pemberian tehnik relaksasi effluerage terhadap...
TRANSCRIPT
i
PEMBERIAN TEHNIK RELAKSASI EFFLUERAGE TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. N
DENGAN APPENDICITIS DI RUANG FLAMBOYAN
RSUD SUKOHARJO
Disusun Oleh :
RADETYA PRIMA PERDANA
P.12 046
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2012/2015
i
PEMBERIAN TEHNIK RELAKSASI EFFLUERAGE TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. N
DENGAN APPENDICITIS DI RUANG FLAMBOYAN
RSUD SUKOHARJO
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
RADETYA PRIMA PERDANA
P.12 046
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2012/2015
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “ Pemberian Tehnik Relaksasi Effleurage Terhadap
Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. N dengan Apendicitis di Ruang
Flamboyan RSUD Sukoharjo.”
Dalam Penyusunan Karya Tulis ini penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di STIKes Kusuma Husada Surakarta. Sekaligus dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Program studi DIII
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. Sekaligus dosen penguji
yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan,
inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi
sempurnanya studi kasus ini.
vi
3. Fakhrudin Nasrul Sani, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
4. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
5. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
6. Teman-teman Mahasiswa Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta,
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................... 3
C. Manfaat Penelitian .................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Apendiksitis .............................................................................. 5
B. Konsep Asuhan Keperawatan................................................... 12
C. Nyeri ......................................................................................... 22
D. Effleurage ................................................................................. 32
E. Relaksasi ................................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN
A. Subjek Aplikasi Riset ............................................................... 40
B. Tempat danWaktu .................................................................... 40
C. Media dan Alat yang digunakan ............................................... 40
D. ProsedurTindakan ..................................................................... 41
E. Alat Ukur .................................................................................. 41
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Pengkajian ................................................................................ 42
B. Perumusan Masalah .................................................................. 48
viii
C. Prioritas Diagnosa Keperawatan .............................................. 48
D. Intervensi Keperawatan ............................................................ 49
E. Implementasi Keperawatan ...................................................... 50
F. Evaluasi Keperawatan .............................................................. 52
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ................................................................................ 55
B. Diagnosa Keperawatan ............................................................. 58
C. Intervensi .................................................................................. 61
D. Implementasi ............................................................................ 65
E. Evaluasi .................................................................................... 68
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................... 71
B. Saran ........................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Prosedur tindakan .......................................................................... 41
Tabel 3.2 Alat ukur ....................................................................................... 42
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skala analog visual ..................................................................... 29
Gambar 2.2Skala numerik .............................................................................. 30
Gambar 2.3 Skala deskriptif ........................................................................... 30
Gambar 2.4Kerangka teori ............................................................................. 38
Gambar 2.5Kerangka konsep ......................................................................... 39
Gambar 4.1 Genogram ................................................................................... 43
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Log Book
Lampiran 2 Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 3 Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 5 Jurnal Pendukung
Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Appendicitis adalah peradangan mendadak atau pembengkakan
usus buntu (vermiformis apendiks). Sekitar setengah dari semua apendisitis
gejalanya adalah sakit rongga perut yang tiba-tiba (disebut abdomen akut)
disertai mual, muntah, diare atau konstipasi (Sundaru, 2005).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem pencernaan masih
menduduki peringkat pertama yang tinggi sebagai penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Penyakit appendicitis merupakan salah satu
kelainan yang mengganggu sistem pencernaan. Appendicitis merupakan
penyakit radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara akut.
Apendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui
dengan pasti namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu
(Sundaru, 2005).
Insiden penyakit appendicitis dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain : umur pasien, jenis kelamin, makanan, lingkungan dan faktor daya tahan
tubuh. Apendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6-9 cm),
menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dihancurkan dalam
lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam
pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya apendicitis
(radang pada apendiks) (Smeltzer & Bare, 2002).
1
2
Salah satu pengobatan yang dilakukan untuk kasus apendicitis adalah
dengan melakukan tindakan operasi pengangkatan apendiks atau
appendictomy, dilakukanya pembedahan akan menimbulkan luka sayatan
yang dapat menyebabkan rasa nyeri pasca pembedahan appendictomy.
Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan,
bau, rasa, sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik.
Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan,
distress, atau menderita (Lyrawati, 2009).
Pengelolaan manajemen nyeri dapat dilakukan dengan berbagai tehnik
antara lain yaitu teknik hipnotis, distraksi, imajinasi terbimbing dan tehnik
relaksasi effluerage. Tehnik relaksasi effluerage merupakan tehnik relaksasi
dengan melakukan masase daerah sekitar fokus nyeri yang terjadi sehingga
otot-otot sekitar menjadi relaksasi. Apabila otot rileks maka kita
menempatkan tubuh pada posisi sebaliknya. Otot tidak tegang, tubuh dalam
keadaan seimbang, dan keringat berhenti bercucuran (Potter & Perry, 2006).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Sukoharjo ruang
flamboyan, penulis memperoleh data hasil wawancara dengan salah satu
perawat bahwa kasus apendiksitis selama 2014-2015 sejumlah 129 kejadian.
Tetapi teori tentang tehnik relaksasi effleurage ini belum diterapkan oleh
rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik melakukan
pengelolaan kasus nyeri pada pasien post op dengan menerapkan intervensi
tindakan terapi effluerage sebagai bentuk aplikasi riset yang kemudian di
3
tuangkan dalam bentuk karya tuis ilmiah dengan judul “pengaruh tehnik
relaksasi effluerage terhadap penurunan nyerri pada pasien post appendictomy”.
B. Tujuan penulisan.
1. Tujuan umum
Untuk mengaplikasikan tehnik relaksasi effleurage terhadap penurunan
nyeri pada pasien Ny. N dengan appendicsitis
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan
appendicitis.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
appendicitis.
c. Penulis mampu merumuskan rencana asuhan keperawatan pada pasien
dengan appendicitis.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan
appendicitis.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan appendicitis.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tehnik relaksasi effleurage
terhadap penurunan nyeri pada Ny. N dengan appendicitis.
C. Manfaat penelitian
1. Bagi pasien
Meningkatkan kegiatan menurunkan nyeri secara mandiri melalui
pengelolaan managemen nyeri.
4
2. Bagi rumah sakit
Sebagai bahan acuan untuk menganalisis peranan perawat untuk
memberikan tindakan keperawatan kepada pasien pasca operasi melalui
pengelolaan managemen nyeri.
3. Bagi profesi
Mengembangkan metode pengelolaan nyeri pasca operasi dan
meningkatkan kesadaran mengembangkan ilmu keperawatan dengan
penelitian.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan teori
A. Appendicitis
1. Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira kira 10
cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum.
Pengosongannya tidak efektif, dan lumenya kecil, apendiks cenderung
menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (Dan L. Longo,
Anthony S. Fauci, 2014). Apendik adalah ujung seperti jari-jari yang kecil
panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah
katup ileosekal (Smeltzer, Suzane, c. 2001).
Apendiks adalah peradagan dari apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang
dilakukan sesegaera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Smeltzer
Suzanne, C, 2001).
5
6
2. Klasifikasi apendisitis
a. Appendicitis akut
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut
talah nyeri samar samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat,
2005).
b. Appendicitis kronik
Diagnosis appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dati 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
makroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5% (Sjamsuhidayat, 2005).
c. Appendicitis purulenta (Supurative appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
7
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin (Sjamsuhidayat, 2005).
d. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong yang mendorong
dilakukan apendiktomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, appendicitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fibrosis dan jaringan parut (Sjamsuhidayat, 2005).
3. Etiologi
Appendicitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
bawah kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami
appendicitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka pria lebih
sering dipengaruhi dari pada wanita, dan remaja lebih sering pada orang
dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, apendisitis paling
sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Dan L. Longo, Anthony S. Fauci,
2014).
4. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat
atau tersumbat, kemungkinan oleh fekait (masa keras dari feses), tumor,
atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
8
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif,
dalam beberapa jam, terlokasi di kuadran kanan bawah dari abdomen.
Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus (Dan L. Longo, Anthony S.
Fauci, 2014).
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat
menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium
setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut apendiksitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infeksi
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren yang disebut apendiksitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan terjadi apendisitis
perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu masa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks dapat menjadi
abses atau menghilang.
Pada anak-anak omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya taham
tubuh yang menjadi kuarng memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang
tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2000).
5. Manifestasi Klinis
Konstipasi sering mendahului terjadinya divertikulosis sampai
beberapa tahun. Tanda-tanda divertikulosis akut adalah iregularitas usus dan
intravel diare,nyeri dangkal dan kram pada kuadran kiri bawah abdomen,
9
dan demam ringan. Mual dan muntah mungkin dijumpai. Pada inflamasi
lokal divertikula berulang, usus besar menyempit pada striktur fibrotik, yang
menimbulkan kram, fases berukuran kecil-kecil, dan peningkatan
konstipasi. Perdarahan samar dapat terjadi, menimbulkan anemia defisiensi
besi. Selain itu, terlihat kelemahan dan keletihan (brunner & suddarth,
2005). Menurut (Muhammad jauhar, 2013) manifestasi klinis sebagai
berikut :
1) Nyeri kuadran bawah.
2) Demam ringan.
3) Mual-muntah.
4) Hilangnya nafsu makan.
5) Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney.
6) Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan
dilepaskan).
7) Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah
kiri yang secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di
kuadran kanan bawah.
8) Distensi abdomen akibat ileus paralitik.
9) Kondisi pasien memburuk.
6. Komplikasi
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105
sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
10
secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam
dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi apendiks, yang
dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses (Muhammad jauhar,
2013).
7. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV di berikan sampai pembedahan
dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomy (pembedahan untuk mengatngkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah
atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat
efektif (brunner & suddarth, 2005).
