penatalaksanaan uveitis
TRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata,dimana dinding
bola mata terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas
lensa,uvea,badan kaca dan retina.Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola
mata setelah sclera dan tenon.Uvea merupakan jaringan lunak,terdiri dari
iris,badan siliar dan koroid.
Uveitis merupakan peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma,
neoplasia, atau proses autoimun.1 Di Indonesia belum ada data yang akurat
mengenai jumlah kasus uvetis, di Amerika terdapat gangguan penglihatan berupa
uveitis sebanyak 10% kasus dan menghasilkan kerugian material sebanyak 10juta
US dollar per tahun.2 Menurut penelitian yang dilakukan di rumah sakit Ghanna,
uveitis merupakan penyebab kebutaan pada dua mata terbanyak ketiga setelah
katarak dan glaukoma.3
Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang
diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun
37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan
dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis
anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika,
penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara
uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi
genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.4,5
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan.1 Kebutaan terhadap
uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga bias meningktakan
tekanan intraokuler dan gangguan nervus optikus. Selain itu bisa terjadi katarak
akibat penggunaan kortikosteroid. Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan
uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan
oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang
tepat.
1
Banyak kelainan uvea yang dahlu belum diketahui patofisiologinya
dengan pasti, dewasa ini kita sudah jelas dapat menjelasakan bila ditinjau dari
sudut pandang imunologi. Kemajuan dalam bidang imunolgi juga sudah
dimanfaatkan sebagai perkembangan produksi berbagai vaksin dan juga obat-
obatan untuk memperbaiki system imun dalam memerangi infeksi dan untuk
menekan fungsi imun pada keadaan hipersensitivitas pada mata.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai
penatalaksanaan uveitis secara komprehensif.
2
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata
yang terletak antara kornesklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari iris,
badan siliaris (corpus siliaris), dan koroid. Bagian ini juga memasok darah
ke retina, iris dan badan siliar disebut dengan uvea anterior, sedangkan
koroid disebut dengan uvea posterior.6
Gambar 2.1 Anatomi Uvea
(Dikutip dari kepustakaan 7)
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan
diafragma yang membagi bola mata menjadi dua segmen, yaitu segmen
anterior dan segmen posterior, ditengah-tengahnya berlubang dan disebut
pupil. Iris juga membagi bilik mata depan (camera oculin anterior) dan
bilik mata belakang (camera oculi posterior). Iris mempunyai kemampuan
secara otomatis mengatur masuknya cahaya ke dalam bola mata.5
3
Secara histologis, stroma terdiri atas stroma dan diantaranya terdapat
lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier disebu dengan
kripta. Didalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak
pembuluh darah, dan saraf. Dipermukaan anterior terdapat sel epitel kecuali
didaerah kripta sehingga pembuluh darah dapat berhubungan langsung
dengan cairan yang terdapat di camera oculi anterior yang memungkinkan
percepatan pengaliran nutrisi ke camera oculi anterior. Di bagian posterior
dilapisi oleh 2 lapisan epitel yang merupakan lanjutan dari sel epitel pigmen
dari retina.5 Di dalam iris terdapat otot M. sfingter pupil yang berjalan
sirkuler dan dipersarafi oleh N III, serta terdapat otot M. dilator pupil yang
berjalan radier dan dipersarafi oleh saraf simpatis. Iris mendapat persarafan
dari nervus siliaris.5
Badan siliar (corpus siliar) berbentuk segitiga dan terdiri dari 2
bagian: pars korona (anterior bergerigi panjangnya 2 mm) dan pars plana
(posterior tidak bergerigi, panjangnya 4 mm). badan siliar berfungsi sebagai
pembentuk aquos humor. Bagian ini merupakan bagian terlemah dari mata,
sehingga trauma, peradangan, neoplasma di daerah ini dapat menyebabkan
suatu kegawatan.
Pada bagian pars korona dilapisi oleh 2 lapis sel epitel sebagai
lanjutan epitel iris. Bagian putih yang menonjol disebut processus yang
keluar serat-serat zonula zinn yang merupakan pengganung lensa.5
Vaskularisasi uvea dibedakan antara bagian anterior yang
diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang masuk
menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan
7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior,
medial, inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan
posterior ini bergabung membentuk arteri sirkularis mayor pada badan
siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan darai 15-20 buah arteri siliar
posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saref optik.5
4
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara
bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang
menerima 3 akar saraf di bagian posterior, yaitu:
1. saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung
serabut sensoris untuk kornea, iris dan badan siliar.
2. saraf simpatis, yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari
simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah
uvea dan untuk dilatasi pupil.
3. akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk
mengecilkan pulil. 5
2.2 Definisi
Uveitis merupakan inflamasi pada traktus uvealis. Definisi uveitis
sekarang dipakai tidak hanya infeksi yang mengenai uvea akan tetapi infeksi
yang mengenai struktur lain yang berdekatan dengan uvea.8
2.3 Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70
tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua
umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan
afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat
tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior akut.
Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik idiopatik
dan toksoplasmosis.9
2.4 Patofisiologi
Uvea terdiri dari uvea anterior dan uvea posterior, uvea anterior
sendiri terdiri dari iris dan badan siliar sedangkan uvea anterior terdiri dari
lapisan choroid.
Fungsi iris:
5
Iris atau Selaput Pelangi merupakan jaringan berbentuk cakram
melingkar yang terdapat persis di depan lensa. Jaringan ini tersusun atas
serabut otot sirkuler dan radial. Di bagian ini terdapat pigmen yang
mengatur warna mata, artinya warna pada mata kita sekarang adalah Iris
atau Selaput Pelangi.
Fungsinya mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan
mengatur ukuran pupil. Tekstur visual dari selaput pelangi dibentuk selama
perkembangan janin dan menstabilkan diri sepanjang dua tahun pertama
dari kehidupan janin. Tekstur selaput pelangi yang kompleks membawa
informasi sangat unik dan bermanfaat untuk pengenalan pribadi.
Selaput pelangi atau iris adalah daerah berbentuk gelang pada mata
yang dibatasi oleh pupil dansklera (bagian putih dari mata). Tekstur visual
dari selaput pelangi dibentuk selama perkembangan janin dan menstabilkan
diri sepanjang dua tahun pertama dari kehidupan janin. Tekstur selaput
pelangi yang kompleks membawa informasi sangat unik dan bermanfaat
untuk pengenalan pribadi. Kecepatan dan ketelitian dari sistem pengenalan
berbasis Iris sangat menjanjikan dan sangat memungkinkan untuk
digunakan pada sistem identifikasi berskala besar. Masing-masing selaput
pelangi adalah unik dan seperti sidik jari, tekstur selaput pelangi dari
kembar identik adalah berbeda. Tekstur dari selaput pelangi sangat sulit
untuk dirusak melalui pembedahan
Fungsi Badan Siliar:
Pada penampang melintang badan siliar berbentuk segitiga kasar,
meluas dari pinggir anterior koroid ke akar iris, jaraknya kira-kira 6 mm.
