pendekatan teoritis pengantar -...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KASTA DAN KONFLIK : PENDEKATAN TEORITIS
Pengantar
Bagian ini merupakan landasan teoritis yang akan dikemukakan dan digunakan
sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori yang ada akan dikonseptualkan
untuk membantu mendiskripsikan dan menganalisa data penelitian. Dimana penulis
mencoba melihat konflik dan realitas konsep kasta dengan menghubungkan gagasan-
gagasan para ahli yang berbicara mengenai konflik dan kasta dengan menggunakan teori
konflik oleh Johan Galtung, teori hirarki oleh Louis Demounth, di mana teori ini dirasa
dapat membantu apa yang dimaksud penulis dalam tulisan ini.
Pemilihan teori dalam uraian bab ini berdasarakan pada masalah yang ditemui di
lokasi penelitan dan dipakai guna menganalisa lebih lanjut bagaimana sebenarnya konflik
dan kasta ini terjadi, termasuk dalam jenis konflik apa, dan dampak konflik yang dirasakan
oleh masyarakat, serta apa resolusi konflik yang cocok diterapkan dalam kasus konflik kasta
dalam masyarakat Elaar.
2.1. Konsep dan Realitas Kasta
Kasta dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting
from division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.
Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal
katanya adalah “Casta” yang dalam bahasa Spanyol dan Portugis yang berarti kelas, ras,
keturunan, golongan, pemisahan, tembok atau batas. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kasta adalah golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama
11
Hindu.1 ketika Spanyol menjajah dunia baru, mereka menggunakan kasta yang berarti
“silsilah”, namun Portugis yang memperkerjakan kasta dalam pengertian modern utama
ketika mereka menerapkannya pada ribuan kelompok sosial India turun-temurun yang
mereka hadapi saat mereka tiba di India pada tahun 1498, penggunaan ejaan “kasta” dengan
makna terakhir pertama kali dibuktikan dalam bahasa inggris pada tahun 1613.2
Para ahli sosial mengartikan kasta sebagai hirarki sosial, yakni merujuk pada
karakteristik bawaan dan yang diwariskan. Sistem kasta di definisikan sebagai sebuah
tatanan yang membagi semua masyarakat Hindu ke dalam kelompok-kelompok endogami
dengan keanggotaan herediter, yang serentak memisahkan dan menghubungkan seorang
dengan yang lain melalui tiga karakteristik: pemisahan menyangkut perkawinan dan kontak;
pembagian kerja dalam setiap kelompok yang mewakili satu profesi tertentu dan akhirnya,
hirarki yang mengurutkan kelompok kelompok itu pada sebuah skala yang memilah mereka
ke dalam kasta tinggi dan kasta rendah.3
Kasta pada masyarakat India dibagi menjadi empat kasta yakni Brahmana, Ksatria,
Wesya, dan Sudra. Menurut pemahaman masyarakat India pada umumnya Brahmana adalah
mereka yang mempunyai profesi kependetaaan dan memiliki kedudukan paling tinggi.
Ksatria adalah mereka yang berprofesi sebagai abdi negara/kerajaan dan mereka inilah para
keturunan raja. Wesya adalah mereka yang berprofesi sebagai wiraswasta atau pengusaha.
Sementara Sudra merupakan kasta yang terendah, terdiri dari orang-orang berprofesi
sebagai buruh atau petani dan mereka tidak mempunyai gelar seperti halnya kasta yang lain.
1
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) oleh Balai Pustaka. Dalam pembahasan dijelaskan
mengenai Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria (golongan rakyat jembel yang hina-dina dalam
masyarakat Hindu). 2 Pitt-Rivers, Julian, "Tentang kata 'kasta ", Terjemahan esai budaya ke EE Evans-Pritchard ,
(London, Inggris: Tavistock (1971), 231-256. 3 Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: CV
Titian Galang Printika, 2009), 242.
12
Kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya sering diistilahkan sebagai Triwangsa.
