penanggulangan tindak pidana korupsieprints.undip.ac.id/73420/1/penaggulangan_korupsi_(1).pdf ·...
TRANSCRIPT
i
PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Dr. Pujiyono, SH.MHum
PENERBIT PUSTAKA MAGISTER
SEMARANG 2015
ii
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pujiyono Semarang; Penerbit Pustaka Magister, 2015 xxviii + 137 hlm; 23 cm
ISBN: xxxxxxxxxxx
PENERBIT PUSTAKA MAGISTER SEMARANG Jalan Pucangsari Timur IV/19 Pucanggading Mranggen - Demak
iii
KATA PENGANTAR
Buku Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ini bertujuan
untuk melengkapi khasanah penegakan hukum di bidang Pidana
Korupsi, yang sebenarnya sudah banyak ditulis oleh para pakar
hukum pidana. Buku ini merupakan wujud keprihatinan dan
keresahan akan meraknya tindak pidana korupsi di Indonesia, baik
dari lapisan masyarakat teratas, seperti anggota DPR, para pejabat
negara sekelas Menteri sampai pada lapisan masyarakat terbawah.
Menurut penulis, pemahaman mengenai “hukum” tindak pidana
korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam
upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Perspektif yuridis
tidak hanya bersifat normatif, tetapi bersifat multi dimensional
berkaitan dengan bagaimana sebuah kebijaksanaan itu dibuat,
sebab untuk memahami teks perundang-undangan sebagai sebuah
“kebijaksanaan” dibutuhkan pengetahuan sosiologikal, historikal
dan kultural. Seorang tidak dapat hanya berangkat dari norma
untuk melakukan penanggulangan tindak pidana.
Khusus mengenai penanggulangan “tindak pidana korupsi”
adalah berkaitan dengan revolusi mental bangsa Indonesia, bukan
sekedar penegakan hukum biasa yang bersifat preventif dan
represif. Penanggulangan, lebih dalam lagi adalah sebuah revolusi
mental yang berdasarkan kepada “pengetahuan” fisik–nonfisik
dari hukum, yang menunjuk kepada “jati diri” masyarakat dimana
iv
sebuah kebijakan itu dibuat. Nilai-nilai, dan kaedah yang hidup
dan menjadi “daya” masyarakat haruslah menjadi landasan dari
pembentukan sebuah kebijakan.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................... v
BAB I....................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TINDAK PIDANA
KORUPSI ................................................................................... 1
B. PENGERTIAN DAN SEJARAH PENGATURAN TINDAK
PIDANA KORUPSI ................................................................... 7
C. KEKUASAAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI ................................................................. 14
1. Era Pemerintahan Presiden Soekarno ............................... 14
2. Era Pemerintahan Presiden Soeharto ................................ 15
3. Era Pemerintahan Presiden Habibie .................................. 16
4. Era Presiden Abdurrahman Wahid.................................... 17
5. Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ....... 17
6. Era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudayono ............... 18
D. SEJARAH UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI SEBELUM UU-PTK .............................................. 19
BAB II ................................................................................................... 23
RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI ............................ 23
A. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI ......................................... 23
1. Tindak Pidana Korupsi Berkaitan Kerugian Keuangan
Negara ............................................................................... 25
a. Isi Pasal dan Unsur-unsurnya....................................... 25
b. Penjelasan Unsur Tindak Pidana ................................. 30
vi
2. Tindak Pidana Korupsi yang Berkaitan Dengan Suap
Menyuap. .......................................................................... 38
3. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan
jabatan. .............................................................................. 51
4. Tindak Pidana Korupsi yang masuk dalam kelompok
pemerasan. ........................................................................ 56
5. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan
curang. .............................................................................. 60
6. Tindak Pidana Korupsi yang berbenturan adanya
pengadaan barang. ............................................................ 65
7. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Gratifikasi.
.......................................................................................... 67
B. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN TINDAK
PIDANA KORUPSI. ................................................................ 70
C. KELEMAHAN SUBSTASIAL (JURIDIS MATERIEL)
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI ............ 77
D. SUBJEK DAN PERTANGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI ........................................................................... 92
1. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi .......... 92
2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................. 95
BAB. III................................................................................................. 96
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI .................... 96
A. LEMBAGA PENYIDIKAN ......................................................... 99
1. Penyidik Polri. ................................................................ 100
2. Penyidik Kejaksaan ........................................................ 103
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ...................... 107
B. LEMBAGA PENUNTUTAN ................................................ 119
1. Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan............................. 120
vii
2. Penuntut Umum Lembaga KPK...................................... 124
C. PENGADILAN TIPIKOR ...................................................... 129
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI
Tidak disangkal Indonesia adalah negara besar, kekayaan alam
yang melimpah ternyata tidak mampu memakmurkan rakyat.
Kehidupan di bawah garis kemiskinan mendominasi statistik
penghitungan tingkat kesejahteraan masyarakat. Korupsi
merupakan penyebab utama, kekayaan tersentral pada “segelintir”
orang, tidak terdistribusi secara merata. Korupsi berkembang
sangat menggurita, menelusup disegala bidang kehidupan,
“menyandera”, “menghambat” bahkan “menghancurkan”
pembangunan, baik pembangunan fisik maupun nilai-nilai sosial.
Stigma bahwa korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia,
membuat pencitraan Indonesia di mata dunia semakin buruk.
Berdasarkan publikasi Political and Economy Risk Consultancy
(PERC)1 baru-baru ini, Indonesia kembali dikategorikan sebagai
negara terkorup di Asia Pasifik. Dari 16 negara yang disurvei,
Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup, diikuti
Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India,
Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amarika
Serikat, Hongkong, Auastralia dan Singapura. Skor Indonesia 9,27
1 Siaran Pers Transparency International-Indonesia, tanggal 10 Maret 2010
2
dalam skala 0-10, di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat
korup, keadaan ini turun sangat siginifikan dibanding tahun lalu di
mana Indonesia mencapai skor 8,32.
Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan
perekonomian nasional, akan tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra
measure).
Korupsi terkait dengan berbagai permasalahan, “ia” merupakan
problem social sehingga tidak hanya permasalahan hukum dan
penegakannya, akan tetapi menyangkut masalah moral, sikap
mental, masalah pola hidup serta budaya dan lingkungan social,
masalah struktur/system ekonomi , masalah sistem/budaya politik,
masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/
prosedur administrasi termasuk sistem pengawasan di bidang
keuangan mapun pelayanan public. Jadi kausa dan kondisi yang
bersifat kriminogin timbulnya korupsi sangat luas (multi
dimensional) yaitu bisa di bidang moral, social, ekonomi, politik,
budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya2.
2 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 86
3
Para pakar mempunyai pendapat yang sama, bahwa penyebab
timbulnya korupsi bersifat multi dimensional. Faktor politik atau
yang berkaitan dengan kekuasaan merupakan sumber inistrasi
negara, sebagai “Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluargkorupsi berkaitan
dengan penyalah gunaan kekausaan. John Emerich Edward
Dalberg Acton, biasa dikenal dengan Lord Acton menyatakan
bahwa kekuasaan merupakan sumber korupsi. Rumusan terkenal
yang tidak terbantahkan hingga saat ini dari ucapannya dari Lord
Acton adalah bahwa “Power tend to corrupt, absolute power
corruptsabsolutely”. Faktor lemahnya perumusan dan sanksi
hukum serta faktor budaya, terutama budaya feudal merupakan
faktor-faktor tumbuh suburnya korupsi. Syed Hussein Alatas,
dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Korupsi: Sebuah
Penjelajahan dengan Data Kontemporer”, mengidentifikasi
beberapa sumber munculnya korupsi, yaitu3:
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi
kunci yang mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan
korupsi;
2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika;
3 Syed Hussein Alatas, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 46-47
4
3. Kolonialisme, karena suatu pemerintahan asing tidak
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi;
4. Kurangnya pendidikan;
5. Kemiskinan;
6. Tiadanya tindakan hukuman yang keras;
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti
korupsi;
8. Struktur pemerintahan;
9. Perubahan radikal, yang menjadikan korupsi muncul sebagai
suatu penyakit transisional;
10. Keadaan masyarakat yang kondusif untuk tumbuhnya korupsi.
Menurut Syed Hussain Alatas dalam bukunya yang berjudul
“Sosiologi Korupsi” dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi
memiliki cirri-ciri4:
a. senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. dilakukan secara rahasia.
c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal
balik.
d. Biasanya tetap berlindung di bawah payung hukum.
e. Mengandung penipuan
4 Syed Hussen Alatas, Ibid
5
f. Menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
g. Sebagai bentuk pengkhianatan
Kerusakan akibat korupsi tidak hanya bersifat lokal, secara
internasional dampak akibat korupsi sangat dirasakan oleh Negara
Maju maupun Negara Berkembang. Oleh karena itu bahaya/akibat
korupsi yang sangat luas dan multidimensi, sering dinyatakan
dalam berbagai statement global, antara lain5 :
a. Dalam Resolusi "Corruption in government" Kongres PBB ke
8/1990 mengenai "the Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders" di Havana (Cuba) dinyatakan, bahwa korupsi di
kalangan pejabat publik ("corrupt activities of public
official"):
dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua
jenis program pemerintah ("can destroy the potential
effectiveness of all types of governmental programmes");
dapat mengganggu/menghambat pembangunan ("hinder
development"); dan
menimbulkan korban individual maupun kelompok
masyarakat (“victimize individuals and groups”).
5 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 69-70
6
b. Di dalam Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo antara lain juga
ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius karena :
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat
(endangers the stability and security of societies);
merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas (undermined
the values of democracy and morality); dan
*membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik (jeopardizes social, economic and political
development).
c. Di dalam UN Convention Against Corruption yang telah
diterima oleh Majelis Umum PBB pada 31 Oktober 2003,
antara lain dinyatakan bahwa korupsi merupakan :
ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat
to the stability and security of societies);
merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi
(undermining the institutions and values of democracy),
merusak nilai-nilai moral dan keadilan
(underminingethical values and justice);
membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan
“rule of law” (jeopardizing sustainable development and
the rule of law); dan
mengancam stabilitas politik (threaten the
politicalstability).
7
B. PENGERTIAN DAN SEJARAH PENGATURAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio –
corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa
Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta di dalam
Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya
menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak
jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan6.
Menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law
Dictionary korupsi disebut sebagai perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain,
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari
pihak lain7.
Dalam working paper di forum International Monetary
Found, Vito Tanzi menyatakan pengertian korupsi adalah sebagai
“perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di
sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat
6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, Cetakan Keempat, 1996, hal. 115 7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing,St.Paul Minesota, 1990
8
berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul,
termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme8.
Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi dari perspektif adma
dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi”.9
Syed Hussein Alatas menyebut korupsi sebagai
penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi, “corruption
is the abuse of trust in the interest of private gain”10.
Korupsi yang dipahami oleh masyarakat secara umum
sebagai hasrat buruk untuk memperkaya diri dengan
penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan tercela lain, tentunya
bukan potret mati tanpa dapat ditelusuri latar belakang dan
konsep-konsep ide yang melatar belakangi munculnya tindak
pidana tersebut. Dalam kerangka berfikir pelaku tentunya ada dan
ditentukan oleh motif-motif atau tujuan tertentu, yang mungkin
bisa bersumber pada permasalahan ekonomi, moral, politik
bahkan budaya.
Hasrat untuk melakukan korupsi yang terjadi karena
dorongan-dorongan yang bersifat budaya telah banyak
dikemukakan para ahli. Stanley Karnow menyatakan bahwa
8 Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Market, IMF Working Paper, Agustus 1994, hal.3 9 Robert Klitgaard, Memberantas Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal. 31 10 Syed Husen Alatas, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, Aldershot, Brookfield, Vt: Avebury.
9
merebaknya korupsi di Philipina tidak dapat dilepaskan dengan
adanya budaya yang dikenal dengan istilah sistem compradazgo.
Dalam sistem ini dikenal adanya hubungan interpersonal antar
anggota masyarakat berbentuk suatu jaringan kerja ritual kerabat-
kerabat dan kerabat-angkat yang menuntut adanya kesetiaan lebih
tinggi diantara masyarakat Philipina, melebihi kesetiannya
terhadap lembaga resmi manapun. Jaringan seperti itu muncul
dilatar belakangi adanya budaya “utang na loob”, yaitu budaya
hutang budi. 5 Budaya local di banyak daerah di Indonesia juga
bisa berpotensi sebagi pemicu (factor criminogen) timbulnya
korupsi. Di Indonesia dalam kehidupan masyarakat lazim berlaku
untuk memperhatikan kondisi ekonomi keluarga dan komunitas
dengan cara menyantuni sanak keluarga yang lebih miskin.
Budaya ini menurut Syafri Sairin,6 berjalan bersama dengan azas
reciprocity, yaitu kewajiban untuk mengembalikan pemberian
yang pernah diterimanya di masa lampau dari keluarga dan
komunitasnya karena berlaku prinsip social exchange (pertukaran
sosial). Terkait dengan kondisi tersebut di atas, Banfeld
menyatakan bahwa korupsi adalah ekspresi dari sikap
partikularisme yaitu perasaan wajib membantu keluarga dekat.
