pengaruh pemanfaatan lumpur aktif dan ...repository.ub.ac.id/6654/1/elsa himalia.pdfvii ringkasan...
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMANFAATAN LUMPUR AKTIF DAN PUPUK ORGANIK
KOTORAN AYAM TERHADAP KELIMPAHAN Tetraselmis chuii
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
ELSA HIMALIA
135080100111018
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
PENGARUH PEMANFAATAN LUMPUR AKTIF DAN PUPUK ORGANIK
KOTORAN AYAM TERHADAP KELIMPAHAN Tetraselmis chuii
SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
ELSA HIMALIA
135080100111018
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iv
JUDUL : PENGARUH PEMANFAATAN LUMPUR AKTIF
DAN PUPUK ORGANIK KOTORAN AYAM
TERHADAP KELIMPAHAN Tetraselmis chuii
NAMA MAHASISWA : ELSA HIMALIA
NIM : 135080100111018
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Ir. PUTUT WIDJANARKO, MP
Pembimbing 2 : ANDI KURNIAWAN, S.Pi, M.Eng. D.Sc
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : Ir. KUSRIANI, MP
Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. MUHAMMAD MUSA, MS
Tanggal Ujian : 31 Juli 2017
v
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian sehingga laporan ini dapat
terselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Ir. Putut Widjanarko, MP selaku dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan dan penulisan
laporan Skripsi ini.
2. Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng. D.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang
juga telah memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan dan
penulisan laporan Skripsi ini.
3. Suhadak dan Siti Mufhimah selaku orang tua penulis serta Alvin Muhammad
dan Muhammad Ilham Vebrilian selaku adik penulis yang selalu membantu,
mendukung dan mendoakan penulis.
4. Agus Witjaksono selaku Supervisor WT dan WWTP PT. Coca Cola Bottling
Indonesia yang telah membantu dan memberikan arahan serta informasi
tentang lumpur aktif dan WWTP PT. Coca Cola Bottling Indonesia.
5. PT Coca Cola Bottling Indonesia, Pasuruan Jawa Timur yang telah
mengizinkan saya untuk melakukan skripsi mengenai lumpur aktif
6. Teman-teman Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan angkatan
2013 atas dukungannya serta pihak lainnya yang secara langsung maupun
tidak langsung telah berperan dalam menyelesaikan laporan ini.
Malang, 31 Juli 2017
Penulis
vii
RINGKASAN
Elsa Himalia “Pengaruh Pemanfaatan Lumpur Aktif Dan Pupuk Organik Kotoran Ayam Terhadap Kelimpahan Tetraselmis chuii”. Di bawah bimbingan Ir. Putut Widjanarko, MP dan Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng. D.Sc.
Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan usaha perikanan. Salah satu jenis pakan alami yang baik adalah Tertaselmis chuii. Penyediaan pakan alami Tetraselmis chuii secara terus menerus sangat sukar dilakukan jika hanya mengumpulkannya dari alam. Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya untuk tetap menjaga keberadaan Tetraselmis chuii yaitu menggunakan pupuk. Salah satu jenis pupuk adalah pupuk organik kotoran ayam. Pupuk organik kotoran ayam dapat digunakan sebagai pengganti bahan-bahan kimia dimana mampu mencukupi unsur hara makro yang sehingga biaya kultur alga menjadi lebih murah. Pupuk kotoran ayam ini harus melalui proses mineralisasi. Namun apabila melakukan proses mineralisasi secara alami membutuhkan waktu yang lama sehingga dapat memperlambat proses budidaya Tetraselmis chuii ini. Oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat membantu mempercepat proses mineralisasi pupuk kotoran ayam tersebut yaitu lumpur aktif.
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa pengaruh pemanfaatan lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2017 di PT. Coca Cola Bottling Indonesia Pasuruan, Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan, serta Laboratorium Hidrobiologi Divisi Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Sedangkan uji kandungan dari pupuk organik kotoran ayam dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang..
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan model perlakuan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan menggunakan 8 perlakuan kombinasi dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan meliputi A0B0 (kontrol), A0B1, A0B2, A0B3, A1B0, A1B1, A1B2 dan A1B3. Prosedur penelitian meliputi pembuatan media Tetraselmis chuii, pengukuran parameter kualitas air, kelimpahan Tetraselmis chuii, uji ANOVA dan uji BNT. Adapun pengukuran kualitas air untuk suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO2) dilakukan sebanyak 11 kali dan untuk pengukuran nitrat (NO3), orthophospat (H2PO4
-) dan kelimpahan Tetraselmis chuii sebanyak 5 kali. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada pengukuran kualias air di setiap
perlakuan kisaran nilai suhu 26,1–30 0C, salinitas 29–35 ppt, pH 7,94 – 8,14, oksigen terlarut (DO) 4,30 – 5,60, karbondioksida (CO2) 0 mg/L, nitrat (NO3) 0,0675 - 2,2920 mg/L, orthophospat (H2PO4
-) 0,0956 - 0,3436 mg/L.. Rata-rata kelimpahan Tetraselmis chuii tertinggi pada Hari ke-6 terjadi pada perlakuan A1B2 yaitu mencapai 13,67x103 sel/ml, sedangkan kelimpahan populasi terendah pada perlakuan A0B0 8,58 x 103 sel/ml. Hipotesis H1 diterima yang berarti bahwa pemberian lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii dan berarti bahwa adanya interaksi antara lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii,
viii
KATA PENGANTAR
Segala Puji kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
Karunia-Nya. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan laporan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pemanfaatan Lumpur Aktif Dan Pupuk Organik Kotoran
Ayam Terhadap Kelimpahan Tetraselmis chuii” sebagai salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih ditemukan banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf dan berbesar hati menerima
kritik dan saran apabila pembaca menemukan kesalahan dalam laporan ini.
Semogalaporan ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.
Malang, 31 Juli 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESHAN.................................................................................... ii
IDENTITAS TIM PENGUJI.................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................ iv
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH................................................................. v
HALAMAN RINGKASAN...................................................................................... vi
HALAMAN KATA PENGANTAR.......................................................................... vii
HALAMAN DAFTAR ISI....................................................................................... viii
HALAMAN DAFTAR TABEL................................................................................ x
HALAMAN DAFTAR GAMBAR............................................................................ xi
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... xii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 3
1.3 Tujuan...................................................................................................... 3
1.4 Hipotesis................................................................................................... 3
1.5 Kegunaan................................................................................................. 3
1.6 Tempat dan Waktu Pelaksanaan............................................................. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tertraselmis chuii............................................. 5
2.2 Manfaat Tetraselmis chuii........................................................................ 6
2.3 Siklus Hidup dan Reproduksi Tetraselmis chuii....................................... 7
2.4 Fase Pertumbuhan Tetraselmis chuii....................................................... 8
2.5 Lumpur Aktif............................................................................................. 9
2.6 Pupuk Organik Kotoran Ayam.................................................................. 10
2.7 Parameter Kualitas Air.............................................................................. 11
2.7.1 Parameter Fisika
A. Suhu......................................................................................... 11
B. Salinitas.................................................................................... 12
2.7.2 Parameter Kimia
A. pH............................................................................................. 12
B. Oksigen Terlarut....................................................................... 13
C. Karbon dioksida (CO2) ............................................................. 14
D. Nitrat (NO3) .............................................................................. 14
E. Orthophospat (H2PO4-)............................................................. 15
2.7.3 Parameter Biologi
A. Kelimpahan Fitoplankton.......................................................... 16
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian........................................................................................ 17
3.2 Metode Penelitian...................................................................................... 17
3.3 Kerangka Penelitian................................................................................... 20
3.3.1 Tahapan Penelitian
A. Sterilisasi Alat.......................................................................... 21
x
B. Sterilisasi Air Laut.................................................................... 21
C. Sterilisasi Tanah...................................................................... 21
D. Persiapan Wadan dan Peralatan Penunjang Lainnya............. 22
E. Persiapan Media Tetraselmis chuii.......................................... 22
F. Persiapan Bibit Tetraselmis chuii............................................. 22
G. Pelaksanaan Penelitian........................................................... 23
H. Perhitungan Kelimpahan Tetraselmis chuii............................. 23
3.4 Analisis Parameter Kualitas Air
3.4.1 Parameter Fisika
A. Suhu........................................................................................ 25
B. Salinitas................................................................................... 25
3.4.2 Parameter Kimia
A. Derajat Keasaman (pH)........................................................... 26
B. Oksigen Terlarut (DO)............................................................. 26
C. Karbondioksida (CO2).............................................................. 27
D. Nitrat (NO3) ............................................................................. 27
E. Orthophospat (H2PO4-)............................................................ 28
3.5 Analisa Data............................................................................................ 28
3.5.1 Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)....................................................... 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelimpahan Tetraselmis chuii................................................................. 31
4.2 Kualitas Air.............................................................................................. 36
4.2.1 Parameter Fisika
A. Suhu........................................................................................ 37
B. Salinitas................................................................................... 38
4.2.2 Parameter Kimia
A. Derajat Keasaman (pH)........................................................... 40
B. Oksigen Terlarut (DO)............................................................. 42
C. Karbondioksida (CO2).............................................................. 44
D. Nitrat (NO3) ............................................................................. 45
E. Orthophospat (H2PO4-)............................................................ 46
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 49
5.2 Saran....................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 51
LAMPIRAN........................................................................................................... 56
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Skripsi.......................................................................... 4
Tabel 2. Rancangan penelitian............................................................................. 17
Tabel 3. Analysa of Varians (ANOVA) ................................................................. 30
Tabel 4. Data Kelimpahan Rata-rata Tetraselmis chuii (103) dalam sel/ml.......... 31
Tabel 5. Analisa Varian (ANOVA) Pengaruh perbedaan konsentrasi pupuk
organik cair limbah molase terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii... 32
Tabel 6. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)........................................................ 33
Tabel 7. Hasil pengukuran kualitas air................................................................... 36
Tabel 8. Pengukuran Rata- Rata Suhu (oC) selama penelitian.............................. 37
Tabel 9. Pengukuran Rata-Rata Salinitas (ppt) selama penelitian......................... 39
Tabel 10. Pengukuran Rata-Rata pH selama penelitian........................................ 40
Tabel 11. Pengukuran Rata-Rata DO (mg/l) selama penelitian............................. 42
Tabel 12. Rata-Rata Pengukuran nitrat (mg/l) selama penelitian.......................... 45
Tabel 13. Rata-Rata Pengukuran Orthophospat (mg/l) selama penelitian........... 47
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tertraselmis chuii ................................................................................ 5
Gambar 2. Sistem reproduksi Tetraselmis chuii (a) Reproduksi aseksual dan (b)
Reproduksi seksual.............................................................................. 7
Gambar 3. Pola Pertumbuhan Tetraselmis chuii.................................................... 9
Gambar 4. Alur Prosedur Penelitian....................................................................... 20
Gambar 5. Grafik Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Kotoran Ayam dan
Lumpur Aktif Terhadap Kelimpahan Tetraselmis chuii......................... 34
Gambar 6. Kelimpahan populasi Tetraselmis chuii (sel/ml) yang diberi perlakuan
pupuk organik cair limbah molase dengan konsentrasi yang berbeda.. 35
Gambar 7. Grafik rata-rata pengukuran suhu pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 37
Gambar 8. Grafik rata-rata pengukuran salinitas pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 39
Gambar 9. Grafik rata-rata pengukuran pH pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 41
Gambar 10. Grafik rata-rata pengukuran oksigen terlarut pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 43
Gambar 11. Grafik rata-rata pengukuran nitrat pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 45
Gambar 12. Grafik rata-rata pengukuran ortophospat pada media kultur
Tetraselmis chuii.................................................................................... 47
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian............................. 56
Lampiran 2. Hasil Analisa Kandungan Kotoran Ayam............................................ 57
Lampiran 3. Perhitungan Konsentrasi Pupuk Organik Kotoran Ayam tiap
perlakuan............................................................................................ 58
Lampiran 4. Surat Keterangan Pembelian Tetraselmis chuii di BPBAP
Situbondo............................................................................................ 61
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Kualitas Air............................................................ 62
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian..................................................................... 73
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan usaha perikanan (Arief et al. 2009). Dalam budidaya, pemberian
pakan alami merupakan hal yang penting karena dengan adanya pakan alami
dapat memacu pertumbuhan ikan (Budiharjo, 2003). Pakan yang baik
merupakan pakan yang mempunyai nilai gizi tinggi, mudah didapatkan, mudah
dicerna, harga relatif murah dan tidak mengandung racun (Aggraeni dan
Abdulgani, 2013). Salah satu jenis pakan alami yang baik adalah Tertaselmis
chuii.
