pendidikan dalam sistem perpolitikan di indonesia (sistem sentralisasi vs desentralisasi)

43
PENDIDIKAN DALAM SISTEM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (SISTEM SENTRALISASI VS DESENTRALISASI) January 26th, 2012 | Author: Ismail SM PENDIDIKAN DALAM SISTEM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (SISTEM SENTRALISASI VS DESENTRALISASI) Penulis : ISMAIL & LUGTYASTONO BN Abstract The title of this article is Education in Indonesian Political System (Centralized versus Decentralized Systems). The purpose of this article is to explain the difference between centralization and decentralization of education system in Indonesia as well as the ever prevailing weakness of centralized and decentralized system of education in Indonesia. Decentralization of education affected political content should not only want to create the impression of democratization in education, but must also bring to a positive impact on improving the quality of teaching and learning in schools and outside. Therefore, the decentralization of education and awareness should be supported by the high participation of the community, also by the high quality resources of education providers in the area. Decentralization of education is a necessity to bring Indonesia toward well educated and developed country. Education through a democratic society will bear a critical and responsible. Democratic society will be able to create a civil society that is highly cultured society that upholds human values which appreciate human rights. To lead an ideal decentralization of education in Indonesia, it is need a big commitment of authority and good sinergy of all community.

Upload: chaing-muhammad-saing

Post on 28-Nov-2015

84 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

pendidikan politik

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

PENDIDIKAN DALAM SISTEM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (SISTEM SENTRALISASI VS DESENTRALISASI)

January 26th, 2012 | Author: Ismail SM

PENDIDIKAN DALAM SISTEM PERPOLITIKAN DI INDONESIA(SISTEM SENTRALISASI VS DESENTRALISASI)

Penulis : ISMAIL & LUGTYASTONO BN

 Abstract

 

The title of this article is Education in Indonesian Political System (Centralized versus Decentralized Systems). The purpose of this article is to explain the difference between centralization and decentralization of education system in Indonesia as well as the ever prevailing weakness of centralized  and decentralized system of education in Indonesia. Decentralization of education affected political content should not only want to create the impression of democratization in education, but must also bring to a positive impact on improving the quality of teaching and learning in schools and outside. Therefore, the decentralization of education and awareness should be supported by the high participation of the community, also by the high quality resources of education providers in the area. Decentralization of education is a necessity to bring Indonesia toward well educated and developed country. Education through a democratic society will bear a critical and responsible. Democratic society will be able to create a civil society that is highly cultured society that upholds human values which appreciate human rights. To lead an ideal decentralization of education in Indonesia, it is need a big commitment of authority and good sinergy of all community.

 

 

A. Latar Belakang

Kajian dalam tulisan ini terkait dengan politik pendidikan di Negara Republik Indonesia. Politik Pendidikan merupakan kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya yang memfokuskan pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta kemana perangkat tersebut diarahkan. Kajian Politik Pendidikan terkonsentrasi pada peranan negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dan berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik.

Page 2: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Dalam setiap wilayah kekuasaan politik yang disebut negara, selalu akan bisa ditemukan seperangkat tindakan yang ditujukan untuk mengatur, mendidik, atau memperbaiki mutu dari mereka yang menjadi rakyatnya. Usaha itu, jika dijalankan melalui sarana yang ditetapkan menurut prosedur yang resmi, artinya lewat undang-undang, akan disebut dengan kebijakan publik formal. Pada lain pihak, selain yang formal, akan selalu terdapat usaha lain yang dijalankan atas jerih payah warga itu sendiri, sebenarnya tanpa campur tangan pemerintah mereka sudah bisa menangani masalah itu sendiri, akan disebut sebagai usaha informal. Artinya rencana, pelaksanaan dan penilaian akan dijalankan secara resmi dan terbuka, dan kinerja yang dipertunjukkan juga bisa diamati oleh semua orang.

Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 235 juta jiwa (Hasil sensus Penduduk Tahun 2010) dengan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan (lebih dari 17 ribu pulau). Letaknya sangat strategis di antara benua Asia dan Australia dengan iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Indonesia kaya dengan sumber-sumber daya alam baik dalam bumi berupa hasil-hasil pertambangan, di atas bumi tanam-tanaman sumber bahan makanan dan industri, dan dalam laut berupa bermacam-macam biota laut. Namun demikian, kesejahteraan rakyat terasa makin jauh dan berbagai persoalan hidup bermunculan seperti kemiskinan, pengangguran, bencana alam, kriminalitas, harga bahan pokok yang terus melonjak, serta biaya pendidikan yang semakin tinggi. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode, yaitu: periode 1956-1965 di bawah pemerintahan presiden Soekarno; periode 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru Soeharto, dan periode reformasi sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Pada pertengahan 1997 negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat. Akibat dari krisis tersebut, harga-harga melambung tinggi, sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi seperti itu Pemerintah berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah. Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai Pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Berhentinya Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi di tanah air.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan apa yang kita harapkan itu? Tiada lain adalah perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, memiliki akuntabilitas tinggi, terwujudnya good governance, adanya kebebasan berpendapat. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan makin mendekatkan bangsa kita untuk mewujudkan tujuan nasional. Maka dari itu gerakan reformasi harus mampu mendorong perubahan mental para pemimpin dan rakyat, yakni menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan.

