pemetaan tingkat aksesibilitas desa terhadap...

16
Page | 1 JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017 PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP INFRASTRUKTUR AIR MINUM DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DOMESTIK (STUDI KASUS KABUPATEN CILACAP) Nino Heri Setyoadi 1 , Primanda Kiky Widyaputra 2 1) Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2) Fakultas Teknologi Sumberdaya Alam Institut Teknologi Yogyakarta INTISARI Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan pembangunan infrastruktur air minum di sebagian daerah masih kurang optimal. Bisa jadi hal ini terkait dengan keterbatasan SDM dalam mengolah data-data tersebut menjadi informasi yang bermanfaat. Pengolahan data PODES yang dipadukan dengan analisis informasi spasial melalui SIG dapat mendatangkan keluaran yang lebih informatif. Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memetakan tingkat aksesibilitas air minum dalam pemenuhan kebutuhan domestik melalui pemanfaatan data PODES dan teknologi dalam SIG. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat mixed methods. Metode yang digunakan dalam menyusun peta tingkat aksesibilitas desa terhadap air minum menggunakan metode spasial dan kuantitatif.Metode kuantitatif digunakan untuk mengukur waktu pengumpulan/penyaluran air dari desa-desa dengan sumber air minum yang tidak layak (unimproved) ke desa-desa terdekat dengan sumber air minun layak.Sementara untuk menggambarkan pendayagunaan infrastruktur air minum menggunakan metode deskriptif kualitatif. Unit analisis yang digunakan pada level makro wilayah Kabupaten Cilacap. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi data sekunder dan wawancara dengan narasumber. Berdasarkan analisis yang dilakukan, tingkat aksesibilitas desa terhadap infrastruktur air minum di Kabupaten Cilacap adalah: 14 desa tergolong tidak ada akses, 9 desa tergolong akses dasar, 45 desa tergolong akses menengah, dan 216 desa tergolong akses optimal. Secara umum distribusi air minum tergolong cukup baik dengan 4,92% yang tergolong tidak ada akses, 3,16% akses dasar, 15,84% akses menengah, dan 91,54% akses optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat aksesibilitas terhadap infrastruktur air minum di Kabupaten Cilacap adalah faktor geografis berupa topografi dan infrastruktur jalan. Kata Kunci: Infrastruktur, Air Minum, SIG

Upload: hanga

Post on 15-Aug-2019

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 1

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP

INFRASTRUKTUR AIR MINUM

DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DOMESTIK

(STUDI KASUS KABUPATEN CILACAP)

Nino Heri Setyoadi1, Primanda Kiky Widyaputra2 1)Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2)Fakultas Teknologi Sumberdaya Alam

Institut Teknologi Yogyakarta

INTISARI Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

pembangunan infrastruktur air minum di sebagian daerah masih kurang optimal.

Bisa jadi hal ini terkait dengan keterbatasan SDM dalam mengolah data-data

tersebut menjadi informasi yang bermanfaat. Pengolahan data PODES yang

dipadukan dengan analisis informasi spasial melalui SIG dapat mendatangkan

keluaran yang lebih informatif. Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini bertujuan

untuk memetakan tingkat aksesibilitas air minum dalam pemenuhan kebutuhan

domestik melalui pemanfaatan data PODES dan teknologi dalam SIG.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat mixed methods.

Metode yang digunakan dalam menyusun peta tingkat aksesibilitas desa terhadap

air minum menggunakan metode spasial dan kuantitatif.Metode kuantitatif

digunakan untuk mengukur waktu pengumpulan/penyaluran air dari desa-desa

dengan sumber air minum yang tidak layak (unimproved) ke desa-desa terdekat

dengan sumber air minun layak.Sementara untuk menggambarkan

pendayagunaan infrastruktur air minum menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Unit analisis yang digunakan pada level makro wilayah Kabupaten

Cilacap. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi data

sekunder dan wawancara dengan narasumber.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, tingkat aksesibilitas desa terhadap

infrastruktur air minum di Kabupaten Cilacap adalah: 14 desa tergolong tidak

ada akses, 9 desa tergolong akses dasar, 45 desa tergolong akses menengah, dan

216 desa tergolong akses optimal. Secara umum distribusi air minum tergolong

cukup baik dengan 4,92% yang tergolong tidak ada akses, 3,16% akses dasar,

15,84% akses menengah, dan 91,54% akses optimal. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat aksesibilitas terhadap infrastruktur air minum di

Kabupaten Cilacap adalah faktor geografis berupa topografi dan infrastruktur

jalan.

Kata Kunci: Infrastruktur, Air Minum, SIG

Page 2: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 2

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

MAPPING THE LEVEL OF VILLAGE ACCESSIBILITY IN

DRINKING WATER INFRASTRUCTURE IN FULFILLING

DOMESTIC NEEDS (CASE STUDY CILACAP REGENCY)

ABSTRACT

The PODES Data from BPS in planning and developingdrinking water

infrastructure in some areas is not optimally used yet. The main problem is

related to the scarce of human resources to process those data subsequently.

