penelitian “analisis sistem pengenalan karakter plat ... ii.pdf · dalam penelitian sistem...

22
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori penunjang yang digunakan dalam penelitian sistem pengenalan karakter plat kendaraan pada citra uji kendaraan, ringkasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian ini, dan perbedaan sistem yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. 2.1 Tinjauan Mutakhir Penelitian “Analisis Sistem Pengenalan Karakter Pl at Kendaraan dari Citra Kendaraan” disusun menggunakan acuan beberapa referensi yang membahas topik berkaitan dengan pengenalan karakter plat kendaraan. Beberapa referensi yang akan digunakan sebagai acuan pengembangan penelitian ditentukan berdasarkan topik terkait penelitian, metode yang digunakan, dan algoritma simulasi yang diterapkan dalam penelitian tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan batasan-batasan masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis memilih beberapa referensi sebagai acuan penelitian serupa yang menggunakan arsitektur sistem, metode, dan alur pengembangan yang berbeda satu sama lain. Uraian singkat referensi tersebut adalah sebagai berikut. 1. PENGENALAN PLAT NOMOR POLISI KENDARAAN BERMOTOR (Tugas akhir Ottopianus Mellolo, Program Studi Teknik Elektro Politeknik Manado Jurnal Ilmiah Sains Vol. 12. No. 1, April 2012). Dalam penelitiannya, ottopianus menggunakan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Martinsky dengan judul Algoritmic and Mathematical Principle of Automatic Number Plate Recognition Systems dengan JavaANPR perangkat lunak yang digunakan untuk mengenali plat nomor polisi yang terdapat dalam citra kendaraan (plat dasar putih/terang tulisan hitam/gelap) untuk mendeksi karakter plat kendaraan. Ottorpianus

Upload: vuongtu

Post on 06-Feb-2018

246 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori penunjang yang digunakan

dalam penelitian sistem pengenalan karakter plat kendaraan pada citra uji kendaraan,

ringkasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian

ini, dan perbedaan sistem yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya.

2.1 Tinjauan Mutakhir

Penelitian “Analisis Sistem Pengenalan Karakter Plat Kendaraan dari Citra

Kendaraan” disusun menggunakan acuan beberapa referensi yang membahas topik

berkaitan dengan pengenalan karakter plat kendaraan. Beberapa referensi yang akan

digunakan sebagai acuan pengembangan penelitian ditentukan berdasarkan topik

terkait penelitian, metode yang digunakan, dan algoritma simulasi yang diterapkan

dalam penelitian tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan batasan-batasan

masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Dalam hal ini penulis

memilih beberapa referensi sebagai acuan penelitian serupa yang menggunakan

arsitektur sistem, metode, dan alur pengembangan yang berbeda satu sama lain.

Uraian singkat referensi tersebut adalah sebagai berikut.

1. PENGENALAN PLAT NOMOR POLISI KENDARAAN BERMOTOR

(Tugas akhir Ottopianus Mellolo, Program Studi Teknik Elektro Politeknik

Manado Jurnal Ilmiah Sains Vol. 12. No. 1, April 2012). Dalam

penelitiannya, ottopianus menggunakan merujuk pada penelitian yang

dilakukan oleh Martinsky dengan judul Algoritmic and Mathematical

Principle of Automatic Number Plate Recognition Systems dengan

JavaANPR perangkat lunak yang digunakan untuk mengenali plat nomor

polisi yang terdapat dalam citra kendaraan (plat dasar putih/terang tulisan

hitam/gelap) untuk mendeksi karakter plat kendaraan. Ottorpianus

7

menggunakan Hough transform untuk mendeteksi plat dari kendaraan dan

juga thresholding untuk membuat input citra tersebut menjadi hitam dan putih

2. Segmentasi Plat Nomor Kendaraan Dengan Menggunakan Metode Run-

Length Smearing Algorithm (RLSA) (Tugas Akhir Liliana, Universitas

Kristen Petra)

Dalam penelitian Liana, membahas tentang pengembangan aplikasi

menggunakan metode run-lengths mearing untuk mencari lokasi plat nomor

kendaraaan. Pada penelitian ini menggunakan warna biru pada citra uji sebagai

pengganti grayscale untuk memudahkan pengenalanan pada plat nomor

kendaraan di Indonesia yang cenderung berwarna gelap yang menyebabkan

proses pencarian posisi tidak bisa dilakukan dengan mengenali warna plat.

