penanganan kasus diare pada pedet sapi perah …
TRANSCRIPT
PENANGANAN KASUS DIARE PADA PEDET SAPI PERAH FARM
LIMPAKUWUS DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK
UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
(BBPTU-HPT) BATURADEN
KARYA TULIS ILMIAH
JENDRIL SYAFITRA
E0F116023
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KESEHATAN HEWAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
PENANGANAN KASUS DIARE PADA PEDET SAPI PERAH FARM
LIMPAKUWUS DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK
UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
(BBPTU-HPT) BATURADEN
Jendril Syafitra (E0F116023)
Di Bawah Bimbingan : Drh. Pudji Rahayu M,P
Program Studi Diploma III Fakultas Peternakan
Universitas Jambi
Alamat Kontak : Jl. Sk Syahbudin Lorong Komp. Kehutanan I
Mayang Mangurai, Kecamatan Kota Baru Kota Jambi 36129
Email : [email protected]
RINGKASAN
Diare adalah pengeluaran feses dengan frekuensi yang tidak normal
(meningkat) dan konsistensi feses yang lebih lembek atau cair. Secara umum,
diare dibagi menjadi dua kategori, yaitu diare Non-Infeksius dan diare Infeksius.
Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini untuk mengetahui Cara penanganan
kasus diare pada pedet dan penyebab diare pada pedet di BBPTU-HPT
Baturraden.
Materi yang digunakan adalah 118 ekor pedet sapi FH jantan dan betina
umur satu hari sampai dengan 3 bulan, 21 sampel feses dari pedet yang
terdiagnosa klinis diare. Metode pengumpulan data diambil secara sensus dari
bulan Januari sampai dengan Maret 2019. Diagnosa diare berdasarkan pada
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan BBVET Wates.
Hasil studi menunjukan Diare pada pedet sapi perah sebesar 29,03%
dengan kemungkinan penyebab diare oleh bakteri 28.57 % , protozoa 19.04% dan
parasit cacing 52.398%.
Berdasarkan data-data prevalensi dari bulan Januari sampai bulan Maret
dapat disimpulkan bahwa penyebab diare terbanyak adalah cacing dengan
sebanyak 52.39%.
Kata Kunci :Diare, Pedet, Sapi Perah, Cacing
PENANGANAN KASUS DIARE PADA PEDET SAPI PERAH FARM
LIMPAKUWUS DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK
UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
(BBPTU-HPT) BATURADEN
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
JENDRIL SYAFITRA
E0F116023
Telah Diuji Dihadapan Tim Penguji
Pada hari Rabu, Tanggal 02 Juni 2021 dan dinyatakan LULUS
Ketua : Drh. Pudji Rahayu, M.p.
Penguji 1 : Drh. Anie Insulistyowati M.P
Penguji 2 : Ir. Farizal, M.P.
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Drh. Pudji Rahayu, M.P.
NIP.196008021986022001
Tanggal :
Mengetahui :
Wakil Dekan Bidang Akademik,
Ketua Program Studi DIII
kerjasama dan Sistem Informatika Kesehatan Hewan
Fakultas Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Jambi Universitas Jambi
Dr. Ir. Syafwan, M.Sc. Dr. drh. Hj. Fahmida Manin, M.P.
NIP. 196902071993031003 NIP. 196208311989022001
Tanggal : Tanggal :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang
berjudul “Penanganan Kasusu Diare Pada Pedet Sapi Perah di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan PakanTernak (BBPTU-HPT) Bturraden“
selesai pada waktunya. BBPTU-HPT Baturraden merupakan suatu instansi yang
bergerak dibidang Pembibitan Sapi Perah dan Kambing Perah. Kegiatan yang
berkaitan dengan Pemeriksaan Kebuntingan dan pelayanan kesehatan hewan yang
meliputi penanganan gangguan reproduksi dan mengikuti kegiatan yang dilakukan
oleh para dokter hewan dan Paramedis di laboratorium.
Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini merupakan syarat untuk menempuh
Jenjang D-III KesehatanHewan di Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari bantuan
semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Agus Budiansyah M.Sc. Selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Jambi.
2. Dr. Drh. Fahmida Manin, M.P, selaku ketua Program Studi Diploma III
Kesehatan Hewan Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
3. Drh. Pudji Rahayu M.P selaku Dosen Pembimbing Praktek Kerja
Lapangan dan Karya Tulis Ilmiah yang senantiasa membimbing penulis
selama menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Eko Siswanto S,Pt selaku koodinator Praktek Kerja Lapangan Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT)
Baturraden yang telah membantu dalam penyelesaian persyaratan Praktek
Kerja Lapangan
5. Ir. Sugiono, M.P selaku Kepala Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul
Dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden yang telah member
izin penulis untuk melaksanakan kegiatan praktek kerja lapangan di
BBPTU-HPT Baturraden.
6. Ayahanda dan Ibunda, Adik adik yang selalu mendoakan dan membantu
penulis secara moriil dan materil agar pelaksanaan kegiatan Praktek Kerja
i
Lapangan dan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dapat terlaksanakan
dengan baik.
7. Teman-teman Program Studi DIII Kesehatan Hewan angkatan 2016
khususnya Tim Baturraden Squad atas dukungan, kebersamaan dan
kenangan berharga selama 2 tahun .
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa Penulisan ini masih
jauh dari kesempurnaan. Bilamana pembaca menemukan kekurangan dalam
pembuatan tugas ini, kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
sumbangsih ilmu sangat kami harapkan untuk peningkatan dan perkembangan di
masa yang akan datang.Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis khususnya.
Jambi, Juli 2021
Jendril Syafitra
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 2
1.3 Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Sapi ....................................................................................................... 3
2.2 Pemeliharaan pedet .............................................................................. 4
2.3 Diare ..................................................................................................... 4
2.2.1 Gejala klinis ...................................................................................... 5
2.2.2 Pencegahan ........................................................................................ 6
2.2.3 Pengobatan ........................................................................................ 7
BAB III MATERI DAN METODE ...................................................................... 9
3.1 Waktu danTempat ................................................................................. 9
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 9
3.3 Materi ................................................................................................... 9
3.4 Metoda Kegiatan ................................................................................... 9
3.3.1 Metode diagnose klinis ...................................................................... 9
3.3.2 Metode diagnose Laboratorium ......................................................... 10
3.5 Parameter yang diamati ......................................................................... 11
3.6 Analisis Data ......................................................................................... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 13
4.1 BBPTU-HPT Baturaden ....................................................................... 13
4.2 Pravelensi Diare pada Pedet. ................................................................. 14
4.3 Penanganan Diare pada Pedet Sapi Perah ............................................. 15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 20
ii
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 20
5.2 Saran ...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21
LAMPIRAN .......................................................................................................... 24
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Prevalensi Diare pada pedet sapi perah di Farm Limpakuwus ...................... 14
2. Klasifikasi penyebab Diare Pedet sapi perah pada bulan Maret .................... 19
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Telur cacing pada sapi .................................................................................. 11
2. Bunostomum phlebotomum ......................................................................... 16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
(BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah dibawah
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bergerak di bidang
pemuliaan, pemeliharaan, produksi dan pemasaran bibit sapi perah. Sapi perah
merupakan sapi yang dibudidayakan atau dipelihara untuk di manfaatkan susunya
sebagai bahan pangan atau dikonsumsi oleh manusia.
