pembelajaran osborn
TRANSCRIPT
MODEL PEMBELAJARAN OSBORN
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA
(Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas VIII Daarut Tauhid Bandung)
Proposal Diajukan untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian
Oleh :
Enung Sayyidah Mahmudah
1001046
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2010
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
A. Latar Belakang Penelitian ....................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................... 6
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ............................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................... 8
A. Pendekatan Konstruktivisme ..................................... 8
B. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ........... 10
C. Model Pembelajaran Osborn ..................................... 13
D. Pembelajaran Konvensional……………………... .. 17
E. Hasil Penelitian yang Relevan……………………… 18
F. Hipotesis Penelitian .................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN ............................................ 20
A. Lokasi dan Subjek Penelitian ................................... 20
B. Desain Penelitian ...................................................... 20
C. Metode Penelitian ..................................................... 21
D. Definisi Operasional ................................................. 21
E. Instrumen Penelitian ................................................. 22
1. Instrumen Pembelajaran………………….. ........ 22
2. Instrumen Pengumpulan Data ............................ 22
a. Instrumen Tes ............................................... 23
1) Validitas Tes ………………………….. 25
2) Reliabilitas Tes………………………… 26
3) Daya Pembeda………………………… 26
4) Indeks Kesukaran……………………… 27
b. Instrumen Non- Tes ...................................... 29
1) Angket ………...………………........ 29
2) Lembar Observasi .................................. 29
F. Prosedur Penelitian ................................................... 30
G. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 31
H. Analisis Data ............................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 37
Lampiran
1. Schedule Penelitian
2. Instrumen Penelitian
3. Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Di Indonesia, dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang
banyak disoroti para ahli, terkait dengan upaya bagaimana meningkatkan
kualitas pendidikan yang hingga hari ini belum memberikan hasil yang
memuaskan. Mengingat pendidikan suatu negara menentukan kesuksesan
negara tersebut, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (I.Umum) bahwa visi
pendidikan Indonesia adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata
social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. 1)
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib
dipelajari, terutama di sekolah-sekolah formal. Mengingat begitu pentingnya
peran matematika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka matematika
perlu dipahami dan dikuasai oleh segenap lapisan masyarakat. Johnson dan
Rising (1972) mengatakan bahwa matematika adalah pola berfikir, pola
mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa
yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan
akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa
simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.
Adapun menurut PaulmChambers dalam bukunya yang berjudul
“Teaching Mathematics” bahwa matematika adalah: …2)
Objective facts
A study of reason and logic
A system of rigour, purity and beauty
Free from societal influences
Self-contained
Interconnected structures
Menurut BSNP (2006), mata pelajaran matematika dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bertujuan agar siswa:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh;
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
(Veragawati, 2009:4).
Berdasarkan tujuan KTSP tersebut, tampak jelas bahwa salah satu
tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar siswa memiliki
kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa
pada saat mendalami matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari. Bell
(1978:311) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang
paling pokok dalam matematika. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Bell, menurut Cooney dkk (Anita, 2007:2) mengatakan bahwa mengajar
siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah memungkinkan siswa itu lebih
analitis dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan. Dengan kata lain,
jika siswa dilatih untuk memecahkan masalah, maka mereka akan mampu
mengambil keputusan sebab mereka telah mempunyai kemampuan tentang
cara mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan
menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Dalam kenyataannya, kemampuan pemecahan masalah siswa pada saat
ini masih rendah. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Muncarno
(Suhendra, 2005:4) ditemukan beberapa kesulitan dalam memahami
permasalahan yang terdapat dalam soal matematika, diantaranya belum
terbiasa dengan bentuk soal pemecahan masalah. Sedangkan hasil penelitian
Animan (Suhendra, 2005:4) mengungkapkan bahwa kemampuan siswa
dalam mengubah soal matematika berbentuk soal cerita ke bentuk kalimat
matematika tergolong rendah, yaitu dengan rata-rata 44,67 %. Selanjutnya
Loviana (Suhendra, 2005:4) mengungkapkan bahwa persentase kesalahan
sistematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita masih sangat tinggi yaitu
90,48 %.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
dikarenakan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Salah satu faktor
yang mendasari anak kesulitan dalam belajar matematika terutama dalam
pemecahan masalah adalah kesalahan pembelajaran. Cawley (Veragawati,
2009:4) mengidentifikasi tipe-tipe kesalahan belajar sebagai berikut: (1).
Pengajaran yang tidak tepat, salah satunya adalah selalu membatasi, (2)
siswa harus beralih ke topik lain, sedangkan topik yang sebelumnya belum
dikuasai, (menetapkan tujuan pembelajaran yang berlebihan). Porter dan R.
L. Meesie (Veragawati, 2009:4) mengungkapkan bahwa guru lebih
mencurahkan perhatian pada pengajaran kemampuan berhitung, daripada
konsep dan pengembangan pemecahan masalah.
Adapun prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu;
1. Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya
sendiri. Tidak seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar
tersebut untukna.
2. Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya) sendiri dan untuk
setiap kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatn belajar.
3. Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera
diberikan penguatan (reinforcement).
4. Penguasaaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran,
memungkinkan murid belajar secara lebih berarti.
5. Apabila murid diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri,
maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan
mengingat lebih baik.3)
Belajar yang sesungguhnya adalah proses mentransfer konsep, seperti
mempunyai kemampuan, mengetahui apa yang dipelajari,
membahasakannya dengan bahasa sendiri, menerapkannya dalam konteks
yang praktis, mempunyai keahlian untuk membandingkan dan menganalisis
serta bisa memberikan kesimpulan logis secara deduktif dan induktif dan
seterusya bisa menguraikan secara dialektis kesimpula yang sudah
disusunnya.4)
Sementara itu, UNESCO (Mudrika, 2007:1) mengemukakan empat
pilar dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Proses “Learning to know”. Siswa memiliki pemahaman dan penalaran
yang bermakna terhadap produk dan proses matematika (apa,
bagaimana, dan mengapa) yang memadai
2. Proses “Learning to do”. Siswa memiliki keterampilan dan dapat
melaksanakan proses matematika (doing math) yang memadai untuk
memacu peningkatan perkembangan intelektualnya
3. Proses “Learning to be”. Siswa dapat menghargai atau mempunyai
apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses
matematika, yang ditunjukkan dengan sikap senang belajar, bekerja
keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang
tinggi dan percaya diri
4. Proses “Learning to live together in peace and harmony”. Siswa dapat
bersosialisasi dan berkomunikasi matematika, melalui bekerja atau
belajar bersama, saling menghargai pendapat orang lain dan sharing
ideas.
