pendugaan erosi.pdf

14
Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP (Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo) Sri Legowo WD. Pengajar Jurusan Teknik Sipil, FTSL Institut Teknologi Bandung [email protected] Abstrak DAS Limboto merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS prioritas dari DAS kritis di SWP-DAS Bone Bolango. Wilayah ini memiliki sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air dan sangat potensial. Apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedimentasi di dalam Danau Limboto terus berlangsung secara intensif dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan pendangkalan dan menciutnya luas perairan. Terjadinya erosi dan masuknya sedimen ke danau akan mengakibatkan pengendapan dan pendangkalan sehingga akan mempengaruhi kapasitas tampung danau. Studi ini dibatasi pada pendugaan jumlah erosi dan sedimen yang terjadi dengan menggunakan model simulasi GeoWEPP (Geo-spasial Water Erosion Prediction Project). GeoWEPP merupakan model fisik simulasi kontinyu yang dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat erosi yang terjadi di DAS Limboto karena GeoWEPP memiliki kelebihan untuk memprediksi distribusi kehilangan tanah spasial dan temporal untuk sebuah lereng atau titik tertentu pada suatu lereng secara harian, bulanan atau rata-rata tahunan. Hasil keluaran dapat diekstrapolasi kedalam kondisi yang lebih luas. Dengan kata lain, model GeoWEPP dapat memprediksi efek in-site dan off site dari erosi tersebut Hasil keluaran GeoWEPP menunjukkan DAS Limboto berada pada kondisi kritis yakni memiliki laju erosi 44,69 ton/ha/thn atau 3.72 mm/thn. Sediment deposisi per hektar pada DAS Limboto adalah sebesar 2,94 ton/ha/thn atau 0.245 mm/ha. Sediment yield per hektar DAS Limboto adalah 41,75 ton/ha/thn atau 3.48 mm/thn. Sebaran erosi dan sedimentasi DAS Limboto ditampilkan melalui peta spasial. Hasil output parameter pendukung lainnya ditampilkan berupa tabel pada lampiran. Kata Kunci : erosi, sedimen, DAS Limboto, GeoWEPP PENDAHULUAN DAS Limboto merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS Prioritas dari DAS Kritis di SWP-DAS Bone Bolango. Wilayah ini memiliki sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air dan sangat potensial, apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaat potensi sumber daya alam antara lain : Sumber air untuk irigasi Biyonga yang mampu mengairi areal seluas ± 899 ha. Sumber air untuk instalasi air bersih yang mensuplai wilayah Kecamatan Limboto, Limboto Barat, Batudaa, Bongomeme, Tibawa, dan Telaga Biru. Danau Limboto, yang terletak di Kota Gorontalo, Ibukota Propinsi Gorontalo, merupakan cekungan rendah atau laguna, yang merupakan muara sungai- sungai, diantaranya : Rintenga, Alo Pohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, Bulota,

Upload: adirfan-pratomo

Post on 20-Oct-2015

134 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

pendugaan erosi

TRANSCRIPT

Pendugaan Erosi dan Sedimentasi dengan Menggunakan Model GeoWEPP

(Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo)

Sri Legowo WD. Pengajar Jurusan Teknik Sipil, FTSL Institut Teknologi Bandung

[email protected]

Abstrak

DAS Limboto merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS prioritas dari DAS kritis di SWP-DAS Bone Bolango. Wilayah ini memiliki sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air dan sangat potensial. Apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sedimentasi di dalam Danau Limboto terus berlangsung secara intensif dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan pendangkalan dan menciutnya luas perairan. Terjadinya erosi dan masuknya sedimen ke danau akan mengakibatkan pengendapan dan pendangkalan sehingga akan mempengaruhi kapasitas tampung danau. Studi ini dibatasi pada pendugaan jumlah erosi dan sedimen yang terjadi dengan menggunakan model simulasi GeoWEPP (Geo-spasial Water Erosion Prediction Project).

GeoWEPP merupakan model fisik simulasi kontinyu yang dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat erosi yang terjadi di DAS Limboto karena GeoWEPP memiliki kelebihan untuk memprediksi distribusi kehilangan tanah spasial dan temporal untuk sebuah lereng atau titik tertentu pada suatu lereng secara harian, bulanan atau rata-rata tahunan. Hasil keluaran dapat diekstrapolasi kedalam kondisi yang lebih luas. Dengan kata lain, model GeoWEPP dapat memprediksi efek in-site dan off site dari erosi tersebut

Hasil keluaran GeoWEPP menunjukkan DAS Limboto berada pada kondisi kritis yakni memiliki laju erosi 44,69 ton/ha/thn atau 3.72 mm/thn. Sediment deposisi per hektar pada DAS Limboto adalah sebesar 2,94 ton/ha/thn atau 0.245 mm/ha. Sediment yield per hektar DAS Limboto adalah 41,75 ton/ha/thn atau 3.48 mm/thn. Sebaran erosi dan sedimentasi DAS Limboto ditampilkan melalui peta spasial. Hasil output parameter pendukung lainnya ditampilkan berupa tabel pada lampiran.

Kata Kunci : erosi, sedimen, DAS Limboto, GeoWEPP PENDAHULUAN

DAS Limboto merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS Prioritas dari DAS Kritis di SWP-DAS Bone Bolango. Wilayah ini memiliki sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air dan sangat potensial, apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaat potensi sumber daya alam antara lain :

• Sumber air untuk irigasi Biyonga yang mampu mengairi areal seluas ± 899 ha.

• Sumber air untuk instalasi air bersih yang mensuplai wilayah Kecamatan Limboto, Limboto Barat, Batudaa, Bongomeme, Tibawa, dan Telaga Biru. Danau Limboto, yang terletak di

Kota Gorontalo, Ibukota Propinsi Gorontalo, merupakan cekungan rendah atau laguna, yang merupakan muara sungai-sungai, diantaranya : Rintenga, Alo Pohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, Bulota,

Talubongo dan sungai-sungai kecil dari sisi selatan : Olilumayango, Ilopopala, Huntu, Hutakiki, Langgilo.

