pembelajaran osborn

41
MODEL PEMBELAJARAN OSBORN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA (Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas VIII Daarut Tauhid Bandung) Proposal Diajukan untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian Oleh : Enung Sayyidah Mahmudah 1001046 JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010

Upload: enungsayyidah

Post on 18-Jul-2015

721 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembelajaran Osborn

MODEL PEMBELAJARAN OSBORN

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

(Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas VIII Daarut Tauhid Bandung)

Proposal Diajukan untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian

Oleh :

Enung Sayyidah Mahmudah

1001046

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2010

Page 2: Pembelajaran Osborn

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1

A. Latar Belakang Penelitian ....................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................... 6

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ............................... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................... 8

A. Pendekatan Konstruktivisme ..................................... 8

B. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ........... 10

C. Model Pembelajaran Osborn ..................................... 13

D. Pembelajaran Konvensional……………………... .. 17

E. Hasil Penelitian yang Relevan……………………… 18

F. Hipotesis Penelitian .................................................. 18

BAB III METODE PENELITIAN ............................................ 20

A. Lokasi dan Subjek Penelitian ................................... 20

B. Desain Penelitian ...................................................... 20

C. Metode Penelitian ..................................................... 21

D. Definisi Operasional ................................................. 21

E. Instrumen Penelitian ................................................. 22

1. Instrumen Pembelajaran………………….. ........ 22

2. Instrumen Pengumpulan Data ............................ 22

Page 3: Pembelajaran Osborn

a. Instrumen Tes ............................................... 23

1) Validitas Tes ………………………….. 25

2) Reliabilitas Tes………………………… 26

3) Daya Pembeda………………………… 26

4) Indeks Kesukaran……………………… 27

b. Instrumen Non- Tes ...................................... 29

1) Angket ………...………………........ 29

2) Lembar Observasi .................................. 29

F. Prosedur Penelitian ................................................... 30

G. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 31

H. Analisis Data ............................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA ................................................... 37

Lampiran

1. Schedule Penelitian

2. Instrumen Penelitian

3. Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP)

Page 4: Pembelajaran Osborn

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Di Indonesia, dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang

banyak disoroti para ahli, terkait dengan upaya bagaimana meningkatkan

kualitas pendidikan yang hingga hari ini belum memberikan hasil yang

memuaskan. Mengingat pendidikan suatu negara menentukan kesuksesan

negara tersebut, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan

kualitas pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (I.Umum) bahwa visi

pendidikan Indonesia adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata

social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga

Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga

mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. 1)

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib

dipelajari, terutama di sekolah-sekolah formal. Mengingat begitu pentingnya

peran matematika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka matematika

perlu dipahami dan dikuasai oleh segenap lapisan masyarakat. Johnson dan

Rising (1972) mengatakan bahwa matematika adalah pola berfikir, pola

mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa

yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan

akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa

simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.

Adapun menurut PaulmChambers dalam bukunya yang berjudul

“Teaching Mathematics” bahwa matematika adalah: …2)

Objective facts

A study of reason and logic

A system of rigour, purity and beauty

Page 5: Pembelajaran Osborn

Free from societal influences

Self-contained

Interconnected structures

Menurut BSNP (2006), mata pelajaran matematika dalam Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bertujuan agar siswa:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep

dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,

efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh;

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media

lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah

(Veragawati, 2009:4).

Berdasarkan tujuan KTSP tersebut, tampak jelas bahwa salah satu

tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar siswa memiliki

kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa

pada saat mendalami matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari. Bell

(1978:311) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang

paling pokok dalam matematika. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Bell, menurut Cooney dkk (Anita, 2007:2) mengatakan bahwa mengajar

siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah memungkinkan siswa itu lebih

analitis dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan. Dengan kata lain,

jika siswa dilatih untuk memecahkan masalah, maka mereka akan mampu

Page 6: Pembelajaran Osborn

mengambil keputusan sebab mereka telah mempunyai kemampuan tentang

cara mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan

menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.

Dalam kenyataannya, kemampuan pemecahan masalah siswa pada saat

ini masih rendah. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Muncarno

(Suhendra, 2005:4) ditemukan beberapa kesulitan dalam memahami

permasalahan yang terdapat dalam soal matematika, diantaranya belum

terbiasa dengan bentuk soal pemecahan masalah. Sedangkan hasil penelitian

Animan (Suhendra, 2005:4) mengungkapkan bahwa kemampuan siswa

dalam mengubah soal matematika berbentuk soal cerita ke bentuk kalimat

matematika tergolong rendah, yaitu dengan rata-rata 44,67 %. Selanjutnya

Loviana (Suhendra, 2005:4) mengungkapkan bahwa persentase kesalahan

sistematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita masih sangat tinggi yaitu

90,48 %.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

dikarenakan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Salah satu faktor

yang mendasari anak kesulitan dalam belajar matematika terutama dalam

pemecahan masalah adalah kesalahan pembelajaran. Cawley (Veragawati,

2009:4) mengidentifikasi tipe-tipe kesalahan belajar sebagai berikut: (1).

Pengajaran yang tidak tepat, salah satunya adalah selalu membatasi, (2)

siswa harus beralih ke topik lain, sedangkan topik yang sebelumnya belum

dikuasai, (menetapkan tujuan pembelajaran yang berlebihan). Porter dan R.

L. Meesie (Veragawati, 2009:4) mengungkapkan bahwa guru lebih

mencurahkan perhatian pada pengajaran kemampuan berhitung, daripada

konsep dan pengembangan pemecahan masalah.

Adapun prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu;

1. Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya

sendiri. Tidak seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar

tersebut untukna.

2. Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya) sendiri dan untuk

setiap kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatn belajar.

Page 7: Pembelajaran Osborn

3. Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera

diberikan penguatan (reinforcement).

4. Penguasaaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran,

memungkinkan murid belajar secara lebih berarti.

5. Apabila murid diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri,

maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan

mengingat lebih baik.3)

Belajar yang sesungguhnya adalah proses mentransfer konsep, seperti

mempunyai kemampuan, mengetahui apa yang dipelajari,

membahasakannya dengan bahasa sendiri, menerapkannya dalam konteks

yang praktis, mempunyai keahlian untuk membandingkan dan menganalisis

serta bisa memberikan kesimpulan logis secara deduktif dan induktif dan

seterusya bisa menguraikan secara dialektis kesimpula yang sudah

disusunnya.4)

Sementara itu, UNESCO (Mudrika, 2007:1) mengemukakan empat

pilar dalam proses pembelajaran, yaitu:

1. Proses “Learning to know”. Siswa memiliki pemahaman dan penalaran

yang bermakna terhadap produk dan proses matematika (apa,

bagaimana, dan mengapa) yang memadai

2. Proses “Learning to do”. Siswa memiliki keterampilan dan dapat

melaksanakan proses matematika (doing math) yang memadai untuk

memacu peningkatan perkembangan intelektualnya

3. Proses “Learning to be”. Siswa dapat menghargai atau mempunyai

apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses

matematika, yang ditunjukkan dengan sikap senang belajar, bekerja

keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang

tinggi dan percaya diri

4. Proses “Learning to live together in peace and harmony”. Siswa dapat

bersosialisasi dan berkomunikasi matematika, melalui bekerja atau

Page 8: Pembelajaran Osborn

belajar bersama, saling menghargai pendapat orang lain dan sharing

ideas.

