pemberian latihan fisik untuk mempercepat...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN LATIHAN FISIK UNTUK MEMPERCEPAT PEMULIHAN
PASIEN POST HISTEREKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. W DI INTENSIVE
CARE UNIT RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
VIRA TRI UTAMI
NIM. P.12118
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PEMBERIAN LATIHAN FISIK UNTUK MEMPERCEPAT PEMULIHAN
PASIEN POST HISTEREKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. W DI INTENSIVE
CARE UNIT RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
VIRA TRI UTAMI
NIM. P.12118
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Vira Tri Utami
NIM : P.12118
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Pemberian Latihan Fisik untuk Mempercepat Pemulihan
Pasien Post Histerektomi dengan General Anestesi pada
Asuhan Keperawatan Ny. W di Ruang Intensive Care
Unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan kekentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 23 Mei 2015
Yang Membuat pernyataan
Vira Tri Utami
NIM. P.12118
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : Vira Tri Utami
NIM : P.12118
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Pemberian Latihan Fisik untuk Mempercepat Pemulihan
Pasien Post Histerektomi dengan General Anestesi pada
Asuhan Keperawatan Ny. W di Ruang Intensive Care
Unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetepkan di : Surakarta
Hari/ Tanggal : Sabtu, 23 Mei 2015
Pembimbing : Ns. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., M.Kep. ( )
NIK. 201279102
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh:
Nama : Vira Tri Utami
NIM : P.12118
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Pemberian Latihan Fisik untuk Mempercepat Pemulihan
Pasien Post Histerektomi dengan General Anestesi pada
Asuhan Keperawatan Ny. W di Ruang Intensive Care
Unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/ tanggal : Rabu, 24 Juni 2015
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ns. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., M.Kep. ( )
NIK. 201279102
Penguji I : Ns. Atiek Murharyati, S.Kep., M.Kep. ( )
NIK. 200680021
Penguji II : Ns. S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep., M.Kep. ( )
NIK. 200984041
Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII Keperawatan
STIKES Kusuma Husada Surakarta
Ns. Atiek Murharyati, S.Kep., M.Kep.
NIK. 200680021
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Latihan Fisik untuk Mempercepat
Pemulihan Pasien Post Histerektomi dengan General Anestesi pada Asuhan
Keperawatan Ny. W di Ruang Intensive Care Unit RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Atiek Murharyati, S.Kep., M.Kep. selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan sekaligus penguji satu yang telah memberi kesempatan untuk
dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan mampu
memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan
serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini .
2. Ns. Meri Oktariani, S.Kep., M.Kep. selaku Sekertaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., M.Kep. selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
vi
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
4. Ns. S. Dwi Sulisetyowati, S.Kep., M.Kep. selaku penguji dua yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Rekan Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta seangkatan dan almamaterku tercinta Kususma Husada.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 23 Mei 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan penulisan ........................................................................... 6
C. Manfaat penulisan ......................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori ................................................................................ 8
1. Kanker ovarium ...................................................................... 8
2. Hiterektomi dan general anestesi ........................................... 16
3. Latihan fisik pasien post operasi ............................................ 18
B. Kerangka teori ............................................................................... 31
C. Kerangka konsep ........................................................................... 33
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset ...................................................................... 34
B. Tempat dan waktu ......................................................................... 34
C. Media dan alat ............................................................................... 34
D. Prosedur tindakan .......................................................................... 34
E. Alat ukur ........................................................................................ 37
viii
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas klien ................................................................................ 39
B. Pengkajian ..................................................................................... 39
C. Perumusan masalah keperawatan .................................................. 46
D. Perencanaan .................................................................................. 47
E. Implementasi ................................................................................. 49
F. Evaluasi ......................................................................................... 59
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ..................................................................................... 65
B. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................ 69
C. Perencanaan ................................................................................... 74
D. Implementasi ................................................................................. 75
E. Evaluasi ......................................................................................... 83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................... 85
B. Saran .............................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 2.1 Skala kekuatan otot .............................................................. 22
2. Tabel 3.1 Skala nyeri longitudinal ....................................................... 29
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 2.1 Skala FACES ................................................................. 29
2. Gambar 2.2 Skala identitas nyeri numeric ......................................... 30
3. Gambar 2.3 Kerangka teori ................................................................ 31
4. Gambar 2.4 Kerangka konsep ............................................................ 33
5. Gambar 4.1 Genogram ........................................................................ 41
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Asuhan keperawatan
Lampiran 2 Lembar Observasi
Lampiran 3 Lembar konsultasi
Lampiran 4 Loog book
Lampiran 5 Pendelegasian
Lampiran 6 Jurnal utama
Lampiran 7 Usulan judul aplikasi jurnal dalam pengelolaan asuhan
keperawatan pada klien
Lampiran 8 Daftar riwayat hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kanker adalah penyakit yang timbul akibat pertumbuhan
tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker,
sedangkan tumor adalah kondisi dimana pertumbuhan sel tidak normal
sehingga membentuk suatu lesi atau dalam banyak kasus, benjolan di
tubuh. Tumor terbagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor ganas.
Tumor jinak memiliki ciri-ciri, yaitu tumbuh secara terbatas, tidak
menyebar dan bila dioperasi, dapat dikeluarkan secara utuh sehingga dapat
sembuh sempurna, sedangkan tumor ganas memiliki ciri-ciri, yaitu dapat
menyusup ke jaringan sekitarnya, dan sel kanker dapat ditemukan pada
pertumbuhan tumor tersebut (Infodatin, 2015).
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian dari kanker alat
genital perempuan. Di USA sekitar 22.220 kasus baru didiagnosis setiap
tahun dan sekitar 16.210 kematian terjadi setiap tahun akibat penyakit ini.
Kanker ovarium 6% dari seluruh kanker pada perempuan dan penyakit ini
timbul 1 orang pada setiap 68 orang (Anwar Mochamad, dkk, 2011).
Menurut FIGO (Federasi Obstetri dan Ginekologi Sedunia) dalam
Widayawati Puji, dkk (2009), angka kematian mencapai 11,1%; 25,1%;
58,5%; dan 82,1% masing-masing untuk stadium I, II, III, dan IV.
Probabilitas terjadinya kanker ovarium meningkat dengan tajam pada
2
umur 45−54 tahun dan terus meningkat sepanjang sisa usia, paralel dengan
kadar hormon gonadotropin.
Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua
umur di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4% atau diperkirakan sekitar
347.792 orang (infodatin, 2015). Berdasarkan data dari Yayasan Kanker
Indonesia (YKI) dalam Widayawati puji, dkk (2009), jumlah kanker
ovarium menduduki peringkat ke-6 dari jenis kanker ginekologi. Di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta angka kejadian atau prevalensi dari kanker
ovarium dilakukan tindakakan histerektomi pada tahun 2013 ada 89 orang
dan pada tahun 2014 sebanyak 114 orang. Pada satu tahun terakhir
mengalami peningkatan. Menurut Redjeki Ike Sri (2013) dijelaskan bahwa
jumlah tindakan anestesi diseluruh dunia setiap tahunnya dapat mencapai
240 juta tindakan, 10% tindakan tersebut dilakukan pada pasien dengan
risiko tinggi dengan angka mortalitas mencapai 80%.
Kanker ovarium adalah kanker ginekologi. Mayoritas kanker
ovarium adalah jenis epithelial, kanker ovarium dapat juga berasal dari sel
lain yang terdapat di ovarium. Tumor ovarium yang berasal dari sel
germinal diklasifikasikan sebagai disgerminoma dan teratoma, sedangkan
tumor ovarium yang berasal dari folikel diklasifikasikan sebagai sex cord-
stromal tumor, terutama sel granulosa dan tumor yang berasal dari stroma
ovarium adalah sarkoma. (Aziz Farid, 2006). Pengobatan utama dari kaker
adalah operasi pengangkatan tumor primer dan metastasisnya.
3
Operasi atau pembedahan adalah semua tindak pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian
tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya
dilakukan dengan membuat sayatan (Sjamsuhidajat R. & Jong, 2005).
Intrabedah atau pembedahan atau tindakan pembedahan merupakan masa
pembedahan dimulai dimeja operasi dan berakhir diruang recovery room
atau ruang pulih (Riyadi Sujono & Harmoko, 2012).
Tindakan pembedahan berdasarkan faktor resikonya dibagi
menjadi pembedahan minor dan mayor. Pembedahan minor adalah
pembedahan yang dapat menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan
resiko kerusakan yang minim. Sedangkan pembedahan mayor sendiri
adalah pembedahan yang dapat menimbulkan trauma fisik yang luas dan
resiko kematiannya sangat serius, misalnya total abdominal histerektomy,
resekresi kolon dan lain-lain (Majid Abdul, dkk, 2011).
Pada penyakit kanker ovarium diperlukan pembedahan yaitu
histerektomi. Histerektomi adalah pengangkatan uterus melalui
pembedahan, paling umum dilakukan untuk keganasan dan kondisi bukan
keganasan tertentu (endometriosis/tumor), untuk mengontrol perdarahan
yang mengancam jiwa dan kejadian infeksi pelvis yang tak sembuh-
sembuh atau ruptur uterus yang tidak dapat diperbaiki (Marilyn E. &
Doengoes, 2000). Sebelum dilakukan pembedahan ada tindakan yang
paling penting dilakukan yaitu anestesi. Anestesi adalah hilangnya
4
sebagian atau seluruh semua bentuk sensasi yang disebabkan oleh patologi
pada sistem saraf (Grace A. Piere , 2007 ).
Setelah pembedahan, pasien mengalami kondisi lemah dan akan
sulit melakukan aktivitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain anestesi, dihambat oleh rasa nyeri terutama disekitar luka operasi,
selain itu juga pasien dibebani oleh balutan, bebat atau peralatan drainase
sehingga pasien sering kali tidak mampu untuk melakukan mobilisasi
(Burnner & Suddarth, 2002) dalam jurnal Naharani Pepin (2012).
Beberapa tujuan dari mobilisasi menurut Garrison (2004) dalam
Akhrita Zetri (2011) antara lain: mempertahankan fungsi tubuh,
memperlancar peredaran darah, membantu pernafasan menjadi lebih baik,
mempertahankan tonus otot, memperlancar eliminasi alvi dan urin,
mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal
atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian, memberi kesempatan
perawat dan pasien untuk berinteraksi atau komunikasi.
Kusmawan (2008) seperti dikutip Akhrita Zetri (2011),
menyatakan bahwa pergerakan akan mencegah kekakuan otot dan sendi
sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah,
memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja
fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat
penyembuhan pasien. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot
dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan
5
mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja
berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik.
Masa pulih sadar dimulai sejak pasien selesai di tangani secara
bedah, dibawa dalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar ke ruang
pemulihan, sampai ketika kesadarannya pulih sempurna dan pasien dapat
dipindahkan ke ruang rawat (Sjamsuhidajat R. & Jong, 2005). Upaya
perawat yang akan dilakukan untuk memulihkan pasien pasca general
anestesi yaitu mengajarkan mobilisasi dini atau latihan fisik. Mobilisasi
dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, latihan nafas dalam, dan batuk
efektif (Majid Abdul, dkk, 2011). Latihan fisik ini berguna untuk
memulihkan kesadaran pasien pasca general anestesi.
Latihan nafas dalam untuk meningkatkan ventilasi paru dan
oksigenasi darah, latihan batuk efektif untuk mengeluarkan lendir, serta
latihan gerak sendi agar tidak terjadi kekakuan pada sendi-sendi serta
mempercepat proses penyembuhan pasca operasi (Burnner & Suddarth,
2002) dalam Naharani Pepin (2012).
Berdasarkan studi kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
didapatkan hasil bahwa di rumah sakit tersebut belum ada ruang recovery
room, perawat belum pernah melakukan penatalaksanaan non farmakologi
misalnya latihan fisik, dan belum ada standart operating procedure latihan
fisik untuk mempercepat pemulihan pasien post histerektomi dengan
general anestesi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis
teratarik untuk memberikan tindakan keperawatan latihan fisik untuk
6
mempercepat pemulihan pasien post histerektomi dengan general anestesi
di ruang intensive care unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan tindakan latihan fisik terhadap pemulihan pasien
pasca general anestesi pada Ny. W dengan post histerektomi.
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien post
histerektomi.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
post histerektomi.
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien post
histerektomi.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien post
histerektomi.
e. Penulis mampu menganalisa hasil dari pemberian latihan fisik
terhadap pemulihan pasien pasca general anestesi pada Ny. W
dengan post histerektomi.
7
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi Rumah Sakit
Memberi bahan masukan agar tindakan pemberian latihan fisik untuk
mempercepat pemulihan pasien pasca general anestesi dapat dijadikan
SOP di Rumah Sakit.
2. Manfaat bagi tenaga kerja kesehatan
Menjadi referensi tindakan keperawatan bagi para perawat untuk
diaplikasikan di ruang pemulihan pasien post operasi dengan general
anestesi.
3. Manfaat bagi institusi pendidikan
Menjadi bahan kepustakaan dalam pemberian latihan fisik untuk
mempercepat pemulihan pasien pasca general anestesi.
4. Manfaat bagi mahasiswa
Menjadi tambahan informasi dalam memperoleh pengetahuan dan
pengembangan praktik keperawatan khususnya dalam bidang
pemulihan pasien pasca general anestesi.
5. Manfaat bagi masyarakat
Dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif latihan fisik yang
digunakan untuk pemulihan pasien pasca general anestesi dengan
menggunakan teknik non farmakologi.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORI
1. Kanker Ovarium
a. Definisi
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel
abnormal diubah oleh mutasi genetik dari DNA seluler. Sel
abnormal ini membentuk klon dan mulai berproliferasi secara
abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut (Smeltzer & Bare, 2006).
Kanker ovarium adalah kanker ginekologis yang paling
mematikan sebab pada umumnya sudah parah sebelum
terdeteksi. Tidak ada tes screening awal yang terbukti untuk
kanker ovarium. Tidak ada tanda-tanda awal yang pasti.
Beberapa wanita mengalami ketidaknyamanan pada abdomen
samar-samar dan bengkak (DiGuilio, et al, 2014).
b. Klasifikasi
Kanker ovarium dapat berkembang dari organ ovarium
yang berbeda-beda. Jenis yang paling umum adalah kanker
ovarium epithelia yang terjadi dilapisan permukaan ovarium.
Jenis lainnya dari kanker ovarium adalah germ cell tumors
(sel tumor germinal dan sex-cord stroma tumors (sel tumor
9
stroma). Tumor germinal terjadi di sel-sel yang bertanggung
jawab dalam memproduksi sel telur. Sedangkan sel tumor
stroma terjadi di sel-sel jaringan ikat ovarium yang juga dikenal
sebagai stroma (Salani & Bristow, 2011).
Klasifikasi menurut Aziz Farid, dkk (2006) ada tiga yaitu:
1) Kanker ovarium berasal dari jenis epitelial.
Hipotesis incesstant ovulation adalah teori yang
pertama kali diperkenalkan oleh Fathalla pada tahun 1972,
yang menyatakan bahwa pada saat ovulasi, terjadi
kerusakan pada sel-sel epitel ovarium. Untuk
penyembuhan luka yang sempurna diperlukan waktu. Jika
sebelum penyembuhan tercapai terjadi ovulasi atau trauma
baru, proses penyembuhan akan terganggu dan kacau
sehingga dapat menimbulkan proses transformasi menjadi
sel-sel tumor.
Tumor ovarium epithelial biasanya dibedakan atas
dua kelompok, yaitu tumor yang infasif dan borderline.
Kanker ovarium epithelial paling sering ditemukan pada
wanita pasca menopause. Tumor ovarium epithelial ini
menurut WHO diklasifikasikan menjadi delapan, yaitu
serous tumors, mucinous tumor, endometrioid tumors, clear
cell tumors, transitional cell tumors, squamous cell tumors,
mixed epithelial tumors, dan undifferentiated carcinoma.
10
Dari semua jenis kanker ovarium epithelial, kanker ovarium
jenis serosum lebih sering ditemukan daripada jenis
musinosum.
2) Kanker ovarium berasal dari sel germinal.
Tumor sel germinal berasal dari sel germinal
primordial ovarium. Tumor sel germinal ini dapat tumbuh
ekstra ganas seperti di mediastinum dan retroperitoneum.
Terjadinya keadaan ini dapat diterangkan dengan adanya
migrasi sel germinal dari yolk-sac bagian kaudal ke
mediastinum sebelum menetap di sex-cord dari gonad.
3) Kanker ovarium berasal dari sel folikel. Tumor ini berasal
dari sex-cord, stroma ovarium, atau mesenchine.
c. Etiologi
Seorang yang belum pernah punya anak atau mempunyai
hanya satu atau dua anak, memiliki resiko lebih besar
menderita kanker ovarium. Wanita dengan sejarah kanker
payudara, kolon, atau sejarah keluarga kanker ovarium
beresiko tinggi untuk kanker ovarium (DiGuilio, et al, 2014).