Penatalaksanaan bedah ada dua cara yaitu non bedah (non surgical)
dan pembedahan (surgical)
1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses
pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva
pada makanan
11
d. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah
masalah refluks nonturnal
2. Pembedahan (surgical)
Yaitu dengan apendiktomi. Operasi dapat dipersiapkan hal-hal sebagai
berikut :
Insisi travenal 5 cm atau oblik dibuat diatas titik maksimal nyeri tekan
atau massa yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan. Otot dipisahkan ke
lateral rektus abdominalis. Mesenterium apendikular dan dasar apendiks
diikat dan apendiks diangkat. Tonjolan ditanamkan ke dinding sekum
dengan menggunakan jahitan purse string untuk meminimalkan kebocoran
intra abdomen dan sepsis.
Kavum peritoneum dibilas dengan larutan tetrasiklin dan luka ditutup.
Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka sepsis pasca
operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).
8. Pemeriksaan diagnostik
Laboratorium : Terdiri dari pemerikssan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukosit) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : Terdiri dari pemeriksaaan ultrasonografi dan CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
12
ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
Jumlah leokosit lebih tinggi dari 10.000/mm3, normalnya 5.000-
10.000/mm3. Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75%.
Pemberian urine rutin, urinalis normal, tetapi eritrosit atau
lekositmungkin ada. Pemeriksaan foto sinar x tidak tampak kelainan yang
spesifik.
B. Asuhan keperawatan apendisitis
1. Pengkajian
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor
register.
b. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh
penderita akan lebih baik dari pada tinggal dilingkungan yang kotor.
c. Riwayat kesehatan dahulu
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri bersekitar
umbilikus
2) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
13
3) Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakasn, berapa lama keluhan terjadi,
bagaimana sifat dari hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul,
keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pada appendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi abdomen.
2) Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.
Penekanan perut kiri bawah akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Apabila tekanan
pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan
bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
3) Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk
menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksan ini
merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
14
4) Uji psoas dan uji obturator.
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak
apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan,
kemudian pada paha kanan di tahan. Bila apendiks yang meradang
menempel pada m.psoas mayor maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang.
Bila apendiks yang meradang kontak dengan obturator internus
yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada
appendicitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008).
e. Perubahan Pola Fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus appendicitis menurut (Doenges,
2005) adalah sebagai berikut :
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
2) Sirkulasi
Tanda : Takikardi
3) Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal.
Diare (kadang-kadang).
15
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.
Penurunan atau tidak ada bising usus.
4) Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia
Mual / mutah.
5) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan teralokasi pada titik Mc.Burney (setengah
jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin. Batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau terlentang
dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan
bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
6) Pernafasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal
7) Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah)
f. Diagnosa dan Fokus Intervensi
1) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama, perforasi/ ruptur pada apendiks,
pembentukan abses ; prosedur invasif infisi bedah.
16
KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda
infeksi/ inflamasi, drainase purulen, eritema dan edema.
Intervensi :
a) Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat,
perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
rasional : dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses,
peritonitis
b) Lihat insisi dan balutan. Catatan karakteristik drainase luka/
drein (Bila dimasukan), adanya eritema.
rasional : memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi,
dan/ atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada
sebelumnya.
c) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka
aseptik. Berikan perawatan paripurna.
rasional : menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d) Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/ orang
terdekat.
rasional : pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan
dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.
e) Ambil contoh drainase bila diindikasikan
rasional : kultur pewarnaan gram dan sensitivitas berguna untuk
mengidentifikasikan organisme penyebab dan pilihan terapi.
17
f) Berikan antibiotik sesuiai indikasi
rasional : mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan
jumlah mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada
sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan
pertumbuhannya pada rongga abdomen.
g) Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan
rasional : dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses
terlokalisir.
2) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pasca operasi,
status hipermetabolik, inflamasi peritonium dengan cairan asing.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cairan
dan elektrolit menjadi kuat.
KH : Kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik,tanda vital
stabil dan secara individual keluaran urin adekuat.
Intervensi :
a) Awasi tekanan darah dan nadi
Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasikan fluktuasi
volume intra vaskuler.
b) Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.
Rasional : indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi
seluler.
18
c) Awasi masukan dan keluaran : catat warna urin/ konsentrasi,
berat jenis.
Rasional : penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan
berat jenis diduga dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.
d) Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus,
Rasional : indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk
pemasukan oral.
e) Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral
dimulai, dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
Rasional : menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk
meminimalkan kehilangan cairan.
f) Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada
perlindung bibir.
Rasional : dehidrasi megakibatkan bibir dan mulut kering dan
pecah-pecah.
g) Pertahankan penghisapan gaster/ usus.
Rasional : selang NGT biasanya dimasukan pada praoperasi dan
dipertahankan pada fase segera pasca operasi untuk dekompresi
usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah.
h) Berikan cairan IV dan elektrolit.
Rasional : peritonium bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan
menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan
19
volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi
dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
3) Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi
jaringan usus oleh inflamasi : adanya insisi bedah
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks,
mampu istirahat/ tidur dengan cepat.
Intervensi :
a) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10).
Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri
menunjukan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya
evaluasi medik dan intervensi.
b) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional : gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam
abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen
yang bertambah dengan posisi terlentang.
c) Dorong dan ajarkan ambulasi dini
Rasional : meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh :
merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan
ketidaknyamanan abdomen.
20
d) Berikan aktivitas hiburan
Rasional : fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
e) Pertahankan puasa/ penghisapan NG pada awal.
Rasional : menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus
dini dan iritasi gaster/ muntah.
f) Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama
dengan intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk.
g) Berikan kantong es pada abdomen
Rasional : menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui
penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan
kompres panas karena dapat menyebabkan kompresi jaringan.
4) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan dengan tidak mengenal
sumber informasi dan salah interpretasi informasi.
Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan
potensial komlikasi.
KH : berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
a) Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi, contoh :
olahraga, seks, latihan menyetir.
21
Rasional : memberikan informasi pada pasien untuk
merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan
masalah.
b) Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh :
peningkatan nyeri, edema/ eritema luka, adanya drainase,
demam.
Rasional : upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi
serius, contohnya : peritonitis, lambatnya proses penyembuhan.
c) Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat
periodik.
Rasional : mencegah kelemahan, meningkatan penyembuhan
dan perasaan sehat, mempermudah kembali ke aktivitas normal.
d) Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan,
pembatasan mandi dan kembali ke dokter untuk mengangkat
jahitan/ pengikat.
Rasional : pemahaman meningkatkan kerjasama dengan
program terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses
perbaikan.
e) Berikan laksatif/ pelembek fases jika diinginkan dan hindari
enema.
Rasional : membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah
mengejan saat defekasi (Doenges, 2005).
22
C. Nyeri
1. Definisi
Batasan atau definisi nyeri yang diusulkan oleh the international
association for the study pain adalah suatu pengalaman perasan dan emosi
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan sebenarnya
ataupun potensial pada suatu jaringan. Nyeri merupakan perasaan tubuh
atau bagian dari tubuh manusia, yang senantiasa tidak menyenangkan dan
keberadaan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman rasa (Judha, 2012).
Nyeri adalah suatu yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh
stimulus spesifik seperti mekanik, ternal, kimia atau elektrik pada ujung-
ujung saraf serta tidak dapat diserahkan kepada orang lain. Nyeri bersifat
subjektif dan hanya pasien yang dapat merasakan adanya nyeri. Perawat
dapat mengetahui adanya nyeri dari keluhan pasien dan tanda umum atau
respon fisiologis tubuh pasien terhadap nyeri. Keluhan dan respon tubuh
terhadap nyeri dapat berupa pasien tampak meringis kesakitan, nadi
meningkat, berkeringat, nafas cepat, pucat, berteriak, dan tekanan darah
meningkat (Lukas, 2004).
Nyeri merupakan pegalaman subjektif yang meliputi interaksi
kompleks dari fisiologis, psikososial, budaya, dan pengaruh lingkungan.
Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan mental, sedangkan kerusakan dapat
terjadi pada jaringan actual atau pada fungsi ego seorang individu. Nyeri
dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
23
yang tidak meyenangkan yang berjaitan dengan kerusakan jaringan yang
sudah terjadi maupun berpotensi terjadi (Judha, 2006).
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan durasi
Berdasarkan durasinya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut
dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera
akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat
dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan
berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung dari beberapa
detik hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013).
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama,
intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.
Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan
tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya (Potter dan Perry, 2005).
b. Berdasarkan asal
Nyeri diklasifikasikan berdasarkan asalnya dibedakan menjadi
nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri
yang dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang,
sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri
post operatif dan nyeri kanker.
24
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas
yang didapat pada struktur saraf perier maupun sentral. Nyeri ini
bertahan lebih lama dan akan sulit diobati. Pasien akan mengalami
nyeri seperti rasa terbakar (Andarmoyo, 2013).
c. Berdasarkan Lokasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sebagai
berikut (Potter dan Perry, 2006):
1) Superficial atau Kutaneus
Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi kulit.
Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya tertusuk jarum
dan luka potong kecil atau laserasi.
2) Viseral dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ
internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke
beberapa arah. Pada nyeri ini menimbulkan rasa tidak
menyenangkan, dan berkaitan dengan mual atau gejala-gejala
otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ
yang terlibat. Contohnya sensai pukul seperti angina pectoris dan
sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.
3) Nyeri alih
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena
banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat
25
terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat
dengan berbagai karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi pada
infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang dan lengan
kiri.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat
awal cedera ke bagian tubuh lain. Karakteristiknya nyeri terasa
seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian
tubuh. Contohnya nyeri punggung bagian bawah akibat diskus
intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang
tungkai dari iritasi saraf skiatik.
