penanganan kesulitan intubasi

40
Latar Belakang Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter yang bergelut di bidang anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. 1 Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. 1 Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. 1 Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. 1 Referat ini dibuat untuk mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. 1

Upload: berastia-anis-savitri-tjerita

Post on 30-Nov-2015

355 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penanganan Kesulitan Intubasi

Latar Belakang

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter yang bergelut di bidang anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas.1

Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan.1

Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi.1

Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi.1

Referat ini dibuat untuk mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit.

1

Page 2: Penanganan Kesulitan Intubasi

Anatomi

Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan hidung kemudian berakhir di alveolar. Anatomi jalan nafas akan didiskusikan dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan nafas subglotis.1,2,3

Jalan Nafas Supraglottis

Hidung

Jalan nafas supraglottis ada dua bagian yaitu hidung (nasal) dan faring. Salah satu teknik dari intubasi dapat melalui hidung.

Hidung berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk kedalam hidung. Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin pada lubang hidung, dimana didalamnya banyak terdapat pembuluh darah, sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau bronchoscope melalui hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang hidung akan menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring kemudian terbuka dan menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V yang akan menginervasi sensorik pada hidung.

Faring

2

Page 3: Penanganan Kesulitan Intubasi

Gambar 1 Persarafan Jalan Napas1

Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V.1,2,3

3

Page 4: Penanganan Kesulitan Intubasi

Gambar 2 Skema Jalan Napas1

Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.1,2,3

Laring

Laring memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas bawah, sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses pernafasan. Semua fungsi tersebut bergantung pada proses interaksi antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan komponen dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis, Tiroid, Krikoid, Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang Corniculata.2,3

Laring memiliki otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga banyak.2

4

Page 5: Penanganan Kesulitan Intubasi

Struktur Laring

Bentuk struktur laring terdapat pada gambar 2. Tulang Hyoid akan menggantung pada laring dan menempel pada tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid.

Gambar 3 Anatomi Leher1

Kartilago Laring

Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki sudut yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk menonjol dan panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago ini melekat pada membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan kartilago Krikoid di bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen Vestibular melekat pada permukaan bagian dalamnya.2

Kartilago Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan bagian belakang yang lebih lebar melekat pada Esophagus. Sudut anterior melekat pada kartilago tiroid melalui membrane Cricotiroid. Membran Cricotiroid tidak memiliki pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan nafas dalam keadaan gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau dengan menusukan jarum pada bagian tengahnya.2

Kartilago Aritenoid : Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan bagi beberapa otot internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis dan Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya.2

5

Page 6: Penanganan Kesulitan Intubasi

Persarafan Laring

Gambar 4 Persarafan Laryng4

Struktur laring mempunyai persarafan sensorik dan motorik, Fungsi motorik sebagai adduksi (penutupan pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan tegangan (menegangkan pita suara untuk mengeluarkan suara dengan nada tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari otot-otot intrinsic laring berasal dari percabangan Nervus Vagus. Nervus Laringeal Superior adalah cabang dari Nervus Vagus yang berjalan di sisi dalam Arteri Carotis sebelum terbagi menjadi cabang external dan internal. Cabang internal yang besar masuk kedalam membrane Thyroid dan Os. Hyoid. Cabang ini kemudian akan mempersarafi sensorik dari laring. Cabang eksternal dari Nervus Laringeal Superior membawa serabut motorik dari Nervus Assesory Spinalis. Cabang ini berjalan sepanjang kartilago Thyroid mempersarafi otot Cricothyroid. Nervus Laringeal Rekurens meninggalkan Vagus di daerah dada kemudian berjalan di bagian alur tracheoesophageal. Nervus Laringeal Rekurens mempersarafi motorik dari semua otot-otot intrinsik dari laring kecuali otot Cricothyroid. Reflex laryngeal dapat terstimuli di daerah laring atau supraglotis dan dapat menyebabkan tertutupnya pita suara sampai dengan terjadinya laringospasme. Untuk memblok sensorik dari mukosa laring dibutuhkan blok daripada Nervus Laringeal Superior sampai dengan pita suara ditambah dengan blok pada Nervus Laringeal.1,2,3

6

Page 7: Penanganan Kesulitan Intubasi

Epiglotis

Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk tetesan air atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran yang berbagai macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan melekat pada ligamen Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada Aritenoid melalui lipatan Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan ke anterior dan lateral membentuk ruang antara lipatan Faringoepiglotis yang disebut Valecula. Ruang ini merupakan tempat jatuhnya benda asing seperti makanan dan juga merupakan tempat yang tersedia untuk meletakan ujung dari bilah laringoskop Macintosh.1,2,5,9

Jalan Napas Subglottis

Jalan nafas subglotis memanjang dari kartilago Cricoid sampai alveolar.

