pengaruh pemberian ekstrak belimbing wuluh …/pengaruh...proposal penelitian dengan judul :...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BELIMBING WULUH (Averrhoa
bilimbi Linn.) TERHADAP JUMLAH SPERMATID DAN SPERMATOZOA
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
IRWAN NURDIANSYAH
G0009111
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripi dengan judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Belimbing Wuluh
(Averrhoa Bilimbi Linn.) terhadap Jumlah Spermatid dan
Spermatozoa Tikus Putih (Rattus Norvegicus).
Irwan Nurdiansyah, NIM : G.0009111, Tahun : 2013
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Pada Hari Senin, Tanggal 28 Januari 2013
Pembimbing Utama
Nama : Muthmainah, dr., M.Kes
NIP : 19660702 199802 2 001 .................................................
Pembimbing Pendamping
Nama : Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si
NIP : 19640220 199003 2 001 ..................................................
Penguji Utama
Nama : S.B.Widjokongko, dr., PHK, M.Pd
NIP : 19481231 197609 1 001 .................................................
Penguji Pendamping
Nama : Muthmainah, dr.
NIP : 19840707 200912 2 003 ..................................................
Surakarta, ………………….
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes
NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Proposal Penelitian dengan judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) terhadap Jumlah Spermatid dan
Spermatozoa Tikus Putih (Rattus novergicus)
Irwan Nurdiansyah, G0009111, Tahun 2012
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Senin, Tanggal 28 Januari 2013
Pembimbing Utama Penguji Utama
Muthmainah, dr., M.Kes S.B.Widjokongko, dr., PHK, M.Pd
NIP. 19660702 199802 2 001 NIP. 19481231 197609 1 001
Pembimbing Pendamping Penguji Pendamping
Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si Muthmainah, dr.
NIP. 19640220 199003 2 001 19840707 200912 2 003
Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M.Kes
NIP. 19660702 199802 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Februari 2013
Irwan Nurdiansyah
NIM. G0009111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Irwan Nurdiansyah G0009111, 2013. Pengaruh Pemberian Ekstrak Belimbing
Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn.) terhadap Jumlah Spermatid dan Spermatozoa
Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang : Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) diketahui
mempunyai berbagai kandungan zat yang bersifat sebagai antioksidan yaitu
flavonoid alami seperti apigenin dan luteolin serta vitamin C. Antioksidan
tersebut diduga dapat meningkatkan kadar testosteron sehinggga berpengaruh
pada proses spermatogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian ekstrak belimbing wuluh terhadap jumlah spermatid tahap akhir dan
spermatozoa tikus putih.
Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan the
post test only controlled group design. Sampel berupa 24 tikus jantan, galur
Wistar berumur 8-10 minggu dengan berat badan + 200 g. Sampel tikus dibagi
dalam 4 kelompok secara random. Kelompok K diberi akuades selama 14 hari.
Kelompok P1, P2, dan P3 masing-masing diberi ekstrak etanol belimbing wuluh
dengan dosis 57 mg/200 g BB tikus, 114 mg/200 g BB tikus, dan 228 mg/200 g
BB tikus selama 14 hari. Hari ke-15 tikus dikorbankan untuk diambil testis kanan
dan kiri kemudian dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan
HE. Jumlah spermatid tahap akhir dan spermatozoa dihitung dengan melihat 5
lapang pandang dari masing-masing testis dengan menggunakan mikroskop
cahaya perbesaran 1000x, kemudian hasilnya dijumlahkan untuk mendapatkan
satu angka untuk masing-masing testis. Data dianalisis menggunakan uji One-Way
ANOVA (α = 0,05) dan dilanjutkan uji Post Hoc Multiple Comparisons LSD (α =
0,05).
Hasil Penelitian Rata-rata jumlah spermatid dan spermatozoa pada kelompok K =
2463 ± 164,97; P1 = 1965,5 ± 68,48, P2 = 1394,33 ± 91,37; P3 = 1074,33 ±
94,19. Hasil uji Oneway Anova menunjukkan p = 0,000 (p < 0,05) dan hasil uji
LSD menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada semua pasangan
kelompok yang dibandingkan.
Simpulan Penelitian : Pemberian ekstrak belimbing wuluh tidak dapat
meningkatkan jumlah spermatid dan spermatozoa tikus putih, pemberian ekstrak
belimbing wuluh menurunkan jumlah spermatid dan spermatozoa. Semakin besar
dosis ekstrak belimbing wuluh yang diberikan maka jumlah sel spermatid dan
spermatozoa tikus putih semakin menurun.
Kata kunci: ekstrak belimbing wuluh, flavonoid, jumlah spermatid dan
spermatozoa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Irwan Nurdiansyah G0009111, 2013. The Effect of Extract of Starfruit
(Averrhoa Bilimbi Linn.) towards the Number of Spermatids and Spermatozoa of
Mice (Rattus Norvegicus). Mini-Thesis Faculty of Medicine,Sebelas Maret
University Surakarta.
Background : Starfruit (Averrhoa bilimbi Linn.) are known to have a variety of
substances that are as natural antioxidant flavonoids such as apigenin and luteolin,
and vitamin C. Antioxidants contributes to increase testosterone levels therefore
its influence the process of spermatogenesis. This study aimed to determine the
effect of the extract of the starfruit towards the number of late stage spermatids
and spermatozoa of mice
Methods : This study is an experimental laboratory using controlled group
posttest only design. The samples used 24 male mice, 8-10 weeks old Whistar and
weights + 200 g. Samples were divided into 4 groups. K group was given distilled
water for 14 days. Group P1, P2, and P3 were given starfruit ethanol extract each
at a dose of 57 mg/200 gram weight for P1, 114 mg/200 gram weight for P2, and
228 mg/200 gram weight for P3 among 14 days. On day-15, samples were
sacrificed to be made preparations of left and right testis by the method of paraffin
blocks and HE staining. The number of late stage spermatids and spermatozoa
was calculated by observing at the 5 field of view of each testis using a light
microscope magnification of 1000X, then the results are summed to obtain a
single number for each testis. Data were analyzed using One-Way ANOVA test (α
= 0.05) and Post Hoc Multiple Comparisons LSD (α = 0.05)
Result: The average number of spermatids and spermatozoa in group K = 2463 ±
164.97; P1 = 1965.5 ± 68.48, P2 = 1394.33 ± 91.37; P3 = 1074.33 ± 94.19.
Oneway Anova test results showed p = 0.000 (p < 0.05) and LSD test results
showed a significant difference in all groups.
Conclusion: The extract of starfruit can not increase the number of spermatids
and spermatozoa. The extract of starfruit could decrease the number of spermatid
cells as shown on the average difference spermatid counts for each group. The
larger dose of the extract given, the greater spermatid cell count decreased.
Key Words : extract of Starfruit, flavonoids, number of spermatids and
spermatozoa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena atas
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh
Pemberian Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) terhadap Jumlah
Spermatid Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penelitian dan penulisan skripsi ini
dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan, bimbingan, dan petunjuk dari
berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M. Kes, selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS sekaligus
sebagai Pembimbing Utama atas bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Diffah Hanim, Dra, M.Si selaku Pembimbing Pendamping atas bimbingan
dalam penyusunan skripsi ini.
4. S.B.Widjokongko, dr., PHK, M.Pd selaku Penguji Utama yang telah
memberikan bimbingan, kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi
ini.
5. Muthmainah, dr. selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan,
kririk dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Laboratorium Histologi FK UNS.
7. Bagian Skripsi FK UNS yang turut memberi kelancaran pembuatan skripsi ini.
8. Ayahanda Sucipto, Ibunda Rukmi serta adik-adikku yang sangat kucintai dan
kusayangi Irma Kurniawati dan Ahmad Saifuddin. Keluargaku yang selalu
mendoakanku agar menjadi dokter yang baik.
9. Teman-teman Kos Avicenna yang telah memberikan banyak bantuan demi
kelancaran skripsi.
10. Teman-teman asisten Field Lab FK UNS yang selalu memberikan keceriaan
dalam bekerja di kantor.
11. Teman-teman pengurus SKI FK UNS yang selalu memberikan inspirasi dikala
penat mengerjakan skripsi ini datang.
12. Teman-teman dan pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang
turut mendukung skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kebaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi dunia kedokteran umumnya dan pembaca khususnya.
