penanaman modal asing dan penanaman modal dalam.doc
DESCRIPTION
gcgcgTRANSCRIPT
Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal dalam Negeri
Posted by angelinasinaga on 31/05/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dalam makalah ini kami membahas “Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman materi Hukum Penanaman Modal, yang sangat diperlukan dalam suatu harapan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman, dan juga sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Hukum Penanaman Modal”
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada Bapak Nurrohim SH,. MH, selaku dosen mata kuliah “Hukum Penanaman Modal”
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
. Demikian makalah ini kamu buat semoga bermanfaat.
Pekanbaru, 13 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang …………………………………………………………………………………………….. 3
2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………………… 3
3. Tujuan dan Manfaat ……………………………………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN
1. Penanaman Modal Asing ……………………………………………………………………………… 4
2. Penanaman Modal Dalam Negeri …………………………………………………………………. 15
3. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal …………………………………………………….. 18
4. Kasus …………………………………………………………………………………………………………. 27
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan …………………………………………………………………………………………………. 32
2. Saran ………………………………………………………………………………………………………….. 33
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………….. 34
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan.
Sebagai salah satu komponen aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dibandingkan dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar negeri. Berbagai kebijakan telah di lakukan oleh pemerintah Indonesia guna untuk mencapai suatu tujuan yaitu menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan perekonomian yang ada saat ini, salah satu caranya yaitu dengan investasi (penanaman modal) baik yang dilakukan oleh investor Domestik maupun investor Asing.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri di Indonesia.
1. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing?2. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Dalam Negeri?3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal?4. Kasus PT.Indosat
1. C. Tujuan dan Manfaat 1. Agar mahasiswa mengetahui Penanaman Modal Asing2. Agar mahasiswa mengetahui Penanaman Modal Dalam Negeri3. Agar mahasiswa mengetahui bentuk Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal4. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami contoh kasus penanaman
modal yang pernah terjadi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. PENANAMAN MODAL ASING
1. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia
Penanaman modal asing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi atau jasa.
Undang – undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa : “pengertian penanaman modal dalam undang – undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan – ketentuan undang – undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut”.
Sedangkan pengertian modal asing dalam undang - undang tersebut adalah:
a) Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
b) Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
c) Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang - undang ini keuntungan yang diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai diversifikasi usaha. Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah meningkatnya output dan kesejahteraan dunia. Disamping peningkatan income dan output, keuntungan bagi negara tujuan dari aliran modal asing adalah :
a) Investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran teknologi yang bebas bagi perusahaan.
b) Investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable sector) meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.
c) Investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar dengan negara tujuan (investment gap).
Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk investasi, yaitu (Pandji Anoraga, 1995: 46) :
1) Investasi Portofolio
Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga seperti saham dan obligasi. Dalam investasi portofolio, dana yang masuk ke perusahaan yang menerbitkan surat berharga (emiten), belum tentu membuka lapangan kerja baru. Sekalipun ada emiten yang setelah mendapat dana dari pasar modal untuk memperluas usahanya atau membuka usaha baru, hal ini berarti pula membuka lapangan kerja. Tidak sedikit pula dana yang masuk ke emiten hanya untuk memperkuat struktur modal atau mungkin malah untuk membayar hutang bank. Selain itu, dalam proses ini tidak terjadi alih teknologi atau alih keterampilan manajemen
2) Investasi Langsung
Investasi langsung atau disebut juga dengan penanaman modal asing (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing (PMA) atau Foreign direct investment (FDI) lebih banyak mempunyai kelebihan. Selain sifatnya yang permanen/ jangka panjang, penanaman modal asing memberi andil dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini penting diperhatikan, mengingat bahwa masalah menyediakan lapangan kerja merupakan masalah yang cukup memusingkan pemerintah.
Penanaman Modal Asing hanya meliputi PMA secara langsung (foreign direct investment/FDI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1970 maka pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari investasi tersebut.
Dikalangan masyarakat, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Penanaman modal baik langsung atau tidak langsung memiliki unsur-unsur, adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya.[1]
Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman modal:
“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”[2]
Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:
1. bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas (PT);
2. didasarkan pada hukum Indonesia;3. berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.