Menurut Rasjidi Imam (2009) etiologi dari kanker ovarium
adalah:
1) Faktor reproduksi
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak
reproduksi memiliki dampak terbesar pada penyakit ini,
11
paritas yang rendah dan infertilitas, menarche dini dan
menapouse yang terlambat meningkatkan resiko untuk
berkembang menjadi kanker ovarium. Peningkatan insiden
kanker ovarium pada wanita lajang, biarawati, dan wanita
nulipara menunjukan ovulasi yang teratur yang tidak
diselingi dengan kehamilan, meningkatkan predisposisi
wanita dapat mengidap keganasan.
2) Faktor hormonal
Penggunaan hormon estrogen pada terapi gejala
yang berhubungan dengan menopause berhubungan dengan
peningkatan resiko kanker ovarium baik dari insiden
maupun tingkat mortalitasnya. Peningkatan berat badan
juga memungkinkan terjadinya peningkatan body mass
index (BMI) saat remaja atau usia dewasa dapat
meningkatkan resiko, terutama pada masa premenopouse
secara spesifik dapat meningkatkan resiko mengidap kanker
ovarium.
3) Faktor genetik
Pada umumnya kanker ovarium epitel bersifat
sporadis. Familial atau pola herediter dilaporkan hanya 5-
10%. Riwayat keluarga maupun faktor penting dalam
memasukan apakah wanita memiliki resiko terkena kanker
ovarium.
12
4) Faktor lingkungan
Mengkonsumsi tinggi daging dapat meningkatkan
resiko seorang wanita mengidap kanker ovarium. Beberapa
penelitian juga menyatakan konsumsi tembakau
meningkatkan angka kejadian pada wanita untuk terjangkit
kanker ovarium.
d. Tanda dan Gejala
Menurut Norwits & Schorge (2008) di jelaskan ada
beberapa tanda dan gejala pada pasien kanker ovarium:
1) Penderita kanker ovarium seringkali melaporkan gejala
perut kembung, ukuran perut yang meningkat, dan
gangguan pada sistem kemih.
2) Cepat kenyang dan perubahan pola buang air besar atau
salah pencernaan merupakan keluhan yang sering
ditemukan pada penyakit tinggkat lanjut.
3) Penurunan berat badan yang bermakna tidak biasa terlihat.
Menurut Salani & Bristow (2011) gejala yang paling sering
terjadi pada pasien kanker ovarium adalah ukuran perut
meningkat, perut kembung, kelelahan, sakit perut, gangguan
pencernaan, sembelit, dan sering buang air kecil. Hampir
sepertiga wanita dilaporkan mengalami gejala-gejala ini selama
lebih dari enam bulan sebelum terdiagnosis.
13
Sebagian besar pasien tidak merasa ada keluhan (95%) dan
keluhan-keluhan yang timbul tidak spesifik seperti perut
membesar/ada perasaan tekanan, dyspareunia, berat badan
meningkat karena ada asites atau massa (Anwar, dkk, 2011).
Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan
gejala-gejala tidak khas. Bila penderita dalam usia
perimenopouse, keluhan yang biasa mucul adalah haid yang
tidak teratur. Bila massa tumor telah menekan kandung kemih
atau rektum, keluhan yang sering muncul adalah sering
berkemih dan konstipasi. Kadang-kadang gejala seperti distensi
perut sebelah bawah, rasa tertekan dan nyeri dapat pula
ditemukan. Pada stadium lanjut ini gejala-gejala yang
ditemukan umumnya berkaitan dengan adanya asites,
metastasis ke omentum (omental cake), atau metastasis ke usus
(Aziz Farid, dkk, 2006).
e. Patofisiologi
Di ovarium, setiap ovum dikelilingi oleh sel-sel penunjang
yang disebut sel granulosa. Sebuah ovum ditambah sel-sel
granulosa yang mengelilingnya disebut folikel. Pada siklus
menstruasi, pematangan dan pelepasan sebuah ovum yang
terjadi secara siklik. Siklus ini terdiri atas pertumbuhan folikel,
ovulasi ovum, dan perubahan-perubahan endometrium uterus.
Ada dua fase berbeda pada siklus menstuasi yaitu fase folikular
14
dan luteal. Selama fase folikular, folikel berkembang dan
mengeluarkan estrogen. Sel-sel endometrium uterus
berproduksi dan tumbuh. Selama fase luteal, progesterone
disekresikan oleh sel-sel folikel yang masih ada dan lapisan
uterus menjadi sangat tervaskularisasi dan sekretorik.
Kanker ovarium biasanya berasal dari sel epitel dan
berkaitan dengan pajanan estrogen seumur hidup. Pada anak
atau remaja, kanker ovarium dapat berkembang di sel-sel
germanativum (ova), yang mungkin berkaitan dengan dengan
predisposisi genetik. Kanker ovarium paling tinggi terjadi pada
wanita yang berkeluarga dekatnya mengidap kanker payudara
atau ovarium, meski resiko genetik yang teridentifikasi hanya
dijumpai pada 5% wanita yang mengidap kanker ovarium. Diet
tinggi lemak, kegemukan, dan tidak pernah mengandung
meningkatkan resiko kanker ovarium.
Pemakaian kontrasepsi oral, kehamilan, menyusui, dan
pada beberapa studi, ligase tuba (pemutusan tuba fallopi)
tampaknya bersifat protektif terhadap kanker ovarium. Olah
raga sedang dapat menurunkan resiko kanker ovarium, yang
berkaitan dengan penurunan kadar estrogen pada wanita.
Kanker ovarium biasanya asimtomatik sampai penyakit berada
dalam tahap lanjut. Gejala-gejala lanjut adalah pembengkakan
abdomen dan nyeri. Obstruksi saluran cerna dapat
15
menyebabkan muntah, konstipasi, atau diare dengan volume
sedikit (Corwin J. Elisabeth, 2009).
f. Penatalaksanaan
Pembedahan memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan kanker ovarium, terutama berkaitan dengan
penentuan diagnosis prabedah, perluasan penyakit (stadium),
disamping pengangkatan tumor. Untuk mendapatkan hasil
pengobatan yang lebih baik, dipelukan evaluasi stadium cermat
saat pembedahan (Rasjidi Imam, 2009).
Penatalaksanaan kanker ovarium sangat ditentukan oleh
stadium, derajat diferensiasi, fertilitas, dan keadaan umum
penderita. Pengobatan utama adalah operasi pengangkatan
tumor primer dan metastasisnya, dan bila perlu diberikan terapi
ajuvan seperti kemoterapi, radioterapi (intraperitonial
radiocolloid atau whole abdominal radiation), imunoterapi
atau terapi biologi, dan terapi hormon (Aziz Farid, dkk, 2006).
Menurt DiGuilio, et al (2007), penatalaksanaan yang perlu
dilakukan pada pasien yang mengidap kanker ovarium
tergantung pada fase saat diagnosis, fase operasi penting,
complete abdominal hysterectomy, dengan bilateral salpingo-
oophorectomy, omenectomy, dan node dissection. Dapat pula
dengan pengangkatan seluruh tumor yang terlihat dan
metastasis-debulking, kemoterapi, dan radiasi.
16
2. Histerektomi dan General Anestesi
Pembedahan pada kanker ovary yaitu histerektomi.
Histerektomi adalah operasi pengangkatan uterus dan serviks.
Prosedur ini dilakukan ada banyak kondisi selain kanker, termasuk
perdarahan uterus disfungsi, endometriosis, pertumbuhan
nonmlignan dalam uterus, serviks, dan adneksa, masalah-masalah
relaksasi dan prolapse pelvis, dan cedera pada uterus yang tidak
dapat diperbaiki. Kondisi keganasan atau malignansi membutuhkan
histerektomi abdomen total dan salpingo-ooferektomi bilateral
(pengangkatan tubafallopi dan ovarium) (Mutaqqin & Sari, 2009).
Histerektomi tipe abdominal yaitu: (1) Subtotal (parsial)
yang diangkat badan uterus, putung serviks disisakan, (2) Total
yang diangkat uterus dan serviks, (3) Total dengan kanker
salpingo-ooferektomi bilateral yang diangkat adalah uterus,
serviks, tuba fallopi, dan ovarium (Marilyn E. & Doengoes, 2000).
Tindakan preoperatif yang paling penting dan mendasar
untuk dapat dilakukan operasi sebelumnya harus dilakukan anestesi
atau pembiusan pada pasien. Anestesi adalah hilangnya sebagian
atau seluruh semua bentuk sensasi yang disebabkan oleh patologi
pada system saraf. Tujuan dan teknik dari anestesi umum yaitu
menginduksi hilangnya kesadaran dengan menggunakan obat
hipnotik yang dapat diberikan secara intravena (misalnya profol)
atau inhalasi (misalnya sevofluran) (Grace Pierce A., 2007).
17
Anestesi atau pembiuasan merupakan pembantu operasi
yang sangat penting karena tanpa anestesi tidaklah mungkin
dilakukan pembedahan. Macam anestesi ada dua, yaitu anestesi
lokal dan umum. Anestesi lokal (setempat) dibedakan lagi menurut
tempat yang diberikan obat anestesi, yaitu anestesi spinal, epidural,
paravertebral, blok cabang saraf, infiltrasi, dan permukaan kulit
(topikal) (Oswari E, 2000).
Obat untuk anestesi umum ada yang berupa gas dan ada
pula yang berupa cairan. Anestesi umum menyebabkan mati rasa
kerena obat masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat yang
tinggi. Bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk dianestesi
umum, maka dapat dilakukan anestesi regional. Anestesi regional
dapat dilakukan melalui: anestesi lumbal, peridural, blok, infiltrasi,
topical (Oswari E, 2000).
Secara umum, anestesi berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Sebagai contoh operasi akan menimbulkan luka insisi, saat
pasien sadar dari pengaruh anestesi maka akan merasakan perasaan
nyeri. Anestesi juga dapat mengiritasi jalan nafas, menimbulkan
hipersekresi kelenjar ludah, menyebabkan mual muntah (Majid
Abdul, dkk, 2011)
18
Relaksasi otot, yang dapat masuk kedalam rongga tubuh
melalui berbagai cara, sebagai contoh melalui depresi sentral dari
system saraf, dengan anestesi lokal saraf perifer, atau dengan
menghambat perbatasan neuromuskular. Setiap obat yang
menyebabkan otot berelaksasi dapat disebut sebagai relaksan otot.
Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (anestesi umum,
sedative, obat penenang, dan analgesic) dapat dimasukan kedalam
tubuh melalui beberapa cara (intravena, intramuskular, inhalasi,
oral, rektal, sublingual, dan transdermal).
Apapun cara pemberiaannya , semua obat anestesi masuk
ke dalam aliran darah, dan diangkut ke otak, tempat obat tersebut
menembus sawar otak melalui darah, dan memasuki sel khusus
pada sistem saraf pusat (SSP). Obat tersebut menimbulkan
pengaruh reversible yang khas. Keadaan teranestesi disebabkan
oleh suatu perubahan permeabilitas membrane sel otak, dan
mungkin adanya penyusupan pada oksigenasi, kadar ion hydrogen
intraseluler, dan atau pertukaran ion (boulton & blogg, 1994).
3. Latihan Fisik Pasien Post Operasi
a. Mobilisasi
Mobilisasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari
yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan
19
maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2006) dalam
Akhirta Zetri (2011).
Aktivitas adalah suatu bentuk energy atau kemampuan
bergerak pada seseorang secara bebas, mudah, dan teratur
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri maupun
dengan bantuan orang lain. Beberapa system tubuh yang
berperan dalam aktivitas seseorang : tulang, otot dan tendon,
ligament, sendi dan system saraf (Riyadi & Harmoko, 2012).
Mobilisasi dini menurut Carpenito (2000) dalam Akhirta
Zetri (2011) adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian
sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk
mempertahankan fungsi fisiologis.
Dalam proses pemulihan pasien post operasi, mobilisasi
dini sangat dianjurkan agar pasien cepat pulih. Biasanya pasien
post operasi akan diajarkan latihan fisik yang diberikan pada
yaitu latihan nafas, latihan batuk efektif, latihan gerak sendi
(Naharani Pepin, dkk, 2013).
b. Range of Motion
Mobilisasi dini dapat berupa latihan fisik yang membantu
pasien agar kembali beraktivitas secara bertahap adalah latihan
gerak sendi untuk membantu proses penyembuhan. Latihan
gerak sendi tersebut berupa latihan rentang gerak (ROM) untuk
mengajarkan pasien aktivitas mandiri ataupun dengan bantuan
20
orang lain secara bertahap maka setelah pasien pulih, pasien
akan dipindahkan ke ruangan.
Range of motion adalah latihan gerak sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot,
dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya
sesuai gerakan normal baik secara aktif maupun pasif (potter &
perry, 2006) dalam Fitria & Maimurahman (2013).
Range of Motion (ROM) adalah latihan gerak sendi untuk
meningkatkan aliran darah perifer dan mencegah kekakuan
otot / sendi. Tujuannya adalah : memperbaiki dan mencegah
kekakuan otot, memelihara / meningkatkan fleksibilitas sendi,
memelihara / meningkatkan pertumbuhan tulang dan
mencegah kontraktur. Latihan gerak sendi dapat segera
dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot dan ketahanan
otot (endurance) sehingga memperlancar aliran darah serta
suplai oksigen untuk jaringan sehingga akan mempercepat
proses penyembuhan (Eldawati, 2011).
Latihan sendi merupakan hal yang sangat penting bagi
pasien setelah operasi, agar pasien dapat segera melakukan
berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat
proses penyembuhan. Banyak pasien yang tidak berani
menggerakan tubuh karena takut jahitan operasi akan robek
atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini
21
keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera
bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang kerja usus
(peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut atau
flatus.
Keuntungan lain dari latihan rentang gerak sendi (ROM) ini
adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran
pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya
dekubitus, sedangkan tujuan lainnya adalah memperlancar
sirkulasi perifer untuk mencegah statis vena dan menunjang
fungsi pernafasan optimal. Dengan bergerak, hal ini akan
mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga dapat mengurangi
nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki
pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja
fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan
mempercepat penyembuhan luka.
Menggerakan badan atau melatih kembali otot-otot dan
sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan
mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu
saja berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik (Majid
Abdul , dkk, 2011).
22
1) Klasifikasi Latihan ROM meliputi:
a) Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang
dilakukan pasien dengan bantuan perawat setiap
gerakan
b) Latihan ROM aktif adalah latihan ROM yang
dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan perawat di
setiap gerakan yang dilakukan.
2) Tujuan ROM adalah mempertahankan atau memelihara
kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk
(Fitria & Maimurahman, 2013)
Dalam melakukan penilaian kekuatan otot setelah
dilakukan ROM terdapat alat ukur yaitu skala kekuatan
otot (Nurarif & kusuma, 2012).
Skala Kekuatan (%) Deskripsi
0 0 Kontraksi otot tidak terdeteksi
1 10 Kejapan yang hamper tidak terdeteksi atay
bekas kontraksi dengan observasi atau
palpasi
2 25 Pergerakan aktif bagian tubuh dengan
mengeliminasi gravitasi
3 50 Pergerakan aktif hanya melawan gravitasi
dan tidak melawan tahanan
4 75 Pergerajan aktif melawan gravitasi dan
sedikit tahanan
23
5 100 Pergerakan aktif melawan tahanan penuh
tanpa adanya kelelahan otot (kekuatan otot
normal
Tabel 2.1
Sumber: Hardhi Kusuma & Amin Huda Nurarif, 2012 “
Handbook for Health Student” Yogyakarta: Mediaction
Publishing.
3) Standart operating procedure Range of Motion
a. Jaga privasi pasien.
b. Mengatur pakaian yang dapat menyebabkan hambatan
pada gerakan.
c. Angkat selimut jika diperlukan.
d. Anjurkan pasien berbaring dalam posisi nyaman.
e. Lakukan fleksi ekstensi (gerakan menekuk dan
meluruskan persendian)
f. Lakukan pronasi supinasi (gerakan memutar ke bawah
dan memutar keatas)
g. Lakukan abduksi dan adduksi (gerakan satu anggota
tubuh kea rah mendekati dan menjauhi aksis tubuh)
h. Lakukan rotasi (gerakan memutar atau menggerakan
satu bagian melingkasi aksis tubuh)
i. Lakukan inversi dan eversi (gerakan keluar dan
kedalam) (Saratun, dkk, 2008).
24
c. Latihan batuk efektif
Pasien yang menjalankan operasi dengan menggunakan
anesthesi umum dapat menyebabkan gangguan pada saluran
napas karena adanya akumulasi sekret. Klien yang megalami
operasi dengan anestesi general, akan mengelami pemasangan
alat bantu nafas selama kondisi teranestesi. Sehingga ketika
sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan akibat banyaknya lendir kental di tenggorokan.
Latihan batuk efektif ini sangat bermanfaat bagi klien yang
akan menjalani operasi menggunakan anasthesi umum, karena
tehnik batuk efektif ini dapat membantu mengeluarkan sekret
kental yang mengganggu saluran pernapasan (Majid Abdul,
dkk, 2011).