Page 3: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), populer di masyarakat banyaknya tuntutan reformasi. Tuntutan tersebut didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Beberapa tuntutan reformasi itu adalah: (a) Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); (c) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (d) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (e) Mewujudkan kebebasan pers; dan (f) Mewujudkan kehidupan demokrasi. Mengiringi era Reformasi ini terjadilah pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.

Desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan kekuasaan ke pemerintah daerah otonom dilakukan dalam berbagai bidang atau urusan, kecuali dalam 7 bidang, yaitu:  bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, yang masih menjadi urusan pemerintah pusat. Sebelum era reformasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat, peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim, partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas).

Dengan digulirkannya otonomi daerah menjanjikan harapan untuk mempercepat perkembangan sektor pendidikan di Indonesia. Kunci utama yang memicu akan timbulnya harapan baru tersebut berjalan kearah desentralisasi.  Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu yang tercantum pada pada UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3  yang berbunyi :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Kondisi geografis, etnis, sosial, dan budaya Indonesia yang beraneka ragam secara objektif menjadi faktor pendorong utama perlunya penataan sistem dan layanan pendidikan yang lebih demokratis sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat bersangkutan. Untuk dapat menghasilkan pendidikan yang lebih bermutu di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik, maka wewenang manajemen pendidikan nasional tidak cukup hanya dimiliki oleh pemerintah, lebih-lebih pemerintah pusat yang selama ini lebih banyak mendominasi khususnya bidang manajemen pendidikan. Seluruh komponen sumber daya yang ada di masyarakat seyogianya mendapatkan peluang yang sama untuk mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan secara mandiri demi terselenggaranya suatu sistem pendidikan yang berkualitas. Hal ini mendorong perlunya penataan kembali manajemen pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke otonomi luas secara bertahap.

Page 4: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Berangkat dari latarbelakang sebagaimana diuraikan, maka dipandang urgen untuk mengangkat kajian ini dengan topik: ‘‘Pendidikan dalam Sistem Perpolitikan Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Sistem Desentralisasi ).“

B. Sentralisasi Pendidikan di Indonesia

 

1. Pengertian dan ciri Sentralisasi

Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah Pusat, Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-undang. Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluruh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.

Lebih lanjut tentang kelebihan sistem sentralisasi diantaranya:

1. Organisasi menjadi lebih ramping dan efisien, karena seluruh aktivitas organisasi terpusat sehingga pengambilan keputusan lebih mudah.

2. Perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegrasi.3. Peningkatan resource sharing (berbagi sumber daya) dan sinergi, dimana sumberdaya

dapat dikelola secara lebih efisien karena dilakukan secara terpusat.4. Pengurangan redundancies aset dan fasilitas lain, dalam hal ini satu aset dapat

dipergunakan secara bersama-sama tanpa harus menyediakan aset yang sama untuk pekerjaan yang berbeda-beda.

5. Perbaikan koordinasi; koordinasi menjadi lebih mudah karena adanya unity of command.6. Pemusatan expertise (Keahlian); keahlian dari anggota organisasi dapat dimanfaatkan

secara maksimal karena pimpinan dapat memberi wewenang.

 

Sedangkan kelemahan  sistem sentralisasi adalah:

1. Kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas keputusan. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi seringkali tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sekiranya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut.

2. Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi. Anggota organisasi sulit mengembangkan potensi dirinya karena tidak ada wahana dan dominasi pimpinan yang terlalu tinggi.

Page 5: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

3. Penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi sangat bergantung pada daya respon sekelompok orang saja.

4. Peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organisasi akan semakin rumit karena banyaknya masalah pada level unit organisasi yang di bawah.

5. Perspektif luas, tetapi kurang mendalam. Pimpinan organisasi akan mengambil keputusan berdasarkan perspektif organisasi secara keseluruhan tapi tidak atau jarang mempertimbangkan implementasinya akan seperti apa.

 

2. Sentralisasi Pendidikan di Indonesia

Sebagai Negara berkembang sejak masa Orde Baru Indonesia mengikuti sistem sentralistik. Sehingga penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, semua keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya. Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan seperti: 1) Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan; 2) Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran; 3)Keseragaman pola pembudayaan masyarakat; 4) Melemahnya kebudayaan daerah; dan 5)Kualitas manusia tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan empati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai menjadi sulit untuk diwujudkan.

 

1. B.  Dasar Yuridis Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

 

Desentralisasi pendidikan di Indonesia telah diamanatkan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yang disebutkan pada Pasal 31 ayat 4, “bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Meskipun desentralisasi ini sudah dikenal lama, namun penerapannya tidak pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pasca tahun 1999 setelah gerakan reformasi, sejalan dengan perubahan paradigma pada pemerintahan umum yang lebih demokratis, yakni perubahan dari government role (pemerintah yang berperan) ke community role (masyarakat yang berperan), keinginan untuk melaksanakan desentralisasi muncul kembali ke permukaan. Berdasar pada Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah akhirnya desentralisasi mulai diberlakukan secara resmi pada tahun 2001 pada masa

Page 6: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Perkembangan politik yang demikian cepat pada masa reformasi ini membuat kedua undang-undang di atas pun diganti dengan undang-undang yang baru yakni Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang dapat diurus oleh pemerintah daerah. Pada bidang ini pada kenyataannya tidak serta-merta segala sesuatunya diurus oleh pemerintah daerah.  Akan tetapi, dalam hal pengelolaan secara penuh segala sesuatunya dirancang secara bertahap seiring dengan kesiapan dan ketersediaan pemenuhan persyaratan yang dibutuhkan. Dengan demikian, otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan.