Terdiri atas 2 bagian : korona siliar, yaitu bagian anerior yang berkerut-
kerut, 2 mm, dan pars plana, yaitu bagian yang lebih halus dan rata, 4 mm.
Permukaan korona siliar terdiri atas banyak tonjolan dan lekukan. Epitel
siliar terdiri dari 2 lapis, yaitu bagian luar yang berpigmen dan bagian dalam
yang tidak berpigmen, kedua-duanya melanjutkan diri sebagai lapisan
pigmen permukaan posterior iris. Epitel pigmen merupakan lanjutan epitel
pigmen retina ke arah depan. Otot-otot siliar terdiri atas bagian longitudinal,
6
bagian rdial, dan bagian sirkular. Fungsinya mengerutkan dan
mengendorkan serabut-serabut zonula, sehingga terjadi perubahan tegangan
pada kapsul lensa yang memberikan berbagai fokus baik terhadap obyek
dekat maupun obyek yang letaknya lebih jauh di dalam lapang pandang.
Jonjot-jonjot siliar terutama terdiri atas kapiler-kapiler dan vena-vena yang
mengalirkan darah melalui vena kortek. Kapilernya besar-besar dan bagian-
bagian dindingnya ada yang bercelah sehingga pada suntikan fluoresein
intravena bisa terjadi kebocoran. Pars plana terdiri atas lapisan tipis otot
siliar dan pembuluh-pembuluh darah yang ditutupi oleh epitel siliar.
Serabut-serabut zonula yang menahan lensa tetap pada tempatnya berorigo
pada lekukan-lekukan diantara jonjot-jonjot siliar. Pembuluh-pembuluh
darah yang ke badan siliar berasal dari lingkaran besar iris. Persarafan
sensorik berasal dari saraf siliar.
Fungsi Choroid :
Koroid (bagian posterior uvea dan selubung tengah bola mata)
terletak diantara retina dan sklera. Sebagian besar terdiri atas pembuluh
darah. Pembuluh-pembuluh darah koroid di bagian dalam jonjot-jonjot siliar
melekat pada membran bruch sedangkan bagian luarnya melekat pada
suprakoroid. Suprakoroid yang avaskular ini tediri atas lamel-lamel jaringan
kolagen dan elastik. Membran Bruch terdiri atas 3 bagian : yang terluar
berujud lapisan elastik, ditengah berupa lapisan kolagen, dan yang terdalam
berupa lapisan kutikular( merupakan membran basal epitel pigmen retina).
Makin dalam letak pembuluh-pembuluh darah didalam koroid makin besar
lumen pembuluh-pembuluh darah tersebut. Ada tiga lapisan yaitu pembuluh
darah besar, media, dan kecil. Lapisan pembuluh-pembuluhdarah kecil yang
terdlam dikenal sebagai korokapiler dan terdiri atas kapiler-kapiler besar
yang memberikan nutrisi kepada retina bagian luar. Endotel kapiler ini
bercelah sehingga pada penyuntikan fluoresein intravena terlihat adanya
kebocoran fluoresein. Sebagian besar pembuluh darah besar adalah vena.
Vena-vena ini menyatu dan meninggalkan bola mata menjadi 4 vena
vorteks, masing-masing terdapat pada keempat kuadran posterior. Lapisan
7
pembuluh darah koroid juga mengandung beberapa serabut elastik dan
kromatofor. Di bagian posterior, koroid melekat erat pada tepi saraf optik
dan ke anterior meluas ke ora serata, yang kemudian bergabung dengan
badan siliar.
Kesimpulan:
Iris berfungsi mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam
mata. Pupil menciut akibat rangsangan cahaya dan melebar apabila suasana
sekeliling redup atau gelap. Badan siliar membentuk akar iris dan melalui
serabut-serabut zonula mengatur kecembungan lensa pada waktu
akomodasi. Cairan mata disekesikan oleh jonjot-jonjot siliar ke dalam bilik
mata belakang. Koroid berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah
sangat besar, yang fungsinya memberi nutrisi retina bagian terluar yang
terletak dibawahnya.
2.5 Etiologi
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang
dapat berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat
diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis
dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini
atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat
disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen
dapat menjalar ke mata atau timbul reaksi alergi mata.4
Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik; penyakit
sistemik yang berhubungan dengan HLA-B27 seperti; ankylosing
spondilitis, sindrom Reiter, penyakit crohn’s, Psoriasis, herpes zoster/
herpes simpleks, sifilis, penyakit lyme, inflammatory bowel disease;
Juvenile idiopathic arthritis; Sarcoidosis, trauma dan infeksi. 4
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan patologi, dapat dibedakan dua jenis besar uveitis yaitu
non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. 5,10,11
8
Uveitis non-granulomatosa. Umumnya tidak ditemukan organisme
patogen dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, sehingga jenis ini
diduga merupakan semacam fenomena hipersensitivitas.5,10 Uveitis non-
granulomatosa ini terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris
dan badan siliar. 5,10 Menurut patologinya, ditemukan reaksi radang, dengan
terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah banyak
dan sedikit sel mononuklear. 5,10 Pada kasus berat dapat sampai ditemukan
bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior. 5,10
Penyebab uveitis non-granulomatosa akut yakni trauma, diare
kronis, penyakit Reiter, herpes simpleks, Sindroma Bechet, Sindroma
Posner Schlosman, pascabedah, adenovirus, parotitis, influenza, dan
chlamydia.3 Sedangkan penyebab uveitis non-granulomatosa kronis ialah
artritis reumatoid dan iridosiklitis heterokromik Fuchs.11
Gejala dan tanda berupa onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,
reaksi vaskular lebih hebat dari reaksi seluler sehingga injeksinya hebat
(banyak pembuluh darah), fotofobia, penglihatan kabur, badan kaca tak
banyak kekeruhan. 5,10 Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil tidak
teratur.
Gambar 2.2 uveitis karena Herpes simpleks
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
9
Terapinya diberikan analgetika sistemik secukupnya untuk rasa
sakit dan kaca mata gelap untuk fotofobia. 5,10 Pupil harus tetap dilebarkan
dengan atropin, yaitu mula-mula diberikan setiap 2 jam satu tetes, sampai
pupil lebar dan tetap lebar, kemudian cukup 3 kali sehari. Pemberian sulfas
atropin ini dapat menyebabkan glaukoma sehingga perlu pengukuran
tekanan intraokuler secara teratur. Pada anak-anak sebaiknya diberikan
dalam bentuk salep karena obat tetes akan cepat keluar saat anak menangis.