Laju pendangkalan danau akibat erosi dari 11 sungai yang bermuara padanya, cukup mengesankan. Pada tahun 1932, luas danau tersebut masih 7.000 ha, dengan kedalaman mencapai 30 meter. Dalam tempo 30 tahun, yaitu 1962, luasnya menyusut menjadi 4.250 ha dan berkedalaman hanya 10 meter. Pada penelitian tahun 2002 lalu, luasnya menjadi 3.000 ha dan kedalaman rata-ratanya 2 meter. Tanah timbul danau seluas 637 ha sudah berubah menjadi sawah, 329 ha menjadi ladang, 1.272 ha berubah menjadi perkampungan dan 42 ha sisanya untuk keperluan lainnya.

Pendangkalan itu selain dipicu oleh erosi sungai, juga dipacu oleh para nelayan yang selama bertahun-tahun membangun perangkap ikan yang menggunakan gundukan tanah dari darat serta batang-batang pohon. Pembusukan flora juga mengakibatkan air danau mulai berbau busuk pada saat-saat tertentu, serta mengurangi oksigen di dalamnya sehingga membahayakan biota di dalamnya.

Sedimentasi di dalam Danau Limboto terus berlangsung secara intensif dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan pendangkalan dan menciutnya luas perairan.

Penyebab sedimentasi Danau Limboto ada 2 penyebab, yaitu pertama dari erosi lahan dari yang masuk ke sungai dan ditambah longsoran tebing sungai, yang dibawa debit sungai masuk ke danau, kedua kondisi outlet Sungai Topadu yang sempit, sehingga sedimen tidak mampu keluar dari danau.

Danau Limboto akhir-akhir ini sering mengalami banjir karena kapasitas tampungan sudah mengalami penurunan. Sungai-sungai di DAS Limboto juga mengalami peningkatan banjir, baik frekuensi maupun kuantitas debitnya serta angkutan sedimennya (debit solid).

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah melaksanakan pekerjaan mendesak (urgent works), untuk menanggulangi banjir dan sedimenasi. Akan tetapi, pekerjaan tersebut masih belum dilaksanakan. Perencanaannya masih ditinjau ulang (review).

Pola induk pengelolaan air DAS Limboto telah dirumuskan pada tahun 1999

oleh Konsultan CIDA (Canadian International Development Agency). Akan tetapi, permasalahan banjir dan sedimenasi kurang terungkap, dan bukan tujuan utama.

Pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah meminta Pemerintah Jepang untuk studi pengendalian banjir (flood control) dan pengelolaan air (water management) DAS Limboto dan Bolango – Bone (sungai tidak bermuara di Danau Limboto), yang dilaksanakan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency), yang bekerja sama dengan Konsultan Nippon Koei Co,Ltd dan Nikken Consultant,Inc. Pekerjaan perencanaan diselesaikan selama 19 bulan dari Juni 2001 sampai Desember 2002.

Perencanaan hasil studi “ Flood Control and Water Management in Limboto – Bolango – Bone Basin”, menghasilkan bahwa pencegahan sedimen ke Danau Limboto membuat tangkapan sedimen (sediment trap) di muara-muara sungai. Sedangkan untuk mencegah banjir di danau, menormalisasi outlet Sungai Topadu dan Muara Bolango – Bone. Pekerjaan tersebut sampai ini belum juga dilaksanakan.

Tahun 2004, Pemerintah Propinsi Gorontalo telah mengadakan pengadaan jasa konsultan PT. MAXITECH Utama Indonesia untuk pekerjaan “Perencanaan Bangunan Erosi dan Sedimentasi DAS Limboto“.

EROSI Hardjowigeno (1995) menjelaskan

bahwa erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan (transported) ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, sungai atau gravitasi.

Empat faktor utama yang dianggap terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan. Oleh Wischmeier dan Smith (1975) keempat faktor tersebut dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan besarnya erosi tanah melalui persamaan umum yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan persamaan universal (Universal Soil Loss Equation.-USLE).

Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/thn atau ton/ha/thn yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang memungkinkan tercapainya produktivitas

1

yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan disebut nilai T.

Hasil penelitian Hardjowigeno (1987, dalam Arsyad, 2000) dapat ditetapkan besarnya T maksimum untuk tanah-tanah di Indonesia adalah 2.5 mm/thn, yaitu untuk tanah dalam dengan lapisan bawah (subsoil) yang permeabel dengan substratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami pelapukan). Tanah-tanah yang kedalamannya kurang atau sifat-sifat lapisan bawah yang lebih kedap air atau terletak di atas subsstratum yang belum melapuk, nilai T harus lebih kecil dari 2.5 mm/thn.

MODEL PENDUGAAN EROSI

Pendugaan erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijakan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakkan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari.

Program WEPP dimaksudkan “untuk mengembangkan generasi baru dalam teknologi memperkirakan erosi karena air” untuk penggunaan dalam skala besar oleh pengguna melibatkan “konservasi tanah dan air dan kajian serta perencanaan lingkungan” (Foster and Lane, 1987 dalam Troeh et al, 2004). Agricultural Research Service (ARS), Natural Resources Conservation Service (NRCS), Forest Service, USDA, dan Bureau of Land Management di U.S. Department of the Interior terlibat dalam proyek ini.

