pemberian terapi musik untuk meningkatkan...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN TERAPI MUSIK UNTUK MENINGKATKAN STATUS
KESADARAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT DI INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH SALATIGA
DISUSUN OLEH :
DIAN PRATIWI
NIM.P.13015
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PEMBERIAN TERAPI MUSIK UNTUK MENINGKATKAN STATUS
KESADARAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT DI INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH SALATIGA
Karya Tulis Ilmiah
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
DIAN PRATIWI
NIM.P.13015
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA
HUSADASURAKARTA
2016
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Terapi Musik Untuk Meningkatkan Status
Kesadaran Pada Asuhan Keperawatan Tn.S Dengan Cedera Kepala Berat Di
Instalasi Unit Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani, M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan sebagai Penguji I yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
3. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yag telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Anissa Cindy Nurul Afni, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing
sekaligus sebagai Penguji II yang telah membimbing dengan cermat,
memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan
serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
v
6. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 12 Mei 2016
Dian Pratiwi
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................... 5
C. Manfaat Penulisan .................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori .......................................................................... 8
1. Cedera kepala berat ........................................................... 8
2. Status Kesadaran ............................................................... 26
3. Terapi Musik ..................................................................... 29
B. Kerangka teori .......................................................................... 36
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset .................................................................. 37
B. Tempat dan waktu .................................................................... 37
C. Media dan alat yang digunakan ................................................ 37
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ........................... 37
E. Alat ukur evauasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset ...... 40
vii
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien .......................................................................... 41
B. Pengkajian ................................................................................ 41
C. Perumusan masalah keperawatan ............................................. 46
D. Perencanaan .............................................................................. 48
E. Implementasi ............................................................................ 50
F. Evaluasi .................................................................................... 54
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ................................................................................ 56
B. Perumusan masalah keperawatan ............................................. 67
C. Perencanaan .............................................................................. 70
D. Implementasi ............................................................................ 75
E. Evaluasi .................................................................................... 78
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................... 81
B. Saran ......................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerangka Teori ................................................................. 36
2. Gambar 3.1 Ukuran GCS...................................................................... 40
3. Gambar 4.1 Genogram ......................................................................... 44
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Usulan Judul
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Surat Pernyataan
Lampiran 4 : Jurnal
Lampiran 5 : Asuhan Keperawatan
Lampiran 6 : Log Book
Lampiran 7 : Pendelegasian
Lampiran 8 : Lembar Observasi
Lampiran 9 : SOP pemberian Terapi Musik
Lampiran 10 : Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
World Health Organization (WHO) 2014 mencatat angka cedera
kepala sebanyak 940.000 (2,4%) diseluruh dunia. Kejadian cedera kepala di
Amerika Serikat pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang
terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak 296.678 orang (59,3%), cidera
kepala sedang sebanyak 100.890 orang (20,17%) dan cidera kepala berat
sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari sejumlah kasus tersebut 10%
penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit.
Cedera kepala di Indonesia menempati peringkat pertama pada urutan
cedera yang dialami oleh korban kecelakaan lalu lintas yaitu sebesar 33,2%.
Menurut data dari (riset kesehatan dasar) Riskesdas 2013 ada sebanyak
18,9% korban kecelakaan lalu lintas yang mengalami cedera kepala. Di Jawa
Tengah pada Tahun 2013 presentase kecelakaan sepeda motor mencapai
40,1% cedera kepala di jawa tengah juga disebabkan karena korban tidak
memakai helm (Riskesdes, 2013).
Angka kejadian cedera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan
Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus. Angka kasus cedera kepala di
IGD sendiri sejak tanggal 2 Juli-29 Juli 2012 (1 bulan) yaitu 43 pasien
dengan 29 (68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan yang mengalami
cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera kepala ringan
2
(CKR) sebanyak 21 (48,8%) , cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%)
dan cidera kepala berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas. Angka kejadian cedera kepala di RSUD Salatiga
pada tahun 2011 mencapai 572 kasus dengan 559 hidup dan 13 diantaranya
meninggal (Rekam Medik RSUD Salatiga).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Morton, 2012). Cedera kepala dapat diklasifikasikan
menurut berat ringannya Glasgown Coma Scole (GCS) dimana nilai GCS 3-8
merupakan cedera kepala berat, nilai GCS 9-12 merupakan cedera kepala
sedang dan nilai GCS 13-15 merupakan klasifikasi cedera ringan
(Nurarif, 2013). Cedera kepala berat dengan GCS 3-8 beresiko mengalami
kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam
(Satyanegara, 2010).
Cedera kepala berat cedera menunjukkan dimana otak mengalami
memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan
(Batticaca, 2008). Komplikasi cedera kepala berat adalah edema serebral dan
herniasi, defisit neurologis, infeksi sistemik, osifikasi heterotrofik nyeri
tulang pada sendi-sendi yang menunjang berat badan (Batticaca, 2008).
Dalam tahap peka rangsang serebral, klien sadar tetapi sebaliknya terganggu
oleh suatu stimulus suara, cahaya, dan bunyi-bunyian dan kadang-kadang
menjadi hiperaktif (Batticaca, 2008).
Seseorang dengan cedera kepala atau trauma kepala akan mengalami
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer dapat
3
terjadi ketika otak mengalami benturan sehingga merusak sruktur organ dan
fungsi dari otak. Sedangkan cedera sekunder timbul jika kondisi pasien jatuh
kedalam situasi yang lebih buruk seperti adanya penurunan kesadaran,
hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, udema otak yang meningkatkan
resiko kematian pasien trauma kepala (Margareth, 2012).
Penanganan dibutuhkan segera cepat dan tepat untuk menangani
kondisi pasien dengan cedera kepala atau trauma kepala terutama pasien
dengan trauma kepala berat (Nurarif, 2013). Penanganan medis yang
dibutuhkan yaitu pemberian pengobatan seperti anti edema serebri, anti
kejang, dan natrium bikarbonat selain dengan pembedahan yaitu pemberian
posisi kepala, oksigenasi agar menjaga perfusi jaringan perifer dan serebral
untuk meningkatkan status kesadaran pasien cedera kepala berat agar tetap
stabil (Satyanegara, 2010).
Pada pasien dengan cedera kepala berat Glasgow Coma Scale (GCS)
< 9. Hasil penelitian menyebutkan nilai GCS berbanding lurus dengan angka
kematian pasien cedera kepala berat. Semakin rendah GCS, peluang kematian
semakin tinggi sehingga, meningkatkan status kesadaran pasien dapat
menjadi rujukan dalam proses perawatan pasien cedera kepala berat
(Sudiharto dan Sartono), 2010. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan status kesadaran adalah terapi musik (Nettina,
2001).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asrin, dkk (2007) menunjukkan
bahwa terapi musik berpengaruh siknifikan untuk meningkatkan status
4
kesadaran pasien cedera kepala berat. Respon-respon fisik dan psikososial
juga menunjukkan perubahan yang positif pada kelompok perlakuan karena
selama sesi terapi dilakukan terdapat respon berupa keluarnya air mata,
gerakan jari-jari tangan dan kaki, gerakan daerah sekitar rahang serta usaha
untuk membuka dan menggerakkan kelopak mata.
Terapi musik adalah aktivitas musik untuk mengatasi berbagai
masalah dalam aspek fisik, psikologis, kognitif, dan kebutuhan sosial individu
yang mengalami cacat fisik (Djohan, 2011). Musik sebagai salah satu terapi
keperawatan telah banyak digunakan dalam dunia kesehatan. Hasil penelitian
sekaligus memperkuat argumentasi-argumentasi teoritis beberapa hasil studi
tentang terpi musik terdahulu. Hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa
instrumentalia yang lembut akan memberikan efek tenang dan menurunkan
stres dan kecemasan dengan sangat luar biasa (Mucci & Mucci, 2002). Musik
juga merupakan kekuatan yang luar biasa dalam memberikan efek emosional
dan mampu menjangkau jauh kedalam dan menyentuh inti setiap pribadi
(Mucci & Mucci, 2002).
Kini terapi musik sebagai terapi alternatif telah dikembangkan pada
berbagai bagian dirumah sakit untuk mengatasi berbagai jenis penyakit,
khususnya dalam rehabilitasi neurologis. Saat seseorang mendengarkan
musik, gelombangnya ditransmisikan melalui ossicles ditelinga tengah dan
melalui cairan cochlear berjalan menuju nervus auditori dan merangsang
mengeluarkan hormon endofrin. Endofrin memiliki efek relaksasi pada tubuh
(Novita, 2011).
5
Efek yang ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus sistem
syaraf simpatis. Respon yang muncul dari penurunan aktivitas tersebut adalah
menurunkan aktivitas adrenali, menurunkan ketegangan neuromuskular,
meningkatkan kesadaran. Indikator yang biasa diukur adalah menurunnya
heart Rate, menurunnya asam lambung dan penurunan tekanan darah
(Novita, 2011).
Berdasarakan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk
mengaplikasikan tindakan Pemberian Terapi Musik untuk Meningkatkan
Status Kesadaran Pasien Cedera Kepala Berat.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan pemberian terapi musik untuk meningkatkan
status kesadaran pada pasien Cedera Kepala Berat.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Cedera
Kepala Berat.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa Keperawatan pada pasien
dengan Cedera Kepala Berat.
c. Penulis mampu menyusun intervensi Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan Cedera Kepala Berat.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan Cedera
Kepala Berat.
6
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan Cedera
Kepala Berat.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi musik untuk
meningkatkan status kesadaran pada pasien Cedera Kepala Berat.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan alternatif tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh
keluarga secara mandiri untuk meningkatkan status kesadaran pasien
cedera kepala berat.
2. Rumah sakit
Hasil pengaplikasian ini dapat dijadikan sumber referensi penerapan
terapi musik dalam asuhan keperawatan yang diberikan untuk
meningkatkan status kesadaran pasien cedera kepala berat .
3. Bagi Pendidik
Menjadi referensi baru bagi proses pembelajaraan di institusi pendidikan
untuk menambah terapi-terapi yang didapat dalam pembelajaraan
kurikulum.
4. Bagi Peneliti
Hasil pengaplikasian ini memberikan pengalaman serta pengetahuan baru
bagi peneliti dalam bidang keperawatan gawat darurat khususnya dalam
melakukan terapi musik untuk meningkatkan status kesadaran pada
pasien cedera kepala berat.
7
5. Bagi Perawat
Hasil pengaplikasian ini dapat dijadikan informasi bagi perawat lain
dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan cedera kepala
khususnya tindakan mandiri perawat dalam melakukan terapi musik
untuk meningkatkan status kesadaran pada pasien cedera kepala berat.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN TEORI
1. Cedera kepala berat
a. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2012). Cedera kepala berat
adalah cedera kepala berat, di mana otak mengalami memar
dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan
(Batticaca, 2008).
b. Etiologi cedera kepala berat
Menurut Kusuma dan Nurarif, (2013) Mekanisme cedera
kepala meliputi cedera kepala akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselerasi, coup-counture coup, dan cedera kepala ratasional.
1) Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam
kepala yang tidak bergerak (misal, alat pemukul penghantam
kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
2) Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentuk obyek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
9
3) Cedera akselerasi-deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan
episode kekerasan fisik.
4) Cedera coup-counture coup
Terjadi jika kepela terbentur yang menyebabkan otak bergerak
dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali
terbentuk. Sebagian contoh pasien dipukul bagian belakang
kepala.
5) Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau
robeknya neuron dalam substansia otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.
c. Klasifikasi Cedera kepala berat
Menurut Kusuma dan Nurarif, (2013) klasifikasi cedera kepala berat
adalah
1) Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi:
a) Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea
tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
10
b) Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan
kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma
sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi
respon fisiologs cedera otak, termasuk edema serebral,
perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral,
iskemia serebral , hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau
sistemi.
c) Menurut jenis cedera
(1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur
tulang tengkorak dan laserasi duameter. Trauma yang
menembus tengkorak dan jaringan otak.
(2) Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien
dengan gegar otak ringan dengan cedera cerebral yang
luas.
d) Menurut berat ringannya berdasarkan Gaslown Coma Scale
(GCS)
(1) Cedera kepala ringan / minor
(a) GCS 14-15
(b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi
kurang dari 30 menit
(c) Tidak ada fraktur tengkorak
(d) Tidak ada kontusia serebral, hematoma
11
(2) Cedera kepala berat
(a) GSC 3-8
(b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam
(c) Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau
hematoma intra kranial
d. Komplikasi cedera kepala berat
Menurut Batticaca, (2008) komplikasi cedera kepala berat yaitu :
1) Edema serebral dan herniasi
2) Defisit neurologis
3) Infeksi sistemik (pneumonia,ISK,septikemia)
4) Infeksi bedah neuro (infeksi luka, asteomelitis, meningitis,
ventrikulitis, abses otak)
5) Osifikasi heterotrofik ( nyeri tulang pada sendi-sendi yang
mnunjang berat badan)
e. Gambaran klinis cedera kepala berat
Menurut Lionel, (2008) Cedera kepala, terutama karena
kecelakaan lalu lintas, sering terjadi pada keadaan cedera multipel
sehingga membutuhkan tata laksana resusitasi segera:
1) Airway (jalan napas)-perhatikan khusus pada tulang servikal,
karena dapat terjadi fraktur dan atau dislokasi
2) Breathing (pernapasan)
3) Circulation (sirkulasi)
12
4) Cedera dada mayor (hemotoraks, pneumotoraks)
5) Perdarahan abdomen mayor
Setelah semua aspek diatas telah diperiksa dan ditangani,
maka baru dilakukan penilaian cedera kepala, tulang belakang,
kemudian anggota gerak.