Surakarta, Januari 2013
Irwan Nurdiansyah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian....................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 6
1. Testis ....................................................................................... 6
2. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) ........................... 15
B. Kerangka Pemikiran .................................................................... 21
C. Hipotesis ...................................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................ 23
B. Lokasi Penelitian ......................................................................... 23
C. Subjek Penelitian ......................................................................... 23
D. Teknik Sampling ......................................................................... 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
E. Rancangan Penelitian .................................................................. 25
F. Identifikasi Variabel Penelitian ................................................... 26
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................... 26
H. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................... 28
I. Cara Kerja ................................................................................... 29
J. Teknis Analisis Data ................................................................... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian ................................................................... 35
B. Analisis Data ............................................................................... 36
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................... 40
BAB VI PENUTUP
A. SIMPULAN ................................................................................ 45
B. SARAN ....................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 47
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penampang Melintang Testis, Tubulus Seminiferus
Gambar 2.2 Penampang Melintang Testis, Sel Interstisial Leydig
Gambar 2.3. Bagan Spermatogenesis
Gambar 2.4 Tanaman Belimbing Wuluh
Gambar 4.1 Diagram Rata-Rata Sel Spermatid dan Spermatozoa dari Masing-
Masing Kelompok
Gambar 5.1 Grafik Profil Kadar Testosteron Tikus Putih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.l Kandungan Zat-Zat dalam 100 Gram Belimbing Wuluh
Tabel 4.1 Jumlah Rata-Rata Sel Spermatid dan Spermatozoa Testis Kiri dan
Kanan dari Masing-Masing Kelompok
Tabel 4.2 Normalitas Distribusi Data Jumlah Spermatid Tikus Putih.
Tabel 4.3 Rerata Transformasi Jumlah Spermatid Tahap Akhir dan Spermatozoa
pada Masing-Masing Kelompok
Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Uji LSD (α = 0,05)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Peroral
Lampiran 2. Langkah Kerja Proses Ekstraksi Belimbing Wuluh dengan Metode
Maserasi
Lampiran 3. Data Ekstrak Buah Belimbing Wuluh
Lampiran 4. Surat Keterangan Pembuatan dan Pembacaan Preparat
Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Mikroskopis
Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas dan Varians Data Hubungan Pemberian
Ekstrak Belimbing Wuluh terhadap Jumlah Spermatid Tikus Putih
Lampiran 7. Hasil Analisis Uji One-Way ANOVA dan Post Hoc Multiple
Comparison Data Hubungan Pemberian Ekstrak Belimbing Wuluh
terhadap Jumlah Spermatid Tikus Putih
Lampiran 8. Gambar Alat dan Bahan Penelitian
Lampiran 9. Foto Preparat dengan Perbesaran 100x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai jenis tumbuh-
tumbuhan beraneka ragam yang digunakan untuk keperluan sandang,
pangan, perumahan, serta obat tradisional. Obat tradisional sebagai ramuan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki kelebihan, yakni minimalnya
efek samping yang ditimbulkan. Penggunaan obat tradisional tersebut masih
sangat disukai oleh masyarakat karena sumber bahan obatnya banyak
terdapat di Indonesia. Selain itu mudah diramu dan ditanam sebagai
tanaman obat keluarga dan harganya relatif murah (Lestari et al., 2004).
Seiring dengan perubahan zaman, penggunaan tumbuh-tumbuhan
sebagai obat-obatan telah mengalami perkembangan, yakni dari yang
bersifat empiris ke ilmiah. Perkembangan ini memicu timbulnya berbagai
penelitian tentang tumbuh-tumbuhan untuk menemukan obat-obatan baru,
salah satunya adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) merupakan salah satu
jenis tanaman asli Indonesia yang dapat digunakan sebagai obat (IPTEKnet,
2005). Di Indonesia, selain digunakan sebagai bumbu masak, tanaman ini
juga bermanfaat untuk mengobati hipertensi, diabetes, gondongan, jerawat,
reumatik, sariawan, gusi berdarah, sakit gigi, batuk rejan, demam, dan
kelumpuhan (Dalimartha et al., 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) mengandung tanin,
sulfur, asam format, flavonoid, vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan enzim
peroksidase. Kandungan saponin, flavonoid, dan tanin dari tanaman
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) dapat mempengaruhi sistem
tubuh. Saponin dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, mengikat
kolesterol, dan bersifat antibiotik (Caroll and Caroll, 2001). Flavonoid, yang
dalam belimbing wuluh berupa Apigenin dan Luteolin, mempunyai fungsi
sebagai antibakteri, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antivirus,
antineoplastik, antitrombosis, antioksidan, dan aktivitas vasodilatasi (Miller,
1996). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa potensi belimbing wuluh
sebagai antiinflamasi, mampu menghambat fotooksidasi protein, selain itu
belimbing wuluh juga dapat menghambat pembentukan laju pembentukan
Advanced Glycation End products (AGEs) (Biworo, 2002; Haslinda et al.,
2004; Suhartono et al., 2005).
Infertilitas dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai
kehamilan setelah berhubungan seks tanpa menggunakan alat kontrasepsi
selama satu tahun (Dean et al., 2012). Masalah ini merupakan penyakit
kompleks dengan aspek medis, psikososial, dan ekonomi (Thonneau, 1991).
Infertilitas primer didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai
kehamilan pertama sedangkan infertilitas sekunder diartikan sebagai
kegagalan untuk mencapai kehamilan kedua. Di Amerika, satu dari tujuh
pasangan (15%) mengalami infertilitas primer. Dari jumlah itu, 40% di
antaranya disebabkan oleh pria (Dean et al., 2012). Penelitian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dilakukan Arsyad terhadap 246 pasangan infertil di Palembang
menunjukkan infertilitas yang disebabkan faktor pria sebesar 48,4%
(Khaidir, 2006). Sebanyak 20% pria muda memiliki konsentrasi sperma di
bawah standar WHO, dan 40% di bawah kadar optimal untuk menunjang
fertilitas. Selain itu, proses penuaan pada pria juga menyebabkan penurunan
kadar testosteron (Jorgensen, 2006). Testosteron sendiri merupakan hormon
yang dibutuhkan untuk proses spermatogenesis yang normal, meningkatkan
proliferasi sel dan mencegah apoptosis, fertilitas, dan memelihara fenotip
pria (Roelants et al., 2002; Pakarainen et al., 2005). Penurunan testosteron
mengakibatkan gangguan proses spermatogenesis sehingga berakibat pada
penurunan jumlah dan kualitas sperma (Guyton dan Hall, 1997).
Usaha untuk menunda penurunan kadar testosteron darah
membutuhkan pemahaman terhadap mekanisme proses penurunan tersebut.
Beberapa studi yang mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kadar
terstosteron dalam proses penuaan mengindikasikan bahwa biosintesis
testosteron merupakan faktor yang paling berperan dalam proses penurunan
kadar testosteron ( Chen et al., 1994).
Kecepatan biosintesis testosteron dibatasi oleh transfer kolesterol
ke membran dalam mitokondria sehingga inisiasi dari proses streroidogenik
di sel leydig terhambat. Langkah tersebut diregulasi oleh protein
Steroidogenic Acute Regulatory (StAR) (Clark et al., 1994; Lin et al., 1995;
Wang et al., 1998). Penghambatan terhadap aktivitas COX2 dapat
meningkatkan protein StAR dan produksi testosteron sehinga berefek pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
peningkatan jumlah sperma dalam semen (Wang et al., 2005). Sekelompok
flavonoid alami dalam makanan telah diidentifikasi dapat menghambat
sinyal dari COX2-dependent (Zakaria et al., 2007).
Oleh karena itu, dengan mengingat adanya kandungan flavonoid
dalam belimbing wuluh berupa Apigenin dan Luteolin yang diduga dapat
meningkatkan kadar testosteron, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian guna mengetahui pengaruh pemberian ekstrak belimbing wuluh
terhadap jumlah spermatid dan spermatozoa pada gambaran histologis
tubulus seminiferous testis tikus putih.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Apakah pemberian ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
Linn.) dapat meningkatkan jumlah spermatid dan spermatozoa tikus putih
(Rattus norvegicus)?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi Linn.) dapat meningkatkan jumlah spermatid dan spermatozoa
tikus putih (Rattus norvegicus).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui apakah semakin besar dosis ekstrak belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) yang diberikan mengakibatkan perubahan
jumlah spermatid dan spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus) yang
semakin meningkat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh pemberian ekstrak
belimbing wuluh (Averrhoa belimbi Linn) terhadap jumlah spermatid dan
spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
kepada masyarakat mengenai manfaat belimbing sebagai tanaman obat
yang dapat meningkatkan kesuburan sperma..