Pengaruh prosedur general anestesi akan menggakibatkan
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh kebelakang atau
spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan tejadi mual
muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih
dalam dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat
penurunan ventilasi pada pasien (Naharani pepin, dkk, 2013)
Penelitian Patrick Pasquina tahun 2006 yang berjudul
Respiratory Physiotherapy To Prevent Pulmonary
Complications After Abdominal Surgery dalam Suparni & Ari
(2013). menyatakan dengan melakukan fisioterapi pernapasan
25
latihan napas dalam dan batuk efektif sebelum operasi
diperoleh hasil dapat menurunkan kejadian komplikasi paru-
paru setelah dilakukan pembedahan abdomen.
Batuk adalah proteksi utama terhadap akumulasi secret
dalam bronki dan bronkiolus. Pembentukan sputum adalah
reaksi paru terhadap setiap iritan yang kambuh secara konstan,
tindakan yang bias dilakukan untuk mobilisasi sputum secara
mandiri yaitu dengan terapi batuk efektif menurut Smeltzer &
Bare, 2002 dalam Fauzi Farida Luthfi (2014).
Menurut (Potter & perry, 2005) dalam Fauzi Farida Luthfi
(2014) menyatakan bahwa batuk efektif adalah suatu metode
betuk dengan benar dan pasien dapat mengeluarkan dahak
dengan maksimal. Namun latihan ini hanya bias dilakukan
pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (kooperatif).
Tujuan batuk efektif adalah memobilisasi sekret dan
mencegah efek samping dari penumpukan sekret, memobilisasi
sekret dan mengeluarkannya,meningkatkan ventilasi paru,
mencegah komplikasi pernafasan atelektasis dan pneumonia,
batuk efektif dapat mengakibatkan efek yang merugikan pasien
dengan penyakit paru-paru kronis berat, seperti kolaps saluran
pernafasan, ruptur dinding alveoli dan pneumothoraks menurut
Mutaqqin, (2008) seperti dikutip Fauzi Farida Luthfi (2014).
26
Menurut Riyadi & Harmoko (2012) Standart operating
procedur seperti berikut:
1) Pasien dalam posisi semifowler, dijalinkan jari jari tangan
dan letakan melintang diatas insisi sebagai bebat ketika
batuk.
2) Anjurkan pasien untuk nafas dalam (3-5 detik).
3) Kemudian segera lakukan batuk spontan, dan pastikan
rongga pernafasan terbuka.
4) Ulangi lagi sesuai kebutuhan.
5) Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bias
menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau
gulungan handuk yang lembut untuk menahan daerah
operasi dengan hati-hati sehingga dapat mengurangi
guncangan tubuh saat batuk.
Sedangkan menurut Naharani Pepin, dkk, (2013)
mengatakan bahwa latihan batuk efektif berguna untuk
mengeluarkan lendir ditenggorokan pasien yang mengalami
operasi dengan anestesi umum, karena pemasangan alat bantu
nafas selama teranestesi, ketika pasien tersebut mulai sadar
pasti akan merasa tidak nyaman pada area tenggorokan dan
banyak lendir kental.
27
d. Latihan Nafas dalam
Latihan nafas dalam setelah operasi dilakukan untuk
mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat meningkatkan
kualitas tidur pasien. Selain itu teknik nafas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah
anestesi umum. ( Naharani Pepin, dkk, 2013).
Latihan nafas dalam ini juga dapat meningkatkan ventilasi
paru dan oksigenasi darah setelah teranestesi umum serta
mengurangi angka kejadian atelektasis pada pasien post operasi
(Majid Abdul, dkk, 2011). Nyeri adalah perasaan yang tidak
nyaman yang sangat subyektif dan hanya orang yang
mengalaminya yang dapat menjelaskan perasaan tersebut
(Mubarak & Chayatin, 2008).
Menurut Smeltzer & Barre (2012) dalam Satriya (2014)
Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan
intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu:
1) Dengan merelaksasikan otot skelet yang mengalamu
spasme yang disebabkan insisi (trauma) jaringan saat
pembedahan.
2) Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke
daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat
proses penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan
sensasi nyeri karena post bedah merupakan nyeri yang
28
disebabkan karena trauma jaringan, oleh karena itu jika
trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan hilang
3) Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu
merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen
yaitu endorphin dan enkefalin.
Hayward (1975) dalam Mubarak & chayatin (2008)
mengembangkan sebuah alat ukur nyeri (painometer) dengan
skala longitudinal yang pada salah satu ujungnya tercantum
nilai 0 (untuk keadaan tanpa nyeri) dan ujung lainnya nilai 10 (
untuk kondisi nyeri paling hebat). Untuk mengukurnya,
penderita memilih salah satu bilangan yang menurutnya paling
menggambarkan pengalaman nyeri yang terakhir kali ia
rasakan, dan nilai dapat dicatat pada sebuah grafik yang dibuat
menurut waktu.
Ada pula skala wajah, yakni Wong-Baker FACES Rating
Scale yang ditunjukan untuk klien yang tidak mampu
menyatakan intensitas nyerinya dengan angka. Biasanya skala
tersebut digunakan untuk mengkaji nyeri pada anak. Mnemonic
PQRST dibuat untuk membantu pemeriksaan terhadap nyeri
dan pengguanaannya secara rutin akan memudahkan
pemeriksaan. Adapaun PQRST dapat dijabarkan sebagai
berikut :
29
P: Provoking atau factor yang memicu timbulnya nyeri
Q: Quality atau kualitas nyeri (misal tumpul,tajam)
R: Region atau daerah yaitu daerah perjalanna ke daerah lain
S: Saverity atau keganasan, yaitu intensitas
T: Time atau waktu, yaitu serangan, lamanya, kekerapan, dan
sebab.
Macam-macam skala nyeri :
1) Skala Nyeri Longitudinal
skala Keteranagan
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan
4-6 Nyeri sedang
7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas
yang biasa dilakukan
10 Sangat nyeri dan tidak bias dikontrol
Tabel 2.2
2) Skala FACES
Gambar 2.1
Keterangan:
a) Wajah nol: tidak nyeri
b) Wajah pertama: sedikit sakit
c) Wajah kedua: sedikit lebih sakit
d) Wajah ketiga: lebih sakit lagi
30
e) Wajah keempat: sangat sakit
f) Wajah kelima: sakit hebat.
Sumber: Wahit Iqbal Mubarak & Nurul Chayatin, 2008, “
Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori & Aplikasi dalam
Praktik” Jakarta : EGC
3) Skala identitas nyeri numeric
Gambar 2.2
Sumber: Smaltzer & Bare, 2002, “ Burnner & Suddarth
‘stextbook of Medicalsurgical Nursing.” Philadelpia : lipincott
Selain itu pasien yang sudah mulai sadar dari pengaruh
anestesi diharapkan mempraktekkan latihan nafas dalam secara
efektif dan benar sesuai kondisi dan kebutuhan pasien yang
berguna untuk meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi
darah setelah anestesi umum (Naharani Pepin, dkk, 2013).
31
B. KERANGKA TEORI
Massa di
adneksa
Singkirkan semua
kelainan non
ginekologi, misal
dengan barium edema
premenopouse Pasca menopause dengan
peningkatan CA 125 dan
/ ada massa kompleks
pada pemeriksaan USG <8cm >8cm
Pemeriksaan
USG
Tumor kistik
Observasi
selama 2 bulan
Tumor padat
Tumor tumbuh
progresif
Histerektomi
General anestesi
Terpasang alat
bantu nafas
Lendir kental
Luka insisi Relaksasi otot
Kontraktur sendi
32
Gambar 2.3
Sumber: Farid Aziz, dkk (2006), Majid Abdul (2011), boulton & blog (1994),
Naharani Pepin (2012), Smeltzer & Barre (2012) dalam Satriya (2014), dan
Eldawati (2012).
Nyeri Bersihan jalan nafas
tidak efektif
Hambatan
mobilitas fisik
Latihan fisik
Batuk efektif Relaksasi nafas
dalam
ROM pasif aktif
Menegluarkan
secret kental
Aliran darah
meningkat ke daerah
trauma (insisi)
Ventilasai paru
meniningkat
Tubuh melepaskan
opoid endogen
Nyeri berkurang
Pasien pulih
mencegah kekakuan otot
dan sendi.
mengurangi nyeri,
menjamin kelancaran
peredaran darah,
memperbaiki pengaturan
metabolisme tubuh,
mengembalikan kerja
fisiologis organ vital,
meningkatkan kekuatan
otot
33
C. KERANGKA KONSEP
Berdasarkan referensi diatas dapat disimpulkan dan di dapatkan kerangka
konsep sebagai berikut:
Gambar 2.4
Sumber: Majid abdul (2011), Smeltzer & Barre (2012) dalam Satriya
(2014), dan Naharani Pepin (2012).
1. Bersihan jalan
nafas
2. Nyeri
3. Hambatan
mobilitas fisik
1. Batuk efektif
2. Latihan nafas dalam
3. ROM pasif aktif
pasien pulih pasca general
anestesi
34
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Sempel dalam aplikasi riset latihan fisik untuk mempercepat pemulihan
pasien pasca general anestesi adalah Ny. W dengan diagnosa medis kanker
ovarium yang dilakukan tindakan histerektomi.
B. Tempat dan Waktu
1. Tempat : Aplikasi pemberian latihan pemberian latihan fisik terhadap
pemulihan pasien post histerektomi dengan general anestesi di
Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
2. Waktu : waktu dalam aplikasi latihan fisik ini selama 3 hari pada
tanggal 16 Maret 2015 sampai 18 Maret 2015.
C. Media dan Alat
Media dan alat yang digunakan adalah bengkok dan tisu.
D. Prosedur dan Tindakan:
1. Latihan nafas dalam
a) Pasien tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk
(semifowler), perut tidak boleh tegang
b) Letakan tangan diatas perut
c) Hirup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan hidung
dalam kondisi mulut tertutup rapat.
35
d) Tahan nafas beberapa saat (3-5 detik) kemudian secara perlahan-
lahan, udara dikeluarkan atau dihembuskan sedikit demi sedikit
dari mulut.
e) Lakukan hal ini berulang kali (15 kali).
Lakukan saat pasien mulai sadar dan terbangun dari pengaruh
anestesi dan lakukan saat nyeri muncul. Latihan ini dapat
meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi
umum, mengurangi nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur
pasien.
2. Latihan batuk efektif
6) Pasien dalam posisi semifowler, dijalinkan jari jari tangan dan
letakan melintang diatas insisi sebagai bebat ketika batuk.
7) Anjurkan pasien untuk nafas dalam (3-5 detik).
8) Kemudian segera lakukan batuk spontan, dan pastikan rongga
pernafasan terbuka.
9) Ulangi lagi sesuai kebutuhan.
10) Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa
menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan
handuk yang lembut untuk menahan daerah operasi dengan hati-
hati sehingga dapat mengurangi guncangan tubuh saat batuk.
Latihan batuk efektif ini sangat bermanfaat bagi pasien setelah
operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret pada pasien yang telah
terpasang ventilator pasca general anestesi.
36
3. Latihan rentang gerak sendi
Latihan perpindahan posisi dan ROM pada awalnya dilakukan
secara pasif namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan
tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri. Pada saat
awal, pergerakan fisik bisa dilakukan diatas tempat tidur dengan
menggerakan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan,
mengontraksikan otot-otot dalam keadaan statis ,atupun dinamis
termasuk juga menggerakan badan lainnya, miring ke kanan dan kiri.
Pada 12 atau 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan
sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan
atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakan. Di hari kedua pasca
operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat dikamar atau bangsal dan
tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya sudah bisa berdiri
dan berjalan disekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan
sendiri ketoilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap
terjaga. Latihan ini dapat diperlukan untuk mempercepat proses
penyembuhan. (abdul majid, dkk, 2011).
Standart operating procedure Range of Motion:
a. Jaga privasi pasien.
b. Mengatur pakaian yang dapat menyebabkan hambatan pada
gerakan.
c. Angkat selimut jika diperlukan.
37
d. Anjurkan pasien berbaring dalam posisi nyaman.
e. Lakukan fleksi ekstensi (gerakan menekuk dan meluruskan
persendian).
f. Lakukan pronasi supinasi (gerakan memutar ke bawah dan
memutar keatas).
g. Lakukan abduksi dan adduksi (gerakan satu anggota tubuh kea rah
mendekati dan menjauhi aksis tubuh).
h. Lakukan rotasi (gerakan memutar atau menggerakan satu bagian
melingkasi aksis tubuh).
i. Lakukan inversi dan eversi (gerakan keluar dan kedalam) (Saratun,
dkk, 2008).
E. Alat Ukur Evaluasi
Alat ukur yang digunakan mengguanaka alat ukur pemulihan dengan
Aldret Skor.
1. Pergerakan anggota badan
a. Gerak bertujuan 2
b. Gerak tak bertujuan 1
c. Diam 0
2. Pernafasan
a. Nafas baik, adekuat, menangis 2
b. Nafas depresi ringan 1
c. Nafas perlu dibantu 0
38
3. Sirkulasi
a. Tekanan darah berubah dibawah 20% pre operasi 2
b. Tekanan darah berubah 20%-50% pre operasi 1
c. Tekanan darah berubah diatas 50% pre operasi 0
4. Warna kulit
a. Merah jambu 2
b. Pucat 1
c. Sianosis 0
5. Kesadaran
a. Sadar penuh 2
b. Bereaksi 1
c. Tak bereaksi 0
Catatan:
1. Nilia 9 atau lebih boleh pulang ke rumah dengan kondisi
pembedahan/tindakan memungkinkan
2. Nilai 7 ke ruang perawatan bila nilai pernafasan 2
3. Nilai 5 ke ICU (Majid Abdul, 2011).
39
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Pasien bernama Ny.W, berjenis kelamin perempuan dengan umur
53 tahun, berstatus kawin, beragama islam dan tidak bekerja atau sebagai
ibu rumah tangga, Ny.W bertempat tinggal di daerah Ngemplak, Boyolali.
Saat Ny.W dirawat di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang bertanggung
jawab adalah Tn.T, beliau merupakan suami dari Ny. W, Tn.T berumur 56
tahun dan bekerja sebagai pegawai swasta, Tn.T bertempat tinggal di
Ngemplak, Boyolali.
B. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan penulis pada Ny.W dilakukan pada
tanggal 16 Maret 2015 jam 20.00 WIB dengan metode allowanamnesa dan
autoanamnesa. Ny.W datang ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta tanggal 07
Maret 2015 diantarkan oleh keluarga karena perut Ny.W semakin hari
terus membesar sejak satu bulan yang lalu, perut sakit, tidak bisa bangun
dari tempat tidur, kemudian dibawa ke puskesmas tapi tidak sembuh,
kemudian keluarga memutuskan langsung membawa ke RSUD Dr.
Moewardi Surakarta karena tidak tega dengan keadaan Ny. W. Setelah itu
di IGD mendapat terapi oksigen 3 liter per menit, D5% 16 tetes per menit,
Bplex 3x1, injeksi furosemide 20mg/8jam. Pindah ke Mawar III pada
40
tanggal 9 Maret 2015, dan dianjurkan oleh dokter untuk operasi.
Kemudian tanggal 16 Maret 2015 jam 15.00 WIB dioperasi di IBS.
tekanan darah sebelum dilakukan operasi 150/90 mmHg, suhu 36,9o
C, RR
22x/menit, HR 94 x/menit. Ny.W setelah di operasi tidak kunjung sadar
kemudian dipindahkan ke ICU jam 19.56 WIB diberi terapi infus
RL+aminofluid 20 tetes per menit.
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu, anak pasien mengatakan
bahwa ibunya (Ny.W) baru kali ini di operasi dan pada pengkajian
riwayat kesehatan keluarga, anak pasien mengatakan tidak ada penyakit
keturunan, bahkan baru ibunya (Ny.W) yang mengidap penyakit tumor
rahim. Pasien merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Pasien
tinggal satu rumah dengan suami dan kedua anaknya, anak pertama laki-
laki dan anak kedua perempuan. Kedua orang tua dan mertua dari pasien
sudah meninggal.
Genogram :
Ny. W
53 th
41
Keterangan:
= laki-laki
= perempuan
= tinggal satu rumah
= Ny. W
= meninggal
Gambar 4.1
Pada riwayat kesehatan lingkungan, didapatkan hasil anak pasien
mengatakan lingkungan rumah bersih, sejuk, dekat sawah, dan jauh dari
polusi udara. Data obyektif yang didapatkan dari pengkajian pola primer
adalah jalan nafas terpasang endotrakeal tube, mode ventilator spontan,
RR 27 x/menit, SPO2 95%, nadi 100 x/menit, tekanan darah 140/80
mmHg, CRT > 2 detik, Suhu 35,9oC. Kesadaran pasien sopor, dari
pengkajian didapatkan hasil E2 V2 M4, total GCS 8. Pasien terpasang
selimut, memakai baju dari ruang ICU, terpasang alat besite monitor,
terpasang syringe pump, kateter, infus pump di tangan kiri.
Anak pasien mengatakan jika ada anggota keluarganya yang sakit
langsung dibawa ke rumah sakit atau ke pelayanan kesehatan terdekat.