Riwayat cedera kepala seringkali didapatkan dari saksi.
Pertimbangan yang penting meliputi:
1) Keadaan cedera-pasien mungkin mengalami cedera akibat
hilangnya kesadaran sebelumnya, misalnya pada serangan
kejang.
2) Lamanya periode hilang kesadaran, dan amnesia pascatrauma.
Adanya ‘interval lusid’ antara periode awal hilangnya
kesadaran pada waktu impaksi, dan tingkat kesadaran pasien
yang kembali memburuk, menunjukkan adanya perkembangan
komplikasi sekunder yang dapat diatasi, yaitu hematoma
intrakranial.
3) Nyeri kepala dan muntah persisten-mungkin menunjukkan
adanya hematoma intrakranial.
f. Patofisiologi cedera kepala berat
Menurut Rendy dan Margareth, (2012) patofisiologi cedera kepala
berat yaitu: Otak dapat berfungsu dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan
didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
13
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan
disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-
60 ml/ menit/ 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari
cardiac output.
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
14
pembuluh arah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :
1) Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pad cedera primer dapat terjadi :
a) Gegar kepala ringan
b) Memar otak
c) Laserasi
2) Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a) Hipotensi sistemik
b) Hipoksia
c) Hiperkapnea
d) Udema otak
e) Komplikasi pernafasan
f) Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
15
g. Penatalaksanaan pada cedera kepala berat
Menurut Batticaca, (2008) penatalaksanaan cedera kepala berat
meliputi :
1) Penatalaksanaan medis
a) Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan
posisi kepala dan leher sejajar.
b) Traksi ringan pada kepala
c) Kolar servikal
d) Terapi untuk mempertahankan homeostasis otak dan
mencegah kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem
kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol
perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan evaluasi gas darah
arteri.
e) Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan
pemantauan TIK. Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan
oksigenasi yang adekuat; pemberian manitol untuk
mengurangi edema kepala dengan dehidrasi osmotik,
hiperventilasi, penggunaan steroid; meninggikan posisi
kepala ditempat tidur; kolaborasi bedah neuro untuk
mengangkat bekuan darah; dan jahitan terhadap laserasi
dikepala. Pasang alat pemantau TIK selama pembedahan
16
atau dengan teknik aseptik di tempat tidur. Rawat klien di
ICU.
f) Tindakan perawatan pendukung yang lain, yaitu
pemantauan ventilasi dan pencegahan kejang serta
pemantauan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi.
Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik (ventilator) bila
klien koma berat untuk mengontrol jalan napas.
Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan
vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan
penurunan TIK. Pemberian terapi antikonvulsan untuk
mencegah kejang setelah trauma kepala yang menyebabkan
kerusakan otak sekunder karena hipoksia (seperti
klorpromazin tanpa tingkat kesadaran). Pasang NGT bila
terjadi penurunan motilitas lambung dan peristaltik terbalik
akibat cedera kepala.
2) penanganan non medis yang dibutuhkan terapeutik dari
sentuhan, masase, dan terapi musik (Nettina, 2001).
h. Pemeriksaan Cedera kepala berat
Menurut Rendy dan Margareth, (2012) pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan pada pasien cedera kepala berat adalah :
1) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasikan
luasnya lesi, perdaahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : untuk mengetahui adnya infrk / iskemia
17
jangan dilekukan pada 24-72 jam setelah injuri.
2) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis
3) X-Ray : Mendeteksi perubahan stuktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarhan/edema), fragmen tulang.
4) BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
5) PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
6) CSF, Lumabal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
7) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
i. Asuhan Keperawatan
Menurut Wijaya dan Putri, (2013) asuhan keperawatan pada pasien
cedera kepala berat dilakukan dengan tahap yaitu :
1) Pengkajian (Primary Survey)
Identitas Klien : Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
diagnosa medis, nomor register, prioritas triase
a) Pengkajian Primer
(1) Airway (A)
Berisi pengkajian terkait kepatenan jalan nafas baik actual
maupun potensial (benda asing, darah, muntah, cairan,
lidah, pembengkakan dsb)
18
(2) Breathing (B)
Berisi pengkajian dada inspeksi (pergerakan dada, adanya
trauma, keadekutan pernafasan, posisi trachea), auskultasi
lapang paru dan palpasi ketidakstabilan dada (krepitasi,
nyeri curiga fraktur)
(3) Circulation (C)
Berisi pengkajian terhadap adanya perdarahan eksternal,
warna kulit, kelembapan, Capillary Refill Time, palpasi
nadi apikal dan perifer.
(4) Disability (D)
Berisi pengkajian kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi
pupil
b) Pengkajian Primer (Secundary Survey)
(1) Full set of vital sign (F)
Berisi pengkajian TTV (TD, nadi, suhu, RR dan saturasi
oksigen)
(2) History and head to toe
(a) History (menggunakan prinsip SAMPLE)
S: Subyektif (keluhan utama)
A: Allergies (adakah makanan dan atau obat-obatan
tertentu)
M: Medication (obat-obat yang sedang dikonsumsi)
P: Past Medical History (Riwayat penyakit)
19
L: Last oral intake (Masukan oral terakhir : apakah
benda padat atau cair)
E: Event (Riwayat masuk rumah sakit)
(b) Head To Toe
1) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
2) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada
3) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi,
simetris, tidak udem.
4) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)
5) Telinga
Tidak ada lesi atau nyeri tekan
6) Hidung
Tidak ada deformita, tidak ada pernafasan cuping
hidung
20
7) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat
8) Toraks
Tidak ada pergerakan otot intercosta, gerakan dada
simetris
a) Paru
(1) Inspeksi
pernafasan meningkat,reguler tau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama
(3) Perkusi
Suara sonor, tidak ada suara tambahan
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya sperti stidor dan
rongki
b) Jantung
(1) Inspeksi
tidak tampak ictus jantung
21
(2) Palpasi
Nadi meningkat ictus tidak teraba
(3) Auskultasi
suara 1 dan 2 tunggal
9) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris,
b) Palpasi
Turgor baik, tidak ada defansmuskuler, hepar
tidak teraba
c) Perkusi
Suara timpany, ada pantulan gelombang cairan
d) Auskultasi
perisaltik usus normal kurang lebih 20 x/menit
10) Ekstremitas
a) Ekstremitas atas
b) Ekstremitas bawah
2) Diagnosa keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d benda asing
dalam jalan nafas (darah) (00031)
b) Ketidakefektifan pola nafas b.d Hiperventilasi (00032)
c) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan proses penyakit (trauma kepala) (00201)
22
d) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan gejala
terkait penyakit (00214)
e) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma
(00046)
3) Intervensi keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d benda asing
dalam jalan nafas (darah) (00031)
(1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 X 10 menit , diharapkan klien dapat
mempertahankan potensi nafas dengan
(2) Kriteria hasil NOC :
(a) Jalan nafas klien bebas dari cairan (darah)
(b) Tidak ada bunyi nafas tambahan
(3) Intervensi NIC :
(a) Kaji irama nafas dan suara nafas
Rasional : untuk mengetahui irama nafas dan
suara nafas
(b) Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
Rasional : untuk mempertahankan ventilasi
(c) Lakukan suction
Rasional : membantu mengeluarkan cairan yang
menyumbat jalan nafas
b) Ketidakefektifan pola nafas b.d Hiperventilasi (00032)
23
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 X 10 menit diharapkan klien
mempunyai pola pernafasan yang efektif
(2) Kriteria hasil NOC :
(a) Pola nafas normal (irama teratur, RR = 16-24
x/menit), Saturasi oksigen >95 %
(b) Pasien tidak terlihat sesak
(c) Tidak ada otot bantu nafas
(3) Intervensi NIC :
(a) Monitor TTV, RR, SPO2, Nadi, Suhu
Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda vital
pasien
(b) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Rasional : untuk mempertahankan ventilasi
(c) Monitor O2
Rasional : untuk mengetahui kebutuhan
oksigen
c) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan proses penyakit (trauma kepala) (00201)
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 X 24 jam diharapkan perfusi
jaringan serebral adekuat
(2) Kriteria hasil NOC :
24
(a) Kesadaran meningkat E2M4V3
(b) TTV normal. (TD: 120/80 mmHg, suhu : 36,5-
37,5o C, nadi : 80-100 x/menit, RR : 16-24 x/menit)
MAP < 140
(3) Intervensi NIC :
(a) Kaji kesadaran GCS pasien
Rasional : untuk mengetahui kesadaran pasien
(b) Beri oksigen
Rasional : untuk menambah suplai oksigen
(c) Kolaborasi dengan pemberian terapi farmakologi
yaitu obat-obatan dan Non farmakologi yaitu terapi
musik
Rasional : untuk mengurangi peningkatan intra
kranial dan meningkatkan status
kesadaran
d) Gangguan rasa nyaman nyeri b.d Gejala yang terkait
penyakit (00214)
(1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam , diharapkan nyeri berkurang
(2) Kriteria hasil NOC :
(a) Nyeri berkurang
(b) Pasien tenang, tidak gelisah
25
(3) Intervensi NIC :
(a) Kaji karakteristik nyeri PQRST
Rasional : untuk mengetahui nyeri
(b) Berikan posisi yang nyaman
Rasional : untuk membuat nyaman pasien
(c) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri
e) Kerusakan integritas kulit b.d Trauma (00046)
(1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 X 24 jam diharapkan masalah
keperawatan kerusakan integritas kulit dapat teratasi
(2) Kriteria hasil NOC :
(a) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
(b) Luka bersih tidak infeksi dipertahankan
(3) Intervensi NIC :
(a) Bersihkan area luka dan lakukan heacting
(kolaborasi)
Rasional : untuk menghilangkan kotoran dan
mencegah infeksi
(b) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Rasional : mencegah timbulnya infeksi
26
2. Status Kesadaran
a. Tingkat kesadaran
Kesadaran mempunyai arti luas. Kesadaran dapat
didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian
impuls eferen dan aferen keseluruhan impuls aferen dapat disebut
input susunan saraf pusat dan keseluruhan dapat impuls aferen dapat
disebut output output susunan saraf (Muttaqin, 2008).
Alimul (2008) menyatakan bahwa penilaian status kesadaran
ada dua yaitu penilaian kualitatif dan kuantitatif. Penilaian secara
kualitatif antara lain Composmetis, Apartis, Somenolen, Sopor,
Koma. Composmetis pasien mengalami kesadaran penuh dengan
memberikan respons yang cukup terhadap stimulasi yang diberikan,
Apartis pasien mengalami acuh tak acuh terhadp keadaan sekitarnya,
Somenolen pasien memiliki kesadaran yang lebih rendah, ditandai
pasien tampak mengantuk, selalu ingin tidur dan tidak responsif
terhadap rangsangan yang ringan, tetapi masih memberikan respons
pada rangsangan yang kuat, Sopor pasien tidak memberikan respons
ringan maupun sedang, tetapi masih memberikan respons sedikit
pada rangsangan yang kuat dengan adanya refleks pupil terhadap
cahaya yang masih positif, Koma pasien tidak dapat bereaksi
terhadap stimulus atau rangsangan apapun sehingga fefleks pupil
terhadap cahaya tidak adil.
27
Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan
menggunakan skala Glosgow Coma Scale dapat memberikan jalan
pintas yang sangat berguna. Skala tersebut memungkinkan
pemeriksa membuat peringkat tiga respon utama klien terhadap
lingkungan seperti respons mata, verbal, dan motorik.
b. Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale adalah skala pengukuran abjektif
terhadap sistem neurologis (perubahan status mental) dengan
menggunakan angka untuk mencatat urutan data pengkajian yang
dikumpulkan. Pada pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)
digunakan untuk mengevaluasi status neurologis seperti respon mata
(E) nilai 4, respon verbal (V) nilai 5, dan respon motorik (M) nilai 6
(Muttaqin, 2008).
Menurut Junaidi (2011) pemeriksaan-pemeriksaan Glasgow
Coma Scale (GCS) meliputi respon mata (E), respon verbal (V), dan
motorik (M) yaitu
1) Eye (respon membuka mata)
Nilai 4 : Spontan
Nilai 3 : Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka
mata)
Nilai 2 : Dengan rangsang nyeri (brikan rangsangan nyeri,
misalnya menekan kuku jari)
Nilai 1 : Tidak ada respon
28
2) Verbal (respon verbal) :
Nilai 5 : orientasi baik
Nilai 4 : bingung, berbicara mengacau (sering bertanya
berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu
Nilai 3 : kata-kata yang tidak berhubungan (berbicara tidak
jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat, misalnya “aduh....bapak...’’
Nilai 2 : suara tidak dapat dimengerti (mengerang)
Nilai 1 : tidak ada respon
3) Motorik (respon motorik)
Nilai 6 : mengikuti perintah
Nilai 5 : melokalisir nyeri (menjangkau dan menjauhkan
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
Nilai 4 : menarik (menghindar atau menarik ekstremits atau
tubuh menjauh stimulus saat diberi rangsang nyeri)
Nilai 3 : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi
kaku diatas dada dan kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
Nilai 2 : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya
posisi kaku disisi tubuh dengan jari mengepal dan kaki ekstensi
saat diberi rangsang nyeri)
Nilai 1 : tidak ada respon
29
Penilaian status kesadaran : composmetis yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya ( Nilai GCS 14-15), apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan
untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acug (Nilai GCS
12-13), delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, waktu, tempat),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal (Nilai GCS
10-11), somnolen yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal (nilai
GCS 7-9), soporcoma yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri (Nilai GCS 4-6), coma yaitu tidak bisa di bangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya) (nilai GCS 3).