Menurut Ismail Suny ada 3 (tiga) macam kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan kontrak karya.[3]
1. a. Joint Venture
Joint venture merupakan kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contractual). Misalnya bentuk kerjasama antara Van Sickle Associates Inc.,(suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware, AmerikaSerikat) dengan PT Kalimantan Plywood Factory (suatu badan hukum Indonesia) untuk bersama-sama mengolah kayu di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa disebut dengan “Contract of Cooperation” yang tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA.[4]
Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang ditemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut:
1) Technical Assistance (service) Contract : suatu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan
skill atau cara kerja (method) misalnya; suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.
2) Franchise and brand-use Agreement : suatu bentuk usaha kerjasama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti: Coca- Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.
3) Management Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Hilton International Hotel, Mandarin International Hotel, dan sebagainya.
4) Build, Operation, and Transfer (B.O.T) : suatu bentuk kerjasama yang relatif baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli.
1. b. Joint Enterprise
Joint enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan hukum baru sesuai dengan yang diisyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA. Joint Enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari modal dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing.[5]
1. c. Kontrak Karya
Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerjasama antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional. Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerja sama antara badan hukum milik negara (BUMN) seperti; Kontrak karya antara PN. Pertamina dengan PT. Caltex International Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat.
Disamping ketiga bentuk kerjasama di atas masih terdapat bentuk kerjasama yang lain seperti production sharing, management contract, penanaman modal asing dengan disc-rupiah dan kredit untuk proyek (barang modal).
Keberadaan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) tidak dapat dipungkiri telah memberi banyak manfaat bagi negara penerima modal (host country), begitu pula bagi investor maupun bagi negara asal (home country).
Bagi negara penerima modal (host country) keberadaaan investasi yang ditanamkan oleh investor, khususnya penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), ternyata telah memberikan dampak positif atau manfaat di dalam pembangunan.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how). Dilihat dari sudut pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI menjalankan aktifitasnya.
Arti pentingya kehadiran investor asing dikemukakan Gunarto Suhardi:
“investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung:
1. a. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk;2. b. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal;3. c. memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi;4. d. apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang
dapat dirunut oleh pengusaha lokal disamping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara;
5. e. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;6. f. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila
investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.”
1. 2. Kontrak Penanaman Modal Asing
Sebagaimana diketahui, penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan :
a) Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing.
b) Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.
Secara yuridis hal yang pertama itu tidak menimbulkan persoalan yang terlalu rumit, karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal akan tetapi kekuasaan dan pengambilan keputusan (decision making) dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatu itu memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia atau selama kebijakan -kebijakannya tidak melanggar hukum dan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Yang lebih sulit diatur adalah berbagai – bagai bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional. Sebab disini kita benar-benar harus menghadapi berbagai variasi antara perimbangan modal dan kekuasaan (management) yang sesungguhnya. Sehingga disini kita harus lebih memperhatikan keadaan perusahaan yang sebenar -benarnya daripada dalam hal perusahaan yang semata-mata bekerja dengan modal asing saja.