5 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, diterjemahkan dari judul aslinya “Controlling Curruption” oleh Hermojo, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001),hal. xxiii 6 Amir Santoso, Korupsi : Penyebab dan Saran Pemberantasannya, dalam Korupsi Musuh Bersama editor Musni Umar (Jakarta, Lembaga Pencegah Korupsi, 2004), hal. 81
10
Lebih jauh sikap partikularisme ini menimbulkan nepotisme.7
Munculnya tindak pidana korupsi juga bisa terdorong oleh karena
pemahaman terhadap konsep apa yang diimaksud dengan korupsi.
Sutandyo menjelaskan bahwa dalam khazanah bahasa-bahasa
lokal di Indonesia tidak dikenal istilah yang mengarah kepada
pengertian korupsi. Pemberian rakyat kepada penguasa yang
lazim disebut sebagai upeti tidak dianggap sebagai sogok
(korupsi. Pen) yang dilarang dalam dunia modern. Sebaliknya,
pemberian dari penguasa kepada anggota keluarga dekat dan
kepada rakyatnya meskipun diambilkan dari harta negara, tidak
dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Pemberian itu
malahan dianggap sebagi “mengayomi lan ngayemi” (mengayomi
dan menenteramkan perasaan) rakyat.8 Dalam masyarakat
Meksiko meluas apa yang disebut sebagai personalisme dan
amistad, yaitu loyalitas primer kepada keluarga dan sahabat-
sahabat bukannya ke arah pemerintah atau badan-badan
administrasi, yang secara signifikan telah mendorong tumbuh
berkembangnya korupsi. Orang-orang Meksiko memperlakukan
satu sama lain sebagai pribadi, dengan akibat kode hukum tingkah
laku yang telah diformalkan tidak punya arti dalam masyarakat.
7 Ibid, hal. 82 8 Ibid. hal. 79-80
11
Kedudukan hukum kalah dan dilemahkan dengan personalisme
dan amistad tersebut. 9
Beberapa contoh yang mengemuka tersebut menarik untuk
dicermati, terutama dalam perspektif interaksi sosial, yang
ternyata perilaku korupsi mempunyai keterkaitan yang sangat kuat
dengan struktur sosialnya. Disini ada ketergantungan antara
pelaku korupsi dengan masyarakatnya, yaitu adanya upaya
pemenuhan kebutuhan pelaku korupsi akan tuntutan-tuntutan
sosial terhadap rasa solidaritas masyarakat. Seseorang merasa
perlu melakukan sesuatu perbuatan meskipun nota bene perbuatan
tersebut sebagai pelanggarann hukum, hanya semata-mata karena
seseorang ingin dihargai dan diakui sebagai anggota masyarakat.
Terkait dengan hal ini Robert Merton dalam teorinya tentang
Meanseds Scema menyatakan bahwa korupsi merupakan perilaku
individu untuk memperoleh pengakuan sosial dari
lingkungannya.10 Jadi dalam hal ini ada tingkat interdependensi
(ketergantungan) yang sangat tinggi dari seseorang anggota
komunitas masyarakat terhadap kebutuhan penerimaan,
pengakuan dan penghargaan sebagai anggota masyarakat.
Sehingga dalam hal ini berlaku hipotesa, seorang anggota
masyarakat tanpa pengakuan dan penghargaan komunitasnya
adalah sebagai individu yang tidak mempunyai arti, merasa
9 Robert Klitgaard, Op-cit, hal. 82-823 10 Ibid. hal. 81
12
terasing dan dalam tataran tertentu bisa merupakan hal yang
sangat menyakitkan, menderitakan lebih dari sekedar penjatuhan
pidana oleh pengadilan. Keadaan semacam ini semakin terasa
manakala pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai
kedudukan, posisi, jabatan, atau berkuasa, dan memiliki strata
sosial yang tinggi. Kebanyakan pelaku korupsi menyandang
predikat seperti itu, sehingga kejahatannyapun sering disebut
sebagai kejahatan krah putih (white collar crime), kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang punya kedudukan atau jabatan
dalam masyarakat.
Dalam sudut pandang budaya, orang bisa melakukan tindak
pidana yang berkualitas sebagai korupsi karena dorongan-
dorongan pemenuhan pengakuan akan eksistensinya sebagai
warga dari suatu komunitas, dalam perspektif budayapun secara
terbalik potensi ini dapat digunakan sebagai sarana alternatif
dalam pemberantasan korupsi. Korupsi yang dipersepsi dalam
kontek budaya oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
bermoral, tercela, buruk, merugikan sehingga harus ditolak,
seharusnya bisa menjadi sarana yang sangat baik untuk mencegah
korupsi, apabila pemahaman bahwa korupsi sebagai perbuatan
tersecela tersebut tidak berhenti dalam tataran konsep, akan tetapi
secara operasional di direfleksikan dalam kehidupan
bermasayrakat, berupa tindakan penolakan perbuatan dan pelaku
korupsi. Sanksi sosial berperan secara aktif untuk difungsikan
13
sebagia sarana pengintegrasi perilaku, dalam hal ini sanksi sosial
berfungsi ganda, sebagai saranna penindakan (represif) dan
pencegahan (preventif), terhadap perilaku menyimpang berupa
korupsi. Terkait dengan permasalahan ini teori Reintegrative
Shaming relefan untuk diketengahkan, sebagai salah satu
alternatif diantara sekian cara untuk mengeliminer kalau tidak
dapat dikatakan sebagai sarana memberantas atau menghilangkan
korupsi.
Terlepas dari berbagai ragam pengertian dan hakekat korupsi
sebagaimana diuraikan tersebut di atas, secara yuridis pengertian
korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan di dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tinda Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tinda Pidana Korupsi dan undang-undang
sebelumya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas
kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga
perbuatan-perbuatan lain yang memenuhi rumusan delik yang
menurut sifatnya merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Ketentuan ini terlihat dari bermacam-macam tindak pidana
korupsi yangdiatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
14
disebut UU No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16
Agustus 1999 diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140. UU
No. 31 Tahun 1999 menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian dirubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU No. 20 Tahun 2001), diundang pada tanggal 21
Nopember 2001, kedua undang-undang tersebut secara bersama-
sama selanjutnya disebut UU-PTK.
C. KEKUASAAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Upaya pemberantasan korupsi seakan menjadi komitmen
setiap regim pemerintahan di Indonesia, sejak Pemerintahan
Presiden Soekarno hingga sekarang ini. Hal tersebut dapat kita
telusuri dari kebijakan penaggulangan tindak pidana korupsi yang
ada pada era setiap regim pemerintahan, sehingga memunculkan
lembaga/komisi baru dan peraturan-perundang-undangan khusus
tentang korupsi.
1. Era Pemerintahan Presiden Soekarno
Sejak pemerintahan pertama Indonesia terbentuk, sejak saat
itu pula muncul benih-benih korupsi oleh oknum-oknum mulai
menggerogoti kekayaan Negara dan menyengsarakan rakyat. Pada
15
Era Presiden Soekarno saat itu membentuk “Pasukan Khusus”
yang dikomandani oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil KSAD
dengan mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957. Operasi Budhi pernah dijalankan pada tahun
1963 dan dalam waktu 3 (tiga) bulan mampu menyelamatkan
uang Negara Rp. 11 Miliar, tetapi karena dianggap mengganggu
prestise Presiden operasi tersebut dihentikan.
2. Era Pemerintahan Presiden Soeharto
Ketika pemerintahan Soekarno jatuh dan menandai kelahiran
Orde Baru, Presiden Soeharto dengan semangat memberantas
tindak korupsi membuat lembaga negara yang sama dengan nama
berbeda. Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksa
Agung, akan tetapi tetap saja tidak menyentuh Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan dan lembaga negara yang dianggap sarang
koruptor. Pada tahun 1967 keluar Keputusan Presiden Nomor 228
tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya dibentuk Komisi Empat berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 12 tahun 1970. Komisi ini bertugas meneliti dan
mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan
korupsi. Selanjutnya untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki
Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3
Tahun 1971. Pemerintah Orde Baru juga mencanangkan Operasi
Tertib (Opstib) yang berlanjut dengan Instruksi Presiden Nomor 9
tahun 1977 tentang pembentukan Tim Operasi Tertib. Tim itu
16
untuk meningkatkan daya dan hasil guna serta meningkatkan
kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktek-
praktek penyelewengan dalam segala bentuk. Dipenghujung era
Orde Baru Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang Undang
Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Menurut
undang undang itu, baik pemberi maupun penerima bisa didakwa
melakukan kejahatan. Juga muncul peraturan tentang Displin
Pegawai Negeri yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 30
tahun 1980.
3. Era Pemerintahan Presiden Habibie
Periode Pemerintahan Presiden Habibie secara progresif telah
melahirkan beberapa lembaga atau komisi baru yang bertujuan
untuk memberantas korupsi seperti KPKPN, KPPU dan Lembaga
Ombudsman. Meskipun Sidang Umum MPR menghasilkan Tap
MPR No XI/MPR/1998 salah satu ketetapan Ombudsman. yang
secara tegas menuntut lahirnya pemerintah yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kemudian Pemerintah
dan DPR menghasilkan Undang Undang Nomor 28 tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
KKN. Nampaknya dalam masa jabatan yang singkat, Presiden
Habibie juga belum mampu menuntaskan permasalah korupsi di
negeri Indonesia. Meskipun penyempurnaan UU No 3 tahun 1971
dilakukan dengan keluarnya UU No 31 tahun 1999 tentang
17
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. usaha pemberantasan
korupsi dimulai oleh
B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru
seperti KPKPN, KPPU atau Lembaga Ombudsman. Presiden
4. Era Presiden Abdurrahman Wahid
Pada saat pemerintahan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid,
keluarlah Keputusan Presiden No 127 tahun 1999, pemerintah
membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara dikuatkan pula Terbitnya surat Keputusan Presiden
tanggal 13 Oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan
penyelenggara negara berdasarkan standar pemeriksaan yang telah
ditetapkan. Dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional kemudian
menyusul Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
akan tetapi menjadi ironi tersendiri ketika Gus Dur harus lengser
dengan dugaan korupsi (Bantuan Sultan Brunei dan Dana Non
Bugeter Bulog).
5. Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Sedangkan pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa
dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah
Agung. Meskipun Indonesia yang diwakili Menteri Kehakiman
18
dan HAM Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Korupsi di New York, Kamis 18
Desember 2003, sejarah perjuangan pemberantasan korupsi belum
dan tidak akan pernah tuntas. Sikap pesimis ini didapat dari hasil
laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dari
anggaran Negara yang telah diperiksa Rp 36,257 triliun pada
semester I 2002 sebanyak 17,71persen bocor dan menguap tak
jelas.
6. Era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudayono
Berdasarkan fakta sejarah diatas, masyarakat Indonesia
seakan menaruh harapan besar kepada pemerintah hasil pemilu
2004 dalam memberantas korupsi yang jelas merugikan
kehidupan berbangsa. Berbagai kasus pengungkapan korupsi
maupun yang masih terindikasi korupsi banyak terekam media
dan menghebohkan masyarakat kita, fakta persidangan
memperlihatkan bahwa berbagai pimpinan atau elit dari berbagai
instansi lembaga negara terjerat kasus korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tukang jagal yang
meradang menerjang semua pelaku kejahatan korupsi, sehingga
harapan rakyat tentang pengelolaan negara tanpa korupsi semakin
terlihat keberhasilannya. Namun badai besar tengah menyelimuti
pemberantasan korupsi di Indonesia, nahkoda KPK, Antasari
Azhar tersangkut kasus pembunuhan berencana. Selain hal yang
mencengangkan itu, tenggat waktu yang diberikan oleh
19
Mahkamah Konstitusi, DPR dan Presiden harus mengesahkan UU
Pengadilan Tipikor paling lambat hingga 19 Desember 2009,
sementara masa tugas anggota DPR RI periode 2004-2009 akan
berakhir September mendatang. Jadi memasuki detik-detik
penentuan kejelasan konstitusi dalam melakukan pemberangusan
korupsi, intrik dan friksi politik yang lebih terlihat ketimbang
keinginan dan kesadaran bahwa kejahatan tersebut dapat kita
hilangkan dari bumi Indonesia jika kita bersama-sama
mencegahnya. Tindakan prefentif itu adalah segera lahirnya UU
Tipikor karena tanpa itu, sejarah pemberantasan korupsi akan
mengiringi setiap gerak kehidupan bangsa.
D. SEJARAH UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
SEBELUM UU-PTK
Sejarah pengaturan korupsi dalam perundang-undangan di
Indonesia11:
a. Dalam KUHP terdapat kelompok tindak pidana yang
dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) misalnya Pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423,
425, 435.
b. Istilah korupsi masuk dalam istilah yuridis di
Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat tindak pidana
11 Periksa dan perbandingkan dengan, Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2005, hal. 22-23
20
korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958. Peraturan
militer ini muncul karena militer mengganggap tidak
ada kelancaran dalam dalam usaha memberantas
perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja
yang dapat menerobos kemacetan usaha
pemberantasan korupsi. Tujuan diadakannya peraturan
penguasa perang ini agar perbuatan korupsi yang saat
itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
c. Untuk menyempurnakan aturan penguasa perang ini
maka munculah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. UU ini diawali dengan Perpu yang
kemudian dengan UU No. 1 Tahun 1961 disebut
dengan UU No. 24 Prp Tahun 1960. Kelemahan
undang-undang ini:
21
1). Adanya perbuatan yang merugikan keuangan
negara dan melanggar keadilan masyarakat
namun tidak dapat dipidana karena tidak masuk
dalam rumusan tindak pidana.
