pengaruh konsentrasi giberelin dan lama ...repository.utu.ac.id/525/1/bab i_v.pdfpengaruh...

35
PENGARUH KONSENTRASI GIBERELIN DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH JAGUNG (Zea mays L.)KADALUARSA SKRIPSI OLEH ABDUL MUKTI 08C10407077 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH, ACEH BARAT 2013

Upload: others

Post on 05-Aug-2020

32 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENGARUH KONSENTRASI GIBERELIN DAN LAMA

    PERENDAMAN TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR

    BENIH JAGUNG (Zea mays L.)KADALUARSA

    SKRIPSI

    OLEH

    ABDUL MUKTI

    08C10407077

    PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TEUKU UMAR

    MEULABOH, ACEH BARAT

    2013

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Tanaman jagung (Zea mays L.) berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia

    dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika, abad ke-16

    orang Portugal memperluas ke Asia termasuk Indonesia. Tanaman jagung banyak

    sekali gunanya, sebab hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk

    berbagai macam keperluan. Di Indonesia jagung merupakan makanan pokok

    komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Banyak daerah di

    Indonesia yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan. Jagung sangat memadai

    dipakai sebagai bahan pangan pengganti beras atau dapat juga dicampur dengan

    beras (Barnito, 2009).

    Sejak dihasilkannya beberapa jagung, baik jagung ber sari bebas ataupun

    hibrida yang berdaya hasil tinggi, produktivitas jagung secara nasional juga

    meningkat dari 1,46 ton ha-1 tahun 1980, 2.13 ton ha-1 pada tahun 1990 dan

    menjadi 2.67 ton ha-1 pada tahun 1999, pada tahun 2006, produktivitas nasional

    telah mencapai 3,47 ton ha-1, bahkan pada tahun 2009 telah mencapai 45,49 ton

    ha-1 (Anonymous, 2009).

    Tanaman jagung diperbanyak dengan cara generatif. Pengembangan dan

    peningkatan produksi tanaman jagung menuntut tersedianya benih yang cukup

    dan bermutu tinggi yang berasal dari hasil penanganan yang tepat dan efektif.

    Penggunaan benih jagung bermutu merupakan kunci utama untuk memperoleh

    tanaman yang seragam dengan produksi yang optimal. Benih merupakan salah

    satu faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan usahatani. Menurut

  • 2

    Rukmana (2007), relatif lambannya peningkatan areal pertanaman jagung di

    Indonesia, antara lain juga disebabkan oleh sistem pembenihannya berjalan

    lambat dibandingkan sistem pembenihan pada komoditas padi.

    Kadaluarsa adalah mengacu pada waktu atau masa, di mana masa batas

    penanaman dan periode simpan untuk benih telah berakhir, adapun pihak

    produsen benih tidak bertanggungjawab atas mutu terhadap produksi dan hasil.

    Perlakuan tertentu sebelum tanam melalui invigorasi (peningkatan vigor benih)

    dapat mengurangi kemunduran benih. Pada umumnya semakin lama benih

    disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Mundurnya viabilitas benih

    merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif akibat perubahan yang

    diberikan kepada benih (Sadjad, 1994).

    Dalam konteks agronomi, benih dituntut untuk bermutu tinggi sebab benih

    harus menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimum dengan sarana

    teknologi yang maju. Sering petani mengalami kerugian yang tidak sedikit baik

    biaya maupun waktunya akibat penggunaan benih yang jelek mutunya. Walaupun

    pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan

    cara bercocok tanam, tetapi tidak boleh diabaikan pentingnya pemilihan kualitas

    benih yang akan dipergunakan. Menurut Khan et al. (1992) menyatakan bahwa

    dasar pemikiran dari perlakuan sebelum masa tanam adalah untuk mobilitas dan

    memperbesar sumber daya yang dimilikinya dengan perlakuan tertentu sebagai

    perbaikan secara maksimal bagi pertanaman dan hasilnya.

    Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

    benih dalam penyimpanan dan perkecambahan. Pada awal fase perkecambahan di

    mana biji membutuhkan air untuk berkecambah. Setelah biji menyerap air maka

  • 3

    kulit biji akan melunak dan terjadinya hidrasi protoplasma, kemudian enzim-

    enzim mulai aktif, terutama enzim berfungsi mengubah lemak menjadi energi,

    melalui proses respirasi. Invigorasi benih yaitu dengan cara merendam benih

    sehingga karakter fisiologi dan biokimiawi yang tedapat di dalam benih dapat

    dimafaatkan secara optimal (Khan et al., 1992). Pada benih umumnya aktivitas

    enzim dipacu oleh hormon, salah satu homon yang secara alami terdapat di dalam

    embrio benih adalah giberelin.

    Giberelin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman yang

    mempunyai peranan dalam mempercepat perkecambahan benih. Giberelin sebagai

    senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan suatu benih

    karena ia bersifat mengontrol perkecambahan tersebut, terutama pada jagung dan

    serealia lainnya. Kalau giberelin tidak ada atau kurang aktif maka α-amilase tidak

    akan terbentuk yang dapat menyebabkan terhalangnya proses perombakan pati,

    sehingga dapat mengakibatkan tidak (terhalang) terjadinya perkecambahan.

    Keadaan seperti ini adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya gejala

    dormansi pada beberapa jenis benih, oleh karena β-amilase sendiri tidak cukup

    untuk melaksanakan pencernaan dan mendorong perkecambahan benih (Kamil,

    1979).

    Banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa pemberian GA3 eksogen

    dapat meningkatkan daya berkecambah benih, di antaranya Begum et al. (1988)

    mengemukakan bahwa perendaman biji dalam GA3 (50-200 ppm) tidak

    meningkatkan perkecambahan akan tetapi meningkatkan vigoritas tanaman

    pepaya. Pemberian GA3 200 ppm meningkatkan perkecambahan benih timun

    (Singh dan Singh, 1973). Dan lebih lanjut Singh dan Afria (1990) mendapatkan

  • 4

    bahwa 200 mg l-1 GA3 dan perendaman selama setengah hari dapat meningkatkan

    pertumbuhan benih kapas.

    Dari permasalahan yang telah diuraikan maka perlu dilakukan penelitian

    untuk mengetahui pengaruh konsentrasi giberelin dan lama perendaman yang

    tepat agar diperoleh viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa yang optimal.

    1.2 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi giberelin

    dan lama peredaman terhadap viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa, serta

    nyata tidaknya interaksi kedua faktor tersebut.

    1.3 Hipotesis

    1. Konsentrasi giberelin berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih jagung

    kadaluarsa.

    2. Lama perendaman berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih jagung

    kadaluarsa.

    3. Terdapat interaksi antara konsentrasi giberelin dan lama perendaman terhadap

    viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa.

