pendahuluan (fix)
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
Pendahuluan
Kecacingan merupakan suatu infeksi pada manusia dan merupakan infeksi paling
umum yang terjadi serta menyebar luas. Survei epidemiologi telah membuktikan bahwa,
status ekonomi yang rendah, sanitasi dan kondisi lingkungan yang tidak baik, kebiasaan
mencuci tangan yang tidak baik, pembuangan sampah yang tidak sehat, kurangnya kebersihan
pribadi, tidak memakai alas kaki, ditambah dengan defekasi sembarangan, dan kontaminasi
air tidak bersih merupakan faktor predisposisi kecacingan. Prevalensi dari infeksi helmintiasis
terutama tinggi di negara-negara berkembang, khususnya di populasi dengan sanitasi
lingkungan yang buruk (Baidoo, et al., 2010).
Pada tahun 2006, diperkirakan sekitar lebih dari 1 milyar orang terinfeksi oleh satu
atau lebih spesies cacing yang hidup di tanah, sedangkan 200 juta orang terinfeksi oleh
schistosoma. Kecenderungan terinfeksi oleh cacing tambang akan meningkat seiring
pertambahan usia, meskipun intensitas terkena schistosomiasis akan menurun seiring
pertambahan usia, dan kecenderungan akan tetap tinggi di antara remaja yang berada pada
daerah endemik. Didaerah endemik, terdapat kecenderungan yang cukup tinggi pada wanita
hamil untuk terinfeksi cacing, terutama jika sudah mengalami peningkatan resiko terhadap
malaria dan rentan terhadap anemia serta keseimbangan nutrisi. Hal tersebut tentu saja
berdampak langsung terhadap wanita tersebut dan janinnya (Mpairwe, et al., 2014).
Di negara-negara berkembang, penyakit parasit (kecacingan) diduga dapat
mempersulit kehamilan dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap sanitasi dan kebersihan pribadi. Bundy dan
rekan memperkirakan di negara-negara berkembang, kurang lebih sekitar sepertiga dari
semua wanita hamil (44 juta dari 124 juta kehamilan) terinfeksi cacing tambang. Sekitar 1,2
miliar orang terinfeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan lebih dari 700 juta terinfeksi
cacing tambang (Necator americanus dan Anchylostoma duodenale) atau cacing cambuk
(Trichuris trichiura) (Shrinivas, et al., 2014).
Dalam sebuah studi, infeksi parasit pada kehamilan yang dilakukan di pesisir Kenya
pada tahun 2000-2005, sekitar 32% wanita terinfeksi cacing tambang, 31% dengan
schistosomiasis urogenital (Schistosomiasis haematobium), dan hampir 43% dengan malaria
(Plasmodium falciparum), sementara lebih dari 46% wanita ko-infeksi (McClure, et al.,
2014). Diperkirakan bahwa lebih dari 25% dari wanita hamil yang terinfeksi cacing tambang,
menyebabkan perdarahan usus dan kehilangan darah, dan paling sering dikaitkan dengan
anemia (McClure, et al., 2014).
Anemia merupakan tanda dan gejala yang kompleks terkait rendahnya kadar
hemoglobin. Secara global, penyebab umum anemia diyakini karena kekurangan zat besi
yang diakibatkan oleh kurangnya asupan zat besi, tuntutan fisiologis kehamilan dan juga
karena banyaknya darah yang dihisap oleh cacing (Baidoo, et.al, 2010). Helminthiasis usus
memanglah diketahui dapat memperburuk keadaan anemia dan juga dapat menyebabkan
penurunan nafsu makan. Dengan demikian, asupan besi pun akan turut berkurang. Di seluruh
dunia, anemia merupakan masalah kesehatan yang penting karena berkaitan dengan hasil
kehamilan yang tidak baik, seperti peningkatan angka kematian ibu dan janin, kelahiran
prematur, berat badan lahir rendah, dan lainnya (Obizue, et al., 2013).
Infeksi parasit, termasuk cacing tambang, dapat dievaluasi oleh intensitas infeksi,
yang diukur dengan konsentrasi telur dalam tinja. Infeksi STH (Soil Transmitted Hlminthh)
ditentukan oleh adanya ovum atau larva dalam sampel tinja. Selain itu, ditentukan oleh jumlah
parasit / gram. Sampel urin dikumpulkan dan diproses di laboratorium segera setelah
terkumpul. Urine dievaluasi untuk deteksi Schistosomiasis urogenital (S. haematobium) dan
hasil dinyatakan sebagai jumlah telur /mL (McClure, et al., 2014).
