pemikiran tentang masyarakat sipil

28
Percikan Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil Oleh : Ahmad Rofik (Dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman) Subhan Agung (Dosen Ilmu Politik Universitas Siliwangi) Neera Chandoke, 2001, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Istawa – Wacana, Yogyakarta. Nilai-nilai dari masyarakat sipil adalah partisipasi politik, adanya pertanggungjawaban negara dan publisitas politik. Institusi masyarakat sipil adalah forum yang representatif dan asosiatif, pers bebas dan asosiasi sosial. Anggota dalam masyarakat sipil ini adalah individu-individu yang mempunyai hak-hak dan dibatasi secara yuridis, yang disebut warga negara. Dan perlindungan terhadap anggota suatu masyarakat sipil termaktub dalam kata dan lembaga hak asasi. Dengan bersenjatakan hak asasi, rule of law, kebebasan dan kewarganegaraan, masyarakat sipil menjadi tempat diproduksinya kritik rasional yang memiliki potensi untuk mengawasi negara. Oleh karena itu, masyarakat sipil memiliki hak-hak istimewa dari teori demokrasi sebagai pra kondisi yang vital bagi eksistensi demokrasi. Inilah yang menjadi alasan penting bagi para otoritarian untuk melumpuhkan masyarakat sipil. Padahal, munculnya masyarakat sipil merupakan properti bagi negara dan masyarakat yang demokratis. De Tocqueville dalam Democracy in America Ilmuwan ini menaruh perhatian pada bahaya yang mengancam negara modern, dia berpegang bahwa demokrasi mewariskan bentuk despotisme tersendiri. Pemikirannya adalah: Negara yang terjamin legitimasinya melalui proses pemilihan, memiliki kekuasaan atas orang-orang yang memilihnya. Akibatnya, lembaga sosial dilumpuhkan oleh lembaga politik. Demokrasi yang ada dalam masyarakat dilumpuhkan oleh konsentrasi kekuasaan ditangan negara administratif. Masyarakat sipil memberi kekuasaan pada negara, tetapi sekaligus juga menjadi korban dari kekuasaan tersebut.

Upload: galunggung-subhan-agung

Post on 03-Jul-2015

895 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Percikan Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil

Oleh :Ahmad Rofik (Dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman)

Subhan Agung (Dosen Ilmu Politik Universitas Siliwangi)

Neera Chandoke, 2001, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Istawa – Wacana, Yogyakarta.

Nilai-nilai dari masyarakat sipil adalah partisipasi politik, adanya pertanggungjawaban negara dan publisitas politik. Institusi masyarakat sipil adalah forum yang representatif dan asosiatif, pers bebas dan asosiasi sosial. Anggota dalam masyarakat sipil ini adalah individu-individu yang mempunyai hak-hak dan dibatasi secara yuridis, yang disebut warga negara. Dan perlindungan terhadap anggota suatu masyarakat sipil termaktub dalam kata dan lembaga hak asasi.

Dengan bersenjatakan hak asasi, rule of law, kebebasan dan kewarganegaraan, masyarakat sipil menjadi tempat diproduksinya kritik rasional yang memiliki potensi untuk mengawasi negara. Oleh karena itu, masyarakat sipil memiliki hak-hak istimewa dari teori demokrasi sebagai pra kondisi yang vital bagi eksistensi demokrasi. Inilah yang menjadi alasan penting bagi para otoritarian untuk melumpuhkan masyarakat sipil. Padahal, munculnya masyarakat sipil merupakan properti bagi negara dan masyarakat yang demokratis.

De Tocqueville dalam Democracy in America

Ilmuwan ini menaruh perhatian pada bahaya yang mengancam negara modern, dia berpegang bahwa demokrasi mewariskan bentuk despotisme tersendiri. Pemikirannya adalah:

Negara yang terjamin legitimasinya melalui proses pemilihan, memiliki kekuasaan atas orang-orang yang memilihnya. Akibatnya, lembaga sosial dilumpuhkan oleh lembaga politik. Demokrasi yang ada dalam masyarakat dilumpuhkan oleh konsentrasi kekuasaan ditangan negara administratif. Masyarakat sipil memberi kekuasaan pada negara, tetapi sekaligus juga menjadi korban dari kekuasaan tersebut.

Masyarakat sipil harus menemukan, kata De Tocqueville, alat untuk membatasi kekuasaan negara dan menjadikannya dapat diperhitungkan. Salah satu cara adalah dengan mendistribusikan kekuasaan kepada berbagai lembaga pemerintahan, sebuah formulasi yang kemudian dikenal sebagai doktrin pembagian kekuasaan.

Cara lain adalah pemilihan presiden sehingga kekuasaan berpindah tangan dan monopoli dapat dicegah. Tetapi pengecekan terhadap kekuasaan yang paling penting, kata De Tocqueville, adalah penyelenggaraan oleh lembaga sosial.

Asosiasi-asosiasi sosial, kultural, profesional, dan religius dalam masyarakat sipil, memiliki kapasitas untuk menjaga kekuasaan negara dibawah kontrolnya. Interaksi asosiasi plural ini, oleh De Tocqueville disebut independent eye of society. Berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan even-even tertentu seperti pemilihan, mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai aspek dalam masyarakat. Melalui mengikat hubungan-

Page 2: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

hubungan kecil, mereka dapat membangun kewaspadaan dalam masyarakat. Mereka kemudian menjaga tercapainya gerakan demokrasi.

Kondisi demokrasi kata De Tocqueville, adalah masyarakat sipil plural, yaitu tidak ada lagi tanggal untuk menghadang kembalinya train.

Masyarakat sipil memiliki kekayaan historik lainnya dan secara politik relevan dengan system of meaning yang merupakan arti dari konsep yang dicoba untuk direkonstruksi oleh teori radikal. Bagi teoritikus-teoritikus radikal rekonstruksi masyarakat sipil masuk dalam wilayah pembebasan.

Kebutuhan akan pola pembebasan berakar dari kekacauan yang mendalam terhadap praktek politik negara.

Perspektif statist yang memfokuskan pada negara sebagai abstraksi masyarakat sipil adalah tidak cukup, karena gagal memahami hubungan dialektika antara negara dengan masyarakat.

Bahkan perspektif statist menawarkan konsep negara tanpa masyarakat, tanpa penerimaan yang disertai sumber atau syarat.

Masyarakat sipil telah diistimewakan oleh teori demokrasi karena dari sinilah politik yang berusaha mengatur negara bisa dibangun. Bagaimanapun, masyarakat sipil dapat menjalankan program ini hanya jika dirinya sendiri demokratis.

Negara yang demokratis membutuhkan masyarakat sipil yang demokratis. Masyarakat sipil, di satu sisi dapat diidentifikasikan dengan demokratisasi dan

liberalisasi, tetapi masyarakat sipil jauh lebih komprehensif dan merupakan konsep yang lebih mendalam dibanding demokrasi.

Demokrasi dapat diidentifikasikan sebagai kebiasaan dari negara. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi ini sudah sering dikurangi menjadi ritual dan even politik, seperti pemilihan umum, perwakilan parlementer dan plebisit untuk menguatkan legitimasi negara.

Demokrasi menjadi suatu hal yang sangat disayangkan, sebuah kerangka kosong yang hanya melayani sebuah tujuan yang berguna untuk negara, tetapi memberi sedikit indikasi hubungan masyarakat-negara atau hubungan inter masyarakat.

Konsep masyarakat sipil pada sisi yang lain. Mencakup semua bagian asumsi, nilai dan institusi seperti hak-hak politik, sosial dan hak sipil, pelaksanaan hukum, institusi yang representatif, sebuah arena publik atas semuanya sebuah pluralitas asosiasi yang sangat diperlukan sebagai kondisi awal untuk demokrasi.

Nilai dari konsep masyarakat sipil dapat diraih jika konsep tersebut sudah dibangkitkan kembali pada saat kekuatan negara ditantang dan dikontrol oleh masyarakat sipil.

Ide masyarakat sipil memasuki teori politik saat para teoritikus mulai bersikeras berpendapat bahwa sebuah komunitas sosial mampu mengorganisasikan dirinya sendiri secara independen demi tujuan spesifik yang ditentukan oleh kekuasaan negara.