 

1. D.      Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

 

1. 1.      Karakteristik Desentralisasi

Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :

a.         Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.

b.        Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.

c.         Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.

Page 7: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

d.        Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.

e.         Mengakomodasi kepentingan poloitik.

f.         Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :

a.       Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.

b.      Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan, dalam hal ini pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dan pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/ kota sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Menurut Tilaar, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tilaar, 2002).

Ketiga hal tersebut dapat diuraikan berikut. Pertama, Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean governance).

Kedua, Pengembangan “Social Capital”. Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.

Ketiga, Pengembangan Daya saing. Dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja

Page 8: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter. Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masyarakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.

Dalam implementasinya sistem desentralisasi ini berdampak positif karena keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun sebaliknya juga terjadi ekses negatif dengan munculnya euforia yang berlebihan di tingkat pemerintah daerah yang bersembunyi di balik undang-undang dimana wewenang itu hanya menguntungkan golongan tertentu serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerintah pusat. Tidak heran bila pada beberapa tahun terakhir ini banyak sekali pimpinan daerah di Indonesia (Gubernur, Walikota, Bupati, pejabat dinas pendidikan dll) yang terseret berbagai kasus hukum yang tangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ini tentu menjadi indikator bahwa ketercapaian tujuan mulia dari otonomi daerah dan desentralisasi masih jauh dari harapan.

 

1. 2.      Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Pada bidang ini pada kenyataannya tidak serta-merta segala sesuatunya diurus oleh pemerintah daerah.  Akan tetapi, dalam hal pengelolaan secara penuh segala sesuatunya dirancang secara bertahap seiring dengan kesiapan dan ketersediaan pemenuhan persyaratan yang dibutuhkan. Dengan demikian, otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan.

Otonomi daerah bidang pendidikan yang berjalan sampai saat ini boleh dikatakan otonomi setengah hati. Mengapa? Pasalnya, segala kebijakan pendidikan masih terpusat di Jakarta. Sebagai salah satu bukti nyata adalah adanya Ujian Nasional (UN). Jangankan sekolah (yang katanya memiliki otonomi) pemerintah daerah (pemkab dan pemkot) pun tidak diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan standar mereka sendiri dalam menentukan kelulusan. Sehingga pada akhirnya asas keadilan tidak terjadi karena setiap daerah yang sejatinya memiliki kemampuan dan dalam kondisi yang berbeda-beda akhirnya dengan terpaksa harus memiliki standar kelulusan yang sama.

Otonomi di bidang pendidikan bukan sekedar merubah status kepegawaian tenaga pendidik dari pegawai pusat menjadi pegawai daerah (di bawah pemerintah kabupaten/kota). Kalau otonomi

Page 9: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

daerah disamakan dengan perubahan status kepegawaian semata pemerataan pendidikan yang diharapkan dari pemberlakuan otonomi daerah bisa jadi tidak pernah tercapai. Pada sektor pendidikan, pemerintah seolah-olah telah memberikan otonomi sepenuhnya antara lain dengan kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diikuti dengan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Semua itu (teorinya) ditujukan agar sekolah menjadi otonom. Tapi, sekali lagi pemerintah pusat hanya memberi kewenangan yang semu. Kecuali pemerintah pusat mau berubah dengan mengevaluasi kebijakannya yang anti-otonomi semisal ujian nasional yang standarnya setiap tahun selalu dinaikkan walaupun terjadi banyak kecurangan terstruktur dan ketidakjujuran berjamaah di sana sini.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, Huda (1998:4) mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels (Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari atasan kepada bawahan).

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan, dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal.

Menyadari akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan dan kenyataan yang ada, maka dalam rangka menyongsong otonomi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah dibutuhkan serangkaian inovasi yang terutama difokuskan pada:1) Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah; 2) Peran aktif masyarakat di bidang pendidikan; dan 3) Guru yang profesional dan siswa yang berprestasi.

Ketiga sektor inovasi tersebut lebih lanjut dapat dijelaskan signifikansinya berikut. Pertama, Pengelolaan manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS). Filosofi MBS adalah sekolah adalah lembaga yang paling tahu seluk beluk pengelolaan pendidikan pada satuannya. Kepala sekolah semestinya memiliki otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di seluruh satuan dan jenjang pendidikan. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan. Upaya mewujudkan sekolah yang mandiri dan kreatif tidak akan pernah terwujud tanpa adanya pemberian kepercayaan yang penuh bagi sekolah itu untuk mengaktualisasikan potensinya. (Anonim, 2000). Untuk itu, kepala sekolah sebagai motor utama beserta seluruh komponen sekolah harus mengambil momentum ini dengan bangkit menuju kemandirian dan senantiasa kreatif dalam melakukan aktivitas  pengembangan sesuai dengan potensinya.

