penanganan rabies

24
PENANGANAN RABIES BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Rabies merupakan bentuk enchephalitis hebat dengan gejala klinis unik yang selalu menghasilkan kematian. Beberapa kasus menunjukkan gejala paralisis, khususnya pada saat postexposure prophylaxis. Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya dapat berkembang biak di dalam jaringan saraf. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan dengan menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet. Masa Inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang masuk, serta jumlah luka gigitan 1 . Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, , virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis. 2 Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Berbagai penelitian SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 1

Upload: lisa-trisnawati-chaniago

Post on 29-Nov-2015

173 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

rabies

TRANSCRIPT

Page 1: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Rabies merupakan bentuk enchephalitis hebat dengan gejala klinis unik yang selalu

menghasilkan kematian. Beberapa kasus menunjukkan gejala paralisis, khususnya pada saat

postexposure prophylaxis.

Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya dapat

berkembang biak di dalam jaringan saraf. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi

mudah dimatikan dengan menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan

radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet. Masa Inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu

setelah gigitan hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka

gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah

virus yang masuk, serta jumlah luka gigitan 1.

Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang.

Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, ,

virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies

menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan

encephalomyelitis.2

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Berbagai

penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing

pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR

dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 1

Page 2: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua

mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar

pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi

jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1

Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die

tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.4

2.2 SEJARAH

Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi

(SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM.

Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad

pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro,

seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemostrasikan adanya infeksi pada

susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya

vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan

ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada

tahun 1960.4

2.3 ETIOLOGI

Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk

peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus.

Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,

membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan

merangsang imunitas sel T.1

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 2

Page 3: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Gambar 1 Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari

1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus

juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium.4

2.4 DISTRIBUSI DAN INSIDENSI

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas

rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,

Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia

sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies

adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001

menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,

Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di

Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di

Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat

beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan

status bebas rabies perlu ditinjau kembali.

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 3

Page 4: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Gambar 2.

Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia

2.5 EPIDEMIOLOGI

Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan terutama

oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan Sylvatic, disebarluaskan oleh

sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada

manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika

terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan

udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health

Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan

lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan

adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan

sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara – negara

yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4

Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies

untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika

Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan

vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering

daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies

pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,

dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%.4

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 4

Page 5: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga

pernah ditemukan.4

2.6 TRANSMISI

Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,

serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus

(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh

merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum

pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka

pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan

anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi

(serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana

dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa

adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau

akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga

dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4

2.7 PATOGENESIS

Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam membran

mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem

saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik

ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus

mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia

kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai

jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-paru, hepar,

otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.4

Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun

(rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang

masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan virus

dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi

yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi.4

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 5

Page 6: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Gambar 3. Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan dan Manusia

2.8 MANIFESTASI

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7

hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi

kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa

inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi

oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf

pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala

inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4

Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,

(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak

yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies

yang mendalam.1

Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan

demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea,

dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif.

Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau

fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 6

Page 7: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.

Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.1

Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan

berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. 4

Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,

rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan

alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis

fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi

bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai pasien

akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya

terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada pemeriksaan

fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil

yang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda

paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda,

dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.

Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.

Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran

tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien

menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan

kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis

virus lainnya.

Gambar 4 : Manifestasi Klinis gejala rabies

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 7

Page 8: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum

20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1

Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies

Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

Inkubasi

Prodromal

Neurologik akut

Furious (80%)

Paralitik

Koma

< 30 hari (25%)

30-90 hari (50%)

90 hari – 1 tahun (20%)

>1 tahun (5%)

2-10 hari

2-7 hari

2-7 hari

0-14 hari

Tidak ada

Parestesi, nyeri pada luka gigitan,

demam, malaise, anoreksia, mual

& muntah, nyeri kepala, lethargi,

agitasi, anxietas, depresi

Halusinasi, bingung, delirium,

tingkah laku aneh, agitasi,

menggigit, hidropobia,

hipersalivasi, disfagia, afasia,

inkoordinasi, hiperaktif, spasme

faring, aerofobia, hiperventilasi,

disfungsi saraf otonom, sindroma

abnormalitas ADH

Paralisis flaksid

Autonomic instability,

hipoventilasi, apnea, henti nafas,

hipotermia/hipertermia, hipotensi,

disfungsi pituitari, rhabdomiolisis,

aritmia dan henti jantung

2.9 KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase

koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada

hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 8

Page 9: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia

dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan

aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi

hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan

terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi

dan gangguan otonomik.4

2.10 TEMUAN LABORATORIUM

Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas

terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi

lainnya. Jumlah leukosit agak meningkat tapi mungkin juga normal.1

Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi

virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan (otak)],

(2) uji serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi,

misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak.1

Fluororescent antibodi test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies

di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%.