Penerapan proses smearing dalam penelitian Liana dilakukan sebanyak tiga kali

dengan melakukan scan line secara vertikal dan horizontal secara bergantian

hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Dari penelitian yang dilakukan

dengan citra uji plat kendaraan dengan jarak pengambilan gambar sejauh 2

sampai 2,5 meter , posisi plat kendaraan dapat dikenali dengan baik. Namun

hasil pengenalan posisi plat nomor dalam penelitian ini dipengaruhi oleh

intensitas cahaya dan warna kendaraan saat pengambilan citra uji.

3. Analisis Sistem Pendeteksi Posisi Plat Kendaraan Dari Citra Kendaraan

(IDewa Gede Aditya Pemayun , Jurnal Teknik Elektro Universitas Udayana)

Dalam jurnal Aditya, memaparkan pendeteksian posisi plat kendaraan bermotor

menggunakan teknik pengolahan citra digital dengan menggunakan metode

Transformasi Hough dimana sistem akan mendeteksi garis vertikal maupun

garis horizontal sebagai kandidat sisi plat, kemudian membandingkan masing

masing garis dalam tahap threshoding untuk menemukan pasangan tinggi plat

secara vertikal dan lebar plat secara horizontal. Sistem diharapkan mampu

mendeteksi posisi plat kendaraan dan dapat membedakan objek area plat

dengan objek lainnya dalam citra kendaraan. Untuk hasil simulasi deteksi

8

horizontal menunjukkan keberhasilan 90% dengan 10% tingkat kegagalan.

Simulasi skenario kedua deteksi vertikal mendapatkan tingkat keberhasilan

35% dengan persentase kegagalan yang lebih tinggi sebesar 65%. Skenario

gabungan mendapatkan keberhasilan sistem dalam mendeteksi 20 citra sampel

adalah 95% dengan persentase kegagalan 5%.

2.2 Tanda Nomor Kendaraan Bermotor

Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) merupakan salah satu bentuk

identitas kendaraan yang resmi dikeluarkan oleh Kantor Bersama Samsat. Secara fisik

bentuk identitas kendaraaan ini berupa potongan plat aluminium yang memiliki

nomor seri yakni susunan huruf dan angka berbeda pada setiap kendaraan. Identitas

ini dapat pula disebut plat nomor atau nomor polisi (nopol) yang terpasang pada

bagian depan dan belakang kendaraan bermotor. Nomor ini di Indonesia dipadukan

dengan informasi lain mengenai kendaraan bersangkutan, seperti warna, merk, model,

tahun pembuatan, nomor identifikasi kendaraan atau VIN dan tentu saja nama dan

alamat pemilikinya. Semua data ini juga tertera dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan

Bermotor (STNK) yang merupakan surat bukti bahwa nomor polisi itu memang

ditetapkan bagi kendaraan tersebut. Selain itu, plat nomor juga diakui secara sah

sebagai bukti bahwa kendaraan tersebut sudah memiliki izin untuk beroperasi di jalan

raya umum, atau juga sebagai bukti pembayaran pajak kendaraan bermotor.

2.2.1 Spesifikasi Teknis Tanda Nomor Kendaraan Bermotor

Tanda nomor kendaraan bermotor di Indonesia berbentuk plat aluminium

dengan cetakan tulisan dua baris. Baris pertama menunjukkan: kode wilayah (huruf),

nomor polisi (angka), dan kode akhir wilayah (huruf) baris kedua menunjukkan bulan

dan tahun masa berlaku.

Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) terbuat dari aluminium

denganketebalan satu milimeter dan ukuran untuk kendaraan bermotor roda 2 dan

roda 3 adalah 275 x110 mm,sedangkan untuk kendaraan bermotor roda 4 atau lebih

9

adalah 430 x135 mm. Terdapat lis putih di sekeliling plat yang guna memperjelas

area plat kendaraan. Pada sudut kanan atas dan sudut kiri bawah terdapat tanda

khusus (security mark) cetakan lambang Polisi Lalu Lintas; sedangkan pada sisi

sebelah kanan dan sisi sebelah kiri ada tanda khusus cetakan "DITLANTAS

POLRI"(Direktorat Lalu Lintas Kepolisian RI) yang merupakan hak paten

pembuatanTNKB oleh Polri dan TNI.

