penda hulu an terje mahan

47
BAB 1 Pendahuluan Pada tahun 2007, The Tokyo Guidelines (TG 07) untuk pengelolaan kolangitis akut dan kolesistitis pertama kali diterbitkan dalam the Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery. Kebijakan fundamental dari TG07 adalah tercapainya tujuan TG 07 melalui pengembangan konsensus di antara para ahli di bidang ini di seluruh dunia. Mengingat situasi seperti, validasi dan umpan balik dari sudut pandang yang didapat dari para dokter ahli tersebut sangat diperlukan. Apa yang telah ditunjukkan dari praktek klinis adalah rendahnya sensitivitas diagnostik TG 07 untuk kolangitis akut dan adanya perbedaan antara penilaian grade dan penilaian klinis untuk kolangitis akut. Pada bulan Juni 2010, terbentuk suatu komite Revisi The Tokyo Guidelines untuk merevisi TG 07 (TGRC) dan mulai memvalidasi TG 07. Komite juga menyiapkan kriteria diagnostik dan kriteria penilaian grade baru dengan menganalisis kasus kolangitis dan kolesistitis akut, termasuk kasus penyakit bilier non inflammatory yang dikumpulkan dari beberapa lembaga yang terkait. TGRC mengadakan pertemuan sebanyak 35 kali serta pertukaran email internasional dengan co-penulis di luar negeri. Pada tanggal 9 Juni dan 6 September 2011, dan pada 11 April, 2012, kami mengadakan tiga Rapat Internasional Pengkajian klinis dan Revisi The Tokyo Guidelines. Melalui pertemuan ini, draft final The Tokyo Guidelines (TG 13) diperbarui dan dibuat atas dasar bukti dari

Upload: odiet-revender

Post on 16-Jul-2016

249 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

pendahuluan

TRANSCRIPT

Page 1: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB 1

Pendahuluan

Pada tahun 2007, The Tokyo Guidelines (TG 07) untuk pengelolaan kolangitis akut dan

kolesistitis pertama kali diterbitkan dalam the Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery.

Kebijakan fundamental dari TG07 adalah tercapainya tujuan TG 07 melalui pengembangan

konsensus di antara para ahli di bidang ini di seluruh dunia. Mengingat situasi seperti, validasi

dan umpan balik dari sudut pandang yang didapat dari para dokter ahli tersebut sangat

diperlukan. Apa yang telah ditunjukkan dari praktek klinis adalah rendahnya sensitivitas

diagnostik TG 07 untuk kolangitis akut dan adanya perbedaan antara penilaian grade dan

penilaian klinis untuk kolangitis akut.

Pada bulan Juni 2010, terbentuk suatu komite Revisi The Tokyo Guidelines untuk

merevisi TG 07 (TGRC) dan mulai memvalidasi TG 07. Komite juga menyiapkan kriteria

diagnostik dan kriteria penilaian grade baru dengan menganalisis kasus kolangitis dan

kolesistitis akut, termasuk kasus penyakit bilier non inflammatory yang dikumpulkan dari

beberapa lembaga yang terkait.

TGRC mengadakan pertemuan sebanyak 35 kali serta pertukaran email internasional

dengan co-penulis di luar negeri. Pada tanggal 9 Juni dan 6 September 2011, dan pada 11 April,

2012, kami mengadakan tiga Rapat Internasional Pengkajian klinis dan Revisi The Tokyo

Guidelines. Melalui pertemuan ini, draft final The Tokyo Guidelines (TG 13) diperbarui dan

dibuat atas dasar bukti dari analisis retrospektif multi-center. Untuk lebih spesifik, diskusi

berlangsung melibatkan revisi kriteria diagnostik baru, dan kriteria penilaian grade baru,

flowchart baru pengelolaan kolangitis dan kolesistitis akut, perawatan medis direkomendasikan

untuk yang baru terdiagnosis telah ditambahkan, rekomendasi baru untuk drainase kandung

empedu dan terapi antimikroba, dan tentunya peran intervensi bedah.

Manajemen terpadu untuk kolangitis dan kolesistitis akut diperkenalkan agar efektifitas

penyebaran dengan tingkat bukti dan rekomendasi. Sistem grade dimanfaatkan untuk

memberikan rekomendasi tingkat evidence dan grade. TG 13 meningkatkan sensitivitas

diagnostik untuk kolangitis dan kolesistitis akut, dan disajikan dengan kriteria tingkat positif

palsu sangat rendah untuk diadaptasi pada praktek klinis. Selanjutnya, kriteria penilaian Grade

diadaptasi untuk penggunaan klinis, flowchart, dan banyak

Page 2: Penda Hulu an Terje Mahan

modalitas diagnostik dan terapi baru diperkenalkan. Panduan untuk pengelolaan kolangitis dan

kolesistitis akut disajikan dalam bagian terpisah pada TG 13.

Page 3: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB 2.

Definisi, Etiologi Dan Epidemiologi Terbaru Tentang

Kolangitis Dan Kolesistitis Akut

Definisi, patofisiologi, dan epidemiologi kolangitis akut disajikan dalam The Tokyo

Guidelines untuk pengelolaan dan kolesistitis akut tahun 2007, sedangkan revisi The Tokyo

Guidelines (TG13) memberikan data yang lebih subjektif dalam menggantikan TG 07. Adapun

data uji klinis saat ini khususnya mengenai data frekuensi kasus, grade, angka kematian, dan

tingkat kekambuhan diperkenalkan secara bersama dengan data epidemiologi.

2.1 Kolangitis Akut

2.1.1 Definisi

Kolangitis akut adalah kondisi yang tidak wajar dengan peradangan akut dan infeksi pada

saluran empedu.

2.1.2 Etiologi

Etiologi cholangitis akut adalah: Cholelithiasis Biliary stricture faktor bawaan Faktor pasca operasi (rusak saluran empedu, striktur choledojejunostomy, dll) Faktor inflamasi (kolangitis oriental, dll) Oklusi karena tumor ( malignansi)

o Tumor Saluran empedu o Tumor kandung empedu tumoro Tumor ampullaryo Tumor pankreaso Tumor duodenumo Pankreatitis

Masuknya parasit ke dalam saluran empedu Tekanan eksternal Fibrosis papilla Divertikulum duodenum

Page 4: Penda Hulu an Terje Mahan

Bekuan darah faktor iatrogenik

2.1.3 Patofisiologi

Timbulnya kolangitis akut melibatkan dua faktor:

1. Peningkatan bakteri di saluran empedu

2. Peningkatan tekanan intraductal di saluran empedu yang memungkinkan translokasi bakteri

atau endotoksin ke dalam pembuluh darah dan sistem limfatik (cholangio-venous/lymphatic

reflux).