WEPP merupakan model buatan Amerika pertama yang dikembangkan untuk memprediksi erosi pada skala luas yang tidak didasari oleh teknologi USLE. WEPP merupakan model physical based, didasari oleh proses dan simulasi harian yang dikembangkan untuk menggantikan Universal Soil Loss Equation (USLE) untuk prediksi erosi (Laflen et al., 1991; Lane dan Nearing, 1989 dalam Troeh et al., 2004). WEPP merupakan suatu model yang menghasilkan perhitungan harian dari keadaan tanah dan biomassa pada suatu lahan. Apabila hujan turun, runoff dihitung. Apabila terjadi runoff, maka sebaran,

angkutan dan deposit sedimen dapat dihitung pada lereng. Perhitungan itu termasuk generator iklim, komponen hidrologi, model pertumbuhan tanaman, dan iklim tanah penutup lahandan database tanaman untuk kondisi yang umum yang terjadi di Amerika. Versi teknologi sebelumnya dirilis pada tahun 1989. Versi tersebut sudah diuji secara ekstensif pada lahan pertanian di Amerika dan menghasilkan hasil yang baik. Verisi ini juga sudah diuji di Eropa, Asia, dan Afrika. Program ini dirilis ke publik pada tahun 1993.

Karena WEPP dapat menghitung tidak hanya jumlah tanah yang tererosi, tetapi juga kapasitas angkutt dari runoff, WEPP juga dapat memprediksi jumlah dan lokasi dari sedimen yang akan dideposit ketika air mengalir perlahan dan lereng mulai rata (Favis-Mortlock dan Guerra, 2000 dalam Troeh et al., 2004). WEPP juga sudah dimodifikasi untuk memprediksi perubahan pola erosi yang akan muncul sebagai suatu solusi dari pemanasan global.

GeoWEPP merupakan perangkat lunak berbentuk Geo-spasial untuk model WEPP yang menggunakan Geographic Information System (GIS) ArcView dan ekstension analisis spasialnya ; yang keduanya dikembangkan oleh Environment Systems Research Institute (ESRI) ; sebagai dasar untuk mengaplikasikan model prediksi erosi (WEPP) dan Windows interface (WEPPWIN) dengan data geospasial topografi, penggunaan lahan dan jenis tanah. Versi GeoWEPP yang telah ada memungkinkan untuk mendeliniasi DAS yang lebih besar dibandingkan ukuran DAS yang direkomendasikan pada simulasi DAS WEPP (<500 ha) (Renschler, 2004).

Simonato (2002, dalam Suhartanto, 2005) menyatakan bahwa sesuai fakta dalam skala bulanan estimasi WEPP dan erosi terukur mempunyai perbedaan sekitar 100%, pada skala musiman perbedaan sekitar 0-40%, dan pada skala tahunan perbedaan sekitar 13-80%.

Ketersediaan data sampai beberapa tahun yang akan datang, masih akan tetap merupakan faktor penghambat penggunaan WEPP, terutama di luar pulau Jawa. Akan tetapi dengan makin banyaknya tuntutan untuk mengevaluasi kualitas lingkungan dan untuk perencanaan tindakan konservasi, maka WEPP layak untuk diverifikasi dan secara bertahap digunakan (Agus et al, 1997 dalam Suhartanto, 2005).

2

KONSEP DASAR WEPP/GEOWEPP

Dalam model WEPP, kehilangan tanah dihitung sepanjang lereng dan menghasilkan hasil sedimen pada akhir lereng. Maksimum lahan yang bisa dihitung oleh WEPP adalah 259 ha untuk lahan pertanian dan seluas 809 ha untuk lahan kosong. Pada GeoWEPP luasan area yang bisa dihitung seluas 16000 ha, lebih besar daripada WEPP karena dapat menghitung untuk beberapa lereng.

Proses physical based erosi dimodelkan didalam GeoWEPP sebagai suatu konsep persamaan kontinuitas steady state sedimen untuk menjelaskan pergerakan dari sedimen dalam rangka mempertahankan hukum kekalan energi. (NSERL, 1995).

WEPP membutuhkan input empat kelompok data untuk dapat dijalankan seperti berikut ini (USDA, 1995) : 1. Data iklim seperti curah hujan harian,

temperatur, radiasi matahari dan angin. Suatu program tersendiri disebut CLIGEN digunakan untuk membangkitkan data iklim yang baik secara kontinyu maupun kejadian tunggal.

2. Data topografi seperti panjang lereng, kemiringan lereng, dan arah lereng.

3. Data tanah seperti tekstur, albedo ( bagian dari radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke atmosfer), kejenuhan awal, erodibilitas tanah, tegangan geser kritis tanah, konduktivitas hidraulik, presentase batuan.

Proses erosi physical based

disimulasikan didalam WEPP dengan konsep persamaan kontinuitas steady-state untuk menjelaskan pergerakan sedimen pada alur mengacu kepada hukum konservasi massa dan energi. Model WEPP menggunakan persamaan-persamaan tersebut dibawah (NSERL., 1995 di dalam Endale, 2003).

Total tingkat erosi dihitung dengan persamaan :

if DDdxdG

+=

dimana : dG = perubahan muatan sedimen (kg/s.m) dx = perubahan panjang lereng (m) Df = tingkat erosi alur (kg/s.m2), positif untuk detasemen, negatif untuk deposit Di = angkutan sedimen antar alur ke alur (kg/s.m2)

Pada dasarnya, partikel tanah dan aliran air bersih saling berhubungan dalam hal detasemen tanah pada alur. Baik partikel tanah dan aliran air bersih memiliki tekanan potensial. Langkah awal untuk memisahkan tanah tekanan pada aliran air bersih seharusnya lebih besar daripada tekanan potensial tanah. Setelah tanah terpisahkan untuk disalurkan, muatan sedimen seharusnya lebih kecil daripada kapasitas angkut dari aliran air bersih tersebut. Oleh karena itu, penyebaran tanah bersih pada alur diperkirakan ketika tekanan geser hidrolik melebihi tekanan geser kritis tanah dan ketika muatan sedimen lebih kecil daripada kapasitas angkut sedimen (NSERL, 1995 didalam Endale, 2003).