Beranjak dari proses-proses yang harus dipenuhi sebagaimana
dinyatakan di atas, pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan
pada kemampuan matematik (mathematical power) siswa (Mudrika, 2007:2)
yang meliputi: kemampuan menggali, menyusun konjektur dan menalar
secara logis, menyelesaikan soal yang tidak rutin, memecahkan masalah
matematika, berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide
matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dan mengingat pembelajaran matematika
yang terlaksana masih cenderung teacher centered, serta siswa dibiarkan
puas dengan hanya mengerjakan soal-soal rutin, maka diperlukan suatu
model pembelajaran yang tidak teacher centered, merangsang siswa untuk
bisa menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kebutuhan
akan model pembelajaran ini mendorong berbagai pihak untuk melakukan
pengujian berbagai model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis. Salah satu model pembelajaran
yang dapat diujicobakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematis adalah Model pembelajaran Osborn.
Model pembelajaran Osborn adalah model pembelajaran dengan
menggunakan metode brainstorming yang memberikan kesempatan seluas-
luasnya pada siswa untuk berpendapat dan memunculkan ide sebanyak-
banyaknya dengan mengakhirkan kritik maupun penilaian akan ide tersebut.
Ide-ide yang bermunculan ditampung, kemudian disaring, didiskusikan,
disusun rencana-rencana penyelesaian masalah, hingga diperoleh suatu
solusi untuk permasalahan yang diberikan. Dalam memecahkan masalah,
prosedur yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran Osborn
(Wikipedia) antara lain:
1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan
dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan;
2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan
memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah;
3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan
masalah;
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dahlan (2006), model
pembelajaran Osborn dapat meningkatkan kemampuan pemahaman
matematis siswa SMA. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan menerapkan model
pembelajaran Osborn dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada siswa yang
pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn dan
pembelajaran konvensional?
3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
menggunakan Model pembelajaran Osborn?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional
2. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa ditinjau berdasarkan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada
siswa yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn
dan pembelajaran konvensional
3. Mengetahui sikap siswa terhadap Model pembelajaran Osborn
D. Manfaat/Signifikasi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi
nyata bagi berbagai kalangan berikut ini :
1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
Osborn dapat dijadikan sebagai alat dan cara belajar untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
2. Bagi guru bidang studi matematika, pembelajaran dengan model
pembelajaran Osborn dapat dijadikan salah satu model pembelajaran
alternatif dalam menyampaikan materi kepada siswa khususnya jika
berhubungan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
3. Bagi peneliti, dapat menjadi wahana memperoleh pengetahuan dan
keterampilan penggunaan model pembelajaran Osborn, sebagai langkah
awal dalam mendapatkan solusi terkait dengan masalah-masalah yang
terjadi dalam proses pembelajaran matematika
4. Bagi sekolah dan mutu pendidikan, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk mengaplikasikan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Osborn dan diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia
5. Bagi peneliti lain, dapat memberikan wawasan baru dan sebagai bahan
masukan bagi peneliti yang mengkaji masalah serupa
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan paham pendidikan yang dianut Piaget. Piaget
menuangkan paham konstruktivisme dalam suatu teori belajar. Teori belajar ini
diimplementasikan dalam pembelajaran matematika melalui sebuah pendekatan
yang dinamakan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme
berbeda dengan pendekatan tradisional dimana guru adalah seseorang yang selalu
benar dengan jawabannya, dan seluruh siswa mengikutinya dengan mutlak. Di
dalam kelas konstruktivis, seorang guru tidak mengajarkan kepada anak
bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan
mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan. Siswa memberdayakan pengetahuan yang sudah ada di dalam diri
mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan
lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan
manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja.
Belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba
untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi
secara aktif dalam latihan matematika di kelas. Menurut konstruktivis, secara
substantif belajar matematika adalah proses pemecahan masalah (MKPBM,
2001;71) .
Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas
pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk atau
mengkonstruksi pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.
Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan
guru senantiasa menjawab dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.
Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis
terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung. Dari awal sampai akhir guru
memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep
matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan
(matematika) yang dibuat oleh siswa.
Adapun gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William
Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori
konstruktivisme. Menurut Brownell (dalam Reys, Suydam, Lindquist, & Smith
1998), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide,
prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus
dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada
aspek penalaran atau intelegensi anak. Selanjutnya Reys dkk. (1998)
menambahkan bahwa matematika itu haruslah make sense. Jika matematika
disajikan kepada anak dengan cara demikian, maka konsep yang dipelajari
menjadi punya arti; dipahami sebagai suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan
memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya; serta diperoleh melalui proses
pemecahan masalah yang bervariasi. 5)
Selain Brownell, ahli-ahli lain seperti Pieget, Bruner, dan Dienes memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan konstruktivisme. Berdasarkan
pandangan ini pengetahuan matematik dibentuk melalui tiga prinsip dasar berikut
ini.
1. Pengetahuan tidak diterima secara pasif. Pengetahuan dibentuk atau
ditemukan secara ktif oleh anak. Seperti disarankan Pieget bahwa
pengetahuan matematika sebaiknya dikonstruksi oleh anak sendiri bukan
diberikan dalam bentuk jadi.
2. Anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi
terhadapa aksi-aksi yang dilakukan baik yang berupa fisik maupun mental.
Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola, serta
membentuk generalisasi dan abstraksi (Dienes, 1969, h.181).
3. Bruner (dalam Reys dkk., 1998, h.19) berpandangan bahwa belajar,
merefleksikan suatu proses social yang didalamnya anak terlibat dalam dialog
dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru
sehingga mereka berkembang secara intelektual. Prinsip ini pada dasarnya
menyarankan bahwa anak sebaiknya tidak hanya terlibat dalam manipulasi
material, pencarian pola, penemuan algoritma, dan menghasilkan solusi yang
berbeda, akan tetapi juga dalam mengkomunikasikan hasil observasi mereka,
membicarakan adanya keterkaitan, menjelaskan prosedur yang mereka
gunakan, serta memberikan argumentasi atas hasil yang mereka peroleh.