Sementara kasta Sudra yang merupakan kasta terendah yang diistilahkan dengan
Sudrawagsa. Dalam mengidentifikasi masing-masing kasta dapat dilakukan dengan
mengenali nama atau gelarnya. Karena setiap kasta memiliki gelar penamaan sendiri,
sehingga sangat jelas terlihat adanya perbedaan antara mereka. Dalam kitab suci Veda tidak
dikenal istilah kasta yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna atau pada kitab
Bhagavadgita adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma
(profesi) atau wilayah kerja masing-masing. Selain itu, yang ada dalam kehidupan
masyarakat India adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis
keturunan. Pada masyarakat Hindu di India pun sesungguhnya bukanlah kasta tetapi varnas
bahasa Sanskerta yang artinya Warna (colour); ditemukan dalam Rg Veda sekitar 3000
tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah),
Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan). Tiga kelompok pertama disebut
“dwij” karena kelahirannya diupacarakan dengan prosesi penyucian. Kemudian yang
menjadi persoalan, ketika kasta dipakai dalam memahami konsep varna pada masyarakat
Hindu.4
Kasta di Kei terwujud dalam tiga tingkatan,5 dalam bahasa lokal masyarakat Kei
yaitu: Mel-mel, mereka ini adalah para imigran atau para pendatang. Ren-ren, merupakan
kelompok orang merdeka, mereka ini adalah penduduk asli, dan Iri-Iri yaitu kelompok yang
mengabdi yang pernah melakukan pelanggaran adat dan status mereka yang tadinya sebagai
Mel dan Ren di cabut. Dalam sejarah pembentukan kasta di kepulauan Kei terjadi sekitar
abat 15 atau 16. Pembentukan kasta ini berkaitan dengan orang luar, yang dalam sumber
4 Dumonth, Homo Hierarchicus, (Chicago: University Press, 1980), 245.
5 Pattikayhattu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga
Kebudayaan Daerah Maluku,1998),92.
13
tertulis dan seakan sudah umum diakui dalam masyarakat Kei mereka mengakuinya berasal
dari Bali.6
Laksono menyebutkan di Kei Bukan kasta tetapi strata7 sebab, kasta punya struktur
organisasi dengan pimpinannya dan ada ideloginya yang menjadi dasar perjuangan tiap
kasta seperti di India. Kedua, pengakuan dan pemisahan secara kokoh kasta Mel-mel, Ren-
ren dan Iri-iri terbentuk pada masa penjajahan belanda di abat 16 atau 17. Prosesnya bisa
diuraikan dengan jelas sebagai sebuah upaya politisasi dengan akibat penindasan
masyarakat demi mencapai kepentingan penjajah Belanda. Belanda mengambil orang Mel-
mel dari mereka yang pandai andministrasi dan berkemampuan menjadi pemimpin dalam
masyarakat yang terpilih disini adalah para orang luar yang dalam kedudukan sebagai raja-
raja pertama di tanah Kei, disebut Hala’ai.
2.2. Teori Hirakhi
Menurut Fredrik Barth kasta merupakan bentuk stratifikasi sosial dijelaskan olehnya
dalam penelitiannya pada masyarakat Pathan di lembah Swat di bagian utara Pakistan.
Dimana dalam kasta memiliki bentuk strata atau tingkatan-tingkatan tertentu yang bersifat
hirarkis. Pandangan lain yang sama mengenai kasta juga dikemukakan oleh Max Weber
sebagai satu segi dari struktur sosial, namun dibatah oleh Louis Dumonth Menurutnya :
“agar dapat memahami kasta untuk melihatnya sebagai bagian yang terpadu dari
suatu totalitas sosial dan budaya; karenanya kita tidak dapat berbicara tentang kasta-
kasta
6 Ohoitimir J, Beberapa Sikap Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, (Manado:
Pinenang, 2010) 98. 7 Laksono P.M, Vuut Ain Mehe Ngivun, Manut Ain Mehe Tilur, 26.
