pendahuluan -...
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media adalah sistem produksi, distribusi dan konsumsi bentuk-bentuk
simbolik pesan maupun informasi yang sangat membutuhkan mobilisasi
sumber-sumber terutama sumber langka baik berbentuk material maupun
kebudayaan. Berbicara mengenai media sebagai sebuah industri, maka
karakter media dalam menjalankan aktivitas hariannya berbeda dengan cara-
cara industri material lainnya bekerja. Karakteristik ini berkaitan dengan
produk media yang oleh para ahli ekonomi disebut ‘tidak ada persaingan
dalam penggunaan (non-rival in use)’ atau ‘barang-barang publik’ (Barber,
1996).
Musik sebagai salah satu bentuk produk media sekaligus produk budaya
yang dibuat dalam jumlah besar (mass production) dan disebarluaskan
(dissemination) (Mc.Quail, 1975). Dari sudut pandang industri budaya, musik
adalah suatu pertalian yang ketat antara pesan, suara dan pengalaman
kontekstual (Ryan, 2010). Maka untuk memahami nilai-nilai, kecemasan, dan
keinginan tertentu dari suatu budaya, kita harus memahami praktik yang
mengelilingi produksi dan konsumsi budaya. Pada level berikutnya, musik
membawa pesan yang dikemas dengan menggunakan kode-kode sedemikian
rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah
disusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti (Sobur,2002).
Tentu saja kode-kode tersebut tidak sembarang ditampilkan, melainkan telah
dipilih melalui proses pemikiran matang agar dapat memiliki makna tertentu
yang merujuk realitas pada konteks sosial budaya masyarakat yang dituju.
Sebagai sebuah industri, musik berjalan beriringan dengan situasi
ekonomi politik yang bersinggungan dengan unsur-unsur lain seperti
konsumen, teknologi, media massa, dan pelaku industri musik (produser,
promotor, pencipta lagu, dan penyanyi). Misalnya semasa Orde Lama, lewat
pidato Soekarno pada 17 Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita,
yang menyerukan sikap melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh
asing, melahirkan kebijakan anti barat yang begitu ketat. Siaran radio berhenti
menyiarkan musik yang berbau barat, segala bentuk musik berunsur barat
dilarang pentas dan melakukan rekaman, nama band dan musisi berbahasa
Inggris dipaksa berubah, bahkan pemuda dengan rambut berjuntai panjang
menjadi sasaran penertiban. Kondisi ini kemudian memunculkan musik-
musik daerah untuk tampil ke permukaan; Bengawan Solo, Neng Geulis,
Ampar-ampar Pisang, Ayam Den Lapeh, Sarinande, Angin Mamiri, dan
sebagainya. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya musik dangdut. Klaim
Soekarno terhadap musik dangdut sebagai budaya asli Indonesia memperkuat
aksi counter musik barat yang masuk ke tanah air, bahkan menggunakan azas
manifestasi politik untuk menghalau gempuran musik barat tersebut (Rhoma
dan Muhidin, 2008 ; Weintraub, 2006).
Dahulu, musik dangdut merupakan kebudayaan rakyat yang
berkembang secara alamiah tanpa adanya unsur komersialisasi. Adorno dan
Horkheimer (1975) menyebutkan bahwa musik sebagai bagian dari budaya
seharusnya menciptakan karya seni / fine art yang mampu memberikan
pengalaman dan kemampuan estetik. Mereka menganggap bahwa industri,
terutama mesin, telah menjadikan budaya sebagai semacam pabrik yang
mencetak produk-produk budaya. Karena industri, karya seni menjadi
berkurang nilainya. Padahal, seni harus mempunyai tujuan lebih dan bukan
hanya tujuan industri/komersil karena seni adalah sesuatu yang sakral.
Meski demikian, ketika musik dangdut yang berakar dari budaya rakyat
telah bersinggungan dengan sistem kapitalisme, maka dangdut berubah
menjadi kebudayaan massa melalui industri. Ciri-ciri yang menyertainya
adalah (1)menasional; (2) menggglobal ; (3)masuk ke ranah industri. Selain
itu, terdapat lomba pencapaian prestasi (achievement), dilaksanakan dengan
manajemen modern, memiliki target audience dan market share. Seperti
persaingan dalam memperebutkan penonton televisi antara PT Media
Nusantara Citra Tbk (MNCN) dengan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).
Selisih pangsa pasar keduanya semakin tipis. Survei Nielsen seperti yang
dilansir Bareksa1 menunjukkan bahwa dua konglomerasi ini terus bersaing
dan menunjukkan posisi keduanya hanya terpaut 360 basis poin2, lebih kecil
dibanding selisih pada Februari lalu sebesar 430 basis poin. Meski menjadi
market leader dari keseluruhan jam tayang, Program MNCN masih tertinggal
dibanding milik SCMA pada jam-jam prime time. Pangsa pasar SCMA pada
prime time mencapai 37,5 persen dan nilainya terus meningkat sejak tiga
bulan terakhir. MNCN harus puas di posisi kedua dengan capaian pangsa
pasar sebanyak 33 persen.