Karena karakteristik anatomi, sistem empedu mungkin akan terpengaruh oleh karena tekanan

intraductal yang tinggi. Bila sudah terjadi kolangitis akut, ductus-duktus empedu cenderung

menjadi lebih permeabel dan akan memudahkan terhadap translokasi bakteri dan toxin dengan

efek dapat meningkatkan tekanan bilier intraductal. Proses infeksi ini akan lebih serius dan fatal

seperti pada penyakit abses hati dan sepsis.

2.1.4 Aspek Historis Terminologi

Demam hepatik adalah istilah yang digunakan untuk pertama kali oleh Charcot dalam

laporannya yang diterbitkan pada tahun 1887. Demam intermiten disertai dengan menggigil,

nyeri perut kuadran kanan atas, dan penyakit kuning telah ditetapkan sebagai trias Charcot.

Kolangitis obstruktif akut didefinisikan oleh Reynolds dan Dargan pada tahun 1959

sebagai sindrom yang terdiri dari kelesuan atau kebingungan mental dan shock, serta demam,

sakit kuning, dan nyeri perut kuadran kanan atas disebabkan oleh obstruksi bilier. Ini

menunjukkan suatu keadaan darurat yang memerlukan intervensi bedah dan dekompresi bilier

adalah satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengobati penyakit ini. Lima Gejala yang

demikian ini disebut Pentad Reynold’s

Klasifikasi Longmire adalah klasifikasi terhadap pasien dengan tiga karakteristik utama

yaitu demam yang naik turun disertai dengan menggigil dan gemetar, nyeri kuadran kanan atas

perut, dan penyakit kuning sebagai kolangitis supuratif akut, dan bila bersama disertai dengan

letargi atau kebingungan mental serta pasien mengalami shock di definisikan sebagai kolangitis

supuratif akut obstruktif. Longmire juga melaporkan bahwa kolangitis supuratif akut obstruktif

ini berhubungan dengan morbiditas dari kolangitis obstruktif akut seperti yang didefinisikan oleh

Reynolds.

Page 5: Penda Hulu an Terje Mahan

2.2 Kolesistitis Akut

2.2.1 Definisi

Penyakit akut inflamasi kandung empedu, sering disebabkan batu empedu, tetapi banyak faktor,

seperti iskemia, gangguan motilitas, cedera kimia langsung, infeksi oleh mikroorganisme,

protozoa dan parasit, penyakit kolagen, dan reaksi alergi juga terlibat .

2.2.2 Etiologi

Penyebab dari kolesistitis akut 90-95% adalah batu empedu. Diikuti oleh obstruksi duktus kistik

dan torsi dari kandung empedu. Sebaliknya, kolesistitis akut karena non batu hanya 3,7-14% dari

kolesistitis akut. Faktor risiko termasuk operasi, trauma, dalam perawatan intensif jangka

panjang, infeksi, luka bakar, dan nutrisi parenteral. ‘‘4Fs’’ (forties, female, fat, fair) and ‘‘5Fs’’

(4Fs di tambah fecund or fertile) telah terbukti berhubungan dengan lithogenesis di kantong

empedu

2.2.3 Patofisiologi

Pada sebagian besar pasien, batu empedu adalah penyebab kolesistitis akut. Proses ini

merupakan salah satu obstruksi fisik kandung empedu pada leher atau di saluran cystic oleh batu

empedu. Hasil obstruksi ini meningkatkan tekanan di dalam kandung empedu. Ada dua faktor

yang menentukan perkembangan untuk akut kolesistitis, Derajat obstruksi dan durasi obstruksi.

Jika obstruksi parsial dan durasi pendek, pasien akan mengalami kolik bilier. Jika obstruksi total

dan durasi panjang, pasien akan mengalami kolesistitis akut. Jika pasien tidak mendapatkan

pengobatan dini, penyakit ini menjadi lebih serius dan komplikasi-komplikasi dapat terjadi.

2.3 Klasifikasi patologis kolesistitis

(1) Kolesistitis Edema: tahap 1 (2-4 hari) kandung empedu memiliki cairan interstitial dengan

kapiler dan limfatik melebar. Dinding kandung empedu menjadi edema. Jaringan kandung

empedu secara histologis utuh dengan edema pada lapisan subserosa.

(2) Kolesistitis necrotizing: tahap 2 (3-5 hari) kandung empedu memiliki perubahan edema

menjadi hemorrhage dan nekrosis. Ketika dinding kandung empedu mengikuti tekanan internal

yang tinggi, aliran darah akan terhambat dengan bukti histologis trombosis pembuluh darah dan

Page 6: Penda Hulu an Terje Mahan

oklusi. Ditemukan daerah nekrosis yang tersebar tetapi hanya superficial dan tidak melibatkan

ketebalan penuh dari dinding kandung empedu.

Gambar 1.

a. Kolesistitis necrotizing yang tampak pada pemeriksaan MRI,

b. Kolesistitis necrotizing yang tampak pada kandung empedu yang telah di angkat

(3) Kolesistitis supuratif: tahap 3 (7-10 hari) Dinding kandung empedu dijumpai sel darah putih

yang muncul pada daerah nekrosis dan nanah. Dalam tahap ini, proses aktif perbaikan

peradangan jelas. Kantong empedu yang membesar mulai berkontraksi dan dinding menebal

karena proliferasi fibrosa. Di tempat adanya abses, diamati dan terlihat adanya abses yang tidak

melibatkan seluruh ketebalan dinding. Abses Pericholecystic juga bisa dijumpai.

(4) Kolesistitis kronis: Terjadi setelah terjadinya serangan berulang kolesistitis ringan, dan

ditandai oleh atrofi mukosa dan fibrosis dari dinding kandung empedu. Hal ini juga dapat

disebabkan oleh iritasi kronis batu empedu yang besar dan mungkin sering menyebabkan

kolesistitis akut. Akut pada kolesistitis kronis mengacu pada infeksi akut yang terjadi di

kolesistitis kronis. Secara histologi, invasi neutrofil diamati di dinding kandung empedu dengan

kolesistitis kronis yang menyertai limfosit / infiltrasi sel plasma dan Fibros.

Page 7: Penda Hulu an Terje Mahan

Gambar 2.

a. Gambaran kolesistitis supuratif yang tampak pada pemeriksaan CT-Scan kontras.

b. dan c. Gambaran batu empedu pada kolesistitis supuratif

d. Gambaran membran kandung empedu yang sudah terjadi abses pada dinding kandung empedu

Gambar 3.

a. Gambaran USG dari kandung empedu yang mengalami penebalan dinding pada infeksi akut

b. Gambaran kantong empedu terus membengkak setelah timbulnya peradangan akut dan dinding

telah lebih jauh menebal dan tampak gambaran lusen intraluminal

Page 8: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB IIIGuidelines Untuk Diagnosis Dan

Grade Kolangitis Akut

3.1. Guidelines Untuk Diagnosis kolangitis Akut

Diagnosis kolangitis akut secara tradisional telah dibuat sesuai dengan dijumpai tanda

klinis Trias Charcot. Trias Charcot memiliki spesifisitas yang tinggi tetapi sensitivitasnya

rendah. Menurut beberapa laporan, kasus kolangitis akut yang disertai semua gejala Trias

Charcot mencapai 26,4-72%. Definisi sebelumnya tentang kolangitis akut tidak jelas dan

bervariasi dalam referensi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam analisis kasus penyakit saluran

empedu yang dikumpulkan dari beberapa fasilitas, kita mendefinisikan '' gold standard '' untuk

kolangitis akut, bahwa salah satu dari tiga kondisi berikut adalah:

(1) Dijumpai cairan empedu yang purulen.

(2) Klinis yang membaik setalah drainase saluran empedu.

(3) Klinis yang membaik setalah terapi antibakteri saja, pada pasien yang menderita infeksi

saluran empedu.

Sehingga menunjukkan sensitivitas rendah (26,4%) ketika Trias Charcot diadopsi sebagai

kriteria diagnostik untuk kolangitis akut. Di sisi lain, spesifisitas yang sangat menguntungkan

(95,9%), tapi itu positif (11,9%) untuk kolesistitis akut. Kehadiran Trias Charcot mendukung

diagnosis kolangitis akut. Namun, dilihat dari sensitivitas rendah, penggunaan Trias Charcot

sebagai kriteria diagnostik untuk kolangitis akut menjadi diragukan.

Pada TG 13 kriteria diagnostik untuk kolangitis akut telah mengalami revisi kriteria

diagnostik untuk kolangitis akut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Morbiditas dari

kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya refluks cholangiovenous dan cholangiolymphatic

bersama dengan peningkatan tekanan di dalam saluran empedu yang tinggi dan infeksi empedu

karena obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh batu dan tumor. Pada TG 13 kriteria

diagnostik akut kolangitis juga digunakan sebagai kriteria untuk menetapkan diagnosis kolestasis

dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah yang ada, selain gambaran

kandung empedu berdasarkan pemeriksaan radiologi

Page 9: Penda Hulu an Terje Mahan

Tabel 1.Kriteria Diagnostik Untuk Kolangitis Akut

Sebuah analisis multi-pusat yang menilai TG13 menemukan bahwa sensitivitas 91,8%

dan spesifisitas 77,7% itu. TG13 menunjukkan spesifisitas mirip dengan TG07 tapi menunjukkan

peningkatan yang nyata pada sensitivitas dan perbaikan lebih lanjut dalam hal menegakkan

diagnostik seperti pada Tabel 2. Spesifisitas Trias Charcot adalah yang tertinggi. Dijumpainya

Trias Charcot sangat jelas membuktikan adanya vaskulitis akut.

Tabel 2.Perbandingan retrospektif berbagai kriteria diagnostik

cholangitis akut pada multi-pusat studi di Jepang

Page 10: Penda Hulu an Terje Mahan

Pemeriksaan radiologi seperti ultrasonografi, Computed tomography (CT) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dilakukan untuk evaluasi tempat dan penyebab obstruksi bilier dan

tingkat dilatasi bilier. Namun, CT Scan abdomen dengan kontras memiliki keterbatasan dalam

diagnosis dan evaluasi kolangitis akut. Karena heliks CT Scan secara klinis tersedia, seluruh

perut bagian atas organscan dinilai oleh CT Scan kontras. CT Scan kontras dapat

menggambarkan batu empedu, pneumobilia, saluran empedu dilatasi, penebalan saluran empedu

dinding, dan stenosis atau oklusi saluran empedu. Namun, temuan CT Scan tersebut tidak selalu

menunjukkan adanya kolangitis akut. CT Scan disarankan sebagai metode pencitraan yang

paling efektif untuk diagnosis etiologi dan MRI (MRCP) disarankan untuk diagnosis etiologi dari

kolangitis akut.

3.2 Grade Kolangitis Akut

Revisi Kriteria penilaian untuk kolangitis akut ditunjukkan pada Tabel 3. Grade

kolangitis akut diklasifikasikan sebagai berikut;

1. Grade III (berat): Dijumpai adanya disfungsi organ.

2. Grade II (sedang): Risiko peningkatan Grade tanpa awal drainase bilier.

3. Grade I (ringan).

Tabel 3.

Kriteria TG 13 dalam penilaian grade untuk cholangitis akut

Page 11: Penda Hulu an Terje Mahan

Kriteria penilaian grade sangat penting untuk menentukan strategi pengobatan untuk

kolangitis akut, terutama untuk grade II dimana kasus yang dapat berkembang menjadi grade III

tanpa intervensi langsung. Pengobatan kolangitis akut membutuhkan pengobatan untuk penyebab

untuk kasus-kasus dengan grade apapun, bersama dengan pemberian obat-obat antimikroba dan

drainase dari saluran empedu. Grade III disebut sebagai suatu kondisi yang bisa menimbulkan

disfungsi organ karena itu kolangitis akut membutuhkan perawatan yang intensif. Grade II

disebut sebagai suatu kondisi dimana kolangitis membutuhkan drainase saluran empedu yang

lebih awal tanpa menunggu terjadinya suatu disfungsi organ, tetapi dengan risiko berkembang

menjadi grade III.

Kriteria grade kolangitis akut pada TG 13 lebih cocok dalam praktek klinis daripada TG

07, karena memungkinkan kita untuk mengidentifikasi lebih awal grade II yang membutuhkan

drainase bilier pada saat diagnosis awal ditegakkannya diagnosis kolangitis akut.

Dijumpai ada atau tidak adanya Trias Charcot tidak mencerminkan grade ringan-beratnya

kolangitis akut. Jadi, kasus yang memenuhi trias Charcot tidak selalu dinilai sebagai kolangitis

akut grade berat

Page 12: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB 4Kriterias Diagnostic Dan Grade Kolesistitis Akut

Kolesistitis akut merupakan kondisi yang memerlukan tindakan emergensi untuk

penanganannya untuk menurunkan morbiditas seperti pada kolesistitis gangrenous, kolesistitis

emphysematous dan torsi dari kandung empedu.

Murphy’s sign menunjukkan spesifisitas yang tinggi, namun sensitivitas telah dilaporkan

rendah. Hal ini tidak berlaku dalam membuat diagnosis kolesistitis akut karena sensitivitas

rendah. Meskipun sensitivitas Murphy’s sign meningkat, kriteria diagnostik TG07 memiliki

keterbatasan dan validitas tersebut cukup untuk membuat suatu diagnosis pasti dari Kolesistitis

akut. Pada TG13, kriteria diagnostik dari kolesistitis akut memiliki sensitivitas tinggi dan

spesifisitas tinggi. Tanda klinis yang paling khas dari kolesistitis akut adalah nyeri perut. Gejala

utama dari kolesistitis yang tidak ada komplikasi adalah kolik biliar yang disebabkan oleh

obstruksi dari leher kandung empedu oleh karena adanya batu.

Diagnosis kolesistitis akut di buat berdasarkan tanda-tanda dan temuan klinis yang ada.

Bila di curigai adanya kolesistitis akut dan gejala klinis dan hasil pemeriksaan darah, diagnosis

pasti bisa di tentukan setelah di lakukan konfirmasi dengan pemeriksaan penunjang (radiologi)

Tabel 4.

Kriteria TG13 dalam diagnostic kolesistitis akut

Page 13: Penda Hulu an Terje Mahan

USG harus dilakukan pada pemeriksaan awal untuk semua kasus yang dicurigai

kolesistitis akut. Ultrasonografi menunjukkan sensitivitas 50 ~ 88% dan spesifisitas 80 ~ 88%.

Diagnosis kolesistitis akut yang disebabkan oleh batu bisa dibuktikan dengan pemeriksaan

radiologi. Pada pemeriksaan USG dapat di temukan ; Penebalan dinding kandung empedu (5 mm

atau lebih) , pericholecystic fluid, dan defans muscular ketika probe USG di tekan kearah

kandung empedu ( ultrasonographic Murphy’s sign)

Tabel 5.

Simpthom dan insiden klinis dari kolesistitis akut

Pada CT Scan dari kolesistitis akut dapat dijumpai kandung empedu distensi, jaringan lemak pericholecystic, penebalan dinding kandung empedu, edema subserosa, peningkatan mukosa, pengumpulan cairan pericholecystic, koleksi gas abses ericholecystic dalam kandung empedu.

Gambar 4.a. Gambaran USG dari kandung empedu yang mengalami penebalan dinding kandung

empedu dengan lapisan yang hiperechoic, debris massif, dan batu empedu.b. Gambaran USG kasus ulkus duodenum dan dijumpai Murphy’s sign

Page 14: Penda Hulu an Terje Mahan

Gambar 5. Gambaran CT Scan non kontras kolesistolitiasis akuta. Gambaran kandung empedu yang membesar, dinding yang menebal dan batu kandung

empedu.b. c, d, Gambaran edema kandung empedu dan penebalan dari hepar yg mengalami

peningkatan dan menempel pada kandung empedu.d. e, Gambaran penebalan dari hepar yang menghilang pada CT Scan posisi melintang

Prognosis dari kolesistitis akut jauh lebih baik dibandingkan dengan kolangitis akut namun perlu

di tangani secara menyeluruh bila dijumpai kolesistitis gangrenous, kolesistitis emphysematous

atau teorsio dari kandung empedu. Perkembangan dari kolesistitis akut dari ringan/sedang

menjadi berat adalah terjadinya mulptiple organ diysfunction syndrome (MODS). Organ

diysfunction skore seperti Marshall’s multiple organ dysfunction (MOD) dan sequential organ

failure assessment (SOFA) kadang di gunakan dalam evaluasi dari critical diysfunction organ

dari penyakit yang dialami pasien

Page 15: Penda Hulu an Terje Mahan

Tabel 6.Kriteria TG13 dalam penilaian grade untuk kolesistitis akut

Page 16: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB 5Flowchart Untuk Pengelolaan Kolangitis

Dan Kolesistitis Akut

Pedoman umum untuk pengelolaan kolangitis dan kolesistitis akut dapat di lihat pada gambar 6.

Gambar 6. Pedoman umum untuk pengelolaan kolangitis dan kolesistitis akut

Dalam pengelolaan penyakit kolangitis akut dan kolesistitis akut kita juga harus

memperhatikan penyakit-penyakit abses hati, lambung dan ulkus duodenum, pankreatitis akut,

hepatitis akut, dan septikemia karena penyakit-penyakit ini menyerupai gejala dan tanda yang

menyerupai kolangitis akut dan kolesistitis akut. Pada kondisi kolangitis akut dan kolesistitis

akut yang harus dilakunan drainase empedu sebaiknya pasien harus tinggal di rumah sakit

dengan infus yang cukup, koreksi elektrolit, dan pemberian antimikroba dan analgesik serta

pasiem sementara harus di puasakan.

Ketika kolangitis akut memberat dan menjadi lebih parah, maka harus di awasi tanda-

tanda berikut seperti; syok (penurunan tekanan darah), gangguan kesadaran, gagal nafas akut,

gagal ginjal akut, kerusakan hati, dan koagulasi intravaskular (DIC) (penurunan jumlah

trombosit), drainase saluran empedu yang darurat harus segera dilakukan.

Page 17: Penda Hulu an Terje Mahan

5.1 Flowchart untuk pengelolaan kolangitis akut

Flowchart untuk pengelolaan kolangitis akut ditunjukkan pada Gambar. 7. Pengobatan

kolangitis akut harus dilakukan sesuai dengan grade kolangitis yang dialami pasien. Drainase

dari saluran empedu dan terapi antimikroba adalah dua elemen yang paling penting dari

perawatan kolangitis akut. Ketika diagnosis kolangitis akut ditentukan berdasarkan kriteria

diagnostik kolangitis akut TG13 maka perawatan medis awal termasuk puasa, pemberian cairan

intravena, terapi antimikroba, dan analgesia bersama dengan pemantauan ketat tekanan darah,

denyut nadi , dan produksi urin harus segera dimulai

Gambar 7. TG 13, flowchart untuk pengelolaan kolangitis akut

Diagnosa banding dari kolesistitis akut adalah ulkus lambung dan duodenum, hepatitis,

pankreatitis, kanker kandung empedu, abses hati, sindrom Fitz-Hugh-Curtis, pneumonia lobus

kanan bawah, angina pektoris, infark miokard, dan infeksi saluran kemih

5.2 Flowchart untuk pengelolaan kolesistitis akut

Flowchart untuk pengelolaan kolesistitis akut ditunjukkan pada Gambar. 8. Dimana pengobatan

lini pertama pada kolesistitis akut adalah kolesistektomi emergency atau urgency, dengan

kolesistektomi laparoskopi sebagai metode yang disukai. Pada pasien yang berisiko tinggi,

drainase kantong empedu seperti percutaneous kandung empedu transhepatik drainase (PTGBD),

perkutan transhepatik kandung empedu aspirasi (PTGBA), dan endoskopi kandung empedu

Page 18: Penda Hulu an Terje Mahan

nasobiliary drainase (ENGBD) adalah terapi alternatif pada pasien yang tidak dapat dengan aman

menjalani kolesistektomi emergency atau urgency.

Ketika diagnosis kolesistitis akut ditentukan berdasarkan kriteria diagnostik dari kolesistitis akut

pada TG13, perawatan medis awal termasuk puasa, pemberian cairan intravena, terapi

antimikroba, dan analgesia serta pemantauan ketat tekanan darah, denyut nadi, dan produksi urin

harus dimulai. Secara bersamaan, penilaian Grade kolesistitis akut harus dilakukan berdasarkan

kriteria penilaian Grade untuk kolesistitis akut TG13, di mana kolesistitis akut diklasifikasikan

ke dalam grade I (ringan), grade II (sedang), atau grade III (parah ). Penilaian risiko operasi

untuk komorbiditas dan status umum pasien juga harus dievaluasi selain berat grade nya.

Gambar 8. TG 13, flowchart untuk pengelolaan kolesistitis akut

Page 19: Penda Hulu an Terje Mahan

BAB 6

Bundles Pengelolaan Untuk Kolangitis Dan Kolesistitis Akut

6.1 Bundel pengelolaan kolangitis akut

Item dalam bundel pengelolaan kolangitis akut dijelaskan pada Tabel 7. Isi dari setiap

bundel dikembangkan dari rekomendasi TG13. Item wajib atau prosedur-prosedur yang

dimasukkan dalam bundel pengelolaan telah telah dibahas dan diputuskan di antara anggota dari

The Tokyo Guidelines Komite Revisi. Kriteria diagnostik dan penilaian grade kolangitis akut

pada TG13 dibuat berdasarkan artikel dari Kiriyama dkk.

Tabel 7.Bundel pengelolaan kolangitis akut

6.2 Bundel pengelolaan kolesistitis akut

Item dalam bundel pengelolaan kolesistitis akut dijelaskan dalam Tabel 8. Isi dari setiap

bundel dikembangkan dari rekomendasi TG13. Item wajib atau prosedur-prosedur yang

dimasukkan dalam bundel pengelolaan telah telah dibahas dan diputuskan di antara anggota dari

The Tokyo Guidelines Komite Revisi. Kriteria diagnostik dan penilaian grade kolesistitis akut

pada TG13 dibuat berdasarkan artikel dari Yokoe et al

Daftar Periksa untuk penggunaan bundel pengelolaan untuk kolangitis dan kolesistitis

akut dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Daftar periksa ini di penggunaan agar bundel

pengelolaan lebih efektif. Daftar ini juga digunakan dalam perawatan medis untuk memastikan

standar, dan

Page 20: Penda Hulu an Terje Mahan

untuk meningkatkan efektivitas bundel pengelolaan ini. Daftar periksa ini meliputi juga

prosedur, laboratorium, pemantauan dan intervensi yang diperlukan, harus ditempatkan di sisi

tempat tidur pasien.

Tabel 8.Bundel pengelolaan kolesistitis akut

Tabel 9.Bundel Daftar Periksa kolangitis akut

Page 21: Penda Hulu an Terje Mahan

Tabel 10.Bundel Daftar Periksa kolesistitis akut

6.3 Kesimpulan

Bundel pengelolaan ini terdiri dari item-item yang penting untuk efektifitas penggunaan

TG13. Kepatuhan dengan bundel pengelolaan ini diharapkan dapat meningkatkan prognosis

kolangitis akut dan kolesistitis akut. Laporan dari berbagai fasilitas telah menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan prognosis melalui penggunaan The Tokyo Guidelines untuk kolangitis akut

dan kolesistitis.

Page 22: Penda Hulu an Terje Mahan

Bab 7

Terapi Antimikroba Untuk Kolangitis Dan Kolesistitis Akut

Kolangitis dan kolesistitis akut dapat berkembang menjadi infeksi yang berat.

Epidemiology dan factor resiko untuk kolangitis dan kolesistitis akut merupakan hal yang perlu

diperhatikan dan tentunya menjadi tujuan utama pemberian obat-obat antimikroba untuk

kolangitis dan kolesistitis akut untuk membatasi memburuknya penyakit ini menjadi lokal

inflamasi dan respon sepsis sistemik. Dan juga untuk pencegahan infeksi luka operasi pada luka

superficial, fasia, atau spase organ dan pencegahan berkumpulnya intrahepatik abses.

Ketika memilih obat-obat antimikroba untuk kolangitis dan kolesistitis akut, organisme

yang ditargetkan, farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat antimikroba, riwayat

penggunaan antimikroba, fungsi ginjal dan hati, dan riwayat alergi dan efek samping lainnya

harus benar-benar dipertimbangkan. Kultur dari cairan kandung empedu harus diperoleh pada

awal prosedur apapun yang dilakukan. Cairan kandung empedu harus diperiksakan untuk kultur

di semua kasus kolesistitis akut kecuali pada pasien-pasien dengan grade I kolangitis dan

kolesistitis akut. TG 13 menyarankan kultur dari cairan kandung empedu dan jaringan dengan

perforasi, kandung empedu emphysematous, atau nekrosis dari kandung empedu harus diberi

catatan khusus bila di temukan ketika pasien menjalani kolesistektomi.

Tabel 11.Mikroorganisme yang di isolasi dari kultur cairan empedu

pada pasien infeksi akut saluran empedu

Page 23: Penda Hulu an Terje Mahan

Tabel 12.Mikroorganisme yang di isolasi dari kultur cairan empedu

pada pasien infeksi bakteremia saluran empedu

Rangkuman dari rekomendasi dari antimiroba yang sesuai untuk digunakan secra umum dalam

pengelolaan kolangitis dan kolesistitis akut terlihat pada tabel 13.

Tabel 13.Rekomendasi antimikroba untuk infeksi akut saluran empedu

Page 24: Penda Hulu an Terje Mahan

Setelah hasil uji kultur dari cairan empedu di dapatkan, terapi khusus (atau terapi definitif) harus

ditawarkan pada pasien-pasien kolangitis dan kolesistitis akut. Karena angka resistensi yang

sangat tinggi.

Tabel 14.Golongan dan kelas antimiroba yang memiliki prevalensi

resistensi yang tinggi terhadap enterobacteriaceae

Karena hanya sangat sedikit data yang tersedia untuk menilai durasi pemberian dan respon yang

terbaik dalam pengelolaan kolangitis dan kolesistitis akut, Tabel 14 dikembangkan berdasarkan

pendapat para ahli sebagai panduan untuk durasi pemberian terapi antimikroba untuk kolangitis

dan kolesistitis akut

Tabel 15.Rekomendasi durasi pemberian terapi antimikroba

Page 25: Penda Hulu an Terje Mahan

Pasien dengan kolangitis dan kolesistitis akut yang dapat makan dan minum secara normal dapat

dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi oral. Tergantung pada pola kerentanan organisme

yang berhasil diidentifikasi, golongan antimikroba oral seperti fluoroquinolones (ciprofloxacin,

levofloxacin, atau moksifloksasin), amoksisilin / asam klavulanat, atau sefalosporin dapat

digunakan.

Tabel 16.Golongan antimikroba oral yang pali representative yang dapat

diberikan pada pasien kolangitis dan kolesistitis akut

Dalam TG13, golongan antimikroba profilaksis yang sesuai digunakan dalam mencegah

kolangitis atau bakteremia akibat obstruksi saluran empedu di tetapkan dalam suatu konsensus.

Tabel 17 menggambarkan hal tersebut. Cefazolin atau sefalosporin lainnya dapat digunakan

sebagai agen profilaksis. Cefazolin adalah salah satu golongan yang digunakan untuk mencegah

endokarditis infektif dengan endoskopi dan golongan ini bisa dengan nyaman untuk digunakan

untuk mencegah endokarditis dan kolangitis secara bersamaan. Piperasilin adalah salah satu

golongan anti-pseudomonas yang telah dipelajari sebagai golongan profilaksis untuk ERCP

elektif. Mengingat sudah munculnya resistensi antara organisme Gram-negatif di seluruh dunia,

termasuk ESBL-memproduksi strain, TG 13 menyarankan golongan antipseudomonal seperti

piperasilin atau piperasilin / sulbaktam yang tercantum dalam Tabel 17.

Page 26: Penda Hulu an Terje Mahan

Tabel 17.Golongan antimikroba profilaksis untuk

endoscopic retrograde pancreatocholangiography (ERCP)

Page 27: Penda Hulu an Terje Mahan

Bab 7

Indikasi Dan Teknik Untuk Drainase EmpeduPada Kolangitis Akut

Indikasi dan teknik drainase empedu Dalam TG13 direkomendasikan untuk kolangitis

akut terlepas dari selain grade beberapa kasus kolangitis akut ringan di mana antibiotik dan

perawatan suportif umum yang efektif. Drainase secara endoskopi harus dipertimbangkan

sebagai prosedur drainase pilihan pertama karena beberapa studi telah terbukti sebagai prosedur

yang kurang invasif dibandingkan teknik drainase lainnya

7.1 Percutaneous Transhepatik Cholangial Drainase (PTCD)

7.1.1 Indikasi

Saat ini, Percutaneous Transhepatik Cholangial Drainase (PTCD), juga dikenal sebagai

percutaneous biliary transhepatik drainase (PTBD), telah menjadi pilihan kedua terapi untuk

kolangitis akut setelah drainase secara endoskopi karena kemungkinan komplikasi, termasuk

perdarahan intraperitoneal dan peritonitis bilier, dan perawatan lebih lama di rumah sakit.

Namun, PTCD masih dapat dilakukan dalam salah satu keadaan berikut:

(1) Pada pasien dengan tidak dapat diakses papilla karena obstruksi saluran pencernaan

bagian atas, seperti pada obstruksi duodenum atau perubahan anatomi setelah

pembedahan seperti reseksi Whipple atau Roux-en-Y anastomosis, di mana bagian dari

endoskopi atau drainase endoskopi dianggap sulit atau tidak mungkin untuk masuk

(2) Ketika ahli endoscopists pancreaticobiliary yang terlatih tidak tersedia di rumah sakit.

Selanjutnya, bahkan pada pasien dengan perubahan anatomi non-pembedahan, PTCD dapat

menjadi terapi penyelamatan saat endoskopi drainase konvensional telah gagal. Secara umum,

koagulopati merupakan kontraindikasi relatif. Namun, jika tidak ada metode lain untuk

menyelamatkan jiwa lainnya, PTCD dapat di indikasikan.

7.1.2 Teknik

Sebelum prevalensi ultrasonografi transabdominal dikerjakan, jarum tusukan ke saluran empedu

yang akan digunakan harus di hubungkan dengan fluoroscopy. Saat ini, tusukan jarum yang

aman dilakukan di bawah ultrasonografi untuk menghindari cedera atau terkenannya pembuluh

Page 28: Penda Hulu an Terje Mahan

darah. Oleh karena itu, dalam prosedur PTCD saat ini, operator harus terus mengamati saluran

saluran empedu menggunakan ultrasonografi terlepas ada atau tidaknya dilatasi dari kandung

empedu. Prosedur PTCD dilakukan sebagai berikut,

1. Seperti yang dijelaskan sebelumnya. Secara singkat, pada awalnya, ultrasonografi

transhepatik menjadi panduan tusukan ke duktus empedu intrahepatik

2. Tusukan ke duktus empedu intrahepatik menggunakan jarum 18 sampai 22-G.

3. Setelah memastikan tepat pada saluran empedu, dimasukkan guidewire

4. Akhirnya, kateter Fr 7-10 dimasukkan dalam saluran empedu di bawah kontrol

fluoroscopic dan guidewire tersebut.

Tusukan menggunakan jarum yang lebih kecil (22-G) lebih aman digunakan pada pasien tanpa

dilatasi daripada pasien dengan dilatasi kandung empedu.

Menurut Quality Improvement Guidelines produced by American radiologists, tingkat

keberhasilan prosedur PTCD 86% pada pasien dengan dilatasi kandung empedu dan 63% pada

mereka yang tidak dilatasi kandung empedu.

7.2 Drainase Bedah

7.2.1 Indikasi

Pada kasus-kasus jinak dan tanpa komplikasi seperti batu empedu, drainase bedah sangat jarang

dilakukan karena prevalensi keberhasilan drainase endoskopi atau PTCD untuk terapi kolangitis

akut. Namun, pada pasien dengan kolangitis akut karena adanya operasi neoplasma seperti

kanker caput pankreas, hepaticojejunostomy dapat dilakukan sebagai operasi bypass hanya pada

pasien yang belum mengalami kolangitis akut berat. Secara khusus, ketika lesi neoplastik

periampula seperti kanker caput pankreas atau kanker ampullary, menunjukkan kolangitis akut

dan obstruksi duodenum, operasi bypass ganda, hepaticojejunostomy dan gastrojejunostomy,

mungkin menjadi pilihan yang sulit.

7.2.2 Teknik

Drainase terbuka untuk dekompresi saluran empedu dilakukan sebagai intervensi bedah. Ketika

drainase bedah pada pasien sakit kritis dengan batu empedu dilakukan, operasi berkepanjangan

harus dihindari dan prosedur yang sederhana, seperti pemasangan T-tube tanpa

choledocholithotomy, sangat dianjurkan.

Page 29: Penda Hulu an Terje Mahan

7.3 Endoscopic Biliary Drainage

7.3.1 Indikasi

Endoscopic biliary drainage telah menjadi teknik gold standar untuk kolangitis akut, terlepas dari

apakah patologi jinak atau ganas, karena merupakan metode drainase yang minimal invasive. Di

sisi lain, drainase endoskopi menggunakan duodenoscope standar pada pasien dengan obstruksi

duodenum dan perubahan anatomi setelah pembedahan, seperti Roux-en-Y anastomosis,

merupakan kontraindikasi.

7.3.2 Teknik

Kanulasi empedu harus dilakukan sebelum drainase bilier. Pada dasarnya, ada dua kanulasi

empedu teknik, yaitu kontras media-dipandu kanulasi (cannulation standar) dan kawat-dipandu

kanulasi.

Tabel 18.Golongan antimikroba profilaksis untuk

endoscopic retrograde pancreatocholangiography (ERCP)

7.4 Endoscopic transpapillary biliary drainage

7.4.1 Indikasi

Endoskopi transpapillary bilier drainase dibagi menjadi dua jenis: endoskopi naso-bilier drainase

(ENBD) sebagai drainase eksternal dan endoskopi bilier stenting (EBS) sebagai drainase

internal. Meskipun, pada dasarnya, kedua jenis endoskopi bilier drainase dapat dilakukan di

semua pasien yang mengalami kolangitis akut, namun mempunyai kontra indikasi pada pasien

dimana endoskopi tidak dapat mencapai papilla karena obstruksi saluran empedu atau perubahan

Page 30: Penda Hulu an Terje Mahan

anatomi setelah pembedahan, atau di antaranya. Prosedur endoskopi ini tidak sesuai untuk

dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit kritis. Secara khusus, ENBD harus dihindari pada

pasien dengan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan, pasien yang bisa mencabut T-Tube,

dan orang-orang dengan kelainan rongga hidung yang menyebabkan kesulitan dalam

memasukkan tabung naso-bilier.

7.4.2 Teknik

ENBD

Prosedur ENBD dijelaskan secara rinci dalam TG07. Secara singkat, setelah selektif kanulasi

empedu, dimasukkan tube Fr 5-7 ke saluran empedu sebagai drainase eksternal atas bantuan

guidewire (Gambar. 2a).

EBS

Prosedur EBS juga dijelaskan dalam pedoman sebelumnya. Singkatnya, setelah kanulasi empedu

selektif, dimasukkan tube Fr 5-7 ke saluran empedu sebagai drainase internal atas bantuan

guidewire

Endoskopi papiler pelebaran balon (EPBD)

Indikasi

The EPBD prosedur biasanya digunakan sebagai pengganti EST untuk menghilangkan batu

empedu [28]. Sampai saat ini, telah ada

Page 31: Penda Hulu an Terje Mahan

tidak ada studi banding tentang penggunaan EPBD selama drainase empedu untuk mengobati

kolangitis akut karena batu saluran empedu.

EPBD, seperti EST, memiliki keuntungan mengurangi jumlah sesi terapi dan memperpendek

tinggal di rumah sakit pada pasien dengan kolangitis akut yang disebabkan oleh batu empedu.

Satu review sistematis mengungkapkan bahwa EPBD secara statistik kurang berhasil untuk

menghilangkan batu, membutuhkan tingkat yang lebih tinggi dari lithotripsy mekanik, dan

membawa risiko yang lebih tinggi dari pankreatitis, meskipun juga memiliki tingkat yang lebih

rendah signifikan secara statistik dari perdarahan [29]. Dengan demikian, TG13 menunjukkan

bahwa EPBD tampaknya berguna untuk pengobatan pada pasien yang memiliki koagulopati dan

kolangitis akut yang disebabkan oleh batu kecil.

Di sisi lain, secara teoritis, karena tujuan EPBD adalah untuk melestarikan fungsi sfingter Oddi,

EPBD

sendiri tanpa drainase bilier merupakan kontraindikasi untuk terapi kolangitis akut. Selain itu,

EPBD harus

dihindari pada pasien dengan pankreatitis bilier.

Teknik

Setelah kanulasi empedu selektif, balon sampai kecil untuk 8-mm, tergantung pada diameter

empedu

saluran dan batu, yang maju ke saluran empedu di papilla. Kemudian, sfingter Oddi secara

bertahap melebar oleh inflasi balon sampai pinggang balon menghilang. Kemudian, pembersihan

batu empedu dilakukan dengan menggunakan kateter keranjang dan balon kateter

Balon enteroscope dibantu saluran drainase empedu

Indikasi

ERCP pada pasien dengan pembedahan diubah anatomi dapat menantang. Secara umum, Roux-

en-Y anastomosis telah

berpikir untuk menghalangi akses endoskopi untuk ERCP karena panjang luas eferen dan

anggota badan aferen yang harus dilalui untuk mencapai papilla atau hepaticojejunostomy situs

utama. Baru-baru ini, satu balon enteroscopy (SBE) dan balon ganda enteroscopy (DBE) telah

memungkinkan ERCP berhasil dilakukan pada pasien dengan seperti anatomi pembedahan

Page 32: Penda Hulu an Terje Mahan

diubah. Beberapa peneliti telah melaporkan berbagai tingkat keberhasilan (40-95%) dengan efek

samping tarif di bawah 5% (Tabel 2, 3) [30-42]. Namun, karena teknik ini mungkin tidak

berhasil dan memakan waktu, indikasi yang harus hati-hati memutuskan akan. Meskipun

operator yang ideal adalah mereka yang terampil dalam kedua enteroscopy balon dan ERCP, di

beberapa institusi, GI endoscopists maju endoskop ke papilla atau anastomosis situs dan

kemudian endoscopists pancreaticobiliary melakukan ERCP. Oleh karena itu, jika operator tidak

pandai teknik ini, terapi menggunakan balon enteroscopy harus dihindari. Teknik yang SBE dan

DBE sistem balon terdiri dari enteroscope video, tabung geser dengan balon dan controler balon.

DBE memiliki balon di ujung endoskopi. selain balon dari overtube tersebut. Endoskopi maju ke

papilla atau anastomosis situs menggunakan mendorong dan menarik teknik (Gambar. 4a, b).

Kateter injeksi dan kateter meruncing digunakan untuk kanulasi awal. Pertama, guidewires

0,025-0,035 inci dimasukkan ke dalam saluran empedu. Akhirnya, kateter drainase 5-8,5-Fr

naso-bilier dan self-diupgrade stent logam ditempatkan ke dalam saluran empedu untuk

dekompresi bilier. Dalam kasus yang membutuhkan sphincterotomy endoskopi, sebuah

sphincterotome dan pisau jarum yang maju ke saluran empedu di atas atau di samping kawat

pemandu tersebut. Dalam kasus EPBD, pelebaran kateter konvensional digunakan untuk papilla

atau hepaticojejunostomy situs. Ketika kanulasi selektif tidak mungkin, pisau jarum digunakan

untuk pre-cutting. Sebuah kateter keranjang, pengambilan balon kateter, dan / atau lithotriptor

mekanik yang digunakan untuk menghilangkan batu

Bahan

manajemen bedah kolesistitis akut

Pengantar

Kolesistektomi telah banyak digunakan sebagai prosedur bedah untuk kolesistitis akut. Ada

beberapa

Studi pada waktu kolesistektomi dimulai di era operasi terbuka dan juga di era saat operasi

laparoskopi. Studi-studi ini telah menunjukkan bahwa operasi awal yang dilakukan dalam 72-96

jam setelah onset

gejala dikaitkan dengan keuntungan seperti mengurangi tinggal di rumah sakit, cuti sakit, dan

pengeluaran perawatan kesehatan, dan

Page 33: Penda Hulu an Terje Mahan

tidak ada kerugian sehubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Sejak diperkenalkannya awal

kolesistektomi laparoskopi, telah dianggap kontraindikasi untuk kolesistitis akut. Namun, karena

pembentukan pandangan kritis keselamatan diperkenalkan oleh Strasberg dkk. [1] untuk diseksi

segitiga Calot itu, pengembangan teknik-teknik baru, dan perbaikan yang dilakukan untuk

instrumen yang digunakan untuk operasi endoskopi, kolesistektomi laparoskopi kini diterima

sebagai teknik bedah yang aman bila dilakukan oleh ahli bedah ahli.

Terbaru uji klinis acak dan meta-analisis telah menunjukkan bahwa kolesistektomi laparoskopi

adalah lebih

untuk membuka kolesistektomi

Kami merekomendasikan pengobatan yang optimal sesuai dengan Grade

keparahan sebagai berikut;

Grade I (ringan) kolesistitis akut: kolesistektomi laparoskopi dini adalah prosedur yang lebih

disukai.

Grade II (Moderate) kolesistitis akut: kolesistektomi dini dianjurkan di pusat-pusat

berpengalaman. Namun, jika

pasien memiliki peradangan lokal yang parah, awal kandung empedu drainase (perkutan atau

bedah) diindikasikan. Karena awal

kolesistektomi mungkin sulit, perawatan medis dan tertunda kolesistektomi diperlukan.

Grade III (berat) kolesistitis akut: manajemen Urgent disfungsi organ dan pengelolaan

peradangan lokal berat oleh kandung empedu drainase harus dilakukan. Tertunda kolesistektomi

elektif harus dilakukan ketika kolesistektomi diindikasikan.

Batu empedu adalah salah satu penyebab utama dari kolesistitis akut, dan kolesistektomi

sekarang sedang dilakukan di

banyak pasien dengan cholecystolithiasis. Hingga paruh pertama tahun 1990-an, ada pendapat

bahwa laparoskopi

Operasi tidak diindikasikan pada pasien dengan kolesistitis akut [3]. Terbuka kolesistektomi

adalah teknik standar.

Namun, baru-baru ini, operasi laparoskopi juga telah diperkenalkan untuk kolesistitis akut, dan

sekarang umumnya

dianggap sebagai pilihan pertama untuk operasi, mirip dengan membuka kolesistektomi

Page 34: Penda Hulu an Terje Mahan

Kami merekomendasikan bahwa adalah lebih baik untuk melakukan kolesistektomi segera

setelah masuk, terutama ketika kurang dari 72 jam harus

berlalu sejak timbulnya gejala

Ada tingkat yang relatif tinggi konversi dari kolesistektomi laparoskopi untuk membuka

kolesistektomi untuk

kolesistitis akut karena kesulitan teknis, dan kolesistektomi laparoskopi dikaitkan dengan tinggi

tingkat komplikasi [10, 31]. Meskipun faktor pra operasi seperti jenis kelamin laki-laki, operasi

perut sebelumnya,

Kehadiran atau sejarah penyakit kuning, kolesistitis canggih, dan infeksi komplikasi yang

berhubungan dengan kebutuhan untuk

konversi dari laparoskopi untuk membuka kolesistektomi

Komplikasi kolesistektomi laparoskopi dilaporkan segera setelah diperkenalkan, dan termasuk

BDI,

perdarahan intraperitoneal membutuhkan laparotomi, cedera usus, dan cedera hati, serta umum

komplikasi diamati terkait dengan kolesistektomi terbuka konvensional, seperti infeksi luka,

ileus, atelektasis, trombosis vena dalam, dan infeksi saluran kemih. Cedera saluran empedu

dianggap komplikasi serius. Usus dan hati cedera juga harus hati-hati dihindari karena

komplikasi serius Cedera ini telah disebabkan keterbatasan prosedur laparoskopi, seperti

pandangan sempit dan manipulasi non-taktil. Kolesistektomi laparoskopi tidak selalu dikaitkan

dengan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian terbuka kolesistektomi [30-32],

tetapi setiap komplikasi serius yang membutuhkan re-operasi dan / atau rawat inap lama dapat

menjadi masalah serius bagi pasien, bahkan mereka yang sangat percaya bahwa laparoskopi

kolesistektomi kurang invasif.

Page 35: Penda Hulu an Terje Mahan