Beranjak dari proses-proses yang harus dipenuhi sebagaimana

dinyatakan di atas, pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan

pada kemampuan matematik (mathematical power) siswa (Mudrika, 2007:2)

yang meliputi: kemampuan menggali, menyusun konjektur dan menalar

secara logis, menyelesaikan soal yang tidak rutin, memecahkan masalah

matematika, berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide

matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dan mengingat pembelajaran matematika

yang terlaksana masih cenderung teacher centered, serta siswa dibiarkan

puas dengan hanya mengerjakan soal-soal rutin, maka diperlukan suatu

model pembelajaran yang tidak teacher centered, merangsang siswa untuk

bisa menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang pada akhirnya dapat

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kebutuhan

akan model pembelajaran ini mendorong berbagai pihak untuk melakukan

pengujian berbagai model pembelajaran yang dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis. Salah satu model pembelajaran

yang dapat diujicobakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah matematis adalah Model pembelajaran Osborn.

Model pembelajaran Osborn adalah model pembelajaran dengan

menggunakan metode brainstorming yang memberikan kesempatan seluas-

luasnya pada siswa untuk berpendapat dan memunculkan ide sebanyak-

banyaknya dengan mengakhirkan kritik maupun penilaian akan ide tersebut.

Ide-ide yang bermunculan ditampung, kemudian disaring, didiskusikan,

disusun rencana-rencana penyelesaian masalah, hingga diperoleh suatu

solusi untuk permasalahan yang diberikan. Dalam memecahkan masalah,

prosedur yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran Osborn

(Wikipedia) antara lain:

Page 9: Pembelajaran Osborn

1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan

dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan;

2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan

memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah;

3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan

masalah;

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dahlan (2006), model

pembelajaran Osborn dapat meningkatkan kemampuan pemahaman

matematis siswa SMA. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan menerapkan model

pembelajaran Osborn dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn

dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?

2. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada siswa yang

pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn dan

pembelajaran konvensional?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menggunakan Model pembelajaran Osborn?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

Page 10: Pembelajaran Osborn

1. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn

dibandingkan dengan pembelajaran konvensional

2. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa ditinjau berdasarkan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada

siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn

dan pembelajaran konvensional

3. Mengetahui sikap siswa terhadap Model pembelajaran Osborn

D. Manfaat/Signifikasi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi

nyata bagi berbagai kalangan berikut ini :

1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan model pembelajaran

Osborn dapat dijadikan sebagai alat dan cara belajar untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

2. Bagi guru bidang studi matematika, pembelajaran dengan model

pembelajaran Osborn dapat dijadikan salah satu model pembelajaran

alternatif dalam menyampaikan materi kepada siswa khususnya jika

berhubungan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

3. Bagi peneliti, dapat menjadi wahana memperoleh pengetahuan dan

keterampilan penggunaan model pembelajaran Osborn, sebagai langkah

awal dalam mendapatkan solusi terkait dengan masalah-masalah yang

terjadi dalam proses pembelajaran matematika

4. Bagi sekolah dan mutu pendidikan, diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk mengaplikasikan pembelajaran dengan

Page 11: Pembelajaran Osborn

menggunakan model pembelajaran Osborn dan diharapkan dapat

meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia

5. Bagi peneliti lain, dapat memberikan wawasan baru dan sebagai bahan

masukan bagi peneliti yang mengkaji masalah serupa

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendekatan Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan paham pendidikan yang dianut Piaget. Piaget

menuangkan paham konstruktivisme dalam suatu teori belajar. Teori belajar ini

diimplementasikan dalam pembelajaran matematika melalui sebuah pendekatan

yang dinamakan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme

berbeda dengan pendekatan tradisional dimana guru adalah seseorang yang selalu

benar dengan jawabannya, dan seluruh siswa mengikutinya dengan mutlak. Di

dalam kelas konstruktivis, seorang guru tidak mengajarkan kepada anak

bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan

mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan

permasalahan. Siswa memberdayakan pengetahuan yang sudah ada di dalam diri

mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan

lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan

manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja.

Belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba

Page 12: Pembelajaran Osborn

untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi

secara aktif dalam latihan matematika di kelas. Menurut konstruktivis, secara

substantif belajar matematika adalah proses pemecahan masalah (MKPBM,

2001;71) .

Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas

pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk atau

mengkonstruksi pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.

Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan

guru senantiasa menjawab dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.

Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis

terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung. Dari awal sampai akhir guru

memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep

matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan

(matematika) yang dibuat oleh siswa.

Adapun gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William

Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori

konstruktivisme. Menurut Brownell (dalam Reys, Suydam, Lindquist, & Smith

1998), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide,

prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus

dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada

aspek penalaran atau intelegensi anak. Selanjutnya Reys dkk. (1998)

menambahkan bahwa matematika itu haruslah make sense. Jika matematika

disajikan kepada anak dengan cara demikian, maka konsep yang dipelajari

menjadi punya arti; dipahami sebagai suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan

memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya; serta diperoleh melalui proses

pemecahan masalah yang bervariasi. 5)

Selain Brownell, ahli-ahli lain seperti Pieget, Bruner, dan Dienes memiliki

kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan konstruktivisme. Berdasarkan

pandangan ini pengetahuan matematik dibentuk melalui tiga prinsip dasar berikut

ini.

Page 13: Pembelajaran Osborn

1. Pengetahuan tidak diterima secara pasif. Pengetahuan dibentuk atau

ditemukan secara ktif oleh anak. Seperti disarankan Pieget bahwa

pengetahuan matematika sebaiknya dikonstruksi oleh anak sendiri bukan

diberikan dalam bentuk jadi.

2. Anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi

terhadapa aksi-aksi yang dilakukan baik yang berupa fisik maupun mental.

Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola, serta

membentuk generalisasi dan abstraksi (Dienes, 1969, h.181).

3. Bruner (dalam Reys dkk., 1998, h.19) berpandangan bahwa belajar,

merefleksikan suatu proses social yang didalamnya anak terlibat dalam dialog

dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru

sehingga mereka berkembang secara intelektual. Prinsip ini pada dasarnya

menyarankan bahwa anak sebaiknya tidak hanya terlibat dalam manipulasi

material, pencarian pola, penemuan algoritma, dan menghasilkan solusi yang

berbeda, akan tetapi juga dalam mengkomunikasikan hasil observasi mereka,

membicarakan adanya keterkaitan, menjelaskan prosedur yang mereka

gunakan, serta memberikan argumentasi atas hasil yang mereka peroleh.

