pendidikan komunikasi politik “anti golput” sejak …
TRANSCRIPT
2
PENDIDIKAN KOMUNIKASI POLITIK “ANTI GOLPUT” SEJAK DINI
PADA SISWA MAN 1 KOTA PADANG1
Yesi Puspita, Asmawi, dan Rahmi Surya Dewi2
ABSTRAK
Ada dua hal yang berbeda apabila bicara tentang ”pengajak golput” dan ”individu
yang golput”. Ajakan golput mengindikasikan suatu gerakan yang sistematis ingin
menjegal atau menghambat pemilu; ini wajib dibereskan oleh pihak berwenang.
Individu golput, perlu dipertimbangkan faktor-faktor berikut ini. Pertama,
dorongan memilih tidak hanya ditentukan oleh satu dimensi kemauan untuk
memilih, tetapi ada juga dimensi pengetahuan tentang apa itu pemilu, siapa yang
dipilih, dan apa konsekuensi dari pilihan pemilih. Faktor edukasi, persuasi,
pendidikan pemilih, bahkan harapan bahwa satu suara pun ikut menentukan hasil
pemilu menjadi penting untuk diperhatikan. Apakah hal-hal itu cukup tersedia?
Kedua, dorongan memilih ditentukan juga oleh kemudahan dalam menjalani hak
pilih tersebut. Faktor keterjangkauan TPS serta bantuan bagi yang sakit/
hamil/lanjut usia menjadi faktor yang perlu dijembatani. Ketiga, kelompok
pemilih muda punya perilaku pemilih yang cenderung tidak bisa disamaratakan
dengan perilaku pemilih terdahulu. Dalam sejumlah studi mereka punya
kecenderungan untuk lebih kritis dan tak mustahil pula apatis. Itu sebabnya
sejumlah besar partai politik di dunia selalu memberi tempat khusus bagi para
pemilih muda untuk aktif dalam kegiatan partai dan pengumpulan suara karena
hanya orang muda yang bisa memberi persuasi meyakinkan pada pemuda lainnya.
Pendidikan tentang pemahaman pemilu memang perlu diprioritaskan bagi remaja
muda penerus bangsa. Untuk itu kami mengusulkan sebuah program pendidikan
komunikasi politik ”anti golput” sejak dini. Kenapa sejak dini harus dilakukan
edukasi mengenai pemilu ini, harapannya adalah menurunkan angka Golput. itu
tim pengabdian memberikan edukasi melalui komunikasi politik sebagai
pengenalan awal kepada pemilih muda. Dikolaborasi dengan simulasi agar
mereka memahami dan mampu mengaplikasikan hak suara mereka dalam
partisipasi politik pesta demokrasi di Indonesia.
Pada pengabdian TA. 2014 ini tim memilih sekolah islam menengah ke atas untuk
dilakukan pendidikan komunikasi politik “anti golput” sejak dini. MAN 1 Kota
Padang adalah salah satu sekolah islam tingkat SMA yang disebut dengan
Madrasyah di Kota Padang. Dengan landasan islami untuk menjadikan insan yang
bertakwa, cerdas, mandiri, dan kompetitif berbudaya lingkungan di era
globalisasi, tentunya siswa-siswi MAN 1 sebagai generasi penerus memahami
pentingnya eksistensi pemimpin menurut Islam.
Keywords: komunikasi, politik, remaja, golongan putih
1 Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Andalas TA. 2014
2 Staf Pengajar Fakultas ISIP Universitas Andalas
3
“ANTI-GOLPUT” EARLY EDUCATION OF POLITICAL
COMMUNICATION TO STUDENT OF MAN 1 PADANG3
Yesi Puspita, Asmawi, dan Rahmi Surya Dewi4
ABSTRACT
It would be a dissimilarity if we talking about “golput persuader” and “individual
golput”. Golput’s (white group; neutral) allurement would be indicated as a
systematical movement which used as election interfere or resistance; this thing
should cleaned away by official in charge. Whereas individual golput should
worth considering these factors; First, encouragement to vote which not only
determined by one dimension as pitch upon on cast a vote, but there is also a
dimension of election knowledge such as what is election, to whom the vote is,
and its consequences from voting. It is important to considering the education
factor, persuasion, voter’s education level, even the hope that with just one vote
will be prescriptive on elections result. Is those things readily available?