PODES data processing integrated with the Geographic Information System

(GIS) may bring more informative resultBased on the condition, this research

aims to map and analyze the level of accessibility of drinking water

infrastructure for domestic needs through the use of PODES data and GIS.

The method used in this research was mixed methods, which applied

overlay of the level of accessibility village to the drinking water using the spatial

and quantitativeapproach.Quantitative method was used for measuring time

collection / channeling water from villages to the source of drinking water or to

villagearround the fresh water source. The utilization of drinking water

infrastructure is described by using descriptive qualitative method.Unit analysis

used in this research is at the level of macro area in the level of

kabupaten/regency.

Data collection method was conducted through documentation of

secondary data and some interviews with the reliable sources. The result of this

research shows the level of villageaccessibility to drinking water infrastructure

in kabupaten cilacap as follows: 14 villages could be classified as not in access,

9 villages are in basicaccess, 45 villages are in mediumaccess, and 216

villagesare in optimalaccess. In general, the percentage distribution of drinking

water is 4.92 % in no access, 3.16 % in basic access, 15.84 % in medium access,

and 91.54 % in optimal access.Factors that influence the level of accessibility to

drinking water infrastructure in Cilacap Regency are geographic, topography

and road infrastructure.

Keywords: Infrastructure, Drinking Water, GIS

A. PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia

berkomitmen untuk mempercepat

target pencapaian tujuan pem-

bangunan berkelanjutan (SDGs).

Seluruh pemangku kepentingan di

daerah didorong untuk melakukan

percepatan pencapaian target SDGs.

Salah satu target yang harus segera

dicapai adalah menurunkan proporsi

penduduk tanpa akses ke sumber air

minum yang aman dan berkelanjutan

serta sanitasi dasar pada tahun 2019.

Untuk akses terhadap air minum,

gerakan yang ingin dicapai pada

tahun 2019 sebesar 100 % jumlah

penduduk. Kondisi ini menjadi

perhatian serius dari pemerintah dan

pemangku kepentingan terkait.

Upaya percepatan pem-bangunan

air minum dibutuhkan perencanaan

yang efektif dan efisien. Proses

perencaan ini membutuhkan data

yang akurat tentang tingkat

Page 3: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 3

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

aksesibilitas penduduk terhadap

infrastruktur air minum. Pada tataran

makro, data dan informasi yang

tersedia seyogyanya bisa

menggambarkan tingkat aksesibilitas

penduduk tiap desa untuk sebuah

wilayah kabupaten/kota. Dengan

demikian para pengambil keputusan

di daerah terbantu untuk

memutuskan lokasi mana saja yang

harus didorong aksesibilitasnya

dengan cepat. Sementara pengambil

kebijakan ditingkat pusat dapat

terbantu menyeleksi ketepatan

lokasi-lokasi yang diusulkan

pemerintah daerah untuk

mendapatkan alokasi program

pembangunan air minum seperti dana

alokasi khusus (DAK) air minum dan

Pamsimas.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah

melakukan survey potensi desa

(PODES) secara periodik. Salah satu

indikator yang disurvey berupa

infrastruktur air bersih yang

digunakan penduduk desa dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Data dasar ini akan lebih bernilai jika

bisa ditransformasikan menjadi data

dan informasi tingkat aksesibilitas

desa terhadap infrastruktur air

minum. Dengan tranformasi data ini,

kualitas informasi yang disajikan

menjadi lebih bermakna dalam

konteks perencanaan percepatan

akses penduduk terhadap air minum.

Saat ini, berbagai data dan

informasi yang bereferensi geografis

termasuk pelayanan infrastruktur air

bersih dapat disajikan secara spasial.

Tabel 1. Tingkat Aksesibilitas Air

Minum

Tingkat

Layanan

Jarak /

Waktu

Kemungkina

n Volume

Air yang

didapatkan

Resiko

Kesehatan

Masyarak

at

Tidak

ada

akses

Lebih

dari 1 km

/ lebih

dari 30

menit

satu

putaran

Sangat

rendah

hingga 5 liter

per kapita per

hari

Sangat

Tinggi

Praktik

higiene

terganggu

Konsumsi

dasar

mungkin

terganggu

Akses

dasar

Dalam 1

km /

dalam 30

menit

satu

putaran

Rata-rata 20

liter per

kapita per

hari

Tinggi

Higiene

mungkin

terganggu

Mencuci

baju

mungkin

berlangsun

g diluar

lokasi

distribusi

air

Akses

menenga

h

Air yang

disediaka

n

ditempat

(halaman

) melalui

sedikitny

a 1 keran

(jarak 1

m)