Sebelum sakit, anak pasien mengatakan ibunya (Ny.W) makan 1 porsi
habis, tidak ada keluhan setelah makan, dalam sehari makan 3x sehari dan
jenis makanan yang dimakan adalah nasi, sayur,lauk pauk, buah, 1 gelas
teh, serta air putih sebanyak 8 gelas. Selama sakit, setelah operasi
dianjurkan oleh dokter untuk puasa. Berat badan pasien sebelum dan
42
setelah sakit tidak mengalami penurunan sebanyak 0,5 kg. BB sebelum
sakit 59kg, sedangkan selama sakit menjadi 58,5kg dan TB 160cm. A.
IMT selama sakit = 22,85, B. HB = 13,4g/dl, HT= 38%, C. pasien tampak
lemah, terpasang ventilator, dalam pengaruh anestesi, CRT > 2 detik, D.
pasien post operasi dipuasakan.
Pada pola eliminisi didapatkan hasil dari anamnesa dengan anak
pasien yang mengatakan sebelum sakit tidak ada keluhan dan gangguan
saat BAB dan BAK. Saat sakit pasien terpasang selang kateter, 600cc/8
jam, warna kuning, belum BAB pasca operasi. Pada pola aktivitas dan
latihan didapatkan hasil dari anamnesa pada anaknya bahwa ibunya (Ny.
W) sebelum sakit pasien makan, minum, toileting, mobilitas ditempat
tidur, berpakaian, dan ambulasi ROM dapat melakukan secara mandiri,
namun saat berpindah dari tempat tidur atau tempat duduk ke posisi berdiri
perlu bantuan dari orang lain. Sedangkan saat sakit makan dibantu alat
atau memakai selang makan dari hidung, dan kegiatan seperti toileting,
mobilitas ditempat tidur, berpakaian, berpindah, serta ambulasi ROM
tergantung total.
Pada pola istirahat tidur pasien sebelum sakit, tidur siang kurang
lebih 1 jam, sedangkan pada malam hari selama 8 jam dan tidak
mengkonsumsi obat tidur. Saat sakit pasien setelah operasi masih tertidur
terus karena pengaruh obat anestesi. Pada pola kognitif perceptual selama
sakit anak pasien mengatakan bahwa ibunya tidak mengalami gangguan
pada kelima pancaindranya. Selama sakit dalam pengkajian hari pertama
43
didapatkan data obyektif yaitu pasien tampak menarik tagannya saat diberi
rangsang nyeri (dicubit), pasien belum sadar, nilai GCS 8, kesadaran
sopor. Pada hari kedua didapatkan data subyektif yaitu pasien mengatakan
nyeri perut diantara pusar dan kelamin karena operasi tumor, nyeri senut-
senut, skala 4 dan nyeri hilang timbul.
Pada pola persepsi konsep diri, data dari gambaran diri, ideal diri,
harga diri sebelum dan selama sakit tidak dapat dikaji karena pasien belum
sadar. Namun peran diri dan identitas diri dapat terkaji karena bisa
dilakukan pada anak pasien, pengkajian ini masuk dalam data sebelum dan
selama sakit. Hasil dari data peran diri adalah anak pasien mengatakan
bahwa ibunya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Hasil identitas
diri, anak pasien mengatakan Ny. W adalah seorang istri, ibu dari dua anak
dan sebagai ibu rumah tangga.
Anak pasien mengatakan bahwa hubungan ibunya dengan keluarga
dan tetangganya sangat harmonis. Anak pasien mengatakan jika ada
masalah dalam keluarganya selalu dibicarakan bersama keluarga. Anak
pasien mengatakan sebelum sakit, ibunya selalu melaksanakan sholat 5
waktu dan mengaji, selama sakit pasien tidak dapat mengerjakan sholat
karena masih dalam proses pemantauan pemulihan keadaan umum.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh penulis didapatkan hasil ada
yang mengalami perubahan namun hanya beberapa. Kesadaran pasien
supor, E2V2M4 , total GCS=8. Sedangkan tanda-tanda vital diperoleh
tekanan darah 140/90 mmHg, HR=100 x/menit, teratur, dan teraba kuat.
44
Respirasi pasien pada bedsite monitor menunjukan frekuensi 27 x/menit,
teratur, pasien terpasang ventilator, untuk suhu tubuh pasien 35,9oC.
Observasi saat dilakukan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh
penulis pada pasien didapatkan data bentuk kepala mesochepal, kulit
kepala bersih, tidak ada ketombe, tidak ada kutu, sedikit beruban. Tidak
ada edema pada palbebra, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik,
pupil isokor, diameter 2 mm, reflek cahaya baik, dan tidak menggunakan
alat bantu lihat. Hidung bersih, tidak ada secret, mulut terpasang
endotrakeal tube, gigi tidak terkaji. Pada saat pemeriksaan telingga bersih,
tidak ada serumen, dan tidak menggunakan alat bantu dengar. Pada
pemeriksaan leher didapatkan hasil tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
dan tidak ada kaku kuduk.
Pemeriksaan dada oleh penulis diperoleh hasil pada paru-paru
meliputi inspeksi, tidak ada jejas, normo chest, RR=27 x/menit. Palpasi
tidak terkaji, perkusi pekak pada lobus kanan atas atau ICS V dextra, pada
auskultasi terdengar suara Ronki pada ICS V dextra. Sedangkan
pemeriksaan jantung tidak di temukan kelainan pada jantung, pemeriksaan
pada jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen saat inspeksi
didapatkan hasil ada luka bekas operasi vertikal kurang lebih 12 cm
tertutup kassa, terpasang drainase di sebelah perut kiri bawah, saat
observasi luka di dapatkan hasil luka tidak merah, tidak hangat di sekitar
luka, tidak rembes. Ada nyeri tekan skala 4 pada perut karena bekas
operasi. Pada kelamin terpasang kateter. Kekuatan otot pada kstremitas
45
pasien atas bawah 3/3, CRT > 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang,
perabaan akral dingin.
Hasil pemeriksaan penunjang atau laboratorium pada tanggal 15
Maret 2015 dengan hasil natrium darah 133 mmol/L (136-145) turun,
kalium darah 2,9 mmol/L (3,3-5,1) turun, dan chlorida darah 101 mmol/L.
tanggal 16 Maret 2015 hasil pemeriksaan hemoglobin 13,4 g/dl,
hematocrit 38%, leukosit 7,8 ribu/ul, trombosit 389 ribu/ul, eritrosit 4,34
juta/ul, PT 13,6 detik, APTT 17,8 detik (20,0-40,0) turun, INR 1,100,
natrium darah 134 mmol/L (136-145) turun, kalium darah 3,0 mmol/L
(3,5-5,1) turun, chlorida darah 103 mmol/L. Hasil laboratorium
radiodiagnostik USG tanggal 12 Maret 2015 adalah klinis: tumor padat
ovarium susp. Malignancy. kesimpulan: fungsi kedua ginjal dan ureter
normal, indentasi atap buli, groundglass ofacty dicavum abdomen hingga
cavum pelvis, fungsi pengosongan buli tidak dapat dievaluasi kerena
terpasang kateter.
Di ruang ICU selama 3 hari pasien mendapat terapi cairan infus
RL+aminofluid 20tpm menggunakan infus pump, syringe pump morfina
2,7 cc/jam. Pasien juga mendapat terapi injeksi intravena Ampicilin 1 gr /
6 jam, ranitidine 500 mg / 12 jam, kalnex 50 mg / 8 jam, dan ketorolac 1
mg / 8 jam.
46
C. Daftar perumusan masalah
Analisa data yang dilakukan tanggal 16 Maret 2015 jam 20.04
WIB hanya didapatkan data objektif karena pasien belum sadar. Dari hasil
yang telah didapatkan pasien tampak belum sadar, masih dalam pengaruh
anestesi, ada suara tambahan ronki pada lobus kanan atas, terpasang ETT,
E2 V2 M4, CGS: 8, kesadaaran sopor. Pada pemeriksaan paru-paru, tidak
ada jejas di seluruh lapang paru, normo chest, simetris, RR 27x/menit,
vocal fremitus tidak terkaji, ada suara pekak di ICS V dextra, ada suara
tambahan ronki di ICS V dextra, TD 140/90 mmHg, HR 100x/menit, RR
27x/menit, S 35,9o
C, SPO2 95%, CRT > 2 detik. Penulis mengambil
kesimpulan bahwa diagnosa pertama yang harus diambil adalah
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam
jumlah berlebihan.
Diagnosa kedua yang akan diangkat adalah Nyeri akut
berhubungan dengan agen cedera fisik (histerektomi). Diagnosa tersebut
diangkat karena pada pengkajian hari kedua tanggal 17 Maret 2015 jam
09.40 WIB didapatkan data dari pasien yang mengatakan bahwa ada nyeri
perut antara pusar dan kelamin karena operasi pengangkatan tumor, terasa
senut-senut, skala 4, dan nyeri muncul hilang timbul. Dari data obyektif
didapatkan hasil pasien tampak kooperatif dan kurang rileks tapi dapat
menahan nyeri saat timbul dan ekspresi muka datar. Tekanan darah 140/90
mmHg dan nadi 100 x/menit, pemeriksaan abdomen saat inspeksi
didapatkan hasil ada luka bekas operasi vertikal kurang lebih 12 cm
47
tertutup kassa, terpasang drainase di sebelah perut kiri bawah, saat
observasi luka di dapatkan hasil luka tidak merah, tidak hangat di sekitar
luka, tidak rembes. Ada nyeri tekan skala 4 pada perut karena bekas
operasi
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali
otot, ini adalah diagnosa ketiga yang dirumuskan oleh penulis di hari
pertama tanggal 16 Maret 2015 jam 20.06 WIB. Seperti diagnosa pertama,
penulis hanya mendapatkan data obyektif dikarenakan pasien yang belum
sadar dalam pengaruh anestesi. Data obyektif yang didapat tersebut pasien
tampak belum sadar, masih dalm pengaruh anestesi, E2 V2 M4, GCS 8,
kesadaran sopor, kekuatan otot atas bawah 3/3, pasien masih dalam
pengawasan dan terpasang bedsite monitor, CRT > 2 detik, akral dingin.
D. Perencanaan
Diagnosa pertama diharapkan ketidakefektifan jalan nafas dapat
teratasi setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam dengan kriteria hasil
jalan nafas paten, sekresi keluar dengan efektif, frekuensi nafas normal
(16-22x/menit), SPO2 95-100%, pasien dapat batuk efektif. Intervensi yang
telah disusun oleh perawat meliputi observasi keadaan umum dan tanda-
tanda vital, observasi adanya sekret, lakukan suction jika pasien belum
sadar, latih batuk efektif apabila pasien sudah sadar, observasi latihan
batuk efektif secara mandirisatu kali per shift, anjurkan pasien atau
keluarga untuk melakukan latihan batuk efektif jika ada dahak, kolaborasi
48
pemberian oksigen melalui masker dan kolaborasi pemberian obat sesuai
advice dokter.
Nyeri akut pada diagnosa kedua ini diharapkan dapat teratasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan kriteria
hasil tidak ada keluhan nyeri, pasien tampak rileks, HR 60-100x/menit
(dalam batas normal), skala nyeri turun menjadi 3-1. Intervensi untuk
diagnosa nyeri ini adalah personal hygiene, kaji skala nyeri (PQRST),
ajarkan latihan nafas dalam, observasi latihan nafas dalam secara mandiri
satu kali per shift, anjurkan pasien melakukan latihan nafas dalam secara
mandiri jika nyeri timbul, dan kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai
advice dokter.
Pada diagnosa ketiga diharapkan hambatan mobilitas fisik dapat
teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam dengan kriteria
hasil ekstremitas tidak lemas dan kaku, tidak nyeri saat melakukan
mobilitas, akral hangat, tanda-tanda vital dalam bats normal, kekuatan otot
atas bawah dalam rentang normal (4-5), kesadaran komposmentis, dapat
berpindah ditempat tidur, dan mobilitas kembali normal. Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah observasi rentang gerak (kekuatan otot
dan mobilisasi), ajarkan ROM pasif dan aktif, observasi latihan gerak
sendi ROM aktif dan pasif secara mandiri satu kali per shift, anjurkan
pasien melakukan ROM aktif agar cepat sembuh dan tidak terjadi
kekakuan pada sendi, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik.
49
E. Implementasi
Penulis melakukan implementasi hari pertama dengan harapan dua
diagnosa yaitu ketidakefektifan jalan nafas dan hambatan mobilitas fisik
dapat teratasi. Pada pukul 20.10 WIB penulis melakukan observasi
keadaan umum pasien yang baru saja datang dari Instalasi Bedah Sentral
pasca operasi histerektomi. Dari data subjektif pasien tidak dapat
mengatakan apa-apa karena belum sadar. Data objektif yang di dapatkan
adalah pasien belum sadar, masih dalam pengaruh anestesi, terpasang
ventilator, E2 V2 M4, GCS 8, kesadaran sopor, tampak lemas, kaki dan
tangan kaku, akral dingin, kekuatan otot atas bawah 3/3, TD 140/90
mmHg, HR 100x/menit, S 35,9 oC, RR 27x/menit, SPO2 95%, CRT > 2
detik.
Pukul 20.12WIB penulis memberikan terapi obat sesuai advice
dokter. Data obyektif obat injeksi masuk ampicillin 1gr, ranitidine 500mg,
kalnex 500mg, dan ketorolak 1mg. Pukul 20.14 WIB penulis
mengobservasi adanya sekret, data objektif yang didapatkan adalah pasien
tampak tertidur, terpasang endotrakealtube, dari pemeriksaan paru
didapatkan tidak ada jejas diseluruh lapang paru, normochest, RR 27
x/menit, palpasi tidak terkaji, pekak pada ICS V dextra, ada suara
tambahan ronki pada ICS V dextra, TD 140/90 mmHg, RR 27 x/menit,
HR 100 x/menit, SPO2 95% CRT > 2 detik.
Pukul 20.35 WIB penulis melakukan suction pada pasien, data
obyektif yang didapatkan adalah pasien tampak ada reflek ingin muntah,
50
sekret keluar sedikit warna putih keruh kental, suara ronki masih terdengar
pelan, RR 20 x/menit, SPO2 98%. Pada pukul 20.50 WIB penulis
mengobservasi rentang gerak pasien, data obyektif yang didaptkan adalah,
pasien tampak lemas, mata terbuka saat dirangsang nyeri,tidak dapat
melawan gravitasi saat tangan dan kakinya dijatuhkan oleh penulis,
kesadaran sopor, E2 V2 M4, GCS 8, tidak dapat berpindah, masih dalam
pengaruh anestesi, kekuatan otot 3/3, akral dingin, ekstremitas kaku, CRT
> 2 detik, HR 100 x/menit, TD 140/90 mmHg.
Pukul 20.52 WIB penulis mngejarkan ROM pasif, data obyektif
yang didapatkan adalah pasien belum sadar, masih lemas, ekstremitas
kaku, akral dingin, ekstremitas mengikuti gerakan yang dilakukan oleh
penulis saat latihan ROM pasif, kekuatan otot 3/3. Pukul 20.54 WIB
penulis mengobservasi ROM pasif pasien, data yang didapatkan adalah
pasien tidur saat di ajarkan ROM pasif, tanggan tangan dan kaki dapat
digerakan oleh penulis fleksi ekstensi, dll, akral mulai hangat, CRT < 2
detik, kaki dan tangan sedikit lemas, ekstremitas masih belum bisa
melawan grafitasi. Pukul 21.00 WIB penulis mengobservasi tanda-tanda
vital, data obyektif yang didapatkan adalah pasien masih belum sadar, TD
131/97mmHg, HR 96x/menit, RR 25x/menit, S 36,4oC, SPO2 99%, CRT <
2 detik.
Selasa, 17 Maret 2015 penulis melakukan intervensi yang telah
rencanakan pada saat evaluasi. Penulis melakukan personal hygiene pukul
07.30 WIB data subyektif yaitu pasien menganggukan kepala. Data
51
obyektif yang didapatkan adalah pasien tampak kooperatif, pasien tampak
lebih segar, gigi tampak bersih, mukosa bibir lembab, nafas tidak bau, dan
pasien tampak lebih nyaman.
Pada pukul 08.03 WIB, penulis mengobservasi tanda-tanda vital
dan keadaan umum pasien. Dari data subyektif tidak didapatkan karena
masih terpasang ventilator. Data obyektif yang didapatkan oleh penulis
adalah pasien sadar, E4 V2 M6, verbal pasien dapat di kaji namun dengan
hasil tidak dimengerti, sebenarnya bisa berbicara tetapi masih terpasang
ventilator (maka penulis memberi skor 2 namun kesadaran tetap masuk
komposmentis) , ada reflek batuk dan ingin muntah kekuatan otot pasien
4/4, gerakan aktif melawan gravitasi dan sedikit tahanan, TD
124/83mmHg, HR 95x/menit, RR 22x/menit, S 36,7oC, SPO2 100%, CRT
< 2 detik.