Konsep ini secara historis muncul saat ahli ekonomi politik klasik berusaha mengontrol kekuatan negara merkantilis. Kebebasan masyarakat sipil membentuk bagian terpenting dari gerakan demokratik pada abad ke-18 di Eropa Barat melawan pemerintah absolut.

Bagi teoritikus seperti Hobbes dan Locks, negara tidak lagi mengatur komunitas karena legitimasinya sendiri terletak pada persetujuan masyarakat.

Bahkan, dalam teori liberal, masyarakat sipil muncul untuk mewujudkan semua aspirasi emansipasi yang difokuskan pada pembelaan hak-hak asasi dan martabat

Page 3: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

manusia melawan penindasan negara dan yang menandai sebuah wilayah otonom dari praktek sosial, hak-hak dan martabat individu.

Emansipasi masyarakat sipil adalah sebuah konsep yang menjadi milik tradisi politik modern yang ditemukan dalam individualisme dan pembelaan hak-hak asasi manusia. Anggota masyarakat sipil adalah mereka yang tidak dibebani secara individu dan tidak berdasarkan atas keturunan tetapi terbuka pada semuanya.

Asal usul kembalinya masyarakat sipil dalam teori kontemporer karena alasan politis. Fokus teori ini sebagai reaksi terhadap tindakan pemerintah di Eropa Timur yang melampaui batas. Posisi dominan dan eksklusif dan negara dalam mendifinisikan wilayah wacana publik dan membuat batasan interaksi sosial, dianggap menghancurkan vibrasi dan impuls kreatif aktivitas asosiasional masyarakat sipil.

Tak diragukan lagi, diskursus mengenai masyarakat sipil amat terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman masyarakat sosialis yang dulu ada di Eropa Timur.

Argumen masyarakat sipil ini mengadvokasi manajemen terhadap diri sendiri (self-management) dari wilayah yang menembus kreasi sadar dari kepadatan jaringan sosial, bentuk pertolongan terhadap diri sendiri (self-help) dan gerakan sosial.

Gerakan sosial masyarakat sipil menolak hak-hak negara untuk menghalangi proyek mereka dan melawan semua usaha negara untuk mengontrol kehidupan sosial.

Ini menandai kembalinya demokrasi ke tradisi liberal klasik, yang berpendapat sebuah negara demokrat adalah negara yang dibatasi tidak hanya oleh konstitusi dan institusi oleh parlemen, partai politik dan kebiasaan–kebiasaan yang diorganisasi yang menjadi milik dunia politik, tetapi juga dibatasi dengan perkumpulan kehidupan yang terjadi diluar wilayah bidang pemerintah.

Masyarakat sipil sudah menjadi leit motif dari masyarakat yang berusaha menegakkan demokrasi. Semua negara secara inheren menekan dan memiliki kecenderungan untuk menghapus otonomi kehidupan sosial dan menghancurkan kebebasan individual. Oleh karena itu negara tidak dapat dipercaya untuk mengatur kehidupan rakyat mereka sendiri.

Ini dibuktikan dengan pengalaman negara-negara sosialis, sebagaimana negara-negara di dunia pasca kolonial dimana revolusi nasionalis dulu dikobarkan atas nama rakyat. Setelah pengambilalihan kekuasaan selesai, para pemimpin menurunkan bahkan meminggirkan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam revolusi.

Daripada peristiwa revolusi yang hanya terjadi sekali dalam sejarah, apa yang dibutuhkan masyarakat sipil yang secara terus menerus dapat menghidupkan dirinya sendiri, dengan apa masyarakat sipil dapat memenuhi tujuan untuk mencapai tugas-tugasnya dan yang dapat membawa perubahan meskipun lamban dan infremental tetapi sangat substansial dalam negara. Kekuasaan negara butuh dikontrol dan dibatasi dengan semangat aktivitas masyarakat sipil. Secara umum dipercayai bahwa anggota masyarakat sipil dapat mengambil alih tanggung jawab untuk mengurus kehidupan mereka sendiri dalam sebuah asosiasi dan mengontrol kondisi-kondisi di tempat mereka hidup dan bekerja.

Pemusatan terhadap masyarakat sipil ini muncul sejajar dengan kekecewaan terhadap ide partisipasi dalam struktur formal dari kekuasaan politik.

Institusi-institusi seperti partai politik, perserikatan dagang, kelompok penekan sudah dibirokratisasikan dan melenceng jauh dari konsistensi mereka.

Tujuan dari masyarkat sipil adalah pembatasan diri, bertujuan membangun dari bawah sebuah masyarakat sipil yang pandai mengeluarkan pendapatnya, terorganisasi, otonomi dan dapat dikerahkan (Cohen dan Arato, 1992).

Page 4: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Proyek politik masyarakat tidak bertujuan untuk menguasai atau mengubah kekuasaan negara.

Semua negara bagaimanapun revolusionernya, pada asalnya, adalah sebuah bayangan dari pemerintahan yang digantikannya.

Otonomisasi masyarakat sipil, dipandang secara esensial dengan term-term yang membatasi daerah negara.

Ini bukanlah sebuah agenda untuk menghancurkan negara, tetapi untuk mempertahankan identitas nasional, perlindungan terhadap hak-hak dan menetapkan hukum dengan jalan yang lain.

Masyarakat sipil secara keseluruhan pada dasarnya mengacu pada sebuah tradisi keseluruhan dari pemikiran politik yang berhubungan dengan masalah EMANSIPASI MANUSIA.

Negara telah menjadi dan terus akan menjadi salah satu perhatian yang klasik dalam ilmu politik. Banyak teoritikus politik memperhitungkan studi tentang negara sebagai raison d’ etre dari subyek studinya. Konsekuensinya, teori politik sedikit banyak dipenuhi pertimbangan akan negara.

Negara memainkan peran yang paradoks dalam kehidupan individu dan kolektif. Di satu sisi, negara adalah lembaga yang koersif; di sisi lain, negara memberikan perlindungan dan keuntungan tertentu pada anggotanya, seperti akses ke hak-hak kewarganegaraan, pelayanan sosial, dan beberapa jenis konsumsi kolektif yang tidak bisa diberikan oleh lembaga-lembaga lain. Meskipun mempresentasikan kepentingan-kepentingan kelas-kelas dominan, negara juga merupakan tempat diformulasikan kepentingan umum masyarakat.

Peran yang multi-dimensi dan bersifat kontradiktif yang dimainkan oleh negara, mempersulit konseptualisasi tentangnya. Setiap teoritikus berbeda dalam mempertanyakan aspek mana yang utama dan definitif, dan aspek mana yang sekunder dan terpengaruh.

Dalam perspektif atau teori statist atau statistme negara terlihat sebagai lembaga yang kompleks yang memperoduksi diri untuk dirinya sendiri, bahkan, negara adalah free floating, tidak terbentuk dimanapun, dan tidak bertanggung jawab pada siapapun.

Perspektif statist memberitahukan seperti apa masyarakat yang diinginkan negara, dan tidak memberitahukan sesuatu tentang negara macam apa yang dinginkan masyarakat.

Masyarakat sipil dibangun oleh usaha politik warganya. Mereka, dalam rangka memberikan pembatasan bagi negara, harus mempunyai kesadaran diri atas

Tenggung jawab mereka berhadapan dengan tekanan negara, dan mempunyai kesadaran diri atas tanggung jawab mereka berhadapan dengan tekanan dalam lingkungannya sendiri.

Masyarakat sipil harus masuk dalam dialog dengan negara untuk memastikan demokrasi, tetapi negara yang demokratis hanya dapat dipastikan ketika masyarakat sipil itu sendiri demokratis.

Muhammad AS. Hikam, 2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Erlangga, Jakarta.

Page 5: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Ciri utama civil society adalah “Keswadayaan” dan “Kesukarelaan” yang dimiliki asosiasi-asosiasi yang ada dalam rangka menyalurkan kepentingan bersama-sama, satu visi, gagasan dengan tujuan “Keswasembadaan” mampu melakukan kiprahnya sendiri tanpa ada ketergantungan, serta adanya “Keterbukaan”.