Jelaslah bahwa prinsip-prinsip di atas memiliki implikasi yang signifikan

terhadap pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip tersebut juga

mengidentifikasikan bahwa konstruktivisme merupakan suatu proses yang

memerlukan waktu serta merefleksikan adanya sejumlah tahapan perkembangan

dalam memahami konsep-konsep matematika. 6)

B. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

a. Pengertian Masalah

Ruseffendi (1998:216) mengemukakan bahwa masalah dalam matematika

adalah suatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa

menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Suatu persoalan merupakan

masalah bagi siswa bila; 1) Siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma

tertentu untuk menyelesaikan; 2) Siswa mampu menyelesaikan, dan 3) Siswa

memiliki niat menyelesaikannya. Hayes (Veragawati, 2009:11) mengemukakan

Page 14: Pembelajaran Osborn

bahwa problem atau masalah bagi seseorang adalah suatu kesenjangan antara

dua pengertian yang dimilikinya dan ia pun tak tahu cara mengatasinya.

Polya (Veragawati, 2009:12) mengemukakan dua macam masalah dalam

matematika, yaitu:

1. Masalah untuk menemukan. Masalah ini dapat berupa masalah teoritis atau

praktis, abstrak atau konkrit, teka-teki

2. Masalah untuk membuktikan. Masalah untuk membuktikan adalah untuk

menunjukkan bahwa suatu masalah itu benar atau salah, tidak keduanya.

Suherman,dkk (2003:92-93) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya

memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan akan

tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan. Sedangkan menurut

Polya dan Ruseffendi (Veragawati, 2009:12) suatu persoalan atau soal

matematika akan menjadi masalah bagi seorang siswa apabila:

1. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan, ditinjau dari segi

kematangan mentalnya dan ilmunya.

2. Belum mempunyai algoritma atau pendapat juga prosedur untuk

menyelesaikan dan berlainan yang sebarang letaknya.

3. Berkeinginan untuk menyelesaikannya.

Guntar (2008:5) memberikan tiga definisi masalah, antara lain:

1. Masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang.

Sebuah masalah bisa merupakan sebuah tendangan peluang, kesempatan

untuk keluar dari stagnan, kebosanan atau status quo serta apapun yang

dimaksudkan untuk membuat suatu kondisi jadi lebih baik. Perlu dicatat baik-

baik bahwa yang disebut masalah itu tidaklah harus merupakan akibat dari

kejadian buruk atau faktor eksternal. Setiap pencerahan baru di mana kita

melihat peluang pengembangan atau perbaikan akan menjadi “masalah” bagi

kita untuk dipecahkan. Inilah kenapa kebanyakan para pemikir kreatif adalah

para “pencari masalah” dan bukannya “penghindar dari masalah.”

Mengembangkan mentalitas positif terhadap masalah bisa membuat kita jadi

lebih bahagia, waras, dan juga percaya diri.

Page 15: Pembelajaran Osborn

2. Masalah adalah perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi yang

diharapkan.

Sebuah masalah bisa muncul berkat adanya pengetahuan atau pemikiran

baru. Ketika kita tahu di mana posisi kita sekarang dan ke mana kita hendak

menuju, maka kita sudah punya sebuah masalah terkait bagaimana agar kita bisa

sampai pada tujuan yang diharapkan. Bentuk pemecahannya sendiri bisa dan

sebaiknya dibuat menyenangkan dan seru dengan beragam jalur solusi yang bisa

kita pilih di sana. Intinya, ketika kita sudah bisa mengidentifikasi adanya beda

antara apa yang kita punya dan apa yang sebenarnya kita inginkan, maka berarti

kita sudah bisa mendefinisikan masalah dan juga telah punya arahan untuk

meraih sasaran.

3. Masalah adalah hasil dari kesadaran bahwa kondisi yang sekarang terjadi

belum sempurna dan keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih

baik.

Bukankah menarik bila apa yang dinamakan “harapan” ternyata bisa

melahirkan “masalah”. Keyakinan bahwa harapan kita bisa tercapai akan

membuat kita memiliki sasaran untuk masa depan yang lebih baik. Harapan kita

membuat diri kita merasa tertantang, dan tantangan semacam ini juga layak

disebut sebagai masalah.

b. Pemecahan Masalah

Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah dalam

matematika, diantaranya adalah Polya (Veragawati, 2009:13) mengemukakan

ada empat aspek atau langkah yang dapat ditempuh dalam pemecahan masalah,

yaitu:

1. Memahami masalah

2. Membuat rencana

3. Melakukan perhitungan

4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh.

Page 16: Pembelajaran Osborn

Sedangkan menurut Wuan, dkk (Veragawati, 2009:14) langkah-langkah dalam

memecahkan masalah secara umum adalah:

1. Memahami masalah

2. Membuat rencana

3. Melakukan perhitungan

4. Mengecek jawaban

5. Memeriksa hasil

Lebih spesifik, Sumarmo (Veragawati, 2009:15) mengartikan pemecahan

masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang

tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau

keadaan lain dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.

Karen (Cahyono, 2007:4) menuliskan langkah-langkah pemecahan masalah

dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan

Osborn sebagai berikut.

1. Klarifikasi masalah

Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang

masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian

yang diharapkan.

2. Pengungkapan gagasan

Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam

strategi penyelesaian masalah.

3. Evaluasi dan seleksi

Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi

yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

4. Implementasi

Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan

masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari

masalah tersebut. Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-

langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat

membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika.

Page 17: Pembelajaran Osborn

Farida (Mulia, 2010:29) mengemukakan indikator yang digunakan dalam

pemecahan masalah, antara lain:

1. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan

unsur yang diperlukan;

2. Merumuskan masalah matematika (menyusun model matematika);

3. Menerapkan strategi penyelesaian berbagai masalah (baik yang sejenis

maupun masalah baru) di dalam atau di luar matematika;

4. Menjalankan atau menginterpretasi hasil sesuai dengan permasalahan asal;

5. Menggunakan matematika secara bermakna.

c. Kemampuan pemecahan masalah matematis

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa untuk

memecahkan masalah yang diberikan. Berdasarkan uraian di atas, Penulis

mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan

siswa dalam mengidentifikasi masalah matematika, merencanakan penyelesaian,

melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh.