Pukul 08.27 WIB, penulis memberi obat sesuai advice dokter, data
subyektif pasien menganggukan kepala. Data obyektif didapatkan pasien
tampak bersedia di beri injeksi dan obat injeksi masuk ampicillin 1gr,
ranitidine 500mg, kalnex 500mg, dan ketorolac 1mg. Pukul 08.30 WIB
penulis mengobservasi adanya sekret, data obyektif yang didapatkan
adalah pasien masih terpasang ventilator, tidak dapat bicara, pasien tampak
ingin muntah dan ada reflek batuk terus menerus, pada pemeriksaan paru
didapat RR 24 x/menit, vokal fremitus tidak terkaji, pekak atau redup pada
ICS V dextra, dan saat diauskultasi terdengar suara ronki di ICS V dextra.
52
Pukul 08.44 WIB penulis melakukan suction, data obyektif yang
didapatkan adalah pasien menganggukan kepala tanda bersedia di suction,
dahak keluar sedikit warna putih keruh kental, ronki pada ICS V dextra
terdengar samar-samar. Pukul 09.00 WIB penulis melepasakan selang
ETT serta ventilator dimatikan, data obyektif yang didapatkan adalah
pasien tampak menganggukan kepala tanda setuju untuk dilepaskan ETT
yang terpasang dimulutnya, pasien nafas spontan TD 133/79 mmHg, HR
86 x/menit, RR 24 x/menit,, S 36,5o C, O2 . Pukul 09.05 WIB memakaikan
pasien oksigen via masker 10 liter/menit, data subyektif pasien
mengatakan bersedia diberi oksigen. Data obyektif pasien tampak
kooperatif, masker oksigen terpasang 10 liter/menit.
Pukul 09.07 WIB, penulis mengobservasi ulang tanda-tanda vital
pasien, didapatkan hasil data subyektif, pasien mengatakan lebih nyaman
jika ventilatornya dilepas dan bersedia dicatat tensinya. Data obyektif,
pasien tampak lebih nyaman, ventilator sudah terlepas, nafas spontan,
tampak batuk dan ada reflek ingin memuntahkan dahak namun tidak
keluar sekret, TD 121/93mmHg, HR 88x/menit, RR 18x/menit, S 36,5oC,
SPO2 100%, CRT < 2 detik.
Pukul 09.25WIB penulis mengobservasi adanya sekret pada pasien.
Data subyektif, pasien mengatakan seperti ada dahak di tenggorokan dan
dadanya yang sulit keluar padahal sudah dibatukan, namun tidak sesak
nafas karena masih memakai masker oksigen. Data obyektif pasien tampak
kesulitan mengeluarkan dahak, seperti ingin muntah, dari pemeriksaan
53
paru didapatkan hasil bentuk dada normal, tidak ada jejas, RR 20 x/menit,
vokal fremitus kanan < kiri, pekak atau redup pada ICS V dextra, ada
suara ronki pada ICS V dextra.
Pukul 09.32 WIB penulis melatih batuk efektif agar sekret dapat
keluar, data subyektif yang didapatkan adalah pasien mengatakan bersedia
dilatih batuk efektif, mengatakan sedikit lega karena dahaknya keluar, dan
akan melakukan batuk efektif yang diajarkan jika ada dahak
ditenggorokannya. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien tampak
kooperatif, dahak keluar putuh keruh kental, pemeriksaan paru didapatkan
hasil normochest, RR 18x/menit, vocal Fremitus ka < ki, redup pada ICS
V dextra, Ronki pada ICS V dextra. Pukul 09. 40 WIB penulis mengkaji
skala nyeri pasien, data subyektif yang didapatkan adalah pasien
mengtakan nyeri perut karena operasi tumor, pasien mengatakan nyeri
senut-senut, pasien mengatakan nyeri diantara pusar dan kelamin, skala
nyeri 4, nyeri kadang-kadang timbul. Data obyektif sebagai berikut pasien
tampak kurang rileks namun masih dapat menahan nyeri perut post
histerektomi.
Pukul 09.55 WIB penulis mengjarkan pada pasien relaksasi nafas
dalam, dan didatapkan hasil data subyektif sebagai berikut, pasien
mengatakan bersedia diajari relaksasi nafas dalam untuk mengurangi
nyeri. Data obyektif, pasien tampak kooperatif dalam melakukan relaksasi
nafas dalam, pasien tampak tersenyum dan rileks. Pukul 10.07 WIB
penulis mengkaji kembali skala nyeri yang dirasakan pasien, dari data
54
subyektif didapatkan pasien mengatakan nyeri perut setelah latihan batuk
efektif, nyeri seperti dicubit, nyeri diantara pusar dan di atas kelamin,
pasien mengatakan skala nyeri 4, pasien mengatakan nyeri setelah batuk
efektif saja. Data obyektif, pasien sedikit rileks, masih dapat menahan
nyeri, dapat beristirahat kembali.
Pukul 10.10 WIB penulis mengobservasi kembali tanda-tanda vital,
data subyektif yang didapatkan yaitu pasien mengatakan bersedia dicatat
tensinya, sedangkan data obyektif yang didapatkan sebagai berikut pasien
tampak tiduran dan berbincang dengan anaknya, TD 130/92 mmHg, HR
93 x/menit, RR 24 x/menit, S 36,1o
C SPO2 98%, CRT < 2 detik. Pukul
10.22 WIB penulis mengobservasi rentang gerak dan kekuatan otot pasien,
data subyektif yang diperoleh adalah pasien mengatakan tangan dan kaki
masih sedikit kebas atau saat dipegang tidak terasa tapi tangan dan kaki
tidak lemas, pasien mengatakan sebenarnya bisa miring kanan dan kiri,
berhubung masih terpasang alat-alat untuk tensi jadi tidak bisa miring.
Data obyektif yang didapatkan adalah pasien dapat mengikuti instruksi
penulis untuk menekuk dan meluruskan tangan dan kakinya, kekuatan otot
4/4, dapat melawan grafitasi, dan memiliki sedikit tahanan.
Pada pukul 10.33WIB penulis memotivasi pasien agar melakukan
ROM aktif secara mandiri, data subyektif yang didapatkan adalah pasien
mengatakan selalu berusaha menggerakan anggota badannya agar tidak
kaku dan lekas sembuh sesuai yang diajarkan perawat. Data obyektif yang
didapatkan adalah pasien dan anaknya tampak kooperatif dan dapat
55
melakukan ROM aktif. Pukul 10.40 WIB penulis mengobservasi keadaan
umum pasien, data subyektif sebagai berikut pasien mengatakan bahwa ia
sudah makan tadi setelah mandi, disuapi oleh anaknya. Data obyektif yang
diperoleh adalah saat dipanggil nama menoleh ke sumber suara dengan
mata terbuka, pasien dapat menjawab pertanyaan penulis dengan tepat,
dapat melakukan perintah menekuk tangan oleh penulis, E4 V5 M6, GCS
15, kesadaran komposmentis.
Pukul 10.45 WIB penulis melatih ROM aktif dengan data
subyektif sebagai berikut pasien mengatakan ia mau diajari latihan gerak
sendi agar cepat sembuh, tidak merasakan kebas pada anggota gerak, dan
beraktifitas secara mandiri lagi. Data obyektif menurut observasi penulis
adalah pasien tampak lentur anggota geraknya saat digerakan oleh
perawat, dapat mengikuti instruksi penulis, tapi pasien belum dapat miring
kanan, kiri, dan pindah posisi. Pukul 11.00 WIB penulis memonitoring
tanda-tanda vital kembali dengan hasil data obyektif sebagai berikut,
pasien tampak sedang berbincang dengan anaknya yang sedang
membesuk, TD 130/90 mmHg, HR 96 x/menit, RR 21 x/menit, S 36,2o
C
SPO2 100%, CRT < 2 detik. Pukul 11.35 WIB penulis melatih batuk
efektif dengan hasil data subyektif, pasien mengtakan bahwa ia bersedia
diajari lagi cara batuk efektif. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien
tampak kooperatif, dahak keluar putih keruh, kental, RR 19 x/menit,
normochest, vocal fremitus kanan < kiri, redup di ICS V dextra, ronki di
ICS V dextra
56
Pukul 11.38 WIB penulis menganjurkan pasien dan anaknya agar
pasien selalu melakukan batuk efektif secara mandiri jika ada dahak, hasil
data subyektif adalah pasien mengatakan akan melakukan batuk efektif
secara mandiri setiap ada dahak dan anaknya mengatakan setiap
menjenguk akan mengingatkan ibunya untuk batuk efektif jika ada dahak
yang menyumbat. Data obyektif adalah pasien dan anaknya tampak
kooperatif dan mengerti penjelasan penulis. Pukul 11.45 WIB penulis
mengobservasi adanya sekret dengan hasil data subyektfi sebagai berikut,
pasien mengtakan masih ada dahak di tenggorokannya, dan sudah
melakukan latihan batuk efektif namun dahaknya hanya keluar sedikit
warna kuninh, kental, data obyektif yaitu RR 18x/menit, SPO2 99%, masih
terdapat suara ronki di ICS V dextra, perkusi redup di ICS V dextra, vocal
fremitus kanan<kiri.
Pukul 12.00 WIB penulis mengobservasi kembali tanda-tanda vital
pasien, data obyektifnya adalah pasien tampak tidur, RR 18 x/menit, SPO2
100%, S 36,5o C, HR 94 x/menit, TD 120/80 mmHg, CRT < 2 detik. Pukul
12.07 WIB penulis mengkaji skala nyeri dengan hasil data subyektif
sebagai berikut, pasien mengatakan nyeri perut karena operasi
pengangkatan tumor, nyeri clekit-clekit di perut bawah pusar, atas
kelamin, nyeri skala 2, nyeri timbul hanya saat batuk saja. Data obyektif
yang didapatkan adalah pasien rileks. Pukul 12.15 WIB penulis
menganjurkan pasien melakukan relaksasi nafas dalam secara mandiri saat
nyeri timbul, data subyektif yang didapatkan adalah pasien mengatakan
57
akan melakukan nafas dalam jika nyeri timbul. Data obyektif adalah
pasien tampak kooperatif.
Pukul 13.00 WIB penulis mengobservasi kembali tanda-tanda vital
pasien, data subyektif adalah pasien mengatakan bersedia di catat tensinya,
sedangkan data obyektif didapatkan pasien membuka mata saat di panggil
namanya ketika tertidur, kemudian pasien miring ke kiri untuk melihat
tensi di monitor, TD 130/81 mmHg, RR 19 x/menit, HR 82 x/menit, S
36oC, SPO2 100%, CRT < 2 detik. Pukul 13.26 penulis mengobservasi
keadaan umum pasien, data subyektif adalah pasien mengatakan ingin
segera pindah ke bangsal lalu pulang karena sudah merasa badannya
sehat,tidak lagi lemas, jarang nyeri, dan dapat melakukan miring kanan
dan kiri di tempat tidur. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien
tampak miring ke kiri dan saat di ajak berbicara dapat menjawab dengan
tepat, mata terbuka saat dipanggil namanya, tangan mengepal saat
diperintahkan penulis untuk mengepal, GCS 15, kesadaran komposmentis.
Hari ketiga tanggal 18 Mei 2015, penulis melakukan intervensi
yang telah disusun pada hari kedua pada pasien di bangsal Mawar 1 karena
pasien telah dipindahkan dari ICU ke Mawar 1 pukul 17.05 WIB.
Diagnosa pertama adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas, pukul
10.00 WIB pantau TTV pasien dan rentang gerak pasien, data subjektif
pasien mengatakan pasien merasa senang karena kemarin sore sekitar jam
17.00 WIB pasien dipindahkan ke bangsal, sudah merasa lebih baik
daripada hari kemarin, pasien mengatakan sudah jalan kekamar mandi
58
sendiri tanpa dipapah hanya saja ditemani oleh keluarga, dan bersedia
ditensi. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien tampak rileks,
kooperatif, pasien tampak sedang duduk dan berbincang dengan suami,
TD 130/80 mmHg, HR 89x/menit, RR 20x/menit, S 36,3o C, mata terbuka
spontan, dapat menjawab pertanyaan dengan tepat, gerakan ekstremitas
sudah normal, kekuatan otot 5/5, GCS 15, kesadaaran komposmentis.
Pukul 10.15 WIB penulis mengobservasi skala nyeri, dari hasil
pengkajian pasien mengatakan nyeri perut karena operasi pengangkatan
tumor, nyeri clekit-clekit di antara pusar dan kelamin, nyeri skala 1, pasien
mengatakan nyeri timbul kadang kadang saat batuk. Data obyektif pasien
tampak rileks. Pukul 10.30 WIB penulis mengobservasi adanya sekret,
data subyektif pasien mengatakan selalu melakukan batuk efektif jika ada
dahak, saat ini masih ada dahak ditenggorokannya, terdengar suara ronki
pada trekea, pasien tampak mengikuti latihan batuk efektif yang diajarkan
oleh perawat, pasien tampak kooperatif, dahak keluar sedikit kuning
kental, ada suara ronki di trakea, hasil pemeriksaan paru didapatkan RR 19
x/menit, vokal fremitus kanan < kiri, perkusi redup pada ICS V dextra, ada
suara ronki di ICS V dextra. TD 130/90x/menit, HR (94 x/menit, CRT < 2
detik, SPO2 100%, GCS 15
Pukul 10.39 WIB penulis mengajarkan batuk efektif, data subyektif
pasien mengatakan bersedia diajari batuk efektif lagi, pasien mengatakan
sudah melakukan batuk efektif secara mandiri di bangsal jika terasa ada
dahak yang menyumbat, dan pasien mengatakan sekitar jam 08.00 WIB
59
diberi suntikan lewat selang tapi tidak tahu obatnya apa saja. Data obyektif
pasien tampak kooperatif, dahak keluar sedikit, warna kuning kental,
pemeriksaan paru didapatkan RR 20 x/menit, vocal fremitus ka<ki,
perkusi pekak ICS V dextra dan ronki di ICS V dextra. Obat ampicillin
1gr, ranitidine 500mg, ketorolac 1mg.
Pukul 11.07 WIB penulis mengobservasi rentang gerak pasien,
data subyektif pasien mengatakan sejak kemarin sore dipindahkan
kebangsal ia dapat memiringkan badannya, dapat duduk, dan tubuhnya
tidak lemas lagi, bahkan sudah dapat berjalan kekamar mandi sendiri tapi
masih ditemani oleh keluarga. Data obyektif yang didapatkan pasien
tampak sedang ditemani oleh suami, GCS 15, kesadaran komposmentis,
kekuatan otot 5/5, dapat melakukan aktifitas mandiri, dapat berjalan,
duduk, miring kanan dan kiri. Pukul 11.28 WIB penulis memotivasi pasien
untuk melakukan batuk efektif secara mandiri agar dahak dapat keluar,
data subyektif pasien mengatakan akan melakukan batuk efektif seperti
yang diajarkan perawat secara mandiri saat ada dahak yang menyumbat,
dat obyektif pasien kooperatif.
F. Evaluasi
Hari pertama evaluasi yang didapatkan pukul 21.00WIB oleh
penulis adalah GCS 8, E2 V2 M4, kesadaran sopor, terpasanag ventilator,
ada ronki di ICS V, belum sadar, masih dalam pengaruh anestesi, akral
mulai hangat, kekuatan otot 3/3, ada reflek muntah saat di suction, sekret
60
keluar sedikit warna putih keruh kental, obat injeksi masuk ampicillin 1gr,
ranitidine 500mg, kalnex 500mg, dan ketorolac 1mg, TD 131/97mmHg,
HR 96x/menit, RR 25x/menit, S 36,4oC, SPO2 99%, CRT < 2 detik.
Masalah dari diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum
teratasi karena RR 25x/menit dan masih ada suara ronki di ICS V. Dengan
masalah yang belum teratasi maka penulis akan melanjutkan intervensi
yaitu, pantau TTV tiap jam dan observasi keadaan umum pasien, observasi
adanya sekret,lakukan suction jika RR > 24x/menit dan pasien belum
sadar, latih batuk efektif jika pasien sadar dan keadaan umum pasien
membaik, kolaborasi pemberian terapi O2 melalui masker, serta kolaborasi
pemberian obat sesuai advice dokter.
Pada diagnosa kedua belum dapat dievaluasi karena diagnosa
kedua baru muncul saat hari kedua. Diagnosa ketiga yaitu hambatan
mobilitas fisik didapatkan hasil evaluasi data obyektif yaitu pasien belum
sadar, mata terbuka saat dirangsang nyeri, pasien tidur saat di ajarkan
ROM pasif, tanggan tangan dan kaki dapat digerakan oleh penulis fleksi,
ekstensi, dll, akral mulai hangat, CRT < 2 detik, kaki dan tangan sedikit
lemas, ekstremitas masih belum bisa melawan grafitasi, kekuatan otot 3/3.
Penulis membuat intervensi untuk diagnosa ketiga ini sebagai berikut,
observasi rentang gerak pasien, ajarkan ROM pasif dan aktif, motivasi
pasien melakukan ROM aktif secara mandiri, observasi pasien melakukan
ROM aktif secara mandiri.