Secondly, encouragement to vote also determined by its smoothness on performs
their suffrage. Reachable TPS’s (voting place) factor along with assistances for
who in illness / pregnant / elderly has become a crucial factor that should be
bridged on. Third, youth voters group that has behavior pattern which always
unequal same to their former. In some research, they tended to become more
critical and even apathy. That is why some of big political party in the world
always put up special place for youth voters to be active on party events and vote-
gathering for this reason, only the youth could convincing persuade the others
youth. Education on elections understanding is absolutely need a priority to our
youth generations. Thus, we proposes an education program of political
communication “anti-golput” since early. The reason why this elections education
since early should be doing is the hope that this Golput’s rate will decrease.
Therefore, devotion team applying education through political communication as
a beginning introduction to the youth. Colaborated with simulation will make it
easier to understand and appliable their voting rights on paticipating in Indonesian
political democracy party.
On this devotion TA. 2014, our team has already choose Islamic high school to
applying in “anti-golput” early education of political communication. MAN 1
Padang is one of Islamic High Schools which known as Madrasyah in Padang
City. Based on Islamism within, to creates thats pious, educated, independent, and
competitive individual which environment cultured on this global era, and of
course MAN 1 students as a nation inheritants would understand the crucial of
leader existence according to Islam.
Keywords: communication, political, youth, golput/white group
3 Funded by Donation of DIPA Andalas University TA. 2014
4 Instructor Staff Faculty of ISIP Andalas University
4
PENDAHULUAN
Pemilihan umum dalam sebuah negara demokrasi, sudah menjadi rutinitas
dalam menentukan regenerasi kepemimpinan.Partisipasi politik khususnya
pemberian suara dalam pemilihan umum merupakan kunci menuju pemerintahan
yang demokratis.Pada momen pemilu itulah, rakyat dapat berpartisipasi dalam
menentukan pemimpinnya. Keberadaan seorang pemimpin dalam suatu
kelompok, daerah, terlebih dalam suatu negara, adalah hal yang tidak dapat
dihindari. Seorang penyair jahiliyah, Al-Afwah Al-Audi dalam Al-Mawardi,
“Manusia itu dalam keadaan kacau jika tidak ada orang yang mulia di antara
mereka, dan mereka tidak mulia jika orang-orang bodohnya berkuasa” (Al-
Mawardi, 2013: 1).Ungkapan syair tersebut menggambarkan betapa keadaan
seorang pemimpin dalam suatu kelompok sangat dibutuhkan, baik keluarga,
masyarakat ataupun suatu bangsa perlu adanya pemimpin yang dapat mengatur
dan menstabilkan kehidupan anggotanya.
Di Indonesia menurut Badri Khairuman (2004: 39), sejak paska
kemerdekaan sampai dengan sekarang, bangsa Indonesia telah mengalami 10 kali
pemilihan umum. Pemilihan Umum pertama dilaksanakan pada tahun 1955 yang
diikuti oleh 172 kontestan pemilu. Kemudian pada masa orde baru, pemilu
dilaksanakan sebanyak enam kali, yakni pemilu tahun 1971 yang hanya diikuti
oleh sepuluh kontestan, kemudian dilanjutkan pemilu tahun 1977, 1987, 1992,
1997 yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, Golkar, PPP, PDI. Selanjutnya, paska
orde baru bangsa Indonesia telah mengalami tiga kali pemilihan, yakni pemilu
tahun 1999, 2004 dan pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2009. Namun, hal
yang menarik dari data partisipasi pemilih dari Pemilu 1971 hingga Pemilu 2004
menunjukkan grafik penurunan suara. Bahkan pada Pilpres 5 Juli 2004, dan pada
pilpres putaran kedua 20 September 2004 mengalami penurunan suara secara
signifikan. Artinya, persentase pemilih yang tidak memilih atau diistilahkan
dengan golongan putih (golput) menunjukkan kecenderungan peningkatan
(http://ekibaihaki.com).
5
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada tahun itu 10,2%
penduduk yang tercatat sebagai pemilih tidak menggunakan haknya. Kegembiraan
masyarakat akan ruang politik yang lebih terbuka dan demokratis pasca
keruntuhan rezim Orde Baru dan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan
tidak lantas membuat partisipasi masyarakat dalam pemilu naik. Meski demikian,
angka golput dalam masa itu ternyata lebih rendah daripada angka golput di masa
kini. Angka golput paling tinggi di masa rezim Orde Baru terjadi pada tahun
1999. Angka golput di Indonesia justru bertambah dua kali lipat dalam pemilu
legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2004, yaitu 23% dan 21%. Angka ini
terus naik di dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009, yaitu 29%
dan 29,1%.(Wisnu, dalam http://daerah.sindonews.com)
Fenomena golongan putih atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan
golput, disinyalir selalu ada setiap kali pesta demokrasi berlangsung, baik dalam
pemilihan bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif, dan presiden maupun
wakil presiden. Pelaksanaan pemilu pada saat ini, dirasakan hanyalah satu babak
dari kisah dramatisasi para aktor-aktor politik. Akibatnya, permasalahan dalam
pelaksanaan pemilu pun selalu muncul, mulai dari masalah money politic, black
campaign, kampanye terselubung, kemunafikan atau hipokrisi serta
ketidakpercayaan masyarakat pada kandidat pemimpin bangsa, dan berbagai
permasalahan lain yang menjadi faktor pendukung untuk tidak memberikan suara
dalam pelaksanaan pemilu.