Tetraselmis chuii adalah salah satu jenis fitoplankton yang dapat
digunakan sebagai sumber makanan alami dimana memiliki nilai gizi yang baik
(Matakupan, 2009). Tetraselmis chuii mengandung protein 48,42% dan lemak
9,70% (Suminto, 2005). Selain itu, Tetraselmis chuii mengandung omega 3
HUFA sebesar 7,24 % (Widianingsih et al., 2010) dan 8,64 % (Kurniastuty dan
Isnansetyo, 1995). Penyediaan pakan alami Tetraselmis chuii secara terus
menerus sangat sukar dilakukan jika hanya mengumpulkannya dari alam
(Matakupan, 2009). Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya untuk tetap
menjaga keberadaan Tetraselmis chuii. Menurut Pamukas (2011), keberadaan
fitoplankton di kolam dapat dipacu pertumbuhannya dengan pemupukan.
Pupuk dibedakan menjadi dua yaitu pupuk organik dan anorganik, yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk organik. Pupuk organik atau biasa
disebut pupuk alam adalah hasil akhir dari perubahan atau penguraian sisa-sisa
(seresah) tanaman dan hewan, salah satu contohnya adalah pupuk kotoran
ayam (Pranata, 2009). Pupuk kotoran ayam dapat digunakan sebagai pengganti
bahan-bahan kimia dimana mampu mencukupi unsur hara makro yang
2
penggunaanya relatif banyak sehingga biaya kultur alga menjadi lebih murah
(Utomo et al., 2005). Pupuk kandang ayam memiliki kandungan unsur hara N, P
dan K yang lebih tinggi daripada pupuk kandang jenis ternak lainnya karena
kotoran padat pada ternak unggas tercampur dengan kotoran cairnya (Tufaila et
al., 2014). Pupuk kotoran ayam ini harus melalui proses mineralisasi. Namun
apabila melakukan proses mineralisasi secara alami membutuhkan waktu yang
lama sehingga dapat memperlambat proses budidaya Tetraselmis chuii ini.
Oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat membantu mempercepat
proses mineralisasi pupuk kotoran ayam tersebut yaitu lumpur aktif. Menurut
Wahyuni (2011), lumpur aktif ini dapat dimanfaatkan sebagai dekomposer
dimana berfungsi dalam mempercepat proses pengomposan. Lumpur aktif yang
digunakan berasal dari PT. Coca Cola Bottling Indonesia Gempol, Pasuruan,
Jawa Timur. PT. Coca Cola Bottling Indonesia merupakan salah satu contoh
industri yang bergerak di bidang produksi minuman, dimana dalam proses
produksinya selalu menghasilkan limbah yaitu berupa limbah cair. Dalam
pengolahan limbah cair ini, PT. Coca Cola Bottling Indonesia menggunakan
sistem biologi aerobik lumpur aktif (activated sludge). Setelah proses
pengolahan, lumpur aktif yang digunakan oleh PT. Coca Cola Bottling Indonesia
ini akan dibuang begitu saja sehingga keberadaan lumpur aktif ini melimpah dan
sampai saat ini belum ada yang menanganinya. Dengan demikian, perlu adanya
penelitian untuk mengetahui pengaruh interaksi pemanfaatan lumpur aktif PT.
Coca Cola Bottling Indonesia Pasuruan Jawa Timur sebagai dekomposer pupuk
organik kotoran ayam terhadap pertumbuhan Tetraselmis chuii.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah bahwa apakah
pengaruh pemanfaatan lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam terhadap
kelimpahan Tetraselmis chuii?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisa pengaruh pemanfaatan lumpur aktif dan pupuk organik
kotoran ayam terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii
2. Untuk mendapatkan dosis optimal penggunaan lumpur aktif PT. Coca Cola
Bottling Indonesia Pasuruan Jawa Timur dan pupuk organik kotoran ayam
terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii
3. Sebagai alternatif pupuk organik dalam upaya meningkatkan kesuburan
perairan.
1.4 Hipotesis
H0 : Tidak ada pengaruh interaksi antara lumpur aktif dan kotoran ayam dalam
meningkatkan kelimpahan Tetraselmis chuii.
H1 : Ada pengaruh interaksi antara lumpur aktif dan kotoran ayam dalam
meningkatkan kelimpahan Tetraselmis chuii.
1.5 Kegunaan
Kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi informasi
dalam penggunaan lumpur aktif dan kotoran ayam sebagai pupuk alternatif lain
untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami seperti Tetraselmis chuii,
sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
4
1.6 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2017 di PT. Coca
Cola Bottling Indonesia Pasuruan Jawa Timur, Laboratorium Budidaya Ikan Divisi
Reproduksi Ikan, Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan, serta Laboratorium
Hidrobiologi Divisi Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang. Sedangkan uji kandungan dari
pupuk organik kotoran ayam dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Skripsi
Kegiatan Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Uji Kandungan Pupuk Kotoran Ayam
Penyusunan dan Revisi Proposal
Sterilisasi Air Laut
Pengovenan Tanah
Persiapan Alat dan Bahan
Pelaksanaan Penelitian
Penyusunan dan Revisi Laporan
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tertraselmis chuii
Menurut Pujiono (2013), Tertraselmis chuii adalah salah satu jenis
mikroalga yang biasa dikenal dengan istilah flagellata berklorofil yang memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Filum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Sub ordo : Chlamidomonacea
Genus : Tetraselmis
Spesies : Tertraselmis chuii
Gambar 1. Tertraselmis chuii (Pujiono, 2013)
Tertraselmis chuii adalah alga bersel tunggal berwarna hijau yang memiliki
empat buah flagel (Pujiono, 2013). Klorofil merupakan pigmen yang dominan
sehingga alga ini berwarna hijau, dipenuhi plastida kloroplas. Pigmen klorofil
Tertraselmis chuii terdiri dari dua macam yaitu karotin dan xantofil (Kurniastuty
dan Isnansetyo, 1995). Tertraselmis chuii memiliki lebar sebesar 9-10 µm dan
6
panjang sebesar 12-15 µm. Sel-selnya akan bergerak dengan cepat ketika di air
dan tampak bergoncang pada saat berenang (Kasim et al., 2013).
Menurut Pujiono (2013), Tertraselmis chuii tumbuh dengan kondisi salinitas
optimal antara 25 sampai dengan 35 ppm. Sedangkan suhu optimalnya berkisar
antara 23-250C. Menurut Konio (2006), kisaran pH yang dibutuhkan oleh
Tetraselmis chuii untuk pertumbuhannya berkisaran antara 7-8. Menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) kultur mikroalga skala laboratorium tidak
efisien jika menggunakan cahaya matahari karena pencahayaannya tidak dapat
dikurangi maupun ditambah sehingga pencahayaan dapat digantikan dengan
cahaya lampu. Menurut Pujiono (2013), intensitas cahaya yang paling efektif
digunakan dalam kultur sel Tertraselmis chuii adalah 5000 lux
2.2 Manfaat Tetraselmis chuii
Tetraselmis chuii mempunyai prospek cerah di masa mendatang untuk
dibudidayakan karena mengandung nilai gizi yang tinggi. Menurut Sani et al.
(2014), Tetraselmis chuii menunjukkan bahwa Tetraselmis chuii mengandung
protein sebesar 48.42%, karbohidrat 12.10% dan lemak 9.70%. Ekstrak
Tetraselmis chuii mempunyai aktivitas antioksidan berkisar antara 2.55 - 31.29
mg/mL dan total klorofil berkisar antara 3.65 - 19.20 mg/g. Ekstraknya juga
mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus, serta jamur Candida albicans dan Aspergillus flavus.
Tetraselmis chuii dapat digunakan untuk memproduksi pakan rotifer
(Brachionus plicatilis) secara masal, ataupun dapat juga dikonsumsi secara
langsung oleh larva ikan hias, larva udang, larva teripang, dan cukup bagus
digunakan sebagai pakan dalam budidaya biomassa Artemia. Tetraselmis chuii
mampu meningkatkan konsentrasi lemak tak jenuh pada konsumennya, misal
dalam hal ini adalah kerang totok (Pujiono, 2013). Tetraselmis chuii mengandung
7
omega 3 HUFA sebesar 7,24 % (Widianingsih et al., 2010) dan 8,64 %
(Kurniastuty dan Isnansetyo, 1995).
2.3 Siklus Hidup dan Reproduksi Tetraselmis chuii
Gambar 2. Sistem reproduksi Tetraselmis chuii (a) Reproduksi aseksual dan (b) Reproduksi seksual (Pujiono, 2013)
Menurut Pujiono (2013), reproduksi Tetraselmis chuii terjadi secara vegetatif
aseksual dan seksual. Bagan reproduksi Tetraselmis chuii secara aseksual:
dimulai dari sel vegetatif, kemudian membentuk 4 buah zoospora. Ketika
keempat zoospora telah terbentuk maka akan berlanjut pada penentuan letak
gamet. Setelah letak gamet ditentukan maka unit- unit gamet mengalami
pembelahan. Kemudian unit- unit gamet tersebut berkembang menjadi
zygospora. Sedangkan reproduksi secara seksual atau yang biasa dikenal
dengan istilah isogami diawali dari terjadinya fusi antara gamet jantan dan gamet
betina, kemudian kloroplas bersatu. Setelah kloroplas bersatu maka akan
terbentuk zygot baru.
(a)
(b)
8
2.4 Fase Pertumbuhan Tetraselmis chuii
Menurut Pujiono (2013), fase pertumbuhan pada Tetraselmis chuii dibagi
menjadi lima fase diantaranya sebagai berikut:
1. Fase Adaptasi
Setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur, populasi tidak
mengalami perubahan. Ukuran sel pada saat itu akan meningkat. Secara
fisiologis Tetraselmis chuii sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru.
Organisme mengalami metabolisme, tetapi belum terjadi pembelahan sel
sehingga kepadatan sel belum meningkat. Umumnya terjadi pada hari pertama
dan kedua kultur.
2. Fase Logaritmik atau Eksponensial
Fase ini diawali dari pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada
kondisi kultur yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal.
Umumnya terjadi pada hari ketiga hingga hari ketujuh.
3. Fase Penurunan Kecepatan Tumbuh
Fase ini merupakan fase pada hari ketujuh yang menunjukkan kecepatan
pertumbuhan sel yang mulai lambat karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai
membatasi pertumbuhan.
4. Fase Stasioner
Pada fase ini, pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan
fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian, dengan
demikian penambahan dan pengurangan jumlah sel relatif sama atau seimbang
sehingga kepadatan sel tetap. Fase ini terjadi pada hari ketujuh hingga hari ke
sepuluh.
5. Fase Kematian
Pada fase ini laju kematian lebih cepat dari pada laju reproduksi. Jumlah
menurun secara geometrik. Penurunan kepadatan sel ditandai dengan
9
perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh temperatur, cahaya, pH air,
jumlah hara yang ada, dan beberapa kondisi lingkungan yang lain yang dimulai
pada hari kesepuluh.
Secara skematik pola pertumbuhan sel dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
1. Fase Adaptasi
2. Fase Logaritmik atau
Eksponensial
3. Fase Penurunan
Kecepatan Tumbuh
4. Fase Stasioner
5. Fase Kematian
Gambar 3. Pola Pertumbuhan Tetraselmis chuii
2.5 Lumpur Aktif
Pengolahan limbah cair pada PT. Coca Cola Bottling Indonesia Pasuruan Jawa
Timur menggunakan tiga metode yaitu secara fisika, kimia dan biologi. Dalam proses
pengolahan limbah cair secara biologi, PT. Coca Cola Bottling Indonesia Pasuruan Jawa
Timur menggunakan lumpur aktif atau biasa mereka menyebutnya activated sludge.