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Testis
Testis merupakan kelenjar ganda, karena secara fungsional bersifat
eksokrin dan juga endokrin. Bagian eksokrin terutama menghasilkan sel
kelamin sedangkan bagian endokrin menghasilkan sekret internal yang
dilepaskan oleh sel-sel khusus (Leeson et al., 1996). Testis dikelilingi
oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu tunika albuginea. Tunika
albuginea menebal pada permukaan posterior testis membentuk
mediastinum testis, dari situ terjulur septa fibrosa ke dalam kelenjar,
membaginya menjadi kurang lebih 250 kompartmen piramidal yang
disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni oleh 1-4 tubulus seminiferus.
Terpendam dalam dasar jaringan ikat yang banyak pembuluh darah dan
limfe, saraf, dan sel interstisial (leydig). Sel interstisial mensekresikan
androgen testis (Junqueira et al., 1997). Produksi sperma terjadi pada
tubulus seminiferus (Wilson dan Hillegas, 1995).
a. Tubulus Seminiferus
Tubulus seminiferus berkelok-kelok dengan garis tengah
kurang lebih 0,2 mm dan panjang 30 sampai 70 cm. Tubulus
seminiferus berakhir sebagai ujung bebas yang buntu atau
beranastomosis dengan tubulus-tubulus didekatnya dari lobulus yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sama atau kadang-kadang dengan tubulus dari lobulus di sebelahnya.
Tubulus seminiferus akan berlanjut menjadi tubulus rektus yang
bentuknya lurus. Epitel seminiferus terdiri atas dua kategori sel yang
berbeda, yaitu sel untuk penyokong dan nutrisi serta sel
spermatogenik atau sel benih (Leeson et al., 1996).
b. Epitel Seminiferus
Epitel seminiferus merupakan lapisan kontinyu sel sertoli
dihubungkan oleh kompleks tautan yang mencolok. Ruang antara
batas lateral sel-sel sertoli yang berdekatan mengandung
spermatogonia spermatid, dan spermatozoa (Johnson, 1994).
1) Sel Sustentakuler Sertoli
Sel sertoli jumlahnya relatif sedikit dan tersusun sepanjang
tubulus pada jarak-jarak yang diatur di antara sel benih. Sel
sertoli merupakan sel tinggi seperti tiang, dengan dasarnya
terletak di atas lamina basal tubulus. Bentuk selnya tidak teratur,
tidak tampak jelas dan sangat komplek sedangkan intinya tampak
pucat, bentuknya lonjong dengan sumbu panjangnya tersusun
secara radikal (Leeson et al., 1996).
Sel sertoli mempunyai banyak fungsi, misalnya (a)
penyokong, pelindung, dan pemberi nutrisi bagi sperma
(spermatid) yang berkembang; (b) fagositosis sitoplasma yang
berlebihan (bahan residu) spermatid yang berkembang
(Junqueira, 1997); (c) pembebasan sperma matang, spermiasi ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dalam tubulus seminiferus; (d) penghasil cairan testikular untuk
nutrisi dan transpor sperma; dan (e) penghasil Androgen Binding
Protein (ABP) dan hormon inhibin (Eroschenko, 2003).
2) Sel Spermatogenik
Sel spermatogenik atau sel benih ini membentuk lapisan
epitel berlapis dengan ketebalan empat sampai delapan sel
melapisi tubulus seminiferus. Sel-sel berkembang secara
progresif dari daerah basal tubulus ke arah lumen. Proliferasi
mendorong sel-sel ke arah lumen, dan yang paling dekat dengan
lumen berubah menjadi spermatozoa dan melepaskan diri dari
epitel dan terletak bebas dalam lumen (Leeson et al., 1996).
Proses perkembangan sel spermatogenik dimulai dengan sel
benih primitif yaitu spematogonium yang terletak dekat dengan
lamina basalis. Spermatogonium merupakan sel yang relatif
kecil, intinya mengandung kromatin irreguler, dan membentuk
kelompok-kelompokan kasar (Junqueira et al., 1997).
Spermatogonium berubah menjadi spermatosit primer.
Spermatosit primer adalah sel yang terbesar dari turunan
spermatogenik dan ditandai oleh adanya kromosom dalam
berbagai stadium proses pemilinan dalam intinya. Segera setelah
spermatosit primer terbentuk, spermatosit primer berada dalam
tahap profase pembelahan meiosis pertama. Profase pembelahan
ini memerlukan waktu yang lama sekitar 22 hari sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
sebagian besar sel yang terlihat dalam pemotongan berada dalam
fase ini (Junqueira et al., 1997).
Pembelahan meiosis pertama ini menghasilkan
spermatosit sekunder dengan hanya mengandung 23 kromosom.
Spermatosit sekunder sukar ditemukan dalam potongan testis
karena spermatosit sekunder tetap dalam tahap interfase sangat
singkat dan cepat masuk ke dalam tahap meiosis kedua
(Junqueira et al., 1997).
Pembelahan spermatid sekunder mengahsilkan spermatid
dengan 23 kromosom. Spermatid adalah sel hasil dari
pembelahan spermatosit sekunder. Spermatid dapat dibedakan
dari ukurannya yang kecil, inti dengan daerah-daerah kromatin
yang padat, dan terletak dekat bagian tengah tubulus seminiferus.
Dengan terbentuknya spermatid, spermatogenesis berakhir.
Setelah itu spermatid mengalami proses diferensiasi yang
kompleks yang dinamakan spermiogenesis, yang menghasilkan
perubahan spermatid menjadi spermatozoa. Spermatid
menunjukkan berbagai bentuk yang khas tergantung pada fase
spermatogenesis dimana spermatid ditemukan (Junqueira et al.,
1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Gambar 2.1 Penampang Melintang Testis, Tubulus Seminiferus
(Gartner dan Hiatt, 2006).
c. Jaringan Interstisial
Jaringan interstisial yang terdapat dalam lobuli testis terletak di
antara tubulus seminiferus. Jaringan interstisial mengandung
beberapa serat kolagen, pembuluh darah dan limfe, saraf, dan
beberapa sel mesenkim yang belum berkembang. Pembuluh darah
dan saraf keluar masuk melalui mediastinum dan membentuk
anyaman sekitar tubulus. Sel-sel leydig mensekresi testosteron
(Wilson dan Hillegas, 2005). Jaringan ini juga mengandung
makrofag, limfosit, sel mast, dan sel interstisial leydig. Sel-sel
interstisial leydig letaknya berkelompok memadat pada daerah
segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus.
Keterangan :
SR = Sel Sertoli
SG = Spermatogonium
SP = Spermatosit Primer
STe = Spermatid Awal
STl = Spermatid Akhir
SZ = Spermatozoa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Sel-sel tersebut besar, dengan sitoplasma sering tampak bervakuol
pada sajian mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butir
kromatin kasar dan anak inti yang jelas (Leeson et al., 1996).
Gambar 2.2 Penampang Melintang Testis, Sel Interstisial Leydig
(Gartner dan Hiatt, 2006).
d. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus dimulai rata-
rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh sisa
kehidupan. Pada tahap pertama, spermatogonia bermigrasi di antara
sel-sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus (Guyton dan
Hall, 1997). Sebagian sel anak tetap menjadi spermatogonia dan
yang lainnya berjalan ke lumen tubulus seminiferus menjadi
Keterangan :
SL = Sel Leydig
St = Stroma
PL = Pembuluh Limfa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
spermatosit primer. Spermatosit primer akan mengalami pembelahan
miosis sehingga terbentuk dua spermatosit sekunder. Masing-masing
spermatosit akan menjalani miosis yang kedua menghasilkan dua
spermatid. Setelah itu spermatid akan mengalami proses pematangan
dan berdiferensiasi menjadi sperma yang matang. Setelah itu sperma
akan disimpan di epididimis dan vasdeferens dan kesuburannya
dapat bertahan selama 42 hari (Wilson dan Hillegas, 2005).
Gambar 2.3 Bagan Spermatogenesis (Ownby, 2007)
e. Spermiogenesis
Spermatid adalah sel yang dihasilkan dari pembelahan
spermatosit sekunder. Spermatid dapat dikenali melalui ukurannya
yang kecil (garis tengah 7-8 µm), inti dengan daerah-daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kromatin padat, dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus
seminiferus. Spermatid mengalami proses perkembangan rumit yang
disebut spermiogenesis yang mencakup pembentukan akrosom,
pemadatan dan pemanjangan inti, pembentukan flagelum, dan
kehilangan sebagian besar sitoplasmanya. Hasil akhirnya ialah
spermatozoa matang, yang kemudian dilepaskan ke dalam lumen
tubulus seminiferus (Junqueira et al., 1997).
f. Fungsi Testis
Testis mempunyai fungsi eksokrin dalam spermatogenesis dan
fungsi endokrin untuk mensekresi hormon-hormon seks yang
mengendalikan perkembangan dan fungsi seksual. Semua fungsi dari
sistem reproduksi pria diatur melalui interaksi hormonal yang
kompleks (Wilson dan Hillegas, 2005).