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

ccf T

GDD 1

dimana : Dc = kapasitas detasemen dari aliran alur (kg/s.m2) G = muatan sedimen (kg) Tc = kapasitas angkut sedimen pada alur (kg/s.m) Tingkat Erosi Antar Alur

Tingkat erosi alur adalah ukuran sedimen yang dialirkan ke saluran terkonsentrasi. Nilai ini diasumsikan secara proposional pada intensitas curah hujan, run off dan dampak dari kekasaran tanah dengan parameter erodibilitas (Ki) yang secara proporsional konstan, yang pada kenyataannya disesuaikan untuk beberapa faktor yang bervariasi (NSERL, 1995, di dalam Endale 2003). Tinkat erosi antar alur dihitung dengan menggunakan persamaan

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛=WR

FSDRIKD snozzleRRireiadji .... τ

dimana : Kiadj = erodibilitas antar alur yang disesuaikan (kg.s/m4) Ie = intensitas cuah hujan efektif (m/s) τir = tingkat run off antar alur (m/s) SDRRR = sediment delivery ratio (%) Fnozzle = faktor yang disesuaikan untuk nozzle irigasi curah yang berdampak pada variasi energi (%) Rs = jarak alur (m) W = lebar alur (m) LOKASI STUDI

Studi mengenai teknik pendugaan erosi dan sedimentasi berbasis model

3

simulasi GeoWEPP dan SIG menggunakan satuan Daerah Aliran Sungai (DAS). Penelitian ini dilaksanakan di DAS Limboto. Secara astronomis, DAS Limboto terletak pada 122° 42’ 0.24” – 123° 03’ 1.17” BT dan 00° 30’ 2.035” – 00° 47’ 0.49” LU.

Dataran area dari DAS Limboto sangat sempit, hanya 20 % dari seluruh DAS. Ketinggian daratan pada pegunungan

Utara danau berkisar + 700 - + 1000 dan pegunungan Selatan berkisar + 1000 – + 1500 serta pegunungan di bagian Barat perbukitan berkisar + 100 - + 500. Pada bagian tengah DAS Limboto, ketinggian berkisar + 50 - + 100, sedangkan DAS yang berbatasan dengan Danau Limboto berkisar + 20 - + 50.

Gambar 1. Peta Topografi DAS Limboto

PERSIAPAN INPUT DATA A. Data Iklim

Data iklim yang dibutuhkan oleh GeoWEPP termasuk nilai harian dari curah hujan, temperatur, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Data iklim tersebut dibutuhkan untuk diolah terlebih dahulu dengan menggunakan model CLIGEN. CLIGEN merupakan generator iklim stokastik yang menghasilkan perkiraan harian time series dari curah hujan, temperatur, titik embun, angin dan radiasi matahari untuk satu titik geografis, berdasarkan pengukuran rata-rata bulanan untuk suatu periode iklim tertentu, seperti nilai rata-rata, standar deviasi dan penyimpangan data. Perkiraan dari tiap parameter diolah secara independen terhadap satu dengan lainnya. (NSERL, 2002).

Model GeoWEPP membutuhkan input data iklim yang dibangun oleh model CLIGEN. Model CLIGEN membutuhkan

data hujan bulanan statistik dan data iklim khusus sebagai contoh dibutuhkan pencatatan curah hujan setiap 15 menit pada suatu stasiun cuaca. Data yang tersedia di studi area adalah data curah hujan harian dan temperatur bulanan, penyinaran matahari bulanan, dan kecepatan serta arah angin bulanan. Data yang dibutuhkan adalah data iklim harian. Oleh karena itu digunakan data daerah yang dekat dengan studi area yakni Stasiun Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Daerah ini dipilih karena memiliki data iklim harian selama 10 tahun yang cukup lengkap dan memiliki kondisi geografis yang similar dengan lokasi stusi area.

Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia yang berada antara 4o13’ – 5o06’ lintang selatan dan 119o42’ – 120o30’ bujur timur. Wilayah Kabupaten Bone

4

termasuk daerah beriklim sedang kelembaban udara berkisar antara 95 % - 99 % dengan temperatur berkisar 26 – 43oC. Pada periode April-September bertiup angin timur yang membawa hujan, sebaliknya pada. bulan Oktober-Maret bertiup angin barat, dimana pada waktu itu Kabupaten Bone mengalami musim kemarau.

B. Pengolahan Data Topografi Untuk mendapatkan peta kontur DAS

Limboto, digunakan data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dan software Global Mapper 6. SRTM merupakan proyek gabungan antara NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan NGA (National Geospatial-Intelligence Agency) yang didistribusikan oleh USGS (U.S. Geological Survey) untuk memetakan permukaan bumi dalam tiga dimensipada suatu level detail yang unik untuk area yang luas. SRTM telah berhasil mengumpulkan data 80 % dari seluruh permukaan bumi terutama daerah yang terletak diantara 60° LU sampai 56° LS dari pesawat ulang alik NASA Endeavour pada 11-22 Februari 2000.

Pada program Global Mapper 6, SRTM DAS Limboto berada pada 122° 42’ 0.24” – 123° 03’ 1.17” BT. Peta kontur dibuat dalam program Global Mapper dengan interval 10 m. Data kontur yang akan diolah disimpan dalam bentuk data digital. Data digital ini adalah adalah data vektor dalam format ArcView shape file ataupun format yang lain yang dapat dikonversi menjadi ArcView shape file. Data kontur format vektor diolah terlebih dahulu menjadi Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model / DEM) dengan metode TIN (Triangulated Irregular Network). Berdasarkan DEM kemudian dibuat data ketinggian dalam 25 format raster (GRID). C. Data Tanah

Jenis tanah area studi meliputi Inceptisols, (tanah dengan pengembangan horizon minimal), Entisols (tanah asli, diolah dengan material induk yang tidak terkonsolidasi), Alfisols (tanah hutan yang mudah menyerap dengan tingkat kesuburan yang relatif tinggi), Vertisols, Mollisols

(tanah yang berada pada ekosistem padang rumput).