3. Terapi Musik
a. Definisi
Menurut Djohan (2011) menjelaskan terapi musik terdiri dari
2 kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi” berkaitan dengan
serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong
orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah
fisik atau mental. Kata “musik” dalam terapi musik digunakan untuk
menjelaskan media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian
terapi. Berbeda dengan berbagai terapi dalam lingkup psikologi yang
justru mendorong klien untuk bercerita tentang permasalahan-
30
permasalahannya, terapi musik adalah terapi yang bersifat nonverbal.
Dengan bantuan musik, pikiran klien dibiarkan untuk mengembara,
baik untuk mengenang hal-hal yang membahagiakan,
membayangkan, ketakutan-ketakutan yang dirasakan,
mengangankan hal-hal yang diimpikan, dan dicita-citakan atau
langsung mencoba menguraikan permaslahan yang dihadapi.
Terapi musik adalah aktivitas musik untuk mengatasi
berbagai masalah dalam aspek fisik, psikologis, kognitif, dan
kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik
(Djohan, 2011). Di Negara-negara maju khususnya amerika serikat
(tempat aktivitas ini mulai dikembangkan) terapi musik telah maju
bagian dari proses kesehatan. Terapi musik merupakan sebuah
pekerjaan yang menggunakan musik dan aktivitas untuk mengatasi
kekurangan dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial pada anak-
anak serta orang dewasa yang mengalami gangguan atau penyakit
tertentu. Terapi musik memanfaatkan kekuatan musik untuk
membantu klien menata dirinya sehingga mereka mampu mencari
jalan keluar, mengalami perubahan atau akhirnya sembuh dari
gangguan yang diderita karena itu terapi musik bersifat humanistik.
Banyaknya cara penggunaan musik sebagai alat terapi,
menyebabkan mudah untuk mendefinisikan terapi musik secara
tepat. Sejak awal perkembangannya, terapi musik didefinisikan
sesuai dengan berbagai keperawatan National Association for Music
31
Therapy.
b. Mekanisme terapi musik untuk meningkatkan Glasgow Coma Scale
(GCS)
Terapi musik sebagai terapi alternatif telah dikembangkan
pada berbagai bagian dirumah sakit untuk mengatasi berbagai jenis
penyakit, khususnya dalam rehabilitasi neurologis. Saat seseorang
mendengarkan musik, gelombangnya ditransmisikan melalui ossicles
ditelinga tengah dan melalui cairan cochlear berjalan menuju nervus
auditori dn merangsang mengeluarkan hormon endrofin. Endrofin
memiliki efek relaksasi pada tubuh (Novita, 2011).
Efek yang ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus
sistem syaraf simpatis. Respon yang muncul dari penurunan aktivitas
tersebut adalah menurunkan aktivitas adrenali, menurunkan
ketegangan neuromuskular, meningkatkan kesadaran. Indikator yang
biasa diukur adalah menurunnya heart Rate, menurunnya asam
lambung dan penurunan tekanan darah (Novita, 2011).
c. Jenis musik untuk terapi
Menurut Novita (2011) pakar terapi musik, tubuh
manusia memiliki pola getar dasar. Kemudian vibrasi musik yang
terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar
memiliki efek penyembuhan yang sangat hebat pada seluruh tubuh,
pikiran, dan jiwa manusia yang menimbulkan perubahan emosi,
organ, enzim, sel-sel dan atom.
32
Bunyi dan frekuensi tinggi (3000-8000 Hz) lazimnya
bergetar diotak dan mempengaruhi fungsi kognitif seperti berfikir,
persepsi spasial dan memori. Bunyi denga frekuensi sedang 750-
3000 Hz cenderung merangsang kerja jantung, paru, dan emosional.
Sedangkan bunyi dengan frekuensi rendah 125-750 Hz akan
mempengaruhi gerakan-gerakan fisik. Dikatakan High Frequendes
jika lebih dari 100 Hz, dan Low Frekuencies jika dibawah 100 Hz.
Gelombang High frequencies dan bidang kesehatan gelombangnya
digunakan untuk pemeriksaan radiologi dari pada penggunaan mesin
ESWL.
Elemen musik terdiri dari lima unsur penting, yaitu pitch
(frekuensi), volume (intensity), warna nada (timbre), interval, dan
rhytme (tempo atau durasi). Misalnya pitch yang tinggi, dengan
rhytme yang lambat dan volume yang keras akan meningkatkan
ketegangan otot atau menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Sebaliknya, pada pitch yang rendah dengan rhytme yang lambat
dan volume yang rendah akan menimbulkan efek rileks. Tempo
yang lambat dapat menurunkan respiratory rate, sementara denyut
nadi memiliki kesesuaian rhytm dari musik. Pitch dan rhytm akan
berpengaruhi pada sistem limbik yang mempengaruhi emosi.
Banyak studi yang menyebutkan bahwa jenis musik
untuk terapi musik tidak harus musik klasik. Musik yang
berdasarkan kesukaan atau minat dari pasien merupakan faktor yang
33
sangat musik dalam pemberian terapi musik. Faktor yang
mempengaruhi minat terhadap jenis musik ini dikarenakan
perbedaan usia, masa, budaya, jenis kelamin, dan kebiasaan.
Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati individu,
biasanya merupakan pilihan yang paling baik. Musik klasik, pop,
dan modern (dengan catatan musik tanpa vokal, periode tenang)
digunakan pada terapi musik. Jenis musik yang direkomendasikan
selain intrumental musik klasik, bisa juga slow jazz, pop, yang
populer hits, fulk, western, country, easy listening, bisa juga disertai
dengan unsur suara natural, alam atau musik yang sesuai budaya
asal pasien.
Musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya
mendapatkan efek terapeutik. Dalam keadaan perawatan akut,
mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif
dalam upaya pengobatan.
d. Teknik relaksasi musik
Menurut solehati dan kosasih (2015) teknik relaksasi musik yaitu
1) Menyiapkan semua alat yang dibutuhkan ,seperti:
a) Handphone
b) Headset
2) Persiapan pasien
Pasien diberikan penjelasan dan inform consent
3) Atur dan bantu posisi pasien senyaman mungkin
34
Bantu pasien untuk mendapakan posisi yang nyaman
4) Beri tahu pasien, bahwa dirinya tidak akan terganggu selama
pemberian terapi musik dilakukan, kecuali jika ada kepentingan
medis atau permintaan dari pasien itu sendiri.
5) Bantu pasien untuk memperbaiki perlengkapan terapi, sperti
earphone dan volume musik.
6) Nyalakan musik dengan volume sedang
a) cek terlebih dahulu ke telinga pemberi intervensi relaksasi
musik sebelum diberikan kepada pasien
b) pasang earphone di telinga psien, tanyakan apakah
volumenya cukup.
7) Mainkan musik sesuai dengan waktu yang telah dispeakati,
yaitu 30 menit
8) Bimbing klien dengan memberi perintah sebagai berikut
a) Bimbing pasien untuk menutup mata
b) Dengarkan ritme musik dan alunannya
c) Anjurkan pasien untuk menbiarkan pikirnnya mengikuti
ritme musik
9) Biarkan musik dimainkan selama 30 menit
10) Anjukan dan bimbing pasien untuk melemaskan otot-ototnya
selam musik berlangsung
35
11) Anjurkan dan bimbing pasien untuk menarik nafas melalui
hidung, dan mengeluarkan napas secara perlahan melalui mulut
secara perlahan-lahan sambil mendengarkan musik relaksasi
12) Anjurkan pasien untuk tetap fokus pada pernapasannya dan
musik
13) Lakukan evaluasi kepada pasien
14) Setelah 30 menit, akhiri intervensi relaksasi musik
36
B. KERANGKA TEORI
Cedera kepala berat
Hematoma/
Trauma jaringan pengumpalan darah
Nyeri
gangguan pada medula oblongata
penurunan kesadaran
lidah jatuh/ akumulasi sekret/ benda asing
Gambar 2.1
Tabel Kerangka Teori
Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefktifan bersihan jalan
nafas
Terapi Non
Farmakologis
- Terapi
Musik
- Masase
- Sentuhan
Terapi Farmakologi
- pemberian pengobatan seperti anti
edema serebri
- anti kejang
- natrium bikarbonat
- selain dengan pembedahan yaitu
pemberian posisi kepala, oksigenasi
agar menjaga perfusi jaringan perifer
dan serebral
37
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek Aplikasi Riset
Subyek dalam aplikasi riset ini adalah Tn.S dengan Cedera Kepala Berat
yang dirawat di IGD RSUD Salatiga dengan GCS 3-8.
B. Tempat dan Waktu
Pengambilan kasus ini dilakukan di IGD RSUD Salatiga Pada tanggal 7- 8
Januari 2016.
C. Media dan Alat yang Digunakan
1. Media yang digunakan yaitu musik yang disenangi pasien. Di karenakan
pasien tidak sadarkan diri musik dikondisikan dengan keluarga yang
disenangi yaitu musik murrotal (Al Qur’an).
2. Alat : - Headphone
- Headset
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
1. Menyiapkan semua alat yang dibutuhkan, seperti:
a. Headphone
b. Headset
37
38
2. Persiapan pasien
Berdasarkan Jurnal tindakan ini terapi dilakukan sebanyak 3 kali
(session) sehari (pagi, siang, dan sore) selama 20-30 menit untuk setiap
session. Pasien diberikan penjelasan dan inform consent atau keluarga.
3. Atur dan bantu posisi pasien senyaman mungkin
Bantu pasien untuk mendapakan posisi yang nyaman
4. Beri tahu pasien, bahwa dirinya tidak akan terganggu selama pemberian
terapi musik dilakukan, kecuali jika ada kepentingan medis atau
permintaan dari pasien itu sendiri.
5. Bantu pasien untuk memperbaiki perlengkapan terapi, sperti earphone
dan volume musik.
6. Atur dan bantu posisi pasien senyaman mungkin
Bantu pasien untuk mendapakan posisi yang nyaman
7. Beri tahu pasien, bahwa dirinya tidak akan terganggu selama pemberian
terapi musik dilakukan, kecuali jika ada kepentingan medis atau
permintaan dari pasien itu sendiri.
8. Bantu pasien untuk memperbaiki perlengkapan terapi, sperti earphone
dan volume musik.
9. Nyalakan musik dengan volume sedang
a. cek terlebih dahulu ke telinga pemberi intervensi relaksasi musik
sebelum diberikan kepada pasien
b. pasang headset di telinga pasien, tanyakan apakah volumenya cukup.
39
10. Mainkan musik sesuai dengan waktu yang telah dispeakati, yaitu 30
menit
11. Bimbing klien dengan memberi perintah sebagai berikut
a. Bimbing pasien untuk menutup mata
b. Dengarkan ritme musik dan alunannya
c. Anjurkan pasien untuk menbiarkan pikirnnya mengikuti ritme
musik
12. Biarkan musik dimainkan selama 30 menit
13. Anjukan dan bimbing pasien untuk melemaskan otot-ototnya selam
musik berlangsung
14. Anjurkan dan bimbing pasien untuk menarik nafas melalui hidung, dan
mengeluarkan napas secara perlahan melalui mulut secara perlahan-lahan
sambil mendengarkan musik relaksasi
15. Anjurkan pasien untuk tetap fokus pada pernapasannya dan musik
16. Lakukan evaluasi kepada pasien
17. Setelah 30 menit, akhiri intervensi relaksasi musik
40
E. Alat Ukur Evaluasi
Alat ukur pada penelitian ini menggunakan skala GCS (Glaslow Coma Score)
Tabel 3.1: Ukur GCS
GCS SCORE
Membuka mata
� Spontan
� Terhadap rangsang suara
� Terhadap rangsang nyeri
� Tidak ada
4
3
2
1
Verbal
� Orientasi baik
� Orientasi terganggu
� Kta-kata tidak jelas
� Suara tidak jelas
� Tidak ada respon
5
4
3
2
1
Motorik
� Mampu bergerak
� Melokalisasi nyeri
� Fleksi menari
� Fleksi abnormal
� Ekstensi
� Tidak ada respon
6
5
4
3
2
1
TOTAL 15
41
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS KLIEN
Pengkajian dimulai pada tanggal 07 Januari 2016, jam 19.15 WIB.
Data pengkajian pada kasus ini diperoleh dengan cara autoanamnase,
pengamatan dan observasi langsung, menelaah catatan medis, catatan perawat
dan pengkajian fisik pasien. Hasil pengkajian pada Tn.S, alamat rumah di
Bugangan, Candirejo, Ungaran, umur 59 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
tingkat pendidikan SMTA, bekerja sebagai Tukang Ojek, status menikah dan
beragama Islam, pasien masuk Rumah Sakit tanggal 07 Januari 2016,
diagnosis medis cedera kepala berat, dirawat di ruang IGD RSUD Salatiga.
Penanggung jawab pasien bernama Tn.A umur 31 tahun yang hubungan
dengan pasien adalah sebagai anak.