14
secara terpisah dari konteks budaya khusus dimana kasta-kasta itu muncul. Kasta
merupakan salah satu segi dari kebudayaan India dan harus dipahami dalam suatu
totalitas sosio budaya Hindu”.8
Louis Dumonth memperluas penelitian lapangannya di Pralayai Kallars di India
selatan pada tahun 1949 (Une sous-caste de l'Inde du Sud) dan literatur idiologi tentang
kasta untuk menghasilkan studi teoritis tentang kasta dan hierarki, Homo Hierarchicus
Dumont terlibat dengan historiografi India dan teori sosiologis JH Hutton, MN Srinivas,
McKim Marriott, Emile Durkheim, dan Eugene Weber, dengan pertanyaan “kasta” sebagai
masalah utama, Dumonth berpendapat bahwa “kasta bukanlah stratifikasi sosial, melainkan
sebuah sistem hirarki, yang didasarkan pada ketidaksetaraan” disini Dumonth mencoba
beralih dari konsep kelas sosial eksotis Barat untuk memahami kasta sebagai fakta sosial
total, Dumonth berusaha untuk mengisolasi, mempelajari dan mengembangkan teori baru
tentang hierarki dan intinya konsep yang murni dan tidak murni apa yang diyakini sebagai
aspek ideologis utama sistem sosial india.
Dumonth memulai studinya dengan membingkai pertanyaan individu, masyarakat,
persamaan, dan hirarki dalam studi kasta melalui revolusi pengatar tentang evolusi victoria
tentang “kesatuan umat manusia”. Dumonth menunjukan pendekatan komparatifnya yang
terus berlanjut selama bekerja dari pada studi historis yang berfokus pada kasta di India.
Dumonth meneliti hubungan sosial dan hirarki untuk membuat perbandingan dan
kesimpulan teoritis. Hal ini paling jelas dalam pertanyaan dalam individu. Dumonth
berpendapat bahwa masyarakat tradisional menekankan masyarakat secara keseluruhan,
manusia kolektif dan bagaimana individu sesuai dengan urutan dan hirarki. Sementara itu
masyarakat modern menekankan individu adalah inti dari perkembangan analisis Dumonth
8 Dumonth, Homo Hierarchicus: The Caste System and its implications, (Chicago: University Press,
1980), 345.
15
tentang persamaan dan hierarki.9
Dumonth berpendapat bahwa hirarki muncul dari
konsensus nilai dan gagasan dan sangat penting bagi kehidupan sosial. Dengan cara ini
hirarki mengungkapkan aspek dasar masyarakat karena “hirarki mencakup agen sosial dan
kategori sosial”.10
Dumonth mendefinisikan kasta institusi pan-india, sebuah sistem gagasan dan nilai,
sistem rasional yang formal dan dapat dipahami,11
yang terpenting bagaimana kelompok
kasta dibedakan dari dan terhubung satu sama lain melalui: Pertama, pemisahan
perkawinan, dan kontak. Kedua, pembagian kerja, tradisi dan profesi. Tiga, kelompok
peringat hirarki relatif lebih uggul atau lebih rendah satu sama lain. Oleh karena itu aspek
hirarki adalah yang paling penting dan terwujud dalam pemisahan antara yang murni dan
tidak murni.
Untuk memperluas konsep hirarki Domonth membedakan antara gagasan Barat
tentang hierarki sebagai subordinasi progresif dan teori hirarki India, alih-alih hirarki yang
bertumpu pada gagasan barat tentang kekuatan dan wewenang linear, Dumonth
menghubungkan hirarki India dengan nilai-nilai religius, ada empat varnas dan
hubungannya dengan keseluruhan. Varnas adalah kata Sanskerta yang berarti tipe, urutan,
warna atau kelas, Istilah ini mengacu pada kelas sosial, yang berarti menutupi, menyelimuti,
menghitung, mengklasifikasikan, menggambarkan atau memilih. Kata itu muncul di
Rigveda, di mana itu berarti warna, penampilan luar, eksterior, bentuk gambar atau bentuk
kata itu berarti, warna, pewarna, pewarna atau pigmen. Varnas secara kontekstual berarti
"warna, ras, suku, spesies, jenis, jenis, sifat, karakter, kualitas, properti" dari suatu objek
atau orang dalam beberapa teks Veda dan abad pertengahan. Dalam Literatur Hindu
mengklasifikasikan masyarakat pada prinsipnya menjadi empat varnas yaitu Brahmana;