Rata-rata 50

liter per

kapita per

hari

Rendah

Higiene

seharusnya

tidak

terganggu

Mencuci

baju

mungkin

berlangsun

g dilokasi

distribusi

air

Akses

optimal

Pasokan

air

melalui

beberapa

keran

masuk

didalam

rumah

Sekitar 100-

200 liter per

kapita per

hari

Very low

Higiene

seharusnya

tidak

terganggu

Mencuci

baju

mungkin

berlangsun

g dilokasi

distribusi

air

Sumber: Diadopsi dari Guidelines for

Drinking Water Quality

(WHO, 2011)

Bantuan SIG dan referensi terkait

lainnya diharapkan data dasar

tentang sumber air bersih di dalam

data potensi desa dapat diolah

Page 4: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 4

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

menjadi data baru yang

menggambarkan tingkat aksesibilitas

desa terhadap infrastruktur air bersih.

Upaya ini diharapkan mampu

membantu pengambil keputusan

dalam perencanaan dan monitoring

pembangunan air minum secara

efektif dan efisien.

Pemanfaatan Data PODES BPS

dalam perencanaan pembangunan

infrastruktur air minum di sebagian

daerah kurang optimal. Bisa jadi hal

ini terkait dengan keterbatasan SDM

dalam mengolah data-data tersebut

menjadi informasi yang bermanfaat.

Dengan pemanfaatan data tersebut,

pemerintah daerah sebenarnya bisa

menghemat anggaran karena tidak

perlu melakukan survey/observasi

lapangan sendiri keseluruh wilayah

dikabupaten/kota. Pengolahan data

PODES yang dipadukan dengan

analisis informasi spasial melalui

SIG dapat mendatangkan keluaran

yang lebih informatif.

Berdasarkan uraian tersebut,

tulisan ini bertujuan untuk

memetakan tingkat aksesibilitas air

minum dalam pemenuhan kebutuhan

domestik melalui pemanfaatan data

PODES dan teknologi dalam SIG.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tingkat Aksesibilitas Air

Minum

Badan-badan dunia seperti WHO

dan UNICEF memandang penting

tingkat aksesibilitas air minum

sebagai indikator keberhasilan dalam

program penyediaan air minum.

Menurut WHO, akses mudah

terhadap air minum yang aman

didefinisikan sebagai “a proxy that

assesses the use of improved

drinking-water sources by

households”. “Improved drinking-

water sources” didefinisikan sebagai

sumber air minum yang secara alami

atau buatan mampu melindungi dari

pencemaran termasuk dari limbah

feses manusia (WHO, 2011). Sumber

air minum yang layak dalam batasan

WHO terdiri dari: sambungan rumah

tangga (perpipaan PDAM),

hidran/kran umum, sumur bor, sumur

gali terlindungi, mata air terlindungi

dan penampungan air hujan. Untuk

sumber air minum diluar kategori

tersebut seperti mata air tidak

terlindungi, air permukaan, dan air

minum yang diangkut dengan mobil

tanki (biasanya untuk bantuan)

dikategorikan kedalam unimproved

drinking-water sources.

Menilai tingkat aksesibilitas

dibutuhkan indikator jarak penduduk

terhadap sumber air yang layak,

waktu tempuh dalam pengumpulan

air bersih, dan volume air bersih

yang dikumpulkan. WHO (2011)

telah membangun konsep

aksesibilitas menggunakan ketiga

indikator tersebut. Dengan ketiga

indikator tersebut, terdapat empat

kategori aksesibilitas. Adapun

kategori aksesibilitas dapat dilihat

pada Tabel 1. Kuantitas air yang

didapatkan dan digunakan rumah

tangga umumnya ditentukan oleh

Page 5: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 5

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

jarak ke sumber air dan waktu

penyaluran yang diperlukan oleh

konsumen.

Berbagai pakar menekankan

pentingnya jarak dan waktu dalam

melihat tingkat aksesibilitas air

minum. Prost dan Negrel (1989), dan

Gorter et al., (1991) menyatakan

waktu penyaluran/pengumpulan air

minum ≤ 30 menit dengan jarak ≤

500 meter dapat mengurangi resiko

penyakit diare dan trachoma

(penyakit mata). Waktu

penyaluran/pengumpulan air minum

lebih dari 30 menit dapat mengurangi

volume air secara tajam dan tidak

dapat memenuhi kebutuhan

minimum (Aiga dan Umenai, 2002;

Mara, 2003). Aiga dan Umenai

(2002) menjelaskan suatu konsep

bahwa dengan peningkatan suplai air

minum, akan memberikan manfaat

berupa penghematan waktu.

Kemudahan dalam memperoleh

suplai air minum akan mengurangi

jumlah waktu yang dibutuhkan untuk

memperoleh air minum, sehingga

waktu yang tersebut dapat digunakan

untuk keperluan lain seperti bekerja

dan mengurus rumah tangga.

