pembelajaran sastra apresiatif dengan rekreasi …
TRANSCRIPT
16
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 34, 2006: 16-28
PEMBELAJARAN SASTRA APRESIATIF DENGANREKREASI-RESPONSI-REDESKRIPSI DALAM PERSPEKTIF KBK *)
Ali Imron Al-Ma’rufPBSID-FKIP-UMS
Jl.A Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos I Surakarta 57102
ABSTRACT
The learning of literature in secondary, high, or vocational schools seems lessappreciative. The main reason lies in the competency of literature teachers in ap-preciating literature beside the teaching for the target of curriculum and the Na-tional Grade Evaluation. The problem is show is the learning of literature viewedfrom Curriculum-Based-Competency (CBC) ? Which approach is appropriate forthe appreciative learning of literature? A recreation-response-and-redescriptionmodel of learning literature using reception approach can be used as an alternativeto realize a more appreciative learning of literature becauase it is in line with theCBC paradigm in stressing on the empowerment of students’ competency. To makesuch an empowering concrete, literature teachers may enhance their competencyand commit on improving literary appreciation within their process of teachingand learning literature. In short, a change for a new paradigm for literature teach-ers is needed in the course of literature learning to have the spirit of CBC.
Key words: Pembelajaran Sastra Apresiatif, rekreasi-responsi-redeskeripsi, KBK atauCBC.
1. PendahuluanPembelajaran sastra di sekolah di Indo-
nesia pada enam dekade terakhir sejak 1945hingga 2002 kurang membawa pencerahanbagi siswa (Ismail, 2000: 3). Perkembangankehidupan bangsa terus bergulir sejakkemerdekaan, orde lama, orde baru, hinggaera reformasi. Kurikulum sekolah termasukkurikulum dalam pelajaran Bahasa dan SastraIndonesia terus berganti, dari Kurikulum 1975,
1984, 1994 hingga Kurikulum 2004 yangbiasa disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK) (Depdiknas, 2003). KBK agaknyamemberikan darah segar dalam pembelajaransastra dengan menetapkan porsi yang setaradengan bahasa dalam mata pelajaran Bahasadan Sastra Indonesia. Kondisi pembelajaransastra di sekolah yang dahulu “terlunta-lunta”diharapkan mengalami perubahan dankemajuan yang signifikan. Hingga terbitnya
*) Dimodifikasi dari makalah dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa dan Pelajar Tingkat Jawa Tengah yang diselenggarakanoleh BEM FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta di Auditorium UMS tanggal 14 Maret 2006.
17
Pembelajaran sastra di sekolah kita pada enam dekade terakhir sejak 1945
hingga 2002 kurang membawa pencerahan bagi siswa (Ismail, 2000: 3).
Perkembangan kehidupan bangsa terus bergulir sejak kemerdekaan, orde lama,
orde baru, hingga era reformasi. Kurikulum sekolah untuk pelajaran Bahasa
Indonesia terus berganti, dari Kurikulum 1975, 1984, 1994 hingga Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK, 2004) Bahasa dan Sastra Indonesia (Depdiknas,
2003). KBK agaknya memberikan darah segar dalam pembelajaran sastra dengan
pembagian yang setara dengan bahasa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Kondisi pembelajaran sastra di sekolah yang dulu “terlunta-lunta”
diharapkan mengalami perubahan dan kemajuan yang signifikan.
Hingga terbitnya Kurikulum 2004 (KBK), keprihatinan akan kondisi
pengajaran sastra itu mengemuka di berbagai seminar. Namun, belum juga
ditemukan formula manjur sebagai solusi untuk mengatasi kondisi. Kalaupun
ditemukan solusi alternatif, akhirnya terbatas dalam dataran wacana belaka,
jarang sampai pada realisasi, karena alasan-alasan klasik. Misalnya: terbatasnya
waktu yang tersedia, kurikulum tidak memadai, kurikulum harus selesai, buku
sastra (teori dan karya kreatif) terbatas, orientasi pengajaran pada Ujian Akhir
Nasional (UAN) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPBM) di Perguruan
Tinggi Negeri (PTN). Yang lebih menyedihkan adalah banyak guru sastra
Indonesia yang tidak paham sastra (karena berlatar belakang non-sastra) atau guru
Bahasa dan Sastra Indonesia yang lebih berorientasi pada bahasa. Karena itu,
yang terjadi di sekolah-sekolah adalah pembelajaran sastra instan, atau semacam
fast food. Pendek kata, pembelajaran sastra tanpa kehadiran sastra.
Melihat kondisi tersebut, wajarlah jika kualitas pembelajaran sastra
menjadi semakin merosot. Bahkan, sastra dan pembelajarannya mengalami
dekadensi image,
citranya merosot, termasuk guru sastra. Tidak sedikit guru sastra yang merasa
malu jika ditanya, “Anda mengajar apa?”. Implikasilebih lanjut dari kondisi
demikian adalah merosotnya minat siswa terhadap sastra dan menurunnya minat
baca di kalangan siswa. Meminjam istilah Teeuw (1983: 345), mereka antibacaan
dan nyaris tanpa tradisi membaca buku. Atau, menurut Taufik Ismail (2002: 9),
18
para siswa sekolah kita kebanyakan “Rabun Membaca, dan Lumpuh Menulis”.
Efeknya, citra profesi pengarang dan sastrawan di Indonesia juga ikut merosot;
pengarang (dan sastrawan) bukanlah profesi yang diidealkan di mata generasi
muda (Mahayana dalam Artika, 2002: 7).