2). pelaku hanya ditujukan kepada pegawai negeri,
padahal orang non pegawai negeri yang
menerima bantuan dapat melakukan perbuatan
korupsi.
3). belum adanya ketentuan yang mempermudah
pembuktian dan percepatan proses hukum acara.
d. Untuk menyempurnakan UU No. 24 Prp Tahun 1960
keluarlah UU No. 3 Tahun 1971. UU ini memiliki
beberapa kemajuan antara lain:
1). Perumusan eksplisit mengenai unsur melawan
hukum tindak pidana korupsi. Aturan terdahulu
dirumuskan dengan unsur "dengan atau karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran".
2). Bentuk tindak pidana korupsi merupakan delik
formil yang dalam aturan sebelumnya sebagai
delik materiel.
3). Perluasan jenis tindak pidana korupsi berupa
suap (gratifikasi)
22
4). Bentuk percobaan dan permufakatan
dikualifikasikan sebagai delik selesai (dipidana
seperti pelaku delik selesai).
e. UU Nomor 3 Tahun 1971 digantikan dengan UU
Nomor 31 Tahun 1999 dan diubah beberapa pasalnya
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Beberapa
kemajuan dalam UU ini adalah:
1). Dikenal adanya korupsi aktif dan korupsi pasif.
2). Percobaan, permufakatan, dan pembantuan
tindak pidana korupsi dianggap juga sebagai
pelaku korupsi.
3). Adanya ketentuan yang mempermudah
pembuktian dengan dipakainya prinsip
pembuktian terbalik yang terbatas dan adanya
ketentuan yang memprioritaskan penanganan
tindak pidana korupsi.
23
BAB II
RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI
A. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI
Hukum positif Indonesia yang mengatur tindak pidana
korupsi, terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16
Agustus 1999 diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140. UU
No. 31 Tahun 1999 menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dirasa
tidak memadai untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang
sangat meluas, bersifat borderless dan dipandang sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam
perkembangannya UU NO. 31 Tahun 1999 juga diperbaharui oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun
2001), diundang pada tanggal 21 Nopember 2001.
UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001secara
substansial mengatur 2 (dua) kelompok tindak pidana. Pertama
kelompok tindak pidana korupsi dan Kedua kelompok tindak
pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
24
Kelompok Pertama (Tindak Pidana Korupsi) diatur dalam Bab II
tentang Tindak Pidana Korupsi berjumlah 13 (tiga belas) pasal
yang terjabarkan dalam 30 (tiga puluh) bentuk tindak pidana
korupsi, terdapat diantara Pasal 2 sampai dengan Ps. 20. Ketiga
puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut terbagi atas 7 (tujuh)
kelompok tindak pidana yaitu12 : 1. Kelompok delik yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Ps. 2 dan
3), 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap)
maupun pasif (yang disuap) (Ps. 5 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2).
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2). Pasal 11, Pasal 12 huruf
a,b,c dan d. Pasal 13) , 3. Kelompok delik pengelapan dalam
jabatan (Pasal. 8, Pasal 9 dan Pasal 10 huruf a,b dan c), 4.
Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion)
(Pasal 12 huruf e,f dan g), 5. Kelompok delik yang berkaitan
dengan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c dan d, ayat
(2). Pasal 12 huruf h), 6. Delik berkaitan benturan kepentingan
dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i), dan Kelompok ke 7. Delik
terkait Gratifikasi (Pasal 12 B Jo Pasal 12 C) . Ditinjau dari sudut
12 Pengelompokan Tindak Pidana Korupsi menurut Buku “Memahami Untuk Membasmi” Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, KPK (Komisi Pemberantsan Korupsi), Agustus 2006. Pendapat lain membagi tindak pidana korupsi dalam 5 (lima) kelompok TPK: 1. Delik berkaitan kerugian keuangan atau perekonomian Negara, 2. Delik penyuapan (aktif dan pasif), 3. Delik penggelapan , 4. Delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij/extortion) dan 5. Delik berkaitan pemborongan, leveransir dan rekanan. Periksa Hendarman Supandji: “Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya”, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hal. 65i
25
substansi UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 juga
mengatur ketentuan hukum pidana materiel dan hukum pidana
formil.
1. Tindak Pidana Korupsi Berkaitan Kerugian Keuangan
Negara
a. Isi Pasal dan Unsur-unsurnya
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 berbunyi :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Unsur-unsurnya adalah :
a. Melakukan “perbuatan memperkaya” diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan
memperkaya maksudnya berbuat apa saja asalkan
kekayaannya menjadi bertambah, seperti mengambil,
26
memindah bukukan, mendepositokan dimana
bunganya diambil oleh si pembuat dan lain-lain.
b. Perbuatan dilakukan “secara melawan hukum”.
Melawam hukum diartikan baik secara formil maupun
secara materiil. Melawan hukum dalam arti formil
adalah apabila pebuatan tersebut bertentangan dengan
yang tertulis dalam Undang-Undang. Melawan hukum
dalam arti materiil adalah apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela kaena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dengan adanya kata ”dapat” sebelum kata-kata
merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, menunjukkan bahwa delik tersebut merupakan
delik formil, dimana kerugian negara dilihat sebagai
kerugian potensial (potential loss ), bukan kerugian
aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang
harus dibuktikan. Bahkan sesuai dengan ketentuan
Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada
negara sifat melawan hukumnya perbuata tidak hapus,
27
sehingga pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat
diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001, menentukan :
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan.
Dalam” keadaan tertentu” menurut penjelasan Pasal 1 ayat
(2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana sehingga pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku
tindak pidana korupsi, apabila tindak pidna tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penangulanggan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001,
menentukan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
28
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur-unsurnya adalah :
a. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
Maksud penyalahgunaan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang disandang seseorang karena jabatan
atau kedudukannya itu tidak digunakan sesuai dengan
jalannya ketata –laksanaan yang seharusnya
dijalankan. Untuk bisa dikatakan ada penyalahgunaan
kewenangan (abuse of power), kesempatan atau sarana
yang ada karena jabatan atau kedudukan, menurut
Andenaes mengandung unsur-unsur yang bernuansa :
kecurangan (“deceit”), manipulasi (“manipulation”),
penyesatan (“misrepresentation”), penyembunyian
kenyataan (“concealment of facts”), pelanggaran
kepercayaan (“breach of trust”), akal-akalan
(“subterfuge”)atau pengelakan peraturan (“illegal
circumvention”).
29
b. Dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini merupakan
unsur batin yang memberi arah pada perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukannya ditujukan untuk mendapatkan
keuntungan . Artinya, perbuatan menyalahgunakan
kewenangan dan sebagainya itu, ditujukan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara objektif
dengan melihat keadaan lahir yang menyertai
perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan
sebagainya itu.
c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dengan adanya kata ”dapat” sebelum kata-kata
merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, menunjukkan bahwa delik tersebut merupakan
delik formil, dimana kerugian negara dilihat sebagai
kerugian potensial (potential loss ), bukan kerugian
aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang
harus dibuktikan. Bahkan sesuai dengan ketentuan
Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada
30
negara tapi pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat
diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.
b. Penjelasan Unsur Tindak Pidana
UNSUR MELAWAN HUKUM13
Unsur ”melawan hukum” (vide Pasal 2 ayat (1) UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan
unsur “menyalahgunakan wewenang kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan” (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) seringkali
terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur
tersebut.
Unsure melawan hukum (wederechtelijke) dalam No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 meliputi
unsur melawan hukum yang bersifat formil maupun
materiil, sebagaimana tersebut dalam ketentuan Sifat
melawan hukum formil artinya perbuatan pelaku
bertentangan dengan ketentuan hukum formal seperti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain. Perlu diingat
pula bahwa peraturan yang formal yang dilanggar
13 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal 8-10
31
tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi pidana.
Misalnya, Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi
pidana, namun terlanggarnya ketentuan tersebut sudah
dapat untuk membuktikan unsur melawan hukum.
Pengertian Hukum (recht) lebih luas dari pada
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan lain-lain sebagai hukum tertulis, karena
di dalamnya juga memuat pengertian hukum tak
tertulis seperti kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan di
masyarakat. Pelanggaran terhadap kebiasaan,
kepantasan dan kesusilaan merupakan sifat melawan
hukum materiil, yang dalam praktek peradilan di
Indonesia dapat berfungsi positif (sebagai alasan
untuk menghukum) seperti dalam kasus R. Sonson
Natalegawa (Yurisprudensi MA RI No.275K/Pid/1983
tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi
negatif (sebagai alasan untuk meniadakan
hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus Machrus
Effendi (Yurisprudensi MA RI No.42K/Kr/1965
tanggal 8 Januari 1966).
Untuk kasus “menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan” adalah terlanggarnya/
disalahgunakannya wewenang yang dimiliki oleh
32
pelaku tindak pidana. Formulasi “wewenang” dapat
terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur
kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu.
Peraturan tersebut bisa berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/
Keputusan Gubernur, Peraturan/Keputusan Gubernur
Bank Indonesia dan lain-lain yang memberikan
kewenangan tertentu kepada seseorang atau kelompok
orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
di dalam jabatan atau kedudukannya.
Pengertian “sifat melawan hukum formil” sering
dirancukan dengan pengertian “menyalahgunakan
wewenang” padahal itu jelas berbeda, sebab sifat
melawan hukum formil bisa dilakukan oleh setiap
orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya
bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai
kewenangan dan kapasitas tertentu yang ditetapkan
secara tertulis oleh suatu peraturan formil (tertulis).
Hal tersebut perlu difahami secara benar karena akan
berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan
pembuktiannya di depan persidangan.
Selain itu, ada aparat hukum yang berpendapat bahwa
kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk
33
dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat
merugikan keuangan negara bukan termasuk tindak
pidana korupsi namun merupakan kesalahan
administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya
diselesaikan melalui jalur administrasi dengan
menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran
ganti rugi. Padahal, unsur melawan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No
31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya
sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga
mencakup melawan hukum administrasi. Dengan
demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum
administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari
kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
UNSUR MEMPERKAYA DIRI ATAU ORANG
LAIN ATAU SUATU KORPORASI14
Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun
14 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal. 10
34
1999 jo UU No 20 tahun 2001) dan unsur “dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi” (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No 20 tahun 2001), merupakan unsur yang
bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak
pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil
tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku
memperkaya orang lain atau menguntungkan orang
lain. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau
suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena
harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya
kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah
perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis,
unsur “memperkaya diri...” sudah dapat dibuktikan
dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak
pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan
sehari-harinya. Sedangkan unsur “menguntungkan diri
atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya dari
adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari
perbuatan menyalahgunakan wewenang.
UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA15
15 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal. 10-11
35
Mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat
penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait
yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik
menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan
hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat
secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah
mengarah pada audit adanya “melawan hukum” yang
bukan merupakan “zona wewenangnya”. Kewenangan
BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam
zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai
mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak,
karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan
Penuntut Umum
Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”,
konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999
dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus
dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh
mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Pengembalian kerugian negara setelah hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak serta merta
BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang
berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya
kerugian negara oleh BPK dari hasil audit yang
36
dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang
berwenang (Kejaksaan, POLRI) untuk melihat apakah
terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut
merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau
tidak.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1
Tahun 2004 disana dikatakan “Bendahara, Pegawai
Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah
dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi
pidana”. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa
walaupun
telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka
masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana.
Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil
audit BPK harus dilaporkan kepada instansi berwenang
(Kejaksaan dan POLRI) Terlepas terlepas apakah
kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena
untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara
tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan
hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik,
yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139
KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya
perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.
37
Kerancuan juga terjadi dalam pembukian unsur
“kerugian keuangan negara”. Adakalanya dalam
praktek peradilan telah terbukti unsur “kerugian
keuangan negara”, namun, unsur memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau
unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu
korporasi” tidak terbukti. Hal tersebut dijadikan alasan
untuk membebaskan tersangka tindak pidana korupsi.
Kesalahan konstruksi yuridis demikian agaknya
menghambat proses penegakan hukum. Semestinya
dengan terbuktinya unsur kerugian negara, berarti telah
ada uang atau kekayaan negara yang hilang. Hal
tersebut memastikan bahwa tersangka telah
memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi,
atau tersangka telah menguntungkan diri atau orang
lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan
negara yang telah terbukti hilang tadi. Dengan
demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara
dalam suatu persidangan, dapat dikatakan bahwa unsur
memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi,
atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau
suatu korporasi, juga telah dapat dibuktikan. Apabila
tidak demikian, maka terjadi konstruksi yuridis yang
38
tidak logis. Kemana uang atau kekayaan negara yang
hilang tersebut?
2. Tindak Pidana Korupsi yang Berkaitan Dengan Suap
Menyuap.