Berdasarkan hal tersebut, faktor

determinan dalam menilai tingkat

aksesibilitas yang digunakan adalah

waktu penyaluran/pengumpulan air.

2. Konsumsi Domestik Air

Minum

Konsumsi air minum dibedakan

menjadi konsumsi domestik (rumah

tangga) dan non-domestik. Konsumsi

non domestik berupa konsumsi

industri, komersial, institusional dan

pertanian (Ratnayaka et al., 2009).

Pada kegiatan rumah tangga,

beberapa pakar membedakan tipe

konsumsi air minum menjadi 4 jenis

(White et al., 1972; Thompson et al.,

2001 dalam Aiga, 2003). Adapun 4

jenis konsumsi domestik meliputi :

a. Ingestion use (hidrasi/minum

dan memasak makanan),

b. Hygiene use (cuci tangan, cuci

bahan makanan, mandi,

kebersihan toilet, and cuci

pakaian),

c. Amenity use (cuci mobil,

menyiram tanaman, dan

rekreasi) dan

d. Productive use (pertanian

dipekarangan, minuman ternak,

dan sebagainya)

Kemampuan konsumsi air minum

memiliki hubungan erat dengan

tingkat aksesibilitas yang

ditampilkan pada Tabel 1. Hutton

dan Bartram (2003) menegaskan

bahwa berbagai bukti menunjukkan

bahwa volume air yang dikumpulkan

untuk memenuhi kebutuhan

domestik tertentu tergantung dari

akses yang ditentukan berdasarkan

jarak dan waktu penyaluran/

pengumpulan air minum.

Wilayah tidak ada akses,

kemampuan konsumsi untuk hygiene

sangat rendah. Untuk kebutuhan

minum mungkin dapat dipenuhi

dengan volume yang terbatas.

Namun frekuensi kegiatan mandi dan

Page 6: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 6

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

mencuci pakaian berkurang secara

signifikan (Thompson et al., 2001

dalam Hutton dan Bartram, 2003).

Pada wilayah akses dasar, rumah

tangga dinyatakan memiliki tingkat

keamanan dasar dalam konsumsi

domestik. Pada wilayah ini, praktik

higiene seperti mandi dan mencuci

pakaian dilakukan ditempat/lokasi

sumber air seperti keran

umum/hidran umum. Namun tidak

semua kebutuhan domestik bisa

dipenuhi di wilayah ini. Padahal,

tersedianya air minum yang terjaga

kualitas, kuantitas, dan

kontinuitasnya dapat meningkatkan

meningkatkan kesehatan masyarakat

atau lingkungan, yakni berperan

dalam menurunkan angka penderita

penyakit khususnya penyakit yang

berkaitan dengan air (waterborne

diseases), dan berperan dalam

mengingkatkan standar hidup (living

standard) masyarakat (Said, 1999).

Pada wilayah akses menengah

memiliki tingkat keamanan konsumsi

domestik. Berbagai tipe konsumsi

domestik sudah bisa dipenuhi dengan

kualitas air yang lebih terjamin.

Namun kontinuitas suplai air minum

tidak bisa dijamin sepenuhnya.

Gangguan-gangguan distribusi pada

jaringan perpipaan sangat mungkin

terjadi. Namun diasumsikan

masyarakat bisa mengantisipasi

dengan me-manfaatkan

penampungan air didalam rumah.

Terakhir pada wilayah akses optimal

dinyatakan rumah tangga memiliki

tingkat keamanan konsumsi

domestik yang efektif. Pada wilayah

ini, kuantitas, kualitas dan

kontinyuitas pasokan air mampu

memenuhi berbagai jenis konsumsi

domestik (Hutton dan Bartram,

2003).

C. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan

bersifat mixed methods. Metode yang

digunakan dalam menyusun peta

tingkat aksesibilitas desa terhadap air

minum menggunakan metode

kuantitatif. Metode kuantitatif

digunakan untuk mengukur waktu

pengumpulan/penyaluran air dari

desa-desa dengan sumber air minum

yang tidak layak (unimproved) ke

desa-desa terdekat dengan sumber air

minun layak. Sementara untuk

menggambarkan pendayagunaan

infrastruktur air minum

menggunakan metode deskriptif

kualitatif.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada

Tahun 2013. Unit analisis yang

digunakan yaitu pada level makro

wilayah Kabupaten Cilacap, yang

meliputi 24 kecamatan.

3. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang

digunakan meliputi dokumentasi data

sekunder dan wawancara dengan

nara sumber. Data sekunder

digunakan untuk menyusun peta

tingkat aksesibilitas. Data sekunder

Page 7: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 7

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

yang digunakan berupa data PODES

2011 yang di keluarkan oleh BPS.

Selain itu dalam proses pemetaan

menggunakan peta jaringan jalan

Kabupaten Cilacap yang dikeluarkan

Badan Informasi Geospasial. Peta

tersebut berperan dalam mengukur

waktu pengumpulan / penyaluran air.

Dokumen-dokumen lainnya juga bisa

digunakan seperti laporan-laporan

program penyediaan air minum yang

dilaksanakan oleh dinas/instansi

terkait. Dalam hal ini, dokumen yang

dijadikan rujukan yakni dokumen

Laporan Keberlanjutan Pamsimas

2008 – 2011 Kabupaten Cilacap.

Wawancara dengan narasumber

berguna untuk mendapatkan

gambaran pendayagunaan

infrastruktur air minum dalam

pemenuhan kebutuhan domestik.

Narasumber yang diwawancarai

meliputi unsur Pemerintah

Kabupaten Cilacap seperti Bappeda,

Dinas Cipta Karya, dan PDAM.

Selain itu wawancara dilakukan

kepada tokoh masyarakat, fasilitator

Pamsimas dan pengurus Badan

Pengelola Sistem Penyediaan Air

Minum (BP-SPAM) di tingkat desa.

4. Metode Pemetaan

Proses pemetaan tingkat

aksesibilitas menggunakan alat bantu

olah data dan pemetaan. Untuk

mengolah data PODES alat bantu

yang digunakan adalah microsoft

access (MS-Access). Untuk

pengukuran waktu pengumpulan /

penyaluran air dan pembuatan peta

tingkat aksesibilitas menggunakan

perangkat lunak ArGIS 10. Adapun

prosedur pembuatan peta tingkat

aksesibilitas ini sebagai berikut (lihat

Gambar 1) :

Gambar 1. Prosedur Pemetaan Tingkat

Aksesibilitas Air Minum

5. Analisis Data

a. Kategorisasi Sumber Air Minum

PODES 2011 terdapat data

tentang sumber air bersih untuk

kebutuhan minum/memasak oleh

mayoritas penduduk desa. Sumber

air tersebut terdiri dari ; air kemasan,

PDAM, pompa air listrik/tangan,

sumur, mata air, sungai/danau/kolam,

air hujan, dan lain-lain. Mengacu

pada pedoman kualitas air minum

WHO (2011), sumber air bersih

tersebut dapat dikategorisasikan

kedalam sumber air yang terlindungi

dan tidak terlindungi. Panduan

kualitas air minum WHO (2011)

menyatakan sumber air minum yang

terlindungi terdiri; sambungan rumah

tangga (PDAM), kran/hidran umum,

sumur gali, sumur gali terlindungi,

mata air terlindungi, penampungan

air hujan. Sementara untuk sumber

Page 8: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 8

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

air tidak terlindungi terdiri: sumur

tidak terlindungi, mata air tidak

terlindungi, air yang dijajakan, air

botolan, tangki air penyalur air.

Berdasarkan kriteria tersebut,

sumber air PDAM, pompa air

listrik/tangan, dan sumur

dikategorikan dalam sumber air

terlindungi. Sementara untuk sumber

air yang berasal dari

sungai/danau/kolam, mata air, dan air

hujan dikategorikan dalam sumber

air tidak terlindungi. Untuk sumber

air berupa sungai/danau/kolam

secara umum dalam kondisi keruh,

apalagi Kabupaten Cilacap secara

geografis berada diwilayah hilir

sehingga berpotensi menerima beban

sedimentasi dan pencemaran dari

wilayah tengah atau hulu DAS.

Berdasarkan penelusuran buku LP2K

Pamsimas Kabupaten Cilacap 2011,

untuk mata air secara umum tidak

dapat berfungsi optimal pada musim

kemarau. Kekeringan terjadi

sebagian desa-desa dengan sumber

mata air sehingga biaya untuk

mencari air bersih menjadi mahal.

b. Analisis OD Cost Matrix

Pembuatan peta sebaran

infrastruktur air bersih dilakukan

setelah mengkategorikan sumber air

bersih di tiap desa. Berdasarkan

sebaran tersebut, maka dapat

dibangun asumsi-asumsi untuk

mengukur waktu penyaluran /

pengumpulan air minum. Asumsinya

penduduk di desa-desa dengan

sumber air minum tidak terlindungi

mencari air bersih di desa-desa

dengan sumber air minum

terlindungi. Preferensi yang

digunakan penduduk dalam mencari

sumber air terlindungi didasarkan

pada waktu tempuh terpendek.

Analisis OD cost matrix

digunakan untuk mengukur waktu

tempuh dan jarak dari titik asal

(origin) ke titik tujuan (destination).

Desa-desa dengan sumber air tidak

terlindungi merupakan titik origin

sedangkan desa-desa disekelilingnya

dengan sumber air terlindungi

merupakan titik destination. Hasil

dari analisis melakukan OD cost

matrix berupa jarak dan waktu

tempuh dari origin ke destination.

c. Penentuan Tingkat Aksesibilitas

Proses kategorisasi tingkat

aksesibilitas mengacu kepada

ketentuan WHO (2011) yang

terdapat dalam Tabel 1. Untuk desa-

desa dengan sumber air PDAM dan

Pompa Listrik dikategorikan dalam

akses optimal karena pasokan air

keran masuk di dalam rumah. Desa-

desa dengan sumber air sumur gali

terlindungi dan hidran / keran umum

(sebagian besar disediakan program

Pamsimas) dikategorikan dalam

akses menengah. Sementara desa-

desa dengan sumber air mata air dan

sungai bisa dikategorikan dalam

akses dasar atau tidak ada akses,

tergantung dari waktu

pengumpulan/penyaluran air.

d. Analisis Faktor

Analisis faktor yang ber-

pengaruh terhadap aksesibilitas

Page 9: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 9

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

dilakukan dengan memanfaatkan

pengolahan data spasial meliputi peta

aksesibilitas desa terhadap

infrastruktur air bersih, peta

topografi dan citra satelit. Peta

topografi diperoleh dari Kontur Peta

Rupa Bumi Indonesia yang

selanjutnya dibangun menjadi data

DEM dan Lereng. Analisis terhadap

kondisi infrastruktur air minum

dibantu dengan data Pamsimas.

Pemanfaatan infrastruktur air minum

dideskripsikan dari data wawancara

dan pengamatan lapangan.

Wawancara dilakukan dengan unsur

pemerintah daerah (dinas / instansi

terkait), tokoh masyarakat, akademisi

setempat. Dengan mendeskripsikan

pemanfaatan infrastruktur air minum,

dapat dilihat kecenderungan pola

pemanfaatannya pada setiap tingkat

aksesibilitas.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aksesibilitas penduduk terhadap

sumber air minum terlindungi

menjadi indikator kunci dalam

menilai keberhasilan program

penyediaan infrastruktur air minum.

Sumur gali merupakan sumber air

bersih mayoritas yang digunakan

warga desa yang tersebar di 198 desa

(69,72 %). Berikutnya berupa mata

air yang tersebar di 34 desa (11,97

%), sumur pompa 26 desa (9,15 %),

PDAM 25 desa (8,80 %), dan sungai

1 desa (0,35 %). Gambaran distribusi

sumber air minum di Kabupaten

Cilacap dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran Sumber Air Minum

Berdasarkan peta (Gambar 2),

desa-desa dengan sumber air mata air

(warna kuning) dan sungai (warna

coklat), merupakan titik origin.

Desa-desa tersebut secara umum

terletak di wilayah kecamatan

Deyeuhluhur, Wanareja, Majenang,

Cimanggu, Karangpucung dan

Cipari. Sebagian kecil berada di

wilayah Kecamatan Kampung Laut

dan Jeruklegi. Secara geografis,

sebagian besar wilayah ini

merupakan daerah perbukitan kecuali

di Kampung Laut. Penduduk yang

tinggal di desa-desa tersebut

menggantungkan ketersediaan air

pada sumber mata air, dimana pada

musim kemarau ketika debit mata air

menurun, kekurangan air berpotensi

terjadi. Penduduk desa harus mencari

alternatif sumber air lainnya

termasuk mencari sumber air di desa

sekitarnya yang masih baik. Desa-

desa disekitar titik origin dengan

warna biru, biru muda, dan krem

menjadi desa tujuan (titik

destination).

Dengan menggunakan analisis

OD Cost Matrix dan asumsi waktu

Page 10: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 10

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

tempuh dari panjang jalan yang

dilalui (Tabel 2), desa-desa origin

harus menempuh jarak lebih dari 1

kilometer untuk mencapai sumber air

dari destination terdekat. Jarak

tempuh antar desa origin dan

destination terdekat adalah 4039,46

meter (>4 km) dengan jarak terjauh

mencapai lebih dari 30 km dan waktu

tempuh berkisar antara 17 – 139,9

menit.

Tabel 2. Hasil Analisis OD Cost Matrix Sebagian Desa di Kabupaten Cilacap

Desa Origin Desa

Destination

Waktu

(menit)

Jarak

(meter)

Desa

Origin

Desa

Destination

Waktu

(menit)

Jarak

(meter)

Cilumping Bolang 35,04 9005,00

Pegadingan Sidasari 19,69 4877,03

Sumpinghayu Jambu 27,81 6953,55

Ujunggaga

k Grugu 139,99 34999,193

Sadahayu Sepatnunggal 22,53 7513,21

Mendala Jambusari 22,21 6758

Pengadegan Sepatnunggal 19,37 4922,49

Prapagan Jambusari 15,53 4039,46

Sadabumi Sepatnunggal 19,32 4851,34

Citepus Kalijeruk 25,18 6295,85

Datar Bingkeng 28,12 7031,43

Hanum Dayeuh Luhur 17,3 4324,23

Panulisan

Barat Matenggeng 20,3 5983,43

Palugon Dayeuh Luhur 38,62 10290,05

Cigintung Limbangan 24,58 6145,74

Negarajati Cisalak 20,07 6175,52

Tambaksari Dayeuh Luhur 17,56 5753,52

Pamulihan Babakan 29,34 7336,91

Hasil analisis OD Cost Matrix

setelah dikombinasikan dengan

variabel jenis sumber air minum

(terlindung/ tidak terlindung),

kemudian diperoleh kategori

aksesibilitas air minum. Kategorisasi

aksesibilitas (Gambar 3)

menunjukkan terdapat 14 desa

(4,92%) yang termasuk dalam

kategori tingkat aksesibilitas paling

rendah (tidak ada akses), 9 desa

tergolong akses dasar (3,16%), 45

desa tergolong akses menengah

(15,84%), dan 216 desa tergolong

akses optimal (91,54%).

Secara spasial, sebaran desa-desa

dengan sumber air dari mata air

terdapat pada bagian utara

Kabupaten Cilacap yang merupakan

daerah dengan topografi perbukitan

dan pegunungan. Faktor topografi

berpengaruh dalam ketersediaan air

bersih. Berdasarkan hasil

superimpose peta topografi dengan

peta aksesibiltas air bersih, dapat

dilihat bahwa desa-desa yang

tergolong tingkat akses rendah

hingga tidak ada akses sebagian

besar terdapat pada topografi

berbukit dan bergunung.

Page 11: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 11

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

Distribusi airtanah yang terdapat

dalam suatu cekungan hidrogeologi

sangat dipengaruhi oleh kondisi

geologi dan topografi (Goderniaux et

al., 2013). Teori ini sesuai dengan

apa yang dijumpai di Kabupaten

Cilacap, dimana beberapa desa yang

terletak di topografi berbukit dan

bergunung tidak memiliki akses air

minum (Gambar 4). Pada gambar

tersebut, warna merah menunjukkan

elevasi tinggi, sedangkan warna hijau

menunjukkan elevasi rendah.

Sementara pada gambar, warna hijau

muda menunjukkan tidak ada akses

air bersih, warna hijau tua

menunjukkan akses optimal air

minum.

Gambar 3. Peta Tingkat Aksesibilitas

Air Minum

Topografi dan lereng menjadi

salah satu penentu apakah pada suatu

lokasi memiliki airtanah yang mudah

diakses.Air hujan cenderung lebih

banyak bergerak sebagai aliran

permukaan ketimbang mengisi

sistem airtanah.Sebaliknya, daerah

yang lebih datar cenderung lebih

banyak menyimpan airtanah

sehingga banyak dijumpai sumur

gali. Dari segi infrastruktur, topografi

berbukit/ bergunung menjadi

hambatan dalam penyediaan air

bersih melalui perpipaan, sehingga

tidak semua lokasi dengan karakter

topografi seperti itu dapat dijangkau

oleh jaringan perpipaan (PDAM).

Page 12: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 12

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

Gambar 4. Topografi dan Akses Air Bersih

Kondisi topografi daerah tersebut

yang tergolong berbukit (kemiringan

lebih dari 21°) menyebabkan akses

jalan panjang dan berkelok-kelok,

sehingga menambah waktu tempuh

dalam mencapai sumber air minum.

Dalam hal ini, desa yang memiliki

sumber air tak terlindungi

(unimproved) memerlukan jalur jalan

menuju desa dengan sumber air

terlindungi (improved). Hanya saja,

kenampakan topografi yang berbukit

dan bergunung berpengaruh terhadap

jalur jalan yang cenderung berliku

menyesuaikan kondisi topografi

tersebut. Sebagaimana terlihat dalam

Gambar 5, beberapa desa (misal:

Cilumping, Sumpinghayu, Datar,

Sadahayu, Sadabumi, dan

Pengadegan) dengan jalan yang

cenderung berliku membutuhkan

waktu tempuh yang lebih lama dan

jarak yang lebih jauh untuk mencapai

desa tujuan terdekat.

Page 13: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 13

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

Gambar 5. Jaringan Jalan Beberapa Desa di Kabupaten Cilacap

Temuan lain dijumpai pada

beberapa desa yang tidak terdapat

pada topografi terjal namun masuk

dalam klasifikasi tidak ada akses air

minum, yaitu Desa Mendala,

Citepus, dan Ujunggagak. Desa

Ujunggagak terdapat pada daerah

sekitar pesisir, sedangkan Desa

Mendala dan Citepus terdapat di

bawah lereng kaki perbukitan.

Berdasarkan analisis Best Route

(Tabel 3), jarak tempuh optimal antar

Desa Ujunggagak dengan desa

terdekat yaitu Grugu dan Panikel.

Analisis menunjukkan bahwa rute

terdekat adalah menuju Desa Panikel

sejauh 600 meter, sedangkan untuk

Desa Mendala, rute paling optimal

adalah menuju Desa Dondong sejauh

1639 meter, sementara untuk Desa

Citepus adalah menuju Desa

Mentasan dengan jarak 5573 meter.

Kondisi tersebut dipengaruhi oleh

faktor jalan yang mempengaruhi

tingginya waktu dan jarak tempuh

(Gambar 6). Hasil tersebut sekaligus

mempertegas bahwa faktor

infrastruktur jalan sangat

berpengaruh terhadap kemudahan

memperoleh air bersih. Untuk itu

diperlukan alternatif rute paling

optimal sebagai jalur pengambilan

air bersih.

Tabel 3. Hasil Analisis Best Route

Desa

Origin

Desa

Destination

Jarak

(meter)

Alternatif

(Best

Route)

Jarak

(meter)

Mendala Jambusari 7106 Dondong 1639

Citepus Kalijeruk 6646 Mentasan 5573

Ujungga

gak Grugu 10947 Panikel 600

Page 14: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 14

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

Gambar 6. Analisis Best Route Beberapa Desa di Kabupaten Cilacap

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Tingkat aksesibilitas desa

terhadap infrastruktur air minum

di Kabupaten Cilacap adalah

sebagai berikut: 14 desa

tergolong tidak ada akses, 9 desa

tergolong akses dasar, 45 desa

tergolong akses menengah, dan

216 desa tergolong akses optimal.

Secara umum distribusi air

minum tergolong cukup baik

dengan 4,92% yang tergolong

tidak ada akses, 3,16% akses

dasar, 15,84% akses menengah,

dan 91,54% akses optimal.

b. Faktor-faktor yang mem-

pengaruhi tingkat aksesibilitas

terhadap infrastruktur air minum

di Kabupaten Cilacap adalah

faktor geografis berupa topografi

dan infrastruktur jalan.

2. Saran

a. Pemanfaatan data PODES dan

SIG perlu dioptimalkan dalam

mendukung perencanaan

infrastruktur air minum yang

berkelanjutan dan terdistribusi

dengan baik.

b. Penelitian ini hanya mengacu

pada data sekunder dan spasial,

sehingga selanjutnya dapat

dikembangkan penelitian lanjutan

dengan melakukan survei

lapangan dan pengambilan data

primer untuk memperoleh hasil

Page 15: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 15

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017

yang lebih representatif.

Penelitian lanjutan juga

diperlukan untuk memetakan

kondisi saat ini yang telah

mengalami perkembangan.

F. DAFTAR PUSTAKA

Aiga, H.& Umenai, T. 2002. Impact

of improvement of water

supply on household

economy in a squatter

area of Manila. Social

Science & Medicine 55

(2002) 627–641

Aiga, H. 2003. Household Water

Consumption and The

Incident of Diarrhoea.

WHO/EMRO Consultation

Meeting on Minimum

Household Water Security

Requirements and Health.

Amman.

Goderniaux, P., et al. 2013.

Partitioning a regional

groundwater flow system

into shallow local and

deep regional flow

compartments. Water

Resources Research, Vol.

49, 1–13. Doi:

Doi:10.1002/Wrcr.20186

Gorter, AC., Sandiford,P., Smith,

GD., et al. 1991. Water

Supply, Sanitation and

Dirrhoeal Disease in

Nicaragua (Result from a

Case-Control

Study).International

Journal of Epidemiology.

20 (2):527-533

Hurton, G., Barrtram, J. 2003.

Domestic Water Quantity,

Service Level and Health.

Geneva:WHO

Mara, D.D. 2003. Water, Sanitation

and Hygiene for The

Health of Developing

Nations. Journal of The

Royal Institute of Public

Health. 117:452-456

Prost, A., Negrel AD. 1989. Water,

trachoma, and

conjunctivitis. Bulletin of

WHO. 67 (1):9-18

Ratnayaka, D. D., Brandt, M.J., dan

Johnson, K.M.

2009.Twort’s Water

Supply. Burlington:

Elsevier Ltd.

Said, N.I dan Wahyono, H. D.

1999.Teknologi

Pengolahan Air Bersih

Dengan Proses Saringan

Pasir Lambat, Kelompok

Teknologi Pengolahan Air

Bersih dan Limbah Cair.

BPPT- Lingkungan,

Jakarta

WHO. 2011. Guidelines for Drinking

Water Quality-4th Edition.

Geneva: WHO Press

Page 16: PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA TERHADAP …ejurnal.ity.ac.id/berkas/0519019001_PEMETAAN_TINGKAT_AKSESIBILITAS_DESA.pdf · Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan

Page | 16

JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017