1. 3. Teori Penanaman Modal Asing
a) Teori R. Vernon
Vernon (1966) menjelaskan penanaman modal asing dengan model yang disebut Model Siklus Produk (Pandji Anoraga, 1995: 53). Dalam model ini, introduksi dan pengembangan produk baru di pasar mengikuti tiga tahap. Pendorong untuk mengembangkan produk baru diberikan oleh kebutuhan dan peluang pasar. Dalam tahap satu, pada waktu produk pertama kali dikembangkan dan dipasarkan, diperlukan suatu hubungan yang erat antara kelompok desain, produksi dan pemasaran dari perusahaan dan pasar yang akan dilayani oleh produk itu. Untuk itu produksi dan penjualan perlu dilakukan di dalam negeri. Tahap kedua yakni perusahaan mulai memikirkan kemungkinan mencari pasar – pasar baru di negara – negara yang relatif maju dan ekspor pun mulai dilakukan dengan tujuan negara dunia ketiga. Keuntungan perusahaan terletak pada skala ekonomi dalam produksi, pengangkutan dan pemasaran. Strategi – strategi penentuan harga dan lokasi didasarkan atas aksi dan reaksi multinational corporation yang lain dan bukan pada biaya komperatif. Tahap ketiga atau tahap terakhir yakni dimana produk telah terbuat dengan baik dengan desain yang distandarisasi, sehingga risetan keterampilan manajemen tidak lagi penting. Tenaga kerja yang tidak terampil dan setengah terampil mulai mendapat tempat dan konsekuensinya, produk bergerak ke negara-negara yang sedang berkembang, dimana ongkos tenaga kerjanya masih lebih rendah. Produk – produk yang dihasilkan di negara berkembang tersebut akan diimpor kembali ke negara asal dan juga ke pasar negara yang lebih maju. Oleh karena itu, lokasi produksi akan lebih ditentukan oleh perbedaan biaya
dari jarak pasar. Investasi luar negeri akan dilihat sebagai suatu cara untuk dapat mempertahankan daya saing perusahaan dalam produk-produk inovatifnya.
b) Teori J.H Dunning
John Dunning (1977) dalam menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing melalui teori ancangan eklektis (Pandji Anoraga, 1995: 57). Teori eklektis menetapkan suatu set yang terdiri dari tiga persyaratan yang diperlukan bila sebuah perusahaan akan berkecimpung dalam penanaman modal asing. Yang pertama adalah adanya keunggulan spesifik perusahaan. Rentang keunggulan yang dapat menumbuhkan FDI adalah :
1) Teknologi pemilikan disebabkan karena kegiatan penelitian dan pengembangan.
2) Keterampilan manajerial, pemasaran, atau lainnya yang spesifik untuk fungsi organisasi perusahaan.
3) Deferensiasi produk, merk dagang atau nama cap. d. Ukuran besar, yang mencerminkan skala ekonomi.
4) Keperluan modal yang besar untuk pabrik dengan ukuran efisien minimum.
Yang kedua adalah keunggulan internalisasi. Kondisi yang menyokong internalisasi meliputi :
1) Biaya tinggi dalam membuat dan melaksanakan kontrak.
2) Ketidakpastian pembeli tentang nilai teknologi yang dijual.
3) Kebutuhan untuk mengendalikan penggunaan atau penjualan kembali produk.
4) Keunggulan untuk menggunakan diskriminasi harga atau subsidi ulang (cross-subsidization).
Yang ketiga adalah keunggulan spesifik negara. Keunggulan spesifik lokasi dari negara tuan rumah dapat meliputi :
1) Sumber daya alami.
2) Kekuatan tenaga kerja biaya rendah yang efisien dan terampil.
3) Rintangan perdagangan membatasi impor.
c) Teori David K. Eiteman
Menurut David K. Eiteman (1989), motif yang mendasari penanaman modal asing ada tiga, yaitu : motif strategis, motif perilaku dan motif ekonomi. Dalam motif strategis dibedakan dalam :
1) Mencari pasar
2) Mencari bahan baku
3) Mencari efisiensi produks
4) Mencari pengetahuan
5) Mencari keamanan politik.
Sedangkan motif perilaku merupakan ransangan lingkungan eksternal dan yang lain dari organisasi didasarkan pada kebutuhan dan komitmen individu atau kelompok. Motif ekonomi merupakan motif untuk mencari keuntungan dengan cara memaksimalkan keuntungan jangka panjang dan harga pasar saham perusahaan.