Jika sudah reda, dapat diberikan cyclopentolate untuk mencegah spasme dan
terbentuknya sinekia posterior. Tetes steroid lokal biasanya cukup efektif
untuk kerja anti radangnya, secara; tetes mata : siang hari diberikan setiap
jam satu tetes, salep mata : diberikan pada pagi dan malam hari, suntikan
subkonjungtival : 2 kali seminggu 0,3-0,5 cc , sejauh mungkin dari forniks
(arah pukul 12) untuk menghindarkan gangguan kosmetik. Pada kasus berat
dapat diberikan steroid sistemik, yaitu : diberikan 6-8 tablet sekaligus pada
pagi hari, sebaiknya sebelum pukul 8, dimana kadar streoid dalam darah
paling rendah.
Perjalanan penyakit dan prognosisnya, dengan pengobatan,
serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari
sampai minggu kelima sering kambuh.
Uveitis granulomatosa. Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif
ke jaringan oleh organisme penyebab, misalnya Mycobacterium
tuberculosis atau Toxoplasma gondii. 5,10 Meskipun demikian, patogen ini
jarang ditemukan sehingga diagnosis etiologik jarang ditegakkan.5 Dapat
mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun paling sering pada
uvea posterior, yakni koroidea. 5,10 Secara histologis, ditemukan kelompok
nodular sel-sel epitelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di
daerah yang terkena.5 Deposit radang tersebut sebagian besar terdiri atas
makrofag dan sel epiteloid.5 Untuk menegakkan diagnosis etiologi sering
kali harus menggunakan pemeriksaan laboratoris atau histologis.5
Penyebabnya ialah sarkoiditis, sifilis, tuberkulosis, virus,
histoplasmosis, dan toksoplasmosis.11
10
Gejala dan tanda biasanya onset tidak kentara. Penglihatan
berangsur kabur dan mata merah secara difus di daerah sirkumkornea,
reaksi seluler lebih hebat dari reaksi vaskular.5,6 Sakitnya minimal dan
fotofobia tidak seberat pada non-granulomatosa.5,6 Pupil sering mengecil
dan terdapat kekeruhan pada badan kaca.5,6 Tampak kemerahan (flare) dan
sel-sel di kamera okuli anterior, dan nodul-nodul yang terdiri atas
kelompok sel-sel putih di tepian iris, disebut juga nodul Koeppe. 5,6
Harus ditanyakan riwayat terpajan toksoplasmosis, histoplasmosis,
tuberkulosis, dan sifilis dalam hal kepentingan terapi etiologi. Juga perlu
diperiksa apakah pasien sedang mengalami infeksi pada organ atau bagian
tubuh lain.
Gambar 2.3 deposit sel radang pada koroid karena Toxoplasma
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Terapinya diberikan regimen sesuai organisme penyebab.5,6 Jika
segmen anterior terkena, pelebaran pupil harus dilakukan dengan pemberian
sulfas atropin. Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis granulomatosa
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi
dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan
penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan terbaik.5,6
Berikut tabel perbedaan uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa5
Gejala dan Tanda Non-granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Sakit Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
11
Merah sirkumkorneal Nyata Ringan
Presipitat keratik Putih halus Kelabu besar
Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
Synechiae posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang
Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan
posterior
Perjalanan Akut Menahun
Rekurens Sering Kadang-kadang
Tabel 2.1 Pembagian Penyakit Radang Traktus Uvealis Berdasarkan
Letaknya 5,11 :
A. Uveitis Anterior
Gambar 2.4 uveitis anterior akut (diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Uveitis anterior adalah radang pada iris (iritis) atau badan siliar
(siklitis) dan dapat terjadi bersamaan, yang disebut sebagai iridosiklitis.11
1. Iritis akut 11
Iritis akan memberikan gejala berupa rasa sakit, merah, fotofobia,
kesukaran melihat dekat karena mengakibatkan gangguan pada otot
akomodasi.
Tanda yang didapat, yaitu pupil kecil akibat rangsangan proses
peradangan pada otot sfingter dan terdapatnya edem iris. Pada proses akut,
miopisasi terjadi akibat rangsangan badan siliar dan edem lensa; terdapat
flare dalam bilik mata depan, bahkan pada yang sangat akut akan terlihat
12
hifema dan hipopion; dapat ditemukan tekanan bola mata yang tinggi
ataupun rendah. Tekanan bola mata yang tinggi terjadi karena adanya
gangguan pengaliran keluar cairan mata oleh sel radang atau perlengketan
sudut bilik mata. Sedangkan tekanan bola mata yang rendah terjadi karena
adanya gangguan fungsi pembentukan cairan mata oleh badan siliar. Ini
berarti telah terjadi siklitis iridosiklitis. Tekanan bola mata yang rendah
ditemukan pada siklitis sendiri.
Perjalanan penyakit iritis sangat khas, yaitu berlangsung antara 2-4
minggu. Bisa terjadi kekambuhan sehingga prosesnya menjadi menahun.
Prinsip pengobatannya adalah terhadap organisme penyebab, jika
dicurigai merupakan kasus invasi dari organisme patogen atau pemberian
steroid pada kasus yang merupakan reaksi hipersensitivitas. Steroid
diberikan pada siang hari dalam bentuk tetes dan malam hari dalam bentuk
salep. Bila kasusnya berat dapat dipertimbangkan pemberian steroid
sistemik yang diberikan dalam dosis tunggal seling sehari yang tinggi
kemudian dosis diturunkan sampai dosisi terendah yang efektif. Pemberian
steroid bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, melepas sinekia yang terjadi,
dan membri istirahat pada iris yang meradang.
Penyulit yang sering terjadi yaitu sinekia anterior perifer dan
sinekia posterior, glaukoma sekunder akibat tertutupnya trabekulum oleh sel
radang atau sisa sel radang. Pada peradangan yang menahun dapat terjadi
edem makula yang kadang berlanjut menjadi ablasi retina nonregmatogenos
atau serosa.
2. Iridosiklitis akut 11
Merupakan bentuk penyakit radang yang paling sering terjadi pada uveitis
anterior. Penyakit ini dapat akut dan menahun. Pada yang menahun biasanya
merupakan kekambuhan dari reaksi imunologik.
Penyebab dari iridosiklitis 5,11 :
Autoimun
1. Artritis reumatoid juvenilis
13
2. Spondilitis ankilosa Sindroma Reiter
3. Kolitis ulserativa
4. Uveitis terinduksi lensa
5. Sarkoidosis
6. Penyakit Chron
7. Psoriasis
Infeksi
1. Sifilis
2. Tuberkulosis
3. Lepra
4. Herpes zoster
5. Herpes simpleks
6. Onkoserkiasis
7. Adenovirus
Keganasan
1. Sindroma Masquerade
2. Retinoblastoma
3. Leukimia
4. Limfoma
5. Melanoma maligna
Lain-lain
1. Idiopatik
2. Uveitis traumatika, termasuk cedera menembus
3. Ablasio retina
4. Iridosiklitis heterokromik Fuchs
5. Gout
6. Krisis glaukomatositik
14
Gambar 2.5 iridosiklitis rekurens, irregular pupil
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Gambar 2.6 Perbedaan warna iris pada penderita iridosiklitis heterokromik Fuchs.