B. PENGKAJIAN
Pengkajian primer dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 jam 19.15
WIB dengan metode Autoanamnesa. Di airway di dapatkan terdapat suara
tambahan gargling, terdapat cairan darah, di breathing didapatkan RR
28x/menit, terlihat sesak, tidak ada nafas cuping hidung, dan menggunakan
otot bantu nafas, di circulation di dapatkan HR: 116x/menit, TD :
202/98MMhG, Capilarry Refil < 2 detik, akral hangat, suhu : 36,5oC, warna
kulit hitam, dan kulit kering. Di disability kesadaran pasien didapatkan hasil
respon mata 1 : tidak ada respon, respon motorik 3: saat diberi rangsang nyeri
41
42
kedua tangan pasien menggengam dan kedua sisi tubuh dibagian atas sternum
atau posisi dekortikasi/ kedua tangan fleksi , dan respon verbal 2 : pasien
tidak menjawab pertanyaan pemeriksa sama sekali, dan hanya mengeluarkan
suara yang tidak membentuk kata (bergumam)/mengerang. didapatkan nilai
Glaslow Coma Scale (GCS) adalah 6. Di exposure di dapatkan hematoma
mata, kaki kiri sobek.
Di pengkajian sekunder keadaan atau penampilan umum adalah
kesadaran soporocoma E1M3V2, pasien gelisah, tanda – tanda vital: Td :
202/98 mmHg, nadi 116x/menit, RR: 28x/menit, suhu : 36,5oC, SPO2 81%,
MAP : 133. Di History (SAMPLE) didapatkan subyektif : keluarga pasien
mengatakan pasien datang tidak sadar, post kll, perdarahan telinga,hidung,
mulut ada darah. Di Alergi di dapatkan keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mempunyai alergi obat maupun alergi makanan, di Medikasi di
dapatkan keluarga mengatakan tidak ada pengobatan yang di jalankan, di
Riwayat penyakit sebelumnya : keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit apapun, di Last meal : keluarga pasien
mengatakan pasien tadi pagi siang makan nasi goreng. Di Event leading :
Keluhan utama pasien adalah cedera kepala berat dengan penurunan
kesadaran. Pasien di bawa ke IGD Salatiga karena kecelakaan lalulintas
dengan menggunakan sepeda motor bersama anak dan saudaranya di tabrak
oleh bus. Pasien jatuh dan mengalami cedera. Perdarahan pada telinga,
hidung, dan mulut. Terdapat luka sobek di kaki kiri yaitu luka bersih, setelah
mendapat tindakan pasien masih di IGD, pagi harinya pasien di bawa ke
43
ruang ICU. Hasil pemeriksaan fisik di Kepala bentuk kepala mesochepal,
terdapat hematoma panjang 5 cm, lebar 4 cm di kanan samping kepala, kulit
kepala kotor dengan rambut beruban. Hasil pemeriksaan muka dari mata
palpebra edema, konjungtiva anemis, sclera ikterik, pupil anisokor, diameter
kanan 2 mm dan kiri 4 mm tidak simetris, reflek cahaya sedikit dan tidak
menggunakan alat bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung terdapat sisa cairan
darah. Pemeriksaan mulut terdapat sisa cairan darah. Hasil dari pemeriksaan
gigi didapatkan tidak terpasang gigi palsu dan gigi tidak bersih, pemeriksaan
telinga didapat kan hasil bentuk simetris dan terdapat sisa cairan darah.
Pemeriksaan leher didapatkan ada cidera servikal.
Pemeriksaan dada paru: didapatkan hasil inspeksi bentuk dada
simetris, palpasi vocal premitus kanan dan kiri sama, perkusi normal dan
auskultasi tidak ada suara tambahan/vesikuler. Pemeriksaan dada jantung:
didapatkan hasil inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba
di intercosta 3, perkusi pekak diseluruh lapang dada, auskultasi bunyi jantung
I-II murni, reguler dan lup-dup.
Pemeriksaan abdomen didapatkan hasil tidak ada jejas, bentuk datar
dan umbilikus bersih pada saat di inspeksi,pada saat di auskultasi bising usus
terdengar 30 kali permenit, perkusi bunyi timpani di kuadran 3, dan tidak ada
nyeri tekan pada saat di palpasi.
Pada pemeriksaan genetalia, bersih dan terpasang kateter. Pada saat
pemeriksaan ekstermitas atas kanan dan kiri tidak sama melawan gravitasi,
kekuatan otot tidak penuh, capilary refil kurang dari 2 detik dan pada
44
ekstermitas bawah kanan dan kiri tidak sama mampu melawan gravitasi,
kekuatan otot tidak penuh, capilary refile kurang dari 2 detik.
Riwayat penyakit keluarga, pasien merupakan ayah mempunyai 1 istri
dan 1 anak dan keluarga lain tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang
sama dengan pasien.
genogram:
Tn.S 59 Thn
Gambar 4.1
Keterangan :
: Laki-laki
: perempuan
: pasien
: Meninggal
45
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 8 januari 2016 Jam 10.36 WIB di
ICU di dapatkan hasil hemoglobin 11,0 g/dl normal (13,5-17,5),
hematokrit 34,4 % normal (33-45), leokosit 28,02 ribu/uL normal (4,5-
11,0), trombosit 246 ribu/uL normal (150-450), eritrosit 3,90 ribu/uL
normal (4-5), SGOT 103 u/L normal( <35), SGPT 94 u/L normal (< 45),
creatin 1,4 mg/dl normal (0,8-1,3), ureum 45 mg/dl normal (<50), MCV
88,2 fl normal (86-108), MCH 29,0 Pg normal (28-31), MCHC 32,9 g/dl
normal (30-35). Pemeriksaan CT-scan pada tanggal 08 Januari 2016 Jam
10.36 WIB, tampak soft tissue swelling extracranial regio
temporaparietoocci pitalis dextra. Pada bone window dan 3 D reformat
tamapak clis continuitas linear pasa os temporalis dextra dan dinding sinus
ethmoidalis. Sulci dan fissura silvii tampak menyempit, terutam hemisfer
cerebri sinistra. Batas grey matter dan white matter tampak mengabur.
Tamapak lesi hiperdens (63 HV) yang mengisi sulci region frontotemporo
paretalis sinistra dan lesi hiperdens (73 HV) dilobus frontalis dan
hemporoparietalis sinistra bentuk amorf dengan perifocal edema yang
menyempitkan ventrikel lateralis lateralis, terutama sinistra dan
mendeviasi linea mediana ke kontralateral kurang lebih 7 mm, volume lesi
kurang lebih 70 cc. Tamapak lesi hiperdens (74 HV) disinus sphenaidalis
dan sinus ethmoidalis dan sinus maxilaris sinistra dengan gambaran air
fluid level. Tampak lesi hipodens (38 HV) yang menempel pada dinding
sinus maxilaris dextra dan sinus frontalis.
46
Kesan : linier fracture os temporalis dextra dan fracture dinding sinus
ethmoidalis dengan hematom extracranial dan gambaran hematosinus
ethmoidalis, spkenoidalis dan maxilaris sinistra dengan suspect sinusitas
maxillaris dextra dan frontalis. Gambaran SAH di regio frontotem
poroparietalis sinistra dan ICH dilobus frontotemporoparietalis sinistra
dengan gambaran perifocal edema dengan volume kurang lebih 70 cc
disertai midline shitting ke kontralateral kurang lebih 7 mm dan gambaran
brain edema.
Terapi yang di dapat pasien selama di IGD pada tanggal 7 januari 2016
antara lain cairan Ringer lactat 20 tetes per menit, Manitol 150 cc,
Citycoline 500 mg per 12 jam , Asam Traneksamat 1000 mg per 24 jam,
Ceftriaxone 1000 mg per 24 jam, Ondansentron 4 mg per 24 jam.
C. DAFTAR RUMUSAN MASALAH
Dari data pengkajian tanggal 07 januari 2016, jam 19.15 WIB
didapatkan data subyektif tidak terkaji. Secara objektif ada suara tambahan
yaitu ada suara nafas tambahan yaitu gargling, terdapat cairan darah di jalan
nafas. Sehingga dapat diambil diagnosa keperawatan yang pertama adalah
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam
jalan nafas (darah).
Dari data pengkajian tanggal 07 januari 2016, jam 19.15 WIB
didapatkan data subyektif tidak terkaji. Secara objektif pasien terlihat sesak,
ada otot bantu nafas, RR:28x/menit, SPO2 81%, TD : 202/98 mmHg, N:
47
116x/menit. Sehingga dapat diambil diagnosa keperawatan yang kedua adalah
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
Dari data pengkajian tanggal 07 januari 2015, jam 19.15 WIB
didapatkan data subyektif tidak terkaji. Secara objektif perubahan tingkat
kesadaran sopor coma GCS E1 : tidak ada respon, M3: fleksi abnormal, V2 :
suara-suara tidak berarti/mengerang, tanda-tanda vital didapatkan tekanan
darah 202/ 98 mmHg, nadi 116 x/ menit, respirasi 28 x/ menit dan suhu 36,50
C, SPO2 81%, MAP: 133 (normal), pasien post KLL. Sehingga dapat
diambil diagnosa keperawatan yang ketiga adalah ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit (Trauma kepala).
Dari data pengkajian tanggal 07 januari 2016, jam 19.15 WIB
didapatkan data subjektif tidak terkaji. Secara objektif pasien terdapat luka
sobek di kaki kiri dengan panjang kurang lebih 4 cm, lebar 2 cm, kedalaman
0,1 cm. Sehingga dapat diambil diagnosa keperawatan yang keempat adalah
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma.
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang penulis temukan, maka dapat
dirumuskan prioritas masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas (Darah),
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses
penyakit (trauma kepala), kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
trauma.
48
D. PERENCANAAN
Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Tn.S untuk diagnosa
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda
asing dalam jalan nafas (darah) dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x10 menit , diharapkan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berkurang dengan kriteria hasil : jalan nafas klien bebas dari cairan
(darah), tidak ada bunyi nafas tambahan. Intervensi atau rencana yang akan
dilakukan yaitu kaji irama nafas dan suara nafas klien dengan rasional untuk
mengetahui irama nafas dan suara nafas , posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi dengan rasional untuk mempertahankan ventilasi,
lakukan penghisapan lendir atau suction pada jalan nafas sesuai kebutuhan
dengan rasional untuk mengeluarkan cairan yang menyumbat jalan nafas.
Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Tn.S untuk diagnosa
keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x10 menit ,
diharapkan ketidakefektifan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil :
RR dalam rentang normal 16-24x/menit, SPO2 > 95%, pasien tidak terlihat
sesak, tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Intervensi atau rencana yang
akan dilakukan yaitu monitor RR, SPO2, nadi, Td, suhu dengan rasional
untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien, posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi dengan rasional untuk mempertahankan ventilasi,
monitor O2 dengan rasional untuk mengetahui kebutuhan oksigen.
49
Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Tn.S untuk diagnosa
keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
proses penyakit (trauma kepala) dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 X 24 jam, diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral berkurang dengan kriteria hasil : kesadaran meningkat , GCS
E2M4V3, Tanda-tanda vital dalam batas normal dengan tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, pernapasan 16-24x/menit, suhu 36-370C,
MAP : < 140. Intervensi / rencana yang akan dilakukan yaitu kaji kesadaran
GCS pasien dengan rasional untuk mengetahui kesadaran umum pasien, beri
O2 dengan rasional untuk menambah suplai oksigen, kolaborasi dengan
dokter pemberian obat dan terapi non farmakologi (inj. Citycoline 2x1
500mg, inj. Manitol 150cc/6jam, Asam Traneksamat 1x1 1000mg) dengan
rasional untuk mengurangi peningkatan intrakranial (TIK) dan pemberian
terapi musik untuk meningkatkan status kesadaran.
Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada Tn.S dengan diagnosa
keperawatan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma dengan
tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan
kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil: integritas kulit
yang baik dapat dipertahankan, luka bersih tidak infeksi dipertahankan.
Intervensi / rencana yang akan dilakukan yaitu bersihkan area luka yang akan
di jahit kemudian lakukan heacting (kolaborasi) dengan rasional untuk
mempercepat pemyembuhan luka dan mencegah infeksi, jaga kebersihan kulit
50
agar tetap bersih dan kering dengan rasional untuk mencegah terjadinya
infeksi.
E. IMPLEMENTASI
Tindakan keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah
keperawatan utama berdasarkan rencana tindakan tersebut maka dilakukan
tindakan keperawatan pada tanggal 7 Januari 2016 sebagai tindak lanjut
pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn.S di diagnosa keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing
dalam jalan nafas (darah) dilakukan implementasi yaitu pengkajian pada
pasien kelolaan, jam 19.15 memantau irama dan suara nafas pasien untuk
mengetahui irama dan suara nafas pasien, pasien tidak sadar, suara nafas
gargling, respirasi RR: 28 x/menit. Diagnosa keperawatan ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit (trauma
kepala) Implementasi pada jam 19.30 memberikan 02 nassa kanul untuk
menambah suplai oksigen, pasien tidak terkaji, pasien diberi O2 nassa
kanul 5l/menit. diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas (darah)
dilakukan Implementasi pada jam 19.35 melakukan penghisapan jalan
nafas sesuai kebutuhan (suction), pasien tidak sadar, di lakukan suction di
jalan nafas, suara nafas terdengar lebih bersih. Diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan nafas dan ketidakefektifan pola nafas Pada jam 19.40
memposisikan pasien supine untuk memaksimalkan ventilasi, pasien tidak
sadar, pasien terlentang atau supine. Diagnosa keperawatan
51
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses
penyakit (trauma kepala) dilakukan Implementasi yaitu jam 19.45
Mengobservasi TTV untuk mengetahui perubahan tanda-tanda
peningkatan TIK pasien tidak sadar, tekanan darah 202/98 mmHg,
frekuensi nadi 116 kali per menit, frekuensi pernafasan 28 kali per menit,
SPO2 81%.