Sapi perah yang dipelihara di BBPTU-HPT Baturraden adalah sapi perah
bangsa Friesian Holstein (FH). Sapi ini didatangkan dari Negara Belanda
sehingga masih murni. Populasi sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden adalah
1444 ekor. Sapi perah yang di pelihara terdiri dari 11 ekor sapi jantan dewasa, 846
ekor sapi betina dewasa, 114 ekor sapi jantan muda dan 468 sapi betina muda.
Anak sapi atau pedet yang dihasilkan akan dipelihara di BBPTU-HPT Baturraden.
Sebagian pedet akan dijadikan bakal indukan untuk produksi susu, sebagian ada
yang didistribusikan ke instansi atau masyarakat yang membutuhkan.
Pedet yang baru lahir membutuhkan ketelitian, kecermatan, ketekunan dan
perawatan yang khusus dibandingkan dengan perawatan (pemeliharaan) sapi
dewasa. Pemeliharaan pedet mulai dari lahir hingga disapih merupakan bagian
penting dalam kelangsungan suatu usaha peternakan sapi perah (Purwanto dan
Muslih, 2006). Pedet lebih mudah terserang penyakit, dibandingkan ternak sapi
remaja, maupun sapi dewasa. Program pemeliharaan pedet di BBPTU-HPT
Baturraden terdapat kendala kasus diare pada pedet.
Diare adalah pengeluaran feses dengan frekuensi yang tidak normal
(meningkat) dan konsistensi feses yang lebih lembek atau cair. Diare selalu
dikaitkan dengan gastroenteritis, karena umumnya diare muncul sebagai
manifestasi adanya gangguan pada saluran gastrointestinal (Ganong. 2002).
Secara umum, diare dibagi menjadi dua kategori, yaitu diare yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme (infeksius).
2
Diare non-infeksius biasanya disebabkan akibat adanya perubahan (yang
mendadak) dari program pemberian pakan dan faktor lingkungan (kelembaban,
suhu dan cuaca). Meskipun seringkali tidak terlalu membahayakan dan tidak
sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksius ini (terutama pada sapi
muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan ternak menjadi rentan terhadap diare infeksius atau penyakit lain
yang lebih parah (Anonim, 2006). Diare infeksius disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri, parasit dan protozoa. Virus penyebab diare pedet biasanya dari golongan
rotavirus, coronavirus dan BVD (Bovine Viral Diarrhea). Bakteri yang sering
menyebabkan diare pada pedet adalah E.coli, Salmonella dan Clostridium,dari
golongan parasit adalah cacing kelas nematode, trematoda dan kelas cestoda
sedangkan dari golongan protozoa adalah cryptosporidia dan coccidia.
Sumber infeksi pada pedet dapat berasal dari sesama ternak sapi, burung,
binatang pengerat, air, manusia dan air susu yang berasal dari sapi Mastitis.
Sumber infeksi akan muncul ketika mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan
berkembang didalam saluran pencernaan (Margerison dan Downey, 2005). Gejala
klinis yang tampak pada penyakit diare adalah bulu kusam, rontok, turgor kulit
lambat, mata cekung, feses lembek dan cair, pernapasan lambat, nafsu makan dan
minum berkurang.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini untuk mengetahui Cara
penanganan kasus diare pada pedet dan penyebab diare pada pedet di BBPTU-
HPT Baturraden.
1.3 Manfaat
Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat memberi manfaat dengan
diketahuinya penanganan kasus diare pada pedet dan penyebab diare pada pedet
maka dapat dijadikan dasar untuk membuat program pencegahan dan pengobatan
penyakit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi
Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga
kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di
dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili
Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika
(Syncherus), dan Anoa (Subronto, 2003).
Sapi perah yang sudah banyak dipelihara adalah sapi keturunan Friesian
Holstein (FH). Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang memiliki
produksi susu tertinggi, diandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan
kadar lemak susu yang rendah rata-rata 3.7%.( Statistik Peternakan dan kesehatan
Hewan.2016 ).
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan jenis sapi perah yang banyak
menghasilkan susu. Taksonomi sapi FH menurut Dale et.al. (1984) dalam
Kristiyanti (2008) sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelsa : Mamalia
Ordo : Artiodactila
Subordo : Ruminansia
Famili : Bovidae
Genus : Bos
Spesies : Bos taurus
Sapi jenis ini pada awalnya dikembangkan di provinsi Friesland di
Belanda dan sering disebut sebagai sapi Fries Holland. Bangsa Sapi FH adalah
bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika Serikat, jumlahnya cukup
banyak antara 80 % sampai 90 % dari seluruh populasi sapi perah yang ada.
Berasal dari negeri Belanda yaitu provinsi North Holland dan West Friesland,
dimana kedua daerah ini memiliki padang rumput yang bagus (Blakely dan Bade
1998)
4
2.2 Pemeliharaan Pedet
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hinga umur 6 bulan. Pedet yang
baru lahir membutuhkan perawatan khusus, ketelitian, kecermatan dan ketekunan
dibandingkan dengan pemeliharaan sapi dewasa. Pemeliharaan pedet mulai dari
lahir hingga disapih merupakan bagian penting dalam kelangsungan suatu usaha
sapi perah (Purwanto dan Muslih, 2006).
Pedet yang lahir dalam kondisi sehat serta induk sehat disatukan dalam
kandang bersama dengan induk, diberi sekat agar pergerakan pedet terbatas.
Diharapkan pedet mendapat susu, sehingga nutrisinya terpenuhi. Selain itu pedet
dapat mulai mengenal pakan yang dikonsumsi induk yang kelak akan menjadi
pakan hariannya pedet tersebut setelah lepas sapih.