Warna sisi yang terkena menjadi lebih terang karena adanya kolaret.
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Diagnosis Banding 1,3
Uveitis anterior perlu dibedakan dengan konjungtivitis, keratitis dan glaukoma
akut. Adapun secara ringkas dan sistematis telah dibuat perbedaan antara
ketiganya dalam bentuk tabel berikut ini :
Iridosiklitis akut Glaukoma akut Keratitis akut
Sakit Sakit rasa tertekan Sakit sekali Sakit sedikit
Visus Berkurang Sangat berkurang Berkurang
Merah Injeksi perikorneal Injeksi episkleral Injeksi perikorneal
Iris Warna kotor Warna kotor Normal
Pupil Mengecil Sedikit melebar Normal/kecil
Reaksi Lambat Kaku Kuat
Komplikasi 5
15
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang manghalangi
humor akueis keluar dari sudut kamera anterior dan berakibat glaukoma. Sinekia
posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya
humor aqueus di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan. Pelebaran
pupil sejak dini dan terus menerus mengurangi kemungkinan timbulnya sinekia
posterior. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Ablasio
retina kadang-kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang
vitreus. Edema kistoid makular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior
yang berkepanjangan.
B. Uveitis Intermediet 6
Uveitis intermediet adalah pembagian berdasarkan anatomi yang telah
ditetapkan oleh International Uvetitis Study Group (IUSG). Uveitis intermediet
merupakan peradangan yang terutama melibatkan retina bagian perifer, pars plana
dan badan vitreus. Nama lain dari uvetitis intermediet adalah siklitis kronik,
uveitis periferal dan pars planitis.
Di Amerika, kasus uveitis intermediet mencapai 8-15 % dari keseluruhan
kasus uveitis. Rodriguez et al melakukan penelitian dengan menggunakan IUSG
dan menemukan adanya 162 pasien dengan uveitis intermediet (13%) dari 1237
pasien.5
Biasanya gejala yang dirasakan pasien adalah kekaburan penglihatan dan
floaters yang tidak disertai dengan rasa sakit. Mata merah dan fotofobia tidak
selalu ditemukan pada pasien dengan uveitis intermediet. Ditemukan adanya
peradangan yang ringan sampai berat pada segmen anterior yang lebih jelas pada
anak-anak dan pasien dengan multipel skerosis. Kehilangan daya penglihatan
dapat terjadi bila terdapat sel-sel radang yang berasal dari badan vitreus pada sin
qua non dan adanya peradangan yang berat pada badan vitreus.
Berdasarkan hasil penelitian Rodriguez et al dapat disimpulkan bahwa
pada 162 pasien dengan uveitis intermediet 69% tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik), terdapat sarkoidosis pada 22% pasien, multiple sklerosis pada 8 %
pasien, dan Lyme disease pada 1 pasien.2
16
Uveitis intermediet sering berkaitan dengan beberapa kelainan sistemik.
Maka dari itu pada evaluasi diagnostik awal harus disingkirkan adanya Sindroma
Marsquerade dan penyakit-penyakit infeksi yang merupakan kontraindikasi
pemberian imunosupresan.
C. Uveitis Posterior
Gambar 2.7 Uveitis posterior
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea,
yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis.1,4 Pada uveitis
posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal sebagai
koriorenitis.2,4 Berdasar patologinya, uveitis posterior juga dapat dibedakan
menjadi uveitis granulomatosa dan uveitis non granulomatosa. Pada jenis non
granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan berespon
baik dengan terapi kortikosteriod sehingga sering dianggap semacam fenomena
hipersensitivitas. Pada jenis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh organisme penyebab. Pada uveitis posterior umumnya lebih
sering terjadi uveitis jenis granulomatosa.2 Onset uveitis posterior bisa akut dan
mendadak atau lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses
granulomatosa kronis.2,4
Uveitis posterior dapat ditemui dalam bentuk-bentuk berikut ini :1,4
o Koroiditis anterior, radang koroid purifier
17
o Koroiditis areolar, koroiditis bermula di daerah makula
lutea dan menyebar ke perifer
o Koroiditis difusa atau diseminata, bercak peradangan
koroid tersebar di seluruh fundus okuli
o Koroiditis eksudatif, koroiditis disertai bercak-bercak
eksudatif
o Koroiditis juksta papil
Penyebab uveitis posterior dapat diklasifikasikan sebagai berikut 1,4:
- penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)
virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella,
rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.
bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik
dan endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium
avium-intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
- penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)
autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,
poliarteritis nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.
keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi
metastatik.
etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati
pigmen plakoid multifokal akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati
pigmen retina.
Untuk mempermudah diagnosis, uveitis posterior dapat dikelompokkan sebagai
berikut 1,4:
18
Uveitis posterior pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh infeksi
virus sitomegalo, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi
rubella.
Uveitis posterior pada kelompok usia 4-15 tahun dapat disebabkan oleh
toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediet, infeksi sitomegalovirus,
panensefalitis sklerosis subakut, dan jarang infeksi bakteri atau fungus.
Pada kelompok umur 16-40 tahun, disebabkan oleh toksoplasmosis,
penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmia
kandida, dan jarang infeksi bakteri endogen seperti meningitis
meningokokus.
Kelompok usia lebih dari 40 tahun mungkin menderita sindroma nekrosis
retina akut, toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo, retinitis, sarkoma sel
retikulum, atau kriptokokosis.
Apabila terjadi uveitis posterior unilateral, biasanya lebih condong akibat
toksoplasmosis, kandidiasis, toksokariasis, sindroma nekrosis retina akut,
atau infeksi bakteri endogen.
Gejala Uveitis Posterior: 1,3,4
1. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis
uveitis posterior.
2. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen
posterior yang terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan
tidak ada pada histoplasmosis.
3. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom
nekrosis retina akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior,
dan pada kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien
toksoplasmosis, toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak
disertai glaukoma umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit
segmen posterior noninfeksi lain yang khas tidak sakit adalah
epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan
Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada.
19
Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :5
1. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia,
penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.
2. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis
granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan koroid,
sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non
granulomatosa dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen
plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan sindrom
nekrosis retina akut.
3. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis
retina akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
4. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior.
Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen
posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau
histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel
retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus
toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya,
peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada
tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis,
toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida
endogen.
5. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang
menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi
virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya mengenai retina
secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis.
Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses
granulomatosa, yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama
mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan pasien tidak
menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada
20
oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa
lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-Fuchs.