Page 10: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Kedua, Peran aktif masyarakat di bidang pendidikan. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Sosialisasi cara pandang ini kepada masyarakat perlu terus dilakukan agar kepedulian, keterlibatan, dan peranserta aktif masyarakat pada dunia pendidikan makin maksimal. Sekolah didorong agar mampu melakukan suatu terobosan baru guna memperoleh sumber pembiayaan pendidikan secara mandiri. Otonomi pengelolaan pendidikan membawa konsekuensi pada semakin berkurangnya campur tangan pemerintah. Oleh karenanya, peran orang tua/masyarakat melalui Komite Sekolah atau lainnya sangat menentukan kelangsungan suatu sekolah. Sekolah perlu mencoba dan meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait sehingga program kemitraan, link and match dapat terwujud.

Ketiga, Terwujudnya guru professional yang menghasilkan siswa yang berkualitas. Guru profesional adalah guru yang meramu kualitas dan integritasnya. Ia tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tetapi juga harus secara terus-menerus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya sesuai tuntutan kompetensinya sepanjang jaman. Guru adalah ujung tombak pendidikan, sehingga keberhasilan suatu sekolah ditentukan oleh kinerja guru yang profesional dan optimal. Dalam suatu sistem pendidikan, kualitas siswa yang dihasilkan merupakan suatu tolok ukur dari keberhasilan sebuah sistem pendidikan. Kualitas siswa akan terlihat ketika mereka berada di masyarakat. Untuk mewujudkan peserta didik yang berkualitas, maka suatu keharusan diperlukan guru yang berkualitas pula.

 

1. 3.      Implementasi Desentralisasi Pendidikan melalui MBS

Desentralisasi Pendidikan Sekolah dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari School-based Management. MBS merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan keterlibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan kebutuhan setempat. Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut.

1. Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru.

2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat

pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,

manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.

 

Kebijakan MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain

Page 11: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Menurut Usman (2009:624), prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:

1)      Komitmen; kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS

2)      Kesiapan; semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS.

3)      Keterlibatan; pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.

4)      Kelembagaan; sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.

5)      Keputusan; segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang mengerti tentang pendidikan

6)      Kesadaran; guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum

7)      Kemandirian; sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.

8)      Ketahanan; perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stake holder sekolah.

 

Beberapa indikator bahwa MBS dinilai berhasil di sekolah ditunjukkan hal-hal berikut: 1) Adanya kemandirian sekolah yang kuat; 2) Adanya kemitraan sekolah yang efektif; 3) Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat; 4) Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat; dan 5) Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah. (Usman, 2009:629).

Dalam kenyataannya, setelah diterapkan beberapa tahun di Indonesia program MBS belum sepenuhnya mencapai tujuan ideal, terbukti masih banyak terjadinya intervensi kepentingan-kepentingan elit politik yang keluar dari tujuan edukatif.

 

1. 4.      Lahirnya SKB 5 Menteri: Catatan Kegagalan Desentralisasi Pendidikan

Page 12: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Di ujung tahun 2011, pemerintah RI telah menetapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri, yaitu Menteri Kebudayaan dan Pendidikan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Tentang distribusi guru (mutasi). SKB tersebut menurut rencana diterapkan mulai Januari 2012, yang secara umum isinya meliputi: 1) Penerapan multi teaching; guru mengajar lebih dari satu mata pelajaran, yaitu mapel mayor dan mapel minor. 2) menerapkan rasio siswa:guru (RSG) 1:24, artinya 1 guru mengajar 24 murid. Hingga tahun 2014 terdapat kelebihan guru sekitar 500.000, dengan rasio ini kelebihan guru bisa ditekan menjadi 180.000. 3) Menata distribusi guru dengan menerapkan mutasi antar kota, antar provinsi.4) mengangkat 50 ribu guru sampai tahun 2015. 5) Mereformasi LPTK. 6) Memberi beasiswa penuh dan asrama bagi mahasiswa baru calon guru. 7) Menerapkan uji kompetensi dasar sebelum proses PLPG.(Lihat: Koran Surya, Minggu 1 Januari 2012, hlm.1).

Kebijakan mutasi guru antar kota dan antar provinsi memberi semangat baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, setelah sekian lama menganut otonomi daerah. Dulu ketika otoda, harapannya kesejahteraan guru lebih terjamin, tapi faktanya ada raja-raja kecil yang berkuasa yang lebih mementingkan urusan politiknya daripada masalah guru secara umum. Secara evaluatif, sesungguhnya ini merupakan indikator kegagalan nyata pelaksanaan otonomi daerah termasuk desentralisai pendidikan. Kebijakan baru ini akan memberi kewenangan bagi pemerintah provinsi dan pusat ikut mengatur masalah guru. Dengan demikian menurut hemat penulis akan lebih kondusif, sejauh persoalan di luar pendidikan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Diharapkan kebijakan baru ini akan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan guru karena ada pemerataan pendidikan dan kualitas guru.