Trachea

Trakea dimulai dari kartilago Cricoid dan memanjang sampai T 5 (Panjang ±10 – 20 cm). Kartilago tracheal adalah cincin yang tidak utuh bulat dengan bagian posterior berbentuk datar tanpa kartilago. Percabangan bronkus ada ke kiri dan ke kanan dimana pada bronkus kanan sudut percabangannya lebih landai pada orang dewasa sehingga pada saat intubasi endotracheal tube lebih mudah masuk ke bronkus kanan.

Bronkus Lobaris

Paru kanan dan kiri mempunyai anatomi lobus yang berbeda (tabel 6-2). Paru kanan mempunyai tiga lobus yaitu atas, tengah dan bawah sementara paru kiri mempunyai dua lobus yaitu atas dan bawah. Tinggi lobus paru kanan lebih tinggi daripada paru kiri. Perbedaan ini berguna pada pembedaan antara kiri dan kanan pada saat dilakukan bronchoscopy

7

Page 8: Penanganan Kesulitan Intubasi

Intubasi Jalan Napas Normal1,5,6,8,9

Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea.4

Sebelum melakukan intubasi oksigenasi awal menggunakan face mask. Hal ini dilakukan karena pengaplikasiannya yang mudah dan mempunyai konsentrasi O2

yang cukup tinggi. Pada gas flow sebesar 12-15 liter oksigenasi yang dicapai bisa 71-100%. Face mask biasanya digunakan pada saat menunggu pernafasan pasien stabil setelah dilakukannya induksi. Setelah muscle relaxan masuk dan peralatan sudah siap maka akan dilakukan intubasi.1,5,9,11

Face mask sebenarnya dapat menjadi pensuplai oksigen yang adekuat selain intubasi. Akan tetapi ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan pemilihan intubasi daripada menggunakan face mask.9,10,11

Penyulit Oksigenasi dengan Sungkup

Jenggot yang tebal. Index Massa Tubuh >26. Ompong. Usia >55 tahun. Riwayat Snoring.

Prinsip Intubasi9

a. Jalur intravena yang adekuat b. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade yang

tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylete. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsif. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit anestesi

yang berfungsi g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan darah

noninvasiveh. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada kontraindikasii. Alat‐alat untuk ventilasi j. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang tepat.

8

Page 9: Penanganan Kesulitan Intubasi

Gambar 5 Proyeksi Saluran Napas5

Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai “Sniffing Position” dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.1,9,10,11

9

Page 10: Penanganan Kesulitan Intubasi

Alat-alat5,6,9,10

Alat-alat yang digunakan pada tindakan intubasi endotrakheal antara lain :

1) Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop yaitu :

Gambar 6 Laryngoscope Macinttosh Blade6

i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

Gambar 7 Laryngoscope Magill Blade6

ii. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

2) Pipa endotrakheal.

Gambar 8 Endotracheal Tube6

Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher

10

Page 11: Penanganan Kesulitan Intubasi

dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dengan memperkirakan besarnya jari kelingkingnya.

3) Pipa orofaring atau nasofaring.

Gambar 9 Orofaring tube6

Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

4) Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.5) Stilet atau forsep intubasi.

Gambar 10 Stilet Intubasi6

Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

6) IV Line.

Gambar 11 IV Line pada pasien6

IV line sangat krusial untuk intubasi terutama untuk memasukkan obat yang digunakan untuk menunjang intubasi atau untuk mensabilkan pasien.

11

Page 12: Penanganan Kesulitan Intubasi

7) Monitor dan Mesin Gas Anesthesi

Gambar 12 Monitor dan Mesin Gas Anesthesi6

Pada intubasi monitor digunakan untuk memeriksa kestabilan pasien saat dilakukannya intubasi. Sedangkan mesin gas sebagai fasilitator proses oksigenasi sesaat setelah dilakukannya induksi dan sebelum intubasi.

8) Bantal untuk Intubasi

Gambar 13 Bantal Intubasi dan Pengaplikasiannya6

Bantal ini digunakan untuk memudahkan kita membuat pasien dalam keadaan sniffing position

9) Alat pengisap atau suction

Gambar 14 Suction6

12

Page 13: Penanganan Kesulitan Intubasi

Tindakan Intubasi1,9

1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.9

2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi denganpemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.1,9

3) Laringoskop.

Gambar 15 Skema Penggunaan Laryngoscope1

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. 1,9

4) Pemasangan pipa endotrakheal.

Gambar 16 Skema Memasukkan ETT1

13

Page 14: Penanganan Kesulitan Intubasi

Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. 1,9

5) Mengontrol letak pipa.

Gambar 17 Pengontrolan Letak ETT di Trakea1

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadangkadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak m semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. 1,9

6) Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan. 1,9

14

Page 15: Penanganan Kesulitan Intubasi

Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas Sulit1,5,6,7,10,11

Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:

Algoritma ASA9

1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya:

a. Ventilasi sulit.

b. Intubasi sulit.

c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif.

d. Sulit untuk ditrakeostomi.

2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit.

3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan :

A. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA.

B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif.

C. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.

4. Membuat strategi utama dan alternatifnya

15

Page 16: Penanganan Kesulitan Intubasi

16

Page 17: Penanganan Kesulitan Intubasi

Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi dengan tiga “P” yaitu :9,10,11

Prediksi. Preparasi. Practice.