6. Vaskulitis.
7. Hemoragik retina.
8. Parut lama.
Patologi Uveitis Posterior 4
Pada stadium awal terjadi kongestif dan inviltrasi dari sel-sel radang seperti PMN,
limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih banyak
berperan pada uveitis jenis granulomatosa sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya
pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila inflamasi
berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan menginvasi
rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada
uveitis granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell
sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian exudat menghilang dengan
disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan retina yang terkena. Eksudat
dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula pigmen akibat nekrosis atau
atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan difagositosis oleh makrofag
dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.
Gambar C2.8 cell depocits pada uveitis
Komplikasi 1,4
21
1. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour,
badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.
2. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.
Penatalaksanaan uveitis posterior pada prinsipnya sama dengan uveitis
anterior atau uveitis lainnya, yaitu mengatasi penyebabnya. Karena penyebab
uveitis posterior juga merupakan penyebab yang sama pada hampir semua kasus
uveitis difusa, maka penatalaksanaan uveitis posterior akan dibahas lebih lanjut
pada bagian uveitis difusa.
Prognosis 4
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi daerah
lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan berpengaruh
pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang fundus tidak
mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.4
D. Uveitis Difusa2
Istilah ini merupakan kondisi infiltrasinya sel kurang merata dari semua unsur
di traktus uvealis. Penyebab uveitis difus ini bermacam-macam, antara lain :
sarkoidosis, tuberculosis, sifilis, onkoserkiasis, brucellosis, oftalmia simpatis,
penyakit Behcet, sistiserkosis, Sindroma Vogt-Konyanagi-Harada, Sindrom
Masquerade, benda asing intraokuler.
Berikut ini kita bahas penyakit uveitis berdasarkan penyebabnya2:
1. Oftalmika simpatika
Adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang
timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cedera mata tembus di
daerah korpus siliaris atau setelah kemasukan benda asing. Penyebabnya
tidak diketahui, namun penyakit ini berkaitan dengan hipersensitivitas di
uvea atau biasa disebut penyakit autoimun.2,10 Pada 80% kasus, mata yang
cedera mula-mula meradang dalam 2 sampai 12 minggu setelah trauma
dan mata sebelahnya meradang kemudian.10 Dari traktus uvelis proses itu
menyebar ke nervus optikus dan ke pia dan araknoid sekitar nervus
optikus. Pasien mengeluh tentang fotofobia, kemerahan, dan kaburnya
22
penglihatan. Oftalmia simpatika dibedakan dari uveitis granulomatosa lain
karena riwayat trauma dan bedah okuler dan lesinya unilateral, difus, dan
akut, bukan unilateral, setempat dan menahun.
Pengobatan meliputi pemberian kortikosteroid jangka panjang dan
obat-obat imunosupresive.10 Untuk mata yang cedera berat dianjurkan
dilakukan enukleasi segera untuk mencegah oftalmia simpatika.10 Harus
diwaspasai kebutaan yang dapat segera terjadi berkaitan dengan penurunan
visus yang drastis dalam jangka waktu 2 minggu setelah trauma.10
2. Uveitis tuberkulosis
Gambar 2. uveitis difusa tuberkulosis
Diagnosis penyakit ini dengan menemukan baksil tuberkel dalam
jaringan dan didukung dengan skin test terhadap PPD yang positif.10
Meskipun infeksi ini dikatakan ditularkan melalui fokus primer ditempat
lain, tuberkulosis uvea jarang ditemukan pada pasien tuberkulosis paru
aktif. Uveitis tuberkulosis mungkin difus namun khas terlokalisir dalam
bentuk koriorenitis granulomatosa nekrotikan berat. Tuberkel itu sendiri
terdiri atas sel-sel raksasa dan sel-sel epiteloid. Sering terjadi nekrosis
perkijuan. Pasien mengeluh tentang penglihatan yang kabur dan mata
memerah sedang. Jika yang terkena adalah koroid dan retina, tampak masa
setempat kekuningan yang agak ditutupi vitreus yang berkabut. Adanya
nodul dan sifat terlokalisir pada uveitis tuberkulosis membantu
membedakan secara klinik dari oftalmia simpatika dan adanya perkijuan
membedakan secara patologik dari oftalmika simpatis dan sarkoid Boeck.
23
Pengobatan dengan kortikosteroid dan pupil harus tetap dilebarkan
dengan atropin 1 %. Yang paling penting ialah pengobatan dengan
regimen antituberkulosis selama 4-6 bulan, disertai pemberian sikloplegika
jika terjadi inflamasi intraokular.10
3. Sarkoidosis
Adalah penyakit granulomatosa menahun yang belum diketahui
penyebabnya, ditandai dengan banyak nodul kutan dan subkutan, juga
pada visera dan tulang, dan eksaserbasi dan remisi secara periodik.
Sarkoidosis memberikan gambaran klinis yang bervariasi, tetapi vitritis
dan retinitis dengan eksudasi perivaskular dan inflamasi merupakan
manifestasi yang paling sering dijumpai.9 Reaksi jaringannya lebih ringan
dari uveitis tuberkulosis dan tidak terjadi perkijuan. Diagnosis harus
didukung dengan biopsi dari nodul kutan.
Terapi dengan kortikosteroid yang diberikan pada awal penyakit dan
dipertahankan untuk pengobatan jangka panjang dapat efektif, namun
sering kambuh dan prognosis visual jangka panjang buruk.10
Gambar 2.10 Sarkoidosis, lesi bewarna kekuningan (yellowish lesion)
4. Onkoserkiasis
Disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditularkan melalui lalat
Simulium damnosum. Mikrofilarianya menimbulkan rasa gatal dan timbul
lesi kutan pada paha, lengan, kepala dan bahu. Penembuhan lesi kulit
dapat berakibat hilangnya elastisitas kulit dan daerah-daerah tanpa pigmen.
24
Gejala klinik: tampak nodul kulit, kornea menampakan keratitis
nummularis dan keratitis sclerosis. Mikrofilaria yang berenang aktif di
kamera anterior tampak sebagai benang-benang perak. Mikrofilaria yang
mati menimbulkan reaksi radang hebat dan uveitis, vitritis, dan retinitis
berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis fokal dan timbul atrofi optik akibat
glaucoma. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan mikofilaria hidup
dalam jaringan.
Pengobatan yang dianjurkan adalah nodulektomi dan ivermectin. Terapi
topikal dengan kortikosteroid dan sikloplegika berguna untuk uveitis.