C. Model pembelajaran Osborn

Model pembelajaran Osborn adalah suatu model pembelajaran dengan

menggunakan metode atau teknik brainstorming. Teknik brainstorming

dipopulerkan oleh Alex F. Osborn dalam bukunya Applied Imagination. Istilah

brainstorming mungkin istilah yang paling sering digunakan, tetapi juga

merupakan teknik yang paling tidak banyak dipahami. Orang menggunakan

istilah brainstroming untuk mengacu pada proses untuk menghasilkan ide-ide

baru atau proses untuk memecahkan masalah.

Teknik brainstorming (Guntar, 2008:1) adalah teknik untuk

menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik.

Kegiatan ini mendorong munculnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang

nyeleneh, liar, dan berani dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat

menghasilkan gagasan yang kreatif. Brainstorming sering digunakan dalam

diskusi kelompok untuk memecahkan masalah bersama. Brainstorming juga

Page 18: Pembelajaran Osborn

dapat digunakan secara individual. Sentral dari brainstorming adalah konsep

menunda keputusan. Empat ketentuan dasar dari brainstorming (Wikipedia)

adalah sebagai berikut:

1. Fokus pada kuantitas. Asumsi yang berlaku disini adalah semakin banyak

ide yang tercetus, kemungkinan ide yang menjadi solusi masalah semakin

besar.

2. Penundaan kritik. Dalam brainstorming, kritikan atas ide yang muncul akan

ditunda. Penilaian dilakukan di akhir sesi, hal ini untuk membuat para

siswa merasa bebas untuk memunculkan berbagai macam ide selama

pembelajaran berlangsung.

3. Sambutan terhadap ide yang tak biasa. Ide yang tak biasa muncul disambut

dengan hangat. Bisa jadi, ide yang tak biasa ini merupakan solusi masalah

yang akan memberikan perspektif yang bagus untuk kedepannya.

4. Kombinasikan dan perbaiki ide. Ide-ide yang bagus dapat dikombinasikan

menjadi satu ide yang lebih baik.

Metode brainstorming memiliki beberapa variasi teknik (Wikipedia), antara

lain:

1. Teknik Grup Nominal. Teknik Grup Nominal adalah tipe brainstorming

yang dalam prosesnya mendorong semua anggota untuk memiliki pendapat

yang setara. Semua anggota diminta menuliskan idenya secara bersamaan,

setelah terkumpul, dilakukan votting terhadap ide yang masuk. Votting

dilaksanakan dalam kelompok. Proses ini dinamakan distilasi.

2. Teknik Bergiliran dalam Grup. Setiap anggota kelompok harus memiliki

kertas kolom pendapat. Setiap orang menuliskan pendapat atau idenya

dalam kolom pendapat tersebut, kemudian bergiliran menukur kertasnya

sesuai arah jarum jam, hingga setiap anggota mendapat kertas yang ia tulisi

pertama kali. Dengan cara ini, setiap anggota dapat saling memahami

langkah penyelesaian masalah yang diambil rekannya kemudian

meneruskannya.

Page 19: Pembelajaran Osborn

3. Teknik Pemetaan Ide Tim. Teknik ini bekerja dengan metode asosiasi.

Teknik ini dapat mengembangkan kolaborasi dan meningkatkan kuantitas

ide. Teknik ini di desain agar setiap anggota berpartisipasi dan tidak ada ide

yang ditolak.

4. Teknik Brainstorming Elektronik. Teknik brainstorming elektronik

merupakan teknik curah pendapat dengan menggunakan media computer,

bisa melalui internet atau blog. Teknik ini memungkinkan banyaknya

peserta yang terlibat untuk memecahkan suatu masalah

5. Teknik Brainstorming Langsung. Teknik ini mirip dengan teknik

brainstorming elektronik, namun secara langsung,. Setiap anggota pada

suatu forum diberikan kertas pendapat, kemudian mengisinya, dan

menukarnya dengan anggota lain secara acak. Anggota lain haruslah

meneruskan pendapat rekannya tersebut hingga diperoleh suatu pemecahan

masalah.

Dalam dunia industri, metode brainstorming ini banyak digunakan dalam

rangka menyelesaikan suatu masalah. Osborn (1963), mengatakan bahwa dalam

memecahkan masalah (Cahyono, 2007:3), terdapat 3 prosedur yang ditempuh,

yaitu:

1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan

meneliti data dan informasi yang bersangkutan.

2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi

gagasan tentang strategi pemecahan masalah.

3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan

masalah.

Dahlan (2006: 13) mengemukakan tahapan-tahapan pembelajaran untuk

memulai brainstorming, antara lain:

1. Tahap orientasi (Guru menyajikan masalah atau situasi baru kepada siswa)

Page 20: Pembelajaran Osborn

2. Tahap analisa (Siswa merinci bahan yang relevan atas masalah yang ada,

dengan kata lain, siswa mengidentifikasi masalah)

3. Tahap hipotesis (Siswa dipersilahkan untuk mengungkapkan pendapat

terhadap situasi atau permasalahan yang diberikan)

4. Tahap pengeraman (Siswa bekerja secara mandiri dalam kelompok untuk

membangun kerangka berfikirnya)

5. Tahap sintesis (Guru membuat diskusi kelas, siswa diminta

mengungkapkan pendapatnya atas permasalahan yang diberikan,

menuliskan semua pendapat itu, dan siswa diajak untuk berfikir manakah

pendapat yang terbaik)

6. Tahap verifikasi (Guru melakukan pemilihan keputusan terhadap gagasan

yang diungkapkan siswa sebagai pemecahan masalah terbaik).

Gambar 2.1 menggambarkan diagram untuk sesi brainstorming.

Gambar 2.1. Diagram Sesi Brainstorming (Sumber: http/www.

wikipedia.org/wiki/Brainstorming)

Page 21: Pembelajaran Osborn

Dalam melaksanakan model pembelajaran Osborn di kelas, guru bertindak

sebagai fasilitator. Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan (Wikipedia) :

a. Sesi pemanasan, untuk membuka pemikiran siswa sehingga berada pada

lingkungan bebas yang kritis

b. Guru memaparkan masalah, dan menjelaskannya lebih lanjut jika perlu

c. Guru menanyakan ide dari tiap siswa dalam kelompok mengenai

penyelesaian masalah yang telah dipaparkan

d. Jika tidak ada ide yang muncul, guru mendorong siswa untuk

menumbuhkan kreativitasnya

e. Masing-masing siswa memaparkan ide mereka dan guru menampung ide-

ide tersebut

f. Untuk menjaga kejelasan ide, siswa dapat memperluas ide mereka

g. Ketika waktu habis, guru mengorganisasikan ide berdasarkan tujuan

materi dan mendorong terselenggaranya diskusi

h. Ide-ide dikategorikan

i. Semua ide ditinjau ulang, untuk meyakinkan bahwa setiap siswa

memahami ide-ide tersebut

j. Menyalin ide-ide dan ide yang tidak mungkin menjadi solusi dihilangkan

k. Guru berterimakasih pada semua siswa dan memberikan apresiasi atas apa

yang telah mereka lakukan

Dengan demikian, terciptalah suatu solusi masalah matematika, disamping itu,

dalam diri siswa, terjadi proses brainstorming.