Menurut Muchlas Samani (Jawa Pos, 31 Des 2011:4), adalah tugas pemerintah untuk mempersempit gap mutu antarsekolah, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi. Jika dengan wajib belajar pemerintah meratakan perolehan jenjang pendidikan, sudah saatnya pemerintah meratakan mutu pendidikan. Ia menegaskan pula, bahwa guru bermutu menjadikan pendidikan bermutu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam konsep pendidikan, menurut Samani, guru dikenal beyond system. Jika gurunya bagus, walaupun sistemnya kurang baik, guru akan mampu melakukan improvisasi sehingga mutu pembelajaran akan tetap baik. Sebaliknya, jika mutu guru jelek, walaupun sistemnya bagus, pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik.

Melengkapi kegagalan otonomi daerah dan desentralisasi juga ditunjukkan dengan gagalnya program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang telah berjalan 6 tahun dan dievaluasi ternyata dari 1.305 sekolah tidak ada yang layak jadi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Kelemahan utamanya adalah minimnya guru yang berijazah S-2. (Lihat: Jawa Pos, Rabu 4 Januari 2012:1).

 

5. Mensinergikan Kebijakan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan

   

    1. Faktor Kekuatan dan Kelemahan Sentralisasi Pendidikan.

Page 13: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.

Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah, daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.

Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasi bangsa. Dengan kata lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI.

 

   2. Faktor Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan.

 

Berdasar pengalaman, kegagalan implementasi desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal berikut: 1) Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi  memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa. 2) Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah. 3) Kemampuan keuangan daerah yang terbatas. 4) Sumber daya manusia yang belum memadai. 5) Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai. 6)Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang. 7) Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.

Pelaksanaan disentralisasi pendidikan yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :

a.    Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah antar individu warga masyarakat.

Page 14: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

b.    Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.

c.    Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.

d.   Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan.

e.    Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

f.     Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam dikarenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda, mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

g.    Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

 

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, desentralisasi pendidikan harus dilaksanakan secara hati-hati dan dengan strategi yang tepat. Beberapa hal yang perlu lebih diperhatikan oleh para pemegang kebijakan antara lain:

a.    Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.

b.    Masa transisi benar-benar digunakan untuk menyiapkan berbagai hal yang dilakukan secara gradual dan dijadwalkan setepat mungkin.

c.    Adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadap pendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.

d.   Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.

e.    Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.

f.     Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.

Page 15: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

g.    Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten/kota.

 

Disamping dampak negatif sebagaimana diuraikan sebelumnya, tentu saja kebijakan disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan adanya dampak positif berikut.

a.    Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan terkait daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan pusat.

b.    Manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri.

c.    Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.

d.   Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.

e.    Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

1. Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki.

2. Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional.

3. Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat.

4. Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.

 

Dari deskripsi tentang faktor kekuatan dan kelemahan kebijakan sentralisasi dan desentralisasi pendidikan di atas, dan berdasar pada pengalaman implementasi kebijakan tersebut sejak era reformasi, sudah semestinya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi setiap pemegang kebijakan di semua lini pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia untuk mencari titik temu antara kedua faktor tersebut sehingga sehingga terwujud sinergitas untuk mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan nasional yang ideal dalam kerangka menghasilkan manusia Indonesia yang unggul.[]

 

F. Penutup

Page 16: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

 

    1. Simpulan

 

Berangkat dari uraian tersebut maka dapat ditarik simpulan berikut.

Pertama, implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia tidak dapat dipungkiri pada kenyataannya telah melahirkan dampak positif dan negatif bagi pengelolaan pendidikan di daerah. Berdampak positif karena keputusan dan kebijakan pendidikan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun sebaliknya seringkali juga terjadi ekses negatif dengan munculnya euforia yang berlebihan di tingkat pemerintah daerah yang bersembunyi di balik undang-undang dimana wewenang itu hanya menguntungkan golongan tertentu serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Ini tentu menjadi indikator bahwa ketercapaian tujuan mulia dari otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan masih jauh dari harapan.

Ketiga, merujuk faktor kekuatan dan kelemahan kebijakan sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, dan berdasar pada pengalaman implementasi kebijakan tersebut sejak era reformasi, sudah semestinya dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi setiap pemegang kebijakan di semua lini pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia untuk bersinergi melaksanakan kebijakan tersebut dengan strategi yang tepat demi mencapai tujuan pendidikan nasional dalam kerangka menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas dan sejahtera lahir dan batin.

 

2. Rekomendasi

 

Setelah membahas dan menyimpulkan kajian ini, diajukan rekomendasi sebagai berikut.

Pertama, berkaitan dengan kebijakan otonomi pendidikan, yang mutlak perlu diperhatikan pimpinan daerah adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh provinsi/ kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien melalui pendekatan manajemen berbasis masyarakat.

Kedua, dalam kerangka implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di setiap satuan pendidikan, hendaknya pemerintah lebih berposisi sebagai ”fasilitator” dan “bukan pengendali”.

Ketiga, dalam konteks Indonesia, kebijakan desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, agar implementasinya ke depan berjalan lebih maksimal dan ideal maka harus ada decission support yang kuat dari pimpinan daerah yang bersih dan akuntabel yang didukung sumber daya yang bermutu dari para penyelenggara pendidikan di daerah serta

Page 17: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

kepedulian dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat luas terhadap penyelenggaraan pendidikan.