Jelaslah bahwa prinsip-prinsip di atas memiliki implikasi yang signifikan
terhadap pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip tersebut juga
mengidentifikasikan bahwa konstruktivisme merupakan suatu proses yang
memerlukan waktu serta merefleksikan adanya sejumlah tahapan perkembangan
dalam memahami konsep-konsep matematika. 6)
B. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
a. Pengertian Masalah
Ruseffendi (1998:216) mengemukakan bahwa masalah dalam matematika
adalah suatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa
menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Suatu persoalan merupakan
masalah bagi siswa bila; 1) Siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma
tertentu untuk menyelesaikan; 2) Siswa mampu menyelesaikan, dan 3) Siswa
memiliki niat menyelesaikannya. Hayes (Veragawati, 2009:11) mengemukakan
bahwa problem atau masalah bagi seseorang adalah suatu kesenjangan antara
dua pengertian yang dimilikinya dan ia pun tak tahu cara mengatasinya.
Polya (Veragawati, 2009:12) mengemukakan dua macam masalah dalam
matematika, yaitu:
1. Masalah untuk menemukan. Masalah ini dapat berupa masalah teoritis atau
praktis, abstrak atau konkrit, teka-teki
2. Masalah untuk membuktikan. Masalah untuk membuktikan adalah untuk
menunjukkan bahwa suatu masalah itu benar atau salah, tidak keduanya.
Suherman,dkk (2003:92-93) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya
memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan akan
tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan. Sedangkan menurut
Polya dan Ruseffendi (Veragawati, 2009:12) suatu persoalan atau soal
matematika akan menjadi masalah bagi seorang siswa apabila:
1. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan, ditinjau dari segi
kematangan mentalnya dan ilmunya.
2. Belum mempunyai algoritma atau pendapat juga prosedur untuk
menyelesaikan dan berlainan yang sebarang letaknya.
3. Berkeinginan untuk menyelesaikannya.
Guntar (2008:5) memberikan tiga definisi masalah, antara lain:
1. Masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang.
Sebuah masalah bisa merupakan sebuah tendangan peluang, kesempatan
untuk keluar dari stagnan, kebosanan atau status quo serta apapun yang
dimaksudkan untuk membuat suatu kondisi jadi lebih baik. Perlu dicatat baik-
baik bahwa yang disebut masalah itu tidaklah harus merupakan akibat dari
kejadian buruk atau faktor eksternal. Setiap pencerahan baru di mana kita
melihat peluang pengembangan atau perbaikan akan menjadi “masalah” bagi
kita untuk dipecahkan. Inilah kenapa kebanyakan para pemikir kreatif adalah
para “pencari masalah” dan bukannya “penghindar dari masalah.”
Mengembangkan mentalitas positif terhadap masalah bisa membuat kita jadi
lebih bahagia, waras, dan juga percaya diri.
2. Masalah adalah perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi yang
diharapkan.
Sebuah masalah bisa muncul berkat adanya pengetahuan atau pemikiran
baru. Ketika kita tahu di mana posisi kita sekarang dan ke mana kita hendak
menuju, maka kita sudah punya sebuah masalah terkait bagaimana agar kita bisa
sampai pada tujuan yang diharapkan. Bentuk pemecahannya sendiri bisa dan
sebaiknya dibuat menyenangkan dan seru dengan beragam jalur solusi yang bisa
kita pilih di sana. Intinya, ketika kita sudah bisa mengidentifikasi adanya beda
antara apa yang kita punya dan apa yang sebenarnya kita inginkan, maka berarti
kita sudah bisa mendefinisikan masalah dan juga telah punya arahan untuk
meraih sasaran.
3. Masalah adalah hasil dari kesadaran bahwa kondisi yang sekarang terjadi
belum sempurna dan keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih
baik.
Bukankah menarik bila apa yang dinamakan “harapan” ternyata bisa
melahirkan “masalah”. Keyakinan bahwa harapan kita bisa tercapai akan
membuat kita memiliki sasaran untuk masa depan yang lebih baik. Harapan kita
membuat diri kita merasa tertantang, dan tantangan semacam ini juga layak
disebut sebagai masalah.
b. Pemecahan Masalah
Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah dalam
matematika, diantaranya adalah Polya (Veragawati, 2009:13) mengemukakan
ada empat aspek atau langkah yang dapat ditempuh dalam pemecahan masalah,
yaitu:
1. Memahami masalah
2. Membuat rencana
3. Melakukan perhitungan
4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Sedangkan menurut Wuan, dkk (Veragawati, 2009:14) langkah-langkah dalam
memecahkan masalah secara umum adalah:
1. Memahami masalah
2. Membuat rencana
3. Melakukan perhitungan
4. Mengecek jawaban
5. Memeriksa hasil
Lebih spesifik, Sumarmo (Veragawati, 2009:15) mengartikan pemecahan
masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang
tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau
keadaan lain dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
Karen (Cahyono, 2007:4) menuliskan langkah-langkah pemecahan masalah
dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan
Osborn sebagai berikut.
1. Klarifikasi masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang
masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian
yang diharapkan.
2. Pengungkapan gagasan
Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam
strategi penyelesaian masalah.
3. Evaluasi dan seleksi
Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi
yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
4. Implementasi
Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan
masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari
masalah tersebut. Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-
langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat
membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika.
Farida (Mulia, 2010:29) mengemukakan indikator yang digunakan dalam
pemecahan masalah, antara lain:
1. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan
unsur yang diperlukan;
2. Merumuskan masalah matematika (menyusun model matematika);
3. Menerapkan strategi penyelesaian berbagai masalah (baik yang sejenis
maupun masalah baru) di dalam atau di luar matematika;
4. Menjalankan atau menginterpretasi hasil sesuai dengan permasalahan asal;
5. Menggunakan matematika secara bermakna.
c. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah yang diberikan. Berdasarkan uraian di atas, Penulis
mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan
siswa dalam mengidentifikasi masalah matematika, merencanakan penyelesaian,
melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh.
C. Model pembelajaran Osborn
Model pembelajaran Osborn adalah suatu model pembelajaran dengan
menggunakan metode atau teknik brainstorming. Teknik brainstorming
dipopulerkan oleh Alex F. Osborn dalam bukunya Applied Imagination. Istilah
brainstorming mungkin istilah yang paling sering digunakan, tetapi juga
merupakan teknik yang paling tidak banyak dipahami. Orang menggunakan
istilah brainstroming untuk mengacu pada proses untuk menghasilkan ide-ide
baru atau proses untuk memecahkan masalah.
Teknik brainstorming (Guntar, 2008:1) adalah teknik untuk
menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik.
