penatalaksanaan uveitis

71
BAB 1. PENDAHULUAN Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata,dimana dinding bola mata terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa,uvea,badan kaca dan retina.Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera dan tenon.Uvea merupakan jaringan lunak,terdiri dari iris,badan siliar dan koroid. Uveitis merupakan peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun. 1 Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uvetis, di Amerika terdapat gangguan penglihatan berupa uveitis sebanyak 10% kasus dan menghasilkan kerugian material sebanyak 10juta US dollar per tahun. 2 Menurut penelitian yang dilakukan di rumah sakit Ghanna, uveitis merupakan penyebab kebutaan pada dua mata terbanyak ketiga setelah katarak dan glaukoma. 3 Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis 1

Upload: rika-ainun-tikha

Post on 24-Jul-2015

385 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan uveitis

BAB 1. PENDAHULUAN

Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata,dimana dinding

bola mata terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas

lensa,uvea,badan kaca dan retina.Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola

mata setelah sclera dan tenon.Uvea merupakan jaringan lunak,terdiri dari

iris,badan siliar dan koroid.

Uveitis merupakan peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma,

neoplasia, atau proses autoimun.1 Di Indonesia belum ada data yang akurat

mengenai jumlah kasus uvetis, di Amerika terdapat gangguan penglihatan berupa

uveitis sebanyak 10% kasus dan menghasilkan kerugian material sebanyak 10juta

US dollar per tahun.2 Menurut penelitian yang dilakukan di rumah sakit Ghanna,

uveitis merupakan penyebab kebutaan pada dua mata terbanyak ketiga setelah

katarak dan glaukoma.3

Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan

perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang

diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun

37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan

dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis

anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika,

penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara

uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi

genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.4,5

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan.1 Kebutaan terhadap

uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga bias meningktakan

tekanan intraokuler dan gangguan nervus optikus. Selain itu bisa terjadi katarak

akibat penggunaan kortikosteroid. Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanaan

uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan

oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang

tepat.

1

Page 2: Penatalaksanaan uveitis

Banyak kelainan uvea yang dahlu belum diketahui patofisiologinya

dengan pasti, dewasa ini kita sudah jelas dapat menjelasakan bila ditinjau dari

sudut pandang imunologi. Kemajuan dalam bidang imunolgi juga sudah

dimanfaatkan sebagai perkembangan produksi berbagai vaksin dan juga obat-

obatan untuk memperbaiki system imun dalam memerangi infeksi dan untuk

menekan fungsi imun pada keadaan hipersensitivitas pada mata.

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai

penatalaksanaan uveitis secara komprehensif.

2

Page 3: Penatalaksanaan uveitis

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Uvea

Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata

yang terletak antara kornesklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari iris,

badan siliaris (corpus siliaris), dan koroid. Bagian ini juga memasok darah

ke retina, iris dan badan siliar disebut dengan uvea anterior, sedangkan

koroid disebut dengan uvea posterior.6

Gambar 2.1 Anatomi Uvea

(Dikutip dari kepustakaan 7)

Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan

diafragma yang membagi bola mata menjadi dua segmen, yaitu segmen

anterior dan segmen posterior, ditengah-tengahnya berlubang dan disebut

pupil. Iris juga membagi bilik mata depan (camera oculin anterior) dan

bilik mata belakang (camera oculi posterior). Iris mempunyai kemampuan

secara otomatis mengatur masuknya cahaya ke dalam bola mata.5

3

Page 4: Penatalaksanaan uveitis

Secara histologis, stroma terdiri atas stroma dan diantaranya terdapat

lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier disebu dengan

kripta. Didalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak

pembuluh darah, dan saraf. Dipermukaan anterior terdapat sel epitel kecuali

didaerah kripta sehingga pembuluh darah dapat berhubungan langsung

dengan cairan yang terdapat di camera oculi anterior yang memungkinkan

percepatan pengaliran nutrisi ke camera oculi anterior. Di bagian posterior

dilapisi oleh 2 lapisan epitel yang merupakan lanjutan dari sel epitel pigmen

dari retina.5 Di dalam iris terdapat otot M. sfingter pupil yang berjalan

sirkuler dan dipersarafi oleh N III, serta terdapat otot M. dilator pupil yang

berjalan radier dan dipersarafi oleh saraf simpatis. Iris mendapat persarafan

dari nervus siliaris.5

Badan siliar (corpus siliar) berbentuk segitiga dan terdiri dari 2

bagian: pars korona (anterior bergerigi panjangnya 2 mm) dan pars plana

(posterior tidak bergerigi, panjangnya 4 mm). badan siliar berfungsi sebagai

pembentuk aquos humor. Bagian ini merupakan bagian terlemah dari mata,

sehingga trauma, peradangan, neoplasma di daerah ini dapat menyebabkan

suatu kegawatan.

Pada bagian pars korona dilapisi oleh 2 lapis sel epitel sebagai

lanjutan epitel iris. Bagian putih yang menonjol disebut processus yang

keluar serat-serat zonula zinn yang merupakan pengganung lensa.5

Vaskularisasi uvea dibedakan antara bagian anterior yang

diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang masuk

menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan

7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior,

medial, inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan

posterior ini bergabung membentuk arteri sirkularis mayor pada badan

siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan darai 15-20 buah arteri siliar

posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saref optik.5

4

Page 5: Penatalaksanaan uveitis

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara

bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang

menerima 3 akar saraf di bagian posterior, yaitu:

1. saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung

serabut sensoris untuk kornea, iris dan badan siliar.

2. saraf simpatis, yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari

simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah

uvea dan untuk dilatasi pupil.

3. akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk

mengecilkan pulil. 5

2.2 Definisi

Uveitis merupakan inflamasi pada traktus uvealis. Definisi uveitis

sekarang dipakai tidak hanya infeksi yang mengenai uvea akan tetapi infeksi

yang mengenai struktur lain yang berdekatan dengan uvea.8

2.3 Epidemiologi

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70

tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua

umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan

afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat

tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior akut.

Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik idiopatik

dan toksoplasmosis.9

2.4 Patofisiologi

Uvea terdiri dari uvea anterior dan uvea posterior, uvea anterior

sendiri terdiri dari iris dan badan siliar sedangkan uvea anterior terdiri dari

lapisan choroid.

Fungsi iris:

5

Page 6: Penatalaksanaan uveitis

Iris atau Selaput Pelangi merupakan jaringan berbentuk cakram

melingkar yang terdapat persis di depan lensa. Jaringan ini tersusun atas

serabut otot sirkuler dan radial. Di bagian ini terdapat pigmen yang

mengatur warna mata, artinya warna pada mata kita sekarang adalah Iris

atau Selaput Pelangi.

Fungsinya mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan

mengatur ukuran pupil. Tekstur visual dari selaput pelangi dibentuk selama

perkembangan janin dan menstabilkan diri sepanjang dua tahun pertama

dari kehidupan janin. Tekstur selaput pelangi yang kompleks membawa

informasi sangat unik dan bermanfaat untuk pengenalan pribadi.