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
Unsur-unsurnya adalah :
o Subjeknya: Setiap orang, artinya orang
perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
39
o Perbuatan yang dilarang: memberi atau
menjanjikan sesuatu berarti bahwa perbuatan yang
dilakukan setiap orang secara aktif untuk
memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau
barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara agar melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan jabatannya bertentangan dengan
kewajibannya.
o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal
ini adalah penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
o Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Unsur-unsurnya adalah :
40
o Subjeknya adalah “setiap orang”. “setiap orang”
diberi makna : orang perseorangan atau termasuk
korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
o ”memberi atau menjajikan sesuatu” berarti bahwa
perbuatan yang dilakukan setiap orang secara aktif
untuk memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau
barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara agar melakukan sesuatu yang berkitan
dengan jabatannya tersebut.
o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal
ini adalah penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
o Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
41
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Unsur-unsurnya adalah :
o Subjeknya adalah ”pegawai negeri atau
penyelenggara negara”.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal
ini adalah penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
o Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau
janji” seperti pada ayat (1) huruf a atau huruf b.
Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001.
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang :
a. memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
42
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ;
atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk
mengahadiri sidang pengadilan dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Unsur-unsurnya adalah :
o Subjeknya: Setiap orang artinya : orang perseorangan
atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
o Perbuatan yang dilarang:
(a). memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Dalam hal ini bahwa stiap orang tersebut dengan
aktif memberikan sesuatu baik berupa barang atau
uang kepada hakim untuk mempengaruhi putusan
perkara.
43
(b). memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a advokat
yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Unsur-unsurnya adalah :
o Subjeknya: adalah “hakim atau advokat”.
“Hakim” adalah seluruh hakim termasuk Hakim ad
hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan
semua tingkatan peradilan.
“Advokat” adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan
yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
44
o Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)
huruf a atau b.
Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan denagn kewajibannya.
Unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam
pasal ini adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
45
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
o Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya, pegawai negeri atau penyyelenggara
negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah
atau janji maka bersifat pasif.
o Diketahui bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkannya agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
o Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya
Unsurnya adalah :
46
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam
pasal ini adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Menerima hadiah.
Maksudnya, pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah
atau janji maka bersifat pasif.
o Diketahui bahwa hadiah etrsebut diberikan
sebagai akibat atau karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
o Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
47
Unsurnya adalah :
o Hakim adalah seluruh hakim termasuk Hakim ad
hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan
semua tingkatan peradilan.
o Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya, hakim tersebut hanya sebagai
penerima hadiah atau janji maka bersifat pasif.
o Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan tersebut untuk diadili.
Unsurnya adalah :
o Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan.
Yang dimaksud advokat disini adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam
48
maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
o Menerima hadiah atau janji. Maksudnya, advokat
tersebut hanya sebagai penerima hadiah atau janji
maka bersifat pasif.
o Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atai
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangannya yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
49
Unsur-unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini
adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut bersifat pasif, hanya menerima hadiah atau janji
dalam hal berkaitan dengan jabatannya.
o Diketahuinya. Maksudnya adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut dalam hal menerima suatu
hadiah atau janji tersebut secara sadar mengetahui niat
dari penberian hadiah atau janji tersebut.
o Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.
50
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara palaing lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyakRp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Unsurnya adalah :
o Setiap orang.
Setiap orang artinya : orang perseorangan atau
termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
o Memberi hadiah atau janji.
Maksudnya adalah setiap orang tersebut bersifat aktif
untuk memberikan hadiah atau janji kepada pegawai
negeri.
o Kepada pegawai negeri.
Pegawai negeri disini sebagai penerima hadiah atau
janji yang diberikan oleh setiap orang. Pegawai negeri
disini bersifat pasif.
51
o Dengan mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada
jabatan atau kedudukannya tersebut.
3. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan
jabatan.
Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana
denda palin sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
Unsurnya adalah :
52
o Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
o Dengan sengaja.
Sengaja dalam hal ini adalah secara sadar mempunyai
niat untuk melakukan menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan.
o Menggelapkan atau membiarkan orang lain menagmbil
atau membiarkan orang lain menggelapkan atau
menbantu dalam melakukan perbuatan itu.
o Uang atau surat berharga.
o Yang disimpan karena jabatannya.
Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan palin lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Unsurnya adalah :
53
o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu.
o Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan dapat
mengetahui secara sadar apa akibat dari perbuatan
yang dilakukannya yaitu memalsu.
o Memalsu.
Maksudnya membuat sama persis seperti aslinya.
o Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.
Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu , dengan
sengaja :
a. Menggelapkan, menghancurkan , merusakkan atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau,
54
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau
Unsur-unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umumsecara terus menerus atau untuk sementara
waktu.
o Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan
dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari
perbuatan yang dilakukannya.
o Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai.
o Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
pejabat yang berwenang.
o Yang dikuasainya karena jabatan.
b. Membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau
Unsur-unsurnya adalah :
55
o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
o Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan
dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari
perbuatan yang dilakukannya.
o Membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai.
o Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana
disebut pada pasal 10 huruf a.
c. Membantu orang lain menghilangkan,
mengahancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
o Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan
dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari
perbuatan yang dilakukannya.
56
o Membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai.
o Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana
disebut pada pasal 10 huruf a.
4. Tindak Pidana Korupsi yang masuk dalam kelompok
pemerasan.
Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.
Unsurnya adalah :
57
o Pegawai negeri atau penyelengara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain.
Unsur ini merupakan unsur batin yang memberi
arah pada perbuatan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya.
Artinya, perbuatan menyalahgunakan kewenangan
dan sebagainya itu, ditujukan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara
objektif dengan melihat keadaan lahir yang
menyertai perbuatan penyalahgunnaan kewenangan
dan sebagainya itu.
o Secara melawan hukum.
Perbuatan dilakukan “secara melawan hukum”.
Melawam hukum diartikan baik secara formil
maupun secara materiil. Melawan hukum dalam
arti formil adalah apabila pebuatan tersebut
58
bertentangan dengan Undang-Undang dan tidak
diatur dalam Undang-Undang. Melawan hukum
dalam arti materiil adalah apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela kaena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
o Memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya.
o Menyalahgunakan kekuasaan.
Menyalahgunakan kekuasaan adalah kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan. Kewenangan adalah kesempatan atau
sarana itu tidak digunakan sesuai dengan jalannya
ketata –laksanaan yang seharusnya dijalankan.
Untuk adanya unsur penyalahgunaan kewenangan
adalah yang bernuansa : kecurangan, manipulasi,
penyesatan, penyembunyian kenyataan,
pelanggaran keperrcayaan, akal-akalan atau
pengelakan peraturan.
f. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau
59
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang.
Unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Pada waktu menjalankan tugas.
o Meminta, menerima, atau memotong pembayaran.
o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum.
o Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum mempunyai utang
kepadanya.
o Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang.
60
g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu mnjalankan tugas, meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Pada menjalankan tugas.
o Meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang.
o Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya.
o Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang.
5. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan
curang.
Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001.
61
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) athun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000.,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah):
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan
yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dam keadaan perang ;
Unsurnya adalah :
o Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan
bangunan
o Melakukan perbuatan curang
o Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan
bahan bangunan
o Yang dapat membahayakan keamanan orang atau
keamanan barang atau keselamatan negara dalam
keadaan perang
b.Setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
62
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaiman
dimaksud dalam huruf a ;
Unsurnya adalah :
o Pengawas bangunan atau pengawasan penyerahan
bahan bangunan.
o Membiarkan dilakukannya perbuatan curang
pada waktu membuat banguan atau menyerahkan
bahan bangunan.
o Dilakukan dengan sengaja.
o Sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (1)
huruf a.
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keeprluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamtan negara dalam keadaan perang; atau
Unsurnya adalah :
o Setiap orang.
Setiap orang artinya : orang perseorangan atau
termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
63
o Melakukan perbuatan curang.
o Pada waktu menyerahkan barang keperlian TNI
dan atau Kepolisian Negara RI.
o Dapat menbahayakan keselamatan negara dalam
keadan perang.
d.Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
Unsurnya adalah :
o Orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan TNI dan atau Kepolisian
Negara RI.
o Membiarkan perbuatan curang (sebagaimana
diamksud pada pasal 7 ayat (1) huruf c).
o Dilakukan dengan sengaja.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
64
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Unsur-unsurnya adalah :
o Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang
keperluan TNI dan atau kepolisian Negara RI.
o Membiarkan perbuatan curang.
o Sebagaiman dimaksud pada pasak 7 ayat (1) huruf a
atau c.
Pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
h. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalnkan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
65
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Unsur-unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah
negara yang diatasnya ada hak pakai.
o Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
o Telah merugikan yang berhak.
o Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
6. Tindak Pidana Korupsi yang berbenturan adanya
pengadaan barang.
Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
66
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik
langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang ada pada saat dilkukan
pembuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Unsur-unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Dengan sengaja.
o Langsung atau tidak langsung turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan.
o Pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
67
7. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Gratifikasi.
Pasal 12B jo pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001.
Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima suap;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap yang dilakukan oleh
penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat0 tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.
68
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B
ayat (1)tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
waktu palaing lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan
status gratifikasi sebagaimana diamksud dalam ayat (3)
diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Unsurnya adalah :
o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
69
Penyelenggara negara adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
o Menerima gratifikasi.
Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
baik diterima di dalam negeri maupun diluar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
o Yang berhubungan dengan jabatan dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
o Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan
kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak
diterimanya gratifikasi.
Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Tindak
pidana Korupsi palaing lambat 30 hari kerja sejak
tanggal menerima laporan, wajib menetapkan
70
apakah gratifikasi tersebut menjadi milik si
penerima atau milik negara.
B. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.
Didepan telah disebutkan bahwa UU No.31 Tahun 1999 Jo
UU No. 20 Tahun 2001 selain memuat aturan tentang “tindak
pidana korupsi”, juga mengatur tindak pidana selain tindak
pidana korupsi, yaitu “Tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi”, tepatnya diatur dalam BAB III
UU-PTPK 1999, terdapat dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal
24. Dari redaksi pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
meskipun diatur dalam undang-undang tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, ketentuan tersebut tidak mengatur
substansi tindak pidana korupsi, akan tetapi mengatur jenis
tindak pidana yang ada hubungannya dengan tindak pidana
korupsi (bukan merupakan tindak pidana korupsi). Jenis tindak
pidana tersebut meliputi:
Pasal 21. Selengkapnya berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap
tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
71
korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Perbuatan yang dilarang adalah:
“Dengan sengaja “mencegah”, “merintangi”, atau
“menggagalkan” secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan
terhadap tersangka, atau terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi”.
Ancaman Pidananya:
Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan
komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana
penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja atau
denda saja. Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara
paling singkat (minimum khusus) 3(tiga) tahun dan paling
banyak 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
(minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta
rupiah).
Pasal 22. Selengkapnya berbunyi:
72
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Perbuatan yang dilarang adalah:
Dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan
keterangan yang tidak benar. Ketentuan merujuk pada
ketentuan Pasal 28 ialah tersangka Pasal 29 ialah Bank, Pasal
35 ialah Saksi atau ahli, dan Pasal 36 adalah mereka yang
menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia.
Ancaman Pidananya:
Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan
komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana
penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja atau
denda saja. Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara
paling singkat (minimum khusus) 3(tiga) tahun dan paling
banyak 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
(minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
73
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta
rupiah).
Pasal 23. Selengkapnya berbunyi:
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421,
Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Perbuatan yang dilarang adalah:
Pelanggaran ketentuan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421,
Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana
Pasal 220 KUHP, yaitu:
“memberitahukan atau mengadukan bahwa
dilakukan suatu perbuatan padahal
mengetahui, bahwa tidak dilakukan itu”
Pasal 231 KUHP, yaitu:
74
1. “dengan sengaja menarik suatu barang
yang disita menurut ketentuan undang-
undang, atau yang dititipkan atas perintah
hakim, atau dengan mengetahui, bahwa
barang ditarik dari situ,
menyembunyikannya;
2. “dengan sengaja menghancurkan, merusak
atau membikin tak dapat dipakai barang yang
disita menurut ketentuan undang-undang;
3. “dengan sengaja melakukan atau
membiarkan dilakukan salah satu kejahatan
itu, atau sebagai pembantu menolong
perbuatan itu”
Pasal 421 KUHP, yaitu:
“dengan menyalahgunakan kekuasaan
memaksa seseorang untuk melakukan, tidak
melakukan, atau mebiarkan sesuatu”
Pasal 422 KUHP, yaitu:
“yang dalam perkara pidana menggunakan
sarana paksaan baik untuk memeras
75
pengakuan, maupun untuk mendapat
keterangan”
Pasal 429 KUHP, yaitu:
1. “yang dengan melampaui kekuasaan atau
tanpa mengindahkan cara-cara yang
ditentukan dalam peraturan umum, memaksa
masuk kedalam rumah, ruangan atau
pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang
lain, atau jika berada di situ secara melawan
hukum, tidak segera pergi atas nama orang
itu”
2. “yang pada waktu menggeledah rumah,
dengan melampaui kekuasaannya atau tanpa
mengindahkan cara-cara yang ditentukan
dalam peraturan umum”
Pasal 430 KUHP, yaitu:
1. “yang dengan melampaui kekuasaannya,
menyuruh memperlihatkan kepadanya atau
merampas surat, kartupos, barang atau paket,
yang diserahkan kepada lembaga
pengangkutan umum atau kabar kawat yang
76
dalam tangan pejabat telegrap untuk
keperluan umum”
2. “yang melampaui kekuasaannya menyuruh
seorang pejabat telepon atau orang lain yang
ditugasi pekerjaan telepon untuk keperluan
umum, member keterangan kepadanya tetang
suatu percakapan yang dilakukan dengan
perantaraan lembaga itu”.