Kegiatan ini mendorong munculnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang
nyeleneh, liar, dan berani dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat
menghasilkan gagasan yang kreatif. Brainstorming sering digunakan dalam
diskusi kelompok untuk memecahkan masalah bersama. Brainstorming juga
dapat digunakan secara individual. Sentral dari brainstorming adalah konsep
menunda keputusan. Empat ketentuan dasar dari brainstorming (Wikipedia)
adalah sebagai berikut:
1. Fokus pada kuantitas. Asumsi yang berlaku disini adalah semakin banyak
ide yang tercetus, kemungkinan ide yang menjadi solusi masalah semakin
besar.
2. Penundaan kritik. Dalam brainstorming, kritikan atas ide yang muncul akan
ditunda. Penilaian dilakukan di akhir sesi, hal ini untuk membuat para
siswa merasa bebas untuk memunculkan berbagai macam ide selama
pembelajaran berlangsung.
3. Sambutan terhadap ide yang tak biasa. Ide yang tak biasa muncul disambut
dengan hangat. Bisa jadi, ide yang tak biasa ini merupakan solusi masalah
yang akan memberikan perspektif yang bagus untuk kedepannya.
4. Kombinasikan dan perbaiki ide. Ide-ide yang bagus dapat dikombinasikan
menjadi satu ide yang lebih baik.
Metode brainstorming memiliki beberapa variasi teknik (Wikipedia), antara
lain:
1. Teknik Grup Nominal. Teknik Grup Nominal adalah tipe brainstorming
yang dalam prosesnya mendorong semua anggota untuk memiliki pendapat
yang setara. Semua anggota diminta menuliskan idenya secara bersamaan,
setelah terkumpul, dilakukan votting terhadap ide yang masuk. Votting
dilaksanakan dalam kelompok. Proses ini dinamakan distilasi.
2. Teknik Bergiliran dalam Grup. Setiap anggota kelompok harus memiliki
kertas kolom pendapat. Setiap orang menuliskan pendapat atau idenya
dalam kolom pendapat tersebut, kemudian bergiliran menukur kertasnya
sesuai arah jarum jam, hingga setiap anggota mendapat kertas yang ia tulisi
pertama kali. Dengan cara ini, setiap anggota dapat saling memahami
langkah penyelesaian masalah yang diambil rekannya kemudian
meneruskannya.
3. Teknik Pemetaan Ide Tim. Teknik ini bekerja dengan metode asosiasi.
Teknik ini dapat mengembangkan kolaborasi dan meningkatkan kuantitas
ide. Teknik ini di desain agar setiap anggota berpartisipasi dan tidak ada ide
yang ditolak.
4. Teknik Brainstorming Elektronik. Teknik brainstorming elektronik
merupakan teknik curah pendapat dengan menggunakan media computer,
bisa melalui internet atau blog. Teknik ini memungkinkan banyaknya
peserta yang terlibat untuk memecahkan suatu masalah
5. Teknik Brainstorming Langsung. Teknik ini mirip dengan teknik
brainstorming elektronik, namun secara langsung,. Setiap anggota pada
suatu forum diberikan kertas pendapat, kemudian mengisinya, dan
menukarnya dengan anggota lain secara acak. Anggota lain haruslah
meneruskan pendapat rekannya tersebut hingga diperoleh suatu pemecahan
masalah.
Dalam dunia industri, metode brainstorming ini banyak digunakan dalam
rangka menyelesaikan suatu masalah. Osborn (1963), mengatakan bahwa dalam
memecahkan masalah (Cahyono, 2007:3), terdapat 3 prosedur yang ditempuh,
yaitu:
1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan
meneliti data dan informasi yang bersangkutan.
2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi
gagasan tentang strategi pemecahan masalah.
3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan
masalah.
Dahlan (2006: 13) mengemukakan tahapan-tahapan pembelajaran untuk
memulai brainstorming, antara lain:
1. Tahap orientasi (Guru menyajikan masalah atau situasi baru kepada siswa)
2. Tahap analisa (Siswa merinci bahan yang relevan atas masalah yang ada,
dengan kata lain, siswa mengidentifikasi masalah)
3. Tahap hipotesis (Siswa dipersilahkan untuk mengungkapkan pendapat
terhadap situasi atau permasalahan yang diberikan)
4. Tahap pengeraman (Siswa bekerja secara mandiri dalam kelompok untuk
membangun kerangka berfikirnya)
5. Tahap sintesis (Guru membuat diskusi kelas, siswa diminta
mengungkapkan pendapatnya atas permasalahan yang diberikan,
menuliskan semua pendapat itu, dan siswa diajak untuk berfikir manakah
pendapat yang terbaik)
6. Tahap verifikasi (Guru melakukan pemilihan keputusan terhadap gagasan
yang diungkapkan siswa sebagai pemecahan masalah terbaik).
Gambar 2.1 menggambarkan diagram untuk sesi brainstorming.
Gambar 2.1. Diagram Sesi Brainstorming (Sumber: http/www.
wikipedia.org/wiki/Brainstorming)
Dalam melaksanakan model pembelajaran Osborn di kelas, guru bertindak
sebagai fasilitator. Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan (Wikipedia) :
a. Sesi pemanasan, untuk membuka pemikiran siswa sehingga berada pada
lingkungan bebas yang kritis
b. Guru memaparkan masalah, dan menjelaskannya lebih lanjut jika perlu
c. Guru menanyakan ide dari tiap siswa dalam kelompok mengenai
penyelesaian masalah yang telah dipaparkan
d. Jika tidak ada ide yang muncul, guru mendorong siswa untuk
menumbuhkan kreativitasnya
e. Masing-masing siswa memaparkan ide mereka dan guru menampung ide-
ide tersebut
f. Untuk menjaga kejelasan ide, siswa dapat memperluas ide mereka
g. Ketika waktu habis, guru mengorganisasikan ide berdasarkan tujuan
materi dan mendorong terselenggaranya diskusi
h. Ide-ide dikategorikan
i. Semua ide ditinjau ulang, untuk meyakinkan bahwa setiap siswa
memahami ide-ide tersebut
j. Menyalin ide-ide dan ide yang tidak mungkin menjadi solusi dihilangkan
k. Guru berterimakasih pada semua siswa dan memberikan apresiasi atas apa
yang telah mereka lakukan
Dengan demikian, terciptalah suatu solusi masalah matematika, disamping itu,
dalam diri siswa, terjadi proses brainstorming.