61
Evaluasi tanggal 17 Maret 2015 didapatkan hasil pada diagnosa
pertama ketidakefektifan jalan nafas adalah sebagai berikut, pasien
mengatakan sudah melakukan batuk efektif tapi masih ada sedikit dahak
keluar warna kuning, kental, dan pasien mengatakan akan melakukan
latihan batuk efektif secara mandiri jika terasa ada dahak, anak pasien
mengatakan akan selalu mengingatkan ibunya untuk batuk efektif mandiri
disaat membesuk ibunya. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien dan
anak pasien kooperatif, dapat melakukan batuk efektif, sekret keluar
kuning kental, dari pemeriksaan paru didapatkan hasil normochest, RR
19x/menit, vocal fremitus kanan < kiri, redup atau pekak di ICS V dextra,
da nada suara ronki di ICS V dextra. Masalah dari ketidakefektifan
bersihan jalan nafas teratasi sebagian maka dari itu penulis membuat
intervensi yang akan di lanjutkan keesokan harinya yaitu pantau TTV,
observasi adanya sekret, latih batuk efektif, ingatkan pasien melakukan
batuk efektif secara mandiri, observasi pasien melakukan batuk efektif
secara mandiri, dan kolaborasi pemberian obat sesuai advice dokter.
Diagnosa kedua yang muncul pada hari kedua tanggal 17 Maret
2015 yaitu nyeri akut didapatkan hasil evaluasi setelah dilakukan tindakan
sebagai berikut, data subyektif pasien mengatakan nyeri perut karena
operasi pengangkatan tumor, nyeri clekit-clekit di perut bawah pusar, atas
kelamin, nyeri skala 2, nyeri timbul hanya saat batuk saja, serta pasien
mengatakan akan melakukan latihan nafas dalam secara mandiri saat nyeri
timbul. Data obyektif yang didapatkan adalah pasien rileks, pasien
62
kooperatif, TD 130/81 mmHg, RR 19 x/menit, HR 82 x/menit, S 36o C,
SPO2 100%, CRT < 2 detik. Masalah pada diagnosa kedua ini teratasi
sebagian karena nyeri masih hilang timbul dan belum hilang, maka penulis
membuat intervensi untuk diagnosa kedua ini yaitu kaji skala nyeri,
ajarkan pasien latihan nafas dalam, motivasi pasien melakukan nafas
dalam secara mandiri jika nyeri timbul, observasi latihan nafas dalam
secara mandiri, kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai advice dokter,
dan tunggu advice dokter untuk pindah bangsal.
Pada diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik masalah
teratasi sebagian, dengan subyektif pasien mengatakan bersedia di catat
tensinya, saat di observasi keadaan umumnya oleh penulis, pasien
mengatakan ingin segera pindah ke bangsal lalu pulang karena sudah
merasa badannya sehat, tidak lagi lemas, jarang nyeri, dan dapat
melakukan miring kanan dan kiri di tempat tidur. Saat dilakukan observasi
rentang gerak. Sedangkan data obyektif didapatkan pasien membuka mata
saat di panggil namanya ketika tertidur, kemudian pasien miring ke kiri
untuk melihat tensi di monitor, TD 130/81 mmHg, RR 19 x/menit, HR 82
x/menit, S 36oC, SPO2 100%, CRT < 2 detik, kekuatan otot 4/4. Intervensi
yang direncanakan penulis adalah observasi rentang gerak pasien, ajarkan
ROM pasif dan aktif, motivasi pasien melakukan ROM aktif secara
mandiri, observasi pasien melakukan ROM aktif secara mandiri.
Evaluasi hari ketiga, tanggal 18 Maret 2015 diagnosa pertama
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, masalah teratasi sebagian.
63
Didapatkan data subyektif pasien mengatakan masih ada dahak
ditenggorokan tapi sulit keluar dan mengatakan sudah melakukan batuk
efektif secara mandiri. Dan dari data obyektif didapatkan hasil pasien
tampak kesulitan mengeluarkan dahak, ingin muntah. Pasien tampak
mengikuti latihan batuk efektif yang diajarkan oleh perawat, pasien
tampak kooperatif, dahak keluar sedikit kuning kental, ada suara ronki di
trakea, hasil pemeriksaan paru didapatkan RR 19 x/menit, vokal fremitus
kanan < kiri, perkusi redup pada ICS V dextra, ada suara ronki di ICS V
dextra. TD 130/90mmHg, HR (94 x/menit, CRT < 2 detik, SPO2 100%,
GCS 15. Maka dari itu penulis menyusun intervensi yaitu observasi TTV,
observasi adanya sekret, lakukan pemeriksaan paru, motivasi pasien
melakukan batuk efektif secara mandiri, cek labaoratorium mikrobiologi
sputum (dahak), dan konsultasikan pada dokter paru.
Pada diagnosa kedua didaptkan hasil data subyektif pasien
mengatakan nyeri perut diantara pusar dan kelamin, terasa clekit-clekit,
skala 1, nyeri hilang timbul, data obyektif yang didapatkan adalah pasien
tampak rileks, GCS 15, kesadaran komposmentis, TD 130/90 mmHg, HR
89 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,3o C. masalah teratasi, dan pertahankan
intervensi.
Diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kendali otot didapatkan hasil subyektif sebagai berikut pasien
mengatakan dapat memiringkan badannya, dapat duduk, dan tubuhnya
tidak lemas lagi, bahkan sudah dapat berjalan kekamar mandi sendiri tapi
64
masih ditemani oleh keluarga. Data obyektif yang didapatkan pasien
tampak sedang ditemani oleh suami, GCS 15, kesadaran komposmentis,
kekuatan otot 5/5, dapat melakukan aktifitas mandiri, dapat berjalan,
duduk, miring kanan dan kiri. Masalah teratasi dan petahankan intervensi.
65
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengaruh latihan fisik
terhadap pemulihan pasien pasca general anestesi pada asuhan keperawatan Ny.
W dengan post histerektomy di Intensive Care Unit RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Disamping itu penulis juga akan membahas tentang kesesuaian antara
teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian, analisa data, intervensi,
implementasi, dan evaluasi. Pembahasan ini akan lebih ditekankan pada
pemulihan pasien dengan general anastesi, yang meliputi tiga diagnosa yaitu
bersihan jalan nafas tidak efektif, nyeri akut dan hambatan mobilitas fisik,
menurut jurnal Naharani Pepin, 2013 bahwa pemulihan pasien dengan general
anastesi dapat dapat dipulihkan dengan latihan fisik meliputi latihan gerak sendi,
latihan nafas dalam, dan latihan batuk efektif.
Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. General anestesi atau anestesi spinal (subarakhnoid) adalah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal kedalam ruang
subarkhnoid (Majid Abdul, dkk, 2011).
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahapan awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap
66
ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Oleh karena itu, pengkajian
harus dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan
perawatan pada klien dapat diidentifikasi (Nikmatur & Walid, 2012).
Penulis melakukan pengkajian pada hari senin, 16 Maret 2015 di ruang
Intensive Care Unit pukul 20.00 WIB. Keluhan utama pada Ny. W adalah
adanya suara ronki pada ICS V dextra, data ini didapatkan dari data obyektif
dikarenakan Ny. W belum sadar post operasi. Data tersebut sesuai dengan
teori menurut Morgan Jr. (2002) dalam Rani (2015) yang menyebutkan bahwa
akibat pemberian anestesi inhalasi atau intra vena dapat mendepresi
pernafasan. Posisi yang tidak biasa selama pembedahan dan teknik seperti
anestesi satu paru dan pintas kardiopulmoner sangat mengubah fisiologi
pernafasan normal. Sebagian besar praktek anestesi modern berdasarkan
pemahaman fisiologi pernafasan yang cermat dan betul-betul dipertimbangkan
penerapan fisiologi pernafasan, meskipun efek respirasi setiap agen anestesi
bervariasi Pengaruh obat anestesi menimbulkan efek trias anestesi, pasien
akan mengalami keadaan tidak sadar, reflek-reflek proteksi menghilang akibat
mati rasa dan kelumpuhan otot rangka termasuk otot pernafasan.
Menurut Mangku, dkk (2010) dalam Rani, dkk (2015) menyatakan bahwa
pada pasien yang tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan jalan nafas,
akibat jatuhnya lidah ke hipofaring, timbunan air liur, sekret, bekuan darah,
gigi yang lepas serta isi lambung akibat muntah atau regurgitasi. Sumbatan
yang terjadi pada supralaring dikarenakan lidah jatuh ke hipofaring, air liur,
bekuan dan isi lambung atau regurgitasi. Pada pasien dalam keadaan anestesi
67
posisi telentang, tonus otot jalan nafas atas, otot genioglossus hilang, sehingga
lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik
total atau parsial. Keadaan tersebut sering terjadi dan harus cepat diketahui
dan dikoreksi dengan beberapa cara misalnya manual triple jalan nafas,
pemasangan alat jalan nafas terjadi (Pharingeal airway) pemasangan alat jalan
nafas (laringeal mask air way) pemasangan pipa endo trachea (Endotracheal
tube). Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring pada saat
anestesi dan mendapat rangsangan nyeri atau rasangan oleh sekret.
Dalam praktek keperawatan anestesi, banyak hal yang dijumpai pasien
dengan kegawatan jalan nafas yang disebabkan adanya sumbatan jalan nafas,
dan tidak jarang pula karena penurunan tingkat kesadaran sehingga pasien
tidak dapat bernafas dengan baik atau depresi pernafasan. Depresi pernapasan
dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia
merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi. Pasien yang
mengalami anesthesia general/lama biasanya tidak sadar, dengan semua otot-
ototnya rileks, relaksasi ini meluas sampai ke otot-otot faring, (Rani, dkk,
2015). Stimulasi obat anestesi dapat menyebabkan bronkospasme dan
peningkatan sekresi saluran napas (Erwin & Kusuma 2012).
Selain keluhan utama diatas, dari observasi penulis didapatkan hasil data
subyektif pada pola aktivitas dan latihan didapatkan hasil dari anamnesa pada
anaknya bahwa Ny. W sebelum sakit pasien makan, minum, toileting,
mobilitas ditempat tidur, berpakaian, dan ambulasi ROM dapat melakukan
secara mandiri, namun saat berpindah dari tempat tidur atau tempat duduk ke
68
posisi berdiri perlu bantuan dari orang lain. Sedangkan saat sakit makan
dibantu alat atau memakai selang makan dari hidung, dan kegiatan seperti
toileting, mobilitas ditempat tidur, berpakaian, berpindah, serta ambulasi
ROM tergantung total.
Data obyektif yang didapatkan dari pemeriksaan fisik adalah kekuatan otot
ekstremitas atas 3 dan kekuatan otot ekstremitas bawah 3, capilery refile > 2
detik,akral teraba dingin. Kesadaran pasien sopor dengan nilai GCS 8, E2 V2
M4. Data tersebut sesuai dengan teori menurut Erwin & Kusuma (2012) yang
menyebutkan bahwa sebelum dilakukan tindakan operasi akan dilakukan
anestesi. Pada anestesi umum memberikan relaksasi otot yang dibutuhkan
dalam pembedahan dan kendali ventilasi. Otot yang pertama kali dihambat
adalah otot-otot kecil dengan gerakan cepat seperti otot mata dan jari,
kemudian otot trunkus dan abdomen, otot interkostal dan akhirnya diafragma.
Injeksi intravena obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada orang sadar mula-
mula menimbulkan kesulitan memfokus dan kelemahan otot mandibula diikuti
ptosis, diplopia, dan disfagia. Relaksasi otot telinga akan memperbaiki
pendengaran. Kesadaran dan sensorik utuh. Inaktivasi reseptor ansetesi di
susunan saraf pusat berperan penting pada mekanisme kerja anestesi umum
Saat pasien dirawat ruang Intensive Care Unit pada tanggal 17 Maret
2015, pasien mengatakan bahwa pasien merasakan nyeri perut karena operasi
pengangkatan tumor, nyeri senut-senut, nyeri di antara pusar dan kelamin,
nyeri skala 4 dan hilang timbul. Hasil pengkajian data obyektif didapatkan
hasil pasien tampak tidak rileks tapi dapat menahan nyeri saat timbul dan
69
ekspresi muka datar, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 100x/menit, respisi
27x/menit, dan suhu 36,6oC.
Data tersebut sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa hampir pada
semua jenis operasi, setelah 24-48 jam, pasien dianjurkan meningalkan tempat
tidur. Tujuan mobilisasi (duduk atau jalan) yang cepat adalah untuk
mengurangi komplikasi pascabedah. Luka operasi lebih cepat sembuh bila
pasien cepat jalan. Perasaan sakit pertama jalan memang lebih terasa, tetapi
nyeri luka itu ternyata lebih cepat menghilang pada pasien yang berjalan
dalam waktu 24-48 jam pascabedah (Osawari E, 2000). Nyeri biasanya sangat
dirasakan pasien post operasi, oleh karena itu diperlukan intervensi
keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen
untuk mengurangi rasa nyerinya (Majid Abdul, dkk, 2011).
B. Perumusan masalah keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respons
manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual / potensial) dari
individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan
perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status
kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan
(Nikmatur & Walid, 2012).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada fase pasca operasi berdasarkan
NANDA (2010) dalam buku “keperawatan perioperatif” Abdul Majid (2011)
adalah kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
sekresi mukosa, nyeri berhubungan dengan luka insisi pasca bedah dan posisi
70
selama pembedahan, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
nkendali otot, defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
selama operasi, kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka pasca
bedah, drain atau infeksi luka operasi, resiko cedera berhubungan dengan efek
anestesi, sedasi, dan imobilisasi, perubahan pola eliminasi: penurunan
berhubungan dengan agen anastesi dan imobilisasi, dan lain-lain sesuai
kondisi atau permasalahan yang ditemukan pada pasien.
Sedangkan pada pasien yang dikelola oleh penulis berdasarkan proses
analisa penulis, didapatkan hasil diagnosa pada tanggal 16 Maret 2015 yaitu
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam
jumlah yang berlebihan. Menurut Brunner & Suddarth (2002) dalam Naharani
Pepin (2012) mennyatakan bahwa klien yang mengalami operasi dengan
anestesi umum, akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan dan
banyak lendir kental karena pemasangan alat bantu nafas selama teranestesi.
Penulis mengangkat diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan
mengacu pada hasil analisa data dimana data obyektif pasien tampak belum
sadar, masih dalam pengaruh anestesi, tampak pucat, nafas cepat dan dangkal,
terpasang ETT, E2V2M4, total GCS 8, kesadaran sopor, hasil pemeriksaan fisik
paru didapatkan hasil: tidak ada jejas, normochest, RR 27 x/menit, palpasi
tidak terkaji, perkusi terdapat pekak atau redup di ICS V dextra, pada
auskultasi ada suara tambahan, ada ronki di ICS V dextra, TD 140/90 mmHg,
HR 100 x/menit, RR 27 x/menit, S 36,7oC, SPO2 98%.
71
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk
mempertahankan bersihan jalan nafas. Data pada pasien sesuai dengan
batasan karakteristik yaitu tidak ada batuk, suara nafas tambahan, perubahan
frekuensi nafas, perubahan irama nafas, kesulitan berbicara/ mengeluarkan
suara, dyspnea, sputum dalam jumlah yang berlebihan, dan batuk yang tidak
efektif (NANDA, 2009-2011).
Diagnosa kedua yang dirumuskan pada tanggal 17 Maret 2015 saat pasien
mulai sadar oleh penulis adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik (histerektomi). Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan
peilaku. Proses fisiologis terkait nyeri dapat disebut nosisepsi. Menurut potter
& perry (2006) dalam Satriya (2014) menjelaskan proses tersebut berupa
resepsi yaitu kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus termal,
mekanik, kimia atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang
menghasilkan nyeri. Stimulus tersebut kemudian memicu pelepasan mediator
biokimia (misalnya prostaglandin, bradikinin, histamine, substansi P) yang
mensensutasi nosiseptor. Nosiseptor berfungsi untuk memulai transmisi neural
yang dikaitkan dengan nyeri.
Fase transmisi nyeri terdiri dari tiga bagian. Pertama nyeri merambat dari
bagian serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Bagian kedua adalah
transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui
jaras spinotalamikus. Bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks
sensori somatic tempat nyeri dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan
72
tersebut mengaktifkan respon otonomi. Setelah fase transmisi pasien akan
mengalami fase persepsi, persepsi merupakan titik kesadaran seseorang
terhadap nyeri, sehingga individu bereaksi. Fase reaksi ini dapat berupa respon
fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempresepsikan nyeri. Respon
fisiologis ini membahayakan individu, pada kasus trauma berat dapat
menyebabkan individu mengalami syok.
Menuurut Solehati (2008) dalam Satriya (2014) menyatakan bahawa
tindakan pembedahan dapat mengancam integritas seseorang, baik bio-psiko-
sosial maupun spiritual yang bersifat potensial dan aktual. Setiap tindakan
pembedahan dapat menimbulkan rerspon ketidaknyamanan berupa nyeri.
Menurut Majid Abdul (2011) bahwa operasi akan menimbulkan luka insisi,
saat pasien sadar dari pengaruh anestesi maka akan merasakan nyeri.
Penulis merumuskan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik mengacu pada hasil analisa data subyektif, pasien mengatakan nyeri perut
di antara pusar dan kelamin karena operasi pengangkatan tumor, pasien
mngatakan nyeri senut-senut, skala 4, dan nyeri hilang timbul. Data obyektif
yang diperoleh penulis adalah pasien sedikit rileks, kooperatif, dapat menahan
nyeri saat timbul, TD 140/90 mmHg, HR 100 x/menit, RR 27 x/menit.
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial
atau digunakan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (international
Association for the Study of pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
73
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan. Data yang didapat penulis sesuai
dengan batasan karakteristik yang tertulis pada teori yaitu perubahan tekanan
darah, frekuensi jantung, pernafasan, masker wajah tetap pada satu fokus
meringis, dan melaporkan nyeri secara verbal (NANDA, 2009-2011).
Diagnosa ketiga yang dirumuskan penulis pada tanggal 16 Maret 2015
adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali otot.
Menurut Boulton & blogg (1994) pasien setelah opeasi akan mengalami
relaksasi otot karena pengaruh obat anestesi yang dapat menyebabkan
kontraktur sendi dan penurunan kendali otot.
Saat dilakukan pengkajian pada pasien tidak didapatkan data subyektif
karena pasien belum sadar di hari pertama. Sedangkan data obyektif yang
didapatkan adalah pasien tampak masih belum sadar, masih dalam pengaruh
anestesi, E2 V2 M4, total GCS 8, kesadaran sopor, kekuatan otot atas dan
bawah 3/3 pada ekstremitas kanan dan kirinya, pasien masih dalam
pengawasan, terpasang bedsite monitor, CRT > 2 detik, akral dingin.
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh
atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Data yang didapatkan oleh
penulis sesuai dengan batasan karakteristik pada teori yaitu penurunan waktu
reaksi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar dan halus,
serta keterbatasan rentang pergerakan sendi (NANDA, 2009-2011).
74
C. Perencanaan
Menurut Nikmatur & Walid (2012), perencanaan atau intervensi adalah
pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi
masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan.
Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu
menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien.
Pada diagnosa pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan mukus dalam jumlah berlebihan penulis mencantumkan tujuan setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan ketidakefektifan jalan
nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil jalan nafas paten, sekresi keluar
secara efektif, frekuensi pernafasan normal (16-24 x/menit), O2 saturasi 95-
100%, dan pasien dapat batuk efektif. Intervensi yang dilakukan penulis
adalah observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital, observasi adanya
secret, lakukan suction, latih batuk efektif, kolaborasi pemberian oksigen
melalui masker sesuai advice dokter, dan kolaborasi pemberian obat sesuai
advice dokter. Tujuan, kriteria hasil dan intervensi yang dicantumkan penulis
sesuai dengan teori (Wilkinson, 2007).
Diagnosa kedua adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
(histerektomi). Penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x24 jam masalah nyeri akut dapat teratsai dengan kriteria hasil
seperti berikut, pasien rileks, tidak ada keluhan nyeri, HR 60-100 x/menit,
skala nyeri berkurang (3-0). Intervensi yang dicantumkan oleh penulis adalah
kaji skala nyeri (PQRST), ajarkan latihan nafas dalam, anjurkan pasien
75
melakukan nafas dalam secara mandiri, kolaborasi pemberian obat analgetik
sesuai advice dokter. Tujuan, kriteria hasil, dan intervensi yang dicantumkan
oleh penulis sesuai dengan teori (Wilkinson, 2007).
Diagnosa ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan otot. Penulis mencantumkan tujuan ekstremitas tidak lemas dan
tidak kaku,tidak ada nyeri untuk mobilitas, akral hangat, tanda-tanda vital
dalam batas normal, kekuatan otot dalam rentang normal (3-5), GCS normal,
dapat berpindah di tempat tidur, dan mobilitas kembali normal. Intervensi
yang dirumuskan penulis adalah personal hygiene, observasi rentang gerak,
ajarkan ROM aktif dan pasif, anjurkan pasien melakukan ajaran ROM aktif
dan pasif secara mandiri, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik. Tujuan,
kriteria hasil dan intervensi yang ditulis penulis sesuai dengan teori
(Wilkinson, 2007).
D. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkam. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data melanjutan, memngobservasi respons klien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Nikmatur &
Walid, 2012).
Pada diagnosa pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan mukus dalam jumlah berlebihan, penulis mengimplementasikan
intervensi yang telah disusun meliputi: mangobservasi keadaan umum dan
tanda-tanda vital, mengobservasi adanya sekret, melakukan suction, melatih
76
batuk efektif, dan penulis melakukan kolaborasi pemberian oksigen melalui
masker sesuai advice dokter serta penulis melakukan kolaborasi pemberian
obat sesuai advice dokter.
Diagnosa kedua yaitu nyeri akur berhubungan dengan agen cedera
biologis. Penulis melaksanakan implementasi sebagai berikut malakukan
personal hygiene pada Ny. W, mengkaji skala nyeri (PQRST), mengajarkan
latihan nafas dalam, Selain itu penulis mengobservasi latihan nafas dalam
secara mandiri satu kali per shift, menganjurkan pasien melakukan latihan
nafas dalam secara mandiri jika nyeri timbul, dan melakukan kolaborasi
pemberian obat analgetik sesuai advice dokter.
Diagnosa ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan otot. Pada diagnosa ini penulis mengimplementasikan intervensi
sebagai berikut, mengobservasi rentang gerak (kekuatan otot dan mobilisasi),
mengajarkan ROM pasif dan aktif, selain itu pasien mengobservasi latihan
gerak sendi ROM aktif dan pasif secara mandiri satu kali per shift,
menganjurkan pasien melakukan ROM aktif agar cepat sembuh dan tidak
terjadi kekakuan pada sendi, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik.
Pada hari pertama, tanggal 16 Maret 2015 penulis belum dapat melakukan
batuk efektif dan relaksasi nafas dalam karena pasien masih belum sadar post
operasi. Pada pukul 20.10 WIB penulis mengobservasi keadaan umum dan
tanda-tanda vital didapatkan data obyektif pasien tampak belum sadar, masih
dalam pengaruh anestesi, terpasang ventilator, RR 27x/menit, SPO2 100%,
77
CRT >2 detik, HR 100x/menit, TD 140/90 mmHg, E2 V2 M4, GCS 8,
kesadaran sopor, ekstremitas kaku, akral dingin, kekuatan otot 3/3.
Setelah melakukan observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital, penulis
memberi terapi obat sesuai advice dokter, mengobservasi adanya sekret,
kemudian penulis melakukan suction pukul 20.35 WIB karena pasien belum
sadar, didapatkan hasil ada reflek muntah, sekret keluar sedikit, putih, keruh,
kental, RR 20 x/menit, SPO2 98%. Setelah melakukan suction, penulis
mengobservasi rentang gerak, mengajarkan ROM pasif, penulis mengajarkan
ini pada pukul 20.52 WIB didapatkan hasil pasien belum sadar, masih lemas,
ekstremitas kaku, akral dingin, ekstremitas mengikuti gerakan perawat saat
dilatih ROM pasif, kekuatan otot 3/3.
Hari kedua, pada tanggal 17 Maret 2015 penulis melakukan tiga tindakan
latihan fisik pemulihan pasien pasca general anestesi. Pada pukul 09.32 WIB
penulis melatih batuk efektif pada pasien karena ETT yang terpasang pada
pasien baru dilepas pukul 09.00 WIB dari data subyektif setelah dilakukan
batuk efektif, pasien bersedia dilatih batuk efektif dan bersedia melakukan
batuk efektif jika ada dahak ditenggorokannya. Data obyektif pasien tampak
kooperatif dahak keluar putih keruh, kental, dari pemeriksaan paru didapatkan
hasil RR 18 kali per menit, vocal vremitus kanan< kiri, redup dan saat di
auskultasi terdengar suara ronki di ICS V dextra. Pada pukul 09.40 penulis
mengkaji skala nyeri pasien didapatkan hasil subyektif pasien mengatakan
nyeri perut karena operasi pengangkatan tumor, nyeri terasa senut-senut
diantara pusar dan kelamin, skala nyeri 4, hilang timbul. Data obyektif pasien
78
kurang rileks namun dapat menahan nyeri. Pukul 09.55 WIB penulis
mengajarkan relaksasi nafas dalam. Data subyektif yang didapatkan pasien
mengatakan bersedia diajari relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri,
data obyektif yang didapatkan pasien kooperatif pasien tampak tersenyum dan
rileks. Pukul 10.07 WIB penulis mengkaji skala nyeri didapatkan data
subyektif pasien mengatakan nyeri perut setelah batuk efektif, nyeri seperti
dicubit diantara pusar dan kelamin, skala 4, timbul setelah batuk efektif. Data
obyektif yang didapatkan pasien sedikit rileks masih dapat menahan nyeri
dapat beristirahat lagi.
Pukul 10.33 WIB, penulis memotivasi/menganjurkan pasien melakukan
ROM aktif mandiri. Data subyektif, pasien mengatakan selalu berusaha
menggerakan anggota badannya agar tidak kaku dan lekas sembuh sesuai yang
diajarkan perawat. Data obyektif, pasien dan anaknya tampak kooperatif dan
dapat melakukan ROM aktif . Pukul 10.45 WIB penulis melakukan ROM
pasif aktif,dari data subyektif didapatkan hasil pasien mengatakan mau di ajari
latihan gerak sendi agar cepat sembuh, tidak merasakan kebas pada anggota
gerak. Data obyektif, pasien tampak lentur anggota geraknya saat digerakan
oleh perawat, dapat mengikuti instruksi perawta, belum dapat miringdan
pindah posisi. Pukul 11.35 WIB, penulis melatih batuk efektif. Data subyektif,
pasien mengatakan bersedia diajari lagi cara batuk efektif. Data obyektif,
pasien tampak kooperatif, fahak keluar putih keruh, kental, RR 19x/menit,
pemeriksaan paru didapatkan hasil normochest, vocal vremitus kanan < kiri,
redup dan saat diauskultasi terdengar ronki di ICS V dextra. Pukul 11.38 WIB
79
penulis menganjurkan pasien dan anaknya melakukan batuk efektif secara
mandiri. Data subyektif, pasien mengatakan akan melakukan batuk efektif
secara mandiri setiap ada dahak yang menyumbat dan anaknya mengatakan
akan selalu mengingatkan ibunya untuk batuk efektif saat menjenguk. Data
obyektfi, pasien dan ananknya tampak kooperatif dan mengerti penjelasan
peraawat. Pukul 12.15 WIB, penulis menganjurkan pasien latihan nafas dalam.
Data subyektif yang didaptkan, pasien pasien akan melakukan nafas dalam
jika nyeri timbul. Data obyektif, pasien tampak kooperatif. Pasien dipindahkan
ke mawar I tanggal 17 Maret 2015 pukul 17.05 WIB.
Pada hari ketiga, tanggal 18 Maret 2015 pukul 10.00 WIB penulis
mengobservasi TTV dan rentang gerak pasien. Data subyektif, pasien
mengatakan merasa senang karena kemarin sore sekitar jam 17.00 WIB ia
pindah kebangsal, sudah merasa lebih baik dari pada kemarin, pasien
mengatakan sudah jalan kekamar mandi sendiri tanpa dipapah hanya saja
masih ditemani keluarga, bersedia ditensi. Data oobyektif, pasien rileks,
kooperatif, pasien sedang duduk dan berbincang dengan suami, TD 130/80
mmHg, HR 89 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,3oC, mata terbuka spontan, dapat
menjawab pertanyaan dengan tepat, gerakan ekstremitas sudah normal,
kekuatan otot 5/5, GCS 15, kesadaran komposmentis. Pukul 10.15 WIB,
penulis mengobservasi skala nyeri. Data subyektif, pasien mengatakan nyeri
perut karena operasi pengangkatan tumor, nyeri clekit-clekit diantara pusar
dan kelamin, skala 1, timbul saat batuk. Data obyektif, pasien tampak rileks.
Pukul 10.39 WIB, penulis menganjarkan batuk efektif. Data subyektif yang
80
didapatkan adalah pasien mengatakan bersedia diajari batuk efektif lagi,
pasien mengatakan sudah melakukan batuk efektif secara mandiri di bangsal
jika terasa ada dahak yang emnyumbat, pasien mengatakan sekitar jam 08.00
WIB sudah disuntik lewat selang tapi tidak tahu obatnya apa saja. Data
obyektif didapatkan hasil yaitu pasien kooperatif, dahak keluar sedikit, warna
kuning, kental, pemeriksaan paru didapatkan hasil RR 20 x/menit, vocal
vremitus kanan < kiri, pekak dan saat diauskultasi ada suara ronki di ICS V
dextra, obat injeksi ampicillin 1gr, ranitidine 500mg, ketorolac 1mg. Pukul
11.28 WIB, penulis memotivasi pasien melakukan batuk efektik secara
mandiri. Data subyektif yang didapatkan adalah pasien mengatakan akan
melakukan batuk efektif seperti yang telah di ajarkan perawat secara mandiri
jika ada dahak. Data obyektif , pasien tampak kooperatif.
Menurut Brunner & Suddarth (2002) dalam Naharani Pepin, dkk (2013)
bahwa batuk efektif dan nafas dalam dilakukan ketika pasien mulai sadar.
Sedangkan latihan gerak sendi atau ROM penting bagi pasien setelah operasi,
agar dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhan.
Pengaruh latihan fisik terhadap pemulihan pasien pasca general anestesi
pada menit ke 5, 10, dan 15 memberikan pengaruh bermakna atau efektif,
sedangkan pada menit ke 20, 25, dan 30 memberikan pengaruh yang
bermakna kurang baik dengan kata lain kurang efektif. Pemulihan pasien ini
dapat dilihat dari indikator-indikator penilaian menurut aldrete skor yang
meliputi : pernapasan sudah mulai stabil regular dan sudah mampu batuk
81
sehingga diharapkan dapat membuang obat anastesi inhalasi yang tersisa
dalam pernapasan, banyak lendir pada tenggorokan karena pengaruh prosedur
general anastesi. Dalam penelitian pemberian latihan fisik terhadap pemulihan
pasien pasca general anastesi ditempat tidur difokuskan pada gerakan nafas
dalam, latihan batuk efektif, dan latihan gerak sedndi yang terbatas dan
menyesuaikan kondisi pasien dan lingkungan/ruang perawatan. Walaupun
pada menit-menit awal pasca operasi pasien belum sadar maksimal namun
latihan fisik operasi yang diajarkan saat pra operasi perlu juga untuk
dievaluasi hasilnya, observasi tanda-tanda vital seperti tekanan darah yang
stabil atau tidak stabil, ada perubahan yang menonjol seperti sebelum operasi,
jika hasilnya stabil berarti menunjukkan sirkulasi yang adekuat, hal ini bias
diobservasi dari saturasi oksigen lebih dari 95 %, tidak adanya sianosis pada
kuku atau ujung jari, mukosa bibir dan kulit secara umum. Berdasarkan
kesadarannya dapat dinilai jika pasien sudah merespon jika dipanggil atau
diperintah petugas, mampu mengidentifikasi orang, tempat dan waktu.
Berdasarkan aktivitasnya, pasien jika sudah mulai sadar akan mampu
menggerakkan tubuh atau ekstrremitasnya dengan baik dan terkontrol, mampu
mobilisasi ringan misalnya dengan mengerak-gerakan tangan dan kakinya
diatasa tempat tidur, aktivitas ringan tersebut diharapkan mampu
memperlancar peredaran darah, mencegah venastatis dan mempertahankan
tonus otot (Naharani Pepin, dkk 2013).
Dalam jurnal penelitian pengaruh latihan fisik terhadap pemulihan pasien
pasca general anastesi, menunjukkan ada perbedaan antara responden yang
82
mendapat perlakuan latihan fisik operasi, responden akan lebih cepat sadar
dari pengaruh general anastesi tanpa komplikasi. Sedangkan responden yang
tidak mendapat latihan fisik operasi, responden sadar lebih lambat dan dapat
memungkinkan terjadi komplikasi jika tidak mendapat pengawasan /
penatalaksanaan yang adekuat (Naharani Pepin, dkk, 2013).
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis melakukan kesalahan yang
pertama adalah saat melakukan tindakan latihan fisik pasca general anestesi
yang meliputi Range of motion, batuk efektif, latihan nafas dalam. Penulis
melakukan latihan fisik pada menit ke 30 karena pada pasien kelolaan penulis
saat datang ke ICU, masih dilakukan pemasangan dan mengatur mode
ventilator, pemasangan syiringe pump, memberi terapi obat sesuai advice
dokter. Selain itu pada hari pertama penulis hanya melakukan ROM saja pada
pasien sehingga pasien tidak cepat pulih sadar. Aplikasi latihan fisik tersebut
didapatkan hasil yang tidak efektik karena pasien mulai sadar pukul 02.00
WIB pada tanggal 17 Maret 2015.