Pada awal penyakit (minggu I) FAT merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat

terjadi negatif palsu.4

Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test

(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2

Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan

melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)4

2.11 DIAGNOSIS BANDING

Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan gejala

neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di

daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4

Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik

orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan

rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada

penderita rabies sering merasa haus.4

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,

adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 9

Page 10: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan

dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4

Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse

myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post

vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak

ada gangguan sensorik.

Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies

vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis

pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi

virus akan membantu diagnosis.4

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari

ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus,

dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes

simpleks tipe 1, varicella-zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur

pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat

membantu menolong penegakan diagnosa.1

2.12 PENATALAKSANAAN RABIES

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun

tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan

intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup

pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi

penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsangan-

rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit

perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan

yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya

akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus

tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies

adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.4

Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk

memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus,

interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 10

Page 11: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Kategori Pajanan Terhadap Binatang Kelinci Dengan Rabies

Tindakan Pasca Pajanan

Kategori I – Menyentuh atau memberi makan hewan, menjilat pada kulit utuh (tidak ada paparan)

Tak perlu tindakan

Kategori II – Gigitan pada kulit, goresan kecil atau lecet tanpa pendarahan

Segera lakukan tindakan vaksinasi dan pengobatan lokal terhadap luka

Kategori III – Gigitan atau goresan transdermal yang tunggal atau multipel, menjilat pada kulit yang rusak, Kontaminasi selaput lendir dengan air liur dari jilatan, pajatan oleh kelelawar

Segera lakukan vaksinasi dan pemberian imunoglobulin rabies, pengobatan lokal terhadap luka

Tabel : Fitur Profilaksis Pasca Pajatan Untuk Infeksi Rabies Oleh WHO

Gambar 5 : Penatalaksanaan gigitan hewan tersangka rabies

2.13 PENCEGAHAN

Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies

pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan

pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan

lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada

spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam

kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus, sebaiknya menerima

profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif

dan komplikasi. 1

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 11

Page 12: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat

pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin. Binatang buas atau yang

sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat dalam

pemajanan rabies, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh

secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai

untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik

fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak

mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati.1

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,

diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang

abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk

pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan

bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus

rabies rabies pada waktu menggigit.

Penanganan luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka

gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan

seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan binatang penular

rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan

sementara (bila terjadi pendarahan hebat). Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi

bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4

Profilaksis pasca – paparan

Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan neutralizing antibody

terhadap virus rabies agar antibodi terhadap rabies dapat segera terbentuk dalam serum

setelah masuknya virus kedalam tubuh dan antibodi sebaiknya terdapat dalam titer yang

cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing

antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif

diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1

Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine

(NTV); b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang

berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero

Cell Rabies Vaccine (PVRV).4

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 12

Page 13: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua

kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor

rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan

memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja.4

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa

pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis

0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR

0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada orang yang sudah

mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies,

vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat,

vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan

dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian

SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada

tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis

pertama SAR.4

Profilaksis pra-pemajanan

Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter hewan,

penyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya mendapat

profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-

daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan

mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL

secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4

Efek samping/komplikasi vaksinasi

Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat

memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa

udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa

panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian

kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4

Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala

sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan

kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan

protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 13

Page 14: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

saraf. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dilaporkan lagi komplikasi

ensefalomielitis.4

SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.

Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan

pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4

Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar

20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya.1

2.14 PROGNOSIS

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai

sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien

yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies

yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak

hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung

ataupun paralisis generalisata.

Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800

kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan

luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

Gambar 5. Rabies Secara Umum

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua

mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 14

Page 15: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi

kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.

3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies.

4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi.

dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan

Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa

tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.

5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,

serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus

(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.

6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2)

ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak

yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma

rabies yang mendalam.

7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.

Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak

menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila

mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan

kardiovaskuler yang sering terjadi.

8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai

sistem saraf pusat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM & PPL tahun 2000. Dalam :Petunjuk

Pemberantasan Rabies di Indonesia. Filetype : PDF

2. Repository USU. Dalam : Rabies. Filetype : PDF

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 15

Page 16: penanganan rabies

PENANGANAN RABIES

3. Ida Lestari Soedijar dan Dewa Made Ngurah Dharma. Dalam : Review Rabies. Filetype :

PDF

4. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM & PL Tahun 2000. Dalam : Petunjuk

Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Hewan Tersangka/Rabies di Indonesia. Filetype :

PDF

5. Centers for Disease Control and Prevention. In : Rabies. Available from : http://www.cdc.gov/rabies/

6. Mayo Clinic. In : Rabies. Available from : http://www.mayoclinic.com/health/rabies/DS00484

7. PubMed Health. In : Rabies. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002310/

SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 16