  • 5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Botani Tanaman Jagung

    2.1.1 Sistematika

    Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim (annual). Menurut

    Rukmana (2007) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman

    jagung diklasifikan sebagai berikut :

    Divisio : Spermatophyta

    Sub Divisio : Angiospermae

    Classis : Monocotyledone

    Ordo : Graminae

    Familia : Graminaceae

    Genus : Zea

    Species : Zea mays L.

    2.1.2 Morfologi

    1. Akar

    Akar tanaman jagung adalah akar serabut yang berfungsi sebagai alat

    untuk mengisap air serta garam-garam yang terdapat dalam tanah. Pada tanaman

    jagung terdapat akar udara yang berfungsi sebagai akar pendukung untuk

    memperkokoh batang terhadap kerebahan (Barnito, 2009).

    2. Batang

    Batang jagung berbentuk bulat silindris tidak berlubang dan beruas-ruas.

    Tinggi batang bervariasi tergantung jenis atau varietas yang ditanam serta

    kesuburan tanah. Tinggi tanaman jagung berkisar antara 1 sampai 3 meter dari

    atas permukaan tanah (Barmin, 2005).

  • 6

    3. Daun

    Struktur daun tanaman jagung terdiri atas tangkai daun, lidah daun dan

    telinga daun. Tangkai daun merupakan pelepah yang berfungsi untuk

    membungkus batang tanaman jagung. Lidah daun terletak pada pangkal batang

    dan telinga daun berbentuk seperti pita yang tipis yang memanjang (Barmin,

    2005).

    4. Bunga

    Tanaman jagung berumah satu (monoecus), yaitu bunga jantan terbentuk

    pada ujung batang dan bunga betina terletak di bagian tengah batang pada salah

    satu ketiak daun. Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan matang

    lebih dahulu 1-2 hari dari pada bunga betina. Letak bunga jantan dan bunga betina

    terpisah, sehingga penyerbukan tanaman jagung bersifat menyerbuk silang

    (Rukmana, 2007).

    Pada waktu keluar rambut, tepung sari mulai berjatuhan dalam

    pemanjangan ruas, tangkai tongkol tumbuh sempurna, sedangkan tongkol dan

    rambut tumbuh cepat dan memanjang serta sel telur membesar dan siap untuk di

    buahi. Setelah persarian terjadi dalam waktu 12 sampai dengan 28 jam serbuk sari

    tumbuh mencapai sel telur dalam bakal biji (Barnito, 2009).

    5. Tongkol

    Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas.

    Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada

    bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang

    terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10-16 baris biji yang

    jumlahnya selalu genap (Rukmana , 2007).

    6. Biji

    Biji jagung disebut kariopsis, dinding ovari atau pericarp menyatu dengan

    kulit biji atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian

  • 7 utama, yaitu (a) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah

    embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air; (b) endosperm, sebagai

    cadangan makanan, mencapai 75% dari bobot biji yang mengandung 90% pati

    dan 10% protein, mineral, minyak, dan lainnya; dan (c) embrio (lembaga), sebagai

    miniatur tanaman yang terdiri atas plumula, akar radikal, scutelum, dan koleoptil

    (Rukmana, 2007).

    2.2 Faktor Perkecambahan Benih

    Menurut Kamil (1979) secara umum ada dua faktor yang dapat

    mempengaruhi perkecambahan suatu benih, yaitu faktor lingkungan dan genetik.

    Berikut ini akan diberikan penjelasan singkat dari faktor-faktor tersebut.

    1. Faktor Lingkungan

    a. Air

    Ketersediaan air untuk proses perkecambahan bisa dalam bentuk cair atau

    uap yang di sekitar benih. Semakin banyak ketersediaan air, makin cepat proses

    imbibisi. Biasanya sampai jaringan mengandung air 40-60 % benih dapat

    berkecambah dan meningkat pada kecambah yg sedang tumbuh 70 – 90 %.

    b. Suhu

    Semakin meningkat suhu (sampai batas tertentu) maka kecepatan

    penyerapan air semakin tinggi. Setiap kenaikan suhu 10oC, maka penyerapan air

    meningkat 2 kali dari kecepatan semula.

    a. Oksigen

    Perkecambahan biji adalah suatu proses yang berkaitan dengan sel hidup

    yang membutuhkan energi. Energi yang dibutuhkan oleh suatu proses di dalam sel

    hidup biasanya diperoleh dari proses oksidasi, baik adanya molekul O2 atau tidak.

  • 8

    Umumnya biji akan berkecambah dalam udara yang mengandung 20 % O2 dan

    0,03 % CO2.

    b. Cahaya

    Peranan cahaya sebagai faktor pengontrol perkecambahan biji. Benih yang

    dikecambahkan pada keadaan yang kurang cahaya atau pun gelap dapat

    menghasilkan kecambah yang mengalami etiolasi. Pengaruh cahaya hanya terjadi

    pada benih yang lembab. Pada benih dengan kadar air rendah, pengaruh cahaya

    relatif tidak ada terhadap perkecambahan. Hal ini disebabkan karena fitokrom,

    yaitu pigmen penyerap cahaya, tidak aktif pada benih berkadar air rendah.

    2. Faktor Genetik

    a. Tingkat Kemasakan

    Benih yang di panen sebelum kemasakan fisiologisnya tercapai tidak

    mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang

    demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih

    belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio

    belum sempurna.

    b. Ukuran

    Di dalam penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan

    mineral. Di mana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi

    embrio pada saat perkecambahan.

    c. Dormansi

    Benih dikatakan dormansi apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi

    tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum

    dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi pada

  • 9

    benih dapat berlangsung beberapa hari, semusim sampai beberapa tahun,

    tergantung pada setiap jenis tanaman dan tipe dormansi.

    2.3 Giberelin

    Gibberellin acid atau asam giberelat adalah suatu senyawa organik yang

    sangat penting dalam proses perkecambahan suatu benih karena ia bersifat

    mengontrol perkecambahan tersebut, terutama pada jagung dan serealia lainnya.

    Kalau giberelin tidak ada atau kurang aktif maka α-amilase tidak akan terbentuk

    yang dapat menyebabkan terhalangnya proses perombakan pati, sehingga dapat

    mengakibatkan tidak (terhalang) terjadinya perkecambahan. Kucera et al. (2005)

    melaporkan bahwa ada dua fungsi giberelin selama perkecambahan

    benih, pertama giberelin diperlukan untuk meningkatkan potensi tumbuh dari

    embrio dan sebagai promotor perkecambahan, dan kedua diperlukan untuk

    mengatasi hambatan mekanik oleh lapisan penutup benih karena terdapatnya

    jaringan di sekeliling radikula.

    Giberelin juga terlibat dalam pengaktifan sintesa protease dan enzim-

    enzim hidrolitik. Senyawa-senyawa gula dan asam-asam amino, zat- zat dapat

    larut yang dihasilkan oleh aktivitas amilase dan protease, ditranspor ke embrio

    dan disini zat-zat ini mendukung perkembangan embrio dan munculnya kecambah

    (Heddy, 1989). Dalam benih hormon tumbuh ini dihasilkan oleh embrio kemudian

    ditranslokasikan ke lapisan aleuron sehingga menghasilkan enzim α-amilase.