d) Teori Robock & Simmonds
Teori PMA yang lain dijelaskan oleh Robock & Simmonds (1989), melalui pendekatan global, pendekatan pasar yang tidak sempurna, pendekatan internalisasi, model siklus produk, produksi internasional dan model imperalisasi marxis. Pendekatan Global. Menurut pendekatan global, kekuatan intern yang mempengaruhi PMA yaitu pengembangan teknologi/ produk baru, ketergantungan pada sumber – sumber bahan baku, memanfaatkan mesin – mesin yang sudah usang, mencari pasar yang lebih besar. Sedangkan kekuatan eksternal yang mempengaruhi PMA yaitu pelanggan, pemerintah, ekspansi ke luar negeri dari pesaing dan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Model Siklus Produk. Model ini menerangkan bahwa penanaman modal asing melalui tiga tahap, yaitu tahap produk baru, tahap produk matang dan tahap produk yang distandardisasi. Pada tahap produk baru, produk dihasilkan di dalam negeri. Sedangkan
untuk pasar luar negeri dilayani dengan ekspor. Pada tahap produk matang, harga produk menjadi penting. Pasar luar negeri telah dilayani oleh produksi lokal. Pada tahap ketiga, persaingan menjadi lebih penting dan produksi diarahkan pada lokasi/ tempat yang biayanya rendah (kecil) dalam lingkup negara yang berpenghasilan rendah.
e) Teori Stephen Hymer
Investasi langsung merupakan persoalan yang kompleks dan sulit dijelaskan dengan cara yang sederhana, namun Stephen Hymer telah mengembangkan suatu teori yang cukup kuat untuk menjelaskan cara bekerja internasional dari perusahaan – perusahaan nasional. Menurut Hymer, invetasi langsung termasuk dalam teori persaingan tidak sempurna, dan bukan dalam teori persaingan biasa atau teori mengenai pergerakan modal secara internasional. Hymer mengemukakan bahwa inti pokok dari penanaman modal secara langsung adalah meratakan beberapa keuntungan monopolistik yang dinikmati oleh perusahaan induk. Menurut pendekatan ini, pengembalian investasi yang lebih tinggi di luar negeri tidak menjamin kelengkapan penjelasan arus modal, karena pengembalian investasi itu sendiri berarti bahwa modal akan lebih efisien bila dialokasikan melalui pasar modal dan tidak memerlukan pemindahan perusahaan. Kemungkinan memperoleh pengembalian investasi yang lebih tinggi akan timbul bila perusahaan memiliki keunggulan tertentu atas
1. B. PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
1. 1. Pengertian dan Dasar Hukum
Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu definisi modal dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
a) Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki Negara maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia yang disisihkan atau disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal asing.
b) Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1 pasal ini dapat terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang dimaksud dalam Undang- Undang ini dengan “Penanaman Modal Dalam Negeri” ialah penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang ini.
Penyelenggaraan pembangunan ekonomi nasional adalah untuk mempertinggi kemakmuran rakyat, modal merupakan factor yang sangat penting dan menentukan Perlu diselenggarakan pemupukan dan pemanfaatan modal dalam negeri dengan cara rehabilitasi pembaharuan, perluasan, pemnbangunan dalam bidang produksi barang dan jasa. Perlu diciptakan iklim yang baik, dan ditetapkan ketentuan-ketentuan yang mendorong investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dibukanya bidang-bidang usaha yang diperuntukan bagi sector swasta. Pembangunan ekonomi selayaknya disandarkan pada kemampuan rakyat Indonesia sendiri. Untuk memanfaatkan modal dalam negeri yang dimiliki oleh orang asing
Penanaman modal (investment), penanaman uang aatau modal dalam suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan dari usaha tsb. Investasi sebagai wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan untuk dapat memelihara atau menaikkan nilai atau memberikan hasil yang positif
Pasal 1 angka 2 UUPM meneyebutkan bahwa PMDN adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal dalam negeri adalah perseorangan WNI, badan
usaha Indonesia, Negara RI, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara RI (Pasal 1 angka 5 UUPM)
Kriteria Perusahaan Penanaman Modal Negeri yang mendapatkan fasilitas antara lain:
a) Menyerap banyak tenaga kerja
b) Termasuk skala prioritas tertinggi
c) Melakukan alih teknologi
d) Melakukan industri pionir
e) Menjaga kelestarian lingkungan hidup
1. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Neegeri
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri adalah sebagai berikut:
a) Potensi dan karakteristik suatu daerah
b) Budaya masyarakat
c) Pemanfaatan era otonomi daerah secara proposional
d) Peta politik daerah dan nasional
e) Kecermatan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan local dan peraturan daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia bisnis dan investasi
1. 3. Syarat-Syarat Melakukan Penanaman Modal Dalam Negeri
1) Permodalan: menggunakan modal yang merupakan kekayaan masyarakat Indonesia baik langsung maupun tidak langsung
2) Pelaku Investasi : Negara dan swasta Pihak swasta dapat terdiri dari orang dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum di Indonesia
3) Bidang usaha : semua bidang yang terbuka bagi swasta, yang dibina, dipelopori atau dirintis oleh pemerintah.