Gambar 2.1Penomoran Plat kendaraan Bermotor(Sumber :Anonim. 2013)

2.2.2 Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor

Warna tanda nomor kendaraan bermotor yang berlaku di Indonesia ditetapkan

sebagai berikut:

1. Kendaraan bermotor bukan umum dan kendaraan bermotor sewa: warna dasar

hitam dengan tulisan berwarna putih.

2. Kendaraan bermotor umum: warna dasar kuning dengan tulisan berwarna

hitam.

3. Kendaraan bermotor milik pemerintah: warna dasar merah dengan tulisan

berwarna putih.

4. Kendaraan bermotor korps diplomatik negara asing: warna dasar putih dengan

tulisan berwarna hitam.

10

5. Kendaraan bermotor staf operasional korps diplomatik negara asing: warna

dasar hitam dengan tulisan berwarna putih dan terdiri dari lima angka dankode

angka negara dicetak lebih kecil dengan format sub-bagian.

6. Kendaraan bermotor untuk transportasi dealer (pengiriman dari perakitan ke

dealer, atau dealer ke dealer): warna dasar putih dengan tulisan berwarna

merah.

2.3 Konsep Dasar Citra

Citra (image) adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari

suatu objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik

berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor

televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpanpada suatu media

penyimpan (Sutuyo dkk, 2009).

2.3.1 Citra Analog

Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada layar

televisi, foto sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemandangan alam,

hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya.

Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa

diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di

komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra

analog dihasilkan dari alat-alat analog, seperti : video kamera analog, kamera foto

analog, WebCam, CT scan, sensor rontgen untuk foto thorax, sensor gelombang

pendek pada sistem radar, sensor ultrasound pada sistem USG, dan lain-lain.

2.3.2 Citra Digital

Citra digital adalah gambar dua dimensi yang dapat ditampilkan pada layar

monitor komputer sebagai himpunan berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut

pixel (picture elements). Pixel adalah elemen citra yang memiliki nilai yang

menunjukkan intensitas warna. Citra digital (diskrit) dihasilkan dari citra analog

11

(kontinu) melalui digitalisasi. Digitalisasi citra analog terdiri atas penerokan

(sampling) dan kuantisasi (quantization). Penerokan adalah pembagian citra ke dalam

elemen-elemen diskrit (pixel), sedangkan kuantisasi adalah pemberian nilai intensitas

warna pada setiap pixel dengan nilai yang berupabilangan bulat (Awcock, 1996).

Banyaknya nilai yang dapat digunakandalam kuantisasi citra bergantung pada

kedalaman pixel, yaitu banyaknya bit yang digunakan untuk merepresentasikan

intensitas warna pixel. Kedalaman pixel sering disebut juga kedalaman warna. Citra

digital yang memiliki kedalaman pixeln-bit disebut juga citra n-bit. Berdasarkan

jenisnya, citra digital dapat dibagi menjadi 3 sebagai berikut (T. Sutuyo dkk, 2009).

1. Citra Biner (Monokrom)Jenis citra yang paling sederhana yang biasa digunakan dalam digital image

processing adalah binaryimage atau citra biner. Binaryimage merupakan citra yang

hanya dapat menampung 2 buah nilai (1 bit) untuk mewakili warna hitam dan putih

dalam setiap pixel-nya.

Gambar 2.2Citra Biner(Sumber :http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)

Tiap-tiap pixel dalam citra biner hanya bernilai 0 atau 1 sehingga citra jenis

biner hanya mempunyai 2 warna yaitu hitam dan putih. Jenis citra ini biasanya

digunakan untuk gambar grafik, proses encoding, transmisi fax dan biasa digunakan

dalam beberapa jenis printer.

12

2. Citra Grayscale (skala keabuan)Citra grayscale merupakan citra 1 channel yang nilai setiap pikselnya

merepresentasikan derajat keabuan , intensitas warna putih atau tingkat intensitas

cahaya pada citra tersebut. Nilai intensitas paling rendah merepresentasikan warna

hitam dan nilai intensitas paling tinggi merepresentasikan warna putih. Oleh karena

itu, citra grayscale juga dikenal dengan istilah intensity image. Nilai pixel pada citra

grayscale umumnya memiliki kedalaman pixel 1byte atau 8 bit yang berada pada

rentang nilai 0-255 (256 derajat keabuan) untuk mewakili intensitas cahaya. Citra

grayscale mempunyai beberapa rentang bit yang dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 2.1Rentang bit citra grayscale