Menurut Soetarno (2003), selama 3-4 hari setelah lahir pedet biasaanya
belum dipisahkan dari induknya, agar dapar memperolah kolestrum sepenuhnya.
Setelah itu, pedet di tempatkan di dalam kandang pembesaran, baik berupa
kandang observasi (observation pens), kandang individu (individual pens),
maupun kandang kelompok (group pens), disini pedet mulai dilatih untuk
mengkonsumsi suplemen makan.
2.3 Diare
Diare adalah pengeluaran feses dengan frekuensi yang tidak normal dan
konsitensi feses yang lembek atau cair. Diare pada anak sapi merupakan salah satu
gejala penyakit komplek dengan berbagai penyebab yang saling berhubungan
(Acres et al., 1975; Acres et al., 1977; Saif dan Smith, 1985). Beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya diare yaitu agen penyakit, anak sapi itu
sendiri/host dan lingkungan. Pada kejadian diare akan terjadi kegagalan
penyerapan cairan dari usus ke dalam tubuh dan sebaliknya terjadi pengeluaran
cairan tubuh ke dalam usus. Cairan tubuh yang keluar akan membawa serta
garam-garam mineral atau elektrolit, sehingga anak sapi penderita diare menjadi
kekurangan cairan atau dehidrasi. Akibat kekurangan cairan elektrolit bisa terjadi
asidosis yang dapat menyebabkan kematian.
5
2.2.1 Gejala Klinis
Gejala Klinis Diare yang disebabkan Virus. rotavirus dan coronavirus
merupakan virus penyebab diare yang paling umum dijumpai, menurut (Mason
dan Caldow, 2005) agen paling umum penyebab diare dari neonatal enteritis di
Scotland tahun 2003 sebanyak 33% disebabkan oleh rotavirus, 20% oleh
coronavirus dan sisanya agen penyebab lain. Kedua virus tersebut tersebar pada
sapi dewasa tanpa menunjukkan gejala klinis (Barington et al., 2000; Crouchet al.,
1984, Crouchdan Acress, 1984) dan sangat umum ditularkan ke sapi muda. Virus
akan menyerang vili pada lapisan sel usus halus menggangu proses penyerapan.
Diare yang ditimbulkan bersifat profus, hampir tidak ada demam, depresi dan
dehidrasi hebat. Biasanya terjadi pada anak sapi umur 10 sampai 14 hari. Sering
terjadi komplikasi dengan sekunder infeksi oleh E.coli. Bovine Virus Diarhea
(BVD) juga merupakan agen penyebab diare pada sapi, walaupun secara umum
jarang dijumpai pada anak sapi yang baru lahir. Anak sapi yang baru lahir
terinfeksi oleh BVD akan mengalami demam tinggi , susah nafas dan diare.
Gejala Klinis Diare yang disebabkan Bakteri. Escherichia coli
merupakan bagian dari bakteri flora yang ada dalam usus hewan maupun manusia.
Walaupun demikian beberapa galur bersifat patogen dan menimbulkan penyakit
(Moon, 1978; Gyles, 1986). E. coli enterotoksigenik (ETEC) yang memiliki
antigen perlekatan K99 atau F41 untuk melekat pada dinding usus halus dan
memproduksi enterotoksin yang mampu menstimulir hipersekresi usus,
merupakan strain paling umum dijumpai pada kasus diare pada anak sapi baru
lahir (Acres, 1985). Toksin yang dihasilkan berpotensi menimbulkan diare yang
terus menerus (profus) tinja encer berwarna kuning, dehidrasi, shock, dan
kematian (Hamilton et al., 1985). Indonesia stain E. coli K99 telah diisolasi dari
anak sapi penderita diare profus pada peternakan sapi perah di daerah Jawa Barat
(Kusmiyati dan Supar, 1998). Sedangkan di Scotland tahun 2003 telah terjadi
letupan nenonatal enteritis dengan gejala diare yang disebabkan oleh agen E. coli
K99 (Mason dan Caldow, 2005). E. coli tipe lain yang dapat menginfeksi anak
sapi umur 2 minggu sampai 2 bulan dan menimbulkan gejala diare kompleks
adalah enterohaemor-rhagic E. coli (EHEC). Strain ini memproduksi verotoksin
menyebabkan kerusakan pembuluh darah didaerah kolon yang dapat
6
mengakibatkan hemoragik enterokolitis yang ditandai dengan adanya darah pada
feses (Janke et al., 1990). Verotoksigenik E .coli ditemukan pada anak sapi perah
penderita diare di peternakan daerah Jawa Barat (Suwito, 2005).
Gejala Klinis diare yang disebabkan parasit (cacing), Pada ternak
ruminansia cacingan merupakan salah satu masalah cukup penting, karena
penyakit tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ternak bahkan pada serangan
yang berat dapat memantikan. Efek patologis yang ditimbulkan parasit ini antara
lain turunnya berat badan yang diakibatkan diare, selain itu bisa menimbulkan
efek yang merugikan pada induk semang, karena parasit ikut menyerap bahan
makanan dalam saluran pencernaan, menghisap darah dan cairan induk semang
serta memakan jaringan induk semang. Lain hal, parasit pun turut menghasilkan
toksin, dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh
darah serta turut membantu masuknya bakteri patogen atau virus patogen ke
dalam jaringan yang dapat menimbulkan infeksi sekunder, tetapi secara umum
feses tampak lembek dan encer, bulu kusam, kekurangan berat badan dan lesu.
Gejala Klinis diare yang disebabkan protozoa. Cryptosporidium dan
coccidia banyak ditemukan hampir disemua kelompok sapi bahkan pada letupan
neonatal enteritis dengan gejala diare. Protozoa ini memiliki ukuran jauh lebih
kecil dari pada koksidia dan memiliki kemampuan untuk melekat pada sel lapisan
usus halus dan merusak mikrovili, akibatnya akan menghambat proses
penyerapan. Diare disebabkan oleh agen protozoa ini biasanya terjadi pada anak
sapi umur tujuh sampai 21 hari. Anak sapi neonatal dilaporkan terserang diare
akibat infeksi oleh Cryptosporidium parvum (Trotz et al.,2005). Coccidia species
dapat menyebabkan diare pada anak sapi umur antara 3 minggu sampai 6 bulan.
Infeksi menunjukkan klinis yang beragam dari sakit ringan, diare kronis sanpai
diare berdarah.