    Proses selanjutnya yaitu enzim tersebut masuk ke dalam endosperm, maka

    terjadilah perubahan-perubahan yaitu berubahnya pati menjadi gula dan

    menghasilkan energi yang berguna untuk aktivitas sel dan pertumbuhan (Abidin,

    1984).

  • 10

    Kegiatan enzim-enzim di dalam biji distimulir oleh adanya asam giberelin

    yaitu suatu hormon tumbuh yang dihasilkan oleh embrio setelah menyerap air.

    Proses pertumbuhan dan perkembangan embrio semula terjadi pada ujung-ujung

    tumbuh dari akar. Kemudian diikuti oleh ujung-ujung tumbuh tunas. Proses

    pembagian dan membesarnya sel-sel ini tergantung dari terbentuknya energi dan

    molekul-molekul komponen tumbuh yang berasal dari jaringan persediaan

    makanan. Di mana molekul-molekul protein dan lemak penting untuk

    pembentukan protoplasma, sedang molekul-molekul kompleks polisakarida dan

    asam poliuronat untuk pembentukan dinding sel (Soetopo, 2004).

    Tingginya tingkat giberelin yang ada dalam biji, biasanya meningkat

    selama proses penuaan, oleh karena itu biji yang kering mengandung level yang

    sangat rendah. Giberelin berasal dari embrio yang merangsang produksi daripada

    α-amilase pada aleuron (Soetopo, 2004).

    Hasil penelitian pada tanaman cabai menunjukkan bahwa perlakuan

    invigorasi pada tingkat vigor benih yang berbeda mampu meningkatkan indeks

    vigor, daya berkecambah dan kecepatan perkecambahan. Invigorasi benih dengan

    menggunakan larutan 100 μM GA3 dan matriconditioning dengan serbuk gergaji

    dan 100 μM GA3 dapat meningkatkan vigor benih padi sawah yang diuji pada

    kondisi cekaman oksigen (Nonogaki, 2010). Menurut Afzal et al. (2000) dalam

    Soetopo (2004) menunjukkan bahwa, hormon GA3 dapat menstimulasi

    pertumbuhan plumula gandum dengan baik dengan lama perendaman 6 jam. Jamil

    dan Rha (2007) dalam Suetopo (2004) melaporkan bahwa, perlakuan GA3 150-

    200 mg l air-1 dapat meningkatkan perkecambahan pada benih bit gula, di bawah

    cekaman salinitas. Perlakuan priming meningkatkan jumlah penyerapan air dalam

    benih sehingga meningkatkan jumlah kecambah normal.

  • 11

    2.4 Peranan Air Bagi Benih

    Pada semua benih tanaman, air berperan untuk memulai proses

    perkecambahan. Air diperlukan untuk rehidrasi benih dalam tahap penting pada

    permulaan proses perkecambahan (Bewley dan Black, 1978).

    Air masuk ke dalam benih melalui proses imbibisi. Proses imbibisi ini

    dipengaruhi oleh komposisi kimiawi benih, permebilitas kulit benih dan jumlah

    air yang tersedia baik dalam bentuk cair maupun uap di sekitar benih. Proses

    masuknya air ke dalam benih melalui kulit, berhubungan dengan sifat-sifat kimia

    dari kulit benih. Sifat kimia tersebut berupa terjadinya proses hidrasi dari kolonid

    koloid hidrofik yang mengakibatkan bertambah besarnya volume benih dan

    timbulnya tekanan imbibisi. Tekanan imbibisi menyebabkan keretakan pada

    bagian kulit benih dan selanjutnya mengatur maksudnya air ke dalam benih

    selama proses perkecambahan (Sadjad, 1980).

    Air memegang peranan yang terpenting dalam proses perkecambahan biji.

    Tanpa adanya air, tumbuhan tidak akan bisa melakukan berbagai macam proses

    kehidupan apapun. Menurut Kamil (1982), peranan air dalam perkecambahan

    benih adalah : (a) melunakkan kulit benih dan menyebabkan perkembangan

    embrio dan endosperm, (b) memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke

    dalam benih, (c) mengencerkan protoplasma sehingga dapat mengaktifkan

    fungsinya, dan (d) sebagai alat transpor larutan makanan dari endosperm kepada

    titik tumbuh pada proses perkembangan embrio.

    Imbibisi pada benih yang dilakukan secara tiba-tiba apalagi terhadap benih

    dengan kadar air sangat rendah dan benih yang mengalami penyimpanan yang

    lama dapat menyebabkan kerusakan pada struktur membran sehingga perlu suatu

    kondisi di mana imbibisi dilaksanakan secara terkontrol. Salah satu upaya yang

  • 12 dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan invigorasi benih

    yaitu dengan cara mengkondisikan benih sedemikian rupa sehingga karakter

    fisiologi dan biokimiawi yang terdapat di dalam benih dapat dimanfaatkan secara

    optimal (Khan et al., 1992).

    Hasil penelitian Afzal et al. (2005) terhadap benih gandum secara hidro-

    priming selama 6 jam dapat menstimulasi pemunculan plumula dibandingkan

    dengan lama perendaman 12 jam. Menurut Prawiranata et al. (1981) pada benih

    air melebihi kapasitas kebutuhannya maka akan terjadi penurunan viabilitasnya

    bahkan terjadi kematian pada benih itu sendiri. Sebelumnya Kamil (1979)

    menyatakan kadar air yang tinggi pada benih memungkinkan cendawan dan

    bakteri berkembang dengan cepat sehingga menyebabkan benih itu mati.

    2.5 Periode Simpan Benih

    Umur simpan benih sangat dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi

    lingkungan dan perlakuan manusia. Berapa lama benih dapat disimpan sangat

    bergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Benih jagung

    merupakan tipe benih mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu

    yang lama dengan perlakuan yang tepat. Menurut Schmidt (2000) benih ortodoks

    mempunyai daya simpan yang lama dan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai

    dapat membentuk cadangan makan benih yang besar.

    Sifat kemunduran ini tidak dapat dicegah dan tidak dapat balik atau

    diperbaiki secara sempurna. Laju kemunduran mutu benih dapat diperkecil

    dengan melakukan penanganan dan pengolahan, penyimpanan, serta

    pendistribusian benih secara baik. Pertumbuhan kecambah yang abnormal di

    pertanaman biasanya terjadi akibat benih yang ditanam sudah mengalami

    penurunan mutu. Penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman jagung

  • 13

    yang lambat dan hasil yang rendah disebabkan oleh penggunaan benih yang sudah

    mengalami penurunan mutu, meskipun daya berkecambahnya relatif tinggi.

    Menurut Funk et al. (1962) dalam Sadjad (1994), penanaman benih jagung yang

    sudah disimpan lama menyebabkan pertumbuhan kecambah di pertanaman

    menjadi lebih lambat, letak tongkol lebih rendah, dan tanaman secara individu

    kurang produktif.