Jumlah

ChannelJumlah Bit atau Pixel Range

1 1 0…1

1 8 0…255

1 12 0…4095

1 14 0…16383

1 16 0…65535

(Sumber : http://digilib.ittelkom.ac.id,2015)

3. Citra Berwarna (color image)Citra berwarna merupakan jenis citra yang digunakan untuk gambar berwarna.

Jenis gambar berwarna yang biasa digunakan adalah jenis citra RGB yang terdiri dari

3 warna yaitu (red, green, blue) yang dikombinasikan dengan masing-masing

intensitas berbeda untuk mengisi 1 warna pada setiap pixel-nya. Setiap warna pada

citra RGB adalah warna dasar yang akan menghasilkan warna putih jika ketiga warna

13

tersebut dicampur dengan intensitas maksimum. Citra berwarna direpresentasikan

dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen warna

penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model warna yang

digunakan pada citra tersebut. Umumnya sebuah pixel pada citra RGB terdiri dari 3

channel dimana masing-masing channel akan berisi sebuah warna dengan

intensitasnya masing-masing. Untuk memetakan 1 buah channel atau warna pada

suatu pixel, biasanya diperlukan minimal 8 bit. Oleh karena itu sebuah citra RGB

akan memerlukan minimal 24 bit untuk setiap pixel yang digunakan.

Gambar 2.3 Citra RGB(Sumber : https://www.cs.cmu.edu)

2.4 Pra Pemrosesan Citra Digital

2.4.1 Grayscale

Mengubah citra berwarna menjadi citra grayscale adalah proses awal yang

banyak dilakukan dalam image processing, hal ini dilakukan bertujuan untuk

menyederhanakan model citra. Pada awalnya citra RGB umumnya terdiri dari 3 layer

14

matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan

disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan

dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.

Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik

grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen

warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.

Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)

Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing

r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan

dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :

s = Nilai derajat keabuan

r = Nilai Red pada suatu nilai RGB

g = Nilai Green pada suatu nilai RGB

14

matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan

disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan

dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.

Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik

grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen

warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.

Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)

Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing

r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan

dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :

s = Nilai derajat keabuan

r = Nilai Red pada suatu nilai RGB

g = Nilai Green pada suatu nilai RGB

14

matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-layer. Tiga layer ini akan tetap diperhatikan

disetiap proses-proses selanjutnya pada citra tersebut. Bila setiap proses perhitungan

dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.

Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1 layer matrik

grayscale dan hasilnya adalah citra grayscale. Citra ini tidak mempunyai elemen

warna seperti citra sebelum diubah, melainkan mempunyai derajat keabuan.

Gambar 2.4 Citra Grayscale(Sumber : http://www.ece.rice.edu)

Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing

r, g dan b menjadi citra grayscale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan

dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:= + +3Dimana :

s = Nilai derajat keabuan

r = Nilai Red pada suatu nilai RGB

g = Nilai Green pada suatu nilai RGB

15

b = Nilai Blue pada suatu nilai RGB

Sesuai dengan paparan diatas, pengubahan citra berwarna menjadi grayscale

dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai grayscale dari setiap layer R, G, dan

B. Dalam penggunaan rata-rata nilai setiap layer dinilai masih belum optimal untuk

menunujukkan citra grayscale sehingga dilakukan pengubahan komposisi sebagai

berikut:

= + ++ +Dengan nilai =0.35, =0.25 dan =0.4 sehingga nilai + + = 1 Fungsi

dari format warna gray ini adalah untuk memudahkan proses selanjutnya. Dengan

format warna gray ini maka dihasilkan nilai R=G=B. ( Sutoyo, T. )

2.4.2 Low Pass Filter

Low pass filter merupakan metode dasar yang banyak digunakan dalam

pengolahan citra digital. Low pass filter digunakan dalam pengolahan citra digital

untuk menghaluskan citra. Suatu citra umumnya mengandung gangguan (derau

/noise) yang mengganggu kualitas citra. Derau dapat ditimbulkan dari proses

pengolahan yang tidak sesuai maupun dari gangguan fisis (optik) pada alat yang

memberikan konribusi derau pada citra. Derau dapat dikurangi dengan menggunakan

low pass filter sehingga citra menjadi lebih halus. ( Pitas, Loannis )

Low pass filter juga biasa disebut dengan filter blurring atau

filtersmoothingdengan menghitung nilai rata-rata perubahan yang mencolok pada

suatu piksel dengan 8 piksel tetangganya. Nilai rata-rata yang didapatkan akan

menggantikan nilai piksel sebelumnya. Citra yang telah melewati low pass filter akan

terlihat lebih blur dibandingkan sebelum low pass filter.