Civil society juga mengandaikan adanya interaksi terbuka antar asosiasi-asosiasi yang ada dalam ruang publik untuk melakukan dialog dan mencari kesepakatan yang digunakan untuk meraih kepentingan masing-masing. Juga adanya “Ketaatan” dan “Kepatuhan” terhadap hukum rule of law, aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Konsep civil society muncul sebagai sebuah counter bagi negara yang absolut dan feodal, (counter hegemoni negara). Inti dari civil society adalah partisipasi aktif.

Inti dari konsep civil society yang tidak mungkin dikompromikan konsep yang lain, yaitu PARTISIPASI, OTONOMI, HAK ASASI dan KEWARGANEGARAAN.

Problem civil society di Indonesia berhadapan dengan hal-hal yang harus dibedah Level State Formation. Formasinya kita adalah warisan kolonial, konsekuensinya

membuat negara modern mewarisi kolonial sehingga yang ditegakkan adalah rezim otoriter. Sementara nature dari rezim otoriter anti kepada pengelompokan hak-hak rakyat.

Level Social Formation. Di bawah negara pasca kolonial tidak mampu get’s up, karena selalu ditekan negara.

Konsep civil society mengalami perubahan pemahaman selama lebih dari dua abad terakhir, mulai dari zaman pencerahan ketika konsep itu dipergunakan oleh para filsuf politik sampai pada ujung abad keduapuluh. Ketika konsep tersebut “ditemukan” kembali oleh para aktivis pro-demokrasi.

Setidaknya konsep civil society telah digunakan dalam beberapa pengertian Sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai sistem kenegaraan. Sebagai sebuah elemen ideologi kelas dominan. Sebagai kekuatan penyeimbang dari negara. Civil society sebagai gagasan etis dipergunakan oleh para filsuf pencerahan seperti

Adam ferguson (1776), filsuf Skotlandia, yang memahami civil society sebagai “sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat”. Untuk mengantisipasi perubahan sosial akibat revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Civil society, mengembalikan semangat publik untuk menghalangi despotisme dan memunculkan solidaritas sosial, yang diilhami sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.

Civil society sebagai konsep kenegaraan muncul lebih awal sejak zaman Yunani Kuno. Asal muasalnya apa yang disebut ARISTOTELES sebagai KOINONIA POLITIKE, sebuah komunitas politik dimana warga (citizens) terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.

CICERO menyebut komunitas itu dengan SOCIETAS CIVILIS, sebuah komunitas yanbg mendominasi komunitas-komunitas lain.

HOBBES dan LOCKE memandang civil society merupakan sebagai bagian tahapan evolusi dari NATURAL SOCIETY, sehingga civil society adalah sama dengan negara.

TOM PAINE : perlu adanya pemisahan antara NEGARA dan CIVIL SOCIETY. Negara harus dibatasi sekecil-kecilnya karena keberadaannya hanyalah suatu keniscayaan yang buruk (necessary evil) belaka. Civil society adalah ruang dimana

Page 6: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya. Maka civil society harus lebih kuat dan mengontrol negara demi keperluannya.

HEGEL : Civil society atau BVERGERLICHE GESELLSCHAFT adalah sebuah lembaga sosial yang berada di antara keluarga dan negara, yang dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai pemuasan kepentingan individu dan kelompok.

Civil society belum dapat mengatasi konflik internal melalui politik. Hanya negara yang mempunyai kemampuan mengontrol civil society.

MARX : Civil society direduksi dalam konteks hubungan produksi kapitalis, sehingga civil society kelas borjuis itu sendiri. Akibatnya, civil society sebagai kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Hapusnya civil society merupakan tahapan yang harus ada bagi munculnya MASYARAKAT TAK BERKELAS.

GRAMSCI : Civil society bukan elemen basis material seperti dalam pandangan MARX, tetapi civil society sebagai SUPRA STRUKTUR. Yaitu arena bagi penyelenggaraan HEGEMONI diluar kekuatan negara, yang disebut Gramsci sebagai POLITICAL SOCIETY.

Civil society sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan negara dilakukan oleh ALEXIS DE TOCQUEVILLE, Civil society di dalam dirinya memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara.

Civil society, yang dimengerti sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara, justru merupakan sumber legitimasi negara, kendatipun tidak mengontrol – (keberadaan) – yang terakhir.

Primordialisme dan Sekterianisme politik (dalam kasus di INDONESIA) tetap menjadi wacana dan praksis sosial politik yang pada gilirannya memperlemah fondasi civil society itu sendiri.

Orientasi negara kuat ORDE BARU terbukti telah “membonsai” kehidupan demokratis. “Depolitisasi massa lapis bawah, korporatisasi negara terhadap organisasi sosial dan politik, monopoli kekuasaan pada lembaga eksekutif, personalisasi kekuasaan, dan lemahnya lembaga legislatif dan yudikatif sebagai pengontrol, semuanya bermuara ke satu arah: proses pelemahan posisi tawar-menawar politik rakyat vis-a-vis negara”.

Keberadaan sebuah civil society di dalam masyarakat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural yang inheren didalamnya. Komponen pertama termasuk terbentuknya negara berdaulat, berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang-ruang publik bebas, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah, dan keberadaan organisasi-organisasi kepentingan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat. Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan atasnya, khususnya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik (public trust) yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.

Pemberdayaan civil society atas elemen struktural, kita perlu memulainya dari pemahaman akan kekuatan dan kelemahan struktur yang mendasari proses perubahan melalui pembangunan dan modernisasi.

Page 7: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Pemberdayaan atas elemen kultural berarti melakukan penemuan kembali (RECOVERY) dan penafsiran ulang (REINTERPRETATION) terhadap khazanah nilai-nilai dan tradisi milik kita serta melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar yang relevan dengan keperluan kita.

Pada aras struktural ada beberapa hal yang sudah seharusnya mendapat prioritas perubahan sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi sistem politik yang demokratis.

Transparansi dalam pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara. Sehingga tidak terjadi penumpukan pada salah satu lembaga negara.

Perlunya organisasi politik yang memiliki kemandirian, sehingga mampu menjadi wadah aspirasi rakyat.

Perlunya semakin diperluas ruang politik bagi terjadinya wacana publik yang bebas, yaitu dengan dilindunginya hak-hak dasar, khususnya hak berbicara dan berorganisasi yang merupakan prasyarat utama sebuah sistem politik demokratis.

Pada aras kultural, diperlukan pendidikan politik kewarganegaraan yang pada intinya memberikan penyadaran akan hak-hak sebagai warga negara. Pendidikan politik ini mendasari pembentukan civil society yang akan mampu mengimbangi dan mampu mengerem kekuatan intervensi negara. Selain itu, ia juga menjadi landasan untuk memperkokoh komitmen demokrasi dan mengeliminir visi politik feodalistik yang masih belum sepenuhnya menghilang dan bahkan ada gejala revival.

Penyadaran akan hak-hak dasar (politik, ekonomi, sosial dan kultural) warga negara seterusnya akan dapat menstimulasi munculnya pribadi-pribadi yang memiliki wawasan demokrasi. Hal ini juga membantu terbentuknya lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi politik, sosial dan kemasyarakatan yang memiliki komitmen tinggi kepada nila-nilai dan prosedur demokrasi. Dengan demikian, kecenderungan penggunaan identitas primordial sebagai alat perjuangan kepentingan politik dapat dicegah dan dibatasi.

Pendidikan politik juga akan memperkuat sendi-sendi wawasan kebangsaan yang telah disepakati bersama sebagai tingkat kehidupan politik bangsa.

Dari pengalaman-pengalaman kesejarahan bangsa-bangsa yang telah maju dan demokratis, keberadaan civil society yang kuat dan mandiri merupakan salah satu landasan pokok bagi tegaknya sistem politik demokrasi.

Civil society didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara.

Berkembangnya civil society yang kuat dan mandiri dimungkinkan terwujudnya kemampuan mengimbangi dua kekuatan yang cenderung intervensionis, yaitu negara dan pasar dan sekaligus menghindari dampak negatif dari watak negara yang terlalu intervensionis dan pasar yang agresif dapat memudarkan perekat komunitas.