4) Perizinan dan perpajakan : memenuhi perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Antara lain : izin usaha, lokasi, pertanahan, perairan, eksplorasi, hak-hak khusus, dll.
5) Batas waktu berusaha : merujuk kepada peraturan dan kebijakan masing-masing daerah
6) Tenaga kerja: wajib menggunakan tenaga ahli bangsa Indonesia, kecuali apabila jabatan-jabatan tertentu belum dapat diisi dengan tenaga bangsa Indonesia. Mematuhi ketentuan UU ketenagakerjaan (merupakan hak dari karyawan)
1. 4. Tata Cara Penanamam Modal Dalam Negeri
Keppres No. 29/2004 ttg penyelenggaraan penanam modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui system pelayanan satu atap. Meningkatkan efektivitas dalam menarik investor, maka perlu menyederhanakan system pelayanan penyelenggaraan penanaman modal dengan metode pelayanan satu atap. Diundangkan peraturan perundang-undnagan yang berkaitan dengan otonomi daerah, maka perlu ada kejelasan prosedur pelayanan PMA dan PMDN
1. Instansi pemerintah yang menangani kegiatan penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN Pelayanan persetujuan, perizinan, fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM berdasarkan pelimpahan kewenagan dari Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Dept yang membina bidang-bidang usaha investasi yang bersangkutan melalui pelayanan satu atap.
1. C. PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL
Pada prinsipnya, investor yang menanamkan investasi selalu mengharapkan bahwa investasi yang ditanamkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan sengketa/konflik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa di dalam menjalankan usahanya tidak tertutup kemungkinan terjadinya suatu sengketa/konflik antara investor dengan pemerintah serta masyarakat sekitarnya.
Apabila kita perhatikan pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat sangat jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing.
Maka yang menjadi pertanyaan kini adalah hukum dan cara apakah yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak pemerintah, terlebih mengingat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing. Dimana pembagian jenis investor tersebut tentunya membawa perbedaan
dalam hukum dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak pemerintah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa penanaman modal tersebut dapat dibagi menjadi:
1) Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah dengan Investor Domestik.
Apabila sengketa yang terjadi antara investor domestik dengan pihak Pemerintah Indonesia dan masyarakat sekitarnya, hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia.[6]
Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dengan investor domestik. Dalam ketentuan itu, ditentukan empat cara dalam penyelesaian sengketa dalam penanaman modal. Keempat cara itu, antara lain:[7]
1) Musyawarah dan mufakat;
2) Arbitrase;
3) Alternatif penyelesaian sengketa; dan
4) Pengadilan.
Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul antara pemerintah dengan investor domestik, dimana di dalam penyelesaian itu dilakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan dan kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara bersama-sama.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase merupakan cara untuk mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, dimana dalam penyelesaian sengketa itu menggunakan jasa arbiter atau majelis arbiter. Arbiter atau majelis arbiterlah yang menyelesaikan sengketa penanaman modal tersebut.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada lima cara penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:120
1) konsultasi;
2) negosiasi;
3) mediasi;
4) konsiliasi;
5) penilaian ahli.
Penyelesaian sengeta melalui pengadilan merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang timbul antar penyelesaian itu dilakukan di muka dan dihadapan pengadilan. Dan pengadilan lah yang nantinya akan memutuskan tentang perselisihan tersebut. Ada tiga tingkatan pengadilan yang harus diikuti oleh salah satu pihak, apakah pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2) Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang Timbul Antara Pemerintah dengan Investor Asing
Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dikatakan bahwa:[8]
“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.124
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja, hanya berisi 5 Pasal 125. Dengan telah diratifikasinya konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).