3. Mekanisme nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan
melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi
nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan
jaringan yang hebat (Brookoff, 2000 dalam Rizaldy, 2007).
Nyeri terjadi apabila terdapat adanya rangsangan mekanikal, termal
dan kimiawi yang melewati ambang rangsang tertentu. Rangsangan akan
terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan ujung saraf bebas.rangsangan
akan dibawa sebagai implus saraf melalui saraf A bermielin berkecepatan
hantar yang cepat dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat,
tajam, terlokalisasi serta serabut C yang tidak bermielin berkecapatan
26
hantar saraf lambat dan bertanggung jawab atas nyeri ynag tumpul dan
tidak terlokalisasi dengan jelas.
4. Respons terhadap nyeri
a. Respons fisiologis
Menurut Smeltzer, S.C & Bare B.G (2002) dalam Andarmoyo
(2013), respons fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk
laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan
untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu.
Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke
batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri
berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ
dalam maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi.
Respons stimulasi simpatik contohnya peningkatan frekuensi denyut
jantung, dilatasi pupil, dan peningkatan kadar glukosa darah.
Sedangkan stimulasi respons parasimpatik contohnya pucat, ketegangan
otot, dan penurunan denyut jantung atau tekanan darah (Potter dan
Perry, 2006).
b. Respons Perilaku
Respons perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam.
Meskipun respons perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama
27
bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respons perilaku seharusnya tidak
boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali
dalam situasi yang tidak lazim (misal orang tersebut menderita retardasi
mental yang sangat berat atau tidak sadar). Respons perilaku nyeri klien
dapat dilihat melalui vokalisasi, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan
interaksi sosial (Potter dan Perry, 2006).
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi respons nyeri
Mc. Caffery dan Prasero (1999) dalam Prasetyo (2010), menyatakan
bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri
yang ia rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi individu terhadap nyeri, faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Usia
Usia dapat berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri.
Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia,
misalnya semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin
bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespons terhadap nyeri. Hanya saja beberapa kebudayaan
memengaruhi jenis kelamin dalam memakni nyeri, misal : menganggap
bahwa anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan
anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter dan
Perry, 2006).
28
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan memengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006).
d. Gaya koping
Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan
koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk
memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri.
Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung
melakukan latihan atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana
asuhan keperawatan sebagai upaya mendukung klien dan mengurangi
nyeri sampai tingkat tertentu (Potter dan Perry, 2006)
e. Dukungan keluarga sosial
Faktor lain yang bermakna memengaruhi respons nyeri ialah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
pada anggota keluarga terdekat atau teman terdekat untuk mendapat
dukungan, bantuan dan perlindungan (Potter dan Perry, 2006).
6. Penilaian respons intensitas nyeri
Menurut Tamsuri (2007) dalam Khodijah (2011), intensitas nyeri
merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
29
serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri.
Penilaian Intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala
sebagai berikut :
b. Skala analog visual
Gambar 2.1 Skala Analog Visual
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah suatu
garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau angka (Potter dan Perry, 2006).
30
c. Skala numerik
Gambar 2.2 Skala Numerik
Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik (Potter dan Perry, 2006).
d. Skala deskriptif
Gambar 2.3 Skala Deskriptif
Keterangan :
0 : tidak ada nyeri.
1-3 : nyeri ringan, secara obyektif klien mampu
berkomunikasi dengan baik.
31
4-6 : nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dan dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih merespon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi,
nafas panjang, maupun distraksi.
10 : nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, respon memukul.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal, (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan
jarak yang sama di sepanjang garis. Perawat menunjukkan
klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri terbaru yang diarasakan.Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006).
32
7. Penatalaksanaan nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006), penatalaksanaan nyeri dapat dibagi
menjadi dua cara, yaitu :
a. Manajemen farmakologis
1) Analgesik narkotik
2) Analgesik non narkotik
b. Manajemen non farmakologis
1) Bimbingan antisipasi
2) Terapi es dan panas/kompres panas dan dingin
3) Distraksi
4) Relaksasi
5) Imajinasi terbimbing
6) Hipnosis
7) Akupuntur
8) Umpan balik biologis
9) Masase/effleurage
10) Kompres Dingin
D. Effleurage/ Pemijatan
1. Definisi
Masssage atau pemijatan pada abdomen (effleurage) adalah bentuk
stimulasi kulit yang digunakan selama proses persalinan dalam
menurunkan nyeri secara efektif. Effleurage berasal dari bahasa prancis.
Ketika catatan dari Dr. Fernand Lamazes diterjemahkan dari bahasa
33
prancis kedalam bahasa inggris, salah satu kata yang baru adalah
effleurage (Mons Dragon, 2005).
Effleurage adalah tekhnik pemijatan berupa usapan lembut, lambat
dan panjang atau tidak putus-putus. Tehnik ini menimbulkan efek
relaksasi. Lakukan usapan dengan ringan dan tanpa tekanan kuat, tetapi
usahakan ujung jari tidak lepas dari permukaan kulit. Pijatan effleurage
dapat juga dilakukan di punggung. Tujuan utamanya adalah relaksasi
(Mons Dragon, 2005).
Effleurage adalah suatu gerakan dengan mempergunakan seluruh
telapak tangan melekat pada bagian bagian tubuh yang di gosok (Bambang
Trisno Wiyoto, 2011).
2. Metode effleurage
Langkah-langkah melakukan tehnik ini adalah kedua telapak
tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola gerakan
melingkari abdomen, di mulai dari shimpisis pubis, arah ke samping perut,
umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis pubis
(Pilliteri, 1993), bentuk pola gerakannya seperti kupu-kupu. Ulangi
gerakan diatas selama 3-5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil
tambahan jika dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009: 341).
34
3. Variasi effleurage
Dalam remidial massage, terdapat beberapa macam variasi effleurage,
antara lain :
a. Gosokan dengan menggunakan telapak tangan dilakukan dengan
tekanan yang dangkal (superficial stroking).
b. Gosokan dengan mempergunakan pangkal telapak tangan dilakukan
dengan tekanan yang dalam.
c. Gosokan dengan menggunakan punggung kepalan tangan pada otot-otot
yang besar dengan lebar bagian pinggang dan punggung dilakukan
dengan tekanan yang dalam.
d. Gosokan dengan menggunakan kedua ibu jari (Bambang Trisno
Wiyoto, 2011).
4. Efek effleurage
Efek terapeutik atau penyembuhan dari effleurage ini antara lain adalah :
a. Membantu melancarkan peredaran darah vena dan peredaran getah
bening/cairan limfe.
b. Membantu memperbaiki proses metabolisme.
c. Menyempurnakan proses pembuangan sisa pembakaran atau
mengurangi kelelahan.
d. Membantu penyerapan (absorbsi) odema akibat peradangan.
e. Relaksasi dan mengurangi rasa nyeri (Bambang Trisno Wiyoto, 2011).
35
E. Relaksasi
1. Definisi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan
fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi
terhadap nyeri.
Relaksasi adalah suatu tindakan pengurangan tekanan mental, fisik,
dan emosi melalui suatu aktivitas dengan tujuan tertentu yang dapat
menenangkan pikiran dan fisik seseorang (Lowdermilk, D. L. & Perry se.
2004).
Relaksasi adalah satu tehnik dalam terapi perilaku yang berguna
untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan. Relaksasi merupakan suatu
terapi yang diberikan kepada pasien dengan cara menegangkan otot-otot
tertentu, kemudian relaksasi (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Metode
Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan
kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut
jantung, penurunan respirasi serta penurunan ketegangan otot. Contoh
tindakan relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah
napas dalam dan relaksasi otot. Berikut prosedur napas dalam dan
relaksasi otot yang dapat di ajarkan pada klien :
a. Nafas dalam
1) Anjurkan pasien untuk duduk relaks.
2) Anjurkan klien untuk tarik napas dalam dengan pelan.
36
3) Tahan beberapa detik, kemudian lepaskan (tiupkan lewat bibir).
Saat menghembuskan udara anjurkan klien untuk merasakan
relaksasi.
b. Relaksasi Otot
1) Anjurkan pasien untuk mengepalkan tangan dan mintalah klien
merasakan, biarkan ketegangan bebrapa detik.
2) Mintalah klien untuk melepaskan kepalan, dan relaks.
3) Lanjutkanlah tindakan yang sama pada bebrapa otot (lengan, bahu,
muka, kaki).
3. Tujuan
Relaksasi bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan,
menurunkan ketegangan otot dan tulang, serta secara tidak langsung dapat
mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan yang berhubungan dengan
fisiologis tubuh (Kozier & Olivieri, 1996).
Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih pasien agar dapat
mengondisikan dirinya untuk mencapai suatu keadaan rileks. Pada saat
seseorang sedang mengalami ketegangan dan kecemasan, syaraf yang
bekerja adalah sistem saraf smpatis (berperan dalam meningkatkan denyut
jantung). Pada saat relaksasi, yang bekerja adalah sistem saraf
parasimpatis. Dengan demikian, relaksasi dapat menekan rasa tegang dan
rasa cemas dengan cara resiprok (saling berbalasan) sehingga timbul
counter conditioning dan pengalihan nyeri serta kecemasan yang dialami
seseorang.
37
4. Indikasi
Latihan relaksasi dapat digunakan pada pasien yang mengalami
nyeri, untuk mengurangi rasa nyeri kerena kontraksi otot, mengurangi
pengaruh dari situasi stress, dan mengurangi efek samping dari kemoterapi
pada pasien kanker (Sheridan & Radmacher, 1992). Hal ini terjadi karena
tehnik relaksasi dapat mengurangi ketegangan, kecemasan, dan menurunkan
sensitivitas nyeri (Basset Healthcare, 2008).