9 Dumonth, Homo Hierarchicus, 1.
10 Dumonth, Homo Hierarchicus,20.
11 Dumonth, Homo Hierarchicus, 35.
16
imam, ilmuwan dan guru, Kshatriya; penguasa, pejuang dan administrator, Waisya; ahli
pertanian dan pedagang dan Sudra; buruh dan penyedia layanan.
Dumonth menjelaskan bahwa hierarki adalah prinsip di mana unsur-unsur
keseluruhan di golongkan dalam kaitannya dengan keseluruhan. Dumonth menggambarkan
sistem bukan sebagai ekonomi tetapi sebagai sistem turun-temurun kerja dan hubungan,
prestasinya dan kontra-prestasi. Oleh karena itu sistem tersebut di dasarkan pada referensi
implisit keseluruhan yang pada dasarnya bersifat religius, atau jika seseorang lebih memilih,
masalah nilai tertinggi.12
namun tidak menggabaikan konsep politik dan kekuasaan secara
keseluruhan dan memilah-milah wewenang antara dan di dalam kelompok kasta. Otoritas
keagamaan Dumont berpendapat berada ditangan Brahmana dan otoritas temporal ditangan
raja, hakim dan hukum Braharma. Selanjutnya unit desa memiliki bentuk kewenangan
jamak yang rumit dan tidak sederhana.13
Menurut Dumonth perbedaan kasta dan stratifikasi
sosial, di mana konsep kasta sangat berhubungan antar status dan kekuasaan. Cita-cita dan
kebebasan bersama dan persamaan langsung mengikuti konsepsi manusia sebagai individu,
akibatnya jika semua umat manusia dianggap hadir di masing-masing manusia maka,
masing-masing manusia harus bebas dan semua orang setara dan ialah yang menjadi fondasi
dari dua cita-cita besar era modern. Sebaliknya setelah akhir kolektif diadopsi oleh pria,
kebebasan mereka terbatas dan kesetaraan mereka dipertenyakan namun kemudian
Dumonth menjelaskan bagaimana persamaan adalah gagasan unggul namun pada dasarnya
buatan.
Oleh karena itu maka pemikiran Dumonth inilah penulis gunakan untuk
membandingkan gagasan kasta pada masyarakat Kei dengan mncoba membandingkan
gagasan asli dari kelompok sosial dan fakta sosial pada masyarakat Kei di mana menurut
12
Dumonth, Homo Hierarchicus, 106. 13
Dumonth, Homo Hierarchicus, 182.
17
Dumonth terikat bersama dalam keseluruhan struktural.14
Masyarakat yang akan diteliti
merupakan masyarakat agraris. Dengan mata pencaharian utama adalah pertanian. Kondisi
agraris ini memiliki pengaruh terhadap kondisi dan jenis stratifikasi sosial yang ada.
Terutama pengaruhnya terhadap kasta.
Sistem stratifikasi agraris umumnya terdiri dari strata sosial berikut. Pertama, elit
ekonomi-politik yang terdiri dari penguasa dan keluarganya serta kelas tuan tanah. Kedua,
kelas penyewa. Ketiga, kelas pedagang. Keempat, kelas rohaniawan. Kelima, kelas petani.