D. Pembelajaran konvensional

Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran matematika yang dalam

prosesnya guru menerangkan di depan kelas, memberikan contoh soal,

terkadang tanya jawab, dan pemberian tugas. Dalam prosesnya, pembelajaran

konvensional lebih mengutamakan hafalan dan keterampilan berhitung

dibanding pemaknaan. Selain itu, hasil lebih diutamakan daripada proses.

Page 22: Pembelajaran Osborn

Subiyanto (Meliyani, 2005:20) menjelaskan bahwa kelas dengan

pembelajaran secara biasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran

secara klasikal, siswa tidak mengetahui apa tujuan belajar mereka hari itu.

Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau Lembar

Kerja Siswa (LKS), dengan menggunakan metode ceramah dan terkadang

tanya jawab. Tes atau evaluasi dengan maksud untuk mengetahui

perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang

dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan

kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.

Disamping itu, semua siswa diasumsikan mempunyai minat dan

kecepatan belajar yang relatif sama. Dalam kondisi seperti ini, kondisi belajar

siswa secara individual baik menyangkut kecepatan belajar, kesulitan belajar,

dan minat belajar sukar untuk diperhatikan oleh guru. Pada umumnya cara guru

dalam menentukan kecepatan menyajikan dan tingkat kesukaran materi kepada

siswanya berdasarkan pada informasi kemampuan siswa secara umum. Guru

sangat mendominasi dalam menentukan semua kegiatan pembelajaran.

Banyaknya materi yang akan diajarkan, urutan materi pelajaran, kecepatan

guru mengajar, dan lain-lain sepenuhnya ada di tangan guru.

E. Hasil Penelitian yang Relevan

Tahun 2006, Ahmad Dahlan melaksanakan penelitian terhadap

pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran Osborn. Hasil

penelitiannya dituangkan dalam sebuah skripsi berjudul “Pengaruh Model

Pembelajaran Osborn terhadap Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa”.

Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 22 Bandung. Penelitian ini menghasilkan

kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman matematik siswa yang

pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn lebih baik dari

kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya

menggunakan pembelajaran konvensional. Selain itu, siswa memberikan

respon yang positif terhadap model pembelajaran Osborn. Ahmad Dahlan

menyarankan peneliti lain untuk meneliti penerapan model ini untuk

kompetensi lain. Karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh Model

Page 23: Pembelajaran Osborn

pembelajaran Osborn terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa SMP.

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

menggunakan Model pembelajaran Osborn lebih baik dari peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan

pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa ditinjau berdasarkan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada siswa

yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn dan

pembelajaran konvensional.

Page 24: Pembelajaran Osborn

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMP Daarut Tauhid

Bandung. Peneliti memilih siswa SMP sebagai subjek penelitian

dikarenakan dalam perkembangan perilaku kognitifnya, siswa SMP telah

mampu berpikir formal. Menurut Piaget (Fauzi, 2008:3) tentang

perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif, anak pada umur 11

sampai 16 tahun perkembangan perilaku kognitifnya sudah dalam tahap

formal operational thought, artinya periode ini anak sudah biasa

mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh

objek-objek yang bersifat konkrit. Anak sudah mulai berfikir abstrak dan

hipotesis, mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi,

sesuatu yang abstrak. Disamping itu, pada tahap ini anak sudah mampu

berfikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara

sistematik untuk memecahkan masalah.

Oleh karena itu, subjek dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII

SMP Daarut Tauhid Bandung. Dari empat kelas yang ditawarkan, dipilih

dua kelas secara acak untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

B. Design Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain

kelompok kontrol pre-test (Tes Awal) dan post-test (Tes Akhir). Dalam

penelitian ini, terdapat dua kelompok yakni kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan khusus, dalam hal ini, Model

Page 25: Pembelajaran Osborn

pembelajaran Osborn. Sementara kelas kontrol menggunakan pembelajaran

konvensional. Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelas tersebut diberikan

tes awal. Setelah perlakuan selesai diberikan, dilakukan tes akhir. Adapun

desain penelitian ini (Ruseffendi, E.T, 1998:45) digambarkan sebagai

berikut :

A O1 X O2

A O1 O2

Keterangan : A : Menunjukkan pengelompokan subjek secara acak

kelas.

O1 : Tes awal (Pre-Test)

O2 : Tes akhir (Post-Test)

X : Pembelajaran matematika dengan menggunakan model

pembelajaran Osborn

C. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat antara

variabel bebas dan variabel terikat. Perlakuan yang diberikan terhadap

variabel bebas dilihat hasilnya pada variabel terikat. Dalam hal ini, peneliti

ingin menguji sebuah perlakuan yakni Model pembelajaran Osborn terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP, yang diberi perlakuan

khusus dan dikontrol dengan ketat. Sejatinya, penelitian seperti ini disebut

penelitian eksperimen. Namun, pengambilan sampel pada penelitian ini tidak

secara acak siswa, tetapi acak kelas. Peneliti harus menerima kondisi dua kelas

yang diperoleh secara acak tersebut (kelas eksperimen dan kelas kontrol).

Sehingga, berdasarkan metodenya, penelitian ini adalah penelitian kuasi

eksperimen (Ruseffendi, 2005;31).

D. Definisi Operasional

1. Model Pembelajaran Osborn adalah Model pembelajaran dengan

menggunakan metode brainstorming yang memberikan kesempatan seluas-

Page 26: Pembelajaran Osborn

luasnya pada siswa untuk mengungkapkan ide dan pendapat mereka

terhadap suatu permasalahan matematika.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa

dalam mengidentifikasi masalah matematika, merencanakan penyelesaian,

melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh.

3. Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran matematika yang

dalam prosesnya guru menerangkan di depan kelas, memberikan contoh

soal, terkadang tanya jawab, dan pemberian tugas.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Instrumen Pembelajaran

Instrumen pembelajaran adalah instrumen yang dipakai ketika

pembelajaran berlangsung. Instrumen pembelajaran dalam penelitian ini

terdiri atas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja

Siswa (LKS).

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RPP merupakan langkah-langkah tertulis yang harus ditempuh guru dalam

pembelajaran. Peneliti melaksanakan pembelajaran di dua kelas, kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Penyusunan RPP untuk kelas eksperimen

disesuaikan dengan Model pembelajaran Osborn, sementara untuk kelas

kontrol disesuaikan dengan pembelajaran konvensional. Untuk setiap kelas,

peneliti menyusun masing-masing empat RPP.

b. Lembar kerja siswa (LKS)

LKS hanya diberikan kepada kelas eksperimen. LKS dibuat berdasarkan

Model pembelajaran Osborn. LKS ini berisi langkah-langkah yang harus

dilakukan siswa untuk menemukan suatu konsep matematika. Selain itu,

berisi beberapa permasalahan yang harus dipecahkan siswa. Kelas kontrol

tidak menggunakan LKS, kelas kontrol menggunakan buku paket yang

sudah ada. Kendatipun demikian, setiap permasalahan yang diberikan

Page 27: Pembelajaran Osborn

kepada kelas eksperimen diberikan pula kepada kelas kontrol, sehingga baik

kelas eksperimen maupun kelas kontrol mendapatkan asupan materi yang

sama.