Orang-orang golput, seperti dikatakan Arif Budiman, salah seorang
pencetus golput pada tahun 1971, ada yang murni dan ada yang kecelakaan. Kalau
yang murni tidak mau memilih berdasarkan kesadaran, sedangkan yang
kecelakaan karena memang benar-benar tidak mengerti atau sedang ada halangan
untuk berpartisipasi. Dalam membahas golput, maka tidak lepas untuk menyibak
faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memberikan suaranya dalam
pemilu, apakah memilih merupakan hak (rights ) atau kewajiban (obligations),
atau ritual budaya semata yang tanpa makna (www.ruangpublik.com).
6
Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagaimana dikutip oleh Suara Islam
edisi ke-147 menyebutkan bahwa angka golput dalam pelaksanaan pemilu
cenderung naik dalam setiap pelaksanaannya, tercatat sebanyak 6,46 persen angka
golput di tahun 1971, 8,40 persen di tahun 1977, kemudian 8,53 persen pada
tahun 1982, dan 8,69 persen di tahun 1987.Selanjutnya, sebanyak 9,09 persen
pada pelaksanaan pemilu tahun 1992, 9,42 persen pada tahun 1997, kemudian
10,21 persen pada tahun 1999, selanjutnya meningkat menjadi 23,34 persen pada
tahun 2004, dan pada tahun 2009, angka golput mencapai 39,01 persen
(www.dakwatuna.com).
Banyak pihak yang menyatakan peningkatan angka golput dari tahun ke
tahun disebabkan kualitas partai dan calon legislator atau calon presiden yang
tidak baik. Keadaan tersebut membuat warga tidak antusias untuk memberikan
suaranya. Namun apa kemudian penjelasannya jika kita melihat Pemilihan
Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012. Pilgub Jakarta tak dapat disangkal
merupakan salah satu proses pemilihan kepala daerah yang paling berkualitas
karena menyajikan tokoh-tokoh nasional dengan jam terbang politik yang baik
dan dengan program-program pembangunan Jakarta yang cukup jelas
dikomunikasikan, tetapi angka golput ternyata tidak menurun, bahkan di atas
angka rata-rata nasional.
KPU Jakarta mencatat bahwa dalam pemilihan Gubernur DKI putaran
pertama, angka golput mencapai 36,3% dan dalam putaran kedua mencapai
33,2%. Kondisi serupa terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Barat pada
2013. Masyarakat Jawa Barat yang tidak menggunakan hak pilihnya tercatat
36,15% atau 11,8 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi daripada pemilihan
sebelumnya di tahun 2008 yang ”hanya” mencapai 32,6%. Gambaran yang lebih
ironis bahkan terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Timur di mana
perolehan pemenang pertama, pasangan KarSa, mencapai 47,2% tetapi di
peringkat kedua ada golput sebanyak 41%! Merujuk pada gambaran dan data di
atas, muncul wacana untuk mewajibkan warga menggunakan hak
pilihnya.(Wisnu, dalam http://daerah.sindonews.com)
7
Beberapa KPU daerah bahkan telah menginterpretasikan Pasal 292 dan
308 dalam UU No 8 Tahun 2012 sebagai dasar untuk menindak pidana mereka
yang menyebabkan pihak lain kehilangan hak pilihnya, termasuk dengan ikut
golput. Kewajiban untuk menggunakan hak pilih dengan paksaan bukanlah barang
asing dalam alam demokrasi.