Keenam, kelas seniman. Ketujuh, kelas “sampah masyarakat”. Empat kelas yang disebut
pertama dianggap kelompok kelas yang memiliki hak-hak istimewa. Tetapi kelompok-
kelompok yang memiliki hak istimewa terpenting tentu saja elit ekonomi-politik: kelas
penguasa dan pemerintah. Para petani, seniman, dan kelas terakhir merupakan kelas bawah,
tetapi karena para petani merupakan kelas terbesar, ia juga merupakan kelas paling
tereksploitasi.15
Antropologi sosial dan budaya, kasta digolongkan kedalam Struktur Sosial. Istilah
struktur berasal dari kata structum (bahasa latin) yang berarti menyusun.16
Dengan
demikian, struktur sosial memiliki arti susunan masyarakat. Adapun penggunaan konsep
struktur sosial tampaknya beragam. Definisi struktur sosial menurut Menurut Radclife-
Brown mengenai struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial
yang berwujud dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, struktur sosial meliputi relasi
sosial di antara para individu dan perbedaan individu dan kelas sosial menurut peran sosial
mereka. Berawal dari konsep kebudayaan yang didalamnya terdapat konsep struktur sosial
yang terbagi atas diferensiasi dan stratifikasi. Kasta membagi masyarakat ke dalam
14
Louis Dumonth, Homo Hierarchicus, 201. 15
Sanderson, Stephen K, Makro Sosiologi-Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta:
Rajawali Press, 2010), 153. 16
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 20.
18
kelompok-kelompok tertentu yang sifatnya herediter (bawaan dan diwariskan). Sistem kasta
menyangkut prihal mengurutkan orang-orang sesuai status bawaannya, memiliki norma dan
kaidah dalam mengatur keterkaitan antar anggotannya, menciptakan hubungan timbal balik,
serta membagi tugas yang hanya dapat dilaksanakan oleh anggota tertentu saja.
2.3. Teori Konflik
Secara etimologis istilah konflik berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama,
dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. Konflik dalam bahasa Inggris conflict artinya perselisihan, pertempuran, dan
bentrokan. Waileruny mengutip Daryanto-dalam Kamus Bahasa Indonesia, konflik diartikan
sebagai pertentangan percekcokkan, perselisihan, ketidaksamaan pendapat atau
pandangan.17
Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti terjadinya benturan
kepentingan, pendapat, harapan yang harus diwujudkan dan sebagainya yang paling tidak
melibatkan dua pihak atau lebih, dimana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,
kelompok kekerabatan, satu komunitas, maupun satu organisasi sosial pendukung ideologi
tertentu, satu organisasi politik, suku bangsa maupun satu pemeluk agama tertentu.
Ada beberapa pengertian konflik menurut pendapat para ahli, menurut Simmel dan
Lewis Coser, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar, dan bahwa
proses konflik dihubungkan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerja sama dalam
berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks.18
Menurtut Taquiri
17
Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010), 27. 18
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 2, (Jakarta: Gramedia, 1990), 195-196.
19
dalam Newstorm dan Davis, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh
berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.19
Konflik perlu kita pahami sebagai sesuatu yang tidak bersumber dari teori-teori sosial,
melainkan kehidupan sosial masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat tentang asal-mula
dari sebuah konflik. Adam Kuper misalnya menyebut sumber konflik adalah “hubungan-
hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sifat dasar biologis manusia”. 20
Paparan Kuper ini
melihat semua aspek dari kehidupan manusia. Fisher menjabarkan, bahwa konflik
disebabkan oleh, Pertama, Polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan
di antara kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat (Teori Hubungan Masyarakat),
kedua, posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak
yang mengalami konflik (Teori Negosiasi Prinsip). Ketiga, kebutuhan dasar manusia,
fisik,mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi (Teori Kebutuhan Manusia),
keempat, Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi (Teori Transformasi Konflik).21
Selama ini konflik selalu diidentikan dengan kekerasan, menurut Johan Galtung,
konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan muncul
penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan masalah yang
menghasilkan goresan baru, sementara situasi adalah ketidak nyamanan yang sedang terjadi.
Apa yang "seharusnya" tidak sama dengan apa yang "ada" bisa juga salah satu sikap yang
ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, atau psikologi.22
19
http;//idshovoong.com/writing-andspeacing/self-pubising/2249702-konflik/.diuduh pada hari senin
11 september 2017. pukul 14:00 wib. 20
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Grafindo, 2006), 155. 21
Simon Fisher, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak, (Jakarta: The British
Council, 2001), 8-9. 22
Galtung Johan, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban,
(Surabaya: Pustaka, 2003), 69.