Jika hipotesis bahwa pengobatan antihelmin selama masa kehamilan dapat
memberikan manfaat yang penting untuk maternal dan kelahiran bayi akan diuji secara ketat,
dan kebijakan dari pengobatan antihelmin secara rutin selama masa kehamilan harus
divalidasi, serta uji coba yang lebih besar juga masih dibutuhkan. Ada kemungkinan bahwa
antihelmin akan lebih berguna pada kondisi dimana anemia menjadi hal yang lazim, dan
ketika terkena ketidakseimbangan nutrisi, serta akses terbatas pada pemberian antihelmin
(Mpairwe, et al., 2014).
Isi
Uji coba terbaru menunjukkan bahwa pengobatan cacing tambang diperkirakan dapat
mengurangi tingkat infeksi pada kehamilan, meskipun berdampak pada hasil kehamilan
seperti anemia pada ibu yang bervariasi. World Heatlh Organization (WHO)
merekomendasikan pemberian pengobatan obat cacing (misalnya, albendazole atau perawatan
lain yang aman selama kehamilan) pada trimester kedua di daerah endemik infeksi cacing
tambang. Semua wanita yang didiagnosis dengan infeksi cacing diobati dengan albendazole.
Namun pengobatan tersebut tidak berlaku pada wanita yang terinfeksi Schistosomiasis
urogenital selama kehamilan. Tetapi, pengobatan yang diberikan misalnya praziquantel,
namun harus ditunda sampai melahirkan (McClure, et al., 2014).
Semua ibu hamil diberikan albendazole single dose (400 mg). World Heatlh
Organization (WHO) dan UNICEF (United Nations International Children’s Emergency
Fund) menyarankan pemberian antihelmin pada program prenatal, terutama di daerah
prevalensi infeksi cacing tambang melebihi 20-30%. Pada studi tahun 2009 tidak
menghasilkan bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan obat antihelmin
setelah trimester pertama kehamilan. Selanjutnya, pada tahun 2010, sebuah studi besar di
Uganda dari 2.515 wanita hamil menunjukkan manfaat dalam mencegah anemia pada ibu
hamil dengan pemberian albendazole selama trimester kedua dan ketiga kehamilan yang
diberikan hanya pada wanita dengan tingakt moderat untuk infeksi cacing tambang. Selain itu,
tidak ada anomali kongenital yang terkait dengan penggunaan obat antihelmin intrapartum
(Shrinivas, et al., 2014).
Pengobatan empiris albendazole untuk kecacingan termasuk kategori D pada
kehamilan. Wanita yang berada dalam trimester pertama kehamilan, terutama hamil dengan
usia satu bulan, atau menyusui dapat diberikan pirantel 20 mg/kg secara oral maksimal 750
mg. Pirantel adalah obat kategori B2, dan informasi produk merekomendasikan bahwa harus
dihindari selama kehamilan. Oleh karena itu, manfaat mengobati infeksi cacing pada
kehamilan dengan pirantel, harus ditimbang terhadap risiko infeksi cacing yang tidak terobati
pada ibu atau janin. Atau, dapat melalui pemeriksaan sampel tinja melalui mikroskop sebelum
perawatan (Shrinivas, et al., 2014).
Sementara pada penelitian yang dilakukan Pedersen, et al. tahun 2012 di Denmark
menyebutkan bahwa infeksi cacing menyebar secara mudah diantara anggotakeluarga,
sehingga pengobatan untuk seluluh keluarga dianurkan jika anak telah terinfeksi. Pada ibu
hamil pengobatan yang diberikan adalah mebendazole dan pyrvinium, alasan diberikan kedua
obat tersebut disebutkan bahwa kedua obat memiliki tingkat absorpsi yang rendah di usus,
menunjukkan bahwa ke dua obat aman digunakan selama kehamilan. Selama kehamilan
pengobatan yang direkomendasikan di Denmark adalah pyrvinium karena absorpsi sistemik
yang rendah. Pengobatan nematoda pada kehamilan telah terbukti mengurangi angka
kematian bayi lebih awal. Namun, kedua obat digolongkan dalam kategori C, yang
menunjukkan bahwa informasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan keselamatan (safety)
mereka selama kehamilan (Pedersen, et al., 2012).
Kelompok kerja ilmiah WHO dibentuk pada tahun 2006 untuk melakukan uji coba,
namun tidak satupun dari rekomendasi tersebut yang didasari pada keuntungan atau keamanan
dari percobaan terkontrol dan pada kasus praziquantel. Hanya sebagian kecil dari antihelmin
yang pernah di uji coba terhadap wanita hamil dan dilakukan secara bersamaan, sehingga
hasilnya belum meyakinkan (Table 1) (Mpairwe, et al., 2014).
Di Amerika Serikat saat ini tidak diberikan albendazole karena merupakan obat kategori
C, dan harus tidak diberikan sebagai pengobatan presumtif selama setiap trimester kehamilan.