Fungsi eksokrin testis yang terutama adalah menghasilkan sel-
sel kelamin pria. Fungsi tersebut tergantung pada banyak faktor.
Follicle Stimulating Hormon (FSH) dari lobus anterior hipofisis
merangsang spermatogenesis mamalia. FSH mempengaruhi sel
sertoli untuk merangsang sintesis suatu reseptor, pengikat androgen,
yang akan berikatan dengan testosteron dan disekresikan ke dalam
lumen tubulus seminiferus. Sel sertoli juga mensintesis hormon testis
yang lain yaitu inhibin, yang masuk ke dalam aliran darah serta akan
mengahambat sekresi FSH oleh hipofisis anterior. Pada manusia
spermatogenesis berlangsung terus sepanjang masa kematangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
seksual (Leeson, et al., 1996). Untuk spermatogenesis dibutuhkan
suhu yang sesuai. Spermatogenesis memerlukan suhu yang lebih
rendah dibandingkan suhu interior badan. Testis normalnya
dipertahankan pada suhu sekitar 32ºC (Ganong, 1992).
Sekresi endokrin yang utama dari testis adalah testosteron,
dihasilkan oleh sel interstisial. Produksi testosteron oleh testis
tergantung pada rangsangan Luteinizing Hormon (LH). Oleh karena
organ sasarannya merupakan sel-sel interstisial maka LH seringkali
disebut sebagai Interstisial Cell Stimulating Hormon (ICSH). Selain
pengaruhnya terhadap spermatogenesis, testosteron mengatur sifat-
sifat seks sekunder, rangsang seks dan perkembangan serta
pemeliharaan saluran-saluran kelamin dan kelenjar kelamin
tambahan (Leeson et al., 1996).
g. Interaksi Hormonal
Bagian utama dari pengaturan fungsi seksual baik pada pria
maupun wanita dimulai dengan sekresi Gonadotropin Releasing
Hormon (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon-hormon ini adalah
Follicle-Stimulating Hormon Releasing Hormon (FSHRH) dan
Luteinizing-Hormon Releasing Hormon (LHRH). Hormon-hormon
ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk
menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon
gonadotropin : (1) Luteinizing Hormon (LH) dan (2) Follicle-
Stimulating Hormon (FSH). Selanjutnya, LH merupakan rangsangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
utama untuk sekresi testosteron oleh testis dan FSH terutama
merangsang spermatogenesis (Wilson dan Hillegas, 2005).
Testosteron yang disekresikan oleh testis sebagai respons
terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghentikan
sekresi LH oleh hipofisis anterior. Testosteron menghambat sekresi
LH dengan bekerja langsung terhadap hipotalamus dalam
menurunkan GnRH. Keadaan ini sebaliknya secara bersamaan
menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior,
dan penurunan LH akan menurunkan sekresi testosteron oleh testis.
Testoseron mungkin juga mempunyai efek umpan balik negatif
lemah yang bekerja langsung terhadap hipofisis anterior (Guyton dan
Hall, 1997).
2. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)
a. Morfologi Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)
Tanaman Belimbing Wuluh memiliki batang berukuran
sedang, tetapi tingginya bisa mencapai 15 meter. Daun tanaman ini
berpasangan, berbentuk bulat telur, dengan bagian bawah daun
berbulu, bersirip ganjil, dan terdapat di ujung batang seperti payung.
Bunganya berukuran kecil, berwarna merah keunguan, berkumpul
menjadi pucuk lembaga. Daun bunga berbentuk panjang, terdapat
benang sari sebanyak sepuluh helai yang menempel di batang.
Buahnya berbentuk bulat silindris, terbagi secara longitudional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dalam lima lobus, berair asam, berwarna hijau atau putih
(Sastroamidjojo, 2001; Lima et al., 2001; Kumar et al., 2011).
Gambar 2.4 Tanaman Belimbing Wuluh (Lima et al., 2001)
b. Klasifikasi Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)
Tanaman Belimbing Wuluh mempunyai klasifikasi sebagai
berikut (Roy et al., 2011) :
Divisio : Spermatophyta
Sub-Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonaeae
Ordo : Oxalidales
Familia : Oxalidaceae
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi
c. Manfaat Belimbing Wuluh
Belimbing Wuluh telah lama digunakan sebagai tanaman
obat tradisional (Kalia, 2005; dan Huda et al., 2009). Daunnya dapat
digunakan sebagai antipiretik, pegel linu, kulit gatal, bengkak karena
jerawat, reumatik, dan bisul. Bunganya menyembuhkan batuk,
sedang buahnya banyak dikonsumsi masyarakat sebagai manisan
atau campuran sayur sekaligus berkhasiat untuk mengobati batuk,
beri-beri, dan biliousness. Sirup buah belimbing wuluh dijadikan
obat demam, inflamasi, menghentikan perdarahan rektum, serta
meredakan hemorrhoid (Sastroamidjojo, 2001; Morton, 2005; Orwa
et al, 2009).
Tanaman tersebut telah diteliti memiliki zat aktif sebagai
antibakteri, antidiabetik, antiscorbutic, antihiperlipidemia, dan
astringent dalam pengobatan post-partum (Mukherjee et al., 2006;
Patel et al., 2009; Sharma et al., 2009; Kumar et al., 2011, Roy et al.,
2011, Ambili et al., 2009; Huda et al., 2009).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ambili dkk (2009),
mengenai studi pendahuluan untuk menilai toksisitas Belimbing
Wuluh pada tikus, membuktikan bahwa pemberian secara oral
selama 15 hari tidak menunjukkan gejala toksisitas pada dosis 1g/kg.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
d. Kandungan Kimia Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.)
Belimbing Wuluh bersifat asam, dengan pH 4,47. Buah
Belimbing Wuluh kaya akan berbagai macam vitamin, terutama
vitamin C, dan mineral. Protein, serat, dan air juga dikandung oleh
buah Belimbing Wuluh (Roy et al., 2011). Selain itu, pada buah
belimbing wuluh juga terdapat kandungan asam oksalat (Tjai dan
Rahardja, 2002).
Zat-zat yang terkandung dalam 100 gram Belimbing Wuluh
antara lain protein, riboflavin, thiamin (vitamin B1), niasin, asam
askorbat ( vitamin C ), karoten, vitamin A, fosfor, kalsium, zat besi,
dan protein disajikan dalam tabel 2.1 (Roy et al., 2011).
Tabel 2.l Kandungan Zat-Zat dalam 100 Gram Belimbing Wuluh.
Zat yang di kandung Jumlah
Riboflavin 0.026 mg
Thiamin (vitamin B1) 0.010 mg
Niasin 0.302 mg
Asam Askorbat (vitamin C) 15.6 mg
Karoten 0.035 mg
Vitamin A 0.036 mg
Fosfor 11.1 mg
Kalsium 3.4 mg
Zat Besi 1 mg
Protein 0.61 g
Sumber : (Roy et al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Ekstrak buah Belimbing Wuluh mengandung flavonoid,
saponin, dan triterpenoid. Kandungan bioaktif pada senyawa
flavonoid yang dimiliki Belimbing Wuluh yaitu luteolin dan
apigenin (Zakaria et al., 2007). Unsur pokok kimia yang terdapat
pada buah Belimbing Wuluh antara lain asam amino, asam sitrus,
cyanidin-O-h-D-glucoside, gugus fenolik, ion potassium, gula, dan
vitamin A (Roy et al., 2011).
e. Peran Zat Aktif Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) terhadap
Reproduksi Jantan
Flavonoid mampu menghambat enzim aromatase yaitu
enzim yang mengkatalis konversi androgen menjadi estrogen
yang akan meningkatkan hormon testosteron (Susetyarini, 2003;
Kellis and Vickery, 1984).