16

2.4.3 Edge Detection

Tepian sebuah citra memuat informasi penting dari citra dan dapat

merepresentasikan objek-objek yang terdapat dalam citra, baik informasi bentuk

objek, ukuran objek, bahkan dapat merepresntasikan tekstur objek dalam citra. Tepian

citra adalah posisi dimana intensitas piksel dari citra berubah dari nilai rendah ke nilai

tinggi atau sebaliknya (Putra, 2010). Deteksi tepi (Edge detection) adalah operasi

yang dijalankan untuk mendeteksi garistepi (edges) yang membatasi dua wilayah

citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda (Pitas, 1993). Deteksi

tepi digunakan untuk mendeteksi seluruh edge atau garis-garis dalam citra yang

membentuk objek gambar. Deteksi tepi dapat mendeteksi bagian bagian garis tersebut

sehingga garis akan terlihat lebih jelas. Pengenalanan tepi penting digunakan dalam

pengolahan citra digital guna meningkatkan garis batas suatu daerah atau obyek atau

menghasilkan tepi-tepi dari obyek-obyek citra yang bertujuan untuk menandai bagian

tertentu pada citra dan untuk memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang terjadi

karena error atau adanya efek dariproses akuisisi citra. Pelacakan tepi merupakan

operasi untuk menemukan perubahan intensitas lokal yang berbeda dalam sebuah

citra (Prasetyo, 2011, Gonzales, 2002). Gradien adalah hasil pengukuran perubahan

dalam sebuah fungsi intensitas, dan sebuah citra dapat dipandang sebagai kumpulan

beberapa fungsi intensitas kontinyu sebuah citra. Perubahan mendadak pada nilai

intensitas dalam suatu citra dapat dilacak menggunakan perkiraan diskrit pada

gradien. Gradien disini adalah kesamaan dua dimensi dari turunan pertama dan

didefinisikan sebagai vektor (Gonzales, 2002). Seperti yang di tunjukan pada gambar

2.5 berikut :

17

Gambar 2.5 Proses Deteksi Tepi

Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi (edge) dari suatu citra bila titik tersebut

mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Tepi merupakan perubahan

nilai intensitas derajat keabuan yang tinggi dalam jarak yang singkat. Ada beberapa

operator deteksi tepi yang umum digunakan yaitu:

1. Operator Robert

Operator Roberts merupakan operator deteksi tepi awal yang sederhana dan

memiliki tingkat komputasi yang cepat. Operator Roberts menggunakan turunan

order pertama yang umumnya digunakan untuk citra grayscale. Operator ini dapat

digambarkan dengan dua bentuk matriks ukuran 2x2 yang memiliki nilai

berkebalikan sepanjang arah sumbu seperti berikut ini. (Darma Putra, 2010)

DifferensialArah Vertikal

DifferensialArah Horizontal

Citra Awal

+

/ /

18

= 1 00 −1= 0 1−1 0

Gambar 2.6 Deteksi tepi Roberts(a) Citra asli, (b) Operator Roberts Gx T=0.05, (c) Operator Roberts GyT=0.05

(Sumber: Darma Putra, 2010)

2. Operator Prewitt

Operator Prewitt diperkenalkan oleh Prewitt pada tahun 1970. Operator ini

merupakan operator yang dikembangkan guna mendapatkan nilai yang lebih stabil,

dilakukan dengan cara mengkondisikan nilai rata-rata dalam operator Roberts.

Operator Prewitt dikembangkan dengan nilai matriks baru dalam tiga bentuk baris

atau kolom seperti berikut. (Darma Putra, 2010)

= −1 −1 −10 0 01 1 1= −1 0 11 0 1−1 0 1

19

3. Operator Sobel

Operator Sobel merupakan operator yang lebih sensitif dengan tepian diagonal.