Ivermectin merupakan obat kategori C kehamilan. Obat ini tidak boleh diberikan untuk
wanita hamil. Praziquantel dianggap sebagai obat kategori B kehamilan, dan WHO
merekomendasikan pengobatan presumtif ibu hamil selama setiap trimester kehamilan pada
wanita dari daerah endemik schistosomiasis (Guidelines, 2013).
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa obat antihelmin dapat
menurun ke dalam air susu ibu (ASI) apabila sang ibu mengkonsumsinya pada saat laktasi
(menyusui). Kemungkinan besar sang ibu akan disarankan untuk menghentikan kegiatan
menyusuinya hingga pemberian obat antihemin berakhir dan parasit telah dieradikasi secara
total (Yakasai dan Umar, 2013).
Nematoda intestinal dapat dengan mudah diobati dengan albendazole, yang efikasinya
telah dibuktikan lebih baik dibanding mebendazole dalam beberapa trial (Keiser dan Utsinger,
2008 dalam Yakasai dan Umar, 2013). Baik albendazole maupun mebendazole merupakan
obat kategori C, namun secara umum dianggap aman untuk diberikan pada trimester kedua
dan ketiga. Guideline WHO menganjurkan pemberian obat antihelmin profilaksis untuk para
ibu hamil di daerah dengan prevalensi cacing tambang lebih dari 20-30% serta pemberian
suplemen besi oral (Dotters-Katz dkk, 2011 dalam Yakasai dan Umar, 2013). Apabila terjadi
obstruksi intestinal pada ibu hamil yang terinfeksi Ascaris sp., operasi atau kolonoskopi dapat
dipertimbangkan. Endoscopic retrograde cholangiopancreotography cukup efektif untuk
mengatasi Ascariasis bilier (Hefny, et al., 2009 dalam Yakasai dan Umar, 2013).
Schistosomiasis ditatalaksanai dengan praziquantel 20 mg/kg diulangi setiap 4 jam. Obat yang
dipilih untuk menatalaksanai filariasis adalah diethylcarbamazine dan albendazole; keduanya
telah menunjukkan efektivitas yang baik untuk penatalaksaan akut serta menurunkan progresi
penyakit untuk menjadi kronis (Bockarie, et al., 2009 dalam Yakasai dan Umar, 2013).
Salah satu obat yang sering dimasukkan dalam program obat antihelmin adalah
albendazole. Dalam program eradikasi filariasis, sering diperlukan pemberian albendazole
untuk wanita hamil yang mengalami infeksi parasit tersebut. Sebelumnya, penelitian
menemukan bahwa terdapat kandungan metabolit albendazole yaitu albendazole sulphoxide
dalam jumlah yang cukup signifikan dalam ASI, yaitu 36 jam setelah para wanita yang
sedang laktasi dan diberikan obat albendazole 400 mg single dose peroral, meskipun obat
albendazole itu sendiri sangat sedikit jumlahnya yang ditemukan dalam ASI. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Abdel-tawab, et al. pada tahun 2009, dinyatakan bahwa
kandungan obat albendazole dan metabolitnya yang ditemukan dalam ASI setelah pemberian
albendazole 400 mg single dose peroral berada dalam jumlah yang tidak membahayakan
pertumbuhan sang anak (Abdel-tawab, et al., 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ndibazza, et al., 2010 mengenai efek mengobati
kecacingan menggunakan albendazole dan praziquantel pada 2507 orang maternal dan
perinatal di Entebbe Uganda menggunakan metode Uji Acak Terkendali, bahwa peneliti ingin
mengetahui apakah didapatkan efek pengobatan terhadap tingkat kecacingan wanita hamil,
penurunan kadar hemoglobin maternal, bayi dengan berat lahir rendah, kematian perinatal,
kelainan kongenital. Jadi, pada sampel tinja yang diperoleh dari 2051 wanita (82%) setelah
melahirkan, wanita yang sudah mendapatkan pengobatan albendazole memiliki faktor resiko
yang rendah terhadap infeksi cacing tambang dan infeksi cacing Ascaris sp., disamping itu
wanita yang mendapatkan pengobatan praziquantel dapat menurunkan faktor resiko dari
infeksi S. mansoni (Ndibazza, et al., 2010).
Pada 1918 wanita (81%) yang diambil sampel darahnya setelah melahirkan, tidak
didapatkan efek yang signifikan dari albendazole dan praziquantel terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Untuk efek obat terhadap kelahiran bayi dengan berat lahir rendah, pada 1964
(82%) kelahiran, didapatkan 165 (8%) kelahiran bayi dengan berat lahir rendah dan 11 (0,6%)
kelahiran bayi dengan berat lahir sangat rendah. Selain itu, didapatkan 36 kematian perinatal
dari 1000 kelahiran, namun sebagian besar disebabkan karena asfiksia saat kelahiran. Pada
kelainan kongenital, pada penelitian secara keseluruhan terdapat 76 kelainan kongenital per
1000 kelahiran. Kelainan yang paling sering tercatat melibatkan sistem muskuloskeletal
(56%) dan kulit (21%), namun hal tersebut tidak menunjukkan efek yang berarti antara
pengobatan kecacingan selama kehamilan dengan kelainan kongenital (Ndibazza, et al.,
2010).