2.2.2 Pencegahan
Pencegahan merupakan kunci utama untuk menghindari terjadinya diare
dalam suatu kelompok ternak. Pencegahan melaui program manajemen yang
ditujukan untuk menghindari atau mengurangi terjadinya infeksi agen-agen
penyebab diare dan meningkatkan kekebalan terhadap agen-agen penyebab diare
sehingga optimis anak-anak sapi akan tahan terhadap agen-agen tersebut.
7
Beberapa manajemen yang sangat perlu dilakukan adalah 1). Manajemen
kolostrum penting untuk meningkatkan kekebalan terhadap agen-agen infeksi
penyebab diare anak sapi. Anak sapi yang baru lahir tidak memiliki maternal
antibodi terhadap agen penyebab diare atau penyakit lain dan vitamin A dan E.
Pada sapi tidak terjadi perpindahan antibodi dari induk ke anak melaui plasenta
(Tizard, 1982), sehingga antibodi akan diperoleh melalui kolostrum (Stott et al.,
1979). 2). Manajemen pemberian pakan dan nutrisi yang baik untuk memastikan
anak sapi tumbuh sehat dan kuat. Perubahan menu pakan baik jenis maupun
jumlahnya harus dilakukan secara perlahan-lahan. 3). Manajemen kesehatan
ternak dan lingkungan antara lain dengan melakukan isolasi penderita diare
secepat mungkin dan desinfeksi lingkungan kandang. Pisahkan sapi dara dari sapi
dewasa dan hindari tempat melahirkan yang lembab, basah dan sempit. 4).
Manajemen vaksinasi diperlukan untuk meningkatkan imunitas pada kelompok
dara dan betina induk terhadap diare yang disebabkan oleh agen enfeksi yang
akan menyebabkan meningkatnya kualitas kolostrum. Vaksinasi disarankan
menggunakan salah satu vaksin rotavirus, coronavirus, E. coli K99, Salmonella
dan Clostridium perfringens tipe C terhadap kelompok sapi betina dimana diare
pada anak sapi dalam kelompok tersebut telah ditetapkan sebagai masalah oleh
dokter hewan. Vaksinasi paling efektif jika didasarkan pada diagnosa yang pasti.
2.2.3 Pengobatan
Pengobatan pada anak sapi yang menderita diare sangat mirip tanpa
memperhatikan penyebabnya. Pengobatan ditujukan langsung untuk memperbaiki
dehidrasi dan asidosis yang terjadi dan memerkecil kerusakan usus. Beberapa
langkah dalam pengobatan diare yang harus dilakukan adalah:
•Jika anak sapi mengalami dehidrasi berat (mata sayu), lemah atau kolaps
yang disertai dengan tidak ada reflek menghisap susu maka perlu pemberian
cairan elektrolit melalui intra vena.
•Jika anak sapi mengalami dehidrasi sedang dan masih bisa berdiri maka
pemberian cairan elektrolit dilakukan peroral.
•Selama terapi dengan pemberian cairan elektrolit peroral dianjurkan
untuk tidak diberi susu karena kan menyebabkan diare berlanjut, minimal
pemberian susu dilakukan beberapa jam setelah pemberian cairan peroral
8
•Pemberian cairan peroral terus menerus lebih dari 2 hari sangat tidak
dianjurkan Pengobatan khusus ditujukan untuk diare yang telah diketahui
penyebabnya antara lain:
•Pengobatan dan pencegahan terhadap diare akibat agen cryptosporidium
telah tersedia halofuginone sekarang sudah, dosis dan cara pemberiannya
ditentukan oleh dokter hewan.
•Antibiotik hanya digunakan pada penderita diare oleh infeksi bakteri,
dosis dan pemberiannya ditentukan oleh dokter hewan.
•Anti koksidia diberikan pada penderita diare oleh infeksi koksidia, dosis
dan pemberiannya ditentukan oleh dokter hewan.
9
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 4 Februari - 29 Maret 2019 yang
bertempat di Farm Sapi Limpakuwus Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul
(BBPTU-HPT) Baturraden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang di gunakan adalah ember, penjepi, mortal, mikroskop, tabung
reaksi, mesin sentrifus, objek glas.
Bahan yang digunakan adalah feses, larutan NaCl, air, antibiotik.
3.3 Materi
Materi yang digunakan adalah 118 ekor pedet sapi FH jantan dan betina
umur satu hari sampai dengan tiga bulan
3.4 Metoda Kegiatan
Kegiatan ini merupakan studi kasus untuk menentukan prevalensi diare
pada pedet sapi FH dan penyebab diare pada pedet di Farm sapi Limpakuwus
BBPTU-HPT Baturraden. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan metode
diagnosa klinis dan metode diagnose laboratorium.
3.3.1 Metode Diagnosa Klinis
Gejala Klinis yang diperoleh dibandingkan dengan gejala klinis untuk
menentukan penyebab diare : apakah diare non-infeksius atau diare infeksius.
Apabila gejala klinisnya sebagai berikut :
Diare Non-infeksius : Apabila gejala klinisnya feses tampak lembek sampai cair
tanpa disertai perubahan (tidak berbau, tidak berlendir atau disertai bercak darah).
Diare infeksius
Gejala klinis diare akibat virus : Diare profus, dehidrasi hebat, tubuh
melengkung, sering terjadi pada 10-14 hari sejak kelahiran, kehilangan
nafsu makan dan tingkat kematian 50% (Barington et al, 2000 ; Crouch et
al., 1984; Crouch dan Acres, 1984 ).
10
Gejala klinis akibat bakteri : feses lembek sampai encer, bulu kering,
syok, feses berwarna putih sampai kekuningan, kaku dan rontok, pedet
terlihat lesu biasa terjadi pada sapi baru lahir (Acres, 1985).
Gejala klinis akibat parasit (Cacing) : Diare, Feses lembek hingga encer
berwarna hijau, bulu rontok (Acres, 1985).
Gejala klinis akibat protozoa : diare disertai darah, kehilangan berat
badan, dehidrasi dan nafsu makan turun (Trotz et al, 2005 ).
Gejala klinis yang diperoleh dibandingkan dengan gejala klinis referensi tersebut
untuk menentukan penyebab diare.