Civil society baik pada tataran institusional maupun nilai ideal menjadi landasan kuat bagi bangunan demokrasi partisipatoris dan substantif, bukan hanya demokrasi prosedural dan formal belaka.

Civil society didalamnya bermuatan nilai-nilai moral tertentu yaitu kebersamaan, kepercayaan, tanggung jawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian.

Di bawah orde baru, kultur dan sistem nilai yang menopang sebuah kehidupan publik yang sehat mengalami kemerosotan besar.• Dalam hal ini, kepercayaan dan tanggung jawab publik (public responsibility and

Page 8: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

trust), yang merupakan ruh sebuah komunitas demokrasi, mengalami degradasi disebabkan semakin sempitnya ruang untuk berpartisipasi.

Arrow Schuster, 2000, Sovereign State or Political Communities? Civil Society and Contemporary Politics

Following the example of the revolutions in Eastern Europe, theorist and activists else where often include under the leading civil society all non-state institutions such as (1) the mass media of communication, including television, radio, film and the press (i.e., when the are not controlled by state); (2) educational institutions such as crèches, schools, universities, museums, libraries, reading groups and even monuments; (3) interest groups such as trade unions and chambers of commerce; (4) churches and group affiliated to churches; (5) organized leisure and free-time activities such as sport groups, chubs, neighborhood and tenants associations, etc.

Since these mediate between state and civil society, political parties occupy a somewhat ambiguous position.

Ernest Gillnet, 1994, Conditions of Liberty: Civil Society and it Rivals, Hamish Hamilton, and London.

Civil society is that set of diverse non – governmental institutions which is strong enough to counterbalance the state and, while not preventing the state from fulfilling its role of keeper of peace and arbitrator between major interest, can nevertheless prevent it from dominating and atomizing the rest of society.

Jeff Hayness, 2000, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Pemerintah di negara Dunia Ketiga menghadapi dua masalah utama, yang satu bersifat sosial politik, dan yang lain bersifat ekonomis. Pertama, bagaimana membangun dan kemudian mempertahankan kendali terhadap warga negaranya. Yaitu, bagaimana membangun negara-bangsa dari golongan-golongan yang sering tidak sama, yang untuk sebagian besar dilemparkan begitu saja karena ulah administrator penjajah. Seperti telah disebutkan, tujuan yang demikian itu seringkali sulit karena adanya polarisasi sosial. Kedua, pasti akan lebih mudah bagi kebanyakan warga negara untuk merasa puas terhadap pemerintah mereka jika pemerintah itu dirasakan dapat mengendalikan pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang layak, dan relatif terbagi secara merata. Namun kenyataannya adalah bahwa sebagian besar negara-negara dunia ketiga muncul ketika sistem ekonomi global sudah terbentuk”.

Banyak rakyat dunia ketiga tidak lagi menganggap pemerintah mereka sebagai pemimpin kepentingan kolektif masyarakat di dalam negeri dan di luar negeri, sebagai seperangkat lembaga yang bekerja untuk kebaikan masyarakat banyak. Sebaliknya, pemerintah mungkin secara luas, dipandang sebagai wahana bagi kepentingan pribadi segelintir kelompok elit dan kelompok etnis, agama atau kelas.

“Pembangunan, seringkali hanya retorika dan bukannya realitas dan atas dasar indikasi sekarang ini dengan konsentrasi kekuasaan ekonomi dan sistem politik yang pada umumnya memiliki dasar yang sempit tampaknya hanya sedikit kesempatan bagi adanya perbaikan dalam jangka pendek. Meskipun terjadi pemilihan umum di

Page 9: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Amerika Latin, Afrika dan Asia akhir-akhir ini, pada umumnya hanya sedikit sekali yang mengurangi kekuasaan elit perkotaan dan sekutunya di pedesaan”.

“Meskipun demikian, ratusan ribu rakyat jelata di Dunia Ketiga – baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan dan memperlihatkan militansi yang berbeda tingkatnya – berusaha untuk menyuarakan dan mengejar apa yang mereka pandang sebagai kepentingan mereka melalui usaha kolektif”.

“Meskipun sangat beragam, apa yang menjadi persamaan dalam perjuangan adalah bahwa sering mereka itu di luar pengendalian negara atau partai politik yang telah melembaga”.

Perjuangan rakyat jelata di Dunia Ketiga mendasari pertumbuhan masyarakat sipil di Dunia Ketiga.

“Banyak rakyat jelata di Dunia Ketiga memobilisasi diri dalam mengejar sejumlah tujuan pembangunan sosial dan politik. Latar belakang bersama mereka pada umumnya adalah keadaan ekonomi yang suram dan tuntutan untuk mendapat ruang yang demokratis, yang dapat memberikan raison d’etre mereka. Saya yakin, kelompok aksi di Dunia Ketiga berada pada ujung revolusi demokratis yang tema sentralnya adalah kebebasan, kesamaan dan otonomi”.

Tuntutan akan demokrasi juga mendorong dibentuknya kelompok aksi (perjuangan rakyat jelata di dunia ketiga).

Demokrasi “formal” – menyangkut pemilihan umum secara teratur tetapi kekuasaan sedikit banyak tetap berada di tangan yang sama – membantu memberikan dorongan terbentuknya kelompok aksi, khususnya di antara kelompok-kelompok (misalnya saja, penduduk pribumi di Amerika Latin, atau perempuan hampir dimana-mana) yang beranggapan tidak mendapatkan manfaat dari bentuk demokrasi semacam itu.

“Pentingnya kelompok aksi secara politis berasal dari (1) Aneka tanggapan terhadap tidak adanya pembangunan dan pemberdayaan (2) Tuntutan untuk mengurangi pengaruh negara (3) Kemerosotan ekonomi, dan (4) Tersebarnya tuntutan atas hal yang “nyata” yang saya namakan demokrasi ‘substantif’.

Jadi, pentingnya kelompok aksi secara politis adalah bahwa secara kolektif mereka menantang status quo Dunia Baru pascakolonial yang biasanya didominasi oleh koalisi minoritas elit perkotaan-pedesaan.

“Gagasan tentang masyarakat sipil, tentu saja, merupakan hal yang sangat penting dalam kepustakaan filsafat politik Barat sejak munculnya negara-bangsa pada abad ke-18. Istilah itu muncul kembali pada suatu titik sejarah ketika kemampuan dari negara-negara yang ada, bahkan untuk memberikan kepuasan secara minimal sekalipun kepada aspirasi politik dan ekonomi dari bangsa dan komunitas etnis, makin dipertanyakan".

“Masyarakat sipil sebagai kolektivitas organisasi-organisasi non-negara, kelompok-kelompok kepentingan dan asosiasi-asosiasi – seperti serikat pekerja, asosiasi profesi, pelajar sekolah lanjutan dan mahasiswa perguruan tinggi, badan-badan keagamaan, dan media – yang secara kolektif terus melakukan pengawasan terhadap kekuasaan dan keseluruhan kecenderungan negara”.

Masyarakat sipil meliputi lembaga-lembaga sipil yang tidak langsung terlibat dalam urusan pemerintahan atau dalam manajemen politik secara terbuka. Mereka juga bukan partai politik. Namun hal ini tidak menghalangi masyarakat sipil untuk menggunakan pengaruh politiknya mulai dari isu-isu tunggal hingga konstitusi nasional.

Page 10: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil dapat menghancurkan rezim otoriter – seperti terlihat pada peristiwa di Eropa Timur pada akhir 1980-an.

Suatu transisi demokrasi yang menyeluruh sangat diperlukan masyarakat politik. Masyarakat politik menurut Stepan artinya arena dimana keseluruhan bangsa secara

spesifik menyusun dirinya sendiri dalam persaingan politik untuk memegang kendali atas kekuasaan publik dan aparat negara.

Masyarakat sipil dapat mewujudkan dirinya secara politis untuk MEMILIH dan MEMANTAU pemerintah yang demokrastis.

