Kom, Penggugat/ Pembanding adalah

1/3 (sepertiga) bagian, sedang bagian Tergugat/ Terbanding adalah 2/3 (dua

pertiga) bagian karena pada kenyataannya pemberian yang diperoleh dari

orang tua Tergugat/ Terbanding lebih besar jika dibandingkan dengan

pemberian yang diperoleh dari orang tua Penggugat/ Pembanding, maka wajar

dan bahkan seharusnya jika hak bagian Tergugat/ Terbanding juga lebih besar

daripada hak bagian Penggugat/ Pembanding. Tentunya hakim mempunyai

dasar-dasar yang kuat.

Page 66: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

52

Hakim telah menimbang dari sudut pandang hukum positif dan hukum

Islam atau fikih. Dalam hukum positif telah dikaji dari berbagai Undang-

undang dan peraturan lainnya, sedangkan dari hukum Islam atau fikih telah

dikaji dari dalil-dalil al-Qur’an, hadits, maupun pendapat Ulama.

Maka dari itu, penulis telah menemukan jawaban bahwa dilihat dari

Putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg telah cukup memberikan keadilan

bagi para pihak karena dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan

kebiasaan masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan

syariat Islam diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat

kebiasaan disebut“’Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan

kaidah yang menyatakan : “Al’adatu muhakkamah” Sebuah adat kebiasaan

bisa dijadikan sandaran hukum.

Page 67: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan menjadi

beberapa bagian, sebagai berikut:

1. Pembagian harta bersama dalam pandangan hukum Islam dan hukum

positif telah sesuai pada umumnya dibagi dua sama rata diantara

suami istri. Dalam perspektif Hukum Islam, jika pembagian harta

bersama jika terjadi pasangan suami istri yang telah bercerai itu

mengedepankan cara perdamaian (musyawarah). Hal ini dalam KHI

Pasal 97 yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai hidup

masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak

ditentukan dalam perjanjian perkawinan”. Berdasarkan pandangan

tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum

Islam, baik itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak

hukum Islam itu sendiri. Sedangkan dalam perspektif hukum positif

hal ini didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata

dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-129 KUH

Perdata bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,

maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri. Namun di dalam

undang-undang di atas sepanjang para pihak tidak menentukan lain

maka diatur menurut hukumnya masing-masing. Sementara itu harta

bawaan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing yang

tidak perlu dibagi secara bersama.

2. Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama

Bandung dalam membagi harta bersama adalah dengan berlandasan

dari rasa keadilan, sehingga sikap hakim dalam memutuskan perkara

tersebut lebih kepada hukum yang timbul pada masyarakat (KHI pasal

229). Pandangan Kompilasi Hukum Islam secara umum membagi

pembagian harta bersama adalah separuh untuk masing-masing pihak

53

Page 68: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

54

(KHI pasal 97). Akan tetapi pasal 97 KHI ini harus dipahami dengan

baik ada pembagian harta bersama sebuah bangunan rumah milik

suami istri akan tetapi ketika cerai si Penggugat/Pembanding ingin

dibagi harta bersama tersebut, namun majelis Hakim

mempertimbangkan bahwasanya ketika bangun rumah ada campur

tangan kedua orang tua suami dan istri. Praktek di Pengadilan Tinggi

Agama Bandung dalam putusan No 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

pembagian Penggugat/ Pembanding adalah 1/3 (sepertiga) bagian,

sedang bagian Tergugat/ Terbanding adalah 2/3 (dua pertiga) bagian

karena pada kenyataannya pemberian yang diperoleh dari orang tua

Tergugat/ Terbanding lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian

yang diperoleh dari orang tua Penggugat/ Pembanding, maka wajar

dan bahkan seharusnya jika hak bagian Tergugat/ Terbanding juga

lebih besar daripada hak bagian Penggugat/ Pembanding. Tentunya

hakim mempunyai dasar-dasar yang kuat.

Saran-saran

1. Bagi masyarakat yang ingin melakukan perkawinan dianjurkan

supaya membuat perjanjian mengenai pembagian harta bersama, agar

ketika terjadi perceraian tidak terjadi perselisihan dalam pembagian

harta bersama serta pemerintah diharapkan dapat melakukan

penyuluhan kepada masyarakat tentang ketentuan pembagian harta

bersama menurut hukum positif dan hukum Islam.

2. Diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Agama mengutamakan

keadilan dan harus mencermati lebih seksama dalam menilai dan

menafsirkan undang-undang yang akan dijadikan pijakan hukum

dalam mengambil keputusan dengan menyesuaikan perkara yang

sedang ditangani. Hakim dalam memberikan putusan, perlu

memperhatikan dengan sungguh-sungguh faktor yang harusnya

diterapkan, yaitu keadilan, kemashlahatan, kepastian hukumnya, dan

manfaat yang tidak bertentangan dengan hukum syara’.

Page 69: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju, 1997).

Abidin, Slamet Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Azhar, Ahmad Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000).

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007).

Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978).

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998).

Hendra, Tommy Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PUAJ, 2007).

Idris, Moh. Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Pengadilan Agama dan Zakat, (Jakarta: Sinar Grafika, cet I, 1995).

Kamil, Ahmad, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008).

Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).

Mashadi, Ghufron A, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002).

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008).

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2012).

Mertokusumo, Sudikno, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993).

Page 70: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006).

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA, 2005).

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.ii, 1997).

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).

Satrio, J, Hukum Harta Perkawinan, cet-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).

Soermiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997).

Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian (Bandung: Alumni, 2005).

Syah, Ismail Muhammad, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965).

Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Azas, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000).

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991).

Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998).

Tjitrosudibio, Subekti R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, cet Ke-19, 1985).

Triwulan, Titik Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006).

Yahya, M. Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).

Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013.

Page 71: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI Tahun 2001.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII “Harta Benda dalam Perkawinan”, pasal 35.

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, 2010.

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg, tentang Harta Bersama.

Page 72: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 73: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 74: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 75: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 76: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …
Page 77: PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA) DALAM …