Operator ini merupakan pengembangan dari metode Robert dengan menggunakan

filter HPF yang diberi satu angka nol penyangga. Kelebihan dari metode ini dapat

mengurangi noise sebelum melakukan perhitungan deteksi tepi. Operator ini

terbentuk dari matriks 3x3 seperti matriks (Darma Putra, 2010)

= −1 −2 −10 0 01 2 1= −1 0 12 0 2−1 0 1

Gambar 2.7Deteksi tepi Sobel(a) Citra asli, (b) Operator Sobel horizontal T=0.05, (c) Operator Sobel vertikal T=0.05

(Sumber: Darma Putra, 2010)

4. Operator Canny

Deteksi tepi canny merupakan salah satu deteksi tepi yang populer, kuat, dan

efektif dalam rangka menghasilkan citra tepian (Marquest, 2011). Menurut Putra

(2010), dalam buku Pengolahan Citra Digital ada beberapa langkah yang harus

dilakukan untuk menggunakan deteksi tepi canny adalah sebagai berikut.

20

a. Langkah pertama diawali dengan menerapkan tapis Gaussian untuk

menghilangkan derau yang terkandung pada citra. Proses Gaussian filter ini

akan menghasilkan citra yang lebih halus dan tampak kabur dibandingkan

dengan citra sebelum ditapis. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan citra

yang sebenarnya. Bila tidak dilakukan maka garis-garis halus juga akan

terdeteksi sebagai tepian.

b. Melakukan pengenalanan tepi dengan salah satu operator deteksi tepi seperti

Roberts, Prewitt, atau Sobel dengan melakukan pencarian secara horizontal

(Gx) dan secara vertikal (Gy). (Darma Putra, 2010) Berikut ini salah satu

contoh operator deteksi tepi (Operator Sobel):−1 0 1−2 0 2−1 0 1 1 2 10 0 0−1 −2 −1Hasil dari kedua operator digabungkan untuk mendapatkan hasil gabungan tepi

vertikal dan horizontal dengan rumus:| | = | | +c. Menentukan Arah tepian yang ditemukan dengan menggunakan rumus:

=selanjutnya membagi ke dalam 4 warna sehingga garis dengan arah yang

berbeda memiliki warna yang berbeda. Pembagiannya adalah derajat 0 – 22,5

dan 157,5 – 180 berwarna kuning, derajat 22,5 – 67,5 berwarna hijau, dan

derajat67,5 – 157,5 berwarna merah.Berikut ini adalah bagan pembagian warna

berdasarkan arah tepian yang dilakukan oleh Canny:

21

Gambar 2.8 Derajat arah tepian warna Canny(Sumber: http://dasl.mem.drexel.edu)

d. Setelah mendapatkan derajat warna arah tepian citra, dilanjutkan dengan

menerapkan nonmaximum suppression untuk memperkecil garis tepi yang

muncul sehingga dapat menghasilkan garis tepian yang lebih tipis pada citra

keluaran.

e. Langkah terakhir yang wajib dilakukan dalam penerapan deteksi tepi canny

adalah binerisasi dengan menerapkan dua buah thresholding

Berikut ini salah satu contoh citra yang diproses menggunakan operator deteksi

tepi Canny.

Gambar 2.9 Deteksi tepi Canny(a) Citra asli, (b) Citra HasilT=0.05

(Sumber: Darma Putra, 2010)

22

2.5 Transformasi Hough

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transformasi merupakan perubahan

struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain baik dari bentuk sifat maupun

fungsinya dengan cara menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.

Dalam hal ini transformasi menyangkut proses pengolahan citra sehingga sebuah citra

yang ditransformasikan merupakan suatu proses perubahan citra. Transformasi citra

bertujuan untuk mendapatkan informasi (feature extration) yang lebih jelas yang

terkandung dalam suatu citra. Ada berbagai metode transformasi yang telah

ditemukan dalam ilmu pengolahan citra salah satunya adalah transformasi hough.

Transformasi hough awalnya diperkenalkan oleh Paul Hough pada tahun 1962.

Pada awal diperkenalkan, transformasi hough digunakan untuk mendeteksi garis lurus

pada citra. Transformasi hough merupakan teknik transformasi citra yang dapat

digunakan untuk mengisolasi suatu objek pada citra dengan menemukan batas-

batasnya (boundarydetection)(Putra, 2010).Gagasan dari transformasi hough adalah

membuat persamaan dari suatu piksel dan mempertimbangkan semua pasangan yang

memenuhi persamaan ini. Semua pasangan ditempatkan pada suatu larik akumulator,

yang disebut larik transformasi (McAndrew, 2004).