20
Dalam teori tentang munculnya konflik dalam Masyarakat merujuk kepada teori
kekerasan struktural dan kultural dari Johan Galtung. Johan Galtung mengatakan bahwa
konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiks (Contradiction = C), sikap
(Attitude = A), perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya kontradiksi merujuk pada
dasar situasi konflik termasuk ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-
pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh ”ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur
sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan
benturan kepentingan inheren di antara mereka sikap ialah persepsi pihak-pihak yang
bertikai dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, merupakan
persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kumpulan lain.
Dalam konflik dan kekerasan, pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan
stereotip yang merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti
takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan),
kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama atau
pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan.
Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang
merusak.
Kekerasan struktural adalah kekerasan tidak langsung, yang telah terbentuk dalam
suatu sistem sosial tertentu. Oleh kerena itu, penekanannya lebih condong kepada sistem
yang berjalan dalam suatu situasi sosial. Atau juga dapat dikatakan struktur sosial itu
sendiri; misalnya kekerasan struktural terjadi antara orang; kumpulan orang (masyarakat)
kumpulan masyarakat di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu kekerasan struktural dapat
21
disusun berdasarkan asumsi bahwa rumus umum di balik kekerasan struktural adalah
ketidaksamaan
terutama dalam distribusi kekuasaan. Untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya dukungan terhadap ketidaksamaan, Johan Galtung menjelaskan struktur sosial
seperti gagasan tentang pelaku, sistem, struktur, kedudukan dan tingkat.23
Kontradiksi ialah kemunculan situasi yang melibatkan masalah sikap dan perilaku
sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak
kumpulan yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial. Secara sederhana, sikap
melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi
boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai situasi kontradiksi yang didahului
oleh sikap dan perilaku ini digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung. Galtung
berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur
konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung
melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan
berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang
bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada.
Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku
secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan
pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada.
Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk
mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan
perilaku konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang.
23
Marshanda Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius,
1992), 75.
22
Kekerasan budaya (Cultural Violence) berarti berbicara tentang kekerasan yang
berhubungan dengan menyentuh aspek-aspek kebudayaan tertentu. Aspek-aspek budaya
yaitu ruang simbolik keberadaan manusia yang dicontohkan oleh agama dan ideologi,
bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika, matematika) yang dapat dipakai
untuk menjastifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural.
Galtung mengatakan bahwa secara umum, arus dari kekerasan budaya melalui
kekerasan struktural sampai kekerasan langsung dapat diidentifikasi. Budaya
menasehati, mengajarkan, memperingatkan, menghasut dan membodohi mengenai
bagaimana melihat eksploitasi atau represi sebagai yang bersifat normal, atau
bagaimana caranya untuk tidak melihat mereka sama sekali.24
Dengan demikian kekerasan dapat saja bersumber dari orang, individu, atau di dalam
kolektivitas dari ruang sosial dan dunia, kadang-kadang menggunakan kekerasan alami,
struktural dan kultural. Tetapi efek buruk dari kekerasan dapat ditemukan di mana saja tanpa
mengenal dimensi ruang dan waktu, misalnya pada manusia, alam, struktur, kultur yang
rusak, dan juga kekerasan waktu. Kekerasan juga merugikan dan merusak bagian-bagian
non sentient dari dunia. 25
oleh karena itu ada beberapa istilah yang digunakan oleh Galtung
untuk menggambarkan kasus-kasus ekstrim yang terjadi: pertama, Ecocicide: yaitu
kekerasan ekstrim terhadap alam, berupa eksploitasi terhadap alam yang menyebabkan
rusaknya alam dan hancurnya berbagai ekosistem. Kedua, Suicide: kekerasan langsung dan
mematikan terhadap diri, Yaitu tindakan mengambil nyawa orang lain, termasuk juga;
membunuh diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, membantai diri sendiri, atau kematian
akibat perbuatan tangan sendiri.26
Homicide: kekerasan langsung dan mematikan yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain.