D. Pembelajaran konvensional
Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran matematika yang dalam
prosesnya guru menerangkan di depan kelas, memberikan contoh soal,
terkadang tanya jawab, dan pemberian tugas. Dalam prosesnya, pembelajaran
konvensional lebih mengutamakan hafalan dan keterampilan berhitung
dibanding pemaknaan. Selain itu, hasil lebih diutamakan daripada proses.
Subiyanto (Meliyani, 2005:20) menjelaskan bahwa kelas dengan
pembelajaran secara biasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran
secara klasikal, siswa tidak mengetahui apa tujuan belajar mereka hari itu.
Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau Lembar
Kerja Siswa (LKS), dengan menggunakan metode ceramah dan terkadang
tanya jawab. Tes atau evaluasi dengan maksud untuk mengetahui
perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang
dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan
kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.
Disamping itu, semua siswa diasumsikan mempunyai minat dan
kecepatan belajar yang relatif sama. Dalam kondisi seperti ini, kondisi belajar
siswa secara individual baik menyangkut kecepatan belajar, kesulitan belajar,
dan minat belajar sukar untuk diperhatikan oleh guru. Pada umumnya cara guru
dalam menentukan kecepatan menyajikan dan tingkat kesukaran materi kepada
siswanya berdasarkan pada informasi kemampuan siswa secara umum. Guru
sangat mendominasi dalam menentukan semua kegiatan pembelajaran.
Banyaknya materi yang akan diajarkan, urutan materi pelajaran, kecepatan
guru mengajar, dan lain-lain sepenuhnya ada di tangan guru.
E. Hasil Penelitian yang Relevan
Tahun 2006, Ahmad Dahlan melaksanakan penelitian terhadap
pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran Osborn. Hasil
penelitiannya dituangkan dalam sebuah skripsi berjudul “Pengaruh Model
Pembelajaran Osborn terhadap Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa”.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 22 Bandung. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn lebih baik dari
kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran konvensional. Selain itu, siswa memberikan
respon yang positif terhadap model pembelajaran Osborn. Ahmad Dahlan
menyarankan peneliti lain untuk meneliti penerapan model ini untuk
kompetensi lain. Karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh Model
pembelajaran Osborn terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa SMP.
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
menggunakan Model pembelajaran Osborn lebih baik dari peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa ditinjau berdasarkan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah pada siswa
yang pembelajarannya menggunakan Model pembelajaran Osborn dan
pembelajaran konvensional.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMP Daarut Tauhid
Bandung. Peneliti memilih siswa SMP sebagai subjek penelitian
dikarenakan dalam perkembangan perilaku kognitifnya, siswa SMP telah
mampu berpikir formal. Menurut Piaget (Fauzi, 2008:3) tentang
perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif, anak pada umur 11
sampai 16 tahun perkembangan perilaku kognitifnya sudah dalam tahap
formal operational thought, artinya periode ini anak sudah biasa
mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh
objek-objek yang bersifat konkrit. Anak sudah mulai berfikir abstrak dan
hipotesis, mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi,
sesuatu yang abstrak. Disamping itu, pada tahap ini anak sudah mampu
berfikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara
sistematik untuk memecahkan masalah.
Oleh karena itu, subjek dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII
SMP Daarut Tauhid Bandung. Dari empat kelas yang ditawarkan, dipilih
dua kelas secara acak untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
B. Design Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain
kelompok kontrol pre-test (Tes Awal) dan post-test (Tes Akhir). Dalam
penelitian ini, terdapat dua kelompok yakni kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan khusus, dalam hal ini, Model
pembelajaran Osborn. Sementara kelas kontrol menggunakan pembelajaran
konvensional. Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelas tersebut diberikan
tes awal. Setelah perlakuan selesai diberikan, dilakukan tes akhir. Adapun
desain penelitian ini (Ruseffendi, E.T, 1998:45) digambarkan sebagai
berikut :
A O1 X O2
A O1 O2
Keterangan : A : Menunjukkan pengelompokan subjek secara acak
kelas.
O1 : Tes awal (Pre-Test)
O2 : Tes akhir (Post-Test)
X : Pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran Osborn
C. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat antara
variabel bebas dan variabel terikat. Perlakuan yang diberikan terhadap
variabel bebas dilihat hasilnya pada variabel terikat. Dalam hal ini, peneliti
ingin menguji sebuah perlakuan yakni Model pembelajaran Osborn terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP, yang diberi perlakuan
khusus dan dikontrol dengan ketat. Sejatinya, penelitian seperti ini disebut
penelitian eksperimen. Namun, pengambilan sampel pada penelitian ini tidak
secara acak siswa, tetapi acak kelas. Peneliti harus menerima kondisi dua kelas
yang diperoleh secara acak tersebut (kelas eksperimen dan kelas kontrol).
Sehingga, berdasarkan metodenya, penelitian ini adalah penelitian kuasi
eksperimen (Ruseffendi, 2005;31).
D. Definisi Operasional
1. Model Pembelajaran Osborn adalah Model pembelajaran dengan
menggunakan metode brainstorming yang memberikan kesempatan seluas-
luasnya pada siswa untuk mengungkapkan ide dan pendapat mereka
terhadap suatu permasalahan matematika.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa
dalam mengidentifikasi masalah matematika, merencanakan penyelesaian,
melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh.
3. Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran matematika yang
dalam prosesnya guru menerangkan di depan kelas, memberikan contoh
soal, terkadang tanya jawab, dan pemberian tugas.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Instrumen Pembelajaran
Instrumen pembelajaran adalah instrumen yang dipakai ketika
pembelajaran berlangsung. Instrumen pembelajaran dalam penelitian ini
terdiri atas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja
Siswa (LKS).
a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP merupakan langkah-langkah tertulis yang harus ditempuh guru dalam
pembelajaran. Peneliti melaksanakan pembelajaran di dua kelas, kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Penyusunan RPP untuk kelas eksperimen
disesuaikan dengan Model pembelajaran Osborn, sementara untuk kelas
kontrol disesuaikan dengan pembelajaran konvensional. Untuk setiap kelas,
peneliti menyusun masing-masing empat RPP.
b. Lembar kerja siswa (LKS)
LKS hanya diberikan kepada kelas eksperimen. LKS dibuat berdasarkan
Model pembelajaran Osborn. LKS ini berisi langkah-langkah yang harus
dilakukan siswa untuk menemukan suatu konsep matematika. Selain itu,
berisi beberapa permasalahan yang harus dipecahkan siswa. Kelas kontrol
tidak menggunakan LKS, kelas kontrol menggunakan buku paket yang
sudah ada. Kendatipun demikian, setiap permasalahan yang diberikan
kepada kelas eksperimen diberikan pula kepada kelas kontrol, sehingga baik
kelas eksperimen maupun kelas kontrol mendapatkan asupan materi yang
sama.