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan proses penyakit (trauma kepala) Tindakan
keperawatan pada jam 19.50 memantau tingkat kesadaran pasien, pasien
tidak sadar, pasien kesadaran sopor coma E1M3V2. Pada jam 19.55
memberikan oksigen dengan mengantikan O2 nassa kanul dengan Non
Rebrething Mask 10 l/menit pasien dengan saturasi oksigen menjadi 90%.
jam 20.00 Mengkolaborasikan dengan tim dokter untuk pemberian terapi
farmakologi yaitu citycoline 2x500 mg, asam traneksamat 1x1 1000 mg,
ceftriaxone 1x1 1000 mg, ondansentron 1x1 4 mg, pasien tidak sadar,
injeksi obat masuk melalui vena.
Diagnosa keperawatan kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan trauma yaitu Tindakan keperawatan pada jam 20.05 membersihkan
area luka sobek dan dilakukan hecting (kolaborasi) untuk mencegah
infeksi dan mempercepat penyembuhan, pasien tidak sadar, luka sudah
dibersihkan dengan Nacl , luka dijahit dengan panjang 4 cm, lebar 2cm,
kedalaman 0,1 cm dikaki samping kiri. Jam 20.15 menjaga kebersihan
kulit agar tetap bersih dan kering, luka terbalut kassa di bagian kaki
52
samping kiri. diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
yaitu jam 20.30 melakukan suction, pasien tidak sadar, dilakukan suction,
suara nafas terdengar lebih bersih. Diagnosa ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral yaitu Jam 21.00 melakukan mengobservasi terhadapan
TTV pasien , pasien tidak sadar, pasien diperiksa tekanan darah 190/100
mmHg, frekuensi nadi 88 kali per menit, frekuensi pernafasan 22 kali per
menit, SPO2 90%. Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
yaitu Tindakan keperawatan pada jam 22.00 mengobservasi TTV, pasien
tidak sadar, diperiksa tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 80
kali per menit, frekuensi pernafasan 20 kali per menit, SPO2 91%.
diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu jam
22.30 melakukan suction, pasien tidak sadar, dilakukan suction, suara
nafas terdengar lebih bersih. Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral yaitu Tindakan keperawatan pada jam 23.00 mengobservasi TTV,
pasien tidak sadar, diperiksa tekanan darah 180/120 mmHg, frekuensi nadi
86 kali per menit, frekuensi pernafasan 20 kali per menit, SPO2 92%.
diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu jam
23.30 melakukan suction, pasien tidak sadar, dilakukan suction, suara
nafas terdengar lebih tampak bersih.
Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yaitu Tindakan
keperawatan pada jam 00.00 mengobservasi TTV , pasien tidak sadar,
diperiksa tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi nadi 82 kali per menit,
frekuensi pernafasan 20 kali per menit, SPO2 90%.
53
Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yaitu Tindakan
keperawatan pada jam 01.00 mengobservasi TTV, pasien tidak sadar,
diperiksa tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi nadi 86 kali per menit,
frekuensi pernafasan 22 kali per menit, SPO2 91%. Pada jam 02.00
mengobservasi TTV, pasien tidak sadar, diperiksa tekanan darah 156/48
mmHg, frekuensi nadi 112 kali per menit, frekuensi pernafasan 28 kali per
menit, SPO2 92%.
Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yaitu Tindakan
keperawatan di jam 03.00 pemberian terapi non farmakologi yaitu
pemberian terapi musik untuk meningkatkan status kesadaran, pasien tidak
sadar, pasien mendengarkan musik dengan terpasang headset, kesadaran
pasien sopor coma E1M3V2 . pada jam 04.00 memnatau status kesadaran
pasien GCS Pasien tidak sadar, kesadaran soporocoma E1M3V2. Pada jam
05.00 mengobservasi TTV, pasien tidak sadar, diperiksa tekanan darah
150/50 mmHg, frekuensi nadi 112 kali per menit, frekuensi pernafasan 28
kali per menit, SPO2 91%. Pada jam 06.00 rencana tindak lanjut untuk
dilakukan CT-Scan di ICU dan kolaborasi dengan tim rehabilitasi,
keluarga bersedia untuk dilakukan perawatan lebih lanjut di ICU dan
pasien di pindah ke ICU. Operan jaga di ICU pada jam 07.00 kemudian
aplikasi di lanjutkan di ICU yaitu pemberian terapi musik untuk
meningkatkan status kesadaran pasien. Di ICU Tindakan keperawatan
dilakukan pada jam 10.00 yaitu pemberian terapi non farmakologi dengan
terapi musik jenis murotal, pasien tidak terkaji, pasien mendengarkan
54
musik melalui headset dan kesadaran soporocoma E1M1V2. pada jam
14.00 yaitu pemberian terapi non farmakologi dengan terapi musik jenis
murotal, pasien tidak terkaji, pasien mendengarkan musik melalui headset
dan kesadaran soporocoma E1M1V2. pada jam 19.00 yaitu pemberian
terapi non farmakologi dengan terapi musik jenis murotal, pasien tidak
terkaji, pasien mendengarkan musik melalui headset dan kesadaran
soporocoma E1M1V2.
F. EVALUASI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi dilakukan pada
hari jumat, 8 januari 2016 06.00 wib dengan menggunakan metode SOAP
(Subyektif, Obyektif, Assessment, Plainning), untuk diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas
(darah) data subyektif pasien tidak terkaji, data obyektif ada suara tambahan
yaitu suara gargling, pasien tidur terlentang. data assesment masalah jalan
nafas belum teratasi yaitu suara nafas tambahan gargling masih ada, data
plainning lanjutkan inervensi, pantau irama dan suara nafas, posisikan untuk
memaksimalkan ventilasi, lakukan suction bila diperlukan, intervensi
keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan kolaborasi dengan tim
rehabilitasi.
Untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi data subyektif pasien tidak terkaji, data obyektif pasien terlihat
sesak, ada otot bantu nafas, SPO2 91%, data assesment masalah pola nafas
belum teratasi yaitu masih sesak, ada otot bantu nafas, data plainning
55
lanjutkan inervensi, monitor O2 beri O2 NRM 10l/menit, posisikan supine,
Monitor TTV, intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan
kolaborasi dengan tim rehabilitasi.
Untuk diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan proses penyakit (trauma kepala) data subyektif pasien tidak sadar,
tidak terkaji, data obyektif keadaan umum lemah kesadaran sopor coma
GCS E1M3V2, tanda-tanda vital tekanan darah 150/50mmHg, nadi
112x/menit, pernapasan 28x/menit, suhu 36,50C, SPO2 91%, data assesment
masalah perfusi jaringan serebral belum teratasi yaitu penurunan kesadaran,
tekanan darah, data plainning lanjutkan inervensi, observasi kesadaran dan
GCS pasien, beri 02 RNM 10lpm, kolaborasi dengan dokter pemberian terapi
farmakologi dan non farmakologi yaitu pemberian terapi musik, intervensi
keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan kolaborasi dengan tim
rehabilitasi.
Hasil evaluasi pada hari jumat, 8 januari 2016 jam 06.00 wib untuk
diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma data subyektif
pasien tidak sadar, tidak terkaji, data obyektif luka terbalut kassa, tidak ada
perdarahan, tidak ada tanda-tanda infeksi seperti rubor, kolor, dolor,
fungsiolesa, tumor, data assesment masalah integritas kulit teratasi , data
plainning pertahankan intervensi, jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering, intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan kolaborasi
dengan tim rehabilitasi.
56
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan membahas tentang pemberian terapi musik untuk
meningkatkan status kesadaran pada asuhan keperawatan Tn. S dengan cedera
kepala berat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Salatiga. Disamping itu
penulis akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan
yang terjadi antara teori dengan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi, dan intervensi.
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Setiadi, 2012).
Pengkajian yang dilakukan penulis terhadap Tn. S telah disesuaikan
dengan teori pengkajian kegawatdaruratan dimana dalam teori tersebut
menjelaskan format pengkajian pasien dengan terdiri dari tanggal masuk,
ruangan/kelas, diagnosa masuk. Identitas terdiri dari nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, penanggung
jawab, pengkajian primer, pengkajian sekunder, pengkajian fisik kepala,
abdomen, ektremitas, pemeriksaan penunjang, rumusan masalah (Setiadi
2012).
56
57
Pengkajian pada Tn.S dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016, jam
19.15 WIB. Data pengkajian pada kasus ini diperoleh dengan cara
autoanamnase, pengamatan dan observasi langsung, menelaah catatan
medis, catatan perawat dan pengkajian fisik pasien, hal ini sesuai dengan teori
(Setiadi, 2012). Dalam teori tersebut dijelaskan metode pengkajian dengan
cara wawancara langsung pada pasien maupun keluarga, observasi, dan
pemeriksaan fisik, akan tetapi disini penulis menambahkan untuk menelaah
catatan medis dan catatan perawat sebagai data penunjang pasien.
Pengkajian yang dilakukan penulis pada Tn.S di IGD diawali dengan
pengkajian primer. Pengkajian primer adalah pengkajian dengan pola ABCD
yaitu Airway (A) Berisi pengkajian terkait kepatenan jalan nafas baik aktual
maupun potensial (benda asing, darah, muntah, cairan, lidah, pembengkakan
dsb). Breathing (B) Berisi pengkajian dada inspeksi (pergerakan dada, adanya
trauma, keadekutan pernafasan, posisi trachea), auskultasi lapang paru dan
palpasi ketidakstabilan dada (krepitasi, nyeri curiga fraktur). Circulation (C)
Berisi pengkajian terhadap adanya perdarahan eksternal, warna kulit,
kelembapan, Capillary Refill Time, capillary refill time adalah tes yang
dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk memonitor dehidrasi dan
jumlah aliran darah ke jaringan perfusi, palpasi nadi apikal dan perifer. Pada
pasien dalam kondisi gawat darurat sangat diperlukan untuk memutuskan
prioritas tindakan terutama pada pasien cedera kepala yang umumnya
mengalami penurunan kesadaran yang dapat berpengaruh pada kepatenan
jalan nafas akibat lidah jatuh gangguan sirkulasi. Dalam pengkajian Disability
58
(D) tingkat kesadaran untuk mengidentifikasi kriteria Skala Koma Glasgow,
yaitu respon membuka mata, bicara dan motorik, gelisah, sakit kepala,
gerakan tidak tertuju dan mental menurun merupakan indikasi klinis dini dari
peningkatan tekanan intra kranial (TIK). Indikator pertama TIK adalah
perubahan tingkat kesadaran (Rosjidi, 2014).
Hasil pengkajian pada Tn.S Di airway di dapatkan suara tambahan
gargling, terdapat cairan darah. Suara gargling adalah suara seperti berkumur,
kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh cairan seperti
darah. Pasien terdapat cairan darah dikarenakan pasien post kecelakaan
lalulintas. Di breathing didapatkan RR 28x/menit, normal pernafasan adalah
16-24x/menit, terlihat sesak, tidak ada nafas cuping hidung, dan
menggunakan otot bantu nafas. Di circulation di dapatkan HR: 116x/menit,
normal HR adalah 80-120x/menit, TD : 202/98 mmHg tekanan darah
meningkat normal tekanan darah adalah 120/80 mmHg, Capilarry Refil < 2
detik, akral hangat, suhu : 36,5oC, warna kulit hitam, dan kulit kering. Di
Disability kesadaran pasien didapatkan hasil respon mata 1 : tidak ada respon,
respon motorik 3: saat diberi rangsang nyeri kedua tangan pasien
menggengam dan kedua sisi tubuh dibagian atas sternum atau posisi
dekortikasi/ kedua tangan fleksi, dan respon verbal 2 : pasien tidak menjawab
pertanyaan pemeriksa sama sekali, dan hanya mengeluarkan suara yang tidak
membentuk kata (bergumam)/mengerang. didapatkan nilai Glaslow Coma
Scale (GCS) adalah 6.
59
Menurut Lionel (2008) cedera kepala terjadi terutama karena
kecelakaan lalu lintas, sering terjadi pada keadaan cedera multipel sehingga
membutuhkan tata laksana resusitasi segera yaitu Airway (jalan napas)
perhatikan khusus pada tulang servikal, karena dapat terjadi fraktur dan atau
dislokasi, Breathing (pernapasan), Circulation (sirkulasi), Cedera dada mayor
(hemotoraks, pneumotoraks), perdarahan abdomen mayor.
Berdasarkan hasil GCS pasien adalah 6 maka digolongkan menurut
berat ringannya berdasarkan Glaslow Coma Scale (GCS) (kusuma dan
Nurarif, 2013) adalah cedera kepala berat. Cedera kepala berat adalah cedera
kepala, di mana otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya
daerah yang mengalami perdarahan (Batticaca, 2008).