Ada dua hal yang berbeda apabila bicara tentang ”pengajak golput” dan
”individu yang golput”. Ajakan golput mengindikasikan suatu gerakan yang
sistematis ingin menjegal atau menghambat pemilu; ini wajib dibereskan oleh
pihak berwenang. Tapi bila tidak ditemukan hal yang sistematis, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor berikut ini. Pertama, dorongan memilih tidak hanya
ditentukan oleh satu dimensi kemauan untuk memilih, tetapi ada juga dimensi
pengetahuan tentang apa itu pemilu, siapa yang dipilih, dan apa konsekuensi dari
pilihan pemilih. Faktor edukasi, persuasi, pendidikan pemilih, bahkan harapan
bahwa satu suara pun ikut menentukan hasil pemilu menjadi penting untuk
diperhatikan. Apakah hal-hal itu cukup tersedia. Kedua, dorongan memilih
ditentukan juga oleh kemudahan dalam menjalani hak pilih tersebut. Faktor
keterjangkauan TPS serta bantuan bagi yang sakit/ hamil/lanjut usia menjadi
faktor yang perlu dijembatani. Ketiga, kelompok pemilih muda punya perilaku
pemilih yang cenderung tidak bisa disamaratakan dengan perilaku pemilih
terdahulu. Dalam sejumlah studi mereka punya kecenderungan untuk lebih kritis
dan tak mustahil pula apatis. Itu sebabnya sejumlah besar partai politik di dunia
selalu memberi tempat khusus bagi para pemilih muda untuk aktif dalam kegiatan
partai dan pengumpulan suara karena hanya orang muda yang bisa memberi
persuasi meyakinkan pada pemuda lainnya.
Pada akhirnya, kita juga perlu menempatkan pemilu dalam porsinya
sebagai ruang bagi masyarakat menggunakan hak pilih. Hak adalah hak sehingga
ia tidak bisa dengan semena-mena dicabut hanya karena alasan-alasan yang belum
tentu tepat terbaca oleh negara. Untuk itulah para ilmuwan bidang sosial dan
politik di negara yang ingin menguatkan demokrasinya, seperti Indonesia, perlu
8
mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mempelajari perilaku pemilih di
negerinya.
Realitas golput ini akan berdampak terhadap generasi penerus dalam
pemilu. Ketidaktahuan dan ketidakpuasan generasi penerus dalam hal politik
memberikan peluang fenomena golput akan terjadi setiap pemilu. Mereka merasa
pemilu hanyalah sebuah formalitas dalam sebuah kekuasan pemerintahan, bahkan
mereka menganggap pemilu hanyalah pesta yang berorientasi kalangan-kalangan
aktor politik semata. Anggapan generasi penerus yang demikian akan
menyebabkan kehancuran kekuasaan negara Indonesia yang demokratis pancasila.
Sehingga, mereka tidak menyadari pentingnya seorang pemimpin yang cocok
dalam memimpin negara ini. Pemimpin dalam pandangan Al-Qur’an, terdapat
beberapa istilah dalam penyebutannya diantaranya, Imamah yang manadalam
kajian semantik merupakan isim mashdar (kata benda abstrak) yang terambil dari
kata amma yaummu, yang berarti menuju, meneladani dan memimpin (Muhadi
Zainudin, 2008: 32). Kemudian dari kata imamah muncul kata imam, yang dapat
diartikan pemimpin atau orang yang memimpin, karena seorang pemimpin
biasanya dia diteladani, maka dia selalu berada di depan (Quraisy Syihab,2007:
242). Eksistensi seorang pemimpin dengan menggunakan
kata imamah dan khalifah, merujuk kepada pemahaman bahwa seorang pemimpin
terkadang berada di depan untuk mengajak, melayani, dan terkadang berada di
belakang untuk memotivasi dan sebagainya.
Pendidikan tentang pemahaman pemilu memang perlu diprioritaskan bagi
remaja muda penerus bangsa. Generasi muda harus ikut memilih pemimpin yang
dipercayainya untuk memimpin mereka. Generasi penerus yang boleh ikut
berpatisipasi dalam pemilu adalah remaja yang telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih dan/atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih,
telah ditetapkan dalam peraturan KPU No. 67 tahun 2009 pasal 3
(www.kpu.go.id). Remaja yang berusia 17 tahun layaknya sudah merupakan
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Remaja SMA masih rentan terhadap
permasalahan politik. Bahkan, ketika pemilu mereka masih bingung dengan
9
penentuan seorang sosok pemimpin yang handal dalam dunia politik dan dalam
proses membangun negara kedepannya. Permasalahan dan pengetahuan akan
politik tidak didapat sepenuhnya dalam pendidikan SMA. Padahal, remaja SMA
memerlukan pengetahuan dan pemahaman melalui pendidikan komunikasi politik
sejak dini.
Istilah komunikasi politik masih relatif baru dalam ilmu politik. Istilah
tersebut mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan Gabriel
Almond(1960:3-64) dalam bukunya yang berjudul The Politics of the
Development Areas, yang membahas komunikasi politik secara lebih rinci.