2. Instrumen Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari instrumen tes dan
instrumen non tes.
a. Instrumen tes
Instrumen tes dalam penelitian ini berupa tes tertulis kemampuan
pemecahan masalah matematis. Tes tertulis ini berupa soal-soal berbentuk
uraian yang berkaitan dengan materi pelajaran. Dalam penelitian ini, tes tertulis
yang digunakan adalah tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan untuk
mengetahui kemampuan awal siswa sebelum perlakukuan diterapkan. Tes akhir
diberikan untuk mengetahui kemampuan akhir siswa setelah perlakuan
diterapkan.
Tipe tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe uraian. Peneliti
menggunakan tes tipe uraian dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
1) Tipe tes uraian memungkinkan peneliti untuk melihat proses berfikir dan
sejauh mana penguasaan konsep, dan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah yang diberikan
2) Peneliti dapat mengetahui letak kesalahan dan kesulitan siswa
3) Terjadinya bias hasil tes dapat dihindari, katena tidak ada sistem tebak-
tebakan atau untung-untungan yang sering terjadi pada soal tipe pilihan
ganda
Pemberian skor menggunakan pedoman penskoran yang diadopsi dan
dimodifikasi dari pendapat Szetela, Walter dan Nicol (Yusniati, 2009:35).
Pedoman penskoran ini terdiri dari tiga kategori penilaian yang dinamakan
dengan Analytical Scale for Problem Solving. Pedoman penskoran disajikan
dalam tabel 3.1. Skor maksimum untuk semua soal tes adalah 60, dengan skor
soal nomor 1 adalah 20, skor soal nomor 2 adalah 10, skor soal nomor 3 adalah
20, dan skor nomor 4 adalah 10. Instrumen tes diujicobakan terlebih dahulu
kepada siswa. Sebelum dilakukan ujicoba, instrumen tes dikonsultasikan kepada
dosen pembimbing dan kepada guru bidang studi matematika di tempat
penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui validitas teoritik dari instrumen
tes tersebut. Uji coba instrumen dilakukan sebelum penelitian berlangsung.
Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas VIII SMP N 5 Bandung. Setelah
data hasil uji coba diperoleh kemudian setiap butir soal akan dianalisis untuk
mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembedanya.
Dalam mengolah data hasil ujicoba instrumen, meneliti menggunakan bantuan
program anates untuk tipe uraian.
Tabel 3.1
Pedoman Penskoran Tes Pemecahan Masalah Matematis
Skor I. Pemahaman
Masalah
(Understanding
the problem)
II.Pemecahan masalah
(perencanaan
penyelesaian)
(Solving the problem)
II. Menjawab masalah
(melakukan
perhitungan)
(Answering the
problem)
0 Tidak memahami
masalah
Tidak mempunyai
rencana
Tidak ada jawaban atau
jawaban salah yang
didasarkan pada rencana
tidak tepat
1 Terdapat
kesalahan konsep
secara total
terhadap masalah
Rencana tidak tepat
secara keseluruhan
Kesalahan menyalin,
kesalahan perhitungan,
hanya sebagian jawaban
untuk masalah yang
menuntut jawaban jamak,
jawaban ditulis secara
tidak benar
2 Terdapat
sebagian besar
kesalahan konsep
terhadap masalah
Prosedur benar sebagian
tetapi sebagian besar
salah
Solusi benar
3 Terdapat
sebagian kecil
kesalahan konsep
terhadap masalah
Prosedur benar secara
substansial tetapi
terdapat sedikit
kekurangan atau
kesalahan prosedur
4 Memahami
masalah dengan
lengkap
Terdapat rencana yang
menggiring kepada
solusi yang benar tanpa
ada kesalahan aritmatik
Skor Maksimum
4
Skor Maksimum 4 Skor Maksimum 2
1) Validitas tes
Suatu alat evaluasi disebut valid apabila alat evaluasi tersebut mampu
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Adapun klasifikasi koefisien
korelasi yang digunakan adalah klasifikasi menurut Guilford (Suherman,
2003:113) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Klasifikasi Koefisien Validitas
Nilai rx,y Interpretasi
00,190,0 , yxr Korelasi sangat tinggi (Validitas sangat tinggi)
90,060,0 , yxr Korelasi tinggi (Validitas tinggi)
60,040,0 , yxr Korelasi sedang (Validitas sedang)
40,020,0 , yxr Korelasi rendah (Validitas rendah)
20,000,0 , yxr Korelasi sangat rendah (Validitas sangat rendah)
00,0, yxr Tidak valid
Dengan menggunakan anates uraian, diperoleh koefisien korelasi
keseluruhan soal adalah rx,y= 0,61 yang artinya keseluruhan butir soal
memiliki validitas tinggi. Validitas yang diperoleh untuk tiap butir soal
disajikan pada tabel berikut:
Tabel 3.3
Validitas Tiap Butir Soal
No Soal Koefisien
Validitas
Signifikansi Interpretasi
1 0.678 Signifikan Validitas tinggi
2 0.732 Sangat signifikan Validitas sangat
tinggi
3 0.926 Sangat signifikan Validitas tinggi
4 0.600 Signifikan Validitas tinggi
2) Reliabilitas Tes
Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel apabila hasil evaluasi tersebut
tidak berubah ketika digunakan untuk subjek yang berbeda. Untuk mengetahui
besarnya derajat reliabilitas alat evaluasi digunakan tolak ukur yang dibuat
oleh Guilford (Suherman, 2003:138) sebagai berikut:
Tabel 3.4
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
Nilai r11 Interpretasi
00,190,0 11 r Derajat reliabilitas sangat tinggi
90,070,0 11 r Derajat reliabilitas tinggi
70,040,0 11 r Derajat reliabilitas sedang
40,020,0 11 r Derajat reliabilitas rendah
20,011 r Derajat reliabilitas sangat rendah
Dengan menggunakan anates uraian, diperoleh koefisien reliabilitas
keseluruhan soal adalah r11 = 0.76 yang artinya keseluruhan butir soal
memiliki reliabilitas tinggi.
3) Daya Pembeda
Daya pembeda dari satu butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut membedakan antara testi yang mengetahui
jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal
tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dengan kata lain, daya pembeda
dari sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut membedakan
siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah.