5. Manfaat
Keuntungan relaksasi adalah dapat mengatasi tekanan darah tinggi
dan ketidakteraturan denyut jantung, mengurangi nyeri kepala, nyeri
punggung, dan nyeri lainya serta mengatasi gangguan tidur (Bensong &
Proctor, 2002).
Relaksasi telah dikenal dalam meringankan rasa nyeri dan tingkat
kecemasan seseorang. Metode ini diduga bekerja dengan memutuskan
lingkaran jalur nyeri dan ketegangan. Beberapa percobaan menduga, bahwa
relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri akut, meskipun kualitas nyeri
tersebut bervariasi (Bandoiler, 2007).
38
9. Kerangka Teori
Faktor penyebab :
Faktor penyebab :
Apendiksitis
Laparotomi
Gambar 2.4 kerangka teori
Nyeri pembedahan
Teknik relaksasi effleurage
Nyeri berkurang
Nyeri hilang
Frekuensi denyut jantung meningkat
Dilatasi pupil
Peningkatan kadar glukosa darah
Relaksasi
Aksi stimulasi saraf parasimpatik
Otot relaks
Frekuensi denyut jantung turun s/d
normal
39
10. Kerangka Konsep
Gambar 2.5 kerangka konsep
Nyeri akut Teknik relaksasi effleurage
40
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek karya tulis ilmiah
Subyek dari riset ini adalah orang dewasa yang menderita apendisitis.
B. Tempat dan waktu
Aplikasi riset ini direncanakan akan dilakukan di ruang flamboyen RSUD
Sukoharjo pada tanggal 9-25 Maret 2015.
C. Media dan alat yang digunakan
Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan :
1. Lembar observasi
2. Media
a. Alat ukur nyeri
b. Bolpen
D. Prosedur tindakan
Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi riset tentang Pemberian
Metode Effleurage dalam Mengurangi Rasa Nyeri pada pasien post
appendicitis adalah :
41
Tabel 3.1 Prosedur tindakan
N0 Tindakan
1 Orientasi
a. Mengucapkan salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan
d. Menjelaskan prosedur tindakan
e. Menanyakan kesiapan pasien
2 Fase kerja
a. Mencuci tangan
b. Memposisikan pasien
c. Memberikan baby oil di daerah yang akan di pijat
d. Lakukan pijatan kearah pusat ke simphisis
e. Lakukan pemijatan dengan gerakan melingkar atau satu arah
3
Fase terminasi
a. Mengevaluasi tindakan
b. Menjelaskan rencana tindak lanjut’
c. Mengucapkan salam
42
E. Alat ukur evaluasi
Alat ukur evaluasi yang digunakan sebagai berikut :
Tabel 3.2 Alat ukur nyeri
TGL HARI ALAT UKUR KESIMPULAN
43
BAB IV
LAPORAN KASUS
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang aplikasi jurnal pemberian tehnik
relaksasi effleurage terhadap penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Ny. N
dengan appendicitis di ruang flamboyan RSUD Sukoharjo. Asuhan keperawatan
Ny. N meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah
keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian
dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 08.30 WIB dengan menggunakan
metode autoanamnesa dan allowanamnesa.
A. Identitas pasien
Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama klien Ny.N, usia 55
tahun, beragama islam, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), pekerjaan sebagai
ibu rumah tangga, beralamat di Ngeluyu rt 03/03 Mancasan, Baki, Sukoharjo,
dirawat di RSUD Sukoharjo dengan diagnosa medis post operasi apendiktomi,
dengan nomor registrasi 216xxx. Identitas penanggung jawabnya adalah Tn.N
berusia 27 tahun, pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA), pekerjaan
swasta, alamat di Ngeluyu rt 03/03 Mancasan, Baki, Sukoharjo, hubungan dengan
klien sebagai anak.
B. Pengkajian
Keluhan utama klien saat dikaji, klien mengeluhkan nyeri pada perut
bagian kanan bawah. Riwayat penyakit sekarang klien mengatakan bahwa sudah
merasakan nyeri perut bagian kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu, nyeri sering
43
44
kambuh kemudian di periksakan di poli bedah umum RSUD Sukoharjo untuk
diperiksa. Klien dianjurkan untuk operasi apendiktomi pada hari selasa tanggal 10
Maret 2015, setelah di operasi kemudian di tentukan diagnosa post operasi
apendiktomi dan di rawat di ruang flamboyan RSUD Sukoharjo untuk penangan
lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu, klien mengatakan tidak mempunyai riwayat
penyakit menular atau berbahaya hanya batuk, pilek, panas, klien belum pernah
mengalami kecelakaan maupun operasi sebelumnya. Klien tidak mempunyai
alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
Pengkajian riwayat kesehatan keluarga
Gambar 4.1 genogram
Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: pasien
: meninggal
: tinggal dalam satu rumah
45
Hasil riwayat kesehatan keluarga penulis lupa dalam mencantumkan inisial
dari keluarga maupun klien.
Riwayat kesehatan keluarga, klien mengatakan bahwa di dalam
keluarganya tidak ada penyakit keturunan seperti diabetes melitus, jantung, dan
hipertensi. Riwayat kesehatan lingkungan, klien mengatakan bahwa sekitar
lingkungan bersih.
Hasil pengkajian pola Gordon, pada pola persepsi dan pemeliharaan
kesehatan klien mengatakan bahwa sehat itu mahal harganya dan klien ingin cepat
sehat kembali, klien menyesal setelah mengetahui penyakitnya harus dioperasi.
Pola nutrisi dan metabolisme sebelum sakit makan 3x sehari dengan nasi,
sayur, lauk pauk, teh atau air putih, klien tidak memiliki keluhan dan makan satu
porsi habis. Selama sakit klien makan 3x sehari dengan makanan yang disediakan
rumahsakit (bubur, sayur, lauk pauk, teh atau air putih, klien hanya makan ½ porsi
karena sedikit mual).
Pola eliminasi BAK sebelum sakit klien mengatakan bahwa BAK 4-7x
sehari ± 120cc sekali BAK dengan kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Selama
sakit BAK terpasang dc kateter.
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien mampu melakukan
perawatan diri secara mandiri (score 0). Selama sakit untuk makan/minum,
berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM, klien
memerlukan bantuan orang lain (score 2). Sedangkan untuk toileting klien di
bantu dengan alat (score 3).
46
Pola istirahat tidur, sebelum sakit klien mengatakan dapat tidur dengan
nyenyak baik malam maupun siang, tidur malam ±7 jam dan siang ±1 jam.
Selama sakit klien mengatakan sering terbangun karena rasa nyeri, klien tidur ±6
jam dan siang hari ±1 jam.
Pola kognitif-perseptual sebelum sakit klien mampu berbicara dengan
lancar, pendengaran dan penglihatan baik, klien juga mampu beraktivitas normal.
Selama sakit klien tidak dapat berkaktivitas secara mandiri karena menahan nyeri
Pola persepsi konsep diri, sebelum sakit klien mengatakan bahwa dia
selalu percaya diri, selama sakit klien mengatakan menerima keadaanya saat ini
dan klien ingin segera sembuh untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Pola hubungan peran, sebelum sakit klien mengatakan bahwa tidak
mengalami masalah hubungan dengan keluarga maupun lingkungan sekitar.
Selama sakit klien mengatakan hubungan tetap baik dengan keluarga maupun
lingkungan sekitar.
Pola seksual dan reproduksi, sebelum sakit klien mengatakan tidak
memiliki suami karena meninggal, klien mempunyai 3 anak dan tidak ingin
mempunyai anak lagi. Selama sakit klien mengatakan bahwa sudah tidak
memiliki suami karena meninggal, klien mempunyai 3 anak dan tidak ingin
memiliki anak lagi.
Pola mekanisme koping, klien mengatakan bila mempunyai masalah selalu
mengatakan kepada keluarganya dan bermusyawarah untuk memecahkan
masalah. Selama sakit klien mengatakan bahwa saat mengetahui masalah
47
kesehatanya klien merundingkan dengan keluarganya untuk segera melakukan
penanganan lebih lanjut.
Pola nilai dan keyakinan, sebelum sakit klien mengatakan bahwa
beragama islam dan selalu melakukan sholat 5 waktu. Selama sakit klien
mengatakan bahwa dia hanya bisa berdoa selama sakit.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran klien composmentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/ menit teraba kuat dan irama teratur,
respirasi 20x/ menit irama teratur, dan suhu 36,5°C. Bentuk kepala mesochepal,
kulit kepala bersih. Rambut kuat, hitam dan sedikit beruban. Pemeriksaan mata
didapatkan data mata simetris kanan-kiri, fungsi penglihatan baik, konjungtiva
tidak anemis, dan sklera tidak ikterik. Mulut simetris, bersih, dan mukosa bibir
lembab. Gigi sejajar dan bersih. Telinga simetris, tidak ada serumen, dan tidak
mengalami gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan leher, tidak terdapat
pembesaran kelenjar tyroid.
Pada pemeriksaan fisik paru, didaptakan hasil inspeksi : bentuk dada
simetris, tidak ada jejas, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi :
sonor, auskultasi : vasikuler dan irama teratur. Pada pemeriksaan fisik abdomen,
didapatkan hasil inspeksi : perut simetris, ada luka post operasi apendiktomi pada
bagian kanan bawah, auskultasi : bising usus 15x/ menit, perkusi : redup di
kuadran 1 dan tympani di kuadran 2, 3, 4, palpasi : tidak dilakukan.