Berdasarkan peta tanah tinjau yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah Agroklimat (1992) yang menggunakan sistem Taxonomi Tanah Amerika Serikat (USDA) di wilayah DAS Limboto terdapat beberapa ordo tanah yaitu :

Tabel 1. Klasifikasi Tanah pada DAS Limboto

Luas No. Ordo ha (%) 1 Alfisol 43.849 50.01 2 Molisol 6.027 6.87 3 Vertisol 5.022 5.73 4 Entisol 1.965 2.24 5 Inceptisol 27.400 31.25 *) Danau 3.415 3.89

Total 84.263 96.11 Sumber : Peta Tanah Tinjau Kabupaten Gorontalo Tahun 1992 Puslitan Bogor. *) Luasan tidak termasuk Luas Danau

D. Data Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil interpretasi foto

udara dan citra satelit serta hasil pengecekan lapangan, penggunaan lahan di wilayah DAS Limboto terbagi menjadi dua belas kelompok. Secara rincei dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Jenis Penggunaan Lahan DAS Limboto

Luas No. Jenis Penggunaan Lahan ha (%)

1 Danau 3.415 3.75 2 Belukar 8.029 8.82 3 Hutan 14.893 16.37 4 Kebun 676 0.74 5 Kebun Campuran 3.042 3.34 6 Kelapa 12.526 13.76 7 Ladang 10.056 11.05 8 Pemukiman 708 0.78 9 Rawa 143 0.16

10 Sawah 4.791 5.26 11 Sawah/Rawa 608 0.67 12 Tegalan 32.117 35.29

Total 91.004 100.00 Sumber : Peta Citra Landsat Kabupaten Gorontalo di dalam RTL-RLKT, 2003

5

Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Limboto

Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah DAS Limboto adalah tegalan dengan luas 32.117 ha (35.29 %). Dari luas DAS, urutan kedua adalah hutan 14.893 ha (16.37 %), berikutnya perkebunan kelapa dengan luas 12.526 ha atau (13.76 %) dari total luas DAS. Luasan yang paling kecil adalah rawa mencapai 143 ha (0.16 %) dari total luas DAS Limboto.

E. Data Jenis Saluran

Dalam program GeoWEPP, diperlukan input jenis saluran yang ada serta lebar saluran secara umum. Untuk saluran/sungai yang terdapat didalam DAS Limboto diasumsikan seragam seperti yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Asumsi jenis saluran yang berada di

DAS Limboto

No. Jenis Saluran Lebar Saluran (m)

1 Saluran berbatu 1 2 Saluran berbatu 2 3 Saluran kerikil 2 4 Saluran kerikil 3 5 Saluran alam 3

TEKNIK PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMEN BERBASIS MODEL GEOWEPP

Program GeoWEPP hanya dapat mensimulasikan erosi dan sedimen untuk luasan area tertentu saja (< 16000 ha). Oleh karena itu DAS Limboto dibagi menjadi beberapa zone berdasarkan outlet anak sungai yang paling luar dan mencukupi syarat minimal simulasi dengan program GeoWEPP. Pembagian zone ini lebih baik berupa persegi panjang karena dalam pembuatan TIN dari peta kontur membutuhkan bentuk peta trianggular. Pembagian zone dilakukan pada program ArcView GIS diikuti dengan pembagian DEM, peta tanah dan peta penggunaan lahan masing-masing zone. Pembagian zone yang dilakukan cukup banyak mengingat agar sub DAS yag terbentuk nanti memiliki bentuk dan batas yang tepat.

Program GeoWEPP terbatas hanya dapat mensimulasikan daerah-daerah yang berkontur. Simulasi akan menjadi error apabila diterapkan pada daerah datar. Oleh karena itu daerah yang berada disekitar danau tidak dapat dihitung. Program ini dapat diinstal dari file zip GeoWEPP2004-3.zip yang terdapat di CD-ROO maupun didownload dari situs GeoWEPP http://www.geog.buffalo.edu/~rensch/geowepp/ .

6

Gambar 3. Peta Pembagian Batas Zone

Gambar 4. Tampilan Jaringan Sungai yang Terdeliniasi

Metode Simulasi yang digunakan terbagi menjadi : 1. Metode DAS (Watershed), yakni

simulasi untuk merepresentasikan kelerengan dan saluran-saluran sungai (metode DAS) yang mengkaji akibat off-site dari lereng dan sungai yang terdapat di dalam sub DAS tersebut.

2. Metode Aliran (Flowpath), yakni simulasi untuk seluruh masing-masing aliran dan menyatukan mereka menjadi suatu analisa spasial dengan mempertimbangkan hasil simulasi untuk setiap sel raster dari luas area dan panjang aliran yang tercakup didalamnya.

Pada legenda dari peta hasil running WEPP secara dinamis diset pada nilai kehilangan tanah yang dapat ditoleransi atau nilai target T. Hal ini memungkinkan pengguna program GeoWEPP memasukkan nilai batas yang dapat ditoleransi dan membuat peta tampilan area dengan nilai T yang dapat ditoleransi (berwarna hijau), nilai T yang tidak dapat ditoleransi (berwarna merah) dan area deposit (berwarna kuning). Dalam hal ini nilai T yang dipakai adalah 10 ton/ha/thn (Suripin, 2002).

Peta off-site menunjukkan hasil sedimen yang masuk ke sungai dari masing-masing lereng berdasarkan nilai T. Peta on-site ditampilkan dengan mengaktifkan theme on-site sehinga peta hasil sedimen akan hilang temporari dari tampilan layar dan menampilkan peta kehilangan tanah (per

7

pixel). Gambar 5. menampilkan hasil dari watershed method dan flowpath method.

(a) (b)

Gambar 5. Hasil Running GeoWEPP dengan (a) Watershed Method dan (b) Flowpath Method HASIL RUNNING MODEL GEOWEPP

Untuk membuat model simulasi dengan GeoWEPP dibuat 14 zone untuk membantu pembentukan masing-masing sub DAS dari outlet-outlet jaringan sungai yang ditentukan. Setiap zone dimungkin kan terdapat beberapa outlet yang dapat dibentuk dan masing-masing otlet akan mewakili sub das yang berbeda-beda.