Selaput pelangi atau iris adalah daerah berbentuk gelang pada mata

yang dibatasi oleh pupil dansklera (bagian putih dari mata). Tekstur visual

dari selaput pelangi dibentuk selama perkembangan janin dan menstabilkan

diri sepanjang dua tahun pertama dari kehidupan janin. Tekstur selaput

pelangi yang kompleks membawa informasi sangat unik dan bermanfaat

untuk pengenalan pribadi. Kecepatan dan ketelitian dari sistem pengenalan

berbasis Iris sangat menjanjikan dan sangat memungkinkan untuk

digunakan pada sistem identifikasi berskala besar. Masing-masing selaput

pelangi adalah unik dan seperti sidik jari, tekstur selaput pelangi dari

kembar identik adalah berbeda. Tekstur dari selaput pelangi sangat sulit

untuk dirusak melalui pembedahan

Fungsi Badan Siliar:

Pada penampang melintang badan siliar berbentuk segitiga kasar,

meluas dari pinggir anterior koroid ke akar iris, jaraknya kira-kira 6 mm.

Terdiri atas 2 bagian : korona siliar, yaitu bagian anerior yang berkerut-

kerut, 2 mm, dan pars plana, yaitu bagian yang lebih halus dan rata, 4 mm.

Permukaan korona siliar terdiri atas banyak tonjolan dan lekukan. Epitel

siliar terdiri dari 2 lapis, yaitu bagian luar yang berpigmen dan bagian dalam

yang tidak berpigmen, kedua-duanya melanjutkan diri sebagai lapisan

pigmen permukaan posterior iris. Epitel pigmen merupakan lanjutan epitel

pigmen retina ke arah depan. Otot-otot siliar terdiri atas bagian longitudinal,

6

Page 7: Penatalaksanaan uveitis

bagian rdial, dan bagian sirkular. Fungsinya mengerutkan dan

mengendorkan serabut-serabut zonula, sehingga terjadi perubahan tegangan

pada kapsul lensa yang memberikan berbagai fokus baik terhadap obyek

dekat maupun obyek yang letaknya lebih jauh di dalam lapang pandang.

Jonjot-jonjot siliar terutama terdiri atas kapiler-kapiler dan vena-vena yang

mengalirkan darah melalui vena kortek. Kapilernya besar-besar dan bagian-

bagian dindingnya ada yang bercelah sehingga pada suntikan fluoresein

intravena bisa terjadi kebocoran. Pars plana terdiri atas lapisan tipis otot

siliar dan pembuluh-pembuluh darah yang ditutupi oleh epitel siliar.

Serabut-serabut zonula yang menahan lensa tetap pada tempatnya berorigo

pada lekukan-lekukan diantara jonjot-jonjot siliar. Pembuluh-pembuluh

darah yang ke badan siliar berasal dari lingkaran besar iris. Persarafan

sensorik berasal dari saraf siliar.

Fungsi Choroid :

Koroid (bagian posterior uvea dan selubung tengah bola mata)

terletak diantara retina dan sklera. Sebagian besar terdiri atas pembuluh

darah. Pembuluh-pembuluh darah koroid di bagian dalam jonjot-jonjot siliar

melekat pada membran bruch sedangkan bagian luarnya melekat pada

suprakoroid. Suprakoroid yang avaskular ini tediri atas lamel-lamel jaringan

kolagen dan elastik. Membran Bruch terdiri atas 3 bagian : yang terluar

berujud lapisan elastik, ditengah berupa lapisan kolagen, dan yang terdalam

berupa lapisan kutikular( merupakan membran basal epitel pigmen retina).

Makin dalam letak pembuluh-pembuluh darah didalam koroid makin besar

lumen pembuluh-pembuluh darah tersebut. Ada tiga lapisan yaitu pembuluh

darah besar, media, dan kecil. Lapisan pembuluh-pembuluhdarah kecil yang

terdlam dikenal sebagai korokapiler dan terdiri atas kapiler-kapiler besar

yang memberikan nutrisi kepada retina bagian luar. Endotel kapiler ini

bercelah sehingga pada penyuntikan fluoresein intravena terlihat adanya

kebocoran fluoresein. Sebagian besar pembuluh darah besar adalah vena.

Vena-vena ini menyatu dan meninggalkan bola mata menjadi 4 vena

vorteks, masing-masing terdapat pada keempat kuadran posterior. Lapisan

7

Page 8: Penatalaksanaan uveitis

pembuluh darah koroid juga mengandung beberapa serabut elastik dan

kromatofor. Di bagian posterior, koroid melekat erat pada tepi saraf optik

dan ke anterior meluas ke ora serata, yang kemudian bergabung dengan

badan siliar.

Kesimpulan:

Iris berfungsi mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam

mata. Pupil menciut akibat rangsangan cahaya dan melebar apabila suasana

sekeliling redup atau gelap. Badan siliar membentuk akar iris dan melalui

serabut-serabut zonula mengatur kecembungan lensa pada waktu

akomodasi. Cairan mata disekesikan oleh jonjot-jonjot siliar ke dalam bilik

mata belakang. Koroid berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah

sangat besar, yang fungsinya memberi nutrisi retina bagian terluar yang

terletak dibawahnya.

2.5 Etiologi

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang

dapat berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat

diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis

dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini

atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat

disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen

dapat menjalar ke mata atau timbul reaksi alergi mata.4

Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik; penyakit

sistemik yang berhubungan dengan HLA-B27 seperti; ankylosing

spondilitis, sindrom Reiter, penyakit crohn’s, Psoriasis, herpes zoster/

herpes simpleks, sifilis, penyakit lyme, inflammatory bowel disease;

Juvenile idiopathic arthritis; Sarcoidosis, trauma dan infeksi. 4

2.6 Klasifikasi

Berdasarkan patologi, dapat dibedakan dua jenis besar uveitis yaitu

non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. 5,10,11

8

Page 9: Penatalaksanaan uveitis

Uveitis non-granulomatosa. Umumnya tidak ditemukan organisme

patogen dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, sehingga jenis ini

diduga merupakan semacam fenomena hipersensitivitas.5,10 Uveitis non-

granulomatosa ini terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris

dan badan siliar. 5,10 Menurut patologinya, ditemukan reaksi radang, dengan

terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah banyak

dan sedikit sel mononuklear. 5,10 Pada kasus berat dapat sampai ditemukan

bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior. 5,10

Penyebab uveitis non-granulomatosa akut yakni trauma, diare

kronis, penyakit Reiter, herpes simpleks, Sindroma Bechet, Sindroma

Posner Schlosman, pascabedah, adenovirus, parotitis, influenza, dan

chlamydia.3 Sedangkan penyebab uveitis non-granulomatosa kronis ialah

artritis reumatoid dan iridosiklitis heterokromik Fuchs.11

Gejala dan tanda berupa onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,

reaksi vaskular lebih hebat dari reaksi seluler sehingga injeksinya hebat

(banyak pembuluh darah), fotofobia, penglihatan kabur, badan kaca tak

banyak kekeruhan. 5,10 Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil tidak

teratur.

Gambar 2.2 uveitis karena Herpes simpleks

(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

9

Page 10: Penatalaksanaan uveitis

Terapinya diberikan analgetika sistemik secukupnya untuk rasa

sakit dan kaca mata gelap untuk fotofobia. 5,10 Pupil harus tetap dilebarkan

dengan atropin, yaitu mula-mula diberikan setiap 2 jam satu tetes, sampai

pupil lebar dan tetap lebar, kemudian cukup 3 kali sehari. Pemberian sulfas

atropin ini dapat menyebabkan glaukoma sehingga perlu pengukuran

tekanan intraokuler secara teratur. Pada anak-anak sebaiknya diberikan

dalam bentuk salep karena obat tetes akan cepat keluar saat anak menangis.

Jika sudah reda, dapat diberikan cyclopentolate untuk mencegah spasme dan

terbentuknya sinekia posterior. Tetes steroid lokal biasanya cukup efektif

untuk kerja anti radangnya, secara; tetes mata : siang hari diberikan setiap

jam satu tetes, salep mata : diberikan pada pagi dan malam hari, suntikan

subkonjungtival : 2 kali seminggu 0,3-0,5 cc , sejauh mungkin dari forniks

(arah pukul 12) untuk menghindarkan gangguan kosmetik. Pada kasus berat

dapat diberikan steroid sistemik, yaitu : diberikan 6-8 tablet sekaligus pada

pagi hari, sebaiknya sebelum pukul 8, dimana kadar streoid dalam darah

paling rendah.

Perjalanan penyakit dan prognosisnya, dengan pengobatan,

serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari

sampai minggu kelima sering kambuh.

Uveitis granulomatosa. Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif

ke jaringan oleh organisme penyebab, misalnya Mycobacterium

tuberculosis atau Toxoplasma gondii. 5,10 Meskipun demikian, patogen ini

jarang ditemukan sehingga diagnosis etiologik jarang ditegakkan.5 Dapat

mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun paling sering pada

uvea posterior, yakni koroidea. 5,10 Secara histologis, ditemukan kelompok

nodular sel-sel epitelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di

daerah yang terkena.5 Deposit radang tersebut sebagian besar terdiri atas

makrofag dan sel epiteloid.5 Untuk menegakkan diagnosis etiologi sering

kali harus menggunakan pemeriksaan laboratoris atau histologis.5

Penyebabnya ialah sarkoiditis, sifilis, tuberkulosis, virus,

histoplasmosis, dan toksoplasmosis.11

10

Page 11: Penatalaksanaan uveitis

Gejala dan tanda biasanya onset tidak kentara. Penglihatan

berangsur kabur dan mata merah secara difus di daerah sirkumkornea,

reaksi seluler lebih hebat dari reaksi vaskular.5,6 Sakitnya minimal dan

fotofobia tidak seberat pada non-granulomatosa.5,6 Pupil sering mengecil

dan terdapat kekeruhan pada badan kaca.5,6 Tampak kemerahan (flare) dan

sel-sel di kamera okuli anterior, dan nodul-nodul yang terdiri atas

kelompok sel-sel putih di tepian iris, disebut juga nodul Koeppe. 5,6

Harus ditanyakan riwayat terpajan toksoplasmosis, histoplasmosis,

tuberkulosis, dan sifilis dalam hal kepentingan terapi etiologi. Juga perlu

diperiksa apakah pasien sedang mengalami infeksi pada organ atau bagian

tubuh lain.

Gambar 2.3 deposit sel radang pada koroid karena Toxoplasma

(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Terapinya diberikan regimen sesuai organisme penyebab.5,6 Jika

segmen anterior terkena, pelebaran pupil harus dilakukan dengan pemberian

sulfas atropin. Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis granulomatosa

berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi

dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan

penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan terbaik.5,6

Berikut tabel perbedaan uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa5

Gejala dan Tanda Non-granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Sakit Nyata Tidak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

11

Page 12: Penatalaksanaan uveitis

Merah sirkumkorneal Nyata Ringan

Presipitat keratik Putih halus Kelabu besar

Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur

Synechiae posterior Kadang-kadang Kadang-kadang

Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang

Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan

posterior

Perjalanan Akut Menahun

Rekurens Sering Kadang-kadang

Tabel 2.1 Pembagian Penyakit Radang Traktus Uvealis Berdasarkan

Letaknya 5,11 :

A. Uveitis Anterior

Gambar 2.4 uveitis anterior akut (diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Uveitis anterior adalah radang pada iris (iritis) atau badan siliar

(siklitis) dan dapat terjadi bersamaan, yang disebut sebagai iridosiklitis.11

1. Iritis akut 11

Iritis akan memberikan gejala berupa rasa sakit, merah, fotofobia,

kesukaran melihat dekat karena mengakibatkan gangguan pada otot

akomodasi.

Tanda yang didapat, yaitu pupil kecil akibat rangsangan proses

peradangan pada otot sfingter dan terdapatnya edem iris. Pada proses akut,

miopisasi terjadi akibat rangsangan badan siliar dan edem lensa; terdapat

flare dalam bilik mata depan, bahkan pada yang sangat akut akan terlihat

12

Page 13: Penatalaksanaan uveitis

hifema dan hipopion; dapat ditemukan tekanan bola mata yang tinggi

ataupun rendah. Tekanan bola mata yang tinggi terjadi karena adanya

gangguan pengaliran keluar cairan mata oleh sel radang atau perlengketan

sudut bilik mata. Sedangkan tekanan bola mata yang rendah terjadi karena

adanya gangguan fungsi pembentukan cairan mata oleh badan siliar. Ini

berarti telah terjadi siklitis iridosiklitis. Tekanan bola mata yang rendah

ditemukan pada siklitis sendiri.

Perjalanan penyakit iritis sangat khas, yaitu berlangsung antara 2-4

minggu. Bisa terjadi kekambuhan sehingga prosesnya menjadi menahun.

Prinsip pengobatannya adalah terhadap organisme penyebab, jika

dicurigai merupakan kasus invasi dari organisme patogen atau pemberian

steroid pada kasus yang merupakan reaksi hipersensitivitas. Steroid

diberikan pada siang hari dalam bentuk tetes dan malam hari dalam bentuk

salep. Bila kasusnya berat dapat dipertimbangkan pemberian steroid

sistemik yang diberikan dalam dosis tunggal seling sehari yang tinggi

kemudian dosis diturunkan sampai dosisi terendah yang efektif. Pemberian

steroid bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, melepas sinekia yang terjadi,

dan membri istirahat pada iris yang meradang.

Penyulit yang sering terjadi yaitu sinekia anterior perifer dan

sinekia posterior, glaukoma sekunder akibat tertutupnya trabekulum oleh sel

radang atau sisa sel radang. Pada peradangan yang menahun dapat terjadi

edem makula yang kadang berlanjut menjadi ablasi retina nonregmatogenos

atau serosa.

2. Iridosiklitis akut 11

Merupakan bentuk penyakit radang yang paling sering terjadi pada uveitis

anterior. Penyakit ini dapat akut dan menahun. Pada yang menahun biasanya

merupakan kekambuhan dari reaksi imunologik.

Penyebab dari iridosiklitis 5,11 :

Autoimun

1. Artritis reumatoid juvenilis

13

Page 14: Penatalaksanaan uveitis

2. Spondilitis ankilosa Sindroma Reiter

3. Kolitis ulserativa

4. Uveitis terinduksi lensa

5. Sarkoidosis

6. Penyakit Chron

7. Psoriasis

Infeksi

1. Sifilis

2. Tuberkulosis

3. Lepra

4. Herpes zoster

5. Herpes simpleks

6. Onkoserkiasis

7. Adenovirus

Keganasan

1. Sindroma Masquerade

2. Retinoblastoma

3. Leukimia

4. Limfoma

5. Melanoma maligna

Lain-lain

1. Idiopatik

2. Uveitis traumatika, termasuk cedera menembus

3. Ablasio retina

4. Iridosiklitis heterokromik Fuchs

5. Gout

6. Krisis glaukomatositik

14

Page 15: Penatalaksanaan uveitis

Gambar 2.5 iridosiklitis rekurens, irregular pupil

(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Gambar 2.6 Perbedaan warna iris pada penderita iridosiklitis heterokromik Fuchs.

Warna sisi yang terkena menjadi lebih terang karena adanya kolaret.

(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Diagnosis Banding 1,3

Uveitis anterior perlu dibedakan dengan konjungtivitis, keratitis dan glaukoma

akut. Adapun secara ringkas dan sistematis telah dibuat perbedaan antara

ketiganya dalam bentuk tabel berikut ini :

Iridosiklitis akut Glaukoma akut Keratitis akut

Sakit Sakit rasa tertekan Sakit sekali Sakit sedikit

Visus Berkurang Sangat berkurang Berkurang

Merah Injeksi perikorneal Injeksi episkleral Injeksi perikorneal

Iris Warna kotor Warna kotor Normal

Pupil Mengecil Sedikit melebar Normal/kecil

Reaksi Lambat Kaku Kuat

Komplikasi 5

15

Page 16: Penatalaksanaan uveitis

Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang manghalangi

humor akueis keluar dari sudut kamera anterior dan berakibat glaukoma. Sinekia

posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya

humor aqueus di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan. Pelebaran

pupil sejak dini dan terus menerus mengurangi kemungkinan timbulnya sinekia

posterior. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Ablasio

retina kadang-kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang

vitreus. Edema kistoid makular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior

yang berkepanjangan.

B. Uveitis Intermediet 6

Uveitis intermediet adalah pembagian berdasarkan anatomi yang telah

ditetapkan oleh International Uvetitis Study Group (IUSG). Uveitis intermediet

merupakan peradangan yang terutama melibatkan retina bagian perifer, pars plana

dan badan vitreus. Nama lain dari uvetitis intermediet adalah siklitis kronik,

uveitis periferal dan pars planitis.

Di Amerika, kasus uveitis intermediet mencapai 8-15 % dari keseluruhan

kasus uveitis. Rodriguez et al melakukan penelitian dengan menggunakan IUSG

dan menemukan adanya 162 pasien dengan uveitis intermediet (13%) dari 1237

pasien.5

Biasanya gejala yang dirasakan pasien adalah kekaburan penglihatan dan

floaters yang tidak disertai dengan rasa sakit. Mata merah dan fotofobia tidak

selalu ditemukan pada pasien dengan uveitis intermediet. Ditemukan adanya

peradangan yang ringan sampai berat pada segmen anterior yang lebih jelas pada

anak-anak dan pasien dengan multipel skerosis. Kehilangan daya penglihatan

dapat terjadi bila terdapat sel-sel radang yang berasal dari badan vitreus pada sin

qua non dan adanya peradangan yang berat pada badan vitreus.

Berdasarkan hasil penelitian Rodriguez et al dapat disimpulkan bahwa

pada 162 pasien dengan uveitis intermediet 69% tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik), terdapat sarkoidosis pada 22% pasien, multiple sklerosis pada 8 %

pasien, dan Lyme disease pada 1 pasien.2

16

Page 17: Penatalaksanaan uveitis

Uveitis intermediet sering berkaitan dengan beberapa kelainan sistemik.

Maka dari itu pada evaluasi diagnostik awal harus disingkirkan adanya Sindroma

Marsquerade dan penyakit-penyakit infeksi yang merupakan kontraindikasi

pemberian imunosupresan.

C. Uveitis Posterior

Gambar 2.7 Uveitis posterior

(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea,

yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis.1,4 Pada uveitis

posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal sebagai

koriorenitis.2,4 Berdasar patologinya, uveitis posterior juga dapat dibedakan

menjadi uveitis granulomatosa dan uveitis non granulomatosa. Pada jenis non

granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan berespon

baik dengan terapi kortikosteriod sehingga sering dianggap semacam fenomena

hipersensitivitas. Pada jenis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba

aktif ke jaringan oleh organisme penyebab. Pada uveitis posterior umumnya lebih

sering terjadi uveitis jenis granulomatosa.2 Onset uveitis posterior bisa akut dan

mendadak atau lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses

granulomatosa kronis.2,4

Uveitis posterior dapat ditemui dalam bentuk-bentuk berikut ini :1,4

o Koroiditis anterior, radang koroid purifier

17

Page 18: Penatalaksanaan uveitis

o Koroiditis areolar, koroiditis bermula di daerah makula

lutea dan menyebar ke perifer

o Koroiditis difusa atau diseminata, bercak peradangan

koroid tersebar di seluruh fundus okuli

o Koroiditis eksudatif, koroiditis disertai bercak-bercak

eksudatif

o Koroiditis juksta papil

Penyebab uveitis posterior dapat diklasifikasikan sebagai berikut 1,4:

- penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)

virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella,

rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.

bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik

dan endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium

avium-intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.

fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.

parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.

- penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)

autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,

poliarteritis nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.

keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi

metastatik.

etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati

pigmen plakoid multifokal akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati

pigmen retina.

Untuk mempermudah diagnosis, uveitis posterior dapat dikelompokkan sebagai

berikut 1,4:

18

Page 19: Penatalaksanaan uveitis

Uveitis posterior pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh infeksi

virus sitomegalo, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi

rubella.

Uveitis posterior pada kelompok usia 4-15 tahun dapat disebabkan oleh

toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediet, infeksi sitomegalovirus,

panensefalitis sklerosis subakut, dan jarang infeksi bakteri atau fungus.

Pada kelompok umur 16-40 tahun, disebabkan oleh toksoplasmosis,

penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmia

kandida, dan jarang infeksi bakteri endogen seperti meningitis

meningokokus.

Kelompok usia lebih dari 40 tahun mungkin menderita sindroma nekrosis

retina akut, toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo, retinitis, sarkoma sel

retikulum, atau kriptokokosis.

Apabila terjadi uveitis posterior unilateral, biasanya lebih condong akibat

toksoplasmosis, kandidiasis, toksokariasis, sindroma nekrosis retina akut,

atau infeksi bakteri endogen.

Gejala Uveitis Posterior: 1,3,4

1. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis

uveitis posterior.

2. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen

posterior yang terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan

tidak ada pada histoplasmosis.

3. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom

nekrosis retina akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior,

dan pada kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien

toksoplasmosis, toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak

disertai glaukoma umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit

segmen posterior noninfeksi lain yang khas tidak sakit adalah

epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan

Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada.

19

Page 20: Penatalaksanaan uveitis

Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :5

1. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia,

penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.

2. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis

granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan koroid,

sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma Vogt-

Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non

granulomatosa dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen

plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan sindrom

nekrosis retina akut.

3. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis

retina akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.

4. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior.

Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen

posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau

histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel

retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus

toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya,

peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada

tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis,

toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida

endogen.

5. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang

menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi

virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya mengenai retina

secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis.

Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses

granulomatosa, yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama

mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan pasien tidak

menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada

20

Page 21: Penatalaksanaan uveitis

oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa

lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-Fuchs.

6. Vaskulitis.

7. Hemoragik retina.

8. Parut lama.

Patologi Uveitis Posterior 4

Pada stadium awal terjadi kongestif dan inviltrasi dari sel-sel radang seperti PMN,

limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih banyak

berperan pada uveitis jenis granulomatosa sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya

pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila inflamasi

berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan menginvasi

rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada

uveitis granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell

sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian exudat menghilang dengan

disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan retina yang terkena. Eksudat

dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula pigmen akibat nekrosis atau

atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan difagositosis oleh makrofag

dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.

Gambar C2.8 cell depocits pada uveitis

Komplikasi 1,4

21

Page 22: Penatalaksanaan uveitis

1. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour,

badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.

2. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.

Penatalaksanaan uveitis posterior pada prinsipnya sama dengan uveitis

anterior atau uveitis lainnya, yaitu mengatasi penyebabnya. Karena penyebab

uveitis posterior juga merupakan penyebab yang sama pada hampir semua kasus

uveitis difusa, maka penatalaksanaan uveitis posterior akan dibahas lebih lanjut

pada bagian uveitis difusa.

Prognosis 4

Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi daerah

lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan berpengaruh

pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang fundus tidak

mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.4

D. Uveitis Difusa2

Istilah ini merupakan kondisi infiltrasinya sel kurang merata dari semua unsur

di traktus uvealis. Penyebab uveitis difus ini bermacam-macam, antara lain :

sarkoidosis, tuberculosis, sifilis, onkoserkiasis, brucellosis, oftalmia simpatis,

penyakit Behcet, sistiserkosis, Sindroma Vogt-Konyanagi-Harada, Sindrom

Masquerade, benda asing intraokuler.

Berikut ini kita bahas penyakit uveitis berdasarkan penyebabnya2:

1. Oftalmika simpatika

Adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang

timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cedera mata tembus di

daerah korpus siliaris atau setelah kemasukan benda asing. Penyebabnya

tidak diketahui, namun penyakit ini berkaitan dengan hipersensitivitas di

uvea atau biasa disebut penyakit autoimun.2,10 Pada 80% kasus, mata yang

cedera mula-mula meradang dalam 2 sampai 12 minggu setelah trauma

dan mata sebelahnya meradang kemudian.10 Dari traktus uvelis proses itu

menyebar ke nervus optikus dan ke pia dan araknoid sekitar nervus

optikus. Pasien mengeluh tentang fotofobia, kemerahan, dan kaburnya

22

Page 23: Penatalaksanaan uveitis

penglihatan. Oftalmia simpatika dibedakan dari uveitis granulomatosa lain

karena riwayat trauma dan bedah okuler dan lesinya unilateral, difus, dan

akut, bukan unilateral, setempat dan menahun.

Pengobatan meliputi pemberian kortikosteroid jangka panjang dan

obat-obat imunosupresive.10 Untuk mata yang cedera berat dianjurkan

dilakukan enukleasi segera untuk mencegah oftalmia simpatika.10 Harus

diwaspasai kebutaan yang dapat segera terjadi berkaitan dengan penurunan

visus yang drastis dalam jangka waktu 2 minggu setelah trauma.10

2. Uveitis tuberkulosis

Gambar 2. uveitis difusa tuberkulosis

Diagnosis penyakit ini dengan menemukan baksil tuberkel dalam

jaringan dan didukung dengan skin test terhadap PPD yang positif.10

Meskipun infeksi ini dikatakan ditularkan melalui fokus primer ditempat

lain, tuberkulosis uvea jarang ditemukan pada pasien tuberkulosis paru

aktif. Uveitis tuberkulosis mungkin difus namun khas terlokalisir dalam

bentuk koriorenitis granulomatosa nekrotikan berat. Tuberkel itu sendiri

terdiri atas sel-sel raksasa dan sel-sel epiteloid. Sering terjadi nekrosis

perkijuan. Pasien mengeluh tentang penglihatan yang kabur dan mata

memerah sedang. Jika yang terkena adalah koroid dan retina, tampak masa

setempat kekuningan yang agak ditutupi vitreus yang berkabut. Adanya

nodul dan sifat terlokalisir pada uveitis tuberkulosis membantu

membedakan secara klinik dari oftalmia simpatika dan adanya perkijuan

membedakan secara patologik dari oftalmika simpatis dan sarkoid Boeck.

23

Page 24: Penatalaksanaan uveitis

Pengobatan dengan kortikosteroid dan pupil harus tetap dilebarkan

dengan atropin 1 %. Yang paling penting ialah pengobatan dengan

regimen antituberkulosis selama 4-6 bulan, disertai pemberian sikloplegika

jika terjadi inflamasi intraokular.10

3. Sarkoidosis

Adalah penyakit granulomatosa menahun yang belum diketahui

penyebabnya, ditandai dengan banyak nodul kutan dan subkutan, juga

pada visera dan tulang, dan eksaserbasi dan remisi secara periodik.

Sarkoidosis memberikan gambaran klinis yang bervariasi, tetapi vitritis

dan retinitis dengan eksudasi perivaskular dan inflamasi merupakan

manifestasi yang paling sering dijumpai.9 Reaksi jaringannya lebih ringan

dari uveitis tuberkulosis dan tidak terjadi perkijuan. Diagnosis harus

didukung dengan biopsi dari nodul kutan.

Terapi dengan kortikosteroid yang diberikan pada awal penyakit dan

dipertahankan untuk pengobatan jangka panjang dapat efektif, namun

sering kambuh dan prognosis visual jangka panjang buruk.10

Gambar 2.10 Sarkoidosis, lesi bewarna kekuningan (yellowish lesion)

4. Onkoserkiasis

Disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditularkan melalui lalat

Simulium damnosum. Mikrofilarianya menimbulkan rasa gatal dan timbul

lesi kutan pada paha, lengan, kepala dan bahu. Penembuhan lesi kulit

dapat berakibat hilangnya elastisitas kulit dan daerah-daerah tanpa pigmen.

24

Page 25: Penatalaksanaan uveitis

Gejala klinik: tampak nodul kulit, kornea menampakan keratitis

nummularis dan keratitis sclerosis. Mikrofilaria yang berenang aktif di

kamera anterior tampak sebagai benang-benang perak. Mikrofilaria yang

mati menimbulkan reaksi radang hebat dan uveitis, vitritis, dan retinitis

berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis fokal dan timbul atrofi optik akibat

glaucoma. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan mikofilaria hidup

dalam jaringan.

Pengobatan yang dianjurkan adalah nodulektomi dan ivermectin. Terapi

topikal dengan kortikosteroid dan sikloplegika berguna untuk uveitis.

5. Sistiserkosis

Adalah penyebab umum morbiditas okuler berat. Penyakit ini endemik

di Meksiko dan Amerika Tengah dan Selatan lain. Penyakit ini disebabkan

oleh termakannya telur Taenia solium atau oleh peristaltik terbalik pada

kasus obstuksi usus karena cacing pita dewasa. Telur menjadi matang dan

embrio menembus mukosa usus, memasuki sirkulasi. Gerakan larva dalam

mata merangsang reaksi radang menahun dan fibrosis. Bila terkena otak

akan timbul kejang. Pengobatan sistiserkosis adalah dengan pembuangan

melalui bedah. Sistiserki subretina dapat dibuang melalui skleretomi lokal

atau dihancurkan dengan fotokoagulasi. Larva intravitreal dibuang melalui

virektomi pars plana.

6. Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada 9

Gambar 2.11 inflamasi granulomatosa intraokular pada Sindroma Vogt-

Koyanagi-Harada

25

Page 26: Penatalaksanaan uveitis

Merupakan sindroma idiopatik, bilateral, dan inflamasi yang

responsif terhadap pemberian kortikosteroid, yang sering pada usia

pertengahan. Sindroma ini jarang ditemui pada orang Asia serta pada ras

yang mempunyai pigmentasi kulit yang tebal. Sindroma ini ditandai

dengan inflamasi granulomatosa intraokular. Sering terjadi pada katarak

dan glaukoma. Penyebab sindroma ini masih belum diketahui, tetapi

kelainannya diyakini sebagai respons hipersensitivitas terhadap pigmen.

Pada pemeriksaan fundus didapatkan lesi multipel pada koroid yang

berwarna kekuningan, dimana lesi-lesi tersebut hiperfluoresensi pada

stadium lanjut dengan pemeriksaan angiografi. Selain kelainan pada mata,

ditemukan juga kelainan sistemik berupa; poliosis ( depigmentasi yang

terlokalisir pada rambut) yang terjadi pada 90% pasien, alopesia, dan

vitiligo. Gangguan pada pendengaran terjadi pada lebih 75% pasien dan

kelainan-kelainan neurologik lainnya, termasuk psikosis.

Pengobatan meliputi pemberian kortikosteroid topikal dan

sistemik, seperti juga obat-obat sikloplegika. Jika serangan berat dan

semakin lama durasinya, pemberian obat-obat imunosupresif kuat patut

dipertimbangkan, seperti siklofosfamid atau klorambusil.10

Sindroma Behcet 10

Sindroma ini jarang ditemukan di Amerika tetapi banyak

ditemukan di daerah Timur Tengah. Pada kebanyakan kasus diduga

sindroma ini berkaitan erat dengan HLA-B5 dan HLA-B51. Manifestasi

okular yang sering ditemukan termasuk uveitis anterior berat dengan

hipopion, vaskulitis retina, dan inflamasi nervus potikus. Kekambuhan

sering terjadi.

Diagnosis sindroma ini ditegakkan dengan disertai temuan-temuan

klinis sistemik lainnya, seperti ulkus aphtous pada mulut atau ulkus pada

genital, dermatitis, yang berupa eritema nodosum, tromboflebitis, serta

epididimitis.

26

Page 27: Penatalaksanaan uveitis

Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid lokal dan sistemik

bersamaan dengan obat-obat sikloplegika. Kebanyakan pasien memrlukan

obat-obat imunosupresif seperti siklosporin atau klorambusil.

7. Sifilis 10

Sifilis dapat menyebabkan uveitis pada stadium berapa saja,

termasuk stadium primer, sekunder, tertier dan stadium laten. Diagnosa

ditegakkan dengan melibatkan hasil laboratorium tes Venereal Disease

Research Laboratories (tes nonspesifik), seperti juga tes antibodi

treponemal.Pengobatan dengan memberikan penicillin intravena selama

10-14 hari. Kortikosteroid lokal dan sistemik, beserta obat-obat sikloplegik

juga diberikan jika terdapat inflamasi intraokular yang berat

2.7 Penatalaksanaan Uveitis

Prinsip penatalaksanaan uveitis:15

1. Menekan peradangan

2. Mengeliminir agen penyebab

3. Menghindari efek samping obat yang merugikan terhadap mata maupun organ

tubuh lain di luar mata.

Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis yang ditegakkan.

Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka ada dua tindakan yang harus kita

lakukan, yaitu:16

1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi spesialistik.

2. Pengobatan inisial non spesifik.

Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah

suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya.

Diagnosis yang ditegakkan penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal

no matter what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak seluruhnya

benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang fatal bila tidak diberi terapi

spesifik seperti pads toxoplasmosis, tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain.

27

Page 28: Penatalaksanaan uveitis

Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya

dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topikal atau oral adalah

ditujukan untuk mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior

adalah memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan

inflamasi ocular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya

sinekia, dan mengatur tekanan intraocular.

Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya

menggunakan kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid

atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-

obatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius,

seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan

galukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil.

Obat-obatan uveitis non spesifik:16,17,18

a. Midriatik- siklopegik

b. Kortikosteroid

c. Imunosupresan

1. Midriatik-sikloplegik

Tabel 2.2 Macam obat midriatik-sikloplegik

Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena iris akan

tetap dapat terkontraksi supaya tidak terjadi sinekia posterior. Apabila sudah

terjadi sinekia posterior dapat dilepaskan dengan atropin atau homatropin

diteteskan tiap 5 menit, kokain dan penilefrin.19

Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang bekerja

memblokade neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter iris dan otot

ciliaris. Cycloplegic mempunyai tiga tujuan dalam pengobatan uveitis anterior,

28

Page 29: Penatalaksanaan uveitis

yaitu untuk mengurangi nyeri dengan memobilisasi iris, mencegah terjadinya

perlengketan iris dengan lensa anterior ( sinekia posterior ), yang akan

mengarahkan terjadinya iris bombe dan peningkatan tekanan intraocular,

menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya protein leakage

(flare) yang lebih jauh.

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan. Semua

orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat

pada uveitis. Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior

adalah mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan

membran sel, menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan

sirkulasi limposit.

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat

kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga

daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi

pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan.

Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan

makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek

antiinflamasinya. Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan

preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular

baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya

dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.

Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal

mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari

selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang

mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat

yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang

baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat

kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.

Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi

tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti

29

Page 30: Penatalaksanaan uveitis

inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam

pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intraokular dengan kortikosteroid

dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis :

1. Lokal :

Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal

adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek

samping yang minimal. Dan apabila terjadi komplikasi, maka obat ini dapat

segera distop.

a. Tetes mata

Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.

Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik

daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk

suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.

Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti:

Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil,

pseudoptosis dan lain-lain.

Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate

0,125% dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%,

deksamentason alcohol 0,1%, deksamethasone sodium phospat 0,1%,

fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone 1%.

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat

kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,

sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada :

Konsentrasi dan frekuensi : pemberian makin tinggi konsentrasi obat

dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula

efek antiinflamasinya.

Jenis steroid : peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis

diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena

penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson,

fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada

palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.

30

Page 31: Penatalaksanaan uveitis

Jenis pelarut : kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada

penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel,

stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel

lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak

sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut

dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang

baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat

kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat

biphasic.

Bentuk larutan : kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan

suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular

lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi

kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih

dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan

mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan

kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.

b. Injeksi peri okular

Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk

short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah

dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek

samping sistemik yang minimal/ Indikasi injeksi peri-okular adalah:

Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka

injeksi peri-okular dapat dianjurkan.

Uveitis unilateral

Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.

Anak-anak.

Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.

Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis

infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Lokasi injeksi peri-okular :

Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior Pemakaian

sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide

31

Page 32: Penatalaksanaan uveitis

40 mg, atau methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada

peradangan kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi

sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif

dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2-4 minggu

sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti

pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat

dipakai dexametason 24 mg.

Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar Cara ini dipergunakan

pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf

optik).

Komplikasi injeksi peri-okular :

Perforasi bola mata.

Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra

okular dan katarak sub-kapsular posterior.

Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam

bentuk

Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid

tersebut dari bola mata.

Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.

2. Sistemik

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan

dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison

dengan dosis awal antara 1-2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan

perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison

diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan,

sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1

mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak di

mana bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan

gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating

single dose. Indikasi kortikosteroid sistemik:

a. Uveitis posterior

32

Page 33: Penatalaksanaan uveitis

b. Uveitis bilateral

c. Edema makula

d. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)

e. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek

samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes

mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan

anak, hirsutisme, dan lain-lain.

3. Imunosupresan

Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan

penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin,

NSAIDs (biasanya aspirin dan ibuprofen) dapat mengurangi peradangan yang

terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk mengurang peradangan

yang dihubungkan dengan cystoids macular edema yang menyertai uveitis

anterior.

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan

dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis

awal antara 12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari

(alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal

selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon

dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu.

Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior, Uveitis

bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian

kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang

tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus,

osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme,

dan lain-lain.

a. Siklostatika

Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap

steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1-0,2 mg/kg BB/hari,

dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2-3 bulan lalu diturunkan sampai

33

Page 34: Penatalaksanaan uveitis

5-8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai

6-12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin dosis 0,5 mg-1

mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/ hari. Selama terapi sitostatika

kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan

kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan

trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.

Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan

kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya

diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik,

azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.

Indikasi sitostatika :

Pengobatan steroid inefektif atau intolerable

Penyakit Behcet

Oftalmia simpatika

Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)

Kontra indikasi sitostatika:

Uveitis dengan etiologi infeksi

Bila tidak ada :

o Internist/hematologist

o Fasilitas monitoring sumsum tulang

o Fasilitas penanganan efek samping akut

b. Siklosporin A

Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid dengan dosis

imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang dapat menimbulkan efek

samping yang tidak diingini. Obat-obat sitostatika yang dipakai sebagai

imunosupresan juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih serius.

Selain itu kedua jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan

intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang akan berakhir

dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif pengobatan yang lain yang

lebih efektif dan aman. 22

34

Page 35: Penatalaksanaan uveitis

Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baru

yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif

terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada

pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian

besar system imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit

dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang

dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.

Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response imun-complex)

seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vaskulitis pada penyakit Behcet, dan

tipe IV (lambat) seperti pada Oftalmia simpatika, penyakit Behcet,

sarkoidosis dan lain-lain. Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan

reaksi tipe III pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting

dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intraokular.

Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:

Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara

umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF).

Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.

Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis

IL-2.

Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer

cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam

mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.

Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga

tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi

IL-1.

Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun :

Secara invitro menekan blastogenesis sel T.

Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan blocking

sintesis limfokin/lymphotoxic factor.

35

Page 36: Penatalaksanaan uveitis

Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga menekan

aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intracellulare partikel

antigen dan elaborasi plasminogen activation factor.

Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten terhadap efek

CsA.

Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun:

Menekan secara langsung produksi antibodi.

Menghambat fungsi sel T sitotoksik.

Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi antibodi

berkurang.

Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap sitostatika

walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.

Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang refrakter terhadap

pengobatan konvensional di RSCM memberikan hasil yang cukup baik dalam

hal memperbaiki penglihatan dan menekan peradangan dengan efek samping

minimal.

4. Pengobatan lainnya

Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan

penggunaan topical steroid, injects subkonjuctival steroid ( seperi celestone ) akan

berguna. Depot steroid seharusnya dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti

yang diakibatkan oleh herpes atau toksoplasmosis karena dapat memperparah.

Injeksi peri-okular dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo

maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi periokular adalah

dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping

sistemik yang minimal.

Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif terhadap

pengobatan tetes mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan, Uveitis

unilateral, pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata, anak-anak,

dan komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-

okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan

skleritis.

36

Page 37: Penatalaksanaan uveitis

Lokasi injeksi peri-okular sub-konjuctiva dan sub-tenon steroid repository

serta Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar. Keuntungan injeksi sub-

konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali

pemberian pada jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak

membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes

mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg. Injeksi

sub-tenon posterior dan retro-bulbar, cara ini dipergunakan pada peradangan

segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).

Komplikasi injeksi peri-okular adalah Perforasi bola mata, Injeksi yang

berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-

kapsular posterior, Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama

dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid

tersebut dari bola mata, Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via

palpebra.

Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 – 7 hari,

tergantung pada keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual

aquity, pengukuran tekanan intraocular, pemeriksaan dengan menggunakan

slitlamp, assasment cel dan flare, dan evaluasi respon terhadap terapi.

Tingkat

keparahan

Uveitis

Banyknya

kunjungan

follow up

Visual

Acuity

Cells

danFlare

pada

Tonometry Ophthalmoscopy Rencana

penetala

ksanaan

37

Page 38: Penatalaksanaan uveitis

Anterior pemerisaan

Slit Lamp

Ringan Setiap 4-7

hari

Ya Ya Ya Jika pada visit

awal belum

terdiagnosa

Tatalaks

ana

seperti di

Table 6

Sedang Setiap 2-

4hari

Ya Ya Ya Jika pada visit

awal belum

terdiagnosa

Tatalaks

ana

seperti di

Table 6

berat Setiap 1-

2hari

Ya Ya Ya Jika pada visit

awal belum

terdiagnosa

Tatalaks

ana

seperti di

Table 6

Table 2.3 Frekuensi dan komposisi terhadap penilaian dan penanganan uveitis

anterior

38

Page 39: Penatalaksanaan uveitis

Tabel 2.4 Penanganan pada uveitis anterior dan follow up

39

A. Mild uveitis (Optional

depending on symptoms)

Cyclopentolate, 1% (t.i.d.) atau homatropine, 5%

(b.i.d.-t.i.d.)

Prednisolone, 1% (b.i.d.-q.i.d.)

Aspirin atau ibuprofen, 2 tablet (q.4h)b secara oral

Penggunaan β bloker jka TIO meningkat

Reevaluasi 4-7 hari (atau jika berambah parah)

B. Refer to primary care physician for systemic evaluation (when indicated)

C. Moderate uveitis Homatropine, 5% (q.i.d.) atau scopolamine, 0.25%

(b.i.d.)

Prednisolone, 1% (q.i.d.)a

Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets (q.4h)b secara

oral

Penggunaan β bloker jka TIO meningkat

Pada mata gelap anjuran kepada pasien agar

berhati-hati

Re-evaluasi 2-4 hari (atau bila perlu)

D. Severe uveitis Atropine, 1% (b.i.d.-t.i.d.) atau homatropine, 5%

(q.4h)

Prednisolone, 1% (q.2-4h)a

Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets (q.3-4h) secara

oral

Penggunaan β bloker jka TIO meningkat

Paca mata gelap anjuran kepada pasien agar

berhati-hati

Reevaluasi 1-2 hari

Page 40: Penatalaksanaan uveitis

Pengobatan Spesifik

A. Toxoplasmosis 20

Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

Sulfadiazin atau trisulfa : Dosis 4 kali 0.5-1 gr/hari selama 3-6 minggu.

Pirimetamin : Dosis awal 75-100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali

25 mg/hari selama 3-6 minggu.

Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®):Dosis 2 kali 2 tablet

Bactrim® selama 4-6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam

para aminobenzoat menjadi asam folat Preparat pirimetamin bekerja

menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh

organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian

pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi

tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk

mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5

mg tiap 2 hari.

Klindamisin : Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik

dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat

menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150-

300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg

dilaporkan memberi hasil baik.

Spiramisin : Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek

samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah

rekurensi.

Minosiklin : 1-2 kapsul sehari selama 4-6 minggu.

Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi

medikamentosa.

B. Infeksi virus 21

Herpes simplex : Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal

antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea

intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus.

40

Page 41: Penatalaksanaan uveitis

Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2-3 minggu yang

kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes

simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena

dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.

Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut

selama 10-14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua

untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior

diberikan steroid dan sikloplegik topikal.

Sitomegalovirus : DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali

pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.

3.2 Perkembangan Tata Laksana Uveitis: Dari Kortikoseroid Hingga

Imunomodulator:

Tatalaksana medikamentosa uveitis berupa obat anti inflamasi dan

imunosupresan. Golongan obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid, obat

antiinflamasi non-steroid (NSAID) serta imunomodulator (imunosupresif).

NSAID lebih jarang digunakan karena kurang efektif dibandingkan kortikosteroid

dan imunomodulator.23

Kortikosteroid merupakan golongan obat yang paling sering digunakan

dalam terapi uveitis. Sangat disayangkan masih banyak penggunaan

kortikosteroid yang kurang tepat seperti pemakaian yang tidak sesuai dengan

indikasi, kurangnya perhatian terhadap efek samping yang ditimbulkan serta dosis

pemberian yang tidak tepat. Akibatnya efektivitas terapi menjadi tidak optimal,

timbulnya resistensi dari organisme penyebab uveitis serta munculnya berbagai

efek samping dan komplikasi akibat uveitis. Kortikosteroid untuk tata laksana

uveitis dapat diberikan secara topikal, sistemik, periokular dan intravitreal. Setiap

metode pemberian memiliki indikasi dan kegunaan masingmasing. Kortikosteroid

topikal merupakan metode pemberian yang paling sering dan biasanya digunakan

untuk kasuskasus uveitis anterior. Injeksi periokular digunakan untuk uveitis

intermediat dan posterior karena dapat bekerja lebih dekat dengan target organ

yang mengalami inflamasi. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat berperan

41

Page 42: Penatalaksanaan uveitis

sebagai terapi untuk penyakit sistemik yang menyebabkan uveitis. Jalur

pemberian kortikosteroid secara intravitreal dapat dilakukan dengan injeksi atau

implantasi kortikosteroid lepas lambat.24

Pemberian kortikosterid memiliki banyak efek samping. Kortikosteroid

topikal dapat menyebabkan katarak dan glaukoma, terutama pada pemakaian

jangka panjang. Metode pemberian secara periokular memiliki efek samping

serupa, ditambah ptosis, perforasi sklera, serta perdarahan. Penggunaan

kortikosteroid sistemik juga telah lama dikenal menimbulkan berbagai efek

samping seperti osteoporosis, hipertensi, penambahan berat badan, retensi cairan,

gangguan toleransi glukosa, gangguan siklus menstruasi, dan ulkus peptikum.

Efek samping pemberian kortikosteroid yang banyak mendorong

pemakaian golongan obat lain untuk tata laksana uveitis. Terapi uveitis semakin

bergeser dari penekanan respon imun secara umum.25 Hal tersebut yang

mendasari penggunaan imunomodulator. Imunomodulator bekerja dengan

menekan jalur-jalur tertentu dari inflamasi secara lebih spesifik sesuai dengan

patogenesis dan mekanisme terjadinya uveitis. Beberapa golongan

imunomodulator yang dapat digunakan untuk tata laksana uveitis adalah

antimetabolit (azathioprine, methotrexate dan mycophenolate mofetil), inhibitor

sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta alkylating agents (klorambucil dan

siklofosfamid). Selain itu terdapat pula agen biologis, yakni golongan etanercept®

dan infliximab®.

Imunomodulator juga tidak lepas dari efek samping. Akibat yang tidak

diinginkan dari penekanan sistem imun adalah menurunnya daya tahan terhadap

infeksi dan kerja dari gen yang menekan terjadinya tumor.25 Beberapa efek

samping lain yang patut diwaspadai adalah hepatotoksisitas, efrotoksisitas serta

gangguan saluran cerna. Pemakaian imunomodulator sesuai indikasi, dengan dosis

dan lama pemakaian yang tepat serta pemantauan yang ketat dapat meminimalkan

efeksampingtersebut.26

BAB 3. KESIMPULAN

42

Page 43: Penatalaksanaan uveitis

Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya

dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topikal atau oral adalah

ditujukan untuk mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior

adalah memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan

inflamasi ocular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya

sinekia, dan mengatur tekanan intraocular.

Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya

menggunakan kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid

atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-

obatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius,

seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan

galukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil.

DAFTAR PUSTAKA

43

Page 44: Penatalaksanaan uveitis

1. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis

PERDAMI.Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.

2. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye

Council.Support for vision research, 1976; 20-22.

3. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based

survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye

health worldwide, issue no 7 1991.

4. Gunawan wasisdi, Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akua pada HLA B27

Positif, FKUGM, Yogyakarta

5. Ilyas. S., Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta, 2004, hal 172 – 175.

6. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea

Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical

Publishing, 1992. 1.1

7. Roque MR. Uveitis 2007;

http://www.uveitis.com/ph.images.uveitis/jpg/files [diakses tanggal 29

Maret 2007]

8. Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A

Systematic Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd,

1994. 152-200.

9. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and

Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and

Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-

144.

10. Vaughan .D.G., Asbury. T., Riordan-Eva. P., Oftalmologi Umum, edisi

14, Widya Medika, Jakarta, 2000, hal 155-166.

11. Ilyas. S., Mailangkay. H. H. B., Taim. H.,dkk.,Ilmu Penyakit Mata untuk

Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi 2, Sagung Seto, Jakarta,

2002, hal 1-12.

12. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and

management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.

44

Page 45: Penatalaksanaan uveitis

13. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.

American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.

14. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical

Practice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.

15. BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in

endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7

16. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and

management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.

17. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists.

American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.

18. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical

Practice.Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.

19. Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.):

Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ.

Philadelphia 1986.

20. Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in

the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111:

601–610.

21. Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam:

Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB

Saunders Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51

22. Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine

in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 1144–1150

23. American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course

2007-2008, Section 9: Intraocular inflammation and uveitis. Singapore:

American Academy of Ophthalmology; 2007.

24. Kanski JJ. Clinical opthalmology, a systemic approach. 6th ed. London:

Elsevier Limited; 2007.

25. Caspi RR. A look at autoimmunity and inflammation in the eye. J Clin

Invest. 2010;120(9):3073-83.

45

Page 46: Penatalaksanaan uveitis

26. Kempen JH, Gangaputra S, Daniel E, Levy-Clarke GA, Nussenblatt RB,

Rosenbaum JT, et al. Long-term risk of malignancy among patients treated

with immunosuppressive agents for ocular inflammation: a critical

assessment of the evidence. Am J Ophthalmol. 2008;146:802-12.

46