3.3.2 Metode Diagnosa Laboratorium
Metoda diagnosa laboratorium dilakukan dengan memeriksa sampel feses
dari pedet yang menunjukan gejala klinis diare. Sampel-sampel feses dari pedet
yang terdiagnosa diare diperiksa khususnya untuk pemeriksaan telur cacing di
Laboratorium BBPTU-HPT Baturraden dan untuk pemeriksaan virus dan bakteri,
sampel diperiksa di Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Wates Yogyakarta.
Cara Pengambilan Feses
Prosedur pengambilan feses mengacu pada Cahyaningsih dan Supriyanto
(2007), adalah Sampel feses yang di ambil adalah sampel feses segar yang diambil
langsung dari rektal. Pengambilan feses dilakukan dengan cara manual atau
menggunakan tangan yang dilapisi dengan glove kemudian dimasukan kedalam
kantung plastik dan diberi label nomor sapi (eartag) lalu dimasukan kedalam
kotak pendingin yang sudah diberi es batu, lalu dibawa ke laboratorium BBPTU-
HPT Baturraden.
Cara kerja pemeriksaan telur cacing
Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode Apung (Anonim 2015)
dengan prosedur sebagai berikut : 25 gram sampel feses ditambah dengan air lalu
dimasukkan ke ¾ tabung reaksi lalu di centrifuge dengan kecepatan 10000 rpm
selama 5 menit kemudian diamkan selama 2 menit lalu buang air dan bahan yang
terapung kemudian isi Nacl ¾ tabung reaksi lalu centrifuge selama 5 menit
kemudian keluarkan tabung reaksi dari mesin centrifuge, tabung reaksi ditaruh di
rak tabung reaksi lalu menambahkan Nacl jenuh lagi kedalam tabung reaksi
11
sampai permukaan cembung lalu tutup dengan gelas objek tunggu 30 detik lalu
tutup dengan gelas objek dan diamati dibawah mikroskop. Cocokkan hasil dengan
gambar.
Gambar 1. Telur cacing pada sapi
Pemeriksaan bakteri dan virus
Sampel feses pedet sapi FH dibawa ke Balai Besar Veteriner (BB-Vet)
Wates Yogyakarta untuk pemeriksaan bakteri dan virus penyebab diare. Metode
pemeriksaan bakteri diare yang biasa digunakan di BB-Vet Wates adalah
Identifikasi bakteri dengan Uji Biokimia dan Metode pemeriksaan virus ialah
menggunakan Metode ELISA. Pemeriksaan ini tidak dilaksanakan tetapi hasilnya
diperoleh dari BB –Vet Wates.
3.5 Parameter yang diamati
Parameter yang diamati pada kegiatan ini adalah:
1. Diare pada pedet sapi perah di Farm Limpahkuwus BBPTU-HPT
Baturraden
12
2. Penyebab diare pada pedet sapi perah di Farm Limpahkuwus BBPTU-
HPT Baturraden.
3.6 Analisis Data
Data diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data Primer
didapatkan dari pengamatan langsung selama praktek kerja lapang dari tanggal 4
Februari – 29 Maret 2019 serta wawancara dengan dokter hewan dan petugas
lapangan, dan data sekunder di dapatkan dari data kasus diare dari BBPTU pada
bulan Januari 2019. Data prevalensi dan persentase penyebab diare pada pedet
sapi FH dianalisis secara deskriptif.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 BBPTU-HPT Baturraden
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
(BBPTU-HPT) Baturraden ini memiliki empat area farm yaitu Tegalsari,
Limpakuwus, Manggala, dan Munggangsari keempat area tersebut berada di
lereng Gunung Slamet disisi arah selatan. Farm Tegalsari merupakan farm
produksi yang berlokasi di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, Kabupaten
Banyumas. Wilayah yang membatasi farm Tegalsari adalah sebelah utara jalan
desa dan hutan pinus Perusahaan Hutan Milik Negara (Perhutani), sebelah selatan
Desa Kemutug Lor area pertanian rakyat, sebelah barat Desa Ketenger area
perkampungan/pertanian rakyat, dan sebelah timur sungai (Kali Lirip) berbatasan
dengan Desa Karang Salau. Farm Tegalsari berada pada ketinggian ± 600 mdpl
dengan temperatur berkisar 18º-27ºC, kelembaban berkisar 70-80% dan curah
hujan berkisar 3000-3500 mm/tahun.
Farm Limpakuwus juga merupakan farm produksi berada pada ketinggian ±
700 mdpl yang berlokasi di Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang, Kabupaten
Banyumas, Wilayah yang membatasi farm limpakuwus adalah sebelah utara
berbatasan dengan hutan pinus Perusahaan Hutan Milik Negara (Perhutani),
sebelah timur sungai (Kali Pangkon), sebelah selatan area terbukam (ladang
pedesaan), sebelah barat sungai (Kali Pelus).
Farm Manggala merupakan farm rearing unit terletak di Desa Karang
Tengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Wilayah yang membatasi
farm Manggala adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanah Renu Tani,
sebelah selatan Desa Tumiang Kecamatan Pekuncen, sebelah barat Desa Tumiang
Kecamatan Pekuncen, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Tengah
Kecamatan Cilongok.
Farm Munggangsari merupakan farm training center farm ini berada pada
ketinggian sekitar ± 700 mdpl dan terletak di Desa Karangsalam Kecamatan
Baturraden. Wilayah yang membatasi farm Munggang Sari adalah sebelah utara
hutan Damar Perhutani, sebelah timur hutan damar milik Perhutani dan lembah
14
Munggang Sari, sebelah selatan perkampungan Munggang Sari desa
Karangsalam, sebelah barat tanah perorangan.
Tahun 1953, Pemerintah Daerah RI membangun peternakan di Baturraden
dan diresmikan oleh P.J.M. Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta pada tgl 22
Juli 1953 dengan nama Induk Taman Ternak Baturraden. Tanggal 25 Mei 1978,
terbit SK Mentan RI No: 313/Kpts/Org/5/78, tentang susunan organisasi dan tata
kerja Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Baturraden
(BPTHMT), sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Peternakan.
Tanggal 24 Juli 2002, sesuai keputusan Menteri Pertanian RI No. 290 tahun
2002, berubah menjadi Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BPTU Sapi
Perah) dan sampai diresmikan menjadi Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul
Sapi Perah (BBPTU Sapi Perah) tanggal 30 Desember 2003, sesuai Keputusan
Menteri Pertanian RI No 630/Kpts/OT.140/12/2003.
Tanggal 24 Mei 2013, BBPTU Sapi Perah berubah menjadi Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Baturraden (BBPTU HPT).
sesuai keputusan Menteri Pertanian RI No 55/-Permentan/OT.140/5/2013.
4.2 Prevalensi Diare pada Pedet
Prevalensi adalah jumlah kejadian penyakit pada suatu populasi tertentu
dalam jangka waktu tertentu. Dasar penentuan prevalensi : jumlah kejadian diare
pada pedet yang didasarkan oleh diagnosa klinis. Dengan indikator : diare atau
feses lembek hingga cair.
Hasil diagnosa klinis diare pada pedet di Farm sapi Limpakuwus bulan
Januari sampai bulan Maret 2019 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Prevalensi Diare pada pedet di farm Limpakuwus
Bulan/Tahun 2019 jumlah pedet (ekor)
Prevalensi (%) Populasi Kasus Diare
JANUARI* 93 31 33.33
FEBRUARI* 111 39 35.13
MARET 118 21 18.64
Rata-rata Prevalensi 29.03 %
*Data Sekunder : Sumber BBPTU-HPT Baturraden (2019)
Berdasarkan Tabel 1. menunjukan bahwa kasus diare pada pedet di
BBPTU Baturraden sepanjang bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2019
15
cukup tinggi dengan prevalensi 33.3 % sampai 35.13 %. Selanjutnya pada bulan
Maret prevalensinya menurun, Menurut Wudu et al. (2008) prevalensi tersebut
masih cukup tinggi.
Tingginya prevalensi diare pada pedet di Farm Limpahkuwus diduga
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1) Menagemen pemeliharaan pedet
di BBPTU Baturraden yang belum maksimal seperti a). Keterlambatan waktu
pemberian kolostrum setelah kelahiran b). Pemberian pakan hijauan yang masih
muda c). Pedet yang terlalu cepat dilepaskan di padang pengembalaan dan d).
Bak air minum di padang pengembalaan yang jarang dibersihkan 2). Faktor
penyebab lain adalah a). Suhu b). Curah hujan dan c). Kelembaban. Tingkat curah
hujan tinggi di Farm Limpakuwus memungkinkan mikroba berkembang. Menurut
Smith (2002), penyakit diare cenderung tinggi pada awal sampai puncak musim
penghujan karena pada masa ini kemungkinan mikroba berkembang dengan pesat
dibandingkan waktu yang lain. Menurut Malik et al. (2012), menyatakan bahwa
diare pada pedet bisa disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Diare
Infeksius merupakan masalah terbesar terutama pada hewan pedet. Bisa
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa (Smith 2002). Oleh sebab itu,
identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah penting
dalam membuat program pencegahan diare. Diare non infeksius biasanya
disebabkan oleh perubahan (yang mendadak) dari program pemberian pakan dan
faktor lingkungan (suhu, cuaca dan kelembaban). Meskipun seringkali tidak
sangat berbahaya dan tidak sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksi ini
(terutama pada hewan muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh yang
pada gilirannya dapat menyebabkan ternak rentan terkena diare infeksi atau
penyakit lain yang lebih parah (Subronto, 2007).
4.3 Penanganan Diare Pada Pedet Sapi Perah
Dasar penentuan penyebab diare ialah berdasarkan diagnosa gejala klinis
dan pemeriksaan laboratorium. Hasil penentuan penyebab diare pada kegiatan ini
disajikan pada Tabel 2. Serta gambar-gambar gejala klinis diare pada pedet
disajikan pada Lampiran 1.
16
Hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnosa klinis yang telah dilakukan,
persentase penyebab diare pada pedet di Farm Limpahkuwus yang paling banyak
menyerang pedet sapi FH adalah cacing. Persentase tertinggi penyebab diare
adalah cacing sebesar 52.38% .
Tingginya penyebab diare diduga antara lain penularan cacing nematode
melalui ;
1. Penularan transovarial atau transovarian ( penularan dari induk ke
keturunannya melalui ovarium ) terjadi pada vektor arthropoda
tertentu karena mereka menularkan patogen dari arthropoda induk ke
arthropoda keturunan.
2. Penularan melalui kolestrum dengan cara pedet menyusui secara
langsung ke induk sapi yang terinfeksi cacing.
3. Penularan melalui pakan yang terkontaminasi.
Faktor lainnya yang mendukung ialah lingkungan di sekitar Farm yang pada saat
itu membantu untuk mikroba berkembang. Farm Limpahkuwus berada pada
ketinggian ± 700 mdpl dengan temperatur berkisar 18º-27ºC, kelembaban berkisar
70-80% dan curah hujan berkisar 3000-3500 mm/tahun.
Hasil identifikasi jenis cacing yang menginfeksi pedet adalah cacing
Bunostomum phlebotamum.
Gambar 1. Telur cacing Bunostomum phlebotomum
Bunostomum phlebotomum merupakan cacing kait yang dijumpai didalam
usus halus. Panjang cacing jantan 10-12 mm dan berdiameter sekitar 475 mikron,
dengan spikulum filiform yang panjangnya 3,5-4,0 mm. Panjang cacing betina 16-
19 mm dan berdiameter 500-600 mikron serta memproduksi telur berbentuk elips
berukuran 79-117 x 47-70 mikron (Levine, 1990).
17
Siklus hidup Bunostomum phlebotomum bersifat langsung. Infeksi yang
terjadi pada hospes terjadi melalui mulut dan kulit oleh larva infektif. Larva
ditemukan telah mencapai dermis dalam waktu 30 menit setelah infeksi dan
menembus pembuluh darah dan kulit dalam waktu 60 menit. Larva ditemukan
diparu-paru dimana ecdysis ketiga berlangsung 10 hari setelah penetrasi kulit
(Sprent,1946). Selanjutnya larva stadium keempat mencapai usus pada hari
kesebelas. Telur pertama dibebaskan oleh cacing dewasa pada hari 30-56 setelah
infeksi pertama (Soulsby,1982 ; Subronto, 2007). Cacing dewasa aktif menghisap
darah dan dapat menyebabkan anemia. Banyak hewan ternak yang terinfeksi,
kekurangan darah, hypoproteinemia, edema, iritasi mukosa intestinum dan diikuti
diare. Larva yang menembus kulit mungkin dapat menyebabkan beberapa iritasi
kulit dan masuknya bakteri patogen.