Menurut Almond (1960:12-17), definisi komunikasi politik adalah salah satu
fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Pemikiran Almond terletak
pada pandangannya bahwa semua sistem politik yang pernah ada di dunia ini,
yang ada sekarang, dan yang akan nanti mempunyai persamaan-persamaan yang
mendasar, yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankan oleh semua sistem
politik. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi
dalam sistem politik. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat
secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik yang menandakan pentingnya
komunikasi politik bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum
mengerti salah satunya remaja SMA.
Komunikasi politik merupakan bentuk dari kajian ilmu komunikasi yang
multi disiplin. Komunikasi politik terdiri dari dua bidang kajian yaitu ilmu
komunikasi dan ilmu politik. Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang
digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai
dunia (berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra melalui simbol
simbol. Komunikasi melukiskan evolusi makna. Makna adalah sesuatu yang
diciptakan, ditentukan, diberikan dan bukan sesuatu yang diterima. Maksudnya
komunikasi bukanlah suatu reaksi terhadap sesuatu, juga bukan interaksi dengan
sesuatu, melainkan suatu transaksi yang didalamnya orang menciptakan dan
memberikan makna untuk menyadari tujuan orang itu. (Barlund, 1970, 87- 88)
10
Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana (Laswell
1958), pembagian nilai nilai oleh yang berwenang (Easton, 1953), sesuatu yang
dilakukan orang ;Politik adalah kegiatan (Bentley, 1967) (dalam Nimmo, 2005:8 )
Dalam Ilmu Komunikasi tidak hanya mempelajari komunikasi budaya,
komunikasi sosial, komunikasi bermedia saja tetapi juga mencakup pada
komunikasi politik. Komunikasi politik merupakan dua buah bidang ilmu yang
dikaji secara bersamaan. Sementara itu,banyak generasi muda di Kota Padang
terutama siswa-siswi SMA yang tidak mengerti pentingnya partisipasi politik
yang dituangkan dalam pemilu. Sehingga banyak siswa-siwi SMA yang tidak
menggunakan hak suaranya dengan bijak.
Alangkah baiknya pendidikan komunikasi politik mengenai pemilu sudah
dikenalkan sejak dini kepada Siwa-siswi. Edukasi tentang bagaimana pentingnya
menggunakan hak suara dalam pemilihan umum (pemilu) secara tepat didukung
dengan pengetahuan dan pemahaman tentang politik melalui komunikasi politik.
Oleh sebab itu tim pengabdian memilih sekolah islam menengah ke atas
untuk dilakukan pendidikan komunikasi politik “anti golput” sejak dini. MAN 1
Kota Padang adalah salah satu sekolah islam tingkat SMA yang disebut dengan
Madrasyah di Kota Padang. Dengan landasan islami untuk menjadikan insan yang
bertakwa, cerdas, mandiri, dan kompetitif berbudaya lingkungan di era
globalisasi, tentunya siswa-siswi MAN 1 sebagai generasi penerus memahami
pentingnya eksistensi pemimpin menurut Islam. Dengan dipilihnya MAN 1
Padang sebagai tempat pelaksanaan Pelatihan Edukasi komunikasi politik ‘anti
golput’ sejak dini bagi Remaja Di MAN 1 Kota Padang dapat membuka wawasan
dan pengetahuan baru bagi siswa-siswi dan menjadikan mereka lebih bijak dalam
menggunakan hak suaranya dalam pemilu dan lebih kritis dalam menganalisa
politik Indonesia sekarang ini secara tepat.
Berdasarkan analisis situasi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana menanamkan pendidikan anti golput dikalangan siswa
siswi MAN 1 padang sebagai pemilih muda?
11
2. Bagaimana memberikan edukasi tentang pentingnya komunikasi
dan partisipasi politik dalam pemilu pada siswa siswi MAN 1
Padang?
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Relevan
Terdapat beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian
ini, antara lain adalah jurnal yang ditulis oleh Bismar Arianto dari Universitas
Maritim Raja Ali Haji dengan judul “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak
Memilih dalam Pemilu”. Jurnal ini mengupas tentang fenomena golput yang
sudah terjadi sejak diselenggarakannya pemilu pertama pada tahun 1955.
Menurut Bismar Arianto, tindakan tidak memilih atau golput ini merupakan
akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi mengenai penyelenggaraan
pemilu. Biasanya masyarakat atau pemilih tidak datang ke tempat pemilihan
suara. Sementara pada era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan
moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh
penguasa pada masa itu. Berdasarkan penelitiannya dapat disimpulkan bahwa
faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya
secera sederhana dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu
faktor dari internal pemilih dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari
faktor teknis dan faktor pekerjaan. Sementara faktor eksternal terdiri dari faktor
administratif, sosialisasi, dan faktor politik. Dalam penelitian ini yang menjadi
relevansi adalah fenomena golput yang terjadi di dalam masyarakat
disebababkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah keterbukaan informasi
serta komunikasi mengenai pentingnya partisipasi politik dari masyarakat.