 

[][][][][]

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anonim. 2000. Manajemen pendidikan berbasis sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Huda, N. 1998. Desentralisasi Pendidikan: Gagasan dan Pelaksanaannya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Jakarta, 15-16 Desember.

Jawa Pos, Koran Harian Pagi, “Program RSBI Gagal Total”, (Surabaya, Rabu 4  Januari 2011, hlm.1).

Muchlas Samani, Artikel Jawa Pos, Koran Harian Pagi, “Pendidikan, Kartu As atau Kartu Mati” (Surabaya, Sabtu 31  Desember 2011, hlm.4).

Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1992 Tentang pokok Pemerintah Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Purwodarminto  1991 . Kamus Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka

“Sistem Pendidikan Nasional ( UU RI No 20 Tahun 2003 ) beserta peraturan pelaksanaanya”. 2003. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

“Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989) Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Surya, Koran Harian Pagi, “SKB 5 Menteri Segera diterapkan”, (Surabaya, Minggu 1 Januari 2012, hlm.1)

Tilaar, H. A. R. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 18: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. (online). (www.indonesia.go.id, diakses 20 September  2011

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. (online). (www.indonesia.go.id, diakses 20 September  2011)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. (online). (www.indonesia.go.id, 20 September  2011)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Pokok pokok Pemerintah Daerah otonomi dan Pokok pokok penyelenggaraan pemerintahan. (online). (www.indonesia.go.id, diakses 26 Januari 2009)

Usman, Husaini. 2009. Manajemen: Teori Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 19: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Makalah

OTONOMI DAERAH DAN PENDIDIKAN

Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

 Filsafat dan Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu:

1.      Dr. Suyatno, M.Pd.

2.      Dr. Syamsul Shodiq, M.Pd.

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia sedang berada ditengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah

pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya

merupakan kepanjangan tangan pusat dan di daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi

dankabupaten untukmengambil tanggungjawabyang lebih besar dalam pelayanan umumkepada

masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.

Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian pelayananantara pemerintah pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis, maupun teknis.Secara politis,

desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari tuntutan

reformasi yang disuarakan mahasisawa yang turun ke jalan berdemonstran pada bulan Mei tahun

1998 menuntut agar yang berkuasa pada saat itu turun tahta.Mahasiswa berhasil menggulingkan

pemerintah dan akhirnya Wakil Presiden B.J. Habibie mendapatkan mandat untuk melanjutkan

pemerintahan.

Page 20: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Untuk menjamin proses desenralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada

prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor22

Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.

Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang

konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya. Dalam Negara yang majemuk seperti Indonesia

misalnyai Kabupaten Paser belumtentu sama ukuran dengan kabupaten/kota  lainnya.

Penyusunanpaket otonomi dalam perancangannya. Dalam proses ini komunitas-komunitas lokal

perlu dilibatkan pemerintah kabupaten Paser dan DPRD untuk menjamin proses desentralisasi

secara lebih baik dan bertanggungjawab, di mana mereka sebagai salah satu stakeholder yang

memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah.

BAB II

OTONOMI DAERAH DAN PENDIDIKAN

2.1   Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem sentralisasi ke

sistem desntralisasi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah yang bersifat operasional dalam rangka birokrasi pemerintahan.Tujuan otonomi adalah

mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah anatara lain;

menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan nmeningkatkan daya saing daerah dalam

proses pertumbuhan.

Sejalan dengan penyerahanurusan, apabila urusan tersebut akan menjadi beban daerah,

maka akan dilaksanakan.  Proses dari sentralisasi ke desentarlisasi ini pada dasarnya tidak

semata-mata desentaralisasadministratif, tetapi  juga bidang politik dan sosial budaya.

Page 21: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Dengan demikian, dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi

/administrasi lembaga pemerintahan daerah saja, akan tetapi berlaku juga pada

masyarakat(publik), badan atau lembaga swasta dalam berbagai bidang.

Dengan otonomi daerah ini terbuak kesempatan bagi pemerintah daerah secara langsung

membangun kemitraan dengan public dan pihak swasta daerah yang bersangkutan dalam

berbagai bidang pula.

2.1.1          Konsep Pelaksanaan Otonomi Daerah

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adalah  upaya memaksimalkan hasilkan

yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan

otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan

penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta

memelihara kesinambungan fiskal secara nasional.

2.1.2          Percepatan Otonomi Daerah

Percepatan pelaksanaan otonomi daerah sebagai implementasi Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah yang telah bergulir di daerah.

Banyak harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah, seiring dengan itu tidak

sedikit pula masalah, tantangan, dan kendala yang dihadapi oleh daerah.Otonomi daerah ini

merupakan fenomena politis yang sangat dibutuhkandalam era globalsasidan demokrasi, apalagi

jika dikaitkan dengan tantangan masa depan memasuki era    perdagangan bebas yang antara lain

ditandai dengan tumbuhnya berbagai bentuk kerja sama regional, perubahan pola atau sistem

informasi global.

Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh

kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Pemerintahan

daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah

dengan melakukan indentifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan maupun menetapkan

belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, efektif, termasuk kemampuan perangkat

Page 22: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

daerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun

kepada publik/masyarakat.