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda butir soal yang digunakan
berdasarkan Suherman (2003,161) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5
Klasifikasi Daya Pembeda
Nilai r11 Interpretasi
00,170,0 DP Sangat baik
70,040,0 DP Baik
40,020,0 DP Cukup
20,000,0 DP Jelek
00,0DP Sangat jelek
Dari hasil anates, diperoleh:
Tabel 3.6
Daya Pembeda Tiap Butir Soal
No Soal Nilai DP Interpretasi
1 0.15 Jelek
2 0.23 Cukup
3 0.49 Baik
4 0.37 Cukup
4) Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran menyatakan derajat kesukaran sebuah soal.
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda butir soal yang digunakan
berdasarkan Suherman (2003,161) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7
Klasifikasi Koefisien Indeks Kesukaran
Nilai r11 Interpretasi
00,1IK Soal terlalu mudah
00,170,0 DP Soal mudah
70,030,0 DP Soal sedang
30,000,0 DP Soal sukar
00,0DP Soal terlalu sukar
Dari hasil anates, diperoleh:
Tabel 3.8
Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal
No Soal Nilai IK Interpretasi
1 0.85 Soal mudah
2 0.86 Soal mudah
3 0.67 Soal sedang
4 0.69 Soal sedang
Tabel 3.9
Rekapitulasi Analisis Butir Soal
Validitas : 0,61 (tinggi)
Reliabilitas : 0,76 (tinggi)
No
Validitas butir soal Daya Pembeda Indeks Kesukaran
Ket. Koefisien
Validitas Interpretasi
Nilai
DP Interpretasi
Nilai
IK Interpretasi
1 0.678 Tinggi 0.15 Jelek 0.85 Soal mudah Digunakan
2 0.732 Sangat tinggi 0.23 Cukup 0.86 Soal mudah Digunakan
3 0.926 Tinggi 0.49 Baik 0.67 Soal sedang Digunakan
4 0.600 Tinggi 0.37 Cukup 0.69 Soal sedang Digunakan
b. Instrumen non-tes
Instrumen non-tes digunakan untuk memperoleh data yang tidak bisa
diperolah dari instrument tes. Instumrn non-tes pada penelitian ini terdiri atas:
1) Angket
Angket adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus diisi oleh
responden (Suherman, 2003:56).Angket hanya diberikan kepada siswa kelas
eksperimen. Angket ini digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap
Model pembelajaran Osborn.
Dalam penelitian ini, Angket yang digunakan berupa daftar
pernyataan yang memiliki empat alternatif jawaban, yaitu : Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Angket
seperti ini menggunakan Skala Likert. Pernyataan dalam angket ini terdiri
atas pernyataan positif dan pernyataan negatif.
2) Lembar Observasi
Lembar Observasi adalah instrumen non tes yang digunakan untuk
melihat aktivitas siswa, aktivitas guru, dan aktivitas siswa yang
menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis dalam proses
pembelajaran. Lembar Observasi ini digunakan ketika pembelajaran sedang
berlangsung. Setiap pernyataan pada lembar observasi untuk aktivitas siswa
dan guru terdiri atas dua kategori, Ya dan Tidak. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah siswa atau guru melaksanakan aktivitas yang disebutkan
atau tidak. Sementara untuk aktivitas pemecahan masalah matematis siswa
terdiri atas kolom uraian yang diisi oleh observer berdasarkan pengamatan
yang dilakukan sepanjang pembelajaran.
F. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Beberapa langkah yang dilakukan dalam tahapan ini diantaranya :
b. Identifikasi masalah
Peneliti mengidentifikasi masalah apa yang akan diteliti, dengan
melakukan berbagai survey dan kajian literatur sehingga diperoleh
beberapa masalah dan rencana yang akan dilaksanakan.
c. Hasil Identifikasi dikonsultasikan dengan pihak-pihak yang berkaitan,
dalam hal ini dengan Dosen pembimbing. Hasil konsultasi dituangkan
dalam proposal penelitian, diseminarkan, dan dilakukan revisi proposal
penelitian.
d. Menyusun bahan ajar, yakni RPP dan LKS. Kedua bahan ajar ini
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, kemudian kesalahan yang
terdapat dalam bahan ajar direvisi
e. Membuat instrumen tes. Instrumen tes ini terdiri atas tes uraian. Pada
awalnya, peneliti membuat delapan butir soal. Pada akhirnya yang
digunakan hanya empat butir soal.
f. Menguji instrimen tes pada siswa yang telah mempelajari materi yang
akan diteliti
g. Revisi instrumen tes jika terdapat kekurangan.
h. Pemilihan sampel penelitian. Pemilihan sampel ini disesuaikan dengan
materi penelitian dan waktu pelaksanaan penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pemberian tes awal (pretes) kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen
untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis awal
siswa.
b. Melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran
Osborn pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas
kontrol.
c. Selama proses pembelajaran berlangsung, peneliti menggunakan lembar
observasi.
d. Pemberian angket pada kelompok eksperimen untuk mengetahui sikap
siswa terhadap Model pembelajaran Osborn.
e. Pemberian tes akhir (postes) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Tahap Analisis, Evaluasi, dan Refleksi
Langkah selanjutrnya adalah melakukan pengkajian dan analisis
terhadap penemuan-penemuan penelitian, serta melihat pengaruhnya terhadap
kemampuan yang ingin diukur. Peneliti melakukan input data kuantitatif
berupa tes awal dan tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol. Menghitung
indeks gain tiap subjek pada masing-masing kelas. Kemudian data kuantitatif
tesebut diuji normalitas dan homogenitasnya. Setelah diuji normalitas dan
homogenitasnya, dilakukan uji parametrik atau uji non parametrik. Setelah itu,
dilakukan analisis terhadap data kualitatif yang diperoleh dari angket skala
sikap siswa dan lembar observasi. Analisis pun dilakukan untuk masing-
masing kelompok kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) di masing-masing
kelas. Tahapan analisis yang dilakukan adalah analisis indeks gain tiap
kelompok.
4. Penarikan kesimpulan
Tahapan terakhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan. Data
hasil analisis diinterpretasikan lalu disimpulkan berdasarkan hipotesis dan
rumusan masalah penelitian yang dibuat, kemudian dituangkan dalam bentuk
skripsi.
G. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sebelum perlakuan (pretest), pada
saat perlakuan (lembar observasi), dan setelah perlakuan (posttest dan
angket respon siswa). Pretest dan posttest diberikan kepada kedua kelas,
eksperimen dan kontrol. Sedangkan lembar observasi dan angket respon
siswa diberikan kepada kelas eksperimen.