Kesalahan kedua penulis belum melakukan penilaian aldrete skore pada
saat pasien datang dari ruang operasi dan penulis tidak melakukan penilaian
aldrete skor setelah dilakukan tindakan latihan fisik pasca general anestesi
dikarenakan penulis belum memahami isi dari jurnal “Pengaruh Pemberian
Latihan Fisik Terhadap Pemulihan Pasien.Pasca General Anestesi di Instalasi
Perawatan Intensif RSUD dr. Soedono Madiun” oleh Naharani pepin, dkk
(2013). Penulis mengukur kesadaran pasien dengan aldrete skore pada tanggal
17 Maret 2015 pukul 06.00 WIB didapatkan hasil dengan total nilai 7,
83
penilaian aldrete skor ini menjadi penilaian setelah pasien pulih. Tanggal 17
Maret 2015 pukul 14.00 WIB didapatkan hasil dengan total nilai 8. Tanggal
17 Maret 2015 pukul 20.00 WIB didapatkan hasil total nilai 10. Tanggal 18
maret 2015 pukul 06.00 WIB didapatkan hasil aldret skore dengan total nilai
10. Pada tanggal 17 dan 18 Maret 2015 penulis mengukur aldrete skor di akhir
shift setelah pasien mencatat tindakan latihan fisik secara madiri. Aplikasi ini
tidak dilakukan penulis sesuai pada jurnal Naharani Pepin (2013).
Kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah penulis tidak
dapat mengikuti perjalanan pasien sebelum di operasi hingga operasi selesai di
ruang operasi, penulis hanya mengobservasi pasien setelah dipindahkan
keruang ICU.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan (Nikmatur & Walid, 2012).
Pada tanggal 18 Maret 2015, evaluasi dari diagnosa ketidak efektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebihan.
Data subyektif didapatkan hasil yaitu pasien mengatakan masih ada dahak
ditenggorokan, pasien mengatakan bersedia diajari batuk efektif lagi oleh
penulis, pasien mengatakan sudah melakukan batuk efektif secra mandiri.
Data obyektif yang didapatkan oleh penulis adalah pasien tampak kesulitan
mengeluarkan dahak, ingin muntah, tampak mengikuti batuk efektif yang
diajarkan oleh perawat, pasien kooperatif, dahak keluar sedikit, kuning, kental,
84
ada suara ronki di trachea. Pada pemeriksaan paru didapatkan hasil RR 19 kali
per menit, vocal vremitus kanan < kiri, pekak dan saat diauskultasi terdengar
suara ronki di ICS V dextra. Tekanan darah 130/90mmHg, HR 94 kali per
menit, CRT < 2 detik, SPO2 100%, GCS 15. Masalah teratasi sebagian.
Lanjutkan intervensi, observasi TTV, observasi adanya sekret, lakukan
pemeriksaan paru, motivasi pasien untuk batuk efektif secara mandiri, cek lab
mirobiologi sputum dan foto thorax sesuai advice dokter, konsultasikan pada
dokter paru.
Berdasarkan aplikasi riset yang dilakukan penulis diruang ICU RSUD
Dr.Moewardi Surakarta, penulis mengalami kendala yaitu dimana hasil
pengelolaan kasus dengan aplikasi riset tentang latihan fisik untuk
mempercepat pemulihan pasien post histerektomi dengan general anestesi
pada Ny. W tidak efektif. Dengan alasan pada hari pertama seharusnya penulis
melakukan latihan fisik yang meliputi ROM aktif pasif, batuk efektif, latihan
nafas dalam saat pasien pertama kali datang ke ICU. Tetapi penulis hanya
melakukan ROM karena ada kendala yaitu pasien datang ke ICU harus
dilakukan beberapa tindakan oleh perawat, jadi penulis melakukan tindakan
tersebut pada menit ke 30 dan penulis tidak melakukan pengukuran aldrete
skor saat pasien datang serta tidak melakukan melakukan pengukuran aldrete
skor setelah dilakukan tindakan latihan fisik.
85
85
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Pada tanggal 16 Maret 2015, pengkajian Ny.W, tidak terdapat
data subyektif karena pasien belum sadar dari pengaruh anestesi.
Sedangkan dari data obyektif didapatkan hasil pasien tampak belum
sadar, masih dalam pengaruh anestesi, ada suara tambahan ronki pada
lobus kanan atas, terpasang ETT, E2 V2 M4, CGS: 8, kesadaaran sopor.
Pada pemeriksaan paru-paru, tidak ada jejas di seluruh lapang paru,
normochest, simetris, RR 27x/menit, vocal fremitus tidak terkaji, ada
suara pekak di ICS V dextra, ada suara tambahan ronki di ICS V
dextra, TD 140/90 mmHg, HR 100x/menit, RR 27x/menit, S 36,7o
C,
SPO2 98%, CRT > 2 detik.
Pengkajian pada tanggal 16 Maret 2015 saat pasien belum sadar
karena pengaruh anestesi, didapatkan hasil obyektif, pasien tampak
belum sadar, masih dalm pengaruh anestesi, E2 V2 M4, GCS 8,
kesadaran sopor, kekuatan otot atas bawah 3/3, pasien masih dalam
pengawasan dan terpasang bedsite monitor, CRT > 2 detik, akral
dingin.
Pengkajian selanjutnya pada tanggal 17 Maret 2015 saat pasien
telah sadar mengatakan bahwa ada nyeri perut antara pusar dan
86
kelamin karena operasi pengangkatan tumor, terasa senut-senut, skala
4, dan hilang timbul. Dari data obyektif didapatkan hasil pasien
tampak tidak rileks tapi dapat menahan nyeri saat timbul dan ekspresi
muka datar. Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 100 x/menit, dan RR
27 x/menit.
2. Diagnosa
Menurut prioritasnya penulis memasukan hasil perumusan
diagnosa keperawatan pertama pada Ny.W adalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah
berlebihan. Hasil perumusan diagnosa keperawatan kedua pada Ny.W
adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
(histerektomy). Hasil perumusan diagnosa keperawatan ketiga pada
Ny.W adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kendali otot.
3. Intervensi
Intervensi yang disusun penulis pada diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yaitu observasi keadaan umum dan tanda-tanda
vital, observasi adanya sekret, lakukan suction jika pasien belum
sadar, latih batuk efektif apabila pasien sudah sadar, observasi latihan
batuk efektif secara mandiri satu kali per shift, anjurkan pasien atau
keluarga untuk melakukan latihan batuk efektif jika ada dahak,
kolaborasi pemberian oksigen melalui masker dan kolaborasi
pemberian obat sesuai advice dokter.
87
Intervensi yang dilakukan penulis pada diagnosa nyeri akut yaitu
personal hygiene, kaji skala nyeri (PQRST), ajarkan latihan nafas
dalam, observasi latihan nafas dalam secara mandiri satu kali per shift,
anjurkan pasien melakukan latihan nafas dalam secara mandiri jika
nyeri timbul, dan kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai advice
dokter.
Intervensi yang dilakukan penulis pada diagnosa hambatan
mobilitas fisik yaitu observasi rentang gerak (kekuatan otot dan
mobilisasi), ajarkan ROM pasif dan aktif, observasi latihan gerak
sendi ROM aktif dan pasif secara mandiri satu kali per shift, anjurkan
pasien melakukan ROM aktif agar cepat sembuh dan tidak terjadi
kekakuan pada sendi, dan kolaborasi dengan ahli terapi fisik.
4. Implementasi
Implementasi pada tanggal 17 Maret 2015 Implementasi yang
dilakukan penulis pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
Tindakan yang dilakukan pada pukul 09.32 WIB penulis melatih batuk
efektif pada pasien karena ETT yang terpasang pada pasien baru
dilepas pukul 09.00 WIB dari data subyektif setelah dilakukan batuk
efektif, pasien bersedia dilatih batuk efektif dan bersedia melakukan
batuk efektif jika ada dahak ditenggorokannya. Data obyektif pasien
tampak kooperatif dahak keluar putih keruh, kental, dari pemeriksaan
paru didapatkan hasil RR 18 kali per menit, vocal vremitus kanan<
kiri, redup dan saat di auskultasi terdengar suara ronki di ICS V dextra.
88
Pukul 11.35 WIB, penulis melatih batuk efektif. Data subyektif,
pasien mengatakan bersedia diajari lagi cara batuk efektif. Data
obyektif, pasien tampak kooperatif, fahak keluar putih keruh, kental,
RR 19x/menit, pemeriksaan paru didapatkan hasil normochest, vocal
vremitus kanan < kiri, redup dan saat diauskultasi terdengar ronki di
ICS V dextra. Pukul 11.38 WIB penulis menganjurkan pasien dan
anaknya melakukan batuk efektif secara mandiri. Data subyektif,
pasien mengatakan akan melakukan batuk efektif secara mandiri setiap
ada dahak yang menyumbat dan anaknya mengatakan akan selalu
mengingatkan ibunya untuk batuk efektif saat menjenguk. Data
obyektfi, pasien dan ananknya tampak kooperatif dan mengerti
penjelasan peraawat. Pasien dipindahkan ke mawar I tanggal 17 Maret
2015 pukul 17.05 WIB. Didapatkan hasil aldrete skor (score 10 ), TD
130/80 mmHg (score 2), RR 19 kali per menit dan SPO2 100% (score
2), CRT < 2 detik (score 2), GCS 15, kesadaran composmentis (score
2), pasien dapat miring kanan kiri ditempat tidur (score 2).
Tanggal 18 Maret 2015, pukul 10.39 WIB, penulis menganjarkan
batuk efektif. Data subyektif yang didapatkan adalah pasien
mengatakan bersedia diajari batuk efektif lagi, pasien mengatakan
sudah melakukan batuk efektif secara mandiri di bangsal jika terasa
ada dahak yang emnyumbat, pasien mengatakan sekitar jam 08.00
WIB sudah disuntik lewat selang tapi tidak tahu obatnya apa saja. Data
obyektif didapatkan hasil yaitu pasien kooperatif, dahak keluar sedikit,
89
warna kuning, kental, pemeriksaan paru didapatkan hasil RR 20
x/menit, vocal vremitus kanan < kiri, pekak dan saat diauskultasi ada
suara ronki di ICS V dextra, obat injeksi ampicillin 1gr, ranitidine
500mg, ketorolac 1mg. Pukul 11.28 WIB, penulis memotivasi pasien
melakukan batuk efektik secara mandiri. Data subyektif yang
didapatkan adalah pasien mengatakan akan melakukan batuk efektif
seperti yang telah di ajarkan perawat secara mandiri jika ada dahak.
Data obyektif , pasien tampak kooperatif. Didapatkan hasil aldrete skor
(score 2), TD 130/80 mmHg (score 2), RR 20 kali per menit (score 2),
CRT < 2 detik (score 2), GCS 15, kesadaran composmentis (score 2),
pasien dapat ke kamar mandi sendiri (score 2).
5. Evaluasi
Hasil evaluasi tanggal 18 Maret 2015 masalah keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas selama 3×24 jam teratasi
sebagian karena dari data subyektif didapatkan hasil yaitu pasien
mengatakan masih ada dahak ditenggorokan, pasien mengatakan
sudah melakukan batuk efektif secra mandiri. Data obyektif yang
didapatkan oleh penulis adalah pasien tampak kesulitan mengeluarkan
dahak, ingin muntah, tampak mengikuti batuk efektif yang diajarkan
oleh perawat, pasien kooperatif, dahak keluar sedikit, kuning, kental,
ada suara ronki di trachea. Pada pemeriksaan paru didapatkan hasil
RR 19 kali per menit, vocal vremitus kanan < kiri, pekak dan saat
diauskultasi terdengar suara ronki di ICS V dextra. Tekanan darah
90
130/90 mmHg, HR 94 kali per menit, CRT < 2 detik, SPO2 100%,
GCS 15. Masalah teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi, observasi
TTV, observasi adanya sekret, lakukan pemeriksaan paru, motivasi
pasien untuk batuk efektif secara mandiri, cek lab mikrobiologi
sputum dan foto thorax sesuai advice dokter, konsultasikan pada
dokter paru. Maka dari itu penulis menyusun intervensi yaitu
melanjutkan latihan batuk efektif agar pasien dapat batuk produktif
dan pemeriksaan paru dalam batas normal.
6. Analisa pemberian latihan fisik (nafas dalam, batuk efektif, dan latihan
gerak sendi ROM aktif serta pasif)
Hasil analisa penulis dalam melakukan latihan fisik pada
pemulihan pasien post operasi dengan general anestesi tidak efektif
karena penulis tidak melakukan tindakan latihan fisik pada menit ke
15 dan penulis tidak mengukur aldrete skor saat pasien datang dan
sesudah melakukan tindakan latihan nafas dalam sesuai dengan
jurnal pengaruh latihan fisik terhadap pemulihan pasien pasca general
anestesi di ruang instalasi perawatan intensif.
91
B. Saran
1. Bagi Pendidikan
Hasil aplikasi riset penelitian ini diharapkan dapat menjadi metode
baru dalam mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai latihan fisik
dalam pemulihan pasien post operasi dengan general anestesi.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Dapat digunakan sebagai acuan penyusunan SOP tindakan pemberian
latihan fisik pada pasien post operasi dengan general anestesi di rumah
sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, dkk. (2011). Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta: Gosyen
Publishing
Akhyar Rani, dkk. (2015). Perbedaan Keefektifan jalan nafas antara posisi
supinasi, ekstensi kepala dan posisi miring stabil paska appendiktomi
dengan anatesi umum di ruang pulih BLUD RS Brigjend H. Hassan
Basry Kandangan. CaringVol.1, No.2, Maret 2015
Arif Muttaqin & Kumala Sari. (2009). Asuhan Keperawatan Perioperatif:
Konsep, Proses, dan Aplikasi. Jakarta: S
alemba Medika
Cemy Nur Fitria & Havid Maimurahman. (2013). Keefektifan Range of motion
(ROM) terhadap kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke. E-jurnal
Akper PKU Muhamadiyah Surakarta, ISSN: 1907-512X
Doengoes, Marilyn E. (2000). Rencana asuhan keperawatan, Pedoman
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
E. Osawari. (2000). Bedah dan perawatannya. Jakarta: Gaya Baru
Eldawati. (2011). Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap
Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah di RSUP Fatmawati Jakarta. Tesis: Universitas Indonesia
Elisabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Elizabeth Ari & Yustina Suparni. (2013). Pengaruh Pemberian Edukasi Batuk
Efektif Terhadap Kemampuan Pengeluaran Sekret Paska Narkose Umum
di Ruang Yosef 3 Rumah Sakit Santo Borromeus Banding. E-jurnal
STIKes Santo Borromeus. ISSN 1234-5678.
Errol R. Norwitz & John O. Schorage. (2008). At A Glance Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: Erlangga
Farid Aziz, dkk. (2006). Buku acuan nasional onkologi Ginekologi. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Farida Luthfi Fauzi. (2014). Pemberian Batuk Efektif dalam Pengeluaran Sputum
pada Asuhan Keperawtan Tn.S dengan PPOK di Ruang Bougenvile
RSUD Dr. Soediran Mangun Soemarso Wonogiri. Jurnal Stikes Kusuma
Husada
Hardhi Kusuma & Amin Huda Nuratif. (2012). Handbook for Health Stident.
Yogyakarta: Mediaction Publishing
Ike Sri Redjeki. (2013). Perioperative Goals Directed Therapy. Jurnal anestesi
perioperatif: fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
Imam Rasjidi. (2009). Deteksi dini dan pencegahan kanker pada wanita. Jakarta:
Sagug Seto
Indofatin. (2015). Pusat data dan informasi. Kementerian Kesehatan RI
Iswandi Erwin & Donni Indra Kusuma. (2012). Inhibitor Asetilkolinesterase untuk
Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-Depolarisasi. CDK-193/Vol-39
No.5, th.2012
Judith M. Wilkinson. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, edisi 7. Jakarta: EGC
Mary DiGuilio, et al. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha
Publishing
Mochamad Anwar, dkk. (2011). Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo
Nanda. (2009-2011). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta: EGC
Nikmatur Rohmah & Saiful Walid. (2012). Proses Keperawatan Teori & Aplikasi.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Pepin Naharani, dkk. (2013). Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Pemulihan
Pasien General Anestesi di Instalansi Perawatan Intensif RSUD Dr.
Soedono Madiun. Jurnal Metabolisme Vol.2 No.1= ISSN 2338-0438
Pierce A. Grace. (2007). At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Ritu Salani & Robert E. Bristow. (2011). Panduan untuk Penderita Kanker
Ovarium. Jakarta Barat: Indeks
Saratun, dkk. (2008). Klien dengan Gangguan Muskuloskelektal: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C & Bare B.G. (2006). Burnner & Suddarth ’stextbook of Medical
Surgical Nursing. Philadelpia: Lippincott
Sujono Riyadi & Harmoko. (2012). Standart Operating Procedure dalam Klinik
Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Thomas B. Boulton & Colin E. Blogg. (1994). Anestesiologi Edisi 10. Jakarta:
EGC
Wahit Iqbal Mubbarak & Nurul Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar
Manusia: Teori & Aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC
Yunuzul Demo Satriya. (2014). Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien
Pasca Operasi Fraktur Cruris Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Skripsi. STIKes Kusuma Husada Surakarta
Zetri Akhirita. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan Kandung
Kemih Pasca Pembedahan dengan Anestesi Spinal di IRNA B (Bedah
Umum) RSUP Dr. M. Djamal Padang. Skripsi. Fakultas kedokteran
Universitas Andalas