Perkembangan situasi yang terjadi, perubahan sistem pemerintahan berupa penerapan

otonomi daerah yang telah digulirkan pada tanggal 1 januari 2001, serta reorganisasi institusi

pemerintahan, mengharuskan pemerintah pusat menyelaraskan semua kegiatan pemerintah

sesuai dengan perkembangan di lapangan ( daerah ), dengan kapasitas daerah meliputi kapasitas

induvidu, kelembagaan, dan sistem yang telah dimiliki daerah.

2.1.3          Kebijaksanaan dan Strategi Otonomi Daerah

Pembangunan daerah sebagi bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa

dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan

dan tanggung  jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat prinsip keterbukaan, partisipasi

masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas,

nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik

korupsi,kolusi, dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan

daerah.

2.2   Otonomi Pendidikan

Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomoe 22

Tahun 1999 tentang otonomi daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manaemen

pendidikan yaitu member  ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk

menemukan strategi kompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang

berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpegang secara signifikan dengan

pembangunan pendidikan. Setidaknya ada empat dampak positif untuk mendukung kebijakan

desentralisasi pendidikan, yaitu:

1.         Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa

mengelola dan memberdayakan sumber daya yang dimiliki.

2.         Efisiensi keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak local dan

mengurangi biaya operasional.

Page 23: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

3.         Efisiensi administrasidengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan

menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat.

4.         Perluasaan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaaraan pendidikan pada daerah

pelosok sehingga terjadi perluasandan pemerataan pendidikan.

Perlakuan desentralisasi pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar

pendidikan yang demokratis, transparan, efesien, dan melibatkan partisipasi masyarakat

daerah.Muctar Buchori (2001) Pendidikan merupakan factor penentu keberhasilan pembangunan

manusia, pengembang pengetahuan, ketrampilan, nilai dan kebudayaan.

Desentaralisasi pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu dekonstrasi, delegasi,

dan devolusi ( Fiorestal 1997).

Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagaian kewenangan kepda pemerintah atau

lembaga yang lebih rendah dengan supervise dari pusat.Delegasi mengandung makna terjadinya

penyerahankekuasaan penuh sehingga tidak lagi memerlukan supevisi dari pemerintah pusat.

Sememntara delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh

sehingga tidak lagi memerlukan supervise darp pemerintah pusat. Pada tingkat devolusi di

bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi empat cirri, yaitu: (1) terpisahnya peraturan

perundangan yang mengatur pendidikan daerah dan pusat; (2) kebebasan lembaga daerah dalam

mengelola pendidikan; (3) lepas dari supervisi hirarkis pusat; (4) kewenangan lembaga daerah

diatur dengan peraturan perundangan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses desentralisasi

pendidikan di  Indonesia berdasarkan UUNo. 22 Tahun 1999, lebih menjurus kepada yang

pertaruan pelaksanaannya tertuang pada Peraturan Pemerintah  No. 25 Tahun 2000, seluruh

urusan pendidikan dengan jelas menjadi kewenagan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali

Pendidkan Tinggi. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan stadar minimal, baik dalam

peersyaratan calon peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional, penilaian hasil

belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan dan melaksanakan fasilitas.

Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah

otonom.Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga

atau suatu daerah, sehingga tujuan pendidikan mempunyai tujuan untuk member suatu otonomi

dalam mewujudkan fungsimanaemen pendidikan kelemagaan.

Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternya pelasaksanaanya belum

berjalan sebagai mana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu

Page 24: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

mahalnya biaya pendidika. Sedangkan, pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya

terkandung makna demokrasi dan keadilan social, artinya pendidikan dilakuakan secara

demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntuhkan

bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan kehidupan

bangsa.

2.2.1          Konsep Otonomi Pendidikan

Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup

enam aspek, Yakni:

1.         Pengaturan perimbangan kewenagan pusat dan daerah

2.         Manajemen partisipasi masyarakt dalam pendidikan.

3.         Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah.

4.         Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan.

5.         Hubungan kemitraan stakeholders pendidikan.

6.         Pengembangan infrastruktur sosial.

Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2003 adalah terungkap pada Hak dan Kewajiban Wawrga Negara, Orang tua, Masyaratkat

dan Pemerintah.

Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Pasal 8 disebutkan bahwa “ Masyarakat berhak

berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan;

pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan

pendidikan”.

Begitu juga pada bagian keempat Hak dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah,

pasal 11 ayat (2) “ Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin terjamin terdeianya dan

aguna terselenggaranya pendidikan bagi setia warga Negara yang berusia tujuh sampailima belas

tahun”. Khusus ketentuan bagi perguruan Tinggi pasal 24 ayat (2) Perguruan tinggi memiliki

otonomi untuk mengelola sendiri lembaganaya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi,

penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.

Dari penejelasan di atas, dapat disipulkan bahwa konsep otonomi pendidikan

mengandung pengertian yang luas mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikanserta

Page 25: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki

visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang

mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk

memperoleh knonstruk masyarakat di masa depan dan tindaklanjunya, merancang sistem

pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika

dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri,

melakukan analisis factor internal dan eksternal daearah guna mendapat suatu gambaran nyata

tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam

upaya mengangkat harkat dan martabat daerah yang berbudaya dan daya saing tinggimelalui

otonomi pendidikan yang bermutu daan produktif.