Pemeriksaan genetalia, didapatkan hasil genetalia ersih dan tidak ada jejas
dan terpasang kateter. pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan hasil
kekuatan otot tangan kanan 4 (bergerak terbatas) dan tangan kiri 5 (bergerak
48
bebas), tetapi tangan kanan terpasang infus RL 20 tpm, peraban akral hangat,
tidak ada odema, dan capilary reffil < 2 detik. Pemeriksaan ekstremitas bawah
diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan dan kiri 5 ( bergerak bebas), perubahan
akral hangat, tidak ada odema, dan capilary reffil < 2 detik.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Maret 2015 di peroleh hasil :
leokosit 12.6 10^3/ul (nilai normal 4.5-11.0), eritrosit 4.42 10^6/ul (nilai normal
4.30-6.30), hemoglobin 11,8 g/dl (nilai normal 13.5-17.5), hematokrit 35% (nilai
normal 44-72), MCV 74.3 FL (nilai normal 98-122). MCH 24.5 Pg (nilai normal
33-41), MCHC 33.0 g/dl (nilai normal 31-35), trombosit 295 10^3/ul (nilai normal
229-553), RDW-CV 14.6 FL (nilai normal 11.5-14.5), PDW 10.1 FL, MPV 9.%
FL, D-LCR 21.6, PCT 0.28, NRBC 0.00 (nilai normal 0-1), neutrofil 71.5 (nilai
normal 17.8-68), limfosit 20.0 (nilai normal 20.0-70.0), monosit 6.00 (nilai normal
1.00-11.0), eosinofil 1.40 (nilai normal 1.0-5.0), basofil 0.60 (nilai normal 0-1).
LG 0.50 , golongan darah A, GDS 122 mg/dl (nilai normal 0-120), ureum 32.o,
creatinin 0.63.
Hasil pemeriksaan EKG tanggal 7 Maret 2015 didapatkan hasil HR 104
bpm, R-R 142 ms, P-R 142 ms, QRS 87ms, QT 33.1 ms, QTC 440 , Axis 13 deg,
RVS 1.08 mv, SvI 0.99 mv, RTS 2.07 mv. Hasil pemeriksaan foto thorax tanggal 7
Maret 2015 didapatkan hasil COR tidak membesar dengan penonjolan arcusaorta,
Pulmo tampak corakan bronchovaskuler normal, kedua apex terang, diagfragma
dan sinus baik, sistema tulang intract.
49
Selama dirawat di ruang flamboyan, klien mendapatkan therapy infus
RL 20 tpm untuk mengembalikan cairan elektrolit, injeksi ketorolak 30 mg/8
jam untuk pengelolaan nyeri berat dalam jangka pendek, injeksi ceftriaxone
1gr/12 jam untuk infeksi gram positif dan negatif pada saluran nafas, saluran
kemih, dan injeksi ranitidin 50 mg/8 jam untuk pengobatan tukak lambung
jagka pendek.
C. Daftar perumusan masalah
Data pengkajian dan observasi di atas, penulis melakukan analisa data
dan merumuskan diagnosa keprawatan. Data subyektif : klien mengatakan
nyeri ketika berpindah, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam, nyeri terasa
di bagian perut kanan bawah (luka post operasi apendiktomi), dengan skala
nyeri 4, nyeri hilang timbul. Data obyektif : klien tampak gelisah, perubahan
posisi untuk menghidari nyeri, sikap tubuh melindungi, TD : 120/80 mmHg,
nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit. Berdasarkan data di atas maka penulis
merumuskan diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik (post operasi apendiktomi).
Data subyektif : klien tidak mengatakan apapun. Data obyektif :
tampak panjang sayatan ±5cm, luka tampak bersih,tidak ada tanda tanda
kemerahan , dan tidak ada pus, leokosit 12.6 10^3/ul, TD : 120/80 mmHg,
nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit. Berdasarkan data di atas maka penulis
merumuskan masalah keperawatan yaitu resiko infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif.
50
Data subyektif : klien mengatakan sedikit bergerak dan aktivitas di
bantu keluarga. Data obyektif : klien tampak kesulitan membalik posisi,
pergerakan lambat, tremor akibat pergerakan. Berdasarkan data di atas maka
penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan ketidak nyamanan.
D. Perencanaan / intervensi keperawatan
Berdasarkan rumusan masalah keperawatan yang diperoleh di atas,
maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang dengan
kriteria hasil klien tampak tenang, skala nyeri berubah menjadi 1-2 atau hilang,
mampu mengenali nyeri.
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah
observasi tingkat nyeri (PQRST) dengan rasional untuk mengetahui tingkat
nyeri, Berikan posisi yang nyaman dengan rasional untuk mengurangi nyeri,
Berikan masase effleurage dengan rasional dapat memberikan relaksasi otot
untuk menurunkan nyeri, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgetik (ketorolac 30mg/8jam) dengan rasional analgesik memblok lintasan
nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
Rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam didapatkan tidak ada tanda-tanda infeksi dengan
kriteria hasil tidak ada kemerahan, tidak ada pus, luka bersih.
Rencana atau intervensi keperawatan yang dilakukan adalah observasi
tanda-tanda infeksi dengan rasional untuk mendeteksi dini terhadap infeksi
51
akan mudah, lakukan perawatan luka dengan menggunakan tehnik septik dan
aseptik dengan rasional untuk menurunkan terjadinya infeksi dan penyebaran
bakteri, Observasi luka insisi dengan rsaional memberikan deteksi dini
terhadap infeksi dan perkembangan luka, Ukur tanda-tanda vital dengan
rasional untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi.
Rencana keperawatan dengan tujuan tindakan keperawatan selama 2x24
jam di dapatkan klien mampu berakaktivitas secara mandiri dengan kriteria
hasil klien mampu berpindah tempat, aktivitas klien mandiri, mampu
melakukan aktivitas tanpa bantuan, mampu berjalan sendiri, mampu makan
sendiri.
Rencana atau intervensi tindakan keperawatan yang di lakukan adalah
Anjurkan dan pantau klien dalam hal penggunaan alat bantu dengan rasional
menilai batasan kemampuan aktivitas optimal, ajarkan dan dukung klien dalam
latihan rom aktif dan pasif dengan rasional untuk mempertahankan /
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot, kaji tingkat kemampuan rom aktif
pasien dengan rasional untuk dapat membantu dalam mempertahankan /
meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot, ajarkan tehnik aktivitas dan
latihan dengan rasional untuk melatih aktivitas dan latihan.
E. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan yang pertama dilakukan pada hari kamis tanggal 12
Maret 2015 pukul 08.30 yaitu mengobservasi tingkat nyeri (PQRST). Respon
klien : klien mengatakan nyeri ketika berpindah, nyeri terasa seperti tertusuk,
dengan skala nyeri 4, nyeri terasa di perut bagian kanan bawah (luka post
52
operasi apendiktomi), nyeri hilang timbul. Respon obyektif : eskpresi wajah
klien menahan nyeri.
Pukul 08.35 WIB memberikan masase effleurage dengan respon
subyektif klien mengatakan bahwa bersedia di berikan masase effleurage dan
klien merasakan lebih mendingan setelah diberikan masase dengan skala nyeri
berubah menjadi 3. Data obyektif klien terlihat lebih rileks, klien kooperatif.
Pukul 09.00 WIB kolaborasi dalam pemberian analgetik (ketorolac 30
mg ranitidin 50 mg dan ceftriaxone 1 gr) respon subyektif klien mengatakan
bahwa bersedia di suntik. Respon obyektif klien tampak tenang, obat injeksi
ketorolac, ranitidin, dan ceftriaxone sudah masuk melalui IV.
Pukul 09.30 WIB mengobservasi tanda tanda infeksi, respon subyektif
klien klien tidak mengeluhkan apapun. Data obyektif luka tampak bersih, tidak
ada kemerahan, tidak ada pus, dan panjang sayatan ± 5cm.
Pukul 10.00 WIB mengkaji tingkat kemampuan rom aktif, dengan respon
subyektif klien mengatakan bahwa dapat menggerakan sendinya (bergerak
bebas). Data obyektif klien tampak kooperatif.
Pukul 10.10 WIB mengajarkan tehnik aktivitas dan latihan, dengan
respon subyektif klien mengatakan bahwa ketika duduk klien masih
memerlukan bantuan keluarga dan klien bersedia untuk di ajari aktivitas dan
latihan. Data obyektif klien tampak kooperatif.
53
Pukul 14.30 WIB memberikan masase effleurage, dengan respon
subyektif klien mengatakan bahwa bersedia di masase, dan klien mengatakan
nyeri berkurang setelah dilakukan masase/ pemijatan effleurage dengan skala
nyeri 2. Data obyektif klien tampak lebih rileks dan tenang.
Pukul 14.45 WIB mengobservasi luka insisi, dengan respon subyektif
klien tidak mengatakan apapun. Data obyektif tampak luka bersih, tidak ada
kemerahan, dan panjang sayatan ± 5cm.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada hari kedua, Jum’at 13 Maret
2015 pukul 08.30 WIB adalah mengobservasi tingkat nyeri klien , dengan data
subyektif klien mengatakan nyeri sudah berkurang hanya ketika buang gas
nyeri terasa, nyeri sperti tertekan, nyeri pada perut bagian kanan bawah dengan
skala 2, nyeri timbul ketika terasa buang gas. Data obyektif klien tampak
tenang.
Pukul 08.35 WIB memberikan masase/pemijatan effleurage, dengan
respon subyektif klien mengatakan bersedia di berikan masase, dan klien
mengatakan nyeri sudah berkurang atau hampir tidak ada dengan skala nyeri 1.
Data obyektif klien tampak lebih rileks.