Berangkat dari realitas itulah maka tulisan ini disusun untuk memberikan
alternatif. Permasalahannya adalah bagaimana pembelajaran sastra dalam
perspektif KBK? Pendekatan mana yang selayaknya dipakai dalam pembelajaran
sastra yang apresiatif? Bagaimanakah aplikasi model Rekreasi-Responsi-
Redeskripsi dalam pembelajaran sastra yang apresiatif?
2. Pembelajaran Sastra di Sekolah: “Perempuan yang Bias Jender”
Potret pembelajaran sastra di berbagai sekolah kita selama ini –sebelum
KBK 2004-- pada umumnya tidak seimbang dengan bahasa. Ibarat lelaki dan
perempuan, sastra mengalami bias gender dibanding bahasa yang terlanjur
memiliki mitos sebagai makhluk kuat. Seperti perempuan dalam masyarakat
tradisonal, sastra mengalami marginalisasi atau dipandang sebagai makhluk kelas
dua (the second class), sekedar menjadi suplemen bagi pelajaran bahasa.
Selama ini pembelajaran sastra hanya sebagai semacam sisipan sedang
materi utamanya adalah bahasa Indonesia (baca: tata bahasa). Mengarang
(komposisi) yang sangat penting untuk menunjang kemahiran siswa dalam
mengekspresikan pendapat, pikiran, dan perasaannya sangat kurang diajarkan.
Padahal mengarang berperan penting dalam menunjang pengembangan daya
fantasi dan intelektual siswa. Mengarang juga sangat menunjang pembelajaran
sastra. Bukankah membaca dan/ atau menulis karya sastra membutuhkan daya
imajinasi sekaligus daya penalaran manusia?
Kalaupun sastra diajarkan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia, itu pun
secara sepintas lalu. Umumnya mereka hanya mengajarkan sastra secara teoretis,
tidak apresiatif. Materi yang diberikan kebanyakan adalah seputar sejarah dan
teori sastra, sedangkan kritik sastra persentasenya sedikit. Kritik sastra pun
diberikan sangat terbatas hanya dengan pendekatan struktural yang merupakan
pendekatan paling awal. Itu pun pendekatan struktural dengan pemahaman yang
19
minim dan kaku. Padahal teori dan pendekatan dalam kritik sastra telah
berkembang pesat. Artinya, setelah teori Struktural, Strukturalisme Genetik, dan
Strukturalisme Dinamik, telah muncul teori Pos-Strukturalisme seperti: Sosiologi
Sastra, Psikologi Sastra, Dekonstruksi, Semiotik, Feminisme, dan Antropologi
Sastra. Ibarat masyarakat dan zamannya, kini telah datang era globalisasi tetapi
masih terdapat warga masyarakat yang pola hidupnya seperti zaman
pascakemerdekaan.
Sebagai ilustrasi, ketika ada siswa cerdas dan kritis yang biasa “bercinta
dengan sastra” mencoba mengemukakan hasil interpretasinya atas puisi atau
novel misalnya, dan kebetulan tidak sama dengan interpretasi sang guru, maka
tidak sedikit guru yang tak segan-segan bertindak menjadi „hakim yang mengadili
siswanya sebagai terdakwa”. Dalam arti, guru menjadikan dirinya pusat
kebenaran interpretasi sastra. Cara demikian berarti membunuh kreativitas
siswa dan tidak sesuai dengan eksistensi sastra yang multiinterpretable.
Akibatnya, lain waktu siswa tak mau lagi melakukan kreasi dan interpretasi
sastra. Siswa akhirnya mengambil jalan pintas dengan mengutip buku ringkasan
novel.
Implikasi dari keadaan di atas, ketika siswa diberi tugas untuk membuat
kritik karya sastra fiksi dari segi struktur, seperti: tema, latar, alur, penokohan,
dan gaya bahasa, di samping sinopsis novel. Siswa yang “kreatif” (baca “nakal”)
lalu mencari “buku suci” ringkasan novel yang berisi sinopsis dan penjabaran
unsur-unsur fiksi. Dengan mengutip buku tersebut, jadilah tugas itu dengan cepat
(instan) tanpa siswa harus berpikir kritis dan analitis untuk mengapresiasi karya
sastra. Runyamlah pembelajaran sastra demikian. Parahnya, tidak sedikit guru
sastra yang menggunakan ringkasan novel itu sebagai “buku suci”. Alhasil, asal
pekerjaan siswa sesuai dengan “buku suci” itu, maka dianggap bagus, dan jika
tidak dinilai jelek. Di sinilah potensi dan kompetensi siswa dalam interpretasi
sastra dikerdilkan, jika bukan dibunuh pelan-pelan (Al-Ma‟ruf, 2004: 9).
Di sisi lain, karena guru (sastra) ditarget untuk menyelesaikan kurikulum
sehingga pembelajaran sastra pun sekedar teoretis belaka, yang penting target
tercapai, titik. Adapun pembelajaran apresiasi sastra yang memerlukan waktu
20
relatif lama, tidak dilakukan. Di samping alasan waktu, kemampuan apresiasi
sastra sebagian guru bahasa dan sastra Indonesia relatif terbatas. Sebab, seperti
sudah menjadi persepsi umum bahwa hanya sedikit guru bahasa dan sastra
Indonesia yang memiliki kemampuan mengapresiasi sastra memadai karena
jarang “berorientasi pada sastra”. Kebanyakan mereka lebih “berorientasi pada
bahasa” sebagai “anak kandung” ketimbang sastra sang “anak tiri”. Implikasinya,
mereka lebih memfokuskan pembelajarannya pada bahasa, bukan sastra.