5. Sistiserkosis
Adalah penyebab umum morbiditas okuler berat. Penyakit ini endemik
di Meksiko dan Amerika Tengah dan Selatan lain. Penyakit ini disebabkan
oleh termakannya telur Taenia solium atau oleh peristaltik terbalik pada
kasus obstuksi usus karena cacing pita dewasa. Telur menjadi matang dan
embrio menembus mukosa usus, memasuki sirkulasi. Gerakan larva dalam
mata merangsang reaksi radang menahun dan fibrosis. Bila terkena otak
akan timbul kejang. Pengobatan sistiserkosis adalah dengan pembuangan
melalui bedah. Sistiserki subretina dapat dibuang melalui skleretomi lokal
atau dihancurkan dengan fotokoagulasi. Larva intravitreal dibuang melalui
virektomi pars plana.
6. Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada 9
Gambar 2.11 inflamasi granulomatosa intraokular pada Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada
25
Merupakan sindroma idiopatik, bilateral, dan inflamasi yang
responsif terhadap pemberian kortikosteroid, yang sering pada usia
pertengahan. Sindroma ini jarang ditemui pada orang Asia serta pada ras
yang mempunyai pigmentasi kulit yang tebal. Sindroma ini ditandai
dengan inflamasi granulomatosa intraokular. Sering terjadi pada katarak
dan glaukoma. Penyebab sindroma ini masih belum diketahui, tetapi
kelainannya diyakini sebagai respons hipersensitivitas terhadap pigmen.
Pada pemeriksaan fundus didapatkan lesi multipel pada koroid yang
berwarna kekuningan, dimana lesi-lesi tersebut hiperfluoresensi pada
stadium lanjut dengan pemeriksaan angiografi. Selain kelainan pada mata,
ditemukan juga kelainan sistemik berupa; poliosis ( depigmentasi yang
terlokalisir pada rambut) yang terjadi pada 90% pasien, alopesia, dan
vitiligo. Gangguan pada pendengaran terjadi pada lebih 75% pasien dan
kelainan-kelainan neurologik lainnya, termasuk psikosis.
Pengobatan meliputi pemberian kortikosteroid topikal dan
sistemik, seperti juga obat-obat sikloplegika. Jika serangan berat dan
semakin lama durasinya, pemberian obat-obat imunosupresif kuat patut
dipertimbangkan, seperti siklofosfamid atau klorambusil.10
Sindroma Behcet 10
Sindroma ini jarang ditemukan di Amerika tetapi banyak
ditemukan di daerah Timur Tengah. Pada kebanyakan kasus diduga
sindroma ini berkaitan erat dengan HLA-B5 dan HLA-B51. Manifestasi
okular yang sering ditemukan termasuk uveitis anterior berat dengan
hipopion, vaskulitis retina, dan inflamasi nervus potikus. Kekambuhan
sering terjadi.
Diagnosis sindroma ini ditegakkan dengan disertai temuan-temuan
klinis sistemik lainnya, seperti ulkus aphtous pada mulut atau ulkus pada
genital, dermatitis, yang berupa eritema nodosum, tromboflebitis, serta
epididimitis.
26
Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid lokal dan sistemik
bersamaan dengan obat-obat sikloplegika. Kebanyakan pasien memrlukan
obat-obat imunosupresif seperti siklosporin atau klorambusil.
7. Sifilis 10
Sifilis dapat menyebabkan uveitis pada stadium berapa saja,
termasuk stadium primer, sekunder, tertier dan stadium laten. Diagnosa
ditegakkan dengan melibatkan hasil laboratorium tes Venereal Disease
Research Laboratories (tes nonspesifik), seperti juga tes antibodi
treponemal.Pengobatan dengan memberikan penicillin intravena selama
10-14 hari. Kortikosteroid lokal dan sistemik, beserta obat-obat sikloplegik
juga diberikan jika terdapat inflamasi intraokular yang berat
2.7 Penatalaksanaan Uveitis
Prinsip penatalaksanaan uveitis:15
1. Menekan peradangan
2. Mengeliminir agen penyebab
3. Menghindari efek samping obat yang merugikan terhadap mata maupun organ
tubuh lain di luar mata.
Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis yang ditegakkan.
Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka ada dua tindakan yang harus kita
lakukan, yaitu:16
1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi spesialistik.
2. Pengobatan inisial non spesifik.
Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah
suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya.
Diagnosis yang ditegakkan penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal
no matter what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak seluruhnya
benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang fatal bila tidak diberi terapi
spesifik seperti pads toxoplasmosis, tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain.
27
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya
dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topikal atau oral adalah
ditujukan untuk mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior
adalah memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan
inflamasi ocular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya
sinekia, dan mengatur tekanan intraocular.
Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya
menggunakan kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid
atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-
obatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius,
seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan
galukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil.
Obat-obatan uveitis non spesifik:16,17,18
a. Midriatik- siklopegik
b. Kortikosteroid
c. Imunosupresan
1. Midriatik-sikloplegik
Tabel 2.2 Macam obat midriatik-sikloplegik
Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena iris akan
tetap dapat terkontraksi supaya tidak terjadi sinekia posterior. Apabila sudah
terjadi sinekia posterior dapat dilepaskan dengan atropin atau homatropin
diteteskan tiap 5 menit, kokain dan penilefrin.19
Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang bekerja
memblokade neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter iris dan otot
ciliaris. Cycloplegic mempunyai tiga tujuan dalam pengobatan uveitis anterior,
28
yaitu untuk mengurangi nyeri dengan memobilisasi iris, mencegah terjadinya
perlengketan iris dengan lensa anterior ( sinekia posterior ), yang akan
mengarahkan terjadinya iris bombe dan peningkatan tekanan intraocular,
menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya protein leakage
(flare) yang lebih jauh.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan. Semua
orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat
pada uveitis. Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior
adalah mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan
membran sel, menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan
sirkulasi limposit.
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga
daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi
pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan.
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan
makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek
antiinflamasinya. Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan
preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular
baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya
dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal
mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari
selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang
mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat
yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang
baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi
tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti
29
inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam
pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intraokular dengan kortikosteroid
dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis :
1. Lokal :
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal
adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek
samping yang minimal. Dan apabila terjadi komplikasi, maka obat ini dapat
segera distop.
a. Tetes mata
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik
daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk
suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti:
Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil,
pseudoptosis dan lain-lain.
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate
0,125% dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%,
deksamentason alcohol 0,1%, deksamethasone sodium phospat 0,1%,
fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone 1%.
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada :
Konsentrasi dan frekuensi : pemberian makin tinggi konsentrasi obat
dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula
efek antiinflamasinya.
Jenis steroid : peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis
diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena
penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson,
fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada
palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.
30
Jenis pelarut : kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada
penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel,
stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak
sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut
dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang
baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat
biphasic.
Bentuk larutan : kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan
suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular
lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih
dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan
mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan
kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
b. Injeksi peri okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk
short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah
dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek
samping sistemik yang minimal/ Indikasi injeksi peri-okular adalah:
Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka
injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
Uveitis unilateral
Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
Anak-anak.
Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis
infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Lokasi injeksi peri-okular :
Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior Pemakaian
sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide
31
40 mg, atau methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada
peradangan kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi
sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif
dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2-4 minggu
sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti
pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat
dipakai dexametason 24 mg.
Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar Cara ini dipergunakan
pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf
optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
Perforasi bola mata.
Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra
okular dan katarak sub-kapsular posterior.
Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam
bentuk
Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid
tersebut dari bola mata.
Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
2. Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan
dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison
dengan dosis awal antara 1-2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan
perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison
diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan,
sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1
mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak di
mana bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan
gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating
single dose. Indikasi kortikosteroid sistemik:
a. Uveitis posterior
32
b. Uveitis bilateral
c. Edema makula
d. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
e. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek
samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes
mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan
anak, hirsutisme, dan lain-lain.
3. Imunosupresan
Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan
penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin,
NSAIDs (biasanya aspirin dan ibuprofen) dapat mengurangi peradangan yang
terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk mengurang peradangan
yang dihubungkan dengan cystoids macular edema yang menyertai uveitis
anterior.
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan
dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis
awal antara 12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari
(alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon
dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu.
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior, Uveitis
bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian
kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang
tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus,
osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme,
dan lain-lain.
a. Siklostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap
steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1-0,2 mg/kg BB/hari,
dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2-3 bulan lalu diturunkan sampai
33
5-8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai
6-12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin dosis 0,5 mg-1
mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/ hari. Selama terapi sitostatika
kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan
kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan
kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya
diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik,
azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika :
Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
Penyakit Behcet
Oftalmia simpatika
Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika:
Uveitis dengan etiologi infeksi
Bila tidak ada :
o Internist/hematologist
o Fasilitas monitoring sumsum tulang
o Fasilitas penanganan efek samping akut
b. Siklosporin A
Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid dengan dosis
imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang dapat menimbulkan efek
samping yang tidak diingini. Obat-obat sitostatika yang dipakai sebagai
imunosupresan juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih serius.
Selain itu kedua jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan
intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang akan berakhir
dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif pengobatan yang lain yang
lebih efektif dan aman. 22
34
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baru
yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif
terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada
pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian
besar system imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit
dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang
dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response imun-complex)
seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vaskulitis pada penyakit Behcet, dan
tipe IV (lambat) seperti pada Oftalmia simpatika, penyakit Behcet,
sarkoidosis dan lain-lain. Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan
reaksi tipe III pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting
dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intraokular.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:
Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara
umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF).
Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.
Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis
IL-2.
Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer
cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam
mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.
Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga
tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi
IL-1.
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun :
Secara invitro menekan blastogenesis sel T.
Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan blocking
sintesis limfokin/lymphotoxic factor.
35
Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga menekan
aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intracellulare partikel
antigen dan elaborasi plasminogen activation factor.
Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten terhadap efek
CsA.
Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun:
Menekan secara langsung produksi antibodi.
Menghambat fungsi sel T sitotoksik.
Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi antibodi
berkurang.
Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap sitostatika
walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.
Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang refrakter terhadap
pengobatan konvensional di RSCM memberikan hasil yang cukup baik dalam
hal memperbaiki penglihatan dan menekan peradangan dengan efek samping
minimal.
4. Pengobatan lainnya
Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan
penggunaan topical steroid, injects subkonjuctival steroid ( seperi celestone ) akan
berguna. Depot steroid seharusnya dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti
yang diakibatkan oleh herpes atau toksoplasmosis karena dapat memperparah.
Injeksi peri-okular dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi periokular adalah
dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping
sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif terhadap
pengobatan tetes mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan, Uveitis
unilateral, pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata, anak-anak,
dan komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-
okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan
skleritis.
36
Lokasi injeksi peri-okular sub-konjuctiva dan sub-tenon steroid repository
serta Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar. Keuntungan injeksi sub-
konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali
pemberian pada jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak
membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes
mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg. Injeksi
sub-tenon posterior dan retro-bulbar, cara ini dipergunakan pada peradangan
segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular adalah Perforasi bola mata, Injeksi yang
berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-
kapsular posterior, Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama
dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid
tersebut dari bola mata, Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via
palpebra.
Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 – 7 hari,
tergantung pada keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual
aquity, pengukuran tekanan intraocular, pemeriksaan dengan menggunakan
slitlamp, assasment cel dan flare, dan evaluasi respon terhadap terapi.
Tingkat
keparahan
Uveitis
Banyknya
kunjungan
follow up
Visual
Acuity
Cells
danFlare
pada
Tonometry Ophthalmoscopy Rencana
penetala
ksanaan
37
Anterior pemerisaan
Slit Lamp
Ringan Setiap 4-7
hari
Ya Ya Ya Jika pada visit
awal belum
terdiagnosa
Tatalaks
ana
seperti di
Table 6
Sedang Setiap 2-
4hari
Ya Ya Ya Jika pada visit
awal belum
terdiagnosa
Tatalaks
ana
seperti di
Table 6
berat Setiap 1-
2hari
Ya Ya Ya Jika pada visit
awal belum
terdiagnosa
Tatalaks
ana
seperti di
Table 6
Table 2.3 Frekuensi dan komposisi terhadap penilaian dan penanganan uveitis
anterior
38
Tabel 2.4 Penanganan pada uveitis anterior dan follow up
39
A. Mild uveitis (Optional
depending on symptoms)
Cyclopentolate, 1% (t.i.d.) atau homatropine, 5%
(b.i.d.-t.i.d.)
Prednisolone, 1% (b.i.d.-q.i.d.)
Aspirin atau ibuprofen, 2 tablet (q.4h)b secara oral
Penggunaan β bloker jka TIO meningkat
Reevaluasi 4-7 hari (atau jika berambah parah)
B. Refer to primary care physician for systemic evaluation (when indicated)
C. Moderate uveitis Homatropine, 5% (q.i.d.) atau scopolamine, 0.25%
(b.i.d.)
Prednisolone, 1% (q.i.d.)a
Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets (q.4h)b secara
oral
Penggunaan β bloker jka TIO meningkat
Pada mata gelap anjuran kepada pasien agar
berhati-hati
Re-evaluasi 2-4 hari (atau bila perlu)
D. Severe uveitis Atropine, 1% (b.i.d.-t.i.d.) atau homatropine, 5%
(q.4h)
Prednisolone, 1% (q.2-4h)a
Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets (q.3-4h) secara
oral
Penggunaan β bloker jka TIO meningkat
Paca mata gelap anjuran kepada pasien agar
berhati-hati
Reevaluasi 1-2 hari
Pengobatan Spesifik
A. Toxoplasmosis 20
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.
Sulfadiazin atau trisulfa : Dosis 4 kali 0.5-1 gr/hari selama 3-6 minggu.
Pirimetamin : Dosis awal 75-100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali
25 mg/hari selama 3-6 minggu.
Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®):Dosis 2 kali 2 tablet
Bactrim® selama 4-6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam
para aminobenzoat menjadi asam folat Preparat pirimetamin bekerja
menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh
organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian
pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi
tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk
mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5
mg tiap 2 hari.
Klindamisin : Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik
dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150-
300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg
dilaporkan memberi hasil baik.
Spiramisin : Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah
rekurensi.
Minosiklin : 1-2 kapsul sehari selama 4-6 minggu.
Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.
B. Infeksi virus 21
Herpes simplex : Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal
antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus.
40
Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2-3 minggu yang
kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes
simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena
dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut
selama 10-14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua
untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior
diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
Sitomegalovirus : DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali
pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.
3.2 Perkembangan Tata Laksana Uveitis: Dari Kortikoseroid Hingga
Imunomodulator:
Tatalaksana medikamentosa uveitis berupa obat anti inflamasi dan
imunosupresan. Golongan obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid, obat
antiinflamasi non-steroid (NSAID) serta imunomodulator (imunosupresif).
NSAID lebih jarang digunakan karena kurang efektif dibandingkan kortikosteroid
dan imunomodulator.23
Kortikosteroid merupakan golongan obat yang paling sering digunakan
dalam terapi uveitis. Sangat disayangkan masih banyak penggunaan
kortikosteroid yang kurang tepat seperti pemakaian yang tidak sesuai dengan
indikasi, kurangnya perhatian terhadap efek samping yang ditimbulkan serta dosis
pemberian yang tidak tepat. Akibatnya efektivitas terapi menjadi tidak optimal,
timbulnya resistensi dari organisme penyebab uveitis serta munculnya berbagai
efek samping dan komplikasi akibat uveitis. Kortikosteroid untuk tata laksana
uveitis dapat diberikan secara topikal, sistemik, periokular dan intravitreal. Setiap
metode pemberian memiliki indikasi dan kegunaan masingmasing. Kortikosteroid
topikal merupakan metode pemberian yang paling sering dan biasanya digunakan
untuk kasuskasus uveitis anterior. Injeksi periokular digunakan untuk uveitis
intermediat dan posterior karena dapat bekerja lebih dekat dengan target organ
yang mengalami inflamasi. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat berperan
41
sebagai terapi untuk penyakit sistemik yang menyebabkan uveitis. Jalur
pemberian kortikosteroid secara intravitreal dapat dilakukan dengan injeksi atau
implantasi kortikosteroid lepas lambat.24
Pemberian kortikosterid memiliki banyak efek samping. Kortikosteroid
topikal dapat menyebabkan katarak dan glaukoma, terutama pada pemakaian
jangka panjang. Metode pemberian secara periokular memiliki efek samping
serupa, ditambah ptosis, perforasi sklera, serta perdarahan. Penggunaan
kortikosteroid sistemik juga telah lama dikenal menimbulkan berbagai efek
samping seperti osteoporosis, hipertensi, penambahan berat badan, retensi cairan,
gangguan toleransi glukosa, gangguan siklus menstruasi, dan ulkus peptikum.
Efek samping pemberian kortikosteroid yang banyak mendorong
pemakaian golongan obat lain untuk tata laksana uveitis. Terapi uveitis semakin
bergeser dari penekanan respon imun secara umum.25 Hal tersebut yang
mendasari penggunaan imunomodulator. Imunomodulator bekerja dengan
menekan jalur-jalur tertentu dari inflamasi secara lebih spesifik sesuai dengan
patogenesis dan mekanisme terjadinya uveitis. Beberapa golongan
imunomodulator yang dapat digunakan untuk tata laksana uveitis adalah
antimetabolit (azathioprine, methotrexate dan mycophenolate mofetil), inhibitor
sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta alkylating agents (klorambucil dan
siklofosfamid). Selain itu terdapat pula agen biologis, yakni golongan etanercept®
dan infliximab®.
Imunomodulator juga tidak lepas dari efek samping. Akibat yang tidak
diinginkan dari penekanan sistem imun adalah menurunnya daya tahan terhadap
infeksi dan kerja dari gen yang menekan terjadinya tumor.25 Beberapa efek
samping lain yang patut diwaspadai adalah hepatotoksisitas, efrotoksisitas serta
gangguan saluran cerna. Pemakaian imunomodulator sesuai indikasi, dengan dosis
dan lama pemakaian yang tepat serta pemantauan yang ketat dapat meminimalkan
efeksampingtersebut.26
BAB 3. KESIMPULAN
42
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya
dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topikal atau oral adalah
ditujukan untuk mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior
adalah memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan
inflamasi ocular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya
sinekia, dan mengatur tekanan intraocular.
Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya
menggunakan kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid
atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-
obatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius,
seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan
galukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil.
DAFTAR PUSTAKA
43
1. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI.Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.
2. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye
Council.Support for vision research, 1976; 20-22.
3. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based
survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye
health worldwide, issue no 7 1991.
4. Gunawan wasisdi, Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akua pada HLA B27
Positif, FKUGM, Yogyakarta
5. Ilyas. S., Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2004, hal 172 – 175.
6. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical
Publishing, 1992. 1.1
7. Roque MR. Uveitis 2007;
http://www.uveitis.com/ph.images.uveitis/jpg/files [diakses tanggal 29
Maret 2007]
8. Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd,
1994. 152-200.
9. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and
Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-
144.
10. Vaughan .D.G., Asbury. T., Riordan-Eva. P., Oftalmologi Umum, edisi
14, Widya Medika, Jakarta, 2000, hal 155-166.
11. Ilyas. S., Mailangkay. H. H. B., Taim. H.,dkk.,Ilmu Penyakit Mata untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi 2, Sagung Seto, Jakarta,
2002, hal 1-12.
12. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and
management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.
44
13. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.
American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.
14. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical
Practice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.
15. BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in
endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7
16. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and
management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.
17. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.
American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.
18. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical
Practice.Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.
19. Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.):
Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ.
Philadelphia 1986.
20. Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in
the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111:
601–610.
21. Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam:
Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB
Saunders Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51
22. Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine
in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 1144–1150
23. American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course
2007-2008, Section 9: Intraocular inflammation and uveitis. Singapore:
American Academy of Ophthalmology; 2007.
24. Kanski JJ. Clinical opthalmology, a systemic approach. 6th ed. London:
Elsevier Limited; 2007.
25. Caspi RR. A look at autoimmunity and inflammation in the eye. J Clin
Invest. 2010;120(9):3073-83.
45
26. Kempen JH, Gangaputra S, Daniel E, Levy-Clarke GA, Nussenblatt RB,
Rosenbaum JT, et al. Long-term risk of malignancy among patients treated
with immunosuppressive agents for ocular inflammation: a critical
assessment of the evidence. Am J Ophthalmol. 2008;146:802-12.
46