“Masyarakat sipil tercakup dalam konsepsi asosiasi individu yang bebas, tidak tergantung pada negara, mengatur dirinya sendiri dalam sederetan aktivitas otonom dan signifikan secara politik”.

“Masyarakat sipil yang tangguh hampir selalu berasal dari masyarakat yang kuat”. “Dengan demikian masyarakat sipil dan negara – idealnya – haruslah membentuk

perimbangan bersama yang efektif. “Masyarakat sipil hendaknya menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi

negara, meliputi organisasi-organisasi yang membatasi dan mengesahkan kekuasaan negara”.

Masyarakat sipil di Dunia Ketiga, sering tidak cukup efektif dalam mengimbangi kekuasaan negara, tidak sampai pada tugas mengawasinya, karena mereka sering lemah dan terpecah-pecah.

Utamanya di Timur Tengah dan Afrika, masyarakat sipil lemah karena terpecah-pecah atas dasar sosial dan keagamaan, bersamaan dengan rendahnya industrialisasi.

“Mengapa terdapat beragam tingkat efekifitas masyarakat sipil di seluruh Dunia Ketiga? Secara luas, efektifitas masyarakat sipil tergantung pada (1) Keterpaduannya, (2) Tingkat perkembangan ekonomi sutau negara, (3) Lamanya negara itu merdeka, dan (4) Sejauhmana perpecahan secara etnik atau keagamaan pada masyarakat tersebut”.

“Jika lembaga masyarakat sipil ini secara kolektif lemah, biasanya mudah bagi negara untuk mengurung, memaksa atau menyuap penentang yang sering menimbulkan kesulitan”.

Akibatnya negara sering dapat menentukan bentuk, mendefinisikan, menciptakan atau merekam masyarakat sipil dan reaksi rakyat dalam hal ini (Mahar, 1991 : 5).

Negara sering memperoleh keyakinan bahwa masyarakat sipil tetap dapat dibelok-belokkan dan dibawah kendalinya.

“Dalam masyarakat demokrasi atau yang sedang menuju demokrasi, kelompok sosial politik memiliki peluang paling baik untuk mencapai tujuan mereka. Tetapi, problemnya adalah bawa sementara negara-negara Dunia Ketiga yang menggunakan sistem demokrasi secara formal bertambah – yaitu pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum yang teratur dan relatif ‘bebas dan adil’ – rakyat jelata sering merasakan bahwa kepentingan mereka bukanlah partai-partai politik. Dengan demikian demokrasi memberikan kepada mereka ruang dimana mereka dapat mengorganisasikan diri, karena secara paradoks sebagian partai politik sekarang ini tidak memberikan bobot pemikiran sepenuhnya terhadap kepentingan rakyat jelata”.

Diciptakannya sistem demokrasi formal, yang sementara diterima, itu sendiri belum cukup untuk menggeser keseimbangan kekuatan yang memihak kepentingan

Page 11: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

kelompok bawah. Akibatnya, banyak yang menjauhkan diri dari partai politik, sebaliknya mereka lebih suka mengejar aspirasinya melalui kelompok aksi.

“Secara khusus, partai politik yang kuat diperlukan untuk mewakili warga negara, menjamin diterapkannya kebijakan yang lebih baik dan menjadi perantara dalam konflik politik. Tetapi apa yang terjadi jika partai-partai politik itu tidak mampu atau tidak bersedia mewakili bagian tertentu dalam masyarakat? Apa yang dapat dilakukan oleh mereka yang tidak terwakili?”

“Di sebagian besar negara Dunia Ketiga sekarang ini ‘politik’ menggambarkan persaingan atau kerjasama diantara elit yang secara politis dan ekonomis kuat”.

“Pendeknya, sementara dasar dari kekuasaan negara di Dunia Ketiga berbeda, para elit biasanya menguasai baik basis kekayaan ekonomi maupun arah pembangunan politik”.

“Banyak sistem pascakolonial yang mengembangkan sederetan kemampuan politik untuk memperpanjang umurnya”

“Jadi tidak tepat anggapan bahwa sistem demokrasi representatif sudah cukup jika dapat dicapai pemilihan umum teratur yang ‘bebas dan adil’ saja. Namun, setidaknya itu hanya suatu prmulaan yang telah dilalui oleh makin banyak negara. Antara 1972 dan 1994 – yang secara luas merupakan zaman gelombang ketiga demokrasi – jumlah negara dengan ‘sistem politik demokratis’ meningkat dari 44 menjadi 107”

“Kasarnya, hanya dua jenis ‘demokrasi’ yang tetap ada di Dunia Ketiga : demokrasi ‘formal’ dan demokrasi ‘permukaan’ (fawade)”. Dewasa ini tidak ada rezim di Dunia Ketiga yang berkembang menjadi demokrasi ‘substantif’.

“Demokrasi ‘formal’ ditandai dengan pemilihan umum yang teratur, ‘bebas dan adil’, kompetitif. Biasanya ditandai dengan tidak digunakannya paksaan secara berlebihan oleh negara terhadap masyarakat, secara teoritis lewat pertanggungjawaban pemerintah terhadap yang diperintah (warga negara) melalui kotak suara, dan diletakkannya ‘rule of law’. Ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum”.

“Dengan demikian, terutama sekali demokrasi formal meliputi ide tentang pilihan; sehingga pemerintah yang tidak populer dapat tersingkir karena keputusan masyarakat dalam pemilihan umum yang teratur. Tetapi masalahnya adalah bahwa banyak negara yang menjalankan sistem yang memenuhi kriteria demokrasi formal dan pada saat yang sama pemerintah mereka belum pernah terkalahkan dalam pemilihan umum.

“Demokrasi ‘permukaan’ (fawade) merupakan hal yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi”.

“Banyak rezim yang hanya memiliki kepercayaan demokratis yang tipis dengan kuat didorong oleh Barat untuk meneruskan sistem politik mereka sebagai benteng menghadapi komunisme”.

“Hingga akhir 1980-an meskipun demokrasi liberal adalah pilihan, hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah negara-negara Barat menganggap isu seperti pemilihan yang bebas dan adil atau hak-hak sipil atau pribadi merupakan kondisi yang dipersyaratkan agar mendapat dukungan ekonomi atau perlindungan militer atau diplomatik. Demikian juga Bank Dunia atau IMF tidak menunjukkan komitmen yang serius untuk mendorong pemerintah demokratis, meskipun sebagai lembaga ekonomi khususnya, memang tidak ada alasan yang nyata mengapa harus melakukan hal itu”.

Page 12: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

“Kenyataannya adalah bahwa pemerintah Barat mempunyai dua tujuan, yang tidak harus sama dan sebangun, di Dunia Ketiga, mereka ingin melihat perkembangan demokrasi sedikit banyak sebagai sesuatu yang abstrak yang ‘bagus’, dihubungkan dengan melekatnya pemerintah yang ‘bagus’. Sebaliknya, mereka pun lebih meyukai pemerintahan non demokratis dengan beberapa keadaan tertentu”.

Stabilitas sosial politik dan ekonomi di Dunia Ketiga sebagai komponen yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi global, tampaknya dikehendaki oleh ‘Tiga Besar’ pelaku ekonomi dunia : Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.

“Sementara demokrasi di Dunia Ketiga secara moral dikehendaki, barangkali yang paling penting adalah kembalinya kepada sistem ekonomi internasional yang sangat menguntungkan, yang berfungsi maksimal, dengan sebagian besar negara Dunia Ketiga memainkan peranan tradisionalnya sebagai pemasok bahan mentah dan konsumen barang jadi buatan Barat”.

“Demokrasi tidak dihadiahkan melalui manuver elit politik saja, agar demokrasi itu bermakna ia harus menyangkut dikuranginya pembagian kekuasaan yang tidak setara, pemberdayaan kelas bawah melalui pemungutan suara, perwakilan rakyat dan partisipasi warga negara yang makin meningkat dalam kepentingan kolektif”.

“Demokrasi substantif memperluas ide demokrasi diluar mekanisme formal. Ia mengintensifkan konsep dengan memasukkan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih dan partisipasi kelompok. Ia merupakan pendalaman demokrasi dimana semua warga negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di dalam pengambilan keputusan secara kolektif.