Peneliti lain yang juga membahas mengenai fenomena golput adalah jurnal
yang ditulis oleh Hadi Purnandi, dkk dari Universitas Tanjungpura Pontianak
dengan judul “ Fenomena Golongan Putih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil
12
Walikota Pontianak tahun 2008 di Kecamatan Pontianak Selatan”. Jurnal ini
membahas tentang rendahnya angka partisipasi politik masyarkat di dalam
pemilu akibat tindakan golput yang telah meluas. Tingginya tingkat partisipasi
politik mengindikasikan bahwa, rakyat mengikuti dan memahami serta
melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan, sebaliknya tingkat partisipasi politik
yang rendah mengindikasikan rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat
terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Implikasi atau dampak dari
masyarakat yang melakukan golput yaitu orang-orang yang golput tidak dapat
mendorong untuk memperbaiki sistem yang ada karena dengan tidak memilih
kita tidak dapat menyalurkan aspirasi kita untuk terjadinya suatu perubahan
dalam sistem pemerintahan. Golput sangat berdampak besar terhadap kemajuan
bangsa. Relevansi dengan penelitian ini adalah bahwa pentingnya sosialisasi dan
komunikasi politik kepada masyarakat untuk dapat mengurangi angka golput
dalam pemilu kedepannya.
2.2. Golongan Putih (Golput)
Dalam pelaksanaan pemerintahaan negara yang menganut sistem
demokrasi, fenomena golput merupakan bagian dari demokrasi itu sendiri yang
tidak terpisahkan. Tindakan golput ini selalu ada disetiap pemilu dan pesta
demokrasi dimanapun terutama yang menganut sistem pemilihan secara
langsung. Dalam istilah ilmu politik, golput seringkali disebut dengan non-voter. Ada
beberapa kategori para pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (non-voters).
Menurut DeSipio, Masuoka dan Stout (2006 :8) kategori non-voter meliputi: 1.
Registered Not Voted 2. Citizen-not Registered 3. Non-Citizen.
Sementara menurut Novel Ali (dalam Purnandi, 2013 : 5) , di Indonesia
terdapat dua kelompok golput. Pertama,adalah kelompok golput awam. Yaitu
mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik,
tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik
kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat
deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak
13
bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan
politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada atau karena
mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum
ada dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih
tinggi dibanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis
politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat
evaluasi (Ali, 1999: 22).
2.3. Komunikasi Politik
Komunikasi merupakan sebuah bentuk interaksi dimana seseorang
berupaya untuk menyampaikan informasi guna membangun citra mereka
berdasarkan tindakan yang dilakukan. Tindakan ini juga dapat menggunakan
simbol – simbol yang memiliki makna tersendiri untuk dapat bertukar citra.
Sementara itu politik merupakan sebuah proses yang melibatkan berbagai cara
orang untuk dapat bertukar simbol, kata – kata yang dituliskan dan diucapkan,
gambar, sikap tubuh, gerakan, perangai dan kata – kata. Oleh karena banyak
aspek kehidupan politik yang dapat dilukiskan dengan komunikasi, sehingga
disebut dengan komunikasi politik. (Nimmo, 2005, 6-8).
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari sumber
komunikasi kepada penerima, baik dengan menggunakan alat maupun tatap
muka. Kemudian dari kejadian tersebut ada dan terjadinya umpan balik untuk
menilai akibat dari penerimaan pesan yang disampaikan. Hal tersebut berguna
sebagai dasar dari proses komunikasi masyarakat. Menurut Fagen (1996 : 26)
komunikasi politik berjalan satu arah dari sumber kepada penerima komunikasi
tersebut. Agar memenuhi tujuan, rumusan tersebut perlu dimodifikasi. Fagen
menambah usulan bahwa untuk kepentingan penelitian terdapat 3 hal yang
penting:
1. Komunikasi sebagai proses mengisi politik sebagai suatu kegiatan.
2. Apabila hal-hal itu tidak jelas benar, maka dapat digambarkan
beberapa aspek kehidupan politik sesuai tipe-tipe komunikasi.
14
3. Karena proses komunikasi memiliki kemampuan mengisi dan elastis
dari perbendaharaan konsep ilmu politik, maka ada suatu literatur yang mungkin
relevan bagi studi politik dan komunikasi.