Penilaian status kesadaran composmetis yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya ( Nilai GCS 14-15), apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan
untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh (Nilai GCS
12-13), delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, waktu, tempat),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal (Nilai GCS
10-11), somnolen yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal (nilai
GCS 7-9), soporcoma yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri (Nilai GCS 4-6), coma yaitu tidak bisa di bangunkan, tidak ada
60
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya) (nilai GCS 3).
Sesuai dengan teori yang ada, Pada pasien cedera kepala berat
biasanya mengalami peningkatan tekanan intra kranial yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologs cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan
biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi
sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik (Kusuma dan Nurarif, 2013).
Hasil Pengkajian penulis selanjutnya pada Tn.S di IGD dengan
pengkajian sekunder. Pengkajian sekunder adalah pengkajian gawat darurat
dengan mengkaji keadaan umum (pengkajian TD, nadi, suhu, aturasi oksigen)
dan history (SAMPLE) yaitu S: Subyektif (keluhan utama), A: Allergies
(adakah makanan dan atau obat-obatan tertentu), M: Medication (obat-obat
yang sedang dikonsumsi), P: Past Medical History (Riwayat penyakit), L:
Last oral intake (Masukan oral terakhir : apakah benda padat atau cair), E:
Event (Riwayat masuk rumah sakit).
Pengkajian dilakukan tanggal 7 Januari 2016 pada Tn. S didapatkan
keadaan atau penampilan umum adalah kesadaran soporocoma E1M3V2,
Kesadaran sopor coma adalah tidak membuka mata, saat di beri rangsang
nyeri kedua tangan mengenggam dan ke dua sisi tubuh di bagian atas
sternum (posisi dekortisasi) atau kedua tangan fleksi abnormal, mengeluarkan
suara yang tidak membentuk kata (bergumam), pasien gelisah, tanda – tanda
vital: Tekanan darah : 202/98 mmHg, nadi 116x/menit, RR: 28x/menit, suhu :
36,5oC, SPO2 81%, MAP : 133. Di History (SAMPLE) didapatkan subyektif :
61
keluarga pasien mengatakan pasien datang tidak sadar, post kll, perdarahan
telinga, hidung, mulut ada darah. Di Alergi di dapatkan keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mempunyai alergi obat maupun alergi makanan, di
Medikasi di dapatkan keluarga mengatakan tidak ada pengobatan yang di
jalankan, di Riwayat penyakit sebelumnya: keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mempunyai riwayat penyakit apapun, di Last meal : keluarga
pasien mengatakan pasien tadi pagi siang makan nasi goreng. Di Event
leading : Pasien di bawa ke IGD Salatiga karena kecelakaan lalulintas dengan
menggunakan sepeda motor bersama anak dan saudaranya di tabrak oleh bus.
Pasien jatuh dan mengalami cedera. Perdarahan pada telinga, hidung, dan
mulut. Terdapat luka sobek di kaki kiri yaitu luka bersih, setelah mendapat
tindakan pasien masih di IGD, pagi harinya pasien di bawa ke ruang ICU.
Masalah utama pasien dengan cedera kepala berat adalah penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar
dalam arti tidak terjaga/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus (Muttaqin, 2008).
Masalah yang lain pada Tn.S dengan cedera kepala berat adalah sesak
napas. Sesak napas merupakan gejala yang nyata terhadap ganguan
padantrakeobronkial, parenkin paru dan rongga pleura, sesak napas terjadi
karena peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastik
paru-paru, dindingdada dan meningkatnya resistensi non elastisitas (Muttaqin,
2010). Dalam pengkajian pasien tidak terkaji dengan data obyektif didapatkan
pasien tampak sesak nafas, adanya otot bantu nafas, tingkat pernapasan/
62
respiratory rate (RR): 28 x/menit, saturasi oksigen 82%. Terjadinya sesak
nafas pada pasien cedera kepala adalah akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan sistim pernafasan yang membawa O2 dari
alveoli menjadi difusi yang masuk kedalam darah dan menembus membran
alveolokapiler. Oksigen yang berikatan dengan hemoglobin menjadi semakin
kecil sehingga larut dalam plasma darah. Gangguan oksigenasi atau
pernafasan disebabkan karena berkurangnya kadar oksigen dalam darah
(hipoksemia) yang selanjutkan akan menyebabkan berkurangnya kadar
oksigen dalam jaringan (hipoksia) (Padila, 2012).
Hasil pengkajian yang didapat Tn.S juga ditemukan adanya luka
robek. Luka adalah hilangnya atau rusaknya sebagian jaringan tubuh
dikarenakan cedera fisik dan psikis. Dalam luka dapat berakibat kerusakan
integritas kuit, dimana perubahan atau gangguan epidermis dan atau dermis.
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera
(Morton, 2012).
Menurut Potter dan Perry (2005) Pemeriksaan fisik harus dirancang
sesuai kebutuhan pasien jika penderita akut perawat mengenali gejala yang
ada dan boleh memilih untuk hanya mengkaji sistem tubuh yang terlibat.
Pemeriksaan yang lebih komprehensif dilakukan jika klien merasa lebih sehat
dan kemudian perawat mempelajari status kesehatan total klien. Pemeriksaan
fisik lengkap sebagai tindakan kesehatan preventif untuk menentukan
pemenuhan persyaratan asuransi kesehatan layanan militer atau pekerjaan
63
baru dan untuk penerimaan dirumah sakit atau fasilitas perawatan jangka
panjang.
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mengumpulkan data dasar,
tentang kesehatan klien, untuk menambah data yang diperoleh dalam riwayat
keperawatan, untuk menginformasi dan mengidentifikasi diagnosa
keperawatan, untuk membuat penilaian klinis tentang perubahan status
kesehatan klien dan penatalaksanaan, dan untuk mengevaluasi hasil fisiologis
dari asuhan.
Hasil pemeriksaan fisik di kepala bentuk kepala mesochepal, terdapat
hematoma panjang 5 cm, lebar 4 cm di kanan samping kepala, kulit kepala
kotor dengan rambut beruban. Hasil pemeriksaan muka dari mata palpebra
edema, konjungtiva anemis, sclera ikterik, pupil anisokor, penelitian klinis
untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan
dalam berbagai metologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan
reaksi pupil terhadap cahaya pada pasien cedera kepala berat. Fungsi pupil
abnormal, adanya gangguan gerakan ekstrokular, pola-pola respon motorik
yang abnormal seperti postur fleksor dan postru ekstensor, semuanya
memprediksikan keluaran yang buruk pada pasien cedera kepala berat
(Kasmaei et al, 2015).
Anisokor adalah ukuran pupil yang tidak sama, adalah kondisi medis
yang ditandai dengan ukuran pupil (lubang hitam) yang bervariasi pada kedua
bola mata, pada pasien trauma keadaan seperti harus segera di tangani.
Diameter kanan 2 mm dan kiri 4 mm tidak simetris, reflek cahaya sedikit dan
64
tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung terdapat sisa
cairan darah. Pemeriksaan mulut terdapat sisa cairan darah. Hasil dari
pemeriksaan gigi didapatkan tidak terpasang gigi palsu dan gigi tidak bersih,
pemeriksaan telinga didapat kan hasil bentuk simetris dan terdapat sisa cairan
darah. Pemeriksaan leher didapatkan ada cidera servikal. Cedera servikal
adalah keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis
yang disebabkan oleh dislokasi, sublukasi atau fraktur vertebrata servikal dan
ditandaikompresi pada medulla spinal daerah servikal (Muttaqin, 2011).
Pemeriksaan dada paru: didapatkan hasil inspeksi bentuk dada
simetris, palpasi vocal premitus kanan dan kiri sama, perkusi normal dan
auskultasi tidak ada suara tambahan/vesikuler. Pemeriksaan dada jantung:
didapatkan hasil inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba
di intercosta 3, perkusi pekak diseluruh lapang dada, auskultasi bunyi jantung
I-II murni, reguler dan lup-dup.
Pemeriksaan abdomen didapatkan hasil tidak ada jejas, bentuk datar
dan umbilikus bersih pada saat di inspeksi,pada saat di auskultasi bising usus
terdengar 30 kali permenit, perkusi bunyi timpani di kuadran 3, dan tidak ada
nyeri tekan pada saat di palpasi.
Pada pemeriksaan genetalia, bersih dan terpasang kateter. Pada saat
pemeriksaan ekstermitas atas kanan dan kiri tidak sama melawan gravitasi,
kekuatan otot tidak penuh, capilary refile kurang dari 2 detik dan pada
ekstermitas bawah kanan dan kiri tidak sama mampu melawan gravitasi,
kekuatan otot tidak penuh, capilary refile kurang dari 2 detik.
65
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 8 januari 2016 Jam 10.36
WIB di ICU di dapatkan hasil yang tidak normal hasil hemoglobin tidak
normal 11,3g/dl normal (13,5-17,5, leokosit tidak normal 28,02 ribu/uL
normal (4,5-11,0, SGOT tidak normal 103 u/L normal( <35), SGPT tidak
normal 94 u/L normal (< 45), creatin tidak normal 1,4 mg/dl normal (0,8-1,3),
MCV tidak normal 88,2 fl normal (86-108). Pemeriksaan CT-scan pada
tanggal 08 Januari 2016 Jam 10.36 WIB. Menurut Rendy dan Margareth
(2012) CT-scan pada cedera kepala berat adalah mengidentifikasikan luasnya
lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : untuk mengetahui adanya infark atau iskemia jangan dilekukan pada
24-72 jam setelah injuri. Hasil yang didapatkan pada CT-scan Tn.S tampak
soft tissue swelling extracranial regio temporaparietoocci pitalis dextra. Pada
bone window dan 3 D reformat tamapak clis continuitas linear pasa os
temporalis dextra dan dinding sinus ethmoidalis. Sulci dan fissura silvii
tampak menyempit, terutam hemisfer cerebri sinistra. Batas grey matter dan
white matter tampak mengabur. Tampak lesi hiperdens (63 HV) yang mengisi
sulci region frontotemporo paretalis sinistra dan lesi hiperdens (73 HV)
dilobus frontalis dan hemporoparietalis sinistra bentuk amorf dengan
perifocal edema yang menyempitkan ventrikel lateralis lateralis, terutama
sinistra dan mendeviasi linea mediana ke kontralateral kurang lebih 7 mm,
volume lesi kurang lebih 70 cc. Tampak lesi hiperdens (74 HV) disinus
sphenaidalis dan sinus ethmoidalis dan sinus maxilaris sinistra dengan
gambaran air fluid level. Tampak lesi hipodens (38 HV) yang menempel pada
66
dinding sinus maxilaris dextra dan sinus frontalis. Kesan : linier fracture os
temporalis dextra dan fracture dinding sinus ethmoidalis dengan hematom
extracranial dan gambaran hematosinus ethmoidalis, spkenoidalis dan
maxilaris sinistra dengan suspect sinusitas maxillaris dextra dan frontalis.
Gambaran SAH di regio frontotem poroparietalis sinistra dan ICH dilobus
frontotemporoparietalis sinistra dengan gambaran perifocal edema dengan
volume kurang lebih 70 cc disertai midline shitting ke kontralateral kurang
lebih 7 mm dan gambaran brain edema.
Terapi yang di dapat pasien selama di IGD pada tanggal 7 Januari
2016 antara lain cairan Ringer lactat 20 tetes per menit berfungsi untuk
menambah cairan di tubuh, Manitol 150 cc berfungsi untuk mengurangi
tekanan intrakranial. Jenis terapi cairan yang harus digunakan pada pasien
cedera kepala adalah cairan yang dapat mempertahankan volume
intravaskular dan tidak meningkatkan edema serebral merupakan cairan yang
sering digunakan pada pasien trauma yaitu koloid dan kristaloid. (Gonzales,
2008). Pemberian infus cairan dengan cepat dapat meningkatkan tekanan
intrakranial pada pasien dengan penurunan compliance otak. Citycoline 500
mg per 12 jam berfungsi untuk memperbaiki kesadaran atau trauma kepala,
Asam Traneksamat 1000 mg per 24 jam berfungsi untuk mencegah
perdarahan, Ceftriaxone 1000 mg per 24 jam berfungsi untuk mencegah dan
mengatasi infeksi, Ondansentron 4 mg per 24 jam berfungsi untuk mual
muntah (ISO, 2013).
67
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respon
individu, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual dan
potensial. Tujuannya adalah mengarahkan rencana asuhan keperawatan untuk
membantu klien dan keluarga terhadap penyakit dan menghilangkan masalah
keperawatan (Dermawan, 2012).
Diagnosa keperawatan yang diambil oleh penulis adalah
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing pada
jalan nafas (berupa darah). Menurut Ester, dkk (2012) ketidakefektifan
bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi
atau obstruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas.
Menurut Masari (2007) benda asing dalam jalan nafas adalah sumbatan pada
jalan nafas yang menyebabkan kebuntuan yang disebabkan oleh cairan seperti
darah. Berdasarkan Diagnosa Nanda NIC NOC (2013) batasan karakteristik
ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah adanya suara nafas tambahan,
jalan nafas tersumbat. Pada Tn. S batasan karakteristik yang di temukan
meliputi data subyektif tidak terkaji. Secara objektif ada suara tambahan
yaitu gargling, terdapat cairan darah di jalan nafas. Suara gargling adalah
suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang
disebabkan oleh cairan seperti darah.