“Demokrasi substantif menaruh perhatian pada berkembangnya kesetaraan dan keadilan, kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Pendeknya, ‘partisipasi murni dalam pemerintahan oleh mayoritas warga negara’. (Porter, 1993 : 356).

ALFRED STEPAN, 1996, Militer dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara lain, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Bagi sebuah masyarakat modern ditengah upaya demokratisasi, pengertian ini secara konseptual dan politis berguna untuk membedakan tiga arena penting dari sebuah masyarakat bernegara: masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik (political society), dan negara (state).

Dalam setiap masyarakat bernegara, tak pelak ketiga arena ini meluas dan mengkerut dengan kecepatan berlainan, saling menembus atau mendominasi satu sama lain, dan secara konstan berubah.

“Masyarakat Sipil” adalah arena tempat berbagai gerakan sosial (seperti himpunan ketanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh, dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam satu himpunan sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan pelbagai kepentingan mereka.

“Masyarakat Politik” dalam suatu kerangka demokratisasi saya artikan sebagai arena tempat masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya dalam kontestasi (contestation) politik guna memperoleh kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.

Page 13: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Sebuah transisi demokratis yang penuh harus melibatkan masyarakat politik, dan komposisi serta konsolidasai sebuah masyarakat demokratis harus menghasilkan pemikiran dan tindakan serius yang berkenan dengan lembaga-lembaga inti sebuah masyarakat politik demokratis – partai politik, pemilihan umum, aturan pemilihan, kepemimpinan politik, aliansi antarpartai, badan pembuat undang-undang – sebagai saluran bagi masyarakat sipil sehingga mereka dapat menyatakan dirinya secara politis untuk memilih dan memantau pemerintahan yang demokratis.

“Negara” saya artikan sebagai sesuatu yang lebih dari “pemerintah”. Negara merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis, dan koersif yang

berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil.

Dalam sebuah masyarakat bernegara monistik ekstrim (atau yang sering disebut sebagai totaliter), negara menyingkirkan setiap otonomi penting yang ada dalam masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Dalam periode demokratisasi di Brasil antara tahun 1974 dan 1985, topik-topik ilmu sosial sistematis dan ilmiah yang paling populer ialah yang bersangkut paut dengan gerakan-gerakan baru dalam masyarakat sipil yang memberikan tantangan bagi negara otoriter, seperti gereja, serikat buruh baru, pengusaha baru, pers, himpunan pengacara Brasil, kelompok wanita, himpunan ketanggaan.

Demokrasi adalah mengenai kontestasi terbuka untuk mendapatkan kekuasaan lewat pemilihan umum, dan mengenai pengawasan serta kontrol terhadap kekuasaan negara oleh wakil-wakil rakyat.

Di hampir semua masyarakat bernegara di dunia, termasuk Amerika Latin, militer merupakan faktor tetap dalam kalkulus kekuasaan. Oleh karena itu, dalam sebuah negara demokrasi, masyarakat sipil harus mampu memikirkan bagaimana mereka dapat menyumbangkan gagasan untuk mengendalikan militer dan sistem intelijen secara demokratis.

LARRY DIAMOND, 1994, Revolusi Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

“Perjuangan untuk menegakkan demokrasi harus memiliki sebagai salah satu tujuan utamanya pembentukan masyarakat politik yang demokratis, partai-partai politik yang demokratis, dan mekanisme kampanye yang melaluinya persaingan untuk menduduki posisi politik berproses yakni dengan pemilihan yang teratur, bebas, jujur, adil dan dalam suasana damai”.

“Saya mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dengan tiga ciri-ciri : persaingan yang ekstensif untuk menduduki posisi-posisi politis negara melalui pemilihan yang teratur, bebas dan adil, adanya akses untuk partisipasi politik yang menyeluruh, sehingga tidak seorang dewasa pun yang tidak dicakupinya; kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan ditegakkannya hukum – yang cukup untuk menjamin bahwa persaingan dan partisipasi politik itu menjadi bermakna dan otentik”.

“Akan tetapi demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih dan pluralis. Tanpa suatu masyarakat beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin dikembangkan dan menjadi langgeng”.

Page 14: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Suatu masyarakat beradab (civil society) yang kuat dapat memberikan banyak sumbangan bagi pertumbuhan demokrasi:

Menyediakan “wahana sumberdaya --- politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan moral --- untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan diantara para pejabat negara. Suatu rentetan asosiasi yang independen dan media yang bebas memberikan “dasar bagi pembatasan kekuasaan negara, dan dengan demikian kendali atas negara oleh rakyat, dan karenanya menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efektif untuk menjalankan pemerintahan rakyat itu”.“Apabila negara mengendalikan media massa, maka tidak akan ada cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan pejabat”.Demikian pula kelompok-kelompok kepentingan yang dengan tegas dan secara meyakinkan menyuarakan aspirasi kelompok, akan ikut andil dalam menghindarkan negara dari penguasaan golongan tertentu dan memaksa agar negara bertanggungjawab dan cepat tanggap terhadap tuntutan warga negaranya.

Dalam hal tangggung jawab. Apabila kepentingan pelbagai ragam (keanekaragaman, pluralisme dalam masyarakat) itu diorganisasikan, maka organisasi-organisasi itu membentuk suatu dasar yang sangat penting bagi persaingan demokratis (diluar partai politik, atau yang bekerja melalui partai politik).Kelompok-kelompok fungsional seperti – organisasi-organisasi usaha dan produsen, serikat pekerja, asosiasi-asosiasi profesional, himpunan dan kelompok tani, gerakan mahasiswa, dan lain sebagainya – dapat mengemukakan pendapat mereka beraneka ragam itu; gerakan-gerakan yang berorientasi pada isu seperti gerakan pelestarian lingkungan hidup, organisasi pelindung hak-hak kaum minoritas, persatuan wanita, pengembangan komunitas kebebasan sipil – kelompok etnis, religi juga akan dapat mengemukakan pendapat mereka melalui media massa.Justru dengan kebebasan berserikat dan berorganisasi untuk memobilisasikan kekuatan politik sesuai dengan potensi masyarakat itu sendiri, mereka yang tertekan dan kurang beruntung akan lebih dimungkinkan untuk bisa memperbaiki nasibnya sendiri – memang, barangkali lebih lamban jika dibandingkan dengan melalui suatu revolusi sosialis, tetapi dalam jangka panjang akan lebih langgeng dan yang pasti lebih manusiawi.

Masyarakat dengan aneka ragam serikat dan organisasi didalamnya akan ikut memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas dan keterampilan warga negara yang demokratis, dan memajukan penghargaan atas kewajiban dan hak-hak kewarganegaraan yang demokratis.

Masyarakat dengan pelbagai gerakan dan kelompok kepentingan yang kuat akan menuntut terlalu banyak sehingga dapat menciptakan suasana “tidak terkendali”.Dengan memberikan kepada masyarakat pemahaman yang mendalam dalam tataran sosial, suatu masyarakat akan menjadi kaya dalam partisipasi dan dengan demikian ikut menjadi stabilitas negara. Dengan membawa rakyat bersama-sama ke dalam kebersamaan yang tidak ada habisnya untuk tujuan-tujuan yang sangat bervariasi, maka masyarakat dengan organisasi-organisasinya tidak saja akan memperbanyak tuntutan kepada negara, tapi juga akan meningkatkan kemampuan kelompok untuk memperbaiki kesejahteraannya sendiri, khususnya pada tingkat lokal.

Fungsi kelima dari masyarakat beradab (civil society) yang demokratis adalah merekrut dan melatih pimpinan politik yang baru.