2.4. Resolusi Konflik Oleh Galtung
24
Ibid, 190. 25
Ibid, 70. 26
Ibid, 77.
23
Salah satu bentuk manejemen konflik yang sering digunakan adalah resolusi konflik.
Resolusi konflik merupakan suatu upaya menangani sebab-sebab kanflik dan berusaha
membangun hubungan yang baru yang lebih baik diatara pihak-pihak yang berkoflik.
Resolusi ini mengacu pada strategi-stategi menagani konflik dengan harapan tidak hanya
mencapai kesepakatan untuk mengahiri konflik tetapi juga mencapai suatu resolusi dari
berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebab. Resolusi konflik sendiri bisa dibagi
menjadi pengaturan diri sendiri (self religition) atau melalui kehadiran pihak ketiga (try
party intervetion).
Galtung melihat perdamaian dalam dua defenisi yakni pertama, perdamaian adalah
tidak adanya atau pengurangan kekerasan dalam bentuk apapun. Kedua, perdamaian
merupakan tanpa kekerasan dan kreatif mentransformasi konflik. Kedua definisi ini berlaku
kerja perdamaian yakni bekerja untuk mengurangi kekerasan dengan cara damai serta studi
perdamaian untuk kondisi kerja perdamaian. Definisi pertama berorientasi pada kekerasan
dimana perdamaian menjadi negasinya. Sedangkan definisi kedua berorientasi pada konflik
dimana perdamaian merupakan konteks konflik yang terungkap tanpa kekerasan dan kreatif.
Untuk mengetahui tentang perdamaian kita harus tahu tentang konflik dan bagaimana
konflik bisa diubah, baik tanpa kekerasan dan kreatif. 27
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas maka perdamaian dapat didefenisikan sebagai proses menghadirkan damai tanpa
melakukan kekerasan langsung maupun tidak langsung. Proses menghadirkan damai
menunjuk pada tindakan kreatif individu agar dapat mentransformasi konflik yakni denga
cara mengetahui konflik, bagaimana konflik dapat diatasi, diubah secara kreatif tanpa
menggunkan kekerasan. Dengan demikian perdamaian berarti tidak adanya kekerasan dalam
segala bentuk maupun konflik yang berlangsung dengan cara yang konstruktif. Perdamaian
27
Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization,
(London and New Dehli: Sage Publication,1996), 9.
24
ada di dalam interaksi masyarakat tanpa kekerasan serta dapat mengelola konflik mereka
secara positif.
Galtung membagi perdamaian dalam dua tipologi yakni perdamaian negatif dan
perdamaian positif. Perdamaian negatif diartikan sebagai tidak adanya kekerasan atau tidak
adanya perang.28
Dengan menghadirkan damai negatif maka pihak yang sedang berkonflik
tidak akan saling bertemu dan tidak akan tercipta ruang bersama untuk menghasilkan
perdamaian yang diinginkan. Integrasi yang diinginkan semua pihak tidak terwujud oleh
karena pemisahan yang dilakukan pemerintah dengan menempatkan perlindungan
sekuritas.29
Klasifikasi perdamaian negatif adalah pesimistis, kuratif, dan perdamaian tidak
selalu dengan cara damai.30
Gagasan perdamaian sebagai tidak adanya kekerasan kolektif
terorganisir antara kelompok manusia khususnya negara-negara, antar kelas, antar ras, dan
kelompok etnis merujuk pada jenis perdamaian negatif.31
Perdamaian positif menunjuk pada
suasana damai di mana terdapat kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan. Damai positif
menganjurkan interaksi mendalam warga masyarakat demi menghadirkan integrasi sosial.