H. Analisis Data
1. Teknik Analisis Data Tes
Pengolahan data tes menggunakan bantuan program SPSS 17 for Windows.
Untuk data hasil tes tertulis, ada beberapa perlakuan yang akan dilakukan,
antara lain:
a. Analisis Deskriptif, bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai data
yang diperoleh. Adapun data dekriptif yang dihitung adalah mean,
variansi, dan standar deviasi.
b. Gambaran Umum Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Gambaran umum kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang berupa data skor tes kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
dianalisis secara deskriptif atas dasar prosentase dan dirumuskan sebagai
berikut:
100MS
SN
(Cahyono, 2007:5)
Keterangan: N = nilai presen yang dicapai atau yang diharapkan
S = Skor mentah yang diharapkan
SM = Skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 = bilangan teta
Tabel 3.11
Kriteria Umum Kualifikasi Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis
No Tingkat Penguasaan Predikat
1 75% - 100% Baik
2 50% - 75% Cukup
3 < 50% Kurang
c. Menghitung Skor Gain
Indeks gain ini dihitung dengan rumus indeks gain dari Meltzer (Barka
dalam Khususwanto, 2008: 49), yaitu:
Adapun untuk
kriteria atas, tengah, dan bawah mengacu pada kriteria Hake (Barka
dalam Khususwanto, 2008:49) yang telah dimodifikasi, yaitu sebagai
berikut:
d. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang
didapat berdistribusi normal atau tidak. Normalitas data diperlukan
untuk menentukan pengujian beda dua rerata yang akan diselidiki. Uji
normalitas dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 17 for
Windows. Untuk melakukan uji normalitas, digunakan uji Saphiro-Wilk
dengan taraf signifikansi 5%. Jika kedua data berasal dari distribusi yang
normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Jika salah satu atau
kedua data yang dianalisis tidak berdistribusi normal, maka tidak
dilakukan uji homogenitas sedangkan untuk pengujian hipotesis
dilakukan uji statistik non parametrik, seperti uji Mann-Whitney.
e. Uji Homogenitas
PretestSkor SMI
Pretestskor PostestSkor rmalisasiGain terno
Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan melihat homogenitas atau
kesamaan beberapa bagian sampel atau seragam tidaknya variansi
sampel-sampel yaitu apakah mereka berasal dari populasi yang sama.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian homogenitas sebagai
berikut :
Merumuskan hipotesis :
Ho : 22
ke
H1 : 22
ke
dengan, Ho = Hipotesis nol
H1 = Hipotesis kerja
2
e = Varians kelas eksperimen
2
k = Varians kelas kontrol
Menentukan tingkat keberartian dengan mengambil sebesar 0,05
Menentukan kriteria pengujian dengan aturan, menerima H0 apabila
nilai signifinaksi yang diperoleh lebih dari 0,05 dan menolak H0
apabila nilai signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05.
f. Uji Dua Rerata
Uji dua rerata dilakukan untuk data tes awal, tes akhir, dan indeks gain
yang diperoleh. Uji dua rerata untuk menguji hipotesis menggunakan
rumus uji-t setelah mengetahui bahwa data berdistribusi normal dan
homogen. Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen digunakan uji
hipotesis dengan uji- t . Sementara untuk data yang tidak berdistribusi
normal, uji dua rerata dilakukan dengan uji non-parametrik Mann-Whitney.
Untuk rumusan masalah nomor 2, terlebih dahulu siswa akan
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok ditinjau berdasarkan kemampuan
siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Pengelompokkan ini berdasarkan rata-
rata nilai ulangan mata pelajaran matematika sebelum penelitian dilakukan.
Dari seluruh siswa dalam satu kelas, dibagi sama rata kedalam 3 (tiga)
kelompok, yakni kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan
rendah. Untuk analisis data pada masing-masing kelompok, dilakukan
analisis rasional terhadap rata-rata gain ternormalisasi tiap kelompok
kemampuan. Dalam prosesnya, pengolahan dan penganalisisan data hasil
penelitian dilakukan dengan bantuan software SPSS 17 for windows.
2. Teknik Analisis Data Non Tes
a. Angket
Agket yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Hal
ini dikarenakan setiap pernyataan yang disajikan memiliki kontribusi yang
sama terhadap sikap siswa secara keseluruhan. Selain itu, peneliti
menghendaki jawaban yang benar-benar mewakili sikap dan respon siswa
terhadap pernyataan yang diberikan, sehingga peneliti memberikan empat
alternatif pilihan jawaban. Dalam skala Likert setiap alternatif jawaban diberi
nilai. Secara keseluruhan, angket terbagi ke dalam dua pernyataan, pernyataan
positif dan pernyataan negatif. Setiap pernyataan diberikan empat pilihan
jawaban, SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat
Tidak Setuju). Untuk tiap pernyataan, tiap pilihan jawaban diberi skor seperti
tertera pada tebel 3.12.
Tabel 3.12
Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Angket
Pernyataan
Skor tiap pilihan
SS S TS STS
Positif 5 4 2 1
Negatif 1 2 4 5
Kriteria penilaian sikap yang diperoleh dari angket ini adalah jika skor
pernyataan kelas lebih dari 3 maka siswa memberikan sikap yang positif,
sebaliknya, jika skor pernyataan kelas kurang dari 3 maka siswa memberikan
sikap yang negatif (Suherman, 2003:191)
b. Lembar Observasi
Data hasil observasi disimpulkan untuk mengetahui sikap dan kondisi siswa
dan guru ketika pembelajaran berlangsung. Data hasil observasi ini akan
disajikan secara terlampir.
Lampiran
1.Schedule Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
(2005). STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN PP RI No.19 Th.2005.Jakarta:
Sinar Grafika.
Chambers, Paul. (2009). TEACHING MATHEMATICS. Singapore: SAGE.
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Pontianak: ALFABET.
Masnur, Muslich. (2007). KTSP PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI
dan KONTEKSTUAL. Malang: BUMI AKSARA.
Suryadi, Didi. (2007). ILMU DAN APLIKASI PENDIDIKAN. Bandung:
PEDAGOGIANA PRESS.
Fathoni, Abdurrahmat. (2006). Metode Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.
Jakarta: RINEKA CIPTA.
Tilaar. (2006). STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL. Jakarta: RINEKA
CIPTA.
Sudijono, Anas. (2008). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RAJAWALI
PRESS.
Http/www/Wikipedia.org/wikil/Brainstorming.