Page 15: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Ketika tokoh-tokoh muncul sebagai pimpinan kelompoknya masing-masing di dalam gerakan sosial, kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok kemasyarakatan, dan upaya-upaya komunitas berbagai corak, maka mereka akan memperoleh pengakuan pula sebagai calon pemimpin di bidang politik. Dimana rekruitmen pada jaringan dan partai politik yang sudah mapan menjadi mandeg, maka para tokoh pemimpin dari sektor lain bisa menjadi penting bagi demokrasi.“Melalui kepemimpinan yang tidak formal untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, atau demi konsolidasi yang demokratis – atau memalui artikulasi umum yang jelas visi alternatif politik dan kebijakan yang memaksakan – tokoh-tokoh baru muncul di bidang kemasyarakatan yang dapat direkrut menduduki jabatan politik”.“Di sini pula, beberapa kelompok anggota masyarakat (civil group) memainkan peranan ini secara sangat sadar dan efektif”.

“Fungsi masyarakat beradab demokratis yang keenam saringkali mendahului, sekalipun untuk sementara, semua hal yang telah disebutkan di atas : untuk menghalangi dominasi suatu rezim otoriter dan mempercepat berakhirnya rezim itu dari kekuasaannya”.

“Bergesernya sistem pemerintahan yang totaliter ke arah sistem yang lebih ketat lagi yakni sistem otoriter “hanya” akan lebih mempercepat munculnya gerakan-gerakan untuk mencapai masyarakat beradab yang bebas. Gerakan-gerakan ke arah demokrasi di Eropa Timur, di Uni Soviet, di Republik Rakyat Cina – dan sekarang ini, juga muncul di negara-negara sisa kekuatan komunis, seperti Vietnam, Kuba – sebenarnya semuanya berawal dalam dan telah memperoleh kekuatan utamanya dari pertumbuhan kehidupan organisasi-organisasi intelektual dan kebudayaan yang otonom”.

Hendaknya kita tidak melupakan peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keagamaan, misalnya, gereja katolik telah mengambil inisiatif membantu mobilisasi para pemilih di Cile, Mingguan Veritas di Filipina (dan Mingguan Miracle at Edsa di negeri itu turut memainkan peranan dalam menumbangkan Marcos), dan banyak gerakan demokrasi lainnya, serta gerakan hak-hak asasi manusia di seluruh Amerika Latin.

Demikian pula kita hendaknya tidak melupakan peran para ahli hukum, para pengacara, yang melalui organisasi mereka, telah pula ikut aktif dan menanggung risiko berat dalam perlawanan terhadap pemerintahan otoriter seperti di Brasil, dan Nigeria dan kelompok hak asasi manusia telah membantu kondisi tersebut.

“Kesulitan yang dialami oleh banyak negara demokrasi baru menunjukkan bahwa membentuk suatu negara demokrasi merupakan suatu hal, dan hal lainnya, yang seringkali lebih sulit adalah tugas mempertahankannya, mengkonsolidasikan-nya, serta memberikan vitalitas dan makna kepadanya.

“Demokrasi seringkali datang bersamaan dengan semacam gelombang revolusioner dari mobilisasi rakyat, seperti yang O’Donnell dan Schmitter istilahkan dengan ‘Popular Upsurge’, yakni gelombang pasang rakyat yang bersamanya pelbagai unsur masyarakat beradab terbawa dalam suatu gelombang massa rakyat yang mencari indentitasnya dengan pelbagai unjuk rasa di jalan-jalan. Mobilisasi demikian bisa saja episodik dan terkendali, yang mendesak agar supaya dilakukan negosiasi-negosiasi untuk peralihan ke arah demokrasi, atau mungkin juga berbentuk suatu gelombang massa rakyat yang sulit terbendung seperti yang telah diperlihatkan “kekuatan rakyat” yang menghentikan pasukan tank presiden Marcos di kota Edsa, atau gelombang demokratisasi besar-besaran yang meruntuhkan satu persatu rezim

Page 16: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

pemerintahan di Eropa Timur, sampai pada runtuhnya penganut Stalin yang terakhir, Ceucescu sendiri kejatuhannya sangat mencekam”.

“Akan tetapi saperti yang telah diamati oleh Schmitter dan O’Donnell, karena gelombang mobilisasi itu tidak dapat berlangsung lama, lambat atau cepat harus dijawab pertanyaan tentang apakah yang akan datang setelah gelombang itu?”

Apakah tujuan yang hendak segera dicapai dari gelombang-gelombang demonstrasi yakni runtuhnya rezim otoriter dapat terpenuhi atau tidak pada akhirnya gelombang-pasang massa rakyat masih meninggalkan “banyak yang menggantung dan bahkan tokoh-okoh yang frustasi”.

“Maka sekarang tantangan yang dihadapi adalah bagaimana demokrasi diwujudkan dalam kehidupan politik, dan ekonomi. Pelbagai konflik-konflik baru muncul di kalangan masyarakat beradab yang pluralis meskipun telah menyatukan tekad dan terikat dalam kebersamaan itu. Tentu tidak semua kepentingan dan pengharapan dapat dipuaskan, dan mungkin tidak satu pun dapat dipenuhi seluruhnya. Kebijakan-kebijakan harus dirancang dan konflik-konflik kepentingan harus segera diredam sementara lembaga politik baru masih sedang dicoba. Inilah masa yang genting dan rapuh, satu masa yang penuh dengan pelbagai tantangan dalam bidang politik maupun bidang kebijakan, yang semuanya itu tidak bisa dibandingkan dengan semangat yang bergelora ketika meruntuhkan rezim lalim yang lalu”.

“Dengan sendirinya jelas bagi kita bahwa partai-partai baru harus membenahi organisasi mereka dan memberikan kepada masyarakat pilihan-pilihan mengenai kebijakan yang efektif untuk memperoleh dukungan. Hendaknya selalu diingat bahwa partai-partai yang efektif saja belum cukup. Masyarakat beradab harus pula mengorganisasikan diri mereka dengan cara baru yang berbeda : bukan lagi mobilisasi jangka pendek untuk meruntuhkan rezim diktator, tetapi jangka panjang yang lebih multidimensional guna membuat demokrasi teraplikasi sebagaimana seharusnya”.

“Memang jika demokrasi hendak dilanggengkan, maka demokrasi tidak boleh hanya berfungsi pada tingkat atas saja akan tetapi juga pada tingkat rakyat kebanyakan, bukan hanya pada tingkat pusat saja tapi juga pada tingkat daerah, propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai pada tingkat kelurahan dengan semua perangkatnya”.

“Pendidikan kemasyarakatan secara besar-besaran juga mencakup perhatian yang teliti dan hati-hati terhadap warga negara dan pelbagai aspek kehidupan demokrasi. Orang tidak saja harus datang untuk belajar mengenai nilai-nilai demokrasi tetapi juga cara-cara berdemokrasi; pentingnya pemungutan suara dan pengetahuan tentangnya; perlunya ditanamkan kesadaran kepada warga mengenai pentingnya keterlibatan langsung mereka dan perlunya menghormati pihak yang mempunyai pandangan berbeda; sarana-sarana yang melaluinya keluhan dan keinginan disampaikan kepada pemimpin-pemimpin terpilih, baik langsung ataupun tidak langsung melalui media massa, teknik-teknik yang dengannya masyarakat dapat mengorganisasikan diri dan meredam perbedaan mereka; serta banyak hal yang berkaitan dengan hukum, birokrasi, pemerintahan lokal, dan lain sebagainya”.

JUAN J. LINZ dan ALFRED STEPAN, Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi dalam Juan J. Linz et. al., 2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, belajar dari kekeliruan negara-negara lain, Mizan, Bandung.

Page 17: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

Definisi kerja kami mengenai demokrasi yang terkonsolidasi adalah sebagai berikut : “Dari segi perilaku, rezim demokratis dalam sebuah negara (dapat disebut) terkonsolidasi jika tidak ada tokoh-tokoh nasional, sosial ekonomi, politik (atau institusional) utama yang menggunakan sumber-sumber penting dalam upaya untuk mencapai tujuan mereka dengan menciptakan rezim non emokratis atau dengan memisahkan diri dari negara. Dari segi sikap, rezim demokratis dapat dikatakan terkonsolidasi jika mayoritas opini publik, bahkan ditengah permasalahan ekonomi yang berat dan ketidakpuasan yang mendalam terhadap pihak yang berwenang, tetapi berpegang pada keyakinan bahwa prosedur-prosedur dan institusi demokrasi merupakan cara paling tepat untuk mengatur kehidupan kolektif, dan jika dukungan bagi alternatif bagi alternatif-alternatif antisistem sangat kecil atau kurang lebih terisolasi dari kekuatan-kekuatan prodemokrasi. Dari segi konstitusi, rezim demokratis dapat dikatakan terkonsiolidasi jika kekuatan-kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sama-sama tunduk pada dan terbiasa dengan – upaya pemecahan konflik didalam batas-batas undang-undang, prosedur, dan institusi tertentu yang diterapkan melalui proses yang demokratis”.