2.2.2          Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan maish belum

sepenuhnya berjalan sesuatu dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangansiapa

pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan member efek terhadap kurikulum,

efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.

Ada enam  faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu

:

1.         Belum jelas aturan permainan tentang dan tata kerja di tingkat Kabupaten dan kota.

2.         Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk

dilaksanakan secara secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak

memadai.

3.         Dana pendidikan dan APBD belum memadai.

4.         Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat

dalam pengelolaan pendidikan.

5.         Otoritas dalam pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah

kurang memperhatikan dengan sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran

pendidikan belum menjadi prioriotas utama.

6.         Kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan

pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana, dan dana yang dimiliki. Hal ini

mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah membuat aturan

Page 26: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

dalam penentuan standar mutu pendidikannasional denganmemperhatikan kondisi perkembangan

kemandirian masing-masing daerah.

2.2.3          Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Dunia Pendidikan

Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan

yang diambil harus selalu dipertanggungjawakan kepada publik, karena sekolah didirikan

merupakan institusi publik atau lembaga yang melayanikebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa 

disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindak yang sewenang-wenang.

Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam

menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu:

1.         Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah

Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan

segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika prosesbelajar

mengajarberlangsung secara efektif, peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna.

Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu cirri-ciri sebagai

berikut: a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar

(learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil

belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar; b) hasil pendidikansesuai dengan

kebutuhan peserta didik    dunia kerja.

Menghadapi kondisi in maka dilakukan pemantapan manajeme pendidikan yang

bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan

Alexander (1980) bahwa ada tiga factor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi

guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Danhasil penelitian ini tampak

dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak bergantinya

kurikulum, kemampuam manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah,

tetapi lebih kepada faktor-faktor internal di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan

pemanfaatannya.Kepala sekolah sebagai topmanajemen harus mampu memberdayakan semua

unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kerja

yang maksimal.

Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung

peningkatan mutu pendidikan. Pimpinana sekolah harus memiliki kemampuanuntuk melibatkan

Page 27: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk

merumuskan dan mewujudkan visis dan misi dan peningkata mutu pendidikan secara bersama-

sama; salah satu tujuan UU No. 20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayaka masyarakat,

menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatan peran serta masyarakat, termasuk dalam

meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.

2.         Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat Daerah

Perlu dilakukan penataan hubungan keuangan antar Pusat Daerah menyangkut

pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya ( expenditure) untuk kepentingan

pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan public

yang berkualitas. Sumber keuangan diambil dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan,

pinjaman dan lain-lain pendapatan yang sah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat

mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin.Bila

dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin,

agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan oleh pemerintah.

3.       Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubaha

Pada daerah otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah

daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia

pendidikan , ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya,

kepada daerah yang tidak memiliki visi yang baik yang baik di bidang pendidikan dapat

dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandekan menuju pemberdayaan

masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baikuntuk

berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang

merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.Di bidang

pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigm dan visi

menjadi mitra yang baik. Kepada pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis

dan membangun daerah.

4.         Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kondisi Sumber Daya yang dimiliki oleh setiap daerah tidak merata untuk seluruh

Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan,

pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah daerah kota sebagai untuk turut

Page 28: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah.

Sebaiknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik,

kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang

dihadapi masyarakat.

5.         Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah

Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri  urusan daerah pendidikan daerah

Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional,

seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah Pusat menetapkan standard mutu.Jadi,

pemerintah pusat hanya berperan sebagai sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator.

Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga

pemerintah bukan member pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif da

efisien.

Page 29: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

BAB III

KESIMPULAN

Otonomi Daearah adalah penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemerintahan sesuai apa yang

diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintantahan Daerah Otonomi.Maka,

Pemerintah Pusat harus sungguh-sungguh menyerahkan kekuasaan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tanggung jawabnya menjadi daeah otonom.

Dan Pemerintah Pusat tidak boleh mencampuri lagi urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku

untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan

kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah rakyatnya.Perubahan paradigm sistem

pendidikan membutuhkan masa transisi.Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus

dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku maupun penyelengara pendidikan harus proaktif,

kritis dan mau berubah. Belajar dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang

demokrasi  membuat bangsa ini menjadi terpuruk. Marilah kita melihat kepentingan bangsa

dalam arti luas dari pada kepentingan pribadi atau golongan atau kepentingan pemerintah pusat

semata dengan menyelenggarakan otonom pendidikansepenuh hati dan konsisten dalam rangka

mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat yang berbudaya dan berdaya saing

tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Page 30: Pendidikan Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia (Sistem Sentralisasi vs Desentralisasi)

Permendiknas No. 45/2006 Tentang UN Tahun Ajaran 2006/2007.

Blog: http://blog.appidi.or.id/?p=430. Makalah pendidikan tahun 2007

Blog: http://dzarmono.wordpress.com/2007/06/11/. Makalahpendidikan tahun 2008

Muhamad Shidiq Al-Jawi.Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel.www.khilafah1924.org

Widjaja, H.A.W. 2002. Otomoni Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Raja Grafindo.