Suatu proses transformasi dilakukan untuk mendapatkan suatu fitur yang lebih

spesifik. Sehingga teknik yang paling umum digunakan untuk mendeteksi objek

yang berbentuk kurva seperti garis, lingkaran, elips, dan parabola salah satunya

adalah classical hough transform. Konsep dasar dari transformasi hough adalah

menemukan garis dan kurva pada suatu citra yang tak terhitung jumlahnya melewati

banyak titik dalam berbagai ukuran dan orientasi dalam citra tersebut. Keuntungan

utama dari Transformasi Hough adalah dapat mendeteksi sebuah tepian dengan celah

pada batas fitur dan secara relatif tidak dipengaruhi oleh derau atau noise

(Putra,2010). Transformasi hough menggunakan bentuk parametrik dan

mengestimasi nilai parameter dengan menggunakan mekanisme pemungutan suara

terbanyak atau voting dalam menentukan nilai parameter yang tepat. Dalam

23

transformasi hough, beberapa garis yang berpotongan pada suatu titik dalam sebuah

citra bila ditransformasikan ke ruang parameter − , akan mendapatkan sebuah

garis lurus yang dapat dinyatakan sebagai berikut.= +Sebaliknya jika garis lurus dalam cebuah citra ditransformasikan ke ruang

parameter − , akan diperoleh beberapa garis yang berpotongan dalam suatu titik

dalam ruang parameter − . Namun, seiring dengan berkembangnya pengolahan

citra dengan menggunakan transformasi hough, apabila ditemui sebuah garis vertikal,

maka akan terjadi masalah dalam penghitungannya dikarenakan garis vertikal

mempunyai nilai gradien kemiringan yang besarnya tak berhingga ∞. Sehingga

digunakan beberapa rumus yang dapat diterapkan dalam Transformasi Hough sesuai

dengan bentuk objek yang di analisis seperti objek garis, lingkaran, elips, dan lain

sebagainya.

Gambar 2.10Transformasi domain citra ke domain hough(Sumber:http://northstar-www.dartmouth.edu)

Penerapan transformasi hough untuk mencari objek garis dapat didefinisikan

untuk fungsi A(x,y) dengan A(x,y), setiap titik (x,y) dalam gambar asli, A, dapat di

rumuskan menjadi: = cos + sin

24

dimana adalah jarak tegak lurus dari asal garis pada sudut yang akan dibatasi

untuk 0< <π yang dapat menghasilkan nilai negatif.

Dalam transformasi hough titik-titik yang terletak pada satu baris atau garis

yang sama dalam citra akan menghasilkan garis sinusoid yang berpotongan di satu

titik pada domain hough. Begitu juga sebaliknya untuk invers transformasi (back

projection) setiap titik dalam domain hough akan berubah menjadi garis lurus pada

domain citra.

2.6 Metode Histogram

Histogram citra merupakan salah satu bentuk representasi grafis karakteristik

spektral citra yang bersangkutan. Dengan histogram analisis citra dapat memahami

citra yang dipelajari misalnya aspek kecerahan dan ketajamannya. Dari histogram

juga kadang-kadang dapat diduga jenis saluran spektral citra yang digunakan.

Perubahan atas distribusi nilai pada citra secara langsung berakibat pada perubahan

tampilan histogram. Sebaliknya, dengan memainkan bentuk histogramnya banyak

program pengolah citra secara interaktif mampu mengubah tampilan citranya.

Dengan kata lain, perangkat lunak pengolah citra kadang-kadang menggunakan

histogram sebagai jembatan komunikasi antara pengguna dengan data citra. (Projo,

2002).

Histogram citra dipresentasikan dengan dua bentuk: pertama tabel yang

memuat kolom-kolom nilai piksel jumlah absolut setiap nilai piksel, jumlah komulatif

piksel, presentase absolut setiap nilai, dan presentase komulatifnya; kedua, gambaran

grafis yang menunjukkan nilai piksel pada sumbu x dan frekuensi kemunculan pada

sumbu y. Melalui gambaran grafis histogram ini, secara umum dapat diketahui sifat-

sifat citra yang diwakilinya. Misalnya citra yang direkam dengan spectrum

gelombang relatif pendek akan menghasilkan “ bukit tunggal “ histogram yang

sempit (unimodal) wilayah yang memuat tubuh air agak luas akan menghasilkan

kenampakan histogram dengan dua puncak, apabila direkam pada spektrum

25

inframerah dekat (bi-modal). Histogram unimodal yang sempit biasanya kurang

mampu menyajikan kenampakan obyek secara tajam, sedangkan histogram yang

gemuk (lebar) relatif lebih tajam dibandingkan yang sempit.