    2.6 Viabilitas dan Vigor Benih

    Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan bobot (massa), volume,

    jumlah sel, jumlah protoplasma dan tingkat kerumitan. Biasanya, fase awal

    perkembangan awal kecambah meliputi produksi sejumlah sel baru melalui

    mitosis (pembelahan inti), dilanjutkan dengan sitokinesis (pembelahan sel).

    Pertumbuhan pada tumbuhan berlangsung terbatas pada beberapa bagian tertentu,

    yang terdiri dari sejumlah sel yang baru saja dihasilkan melalui proses

    pembelahan sel di meristem (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Nonogaki et al.

    (2010) perkecambahan adalah proses yang kompleks di mana benih harus segera

    pulih secara fisik dari akibat proses pengeringan.

    Vigor dan viabilitas benih adalah dua karakter yang saling berhubungan

    dan umumnya penurunan vigor mendahului penurunan viabilitas (Basu, 1994).

    Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam

    fenomena pertumbuhan, gejala metabolisme, kinerja hormon atau garis viabilitas.

    Vigor adalah kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal pada kondisi

    suboptimum di lapang produksi, atau sesudah disimpan dalam kondisi simpan

    yang suboptimum dan ditanam dalam kondisi lapang yang optimum (Sadjad,

    1994).

  • 14

    Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih menurut Copeland

    (1976) adalah faktor genetik, lingkungan dan nutrisi tanaman induk selama

    perkembangan benih, stadia kemasakan waktu panen, ukuran dan bobot benih,

    kerusakan mekanik, dan patogen. Menurut Sadjad (1972) kemunduran benih

    adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang akan menyebabkan perubahan

    menyeluruh dalam benih baik fisik, fisiologi, maupun kimia, sehingga akan

    menyebabkan menurunnya viabilitas benih. Saenong (1982) menguraikan bahwa

    faktor- faktor penyebab kemunduran benih adalah terjadinya penggumpalan

    protoplasma, kelaparan setempat, degenerasi mitokondria, kehabisan substrat atau

    berkurangnya bahan baku untuk respirasi, degenerasi nukleus, degenerasi enzim,

    penggumpalan protein dan embrio secara perlahan- lahan, dan penimbunan

    metabolisme beracun.

    Batas istilah perkecambahan dalam pengujian benih menurut Sadjad et al.

    (1974) adalah kemampuan muncul dan berkembangnya struktur terpenting dari

    embrio benih serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi

    tanaman yang normal pada kondisi alam yang menguntungkan. Daya

    berkecambah benih ditujukan untuk menduga kemampuan tumbuh benih dengan

    kemampuan tumbuh benih dalam lingkungan dengan kondisi yang baik,

    sedangkan kecepatan tumbuh ditujukan untuk menduga kemampuan benih

    tumbuh normal dalam kondisi lingkungan yang kurang baik (Sadjad, 1972).

    Karakter yang sangat penting dari benih vigor adalah yang

    dimanifestasikan oleh kecepatan laju perkecambahan, keseragaman dari

    pertumbuhan dan daya tumbuh dan kemampuan untuk tumbuh normal pada

    rentang kondisi lingkungan yang luas (Basu, 1994). Sadjad (1972) menyatakan

  • 15

    benih vigor apabila memiliki indikasi: (1) tahan simpan, (2) berkecambah cepat

    dan merata, (3) bebas dari penyakit, (4) tahan terhadap gangguan berbagai

    mikroorganisme, (5) tumbuh kuat dalam keadaan lahan basah/kering, (6) bibit

    efisien dalam memanfaatkan cadangan makanan, (7) laju tumbuh atau

    pertambahan berat kering bibit yang berfotosintesis tinggi, (8) menghasilkan

    tanaman berproduksi tinggi, (9) tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan di

    lapang dan di laboratorium, (10) tahan terhadap saingan.

    2.7 Metabolisme Perkecambahan Benih

    Setelah benih berimbibisi terjadi reaktivasi enzim, proses metabolisme

    (respirasi), sintesis RNA dan protein yang berpengaruh pada peningkatan

    integritas struktur sel. Secara fisiologis, terjadi beberapa proses berurutan selama

    perkecambahan benih yaitu penyerapan air, pencernaan, pengangkutan zat

    makanan, asimilasi, pernafasan, dan pertumbuhan (Kamil, 1979).

    Penyerapan air merupakan proses yang pertama kali terjadi pada

    perkecambahan benih, diikuti dengan pelunakan kulit benih, dan pengembangan

    benih. Penyerapan air ini dilakukan oleh kulit benih melalui peristiwa imbibisi

    dan osmosis dan prosesnya tidak memerlukan energi. Penyerapan air oleh embrio

    dan endosperma menyebabkan pembengkakan (penggembungan) dari kedua

    struktur ini, mendesak kulit benih yang sudah lunak sampai pecah dan

    memberikan ruang untuk keluarnya akar (Kamil, 1979).

    Penurunan kadar air (saat benih dikeringkan) dan rehidrasi benih cukup

    memberikan tekanan pada komponen sel-sel. Pada benih yang viabilitasnya

    rendah, ketika benih berimbibisi ada kebocoran zat terlarut yang menunjukkan

    kerusakan membran sel. Organ seperti mitokondria rusak dan berkurang

  • 16

    jumlahnya bahkan DNA juga tidak luput dari kerusakan, sehingga diperlukan

    pemberian enzim dan senyawa tertentu untuk mengantisipasi, membatasi dan

    memperbaiki kerusakan sel (Nonogaki et al., 2010).

    Umumnya cadangan makanan disimpan di dalam benih dalam bentuk pati,

    hemiselulosa, lemak dan protein yang tidak larut di dalam air (water insoluble)

    atau berupa senyawa koloid. Cadangan makanan ini umumnya (tersebar) terdapat

    di dalam endosperma (pada monokotil), merupakan senyawa yang kompleks

    bermolekul besar dan tidak bisa diangkut (immobile) ke daerah yang memerlukan

    yaitu poros embrio (embryonic axis). Sebagian kecil cadangan makanan ini juga

    terdapat di poros embrio, tetapi segera habis pada awal perkecambahan benih.

    Lebih tegas lagi, cadangan makanan dalam jaringan penyimpanan (storage tissue)

    tidak bisa diangkut dari sel ke sel yang lain dan dipakai untuk pembentukan

    protoplasma dan dinding sel sebelum zat-zat tersebut dirubah menjadi zat atau

    senyawa yang lebih sederhana, bermolekul lebih kecil, larut dalam air dan dapat

    melakukan difusi (Kamil, 1979).

    Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa, setelah benih

    berkecambah, sistem akar dan tajuk muda mulai menggunakan hara mineral,

    lemak, pati dan protein yang terdapat di sel penyimpanan pada benih. Kecambah

    muda bergantung pada cadangan makanan ini sebelum mampu menyerap garam

    mineral dari tanah dan sebelum dapat memanjangkan sistem tajuknya menuju

    cahaya. Kecambah menghadapi kesulitan dengan lemak, polisakarida, dan protein,

    sebab molekul tersebut tidak dapat dipindahkan. Proses terjadinya pemecahan

    (breaking down) zat atau senyawa bermolekul besar, kompleks, menjadi senyawa

    bermolekul lebih kecil, kurang kompleks, larut dalam air dan dapat diangkut

  • 17

    melalui membran dan dinding sel, dibutuhkan agen pencerna (digestive agents)

    yaitu enzim. Setelah penyerapan air, terjadi aktivasi termasuk aktivasi enzim,

    kemudian masuk ke dalam endosperma dan mencerna makanan cadangan (Kamil,

    1979). Salah satu enzim yang diperlukan dalam proses pencernaan ini adalah α-

    amilase yang menghidrolisis pati (Salisbury dan Ross, 1995).

    Pada serealia, cadangan makanan umumnya berbentuk pati, terdapat pada

    endosperma, terdiri atas dua bentuk yaitu amilosa dan amilopektin. Pencernaan

    pati (amilosa dan amilopektin) dilakukan oleh dua macam enzim amilase yaitu β-

    amilase dan α-amilase. Enzim β-amilase sudah ada dari semula (pre-exist) di

    dalam skutelum dan selaput aleuron pada biji kering angin, sedangkan enzim α-

    amilase terbentuk pada waktu mulai perkecambahan dan masuk ke dalam

    endosperma untuk mencerna amilosa menjadi glukosa yang larut dalam air dan

    bisa diangkut (Kamil, 1979). Embrio (nutfah) benih serealia dan rumputan lainnya

    dikelilingi cadangan makanan yang terdapat di sel-sel (jaringan) yang secara

    metabolik tidak aktif, yakni endosperma ; endosperma sendiri diselimuti selaput

    tipis yang hidup, yang biasanya mempunyai ketebalan dua hingga empat sel, dan

    disebut aleuron.

    Setelah perkecambahan terjadi, terutama akibat peningkatan kelembaban,

    sel aleuron mengeluarkan sejumlah enzim hidrolisis yang mencerna pati, protein,

    fitin, RNA, dan bahan di dinding sel tertentu yang terdapat dalam sel-sel

    endosperma. Enzim yang dikeluarkan selaput aleuron adalah α-amilase, setelah

    selaput aleuron memperoleh hormon giberelin yang disediakan oleh embrio.

    Hormon giberelin mendorong sekresi enzim hidrolitik ke endosperma, tempat

  • 18

    enzim tersebut mencerna cadangan makanan dan dinding sel, unsur mineral dan

    cadangan makanan menjadi lebih mudah tersedia (Salisbury dan Ross, 1995).

  • 19

    III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas

    Pertanian Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat yang dimulai pada

    tanggal 07 Juni sampai dengan14 Juni 2013.

    3.2 Bahan dan Alat

    3.2.1 Bahan

    1. Benih Jagung

    Benih jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung

    yang sudah kadaluarsa pada tanggal 02 Mei 2012 dengan tingkat daya tumbuh 95

    %. Varietas Hibrida N-35 Cap Dua Kuda yang diproduksi oleh PT. Pertani

    (Persero).

    2. Kertas Buram dan Plastik

    Subtrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas buram,

    sedangkan plastik yang digunakan adalah plastik minyak yang berfungsi untuk

    melapisi kertas buram supaya tetap terjaga kelembabannya.

    3. Giberelin

    Giberelin digunakan dalam penelitian ini dengan nama produk Pro gibb

    20® SL yang berbentuk cair.

    4. Air

    Air digunakan untuk melarutkan giberelin dan membasahi subtrat dan

    diletakkan di dalam geminator supaya terjadi kelembaban.

  • 20

    5. Alkohol

    Alkohol (70 %) digunakan untuk mensterilkan geminator agar tidak

    terkontaminasi dengan fungi.

    3.2.2 Alat

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah geminator, gelas

    ukur, pipet ukur, alat tulis, jam, kertas label dan kamera.

    3.3 Rancangan Percobaan

    Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola

    faktorial dengan 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor yang diteliti meliputi konsentrasi

    giberelin dan lama perendaman.

    Faktor konsentrasi giberelin (K) terdiri dari 3 taraf :

    K1 = 100 ppm

    K2 = 200 ppm

    K3 = 300 ppm

    Faktor lama perendaman (P) terdiri dari 3 taraf :

    P1 = 3 jam

    P2 = 6 jam

    P3 = 9 jam

    Dengan demikian terdapat 3 x 3 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan

    terdapat 27 satuan percobaan. Susunan kombinasi perlakuan antara konsentrasi

    giberelin dan lama perendaman dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 21

    Tabel 1. Susunan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Giberelin dan Lama

    Perendaman.

    Model matematis dari rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

    Yij= μ + K i+ Pj+ (KP)ij+ ɛij

    Keterangan:

    Yij = Nilai pengamatan untuk faktor konsentrasi giberelin level ke- i dan

    faktor lama perendaman level ke-j µ = Nilai tengah umum Ki = Pengaruh konsentrasi giberelin ke- i (i=1,2 dan 3)

    Pj = Pengaruh lama perendaman ke-j (j=1,2 dan 3) (KP)ij = Interaksi antara konsentrasi giberelin level ke- i, level lama

    perendaman ke-j ɛij = Galat percobaan untuk faktor konsentrasi giberelin level ke- i, faktor

    lama perendaman ke-j

    Apabila hasil uji F menunjukkan pengaruh yang nyata atau sangat nyata

    maka dilanjutkan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 % dengan

    persamaan sebagai berikut :

    BNT 0,05 = t : dbg 0,05 × 2 KTg

    r

    Keterangan :

    BNT0,05 = Beda nyata terkecil Pada Taraf 5 %

    t : dbg 0,05 = Nilai baku t pada taraf 5 %

    KTg = Kuadrat tengah galat

    r = Jumlah ulangan

    No Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Giberelin

    (ppm) Lama Perendaman (jam)

    1 K1 P1 100 3

    2 K1 P2 100 6

    3 K1 P3 100 9

    4 K2 P1 200 3

    5 K2 P2 200 6

    6 K2 P3 200 9

    7 K3 P1 300 3

    8 K3 P2 300 6

    9 K3 P3 300 9

  • 22

    3.4 Pelaksanaan Penelitian

    1. Pelarutan dan Perendaman

    Untuk mengamplikasi konsentrasi giberelin pada benih terlebih dahulu

    dilakukan pelarutan. Pelarutan diawali dengan mengukur jumlah konsentrasi yang

    digunakan dengan pet ukur. Selanjutnya konsentrasi giberelin yang telah diukur

    dilarutkan dengan air yaitu 100 ppm (0,1 cc l air-1), 200 ppm (0,2 cc l air-1) dan

    300 ppm (0,3 cc l air-1).