2. Instrumen Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari instrumen tes dan

instrumen non tes.

a. Instrumen tes

Instrumen tes dalam penelitian ini berupa tes tertulis kemampuan

pemecahan masalah matematis. Tes tertulis ini berupa soal-soal berbentuk

uraian yang berkaitan dengan materi pelajaran. Dalam penelitian ini, tes tertulis

yang digunakan adalah tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan untuk

mengetahui kemampuan awal siswa sebelum perlakukuan diterapkan. Tes akhir

diberikan untuk mengetahui kemampuan akhir siswa setelah perlakuan

diterapkan.

Tipe tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe uraian. Peneliti

menggunakan tes tipe uraian dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:

1) Tipe tes uraian memungkinkan peneliti untuk melihat proses berfikir dan

sejauh mana penguasaan konsep, dan kemampuan siswa dalam memecahkan

masalah yang diberikan

2) Peneliti dapat mengetahui letak kesalahan dan kesulitan siswa

3) Terjadinya bias hasil tes dapat dihindari, katena tidak ada sistem tebak-

tebakan atau untung-untungan yang sering terjadi pada soal tipe pilihan

ganda

Pemberian skor menggunakan pedoman penskoran yang diadopsi dan

dimodifikasi dari pendapat Szetela, Walter dan Nicol (Yusniati, 2009:35).

Pedoman penskoran ini terdiri dari tiga kategori penilaian yang dinamakan

dengan Analytical Scale for Problem Solving. Pedoman penskoran disajikan

dalam tabel 3.1. Skor maksimum untuk semua soal tes adalah 60, dengan skor

soal nomor 1 adalah 20, skor soal nomor 2 adalah 10, skor soal nomor 3 adalah

Page 28: Pembelajaran Osborn

20, dan skor nomor 4 adalah 10. Instrumen tes diujicobakan terlebih dahulu

kepada siswa. Sebelum dilakukan ujicoba, instrumen tes dikonsultasikan kepada

dosen pembimbing dan kepada guru bidang studi matematika di tempat

penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui validitas teoritik dari instrumen

tes tersebut. Uji coba instrumen dilakukan sebelum penelitian berlangsung.

Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas VIII SMP N 5 Bandung. Setelah

data hasil uji coba diperoleh kemudian setiap butir soal akan dianalisis untuk

mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembedanya.

Dalam mengolah data hasil ujicoba instrumen, meneliti menggunakan bantuan

program anates untuk tipe uraian.

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Tes Pemecahan Masalah Matematis

Skor I. Pemahaman

Masalah

(Understanding

the problem)

II.Pemecahan masalah

(perencanaan

penyelesaian)

(Solving the problem)

II. Menjawab masalah

(melakukan

perhitungan)

(Answering the

problem)

0 Tidak memahami

masalah

Tidak mempunyai

rencana

Tidak ada jawaban atau

jawaban salah yang

didasarkan pada rencana

tidak tepat

1 Terdapat

kesalahan konsep

secara total

terhadap masalah

Rencana tidak tepat

secara keseluruhan

Kesalahan menyalin,

kesalahan perhitungan,

hanya sebagian jawaban

untuk masalah yang

menuntut jawaban jamak,

jawaban ditulis secara

tidak benar

Page 29: Pembelajaran Osborn

2 Terdapat

sebagian besar

kesalahan konsep

terhadap masalah

Prosedur benar sebagian

tetapi sebagian besar

salah

Solusi benar

3 Terdapat

sebagian kecil

kesalahan konsep

terhadap masalah

Prosedur benar secara

substansial tetapi

terdapat sedikit

kekurangan atau

kesalahan prosedur

4 Memahami

masalah dengan

lengkap

Terdapat rencana yang

menggiring kepada

solusi yang benar tanpa

ada kesalahan aritmatik

Skor Maksimum

4

Skor Maksimum 4 Skor Maksimum 2

1) Validitas tes

Suatu alat evaluasi disebut valid apabila alat evaluasi tersebut mampu

mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Adapun klasifikasi koefisien

korelasi yang digunakan adalah klasifikasi menurut Guilford (Suherman,

2003:113) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Klasifikasi Koefisien Validitas

Nilai rx,y Interpretasi

00,190,0 , yxr Korelasi sangat tinggi (Validitas sangat tinggi)

90,060,0 , yxr Korelasi tinggi (Validitas tinggi)

60,040,0 , yxr Korelasi sedang (Validitas sedang)

40,020,0 , yxr Korelasi rendah (Validitas rendah)

20,000,0 , yxr Korelasi sangat rendah (Validitas sangat rendah)

00,0, yxr Tidak valid

Page 30: Pembelajaran Osborn

Dengan menggunakan anates uraian, diperoleh koefisien korelasi

keseluruhan soal adalah rx,y= 0,61 yang artinya keseluruhan butir soal

memiliki validitas tinggi. Validitas yang diperoleh untuk tiap butir soal

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 3.3

Validitas Tiap Butir Soal

No Soal Koefisien

Validitas

Signifikansi Interpretasi

1 0.678 Signifikan Validitas tinggi

2 0.732 Sangat signifikan Validitas sangat

tinggi

3 0.926 Sangat signifikan Validitas tinggi

4 0.600 Signifikan Validitas tinggi

2) Reliabilitas Tes

Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel apabila hasil evaluasi tersebut

tidak berubah ketika digunakan untuk subjek yang berbeda. Untuk mengetahui

besarnya derajat reliabilitas alat evaluasi digunakan tolak ukur yang dibuat

oleh Guilford (Suherman, 2003:138) sebagai berikut:

Tabel 3.4

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Nilai r11 Interpretasi

00,190,0 11 r Derajat reliabilitas sangat tinggi

90,070,0 11 r Derajat reliabilitas tinggi

70,040,0 11 r Derajat reliabilitas sedang

40,020,0 11 r Derajat reliabilitas rendah

Page 31: Pembelajaran Osborn

20,011 r Derajat reliabilitas sangat rendah

Dengan menggunakan anates uraian, diperoleh koefisien reliabilitas

keseluruhan soal adalah r11 = 0.76 yang artinya keseluruhan butir soal

memiliki reliabilitas tinggi.