Pukul 09.00 WIB mengkaji tingkat kemampuan rom aktif, dengan respon
subyektif klien mengatakan sudah dapat berdiri sendiri, dapat berjalan dengan
sendiri mampu makan sendiri dan sudah tidak meminta bantuan keluarga. Data
obyektif klien tampak duduk dengan rileks.
54
F. Evaluasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian dievaluasi
pada hari kamis tanggal 12 Maret 2015 pukul pukul 08.30 WIB dengan
metode SOAP. Klien mengatakan nyeri ketika berpindah posisi, nyeri terasa
seperti tertusuk, nyeri pada perut bagian kanan bawah (luka post operasi
apendiktomi), nyeri hilang timbul. Ekspresi klien tampak menahan nyeri.
Hasil analaisa keperawatan nyeri akut belum teratasi karena kriteria hasil
dalam tujuan belum tercapai. Intervensi dilanjutkan yaitu mengobservasi
tingkat nyeri (PQRST), dan memberikan masase effleurage.
Pada pukul 08.30 WIB penulis juga mengevaluasi untuk masalah
keperawatan yang kedua, diperoleh hasil : klien tidak mengatakan apapun.
Luka tampak bersih, panjang sayatan ±5 cm, tidak ada pus, dan tidak ada
kemerahan. Hasil analisa belum teratasi. Intervensi dilanjutkan yaitu
mengobservasi tanda-tanda infeksi, mengobservasi luka insisi.
Pada pukul 08.30 WIB penulis juga mengevaluasi untuk masalah
keperawatan yang ketiga, diperoleh hasil : klien mengatakan masih belum
banyak bergerak dan aktivitas masih di bantu keluarga. Ekspresi klien tampak
kesulitan dalam membalik posisi, pergerakan klien tampak lambat. Hasil
analaisa masalah keperawatan belum teratasi. Intervensi perlu dilanjutkan
yaitu mengajarkan dan dukun klien dalam latihan rom aktif dan pasif,
mengkaji tingkat rom aktif.
Pada hari kedua, Jum’at 13 Maret 2015 pukul 08.30 WIB penulis juga
melakukan evaluasi. Klien mengatakan nyeri sudah berkurang atau hampir
55
tidak ada hanya ketika waktu buang gas. Nyeri terasa seperti tertekan dengan
skala nyeri 1, nyeri pada perut bagian kanan bawah, nyeri timbul ketika ingin
buang gas. Ekspresi klien tampak lebih rileks. Hasil analisa msalah
keperawatan sudah teratasi sebagian dengan nyeri sudah berkurang atau
hilang. Intervensi di hentikan.
Pukul 08.30 WIB penulis juga melakukan evaluasi masalah keperawatan
yang kedua. Klien tidak mengatakan apapun. Dengan luka bersih, tidak ada
nanah atau pus dan tidak ada kemerahan, panjang sayatan ±5 cm ekspresi
klien rileks. Hasil analaisa masalah keperawatan sudah teratasi sebagian.
Intervensi sudah dihentikan.
Pukul 08.30 WIB penulis juga melakukan evaluasi hasil ketiga. Klien
mengatakan sudah bisa beraktivitas dengan mandiri dapat berjalan dengan
sendiri tanpa bantuan orang lain. Ekspresi klien tampak berpindah possisi
dengan mandiri. Hasil analisa keperawatan masalah sudah teratas sebagian.
Intervensi dihentikan.
56
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan membahas tentang aplikasi jurnal pemberian tehnik
relaksasi effleurage terhadap penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Ny.
N dengan appendicitis yang dilakukan pada tanggal 09-21 Maret 2015.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan
waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respons klien saat ini dan
waktu sebelumnya (Carpenito, 2005).
Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 08.30 WIB
dengan keluhan utama klien mengatakan nyeri. Tournaire dan Theau
Yonneau (2007) dalam Judha, dkk (2012), mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang
berhubungan dengam risiko atau aktualnya kerusakan jaringan.
Pengkajian riwayat penyakit sekarang, klien mengatakan nyeri pada perut
bagian kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu, nyeri sering kambuh kemudian
di periksakan di poli bedah umum, dari poli di anjurkan untuk melakukan
operasi apendiktomi.
Secara umumnya, keluhan utama pada kasus post operasi apendiktomi
adalah rasa nyeri yang hebat. Nyeri tersebut timbulkarena setelah terjadi post
operasi akan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang menambah rasa
56
57
nyeri. Nyeri dapat timbul pada saat aktifitas dan hilang pada saat istirahat,
atau terdapat nyeri tekan pada daerah post operasi (Rendy, M.C dan
Margareth, 2012).
Pengkajian pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien mampu
melakukan perawatan diri secara mandiri (score 0). Selama sakit untuk
makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah,
ambulasi/ROM, klien memerlukan bantuan orang lain (score 2). Sedangkan
untuk toileting klien memerlukan bantuan orang lain dan alat (score 1).
Adanya nyeri dan gerak yang terbatas menyebabkan semua bentuk aktivitas
klien menjadi berkurang dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain
(Muttaqin, 2008).
Pola kognitif-perceptual, klien mengatakan tidak mengalami gangguan
pada penginderaan maupun komunikasi, tetapi klien merasa nyeri pada perut
bagian kanan bawah. Klien mengatakan nyeri karena post operasi
apendiktomi, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam dengan skala nyeri 4,
nyeri terasa di perut bagian kanan bawah nyeri timbul ketika ada pergerakan
atau tekanan.
Pengkajian nyeri meliputi (PQRST). P: mengatakan nyeri ketika
berpindah, Q: nyeri terasa seperti tertusuk. R: nyeri terasa di perut bagian
kanan bawah (luka post operasi apendiktomi). S: dengan skala nyeri 4. T:
nyeri hilang timbul. P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulus –
stimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri yang dirasakan, R
(Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan
58
nyeri, T (Time) yang berarti awitan, durasi dan rangkaian nyeri (Prasetya,
2010).Dalam pola perseptual penulis lupa dalam mencantumkan pengkajian
(PQRST)
Dalam pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan hasil kekuatan
otot tangan kanan 4 (bergerak terbatas) dan kiri 5 (bergerak bebas), tangan
kiri mampu bergerak bebas tetapi tangan kanan gerakan terbatas karena
terpasang infus RL 20 tpm, perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan
capilary refill < 2 detik. Sedangkan pada pemeriksaan ekstremitas bagian
bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan 5 (bergerak bebas), kekuatan
kaki kiri 5 (bergerak bebas), perabaan akral hangat, tidak ada oedema, dan
capilary refill < 2 detik. Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan
klien untuk melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan
penahanan (Muttaqin, 2008).
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 07 Maret 2015 diperoleh hasil:
hemoglobin 11.8 g/dl (nilai normal 13.5-17.5), hematokrit 35.8% (nilai
normal 33-45), leukosit 12.6 ribu/ul (nilai normal 4.5-11.0), MCH 24.5 g/dl
(nilai normal 33.0-41.0), neutrofil 71.5 (nilai normal 17-68), golongan darah
A, GDS 122 mg/dl (nilai normal 0-120).
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium di atas menunjukkan
adanya penurunan nilai hemoglobin, peningkatan nilai leukosit. Penurunan
kadar hemoglobin biasanya disebabkan oleh anemia akibat perdarahan,
sedangkan peningkatan jumlah leukosit merupakan stress normal setelah
trauma (Rendy, M.C dan Margareth, 2012).
59
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu,
keluarga, dan komunitas terhadap masalah keperawatan yang aktual dan
potensial, atau proses kehidupan (Potter dan Perry, 2005).
Diagnosa keperawatan pertama pada Ny.N yang diangkat penulis yaitu
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi apendiktomi).
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat dari
beberapa detik hingga enam bulam (Andarmoyo, 2013).
Hal ini sesuai dengan teori hierarki Maslow yang menyebutkan bahwa
nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan
hal yang mutlak di penuhi manusia untuk bertahan hidup dan harus dipenuhi
terlebih dahulu dari pada kebutuhan yang lain (Mubarak, 2008).
Saat dilakukan pengkajian didapatkan data subyektif : klien mengatakan
nyeri ketika berpindah posisi, nyeri terasa seperti tertusuk, nyeri terasa pada
perut bagian kanan bawah dengan skala nyeri 4, nyeri terasa hilang timbul.
Data obyektif : ekspresi wajah klien tampak gelisah, sikap tibuh melindungi.
Batasan karakteristik nyeri yaitu : perubahan frekuensi jantung, perubahan
fekuensi pernapasan, gelisah, meringis, perubahan posisi untuk menghindari
nyeri (Wilkinson, 2009).
Respon perilaku terhadap nyeri yang ditunjukan oleh klien sangat
beragam. Salah satunya dapat dilihat dari ekspresi wajah yaitu meringis,
60
menggelutkan gigi, mengerutkan dahi, menggigit bibir, menutup mata dan
mulut dengan rapat, serta membuka mata dan mulut dengan lebar (Andarmoyo,
2013).
Nyeri yang dialami Ny.N merupakan nyeri akut karena memiliki awitan
yang cepat dan dirasakan kurang dari dua bulan. Hal ini sesuai dengan teori
yang mengatakan bahwa nyeri akut memiliki awitan yang cepat dengan
intensitas yang bervariasi dan berlangsung dari beberapa detik sampai enam
bulan (Andarmoyo, 2013).
Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik (luka post operasi apendiktomi) sebagai diagnosa yang prioritas
dan aktual karena nyeri merupakan faktor utama. Secara verbal klien
mengatakan mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan
berkaitan dengan nyeri yang dirasakannya. Hal ini sesuai dengan teori hierarki
Maslow yang menyebutkan bahwa nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak di penuhi manusia untuk
bertahan hidup dan harus dipenuhi terlebih dahulu dari pada kebutuhan yang
lain (Mubarak, 2008).