Setelah melalui beberapa proses trial and error dalam hal penentuan letak dan besar zone serta letak masing-masing outlet, didapat pembagian pembentukan sub DAS yang paling baik yakni terbagi menjadi 14 zone, 42 outlet dan 42 sub DAS yang

tersebar di DAS Limboto. Maisng-masing sub DAS akan menghasilkan model simulasi prediksi erosi dan sedimen yang berbeda-beda tergantung dari luas das, topografi das, penutup lahan yang ada, dan jenis tanah yang terkandung didalamnya.

Setelah model terbentuk dari masing-masing sub DAS maka akan dihasilkan dua jenis peta yakni peta off-site dan peta on-site. Masing-masing peta dari masing-masing sub DAS dikumpulkan kembali dengan program ArcView dan dihasilkan peta off-site dan peta on-site DAS Limboto seperti yang tertera pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Peta Hasil Sedimen Model GeoWEPP (Kajian Off-site)

8

Gambar 7. Peta Kehilangan Tanah Model GeoWEPP (Kajian On-site)

Pada Gambar 6. terdapat peta hasil

sedimen yang merupakan peta kajian off-site dari model GeoWEPP. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi sedimen terbesar yakni dengan dengan nilai sediment yield > 4T (T = 10 ton/ha/thn) berada pada Utara Danau Limboto atau berada pada pertengahan DAS Limboto dan sejumlah besar dengan kadar yang lebih kecil tersebar ditenggara DAS Limboto. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut memiliki dominan penutupan lahan berupa ladang, kebun dan belukar. Daerah tersebut juga berada pada rata-rata ketinggian 350-500 m MSL. Daerah yang memberikan kontribusi sedimen yield yang cukup rendah berada pada daerah utara dan selatan DAS yang kebanyakan terdiri dari hutan.

Pada Gambar 7. terdapat peta kehilangan jumlah tanah yang merupakan peta kajian on-site dari mdoel GeoWEPP. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kehilangan jumlah tanah terbesar juga berada pada Utara Danau Limboto dan sedikit tersebar dibagian tenggara DAS Limboto. Kehilangan jumlah tanah dengan jumlah yang kecil tersebar merata di bagian Utara, Tengah dan Selatan DAS Limboto.

Pada hasil running model simulasi GeoWEPP terdapat beberapa perbedaan dengan studi yang terdahulu pernah dilakukan. Perbedaan pertama terletak pada luas DAS yang tercakup dari hasil running. Pada RTL-RLKT yang diterbitkan oleh BP

DAS Bone Bolango tertera luas DAS Limboto adalah 91004 ha. Pada hasil running GeoWEPP luas DAS Limboto menjadi 90357.951 ha. Rincian luas DAS Limboto hasil running GeoWEPP tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Rincian Luas DAS Limboto Hasil Running GeoWEPP

Luas % Luas

No. Keterangan ha %

1 LuasDAS yang tercakup GeoWEPP

76276,81 84,42

2 Danau 3412,704 3,78

3 Luas area yang tidak tercakup GeoWEPP

10667,477 11,81

Jumlah 90357,951 100,00

Program GeoWEPP memiliki

keterbatasan dalam mensimulasikan daerah-daerah yang relatif datar. Oleh karena itu 11.81% dari total luas DAS Limboto atau 10.667,477 ha tidak dapat disimulasi mengingat keterbatasan tersebut. Daerah yang dapat disimulasikan adalah 76276,81 ha atau 84.42% dari keseluruhan total luas DAS Limboto. Danau Limboto yang memiliki luas 3412.704 ha tidak termasuk daerah yang disimulasikan oleh GeoWEPP.

9

Tabel 5. Hasil Running GeoWEPP

Keterangan Nilai Luas Area 76276,81 ha Total Erosi 3.409.067,36 ton/thn Total Deposisi Sedimen 224.356,54 ton/thn

Total Sediment Yield 3.184.710,41 ton/thn Rata-rata Erosi 44,69 ton/ha/thn Rata-rata Deposisi Sedimen 2,94 ton/ha/thn

Rata-Rata Sediment Yield 41,75 ton/ha/thn

Berdasarkan hasil running GeoWEPP

didapat jumlah total erosi pada DAS Limboto sebesar 3.409.067,36 ton/thn atau rata-rata erosi per hektar adalah 44,69 ton/ha/thn atau 3.72 mm/thn. Nilai erosi tersebut telah melewati ambang batas bahaya erosi yang diperkenankan (dapat ditoleransikan) yaitu sebesar 10 ton/ha/thn (Suripin 2002). Sediment deposisi pada DAS Limboto 224.356,54 ton/thn atau sedimen deposisi per hektar adalah sebesar 2,94 ton/ha atau 0.245 mm/thn. Sediment yield DAS Limboto adalah 3.184.710,41 ton/thn atau sedimen yield per hektar adalah 41,75 ton/ha/thn atau 3.48 mm/thn. Dari data diatas adalah sesuai dengan keadaan DAS Limboto yang sebagian besar tertutupi oleh ladang dan tegalan. Usaha penanganan semakin terfokus kepada pengendalian pengelolaan lahan perladangan yang terjadi pada lahan miring dan tidak menerapkan kaidah konservasi.

Total erosi dan sedimen hasil running GeoWEPP memiliki perbedaan dengan RTL-RLKT. Pada RTL-RLKT didapat hasil total erosi DAS Limboto adalah 4.222.096 ton/thn atau nilai rata-rata erosi per hektar adalah 108.81 ton/ha/thn. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok dengan hasil running GeoWEPP yakni 23.85% lebih kecil dari total erosi RTL-RLKT. Hal ini disebabkan karena RTL-RLKT menggunakan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation). Pendekatan USLE memiliki beberapa kekurangan salah satunya adalah memiliki skala prediksi bentang lereng (hillslope profile) dengan erosi rata-rata tahunan dari suatu bentang lereng yang tidak ada cekungan deposisinya sedangkan GeoWEPP memiliki skala prediksi DAS dan bentang lereng (hillslope) yang dibagi

menjadi grid dengan erosi dan deposisi menurut sebaran ruang dan waktu dan dapat menampilkan jumlah tanah tererosi, deposisi, hasil sedimen dan hasil limpasan permukaan.