International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri atas 9 bab (chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini, meliputi:127
a) Chapter I International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) (Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
b) Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27);
c) Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan Artikel 35);
d) Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel 55);
e) Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators and Arbitrator
f) (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);
g) Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan Artikel 63);
h) Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);
i) Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel 66);
j) Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75)
Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55 ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan pengambilan putusan disajikan berikut ini:
1) Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:
i. Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.
ii. Permohonan diajukan secara tertulis,
iii. Permohonan membuat penjelasan tentang:
ü pokok-pokok perselisihan;
ü identitas para pihak; dan
ü mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan, kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar yuridiksi Centre, Dalam hal perselisihan yang diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk
mendaftar. Untuk itu, Sekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan permohonan kepada pihak lain.
2) Pembentukan Tribunal Arbitrase
Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang diajukan salah satu pihak, Centre harus sesegera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).Menurut Artikel 37 ayat (2) ICSID, telah ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre. Mahkamah Arbitrase:
a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;
b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any uneven number of arbitrator).
Jika para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat menerima tata cara penunjukkan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:
a) anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter;
b) masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan
c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari tribunal arbitrase yang bersangkutan.
Para pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat masing-masing seorang arbiter. Sementara itu, pengangkatan atau penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak sebagai Ketua (Presiden).
Selanjutnya menurut Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan Administratif Centre (Chairman of the Administratif Council) berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang demikian ada pada diri Ketua Dewan Administratif apabila telah ada permohonan dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukkan arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta konvensi yang sedang berselisih.
Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota arbiter dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.
3) Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase
Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional. Kewenangan dari Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa yang disengketakan para pihak masih termasauk yuridiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus perselisihan.
Dalam hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang diperselisihkan adalah diluar yuridiksi Centre atau berdasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi, bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus perselisihan yang terjadi, lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut hukum
Menurut Artikel 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum (rules of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan patokan utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara ringkas, sebagai berikut:
ü Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian.
ü Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan, Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
ü Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak-pihak yang berselisih.
ü Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ex aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat
Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu meliputi:
ü memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap penting,
ü melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang, orang, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak menentukan lain dalam perjanjian.
ü Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun
3) tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan sementara, dapat dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatannya tidak mengalami illusoir dikemudian hari. Bisa juga pelarangan penjualan atau pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung terlibat dalam persetujuan.
4) Putusan Arbitrase Centre
Tujuan utama arbitrase Centre ialah memutus perselisihan yang timbul apabila perselisihan itu telah diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh Arbitrase Centre disajikan berikut ini
a) Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
ü dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
ü ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
ü Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.
c) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.
d) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan kesalahan pengetikan, perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis. Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah satu pihak diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.
1. D. KASUS PT.INDOSAT
Menerima surat resmi dari negara lain (G to G atau government to government) adalah salah satu indikasi adanya ketidakpercayaan negara lain terhadap proses hukum yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Indosat (yang mayoritas sahamnya dimiliki Qatar) saat ini sedang dikasuskan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia terkait dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G yang melibatkan Indosat dan anak usahanya Indosat Mega Media (IM2). Sebuah tuduhan yang banyak dibantah oleh berbagai pihak. Bantahan paling keras dilakukan Masyarakat Telekomunikasi (MasTel) yang menyatakan bahwa penggunaan frekuensi Indosat oleh IM2 sama sekali tidak melanggar peraturan.
Menkominfo Tifatul Sembiring juga telah mengirimkan surat ke Presiden SBY ditembuskan kepada Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono, Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terkait kasus yang membelit Indosat dan IM2. Dalam surat bernomor T684/M.KOMINFO/KU.O4.01/11/2012 tersebut ditegaskan bahwa kerjasama Indosat dan IM2 terkait penyelanggaraan internet 3G di frekuensi 2,1 GHz tidak melanggar aturan.
Padahal dalam UU Telekomunikasi No. 3/1999 Pasal 44 dinyatakan masalah penyalahgunaan frekuensi diselidiki oleh PPNS Kemenkominfo. Sedangkan di Pasal 36 UU Kejaksaan juga ditegaskan, jaksa harus menghormati instansi lain dalam melaksanakan kewenangannya.
Bila antar lembaga pemerintah sendiri sudah tidak ada saling percaya terhadap lembaga pemerintah lainnya, ini preseden buruk bagi negara ini. Wajar bila Qatar meragukan Indonesia mampu menangani kasus ini dengan baik.
Hingga kini, tidak jelas apa alasan Kejagung seolah memperlambat proses penanganan kasus IM2. Bahkan untuk tersangka-tersangka yang telah ditetapkan pun Kejagung masih merahasiakan bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam kasus ini. Jika bukti sudah ada, kenapa tidak langsung disidangkan agar jelas ‘bersalah atau tidak’-nya.
Situasi ini jelas membuat industri telekomunikasi berada dalam ketidakpastian hukum. Jika IM2 & Indosat dinyatakan bersalah, maka seluruh penyedia layanan internet se-Indonesia juga bisa dinyatakan bersalah. Sebab kerjasama yang perusahaan-perusahaan ini lakukan untuk menjalankan bisnisnya sama persis dengan perjanjian bisnis antara Indosat dengan IM2.
Jika diteruskan, efek jangka panjangnya adalah perusahaan-perusahaan asing akan malas untuk berinvestasi di Indonesia.
ANALISA KASUS PT.INDOSAT:
Kepastian hukum merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung peningkatan kegiatan FDI di Indonesia. Dalam konteks perdagangan bebas, kepastian hukum dalam kegiatan FDI merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kebijakan investasi suatu negara dapat mempengaruhi perdagangan, terutama pada era globalisasi perdagangan dan investasi. Kegiatan investasi akan mendorong peningkatan aktivitas perdagangan, dan sebaliknya perdagangan akan mendorong investasi lebih lanjut.8)
Apabila dicermati lebih seksama, ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Berlakunya otonomi daerah. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah digantikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah dapat melaksanakan otonomi sendiri. Sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Hal ini menyebabkan banyak daerah kabupaten atau kota yang menerbitkan peraturan daerah untuk mengatur investasi, sehingga terjadi tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah lainnya. Pada gilirannya, keadaan tersebut justeru membingungkan investor asing karena tidak ada kepastian hukum.
2) Tidak konsistennya penegakan hukum. Dalam beberapa hal, ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing disebabkan oleh tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia. Hal ini tampak jelas dalam kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI). Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Herve Ladseus mengatakan, kasus PT. AJMI merupakan suatu preseden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia, sehingga investor asing akan semakin enggan menginvestasikan modalnya di Indonesia.
3) Lambannya pemerintah melakukan reformasi hukum investasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah belum melakukan harmonisasi hukum yang komprehensif terhadap peraturan perundang-undangan investasi dengan perjanjian-perjanjian internasional di bidang investasi. Sebagai contoh: sampai saat ini, Indonesia masih membedakan investasi domestik dan investasi asing, padahal Indonesia merupakan negara anggota WTO yang harus melaksanakan Agreement on Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs). Keadaan ini menimbulkan rasa skeptis di kalangan investor asing mengenai komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan aturan-aturan hukum internasional yang telah disepakati.
Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan investasi di Indonesia adalah, terbitnya peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung kegiatan dunia usaha. Sebagai contoh adalah, Keputusan Menaker Nomor 150 Tahun 2000. Daya saing Indonesia untuk menarik investor asing semakin berkurang dengan terbitnya Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Hal yang menjadi masalah dalam Kepmenaker tersebut adalah, menyangkut kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon dan penghargaan bagi pekerja yang mengundurkan diri. Jika diimplementasikan, ketentuan tersebut sangat merugikan dunia usaha karena perusahaan harus membayar uang penghargaan jasa kepada pekerja yang mengundurkan diri. Masalah perburuhan ini dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakpastian iklim investasi. Investor tidak akan masuk ke Indonesia apabila ketentuan perburuhan tidak jelas dan sangat membebani dunia usaha. Apabila Kepmenaker tersebut tidak direvisi, maka tidak akan ada investor yang berminat untuk menanamkan modal di Indonesia.
Pasca berlakunya otonomi daerah, keadaan hukum investasi di Indonesia dapat dikatakan sangat “memprihatinkan”. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota. Dalam praktik investasi pasca-otonomi daerah, banyak terjadi konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten atau kota serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah yang merugikan investor asing. Di satu pihak, penyerahan kewenangan untuk
menangani investasi kepada daerah merupakan langkah positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Namun di lain pihak, hal tersebut justeru menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor asing. Investor asing mengeluhkan munculnya gejala tindakan sewenang-wenang pemerintah daerah, antara lain dalam hal pengaturan izin lokasi investasi. Di samping masalah tersebut, investor juga mengeluhkan banyaknya pungutan pajak yang harus dibayar dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bahkan sejumlah investor menilai, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang hanya karena merasa lebih berhak menentukan siapa yang boleh mendapat izin lokasi.
Banyak faktor yang menimbulkan masalah ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan investasi pasca-otonomi daerah. Salah satunya adalah karena tidak adanya kepastian hukum mengenai pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kewenangan antar-pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing. Sampai saat ini, dalam beberapa hal, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi tarik-menarik kewenangan dalam penanganan investasi asing. Hal ini disebabkan oleh, antara lain, pemerintah pusat belum menerbitkan peraturan yang jelas dan komprehensif mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing. Belum adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif dalam hal penanganan investasi asing, menyebabkan investor “bingung,” karena tidak adanya kepastian hukum sebagai akibat terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah dalam penanganan investasi asing. Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan kegiatan investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu pihak, investor asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain pihak harus membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang mengenai perpajakan. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru yang dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Masalah ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor pasca-otonomi daerah, dipertegas oleh hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Hasil penelitian KPPOD menunjukkan, 42% dari total jawaban responden (kalangan dunia usaha) menyatakan, kepastian hukum masih rendah. KPPOD melihat masalah ketidakpastian hukum tersebut dari dua aspek, yaitu terjadi ketidaktetapan peraturan, sehingga “membingungkan” dunia usaha dan terjadinya ketidakkonsistenan dalam penegakan peraturan.13)Fakta mengenai tidak adanya kepastian hukum yang dikeluhkan investor asing semakin nyata dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy Ltd., menunjukkan bahwa Indonesia paling buruk dalam skor sistem hukum di Asia. Indonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir mencapai angka 10. Tidak adanya kepastian hukum, menyebabkan investor asing merasa tidak nyaman untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan 1. Undang – undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
menyebutkan bahwa : “pengertian penanaman modal dalam undang – undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan – ketentuan undang – undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut”
2. Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu definisi modal dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
c) Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki Negara maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia yang disisihkan atau disediakan
guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal asing.
d) Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1 pasal ini dapat terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang dimaksud dalam Undang- Undang ini dengan “Penanaman Modal Dalam Negeri” ialah penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang ini.
1. Penyelesaian sengketa penanaman modal dibagi menjadi: 1. Penyelesaian sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan
investor asing2. Penyelesaian sengketa penanaman modal antara pemerintah dengan
investor Domestik2. Ada beberapa kasus yang berkaitan dengan penanaman modal di Indonesia. Salah
satunya adalah kasus PT.Indosat. dan jika dilihat dari sebagian besar kasus yang ada, maka permasalahan dalam bidang penanaman modal adalah karena kurangnya kepastian hukum bagi para investor, khususnya investor asing di Indonesia.
1. Saran 1. Dalam jangka pendek, pemerintah harus segera memperbaiki iklim
investasi. Untuk memperbaiki iklim investasi tersebut, pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan nyata, antara lain segera menerbitkan undang-undang investasi yang baru, menetapkan batas waktu pemberian perizinan investasi, dan menerbitkan peraturan pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah yang dapat menjamin kepastian hukum.
2. Membenahi tatanan hukum, khususnya dalam hal penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998)
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2006)
Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
[1] Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2006), hal. 1.
[2] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 174.
[3] Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998), hal. 108.
[4] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
[5] Ibid., hal. 62-63.
[6] Salim H. S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 354.
[7] Ibid., hal. 355.
[8] Undang-Undang Penanaman Modal, Psl. 32 ayat (4).