Belimbing Wuluh memiliki kandungan antioksidan seperti
vitamin C dengan kadar cukup banyak dan vitamin A. Vitamin C
dan vitamin A pada asupan nutrisi merupakan kandungan penting
yang mempertahankan keseimbangan oksidan-antioksidan pada
jaringan. Antioksidan tersebut dapat melindungi sel terhadap stres
oksidatif dan elektrofilik yang disebabkan oleh Reactive Oxygen
Spesies (ROS), yang menyebabkan kerusakan DNA maupun struktur
penting lainnya seperti protein atau membran sel. Banyak penelitian
telah menunjukkan bukti mengenai peran ROS pada fisiologi dan
patologi dari fungsi reproduksi pria dan wanita. Studi pada hewan uji
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
menunjukkan antioksidan pada asupan nutrisi sangat penting untuk
memelihara parameter normal semen dan untuk mencapai kehamilan
(Kwiecinski et al., 1989; Cieresko and Dabrowski, 1995).
Dengan menurunya kadar testosteron akan mengakibatkan
terjadinya gangguan proses maturasi spermatozoa dalam epididimis,
terutama gangguan dalam proses glikolisis. Proses glikolisis ini akan
menghasilkan energi berupa adenosine trifosfat (ATP). ATP
dimanfaatkan oleh spermatozoa sebagai sumber energi dalam proses
pergerakan sehingga dapat tetap motil dan sekaligus untuk
mempertahankan daya hidupnya (Souhoka et al., 2009).
Testosteron dibutuhkan untuk proses spermatogenesis yang
normal, meningkatkan proliferasi sel dan mencegah apoptosis,
fertilitas, dan memelihara fenotif pria. Apabila kadarnya turun, maka
proses-proses tersebut juga akan terganggu (Roelants et al., 2002;
Pakarnaen et al., 2005). Beberapa studi yang mempelajari faktor-
faktor yang mempengaruhi kadar terstosteron dalam proses penuaan
mengindikasikan bahwa biosintesis testosteron merupakan faktor
yang paling berperan dalam proses penurunan kadar testosteron
(Chen et al., 1994). Kecepatan biosintesis testosteron dibatasi oleh
transfer kolesterol ke membran dalam mitokondria sehingga inisiasi
dari proses streroidogenik di sel leydig terhambat. Langkah tersebut
diregulasi oleh protein Steroidogenic Acute Regulatory (StAR)
(Clark et al., 1994; Lin et al., 1995; Wang et al., 1998).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Penghambatan terhadap aktivitas COX2 dapat meningkatkan protein
StAR dan produksi testosteron sehingga berefek pada peningkatan
jumlah sperma dalam semen (Wang et al., 2005). Sekelompok
flavonoid alami dalam makanan telah diidentifikasi dapat
menghambat sinyal dari COX2-dependent (Zakaria et al., 2007).
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan
: Mempengaruhi : Mempengaruhi (area penelitian)
: Menghambat : Menghambat (area penelitian)
: Berikatan : Berikatan (area penelitian)
Aromatase
menurun
Belimbing
Wuluh
Luteolin
Apigenin
Antioksidan
(Vitamin C)
Flavonoid
ROS
menurun
StAR
COX2
menurun
Estrogen
Biosintesis Testosteron
dalam Sel Leydig
Kolesterol
Membran dalam
mitokondria
Inhibin
Hipothalamus
Hipofisis Anterior
FSH
Sel Sertoli
Jumlah Spermatid
dan Spermatozoa
Spermatogenesis
Protein Pengikat
Androgen
LH
Testosteron
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
C. Hipotesis Penelitian
Ha : Pemberian ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa Bilimb Linn.) peroral
dapat meningkatkan jumlah sel spermatid dan spermatozoa tikus putih
(Rattus norvegicus).
Ho : Pemberian ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa Bilimb Linn.) peroral
tidak meningkatkan jumlah sel spermatid dan spermatozoa tikus putih
(Rattus norvegicus).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu
(LPPT) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 21 Oktober
– 4 November 2012.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Sampel
Sampel diambil dari populasi tikus putih yang diperoleh dari
Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) Universitas Gajah Mada
(UGM). Kriteria inklusi meliputi tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
galur Wistar, berat badan ± 200 gram, berumur sekitar 6-8 minggu,
dan kondisi sehat (aktif, tidak cacat). Sedangkan kriteria eksklusi
adalah tikus putih yang mati dalam masa penelitian.
Dengan cara randomisasi, tikus putih kemudian dikelompokkan
menjadi 4, yaitu:
a. Kelompok kontrol : perlakuan dengan pemberian akuades
2ml/200 gram BB tikus putih/hari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
b. Kelompok perlakuan 1 : perlakuan dengan pemberian ekstrak
etanol Belimbing Wuluh dosis 57 mg/2 ml/200 gram BB tikus
putih/hari.
c. Kelompok perlakuan 2: perlakuan dengan pemberian ekstrak
etanol Belimbing Wuluh dosis 114 mg/2 ml/200 gram BB
tikus putih/hari.
d. Kelompok perlakuan 3: perlakuan dengan pemberian ekstrak
etanol Belimbing Wuluh dosis 228 mg/2 ml/200 gram BB tikus
putih/hari.
Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus
Federer (Purwawisastra, 2001) yaitu :
(n – 1)(t – 1) ≥ 15
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = jumlah kelompok perlakuan
t = 4
maka didapatkan :
(n – 1)(4 – 1) ≥ 15
4n – 3≥ 15
4n ≥ 18
n ≥ 4,5
Berdasarkan hasil perhitungan di atas jumlah minimal sampel
untuk tiap kelompok sebanyak 5 ekor tikus putih. Namun, untuk cadangan
jika ada tikus yang mati selama penelitian/perlakuan maka jumlah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Hari ke-15 tikus dikorbankan dengan cara neck dislocation
Ambil testis kanan dan kiri
Uji One way ANOVA
Uji Post Hoc
Buat preparat histologis testis dengan pengecatan HE
Hitung jumlah sel spermatid dan spermatozoa tikus putih
Ekstrak etanol
Belimbing Wuluh
dosis 57 mg /2
ml/200 gram BB
tikus selama 14
hari
Ekstrak etanol
Belimbing Wuluh
dosis 114 mg /2
ml/200 gram BB
tikus selama 14
hari
Aquades 2
ml/200 gram BB
tikus putih/hari
selama 14 hari
Ekstrak etanol
Belimbing Wuluh
dosis 228 mg /2
ml/200 gram BB
tikus selama 14
hari
6 ekor Tikus Putih
Perlakuan I
6 ekor Tikus Putih
Perlakuan II
6 ekor Tikus Putih
Kontrol
6 ekor Tikus Putih
Perlakuan III
Adaptasi selama 7 hari
24 ekor Tikus Putih
tiap kelompok ditambah menjadi 6 tikus putih per kelompok. Jadi, jumlah
keseluruhan sampel adalah 24 ekor tikus putih.
D. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling.
Sampel diperoleh dengan mengambil begitu saja subjek penelitian yang
ditemui dari populasi yang ada (Taufiqurrahman, 2008).
E. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan rancangan The Post Test Only
Control Group Design.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn.)
2. Variabel terikat : jumlah sel spermatid dan spermatozoa tikus putih
3. Variabel luar :
a. Dapat dikendalikan :
1) variasi genetik
2) jenis kelamin
3) usia
4) berat badan
5) makanan dan minuman
6) perawatan
7) lingkungan dan sanitasi kandang
b. Tidak dapat dikendalikan :
1) sistem imun hewan uji
2) kondisi psikologis hewan uji
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn.) adalah buah
Belimbing Wuluh yang dibuat eksrak dengan metode maserasi. Belimbing
Wuluh diperoleh dari dan diekstraksi di Lembaga Penelitian dan Pengujian
Terpadu (LPPT) Unit I UGM. Ekstrak Belimbing Wuluh diberikan pada
tikus putih jantan galur Wistar dengan dosis I (57 mg /2 ml/200 gram
BB), II (114 mg /2 ml/200 gram BB), dan III (228 mg /2 ml/200 gram
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BB) selama 14 hari. Ekstrak diberikan per oral dengan menggunakan
sonde lambung. Skala ukuran variabel ini adalah kategorikal
2. Variabel Terikat
Jumlah sel spermatid dan spermatozoa tikus putih di sini
maksudnya adalah jumlah sel spermatid tahap akhir (late spermatid) dan
spermatozoa tikus putih setelah diberi perlakuan dengan ekstrak belimbing
wuluh selama 14 hari. Sel spermatid tahap akhir dan spermatozoa dihitung
dari preparat histologis testis yang dicat dengan HE. Dari tiap tikus
diambil testis kanan dan kirinya. Masing-masing testis dibuat satu irisan
dan dengan mikroskop cahaya perbesaran 1000x, dari tiap irisan tersebut
dipilih lima lapang pandang untuk dihitung jumlah sel spermatid tahap
akhir dan spermatozoanya. Jumlah sel spermatid dan spermatozoa dari
lima lapang pandang tersebut akan dijumlahkan sehingga diperoleh satu
angka untuk tiap irisan. Sehingga dari tiap kelompok perlakuan akan
didapatkan 12 angka (tiap kelompok terdiri dari 6 tikus). Skala pengukuran
variabel ini adalah skala rasio.
3. Variabel Luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan.
Variabel ini dapat dikendalikan dengan homogenisasi.
1) Variasi genetik
Jenis hewan coba yang digunakan adalah tikus putih galur Wistar.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin tikus putih yang digunakan adalah jantan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
3) Usia
Usia tikus putih yang digunakan adalah usia 6-8 minggu
4) Berat badan
Berat badan hewan percobaan adalah 200 gram
5) Makanan dan minuman
Makanan berupa pelet dan minuman berupa air PAM yang
diberikan secara ad libitum.
6) Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada hewan percobaan adalah
ditempatkan pada kandang secara sendiri-sendiri dengan suhu
lingkungan antara 21-24 derajat Celcius. Kandang dibersihkan dari
kotoran tikus sekali dalam sehari.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
1) Sistem imun hewan uji
Sistem imun di sini maksudnya adalah reaksi hipersensitivitas yang
dapat terjadi karena adanya variasi kepekaan mencit terhadap zat
yang digunakan
2) Kondisi psikologis
Hewan uji dapat mengalami stres selama perlakuan yang
dimungkinkan mempengaruhi regulasi hormonal hewan uji.
H. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Timbangan untuk menimbang tikus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2. Kandang tikus beserta kelengkapan pemberian makan
3. Timbangan digital untuk menimbang Belimbing Wuluh
4. Instrumen pembuatan ekstrak etanol Belimbing Wuluh dengan metode
maserasi, antara lain blender, vacuum rotary evaporator, cawan
porselen, pengaduk, dan water bath
5. Gelas ukur dan pengaduk untuk membuat larutan uji
6. Lemari pendingin untuk menyimpan ekstrak Belimbing Wuluh
7. Spuit yang sudah dimodifikasi untuk sonde lambung tikus
8. Alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja
lilin)
9. Alat untuk pembuatan preparat histologi
10. Mikroskop cahaya media terang
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Ekstrak etanol Belimbing Wuluh
b. Akuades
c. Makanan hewan uji/ransum
d. Bahan untuk pembuatan preparat histologi dengan pengecatan HE
(Hematoksilin Eosin)
I. Cara Kerja
1. Persiapan Hewan Uji
Hewan uji diperoleh dari UPHP UGM Yogyakarta. Adaptasi
dilakukan pada hewan uji di lingkungan kandangnya selama 1 minggu.
Setiap satu ekor tikus ditempatkan dalam satu kandang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
2. Pembuatan ekstrak etanol Belimbing Wuluh.
Pembuatan ekstrak Belimbing Wuluh dengan metode maserasi.
Metode ini dipilih agar bahan aktif yang terkandung di dalamnya sedapat
mungkin tidak berubah dari material awal dan menjamin pemeliharaan
jangka panjang dari kandungan selama proses penyimpanan (Voigt, 1994).
Belimbing Wuluh di-blender bersama dengan etanol 96% kemudian
didiamkan selama 24 jam ditempat yang terlindung dari cahaya langsung
untuk mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna,
selanjutnya disaring. Filtrat yang didapat selanjutnya diuapkan dengan
vacuumrotary evaporator dan dikurangi tekanannya pada pemanas water
bath suhu 70 . Ekstrak kental yang diperoleh dari langkah awal tersebut
dituang ke dalam cawan porselen dan kemudian diuapkan lagi dengan
pemanas water bath sambil terus diaduk. Hasil dari langkah tersebut
didapatkan ekstrak etanol Belimbing Wuluh.
Ekstrak etanol Belimbing Wuluh ini diberikan peroral sekali
dalam sehari menggunakan spuit yang telah dimodifikasi sebagai sonde
lambung. Dalam penelitian ini digunakan tiga dosis ekstrak etanol
Belimbing Wuluh, yaitu 57 mg/2 ml/200 gram BB/hari, 114 mg/2 ml/200
gram BB tikus putih/hari , dan 228 mg/2 ml/200 gram BB tikus putih.
Ekstrak Belimbing Wuluh ini diberikan sekali sehari selama 14 hari.
3. Dosis Ekstrak Belimbing Wuluh
Berdasarkan penelitian Panghiyanggani dan Pramesti (2003)
tentang pengaruh pemberian ekstrak kasar jus buah belimbing wuluh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
(Averrhoa bilimbi Linn) terhadap motilitas dan viabilitas sprematozoa
pada tikus galur BALB C, dosis ekstrak etanol Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi Linn.) yang digunakan pada tikus adalah 20 gram dan
40 gram buah segar/kgBB. Setelah dilakukan ekstraksi metode maserasi
dengan pelarut etanol didapatkan 2 gram buah segar setara dengan 57 mg
ekstrak.
Berat tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200
gram, sehingga didapatkan 3 dosis ekstrak etanol Belimbing Wuluh :
a. Dosis I = 200/1000 x 10 g x 57/2 = 57 g/200 gram BB tikus
putih/hari
b. Dosis II = 200/1000 x 20 g x 57/2 = 114 g/200 gram BB tikus
putih/hari
c. Dosis III = 200/1000 x 40 g x 57/2 = 228 g/200 gram BB tikus
putih/hari
4. Cara pembuatan larutan uji
a. Dosis I ekstrak Belimbing Wuluh,57 mg/2 ml/200 gram BB tikus
putih/hari dibuat sebanyak 250 ml sehingga dibutuhkan ekstrak
etanol Belimbing Wuluh sebanyak 57 mg x 250/2 = 7.125
mg. Kemudian ekstrak etanol Belimbing Wuluh dilarutkan
dalam 250 ml air dengan suspending agent Carboxymethyl
cellulose (CMC) 1%.
b. Dosis II ekstrak Belimbing Wuluh, 114 mg/2 ml/200 gram BB
tikus putih/hari dibuat sebanyak 250 ml sehingga dibutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
ekstrak etanol Belimbing Wuluh sebanyak 114 mg x 250/2 =
14.250 mg. Kemudian ekstrak etanol Belimbing Wuluh
dilarutkan dalam 250 ml air dengan suspending agent
Carboxymethyl cellulose (CMC) 1%.
c. Dosis III ekstrak Belimbing Wuluh, 228 mg/2 ml/200 gram BB
tikus putih/hari dibuat sebanyak 250 ml sehingga dibutuhkan
ekstrak etanol Belimbing Wuluh sebanyak 228 mg x 250/2 =
28.500 mg. Kemudian ekstrak etanol Belimbing Wuluh
dilarutkan dalam 250 ml air dengan suspending agent
Carboxymethyl cellulose (CMC) 1%.
5. Pengelompokan Subjek
Tikus putih ditimbang dan dilakukan pengelompokan secara
random menjadi 4 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor
tikus putih :
a. KK : Kelompok kontrol diberi akuades sebanyak 2 ml/200
gram BB tikus putih/hari secara per oral
menggunakan sonde lambung selama 14 hari.
b. KP I : Kelompok perlakuan I diberi ekstrak Belimbing
Wuluh dosis 57 mg/2 ml/200 gram BB tikus
putih/hari selama 14 hari.
c. KP II : Kelompok perlakuan II diberi ekstrak Belimbing
Wuluh dosis 114 mg/2 ml/200 gram BB tikus
putih/hari selama 14 hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
d. KP III : Kelompok perlakuan III diberi ekstrak
Belimbing Wuluh dosis 228 mg/2 ml/200 gram
BB tikus putih/hari selama 14 hari.
6. Pengukuran hasil
Setelah keseluruhan perlakuan diberikan, maka pada hari ke-15,
hewan uji dikorbankan dengan cara neck dislocation. Dari satu tikus
diambil testis kanan dan kiri. Testis dimasukkan dalam larutan fiksatif
(larutan bouin). Kemudian testis diproses untuk pembuatan preparat
histologis dengan metode blok parafin dan pengecatan dengan
Hematoksilin Eosin (HE). Dari tiap testis dibuat irisan secara melintang
pada daerah pertengahan testis, sehingga dari tiap tikus diperoleh dua
irisan, masing-masing dari testis kanan dan kiri. Dengan demikian dari tiap
kelompok tikus diperoleh 12 irisan. Semua preparat (irisan) diamati
dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x untuk dihitung jumlah
sel spermatid tahap akhir dan spermatozoanya. Penghitungan tersebut
dilakukan dengan cara memilih lima lapang pandang dari tiap irisan.
Selanjutnya hasil penghitungan dari lima lapang pandang dijumlahkan
sehingga didapatkan satu angka untuk tiap irisan. Jadi, dari tiap irisan
akan diperoleh satu angka mengenai jumlah sel spermatid tahap akhir dan
spermatozoanya, dan dari tiap kelompok tikus terdapat 12 angka. Rerata
dari 12 angka ini kemudian dibandingkan menggunakan uji statistik One
way Anova.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan
uji statistik One way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata
jumlah sel spermatid tahap akhir dan spermatozoa antara kelompok kontrol,
kelompok perlakuan I, kelompok perlakuan II, dan kelompok perlakuan III.
Jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post
Hoc dengan derajat kemaknaan α = 0,05 untuk mengetahui letak perbedaan di
antara kelompok yang mana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian
Data hasil penelitian berupa data rasio yaitu jumlah sel spermatid yang
dihitung dari tiap irisan preparat hewan coba. Hewan coba terdiri dari 6 tikus
putih untuk tiap kelompok. Dari tiap tikus putih diambil testis kanan dan
kirinya. Dari tiap testis dibuat satu irisan melintang. Dari tiap irisan itu
dipilih lima lapang pandang dengan perbesaran 1000x pada mikroskop
cahaya untuk dihitung jumlah spermatid tahap akhir dan spermatozoanya.
Hasil penghitungan dari lima lapang pandang tersebut dijumlahkan sehingga
didapatkan satu angka dari tiap irisan testis tikus. Dengan demikian terdapat
12 angka untuk tiap kelompok. Kemudian dicari hasil rata-rata untuk tiap
kelompok hewan coba. Hasil perhitungan dari masing-masing kelompok
disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1 Jumlah Rata-Rata Sel Spermatid dan Spermatozoa Testis Kiri dan
Kanan dari Masing-Masing Kelompok
Perlakuan
Rata-rata sel spermatid dan
spermatozoa testis kiri dan
kanan
Standar
Deviasi
K (akuades) 2463 164,97
P1 (ekstrak dosis 1) 1965,50 68,48
P2 (ekstrak dosis 2) 1394,33 91,37
P3 (ekstrak dosis 3) 1074,33 94,19
Tabel 4.1 di atas memperlihatkan nilai rata-rata jumlah sel spermatid
tahap akhir dan spermatozoa untuk masing-masing kelompok perlakuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Kelompok K sebagai kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak belimbing
wuluh memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu 2463 ± 164,97. Pada
kelompok perlakuan yang diberi ekstrak belimbing wuluh terlihat bahwa
dengan semakin tinggi dosis yang diberikan (mulai dosis 1 sampai dosis 3)
maka jumlah rata-rata sel spermatosit tahap akhir dan spermatozoa semakin
rendah. Data dalam bentuk diagram dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Diagram Rata-Rata Sel Spermatid dan Spermatozoa dari
Masing-Masing Kelompok.
B. Analisis Data
1. Uji Oneway Anova
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik
dengan uji One-Way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata
jumlah spermatid tahap akhir dan spermatozoa tikus yang bermakna
antara keempat kelompok sekaligus. Uji One-Way Anova ini dapat
dilakukan jika data penelitian memenuhi ketiga syarat uji parametrik.
Kelompok Perlakuan
Rata-Rata Jumlah Spermatid
dan Spermatozoa
Rata
-Rata
Ju
mla
h
Sp
erm
ati
d d
an
Sp
erm
ato
zoa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Syarat pertama adalah skala pengukuran variabel termasuk skala
numerik. Terdapat dua macam variabel dalam penelitian ini. Pemberian
ekstrak belimbing wuluh yang merupakan variabel bebas menggunakan
skala ordinal (kategorik), sedangkan jumlah spermatid tahap akhir dan
spermatozoa tikus putih yang merupakan variabel terikat menggunakan
skala rasio (numerik). Dengan demikian, syarat skala numerik dalam
penelitian ini telah terpenuhi.
Sebaran atau distribusi data yang normal merupakan syarat uji
parametrik kedua. Uji normalitas data dilakukan dengan tes Saphiro Wilk
karena data yang berupa jumlah spermatid tahap akhir dan spermatozoa
tikus putih yang diukur sebagai sampel adalah 48 (kurang dari 50).
Kriteria ujinya adalah bila nilai signifikansi (p) lebih besar dari 0,05 maka
data terdistribusi secara normal. Sebaliknya, bila nilai p lebih kecil dari
0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Hasil analisis dapat
dilihat dalam Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Normalitas Distribusi Data Jumlah Spermatid Tahap Akhir
dan Spermatozoa Tikus Putih
Kelompok Nilai p
K 0,669
P1 0,111
P2 0,775
P3 0,769
(Data Primer, 2013).
Keempat nilai hasil tes Saphiro Wilk di atas lebih besar dari α
(0,05), sehingga menunjukkan bahwa sebaran data pada masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kelompok adalah normal, jadi syarat kedua terpenuhi. Hasil lengkap dari
tes Saphiro Wilk dapat dilihat di Lampiran 5.
Syarat terakhir adalah kesamaan varian data yang dapat diketahui
dengan uji Homogeneity of Variances. Suatu data dikatakan memiliki
kesamaan varian bila nilai p lebih besar dari nilai α (0,05). Dari uji ini
didapatkan nilai p sebesar 0,046. Karena p < α, maka varian data ini tidak
sama sehingga syarat ketiga uji parametrik belum dapat terpenuhi. Dari
sini perlu dilakukan transformasi data agar diperoleh varian data yang
sama. Sebelumnya perlu dicari bentuk transformasi data yang sesuai
dengan menilai slope dan power. Nilai slope dan power dapat dilihat pada
Lampiran 5. Nilai slope = 0,384 dan nilai power = 0,616; sehingga bentuk
transformasi yang digunakan adalah logaritma. Berikut adalah hasil rata-
rata data transformasi yang telah dilakukan:
Tabel 4.3 Rerata Transformasi Jumlah Spermatid Tahap akhir dan
Spermatozoa pada Masing-Masing Kelompok.
Kelompok Rata-rata Jumlah
K 35,02
P1 31,33
P2 26,35
P3 23,09
(Data Primer, 2012)
Setelah dilakukan transformasi data, dilakukan kembali uji
Homogeneity of Variances. Hasil uji Homogeneity of Variances dengan
data transformasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan uji ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
didapatkan nilai p sebesar 0,234 sehingga dapat dinyatakan bahwa varian
data antarkelompok sama.
Setelah ketiga syarat terpenuhi, selanjutnya data dianalisis dengan
uji One way Anova. Hasil uji One way Anova dapat dilihat pada lampiran
6. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Nilai p dari hasil
uji One way Anova adalah 0,000 (p < 0,05). Nilai p yang kurang dari 0,05
menunjukkan adanya perbedaan nilai rata-rata jumlah spermatid tahap
akhir dan spermatozoa yang bermakna.
Langkah selanjutnya adalah analisis untuk mengetahui letak
perbedaan terdapat di antara pasangan yang mana. Analisis dilakukan
dengan Post Hoc Multiple Comparisons menggunakan uji Least
Significantly Different (LSD). Ringkasan hasil uji LSD dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Uji LSD (α = 0,05)
Kelompok p Perbedaan
K – P1 0,000 Bermakna
K – P2 0,000 Bermakna
K – P3 0,000 Bermakna
P1 – P2 0,000 Bermakna
P1 – P3 0,000 Bermakna
P2 – P3 0,000 Bermakna
(Data Primer, 2012)
Nilai p yang lebih kecil dari 0,05 antara tiap pasangan kelompok
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata jumlah spermatid
tahap akhir dan spermatozoa yang bermakna pada pasangan antarkelompok
data tersebut. Hasil uji LSD secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian dengan memberikan ekstrak belimbing wuluh selama 14 hari
menunjukkan hasil jumlah rata-rata sel spermatid tahap akhir dan spermatozoa
kelompok kontrol (K) 2463 ± 164,97, kelompok perlakuan 1 (P1) 1965,5 ± 68,48,
kelompok perlakuan 2 (P2) 1394,33 ± 91,37, dan kelompok perlakuan 3 (P3)
1074,33 ± 94,19. Penurunan jumlah rata-rata sel spermatid tahap akhir dan
spermatozoa pada kelompok perlakuan 1 sebesar {(2463 – 1965,5)/2463} x 100%
= 20,199 % dibanding dengan kelompok kontrol. Penurunan jumlah rata-rata sel
spermatid tahap akhir dan spermatozoa pada kelompok perlakuan 2 sebesar
{(2463 – 1394,33)/2463} x 100 % = 43,39 % dibanding dengan kelompok
kontrol. Sedangkan penurunan jumlah rata-rata sel spermatid tahap akhir dan
spermatozoa pada kelompok perlakuan 3 dibanding dengan kelompok kontrol
adalah {(2463 – 1074,33) / 2463} x 100 % = 56,38 %.
Pada Uji One Way Anova diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang
menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jumlah sel spermatid tahap akhir dan
spermatozoa yang bermakna di antara keempat kelompok perlakuan. Hasil uji
Post Hoc menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada semua pasangan
kelompok yaitu (K) dengan (P1), (K) dengan (P2), (K) dengan (P3), (P1) dengan
(P2), (P1) dengan (P3), dan (P2) dengan (3). Pada kelompok kontrol (K) jumlah
spermatid tahap akhir dan spermatozoa paling banyak dan pada kelompok yang
diberi ekstrak belimbing wuluh jumlah spermatid tahap akhir dan spermatozoa
semakin menurun seiring dengan peningkatan dosis yang diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis kerja penelitian yang menyebutkan bahwa
ekstrak belimbing wuluh dapat meningkatkan jumlah spermatid dan spermatozoa
tikus putih. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya zat-zat lain yang
terdapat dalam belimbing wuluh, selain zat yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan seperti flavonoid dan vitamin C. Zat-zat lain tersebut antara lain
adalah saponin dan asam oksalat.
Zat pertama adalah saponin. Saponin termasuk golongan senyawa dari
triterpenoid dan terdapat sebagai glikosida. Saponin yang terdapat dalam
belimbing wuluh diduga merupakan jenis saponin asam yang memiliki struktur
mirip saponin netral yang merupakan turunan steroid (Friedli, 2003). Pada
penelitian ini digunakan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut metanol 70%
sehingga senyawa glikosida saponin tersebut tidak hilang dari ekstrak belimbing
wuluh tersebut. Senyawa glikosida saponin tersebut memiliki kemiripan struktur
kimia dengan testosteron (steroid) yang memungkinkan terjadinya kompetisi
pengikatan dengan protein pengikat androgen (Androgen Binding Protein)
(Nandari, 2006). Adanya kompetisi ini menyebabkan kadar testosteron yang
berikatan dengan protein pengikat androgen tidak maksimal sehingga terjadi
penurunan dalam proses spermatogenesis dan berakibat turunnya jumlah
spermatid yang dihasilkan (Ganiswarna et al, 1995).
Asam oksalat merupakan zat lain yang terdapat dalam belimbing wuluh
yang diduga mempengaruhi proses spermatogenesis. Asam oksalat diketahui
mempunyai kemampuan sebagai adstringensia yaitu mengerutkan jaringan dan
mengecilkan pori-pori. Pengerutan ini yang kemungkinan besar menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
atropi sel leydig (Tjai dan Rahardja, 2002). Kolesterol sebagai bahan dasar untuk
biosintesis testosteron disintesis di dalam sel leydig dan testosteron dibentuk oleh
sel leydig yang terletak pada jaringan interstisial antara tubulus seminiferus dan
membentuk sekitar 20% masa testis dewasa sehingga keadaan sel leydig yang
mengalami atropi akan menyebabkan penurunan produksi testosteron dan
berakibat menurunnya jumlah sel spermatid (Hidayah, 2005).
Selain faktor adanya kandungan zat aktif lain pada belimbing wuluh yang
memiliki efek menurunkan kadar testosteron, faktor lain yang menyebabkan
perbedaan hasil dengan hipotesis kerja kemungkinan adalah faktor umur hewan
coba. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Wistar dengan usia 8-10
minggu. Kemudian dilakukan adaptasi selama 1 minggu, dan diberi perlakuan
selama 2 minggu. Dengan demikian, pada saat pengambilan testis, usia tikus
adalah 11 – 13 minggu atau 77 – 91 hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Lee dan kawan-kawan (1975) menyatakan bahwa kadar testosteron pada tikus
putih berubah seiring dengan pertambahan umur.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Kad
ar
Tes
tost
eron
(ng/m
l)
Umur Tikus (hari)
Gambar 5.1 Grafik Profil Kadar Testosteron Tikus Putih (Lee et al., 1975).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Gambar 5.1 menunjukkan pada usia 0 – 5 hari hingga 31 – 40 hari, kadar
testosteron tikus mengalami fluktuasi. Kadar testosteron mengalami kenaikan
seiring pertambahan usia sejak umur 40 hari sehingga pada penelitian ini, hewan
coba yang digunakan kadar testosteronnya sudah tidak mengalami fluktuasi. Hal
ini meminimalkan terjadinya kesalahan pada penelitian yang dilakukan karena
apabila penelitian ini menggunakan hewan coba berumur kurang dari 40 hari
maka akan menyulitkan peneliti untuk mengetahui apakah perubahan jumlah
spermatid dan spermatozoa yang terjadi karena efek perlakuan atau karena efek
fluktuasi hormon testosteron tikus putih itu sendiri. Namun menurut Ducommun
(2007) menyebutkan bahwa usia matang tikus adalah 6 bulan (24 minggu)
sehingga penggunaan hewan coba pada penelitian ini yaitu 11 – 13 minggu, yang
belum memasuki usia matang menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitan Jannah (2013) tentang
Pengaruh Ekstrak Etanol Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn.) dengan
Variasi Dosis terhadap Kadar Testosteron Bebas Tikus Putih (Rattus
Norvegicus) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak belimbing
wuluh yang diberikan maka akan semakin rendah kadar testostron bebas tikus
putih. Namun hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Panghiyangani dan Pramesti (2003) tentang pengaruh pemberian
ekstrak kasar jus buah belimbing wuluh (Avherroa bilimbi L.) terhadap motilitas
dan viabilitas spermatozoa pada tikus galur BALB C. Pada penelitian tersebut,
belimbing wuluh meningkatkan motilitas dan viabilitas speramatozoa tikus putih.
Dosis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah 20 gram dan 40 gram buah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
segar belimbing wuluh, dan diberikan secara oral selama 10 hari. Sedangkan pada
penelitian ini dosis yang digunakan adalah 10 gram, 20 gram, dan 40 gram buah
segar yang kemudian diekstrak menjadi 57 mg, 114 mg, dan 228 mg, dan
diberikan selama 14 hari. Menurut Ganiswarna (1995) bahwa lamanya
penggunaan suatu obat berhubungan dengan kadar obat dalam darah dan
akumulasi dalam tubuh. Hal tersebut mungkin menyebabkan efek penghambatan
spermatogenesis sehingga penelitian menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan
hipotesis kerja.
Metode penelitian ini memiliki kelemahan yaitu tidak dilakukannya
pengukuran kadar zat aktif secara kuantitatif yang terkandung dalam belimbing
wuluh. Selain itu, tidak dilakukan fraksinasi ekstrak dan pemisahan komponen
dalam fraksi belimbing wuluh. Dengan demikian, penelitian ini belum bisa
memastikan zat aktif dalam belimbing wuluh yang paling berperan mempengaruhi
proses spermatogenesis. Selain itu terdapat kendala teknis dalam pembuatan
preparat, pewarnaan, dan pembacaan preparat yang dimungkinkan mempengaruhi
hasil penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah
1. Pemberian ekstrak belimbing wuluh tidak dapat meningkatkan jumlah
spermatid dan spermatozoa tikus putih (Uji One way Anova p = 0.000).
Pemberian ekstrak belimbing wuluh menurunkan jumlah spermatid dan
spermatozoa.
2. Semakin besar dosis ekstrak belimbing wuluh yang diberikan maka jumlah
sel spermatid dan spermatozoa tikus putih semakin menurun (Uji LSD p =
0.000).
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memisahkan komponen-
komponen zat aktif yang ada dalam belimbing wuluh sehingga
selanjutnya dapat diteliti khasiat masing-masing komponen tersebut.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih memastikan apakah
belimbing wuluh dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan atau
sebaliknya dapat digunakan sebagai alternatif kontrasepsi untuk menekan
kesuburan misalnya dengan meneliti pengaruh komponen-komponen zat
aktif yang ada dalam belimbing wuluh terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan spermatogenesis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengukuran kadar zat aktif
yang terkandung dalam belimbing wuluh secara kuantitatif.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode penghitungan
jumlah sperma yang terkandung dalam cairan semen untuk menguji
kebenaran dari penelitian ini.