Diagnosa keperawatan yang kedua diambil oleh penulis adalah
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Menurut
Ester, dkk (2012) ketidakefektifan pola nafas adalah inspirasi atau ekspirasi
68
yang tidak memberi ventilasi adekuat. Hiperventilasi adalah keadaan nafas
yang berlebihan akibat kecemasan yang mungkin disertai dengan histeria atau
serangan panik. Berdasarkan Diagnosa Nanda NIC NOC (2013) Batasan
karakteristik ketidakefektifan pola nafas adalah penggunaan otot bantu nafas,
frekuensi pernafasan, penurunan ventilasi, sesak nafas. Pada Tn. S batasan
karakteristik yang di temukan meliputi data subyektif tidak terkaji. Secara
objektif pasien terlihat sesak, ada otot bantu nafas, frekuensi pernafasan :
28x/menit, saturasi oksigen : 81%.
Pada diagnosa keperawatan yang ketiga yang diambil penulis adalah
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses
penyakit (Trauma kepala). Menurut Wilkinson (2011) ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral adalah penurunan oksigen yang mengakibatkan
kegagalan pengiriman nutrisi kejaringan pada tingkat kapiler. Berdasarkan
Diagnosa Nanda NIC NOC (2013) batasan karakteristik ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral adalah perubahan status mental, perubahan perilaku,
perubahan respon motorik, perubahan reaksi pupil, kesulitan menelan
(Wilkinson, 2011). Trauma kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2012). Pada Tn. S batasan karakteristik
yang ditemukan meliputi data subyektif keluarga pasien mengatakan klien
tidak sadar. Data obyektif perubahan tingkat kesadaran sopor coma GCS
E1M3V2 E1 : tidak ada respon, M3: fleksi abnormal, V2 : suara-suara tidak
berarti/mengerang, tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 202/98 mmHg,
nadi 116x/menit, respirasi 28x/menit, suhu 36,50C, MAP: 133.
69
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral ini bisa terjadi karena arteri
yang mensuplai darah ke otak pecah, sehingga mengakibatkan perdarahan
yang menyebabkan infrak serebral (kematian jaringan) yang menghambat
masuknya darah ke jaringan serebral. Perdarahan pada otak akan
menghambat suplai oksigen ke otak yang akan mengakibatkan terjadi
penurunan kesadaran. Peningkatan tekanan intra kranial dapat mengakibatkan
kematian sel otak yang ireversibel karena kurangnya suplai oksigen dan akan
berpengaruh pada sistem aliran darah diotak sehingga aliran darah diotak
akan menurun (Nurhidayat, 2014).
Pada diagnosa keperawatan yang keempat yang diambil penulis adalah
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma. Menurut Ester, dkk
(2012) kerusakan integritas kulit adalah perubahan atau gangguan epidermis
dan atau dermis. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera (Morton, 2012) Berdasarkan Diagnosa Nanda NIC
NOC (2013) Batasan karakteristik kerusakan integritas kulit adalah kerusakan
lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, dan invasi sruktur.
Pada Tn. S batasan karakteristik yang ditemukan meliputi data subjektif
tidak terkaji. Secara objektif terdapat luka sobek di kaki kiri dengan panjang
kurang lebih 4 cm, lebar 2 cm, kedalaman 0,1 cm, luka bersih.
Penulis tidak merumuskan semua diagnosa yang muncul dikarenakan
penulis menegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hasil pengkajian
dan observasi yang telah dilakukan selama sehari pengelolaan kasus. Selain
itu dengan keterbatasan waktu pengelolaan kasus tersebut sehingga penulis
70
hanya bisa merumuskan diagnosa keperawatan yang mungkin bisa dikelola
saat pengelolaan kasus tersebut.
C. Intervensi
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu yang akan dilakukan, bagaimana
dilakukan, kapan akan dilakukan, dan siapa yang akan melakukan semua
tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus
keperawatan kepada kelompok atau klien, untuk membedakan tanggun jawab
perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria
guna pengulangan dan evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria dan
klasifikasi klien (Dermawan, 2012).
Dalam kasus ini penulis melakukan intervensi sesuai dengan
rumusan masalah di atas selama 1 kali 10 menit, karena dimana di dalam
kegawatdaruratan respon time nya 10-15 menit pasien harus segera di tangani
dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan tindakan secara maksimal.
Tujuan dari intervensi adalah suatu sasaran yang menggambarkan perubahan
yang diinginkan pada setiap kondisi atau perilaku klien dengan kriteria hasil
yang diharapkan perawat. Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan
SMART (Spesifik, Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesifik
adalah berfokus pada klien. Measurable dapat diukur, dilihat, diraba,
dirasakan, dan dibau. Achieveble adalah tujuan yang harus dicapai.
Reasonable merupakan tujuan yang harus dipertanggungjawabkan secara
71
ilmiah. Time adalah batasan pecapaian dalam rentang waktu tertentu, harus
jelas batasan waktunya (Dermawan, 2012).
Tujuan dari diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas (darah) dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x10 menit karena dimana di
dalam kegawatdaruratan respon time nya 10-15 menit pasien harus segera di
tangani, diharapkan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berkurang dengan
kriteria hasil : jalan nafas klien bebas dari cairan (darah), tidak ada bunyi
nafas tambahan. Intervensi yang pertama yaitu kaji irama nafas dan suara
nafas klien dengan rasional untuk mengetahui irama nafas dan suara nafas
karena dalam pengkajian irama nafas dan suara nafas dilakukan untuk
mengetahui keadaan umum klien. Intervensi yang kedua posisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi dengan rasional untuk mempertahankan
ventilasi karena menyeimbangkan oksigen dari otak ketubuh.
Posisi kepala 0º (flat) merupakan posisi telentang atau sering
dikenal dengan posisi dorsal rekumben, yaitu posisi hubungan antara bagian-
bagian tubuh pada dasarnya sama dengan kesejajaran tubuh yang benar,
kecuali tubuh dalam posisi horizonta (Poter & Perry, 2005). Manfaat
pemberian posisi kepala dapat menurunkan TIK, memberikan kenyamanan
pada pasien, memfasilitasi venous drainage dari kepala. Intervensi yang
ketiga lakukan penghisapan lendir atau suction pada jalan nafas sesuai
kebutuhan dengan rasional untuk mengeluarkan cairan yang menyumbat jalan
nafas karena agarn tidak terjadi penyumbatan cairan di jalan nafas.
72
Tujuan dari diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x10 menit karena dimana di dalam kegawatdaruratan respon time
nya 10-15 menit pasien harus segera di tangani, diharapkan ketidakefektifan
pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : frekuensi pernafasan dalam
rentang normal 16-24x/menit. Pernafasan adalah tanda vital yang apling
mudah di kaji namun yang paling sering diukur secara sembrono.
Menurut Perry dan Petter (2005) Perubahan karakter pernafasan yang
tiba-tiba mungkin penting karena pernafasan berhubungan erat dengan
berbagai sistem tubuh, perawat harus mempertimbangkan semua variebel saat
terjadi perubahan. Misalnya, pernafasan sangat rendah yang terjadi pada klien
setelah cedera kepala dapat menandakan cedera pada batang otak. Saturasi
oksigen atau SPO2 > 95%. Pengukuran saturasi oksigen dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi transmisi cahaya dari pulsasi arteri perifer.
Kesadaran terhadap fakto-faktor ini memungkinkan interpretasi akurat
perawat terhadap pengukuran saturasi oksigen, abnormal. Pasien tidak terlihat
sesak, tidak ada penggunaan otot bantu nafas.
Intervensi yang pertama yaitu monitor frekuensi pernafasan dimana
normal pernafasan adalah 16-24x/menit, saturasi oksigen dimana normalnya
>95%, nadi dimana normalnya 80-120x/menit, tekanan darah dimana
normalnya 120/80mmHg. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan
darah sistolik, sebaiknya dipertahankan diatas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi jaringan ke otak yang adekuat.
73
Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan
tekanan sistoli. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan
sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada
arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg (Fauzi, 2010).
Suhu dengan normal 36,5-37,5oC. Pengukuran suhu ditujukan untuk
memperoleh suhu inti jaringsn tubuh. Rata-rata yang representif suhu normal
rata-rata bervariasi tergantung lokasi pengukuran. Dengan rasional untuk
mengetahui tanda-tanda vital pasien karena dalam pengkajian dilakukan
untuk mengetahui keadaan umum klien. Intervensi yang kedua posisikan
pasien untuk memaksimalkan ventilasi dengan rasional untuk
mempertahankan ventilasi karena untuk menyeimbangkan oksigen dari otak
ke tubuh. Intervensi yang ketiga monitor O2 dengan rasional untuk
mengetahui kebutuhan oksigen karena untuk mengetahui kadar O2.
Tujuan dari diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan proses penyakit (trauma kepala) dengan tujuan setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, diharapkan
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berkurang dengan kriteria hasil :
kesadaran meningkat, GCS E2M4V3. Pengukuran yang paling sering
dilakukan oleh praktisi kesehatan adalah pengukurn suhu, nadi, tekanan
darah, frekuensi pernafasan dan asturasi oksigen sebagai indikator dari status
kesehatan, ukuran-ukuran ini menandakan keefektifan, sirkulasi, respirasi,
fungsi neural dan endokrin tubuh (Perry dan Petter, 2005).
74
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik, sebaiknya
dipertahankan diatas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi jaringan ke
otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistoli. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba
maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg
(Fauzi, 2010). Tanda-tanda vital dalam batas normal dengan tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 60-120x/menit, pernapasan 16-24x/menit, suhu 36-370C,
MAP <140. Intervensi yang pertama yaitu kaji kesadaran dan GCS pasien,
hal ini dilakukan sesuai teori dalam pengkajian dilakukan untuk mengetahui
kesadaran umum pasien. Intervensi yang kedua beri O2 dengan rasional untuk
menambah suplai oksigen, karena oksigen diperlukan didalam otak.
Intervensi yang ketiga kolaborasi dengan dokter pemberian obat dan terapi
non farmakologi (inj. Citycoline 2x1 500mg, inj. Manitol 150cc/6jam, Asam
Traneksamat 1x1 1000mg) dengan rasional untuk mengurangi peningkatan
intrakranial (TIK) dan pemberian terapi musik untuk meningkatkan status
kesadaran.
Terapi musik adalah aktivitas musik untuk mengatasi berbagai
masalah dalam aspek fisik, psikologis, kognitif, dan kebutuhan sosial
individu yang mengalami cacat fisik (Djohan, 2011). Di Negara-negara
maju khususnya amerika serikat (tempat aktivitas ini mulai dikembangkan)
terapi musik telah maju bagian dari proses kesehatan. Terapi musik
merupakan sebuah pekerjaan yang menggunakan musik dan aktivitas untuk
75
mengatasi kekurangan dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial pada
anak-anak serta orang dewasa yang mengalami gangguan atau penyakit
tertentu. Terapi musik memanfaatkan kekuatan musik untuk membantu klien
menata dirinya sehingga mereka mampu mencari jalan keluar, mengalami
perubahan atau akhirnya sembuh dari gangguan yang diderita karena itu
terapi musik bersifat humanistik.
Tujuan dari diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
trauma dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
jam, diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil:
integritas kulit yang baik dapat dipertahankan, luka bersih tidak infeksi
dipertahankan. Intervensi yang pertama yaitu bersihkan area luka yang akan
di jahit dan lakukan heacting (kolaborasi) dengan rasional untuk mencegah
infeksi karena untuk mempercepat masa penyembuhan, intervensi yang kedua
jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering dengan rasional untuk
mencegah terjadinya infeksi karena agar kuman tidak masuk kedalam luka.
D. Implementasi
Tindakan keperawatan atau implementasi adalah serangkaian
pelaksanaan rencana tindakan keperawatan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang
lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil dalam rentang yang diharapkan
selama 3 kali 24 jam (Dermawan, 2012).
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn.S dengan keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam
76
jalan nafas (darah) yaitu memantau irama dan suara nafas pasien karena
dalam pengkajian irama nafas dan suara nafas dilakukan untuk mengetahui
keadaan umum klien, melakukan penghisapan jalan nafas sesuai kebutuhan
(suction), memposisikan pasien dengan memaksimalkan ventilasi.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn.S dengan keperawatan
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yaitu
memonitor respiratory rate atau pernafasan dimana normal pernafasan adalah
16-24x/menit, saturasi oksigen atau SPO2 dimana normalnya >95%, tekanan
darah dimana normalnya 120/80 mmHg, Suhu dimana normalnya 36,5-37oC,
Nadi dimana normalnya 80-120x/menit, memposisikan pasien
memaksimalkan ventilasi, monitor oksigen atau O2.
Implementasi selanjutnya Tn.S dengan diagnosa ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit (trauma
kepala) yaitu Mengobservasi TTV, memantau tingkat kesadaran pasien,
memberikan oksigen Non Rebrething Mask, mengkolaborasikan dengan tim
dokter untuk pemberian terapi farmakologi dan non farmakologi yaitu
pemberian terapi musik.
Dalam asuhan keperawatan pada Tn.S penulis mengaplikasikan terapi
musik untuk meningkatkan status kesadaran. Musik diberikan berdasarkan
jurnal tindakan ini terapi dilakukan sebanyak 3 kali (session) sehari (pagi,
siang, dan sore) selama 20-30 menit untuk setiap session. Terapi musik
adalah aktivitas musik untuk mengatasi berbagai masalah dalam aspek
77
fisik, psikologis, kognitif, dan kebutuhan sosial individu yang mengalami
cacat fisik (Djohan, 2011).