METODE
Bentuk kegiatan yang akan dilakukan dalam pelatihan pendidikan
komunikasi politik “anti golput” sejak dini pada siswa siswi MAN 1 Kota Padang
ini antara lain:
a. Pemberian Materi
Pemberian materi di sini yaitu pengenalan dan pemahaman tentang
komunikasi politik, bagaimana partisipasi politik yang harus mereka lakukan dan
apa yang mereka tidak boleh lakukan. Materi yang disampaikan antara lain:
komunikasi politik, partisipasi politik dalam pemilu, dan pengetahuan anti golput.
b. Diskusi
Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa siswi setelah
mengikuti kegiatan pemberian materi komunikasi politik “anti Golput” ini maka
tim pengabdian mengadakan diskusi sebagai ruang yang disediakan untuk sesi
tanya jawab. Penyampaian materi yang kurang dipahami atau pertanyaan yang
belum sempat terjawab dari sesi pemberian materi dijelaskan lebih lanjut pada
sesi diskusi.
c. Simulasi
Setelah para peserta diberikan pemahaman dan materi mengenai
Komunikasi Politik, maka guna memperdalam pengetahuan mereka tim
mengadakan simulasi dengan didampingi oleh seorang fasilitator. Kita akan
mempraktekkan bagaimana contoh maupun tahapan yang sering dilakukan dalam
pemilu. Agar peserta lebih mengerti maka narasumber juga akan menggunakan
contoh surat suara. Hal yang ditekankan dalam simulasi ini adalah bagaimana
mereka memahami dan mengerti bahwa sebagai warga Negara yang baik kita
15
harus memanfaakan hak politik yang ada sehingga peran dan kontribusi generasi
muda dalam demokrasi semakin nyata.
d. Hasil kegiatan
Dari kegiatan ini dapat diperoleh hasil antara lain bertambahnya
pengetahuan dan pemahaman pelajar sebagai pemilih muda mengenai hak – hak
politik yang telah mereka miliki. Karena disadari sebagian besar pelajar sekolah
menengah atas yang telah memiliki hak pilih cenderung enggan untuk
berpartisipasi dan menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu. Sementara itu
sebagian lainnya berpartisipasi dalam pemilu namun hanya karena ikut – ikutan
atau memilih dengan asal – asalan, tanpa menyadari bahwa hak suara yang
mereka gunakan ikut menentukan kepada siapa kekuasaan politik akan di pegang
pada masa pemerintahan selanjutnya.
Dengan penjelasan dari materi – materi yang diberikan mengenai akibat
yang dapat ditimbulkan dari tindakan golput ini, para peserta menyadari bahwa
tindakan golput atau tindakam bungkam ini bukanlah langkah yang tepat bagi
masa depan bangsa. Sebagai bagian dari bangsa itu sendiri, para pelajar
dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi dalam politik, tidak hanya menentukan
pemimpin yang tepat namun juga pemilih muda memiliki hak untuk menyebarkan
informasi tentang calon – calon pemimpin tersebut. Sehingga informasi dapat
tersebar dan dikomunikasikan kepada masyarakat untuk dapat menentukan
pemimpin ideal mereka tanpa ada pembohongan dan pencitraan palsu yang
selama ini dilakukan dalam kampanye politik.
e. Evaluasi kegiatan
Untuk pelaksanaan kegiatan kedepannya diharapkan dapat dilakukan di
rungan yang lebih besar dengan kapasitas peserta yang cukup banyak. Disamping
itu keterbatasan dalam alat untuk presentasi seperti speaker dan infocus. Karena
hal ini cukup menjadi kendala ketika menyampaikan materi kepada peserta.
16
Kelemahan dalam peemgabdian ini adalah bagaimana mengetahui kalau
kegiatan tersebut mampu menurunkan tingkat Golput di Kota Padang pada
khususnya dan Sumatra Barat pada umumnya, dikarenakan membutuhkan waktu
yang panjang hingga Pesta Demokrasi berlangsung kembali.