Penyebab diare tertinggi ke dua adalah bakteri Escherichia coli. E.coli
adalah bakteri normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan ( Darmawan,
2015). Escherichia coli dianggap bakteri normal usus, dalam keadaan normal
bakteri ini tidak bersifat patogen akan tetapi beberapa tipe tertentu dapat bersifat
patogen terutama pada saat kondisi tubuh menurun. E.coli tumbuh pada
temperatur 37○C tetapi juga dapat tumbuh pada suhu 15-45C. E.coli dapat hidup
didalam lingkungan atau suasana yang bersifat asam atau basa dari pH 4.5-9.5
pada suhu ruangan. Beberapa strain E.coli bersifat pathogen seperti
enteropathogenik Escherichia coli (EPEC) dan Enterotosigenic Escherichia coli
(ETEC). Menurut Supar (1989), ETEC dan EPEC tergolong strain penyebab diare
pada anak sapi. Strain tersebut merupakan penyebab utama diare infeksius pada
sapi yang baru dilahirkan. Anak sapi neonatal yang terinfeksi ETEC pada umur
beberapa jam sesudah dilahirkan hingga umur beberapa hari setelah dilahirkan.
Anak sapi neonatal yang terinfeksi ETEC menderita diare terus menerus, feses
encer yang berwarna putih kekuningan. Kolibasilosis pada anak sapi biasanya
berhubungan dengan pemberian kolostrum yang terlambat atau tidak cukup,
populasi pedet yang relatif padat dan sanitasi kandang pedet yang belum
maksimal.
Kejadian koksidiosis disebabkan oleh protozoa dari genus Eimeria
menyebabkan permasalahan yang cukup kompleks di bidang kesehatan hewan dan
18
ekonomi. Gangguan kesehatan pencernaan umumnya terjadi pada pedet dari sejak
lahir sampai masa sapih. Koksidiosis memiliki tingkat mordibitas dan mortalitas
yang cukup tinggi, dengan gejala klinis berupa kurangnya nafsu makan,
kehilangan berat badan, diare, anemia. Menunjukkan bahwa telah terjadi diare
pada ternak sapi perah di KPBS Pangalengan, Bandung sebanyak 179 (44,75%)
dari 400 sampel feses yang telah diamati.
Kasus diare yang terjadi di Limpakuwus Baturaden tidak dijumpai yang
disebabkan oleh Virus. Biasanya virus yang menyebabkan diare pada anak sapi
ialah coronavirus dan rotavirus. Beberapa kasus yang ada belum ditemukan bahwa
diare yang terjadi menyebabkan kematian. Di Indonesia diare pada anak sapi yang
baru dilaporkan terjadi di sentra pengembangan sapi perah di Bogor, Sukabumi
dan Bandung berkisar antara 19-40 % dengan kematian pedet dibawah umur satu
bulan berkisar antara 8 -19%.
Apabila ada kasus diare maka akan segera ditangani dengan pemberian
makan dan minum yang cukup untuk mengatasi kasus dehidrasi supaya tidak
berkelanjutan. Beberapa pilihan obat yang diberikan antara lain Norit®,
Enterostop®, Multivitamin, Vet-Oxy® serta golongan sulfa. Pemberian
Entererostop® berfungsi untuk menghentikan diare, Entrostop mengandung 650
mg attapulgite dan 50 mg pectin yang berkerja sama untuk menyerap racun,
Norit® bermanfaat untuk mengobati keracunan dan gangguan pencernaan, terbuat
dari Karbo aktif yang bersumber dari tumbuhan yang diaktifkan secara kimia
sehingga menghasilkan arang aktif. Zat yang terkandung didalam obat ini mampu
mengikat dan mebuang racun yang ada didalam tubuh serta mekanisme kerja dari
obat ini adalah menyerap toksin atau produk bakteri yang ada didalam saluran
pencernaan. Pemberian multivitamin berfungsi untuk mencegah defesiensi
vitamin. Vet-Oxy LA® adalah salah satu golongan antibiotika yang mengandung
oxytetracline berfungsi untuk mencegah diare yang disebabkan oleh aktifitas
bakteri.
Terapi yang efektif dan efisien memerlukan diagnosa yang tepat. Diagnosa
yang tepat perlu benar-benar memperehatikan dan mempertimbangkan banyak
aspek. Pencegahan yang baik akan mengurangi banyak biaya dan terapi. Sehingga
faktor higiene dan sanitasi harus menjadi perhatian utama. Antibiotik berspektrum
19
luas cenderung dipilih karena diharapkan mampu mengeliminasi mikroba yang
banyak dan belum diketahui spesifikasinya. Antibiotik bersifat long acting juga
dipilih karena diharapkan dengan pemberian obat yang dalam jangka panjang
(tidak setiap hari) sudah mampu mengatasi diare yang muncul.
Penegakan diagnosa berdasarkan gejala klinis tidak selalu mudah
mengingat manifestasi penyakit mirip dengan penyakit septik lain. Oleh karena
itu, isolasi dan identifikasi agen penyebab mutlak di perlukan.
Tabel. 2 Klasifikasi penyebab diare pedet sapi perah pada bulan Maret
No Gejala Klinis Penyebab
Jumlah
pedet diare
(ekor) Persentase
1 Feses lembek sampai
encer, bulu kering,
kaku dan rontok, pedet
terlihat lesu, feses
berwarna putih-kuning,
bau busuk
Bakteri 6 28.57%
2 diare disertai darah,
kehilangan berat
badan, dehidrasi dan
nafsu makan turun, bau
amis
Protozoa 4 19.04%
3 Feses lembek hingga
encer berwarna hijau,
bulu rontok, lemas, bau
asam
Cacing 11 52.38%
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Faktor penyebab terjadinya diare pada pedet di BBPTU Baturraden
dikarenakan menagemen pemberian pakan dan sanitasi yang belum maksimal
serta faktor cuaca yang mendukung untuk berkembangnya agen-agen penyakit.
Berdasarkan data-data prevalensi dari bulan Januari sampai bulan Maret dapat
disimpulkan bahwa penyebab diare terbanyak adalah cacing dengan presentasi
52.39%.
5.2 Saran
Diperlukan upaya perbaikan dalam menagemen pemeliharaan pada pedet
di BBPTU-HPT Baturraden melalui pembuatan kandang isolasi pedet dan
perbaikan alas kandang bagi pedet.
21
DAFTAR PUSTAKA
ACRES, S.D. 1975. Enterotoxigenic Escherichia coli infections in newborn
calves: a review. J. Dairy Sci. 68: 229-256.
Anonimous. 2010. Menajemen Pemeliharaan dan Kesehatan Pedet. Kementrian
Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan. Balai Besar Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Perah, Baturraden.
Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Diare pada Anak Sapi : Agen Penyebab,
Diagnosa dan Penanggulangan. Bogor.
Barrington, G.M. and S.M. Parish. 2001 . Bovine Neonatal Immunology . Food
Anim. Pract. 17:463-476.
Crouch, C.F. and S.D. Acres. 1984. Prevalence of Rotavirus and Coronavirus
Antigens in theFeces of Normal Cow. Can. J. Comp. Med. Vol 48 : 340-
342.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation
Agency (JICA). Jakarta.
Ganong , W. F. 2008 . Buku Ajar Fisiologi. Edisi 22. Jakarta : EGC
HAMILTON, N., J. MAC-LEOD and D. BUTLER. 1985. Functional and
structural responses of intestine to enteric infection. In: Infectious Diarrhea
in the Young: Strategies for control in Humans and Animal.Tripori, S.
(Eds.). Proc. Of an International Diarrhea in South East Asia and Western
Pacific Region, Geelong, Australia. pp. 165-171.
Hujarat, A . 2009. Efektifitas Pemberian Kolostrum pada Sapi Neonatus yang di
Tantang dengan Escherichia coli K-99. Skripsi Fakultas Kedokteran,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Istiyani, Z.D. 2013. Prevalensi Koksidiosis pada Pedet di Kabupaten
Karanganyar. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
JANKE, B.H., D.H. FRANCIS, J.E. COLLIN, M.C. LIBAL, D.H. ZEMAN, D.D.
JOHNSON and R.D. NEIGER. 1990. Attaching and effacing Escherichia
coli infection as a cause of diarrhea in young calves. JAVMA. 196 (6): 897-
901.
Korbinianus, F.R., Tjokorda Sari Nindhia, S.T. Suardana, I.W. 2016. Faktor-
faktor Risiko Penyebaran Escherichia coli O157:H7 pada Sapi Bali di Kuta
Selatan, Badung, Bali . ISSN Vol. 17 No. 3 : 370 – 378.
KUSMIYATI dan SUPAR. 1998. Escherichia coli verotoksik dari anak sapi perah
penderita diare. Pros. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-
19 Pebruari 1988. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 103-108.
Larasati, H. Hartono, M. dan Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran
Pencernaan Sapi Perah Periode Juni- Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di
Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1 No. 1 : 8
– 15.
22
Levine. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof.
Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Malik, Subhash, Amit Kumar Verma, Amit Kumar, M.K. Gupta, S.D. Sharma.
2012. Incidence of Calf Diarrhea In Cattle and Bufallow Calves in Uttar
Pradesh, India. Asian Jornal of Animal and Veterinary Advadences. 7 (10) :
1049-1054
Margerison, J and N. Downey . 2005. Guidellines for Optimal Dairy Hefer
Rearing and Her Performance. In Calf and Heifer Rearing.Principles of
Rearing the Modern Dairy Heifer from Calf to Calving.Edited by
PC.Garnsworthy Nottingham University Press.
MASON, C and G. CALDOW. 2005. The control and management of calf
diarrhea in beef herds. Technical Note (TN) 576. Supporting the land-
based industries for over a century (SAC). West Mains Road, Edinburgh
EH9 3JG. SAC reseives support from the Scottish Executive Environmrnt
and Rural Affairs Departement.
MOON, H.W. 1978. Mechanism in the Pathogenesis of Diarrhea. A review.
JAVMA.172:443-448.
Priyadi A dan L Natalia. 2005. Bakteri Penyebab Diare pada Sapi dan Kerbau di
Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id [16 April 2018]
Purwanto, H. dan D. Muslih. 2006. Tata Laksana Pemeliharaan Pedet Sapi Perah.
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor.
Soeripto, T. 2002. Manajemen Pengobatan Ternak Perah. Fakultas Peternakan
UGM. Jogjakarta
Soetarno, dan Timan. 2003. Menagemen Budidaya Sapi Perah, Fakultas
Peternakan,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suardana, W. Putri, P.J.R.A , dan Besung, N.K. 2016. Isolasi dan Identifikasi
Escherichia coli O157:H7 pada Feses Sapi diKecamatan Petang,
Kabupaten Badung-Bali. ISSN Vol 8 No. 1 : 30-35.
Subhash, M. Verma, A. M, Amit, K. M. K. and Gupta, S.D,. 2012. Incidence Of
Calf Diarrhea in Cattle and Bufallow Calves in uttar Pradesh. India. Asian
Jornal of Animal and Veterinary Advadences. Vol 7. No. 10 : 1049-1054.
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press.
Sufi, I. M. Cahyaningsih, U. dan Sudarnika, E. 2016. Prevalensi dan Faktor
Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung. ISSN Vol.
10 No. 2
Supar. 1996. Kolibasilosis pada anak sapi perah di Indonesia. Wartazoa Vol. 5:
26-32
Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam
Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escherichia coli Enterogenik,
23
Enteropatogonik dan Verotoksigenik Isolat Lokal untuk Pengendalian
Kolibasilosis Neonatal. Wartozoa Vol. 11 No. 1 : 31-37
SUWITO, W. 2005. Kejadian Escherichia coli verotoksigenik pada susu sapi dari
peternakan di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Tesis. Magister
Sain. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
STOTT, G.H., D.B. MARX, B.E. MENEFEE dan G.T. NIGHTINGALE. 1979a.
Colostral immunoglobulin transfer in calves: I. Period of absorption. J.
Dairy Sci. 62:1632-1638.
Syarief. 1984. Karakteristik Berbagai Jenis Sapi di Indonesia. Skripsi Fakultas
Peternakan. Universitas Padjajaran.
TIZARD, I. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. W.B. Saunder
Company. Philadelphia: 154-177.
TROTZ-WILLIAMS, L.A., B.D. JARVIE, S.W.MARTIN, K.E. LESLIE and
A.S.PEREGRINE. 2005. Prevalence of Cryptosporidium parvum infection
in south western Ontario and its association with diarrhea in neonatal dairy
calves. Can. Vet. J. 46:349-351.
Wudu & B. Kelay & H. M. Mekonnen & K. Tesfu. 2008. Calf morbidity and
mortality in smallholder dairy farms in Ada’a Liben district of Oromia,
Ethiopia. Trop Anim Health Prod 40:369–376
24
LAMPIRAN
Gejala Klinis Diare pada Pedet di Farm Sapi Limpahkuwus
Gambar 3. Diare kuning
Gambar 4. Diare Berdarah Gambar 5. Diare Putih