Total erosi dan sedimen hasil running GeoWEPP juga memiliki perbedaan dengan hasil studi PT. MAXITECH Utama Indonesia untuk pekerjaan “Perencanaan Bangunan Erosi dan Sedimentasi DAS Limboto“. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa laju erosi lahan berkisar 126.355,41 m3/thn/ atau 1.76 mm/thn. Hal ini disebabkan karena studi tersebut menggunakan pendekatan formula empiris Murano (1967). Studi ini menyatakan bahwa terdapat sumber sedimen lain yang masuk ke Danau Limboto yakni dijumpai rreruntuhan tebing-tebing sungai terutama pada tikungan (meander belt) dengan material lepas pasir – kerikil yang terbawa aliran sungai menjadi sumber endapan di Danau Limboto. Hasil studi ini juga menyatakan bahwa umur guna Danau Limboto sebagai laguna tinggal 60-70 tahun dinilai sanagt cepat. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah sedimentasi dan mengurangi laju angkutan sedimen di sungai-sungai DAS Limboto harus dilakukan secara nyata dan menerus (berkelanjutan). KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kekurangan data tanah dan iklim merupakan kendala terbesar penggunaan GeoWEPP.

2. Program GeoWEPP hanya dapat mensimulasikan erosi dan sedimen untuk luasan area tertentu saja (< 16000 ha). Oleh karena itu DAS Limboto dibagi menjadi beberapa zone berdasarkan outlet anak sungai yang paling luar dan mencukupi syarat minimal simulasi dengan program GeoWEPP.

3. Pada kajian off-site DAS Limboto, diketahui bahwa sebagian besar wilayah DAS bagian Tengah, Utara dan sedikit dibagian Tenggara memberikan kontribusi sediment yield > 40 ton/ha/thn. Pada kajian on-site DAS Limboto, diketahui bahwa wilayah DAS Limboto bagian Tengah, Utara dan Tenggara memberikan kontribusi kehilangan tanah >40 ton/ha/thn. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut memiliki dominan penutupan lahan berupa ladang, kebun dan belukar.

10

Daerah tersebut juga berada pada rata-rata ketinggian 350-500 m MSL.

4. Program GeoWEPP memiliki keterbatasan tidak dapat mensimulasikan daerah yang relatif datar sehingga 11.81% dari total luas DAS Limboto atau 10.667,477 ha tidak dapat disimulasi mengingat keterbatasan tersebut. Daerah yang dapat disimulasikan adalah 76276,81ha atau 84.42% dari keseluruhan total luas DAS Limboto.

5. Berdasarkan hasil running GeoWEPP DAS Limboto berada pada kondisi kritis yakni dengan total erosi pada DAS Limboto sebesar 3.409.067,36 ton/thn atau rata-rata erosi per hektar adalah 44,69 ton/ha/thn atau 3.72 mm/thn.. Nilai erosi tersebut telah melewati ambang batas bahaya erosi yang diperkenankan (dapat ditoleransikan) yaitu sebesar 10 ton/ha/thn (Suripin 2002).

6. Sediment deposisi pada DAS Limboto 224.356,54 ton/thn atau sedimen deposisi per hektar adalah sebesar 2,94 ton/ha atau 0.245 mm/thn. Sediment yield DAS Limboto adalah 3.184.710,41 ton/thn atau sedimen yield per hektar adalah 41,75 ton/ha/thn atau 3.48 mm/thn. Dari data diatas adalah sesuai dengan keadaan DAS Limboto yang sebagian besar tertutupi oleh ladang dan tegalan. Usaha penanganan semakin terfokus kepada pengendalian pengelolaan lahan perladangan yang terjadi pada lahan miring dan tidak menerapkan kaidah konservasi.

7. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok mengenai total erosi dan sedimen hasil running GeoWEPP dengan RTL-RLKT (4.222.096 ton/thn atau 108.81 ton/ha/thn) yakni 23.85% lebih kecil dari total erosi RTL-RLKT. Hal ini disebabkan karena RTL-RLKT menggunakan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation).

B. Saran 1. Perbaikan kualitas DAS Limboto perlu

dilakukan secara menerus sedikit demi sedikit (gradually) baik secara vegetaif (penanaman tumbuhan atau tanaman yang menutupi tanah secara terus menerus, penanaman dalam strip (strip cropping), pergiliran tanaman dengan

pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation),sistem pertanian hutan (agroforestry),penanaman saluran-saluran pembuangan dengan rumput), secara mekanik (pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, teras, dam penghambat (check dam), waduk (balong) (form ponds), rorak, tanggul perbaikan drainase dan irigasi) dan diprogramkan secara terpadu dari seluruh Dinas Teknis yang terkait (Kehutanan, Pekerjaan Umum, Pertanian, Perkebunan dan lainnya).

2. Diperlukan pendekatan sosial, ekonomi dan budaya sehingga pemilik lahan atau petani setempat mau melakukan usaha konservasi untuk meminimalisasi jumlah erosi dan sedimen yang masuk ke Danau Limboto.

3. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu dipersiapkan input data tanah dan iklim yang lebih mendetail agar prediksi erosi dan sedimen dapat lebih mendetail dan lebih sesuai dengan kondisi lapang.

4. Pemberian skenario simulasi pencegahan erosi dan sedimen akan memberikan alternatif yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah setempat untuk menjalankan program konservasi tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ascough, J.C, et al. (1005), Watershed Model Channel Hydrology and Erosion Processes, dalam Technical Documentation USDA - Water Erosion Prediction Project (WEPP), NSERL Repot No. 10, USDA – ARS - MWA, WestLafayette,<http://topsoil.nserl.purdue.edu/nserlweb/weppmain/docs/chap13.pdf>, diakses 9 Mei 2006.