Terapi musik sebagai terapi alternatif telah dikembangkan pada
berbagai bagian dirumah sakit untuk mengatasi berbagai jenis penyakit,
khususnya dalam rehabilitasi neurologis. Saat seseorang mendengarkan
musik, gelombangnya ditransmisikan melalui ossicles ditelinga tengah dan
melalui cairan cochlear berjalan menuju nervus auditori dn merangsang
mengeluarkan hormon endofrin. Endofrin memiliki efek relaksasi pada tubuh
(Novita, 2011).
Efek yang ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus sistem
syaraf simpatis. Respon yang muncul dari penurunan aktivitas tersebut adalah
menurunkan aktivitas adrenalin, menurunkan ketegangan neuromuskular,
meningkatkan kesadaran. Indikator yang biasa diukur adalah menurunnya
heart rate, menurunnya asam lambung dan penurunan tekanan darah (Novita,
2011).
Terapi Musik yang diberikan adalah jenis musik yang disukai pasien.
Dikarenakan pasien tidak sadarkan diri musik di alihkan keluarga dengan
musik yang disukai keluarga yaitu terapi musik pemberian perangsangan
auditori murrotal (Ayat-ayat suci Al-Qu’an). Al-Qur’an yang merupakan
wahyu Allah SWT terdiri dari 114 surat, 6666 ayat dan telah memiliki banyak
manfaat baik untuk kesembuhan penyakit jasmani dan rohani. Hal ini
ditegaskan berdasarkan sabda Rosululloh SAW berobatlah kalian dengan
madu dan Al-Qur’an (Izzat & Arif, 2011; Kementerian Agama, 2011).
78
Pemberian terapi bacaan Al-Qur’an yang diturunkan Allah dapat memberikan
kesembuhan terhadap penyakit jasmani dan rohani. (dalam Sodikin, 2012).
Kesembuhan menggunakan Al-Qur’an dapat dilakukan dengan membaca,
berdekatan dengannya, dan mendengarkannya (Asman, 2008). Saat membaca
Al-Qur’an atau mendengar bacaan Al-Qur’an, maka yang membaca atau
mendengar terutama disamping sisi orang sakit, disamping akan memperoleh
kesembuhan juga membawa rahmat (Kementerian Agama, 2011; Miller,
1992) Sodikin (2012).
Implementasi selanjutnya Tn.S dengan diagnosa kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan trauma yaitu membersihkan area luka sobek dan
dilakukan heacting (kolaborasi), menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih
dan kering.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara
dasar-dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon
perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk menentukan
perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi tindakan
keperawatan, mendapatkan umpan balik dari klien, dan sebagai tanggung
jawab dalam pelaksanaaan pelayanan kesehatan (Dermawan, 2012).
Evaluasi dari tindakan keperawatan yang pertama dilakukan untuk
diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda
asing dalam jalan nafas (darah) data subyektif pasien tidak terkaji, data
obyektif ada suara tambahan yaitu suara gargling, pasien tidur terlentang.
79
data assesment masalah jalan nafas belum teratasi yaitu suara nafas tambahan
gargling masih ada, data plainning lanjutkan inervensi, pantau irama dan
suara nafas, posisikan untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan suction bila
diperlukan, intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan
kolaborasi dengan tim rehabilitasi.
Evaluasi dari tindakan keperawatan yang kedua dilakukan untuk
diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi data
subyektif pasien tidak terkaji, data obyektif pasien terlihat sesak, ada otot
bantu nafas, SPO2 91%, data assesment masalah pola nafas belum teratasi
yaitu masih sesak, ada otot bantu nafas, data plainning lanjutkan inervensi,
monitor O2 beri O2 NRM 10l/menit, posisikan supine, Monitor TTV,
intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan kolaborasi dengan
tim rehabilitasi.
Evaluasi untuk diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan proses penyakit (trauma kepala) data subyektif pasien
tidak sadar, tidak terkaji, data obyektif keadaan umum lemah kesadaran
sopor coma GCS E1M3V2, tanda-tanda vital tekanan darah 150/50mmHg,
nadi 112x/menit, pernapasan 28x/menit, suhu 36,50C, saturasi oksigen 91%,
data assesment masalah perfusi jaringan serebral belum teratasi yaitu
penurunan kesadaran, tekanan darah, data plainning lanjutkan inervensi,
observasi kesadaran dan GCS pasien, beri 02 RNM 10lpm, kolaborasi dengan
dokter pemberian terapi farmakologi dan non farmakologi yaitu pemberian
80
terapi musik, intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang ICU dengan
kolaborasi dengan tim rehabilitasi.
Evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
trauma data subyektif pasien tidak sadar, tidak terkaji, data obyektif luka
terbalut kassa, tidak ada perdarahan, tidak ada tanda-tanda infeksi seperti
rubor, kolor, dolor, fungsiolesa, tumor, data assesment masalah integritas
kulit teratasi , data plainning pertahankan intervensi, jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan kering, intervensi keperawatan di lanjutkan ke ruang
ICU dengan kolaborasi dengan tim rehabilitasi.
Evaluasi melalui aplikasi riset diberikan pemberian terapi musik di
ruang ICU. Dalam aplikasi ini tidak dapat mengevaluasi dalam pemberian
terapi musik untuk meningkatkan status kesadaran karena pasien meninggal.
Pasien meninggal dikarenakan penurunan kesadaran, hiperventilsi,
bradikardi, apnea. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita
tidak sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga
tidak mampu memberikan respon yang normal terhadap stimulus (Muttaqin,
2008). Hiperventilasi adalah keadaan nafas yang berlebihan akibat
kecemasan yang mungkin disertai dengan histeria atau serangan panik.
Bradikardi adalah suatu kondisi yang mana di tandai denyut jantung yang
lebih lambat. Apnea adalah henti nafas atau berhentinya irama nafas normal
dengan waktu 6-8 menit.
81
BAB VI
PENUTUP
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa,
implementasi dan evaluasi tentang pemberian terapi musik untuk meningkatkan
status kesadaran pasien pada asuhan keperawatan Tn.S dengan Cedera kepala
berat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Salatiga secara metode studi
kasus, maka dapat ditarik kesimpulan.
A. Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pengkajian
Hasil pengkajian terhadap Tn. S dengan cedera kepala berat
didapatkan adanya suara tambahan gargling, terdapat cairan darah, tampak
sesak nafas, ada otot bantu nafas, penurunan kesadaran, pada pemeriksaan
fisik didapatkan hasil perubahan tanda-tanda vital, dengan tekanan darah
meningkat, nadi dalam batas normal, respirasi meningkat, suhudalam batas
normal. Pada hasil CT-Scan gambaran linier fraktur os temporalis dextra
dan fracture dinding sinus ethmoidalis dengan hematom extracranial dan
gambaran hematosinus ethmoidalis, spkenoidalis dan maxilaris sinistra
dengan suspect sinusitas maxillaris dextra dan frontalis. Gambaran SAH di
regio frontotem poroparietalis sinistra dan ICH dilobus
frontotemporoparietalis sinistra dengan gambaran perifocal edema dengan
81
82
volume kurang lebih 70 cc disertai midline shitting ke kontralateral kurang
lebih 7 mm dan gambaran brain edema.
2. Diagnosa keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. S dengan cedera kepala berat,
yang diangkat yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan benda asing dalam jalan nafas (darah), ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan proses penyakit (trauma kepala), kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan trauma.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada kondisi Tn. S dengan
cedera kepala berat adalah dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas (darah) yaitu kaji
irama nafas dan suara nafas klien, posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi, lakukan penghisapan lendir atau suction pada jalan nafas sesuai
kebutuhan, diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi yaitu monitor RR, SPO2, nadi, Td, suhu, posisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi, monitor O2, diagnosa ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses penyakit (trauma
kepala) yaitu kaji kesadaran GCS, beri O2 ,pemberian terapi musik,
diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma yaitu
bersihkan area luka yang akan di jahit kemudian lakukan heacting
(kolaborasi), jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
83
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan pada Tn. S dengan CKB adalah
dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan benda asing dalam jalan nafas (darah) yaitu mengkaji irama
nafas dan suara nafas klien, memposisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi, melakukan penghisapan lendir atau suction
pada jalan nafas sesuai kebutuhan, diagnosa ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi yaitu memonitor RR, SPO2, nadi,
Td, suhu, memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi,
memonitor O2, diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan proses penyakit (trauma kepala) yaitu mengkaji
kesadaran GCS, beri O2 , memberikan terapi musik , diagnosa
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma yaitu
membersihkan area luka yang akan di jahit kemudian melakukan
heacting (kolaborasi), menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi Tn. S dengan CKB selama 11 jam mengelola, Tn. S
dengan CKB tidak tampak ketidakefektifan bersihan jalan nafas, tidak
tampak ketidakefektifan pola nafas, tidak tampak penurunan kesadaran,
tidak tampak kerusakan integritas kulit.
84
6. Analisa Aplikasi Jurnal dengan Kasus
Pada asuhan keperawatan Tn.S Menunjukkan bahwa aplikasi
pemberian terapi musik untuk meningkatkan status kesadaran tidak
dapat efektif di karenakan pasien meninggal.
B. SARAN
Masukan dan usulan yang positif yang sifatnya untuk membangun
dibidang kesehatan dan keperawatan khususnya baik yang terjadi dirumah
sakit, yang terjadi pada perawat maupun yang terjadi pada klien. Adapun
usulan atau masukan tersebut diantaranya sebagai berikut :
1. Bagi Penulis
Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien CKB dengan
pemberian terapi musik diharapkan penulis dapat lebih mengetahui cara
meningkatkan status kesadaran .
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang
lebih berkualitas sehingga dapat menghasilkan perawat yang profesional,
terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
3. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan
dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan
maupun klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan
85
keperawatan keperawatan yang optimal pada umumnya dan klien dengan
penurunan kesadaran pada khususnya.
4. Bagi Keluarga dan Pasien
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Tn. S dengan cedera
kepala berat diharapkan pasien dan keluarga mampu merawat anggota
keluarga yang mengalami penurunan kesadaran untuk mencegah
terjadinya kematian atau kerusakan sel otak dengan memberikan terapi
musik.
86
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidan edisi 2. Salemba
Medika. Jakarta.
Anonimity, 2014. Asuhan keperawatan cedera servikal, http : // www.Google.co.id,
Diakses tanggal 6 mei 2016.
Asrin, dkk. 2007.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 2, No. 2.
Batticaca, 2008. Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta : Salemban Medika.
Dewi, 2014.Pengaruh Terapi Musik terhadap Peningkatan Glasgow Coma Scale
(GCS). Skripsi. Program Studi S-1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada
Surakarta.
Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gosyen Publising.Yogyakarta.
Djohan. 2011. Terapi Musik Teori dan aplikasi. Yogyakarta.Galangpre SS.
Ester, dkk. 2012. Diagnose Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 20012-2014. Buku
kedokteran. EGC. Jakarta.
Ginsberg. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi ke delapant. Jakarta. Erlangga.
Haryani, 2011.Asuhan Keperawatan pada klien Ny.C dengan Cedera Kepala Berat
(CKB) di Instalasi Gawat Darurat Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Iso Indonesia. 2013. Informasi spesialite obat. PT ISFI. Jakarta.
Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
NuhaMedika. Yogyakarta.
Mucci, K., & Mucci, R. 2002. The Healing Sound of Music. Scotland. Findhompress.
87
Muttaqin, Arif. 2008. Buku ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba. Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2011. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba. Jakarta.
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan krisis Volume 1 & 2 edisi 8.EGC.
Jakarta.
Nettina. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta. EGC.
Novita, D, 2012. Pengaruh Terapi Musik terhadap Nyeri Post Operasi Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR.H Abdul Moeloek
Provensi Lampung, Tesis, Universitas Indonesia. Jakarta diakses tanggal
2 Desember 2015 <http: //lontar.ui.ac.id/opac/ui/>.
Nurarif dan Kusuma.2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid I. Yogyakarta. Media Action
Publishing.
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medika Bedah. Nuha Medika. Yogyakarta.
Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Rihiantoro dkk, Jurnal Pengaruh Terapi Musik terhadap Status Hemodinamika pada
pasien Koma diRuang ICU sebuah Rumah Sakit di Lampung diakses
tanggal 4 Desember 2015 pukul 11.30.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Syaraf edisi IV. Gramedia Pustaka Utama. Tangerang.
Setiadi. 2012. Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan
Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sodikin. 2012. Penagaruh Terapi Bacaan AL-Quran Melalui Media Audio terhadap
Respon Nyeri Pasien Post Operasi Hernia di RS Cilacap. Tesis. Program
Magister Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. Depok.
Solehati dan Kosasih. 2015. Konsep dan Aplikasi Relaksasi dalam Keperawatan
Maternitas.PT Refika Aditama.Bandung.
Sudiharto dan Sartono, 2010. Basic Trauma Cardiac Life Suport. Jakarta. Sagung
Setu.
88
Wilkinson Judith. M, Ahern Nancy. R. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa Nanda, Intervensi Nic, Kriteria Hasil Noc. Edisi 9. Alih Bahasa
Oleh Wahyuningsih Esty. EGC Medikal Publisher. Jakarta.