3) Daya Pembeda

Daya pembeda dari satu butir soal menyatakan seberapa jauh

kemampuan butir soal tersebut membedakan antara testi yang mengetahui

jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal

tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dengan kata lain, daya pembeda

dari sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut membedakan

siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan

rendah.

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda butir soal yang digunakan

berdasarkan Suherman (2003,161) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5

Klasifikasi Daya Pembeda

Nilai r11 Interpretasi

00,170,0 DP Sangat baik

70,040,0 DP Baik

40,020,0 DP Cukup

20,000,0 DP Jelek

00,0DP Sangat jelek

Dari hasil anates, diperoleh:

Tabel 3.6

Daya Pembeda Tiap Butir Soal

No Soal Nilai DP Interpretasi

1 0.15 Jelek

Page 32: Pembelajaran Osborn

2 0.23 Cukup

3 0.49 Baik

4 0.37 Cukup

4) Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran menyatakan derajat kesukaran sebuah soal.

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda butir soal yang digunakan

berdasarkan Suherman (2003,161) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.7

Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran

Nilai r11 Interpretasi

00,1IK Soal terlalu mudah

00,170,0 DP Soal mudah

70,030,0 DP Soal sedang

30,000,0 DP Soal sukar

00,0DP Soal terlalu sukar

Dari hasil anates, diperoleh:

Tabel 3.8

Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal

No Soal Nilai IK Interpretasi

1 0.85 Soal mudah

2 0.86 Soal mudah

3 0.67 Soal sedang

4 0.69 Soal sedang

Tabel 3.9

Rekapitulasi Analisis Butir Soal

Page 33: Pembelajaran Osborn

Validitas : 0,61 (tinggi)

Reliabilitas : 0,76 (tinggi)

No

Validitas butir soal Daya Pembeda Indeks Kesukaran

Ket. Koefisien

Validitas Interpretasi

Nilai

DP Interpretasi

Nilai

IK Interpretasi

1 0.678 Tinggi 0.15 Jelek 0.85 Soal mudah Digunakan

2 0.732 Sangat tinggi 0.23 Cukup 0.86 Soal mudah Digunakan

3 0.926 Tinggi 0.49 Baik 0.67 Soal sedang Digunakan

4 0.600 Tinggi 0.37 Cukup 0.69 Soal sedang Digunakan

b. Instrumen non-tes

Instrumen non-tes digunakan untuk memperoleh data yang tidak bisa

diperolah dari instrument tes. Instumrn non-tes pada penelitian ini terdiri atas:

1) Angket

Angket adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus diisi oleh

responden (Suherman, 2003:56).Angket hanya diberikan kepada siswa kelas

eksperimen. Angket ini digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap

Model pembelajaran Osborn.

Dalam penelitian ini, Angket yang digunakan berupa daftar

pernyataan yang memiliki empat alternatif jawaban, yaitu : Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Angket

seperti ini menggunakan Skala Likert. Pernyataan dalam angket ini terdiri

atas pernyataan positif dan pernyataan negatif.

2) Lembar Observasi

Lembar Observasi adalah instrumen non tes yang digunakan untuk

melihat aktivitas siswa, aktivitas guru, dan aktivitas siswa yang

menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis dalam proses

pembelajaran. Lembar Observasi ini digunakan ketika pembelajaran sedang

berlangsung. Setiap pernyataan pada lembar observasi untuk aktivitas siswa

dan guru terdiri atas dua kategori, Ya dan Tidak. Hal ini dimaksudkan untuk

Page 34: Pembelajaran Osborn

mengetahui apakah siswa atau guru melaksanakan aktivitas yang disebutkan

atau tidak. Sementara untuk aktivitas pemecahan masalah matematis siswa

terdiri atas kolom uraian yang diisi oleh observer berdasarkan pengamatan

yang dilakukan sepanjang pembelajaran.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Beberapa langkah yang dilakukan dalam tahapan ini diantaranya :

b. Identifikasi masalah

Peneliti mengidentifikasi masalah apa yang akan diteliti, dengan

melakukan berbagai survey dan kajian literatur sehingga diperoleh

beberapa masalah dan rencana yang akan dilaksanakan.

c. Hasil Identifikasi dikonsultasikan dengan pihak-pihak yang berkaitan,

dalam hal ini dengan Dosen pembimbing. Hasil konsultasi dituangkan

dalam proposal penelitian, diseminarkan, dan dilakukan revisi proposal

penelitian.

d. Menyusun bahan ajar, yakni RPP dan LKS. Kedua bahan ajar ini

dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, kemudian kesalahan yang

terdapat dalam bahan ajar direvisi

e. Membuat instrumen tes. Instrumen tes ini terdiri atas tes uraian. Pada

awalnya, peneliti membuat delapan butir soal. Pada akhirnya yang

digunakan hanya empat butir soal.

f. Menguji instrimen tes pada siswa yang telah mempelajari materi yang

akan diteliti

g. Revisi instrumen tes jika terdapat kekurangan.

h. Pemilihan sampel penelitian. Pemilihan sampel ini disesuaikan dengan

materi penelitian dan waktu pelaksanaan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Page 35: Pembelajaran Osborn

a. Pemberian tes awal (pretes) kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen

untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis awal

siswa.

b. Melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran

Osborn pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas

kontrol.

c. Selama proses pembelajaran berlangsung, peneliti menggunakan lembar

observasi.

d. Pemberian angket pada kelompok eksperimen untuk mengetahui sikap

siswa terhadap Model pembelajaran Osborn.

e. Pemberian tes akhir (postes) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Tahap Analisis, Evaluasi, dan Refleksi

Langkah selanjutrnya adalah melakukan pengkajian dan analisis

terhadap penemuan-penemuan penelitian, serta melihat pengaruhnya terhadap

kemampuan yang ingin diukur. Peneliti melakukan input data kuantitatif

berupa tes awal dan tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol. Menghitung

indeks gain tiap subjek pada masing-masing kelas. Kemudian data kuantitatif

tesebut diuji normalitas dan homogenitasnya. Setelah diuji normalitas dan

homogenitasnya, dilakukan uji parametrik atau uji non parametrik. Setelah itu,

dilakukan analisis terhadap data kualitatif yang diperoleh dari angket skala

sikap siswa dan lembar observasi. Analisis pun dilakukan untuk masing-

masing kelompok kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) di masing-masing

kelas. Tahapan analisis yang dilakukan adalah analisis indeks gain tiap

kelompok.

4. Penarikan kesimpulan

Tahapan terakhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan. Data

hasil analisis diinterpretasikan lalu disimpulkan berdasarkan hipotesis dan

rumusan masalah penelitian yang dibuat, kemudian dituangkan dalam bentuk

skripsi.

G. Teknik Pengumpulan Data

Page 36: Pembelajaran Osborn

Pengumpulan data dilakukan sebelum perlakuan (pretest), pada

saat perlakuan (lembar observasi), dan setelah perlakuan (posttest dan

angket respon siswa). Pretest dan posttest diberikan kepada kedua kelas,

eksperimen dan kontrol. Sedangkan lembar observasi dan angket respon

siswa diberikan kepada kelas eksperimen.