Sejalan dengan itu, maka aktivitas-aktivitas bersastra di sekolah yang
mestinya dilakukan oleh siswa pada hakikatnya jarang sekali. Aktivitas bersastra
seperti membaca, memahami, mendiskusikan, dan membicarakan sastra,
menonton pentas teater/ drama dan baca puisi, bermain drama, menginterpretasi
makna sastra, menuliskan hasil interpretasinya dan mencipta sastra, dengan
sendirinya dianggap tidak penting oleh guru. Yang banyak terjadi adalah
pembelajaran sastra instan dengan cara mengajak siswa untuk menjawab soal-
soal Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sudah mewabah di berbagai sekolah.
Terlebih soal-soal sastra dalam UAS dan UAN serta SPMB juga tidak apresiatif,
teoretis belaka, maka kloplah. Yang penting target kurikulum tercapai, siswa lulus
UAN dengan nilai baik dan lulus SPMB. Selesai. Berlakulah ungkapan: “biar
siswa tak tahu sastra tetapi tahu bagaimana menjawab soal sastra”.
Data yang ditemukan oleh Taufik Ismail dan kawan-kawan sastrawan dari
majalah sastra Horison dan Kaki Langit dalam penelitiannya di berbagai sekolah,
tidak jauh berbeda dengan gambaran di atas. Hal itulah yang mendorongnya
untuk melakukan berbagai aktivitas sastra di berbagai sekolah (Ismail, 2002),
seperti Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab (SBSM), dan lain-lain.
Dari sekian banyak permasalahan pembelajaran sastra, maka guru sastra
tetaplah merupakan aktor utama atau pemegang peran kunci. Sebab, bagaimana
mungkin pembelajaran sastra akan berjalan apresiatif dan menarik minat siswa
untuk bergairah “bercinta dengan sastra” jika guru sastra sendiri tidak memiliki
gairah “bercinta dengan sastra”.
3. Fungsi Sastra dan Pembelajaran Sastra
21
Jika dihayati, sastra sangat penting bagi siswa dalam upaya
pengembangan rasa, cipta, dan karsa. Sebab, fungsi utama sastra adalah sebagai
penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial,
penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi
secara kreatif dan konstruktif. Sastra akan dapat memperkaya pengalaman batin
pembacanya. Sebagai karya imajinatif, demikian Meeker (1972: 8), sastra
merupakan konstruksi unsur-unsur pengalaman hidup, di dalamnya terdapat
model-model hubungan-hubungan dengan alam dan sesama manusia, sehingga
sastra dapat mempengaruhi tanggapan manusia terhadapnya. Tindak kekerasan
dan anarkisme yang akhir-akhir ini marak di masyarakat, bukan tidak mungkin
salah satu sebabanya adalah karena mereka tidak pernah atau sangat minim
menggauli sastra. Mengingat, lebih dari 45 tahun masyarakat Indonesia jauh dari
sastra (lihat Ismail, 2002: 1-3).
Lazar (1993: 24) menjelaskan, bahwa fungsi sastra adalah: (1) sebagai alat
untuk merangsang siswa dalam menggambarkan pengalaman, perasaan, dan
pendapatnya; (2) sebagai alat untuk membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan intelektual dan emosionalnya dalam mempelajari bahasa; dan (3)
sebagai alat untuk memberi stimulus dalam pemerolehan kemampuan berbahasa.
Adapun fungsi pembelajaran sastra adalah: (1) memotivasi siswa dalam
menyerap ekspresi bahasa; (2) alat simulatif dalam language acquisition; (3)
media dalam memahami budaya masyarakat; (4) alat pengembangan kemampuan
interpretative; dan (5) sarana untuk mendidik manusia seutuhnya (educating the
whole person).
Frey (1974: 129) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran sastra yang
apresiatif diharapkan pembelajaran sastra dapat membentuk pengembangan
imajinasi pada siswa. Hal tersebut sangat mungkin untuk dicapai sebab menurut
Sayuti (2002: 35), sastra menyediakan peluang (pemaknaan yang) tak terhingga.
Sebagai contoh, melalui membaca roman, siswa dapat mengenali tema tertentu,
bagaimana tema dicerminkan dalam plot, bagaimana karakter hadir dalam sikap
atau nilai-nilai, dan bagaimana pengisahan menjadi bagian dari pandangan
tertentu (Lazar, 1993: 13). Melalui teks drama, siswa juga dapat berlatih berpikir
22
kritis dalam menyikapi kehidupan, sebab menurut Satoto (1998: 2), dalam drama
(absurd) dapat ditemukan cara pengungkapan baru terhadap keresahan,
keputusasaan, dan ketidakpuasaan terhadap kehidupan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra memiliki
fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan. Dalam proses pembelajaran,
sastra dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan
siswa terhadap nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks
dan multidimensi. Termasuk di dalamnya: realitas sosial, lingkungan hidup,
kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan, cinta kasih dan kebencian,
keshalihan dan kezhaliman, serta ketuhanan dan kemanusiaan. Alhasil, melalui
pembelajaran sastra, siswa diharapkan akan tumbuh menjadi manusia dewasa
yang berbudaya, mandiri, sanggup mengaktualisasikan diri dengan potensinya,
mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik, berwawasan luas,
mampu berpikir kritis, berkarakter, halus budi pekertinya, santun dalam berbicara
dan bersikap, serta peka terhadap lingkungan sosial masyarakat dan bangsanya.
Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra yang apresiatif,
diharapkan siswa mampu membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya, yang
dapat diterima eksistensinya di lingkungannya sehingga dapat hidup di tengah
masyarakat dengan terus berkarya demi mengisi kehidupan yang lebih bermakna.