Posisi SCMA yang lebih tinggi ini ditopang oleh program-program
seperti “D’ Academy”, “Bintang Pantura: dan “D’T3Rong 2”. Program yang
tidak hanya menampilkan kompetisi menyanyi dangdut tetapi lebih ke arah
variety show tersebut, sukses menjadi tayangan nomor satu pada jam tayang
prime time hingga pertengahan April lalu. Kondisi ini menyebabkan posisi
Indosiar, salah satu stasiun televisi anak usaha SCMA, naik 150 basis poin
pada waktu prime time. Peringkat dan banyaknya masyarakat yang menonton
di saat prime time sangat penting bagi industri televisi sebab prime time
merupakan waktu yang tepat untuk menayangkan iklan. Semakin tinggi posisi
suatu stasiun televisi di waktu prime time, semakin banyak pula tawaran iklan
yang akan berdampak positif bagi pendapatan perusahaan. Oleh karena itu,
tarif iklan saat prime time jauh lebih tinggi dibanding jam tayang lainnya.
Berdasarkan penelusuran Bareksa, tarif iklan saat prime time diperkirakan
mencapai Rp30-45 juta per 30 detik. Bahkan, TransTV sebagai salah satu
televisi swasta milik CT Corp mematok tarif di atas Rp50 juta per 30 detik.3
Perkembangan musik dangdut dewasa ini telah membuatnya kehilangan
jati diri sebagai bagian dari kebudayaan rakyat. Dangdut telah dikategorikan
1 http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/06/meski-grup-mnc-kuasai-pasar-media-surya-citra-masih-unggul-di-prime-time/10419/analysis diakses pada 13 September 2015
2 Basis poin artinya seperseratus dalam nilai persentase. Dengan kata lain bahwa 1 persen sama dengan 100 basis poin
3 http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/06/meski-grup-mnc-kuasai-
pasar-media-surya-citra-masih-unggul-di-prime-time/10419/analysis diakses pada 13 September 2015
ke dalam sebuah bentuk budaya pop atau budaya massa yang
perkembangannya dipengaruhi oleh industrialisasi. Industrialisasi pada musik
dangdut telah menyulap dangdut menjadi sebuah komoditas. Setiap
komodifikasi pada musik dangdut tentu akan selalu dipengaruhi dan
diarahkan kepada permintaan pasar. menjelma sebagai sebuah produk
ekonomi yang dituntut menghasilkan banyak keuntungan finansial.
Pertumbuhan dangdut kontemporer menghancurkan monopoli
aristokrasi atas budaya tradisional. la kemudian menjadi milik semua orang
sesuai dengan standar-standar yang dikelola oleh pasar. Yang terjadi
kemudian adalah "homogenisasi cita rasa" untuk tujuan "komersialisasi"
segenap produk budaya. Dwight MacDonald, dalam tulisannya "The Theory
of Mass Culture" menyatakan bahwa massa yang telah dirusakkan moralnya
selama beberapa generasi pada gilirannya menuntut produk budaya yang
sepele dan menggiurkan. Mereka terbiasa dengan lifestyle gemerlap,
hedonisme serta pola konsumsi yang tinggi. Pada titik ini, wajah standarisasi
dari "industrialisasi budaya" berubah menjadi "industrialisasi pikiran" dan
membiakkan "industrialisasi kesadaran." Sehingga dalam denyut percepatan
industri budaya itu pula, baik secara samar-samar atau pun terang-terangan,
proses hegemonisasi tidak hanya pada basis kultural tapi juga sebagai
"hegemoni kesadaran" yang wajahnya tidak jarang mempesonakan dan
menggiurkan (Ross & Snyder, 1982).
Homogenisasi dalam musik dangdut kontemporer mensyaratkan hasil
tindakan konsumsi masyarakatnya melalui atribut dangdut yang meliputi
penyanyi, goyangan, lirik, busana, alunan musik, lirik, hingga lifestyle.
Transformasi penyajian dangdut menjadi lebih modern dengan tempat yang
mewah gemerlap, dipadukan dengan goyangan yang terkesan mengumbar
syahwat, ajang-ajang pencarian bakat dangdut, challenge dangdut, instrument
dangdut dalam iklan, panggung dangdut dalam perhelatan kontestasi politik,
hingga sinetron maupun film yang tidak mengusung genre musikal tetapi
sengaja menyisipkan musik-musik dangdut, menjadi fenomena merebaknya
industrialisasi yang menuntut homogenisasi dangdut kontemporer di tanah
air. Dalam hal ini, media televisi sebagai ‘invisible hand’ memiliki pengaruh
kuat meski tak terlihat dalam memainkan industri budaya (Graham &Davies,
1997).
Dari sini, peneliti mencurigai dan ingin membongkar adanya
kepentingan ekonomi politik yang bersinggungan baik dari pelaku media
maupun pelaku industri musik dangdut sendiri melalui pisau bedah analisis
wacana kritis. Apalagi, kinerja media sebagai sebuah industri, dalam
memproduksi budaya musik dangdut tentu menghasilkan suatu format musik
dangdut baru yang berbeda dengan musik dangdut pendahulunya. Musik
dangdut bisa saja mengikuti perspektif cutural industries atau bahkan logika
pasar. Penelitian ini terutama dilakukan mengingat karakteristik musik yang
khas yakni bisa dimaknai sesuai konteks sekaligus out of the box4 konteks,
kurangnya perdebatan musik sebagai sebuah industri sekaligus budaya yang
sarat akan kepentingan ekonomi politik, ditambah lokus Indonesia sebagai
negara dengan keragaman dan kecintaan terhadap budaya.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang berkaitan dengan latar belakang riset adalah bagaimana
media mampu mengubah format musik dangdut seiring kepentingan ekonomi
politik dan perkembangan industri budaya musik dangdut itu sendiri.