Menurut Sari et al. (2013), lumpur aktif (activated sludge) merupakan gabungan
flok (massa) yang mengandung beberapa mikroba yang heterogen yang terdiri
dari berbagai bakteri, yeast, jamur dan protozoa, dan juga bahan organik serta
“slime material”. Meningkatkan proses produksi minuman yang dilakukan oleh
PT. Coca Cola Bottling Indonesia Pasuruan Jawa Timur berdampak pada semakin
meningkatnya proses pengolahan limbah cair yang dihasilkan sehingga lumpur aktif yang
digunakan dan dibuang setelah proses pengolahan limbah cair pun semakin meningkat.
Namun sebenarnya lumpur aktif ini dapat dimanfaatkan kembali. Menurut Sujiwo et al.
(2012), lumpur aktif ini dapat diolah dengan metode pengomposan karena
memiliki kandungan bahan organik dan unsur makro seperti N dan P di
10
dalamnya. Selain itu menurut Wahyuni (2011), lumpur aktif ini dapat
dimanfaatkan sebagai dekomposer dimana berfungsi dalam mempercepat
proses pengomposan.
Dekomposer atau biasa yang disebut aktivator adalah mikroorganisme
yang digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik atau
proses pengomposan. Pengomposan merupakan suatu metode untuk
mengonversikan bahan – bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana
dengan menggunakan aktivitas mikroba. Dekomposisi adalah proses
perombakan dari senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang sederhana
dengan bantuan mikroorganisme (Krismawati dan Hardini, 2014). Menurut
Novizan (1986), kualitas bahan organik yang digunakan sangat menentukan laju
dekomposisi. Bahan organik yang baik mempunyai C/N ratio serendah mungkin
(dibawah 50). Apabila C/N ratio dari bahan yang digunakan tinggi, C/N ratio
dapat diperkecil dengan penambahan bahan yang mengandung banyak nitrogen.
Proses pembuatan kompos akan menurunkan C/N ratio hingga 12-15.
2.6 Pupuk Organik Kotoran Ayam
Pupuk organik merupakan pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
terbuat dari bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan yang telah
melalui proses rekayasa. Pupuk organik dapat berbentuk padat maupun cair
yang dapat digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah (Dewanto et al., 2013). Menurut Nugraha (2010), pupuk
organik berasal dari berbagai macam bahan, antara lain sisa panen (jerami,
brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran
hewan, limbah media jamur, limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah
pabrik, serta pupuk hijau.
11
Kotoran ayam adalah salah satu jenis limbah yang dihasilkan dari
peternakan ayam yang dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan khususnya
pada aroma yang dihasilkan (Sholikah et al., 2013). Untuk mengurangi limbah
tersebut, kotoran ayam dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Menurut
Pangaribuan (2010), bahan organik pada pupuk kotoran ayam dapat mensuplai
unsur hara terutama unsur hara N, P dan K lebih banyak dibandingkan dengan
pupuk yang berasal dari ternak besar seperti sapi dan kambing. Bahkan
berdasarkan hasil penelitian Satata dan Kusuma (2014), konsentrasi unsur hara
N pada pupuk kotoran ayam hampir tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan
dengan pupuk kotoran sapi.
2.7 Parameter Kualitas Air
2.7.1 Parameter Fisika
A. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatru
proses kehidupan dan penyebaran organisme (Simanjuntak, 2009). Kisaran suhu
optimum bagi kehidupan fitoplankton di perairan adalah 20 oC - 30oC (Maresi et
al., 2015). Semakin tinggi suhu suatu perairan makan akan semakin cepat
perairan tersebut mengalami kejenuhan oksigen (Juwana, 2004). Suhu yang
terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton sehingga terganggunya
proses fotosintesis (Prasetyaningtyas et al., 2012).
Menurut Makmur et al. (2011), suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan,
tingkah laku, reproduksi dan metabolisme. Perubahan suhu dapat berpengaruh
terhadap proses fiika, kimia dan biologi badan air sehingga suhu berperan
mengendalikan kondisi ekosistem peraiiran. Suhu perairan dipengaruhi oleh
ketinggian dari permukaan laut, musim, sirkulasi udara, hari, waktu, aliran air,
penutupan awan dan kedalaman badan air.
12
B. Salinitas
Salinitas merupakan faktor penting bagi penyebaran organisme perairan
laut (Patty, 2013). Menurut Paramitha (2014), salinitas adalah jumlah berat
semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam 1 Liter air, biasanya dalam
satuan permil (0/00). Mneuru Nontji (2008), umumnya nilai salinitas wilayah laut
berkisar antara 24 0/00 – 35 0/00. Menurut Yuliana et al. (2012), salinitas yang
sesuai untuk fitoplankton adalah lebih besar dari 20 0/00 yang memungkinkan
fitoplankton dapat bertahan hidup, aktif melakukan proses fotosintesis dan
memperbanyak diri.
Menurut Simanjuntak (2009), variasi salinitas mempengaruhi kehidupan
plankton di suatu perairan. Pada perairan pantai yang bersalinitas rendah
komunitas plankton lebih tinggi dibandingkan pada perairan yang jauh dari pantai
yang memiliki salinitas tinggi. Menurut Paramitha (2014), salinitas di perairan
memiliki peranan penting untuk mempertahankan tekanan osmotik antara tubuh
organisme dengan lingkungan perairannya, oleh karena itu salinitas dapat
mempengaruhi distribusi dan kelimpahan fitoplankton.
2.7.2 Parameter Kimia
A. pH
Menurut Simanjuntak (2009), derajat keasaman suatu perairan atau sering
disbut dengan pH adalah salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam
memantau kestabilan perairan. Menurut Prasetyaningtyas et al. (2012), pH 7,5-
8,5 adalah kadar pH yang optimal bagi pertumbuhan plankton. Menurut
Wulandari (2009), pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati,.namun ada
beberapa jenis spesies yang mampu hidup pada ph < 4. Menurut Odum (1971),
perairan dengan pH antara 6 – 9 adalah perairan yang memiliki kesuburan tinggi
dan termasuk produktif karena memiliki kisaran pH yang dapat mendorong
13
proses pembongkaran bahan organik yang ada di dalam perairan menjadi
mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh fitoplankton.
Menurut Paramitha (2014), tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh jumlah
bahan organik dari darat yang dibawa melalui aliran sungai. Tinggi rendahnya pH
juga diperngaruhi oleh suhu dan kadar CO2 di dalam perairan. Ketika suhu
perairan meningkat, maka kelarutan CO2 menurun serta tekanan parsial (PCO2)
meningkat, sehingga CO2 lebih mudah meninggalkan permukaan perairan dan
konsentrasi CO2 dalam perairan akan menurun. Dengan menurunnya CO2 maka
kesetimbangan sistem penyangga akan bergeser ke arah kiri yang disertai
dengan menurunnya H+, sehingga nilai pH akan naik.
B. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah faktor pembatas dalam penentuan kehadiran
makhluk hidup di dalam perairan (Patty, 2013). Plankton dapat hidup baik di
dalam perairan pada konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 3 mg/L
(Prasetyaningtyas et al., 2012). Sedangkan menurut Pirzan dan Utojo (2011), jika
tidak ada senyawa beracun, konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan
minimal 2 mg/l cukup untuk mendukung kehidupan plankton di daam perairan
secara normal. Menurut Sari et al. (2013), fitoplankton mampu berkembang baik
dengan baik pada kondisi oksigen terlarut di atas 3 mg/L dan maksimal sebesar
14,16 mg/L.
Oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh suhu, pergerakan massa air,
salinitas, pengadukan massa air oleh angin, tekanan atmosfer dan konsentrasi
fitoplankton (Nybakken, 1988). Konsentrasi oksigen pada lapisan permukaan
akan lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas
serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang
14
dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan (Salmin, 2005)
Menurut Simanjuntak (2009), penurunan kadar oksigen terlarut dengan batas
tertentu akan mengakibatkan penurunan kegiatan fisiologis makhluk hidup di
dalam perairan antara lain penurunan nafsu makan, kecepatan berenang ikan
dan pertumbuhan.
C. Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida (CO2) adalah unsur utama yang digunakan dalam proses
fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan tumbuhan air. Keberadaan
karbondioksida di perairan sangat dibutuhkan oleh tumbuhan baik yang besar
maupun yang kecil untuk proses fotosintesis (Kordi dan Ghufran, 2007). Menurut
Sari et al. (2013), karbondioksida sangat berpengaruh terhadap pH. Apabila
karbondioksida dalam suatu perairan tinggi maka pH menjadi rendah.
Menurut Prasetyaningtyas et al. (2012), gas karbon dioksida dibutuhkan
oleh fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis. Pada umumnya perairan
alami mengandung karbon dioksida terlarut sebesar 2 mg/L, pada kondisi ini
plankton dapat hidup secara optimal. Sedangkan menurut Barus (2002), kadar
karbon dioksida yang optimum untuk kehidupan plankton adalah kurang dari 12
mg/L.
D. Nitrat (NO3)
Menurut Paramitha (2014), nitrat dapat menjadi faktor pembatas bagi
produksi fitoplankton bila konsentrasinya di bawah konsentrasi minimum.
Menurut Wulandari (2009), nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami
dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Kadar
nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.
Menurut Handoko et al. (2013), konsentrasi nitrat yang optimal untuk
pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,9-3,5 mg/l.
15
Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tergantung
pada konsentrasi zat hara di perairan antara lain nitrat dan ortophospat
(Nybakken, 1998). Menurut Mustofa (2015), Senyawa nitrat secara alami berasal
dari perairan itu sendiri yaitu melalui proses penguraian, pelapukan maupun
dekomposisi tumbuhan, organisme mati dan buangan limbah baik limbah daratan
seperti domestik, industri, pertanian, dan limbah peternakan ataupun sisa pakan
yang dengan adanya bakteri terurai menjadi zat hara. Nitrat dapat digunakan
untuk mengklafisikasikan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik kadar
nitrat 0–1 mg/l, perairan mesotrofik kadar nitrat 1–5 mg/l, perairan eutrofik kadar
nitrat 5-50 mg/l.
E. Orthophospat (H2PO4-)
Menurut Basmi (1995), unsur P dibutuhkan fitoplankton untuk pembuatan
lemak dan protein tubuh. Unsur P sering menjadi faktor pembatas dalam
produktifitas primer fitoplankton. Unsur tersebut hanya dapat dimanfaatkan oleh
fitoplankton secara langsung jika berbentuk dalam orthopospat. Menurut
Mustofa (2015), Konsentrasi ortophospat dalam air dapat dijadikan sebagai
indikator perairan tersebut. Perairan yang mengandung ortophospat antara
0,003-0,010 mg/L merupakan perairan yang oligotrofik, 0,01 0,03 adalah
mesotrofik dan 0,03-0,1 mg/L adalah eutrofik.
Menurut Asmara (2005), ortophospat yang digunakan oleh organisme
tumbuhan dalam bentuk ortophospat. Sumber ortophospat dalam perairan
berasal dari udara, dekomposisi bahan organik, pelapukan batuan, pupuk buatan
(limbah pertanian), limbah rumah tangga, limbah industri dan mineral-mineral
ortophospat. Menurut Basmi (1999) bila kadar ortophospat dalam air rendah
(<0,02 mg/l) maka pertumbuhan plankton akan terhambat. Kep MENLH No.51
16
tahun 2004 menetapkan ambang batas konsentrasi ortoortophospat untuk
kehidupan biota laut sebesar 0,015 mg/l.
2.7.3 Parameter Biologi
A. Kelimpahan Fitoplankton
Plankton merupakan makhluk hidup yang berupa jasad renik melayang di
dalam air, tidak bergerak atau pergerakannya sedikit, dan selalu mengikuti arus
air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu fitoplankton
(plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani) (Mustofa, 2015). Menurut
Odum (1971), fitoplankton sebagai tumbuhan terapung berukuran mikroskopis
yang tersebar di perairan di mana cahaya masih dapat tembus.
Kelimpahan fitoplankton di perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter
lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton
akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respons terhadap perubahan
kondisi lingkungan baik fisika, kimia, maupun biologi. Kelimpahan fitoplankton di
suatu perairan merupakan penentu kesuburan pada perairan tersebut. (Mustofa,
2015). Faktor penunjang pertumbuhan fitoplankton sangat kompleks dan saling
berinteraksi antara faktor fisika-kimia perairan seperti intensitas cahaya, oksigen
terlarut, suhu, dan ketersediaan unsur hara mikro dan makro, sedangkan aspek
biologi adalah adanya aktivitas pemangsaan oleh hewan dan mortalitas
(Goldman dan Horne, 1983).