Penajaman kontras citra melalui histogram dapat dilakukan dengan dua

macam cara yaitu perentangan kontras dan ekualisasi histogram. Perentangan kontras

merupakan upaya mempertajam kenampakan citra dengan merentang nilai

maksimmum dan nilai minimum citra. Kompresi citra justru sebaliknya dilakukan

dengan memampatkan histogram yaitu menggeser nilai minimum ke nilai minimum

baru yang lebih tinggi dan menggeser nilai maksimum ke nilai maksimum baru yang

lebih rendah sehingga histogramnya menjadi lebih “langsing”. Berbeda halnya

dengan perentangan kontras yang bersifat linier, ekualisasi histogram merupakan

upaya penajaman secara non- linier yang menata kembali distribusi nilai piksel citra

dalam bentuk histogram ke bentuk histogram yang baru, dimana dapat terjadi

penggabungan beberapa nilai menjadi nilai baru dengan frekuensi kemunculan yang

baru pula. Untuk penajaman citra sendiri meliputi semua operasi yang menghasilkan

citra baru dengan kenampakan visual dan karakteristik visual yang berbeda (Projo,

1996). Citra baru disini maksudnya adalah citra dengan kenampakan yang lebih

bagus dibanding dengan citra aslinya.

2.7 Metode Euclidean Distance

Euclidean distance adalah perhitungan jarak dari 2 buah titik dalam Euclidean

space. Euclidean space diperkenalkan oleh Euclid, seorang matematikawan dari

Yunani sekitar tahun 300 B.C.E. untuk mempelajari hubungan antara sudut dan jarak.

Euclidean ini berkaitan dengan Teorema Phytagoras dan biasanya diterapkan pada 1,

2 dan 3 dimensi. Tapi juga sederhana jika diterapkan pada dimensi yang lebih tinggi.

( anugraha, 2013 )

26

Semisal ingin menghitung jarak Euclidean 1 dimensi. Titik pertama adalah 4,

titik kedua adalah -10. Caranya adalah kurangkan -10 dengan 4. sehingga

menghasilkan -14. Cari nilai absolut dari nilai -14 dengan cara mempangkatkannya

sehingga mendapat nilai 196. Kemudian diakarkan sehingga mendapatkan nilai 14.

Sehingga jarak euclidean dari 2 titik tersebut adalah 14. ( Anugraha, 2013 )

Gambar 2.11 Koordinat jarak euclidean 2 dimensi

Pada 2 dimensi caranya hampir sama. Misalkan titik pertama mempunyai

kordinat (1,2). Titik kedua ada di kordinat (5,5). Caranya adalah kurangkan setiap

kordinat titik kedua dengan titik yang pertama. Yaitu, (5-1,5-2) sehingga menjadi

(4,3). Kemudian pangkatkan masing-masing sehingga memperoleh (16,9). Kemudian

tambahkan semuanya sehingga memperoleh nilai 16+9 = 25. Hasil ini kemudian

diakarkan menjadi 5. Sehingga jarak euclideannya adalah 5. Berikut rumus dasar dari

euclidean :

27

2.8 Principal Component Analysis ( PCA )

PCA adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi

data. PCA juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur-fitur

dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. PCA memproyeksikan data ke dalam

subspace. PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang

baru dari data. Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari data tanpa menghilangkan

informasi penting dari data tersebut.

Tujuan dari PCA adalah mencari basis yang baru untuk merepresentasikan

ulang data tersebut ke dalam m variable hasil proyeksi data ke m-dimensi. Dimana m

lebih kecil dari n. Dengan berkurangnya jumlah dimensi dari data input, maka proses

pencocokan data akan berkurang dari n kali setiap pencocokan menjadi m kali.

Banyaknya dimensi data ditentukan oleh besarnya resolusi image. Hal ini

menyebabkan dimensi data menjadi sangat besar. Semakin besarnya dimensi data

menyebabkan waktu pencocokan per data semakin besar juga.