    Perendaman dilakukan dengan mengunakan giberelin yang telah

    dilarutkan dengan air dan selanjutnya direndam dengan lama perendaman sesuai

    dengan perlakuan masing-masing yaitu 3 jam, 6 jam dan 9 jam.

    2. Persiapan Media Subtrat

    Media perkecambahan yang digunakan adalah kertas buram yang

    berukuran 21 cm x 35 cm dan plastik. Kertas yang dipergunakan dibasahi atau

    direndam dengan air, adapun jumlah kertas buram plastik yang digunakan per

    media yaitu 5 lembar lapisan kertas buram dan 1 lembar lapisan plastik. Metode

    ini adalah metode UKDdp (Uji Kertas Digulung didirikan dengan plastik).

    3. Penanaman Benih

    Penanaman benih di media subtrat kertas dengan cara meletakkan sesuai

    dengan ukuran kertas (lampiran 12). Jumlah benih yang ditanam adalah 25 benih

    per media, selanjutnya substrat yang sudah ditanami benih di beri lebel perlakuan

    dan digulung serta didirikan dalam keranjang.

    Geminator yang digunakan terlebih dahulu disemprot dengan alkohol agar

    tidak terkontaminasi dengan jamur. Keranjang yang sudah isi dengan gulungan

    subtrat dimasukkan kedalam geminator.

  • 23

    3.5 Pengamatan

    1. Potensi Tumbuh (PT)

    Potensi tumbuh adalah benih yang menunjukkan gejala tumbuh pada

    pengamatan hari ke 7 dan dinyatakan dalam persen. Gejala tumbuh ditandai

    dengan munculnya akar atau plumula yang menembus kulit benih dengan rumus

    persamaan sebagai berikut :

    PT = Ʃ Benih yang menunjukkan gejala tumbuh

    Ʃ Benih yang di tanam x 100 %

    2. Daya Berkecambah (DB)

    Nilai berkecambah diperoleh dengan menghitung jumlah benih yang

    berkecambah normal pada hari ke 5 (pengamatan I) dan hari ke 7 (pengamatan II)

    setelah tanam yang dinyatakan dalam persen dengan rumus persamaan berikut :

    DB = ƩKN I + ƩKN II

    Ʃ Benih yang ditanam x 100 %

    Keterangan :

    ƩKN I = Jumlah kecambah normal pada pengamatan pertama

    ƩKN II = Jumlah kecambah normal pada pengamatan kedua

    3. Kecepatan Tumbuh (KcT)

    Nilai kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan jumlah pertumbuhan

    kecambah normal setiap hari sampai hari terakhir (hari ke 7) yang dinyatakan

    dalam persen per hari. Perumusan menggunakan persamaan berikut

    KcT = N1W1

    + N2W2

    +⋯ NnWn

    Keterangan :

    N1 - Nn = Pengamatan ( n=1, 2, 3 dan seterusnya)

    W1- Wn = Waktu pengamatan ( n=1, 2, 3 dan seterusnya)

  • 24

    4. Keserempakan Tumbuh (KsT)

    Perhitungan keserampakan tumbuh dilakukan terhadap kecambah normal

    kuat pada hari ke 6 yaitu antara pengamatan I (hari ke 5) dan pengamatan II (hari

    ke 7) setelah tanam dan dinyatakan dalam persen. Keserampakan tumbuh

    menggunakan rumus persamaan sebagai berikut :

    KsT = Ʃ Kecambah normal ku at

    Ʃ Benih yang ditanam x 100 %

    5. Vigor Kecambah (VK)

    Uji vigor kecambah digunakan untuk mengetahui kemampuan benih

    tumbuh normal dengan baik, kuat dan memiliki struktur kecambah yang normal

    (penampilan kecambah, vigor, les vigor, dan non vigor) dinyatakan dalam persen.

    Vigor kecambah dihitung dengan mengunakan rumus persamaan sebagai berikut.

    VK = Ʃ Kecambah yang vigor kuat

    Ʃ Benih yang ditanam x 100 %

  • 25

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Pengaruh Konsentrasi Giberelin

    Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan

    bahwa tingkat konsentrasi giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap potensi

    tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor

    kecambah benih jagung kadaluarsa.

    Rata-rata potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada

    berbagai konsentrasi giberelin dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

    Tabel 2. Rata-rata Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh,

    Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Konsentrasi Giberelin.

    Keterangan : PT = Potensi Tumbuh KsT = KeserempakanTumbuh DB = Daya Berkecambah VK = Vigor Kecambah KcT = Kecepatan Tumbuh

    Tabel 2 menunjukkan bahwa potensi tumbuh, daya berkecambah,

    kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai

    pada konsentrasi giberelin 300 ppm (K3) yang secara statistik menunjukkan

    perbedaan yang tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi giberelin 100 ppm (K1)

    dan 200 ppm (K2).

    Parameter Konsentrasi Giberelin (ppm)

    100 (K1) 200 (K2) 300 (K3)

    PT (%) 38.22 42.67 48.89

    Arsin x 37.84 40.70 44.32

    DB (%) 26.67 35.11 36.00

    Arsin x 30.30 36.22 36.65

    KcT (%/etmal) 7.99 9.90 10.46

    Arsin x 15.99 18.22 18.71

    KsT (%) 28.44 35.11 38.22

    Arsin x 31.69 36.18 38.05

    VK (%) 23.11 28.89 32.00

    Arsin x 28.16 32.21 34.25

  • 26

    Perendaman benih jagung yang sudah kadaluarsa dengan konsentrasi

    giberelin berpengaruh tidak nyata. Diduga pemberian berbagai konsentrasi

    giberelin tidak mampu mengurangi kemunduran viabilitas dan vigor benih yang

    sudah kadaluarsa dikarenakan bahwa benih yang sudah mengalami kemunduran.

    Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa kemunduran benih adalah proses

    bertahap yang diikuti oleh menumpuknya metabolit beracun yang makin lama

    semakin menekan daya berkecambah dan pertumbuhan kecambah. Kemunduran

    benih ditunjukkan oleh habisnya cadangan makanan, meningkatnya kandungan

    asam lemak, berkurangnya aktivitas enzim, dan terjadi kerusakan membran.

    Harjadi (1979) menambahkan bahwa kemunduran suatu benih dapat diterangkan

    sebagai turunnya kualitas atau viabilitas benih yang mengakibatkan rendahnya

    vigor dan jeleknya pertumbuhan. Dimana kejadian tersebut merupakan suatu

    proses yang tak dapat balik dari kualitas suatu benih.

    Peningkatan konsentrasi meningkatkan potensi tumbuh, daya

    berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah

    tidak stabil. Hal ini diduga karena pada benih jagung kadaluarsa terjadi

    kemunduran viabilitas dan vigor sehingga menyebabkan perubahan menyeluruh

    dalam benih baik fisik, fisiologis, maupun kimia. Menurut Nonogaki et al. (2010)

    menyatakan pemberian giberelin pada benih yang sudah mengalami kemunduran

    (deteorasi) dapat mengantisipasi, membatasi dan memperbaiki kerusakan sel.

    Wattimena (1987) menyatakan bahwa untuk benih-benih yang mempunyai

    kandungan giberelin endogennya sedikit maka diperlukan penambahan giberelin

    dari luar yang sesuai, sehingga benih bisa berkecambah. Sebelumnya Heddy

    (1986) menyatakan pemberian dalam konsentrasi rendah, sejumlah kecil giberelin

    dapat membuat efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan

    organ suatu tumbuhan.

  • 27

    4.2 Pengaruh Lama Perendaman

    Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan

    bahwa lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap potensi tumbuh, daya

    berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah

    benih jagung kadaluarsa. Rata-rata potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan

    tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada

    berbagai lama perendaman disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

    Tabel 3. Rata-rata Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh, Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa

    pada berbagai Lama Perendaman.

    Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf dan pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada

    taraf peluang 5 % (Uji BNT)

    Tabel 3 menunjukkan bahwa potensi tumbuh tertinggi dijumpai pada lama

    perendaman 3 jam (P1) yang berbeda tidak nyata dengan 6 jam (P2) serta berbeda

    sangat nyata dengan 9 jam (P3), sedangkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai pada 6 jam (P2)

    yang berbeda tidak nyata dengan 3 jam (P1) namun berbeda sangat nyata dengan 9

    jam (P3).

    Parameter Lama Perendaman (jam)

    BNT 0.05 3 (P1) 6 (P2) 9 (P3)

    PT (%) 50.67 49.78 29.33

    1.94 Arsin x 45.39 b 44.86 b 32.63 a

    DB (%) 36.89 37.78 23.11

    2.11 Arsin x 37.09 b 37.76 b 28.32 a

    KcT (%/etmal) 10.63 10.91 6.82

    1.78 Arsin x 18.79 b 19.17 b 14.97 a

    KsT (%) 37.78 40.00 24.00

    1.92 Arsin x 37.75 b 39.11 b 29.06 a

    VK (%) 32.00 32.44 19.56

    1.82 Arsin x 34.13 b 34.54 b 25.95 a

  • 28

    Hubungan antara potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa pada bebagai

    lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Potensi Tumbuh, Daya Berkecambah, Keserempakan Tumbuh dan Vigor Kecambah Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Lama

    Perendaman.

    Hubungan antara kecepatan tumbuh benih jagung kadaluarsa pada

    berbagai lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

    Gambar 2. Kecepatan Tumbuh Benih Jagung Kadaluarsa pada berbagai Lama

    Perendaman.

    Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa potensi tumbuh tertinggi terlihat

    pada lama perendaman 3 jam (P1) dan daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    50,67 49,78

    29,33

    36,89 37,78

    23,11

    37,78 40,00

    24,00

    32,00 32,44

    19,56

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    40

    45

    50

    55

    3 6 9

    PT

    , D

    B,

    KsT

    , V

    K (

    %)

    Lama Perendaman (jam)

    PT DB KsT VK

    10,6310,91

    6,82

    5,0

    6,0

    7,0

    8,0

    9,0

    10,0

    11,0

    12,0

    3 6 9

    KcT

    (%

    /et

    mal)

    Lama Perendaman (jam)

  • 29

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi terlihat pada lama

    perendaman 6 jam (P2) namun lama perendaman 9 jam (P3) terlihat potensi

    tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor

    kecambah terjadi penurunan.

    Tingginya potensi tumbuh pada benih jagung kadaluarsa dengan lama

    perendaman 3 jam (P1) yang berbeda tidak nyata dengan 6 jam (P2). Diduga

    Perendaman selama 3 jam dan 6 jam kebutuhan air yang optimal pada benih

    jagung kadaluarsa, sehingga reaksi metabolisme enzim pada benih akan semakin

    cepat dan memberikan pengaruh terhadap aktifitas enzim dan pembelahan sel.

    Menurut Sadjad (1980) kemampuan muncul dan berkembangnya struktur

    terpenting dari embrio benih serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang

    menjadi tanaman yang normal pada kondisi alam yang menguntungkan.

    Daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor

    kecambah benih kadaluarsa tertinggi dijumpai pada lama perendaman 6 jam (P2)

    yang berbeda tidak nyata 3 jam (P1). Hal ini diduga perendaman pada benih yang

    dilakukan dengan waktu yang terlalu lama apalagi terhadap benih dengan kadar

    air sangat rendah yang sudah mengalami penyimpanan yang lama dapat

    menyebabkan kerusakan pada struktur membran sehingga perlu suatu kondisi

    dimana imbibisi dilaksanakan secara terkontrol. Menurut Khan et al. (1992) salah

    satu upaya yang dapat dilakukan untuk benih dengan kadar air sangat rendah dan

    benih yang mengalami penyimpanan yang lama adalah dengan invigorasi benih

    yaitu dengan cara mengkondisikan benih sedemikian rupa sehingga karakter

    fisiologis dan biokimiawi yang terdapat di dalam benih dapat dimanfaatkan secara

    optimal.

  • 30

    Lama perendaman 9 jam (P3) menunjukkan potensi tumbuh, daya

    berkecambah, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung

    kadaluarsa mengalami penurunan. Diduga dengan meningkatnya kadar air benih

    yang direndam, tentunya aktivitas enzim akan meningkat sampai pada batas waktu

    tertentu serta dengan lama benih direndam maka jumlah air yang masuk kedalam.

    Menurut Schmidt (2000) penambahan waktu perendaman akan menurunkan lagi

    aktivitas enzim karena semakin lama benih direndam dalam kondisi anaerob

    (kurang oksigen) akan menstimulir proses fermentasi di dalam benih.

    Fermentasi C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + energi

    Proses biokimia fermentasi menghasilkan panas. Menurut Roberts (1972)

    bahwa salah satu faktor penyebab kemunduran benih adalah terakmlasinya bahan-

    bahan yang toksit (beracun) yang disebabkan oleh fermentasi. Oleh karena itu

    dalan percobaan ini semakin lama perendaman benih, daya berkecambah benih

    semakin menurun. Selain terjadi fermentasi pada benih air yang berlebihan akan

    mudah terjadi pembusukan, yang pada akhirnya media berkembang biak

    cendawan. Kamil (1979) menyatakan kadar air yang tinggi pada benih

    memungkinkan cendawan dan bakteri berkembang dengan cepat sehingga

    menyebabkan benih mati.