Diagnosa kedua yang diangkat penulis yaitu resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif. Resiko infeksi adalah keadaan dimana seorang
individu berisiko terserang oleh agen patogenik dan oportunistik (virus, jamur,
bakteri, protozoa, atau parasit lain) dari sumber-sumber eksternal, sumber-
sumber eksogen dan endogen (NANDA, 2009-2011).
61
Saat dilakukan pengkajian diperoleh data subyektif : klien tidak
mengatakan apapun. Data obyektif : tampak panjang sayatan 5cm, luka bersih,
tidak ada nanah atau pus dan tidak ada tanda-tanda kemerahan. Hal ini sesuai
degan pasien dan teori mengenai resiko infeksi yaitu mengalami peningkatan
risiko terserang organisme patogenik (NANDA,2009-2011).
Diagnosa ketiga yang diangkat penulis yaitu hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan prosedur invasif. Hambatan mobilitas fisik adalah
keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh pada satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah (Nurarif, 2013).
Saat dilakukan pengkajian diperoleh data subyektif : klien mengatakan
sedikit bergerak dan aktivitas masih di bantu oleh keluarga. Data obyektif :
klien terlihat kesulitan membalik posisi, pergerakan klien juga lambat, tremor
akibat pergerakan. Menurut Nurarif, (2013) batasan karakteristik hambatan
mobilitas fisik yaitu kesulitan membolak-balik posisi, serta keterbatasan
rentang pergerakan sendi, dan sesuai dengan pengkajian pada pasien
Diagnosa ke empat resiko tinggi kekurangan volume cairan
berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pasca operasi,
status hipermetabolik, inflamasi peritonium dengan cairan asing. Resiko tinggi
kekurangan volume cairan adalah penurunan cairan intravaskuler, intertisial,
dan atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saja tanpa
perubahan pada natrium (Wilkinson, 2009). Pada pengkajian tidak ditemukan
tanda-tanda rekiko tinggi kekurangan volume cairan yaitu : tidak ada
penurunan berat badan, tidak ada penurunan turgor kulit. Sesuai dengan
62
batasan karakteristik pada resiko tinggi kekurangan volume cairan yaitu :
penurunan pada tekanan darah, penurunan turgor kulit, penurunan haluaran
urine, penurunan berat badan secara tiba-tiba.
Diagnosa ke lima kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang
kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan dengan tidak mengenal sumber
informasi dan salah interpretasi informasi. Defiseinsi pengetahuan adalah
ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu.Batasan karakterisrik diagnosa keperawatan defisiensi pengetahuan :
perilaku hiperbola, ketidakakuratan mengikuti perintah, perilaku tidak tepat
(missal agitasi, apatis), pengungkapan masalah. (NANDA, 2012). Pada
pengkajian tidak ditemukan tanda-tanda difisiensi pengetahuan yaitu : tidak
mengungkapkan masalah secara verbal, tidak menunjukan perilaku yang tidak
sesuai atau terlalu berlebihan, sesuai dengan batasan karakteristik difisiensi
pengetahuan yaitu mengungkapkan masalah secara verbal, perilaku yang tidak
sesuai atau terlalu berlebihan. (Wilkinson, 2012).
C. Intervensi keperawatan
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan,
bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan, dari semua
tindakan keperawatan (Dermawan, 2012 )
Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan
dengan kondisi pasien yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan
dengan SMART, Spesifik, Measurable, Acceptance, Rasional dan Timing
63
(Dermawan, 2012). Pembahasan dari intervensi yang meliputi tujuan, kriteria
hasil dan tindakan yaitu pada diagnosa keperawatan :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan
adalah observasi tingkat nyeri (PQRST) yaitu Berguna dalam pengawasan
keefektifan obat, kemajuan penyembuhan (Doenges, 2005). Berikan posisi
yang nyaman yaitumenghilangkan tegangan abdomen yang bertambah
dengan posisi terlentang (Doenges, 2005). Berikan masase effleurage yaitu
Relaksasi dan mengurangi rasa nyeri (Bambang Trisno Wiyoto, 2011).
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik (ketorolac
30mg/8 jam) yaitu Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan
intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk (Doenges, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dan Ny. N sesuai dengan teori.
Sesuai dengan batasan karakteristik yaitu posisi untuk menghindari nyeri,
prilaku distraksi, mengungkapkan secara verbal untuk melaporkan nyeri
(Wilkinson, 2012).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan
adalah observasi tanda-tanda infeksi yaitu untuk mendeteksi dini terhadap
infeksi akan mudah (Wilkinson, 2012). Lakukan perawatan luka dengan
menggunakan tehnik septik dan aseptik yaitu membersihkan, memantau,
dan memfasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan
(Wilkinson. 2012). Observasi luka insisi yaitu memberikan deteksi dini
64
terhadap infeksi dan perkembangan luka (Wilkinson. 2012). Ukur tanda-
tanda vital yaitu untuk mengetahui dugaan adanya infeksi/terjadinya
sepsis, abses, peritonitis (Doenges, 2005). Berdasarkan data yang
diperoleh penulis dan Ny. N sesuai denga teori.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan prosedur invasif
Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah
Anjurkan dan pantau klien dalam hal penggunaan alat bantu yaitu menilai
batasan kemampuan aktivitas optimal (Wilkinson, 2012). Ajarkan dan
dukung klien dalam latihan rom aktif dan pasif yaitu mempertahankan atau
mengembalikan fungsi tubuh (Wilkonson, 2012). Kaji tingkat kemampuan
rom aktif pasien yaitu membantu dalam mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot (Wilkinson, 2012). Ajarkan tehnik aktivitas
dan latihan yaitu membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya
(Wilkinson, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dan Ny. N, dari teori tidak
ada masalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan prosedur
invasif. Penulis mengangkat diagnosa tersebut sehingga penulis
mengambil diagnosa dari Nanda. Sesuai dengan batasan karakteristik
kesulitan membolak-balik posisi tubuh, keterbatasan kemampuan,
melambatnya pergerakan (Wilkinson, 2012).
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pasca operasi, status
hipermetabolik, inflamasi peritonium dengan cairan asing.
65
Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah
Berikan cairan IV dan elektrolit yaitu memberikan dan memantau cairan
dan obat intravena seta mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mengatur keseimbangan elektrolit (Wilkinson, 2012). Awasi masukan dan
keluaran yaitu mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mencegah atau meminimalkan malnutrisi (Wilkinson, 2012). Pemantauan
cairan yaitu mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan (Wilkinson, 2012). Awasi tekanan darah dan nadi
yaitu membantu mengidentifikasikan fluktuasi volume intra vaskuler
(Wilkinson, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dan Ny. N, penulis tidak
mengangkat diagnosa tersebut karena dalam pengkajian pada Ny. N tidak
didapatkan masalah dengan resiko kekurangan volume cairan sesuai
dengan batasan karakteristik pasien tidak ada penurunan haluaran urine,
penurunan berat badan secara tiba-tiba, perubahan status mental
(Wilkinson, 2012)
5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan dengan tidak mengenal sumber informasi dan salah
interpretasi informasi.
Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah
Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi, contoh : olahraga, seks,
latihan menyetir yaitu memberikan informasi pada pasien untuk
merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah
66
(Wilkinson, 2012). Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik,
contoh : peningkatan nyeri, edema/eritema luka, adanya drainase, demam
yaitu upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius, contohnya :
peritonitis, lambatnya proses penyembuhan (Wilkinson, 2012). Dorong
aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik yaitu mencegah
kelemahan, meningkatan penyembuhan dan perasaan sehat,
mempermudah kembali ke aktivitas normal (Wilkinson, 2012).
Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan
mandi dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat yatu
pemahaman meningkatkan kerjasama dengan program terapi,
meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan (Wilkinson, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dan Ny. N, penulis tidak
mengangkat diagnosa tersebut karena dalam pengkajian pada Ny. N tidak
didapatkan masalah kurangnya pengetahuan/difisiensi pengetahuan. Sesuai
dengan batasan karakteristik mengungkapkan masalah secara verbal,
performa uji tidak akurat (Wilkinson, 2012).
D. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang di perlukan untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter dan
Perry, 2005).
67
1. Diagnosa : nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Penulis melakukan tindakan teknik relaksasi effleurage selama 2
hari berturut-turut, dengan frekuensi perhari 6 jam sekali, bila tindakan ini
tidak dilakukan akan berdampak pada hasil penurunan nyeri. Saat sebelum
dilakukan tindakan relaksasi skala nyeri 4 dengan respon klien tampak
gelisah, perubahan posisi untuk menghindari nyeri dan di hari kedua
diperoleh skala nyeri menjadi 1 dengan respon klien rileks, nyaman.
Effleurage adalah tekhnik pemijatan berupa usapan lembut, lambat
dan panjang atau tidak putus-putus. Tehnik ini menimbulkan efek
relaksasi. Lakukan usapan dengan ringan dan tanpa tekanan kuat, tetapi
usahakan ujung jari tidak lepas dari permukaan kulit. Pijatan effleurage
dapat juga dilakukan di punggung. Tujuan utamanya adalah relaksasi
(Mons Dragon, 2005). Effleurage adalah suatu gerakan dengan
mempergunakan seluruh telapak tangan melekat pada bagian bagian tubuh
yang di gosok (Bambang Trisno Wiyoto, 2011).
Langkah-langkah melakukan tehnik ini adalah kedua telapak
tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola gerakan
melingkari abdomen, di mulai dari shimpisis pubis, arah ke samping perut,
umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis pubis
(Pilliteri, 1993). Bentuk pola gerakannya seperti kupu-kupu. Ulangi
gerakan diatas selama 3-5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil
tambahan jika dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009: 341).