4. Pendekatan dalam Pengkajian Sastra
Abrams (1981: 3-29), menyampaikan empat macam model pendekatan
dalam memahami sastra, yakni pendekatan: (1) pendekatan objektif, yaitu
pendekatan yang melihat karya sastra sebagai struktur yang otonom; (2) ekspresif,
yaitu pendekatan yang melihat pengarang sebagai pencipta sastra; (3) pragmatik,
yaitu pendekatan yang melihat peranan pembaca sebagai pemberi makna; dan (4)
mimetik, yaitu pendekatan yang melihat pada aspek referensial dunia nyata. Setiap
karya sastra cocok dipahami dengan pendekatan tertentu sesuai dengan karakter
masing-masing.
23
Dari berbagai pendekatan dalam memahami karya sastra, makalah ini
menekankan kajiannya pada pendekatan Resepsi Sastra (di samping Struktural)
yang berpotensi besar dalam pembelajaran sastra yang apresiatif di SMA.
4.1 Pendekatan Struktural
Sesuai dengan teori Abrams, pendekatan struktural disebut dengan
pendekatan objektif. Teori Struktural memandang karya sastra sebagai struktur
otonom, berdiri sendiri, terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah
sastra terlepas dari unsur sosial budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang
berada di luar karya, seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah,
tidak diikutsertakan dalam analisis, karena menurut Teeuw (2003: 111), yang
diperlukan adalah close reading, pembacaan secara mikroskopis atas karya sastra
sebagai ciptaan bahasa.
Aristoteles (dalam Teeuw, 2003: 100-102), mengenalkan Strukturalisme
dalam konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence, yang memandang
bahwa keutuhan makna bergantung pada keseluruhan unsur. Wholeness atau
keseluruhan; unity, berarti semua unsur harus ada; complexity, berarti luasnya
ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal;
coherence, berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin
atau yang harus terjadi sesuai konsistensi logika cerita.
Peaget (dalam Hawkes, 1978: 16), menegaskan, bahwa Strukturalisme
mengandung tiga gagasan pokok, yaitu: (1) keseluruhan (wholeness), unsur-
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah instrinsik yang
menentukan, baik keseluruhan stuktur maupun bagian-bagiannya; (2)
transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi
yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; (3) keteraturan yang
mandiri (self regulation), struktur tidak memerlukan hal di luar dirinya, struktur
itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Adapun aspek-aspek karya sastra yang dikaji dalam pendekatan Struktural
ini adalah unsur-unsur karya sastra misalnya: tema, nada dan suasana, rima, ritme,
stilistik atau gaya bahasa (puisi), atau tema, alur, latar, penokohan, stilistik atau
24
gaya bahasa (fiksi), dan hubungan antar aspek yang membuatnya menjadi karya
sastra. Tujuan analisisnya menurut Teeuw (2003: 112) adalah memaparkan
secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin, keterkaitan dan
keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan dari unsur,
tetapi yang penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada
keseluruhan makna, dalam keterkaitan dan keterjalinanannya.
Pendekatan struktural sangat populer, karena itu sering digunakan dalam
telaah sastra, atau untuk mengajarkan sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang
lebih mudah untuk dilaksanakan, karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur
dan hubungan antarunsur yang membangun karya itu sendiri. Pendekatan
strukturalisme, memberikan peluang untuk telaah sastra dengan lebih rinci,
namun hal itu justru sering menyebabkan masalah estetika atau makna sastra
terkorbankan.
Tujuan akhir analisis karya sastra adalah pengungkapan makna. Namun,
pada umumnya hal tersebut jarang dilakukan dalam pembelajaran sastra di
sekolah. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan Struktural pada umumnya
hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan antarunsur
sebagai kebulatan dalam membentuk makna, masih jarang dilakukan. Padahal
menurut Pradopo (1989: 502), sebagai kebulatan struktur, unsur-unsur di dalam
karya sastra itu tidak dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna. Untuk
sampai pada pengungkapan makna, perlu dipahami unsur-unsur yang berada di
luar karya sastra.
Hal itu telah mendorong munculnya pendekatan lain, karena dipicu oleh
ketidakpuasan pada pendekatan strukturalisme karena dipandang memiliki
kelemahan, antara lain: (1) belum memiliki syarat sebagai teori yang tepat dan
lengkap; (2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, harus dipahami
dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah; (3) karya sastra
dipisahkan dengan pembaca selaku pemberi makna; dan (4) analisis yang
menekankan otonomi akan menghilangkan konteks dan fungsinya, karena karya
25
sastra dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya (Teeuw,
2003: 115-116).
4.2 Pendekatan Resepsi
Resepsi adalah pendekatan dalam memahami karya sastra melalui
penerimaan pembaca, baik pembaca yang sezaman dengan penulis, maupun yang
berturut-turut ada sesudah masa penciptaannya (Teeuw, 2003: 269). Selden
(1986: 112-120) menjelaskan, bahwa dalam pendekatan resepsi dikenal beberapa
istilah pembacaan antara lain: concretization (Fellix Vodicka), horizon harapan
(Hans Robert Jausz), pembaca implisit (Wolfgang Izer), dan konvensi pembacaan
(Jonathan Culler). Vodicka menganggap bahwa dalam karya sastra ada ruang
kosong yang bebas dapat diisi sesuai dengan kondisi sosial pembacanya,
sedangkan Jausz memandang bahwa horizon harapan pembaca (horizon of
expectations) akan memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam
batin pembaca terhadap teks sastra yang dibacanya.
Usaha untuk memahami karya sastra akan tergantung pada pertanyaan
yang ditimbulkan oleh lingkungan budaya pembacanya. Menurut Izer resepsi
sastra hendaknya terfokus pada pembaca implisit bukan pembaca konkrit.
Pembaca implisit akan akan dapat menentukan sikapnya dalam menghadapi teks,
dan memungkinkan adanya komunikasi dengan teks yang dibacanya. Adapun
Culler, mengemukakan bahwa setiap pembaca akan memiliki penafsiran yang
berbeda terhadap karya sastra, namun bermacam-macam penafsiran itu harus
diterangkan oleh suatu teori sastra. Meskipun penafsirannya berbeda, pembaca
tetap mengikuti perangkat konvensi penafsiran sastra yang sama.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan resepsi
memiliki garis besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara teks sastra
dan bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkritan makna teks dilakukan
melalui tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi
pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam
memahami keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui
26
kesan, pembaca dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang
dibacanya.
5. Pembelajaran Sastra dalam Paradigma KBK
Proses interaksi komunikasi antara dua pihak sebagai komponen
utamanya, yaitu pengajar dan pembelajar disebut pembelajaran. Menurut
Djojosuroto (2005: 63), pengajar adalah perancang, penggerak, dan fasilitator
yang berperan menafsirkan situasi sehingga sanggup melakukan modifikasi strategi
dan teknik pengelolaan pembelajaran secara tepat. Adapun pembelajar berperan
dalam menafsirkan petunjuk, melakukan antisipasi, dan aktif bertindak sesuai
dengan karakteristik yang dimilikinya.
Djojosuroto (2005: 64), menjelaskan bahwa proses pembelajaran akan
berlangsung apabila di dalamnya terdapat komponen-komponen berikut: (1)
tujuan; (2) pembelajar; (3) pengajar; (4) metode pembelajaran; (5) alat bantu
mengajar, dan (6) penilaian. Semua komponen merupakan rangkaian kegiatan
yang terarah dalam rangka mengantarkan pembelajar sampai pada tujuan yang
diinginkan.
Pembelajaran sastra menurut paradigma KBK menekankan pada
apresiasi sastra. Apresiasi, adalah tujuan yang berkaitan dengan pemahaman,
penghayatan, penikmatan, dan penghargaan siswa terhadap karya sastra. Untuk
melaksanakan pembelajaran sastra yang apresiatif, terdapat beberapa komponen
yang terlibat. Selain pengajar dan pembelajar sebagai subjeknya, komponen yang
terlibat adalah: (1) tujuan; (2) pendekatan; (3) metode; (4) materi; (5) media; dan
(6) penilaian atau evaluasi. Sesuai dengan judul, tulisan ini memfokukan
kajiannya pada metode pembelajaran sastra yang apresiartif.
KBK (Kurikulum 2004, 2003: 5), menegaskan bahwa tujuan
pembelajaran apresiasi sastra di SMA adalah dikuasainya kompetensi sastra,
yaitu kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra melalui kegiatan
mendengarkan, menonton, membaca, dan melisankan hasil sastra; mendikusikan,
memahami, dan menggunakan pengertian teknis konvensi kesusastraan dan
27
sejarah sastra, untuk menjelaskan, meresensi, menilai dan menganalisis hasil
sastra; dan memerankan drama, serta menulis puisi, cerpen, novel maupun drama.
Pembelajaran dalam KBK, menekankan pada penguasaan kompetensi, dan
keterampilan hidup (life skill), sebagai hasil samping pembelajaran. KBK
menghargai kemampuan dan bakat individual, serta perbedaan daya estetika
siswa. Karena itu pembelajaran berorientasi pada hasil belajar serta keberagaman
siswa. Implementasi dalam pembelajaran sastra berdasarkan KBK, dapat
ditempuh dengan menerapkan pendekatan konstruktif, integral, dan kontekstual.
KBK menuntut siswa mampu mendemonstrasikan penguasaannya terhadap
kompetensi dasar, yang berupa pengetahuan, keterampilan (life skill), dan sikap,
yang diharapkan nantinya akan bermanfaat sebagai bekal hidup dalam dunia
nyata. Berkaitan dengan hal itu, evaluasi yang dilaksanakan harus mencakup
semua aspek, meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Hal itu sejalan
dengan pendapat Surjaman dan Nurhadi (2005), yang telah diuraikan sebelumnya,
bahwa kegiatan pembelajaran apresiasi sastra meliputi: penghayatan, ekspresi,
dan kreasi (produktif), yang mengisyaratkan bahwa hasil pembelajaran sastra
harus melibatkan aktualisasi diri siswa. Sesuai dengan hal itu, evaluasi pada aspek
psikomotor menjadi sangat penting kedudukannya. Apresiasi sastra pada ranah
psikomotor dapat diukur melalui kegiatan melisankan hasil sastra, kegiatan
membaca indah (puisi, cerpen, novel) dengan ekspresi, lafal dan intonasi yang
tepat; memerankan tokoh dalam drama; menjadi sutradara dalam pentas drama;
dan kegiatan lain yang melibatkan gerak otot dalam mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilannya dalam bersastra.
Agar pembelajaran apresiasi sastra lebih membumi sesuai dengan paradigma
KBK, maka dapat dilaksanakan dengan model Rekreasi, Responsi, dan Redeskripsi.
Model tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam pembelajaran sastra yang
apresiatif sesuai dengan semangat KBK .
6. Model Rekreasi, Responsi, dan Redeskripsi dalam Pembelajaran Sastra
Satu hal yang harus dijadikan pegangan bagi setiap guru sastra adalah
bahwa apa pun pendekatan dan metodenya, yang penting bagaimana agar
28
pembelajaran sastra dapat membawa siswa termotivasi untuk “bercinta dengan
sastra”. Indikasinya adalah pada pembelajaran sastra dalam diri siswa timbul
“gairah” untuk “bercinta” dengan “sastra” kemudian benar-benar mau dan
mampu “bercinta dengan sastra” karena motivasi yang diciptakan sang guru
sastra. Jadi, tugas guru sastra dalam hal ini adalah menstimulasi, mengkondisikan,
menimbulkan motivasi dan rangsangan-rangsangan kepada siswa agar siswa mau
bercinta dengan sastra tadi dengan menciptakan suasana yang kondusif.
Banyak alternatif model pembelajaran sastra yang dapat dipilih demi
mencapai penguasaan kompetensi sastra di kalangan siswa yang terformulasi
secara kongkret dalam wujud siswa bergairah untuk bercinta dengan sastra.
Dalam tulisan ini ditawarkan salah satu alternatif yakni model Rekreasi-
Responsi-Redeskripsi dalam pembelajaran sastra.
Sejalan dengan pendekatan konstruktivisme, integral, dan kontekstual
yang disarankan dalam KBK, pembelajaran sastra dengan model Rekreasi-
Responsi-Redeskripsi berpijak pada teori Andragogi, yakni pendekatan
pembelajaran yang memusatkan perhatiannya pada peserta didik (siswa/
mahasiswa). Inti teori Andragogi yang dikembangkan oleh Knowles (1986: 15-
18) adalah teknologi keterlibatan diri (ego) peserta didik. Artinya, bahwa kunci
keberhasilan adalam proses pembelajaran terletak pada keterlibatan diri mereka
dalam proses pembelajaran itu. Teori Andragogi memandang peserta didik
sebagai orang dewasa yang mampu berpikir dan bependapat. Peserta didiklah
yang aktif belajar dan berpikir, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator,
motivator, penggerak, pembimbing, dan/ atau pemandu. Jadi, Andragogi
berkebalikan dengan pendekatan yang sering dilaksanakan selama ini yakni
pendekatan Pedagogi yang lebih memusatkan pembelajaran pada figur guru.
6.1 Rekreasi
Rekreasi dalam konteks pembelajaran sastra adalah siswa sebagai
apresiator melakukan proses menikmati, memahami, dan menghayati karya sastra
serta menemukan maknanya. Dalam Rekreasi itu siswa akan dapat menemukan
pemahaman akan pengertian dan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.
29
Berbagai nilai dan hikmah kehidupan dalam karya sastra akan dapat ditangkap
dan dinikmati oleh siswa dalam penjelajahan sastra melalui pengalaman
estetisnya. Pada gilirannya aktivitas siswa dalam menggauli karya sastra tersebut
akan dapat menambah khazanah kekayaan batin yang sangat berguna bagi mereka
dalam menapaki kehidupan yang luas dan kompleks.
Tentu saja nilai-nilai kehidupan itu juga sangat berperan dalam
membentuk kepribadian siswa sehingga ia akan dapat menjadi lebih berbudaya,
manusiawi (humanis), berbudi pekerti mulia (etika), memiliki kemampuan untuk
bersimpati dan berempati kepada sesama manusia yang lemah yang
membutuhkan pertolongan, serta memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang indah
(daya estetika). Pada gilirannya siswa yang terbiasa mengapresiasi karya sastra
niscaya akan lebih arif dalam menghadapi kehidupan yang heterogen dan sarat
nilai.
Sebagai ilustrasi, siswa diminta untuk membaca dan mengapresiasi karya
sastra. Genre novel misalnya: Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad
Tohari misalnya, atau Khutbah di Atas Bukit (1976) karya Kuntowijoyo,
Keluarga Permana (1976) karya Ramadhan K.H., Kemarau (1970) karya A.A.
Navis, Saman (1998) karya Ayu Utami, Para Priyayi (1991) karya Umar Kayam,
Perempuan Berkalung Sorban (2001) karya Abidah El-Khalieqy, Dadaisme
(2004) karya Dewi Sartika, kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1971) karya
A.A. Navis, Senyum Karyamin (1989) dan Nyanyian Malam (2000) karya Ahmad
Tohari, Kuli Kontrak (1982) dan Bromocorah (1983) karya Mochtar Lubis,
Godlop (1975) dan Adam Ma’rifat (1982) karya Danarto. Genre puisi misalnya:
kumpulan puisi Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), Ayat-ayat Api
(2000) karya Sapardi Djoko Damono, Sajak Ladang Jagung (1973), Tirani dan
Benteng (1993), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998) karya Taufik Ismail, O
Amuk Kapak (1981) karya Sutardji Calzoum Bachri, Wajah Kita (1981) dan
Dzikrullah (1990) karya Hamid Djabbar, Cermin (1975), Meditasi (1976), dan
Anak Laut Anak Angin (1998) karya Abdulhadi W.M. Genre drama misalnya:
Panji Koming (1984), Ken Arok (1985), Syeh Siti Jenar (1986), Damarwulan
(1995) karya Saini K.M., Kapai-kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), dan
30
Orkes Madun (1974) karya Arifin C. Noer, serta Kumpulan Drama Remaja
(1991) karya A. Rumadi (lihat Hasjim dkk., 2001: 30-45).
Sambil berekreasi dengan membaca berbagai karya sastra tersebut (dapat
dipilih sesuai dengan kondisi siswa), siswa akan dapat menemukan nilai-nilai
kehidupan dan kearifan yang sangat berharga baginya untuk memperkaya
khazanah batin, memperluas wawasan spiritual, dan mempertajam kepekaan
sosial serta kemanusiaannya. Jadi, dalam berekreasi dengan membaca karya
sastra selain siswa memperoleh hiburan atau kesenangan, mereka juga
memperoleh khazanah kekayaan batin yang tidak ditemukan pada teks lain seperti
artikel ilmiah, buku teks, dan berita dalam media massa.
6.2 Responsi
Responsi adalah berpijak pada pemahamannya atas karya sastra, siswa
melalui analisis yang intensif berusaha memberikan tanggapan (respons) terhadap
apa yang ditemukan dalam karya sastra yang diapresiasinya sesuai dengan
wawasan dan horizon harapannya. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan tanggapannya berdasarkan pengalaman hidupnya dan fenomena
kehidupan yang dilihatnya atau realitas sosial yang ada di lingkungannya.
Dengan daya kritis dan analisisnya yang dimiliki masing-masing siswa
memperoleh peluang sebebas-bebasnya untuk memberikan pandangan,
tanggapan, atau penerimaannya terhadap karya sastra yang dibacanya berdasarkan
kemampuan rasional, emosional, dan spiritualnya. Dengan demikian respons
siswa terhadap karya sastra benar-benar murni, alami (natural) bertolak dari
pandangan siswa yang jernih sesuai dengan tingkat kematangan psikologis dan
ketajaman intelektualnya.
Sekedar ilustrasi, misalnya siswa dihadapkan pada sebuah puisi pendek
yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (1976) karya Abdulhadi W.M. yang
sangat terkenal berikut ini.
“Tuhan, Kita Begitu Dekat”
Tuhan
Kita begitu dekat
31
Seperti api dengan poanas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.
Dapat dibayangkan ketika para siswa membaca lalu mengapresiasi puisi
tersebut dengan daya imajinasinya maka akan timbul respons berupa interpretasi
makna yang beraneka ragam dari mereka. Menghadapi kondisi demikian, sesuai
dengan hakikat karya sastra yang multiinterpretasi, tentu kita biarkan mereka
mengemukakan respons masing-masing secara bebas. Tugas guru sastra dalam
hal ini adalah membimbing mereka agar interpretasinya selalu didasarkan pada
argumentasi yang logis dan kritis sesuai dengan konvensi sastra. Di sinilah tentu
guru sastra dituntut memiliki kompetensi di bidang sastra agar dapat melaksanakn
tugasnya dengan baik dalam membimbing siswanya mengapresiasi karya sastra.
6.3 Redeskripsi
Redeskripsi adalah siswa menggambarkan kembali unsur-unsur (struktur)
karya sastra dan makna yang terkandung dalam karya sastra yang diapresiasinya
dengan menggunakan bahasanya sendiri. Setelah siswa melakukan rekreasi dan
response, siswa kemudian diberi kesempatan untuk menuliskan kembali apa yang
dinikmati, dihayati, dipahami, dan ditangkapnya dari karya sastra (puisi, fiksi:
cerita pendek dan novel, dan drama). Dalam hal ini siswa menjabarkan unsur-
unsur karya sastra sesuai dengan genre sastranya melalui pengungkapan yang
orisinal khas para siswa berdasarkan interpretasi dan pemahamannya atas karya
32
sastra yang dibacanya. Misalnya: rima, ritme, nada dan suasana, tema, dan
gaya bahasa (puisi); tokoh, alur, latar, tema, teknik penceritaan, sudut pandang,
dan gaya penulisan (fiksi); alur, latar, tema, tokoh, konflik antartokoh dan
pemecahannya (resolusi).
Melalui Redeskripsi ini siswa dengan bebas akan dapat mengekspresikan
apa yang ditangkapnya dalam karya sastra sesuai dengan latar pengetahuan,
perasaan, dan pengalaman hidupnya masing-masing. Oleh karena itu, dapat
dibayangkan dalam Redeskripsi tersebut jika dalam satu kelas terdapat 40 siswa
maka sangat mungkin akan lahir berbagai interpretasi makna karya sastra yang 40
macam juga. Inilah kondisi yang sesuai dengan hakikat sastra sebagai karya
imajinatif yang multitafsir atau multimakna. Tugas guru sastra dalam hal ini tentu
saja memberikan penjelasan-penjelasan agar interpretasi makna karya sastra yang
dilakukan siswa tidak menyimpang terlalu jauh. Artinya, dalam menginterpretasi
makna karya sastra, siswa harus memiliki argumentasi yang logis sesuai dengan
konvensi sastra.
Dalam aplikasi Redeskripsi, siswa dihadapkan pada karya sastra tertentu,
misalnya puisi karya Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Puisi Jalanan”. Siswa
diminta untuk menuliskan kembali tanggapannya terhadap puisi tersebut dan/ atau
mendeskripsikan interpretasi makna puisi itu berdasarkan resepsinya. Dengan
diberi kebebasan berekspresi maka dengan daya kreasi dan imajinasinya siswa
niscaya akan senang hati untuk mendeskripsikan resepsinya atas puisi itu. Dengan
latar belakang budaya, daya intelektual, horizon harapan, dan kepekaan masing-
masing, para siswa akan menuliskan tanggapannya secara bebas sehingga timbul
perasaan senang terhadap karya sastra. Pada gilirannya, mereka akan jatuh cinta
kepada sastra dan akan bergairah untuk “bercinta dengan sastra” kapan saja dan di
mana saja.
Berikut adalah “Puisi Jalanan” kaya Emha Ainun Nadjib yang dapat
dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sastra di SMA.