H. Analisis Data

1. Teknik Analisis Data Tes

Pengolahan data tes menggunakan bantuan program SPSS 17 for Windows.

Untuk data hasil tes tertulis, ada beberapa perlakuan yang akan dilakukan,

antara lain:

a. Analisis Deskriptif, bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai data

yang diperoleh. Adapun data dekriptif yang dihitung adalah mean,

variansi, dan standar deviasi.

b. Gambaran Umum Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Gambaran umum kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa yang berupa data skor tes kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

dianalisis secara deskriptif atas dasar prosentase dan dirumuskan sebagai

berikut:

100MS

SN

(Cahyono, 2007:5)

Keterangan: N = nilai presen yang dicapai atau yang diharapkan

S = Skor mentah yang diharapkan

SM = Skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan

100 = bilangan teta

Tabel 3.11

Page 37: Pembelajaran Osborn

Kriteria Umum Kualifikasi Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis

No Tingkat Penguasaan Predikat

1 75% - 100% Baik

2 50% - 75% Cukup

3 < 50% Kurang

c. Menghitung Skor Gain

Indeks gain ini dihitung dengan rumus indeks gain dari Meltzer (Barka

dalam Khususwanto, 2008: 49), yaitu:

Adapun untuk

kriteria atas, tengah, dan bawah mengacu pada kriteria Hake (Barka

dalam Khususwanto, 2008:49) yang telah dimodifikasi, yaitu sebagai

berikut:

d. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang

didapat berdistribusi normal atau tidak. Normalitas data diperlukan

untuk menentukan pengujian beda dua rerata yang akan diselidiki. Uji

normalitas dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 17 for

Windows. Untuk melakukan uji normalitas, digunakan uji Saphiro-Wilk

dengan taraf signifikansi 5%. Jika kedua data berasal dari distribusi yang

normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Jika salah satu atau

kedua data yang dianalisis tidak berdistribusi normal, maka tidak

dilakukan uji homogenitas sedangkan untuk pengujian hipotesis

dilakukan uji statistik non parametrik, seperti uji Mann-Whitney.

e. Uji Homogenitas

PretestSkor SMI

Pretestskor PostestSkor rmalisasiGain terno

Page 38: Pembelajaran Osborn

Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan melihat homogenitas atau

kesamaan beberapa bagian sampel atau seragam tidaknya variansi

sampel-sampel yaitu apakah mereka berasal dari populasi yang sama.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian homogenitas sebagai

berikut :

Merumuskan hipotesis :

Ho : 22

ke

H1 : 22

ke

dengan, Ho = Hipotesis nol

H1 = Hipotesis kerja

2

e = Varians kelas eksperimen

2

k = Varians kelas kontrol

Menentukan tingkat keberartian dengan mengambil sebesar 0,05

Menentukan kriteria pengujian dengan aturan, menerima H0 apabila

nilai signifinaksi yang diperoleh lebih dari 0,05 dan menolak H0

apabila nilai signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05.

f. Uji Dua Rerata

Uji dua rerata dilakukan untuk data tes awal, tes akhir, dan indeks gain

yang diperoleh. Uji dua rerata untuk menguji hipotesis menggunakan

rumus uji-t setelah mengetahui bahwa data berdistribusi normal dan

homogen. Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen digunakan uji

hipotesis dengan uji- t . Sementara untuk data yang tidak berdistribusi

normal, uji dua rerata dilakukan dengan uji non-parametrik Mann-Whitney.

Untuk rumusan masalah nomor 2, terlebih dahulu siswa akan

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok ditinjau berdasarkan kemampuan

siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Pengelompokkan ini berdasarkan rata-

rata nilai ulangan mata pelajaran matematika sebelum penelitian dilakukan.

Dari seluruh siswa dalam satu kelas, dibagi sama rata kedalam 3 (tiga)

kelompok, yakni kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan

Page 39: Pembelajaran Osborn

rendah. Untuk analisis data pada masing-masing kelompok, dilakukan

analisis rasional terhadap rata-rata gain ternormalisasi tiap kelompok

kemampuan. Dalam prosesnya, pengolahan dan penganalisisan data hasil

penelitian dilakukan dengan bantuan software SPSS 17 for windows.

2. Teknik Analisis Data Non Tes

a. Angket

Agket yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Hal

ini dikarenakan setiap pernyataan yang disajikan memiliki kontribusi yang

sama terhadap sikap siswa secara keseluruhan. Selain itu, peneliti

menghendaki jawaban yang benar-benar mewakili sikap dan respon siswa

terhadap pernyataan yang diberikan, sehingga peneliti memberikan empat

alternatif pilihan jawaban. Dalam skala Likert setiap alternatif jawaban diberi

nilai. Secara keseluruhan, angket terbagi ke dalam dua pernyataan, pernyataan

positif dan pernyataan negatif. Setiap pernyataan diberikan empat pilihan

jawaban, SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat

Tidak Setuju). Untuk tiap pernyataan, tiap pilihan jawaban diberi skor seperti

tertera pada tebel 3.12.

Tabel 3.12

Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Angket

Pernyataan

Skor tiap pilihan

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Kriteria penilaian sikap yang diperoleh dari angket ini adalah jika skor

pernyataan kelas lebih dari 3 maka siswa memberikan sikap yang positif,

sebaliknya, jika skor pernyataan kelas kurang dari 3 maka siswa memberikan

sikap yang negatif (Suherman, 2003:191)

Page 40: Pembelajaran Osborn

b. Lembar Observasi

Data hasil observasi disimpulkan untuk mengetahui sikap dan kondisi siswa

dan guru ketika pembelajaran berlangsung. Data hasil observasi ini akan

disajikan secara terlampir.

Lampiran

1.Schedule Penelitian

Page 41: Pembelajaran Osborn

DAFTAR PUSTAKA

(2005). STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN PP RI No.19 Th.2005.Jakarta:

Sinar Grafika.

Chambers, Paul. (2009). TEACHING MATHEMATICS. Singapore: SAGE.

Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Pontianak: ALFABET.

Masnur, Muslich. (2007). KTSP PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI

dan KONTEKSTUAL. Malang: BUMI AKSARA.

Suryadi, Didi. (2007). ILMU DAN APLIKASI PENDIDIKAN. Bandung:

PEDAGOGIANA PRESS.

Fathoni, Abdurrahmat. (2006). Metode Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.

Jakarta: RINEKA CIPTA.

Tilaar. (2006). STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL. Jakarta: RINEKA

CIPTA.

Sudijono, Anas. (2008). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RAJAWALI

PRESS.

Http/www/Wikipedia.org/wikil/Brainstorming.