Ancaman Pidananya:
Berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Pasal 24. Selengkapnya berbunyi:
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000
(seratus lima puluh juta rupiah).
Perbuatan yang dilarang adalah:
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 31, yaitu: “dalam
penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan
77
atau orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana
korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-
hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor”.
Pengertian pelapor menurut penjelasan Ps.31 ayat (1) adalah
orang yang memberi informasi kepada penegak hukum
mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan
pelapor sebagaimana dimaksud dalamPasal 1 angka 24
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KItab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 angka 24 KUHAP
menyatakan: “Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajibannya
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau akan tejadinya peristiwa pidana”.
Ancaman Pidananya:
Berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
denda palig banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah)
C. KELEMAHAN SUBSTASIAL (JURIDIS MATERIEL) UNDANG-
UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan pidana di luar Kitab
78
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam ketentuan tindak pidana korupsi,
tetap berlaku ketentuan umum dalam Buku I KUHP (vide: Ps.
103 KUHP). Ditinjau dari aspek juridis materiel (Substansial)
ketentuan UU-TPK (UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001)
dihubungkan dengan ketentuan Umum Bukun I KUHP
mengandung beberapa kelemahan yang bersifat substansial
berkaitan dengan16:
a. Masalah Kualifikasi Juridis dari Tindak Pidana
Korupsi
Di dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, tidak
ada ketentuan formal (pasal) yang menyatakan
kualifikasi juridis dari tindak pidana korupsi, apakah
sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran”. Jadi berbe-
da dengan UU No. 3/1971 (UU lama) yang
menyatakan secara tegas, bahwa tindak pidana
korupsi merupakan “kejahatan” (Pasal 33).
Dengan tidak adanya kualifikasi juridis, dapat timbul
masalah dalam menerapkan ketentuan umum Buku I
KUHP terhadap kasus-kasus korupsi, karena KUHP
membedakan “ketentuan umum untuk keja-hatan”
dan “ketentuan umum untuk pelanggaran”.
16 Diadaptasi dari Barda Nawawi Arief, “Masalah Kelemahan Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
79
b. Masalah Penerapan Pidana Minimal Khusus
Berbeda dengan UU yang lama (UU No. 3/1971), di
dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001, ada
ancaman pidana minimal khusus di dalam perumusan
delik. Namun tidak disertai dengan ketentuan khu-sus
untuk menerapkan/menjatuhkan pidana minimal
khusus itu.
Pencantuman pidana minimal khusus dalam
perumusan delik meru-pakan suatu penyimpangan
dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP.
Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun
seharusnya di-sertai dengan aturan penerapannya
secara khusus, karena :
- suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja
diterapkan/diope-rasionalkan hanya dengan
dicantumkan dalam perumusan delik;
pencantuman “ancaman pidana” hanya merupakan
sub-sistem dari keseluruhan sistem pemidanaan;
- untuk dapat diterapkan, harus ada aturan
pemidanaan (straf-toemetingsregel)-nya terlebih
dahulu;
- aturan penerapan pidana yang ada selama ini
diatur dalam "aturan umum" KUHP (sebagai
sistem induk);
80
- aturan (pemidanaan) umum dalam KUHP
semuanya berorientasi pada sistem maksimal,
tidak pada sistem minimal;
- oleh karena itu, apabila UU di luar KUHP akan
menyimpang dari sistem umum KUHP, maka UU
di luar KUHP seharusnya mem-buat aturan
(pemidanaan) khusus sesuai dengan ketentuan
dalam Psl. 103 KUHP.
Tidak adanya aturan pemidanaan untuk menerapkan
sistem minimal khusus itu, dapat menimbulkan
masalah juridis dalam praktek.
c. Masalah Pelaksanaan Pidana Denda Terhadap
Korporasi
Menurut UU No. 31/1999, korporasi dapat menjadi
subjek tindak pidana dan pidana pokok yang dapat
dijatuhkan hanya pidana denda yang maksimumnya
ditambah sepertiga (lihat Pasal 20).
Namun di dalam UU No. 31/1999 jo. UU No.
20/2001, tidak ada ketentuan khusus mengenai
pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh
korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah,
karena ketentuan pelaksanaan pidana denda dalam
Psl. 30 KUHP (yaitu, apabila denda tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan peng-ganti selama 6
81
bulan) hanya berlaku untuk subjek “orang”, tidak
untuk korporasi.
d. Masalah Permufakatan Jahat
Dalam Pasal 15 UU No. 31/1999 dinyatakan, bahwa
“percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi” dipidana
sama dengan pidana yang diancamkan untuk tindak
pidana ybs.
Namun di dalam UU No. 31/1999 jo. UU No.
20/2001, tidak ada ke-tentuan khusus mengenai
pengertian/istilah “permufakatan jahat”. Hal inipun
dapat menjadi masalah, karena pengertian juridis
mengenai “permufakatan jahat” di dalam KUHP
(Pasal 88) tidak berlaku umum untuk tindak pidana di
luar KUHP. Oleh karena itu, seharusnya pe-ngertian
juridis dari permufakatan jahat dimasukkan dalam
“Keten-tuan Umum” Pasal 1 UU No. 31/1999, seperti
halnya di dalam UU Narkotika (dimasukkan dalam
Pasal 1 sub 17 UU No. 22/1997).
e. Masalah Penerapan Ancaman Pidana Mati
Dalam “Penjelasan Umum” UU No. 31/1999
dinyatakan, bahwa di-ubahnya UU No. 3/1971 (antara
lain dengan diadakannya ancaman pidana mati,
pidana minimal khusus dan pidana denda yang tinggi)
82
dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana
korupsi. Dengan demikian, diadakannya ancaman
pidana mati itu merupakan suatu pilihan kebijakan
untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR
dalam memberantas korupsi.
Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang
berpendapat pro atau kontra terhadap penggunaan
pidana mati sebagai salah satu sarana untuk
menanggulangi kejahatan. Namun setelah kebijakan
diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan
(diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka
dilihat dari sudut kebijakan hukum pi-dana (penal
policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy),
kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya
diharapkan dapat diterapkan pada tahap aplikasi.
Masalahnya adalah, apakah kebijakan formulasi
pidana mati dalam UU No. 31/1999 cukup
operasional/fungsional untuk diterapkan secara
efektif dalam rangka memberantas korupsi di
Indonesia?
Dilihat dari kebijakan formulasinya, ketentuan
pidana mati dalam UU No. 31/1999 dapat
menimbulkan masalah juridis dan mengandung
83
beberapa kelemahan, sehingga memberi kesan
“kekurangseriusan” pembuat undang-undang untuk
menerapkan pidana mati. Beberapa kelemahan itu
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Ketentuan mengenai pidana mati dalam UU No.
31/1999, hanya diatur dalam
satu pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan”.
Selanjutnya dalam “Penjelasan Pasal 2 ayat (2)”
dinyatakan :
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam
ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana
korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter.
84
2. Dari perumusan Dari perumusan di atas
terlihat, bahwa pidana mati merupaka pemberatan
pidana apabila TPK (tindak pidana korupsi) dilakukan
“dalam keadaan tertentu”. Kebijakan formulasi yang
demikian mengandung beberapa kelemahan, antara
lain :
a. Pidana mati sebagai pemberatan pidana, hanya
diancamkan untuk TPK tertentu dalam Pasal 2 (1),
yaitu “melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri/orang lain/korporasi secara melawan
hukum”. Jadi tidak ditujukan kepada semua
bentuk TPK, padahal dalam “Penjelasan Umum”
dinyatakan, bahwa tujuan dibuatnya UU No.
31/1999 ini (sebagai pengganti UU No. 3/1971)
adalah untuk memberantas “setiap bentuk tindak
pidana korupsi”.
b. Dengan diancamkannya pidana mati (sebagai
pemberatan pida-na) hanya untuk TPK dalam
Pasal 2, berarti secara formal pidana mati tidak
ditujukan terhadap TPK lainnya, khususnya TPK
yang berupa “penyalahgunaan kewenangan/
kesempatan/sarana karena jabatan atau
kedudukan” (diatur dalam Pasal 3). Padahal TPK
dalam Pasal 3 inipun diancam dengan maksimum
85
pidana yang sama dengan delik dalam Pasal 2 (1)
yaitu diancam dengan pidana seumur hidup atau
penjara 20 tahun. Bahkan dalam pandangan
masyarakat dan dilihat dari hakikat korupsi
sebagai delik jabatan, perbuatan
"menyalahgunakan kewenangan jabatan/
kedudukan" (Psl. 3) dirasakan lebih berat, lebih
jahat, atau lebih tercela daripada "memperkaya
diri" (Psl. 2); setidak-tidak-nya harus dipandang
sama berat, dan oleh karenanya juga layak untuk
diancam dengan pidana mati.
c. Kelemahan lain, berkaitan dengan formulasi
“keadaan tertentu” yang menjadi alasan
pemberatan pidana untuk dapat dijatuhkan-nya
pidana mati. Dalam berbagai formulasi UU,
“keadaan tertentu” yang menjadi alasan
pemberatan pidana pada umumnya dirumuskan
secara tegas dalam perumusan delik yang bersang-
kutan (lihat misalnya pemberatan pidana untuk
penganiayaan dalam Pasal 356 KUHP dan
pemberatan pidana untuk pencurian dalam Pasal
365 KUHP). Namun dalam Pasal 2 ayat (2) UU
No. 31/1999, “keadaan tertentu” yang menjadi
alasan pemberatan pidana itu tidak dirumuskan
86
secara tegas dalam perumusan pasal, tetapi hanya
dimasukkan dalam “penjelasan Pasal 2”, yaitu
apabila TPK dalam ayat (1) dilakukan :
- pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan UU yang berlaku;
- pada waktu terjadi bencana alam nasional;
- sebagai pengulangan; atau
- dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter;
d. “Keadaan tertentu” yang menjadi
alasan/syarat untuk dapat dijatuhkannya pidana
mati dalam penjelasan Pasal 2 di atas, sulit atau
jarang terjadi, terutama syarat “negara dalam
keadaan bahaya”, adanya “bencana alam
nasional”, dan adanya “krisis ekonomi dan
moneter”. Keadaan-keadaan tersebut mungkin
baru muncul sekali dalam rentang waktu sekitar
30 – 60 tahun, seperti munculnya “gempa
tsunami” dan “krismon”.
e. “Keadaan tertentu” yang paling mungkin
terjadi adalah “pengu-langan tindak pidana”
(“recidive”). Namun sangat disayangkan, UU
No. 31/1999 ini tidak memuat aturan maupun
pengertian/ batasan “recidive”, padahal
“pengulangan” merupakan suatu istilah teknis
87
juridis. Sebagai suatu istilah juridis, seharusnya
ada pengertian/batasan/aturannya sebagaimana
istilah juridis lainnya (seperti istilah
“percobaan”, “pembantuan”, “permufakatan
jahat”). Terlebih dalam KUHP (sebagai aturan
induk), juga tidak ada aturan umum tentang
recidive; yang ada hanya aturan khusus di dalam
Buku II (Kejahatan) dan Buku III (Pelanggaran).
Jadi sistem yang berlaku saat ini menganut
“recidive khusus”, bukan “recidive umum”.
Dianutnya “recidive khusus” inipun terlihat juga
dalam UU khusus di luar KUHP, antara lain
dirumuskan dalam Pasal 96 UU Narkotika No.
22/1997 yang menyatakan :
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan
Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan
sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang
dipidana dengan pidana mati, seumur hidup
atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
(huruf tebal dan miring dari Pen.).
88
Demikian pula Pasal 72 UU No. 5/1997 (tentang
Psikotropika), mengandung di dalamnya aturan
recidive sebagai berikut :
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan
dengan menggunakan anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah atau orang yang di bawah
pengampuan atau ketika melakukan tindak
pidana belum lewat dua tahun sejak selesai
menjalani seluruhnya atau sebagian
pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, ancaman pidana ditambah
sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak
pidana tersebut. (huruf tebal dan miring dari
Pen.).
f. Dengan tidak adanya aturan tentang
“pengulangan (recidive)” di dalam UU No.
31/1999, maka tidak jelas apa yang menjadi
syarat-syarat pengulangan atau kapan dikatakan
ada pengu-langan :
- baik syarat “tenggang waktu”
pengulangannya, maupun
- syarat “perbuatan (tindak pidana)” yang
diulangi.