Pertanyaan yang akan menuntun dalam riset ini adalah:
1. Bagaimana bentuk-bentuk industrialisasi budaya musik dangdut
dalam tayangan acara D’T3rong Show?
2. Bagaimana wujud ketegangan antara produksi dan konsumsi pesan
karena kepentingan ekonomi politik dalam acara D’T3rong Show?
4 Out of the box merupakan karakter utama dari metode berpikir yang digunakan pemikir kritis
dalam memandang realitas
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Memahami bagaimana bentuk-bemtuk industrialisasi budaya musik
dalam tayangan acara D’T3rong Show
2. Mengetahui bagaimana wujud ketegangan antara produksi dan
konsumsi pesan dalam acara D’T3rong Show
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan pada studi
ekonomi politik dan kajian media dan budaya mengenai musik
dangdut kontemporer yang termediasi.
2. Sebagai masukan dan pemahaman bagi masyarakat untuk
membangun kekritisan dalam menyikapi budaya yang telah
direproduksi oleh industri media khususnya televisi.
E. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian yang mengkaji tentang studi industrialiasi
budaya, dangdut dan ekonomomi politik media telah dilakukan
sebelumnya. Melalui beberapa penelitian terdahulu diharapkan dapat
direproduksi dalam mengenali kerangka pemikiran dan mencari titik fokus
riset yang akan peneliti lakukan nantinya. Beberapa diantar riset yang telah
dilakukan sebelumnya adalah Teori budaya dan budaya pop oleh John
Storey (2004) yang menekankan bahwa industrialisasi sebagai sebuah
fenomena yang lazim dalam dunia kontemporer untuk mengendalikan
aktifitas ekonomi budaya. Musik sebagai bagian dari produk budaya, juga
tidak luput dari fenomena ini. Dalam tulisannya, Storey menyatakan
bahwa musik tidak dapat dilepaskan dari industri, karena ia diproduksi dan
diperkenalkan kepada khalayak oleh dan melalui industri. Industri dan
musisi dalam hal ini berada pada posisi vis a vis yang masing-masing
mengendalikan nilai berbeda. Industri berupaya mencari keuntungan lewat
produksi music sekaligus menentukan nilai tukar dari produk-produk
musik. Sementara bagi musisi, musik lahir sebagai ekspresi jiwa estetis
yang orientasinya lebih memihak nilai guna. Lain halnya dengan buku
yang dibuat oleh David Hesmondhalgh (2002), ia lebih fokus pada isu-isu
terkini seputar budaya industri termasuk musik. Menurutnya, musik
merupakan representasi kehidupan masyarakat yang sedang berlangsung
saat musik tersebut diciptakan. Musik merupakan penggerak masyarakat
dan sekaligus sebagai kontrol sosial masyarakat kelas atas maupun kelas
bawah. Selalu ada tujuan dan motif tersembunyi dibalik produksi maupun
reproduksi sebuah musik yang diperdengarkan. Musik popular dan logika
pasar adalah dualisme yang tidak dapat dipisahkan. perkawinan keduanya
berimplikasi besar terhadap pembentukan ideologi bagi masyarakat
pendukungnya. Implikasi ini merupakan titik awal dari gerakan logika
industri kebudayaan yang berkembang sebagai “proyek penyeragaman
selera dan cita rasa” (homogenization of taste). Musik kemudian
distandarkan nilai-nilainya demi pemenuhan pasar. Sekali pola musikal
dan atau lirikal sukses, ia akan diproduksi terus menerus hingga mencapai
kelelahan komersial. Peristiwa ini disebut sebagai proses standarisasi
kebudayaan massa. Setali tiga uang dengan pernyataan David, Lazzeretti
(2008) dalam “Do creative industries cluster? Mapping creative local
production system in Italy and Spain” menggarisbawahi bahwa pragmatis
atau tidak, perubahan dalam industri tidak selamanya netral. Riset yang
dilakukan terhadap beberapa industri di Italia dan Spanyol ini mengambil
kesimpulan bahwa kepentingan industri kreatif berbeda dari kebijakan
seni dan budaya. Poin krusial yang bersifat politis ini adalah keberadaan
industri kreatif sebagai bentuk ekonomi baru di mana teknologi digital
sebagai penentu arah informasi dan kebijakan. Riset yang lebih khusus dan
hampir serupa mengenai industri musik di Indonesia pernah dilakukan
oleh David Hanan dan Basoeki Koesasi (2011) dalam Betawi Moderen:
Songs and Films of Benyamin S from Jakarta in the 1970s—Further
Dimensions of Indonesian Popular serta Andrew N. Weintraub (2006)
dalam Dangdut Soul: Who are ‘the People’ in Indonesian Popular Music?
keduanya menekankan bahwa musik dangdut sama halnya dengan musik
betawi modern. Ia merupakan kritik ideologis yang dibawa media terutama
media cetak saat era tersebut. Media di Indonesia secara historis telah
menyebarluasan segala pernak-pernik musik dangdut. Menggunakan
pendekatan historis, kedua tulisan ini mencoba membangun sebuah
interpretasi praktik-praktik representasional musik dalam arti sosial dan
fungsi penonton film betawi modern dan dangdut serta fungsi pendengar
kedua musik tersebut. Kedua peneliti menyimpulkan bahwa kelas bawah
kehilangan haknya dan terdepolitisasi. Masalah selanjutnya adalah
sementara penonton dangdut terus tumbuh, pada kenyataannya dangdut
belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam budaya nasional Indonesia,
seperti yang diklaim oleh pejabat pemerintah dan militer di beberapa
media Indonesia. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of
Contemporary Indonesian Popular Culture oleh William H. Frederick
(1982) menjadi titik tolak riset mengenai perubahan musik dangdut..
Melalui tulisannya, William mendapati bahwa style dangdut berubah
mengikuti perkembangan selera masyarakat dan teknologi media.
Kesamaan jenis musik dangdut hanya pada aspek pesan-pesan yang
dibawa. Jenis musik dangdut yang popular adalah yang membawa pesan
kolektif, bukan pesan individualis. Musik dangdut yang dibawa Rhoma
Irama membawa pergerakan kebangkitan baru bagi muslim di Indonesia.
Dengan membawa konten Islam dalam musik dangdut, Rhoma menjadi
salah satu public figur yang kehadirannya dirasakan masyarakat lebih kuat
daripada tokoh-tokoh politik yang ada. Mulai saat itu, dangdut menjadi
sebuah musik yang mampu memperkecil jurang antara si kaya dan si
miskin, orang yang berkekuatan dengan yang tidak, kelas bawah dan kelas
atas. Tetapi, sejak musik dangdut termediasi, ia menjadi sebuah komoditi
besar bagi bisnis tanah air. Beberapa industri musik dan fashion berlomba
dalam memperbesar keuntungan melalui dangdut. Di saat yang sama, style
muslim dalam dangdut sebagai kritik sosial, sebanding dengan perhatian
individu terhadap moralitas publik.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang lebih
menekankan aspek historis musik dangdut, penelitian ini berangkat dari
aspek pergeseran musik dangdut sebagai budaya tradisional menuju musik
dangdut yang termediasi melalui bentuk-bentuk industrialisasi budaya di
televisi sehingga memunculkan ‘ketegangan’ produksi dan konsumsi teks
musik dangdut dalam acara D’T3rong Show yang mengusung konsep
variety show. Penelitian ini menekankan aspek teks5 sebagai analisis dan
wacana televisi sebagai spectator industri budaya musik dangdut.
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Industrialisasi Budaya
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1930-an,
industrialisasi budaya diiniasi sekelompok pemikir Jerman yang
melakukan studi di sekolah Frankfurt kemudian lebih dikenal
dengan Mazhab Frankfurt. Kelompok ini telah mengadakan studi
kritis tentang komunikasi massa dan budaya, dan menghasilkan
teori kritis tentang industri budaya. dimulai dari Jerman ke
Amerika Serikat, Mazhab Frankfurt mengamati fenomena tumpah
ruahnya budaya media melalui film, musik populer, radio,
televisi, dan bentuk-bentuk lain dari budaya massa. Di antara
penelitian yang mereka lakukan ternyata mendapati produksi
media dikendalikan oleh koorporasi besar. Selama abad 19 hingga
sekarang, mereka mengembangkan pendekatan kritik dan lintas
5 Peneliti merujuk kata ‘teks’ bukan dalam artian harfiahnya, karena
konteks teks disini adalah ranah audiovisual (televisi), maka teks yang dimaksud berupa tulisan, gambar,gesture,warna dan segala hal yang muncul dalam televisi
disiplin terhadap studi budaya dan komunikasi, yang
mengkombinasikan analisis ekonomi, tekstual, serta efek sosial
dan ideologi dari media. Mazhab Frankfurt menciptakan term
industri budaya untuk menandai sebuah proses industrialisasi
budaya produksi massa dan imperatif komersial yang
menggerakkan sistem. Para teoris ini menganalisis semua artefak
budaya media massa dalam konteks produksi industri, yang mana
artefak tersebut menunjukkan kesamaan bentuk sebagai produksi
massa: komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi.
Mahzab Frankfurt fokus meneliti teknologi dan budaya,
hal yang mengindikasikan bagaimana teknologi telah menjadi
kekuatan utama produksi dan model formatif dari organisasi dan
kontrol sosial. Diantara mereka, ada yang mengawalinya secara
bersama melalui sebuah buku yang cukup menyedot perhatian
dibidang keilmuan yakni Dialectic of Enlightenment karangan
Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1975). Dalam buku
tersebut, dipaparkan mengenai kritik terhadap industrialisasi
budaya antara lain sebagai berikut :
a. Budaya sebagai industri
Menurut Adorno dan Horkheimer, kebudayan yang
termediasi tidak memberi keindahan ataupun
pengalaman estetis pada orang-orang yang menonton.
Orang tidak menjadi lebih kritis dan juga tidak menjadi
lebih pintar karena film, musik, begitu juga produk-
produk budaya lainnya yang dibuat semata-mata untuk
kepentingan komersil. Menurut mereka, budaya itu
seharusnya menciptakan karya seni / fine art yang
mampu memberikan pengalaman dan kemampuan
estetik. Mereka menganggap bahwa industri, terutama
mesin, telah menjadikan budaya sebagai semacam pabrik
yang mencetak produk-produk budaya. Karena industri,
karya seni menjadi berkurang nilainya. Pada masa inilah,
seni mulai terbagi.
b. Estetika sebagai kritik sosial
Adorno dan Horkheimer berbicara tentang
bagaimana seni sebagai produk kebudayaan
mempengaruhi orang banyak dan bagaimana
masyarakat merespon mereka. Di sini terlihat
bahwa estetika bisa dijadikan alat untuk
mengkritisi kehidupan sosial yang kita jalani.
Menurut mereka, seni itu harus mempunyai tujuan
lebih dan bukan hanya tujuan industri/komersil
karena seni adalah sesuatu yang sakral.
2. Budaya Massa dengan Basis Materialisme Historis
Pemikiran Adorno dan Horkheimer dipengaruhi oleh teori
Karl Marx tentang kapitalisme. Ia memiliki suatu konsep yang
disebut sebagai materialisme historis. Menurut konsep ini,
masyarakat berkembang dengan mereproduksi barang-barang
yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya,
beberapa tahun sebelum ini, masyarakat masih mengelompokkan
sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan primer mereka.
Namun, seiring berkembangnya waktu dan tren, masyarakat
mungkin lebih memprioritaskan smartphone, laptop, mobil dan
sebagainya. Menurut mereka, industri budaya berbahaya karena
terus memproduksi barang-barang seperti film, musik dan komik
yang dianggap manusia sebagai kebutuhannya padahal
sebenarnya tidak.
Lebih lanjut, Adorno membahas reproduksi budaya massa
melalui kombinasi teori Marxis, pandangan dialektika Hegelian,
dan psikoanalisa. Ia berpendapat bahwa teori Marx tidak
mencukupi pada masa kapitalisme lanjut karena Marx tidak
berbicara mengenai birokrasi. Dalam teori Marx, nilai tukar ini
adalah satu-satunya sarana dimana nilai suatu komoditas berasal.
Padahal, quantifikasi dari sesuatu yang secara qualitas unik terjadi
bukan hanya dalam pertukaran komoditas, tetapi ke dalam semua
bentuk interaksi sosial, termasuk juga organisasi birokratis seperti
tempat kerja dan negara (Edgar & Sedwick, 2001 ).
Dalam sejarahnya, budaya massa melalui industri selalu
memiliki dua aspek kekuatan yang menonjol, yaitu kekuatan
ekonomi dan budaya. Melalui kekuatan tersebut, industri
khususnya musik sebagai budaya massa menemukan kesulitan
dalam mengontrol selera penikmatnya. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan antara nilai tukar (nilai ekonomis) dan nilai guna (nilai
‘kultural’) dalam musik populer.
Menurut John Storey, industri musik boleh jadi mengontrol
dan menentukan musik apa yang diproduksi, namun ia tidak bisa
mengontrol dan menentukan bagaimana musik digunakan dan
terlebih lagi makna yang diberikan kepada penikmatnya. Dari
sinilah, ‘ketegangan’ antara produksi dan konsumsi teks menjadi
sebuah keniscayaan. Musik dangdut sebagai bagian dari budaya
massa dengan basis kulturalisme historis dapat diterjemahkan
sebagai arena pertarungan antar pengolah budaya massa yang
berorientasi nilai ekonomis maupun konsumen budaya yang
berorientasi nilai ‘kultural’(Storey,2008).
3. Televisi sebagai Media Industri
Footer dan Graber memaparkan istilah budaya yang lebih
mengacu kepada media seperti buku, koran, dan majalah dengan
asumsi, substansi dari media-media ini dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi budaya yang sedang berkembang.
Namun sayangnya media seperti buku, majalah, dan koran ini
kurang memiliki nilai jual yang tinggi dalam kaitannya dengan
budaya. Hal ini disebabkan dua faktor utama; publikasi dalam
bahasa daerah dan kekhususan budaya (Fooster dan Graber,
2000). Sehingga untuk lebih spesifik lagi, istilah budaya ini
mengacu kepada media audiovisual seperti film dan televisi.
Sebab, media seperti ini dianggap sebagai media yang paling
tepat dalam mencerminkan budaya bangsa melalui audio dan
visualnya.
Adanya industri dan perdagangan dalam sektor budaya
secara tidak langsung telah meningkatkan ketegangan kultural,
khususnya dalam dunia internasional. Hal ini dapat terlihat dari
dampak industri budaya dengan adanya konflik yang tercipta
antara Amerika Serikat dan negara-negara lain yang memiliki
industri film yang juga cukup berkembang. Kekhawatiran terus
meningkat mengingat industri budaya AS yang terus berekspansi
dapat menghambat kemajuan industri budaya lokal di negara-
negara lain. Dapat dikatakan, budaya tidak lagi menjadi ciri
sebuah bangsa, namun juga telah menjadi komoditas industri.
Perkembangan budaya audiovisual semakin mengancam
keberagaman budaya di dunia. Budaya lokal pun akan mengalami
‘ketegangan’ serupa. Dalam program-program televisi yang
menampilkan budaya, misalnya musik dangdut, segmentasi
dangdut semakin terbuka. Dangdut pantura (pantai utara) adalah
salah satu upaya membuka segmen-segmen dangdut sekaligus
mengangkat segmen dangdut pantura sebagai industri budaya
satu-satunya yang berkembang di Indonesia. Budaya rakyat
melalui industri televisi akhirnya menjadi produk budaya massa
dengan basis materialisme.
4. Musik Melalui Pendekatan Ekonomi Politik Media
Kajian mengenai musik dangdut dalam penelitian ini
melibatkan pendekatan ekonomi politik media. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya bahwa ‘ketegangan’ antara produksi
dan konsumsi teks diwujudkan melalui perbedaan orientasi ‘nilai’
yakni antara nilai tukar (nilai ekonomis) dan nilai guna (nilai
‘kultural’) dalam musik dangdut populer. Pembahasan mengenai
nilai tukar dan nilai guna ada pada skema teori ekonomi politik
media Vincent Mosco (1996).
Menurut Mosco, pengertian ekonomi politik dapat ditinjau
secara sempit dan luas. Pengertian secara sempit diartikan sebagai
kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-
sama membentuk produksi, distribusi, dan konsumsi sumber
daya. Sumber daya ini termasuk produk-produk komunikasi
seperti surat kabar, buku, iklan, musik, video, film, dan khalayak.
Dalam pengertian luas, ekonomi politik berarti kajian mengenai
kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Kontrol dipahami
sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara
internal di mana untuk dapat bertahan mereka harus memproduksi
apa yang dibutuhkan untuk mereproduksi diri mereka sendiri.
Teori Ekonomi politik perspektif Mosco melibatkan tiga
aktivitas utama yakni komodifikasi (commodification),
spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration)
(Mosco, 1996). Meski demikian, dalam penelitian ini hanya akan
memakai poin komodifikasi yang berhubungan langsung dengan
pemilihan ‘nilai’ dalam industri musik. Komodifikasi
berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan
jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang
mempunyai nilai tukar di pasar. Produk media yang berwujud
informasi dan hiburan memang tidak dapat diukur seperti halnya
barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional.
Aspek tangibility dari produk media akan relatif berbeda dengan
barang dan jasa lain. Meskipun ukuran tersebut dapat dirasakan
secara fisikal, tetapi produk media selalu menjadi barang
dagangan yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis. Nilai
tambah dari sisi ekonomis akan sangat ditentukan oleh sejauh
mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun
sosial.
Pendekatan ekonomi politik menekankan bahwa masyarakat
kapitalis terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi
yang menstrukturkan institusi dan praktek sesuai dengan logika
komodifikasi dan akumulasi kapital. Produksi dan distribusi
budaya dalam sistem kapitalis haruslah berorientasi pada pasar
dan profit. Kekuatan-kekuatan produksi (seperti teknologi media
dan praktek-praktek kreatif) dibentuk menurut relasi produksi
dominan (seperti profit yang mengesankan, pemeliharaan kontrol
hirarkis, dan relasi dominasi). Karenanya sistem produksi,
misalnya, sistem yang berorientasi pasar ataupun negara sangatlah
penting dalam menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang
perlu diproduksi dan bagaimana produk-produk budaya itu
dikonsumsi.
Orientasi pendekatan ekonomi politik bukanlah semata-
mata mengenai persoalan ekonomi, akan tetapi juga pada relasi
antara dimensi-dimensi ekonomi, politik, teknologi, dan budaya
dari realitas sosial. Struktur ekonomi politik menghubungkan
budaya pada konteks ekonomi dan politiknya dan membuka
kajian budaya pada sejarah dan politik. (Mosco,1996)
Serupa dengan apa yang disampaikan Mosco, David
Hesmondhalgh (2002) mengungkapkan pendekatan ekonomi
politik dalam industri budaya memberikan banyak tawaran
alternatif dalam menganalisis kekuatan (power) yang ada
kaitannya dengan produksi budaya (culture production). Dengan
menyitir pendapat Peter Golding dan Graham Murdock (2005),
Hesmondhalgh hendak menyampaikan bahwa pendekatan
ekonomi politik (kritis) berbeda dengan ekonomi politik klasik
yang dikembangkan oleh Adam Smith dan David Ricardo.
Artinya pendekatan ini mencoba lebih kritis ketika munculnya
berbagai produk budaya yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan
pemegang otoritas (power). Ekonomi politik (kritis) akan
menyediakan diri dalam mendorong kesinambungan / perubahan
(continuity and change) dalam industri budaya daripada yang
lain. Dalam konteks inilah Hemondhalgh menawarkan fokus
kajian dari industri budaya pada persoalan-persoalan
a. Kontradiksi ; yaitu persoalan-persoalan yang ditimbulkan
dari komodifikasi budaya atau produksi budaya industri
komersial.
b. Kondisi spesifik industri budaya ; kemampuan
menggabungkan suatu kepentingan ekonomi secara umum
dengan industri budaya atau gambaran tentang kondisi
spesifika dari produk budaya yang dihasilkan.
c. Ketegangan antara produksi dan konsumsi ; produksi
budaya sebagai sesuatu yang kompleks, ambivalen dan
diperebutkan karena persoalan prilaku konsumen. Dengan
kata kalian persoalan produksi dan konsumsi tidak dilihat
sebagai entitas yang terpisah, tapi satu kesatuan.
d. Pencipta symbol; Industri budaya melihat para pencipta
symbol seperti penulis, produser, artis dan direktur
merupakan personal yang bertanggung jawab penuh atas
input kreatif dalam teks.
e. Informasi dan hiburan ;
f. Variasi sejarah dalam relasi sosial produksi budaya.
(Hesmondhalgh,2002)
Riset ini memadukan teori ekonomi politik media dan
industrialiasi budaya untuk menemukan relasi politik, sosial
dan budaya dalam industri musik dangdut yang termediasi oleh
televisi. Bagaimana informasi dan hiburan yang disajikan,
ketegangan antara produksi dan konsumsi teks, serta
penciptaan produk berupa musik yang dihasilkan.
G. Desain penelitian
Bagan 1.1
Proses Industrialisasi Budaya Musik Dangdut dalam Acara Variety Show
Televisi
Disusun oleh peneliti dari berbagai sumber
MUSIK DANGDUT
TEMPO DULU
(LOKALITAS & KUALITAS)
POTENSI/’SISI’
EKONOMI MUSIK
DANGDUT
PROSES
TRANSFORMASI
DANGDUT
MOTIF EKONOMI
POLITIK MEDIA
TELEVISI
INDUSTRIALISASI BUDAYA
MUSIK DANGDUT
MASSIFIKASI &
HOMOGENISASI
PROGRAM
DANGDUT
KOMODIFIKASI
MUSIK
DANGDUT
ERA KAPITAL/PASAR
DANGDUT
KONTEMPORER
TEMUAN HASIL PENELITIAN
H. Metodologi Penelitian
Dari beberapa pendekatan yang digunakan untuk menganalisa suatu
permasalahan penelitian, peneliti memilih menggunakan pendekatan analisis
wacana kritis milik Norman Fairclough karena dianggap mampu menjawab
pertanyaan dan tujuan riset mengenai bentuk industri budaya musik dangdut
dan ketegangan antara produksi dan konsumsi teks.
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka peneliti
menggunakan beberapa teknik yang dibutuhkan. Berdasarkan
dimensi analisis wacana Fairclough yang terdiri dari teks, discourse
practice (praktek wacana), dan sociocultural practice (praktek
sosiokultural), maka teknik pengumpulan data yang dilakukan pada
ketiga dimensi ini meliputi :
a.) Teks ( Critical lingusitik) - Mikro analisis
Dimensi teks untuk menganalisa adegan-
adegan yang mengandung unsur homogenisasi isi dan
komersialisasi atribut dangdut paling tinggi selama
masa tayang acara sampai dilakukannya penelitian ini.
Riset ini menggunakan potongan adegan dalam
penayangan acara D’T3rong Show season 2 pada 16
September 2015. Potongan adegan tersebut diambil dari
sumber sekunder Youtube karena keterbatasan akses
video rekaman live acara tersebut. Peneliti memilih
tayangan D’T3rong Show season 2 pada 16 September
2015 selain karena dianggap mewakili teks-teks kritis
yang akan dianalisa, juga karena rating tinggi yang
didapat D’T3rong Show sepanjang tahun 2015.
b.) Discourse Practice - Meso analisis
Aspek wacana praktis dilakukan dengan
wawancara mendalam (depth interview) terhadap
manajer produksi Indosiar, Wahyu Nursubiakto.
wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 22
Agustus 2016 di kantor Indosiar jalan Daan Mogot,
Jakarta Barat. Wawancara ini memakan waktu kurang
lebih 20 menit, relatif lebih singkat memang karena
padatnya jadwal manajer produksi yang ternyata harus
menangani seluruh program reality show, talent search
dan variety show di Indosiar. Sementara itu, EMTEK
(Elang Mahkota Teknologi) sebagai perusahaan yang
menaungi Indosiar membuat kebijakan baru dengan
hanya menjawab pertanyaan penelitian melalui satu
pintu, yaitu wawancara yang hanya dapat dilakukan
dengan manajer produksi. Jalur penerimaan berkas
wawancara semakin sulit. Di awali dengan email resmi
ke bagian public relation, kemudian ke bagian
coorporate communication, hingga ke manajer
produksi. Rentang waktu riset yang peneliti rencanakan
kurang lebih 3 bulan harus diperpanjang hingga 7
bulan. Terhitung sejak berkas-berkas kelengkapan
wawancara dikirim via email bulan Maret 2015, hingga
mendapatkan persetujuan wawancara pada bulan
Agustus 2015. sementara untuk penelusuran resepsi
audiens, peneliti cukupkan melalui forum-forum online.
c.) Sosiocultural Practice – Makro analisis
Studi pustaka pada jurnal dan artikel
mengenai musik dangdut yang termediasi dan segala
atribut serta aspeknya termasuk juga studi pustaka
tentang fenomena industri budaya dan ekonomi politik
media yang diperlukan dalam pengumpulan data.
2. Metode Analisis Data
Merupakan rangkaian kegiatan pengelompokan dan
penafsiran secara sistematis. Pada penelitian ini, perangkat
analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis milik
Norman Fairclough. Fairclough berusaha membangun suatu
model wacana yang memiliki kontribusi dalam analisis sosial dan
budaya, sehingga tradisi analisis tekstual yang selalu melihat
bahasa dalam ruang tertutup dikolaborasikan dengan konteks
masyarakat yang lebih luas.Titik perhatian besar dari Fairclough
adalah melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Oleh karena
itu, analisis wacana kritis Fairclough memusatkan pada
bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan
konteks sosial tertentu (Eriyanto, 2006).
Dari berbagai pendekatan metodologi analisis wacana
kritis yang ada, peneliti memilih model Critical Discourse
Analisys (CDA) versi Norman Fairclough karena diasumsikan
mampu menjawab pertanyaan penelitian yang berfokus pada
upaya mengungkap proses industrialisasi budaya musik dangdut
dalam acara variety show televisi.
Adapun pemilihan D’T3rong Show sebagai ‘teks’ yang
akan diteliti adalah karena pola industrialisasi lebih beragam.
Misalnya saja item tutorial hijab yang mengikuti perkembangan
tren sekaligus permintaan pengiklan mampu dihadirkan dengan
konsep yang ‘fresh’. Tentu hal ini mampu menggeser nilai
‘kultural’ menjadi nilai ekonomi dengan cara-cara yang matang.
Meski program variety show lainnya membawa konsep serupa,
seperti YKS (Yuk Keep Smile) dan D’Academy 2, akan tetapi
pesaing ini belum cukup mampu mempertahankan rating yang
stabil di puncak seperti program D’T3rong Show ini.
Bagan 1.2
Hubungan Tiga Dimensi Analisis Wacana Norman Fairclough
Diolah dari berbagai sumber
Konsep yang dibentuk Norman Fairclough
menitikberatkan pada tiga level analisis. Pertama, analisis
mikrostruktur (ada pada level teks), yakni menganalisis teks
dengan cermat dan fokus supaya dapat memperoleh data yang
dapat menggambarkan representasi teks. Secara detail aspek yang
SOSIOCULTURAL PRACTICE (aspek hubungan media dengan isu-
isu di masyarakat seperti nilai, identitas, kekuasaan dan ideologi)
DISCOURSE PRACTICE (aspek pola dan rutinitas kerja media
televisi dengan format musik variety show)
Produksi Teks
Konsumsi Teks
TEKS (aspek representasi tindakan televisi
yang mempengaruhi audience)
dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar atau isi teks,
lokasi, sikap dan tindakan pelaku/aktor hingga objek yang dikenai.
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan
dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial
ke dalam bentuk teks. Dengan demikian representasi pada dasarnya
ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan
ditampilkan dalam teks. Relasi berhubungan dengan bagaimana
partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks.
Identitas berkaitan dengan bagaimana identitas media ditampilkan
dan dikonstruksi dalam teks iklan. Kedua, analisis mesostruktur
(level praktek wacana) yang terfokus pada dua aspek yaitu
produksi teks dan konsumsi teks. Praktik wacana meliputi cara-cara
para pekerja media memproduksi teks6. Hal ini berkaitan dengan
pekerja media itu sendiri selaku pribadi, sifat jaringan kerja dengan
sesama pekerja media lainnya, pola kerja media sebagai institusi,
seperti cara meliput acara, menulis acara, sampai menjadi tontonan
di dalam media. Pada praktek konsumsi dianalisis bagaimana
khalayak memberikan tanggapan terhadap teks. Ketiga, analisis
makrostruktur (proses wacana) terfokus pada fenomena di mana
teks dibuat. Praktik sosial-budaya ini menganalisis tiga hal yaitu
ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan
dan ideologi), dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan
identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media dan wacananya.
Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan, yakni
(1) tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks
situasinya; (2) tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh
institusi secara internal maupun eksternal; dan (3) tingkat sosial,
6 Peneliti menggunakan kata teks bukan dalam artian sebenarnya, karena konteks
teks disini adalah ranah audiovisual, maka teks yang dimaksud berupa tema acara, tulisan, lagu,gambar,gesture,warna dan segala hal yang muncul dalam tayangan televise.
berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik,
sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.
Analisis wacana kritis (CDA) melihat wacana sebagai
bentuk praktek sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktek
sosial menyebabkan adanya sebuah hubungan dialektis di antara
peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur
sosial yang membentuknya (Jogersen&Philips, 2007). Fairclough
melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan
sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Ia
berpendapat bahwa kelompok sosial yang ada bertarung dan
mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini
mengasumsikan bahwa praktik wacana bisa saja menampilkan efek
sebuah kepercayaan (ideologis). Artinya, wacana dapat
memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas
sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas di
mana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Bagi
Fairclough, suatu teks yang diproduksi dan dikonsumsi tidak
terlepas dari faktor praktek-praktek wacana (discourse practice)
yang menjadi mediasi antara teks itu sendiri dengan praktek
sosiokultural (sociocultural practice). Pendekatan Fairclough
intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting dari
praktek sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan,
identitas, dan hubungan sosial yang mencakup hubungan
kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktek sosial
yang lain. Oleh karena itu, wacana memiliki hubungan dialektik
dengan dimensi-dimensi sosial lainnya (Eriyanto, 2006).