17
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi dalam penelitian ini adalah pengaruh pemanfaatan lumpur aktif PT.
Coca Cola Bottling Indonesia dan kotoran ayam terhadap kelimpahan
Tetraselmis chuii serta analisa kualitas air terkait pertumbuhan Tetraselmis chuii
yang meliputi parameter fisika (suhu dan salinitas), parameter kimia (derajat
keasaman (pH), Oksigen terlarut (DO), karbondioksida, nitrat, dan ortophospat)
dan parameter biologi (kelimpahan Tetraselmis chuii).
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan didalam penelitian ini adalah metode
eksperimen atau percobaan dengan menggunakan Rancang Acak Kelompok
Faktorial dengan 8 perlakuan kombinasi dan 3 ulangan (kelompok). Rancangan
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Rancangan penelitian
Perlakuan Ulangan
Lumpur Aktif Kotoran Ayam 1 2 3
A0
B0 A0B0 A0B0 A0B0
B1 A0B1 A0B1 A0B1
B2 A0B2 A0B2 A0B2
B3 A0B3 A0B3 A0B3
A1
B0 A1B0 A1B0 A1B0
B1 A1B1 A1B1 A1B1
B2 A1B2 A1B2 A1B2
B3 A1B3 A1B3 A1B3
*) konsultasi khusus dengan dosen pembimbing
Keterangan:
A = Lumpur Aktif : A0 = Tidak Menggunakan Lumpur Aktif
A1 = Menggunakan Lumpur Aktif
18
B = Kotoran Ayam : B0 = Tidak Menggunakan Kotoran Ayam
B1 = 0,5 ppm 1,005 gram Kotoran Ayam
B2 = 2 ppm 4,02 gram Kotoran Ayam
B3 = 3,5 ppm 7,035 gram Kotoran Ayam
Penelitian dilakukan menggunakan bak-bak percobaan dengan ukuran
diameter 30 cm dan tinggi 10 cm. Dosis ditentukan dari besarnya konsentrasi
optimal nitrat pada perairan, bedasarkan penelitian-penelitian terdahulu,
konsentrasi nitrat yang optimal adalah sebesar 2 ppm. Adapun untuk perhitungan
dosis, dapat dilihat pada lampiran 3.
Lumpur aktif yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari salah satu
IPAL industri pembuatan minuman ringan berkabonasi di Gempol Kabupaten
Pasuruan Jawa TImur. Sedangkan kotoran ayam yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari salah satu peternakan Warga Desa Dau Kabupaten
Malang. Sebelum kotoran ayam digunakan, dilakukan uji pendahuluan yaitu
dilakukan pengukuran Carbon, Nitrogen, Phospat dan C/N ratio.
Kandungan dari kotoran ayam telah diuji di Laboratorium Kimia Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang dengan hasil dapat dilihat
pada Lampiran 2. Kotoran ayam memiliki kandungan diantaranya, kandungan
karbon sebesar 13,97 %, nitrogen sebesar 2,61 %, phospor sebesar 1,28 % dan
C/N ratio kotoran ayam sebesar 5.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil dua
macam sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang
diambil terdiri dari kelimpahan Tetraselmis chuii, serta parameter kualitas air
meliputi suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO),
karbondioksida (CO2), nitrat, dan ortophospat. Penelitian dilakukan selama 10
hari. Pada penelitian tersebut pengambilan data kualitas air berupa suhu,
salinitas, pH, DO, yang dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran
19
karbondioksida (CO2), nitrat, dan ortophospat serta pengamatan kelimpahan
Tetraselmis chuii dilakukan pada hari ke 2, hari ke 4, hari ke 6 dan hari ke 8.
Sedangkan data sekunder yang diambil terdiri dari informasi-informasi yang
diperoleh dari buku, jurnal, internet, serta laporan penelitian lainnya.
20
3.3 Kerangka Penelitian
Penelitian ini dilakukan seperti kerangka yang terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Alur Prosedur Penelitian
Mengamati Parameter
Kualitas Air
Pelaksanaan
Penelitian
Pembuatan Pupuk dari Lumpur
Aktif dan Kotoran Ayam
Persiapan Media
Tetraselmis chuii
Persiapan Bibit
Tetraselmis chuii
Persiapan
Wadah Uji
Sterilisasi Alat dan
Media
Peletakkan Bak
Secara Acak
Memasukkan
Pupuk
Memasukkan Media
Tanah dan Sedikit Air
Memasukkan Bibit
Tetraselmis chuii
Menghitung Kelimpahan
Tetraselmis chuii
21
3.3.1 Tahapan Penelitian
A. Sterilisasi Alat
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses sterilisasi air sebagai media
kultur antara lain :
1) Sterilisasi peralatan berukuran besar dicuci kemudian dilap menggunakan
Alkohol 98% lalu dijemur dibawah sinar matahari sampai kering
2) Peralatan yang tidak tahan panas disimpan di tempat yang kering dan steril.
Peralatan kecil dan terbuat dari kaca disterilkan menggunakan autoclave
pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm selama 20 menit.
B. Sterilisasi Air Laut
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses sterilisasi air sebagai media
kultur antara lain :
1) Menyaring air laut menggunakan planktonet
2) Memasukkan air laut ke dalam erlenmeyer
3) Menutup bagian mulut erlenmeyer menggunakan kapas yang telah dibungkus
dengan kain kasa yang kemudian dilapisi dengan alumunium foil
4) Mensterilkan air laut menggunakan autoclave pada suhu 121 0C selama 15
menit.
C. Sterilisasi Tanah
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses sterilisasi tanah sebagai
media kultur antara lain :
1) Memanaskan oven dengan suhu awal 60 0C
2) Meletakkan tanah kedalam loyang
3) Apabila oven telah mencapai suhu 60 0C, memasukkan loyang yang berisi
tanah kedalam oven
4) Menutup oven, dan menaikkan suhu hingga 120 0C
22
5) Menunggu kurang lebih 30 menit
6) Mengangkat loyang, dan mematikan oven.
D. Persiapan Wadan dan Peralatan Penunjang Lainnya
Menyiapkan bak dan peralatan penunjang lainnya yang sudah disterilisasi.
E. Persiapan Media Tetraselmis chuii
Langkah-langkah yang yang dilakukan dalam persiapan media untuk
pertumbuhan Tetraselmis chuii adalah:
1) Menyiapkan bak yang telah steril
2) Menyiapkan media berupa air laut dengan volume 4,94 liter dan tanah
dengan tinggi 3 cm untuk kultur Tetraselmis chuii
3) Memasukkan lumpur aktif dan kotoran ayam sesuai perlakuan yang telah
ditentukan
4) Memasukkan bibit Tetraselmis chuii.
F. Persiapan Bibit Tetraselmis chuii
Bibit Tetraselmis chuii yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari pemesanan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Situbondo, Jawa Timur. Bibit Tetraselmis chuii disimpan di dalam kulkas agar
tetap bertahan hidup. Jumlah bibit Tetraselmis chuii yang akan ditebar dalam bak
perlakuan dibuat sama rata. Diketahui jumlah Tetraselmis chuii pada stok adalah
1,5x105 sel/ml, sedangkan jumlah Tetraselmis chuii yang dikehendaki pada
penebaran awal adalah 1x103 sel/ml dengan volume air laut sebesar 4940 ml.
23
Menurut Boyd (1982), bibit Tetraselmis chuii yang diambil dari stok dihitung
kelimpahan tebarannya dengan rumus:
V1 x 1,5x105 sel/ml = 4940 ml x 1x103 sel/ml
V1 = 32,9 ml
Keterangan :
V1 = Volume stok Tetraselmis chuii yang akan ditebar (ml) N1 = Kepadatan stok Tetraselmis chuii yang ada dalam toples (sel/ml) V2 = Volume stok Tetraselmis chuii (ml) N2 = Kepadatan stok Tetraselmis chuii yang akan ditebar (sel/ml)
G. Pelaksanaan Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian, yaitu:
1) Meletakkan masing-masing bak secara acak sesuai perlakuan
2) Memasukkan media tanah dengan tinggi 3 cm dan sedikit air ke setiap bak
3) Mencampurkan pupuk dari lumpur aktif dan kotoran ayam ke setiap bak
dengan dosis yang sudah ditentukan
4) Mendiamkannya semalaman
5) Menambahkan air laut ke setiap bak sebanyak 5 liter
6) Melakukan penebaran bibit Tetraselmis chuii dengan kelimpahan yang
sudah ditentukan dan memberikan aerator di setiap bak penelitian
7) Mengamati kelimpahan mikroalga dimulai dari hari pertama penebaran
dengan mikroskop
8) Mengamati parameter kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, DO, CO2, nitrat,
dan orthophospat.
H. Perhitungan Kelimpahan Tetraselmis chuii
Kelimpahan Tetraselmis chuii (sel/mL) diamati hari ke 2, hari ke 4, hari ke 6
dan hari ke 8 selama 10 hari pemeliharaan. Kelimpahan Tetraselmis chuii diamati
V1 x N1 = V2 x N2
24
dengan parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas, pH, DO, CO2, nitrat dan
ortophospat. Pengamatan jumlah kelimpahan Tetraselmis chuii dilakukan setiap
hari dengan bantuan mikroskop, serta gelas obyek khusus yakni sedwick-rafter
counting cell.
Menghitung kepadatan plankton diawali dengan pengambilan sampel air
sebanyak 1 liter, kemudian disaring menggunakan planktonet yang sudah
terdapat botol film 35 ml. Setelah itu diambil 1ml untuk diamati. Untuk jenis
plankton yang bergerak aktif seperti Tetraselmis chuii, maka sampel air berisi
plankton tersebut perlu dilumpuhkan terlebih dahulu dengan menambahkan
sedikit lugol kemudian ditunggu 5-10 menit baru kemudian dapat diamati.
Menurut Herawati et al. (2010), metode penggunaan sedwick-rafter
counting cell adalah meletakkan cover glass melintang di atas sedwick-rafter
counting cell agar tidak terjadi gelembung di dalamnya. Kemudian memasukkan
sampel menggunakan pipit tetes sebanyak 1 ml. Lalu menunggu hingga sampel
mengendap ± 15 menit Selanjutnya, menghitung plankton yang terdapat pada
dasar Chamber. Menghitung plankton yang tidak mengendap contohnya Blue
green algae secara terpisah dan hasilnya dijumlahkan,
Pengamatan ini menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran
100 kali. alat ini memiliki panjang sebesar 50 mm, lebar sebesar 20 mm dan
tinggi sebesar 1 mm sehingga sedwick-rafter counting cell memiliki luas sebesar
1000 mm2 dan volume total sebesar 1000 mm3.
Jumlah plankton dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
C = Jumlah organisme hasil perhitungan
L = Panjang tiap strip (S-R cell); mm
D = Kedalaman strip (S-R cell); mm
Jumlah/ml = C x 1000 𝑚𝑚3
L x D x W x S
25
W = Lebar tiap strip
S = Jumlah strip yang planktonnya dihitung
3.4 Analisis Parameter Kualitas Air
3.4.1 Parameter Fisika
A. Suhu
Menurut SNI (2006), pengukuran suhu dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1) Menyiapkan termometer Hg
2) Memasukkan termometer Hg ke dalam perairan selama 3 menit dan
menunggu beberapa saat sampai air raksa dalam thermometer berhenti
pada skala tertentu
3) Mencatat dalam skala 0C
4) Membaca skala pada saat termometer telah diangkat dari air dan jangan
sampai tangan menyentuh bagian raksa termometer.
B. Salinitas
Menurut Hariyadi et al. (1992), prosedur analisis salinitas pada perairan
dengan menggunakan refraktometer adalah sebagai berikut :
1) Membuka penutup kaca prisma
2) Mengkalibrasi dengan aquadest
3) Membersihkan dengan tissue secara searah
4) Meneteskan 1-2 tetes air yang akan diukur salinitasnya
5) Menutup kembali dengan hati-hati agar tidak terjadi gelembung udara di
permukaan kaca prisma
6) Mengarahkan ke sumber cahaya
7) Melihat nilai salinitasnya dari air yang melalui kaca pengintai.