“Puisi Jalanan”
Karya Emha Ainun Nadjib
Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
33
Dari desah nafas para pengemis gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan
Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan
Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental
Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampat di trotoar
Yang terusir dan terkapar
Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi jaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal
Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku sebagai sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku
Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana.
Yogya, 1977.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah pemilihan materi ajar sebab
materi ajar memiliki peran besar dalam mempengaruhi dan bahkan menentukan
keberhasilan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Reeves (1972: 10),
bahwa daya edukasi sastra itu tidak terbatas jika pemilihan bahan atau materi
ajarnya dilakukan secara tepat, baik dari segi psikologis, lingkungan sosial
budaya, intelektual, dan bahasa siswa.
34
Dalam proses Redeskripsi ini tentu diperlukan kemampuan analitis dan
ekspresif para siswa. Hal ini sekaligus melatih siswa untuk berpikir kritis dan
analitis yang sekaligus mengembangkan daya intelektualnya yang sangat
diperlukan bagi kaum cendekiawan (bandingkan Aminuddin (Ed.), 1990: 209).
Hal yang dapat dilihat secara kongkret adalah siswa dapat menikmati
karya sastra yang indikasinya terlihat dalam kegairahannya membaca sastra
sehingga mampu memahami dan menemukan makna dalam proses apresiasinya.
Siswa selanjutnya berusaha merespons dengan memberikan tanggapan atau
resepsinya kepada karya sastra berdasarkan wawasan dan pengetahuannya.
Akhirnya, siswa dapat mendeskripsikan kembali makna yang terkandung dalam
karya sastra, di samping struktur karya sastra.
7. Purna Wacana
Mengakhiri pembahasan mengenai pembelajaran sastra yang apresiatif
kiranya perlu ditekankan bahwa guru sastra merupakan actor kunci dalam
keberhasilan pembelajaran apresiatif. Dalam hal ini bagaimana dalam
pembelajaran sastra guru sastra mampu mendorong siswa bergairah untuk
“bercinta dengan sastra”.
Model Rekreatif-Responsif-Redeskripsi yang mendasarkan pada
pendekatan Resepsi yang menerapkan pendekatan pendidikan Andragogi, kiranya
dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mewujudkan pembelajaran sastra yang
apresiatif sesuai dengan semangat dan paradigma KBK yang menekankan
pengembangan kompetensi siswa.
Pada akhirnya untuk dapat mewujudkan pengembangan apresiasi sastra
siswa melalui pembelajaran sastra maka semua itu terpulang kepada kompetensi
guru sastra dan komitmennya terhadap upaya peningkatan apresiasi sastra melalui
proses pembelajaran sastra di sekolah. Di sinilah diperlukan perubahan paradigma
di kalangan guru sastra dalam pembelajaran sastra di sekolah. Rasanya sulit untuk
mewujudkan proses pembelajaran sastra yang apresiatif tanpa adanya perubahan
paradigma tersebut.
35
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical
Tradition. New York: Oxford University Press.
Aminuddin (Ed.), 1990. Sekitar Masalah Sastra Beberapa Prinsip dan Model
Pengembangannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Al-Ma‟ruf, Ali Imron. 2004. “Pemilihan Bahan Ajar Sastra” Makalah dalam
Seminar Nasional Sastra dan Pembelajarannya di Sekolah pada tanggal 19
April 2004 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Artika, I Wayan. 2002. “Diskusi Pasca Membaca Karya: Catatan Pembelajaran
Sastra dari Sebuah SMU Negeri di Kota Singaraja, Bali Utara”. Makalah
pada PILNAS HISKI XIII 8-10 September 2002 di Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta.
Depdiknas Ditjen Dikdasmen. 2003. Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran, Gestal,
Strukrural, Strukturalisme Genetik, Semiotik, Resepsi Sastra, Analisis
Wacana. Bandung: Nuansa.
Frey, Nortthop. 1974. The Educated Imagination. Bloomington dan London:
Indiana University Press.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotic. London: Methuen and Co.
Limited.
Hasjim, Nafron dkk. 2001. Pedoman Penyusunan Bahan Penyuluhan Sastra.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Ismail, Taufik. 2000. “Tentang Cara Menjadi Bangsa Rabun Membaca dan
Lumpuh Menulis Pula sehingga Jelas di Dunia Kita Pakar Terkemuka”,
dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Depdiknas.
_______. 2002. “Setelah Menguap dan Tertidur 45 Tahun” dalam Jabrohim dkk.
(Ed). 2002. Dinamika Global-Lokal dalam Perkembangan Sastra.
Yogyakarta: Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan
Indonesia XIII.
Knowles, Malcolm. 1986. The Modern Practice of Adult Education: Andragogy
versus Pedagogy. New York: Association Press.
Lazar, Gillian. 1993. Literature and Language Teaching, Answer Guide Teachers
and Trainers. United Kingdom: Cambridge University Press.
36
Meeker, Joseph W. 1972. The Comedy of Survival: Studies in Literary Ecology.
New
York: Charles Schribner‟s Sons.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1989. “Kritik Sastra Indonesia Modern Telaah dalam
Bidang Teoretis dan Kritik Terapan”. Disertasi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Reeves, James. 1972. Teaching Poetry. London: Heinemann.
Satoto, Soediro. 1998. “Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama „Orkes
Madun‟ Karya Arifin C. Noer”. Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa
Catatan”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah.
Magelang: Indonesiatera.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. The
Harvester Press: Sussex.
Suryaman, Maman dan Nurhadi, Felicia. 2005. Pedoman Review Buku Teks
Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
ooOoo
37