    Perlakuan perendaman dalam larutan giberelin dapat membantu

    mempercepat proses imbibisi. Kamil (1979) menyatakan bahwa proses awal

    perkecambahan adalah proses imbibisi yaitu masuknya air ke dalam benih,

    sehingga kadar air mencapai persentase tertentu. Air diperlukan dengan jumlah

    optimal dalam suatu proses perkecambahan. Penyerapan air ini dilakukan oleh

    anaerob

    etanol glukosa karbondioksida

  • 31

    kulit benih melalui proses difusi dan osmosis. Besarnya air yang dapat diserap

    oleh benih dalam perlakuan perendaman dengan giberelin, kemungkinan

    tergantung dari banyaknya jumlah giberelin yang diserap benih selama perlakuan.

    Semakin lama perendaman benih dalam konsentrasi giberelin maka semakin

    banyak giberelin yang terserap ke dalam benih, sehingga kemungkinan benih akan

    mengimbibisi air secara cepat dan berlebihan.

    4.2 Pengaruh Interaksi

    Hasil uji F pada analisis ragam (lampiran 2, 4, 6, 8 dan 10) menunjukkan

    bahwa terdapat interaksi yang tidak nyata antara konsentrasi giberelin dan lama

    perendaman terhadap viabilitas dan vigor benih jagung kadaluarsa berdasarkan

    potensi tumbuh, daya kecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan

    vigor kecambah. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi giberelin tidak

    tergantung pada lama perendaman ataupun sebaliknya.

  • 32

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    1. Konsentrasi giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap potensi tumbuh, daya

    berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah

    benih jagung kadaluarsa.

    2. Lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap potensi tumbuh, daya

    berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan vigor kecambah

    benih jagung kadaluarsa. Potensi tumbuh tertinggi dijumpai pada lama

    perendaman 3 jam, tetapi daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah tertinggi dijumpai pada lama

    perendaman 6 jam.

    3. Terdapat interaksi yang tidak nyata antara konsentrasi dan lama perendaman

    terhadap potensi tumbuh, daya berkecambah, kecepatan tumbuh,

    keserempakan tumbuh dan vigor kecambah benih jagung kadaluarsa.

    5.2 Saran

    Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi

    giberelin yang lebih tepat dan efektif untuk mengetahui viabilitas dan vigor benih

    jagung yang telah mengalami kadaluarsa.

  • 33

    DAFTAR PUSTAKA

    Abidin, Z. 1984. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Penerbit Angkasa, Bandung.

    Anonymous. 2009. Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik Nasional, Jakarta.

    Barmin. 2005. Budidaya tanaman pangan (Padi dan Jagung). Ricardo, Jakarta. 45

    hal.

    Barnito, N. 2009. Buddidaya Tanaman jagung (Zea mays). (http://E:Jagung. htm).

    Diakses 11 juli 2009

    Basu, R. N. 1994. An Appraisalof Research on wet and dry physiological seed

    treatmen and their applicapability with special reference to tropical and subtropical countries. Seed Sci. Technol. 22:107-126.

    Begum, H., M. L. Lavania dan G.G.V. Babu. 1988. Seed studies in Papaya. II.

    Effect of pre-soaking treatment with GA and thiourea on germination ang vigor of aged seed. Seed Res. 16 (1) : 51-56.

    Bewley, D dan M. Black, 1978, Physiology and biochemistry of Seed, Springer

    verlag, Berlin Heidlberg.

    Copeland, L. O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota. 369 pp.

    Harjadi,S. 1979. Dasar-dasar Agronomi. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 195 hal.

    Heddy S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali, Jakarta.

    Justice, O. L. dan L. N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih.

    Edisi 1 (3). Roesly, R. (Pentj.). Raja Grafindo Persada, Jakarta. 446 hal.

    Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Angkasa, Bandung.

    . 1982. Teknologi Benih I. Angkasa, Bandung. 227 hal

    Khan, A. A., J. D. Maguire, G.S. Abawi and S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of

    vegetable seeds to improve stand establishmeny in early field plantings. Journal American Society Horticulture Science 117(1): 41-47.

    Khan, A. A. 1977. The Physiology and Biochemistry of Seed Development, Dormancy, and Germination. Elsevier Biomedical Press. Amsterdam.

    447p.

    Kucera, B., M. A. Cohn, and G.H. Metzger. 2005. Plant hormone interactions

    during seed dormancy release and germination. Seed Science Research. 15:281- 307.

    http://E:Jagung

  • 34

    Nonogaki H, Baseel GW, Bewley JD. 2010. Germination- Still a mystery, J. Plant

    Sci. 1(1): 1-8.

    Prawiranata, W., S. Harran dan P. D. Tjondronegoro. 1981. Fisiologi Tumbuhan I,

    II Departemen Botani, Faperta, IPB, Bogor. 2 Vol.

    Roberts, E. H. 1972. Cytological, genetical andmetabolic change associated with

    loss of viability. p.253-306.

    Rukmana, R. 2007. Jagung (Budidaya, Pasca Panen dan Penganeka Ragaman

    Pangan). CV. Aneka Ilmu, Semarang.

    Sadjad , S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Grasindo, Jakarta.145 hal.

    . 1972. Kertas Merang Untuk Uji Kualitas Benih di Indonesia. Disertasi.

    Fakutas Pasca Sarjana, IPB, Bogor. 181 hal.

    . 1980. Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di

    Indonesia. Proyek Pusat Perbenihan Kehutanan Direktorat Rebolisasi dan

    Rehabilitasi, Direktoral Jendral kehutanan, Kerjasama Afiliasi Institut Pertanian Bogor. 302 hal.

    Sadjad, S., M. Poernomohadi, Z. Jusup, dan Z. A. Pian. 1974. Penuntun

    Praktikum Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan, jilid 3, Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan, Edisi keempat, Terjemahan Diah R.

    Lukman dan Sumaryono, ITB, Bandung. 343hal.

    Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Hutan Tropis dan Sub tropis.

    Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan, Jakarta

    Saenong, S. 1986. Pengaruh vigor benih terhadap vigor tanaman di lapang dan daya simpan benih jagung. Magister Sain Tesis. FPS, IPB. 127 hal.

    Sing, K dan B. S. Afria. 1990. Seed Germination, seed ling growth, emergence and establisment response of cotton cultivar as regulated by growth

    substances. Seed Res. 18 (1) : 25-30.

    Singh, A. dan H. N. Singh. 1973. Note on the effect of pre-soakingseeds in

    solution on germination and early seedling growth in phumphin (Cucubita moschata L.) india of Agr. Sci. 43 : 973-976.

    Soetopo, L. 2004. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

    Wattimena, G. W. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab Kultur Jaringan

    Tanaman, PAU Bioteknologi IPB Bogor. Ditjen Dikti, Departeman

    Pendidikandan Kebudayaan. 246 p.

    Weiss, D. and N. Ori. 2007. Mechanisms of cross talk beetween gibberellin and

    other hormones. Plant Physiology: 144: 1240 - 1246.

    -Unlicensed-COVER I-Unlicensed-BAB I-Unlicensed-BAB II-Unlicensed-BAB III-Unlicensed-BAB IV-Unlicensed-BAB V-Unlicensed-DAFTAR PUSTAKA