Dari tingkat aware dengan Pemilu masih pada level bottom of mind, baru
ingat saja belum bentuk action. Akan efektif bila dilaksanakan continue namun
terkendala dengan kegiatan sekolah yang sudah banyak menyita waktu, sehingga
mencari waktu luang untuk pengabdian kembali susah menyesuaikan waktu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Masih banyak para pelajar sekolah menengah atas yang sebagian besar
telah memiliki hak pilih, namun tidak menyadari akan pentingnya hak pilih yang
telah mereka dapatkan. Karena ketidaktahuan inilah yang menyebabkan pemilih
muda tersebut cenderung tidak peduli dan tidak beminat untuk berpartisipasi
dalam pemilu. Dengan diadakannya kegiatan pengabdian pendidikan komunikasi
politik “anti golput” ini dapat memberikan kesadaran terutama kepada pemilih
muda untuk dapat menggunakan hak pilihnya dengan benar dan bijaksana, tanpa
terpengaruh oleh bujukan politik uang para kader atau pun parpol sehingga suara
yang diberikan dapat jatuh ke tangan yang benar. Karena tidak dapat dipungkiri
bahwa mereka lah calon penerus pemerintahan bangsa ini kedepannya.
Saran
Untuk masyarakat sebaiknya dapat timbul kesadaran akan hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia. Salah satunya adalah dengan
berpartisipasi dalam pemilu. Partisipasi yang di harapkan bukan hanya masyarakat
sekedar datang ke tempat pemungutas suara dan memilih calonnya, namun juga
mengawasi jalannya pemilu itu sendiri dari awal hingga akhir. Sehingga segala
bentuk tindakan kecurangan yang dilakukan oleh kader maupun parpol dapat
diawasi secara bersama. Disamping itu, pentingnya komunikasi politik dan
17
keterbukaan informasi juga perlu ditingkatkan untuk seluruh lapisan masyarakat,
sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan
alasan ketidaktahuan infromasi pemilu tersebut.
Sementara untuk perguruan tinggi yang melaksanakan kegiatan ini
merupakan langkah yang tepat sebagai bentuk langkah nyata dalam memberikan
pendidikan dan pengetauan masyarakat. Karena meningkatkan kesadaran serta
mengupayakan sebuah perubahan di dalam masyarakat adalah tanggung jawab
bersama, tidak hanya parpol atau pun pemerintah saja. Untuk itu kedepannya
kegiatan pengabdian ini harus dilakukan dengan maksimal lagi baik dari segi
persiapan materi serta pemilihan target sasaran yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A., & James S. Coleman (Ed.). 1960. The Politics of The
Developing Areas. Princenton NJ: Princenton University Press.
Al-Mawardi, Ahkam Al-Sulthaniyah. 2013. Hukum-Hukum Penyelenggaraan
Negara Dalam Syariat Islam, Bekasi: PT. Darul Falah.
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik. Jakarta : Balai Pustaka.
Fagen, Richard R. 1996. Politics & Communication. USA : Little Brown & Co.
Khairuman, Badri dkk. 2004. Islam dan Demokrasi, Mengungkap Fenomena
Golput Dalam Islam, Jakarta: PT. Nimas Multima.
Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik : Komunikator Pesan dan Media.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Shihab, Quraisy. 1997 .Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
Subiakto, Henry dan Ida, Rachma. 2012. Komunikasi Politik, Media dan
Demokrasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
18
Website
Baihaki, Eki. 2012. Golput Dalam Pemilu.
http://ekibaihaki.com/article/87371/golput-dalam-pemilu.html (27 April
2014 pukul 20.00 WIB).
Komisi Pemilihan Umum. 2009. Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 67
Tahun 2009. http://www.kpu.go.id/dmdocuments/pemilukada_67.pdf (27
April 2014 pukul 20.15 WIB).
Rofiun, Irhamni.2014. Fenomena Golput dalam Penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia: Sebuah Korelasi Kajian Islam Terhadap Pemilu.
http://www.dakwatuna.com/ ( 27 April 2014 pukul 21.00 WIB)
Ruang Publik. 2014. Fenomena Golput di Indonesia.
http://www.ruangpublik.com/ (28 April 2014 pukul 17.30 WIB)
Wisnu, Dinna. 2014. Fenomena Golput dalam Pemilu.
http://daerah.sindonews.com (28 April pukul 17.45 WIB)
Jurnal
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam
Pemilu. Tanjungpinang : Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Purnandi, Hadi , dkk. 2013. Fenomena Golongan Putih dalam Pemilihan
Walikota
dan Wakil Walikota Pontianak Tahun 2008 di Kecamatan Pontianak
Selatan. Pontianak : Universitas Tanjungpura Pontianak.
19
LAMPIRAN
Foto – foto Kegiatan
Pembukaan kegiatan oleh MC
Kata sambutan dari Kepala Sekolah MAN 1 Padang
20
Penyampaian Materi oleh Ketua Tim Pengabdian
Sesi Tanya Jawab dan Diskusi dengan Peserta Kegiatan
Foto Bersama Seluruh Peserta dan Guru – Guru MAN 1 Padang