2. Asdak, C. (1995), Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press.

3. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone-Bolango. (2003), Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Limboto, Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

4. Bazzoffi, P. (2002), Impact of Human Activities on Soil Loss, Direct and Indirect

11

Evaluation, dalam Sustainable Land Management – Environmental Protection A Soil Physical Approach, Chapter V, Pagliai, M., Jones, R., Editor, IUSS, 429-580.

5. Canadian International Development Agency (CIDA). (1999), Master Plan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone, Dinas PU Prop. Sulawesi Utara.

6. Cligen Weather Generator, expanded and improved by USDA Agricultural Research Service and U. S. Forest Service <http://horizon.nserl.purdue.edu/Cligen>, diakses 27 April 2006.

7. Darsono, S. (1994), Pengendalin Erosi untuk Mengatasi Angkutan Sedimen yang Berlebihan pada Suatu Sungai, Jurnal dan Pengenbangan Keairan, No. 1-Tahun 1-April ’94, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 70-78.

8. Endale, M. (2003), Cropland Soil Erosion Prediction using WEPP Model (A Case Study on Hillslope in Lom Kao District, Thailand), Thesis of International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Enschede, The Netherland, www.itc.nl/library/Papers_2003/msc/ereg/melkam.pdf, diakses 30 Maret 2006.

9. Foster, G.R., et al. (1995), Hillslope Erosion Component, dalam Technical Documentation USDA - Water Erosion prediction Project (WEPP), NSERL Repot No. 10, USDA-ARS-MWA,West Lafayette,<http://topsoil.nserl.purdue.edu/nserlweb/weppmain/docs/chap11.pdf>, diakses 9 Mei 2006.

10. Garbrecht, J., Martz, L. Topographic Parameterization Software (TOPAZ), U.S. Department of Agriculture, USA and the Department of Geography, University of Saskatchewan, Canada, < http://grl.ars.usda.gov/topaz/TOPAZ1.HTM#generalinfo>, 15 Mei 2006.

11. Gardiner, D.T., Miller, R.W. (2004), Soils in Our Environtment, Tenth Edition, Prentice Hall, 204-429.

12. Ginting, S.H., Putuhena, W.M. (2005), Estimasi erosi Lahan si Daerah Aliran

Danau Tondano Menggunakan Geographic Information System (GIS), Jurnal Sumber Daya Air, Volume 1, No. 1, November 2005, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 67-77.

13. Larekeng, A.S. (2003), Prediksi Laju Erosi Berbasis Sistem Informasi Geografis pada DAS Tangka, Sulawesi Selatan, Skripsi Program Sarjana, Universitas Hasanuddin.

14. Linsley, R.K., Franzini, J.B. (1972), Water-Resources Engineering, McGraw-Hill Book Company, 147-171.

15. Linsley, R.K., Kohler M.A., Paulhus, J.L.H. (1989), Hidrologi untuk Insinyur, Penerbit Erlangga.

16. Japan Internasional Cooperation Agency dan The Government of Republic of Indonesia. (2002), The Study on Flood Control and Water Management in Limboto-Bolango-Bone Basin in The Republic of Indonesia, Nikken Consultants, Inc and Nippon Koei CO,.LTD.

17. Minkowski, M. (2005), Advanced GeoWEPP Tools, University of Buffalo, Buffalo, NewYork,http://www.geog.buffalo.edu/~rensch/geowepp/documents/Advance%20GeoWEPP%20Tools.pdf>, diakses 27 Maret 2006.

18. PT. Maxitech Utama Indonesia. (2004), Laporan Akhir Pekerjaan : Pekerjaan Bangunan Pengendali Erosi dan Sedimentasi DAS Limboto, Dinas PU Propinsi Gorontalo.

19. Renard, K.G., Lane, L.J., Foster, G.R., Laflen, J.M. (1995), Soil Loss Estimation, dalam Soil Erosion Conservation, and Rehabilitation, Bab 9, Agassi, M., Editor, Marcel Dekker, Inc., 169-199.

20. Renschler, C.S. (2004), GeoWEPP ArcX 2004.3 Tutorial, University of Buffalo – The State UniversityofNewYork,http://www.geog.buffalo.edu/~rensch/geowepp/documents/GeoWEPP%20Tutorial%20ArcX%202004.3.pdf, diakses 18 April 2006.

21. Simonato, Tommaso, Bischetti, G.B., Crosta, G.B. (2002), Evaluating Soil Erosion with RUSLE and WEPP in an Alpine Environment (Dorena Valley – Central Alps, Italy), dalam Sustainable

12

Land Management – Environmental Protection A Soil Physical Approach, Chapter V, Pagliai, M., Jones, R., Editor, IUSS, 481-494.

22. Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), Fact Sheet 071-03 (June 2004). (2004), USGS/EROS Data Center, http://mac.usgs.gov/isb/pubs/factsheets/fs07103.html, diakses 27 Juni 2006.

23. Suhartanto, E. (2005), Pendugaan Erosi, Sedimen dan Limpasan Berbasis Model Hidrologi WEPP dan SIG di Sub-DAS Ciriung, DAS Cidanau, Disertasi Program Doktor, Institut Pertanian Bogor.

24. Suripin. (2001), Pengaruh Sedimentasi Waduk Terhadap Keberlanjutan Pembangunan, Jurnal dan Pengembangan Keairan, No.1-Tahun 8-Juli 2001, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 1-6.

25. Troeh, F.R., Hobbs, J.A., Donahue, R.L. (2004), Soil and Water Conservation for Productivity and Environmental Protection, Prentice Hall, 129-155.

26. Wild, A. (1993), Soils and the Environment : An Introduction, Cambridge University Press, 17-19.

27. Yang, C.T. (1996), Sediment Transport Theory and Practice, The McGraw-Hill Companies, Inc., 267-314.

28. Yoshino, K., Ishioka Y., (2005), Guidelines for Soil Conservation Towards Integrated Basin Management for Sustainable Development : A new Approach based on The Assessment of Soil Loss Risk Using Remote Sensing and GIS, Article of Paddy Water Environ, 235-247.

13