26
3.4.2 Parameter Kimia
A. Derajat Keasaman (pH)
Menurut SNI (2004), untuk mengetahui nilai pH dapat diukur dengan
menggunakan pH meter yaitu dengan cara :
1) Melakukan kalibrasi alat pH meter dengan larutan penyangga sesuai instruksi
kerja alat setiap kali akan melakukan pengukuran
2) Untuk contoh uji yang mempunyai suhu tinggi, mengkondisikan contoh uji
sampai suhu kamar
3) Mengeringkan dengan kertas tisu selanjutnya membilas elektroda dengan
aquades
4) Membilas elektroda dengan contoh uji
5) Mencelupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter menunjukkan
pembacaan yang tetap
6) Mencatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.
B. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut SNI (2006), menjelaskan bahwa prosedur analisis oksigen terarut
adalah sebagai berikut:
1) Menstandartkan alat ukur (DO meter)
2) Membilas elektrodenya menggunakan aquades kemudian dikeringkan
dengan menggunakn kertas tisu
3) Memasukkan elektroda ke dalam perairan
4) Mencatat angka yang tertera pada alat sebagai hasil pengukura DO.
27
C. Karbondioksida (CO2)
Metode pengukuran CO2 menurut Hariyadi et al. (1992) adalah sebagai
berikut:
1) Menyiapkan alat dan bahan
2) Memasukkan 25 ml air sampel ke dalam erlenmeyer
3) Menambahkan 1-2 tetes indikator PP
4) Apabila air berwarna merah muda maka air tersebut tidak mengandung CO2
bebas, tetapi jika air sampel tidak berwarna titrasi dengan Na2CO3 0,0454 N
5) Mencatat ml titran dan hitung dengan rumus:
Keterangan:
N = normalitas larutan Natrium Carbonat 0,0454)
ml titran = ml larutan Natrium carbonat untuk titrasi
ml air sampel = ml air sampel yang di titrasi
22 = jumlah massa atom relatif (Mr) dari CO2
1000 = konversi dari liter (l) menjadi mililiter (ml).
D. Nitrat (NO3)
Menurut Boyd (1979), prosedur pengukuran nitrat adalah sebagai berikut :
1) Menyaring 12,5 ml sampel dan tuangkan pada cawan porselen
2) Menguapkan diatas hot plate sampai mengerak dan didinginkan
3) Menambah 0,25 ml asam fenol disulfonik dan diaduk menggunakan spatula
serta mengencerkannya dengan 5 ml aquades
4) Menambahkan dengan cara meneteskan NH4OH 1:1 sampai terbentuk
warna kuning.
5) Mengencerkan dengan aquades sampai volume menjadi 12,5ml.
CO2 bebas (mg/L) = V titran x N titran x 22 x 1000
V air sampel
28
6) Memasukkan larutan kedalam cuvet
7) Mencatat hasil yang tertera pada spektrofotometer (panjang gelombang 410
nm)
E. Orthophospat (H2PO4-)
Menurut Boyd (1979), prosedur pengukuran orthophospat adalah sebagai
berikut :
1) Menyaring 25 ml sampel dan menuangkan kedalam erlenmeyer
2) Menambahkan 1 ml amonium molybdat
3) Menambahkan 5 tetes SnCl2 dan dihomogenkan
4) Mengukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang 690 nm
5) Mencatat hasil yang tertera pada spektrofotometer (panjang gelombang 690
nm)
3.5 Analisa Data
Penelitian ini menggunakan Rancang Acak Kelompok Faktorial dengan 8
pelakuan dan 3 ulangan (kelompok). Menurut Sudjana (1994), eksperimen
faktorial merupakan eksperimen yang semua atau sebagian taraf sebuah faktor
tertentu dikombinasikan atau disilangkan dengan semua atau sebagian taraf tiap
faktor lainnya yang ada dalam eksperimen ini. Rancangan Acak Kelompok
Faktorial pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan
dosis lumpur aktif PT. Coca Cola Bottling Indonesia dan kotoran ayam sebagai
pupuk organik terhadap pertumbuhan Tetraselmis chuii. Model linear Rancangan
Acak Kelompok Faktorial adalah sebagai berikut :
Keterangan
Yijk : Respon yang diamati
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ϵk (ij)
29
µ : Rata-rata umum
Ai : Pengaruh taraf ke-i faktor A
Bj : Pengaruh taraf ke-j faktor B
ABij : Pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
ϵk (ij) : Pengaruh unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij)
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analysis of varians
(ANOVA). dan jika dari analisis keragaman diketahui bahwa perlakuan
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (signifikan) atau sangat berbeda
nyata, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), uji BNT dilakukan
untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda.
Berikut merupakan perhitungan regresi dari RAK Faktorial :
1. FK = Y2
rab =
(total jendral)2
banyak pengamatan
2. JKT = ∑ Yijkl2
- FK
= jumlah kuadrat nilai pengamatan – faktor koreksi
3. JKK = Ʃl Y
2…l
ab – FK = Ʃ
(total kelompok)2
ab – FK
4. JKP = Ʃi,j,k Yijkl
2
r – FK = Ʃ
(total perlakuan)2
r – FK
5. JKG = JKT – JKK – JKP
6. JK(A) = Ʃi (𝑎1)2
rb – FK = Ʃ
(total taraf faktor A)2
rb – FK
7. JK(B) = Ʃj (bj)
2
ra – FK = Ʃ
(total taraf faktor B)2
ra – FK
8. JK(AB) = Ʃi,j (𝑎𝑖 bj)
2
r – FK – JK(A) – JK(B)
b
I,j,k,l
30
Berdasarkan perhitungan diatas, selanjutnya dapat dilakukan analisa
keragaman (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Adapun uraian
analisa keragaman dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Analysa of Varians (ANOVA)
Sumber Varian Dk JK KT F
Kelompok r – 1 JKK KTK
Perlakuan ab – 1 JKP KTP
A a – 1 JK(A) KT(A) KTA
KTE
B b – 1 JK(B) KT(B) KTB
KTE
AB (a – 1)(b-1) JK(AB) KT(AB) KTAB
KTE
Galat (r – 1)( ab – 1) JKG KTG
Total rab – 1 JKT -
3.5.1 Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
Apabila dalam kesimpulan analisa diperoleh hasil berbeda nyata atau
berbeda sangat nyata, maka harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dari
masing-masing perlakuan. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menurut Sastrosupadi
(1995) adalah :
Kesimpulan :
Jika nilai uji BNT > selisih rata-rata maka tidak ada pengaruh yang nyata
(tidak berbeda nyata).
Jika nilai uji BNT < selisih rata-rata maka diantara kedua perlakuan ada
pengaruh yang nyata (berbeda nyata).
BNT = tα √2𝐾𝑇𝐺
𝛾
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelimpahan Tetraselmis chuii
Penelitian mengenai pengaruh pemanfaatan lumpur aktif dan pupuk
organik kotoran ayam terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii dilakukan selama
10 hari, menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap perlakuan. Penambahan
lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam dimaksudkan sebagai sumber
nutrisi pada media kultur untuk menunjang pertumbuhan Tetraselmis chuii.
Terdapat perbedaan jumlah kelimpahan populasi Tetraselmis chuii pada masing-
masing media kultur. Hal ini menunjukkan bahwa Tetraselmis chuii mampu
memanfaatkan nutrisi yang berasal dari lumpur aktif dan pupuk organik kotoran
ayam tersebut.
Perhitungan kepadatan Tetraselmis chuii dilakukan untuk mengetahui
pertumbuhan Tetraselmis chuii. Perhitungan kelimpahan ini dilakukan dengan
menggunakan mikroskop, sedwick-rafter counting cell, dan handtally counter
sebagai alat bantu untuk menghitung jumlah kepadatan Tetraselmis chuii. Data
jumlah kelimpahan populasi Tetraselmis chuii dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Kelimpahan Rata-rata Tetraselmis chuii (103) dalam sel/ml
Perlakuan Hari ke-
0 2 4 6 8
A0B0 1,00 2,67 4,17 8,58 6,85
A0B1 1,00 4,71 6,18 11,11 8,21
A0B2 1,00 4,65 7,20 11,51 9,26
A0B3 1,00 3,67 6,22 9,42 8,28
A1B0 1,00 2,68 5,22 9,40 6,24
A1B1 1,00 4,75 8,31 12,97 10,40
A1B2 1,00 6,08 10,37 13,67 12,51
A1B3 1,00 6,80 9,36 11,90 9,00
32
Berdasarkan data kelimpahan rata-rata Tetraselmis chuii pada Tabel 6
diatas perlu adanya uji lanjutan yakni Uji F dengan pola faktorial yang
kemudian diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisa Varian (ANOVA) Pengaruh perbedaan konsentrasi pupuk organik cair limbah molase terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii
Sumber Keragaman
db JK KT F hit F Tabel
5% 1%
Kelompok 3 184,54 61,51 125,45
Perlakuan 7 86,50 -
A 1 22,72 22,72 46,33* 4,26 7,82
B 3 57,73 19,24 39,24* 3,01 4,72
AB 3 6,06 2,02 4,12* 3,01 4,72
Galat 21 10,30 0,49
Total 31 116,66 3,76
Keterangan : tn tidak nyata * berbeda nyata
Hasil perhitungan ANOVA pada Tabel 5, menunjukkan bahwa hipotesis
H1 diterima yang artinya dengan pemberian lumpur aktif dan pupuk organik
kotoran ayam dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii dan berarti bahwa adanya interaksi
antara lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam terhadap kelimpahan
Tetraselmis chuii.
Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh kombinasi pemberian lumpur
aktif dan pupuk organik kotoran ayam dengan konsentrasi yang berbeda
terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii dilakukan dengan uji BNT dengan nilai
BNT adalah 1,03 yang disajikan pada Tabel 6.
33
Tabel 6. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
Perlakuan Rata-Rata
5,57 5,88 6,90 7,55 8,16 9,11 9,26 10,66 Notasi
A0B0 5,57 0,31tn 1,01tn 1,67* 2,59* 3,54* 3,38* 4,78* a
A1B0 5,88 1,33* 1,98* 2,27* 3,22* 3,70* 5,09* a
A0B3 6,90 0,66tn 1,26* 2,21* 2,37* 3,76* ab
A0B1 7,55 0,60tn 1,56* 1,71* 3,11* bc
A0B2 8,16 0,95tn 1,11* 1,55* cd
A1B1 9,11 0,16tn 1,55* de
A1B3 9,26 1,40* e
A1B2 10,66 f
Keterangan : tn = tidak nyata, * = nyata pada taraf BNT 5%.
Dari hasil tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan A0B0 (kontrol)
menunjukkan kelimpahan Tetraselmis chuii terendah dibandingkan dengan
perlakuan lain. Adanya peningkatan konsentrasi lumpur aktif dan pupuk organik
kotoran ayam yang diberikan, diikuti dengan peningkatan kelimpahan
Tetraselmis chuii. Sedangkan kelimpahan Tetraselmis chuii tertinggi yaitu pada
perlakuan A1B2 dengan pemberian konsentrasi pupuk organik kotoran ayam 2
ppm dengan lumpur aktif sebanyak 20% dari jumlah konsentrasi pupuk organik
kotoran ayam. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi lumpur aktif dan pupuk
organik kotoran ayam dengan konsentrasi 2 ppm memberikan pengaruh lebih
baik dalam hal kelimpahan Tetraselmis chuii selama 10 hari dibandingkan
perlakuan lainnya.
34
Gambar 5. Grafik Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Kotoran Ayam dan Lumpur Aktif Terhadap Kelimpahan Tetraselmis chuii
Dari Gambar Grafik diatas, kelimpahan Tetraselmis chuii semakin
meningkat seiring dengan adanya kenaikan konsentrasi pupuk organik kotoran
ayam dan lumpur aktif yang diberikan. Peningkatan kelimpahan dimulai dari
konsentrasi terkecil yaitu perlakuan A0B0 hingga mencapai puncak kelimpahan
pada perlakuan A1B2 kemudian menurun pada perlakuan A1B3. Terbatasnya
ketersediaan mikronutrien karena digunakan secara terus menerus oleh
Tetraselmis chuii, pada perlakuan A1B3 memiliki kelimpahan Tetraselmis chuii
lebih rendah dibanding dengan perlakuan A1B2, walau makronutrien yang
tersedia lebih banyak pada perlakuan A1B3 dibandingkan A1B2 namun jumlah
mikronutrien pada perlakuan A1B3 sudah mengalami defisiensi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Boyd (1998) bahwa, pertumbuhan tidak dikendalikan oleh
total sumberdaya yang tersedia, tetapi dikendalikan oleh sumberdaya yang
paling sedikit (faktor pembatas). Walau jumlah makronutrien yang ada mampu
mencukupi kebutuhan mikroalga, akan tetapi mikronutrien yang ada tersedia
dalam jumlah terbatas, hal ini menyebabkan pertumbuhan kelimpahan
Tetraselmis chuii terhenti.