Prediksi

Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.9,10,11

Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan intubasi.7,8

Gambar 18 Diagram Tes Malampati1

Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop.7,8

17

Page 18: Penanganan Kesulitan Intubasi

Gambar 19 Diagram Laryngoskop1

Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.

Derajat I : Pita suara terlihat.

Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.

Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.

Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.

Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.1

Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus.

Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:1

Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.

Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.

Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.

Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.

Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.

Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop.

Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).

18

Page 19: Penanganan Kesulitan Intubasi

Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit.

Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat.

Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi.

Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula.

Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor

yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan semakin rendah.1

Preparasi

Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.9,10,11

Specialized forcep

Gambar 20 Specialized Forcep untuk Intubasi6

Merupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan retrograde intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan intubasi fiberoptic.

19

Page 20: Penanganan Kesulitan Intubasi

Airway Exchange Catheter

Gambar 21 Airway Exchange Catheter6

Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan “Jet Ventilation” untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.

Fiberoptic Laryngoscope

Gambar 22 Fiberoptik Laryngoscope dengan Macintosh Blade dan Fiberoptik untuk bronchoskopi6

Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.1,9,10,11

20

Page 21: Penanganan Kesulitan Intubasi

Laryngeal Mask Airway

Gambar 23 Bagian-bagian LMA1

LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.1,9,10,11

Cook Retrograde Intubation Kit

Gambar 24 Isi dari Cook Retrograde Intubation Kit6

Merupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada trachea.9

21

Page 22: Penanganan Kesulitan Intubasi

Praktek

Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit

Pemasangan Fiber Optic Intubation

Gambar 25 Skema Fiberoptic Intubation5

Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukanendotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.10

Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain9

Gambar 26 Skema Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain5

22

Page 23: Penanganan Kesulitan Intubasi

1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.

2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.

3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air sniffing” dengan cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan. Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga tangan yang dominan.

4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan kaf.

5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.

6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan terasa bila sudah sampai hipofaring.

7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati posisinya.

8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya. 9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila

ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.10. Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan

fiksasi Intubasi Retrograde

Gambar 27 Skema Tata Cara Retrograde Intubation5

23

Page 24: Penanganan Kesulitan Intubasi

Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.1

Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut.

Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45odari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi bantuan.

Ventilasi Transtracheal Jet

Gambar 28 Skema Trans Tracheal Jet1

Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat

24

Page 25: Penanganan Kesulitan Intubasi

berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.10

Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan asesori port telah ada.

Trakeostomi

Gambar 29 Skema Tracheostomi5

Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.1,9,10

25

Page 26: Penanganan Kesulitan Intubasi

Intubasi Pada Kasus Khusus “Cedera Cervical”1

Gambar 30 Skema Intubasi pada Pasien dengan Cedera Cervikal1

Intubasi Pada cedera leher dilakukan dengan cara satu orang menahan kepala dengan kuat pada backboard, biarkan collar cervical tidak termanipulasi. Pastikan bahwa baik kepala maupun leher tidak bergerak saat dilakukan laryngoskop dan intubasi. Orang kedua memberikan tekanan pada tulang rawan cricoid dan orang ketiga melakukan laryngoskopi dan intubasi.1

26

Page 27: Penanganan Kesulitan Intubasi

Daftar Pustaka

1. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray, (2006), Clinic Anesthesiologi, McGraw Hill, New York.

2. William, R. Peter, (1995), Gray’s Anatomy, Churchil Livingstone, New York.3. Tjunt & Earley, (1995), Anatomy and Physiology, FA Davis Company, Philadelphia.

Bookmark int4. Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation,

http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html diakses tanggal 27 Mei 2013

5. Inland Medical Equipment, http://www.medquipex.com/shop/category.aspx?

catid=48, diakses tanggal 27 Mei 2013

6. Envio Medical Equipment, http://www.evolutionnews.org/2010/10/

_of_the_lary039211.html, Diakses tanggal 27 Mei 2013

7. Zahid Hussain Khan M.D, Phonation on Malampati Score Tehran University Medical

Journal, September 2012; Vol. 70, No. 6:357-364

8. Tham EJ, Gildersleve CD,Br J Anaesth. 1992 Jan;68(1):32-8.Department of

Anaesthetics, University of Wales College of Medicine, Heath Park, Cardiff.

9. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita

Selekta Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta.

10. Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku

Kedokteran, Jakarta.

11. Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation,

http://www.medstudents.com /orotrachealintubation/medicalprocedures.html, Diakses

tanggal 27 Mei 2013

27

Page 28: Penanganan Kesulitan Intubasi

Referat

Intubasi Jalan Napas Sulit

DISUSUN OLEH :

Putu Aditya Darmawan Kuntadi 08700077

PEMBIMBING :dr. Bambang Soekotjo, M.Sc, Sp.An

BAGIAN ANESTHESISMF ILMU BEDAHRSUD dr. M. SALEH PROBOLINGGOFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYATAHUN 2013

28