Penutup
Wanita hamil dan menyusui seringkali diabaikan dari pengobatan untuk infeksi
cacing, karena terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan efek merugikan dari obat yang
digunakan dalam tumbuh kembang janin. Namun, World Heatlh Organization (WHO)
merekomendasikan pengobatan untuk wanita hamil terhadap infeksi cacing tambang,
termasuk pengobatan untuk anemia. Lebih lanjut, pada tahun 2002, WHO merekomendasikan
penggunaan praziquantel saat kehamilan dan masa menyusui, dan pada daerah endemik
schistosomiasis, semua gadis dan wanita pada usia melahirkan harus dimasukkan pada
program pengobatan dengan praziquantel secara masal. Hal tersebut tentu memberi harapan
terhadap implementasi yang direkomendasikan untuk dapat memberikan keuntungan dalam
mengurangi jumlah penderita anemia pada ibu hamil, meningkatkan berat bayi yang baru
lahir, dan mengurangi perinatal serta kematian janin.
Daftar Pustaka
Abdel-tawab, A. M. et al. 2009. Albendazole and its metabolites in the breast milk of lactating
women following a single oral dose of albendazole. British Journal of Clinical
Pharmacology, Vol. 68, No. 5, pp. 737-742. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2791980/pdf/bcp0068-0737.pdf >
[Accessed October, 19th 2015].
Pedersen, A.T. et al. 2012. Exposure to Mebendazole and Pyrvinium during Pregnancy : A
Danish Nationwide Cohort Study. Avaliable at:
http://downloads.hindawi.com/journals/idog/2012/769851.pdf [Accessed October, 19th
2015].
Baidoo S.E., Tay S.C.K., et al. 2010. Intestinal Helminth Infection and Anaemia during
Pregnancy: A Community based Study in Ghana. Vol. 2. Journal of
Bacteriology Research. Available at:
<http://www.academicjournals.org/journal/JBR/article-full-text-pdf/73DFC4C9048> [
McClure, Elizabeth M, et al. 2014. The Association of Parasitic Infections in Pregnancy and
Maternal and Fetal Anemia: A Cohort Study in Coastal Kenya. PLOS Neglected
Tropical. http://journals.plos.org/plosntds/article?id=10.1371/journal.pntd.0002724
Mpairwe, H., Tweyongyere, R. & Elliott, a, 2014. Pregnancy and helminth infections.
Parasite immunology, 36(8), pp.328–37. Available at:
<http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=4260141&tool=pmcentrez&rendertype=abstract> [Accessed October 21th,
2015].
Ndibazza J, et al., 2010. Effect of Deworming during Pregnancy on Mternal and Perinatal
Outcomes in Entebbe, Uganda : A Randomized Controlled Trial. The Infetious
Diseases Society of America.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2857962/pdf/ukmss-29622.pdf
Obiezue N.R. et al. 2013. Gastrointestinal Helminth Infection in pregnancy: Disease
Incidence and Hematological Alterations. Vol. 42. No. 5. Iranian Journal Public
Health: Departement of Zoology and Environmental Biology, University of
Nigeria. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3684458/pdf/ijph-42-497.pdf
Services, H., 2013. GUIDELINES FOR OVERSEAS PRESUMPTIVE TREATMENT OF
STRONGYLOIDIASIS , SCHISTOSOMIASIS , AND SOIL-TRANSMITTED
HELMINTH INFECTIONS FOR REFUGEES RESETTLING TO THE UNITED
STATES. , pp.1–12. http://stacks.cdc.gov/view/cdc/34376/cdc_34376_DS1.pdf
Shrinivas K. et al. 2014. Study of Helminthiasis in Pregnancy and its Correlation with
Haemoglobin Level. Journal of clinical and diagnostic research, Vol. 8, No. 10, pp.
7-9 [pdf]. Available at: <http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=4253228&tool=pmcentrez&rendertype=abstract> [Accessed October, 21th
2015].
Yakasai, I. A. dan Umar, U. A. 2013. A Review of Parasitic Infestation in Pregnancy. Asian
Journal of Natural and Applied Sciences, 2(1) hal.31-38. Tersedia pada
http://www.ajsc.leena-luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.2(1)/AJSC2013(2.1-06).pdf (diakses
tanggal 19 Oktober 2015)