0,00
3,00
6,00
9,00
12,00
15,00
A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
Ke
lim
pa
ha
n (
dala
m s
el/
ml)
Interaksi Pemberian Lumpur Aktif dan Pupuk Organik Kotoran Ayam
35
Untuk mengetahui pengaruh kelimpahan Tetraselmis chuii dari
waktu ke waktu sebagai akibat dari pemberian konsentrasi pupuk organik cair
limbah molase yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6
Gambar 6. Kelimpahan populasi Tetraselmis chuii (sel/ml) yang diberi perlakuan pupuk organik cair limbah molase dengan konsentrasi yang berbeda.
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa kelimpahan populasi Tetraselmis
chuii mengalami peningkatan dari hari ke-2 penelitian dan mencapai puncaknya
pada hari ke-6 penelitian. Peningkatan tersebut terjadi pada semua perlakuan.
Perlakuan dengan hasil kelimpahan tertinggi pada hari ke-6 adalah perlakuan
A1B2 sebesar 13,67 x 103 sel/ml sedangkan kelimpahan populasi terendah pada
perlakuan A1B0 9,40 x 103 sel/ml. Kelimpahan populasi yang berbeda pada
masing-masing perlakuan merupakan hasil dari pemberian konsentrasi yang
berbeda pada media kultur. Perbedaan kepadatan populasi sel Tetraselmis chuii
disebabkan oleh perbedaan kemampuan mikroalga tersebut dalam
mengkonsumsi media tumbuh yang dimasukkan ke dalam wadah kultur. Nutrisi
diperlukan pada kultur fitoplankton, baik berupa unsur hara mikro maupun unsur
hara makro guna menunjang pertumbuhan fitoplankton dan semuanya tersedia
oleh media kulturnya (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Selain nutrisi dan
0
3
6
9
12
15
0 2 4 6 8
Ke
lim
pa
ha
n (
dala
m s
el/
ml)
Pengukuran Hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
36
pupuk yang diberikan, faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap
pertumbuhan sel Tetraselmis chuii adalah suhu, salinitas, dan pH media kultur
(Prabowo, 2009).
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian dapat disimpulkan
bahwa pada perlakuan A0B0, A0B1, A0B2, A0B3, A1B0, A1B1, A1B2, A1B3
mengalami peningkatan di semua perlakuan hingga mencapai puncaknya pada
hari ke-6 penelitian, selanjutnya pada hari ke-8 penelitan cenderung mengalami
penurunan. Hal ini dikarenakan, sejumlah unsur hara yang tersedia telah
dimanfaatkan secara maksimal hingga hari ke-6 penelitian dan tidak
dilakukannya penambahan unsur hara susulan. Ketersediaan unsur hara yang
semakin terbatas menyebabkan menurunnya pertumbuhan dari Tetraselmis
chuii.
4.2 Kualitas Air
Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah kelimpahan Tetraselmis chuii
diantaranya suhu, derajat keasaman (pH), Oksigen Terlarut, salinitas, CO2
bebas, Nitrat dan Ortophospat. Hasil pengukuran parameter kualitas air dapat
dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 4.
Tabel 7. Hasil pengukuran kualitas air
Kualitas Air Hasil Kultur
Suhu (oC) 26,1 – 30
Salinitas (ppt) 29 – 35
pH 7,94 – 8,14
DO (mg/L) 4,30 – 5,60
CO2 (mg/L) Tidak Terdeteksi
Nitrat (mg/L) 0,0675 - 2,2920
Ortophospat 0,0956 - 0,2506
37
25,5
26
26,5
27
27,5
28
28,5
29
29,5
30
30,5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Su
hu
(d
ala
m ᵒC)
Pengukuran hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
4.2.1 Parameter Fisika
A. Suhu
Menurut Simanjuntak (2009), suhu merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Data hasil pengukuran suhu pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8 dan
Gambar 7.
Tabel 8. Pengukuran Rata- Rata Suhu (oC) selama penelitian
Hari Perlakuan
A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
0 26,3 26,5 26,3 26,5 26,2 26,1 26,3 26,4
1 26,8 27,2 26,5 26,8 26,8 26,5 26,8 27,2
2 28,7 27,8 28,5 27,7 27,3 27,3 29,0 28,5
3 30,0 29,0 29,3 28,7 27,7 27,7 29,3 28,7
4 29,0 29,0 28,5 28,3 27,3 27,3 29,2 28,7
5 28,5 28,5 28,2 28,0 28,3 27,8 28,3 28,2
6 28,3 28,3 27,7 28,7 28,3 27,7 28,7 28,0
7 27,7 27,5 27,8 28,3 27,5 27,7 28,0 28,0
8 27,3 26,8 27,2 27,5 27,0 27,2 27,8 28,0
9 27,3 27,0 27,0 27,3 27,2 27,3 27,7 27,5
10 27,3 26,7 26,8 26,8 26,8 27,0 27,0 27,0
Gambar 7. Grafik rata-rata pengukuran suhu pada media kultur Tetraselmis chuii
38
Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada penelitian ini didapatkan nilai
suhu pada semua perlakuan berkisar antara 26,1 – 30 oC. Suhu pada media
kultur mulai mengalami peningkatan pada hari ke-3 dengan konsentrasi suhu
tertinggi terjadi pada perlakuan A0B0 yaitu sebesar 30 oC dan konsentrasi suhu
terendah pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 27,7. Hal ini dikarenakan
perbedaan intensitas cahaya matahari yang mengenai tiap-tiap bak perlakuan
karena penelitian ini dilakukan di outdoor sehingga sinar matahari cukup
berpengaruh dalam penentuan konsentrasi suhu pada perlakuan.
Kisaran suhu hasil pengukuran pada setiap bak tersebut tergolong baik
bagi kehidupan, pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme perairan.
Menurut Souhoka dan Patty (2013), nilai suhu optimal di suatu perairan yaitu
berkisar antara 28–32 oC. Menurut Simanjuntak (2009), suhu di suatu perairan
dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, dan intensitas cahaya matahari yang masuk
ke dalam perairan itu sendiri. Apabila perairan mengalami kenaikan suhu dapat
menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen dan meningkatkan toksisitas
polutan. Contoh pengaruh suhu secara tidak langsung adalah berkurangnya
kelimpahan plankton akibat suhu yang semakin menurun dan kerapatan air
semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman perairan.
B. Salinitas
Menurut Edison (2009), salinitas adalah tingkat Kadar garam-garam terlarut
yang terdapat dalam perairan. Tingkat salinitas air laut berkisar antara 15-30 ppt.
Data hasil pengukuran salinitas pada media kultur Tetraselmis chuii selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 8.
39
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sa
lin
ita
s (
da
lam
pp
t)
Pengukuran hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
Tabel 9. Pengukuran Rata-Rata Salinitas (ppt) selama penelitian
Hari Perlakuan
A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
0 29,0 29,0 29,0 29,0 29,0 29,0 29,0 29,0
1 29,7 29,3 29,3 29,0 29,3 30,0 29,0 29,3
2 29,7 29,3 29,3 29,0 29,3 30,0 29,0 29,3
3 30,7 30,3 30,3 30,0 30,3 31,0 30,0 30,3
4 30,7 30,3 30,3 30,0 30,3 31,0 30,0 30,3
5 31,7 31,3 31,3 31,0 31,3 32,0 31,0 31,3
6 32,7 32,3 32,3 32,0 32,3 33,0 32,0 32,3
7 33,0 33,0 33,0 32,7 32,7 33,7 32,7 32,3
8 33,7 33,7 33,0 33,7 33,3 34,0 33,7 33,0
9 33,7 34,0 33,7 33,7 34,0 34,3 34,7 33,7
10 34,0 34,3 34,7 34,3 34,7 35,0 35,0 34,3
Gambar 8. Grafik rata-rata pengukuran salinitas pada media kultur Tetraselmis chuii
Berdasarkan hasil penelitian pengukuran salinitas yang diperoleh
berkisar antara 29-35 ppt. Menurut Hafizhah et al. (2012) menyatakan bahwa,
salinitas optimum yang dibutuhkan fitoplankton air laut untuk pertumbuhan
berkisar 25 ppt – 38 ppt. Peningkatan salinitas dalam medium dapat
menyebabkan keluarnya cairan dari dalam protoplasma, jika hal itu terjadi maka
sel organisme tersebut akan menyusut. Konsentrasi salinitas pada media kultur
mulai mengalami peningkatan pada hari ke-5 dengan nilai salinitas tertinggi
40
terjadi pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 32 ppt dan nilai salinitas terendah
pada perlakuan A0B3 dan A1B2 yaitu sebesar 31 ppt. Nilai salinitas yang
berbeda ini dikarenakan adanya proses penguapan oleh sinar matahari. Menurut
Prabowo (2009), penyebab terjadinya kenaikan salinitas adalah karena adanya
metabolisme sel ataupun pengendapan garam dan nutrien dalam media kultur.
Konsentrasi garam ini dapat meningkat karena adanya penguapan air tersebut
oleh sinar matahari
4.2.2 Parameter Kimia
A. Derajat Keasaman (pH)
Menurut Simanjuntak (2009), derajat keasaman suatu perairan merupakan
salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau kestabilan
perairan. Data hasil pengukuran pH pada media kultur Tetraselmis chuii selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 9.
Tabel 10. Pengukuran Rata-Rata pH selama penelitian
Hari Perlakuan
A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
0 7,94 7,94 7,94 7,94 7,94 7,94 7,94 7,94
1 7,95 7,95 7,95 7,94 7,95 7,96 7,94 7,95
2 7,95 7,95 7,95 7,94 7,95 7,96 7,94 7,95
3 7,97 7,96 7,97 7,96 7,97 7,98 7,96 7,97
4 7,97 7,97 7,97 7,96 7,97 7,98 7,96 7,97
5 8,04 8,03 8,03 8,02 8,03 8,05 8,02 8,03
6 8,06 8,06 8,06 8,05 8,06 8,07 8,05 8,06
7 8,07 8,08 8,07 8,06 8,07 8,10 8,06 8,06
8 8,10 8,10 8,07 8,10 8,08 8,11 8,10 8,07
9 8,10 8,11 8,10 8,10 8,11 8,12 8,13 8,10
10 8,11 8,12 8,13 8,12 8,13 8,14 8,14 8,12
41
Gambar 9. Grafik rata-rata pengukuran pH pada media kultur Tetraselmis chuii
Berdasarkan hasil pengukuran pH selama penelitian kultur Tetraselmis
chuii didapatkan nilai pH berkisar antara 7,94 – 8,14. Nilai pH ini masih tergolong
aman untuk kehidupan organisme perairan. Menurut Simanjuntak (2009), pada
umumnya nilai pH dalam suatu perairan berkisar antara 4 – 9, sedangkan di
daerah bakau, nilai pH dapat menjadi lebih rendah disebabkan Kadar bahan
organik yang tinggi. Nilai pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 5 –
9 dan antara 6,5 – 8,5.
Selama penelitian, pH mengalami peningkatan terus menerus, hal ini
terjadi seiring dengan adanya kenaikan nilai salinitas pada media kultur. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan adanya aktivitas fotosintesis mikroalga. Pada
saat fotosintesis, CO2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yang
digunakan mikroalga. Mikroalga juga dapat menggunakan ion karbonat (CO32-)
dan ion bikarbonat (HCO3-). Penyerapan CO2 bebas dan bikarbonat oleh
mikroalga menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 terlarut dan mengakibatkan
peningkatan nilai pH (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). Kenaikan pH juga
diduga terjadi seiring dengan kenaikan salinitas media kultur, dan karena adanya
7
7,3
7,6
7,9
8,2
8,5
8,8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nila
i pH
Pengukuran Hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
42
proses pemanfaatan nitrogen dari pupuk oleh sel Tetraselmis chuii. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Morel (1983), pada kisaran pH 7-9 terdapat dua
kemungkinan pemanfaatan nitrogen dari nutrient dalam medium oleh sel
mikroalga, yaitu pemanfaatan nitrogen dalam bentuk nitrat dan ammonium.
B. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Silalahi (2010), oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut
dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai
pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak.
Data hasil pengukuran rata-rata DO pada media kultur Tetraselmis chuii selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 10.
Tabel 11. Pengukuran Rata-Rata DO (mg/l) selama penelitian
Hari Perlakuan
A0B0 A0B1 A0B2 A0B3 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
0 4,30 4,30 4,30 4,30 4,30 4,30 4,30 4,30
1 4,32 4,39 4,40 4,39 4,43 4,52 4,39 4,38
2 4,39 4,44 4,46 4,47 4,49 4,59 4,45 4,46
3 4,63 4,59 4,67 4,68 4,71 4,79 4,72 4,66
4 5,15 5,15 5,18 5,16 5,20 5,26 5,41 5,20
5 5,21 5,24 5,24 5,23 5,26 5,33 5,38 5,21
6 5,33 5,34 5,32 5,33 5,25 5,35 5,43 5,29
7 5,45 5,43 5,45 5,43 5,48 5,55 5,60 5,54
8 5,27 5,28 5,30 5,24 5,30 5,36 5,45 5,29
9 5,10 5,09 5,11 5,08 5,14 5,18 5,34 5,16
10 4,89 4,86 4,87 4,82 4,62 4,62 5,23 4,95
43
3,3
3,8
4,3
4,8
5,3
5,8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DO
(d
ala
m m
g/L
)
Pengukuran hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
Gambar 10. Grafik rata-rata pengukuran oksigen terlarut pada media kultur Tetraselmis chuii
Berdasarkan hasil grafik diatas nilai rata-rata oksigen terlarut dalam
media kultur pada semua perlakuan berkisar antara 4,30-5,60 mg/l. Nilai DO
tertinggi pada media kultur selama penelitian yaitu hari ke-7 dengan nilai DO
tertinggi terjadi pada perlakuan A1B2 yaitu sebesar 5,60 mg/l dan nilai DO
terendah pada perlakuan A0B1 dan A0B3 yaitu sebesar 5,43 mg/l. Hal ini
dikarenakan besarnya nilai DO tersebut berasal dari banyaknya kelimpahan
Tetraselmis chuii sehingga oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis juga
meningkat.
Nilai DO dari penelitian kultur Tetraselmis chuii ini tergolong kurang baik
bagi organisme perairan terutama produktivitas Tetraselmis chuii dan kehidupan
ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dewi (2009), menyatakan bahwa Kadar
oksigen terlarut 3-5 mg/l kurang produktif, 5-7 mg/l produktifitasnya tinggi dan
diatas 7 mg/l memiliki produktifitas yang sangat tinggi. Menurut Pradana (2012)
bahwa oksigen terlarut dalam perairan diperoleh dari hasil fotosintesis tumbuhan
berklorofil. Penurunan oksigen terlarut disebabkan oleh proses dekomposisi yang
44
memerlukan sejumlah oksigen untuk menguraikan sel-sel fitoplankton yang telah
mati oleh mikroba aerob agar menghasilkan nutrien yang dapat dimanfaatkan
kembali oleh fitoplankton. Proses inilah yang menyebabkan O2 dalam media
kultur mengalami penurunan.
C. Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida (CO2) merupakan gas terpenting dalam proses fotosintesis.
Tanpa adanya karbondioksida, proses fotosintesis tidak dapat terjadi yang
selanjutnya mengakibatkan fitoplankton. tidak dapat tumbuh dan berkembang
biak (Boroh, 2012).
Pada dasarnya, keberadaan karbondioksida di perairan terdapat dalam
bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3), ion karbonat
(CO32-), dan asam karbonat (H2CO3) (Boney , 1989 dan Cole, 1988). CO2 total
menunjukkan penjumlahan dari semua bentuk anorganik dari CO2, misalnya :
CO2, H2CO3, HCO3, dan CO32- (Mackereth et al., 1989). Proses fotosintesis di
perairan dapat memanfaatkan karbondioksida bebas maupun ion bikarbonat
sebagai sumber karbon (Mackereth et al., 1989). Dari hasil pengamatan
menunjukkan nilai CO2 tidak terdeteksi. Hal ini dikarenakan media merupakan air
laut yang memiliki nilai pH berkisar antara 7,94 – 8,14. Menurut Boyd (1998),
pada pH sekitar 6,4, karbon dioksida total dan bikarbonat tersedia dalam jumlah
yang sama, pada pH sekitar 8,3, konsentrasi total karbon dioksida menurun ke
nilai analitis tidak terdeteksi dan karbonat mulai muncul dalam konsentrasi
terukur, pada pH sekitar 10.3, bikarbonat dan karbonat yang hadir pada
konsentrasi molar yang sama. Pada penelitian ini, diduga CO2 berada dalam
bentuk CO2 terikat.
45
D. Nitrat (NO3)
Menurut Mustofa (2015), Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan
alami.. Data hasil pengukuran Nitrat pada media kultur Tetraselmis chuii selama
penelitian, dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 11.
Tabel 12. Rata-Rata Pengukuran nitrat (mg/l) selama penelitian
Perlakuan Hari ke-
0 2 4 6 8
A0B0 0,0776 0,1077 0,0675 0,0984 0,0801
A0B1 0,0897 1,0841 1,0756 1,1459 1,1216
A0B2 0,0875 1,1837 1,2294 1,0586 1,0489
A0B3 0,0903 1,2958 1,1441 1,0654 1,0548
A1B0 0,0897 1,4491 1,1534 1,0912 1,2377
A1B1 0,0879 1,1743 1,1842 1,1245 1,1080
A1B2 0,0992 2,1146 2,2257 2,2920 2,2461
A1B3 0,0987 2,1283 2,0994 2,0790 2,0626
Gambar 11. Grafik rata-rata pengukuran nitrat pada media kultur Tetraselmis chuii
Berdasarkan hasil pengukuran nitrat yang diperoleh selama penelitian
berkisar antara 0,0675 - 2,2920 mg/l. Kisaran nitrat tersebut tergolong kurang
baik untuk pertumbuhan Tetraselmis chuii. Nilai nitrat tertinggi pada hari ke-2
yaitu ada pada perlakuan A1B3 sebesar 2,1283 mg/l dan Kadar nitrat terendah
0,0000
0,5000
1,0000
1,5000
2,0000
2,5000
0 2 4 6 8
Nit
rat
(da
lam
mg
/L)
Pengukuran hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
46
pada perlakuan A0B1 sebesar 1,0841 mg/l. Pada penelitian hari ke-8, nilai nitrat
pada seluruh perlakuan semakin menurun. Nilai nitrat tertinggi pada hari ke-8
yaitu ada pada perlakuan A1B2 sebesar 2,2461 mg/l dan Kadar nitrat terendah
pada perlakuan A0B2 sebesar 1,0489 mg/l. Nilai nitrat yang semakin menurun
selama waktu penelitian dikarenakan adanya proses pemanfaatan nitrat oleh
Tetraselmis chuii untuk melakukan perkembangbiakan, sedangkan pemberian
lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam yang digunakan selama penelitian
hanya diberikan sekali, tanpa adanya pemberian unsur hara susulan. Sehingga
kemungkinan adanya penambahan nilai nitrat dari proses dekomposisi jasad
fitoplankton yang telah mati tidak begitu berpengaruh. Menurut Agung (2004),
persediaan nitrat di dalam perairan akan berkurang diiringi dengan semakin
meningkatnya pertumbuhan dan perkembangbiakan fitoplankton.
Kadar nitrat yg terdapat dalam penelitian kultur Tetraselmis chuii ini
tergolong subur. Hal ini sependapat dengan Mustofa (2015), nitrat dapat
digunakan untuk mengklafisikasikan tingkat kesuburan perairan. Perairan
oligotrofik kadar nitrat 0–1 mg/l, perairan mesotrofik kadar nitrat 1–5 mg/l,
perairan eutrofik kadar nitrat 5-50 mg/l. Sehingga Kadar nitrat yang subur ini
akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangbiakan Tetraselmis chuii
optimal. Menurut Yuliana et al. (2013), Kadar nitrat yang digunakan untuk
pertumbuhan optimal fitoplankton berkisar antara 0,9 – 3,5 mg/l.
E. Ortophospat (H2PO4-)
Menurut Salwiyah (2011), ortophospat merupakan unsur esensial bagi
pertumbuhan fitoplankton, sehingga dijadikan sebagai faktor pembatas bagi
kehidupan fitoplankton jika ditemukan kurang di perairan. Ortophospat
merupakan faktor utama bagi produktivitas primer di ekosistem perairan. Data
47
hasil pengukuran ortophospat pada media kultur Tetraselmis chuii selama
penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 12.
Tabel 13. Rata-Rata Pengukuran Orthophospat (mg/l) selama penelitian
Perlakuan Hari ke-
0 2 4 6 8
A0B0 0,1044 0,1317 0,1736 0,1174 0,1055
A0B1 0,1044 0,1280 0,1603 0,1351 0,1138
A0B2 0,1190 0,1406 0,2228 0,1444 0,1261
A0B3 0,1681 0,2079 0,2319 0,1562 0,1340
A1B0 0,1585 0,1831 0,2506 0,1610 0,1447
A1B1 0,1416 0,1613 0,2686 0,1295 0,1056
A1B2 0,0997 0,1113 0,2764 0,2413 0,2194
A1B3 0,0956 0,1130 0,2139 0,1528 0,1353
Gambar 12. Grafik rata-rata pengukuran ortophospat pada media kultur Tetraselmis chuii
Berdasarkan hasil penelitian untuk pengukuran ortophospat yang diperoleh
berkisar antara 0,0956-0,2506 mg/l. Kadar ortophospat tertinggi pada hari ke-2
yaitu ada pada perlakuan A0B3 sebesar 0,2079 mg/l dan Kadar ortophospat
terendah pada perlakuan A1B2 sebesar 0,113 mg/l. Kadar ortophospat pada
penelitian hari ke-8 mengalami penurunan pada seluruh perlakuan. Kadar
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0 2 4 6 8
Ort
op
ho
sp
at
(da
lam
mg
/L)
Pengukuran hari ke-
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
48
ortophospat tertinggi yaitu ada pada perlakuan A1B2 sebesar 0,2194 mg/l dan
Kadar ortophospat terendah pada perlakuan A1B1 sebesar 0,1056 mg/l.
Kadar orthofosfat yg terdapat dalam penelitian kultur Tetraselmis chuii ini
tergolong subur. Menurut Mustofa (2015), kadar ortophospat dalam air
merupakan karakteristik kesuburan perairan tersebut. Perairan yang
mengandung ortophospat antara 0,003-0,010 mg/L merupakan perairan yang
oligotrofik, 0,01-0,03 adalah mesotrofik dan 0,03-0,1 mg/L adalah eutrofik.
Menurut Yuliana et al. (2013), Kadar ortophospat yang digunakan untuk
pertumbuhan optimal fitoplankton berkisar antara 0,09 – 1,80 mg/l.
49
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada kultur Tetraselmis chuii dengan
menggunakan lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam, diperoleh
kesimpulan yaitu:
Hipotesis H1 diterima yang berarti bahwa pemberian lumpur aktif dan pupuk
organik kotoran ayam dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii dan berarti
bahwa adanya interaksi antara lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam
terhadap kelimpahan Tetraselmis chuii,
Rata-rata kelimpahan terendah pada hari ke-6 adalah perlakuan A1B0
sebesar 9,40 x 103 sel/ml.. Sedangkan rata-rata kelimpahan tertinggi ada
pada perlakuan A1B2 sebesar 13,67 x 103 sel/ml.
Perlakuan A1B2 dengan konsentrasi pupuk organik kotoran ayam sebanyak
2 ppm dan lumpur aktif sebanyak 20% dari konsentrasi pupuk organik
kotoran ayam memberikan pengaruh lebih baik dalam hal kelimpahan
Tetraselmis chuii dan kualitas air selama 10 hari dibandingkan perlakuan
lainnya.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian pada kultur Tetraselmis chuii dengan
menggunakan lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam, diberikan saran
yaitu:
Kombinasi lumpur aktif dan pupuk organik kotoran ayam layak digunakan
sebagai alternatif pengganti pupuk anorganik karena murah, ramah
lingkungan dan memiliki kandungan unsur hara yang tinggi.
50
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait uji proksimat dari Tetraselmis
chuii yang dikultur dengan kombinasi lumpur aktif dan pupuk organik
kotoran ayam dan membandingkannya dengan Tetraselmis chuii yang
dikultur dengan pupuk anorganik.
51
DAFTAR PUSTAKA
Aggraeni, N. M dan N. Abdulgani. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Alami dan
Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Betutu (Oxyeleotris
marmorata) pada Skala Laboratorium. Jurnal Sains Dan Seni Pomits. 2(1)
: 197-201
Arief, M., I. Triasih dan W. P. Lokapirnasari. 2009. Pengaruh Pemberian Pakan
Alami Dan Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Betutu
(Oxyeleotris marmorata Bleeker). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
1(1) : 51-57
Asmara, A. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton Dengan Kondisi
Fisika-Kimia Perairan Pulau Pramuka Dan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu. Skripsi. Institut Pertanian; Bogor
Balai Budidaya Laut Lampung, 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton.
Barus, I.T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Jurusan Biologi FMIPA USU.
Basmi, J. 1995. Planktonologi : Produksi Primer. Bogor: Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian
Basmi, J. 1999. Planktonologi : Bioekologi Plankton Algae. Tidak Dipublikasikan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. IPB. Bogor. 110 h.
Boyd, E. C. 1979. Water Quality for Warmwater Fish Ponds. Auburn University
Agricultural Experiment Station. Aubum. USA.
Boyd, E. C. 1982. Water Quality for Warmwater Fish Culture. Auburn University
Agricultural Experiment Station. Alabama. USA.
Boyd, E. C. 1998. Water Quality for Warmwater Fish Culture. Auburn University
Agricultural Experiment Station. Alabama. USA.
Buckman, H. O. and N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara.
Jakarta. 531 hal
Budiharto, A. 2003. Pakan Tambahan Alternatif untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Ikan Wader (Rasbora argyrotaenia). BioSMART. 5 (1) : 56-
60
Dewanto, F. G., J. J. M. R. Londok., R. A. V. Tuturoong dan W. B. Kaunang.
2013. Pengaruh Pemupukan Anorganik Dan Organik Terhadap Produksi
Tanaman Jagung Sebagai Sumber Pakan. Jurnal Zootek. 32(5): 1-8
52
Edison, D. P. 2009. Pengaruh Suhu, Ph Dan Salinitas Yang Berbeda Terhadap
Aktifitas Biologis Imunoglobulin Y Anti White Spot Syndrome Virus (IgY
Anti-WSSV). Institut Pertanian Bogor ; Bogor
Goldman, C.R. dan A. J. Horne. 1983. Lymnology. Tokyo: Mc. Graw Hill
International Book Company.
Hafizhah, R., R. Hariyati, dan Murningsih. 2012. Pengaruh Pemberian Kompos
Sampah Rumah Tangga Terhadap Pertumbuhan Chlorella vulgaris Pada
Skala Laboratorium. Bioma.14(2):73-77
Handoko., M. Yusuf dan S. Y. Wulandari. 2013. Sebaran Nitrat dan Fosfat Dalam
Kaitannya dengan Kelimpahan Fitoplankton di Kepulauan Karimunjawa.
Buletin Oseanografi Marina. 2 :48-53
Hariyadi, S., Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi Metode Kualitas Air.
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Herawati, E. Y. dan Kusriani. 2005. Buku Ajar Planktonologi. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya: Malang.
Herawati, E. Y., Kusriani dan A. Maizar. 2010. Buku Ajar Planktonologi. Fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya: Malang.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut.
Kanisius; Yogyakarta.
Juwana, S. 2004. Meroplankton Laut: Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton.
Jakarta: Djambatan
Kasim, S., M. Sjahrul dan H. Usman. 2013). Pemanfaatan Medium Ars-Chat
Pada Produksi Biomassa Fitoplankton Laut Yang Potensial Sebagai
Bahan Baku Biofuel Jenis Bioetanol. Seminar Nasional. Universitas
Hasanuddin
Kep MENLH. 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
Kep 51 / MENLH / I / 2004. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. 11 hal.
Konio, Y. 2006. Biologi dan Metode Kultur Plankton sebagai Pakan Alami Larva
Hewan Air. Jurnal Penelitian. 3 (2-6)
Kordi, K dan M. Ghufran. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya
Perairan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Krismawati, A dan D. Hardini. 2014. Kajian Beberapa Dekomposer Terhadap
Kecepatan Dekomposisi Sampah Rumah Tangga. Buana Sains. 14(2):
79-89
53
Mackenthun, M.K. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. US.
Department of The Interior Federal Water Pollution Control
Administration.
Maresi, S. P., Priyanti dan E. Yunita. 2015. Fitoplankton Sebagai Bioindikator
Saprobitas Perairan Di Situ Bulakan Kota Tangerang. Jurnal Biologi. 8(2):
133-122
Matakupan, J. 2009. Studi Kepadatan Tetraselmis chuii Yang Dikultur Pada
Intensitas Cahaya Yang Berbeda. Jurnal TRITON. 5 (2) : 31-35
Morel, F.M.M., 1983, Principles of Aquatic Chemistry, John Wiley & Sons Inc.,
New York.
Mustofa, A. 2015. Kandungan Nitrat dan Pospat Sebagai Faktor Tingkat
Kesuburan Perairan Pantai. Jurnal DISPOTEK. 6(1): 13-19
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press: Menteng, Jakarta
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. PT Agromedia Pustaka :
Depok.
Nugraha, Y. M. 2010. Kajian Penggunaan Pupuk Organik Dan Jenis Pupuk N
Terhadap Kadar N Tanah, Serapan N Dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica
juncea l.) Pada Tanah Litosol Gemolong. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret; Surakarta
Nybakken, J.W. 1988. Marine Biology and Ecology Approach, Gramedia: Jakarta:
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3rd ed. W. B. Saunders Company:
Philadelphia.
Pamukas, N. A. 2011. Perkembangan Kelimpahan Fitoplankton Dengan
Pemberian Pupuk Organik Cair. Berkala Perikanan Terubuk 39 (1) : 79-90
Pangaribuan, D.H. 2010. Analisis Pertumbuhan Tomat pada Berbagai Jenis
Pupuk Kandang. Seminar Nasional Sains dan Teknologi III. Lembaga
Penelitian Universitas Lampung.
Paramitha, A. 2014. Studi Klorofil-a dI Kawasan Perairan Belawan Sumatera
Utara. Skripsi. Universitas Sumatera Utara; Medan
Patty, S. I. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas Dan Oksigen Terlarut Di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 148-157
Pirzan, A. M. dan Utojo. 2011. Hubungan Antara Kelimpahan Plankton dan
Peubah Kualitas Air di Kawasan Pertambakan Kabupaten Pangkep
Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding. Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar; Sulawesi Selatan
54
Prabowo, D. A. 2009. Optimasi Pengembangan Media untuk Pertumbuhan
Chlorella sp. pada Skala Laboratorium. Skripsi. FPIK. IPB. Bogor
Pradana, A. 2012. Pengaruh Pembedaan Pemberian Pupuk NPK dan Limbah
Cair Tahu Terhadap Laju Pertumbuhan Populasi Spirulina sp. yang
Dikultur dalam Skala Laboratorium. Jurusan Manajamen Sumberdaya
Perairan. Malang. Universitas Brawijaya.
Pranata, A. 2009. Laju Pertumbuhan Populasi Rotifera (Branchionus plicatilis)
Pada Media Kombinasi Kotoran Ayam, Pupuk Urea dan Pupuk TSP Serta
Penambahan Beberapa Variasi Ragi Roti. Skripsi. Universitas Sumatera
Utara; Medan
Prasetyaningtyas, T., B. Priyono dan T. A. Pribadi. 2012. Keanekaragaman
Plankton Di Perairan Tambak Ikan Bandeng Di Tapak Tugurejo,
Semarang. Unnes Journal of life science. (1): 54-61
Pujiono, A.E. 2013. Pertumbuhan Tetraselmis chuii pada Medium Air Laut
dengan Intensitas Cahyaa, Lama Penyinaran dan Jumlah Inokulan yang
Berbeda pada Skala Laboratorium. Skripsi. Universitas Jember; Jember.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Oseana. 30(3): 21-26
Salwiyah. 2011. Kondisi Kualitas Air Sehubungan dengan Kesuburan Perairan
Sekitar PLTU Nii Tanasa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara. FPIK. Haluoelo: Kendari.
Sani, R. N., F. C. Nisa., R. D. Andriani dan J. M. Maligan. 2014. Analisis
Rendemen dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Mikroalga Laut
Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(2): 121-126
Sari, F. R., R. Annisa dan A. Tuhuloula. 2013. Perbandingan Limbah Dan
Lumpur Aktif Terhadap Pengaruh Sistem Aerasi Pada Pengolahan
Limbah CPO. Konversi, 2(1): 40-45
Sari, R. M., S. Ngabekti dan F. P. Martin. 2013. Keanekaragaman Fitoplankton di
Aliran Sumber Air Panas Condrodimuko Gedongsongo Kabupaten
Semarang. Unnes Journal of Life Science. 2(1): 9-15
Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi
Revisi. Kanisius. Yogyakarta.
Satata, B dan M. E. Kusuma. 2014. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak
(Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Rumput Brachiaria Humidicola. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 3(2): 5-9
Sholikah, M. H., Suyono dan P. R. Wikandari. 2013. Efektivitas Kandungan
Unsur Hara N Pada Pupuk Kandang Hasil Fermentasi Kotoran Ayam
55
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Terung (Solanum melongena L.).
Journal of Chemistry. 2(1): 131-136
Silalahi, J. 2010. Analisis Kualitas Air dan hubungannya dengan
Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. Tesis.
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumara Utara. Medan.
Simanjuntak, M, 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Kimia, Fisika Terhadap
Distribusi Plankton Di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal
Perikanan. 11(1): 31-45
SNI . 2004. Metode Pengukuran Kualitas Air. Dinas Pekerjaan Umum. Jakarta.
SNI . 2006. Metode Pengukuran Kualitas Air. Dinas Pekerjaan Umum. Jakarta.
Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito: Bandung
Sujiwo, B., Syafrudin, dan G. Samudro. 2012. Pemanfaatan Lumpur Aktif Dan Em4
Sebagai Aktivator Dalam Proses Pengomposan Limbah Kulit Bawang
Dengan Sludge. Jurnal Presipitasi. 9 (2) : 51-63
Suminto, 2005. Budidaya Pakan Alami Mikroalgae dan Rotifer. Buku Ajar Mata
Kuliah Budidaya Pakan Alami. Program Studi Budidaya Perairan Jurusan
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro: Semarang
Tufaila, M., D. D. Laksana dan S. Alam. 2014. Aplikasi Kompos Kotoran Ayam
Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Di
Tanah Masam. Jurnal Agroteknos. 4(2) : 119-126
Utomo, N. B. P., Winarti dan A. Erlina. 2005. Pertumbuhan Spirulina platensis
Yang Dikultur Dengan Pupuk Inorganik (Urea, TSP dan ZA) Dan Kotoran
Ayam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (1): 41–48
Wahyuni, S. 2011. Analisis Kadar Air, Fosfor, Kalium Dan Karbon Organik Pada
Kompos Yang Dibuat Dari Tandan Kelapa Sawit Dengan Aktivator
Lumpur Aktif PT. Bumi Sarimas Indonesia (Cocomas). Skripsi. Universita
Andalas; Padang
Widianingsih, Hartati, R., Endrawati, H., Yudiati, E., Subagiyo. 2010. Kandungan
Fatty Acid pada Mikroalga Laut. Prosiding Seminar Nasional Biologi,
Fakultas Biologi Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Hal. 4–5.
Wulandari, D. 2009. Keterikatan Antara Kelimpahan Fitoplankton Dengan
Parameter Fisika Kimia Di Estuari Sungai Brantas (Porong), Jawa Timur.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor; Bogor
Yuliana., E. M. Adiwilaga., E. Harris dan N. T. M. Pratiwi. 2013. Hubungan Antara
Kelimpahan Fitoplankton Dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan Di
Teluk Jakarta. Jurnal Akuatika. 3(2): 169-17