Menghadirkan perdamaian positif diperlukan kerja sama dengan tujuan memperbaiki masa
lalu dan membangun kembali masa depan. Kerja sama ini dapat dihadapi serta menjadi
tanggung jawab bersama.32
Menurut Galtung Perdamaian positif menghadirkan hal-hal baik dalam masyarakat,
khususnya kerja sama dan integrasi antara kelompok yang ada dalam masyarakat.
Klasifikasi perdamaian positif adalah integrasi struktural, optimis, preventif, perdamaian
28
Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept of Positive and Negative Peace in the Contemporary
Ethiopia: an Appraisal,” International Journal of Political Sciences and Development. Vol 3 No 6, ISSN:
2360-784X (2015): 251.
29
Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 190-191. 30
Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252. 31
Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252. 32
Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 191.
25
dengan cara damai. Perdamaian positif menunjuk pada kondisi sosial di mana kegiatan
mengeksploitasi
dapat diminimalkan atau dihilangkan dan di mana tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun.
Kehadiran damai positif untuk memberikan situasi yang merangkul, adil, serta menjaga
harmoni ekosistem.
Perdamaian positif di isi dengan konten positif seperti pemulihan hubungan,
penciptaan sistem sosial yang melayani kebutuhan seluruh penduduk dan resolusi
konstruktif konflik.33
Damai yang positif dimaknai dalam pemahaman Galtung mengenai
rekonsiliasi. Menurut Galtung, rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihak-pikah yang
terlibat dalam koflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa
sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan. Dari pengertian ini maka
dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan bentuk akomodasi dari pihak yang bertikai
untuk saling menghargai dan tidak saling membenci terhadap pihak lawan.34
Pemahaman ini
menyatakan bahwa rekonsiliasi sebagai bagian dari resolusi konflik merupakan tahapan
perdamaian yang akan memakan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi. Sebab rekonsiliasi merupakan proses mengejar suatu perdamaian dengan
menyelesaikan akar permasalahan dan mengampuni, serta dapat memperoleh suatu
komunikasi yang mengacu pada makna perdamaian yakni proses menghadirkan damai tanpa
kekerasan langsung maupun tidak langsung maka ada dua tipe yang dikemukan yakni
perdamaian negatif dan perdamaian positif.
Perdamaian negatif yaitu dalam siasana perang karena intervensi pemerintah
melalui pengamanan dan perlindungan aparat keamanan, dan perdamaian positif merupakan
situasi tidak adanya kekerasan baik kekerasan langsung maupun tidak langsung. Perdamaian
33
Galtung dalam Temesgen Tilahun, Johan Galtung’s Concept, 252-253. 34
Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.
26
positif terwujud melalui kerja sama antara masyarakat agar dapat menghadirkan integrasi
sosial yakni pemulihan hubungan dalam masyarakat. Perdamaian positif berorientasi pada
masa lalu dan masa yang akan datang. Dengan demikian perdamaian positif dapat
dipertahankan oleh karena kerja sama setiap anggota masyarakat untuk menghadirkan
keadilan dan kesejahteraan.
Kesimpulan
Kasta sejak dahulu sampai sekarang telah menuai banyak problematik diantaranya
mengenai aturan-aturan antar kasta dalam berbagai segi kehidupan yang banyak mengalami
perubahan hal ini terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat Kei. Walaupun dalam relasi
mereka hidup dan menyatuh bersama tetapi tetap saja, kasta tetap ada pada masyarakat Kei
yang secara jelas mampu membagi masyarakat Kei secara hirarki menjadi golongan-
golongan tertentu. Hanya saja memang terjadi berubahan, terutama dalam hal relasi mereka.
Istilah yang kemudian tepat dalam hal ini adalah konsep dinamika. Teori-teori di atas
mencoba mengatasi dualisme kebebasan dan determinisme. Disatu pihak teori ini tidak
terlepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan memenjarakan tindakan-
tindakan dalam pembatas-pembatas, dipihak lain teori ini memberi peluang bagi konsep
individu otonom, bebas dan rasional. Dimana setiap orang dikondisikan oleh kondisi oleh
lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan tindakan tidak bekerja
seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategi dalam suatu
lingkungan sosial tertentu.