89
Untuk syarat “tindak pidana yang diulangi”,
memang di dalam Pasal 2 (2) UU TPK di atas
sudah disebutkan. Namun dengan tidak
disebutkannya batas tenggang waktu
pengulangannya dan sejak kapan tenggang
waktu itu dihitung, hal ini dapat menim-
bulkan masalah. Di samping itu, apabila TPK
yang diulangi (dila-kukan kedua kali dst.)
adalah TPK lain, misal TPK dalam Psl. 3
(penyalahgunaan wewenang jabatan), atau
delik dalam Pasal 8 (melakukan penggelapan
uang/surat berharga karena jabatan), atau delik
dalam Pasal 10 (pejabat yg menggelapkan
barang bukti), atau delik dalam Pasal 12
(pemerasan oleh pejabat) atau delik-delik
lainnya, maka secara juridis formal tidak dapat
dikata-kan ada pengulangan dan dengan
demikian sipelaku akan lolos dari ancaman
pemberatan pidana mati, atau setidak-tidaknya
ti-dak ada pemberatan pidananya.
g. Walaupun UU:3/71 dan UU:31/99 jo.
UU:20/2001 tidak membuat aturan tersendiri
untuk recidive, namun pengulangan terhadap
ketiga delik jabatan di atas (yaitu Pasal 8, 10,
90
12 UU No. 31/1999) sebenarnya masih dapat
dijaring dengan Psl. 486 KUHP. Dalam Psl.
486 KUHP ini, ada ketentuan recidive untuk
delik jabatan dalam Psl. 415 (penggelapan
uang/surat berharga karena jabat-an), Pasal 417
(penggelapan barang bukti oleh pejabat); dan
Psl. 425 (pemerasan oleh pejabat). Ketiga delik
jabatan itu (Psl. 415, 417, dan 425 KUHP) oleh
UU:3/1971 dijadikan TPK, yaitu ketiga-
tiganya dimasukkan dalam Psl. 1 sub 1 c; dan
oleh UU:31/ 1999 dimasukkan dalam Psl. 8
(untuk Psl. 415), Psl. 10 (untuk Psl. 417), dan
Psl. 12 sub f, g, h (untuk Psl. 425). Jadi
walaupun UU:3/71 dan UU:31/99 jo.
UU:20/2001 tidak membuat aturan tersendiri
untuk recidive, namun pengulangan terhadap
ketiga delik jabatan itu sebenarnya masih dapat
dijaring dengan adanya Psl. 486 KUHP.
Namun sangat disayangkan, dengan adanya
UU:20/2001 ketiga pasal KUHP tersebut (Psl.
415, 417, 425) termasuk pasal-pasal yang
“dinyatakan tidak berlaku” oleh Psl. 43 B,
sehingga praktis tidak mungkin lagi dijaring
dengan ketentuan recidive dalam KUHP.
91
Terlebih “pengulangan” yang disebut da-lam
“penjelasan” UU: 31/1999 hanya tertuju pada
delik dalam Psl. 2 (1), tidak untuk delik dalam
Psl. 8, Psl. 10, dan Psl. 12.
h. Kelemahan lain ialah, pemberatan pidana mati
dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31/1999 hanya
ditujukan pada “orang”. Tidak ada pemberatan
pidana terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana korupsi dalam “keadaan-keadaan
tertentu” sebagaimana disebutkan di atas.
Walaupun pidana mati tidak bisa dikenakan
pada korporasi, namun seharusnya tersedia
juga pemberatan pidana untuk korporasi yang
bobotnya dapat diidentikkan dengan pidana
mati.
Karena adanya beberapa kelemahan formulasi di atas,
tidak mustahil pidana mati sulit atau jarang dapat
dijatuhkan terhadap para koruptor di Indonesia.
Sangat disayangkan kelemahan formulasi pidana mati
dalam UU No. 31/1999 itu, tidak dilihat sebagai suatu
masalah yang seharusnya diperbaiki atau
diamandemen oleh UU No. 20/2001.
92
D. SUBJEK DAN PERTANGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
1. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya
mengenal orang sebagai subjek tindak pidana (naturlijke
person). Dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting)
Pasal 51 W.v.S Belanda (Indonesia sama dengan Pasal 59
KUHP) dinyatakan secara tegas bahwa: “Suatu strafbaar feit
hanya dapat diwujudkan oleh manusia, fiksi tentang badan
hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Ketentuan
bahwa hanya orang yang bisa bertindak sebagai subjek hukum
dalam KUHP, setidaknya dapat kita lihat dari beberapa hal
yaitu17: “pada setiap delik dalam rumsan KUHP selalu diawali
dengan “barang siapa” (Hij die…), atau kata-kata lain yang
menunjuk orang sebagai subjek seperti “ibu” (de moeder)
dalam ketentuan Pasal 341 dan 342 KUHP, “panglima tentara”
(bevelhebber) dalam Pasal 413 KUHP, “pegawai negeri” atau
“orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk
sementara waktu menjalankan jabatan umum” (de amtenaar of
ander met een igen openbaren dienst voortdurend od tijdelijk
belast person) dalam Pasal 415, 416 dan 417 KUHP.
UU-TPK 1971 tidak mengenal korporasi sebagai subjek
hukum, oleh karena itu UU-TPK 1999 bisa dikatakan lebih
17 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internsional, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 78
93
maju dibandingkan dengan UU-TPK 1971 ialah, bahwa
subyek tindak pidana tidak hanya”orang perseorangan” tetapi
juga “korporasi”. Menurut ketentuan Pasal 1 ke-1, yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada Korporasi
pebagai Subjek Tindak Pidana korporasi dalam perkara
korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa
rekomendasi konggres PBB mengenai The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders, antara lain: 1. Dalam
rekomendasi Konggres PBB ke-8/ 1990 ditegaskan, agar ada
tindakan terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
perkara korupsi”. 2. Dalam dokumen Konggres PBB ke-
9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan sebagai berikut:
“Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat
dalam penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yang
tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam banyak
kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai
keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para
pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/
istimewa, antara lain: a. Memberi kontrak; b.
Mempercepat/memperlancar ijin; c. Membuat perkecualian-
94
perkecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-
pelanggaran peraturan18.
Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subyek
tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat
perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam
menjalankan aktifitas usaha. Pada mayarakat yang masih
sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara
perorangan. Dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi
sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama
dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha.
Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan
untukmengadakan kerjasama, antara lain adalah terhimpun
modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam
suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan
seorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat
membagi resiko kerugian19.
18 Barda Nawawi Arief, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi Terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bahan Masukan UntukTim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999, hal 15-16 19 Hamzah Atrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Vicarious Liability, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996, hal 27
95
2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana
Korupsi
Konsekwensi logis dari korporasi sebagai subjek hukum
adalah, korporasi dapat dijatuhi pidana atau dapat
dipertanggangjawabkan dari segi hukum pidana. Ketentuan
tersebut terdapat dalam Pasal 20 ayat(1). Dinyatakan bahwa “
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Tindak pidana korupsi dikatakan dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama. (Pasal. 20 ayat (2)).
Apabila terjadi tindak pidana sebagaimana dilakukan menurut
Pasal 20 ayat (2), sehingga terhadap korporasi dilakukan
tuntutan hukum, maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurusnya. (Pasal. 20 ayat (3)). Pengurus yang mewakili
korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain. (Pasal. 20 ayat (4)).
Dalam hal Hakim merasa perlu untuk mendapatkan
keterangan secara langsung dari pengurus korporasi maupun
diperlukan kehadirannya secara langsung, Hakim dapat
96
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (Pasal 20 ayat (5)).
Berkaitan dengan masalah panggilan sidang, apabila tuntutan
pidana dilakukan terhadap korporasi, berdasarkan Pasal 20
ayat (6) panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Sesuai dengan sifat dari korporasi yang tidak naturlijke
person, sanksi pidana (pidana pokok) yang dapat dijatuhkan
hanyalah pidana denda dengan system pemberatan yaitu,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu
pertiga). Ketentuan tersebut diatur secara tegas dalamPasal 20
ayat (7).
BAB. III
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA
KORUPSI
97
Penegakan hukum pada hakekatnya adalah menunjuk pada
aktivitas penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap
pelanggaran produk hukum oleh pelaku. Dalam perkara pidana,
penegakan hukum tidak lain adalah, proses tindakan dari lembaga
penegak hukum dengan menggunakan perangkat hukum yang ada
untuk memberikan pemidanaan terhadap pelanggaran ketentuan
hukum pidana. Penegakan hukum pidana dengan demikian
melibatkan komponen penegak hukum dan seperangkat aturan
hukum pidana, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil
dan hukum pelaksanaan pidana.
Penegakan hukum tindak pidana korupsi, berjalan dalam
suatu mekanisme proses sistem peradilan pidana yang bersifat
khusus, berbeda dengan sistem peradilan pidana pada umumnya.
Dikatakan khusus karena selain dari sisi substansi hukum (legal
substance) diatur dengan ketentuan hukum pidana materiil khusus
(diluar KUHP) yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU
No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999
diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140 dan diperbaharui
oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun
2001), diundangkan pada tanggal 21 Nopember 2001, dari sisi
struktur hukum (legal structure) penegakan hukum tindak pidana
korupsi dilakukan oleh lembaga yang bersifat khusus dari tingkat
penyidikan hingga tingat peradilan. Penyidikan dilakukan oleh
penyidik khusus tindak pidana korupsi yaitu Penyidik Kepolisian,
Penyidik Kejaksaan dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penuntutan dilakukan oleh lembaga khusus untuk menuntut kasus
korupsi, yaitu penuntut Kejaksaan dan Penuntut Komisi
Pemberatasan Korupsi, begitu pula di bidang peradilan. Dengan
98
keluarnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2009 tentang Peradilan
TindakPidana Korupsi, dibentuk pengadilan khusus yang
mengadili perkara korupsi dari tingkat Pengadilan Negeri hingga
Mahkamah Agung. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi
selain memuat ketentuan hukum pidana materiil, juga memuat
ketentuan hukum pidana formil (hukum acara pidana) diluar
ketentuan KUHAP.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, UU Tipikor juga
ditopang/diperkuat dengan beberapa aturan terkait yang
menempatkan penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat
khusus. Undang-undang tersebut antara lain:
1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Melalui undang-undang ini
melahirkan lembaga Komisis Pembernatsan Korupsi yang
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian
Republik Indonesia. Melalui undang-undang ini dan
ketentuan Ps. 6 KUHAP, Kepolisian mempunyai
kewenangan untuk menyidik seluruh tindak pidana,
termasuk tindak pidana korupsi
3. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dan Ps. 284 KUHAP, memungkinkan
lembaga kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi
4. Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa tindak pidana
korupsi hanya diperiksa dan diadili oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
99
Empat undang-undang di atas melahirkan lembaga-lembaga
yang mempunyai kewenangan untuk menegakkan tindak pidana
korupsi, mulai dari tahap penyidikan dilakukan oleh penyidik
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK),
tahap penuntutan oleh penuntut kejaksaan dan penuntut KPK dan
tahap mengadili yang dilakukan oleh pengadilan khusus yaitu
Pengadilan Tindak pidana korupsi (Tipikor).
A. LEMBAGA PENYIDIKAN
Penyidikan menurut KUHAP (Pasal 1 angka 2) adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Meneilik pengertian tersebut, penyidikan adalah
serangkaian aktivitas penyidik dalam rangka mencari dan
mengumpulkan bukti agar perkaranya jelas dan diketemukan
tersangkannya. Penyidikan adalah pintu awal proses perkara
pidana, dalam sebagai pemeriksaan awal proses penegakan tindak
pidana korupsi.
Penyidikan dilakukan oleh aparat penyidik, UU-TPK tidak
menyebut siapa yang bertindak sebagai penyidik, tetapi hanya
menyebut penyidik. Dari ketentuan KUHAP, undang-undang
Kepolisian, Kejaksaan dan UU KPK dapat kita inventarisir bahwa
penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh 3 (tiga)
lembaga/isntitusi penyidik yaitu penyidik Kepolisian, Kejaksaan
dan penyidik KPK. Masing-masing melakukan tugas penyidikan
sesuai ketentuan undang-undang yang mengaturnya maupun
KUHAP.
100
1. Penyidik Polri.
Penyidik Polri merupakan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari fungsi dan kedudukan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) sebagai aparatur Negara di bawah Prsiden.
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa, fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Fungsi penyidikan dengan demikian bisa kita lihat
sebagai menjalankan sebagian tugas Polri, khususnya dibidang
penegakan hukum. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan
bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c.
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat. Fungsi Polri secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama, memelihara
keamanan dan ketertiban, kedua melakukan penegakan
hukum. Berkaitan dengan fungsi penegakan hukum, Polri
mempunyai kedudukan sebagai penegak hukum. Secara
integral adalah bagian dari keseluruhan sub-sistem penegak
hukum dalam sistem peradilan pidana.
Fungsi penyidikan ditubuh Polri dilaksanakan oleh
satuan reserse, yang oleh peraturan perundang-undang
mempunyai kewenangan melaksanakan penyelidikan,
penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut
101
Pasal 16 (1) dinyatakan dalam rangka menyelenggarakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang
meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan
orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh
berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i.
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j.
mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat
imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi
dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah
atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak
pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada
penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan
penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab.
Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan
penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan
terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan
Undang-undang No. 8 tahun 1981 dan peraturan perundangan
lain. Menurut Pasal 12 Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia,
penyidik dan penyidik pembantu adalah pejabat fungsional
102
yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Indonesia. Dalam
struktur organisasi dan tata kerja Polri sebagaiamana diatur
dalam Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepolisian Republik Indonesia, kewenangan penyidikan
dilakukan reserse daerah dan pusat. Reserse di daerah melekat
pada organisasi Polri, dari tingkat Polisi Daerah (Polda)
sampai Polisi Sektor (Polsek). Tingkat pusat berada pada
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) sebagai unsur pelaksana
utama pusat berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (Pasal . 4 jo
Pasal 22 ). Bareskrim dipimpin oleh seorang Kabareskrim
berpangkat Pati Bintang Tiga dengan Eselon IA. Kabareskrim
dibantu oleh seorang Wakil Kabareskrim dan sebanyak-
banyaknya sepuluh Kepala Biro. Bareskrim meskipun
merupakan badan reserse ditingkat pusat, selain memiliki
tugas menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi
laboratorium forensic, juga mempunyai tugas melakukan
pembinaan terhadap pelaksanaan fungsi reserse di daerah
dalam rangka penegakan hukum.
Lembaga Kepolisian memiliki kewenangan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan:
1. KUHAP, ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan
bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan. Pasal 6 ayat (1) sub a, menyatakan
bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia;
103
2. UU Kepolisian, ketentuan Pasal 1 angkan 10 menyebutkan
penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan. Pasal 14 huruf g, mengatur
kewenangan Kepolisian untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya, dalam hal ini termasuk tindak pidana
korupsi.
2. Penyidik Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah
secara garis besar memiliki fungsi dan kewenangan di bidang
penegakan hukum dan kewenangan yang berhubungan dengan
menjaga ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang
penegakan hukum berhubungan dengan penegakan hukum
pidana, perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang
penegakan hokum pidana kejaksaan mempunyai tugas dan
kewenangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 Undang-
Undang No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperolah kekuatan hokum
tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat;
104
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2), dibidang perdata dan tata
usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat bertindak baik di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
Negara atau pemerintah. Adapun tugas dan kewenangan
kejaksaan berkaitan dengan menjaga ketertiban dan
ketenteraman masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 30
ayat (3) meliputi:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakana penegakan huukm;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan Negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan
agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik
kriminal.
105
Berkaitan dengan kewenangan penuntutan, berdasarkan
ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI, kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berkaitan dengan
wewenang penuntutan menurut Pasal 37 dilaksanakan secara
independen dan pertanggungjawaban disampaikan kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip
akuntabilitas. Undang-undang Dasar 1945 secara implisit
mengatur keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem
ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman (vide Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-
3 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai
penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara
yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan
sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan
alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai
executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan
pengadilan dalam perkara pidana.
Di bidang penyidikan, kewenangan kejaksaan sering
dipersoalkan mengingat tugas utama kejaksaan adalah
bertindak sebagai penuntut umum. Kewenangannnya
dianggap kewenangan sementara pada saat masa transisi
berlakunya KUHAP, sebab Pasal 6 ayat (1) menegaskan
106
penyidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia
dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
Sesuai Pasal 284 KUHAP wewenang kejaksaan untuk
menyidik suatu tindak pidana adalah bersifat sementara dan
untuk tindak pidana- tindak pidana tertentu. Dalam Pasal 284
ayat (2) (KUHAP) disebutkan, kejaksaan bisa menyidik kasus
korupsi selama kurun waktu dua tahun semenjak
diundangkannya KUHAP. Ini berarti, seharusnya sejak tahun
1983, kejaksaan tidak boleh melakukan penyidikan. Politik
hukum KUHAP terhadap lembaga yang berwenang
melakukan penyidikan menurut KUHAP diberikan kepada
penyidik Polri dan PPNS, dengan menempatkan penyidik
Polri sebagai penyidik utama yang berwenang melakukan
penyidikan terhadap semua jenis tindak pidana. Meskipun
demikin politik hukum pembuat undang-undang masih
memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan,
khusus untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu (tindak
pidana khusus). Hal ini terlihat dari politik hukum yang
tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan dan sekarang yang terbaru Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Secara eksplisit kewenangan
penyidikan tersebut tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d.
Politik hukum pembuat undang-undang secara yuridis formal
107
masih memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan
meskipun terbatas untuk tindak pidana khusus, sehingga
secara yuridis kewenangan tersebut masih sah. Dari kacamata
asas yaitu lex posteriori derogat lex priori. Artinya, aturan
hukum yang kemudian mengesampingkan aturan hukum yang
terdahulu dalam mengatur hal yang sama, maka kewenangan
penyidikan kejaksaanan tersebut tetap sah meskipun Pasal 6
ayat (1) KUHAP secara eksplisit mengakui penyidik adalah
penyidik Polri dan PPNS.
Dari perspektif perbandingan Andi Hamzah juga
memperkuat kewenangan kejaksaan dalam penyidikan,
dengan mengatakan di belahan negara-negara lain jaksa juga
mempunyai kewenangan untuk menyidik.
Negara-negara tersebut antara lain Rusia, Jerman, China,
Thailand, Georgia bahkan di negara Prancis sendiri Jaksa
Tinggi mempunyai kewenangan mengangkat dan
memberhentikan penyidik polisi yang dianggap tidak mampu
dalam melakukan penyidikan.
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan problem universal bersifat
endemic, mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Secara
Internasional korupsi diakui sebagai masalah yang sangat
komplek, bersifat sistemik dan meluas. Di Indonesia korupsi
sudah merambah di segala lini tata kehidupan sehinggga tidak
108
hanya dipandang merugikan keuangan negara dan
perekonomian, akan tetapi telah merampas hak-hak sosial
masayrakat. Oleh karena itu tindak pidana korupsi
digolongkan sebagai tindak pidana yang laur biasa (extra
ordinary crime) sehingga diperlukan langkah-langkah yang
laur biasa (extra meassure).
Dalam pertimbangan dikeluarkannnya Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan
efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh
karena itu perlu peningkatan penanganan korupsi secara lebih
profesional, intensif, berkesinambungan dan dilakukan
lembaga yang lebih independen. Sesuai dengan ketentaun
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
independen dengan tugas dan wewenang koordinasi dan
supervise termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. KPK ditempatkan sebagai trager
mecanism dan bersifat superbody dalam pemberantasan
korupsi. KPK lahir sebagai bagian dari strategi pemberantasan
korupsi secara luar biasa (extra meassure), untuk itu diberikan
109
kewenangan-kewenangan yang luar biasa yang tidak dimiliki
oleh aparat penegak hukum lainnnya. Menurut ketentuan Pasal
3, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. KPK memiliki 5 tugas dan 29
wewenang. Berdasar Pasal 6, tugas KPK adalah:
a. Koodinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas tersebut dalam Pasal 6, KPK
mempunyai kewenangan-kewenagan yang lahir dari setiap
jenis tugasnya adalah sebagai berikut:
a. Pasal 7, dalam pelaksanaan tugas koordinasi, KPK
memilki wewenang:
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
110
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
b. Pasal 8 ayat (1), dalam melaksanakan tugas supervisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b KPK
memiliki wewenang melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
c. Pasal 8 ayat (2), dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil
alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan.
d. Pasal 8 ayat (3), dalam hal KPK mengabil alih (teke
over) suatu penyidikan atau penuntutan, kepolisian
111
atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen
lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
e. Pasal 8 ayat (4), Penyerahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan kepolisian atau
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada KPK.
f. Menurut Pasal 9, KPK dapat melakukan
pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana
korupsi tidak ditindaklanjuti;
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan;
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya;
112
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung
unsur korupsi;
5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi
karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif,
atau legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan
kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
g. Berdasarkan ketentuan Ps. 10, dalam hal terdapat
cukup alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
KPK dapat melakukan pengambilalihan dengan
memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum
untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.
h. Menurut Pasal 11, dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
113
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
i. Menurut Pasal 12, dalam hal KPK melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK mempunyai
berwenang :
1. Melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang
diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan
tersangka untuk memberhentikan sementara
tersangka dari jabatannya;
114
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan
tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait;
7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain untuk melakukan
pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang
bukti di luar negeri;
9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, menurut Pasal 13,
KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya
pencegahan sebagai berikut :
115
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyepenyelenggara
negara;
2. Menerima laporan dan menetapkan status
gratifikasi;
3. Menyelenggarakan program pendidikan
antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada
masyarakat umum;
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral
dalampemberantasan tindak pidana korupsi.
j. Pasal 14 mengatur, dalam hal KPK melaksanakan
tugas monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf e, KPK mempunyai kewenangan:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem
pengelolaan administrasi di semua lembaga negara
dan pemerintah;
2. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga
negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan
jika berdasarkan hasilpengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut berpotensi
korupsi;
116
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan PemeriksaKeuangan, jika saran Komisi
Pemberantasan Korupsi mengenai usulan
perubahan tersebut tidak diindahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung oleh
sumber daya manusia yang bersumber dari pegawai tetap,
pegawai negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidak
tetap (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005
Tentang Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Sumberdaya manusia penyidikan merupakan pegawai
negeri sipil yang dipekerjakan, berasal dari Kepolisian.
Personil Kepolisian yang dipekerjakan di KPK menjadi
tenaga penyidik KPK, dengan tugas dan koordinasi di
bawah pimpinan KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 4
ayat (2), Pegawai Negeri yang dipekerjakan (penyidik
Kepolisian.pen) tidak kehilangan status Pegawai
Negerinya.
Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih
menjadi pegawai tetap sesuai dengan perayaratan dan tata
cara yang ditetapkan dalam peraturan Komisi. Dengan
beralihnya status kepegawaiannya, pegawai tersebut
117
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri.
(Pasal 7 PP No. 63 Tahun 2005).
Pegawai Negeri yang tidak beralih menjadi pegawai
tetap, statusnya diberhentikan sementara dari pegawai
negeri (Kepolisian.pen) akan tetapi tidak kehilangan
status Pegawai Negerinya. (Ps. 39 ayat (3) UUNo. 30
Tahun 2002 tentang KPK Jo Ps. 5ayat (2) PP No. 63
Tahun 2005). Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK
dengan masa penugasan selama 4(empat) tahun, dan
dapat diperpanjang hanya dalam satu kali perpanjangan.
(Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005)
Pegawai Negeri (penyidik Kepolisian.pen) yang
dipekerjakan di KPK berhenti statusnya sebagai personil
yang dipekerjakan terjadi karena: (1). masa penugasan
telah berakhir (Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005), (2).
Memasuki batas usia pensiun (Ps. 18 huruf a Jo Ps. 19
ayat (2) dan (3). karena sebab lain (Ps. 18 huruf b Jo. Ps
19 ayat (3). Karena sebab lain berdasarkan Pasal 19 ayat
(3), pensiun karena sebab lain karena: a. Meninggal
dunia, b. Atas permintaan sendiri, c. Pelanggaran disiplin
dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah komisi negara
yang keberadaannya diatur oleh undang-undang bersifat
independen tidak tersubordinasi oleh kekuasaan
118
pemerintah, karena memang bukan lembaga dibawah
pemerintah (eksekutif), mempunyai kewenangan yang
laur biasa dan bersifat super body, sehingga diharapkan
bisa bertindak ujung tombak dan pemicu (triger
mecanism) terhadap aparat penegak hukum yang lain
(penyidik Polri dan Kejaksaan) dalam memberantas
korupsi, sehingga penegakan tindak pidana korupsi
berjalan optimal dan profesional.
Fungsi penyidikan KPK secara kelembagaan meskipun
bersifat independen, tidak didukung oleh personil yang
murni sumber daya manusia dari KPK sendiri, termasuk
personil penyidikan. Personil penyidikan (Penyidik Polri)
merupakan personil Penyidik yang di BKO kan (Bawah
Komando Operasi). Artinya untuk sementara personil
Penyidik Polri yang diperbantukan kepada KPK, menjadi
pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu
apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan
kepada instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc),
atau sewaktu-waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila
instansi asal membutuhkan. Kondisi ini memungkinkan
personil tidak independen dan kinerja penuntutan tidak
maksimal.
119
B. LEMBAGA PENUNTUTAN
Fungsi penuntutan merupakan subsistem kedua setelah
subsistem penyidikan dalam rangkaian sistem peradilan
pidana. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di siding pengadilan. Tindakan penututan
dengan demikian adalah merupakan rangkain aktivitas
penegakan hokum, yang dilakukan oleh penegak hokum.
Menurut Pasal 13 KUHAP penuntutan dilakukan oleh
penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Untuk semua jenis tindak
pidana penuntut umum adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan
Republik Indonesia, kecuali untuk tindak pidana korupsi
terdapat jaksa penuntut umum dari lembaga KPK. Dengan
demikian dalam kewenangan penuntutan tindak korupsi,
terdapat dualisme lembaga penuntutan yaitu penuntut umum
dari lembaga kejaksaan dan penuntut umum dari lembaga
KPK.