Lima syarat demokrasi yang terkonsolidasi: “selain penyelenggaraan negara, harus ada – atau diadakan – lima syarat lain yang saling berkaitan dan saling menguatkan agar demokrasi dapat dikonsolidasikan. Pertama, harus diciptakan kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil (civil society) yang bebas dan aktif. Kedua, harus ada masyarakat politik yang otonom. Ketiga, di seluruh wilayah negara, semua tokoh politik utama terutama pemerintah dan aparat negara, harus benar-benar tunduk pada aturan hukum yang melindungi kebebasan individu dan kehidupan masyarakat. Keempat, harus ada birokrasi negara yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah demokratis yang baru. Kelima, harus ada masyarakat ekonomi yang dilembagakan”.

“Masyarakat Sipil” : “ …. Arena politik tempat kelompok-kelompok, gerakan-gerakan, dan upaya-upaya individual yang diroganisasikan sendiri dan relatif otonom nerusaha untuk menyuarakan nilai-nilai, mendirikan perkumpulan, dan menggalang solidaritas serta memperjuangkan kepentingan mereka”.

“Masyarakat Sipil” mencakup : “ …. Berbagai gerakan sosial (misalnya, kelompok-kelompok wanita, rukun tangga, keagamaan, dan organisasi intelektual), serta perkumpulan dari berbagai strata sosial (seperti serikat dagang, kelompok usaha, dan organisasi profesi)”.

“Masyarakat Politik” : “ …. Arena tempat tokoh-tokoh politik bersaing mendapatkan hak yang sah untuk menjalankan kontrol atas kekuasaan politik dan aparat negara”.

“Masyarakat sipil sendiri sesungguhnya dapat menghancurkan rezim non demokratis, tetapi konsolidasi demokrasi (atau bahkan transisi demokrasi penuh) harus melibatkan masyarakat politik. Konsolidasi emokrasi menuntut semua warga negara agar mengembangkan penghargaan terhadap institusi-institusi pokok masyarakat politik yang demokratis : partai politik, badan pembuat undang-undang, pemilihan umum, aturan pemilu, kepemimpinan politik, dan aliansi antarpartai.

“Yang penting untuk ditekankan bukan hanya perbedaan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik, melainkan juga upaya mereka untuk saling melengkapi, yang tidak selalu disadai. Salah satu dari kedua arena ini sering terabaikan karena kecenderungan pada yang lain”.

“Di banyak negara, masyarakat sipil secara tepat dianggap sebagai pahlawan dari perlawanan dan transisi demokrasi”.

Page 18: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

“Masalah timbul pada saat terjadi transisi demokrasi. Para pemimpin dmokratis dari kalangan masyarakat politik sering mengatakan bahwa masyarakat sipil – setelah memainkan perannya yang bersejarah – harus dibubarkan untuk memungkinkan terjadinya perkembangan politik demokratis yang normal. Argumen semacam itu bukan hanya merupakan teori demokrasi yang buruk, melainkan juga politik edmokrasi yang buruk”.

“Masyarakat sipil yang kuat, dengan kemampuan untuk menghasilkan alternatif-alternatif politik dan untuk memantau pemerintah dan negara, dapat membantu memulai transisi, membantu melawan pembalikan-pembalikan, membantu mendorong terselesaikannya transisi, dan membantu konsolidasi serta memperdalam demokrasi. Oleh karena itu pada setiap tahap proses demokratisasi, sangatlah dibutuhkan masyarakat politik yang hidup dan mandiri”.

“Akan tetapi, kita juga harus mempertimbangkan (dan dengan demikian membantu mengatasi) oposisi palsu yang kadang-kadang timbul diantara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Bahaya yang mengancam perkembangan masyarakat politik oleh masyarakat sipil adalah bahwa kecenderungan normatif dan gaya-gaya organisasai yang diinginkan – atau bahkan satu-satunya yang sah – bagi masyarakat politik”.

“Konsolidasi demokrasi membutuhkan partai-partai politik, yang salah satu tugas utamanya adalah mengumpulkan dan mewakili perbedaan-perbedaan yang timbul di kalangan demokrat. Konsolidasi menuntut dikembangkannya pembiasaan pada norma-norma dan prosedur-prosedur penanganan konflik yang demokratis. Rutinisasi institusional dalam kadar yang tinggi merupakan bagian kunci dari proses semacam itu. Intermediasi antara negara dan masyarakat sipil,serta disusunnya kompromi, juga merupakan tugas-tugas yang sah dan harus dilaksanakan oleh masyarakat politik. Pendeknya, masyarakat politik – yang menyerap informasi, ditekan, dan secara periodik diperbarui oleh masyarakat sipil – harus mampu mencapai persetujuan yang dapat dijalankan menyangkut berbagai cara yang didalmnya kekuatan demokrasi akan dibentuk dan dipraktekkan”.

“Untuk mencapai demokrasi yang terkonsolidasi, otonomi bagi masyarakat sipil dan masyarakat politik dalam kadar yang cukup harus diberikan, serta didukung oleh, arena kita yang ketiga, yaitu pemerintahan yang berdasarkan hukum”.

“Sebuah negara hukum sangat dibutuhkan bagi konsolidasi demokrasi. Ia merupakan cara yang paling penting yang didalamnya pemerintah yang terpilih dan admionistrasi negara tunduk pada jaringan hukum, pengadilan, tinjauan semiotonomi, dan agen-agen pengontrol serta norma-norma masyarakat sipil yang bukan hanya mengendalikan kecenderungan negara tidak sah, melainkan juga menanamkannya di dalam suatu jaring mekanisme yang saling berkaitan yang membutuhkan keterbukaan dan pertanggungjawaban.

“Konstitusionalisme dan aturan hukum harus menentukan jabatan-jabatan yang perlu melalui pemilihan umum, prosedur-prosedur untuk memilih para pemegang jabatan tersebut, dan definisi serta batasan bagi kekuasaan mereka agar masyarakat bersedia ikut berperan serta didalam – dan menerima hasil dari – permainan demokrasi itu. Ini mungkin akan mengandung masalah jika aturan-aturan, bahkan jika diberlakukan oleh mayoritas, begitu tidak adil atau disusun dengan cara yang begitu buruk dan sulit untuk dirubah secara demokraits sehingga mereka tidak dapat diterima oleh sebagian besar warga negara. Misalnya, undang-undang pemilihan memberikan 80 persen kursi di parlemen kepada sebuah partai yang meraih kurang dari 50 persen suara, atau sebuah konstitusi yang sarat ideologi sehingga sangat

Page 19: Pemikiran tentang Masyarakat Sipil

sulit untuk diamandemen, kemungkinan besar tidak dapat mendukung konsolidasi demokrasi”.

“Beberapa negara demokrasi yang menganut sistem presidensial – dengan kecenderungan mereka pada ciri-ciri populis, plebisitarian, dan “delegatif”, bersama dengan masa jabatan yang telah ditetapkan dan aturan “tanpa pemilihan ulang” yang mengabaikan pertanggungjawaban dihadapan para pemilih – akan mendorong perilaku nonstitusional atau antikonstitusional yang mengancam pemerintahan berdasarkan hukum, bahkan demokrasi itu sendiri, dan tentu saja konsolidasi demokrasi”.

“Seorang perdana menteri yang mengembangkan kecenderungan-kecenderungan yang sama pada penyalahgunaan kekuasaan lebih pantas lagi untuk dicegah oleh institusi-institusi lain : mosi tidak percaya oleh oposisi atau dihapuskannya dukungan oleh para angota partainya sendiri. (wassalam)