68
Berdasarkan jurnal yang dikutip oleh fitrianingrum tahun 2013
dengan judul “Pemberian Tehnik Relaksasi Effleurage Terhadap
Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Apendiktomi di RSUD Kudus”, hal ini
sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh penulis yaitu pemberian
tehnik relaksasi effleurage terhadap penurunan nyeri pada asuhan
keperawatan Ny.N dengan appendiksitis di ruang flamboyan RSUD
Sukoharjo. Hasil dari tindakan tersebut juga dipengaruhi oleh observasi
nyeri dan pemberian obat medis yaitu ketorolac yang berpengaruh juga
dengan perubahan skala nyeri.
2. Diagnosa : resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Penulis melakukan tindakan observasi tanda-tanda infeksi dengan
rasionalnya untuk mendeteksi dini terhadap infeksi akan mudah, bila
tindakan ini tidak dilakukan akan berdampak pada hasildiagnosa
(Wilkinson, 2012). Mengobservasi luka insisi dengan rasionalnya
memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka, bila
tindakan ini tidak dilakukan akan berdampak pada hasil evaluasi
(Wilkinson, 2012). Hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan
penulis yaitu luka bersih, tidak ada kemerahan, dan panjang sayatan
sekitar 5 cm, tidak terdapat pus.
3. Diagnosa : hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan prosedur invasif
Penulis melakukan tindakan mengkaji tingkat kemampuan rom aktif
dengan rasional dapat membantu dalam mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot, bila tindakan ini tidak dilakukan akan
69
berdampak pada hasil evaluasi (Wilkinson, 2012). Mengajarkan teknik
aktivitas dan lahitan dengan rasional melatih aktivitas dan latihan, bila
tindakan ini tdak dilakukan akan berdampak pada hasil evaluasi
(Wilkinson, 2012). Hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan
penulis yaitu klien dapat ber aktivitas secara mandiri, dapat berdiri secara
mandiri, mampu makan sendiri.
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari proses
keperawatan untuk mengukur respons klien terhadap tindakan keperawatan dan
kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan (Potter dan Perry, 2006). Evaluasi
pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (luka post
operasi apendiktomi). Pada hari pertama Subyektif : Klien mengatakan nyeri
ketika berpindah posisi, nyeri terasa seperti tertusuk, nyeri pada perut bagian
kanan bawah (luka post operasi apendiktomi), nyeri hilang timbul. Obyektif :
Ekspresi klien tampak menahan nyeri, skala nyeri 3. Analisa : Hasil analaisa
keperawatan nyeri akut belum teratasi karena kriteria hasil dalam tujuan belum
tercapai. Planning : Intervensi dilanjutkan yaitu mengobservasi tingkat nyeri
(PQRST), dan memberikan masase effleurage. Pada hari kedua Subyektif :
Klien mengatakan nyeri sudah berkurang atau hampir tidak ada hanya ketika
waktu buang gas. Nyeri terasa seperti tertekan dengan skala nyeri 1, nyeri pada
perut bagian kanan bawah, nyeri timbul ketika ingin buang gas. Obyektif :
Ekspresi klien tampak lebih rileks, skala nyeri 1. Analisa : Hasil analisa
70
masalah keperawatan sudah teratasi sebagian dengan nyeri sudah berkurang
atau hilang. Planning : Intervensi di hentikan.
Evaluasi untuk diagnosa risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif. Subyektif: klien tidak mengatakan apapun. Obyektif : luka tampak
bersih, panjang sayatan ±5 cm, tidak ada push, dan tidak ada kemerahan.
Analisa : hasil analisa belum teratasi. Planning : intervensi dilanjutkan yaitu
mengobservasi tanda-tanda infeksi, mengobservasi luka insisi. Pada hari kedua.
Subyektf : Klien tidak mengatakan apapun. Obyektif : Dengan luka bersih,
tidak ada nanah atau push dan tidak ada kemerahan, panjang sayatan ± 5cm
ekspresi klien rileks. Analisa : Hasil analaisa masalah keperawatan sudah
teratasi sebagian. Planning : Intervensi sudah dihentikan.
Evaluasi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
prosedur invasif di peroleh hasil. Subyektif : klien mengatakan masih belum
banyak bergerak dan aktivitas masih di bantu keluarga. Obyektif : ekspresi
klien tampak kesulitan dalam membalik posisi, pergerakan klien tampak
lambat. Analisa : hasil analaisa masalah keperawatan belum teratasi. Planning :
intervensi perlu dilanjutkan yaitu mengajarkan dan dukung klien dalam latihan
rom aktif dan pasif, mengkaji tingkat rom aktif. Pada hari kedua Subyektif :
Klien mengatakan sudah bisa beraktivitas dengan mandiri dapat berjalan
dengan sendiri tanpa bantuan orang lain. Obyektif : Ekspresi klien tampak
berpindah possisi dengan mandiri. Analisa : Hasil analisa keperawatan masalah
sudah teratasi. Planning : Intervensi dihentikan.
71
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di susun dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengkajian
Hasil pengkajian terhadap Ny. N dengan appendicitis didapatkan
adanya keluhan nyeri pada perut kanan bawah, pada pemeriksaan fisik
pasien terpasang dc kateter. Pada hasil pemeriksaan laboratorium leukosit
meningkat menjadi 12,6 10^3/ul, hemoglobin menurun menjadi 11,8
g/dl, hematokrit 35 %, mcv menurun menjadi 74,3 FL, mch 24,5 Pg,
neutrofil meningkat menjadi 71,5.
2. Rumusan Masalah
Setelah dilakukan pengkajian pada Ny. N dengan appendicitis,
yang diangkat yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik,
resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, dan hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan prosedur invasif.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada kondisi Ny. N
dengan appendicitis adalah pemberian tehnik relaksasi effleurage,
pengkajian nyeri, relaksasi nafas dalam, pemenuhuan kebutuhan ADL,
dan pemberian terapi farmakologi.
71
72
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan pada Ny. N dengan appendicitis adalah
pemberian tehnik relaksasi effleurage, pengkajian nyeri, relaksasi nafas
dalam, pemenuhuan kebutuhan ADL, dan pemberian terapi farmakologi.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi Ny. N dengan appendiksitis selama 2x24 jam, Ny. N
dengan appendicitis tidak mengeluh nyeri, skala nyeri 1, tidak ada tanda
tanda infeksi, tidak tanpak tanda-tanda hambatan mobilitas fisik, tidak
terdapat kelemahan aktivitas dari pasien, pasien dapat rmobilisasi di
tempat tidur.
6. Analisa Aplikasi Jurnal dengan Kasus
Hasil pemberian tehnik relaksasi effleurage terhadap penurunan
nyeri pada pasien apendiksitis Setelah dilakukan tindakan tersebut dapat
di evaluasi bahwa nyeri pada pasien menurun atau hilang. Dari skala 4
menjadi skala 1. Menunjukkan bahwa aplikasi pemberian tehnik relaksasi
effleurage dapat menurunkan rasa nyeri.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Ny. N dengan
appendicitis penulis akan memberikan usulan dan masukan yang positif
khusunya dibidang kesehatan antara lain:
73
1. Bagi Penulis
Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien post op
apendiktomi dengan pemberian pemberian tehnik relaksasi effleurage
diharapkan penulis dapat lebih mengetahui cara menurunkan nyeri.
2. Bagi Institusi
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang
lebih berkualitas sehingga dapat menghasilkan perawat yang profesional,
terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
3. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun
klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan
keperawatan yang optimal pada umumnya dan klien dengan appendicitis.
4. Bagi Keluarga dan Pasien
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Ny. N dengan
appendicitis diharapkan pasien dan keluarga mampu merawat anggota
keluarga yang mengalami nyeri akut dengan memberikan tehnik relaksasi
effleurage.
74
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta:
Ar-Ruzzmedia.
Bambang trisno wiyoto. 2011.Remedial Massage.Panduan Pijat Penyembuhan
Bagi Fisioterapi Praktisi dan Instruktur. Yogyakarta: Nuha Medika
Brunner dan suddarth. 2002. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Ebnezar, john. 2005. Essential of Orthopaedics for physiotherapy. Jaypee.
Fitrianingrum, Indanah & Suwanto. 2013. Pemberian Tehnik Relaksasi
Effleurage Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Appedictomy Di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus. JIKK, Vol. 4, No. 2, Juli
2013. Diakses pada 18 februari 2015, from
http://www.google.co.id/journal.stikesmuhkudus.ac.id
Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Yogyakarta :
Nuha Medika
L.Longso, Dan S. Fauci Anthony. 2014. Gastroenterologi dan hepatologi.
Jakarta: EGC
Jauhar M. 2013. Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta. Prestasi
Pustakaraya
NANDA. 2012. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Nurarif A.H dan Hardhi K. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA. Yogyakarta : Media Action
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik. Volume 1. Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik. Volume 2. Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Sigit Nian Prasetyo. 2010. Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri
Smeltzer, S.C dan Bare B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8 Vol 3. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
75
Syamsuhidayat. 2010. Buku Ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC.
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Tina Shinta Parulinan, JunatrinSitompul & Anne Nur O. Pengaruh Tehnik
Effleurage Massage Terhadap Penurunan Nyeri Pada Ibu Post Partum di
Rumah Sakit Sariningsih Bandung. Diakses pada 18 februari 2015
Solehati T &Kosasih C. 2015. Konsep Dan Aplikasi relaksasi dalam Keperawatan
Maternitas.Bandung : PT Refika Aditama
Wilkinson. 2011-2014. Diagnosa Keperawatan. NANDA
Wilkinson. 2014. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. NICNOC. Edisi 9: Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC.