pendahuluan -...

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Media adalah sistem produksi, distribusi dan konsumsi bentuk-bentuk simbolik pesan maupun informasi yang sangat membutuhkan mobilisasi sumber-sumber terutama sumber langka baik berbentuk material maupun kebudayaan. Berbicara mengenai media sebagai sebuah industri, maka karakter media dalam menjalankan aktivitas hariannya berbeda dengan cara- cara industri material lainnya bekerja. Karakteristik ini berkaitan dengan produk media yang oleh para ahli ekonomi disebut ‘tidak ada persaingan dalam penggunaan (non-rival in use)’ atau ‘barang-barang publik’ (Barber, 1996). Musik sebagai salah satu bentuk produk media sekaligus produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production) dan disebarluaskan (dissemination) (Mc.Quail, 1975). Dari sudut pandang industri budaya, musik adalah suatu pertalian yang ketat antara pesan, suara dan pengalaman kontekstual (Ryan, 2010). Maka untuk memahami nilai-nilai, kecemasan, dan keinginan tertentu dari suatu budaya, kita harus memahami praktik yang mengelilingi produksi dan konsumsi budaya. Pada level berikutnya, musik membawa pesan yang dikemas dengan menggunakan kode-kode sedemikian rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti (Sobur,2002). Tentu saja kode-kode tersebut tidak sembarang ditampilkan, melainkan telah dipilih melalui proses pemikiran matang agar dapat memiliki makna tertentu yang merujuk realitas pada konteks sosial budaya masyarakat yang dituju. Sebagai sebuah industri, musik berjalan beriringan dengan situasi ekonomi politik yang bersinggungan dengan unsur-unsur lain seperti konsumen, teknologi, media massa, dan pelaku industri musik (produser, promotor, pencipta lagu, dan penyanyi). Misalnya semasa Orde Lama, lewat pidato Soekarno pada 17 Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita,

Upload: lamnhan

Post on 16-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media adalah sistem produksi, distribusi dan konsumsi bentuk-bentuk

simbolik pesan maupun informasi yang sangat membutuhkan mobilisasi

sumber-sumber terutama sumber langka baik berbentuk material maupun

kebudayaan. Berbicara mengenai media sebagai sebuah industri, maka

karakter media dalam menjalankan aktivitas hariannya berbeda dengan cara-

cara industri material lainnya bekerja. Karakteristik ini berkaitan dengan

produk media yang oleh para ahli ekonomi disebut ‘tidak ada persaingan

dalam penggunaan (non-rival in use)’ atau ‘barang-barang publik’ (Barber,

1996).

Musik sebagai salah satu bentuk produk media sekaligus produk budaya

yang dibuat dalam jumlah besar (mass production) dan disebarluaskan

(dissemination) (Mc.Quail, 1975). Dari sudut pandang industri budaya, musik

adalah suatu pertalian yang ketat antara pesan, suara dan pengalaman

kontekstual (Ryan, 2010). Maka untuk memahami nilai-nilai, kecemasan, dan

keinginan tertentu dari suatu budaya, kita harus memahami praktik yang

mengelilingi produksi dan konsumsi budaya. Pada level berikutnya, musik

membawa pesan yang dikemas dengan menggunakan kode-kode sedemikian

rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

disusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti (Sobur,2002).

Tentu saja kode-kode tersebut tidak sembarang ditampilkan, melainkan telah

dipilih melalui proses pemikiran matang agar dapat memiliki makna tertentu

yang merujuk realitas pada konteks sosial budaya masyarakat yang dituju.

Sebagai sebuah industri, musik berjalan beriringan dengan situasi

ekonomi politik yang bersinggungan dengan unsur-unsur lain seperti

konsumen, teknologi, media massa, dan pelaku industri musik (produser,

promotor, pencipta lagu, dan penyanyi). Misalnya semasa Orde Lama, lewat

pidato Soekarno pada 17 Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita,

Page 2: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

yang menyerukan sikap melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh

asing, melahirkan kebijakan anti barat yang begitu ketat. Siaran radio berhenti

menyiarkan musik yang berbau barat, segala bentuk musik berunsur barat

dilarang pentas dan melakukan rekaman, nama band dan musisi berbahasa

Inggris dipaksa berubah, bahkan pemuda dengan rambut berjuntai panjang

menjadi sasaran penertiban. Kondisi ini kemudian memunculkan musik-

musik daerah untuk tampil ke permukaan; Bengawan Solo, Neng Geulis,

Ampar-ampar Pisang, Ayam Den Lapeh, Sarinande, Angin Mamiri, dan

sebagainya. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya musik dangdut. Klaim

Soekarno terhadap musik dangdut sebagai budaya asli Indonesia memperkuat

aksi counter musik barat yang masuk ke tanah air, bahkan menggunakan azas

manifestasi politik untuk menghalau gempuran musik barat tersebut (Rhoma

dan Muhidin, 2008 ; Weintraub, 2006).

Dahulu, musik dangdut merupakan kebudayaan rakyat yang

berkembang secara alamiah tanpa adanya unsur komersialisasi. Adorno dan

Horkheimer (1975) menyebutkan bahwa musik sebagai bagian dari budaya

seharusnya menciptakan karya seni / fine art yang mampu memberikan

pengalaman dan kemampuan estetik. Mereka menganggap bahwa industri,

terutama mesin, telah menjadikan budaya sebagai semacam pabrik yang

mencetak produk-produk budaya. Karena industri, karya seni menjadi

berkurang nilainya. Padahal, seni harus mempunyai tujuan lebih dan bukan

hanya tujuan industri/komersil karena seni adalah sesuatu yang sakral.

Meski demikian, ketika musik dangdut yang berakar dari budaya rakyat

telah bersinggungan dengan sistem kapitalisme, maka dangdut berubah

menjadi kebudayaan massa melalui industri. Ciri-ciri yang menyertainya

adalah (1)menasional; (2) menggglobal ; (3)masuk ke ranah industri. Selain

itu, terdapat lomba pencapaian prestasi (achievement), dilaksanakan dengan

manajemen modern, memiliki target audience dan market share. Seperti

persaingan dalam memperebutkan penonton televisi antara PT Media

Nusantara Citra Tbk (MNCN) dengan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).

Selisih pangsa pasar keduanya semakin tipis. Survei Nielsen seperti yang

Page 3: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

dilansir Bareksa1 menunjukkan bahwa dua konglomerasi ini terus bersaing

dan menunjukkan posisi keduanya hanya terpaut 360 basis poin2, lebih kecil

dibanding selisih pada Februari lalu sebesar 430 basis poin. Meski menjadi

market leader dari keseluruhan jam tayang, Program MNCN masih tertinggal

dibanding milik SCMA pada jam-jam prime time. Pangsa pasar SCMA pada

prime time mencapai 37,5 persen dan nilainya terus meningkat sejak tiga

bulan terakhir. MNCN harus puas di posisi kedua dengan capaian pangsa

pasar sebanyak 33 persen.

Posisi SCMA yang lebih tinggi ini ditopang oleh program-program

seperti “D’ Academy”, “Bintang Pantura: dan “D’T3Rong 2”. Program yang

tidak hanya menampilkan kompetisi menyanyi dangdut tetapi lebih ke arah

variety show tersebut, sukses menjadi tayangan nomor satu pada jam tayang

prime time hingga pertengahan April lalu. Kondisi ini menyebabkan posisi

Indosiar, salah satu stasiun televisi anak usaha SCMA, naik 150 basis poin

pada waktu prime time. Peringkat dan banyaknya masyarakat yang menonton

di saat prime time sangat penting bagi industri televisi sebab prime time

merupakan waktu yang tepat untuk menayangkan iklan. Semakin tinggi posisi

suatu stasiun televisi di waktu prime time, semakin banyak pula tawaran iklan

yang akan berdampak positif bagi pendapatan perusahaan. Oleh karena itu,

tarif iklan saat prime time jauh lebih tinggi dibanding jam tayang lainnya.

Berdasarkan penelusuran Bareksa, tarif iklan saat prime time diperkirakan

mencapai Rp30-45 juta per 30 detik. Bahkan, TransTV sebagai salah satu

televisi swasta milik CT Corp mematok tarif di atas Rp50 juta per 30 detik.3

Perkembangan musik dangdut dewasa ini telah membuatnya kehilangan

jati diri sebagai bagian dari kebudayaan rakyat. Dangdut telah dikategorikan

1 http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/06/meski-grup-mnc-kuasai-pasar-media-surya-citra-masih-unggul-di-prime-time/10419/analysis diakses pada 13 September 2015

2 Basis poin artinya seperseratus dalam nilai persentase. Dengan kata lain bahwa 1 persen sama dengan 100 basis poin

3 http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/06/meski-grup-mnc-kuasai-

pasar-media-surya-citra-masih-unggul-di-prime-time/10419/analysis diakses pada 13 September 2015

Page 4: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

ke dalam sebuah bentuk budaya pop atau budaya massa yang

perkembangannya dipengaruhi oleh industrialisasi. Industrialisasi pada musik

dangdut telah menyulap dangdut menjadi sebuah komoditas. Setiap

komodifikasi pada musik dangdut tentu akan selalu dipengaruhi dan

diarahkan kepada permintaan pasar. menjelma sebagai sebuah produk

ekonomi yang dituntut menghasilkan banyak keuntungan finansial.

Pertumbuhan dangdut kontemporer menghancurkan monopoli

aristokrasi atas budaya tradisional. la kemudian menjadi milik semua orang

sesuai dengan standar-standar yang dikelola oleh pasar. Yang terjadi

kemudian adalah "homogenisasi cita rasa" untuk tujuan "komersialisasi"

segenap produk budaya. Dwight MacDonald, dalam tulisannya "The Theory

of Mass Culture" menyatakan bahwa massa yang telah dirusakkan moralnya

selama beberapa generasi pada gilirannya menuntut produk budaya yang

sepele dan menggiurkan. Mereka terbiasa dengan lifestyle gemerlap,

hedonisme serta pola konsumsi yang tinggi. Pada titik ini, wajah standarisasi

dari "industrialisasi budaya" berubah menjadi "industrialisasi pikiran" dan

membiakkan "industrialisasi kesadaran." Sehingga dalam denyut percepatan

industri budaya itu pula, baik secara samar-samar atau pun terang-terangan,

proses hegemonisasi tidak hanya pada basis kultural tapi juga sebagai

"hegemoni kesadaran" yang wajahnya tidak jarang mempesonakan dan

menggiurkan (Ross & Snyder, 1982).

Homogenisasi dalam musik dangdut kontemporer mensyaratkan hasil

tindakan konsumsi masyarakatnya melalui atribut dangdut yang meliputi

penyanyi, goyangan, lirik, busana, alunan musik, lirik, hingga lifestyle.

Transformasi penyajian dangdut menjadi lebih modern dengan tempat yang

mewah gemerlap, dipadukan dengan goyangan yang terkesan mengumbar

syahwat, ajang-ajang pencarian bakat dangdut, challenge dangdut, instrument

dangdut dalam iklan, panggung dangdut dalam perhelatan kontestasi politik,

hingga sinetron maupun film yang tidak mengusung genre musikal tetapi

sengaja menyisipkan musik-musik dangdut, menjadi fenomena merebaknya

industrialisasi yang menuntut homogenisasi dangdut kontemporer di tanah

Page 5: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

air. Dalam hal ini, media televisi sebagai ‘invisible hand’ memiliki pengaruh

kuat meski tak terlihat dalam memainkan industri budaya (Graham &Davies,

1997).

Dari sini, peneliti mencurigai dan ingin membongkar adanya

kepentingan ekonomi politik yang bersinggungan baik dari pelaku media

maupun pelaku industri musik dangdut sendiri melalui pisau bedah analisis

wacana kritis. Apalagi, kinerja media sebagai sebuah industri, dalam

memproduksi budaya musik dangdut tentu menghasilkan suatu format musik

dangdut baru yang berbeda dengan musik dangdut pendahulunya. Musik

dangdut bisa saja mengikuti perspektif cutural industries atau bahkan logika

pasar. Penelitian ini terutama dilakukan mengingat karakteristik musik yang

khas yakni bisa dimaknai sesuai konteks sekaligus out of the box4 konteks,

kurangnya perdebatan musik sebagai sebuah industri sekaligus budaya yang

sarat akan kepentingan ekonomi politik, ditambah lokus Indonesia sebagai

negara dengan keragaman dan kecintaan terhadap budaya.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang berkaitan dengan latar belakang riset adalah bagaimana

media mampu mengubah format musik dangdut seiring kepentingan ekonomi

politik dan perkembangan industri budaya musik dangdut itu sendiri.

Pertanyaan yang akan menuntun dalam riset ini adalah:

1. Bagaimana bentuk-bentuk industrialisasi budaya musik dangdut

dalam tayangan acara D’T3rong Show?

2. Bagaimana wujud ketegangan antara produksi dan konsumsi pesan

karena kepentingan ekonomi politik dalam acara D’T3rong Show?

4 Out of the box merupakan karakter utama dari metode berpikir yang digunakan pemikir kritis

dalam memandang realitas

Page 6: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Memahami bagaimana bentuk-bemtuk industrialisasi budaya musik

dalam tayangan acara D’T3rong Show

2. Mengetahui bagaimana wujud ketegangan antara produksi dan

konsumsi pesan dalam acara D’T3rong Show

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan pada studi

ekonomi politik dan kajian media dan budaya mengenai musik

dangdut kontemporer yang termediasi.

2. Sebagai masukan dan pemahaman bagi masyarakat untuk

membangun kekritisan dalam menyikapi budaya yang telah

direproduksi oleh industri media khususnya televisi.

E. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian yang mengkaji tentang studi industrialiasi

budaya, dangdut dan ekonomomi politik media telah dilakukan

sebelumnya. Melalui beberapa penelitian terdahulu diharapkan dapat

direproduksi dalam mengenali kerangka pemikiran dan mencari titik fokus

riset yang akan peneliti lakukan nantinya. Beberapa diantar riset yang telah

dilakukan sebelumnya adalah Teori budaya dan budaya pop oleh John

Storey (2004) yang menekankan bahwa industrialisasi sebagai sebuah

fenomena yang lazim dalam dunia kontemporer untuk mengendalikan

aktifitas ekonomi budaya. Musik sebagai bagian dari produk budaya, juga

tidak luput dari fenomena ini. Dalam tulisannya, Storey menyatakan

bahwa musik tidak dapat dilepaskan dari industri, karena ia diproduksi dan

diperkenalkan kepada khalayak oleh dan melalui industri. Industri dan

Page 7: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

musisi dalam hal ini berada pada posisi vis a vis yang masing-masing

mengendalikan nilai berbeda. Industri berupaya mencari keuntungan lewat

produksi music sekaligus menentukan nilai tukar dari produk-produk

musik. Sementara bagi musisi, musik lahir sebagai ekspresi jiwa estetis

yang orientasinya lebih memihak nilai guna. Lain halnya dengan buku

yang dibuat oleh David Hesmondhalgh (2002), ia lebih fokus pada isu-isu

terkini seputar budaya industri termasuk musik. Menurutnya, musik

merupakan representasi kehidupan masyarakat yang sedang berlangsung

saat musik tersebut diciptakan. Musik merupakan penggerak masyarakat

dan sekaligus sebagai kontrol sosial masyarakat kelas atas maupun kelas

bawah. Selalu ada tujuan dan motif tersembunyi dibalik produksi maupun

reproduksi sebuah musik yang diperdengarkan. Musik popular dan logika

pasar adalah dualisme yang tidak dapat dipisahkan. perkawinan keduanya

berimplikasi besar terhadap pembentukan ideologi bagi masyarakat

pendukungnya. Implikasi ini merupakan titik awal dari gerakan logika

industri kebudayaan yang berkembang sebagai “proyek penyeragaman

selera dan cita rasa” (homogenization of taste). Musik kemudian

distandarkan nilai-nilainya demi pemenuhan pasar. Sekali pola musikal

dan atau lirikal sukses, ia akan diproduksi terus menerus hingga mencapai

kelelahan komersial. Peristiwa ini disebut sebagai proses standarisasi

kebudayaan massa. Setali tiga uang dengan pernyataan David, Lazzeretti

(2008) dalam “Do creative industries cluster? Mapping creative local

production system in Italy and Spain” menggarisbawahi bahwa pragmatis

atau tidak, perubahan dalam industri tidak selamanya netral. Riset yang

dilakukan terhadap beberapa industri di Italia dan Spanyol ini mengambil

kesimpulan bahwa kepentingan industri kreatif berbeda dari kebijakan

seni dan budaya. Poin krusial yang bersifat politis ini adalah keberadaan

industri kreatif sebagai bentuk ekonomi baru di mana teknologi digital

sebagai penentu arah informasi dan kebijakan. Riset yang lebih khusus dan

hampir serupa mengenai industri musik di Indonesia pernah dilakukan

oleh David Hanan dan Basoeki Koesasi (2011) dalam Betawi Moderen:

Page 8: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

Songs and Films of Benyamin S from Jakarta in the 1970s—Further

Dimensions of Indonesian Popular serta Andrew N. Weintraub (2006)

dalam Dangdut Soul: Who are ‘the People’ in Indonesian Popular Music?

keduanya menekankan bahwa musik dangdut sama halnya dengan musik

betawi modern. Ia merupakan kritik ideologis yang dibawa media terutama

media cetak saat era tersebut. Media di Indonesia secara historis telah

menyebarluasan segala pernak-pernik musik dangdut. Menggunakan

pendekatan historis, kedua tulisan ini mencoba membangun sebuah

interpretasi praktik-praktik representasional musik dalam arti sosial dan

fungsi penonton film betawi modern dan dangdut serta fungsi pendengar

kedua musik tersebut. Kedua peneliti menyimpulkan bahwa kelas bawah

kehilangan haknya dan terdepolitisasi. Masalah selanjutnya adalah

sementara penonton dangdut terus tumbuh, pada kenyataannya dangdut

belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam budaya nasional Indonesia,

seperti yang diklaim oleh pejabat pemerintah dan militer di beberapa

media Indonesia. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of

Contemporary Indonesian Popular Culture oleh William H. Frederick

(1982) menjadi titik tolak riset mengenai perubahan musik dangdut..

Melalui tulisannya, William mendapati bahwa style dangdut berubah

mengikuti perkembangan selera masyarakat dan teknologi media.

Kesamaan jenis musik dangdut hanya pada aspek pesan-pesan yang

dibawa. Jenis musik dangdut yang popular adalah yang membawa pesan

kolektif, bukan pesan individualis. Musik dangdut yang dibawa Rhoma

Irama membawa pergerakan kebangkitan baru bagi muslim di Indonesia.

Dengan membawa konten Islam dalam musik dangdut, Rhoma menjadi

salah satu public figur yang kehadirannya dirasakan masyarakat lebih kuat

daripada tokoh-tokoh politik yang ada. Mulai saat itu, dangdut menjadi

sebuah musik yang mampu memperkecil jurang antara si kaya dan si

miskin, orang yang berkekuatan dengan yang tidak, kelas bawah dan kelas

atas. Tetapi, sejak musik dangdut termediasi, ia menjadi sebuah komoditi

besar bagi bisnis tanah air. Beberapa industri musik dan fashion berlomba

Page 9: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

dalam memperbesar keuntungan melalui dangdut. Di saat yang sama, style

muslim dalam dangdut sebagai kritik sosial, sebanding dengan perhatian

individu terhadap moralitas publik.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang lebih

menekankan aspek historis musik dangdut, penelitian ini berangkat dari

aspek pergeseran musik dangdut sebagai budaya tradisional menuju musik

dangdut yang termediasi melalui bentuk-bentuk industrialisasi budaya di

televisi sehingga memunculkan ‘ketegangan’ produksi dan konsumsi teks

musik dangdut dalam acara D’T3rong Show yang mengusung konsep

variety show. Penelitian ini menekankan aspek teks5 sebagai analisis dan

wacana televisi sebagai spectator industri budaya musik dangdut.

F. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Industrialisasi Budaya

Sejak awal kemunculannya pada tahun 1930-an,

industrialisasi budaya diiniasi sekelompok pemikir Jerman yang

melakukan studi di sekolah Frankfurt kemudian lebih dikenal

dengan Mazhab Frankfurt. Kelompok ini telah mengadakan studi

kritis tentang komunikasi massa dan budaya, dan menghasilkan

teori kritis tentang industri budaya. dimulai dari Jerman ke

Amerika Serikat, Mazhab Frankfurt mengamati fenomena tumpah

ruahnya budaya media melalui film, musik populer, radio,

televisi, dan bentuk-bentuk lain dari budaya massa. Di antara

penelitian yang mereka lakukan ternyata mendapati produksi

media dikendalikan oleh koorporasi besar. Selama abad 19 hingga

sekarang, mereka mengembangkan pendekatan kritik dan lintas

5 Peneliti merujuk kata ‘teks’ bukan dalam artian harfiahnya, karena

konteks teks disini adalah ranah audiovisual (televisi), maka teks yang dimaksud berupa tulisan, gambar,gesture,warna dan segala hal yang muncul dalam televisi

Page 10: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

disiplin terhadap studi budaya dan komunikasi, yang

mengkombinasikan analisis ekonomi, tekstual, serta efek sosial

dan ideologi dari media. Mazhab Frankfurt menciptakan term

industri budaya untuk menandai sebuah proses industrialisasi

budaya produksi massa dan imperatif komersial yang

menggerakkan sistem. Para teoris ini menganalisis semua artefak

budaya media massa dalam konteks produksi industri, yang mana

artefak tersebut menunjukkan kesamaan bentuk sebagai produksi

massa: komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi.

Mahzab Frankfurt fokus meneliti teknologi dan budaya,

hal yang mengindikasikan bagaimana teknologi telah menjadi

kekuatan utama produksi dan model formatif dari organisasi dan

kontrol sosial. Diantara mereka, ada yang mengawalinya secara

bersama melalui sebuah buku yang cukup menyedot perhatian

dibidang keilmuan yakni Dialectic of Enlightenment karangan

Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1975). Dalam buku

tersebut, dipaparkan mengenai kritik terhadap industrialisasi

budaya antara lain sebagai berikut :

a. Budaya sebagai industri

Menurut Adorno dan Horkheimer, kebudayan yang

termediasi tidak memberi keindahan ataupun

pengalaman estetis pada orang-orang yang menonton.

Orang tidak menjadi lebih kritis dan juga tidak menjadi

lebih pintar karena film, musik, begitu juga produk-

produk budaya lainnya yang dibuat semata-mata untuk

kepentingan komersil. Menurut mereka, budaya itu

seharusnya menciptakan karya seni / fine art yang

mampu memberikan pengalaman dan kemampuan

estetik. Mereka menganggap bahwa industri, terutama

mesin, telah menjadikan budaya sebagai semacam pabrik

Page 11: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

yang mencetak produk-produk budaya. Karena industri,

karya seni menjadi berkurang nilainya. Pada masa inilah,

seni mulai terbagi.

b. Estetika sebagai kritik sosial

Adorno dan Horkheimer berbicara tentang

bagaimana seni sebagai produk kebudayaan

mempengaruhi orang banyak dan bagaimana

masyarakat merespon mereka. Di sini terlihat

bahwa estetika bisa dijadikan alat untuk

mengkritisi kehidupan sosial yang kita jalani.

Menurut mereka, seni itu harus mempunyai tujuan

lebih dan bukan hanya tujuan industri/komersil

karena seni adalah sesuatu yang sakral.

2. Budaya Massa dengan Basis Materialisme Historis

Pemikiran Adorno dan Horkheimer dipengaruhi oleh teori

Karl Marx tentang kapitalisme. Ia memiliki suatu konsep yang

disebut sebagai materialisme historis. Menurut konsep ini,

masyarakat berkembang dengan mereproduksi barang-barang

yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya,

beberapa tahun sebelum ini, masyarakat masih mengelompokkan

sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan primer mereka.

Namun, seiring berkembangnya waktu dan tren, masyarakat

mungkin lebih memprioritaskan smartphone, laptop, mobil dan

sebagainya. Menurut mereka, industri budaya berbahaya karena

terus memproduksi barang-barang seperti film, musik dan komik

Page 12: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

yang dianggap manusia sebagai kebutuhannya padahal

sebenarnya tidak.

Lebih lanjut, Adorno membahas reproduksi budaya massa

melalui kombinasi teori Marxis, pandangan dialektika Hegelian,

dan psikoanalisa. Ia berpendapat bahwa teori Marx tidak

mencukupi pada masa kapitalisme lanjut karena Marx tidak

berbicara mengenai birokrasi. Dalam teori Marx, nilai tukar ini

adalah satu-satunya sarana dimana nilai suatu komoditas berasal.

Padahal, quantifikasi dari sesuatu yang secara qualitas unik terjadi

bukan hanya dalam pertukaran komoditas, tetapi ke dalam semua

bentuk interaksi sosial, termasuk juga organisasi birokratis seperti

tempat kerja dan negara (Edgar & Sedwick, 2001 ).

Dalam sejarahnya, budaya massa melalui industri selalu

memiliki dua aspek kekuatan yang menonjol, yaitu kekuatan

ekonomi dan budaya. Melalui kekuatan tersebut, industri

khususnya musik sebagai budaya massa menemukan kesulitan

dalam mengontrol selera penikmatnya. Hal ini dikarenakan ada

perbedaan antara nilai tukar (nilai ekonomis) dan nilai guna (nilai

‘kultural’) dalam musik populer.

Menurut John Storey, industri musik boleh jadi mengontrol

dan menentukan musik apa yang diproduksi, namun ia tidak bisa

mengontrol dan menentukan bagaimana musik digunakan dan

terlebih lagi makna yang diberikan kepada penikmatnya. Dari

sinilah, ‘ketegangan’ antara produksi dan konsumsi teks menjadi

sebuah keniscayaan. Musik dangdut sebagai bagian dari budaya

massa dengan basis kulturalisme historis dapat diterjemahkan

sebagai arena pertarungan antar pengolah budaya massa yang

berorientasi nilai ekonomis maupun konsumen budaya yang

berorientasi nilai ‘kultural’(Storey,2008).

Page 13: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

3. Televisi sebagai Media Industri

Footer dan Graber memaparkan istilah budaya yang lebih

mengacu kepada media seperti buku, koran, dan majalah dengan

asumsi, substansi dari media-media ini dapat memberikan

gambaran mengenai kondisi budaya yang sedang berkembang.

Namun sayangnya media seperti buku, majalah, dan koran ini

kurang memiliki nilai jual yang tinggi dalam kaitannya dengan

budaya. Hal ini disebabkan dua faktor utama; publikasi dalam

bahasa daerah dan kekhususan budaya (Fooster dan Graber,

2000). Sehingga untuk lebih spesifik lagi, istilah budaya ini

mengacu kepada media audiovisual seperti film dan televisi.

Sebab, media seperti ini dianggap sebagai media yang paling

tepat dalam mencerminkan budaya bangsa melalui audio dan

visualnya.

Adanya industri dan perdagangan dalam sektor budaya

secara tidak langsung telah meningkatkan ketegangan kultural,

khususnya dalam dunia internasional. Hal ini dapat terlihat dari

dampak industri budaya dengan adanya konflik yang tercipta

antara Amerika Serikat dan negara-negara lain yang memiliki

industri film yang juga cukup berkembang. Kekhawatiran terus

meningkat mengingat industri budaya AS yang terus berekspansi

dapat menghambat kemajuan industri budaya lokal di negara-

negara lain. Dapat dikatakan, budaya tidak lagi menjadi ciri

sebuah bangsa, namun juga telah menjadi komoditas industri.

Perkembangan budaya audiovisual semakin mengancam

keberagaman budaya di dunia. Budaya lokal pun akan mengalami

‘ketegangan’ serupa. Dalam program-program televisi yang

menampilkan budaya, misalnya musik dangdut, segmentasi

dangdut semakin terbuka. Dangdut pantura (pantai utara) adalah

salah satu upaya membuka segmen-segmen dangdut sekaligus

mengangkat segmen dangdut pantura sebagai industri budaya

Page 14: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

satu-satunya yang berkembang di Indonesia. Budaya rakyat

melalui industri televisi akhirnya menjadi produk budaya massa

dengan basis materialisme.

4. Musik Melalui Pendekatan Ekonomi Politik Media

Kajian mengenai musik dangdut dalam penelitian ini

melibatkan pendekatan ekonomi politik media. Sebagaimana

telah disinggung sebelumnya bahwa ‘ketegangan’ antara produksi

dan konsumsi teks diwujudkan melalui perbedaan orientasi ‘nilai’

yakni antara nilai tukar (nilai ekonomis) dan nilai guna (nilai

‘kultural’) dalam musik dangdut populer. Pembahasan mengenai

nilai tukar dan nilai guna ada pada skema teori ekonomi politik

media Vincent Mosco (1996).

Menurut Mosco, pengertian ekonomi politik dapat ditinjau

secara sempit dan luas. Pengertian secara sempit diartikan sebagai

kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-

sama membentuk produksi, distribusi, dan konsumsi sumber

daya. Sumber daya ini termasuk produk-produk komunikasi

seperti surat kabar, buku, iklan, musik, video, film, dan khalayak.

Dalam pengertian luas, ekonomi politik berarti kajian mengenai

kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Kontrol dipahami

sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara

internal di mana untuk dapat bertahan mereka harus memproduksi

apa yang dibutuhkan untuk mereproduksi diri mereka sendiri.

Teori Ekonomi politik perspektif Mosco melibatkan tiga

aktivitas utama yakni komodifikasi (commodification),

spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration)

(Mosco, 1996). Meski demikian, dalam penelitian ini hanya akan

memakai poin komodifikasi yang berhubungan langsung dengan

pemilihan ‘nilai’ dalam industri musik. Komodifikasi

Page 15: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan

jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang

mempunyai nilai tukar di pasar. Produk media yang berwujud

informasi dan hiburan memang tidak dapat diukur seperti halnya

barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional.

Aspek tangibility dari produk media akan relatif berbeda dengan

barang dan jasa lain. Meskipun ukuran tersebut dapat dirasakan

secara fisikal, tetapi produk media selalu menjadi barang

dagangan yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis. Nilai

tambah dari sisi ekonomis akan sangat ditentukan oleh sejauh

mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun

sosial.

Pendekatan ekonomi politik menekankan bahwa masyarakat

kapitalis terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi

yang menstrukturkan institusi dan praktek sesuai dengan logika

komodifikasi dan akumulasi kapital. Produksi dan distribusi

budaya dalam sistem kapitalis haruslah berorientasi pada pasar

dan profit. Kekuatan-kekuatan produksi (seperti teknologi media

dan praktek-praktek kreatif) dibentuk menurut relasi produksi

dominan (seperti profit yang mengesankan, pemeliharaan kontrol

hirarkis, dan relasi dominasi). Karenanya sistem produksi,

misalnya, sistem yang berorientasi pasar ataupun negara sangatlah

penting dalam menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang

perlu diproduksi dan bagaimana produk-produk budaya itu

dikonsumsi.

Orientasi pendekatan ekonomi politik bukanlah semata-

mata mengenai persoalan ekonomi, akan tetapi juga pada relasi

antara dimensi-dimensi ekonomi, politik, teknologi, dan budaya

dari realitas sosial. Struktur ekonomi politik menghubungkan

budaya pada konteks ekonomi dan politiknya dan membuka

kajian budaya pada sejarah dan politik. (Mosco,1996)

Page 16: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

Serupa dengan apa yang disampaikan Mosco, David

Hesmondhalgh (2002) mengungkapkan pendekatan ekonomi

politik dalam industri budaya memberikan banyak tawaran

alternatif dalam menganalisis kekuatan (power) yang ada

kaitannya dengan produksi budaya (culture production). Dengan

menyitir pendapat Peter Golding dan Graham Murdock (2005),

Hesmondhalgh hendak menyampaikan bahwa pendekatan

ekonomi politik (kritis) berbeda dengan ekonomi politik klasik

yang dikembangkan oleh Adam Smith dan David Ricardo.

Artinya pendekatan ini mencoba lebih kritis ketika munculnya

berbagai produk budaya yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan

pemegang otoritas (power). Ekonomi politik (kritis) akan

menyediakan diri dalam mendorong kesinambungan / perubahan

(continuity and change) dalam industri budaya daripada yang

lain. Dalam konteks inilah Hemondhalgh menawarkan fokus

kajian dari industri budaya pada persoalan-persoalan

a. Kontradiksi ; yaitu persoalan-persoalan yang ditimbulkan

dari komodifikasi budaya atau produksi budaya industri

komersial.

b. Kondisi spesifik industri budaya ; kemampuan

menggabungkan suatu kepentingan ekonomi secara umum

dengan industri budaya atau gambaran tentang kondisi

spesifika dari produk budaya yang dihasilkan.

c. Ketegangan antara produksi dan konsumsi ; produksi

budaya sebagai sesuatu yang kompleks, ambivalen dan

diperebutkan karena persoalan prilaku konsumen. Dengan

kata kalian persoalan produksi dan konsumsi tidak dilihat

sebagai entitas yang terpisah, tapi satu kesatuan.

d. Pencipta symbol; Industri budaya melihat para pencipta

symbol seperti penulis, produser, artis dan direktur

Page 17: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

merupakan personal yang bertanggung jawab penuh atas

input kreatif dalam teks.

e. Informasi dan hiburan ;

f. Variasi sejarah dalam relasi sosial produksi budaya.

(Hesmondhalgh,2002)

Riset ini memadukan teori ekonomi politik media dan

industrialiasi budaya untuk menemukan relasi politik, sosial

dan budaya dalam industri musik dangdut yang termediasi oleh

televisi. Bagaimana informasi dan hiburan yang disajikan,

ketegangan antara produksi dan konsumsi teks, serta

penciptaan produk berupa musik yang dihasilkan.

Page 18: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

G. Desain penelitian

Bagan 1.1

Proses Industrialisasi Budaya Musik Dangdut dalam Acara Variety Show

Televisi

Disusun oleh peneliti dari berbagai sumber

MUSIK DANGDUT

TEMPO DULU

(LOKALITAS & KUALITAS)

POTENSI/’SISI’

EKONOMI MUSIK

DANGDUT

PROSES

TRANSFORMASI

DANGDUT

MOTIF EKONOMI

POLITIK MEDIA

TELEVISI

INDUSTRIALISASI BUDAYA

MUSIK DANGDUT

MASSIFIKASI &

HOMOGENISASI

PROGRAM

DANGDUT

KOMODIFIKASI

MUSIK

DANGDUT

ERA KAPITAL/PASAR

DANGDUT

KONTEMPORER

TEMUAN HASIL PENELITIAN

Page 19: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

H. Metodologi Penelitian

Dari beberapa pendekatan yang digunakan untuk menganalisa suatu

permasalahan penelitian, peneliti memilih menggunakan pendekatan analisis

wacana kritis milik Norman Fairclough karena dianggap mampu menjawab

pertanyaan dan tujuan riset mengenai bentuk industri budaya musik dangdut

dan ketegangan antara produksi dan konsumsi teks.

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka peneliti

menggunakan beberapa teknik yang dibutuhkan. Berdasarkan

dimensi analisis wacana Fairclough yang terdiri dari teks, discourse

practice (praktek wacana), dan sociocultural practice (praktek

sosiokultural), maka teknik pengumpulan data yang dilakukan pada

ketiga dimensi ini meliputi :

a.) Teks ( Critical lingusitik) - Mikro analisis

Dimensi teks untuk menganalisa adegan-

adegan yang mengandung unsur homogenisasi isi dan

komersialisasi atribut dangdut paling tinggi selama

masa tayang acara sampai dilakukannya penelitian ini.

Riset ini menggunakan potongan adegan dalam

penayangan acara D’T3rong Show season 2 pada 16

September 2015. Potongan adegan tersebut diambil dari

sumber sekunder Youtube karena keterbatasan akses

video rekaman live acara tersebut. Peneliti memilih

tayangan D’T3rong Show season 2 pada 16 September

2015 selain karena dianggap mewakili teks-teks kritis

yang akan dianalisa, juga karena rating tinggi yang

didapat D’T3rong Show sepanjang tahun 2015.

Page 20: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

b.) Discourse Practice - Meso analisis

Aspek wacana praktis dilakukan dengan

wawancara mendalam (depth interview) terhadap

manajer produksi Indosiar, Wahyu Nursubiakto.

wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 22

Agustus 2016 di kantor Indosiar jalan Daan Mogot,

Jakarta Barat. Wawancara ini memakan waktu kurang

lebih 20 menit, relatif lebih singkat memang karena

padatnya jadwal manajer produksi yang ternyata harus

menangani seluruh program reality show, talent search

dan variety show di Indosiar. Sementara itu, EMTEK

(Elang Mahkota Teknologi) sebagai perusahaan yang

menaungi Indosiar membuat kebijakan baru dengan

hanya menjawab pertanyaan penelitian melalui satu

pintu, yaitu wawancara yang hanya dapat dilakukan

dengan manajer produksi. Jalur penerimaan berkas

wawancara semakin sulit. Di awali dengan email resmi

ke bagian public relation, kemudian ke bagian

coorporate communication, hingga ke manajer

produksi. Rentang waktu riset yang peneliti rencanakan

kurang lebih 3 bulan harus diperpanjang hingga 7

bulan. Terhitung sejak berkas-berkas kelengkapan

wawancara dikirim via email bulan Maret 2015, hingga

mendapatkan persetujuan wawancara pada bulan

Agustus 2015. sementara untuk penelusuran resepsi

audiens, peneliti cukupkan melalui forum-forum online.

Page 21: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

c.) Sosiocultural Practice – Makro analisis

Studi pustaka pada jurnal dan artikel

mengenai musik dangdut yang termediasi dan segala

atribut serta aspeknya termasuk juga studi pustaka

tentang fenomena industri budaya dan ekonomi politik

media yang diperlukan dalam pengumpulan data.

2. Metode Analisis Data

Merupakan rangkaian kegiatan pengelompokan dan

penafsiran secara sistematis. Pada penelitian ini, perangkat

analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis milik

Norman Fairclough. Fairclough berusaha membangun suatu

model wacana yang memiliki kontribusi dalam analisis sosial dan

budaya, sehingga tradisi analisis tekstual yang selalu melihat

bahasa dalam ruang tertutup dikolaborasikan dengan konteks

masyarakat yang lebih luas.Titik perhatian besar dari Fairclough

adalah melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Oleh karena

itu, analisis wacana kritis Fairclough memusatkan pada

bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan

konteks sosial tertentu (Eriyanto, 2006).

Dari berbagai pendekatan metodologi analisis wacana

kritis yang ada, peneliti memilih model Critical Discourse

Analisys (CDA) versi Norman Fairclough karena diasumsikan

mampu menjawab pertanyaan penelitian yang berfokus pada

upaya mengungkap proses industrialisasi budaya musik dangdut

dalam acara variety show televisi.

Adapun pemilihan D’T3rong Show sebagai ‘teks’ yang

akan diteliti adalah karena pola industrialisasi lebih beragam.

Misalnya saja item tutorial hijab yang mengikuti perkembangan

tren sekaligus permintaan pengiklan mampu dihadirkan dengan

konsep yang ‘fresh’. Tentu hal ini mampu menggeser nilai

Page 22: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

‘kultural’ menjadi nilai ekonomi dengan cara-cara yang matang.

Meski program variety show lainnya membawa konsep serupa,

seperti YKS (Yuk Keep Smile) dan D’Academy 2, akan tetapi

pesaing ini belum cukup mampu mempertahankan rating yang

stabil di puncak seperti program D’T3rong Show ini.

Bagan 1.2

Hubungan Tiga Dimensi Analisis Wacana Norman Fairclough

Diolah dari berbagai sumber

Konsep yang dibentuk Norman Fairclough

menitikberatkan pada tiga level analisis. Pertama, analisis

mikrostruktur (ada pada level teks), yakni menganalisis teks

dengan cermat dan fokus supaya dapat memperoleh data yang

dapat menggambarkan representasi teks. Secara detail aspek yang

SOSIOCULTURAL PRACTICE (aspek hubungan media dengan isu-

isu di masyarakat seperti nilai, identitas, kekuasaan dan ideologi)

DISCOURSE PRACTICE (aspek pola dan rutinitas kerja media

televisi dengan format musik variety show)

Produksi Teks

Konsumsi Teks

TEKS (aspek representasi tindakan televisi

yang mempengaruhi audience)

Page 23: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar atau isi teks,

lokasi, sikap dan tindakan pelaku/aktor hingga objek yang dikenai.

Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu

representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan

dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial

ke dalam bentuk teks. Dengan demikian representasi pada dasarnya

ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan

ditampilkan dalam teks. Relasi berhubungan dengan bagaimana

partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks.

Identitas berkaitan dengan bagaimana identitas media ditampilkan

dan dikonstruksi dalam teks iklan. Kedua, analisis mesostruktur

(level praktek wacana) yang terfokus pada dua aspek yaitu

produksi teks dan konsumsi teks. Praktik wacana meliputi cara-cara

para pekerja media memproduksi teks6. Hal ini berkaitan dengan

pekerja media itu sendiri selaku pribadi, sifat jaringan kerja dengan

sesama pekerja media lainnya, pola kerja media sebagai institusi,

seperti cara meliput acara, menulis acara, sampai menjadi tontonan

di dalam media. Pada praktek konsumsi dianalisis bagaimana

khalayak memberikan tanggapan terhadap teks. Ketiga, analisis

makrostruktur (proses wacana) terfokus pada fenomena di mana

teks dibuat. Praktik sosial-budaya ini menganalisis tiga hal yaitu

ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan

dan ideologi), dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan

identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media dan wacananya.

Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan, yakni

(1) tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks

situasinya; (2) tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh

institusi secara internal maupun eksternal; dan (3) tingkat sosial,

6 Peneliti menggunakan kata teks bukan dalam artian sebenarnya, karena konteks

teks disini adalah ranah audiovisual, maka teks yang dimaksud berupa tema acara, tulisan, lagu,gambar,gesture,warna dan segala hal yang muncul dalam tayangan televise.

Page 24: PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/106461/potongan/S2-2016... · rupa dengan mengatakan bahwa ‘kode’ adalah seperangkat simbol yang telah

berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik,

sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.

Analisis wacana kritis (CDA) melihat wacana sebagai

bentuk praktek sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktek

sosial menyebabkan adanya sebuah hubungan dialektis di antara

peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur

sosial yang membentuknya (Jogersen&Philips, 2007). Fairclough

melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan

sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Ia

berpendapat bahwa kelompok sosial yang ada bertarung dan

mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini

mengasumsikan bahwa praktik wacana bisa saja menampilkan efek

sebuah kepercayaan (ideologis). Artinya, wacana dapat

memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas

sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas di

mana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Bagi

Fairclough, suatu teks yang diproduksi dan dikonsumsi tidak

terlepas dari faktor praktek-praktek wacana (discourse practice)

yang menjadi mediasi antara teks itu sendiri dengan praktek

sosiokultural (sociocultural practice). Pendekatan Fairclough

intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting dari

praktek sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan,

identitas, dan hubungan sosial yang mencakup hubungan

kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktek sosial

yang lain. Oleh karena itu, wacana memiliki hubungan dialektik

dengan dimensi-dimensi sosial lainnya (Eriyanto, 2006).