120
1. Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Jaksa sebagai
penuntut umum dalam perkara pidana mengajukan berkas
perkara kepada pengadilan (hakim) secara aktif. Dalam bahasa
hukum Belanda kedudukan demikian disebut sebagai “staande
magistratuur”atau magistratur berdiri20. Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintah secara garis besar
memiliki fungsi dan kewenangan di bidang penegakan hukum
dan kewenangan yang berhubungan dengan menjaga
ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang penegakan
hukum berhubungan dengan penegakan hukum pidana,
perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang penegakan
hukum pidana kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperolah kekuatan hokum
tetap;
20 Arief Sidharta, Praktisi Hukum Dan Perkembangan Hukum, dalam Bukum
Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 79 tahun Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH
dengan judul “Wajah Hukum Di Era Reformasi”, Bandung, Penerbit Citra
Aditya Bakti, 2000, hal. 202
121
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2), dibidang perdata dan tata
usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat bertindak
baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama Negara atau pemerintah. Adapun tugas dan
kewenangan kejaksaan berkaitan dengan menjaga
ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 ayat (3) meliputi:
a. peningkatan kesadaran hokum masyarakat;
b. pengamanan kebijakana penegakan huukm;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan Negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan
agama;
122
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik
kriminal
Kedudukan lembaga kejaksaan ini diatur dalam Undang-Undang
No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2
ayat (1) yang berbunyi:
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan secara merdeka.
3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
satu dan tidak terpisahkan.
Memperhatikan rumusan tersebut berarti kejaksaan adalah
lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah, yang
menyelenggarakan fungsi yudikatif atau penegakan hokum
khususnya hokum pidana. Prinsip dasar penegakan hokum adalah
independen dan merdeka. Konsekwensi logis kedudukan
kejaksaan sebagai aparat pemerintah adalah tidak independen,
tersubordinasi bahkan terkooptasi oleh kekuasaan pemerintah.
Akibatnya pelaksanaan penegakan hokum yang dilakukan
123
kejaksaan tidak akan independen21. Pasal 19 bahkan secara tegas
menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang tidak mandiri atau
independen, dengan dinyatakan bahwa:
1. Jaksa Agung adalah pejabat Negara;
2. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
Jaksa Agung adalah pemimpin dan penanggungjawab
tertinggi kejaksaan (Pasal 18 ayat (1)), dengan
sendirinya juga penanggungjawab tertinggi fungsi
penuntutan. Pasal 37 ayat (1) menegaskan bahwa
dalam fungsi penuntutan Jaksa Agung
bertanggungjawab atas fungsi penuntutan
dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hokum dan hati nurani, makna
independen tersebut tidak punya arti apabila dikaitkan
dengan realitas yuridis bahwa Jaksa Agunga adalah
pejabat Negara (Pasal 19 ayat (1), diangkat dan
21 Tesis tersebut sesuai dengan fakta, prenyataan Jaksa Agung Hendarman
Supandji pada saat memberikan ceramah umum di depan civitas fakultas
Hukum UNDIP di Gedung Pasca Sarjana Lt VI pada tanggal 27 Pebruari 2009,
bahwa Jaksa Agung sebagai aparat Pemerintah bawahan Presiden, menyatakan
tidak akan melakukan penyidikan terhadap Kepala Daerah yang disangka
melakukan tindak piana korupsi sepanjang belum mendapat ijin untuk
melakukan pemeriksaan oleh Presiden. Sikap demikian menujukkan Jaksa
Agung tidak independen dan terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif (Presiden),
memperlihatkan adanya ketaatan yang lebih kepada kekuasaan (penguasa) dari
pada ketaatan terhadap hukum . Secara nyata sikap tersebut menunjukkan Jaksa
Agung tidak independen atau mandiri dalam melakukan penegakan hukum.
124
diberhentikan Presiden (Pasal 19 ayat (2). Jaksa
Agung dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Presiden. Dengan demikian
lembaga kejaksaan secara institusional berada dalam
posisi yang saling bertentangan. Satu sisi sebagai
penegak hokum harus bertindak indpenden atau
mandiri bebas dari campurtangan pihakmanapun,
disisi lain sebagai aparat pemerintah harus selalu loyal
dan taat pada kekuasaan eksekutif (Presiden).
2. Penuntut Umum Lembaga KPK
Pemberantasan korupsi adalah rangkaian aktivitas penegakan
hokum yang melibatkan perangkat hokum dan lembaga yang
mendukungnya. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 (tiga) UU
No. 30 Tahun 2002, pemberantasan korupsi adalah
serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Rangkaian tugas penegakan hokum tersebut
merupakan cakupan tugas KPK dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi, baik yang bersifat preventif berupa tindakan
koordinasi, supervisi, monitoring termasuk kegiatan sosialisasi
125
dan pendidikan anti korupsi, sedangkan di bidang penegakan
hokum represif, KPK memiliki kewenangan melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK adalah
lembaga “super body” memiliki beberapa kewenangan yang
tidak dimiliki oleh penegak hokum lainnnya. Lembaga KPK
memiliki 3 (tiga) kewenangan sekaligus, sebagai penyelidik,
penyidik dan penuntut sekaligus.
Aturan penindakan dilakukan menurut hokum yang berlaku
(KUHAP) kecuali ditentukan secara khusus. Ketentuan
tersebut ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP, bahwa
segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum
pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut ketentuan
Pasal 39 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002, hokum acara pidana
yang digunakan adalah hokum acara pidana yang berlaku
(KUHAP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
126
ketentuan hokum acara pidana dalam UU No. 30 Tahun
2002.22
Kewenangan penuntutan yang dilakukan KPK adalah bersifat
independen, tidak dibawah koordinasi maupun pengawasan
lembaga lain. Pasal 39 ayat (2) UU KPK, menegaskan bahwa
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan
bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Penuntut dalam penegakan tindak pidana korupsi yang
dilakukan KPK adalah Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi. Penuntut Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi
penuntutan tindak pidana korupsi, yang dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum. (Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3) UU KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung oleh sumber
daya manusia yang bersumber dari pegawai tetap, pegawai
22 Pasal 39 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002, menyatakan bahwa hokum acara
pidana diguanakan KPK dalam nelakukan penegakan hokum tindak pidana
korupsi adalah: hokum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pembernatsan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pembernatsan
Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang in.
127
negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidak tetap (Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sumber
Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sumberdaya manusia penuntutan merupakan pegawai negeri
sipil yang dipekerjakan, berasal dari Kejaksaan. Personil
Kejaksaan yang dipekerjakan di KPK menjadi tenaga penuntut
KPK, dengan tugas dan koordinasi di bawah pimpinan KPK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pegawai Negeri yang
dipekerjakan (penuntut Kejaksaan.pen) tidak kehilangan status
Pegawai Negerinya.
Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih
menjadi pegawai tetap sesuai dengan perayaratan dan tata cara
yang ditetapkan dalam peraturan Komisi. Dengan beralihnya
status kepegawaiannya, pegawai tersebut diberhentikan
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. (Pasal 7 PP No. 63
Tahun 2005).
Pegawai Negeri yang tidak beralih menjadi pegawai tetap,
statusnya diberhentikan sementara dari pegawai negeri
(Kejaksaan.pen) akan tetapi tidak kehilangan status Pegawai
Negerinya. (Ps. 39 ayat (3) UUNo. 30 Tahun 2002 tentang
KPK Jo Ps. 5 ayat (2) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai
Negeri yang dipekerjakan di KPK dengan masa penugasan
128
selama 4(empat) tahun, dan dapat diperpanjang hanya dalam
satu kali perpanjangan. (Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005)
Pegawai Negeri (penuntut Kejaksaan.pen) yang dipekerjakan
di KPK berhenti statusnya sebagai personil yang dipekerjakan
bisa terjadi karena: (1). masa penugasan telah berakhir (Ps. 5
ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005), (2). Memasuki batas usia
pensiun (Ps. 18 huruf a Jo Ps. 19 ayat (2) dan (3). karena
sebab lain (Ps. 18 huruf b Jo. Ps 19 ayat (3). Karena sebab lain
berdasarkan Pasal 19 ayat (3), pensiun karena sebab lain
karena: a. Meninggal dunia, b. Atas permintaan sendiri, c.
Pelanggaran disiplin dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah komisi negara yang
keberadaannya diatur oleh undang-undang bersifat independen
tidak tersubordinasi oleh kekuasaan pemerintah, karena
memang bukan lembaga dibawah pemerintah (eksekutif),
mempunyai kewenangan yang luar biasa dan bersifat super
body, sehingga diharapkan bisa bertindak ujung tombak dan
pemicu (triger mecanism) terhadap aparat penegak hukum
yang lain (Polri dan Kejaksaan) dalam memberantas korupsi,
sehingga penegakan tindak pidana korupsi berjalan optimal
dan profesional.
Fungsi penuntutan KPK secara kelembagaan meskipun
bersifat independen, tidak didukung oleh personil yang murni
129
sumber daya manusia dari KPK sendiri, termsuk personil
penuntutan. Personil penuntutan (Penuntut Umum) merupakan
personil Penuntut Umum Kejakasaan yang di BKO kan
(Bawah Komando Operasi). Artinya untuk sementara personil
Penuntut Umum Kejaksaan yang diperbantukan kepada KPK,
menjadi pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu
apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan kepada
instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc), atau sewaktu-
waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila instansi asal
membutuhkan. Kondisi ini memungkinkan personil tidak
independen dan kinerja penuntutan tidak maksimal.
C. PENGADILAN TIPIKOR
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum diatur secara khusus
dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK), dasar pembentukannya
ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan
bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
130
lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-
undang tersendiri. Berdasarkan hal tersebut perlu pengaturan
mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam suatu undang-
undang tersendiri.
UU-PTPK merupakan pengadilan khusus di bawah lingkungan
Peradilan Umum, merupakan pengadilan satu-satunya untuk
memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi. Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 5, yaitu bahwa “ Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana korupsi”.
Sebelum keluarnya UU-PTPK terjadi “dualisme” pengadilan.
Pertama, pengadilan yang memeriksa dan mengadili tindak pidana
korupsi hasil penyidikandari lembaga kepolisian / kejaksaan dan
penuntutannya dilakukan oleh Penuntut Umum Lembaga
Kejaksaan, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Umum
(Pengadilan Negeri). Kedua, pengadilan yang memeriksa dan
mengadili tindak pidana korupsi hasil penyidikan dan penuntutan
Komisi Pemberantasan Korupsi, diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 6 UU-PTPK menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana Pasal 5 tersebut di atas, mempunyai kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili:
131
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya
adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di siding
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP),
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan
hukum acara tersebut antara lain mengatur:
a. penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua
dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
b. mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di
siding pengadilan baik pada tingkat pertama, banding
maupun kasasi;
c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak
pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan;
d. alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk
alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus
diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
132
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Hakim
Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan
pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya.
Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan
dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang
menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya
cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan
perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa
pemerintah dan lain-lain.
Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan selain karena kompleksitas
perkara tindak pidana korupsi, juga didasari pada ide dasar untuk
memberikan penguatan kinerja pengadilan tindak pidana korupsi
yang selama ini dianggap cenderung tidak “bersih” karena budaya
suap dlam peradilan. Namun sangat disayangkan kehadiran hakim
ad hoc yang ternyata telah mengangkat kinerja pengadilan tindak
pidana korupsi, dengan komposisi majelis hakim terdiri dari 3
(tiga) hakim ad hocda 2 (dua) hakim karier, dirubah oleh UU-
PTPK. Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) dan (4), Penentuan
mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh ketua
pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai
dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus
demi kasus. Ketentuan mengenai kriteria dalam penentuan jumlah
dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
133
memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
134
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussein, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan
dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983,
………………….., Corruption: Its Nature, Causes and
Consequences, Aldershot, Brookfield, Vt: Avebury.
Atrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana Indonesia dan Vicarious Liability, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 1996
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West
Publishing,St.Paul Minesota, 1990
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internsional, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2005
Hartati, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2005
Klitgaard, Robert, Memberantas Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1988
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengelompokan Tindak Pidana
Korupsi menurut Buku “Memahami Untuk Membasmi”
Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi, KPK (Komisi Pemberantsan Korupsi), Agustus 2006
Nawawi Arief, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2003
135
……………, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 1998
………….., “Masalah Kelemahan Penegakan Hukum Pidana
Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
………….., Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan
Evaluasi Terhadap Undang- Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Bahan Masukan UntukTim Pakar
Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999
Santoso, Amir, Korupsi : Penyebab dan Saran Pemberantasannya,
dalam Korupsi Musuh Bersama editor Musni Umar,
Jakarta, Lembaga Pencegah Korupsi, 2004
Sidharta, Arief, Praktisi Hukum Dan Perkembangan Hukum,
dalam Bukum Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 79
tahun Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH dengan judul “Wajah
Hukum Di Era Reformasi”, Bandung, Penerbit Citra Aditya
Bakti, 2000
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni,
Cetakan Keempat, 1996
Supandji, Hendarman, “Tindak Pidana Korupsi dan
Penanggulangannya”, Semarang, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2009
………….., Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan
Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007
136
Tanzi, Vito, Corruption, Governmental Activities, and Market,
IMF Working Paper, Agustus 1994
Transparency International-Indonesia, tanggal 10 Maret 2010
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi
Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kepolisian Republik Indonesia
137
Konggres PBB ke-8/ 1990 mengenai The Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders