pengaruh pemimpin lokal terhadap keberhasilan program
TRANSCRIPT
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pemimpin Lokal dalam Pembangunan
Kartodirdjo (1986) menyebutkan bahwa dalam setiap masyarakat secara
wajar timbullah dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang
memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin,
ialah orang kebanyakkan. Kartodirdjo juga menjelaskan bahwa akibat adanya
interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasional
akan menghasilkan pemimpin. Hal ini oleh Kartodidjo disebut sebagai teori
kepribadian dalam situasi. Lebih rinci lagi ialah bahwa kepemimpinan adalah
pertemuan antara pelbagai faktor : (1) Sifat dan golongannya, (2) Kepribadian dan
(3) Situasi atau Kejadian.
Terkait penjelasan tersebut Wiriadihardja (1987) menyebutkan bahwa
yang dimaksud sebagai pemimpin (Leader) adalah seorang yang dengan cara
apapun, mampu mempengaruhi pihak orang lain untuk berbuat sesuatu, sesuai
dengan kehendak orang itu sehingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Tidak
jauh berbeda, pemimpin juga didefinisikan sebagai pengaruh antar personal yang
dilaksanakan dalam suatu keadaan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan
khusus, melalui proses komunikasi (Tannebeum dalam Wiriadihardja, 1987).
Lebih tegas lagi Etzioni (1985) menjelaskan bahwa pemimpin dapat dibagi
menjadi dua yaitu formal dan informal. Etzioni menambahkan bahwa yang
dimaksud dengan pemimpin informal adalah seorang individu yang mampu
mengendalikan bawahan berdasarkan kekuatan pribadinya, sedangkan seorang
yang sekaligus memiliki kekuasaan posisional dan kekuatan pribadi disebut
pimpinan formal.
Berangkat dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
disebut dengan pemimpin adalah seseorang yang memiliki tujuan dan dapat
mempengaruhi orang lain. Selanjutnya yang dimaksud dengan pemimpin lokal
dalam penelitian ini adalah individu yang mempunyai tujuan atau maksud yang
7
ditunjukkan dalam bentuk tindakan yang mempengaruhi masyarakat sekitarnya.
Besarnya pengaruh dari tindakan tersebut dipengaruhi oleh modal yang dimiliki
oleh pemimpin lokal.
Peran pemimpin lokal dalam pembangunan salah satunya adalah dengan
melihat partisipasi pemimpin lokal tersebut dalam program pembangunan.
Mengaitkan dengan teori Cohen dan Uphoff (1979) yang membagi partisipasi ke
dalam beberapa tahapan kegiatan, tahapan tersebut yaitu sebagai berikut: (1)
Tahap pengambilan keputusan, diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat
dalam rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini adalah proses
perencanaan suatu kegiatan. (2) Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap
terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah
pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk
sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek. (3) Tahap
menikmati hasil, yang menjadi indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada
tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi
masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek
yang dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. (4) Tahap
evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap
sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan
proyek selanjutnya.
Merujuk pemaparan Cohen dan Uphoff di atas maka tahapan
pembangunan dapat dianalogikan dengan tahapan partisipasi dalam kegiatan,
terkait hal ini, penelitian ini melihat pengaruh pemimpin lokal dalam tiga tahapan
saja, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
2.1.2. Kepemilikan Modal dan Pengaruh Pemimpin Lokal
Menurut Bordieu dalam Pengantar Paling komprehensif kepada Pemikiran
Pierre Bourdieu (1990) modal memiliki definisi yang sangat luas dan mencakup
hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang
tak tersentuh, namun signifikan secara kultural, misalnya prestise, status, dan
8
otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang
didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi).
Selain itu, Bordieu juga menambahkan bahwa modal berperan sebagai sebuah
relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini
diperluas pada segala bentuk barang-baik materil maupun simbol, tanpa
perbedaan- yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak
untuk dicari dalam sebuah formasi tertentu.
Modal juga dipandang Bordieu sebagai basis dominansi (meskipun tidak
selalu diakui demikian oleh partisipan). Beragam jenis modal dapat ditukar
dengan jenis-jenis modal lainnya-yang artinya modal bersifat ’dapat ditukar’.
Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik,
sebab dalam bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai
sesuatu yang legitimit.
Bordieu juga menambahkan bahwa ranah dapat dipahami sebagai ranah
kekuatan dan perjuangan posisi dan otoritas legitimit, sementara logika yang
mengatur perjuangan-perjuangan ini adalah logika modal.
Terkait modal di atas, Casey (2008) membagi modal menjadi tujuh bagian
yaitu modal manusia, modal institusi, modal sosial, modal simbolik, modal
ekonomi, modal budaya, dan modal moral. Pembagian modal yang dilakukan
Casey sebenarnya merujuk dari empat pembagian modal yang dilakukan oleh
Bordieu. Penjelasan pembagian modal menurut Casey adalah :
1. Modal Manusia
Modal manusia merupakan kombinasi dari kemampuan dan
ketrampilan, pengalaman serta pendidikan. Modal manusia biasanya dilihat
dari dua hal yaitu pengalaman dan pendidikan. Pengalaman dibagi menjadi
dua yaitu pengalaman pemimpin dibidangnya dan pengalaman pemimpin
diluar dari bidang yang ditekuninya.
Analisis dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Iberamsjah, 1988;
Yanti, 2004; Patton, 2003; dan Ginting, 1999) terlihat bahwa elemen yang
paling sering ditemukan dalam modal manusia adalah pengalaman.
Pengalaman merupakan elemen yang paling banyak dimiliki oleh pemimpin
lokal yang memiliki modal manusia, hal ini dikarenakan pengalaman
9
merupakan elemen modal yang didapatkan dengan mengawinkan
implementasi dengan waktu. Dengan demikian, pengalaman merupakan
elemen modal yang dihasilkan bukan secara instan, oleh sebab itu secara
otomatis masyarakat akan lebih percaya pemimpin lokal yang memiliki
pengalaman yang mencukupi. Selain itu hal ini bukan berarti pendidikan dan
kemampuan tidak diperhitungkan dalam mengidentifikasi modal manusia
yang dimiliki oleh pemimpin lokal.
2. Modal Intitusi
Pada umumnya untuk melihat derajat modal institusi yang dimiliki
oleh aktor dapat dilihat dari tiga hal yaitu: dukungan institusi terhadap aktor,
ideologi institusi, dan pengaruh institusi kepada pemimpin lokal.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh (Sajogyo dan Sajogyo, 2002;
Iberamsjah, 1988; Patton, 2003; dan Ginting, 1999) terlihat bahwa dari tiga
elemen modal institusi yaitu dukungan institusi terhadap pemimpin lokal,
ideologi institusi, dan pengaruh intitusi, dukungan institusi adalah elemen
modal institusi yang paling sering dimiliki oleh para pemimpin lokal. Terlihat
dari kasus-kasus ini adalah dalam kehidupan masyarakat pedesaan cukup
hanya dengan dukungan dari institusi baik berupa pengakuan maupun
keterlibatan secara langsung ternyata mempengaruhi tingkat pengaruh aktif
terhadap masyarakat.
3. Modal Sosial
Modal Sosial biasanya dilihat dari tiga hal yaitu dukungan grup
kolektif, jaringan, dan reputasi. Dukungan grup kolektif biasanya diukur dari
angka statistik yang diterima oleh kandidat (jika dalam pemilihan umum),
dalam kasus ini adalah dukungan yang diberikan oleh masyarakat setempat.
Jaringan berasal dari kelompok sosial dimana sang kandidat turut terlibat, dan
reputasi adalah seberapa diketahuinya pemimpin lokal oleh masyarakat.
Umumnya jaringan lebih banyak dimiliki oleh pemimpin lokal
dibandingkan dukungan grup kolektif dan reputasi, walaupun bukan berarti
kedua hal tersebut sama sekali tidak dimiliki oleh pemimpin lokal. Hal ini
dikarenakan jaringan yang semakin luas membuat pemimpin lokal lebih
10
banyak memiliki informasi sehingga memudahkan pemimpin lokal dalam
mengakses banyak hal maupun mempengaruhi sesuatu keputusan karena
dianggap sebagai pihak yang lebih mengerti dibandingkan yang lain. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sajogyo dan Sajogyo,
2002; Iberamsjah, 1988; Patton, 2003; dan Ginting, 1999)
4. Modal Simbolik
Modal simbolik merupakan hasil dari praktek sosial. Bordieu
mengemukakan bahwa modal simbolik merupakan simbol yang
melegitimasi/membuktikan dominasi melalui strata sosial atau pembeda
terhadap orang lain, sehingga hal simbolik dapat memenuhi fungsi politik
(Swartz). Modal Simbolik dapat dilihat dari dua hal yaitu prestise yang
dibawa serta gelar. Modal Simbolik sangat bergantung pada masyarakatnya.
Pemaparan tersebut ditemukan dalam hasil penelitian yang dilakukan
oleh Iberamsjah (1988) yang menggambarkan bahawa pengakuan dari
masyarakat merupakan simbol dimana secara tidak langsung elit informal
agama memiliki prestise sendiri dan memiliki gelar sendiri yang mana apa
yang diputuskannya merupakan keputusan yang terbaik. Hal ini menunjukkan
bahwa elit informal agama memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
5. Modal Ekonomi
Modal ekonomi berasal dari produksi material dan petukaran atau
perdagangan, uang, atau materi yang dihasilkan seseorang, baik dagang dan
produksi sendiri. Secara umum yang ditonjolkan adalah seberapa kuat
dukungan finansial atau kekayaan yang dimiliki kandidat atau pemimpin
lokal.
Sebagai contoh adalah pada penelitian yang dilakukan Sajogyo dan
Sajogyo (2002), pada kasus masyarakat Desa Cibodas, tuan tanah besar
memiliki modal, mereka dapat memiliki kira-kira setengah dari tanah yang
terdapat didesa tersebut, dan hampir semua tanah yang dapat digolongkan
mempunyai kualitas kelas satu atau kelas dua (menurut peraturan sewa tanah
kepada petani) berada ditangan mereka sehingga mereka mempunyai sumber
modal terbesar dan mendapat kepercayaan dari para tengkulak uang.
11
Dikarenakan mereka memiliki sumber modal terbesar di desa tersebut,
mereka mendapat kepercayaan dari para tengkulak uang. Berkat laba yang
besar yang mereka tarik dari menanam kentang dan kubis untuk dipasarkan,
mereka sanggup mendirikan bungalow-bungalow baru di desa itu atau di
Bandung.
6. Modal Budaya
Modal budaya merupakan hasil dari praktek sosial dan pengembangan
sosial dari beberapa simbol dan arti yang termasuk kelas yang lebih tinggi
untuk melakukan kultur dominan mereka dalam siklus pengembangan kultur.
Merujuk pada hal tersebut hasil penelitian yang dilakukan oleh
Iberamsjah (1988) dan Patton (2003) terlihat bahwa tingkat pengaruh
pemimpin lokal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan atau budaya dari
lingkungan pemimpin lokal tersebut. Jika budaya telah terbentuk, maka
walaupun kemampuan pemimpin lokal tidak mencukupi, masyarakat akan
tetap mengikuti arahan dari pemimpin lokal tersebut. Hal ini terjadi
khususnya didaerah-daerah yang kelembagaan adat nya masih kental.
7. Modal Moral
Modal moral adalah dimana pemimpin informal memiliki tujuan yang
jelas dan bermanfaat untuk masyarakat. Pada umumnya modal moral dapat
dilihat dari opini publik tehadap pemimpin informal tersebut.
Hasil penelitian dari (Iberamsjah,1988; Yanti,2004; dan
Ginting,1999). Modal moral yang dimiliki oleh seorang pemimpin lokal dapat
dilihat dari opini publik tentang dirinya, semakin baik opini publik tentang
dirinya semakin tinggi modal moral yang dimiliki pemimpin lokal tersebut.
Hal ini yang akhirnya berujung pada semakin berpengaruhnya pemimpin
lokal terhadap masyarakat.
2.1.3. Tipologi Pemimpin Lokal
Meminjam pembagian modal menurut Casey (2008) maka peneliti
mencoba untuk mengkategorikan modal menjadi dua kategori besar yaitu internal
dan eksternal. Modal yang berasal dari dalam individu pemimpin lokal disebut
12
modal internal yang terdiri dari modal manusia, modal sosial, dan modal ekonomi.
Modal manusia digolongkan ke dalam modal internal dikarenakan indikator yang
berada dalam modal manusia merupakan indikator yang dapat dicapai dengan
usaha individu tersebut. Sama halnya dengan modal sosial, pada modal sosial
dapat dilihat bagaimana usaha pemimpin lokal untuk mendapatkan dukungan,
membuat jaringan, dan menciptakan reputasi yang baik. Sedangkan pada modal
ekonomi adalah dukungan keuangan yang dimiliki oleh individu pemimpin lokal.
Kemudian modal yang berasal dari luar individu pemimpin lokal atau dari
atribut sosial pemimpin lokal termasuk dalam modal eksternal yang terdiri dari
modal institusi, modal simbolik, modal budaya, dan modal moral. Modal institusi
termasuk dalam kategori modal eksternal dikarenakan institusi memberikan
dampak kepada pemimpin lokal atas keterlibatannya dalam institusi tersebut.
Begitu juga dengan modal simbolik, dimana prestise dan gelar diberikan kepada
individu oleh masyarakat atau institusi yang berwenang. Kemudian modal budaya
dan moral merupakan pendapat masyarakat tentang tindakan, aktivitas serta
kebijakan pemimpin lokal terkait dengan budaya dan kapabilitasnya.
Kedua kategori tersebut saling memberikan pengaruh satu sama lain yang
akhirnya mempengaruhi posisi atau keterlibatan pemimpin lokal itu sendiri dalam
masyarakat.
Berangkat dari pembagian tersebut, terbentuk dua belas tipologi pemimpin
lokal, yaitu pemimpin lokal yang memiliki modal manusia-institusi, manusia-
simbolik, manusia-budaya, manusia-moral, sosial-institusi, sosial-simbolik, sosial-
budaya, sosial-moral, ekonomi-institusi, ekonomi-simbolik, ekonomi-budaya, dan
ekonomi-moral. Terkait analisis hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sajogyo dan
Sajogyo, 2002; Iberamsjah, 1988; Fadhillah, 2007; Yanti, 2004; dan Ginting,
1999) ditemukan enam tipologi pemimpin lokal yaitu : (1). pemimpin lokal yang
memiliki modal manusia-institusi; (2). pemimpin lokal yang memiliki modal
manusia-budaya; (3). pemimpin lokal yang memiliki modal manusia-moral; (4).
pemimpin lokal yang memiliki modal sosial-simbolik; (5). pemimpin lokal yang
memiliki modal sosial-moral; dan (6). pemimpin lokal yang memiliki modal
ekonomi-simbolik. Pemimpin lokal yang memiliki modal manusia-institusi
memiliki legitimasi dan kemampuan yang baik dibidangnya. Hal ini merujuk pada
13
kasus kyai pesantren di Pekalongan yang oleh Fadhillah (2007) saat pemimpin
lokal tersebut mampu memobilisasi jama’ahnya untuk memilih seseorang
kandidat calon elit selain itu dalam musyawarah atau diskusi, pendapat pemimpin
lokal hampir tidak pernah mendapat sanggahan atau bantahan dari masyarakat.
Modal manusia-budaya merupakan modal yang dimiliki pemimpin lokal
yang pola kebiasaan masyarakatnya sejalan dengan kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki pemimpin lokal. Hal ini ditunjukkan dengan peran pemimpin lokal
yang menjadi tempat bertanya bagi masyarakat karena adanya anggapan bahwa
pemimpin lokal tersebut merupakan pihak yang patut diikuti (Iberamsjah, 1988
dalam Peranan Elit Informal Desa Dalam Proses Pembuatan Keputusan
Pembangunan Desa).
Selanjutnya pemimpin lokal yang memiliki modal manusia-moral adalah
pemimpin lokal yang memiliki kemampuan dan pendidikan yang baik serta opini
publik yang positif. Hal ini merujuk dalam kasus Hutan Adat Nagari Koto
Malintang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Provinsi Sumatra Utara
oleh Yanti (2004) disebutkan bahwa pemimpin lokal merupakan figure yang dapat
dipercaya, dihormati dan dapat membawa perubahan dalam kehidupan.
Berikutnya adalah pemimpin lokal yang memiliki modal sosial dan simbolik.
Pemimpin lokal yang memiliki modal ini adalah pemimpin informal yang
termasuk bangsawan desa dan mempunyai jaringan yang luas. Hal ini terlihat
dalam penelitian kasus Desa Cibodas yang dilakukan oleh Sajogyo dan Sajogyo
(2002).
Tipologi berikutnya adalah pemimpin lokal yang memiliki modal sosial-
moral yaitu pemimpin lokal yang kepemimpinannya kharismatik. Hal ini merujuk
pada penelitian kasus kyai pesantren di Pekalongan oleh Fadhillah (2007). Modal
ini menjelaskan adanya reputasi serta opini publik yang positif sehingga
pemimpin lokal tersebut memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Tipologi
terakhir yaitu pemimpin lokal yang memiliki modal ekonomi-simbolik adalah
pemimpin lokal yang merupakan bangsawan desa dan juga memiliki kekayaan
yang dapat mendukung pengaruhnya terhadap masyarakat. Hal ini mengaitkan
dengan pemaparan kasus Desa Cibodas yang dilakukan oleh Sajogyo dan Sajogyo
(2002). Pembagian tipologi ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
14
Tabel 1. Tipologi Pemimpin Lokal Berdasarkan Sintesis Analisis Casey dan Hasil
Studi di Indonesia
Modal
Eksternal
Modal
Institusi
Modal
Simbolik
Modal
Budaya
Modal
Moral
Internal
Modal
Manusia
Legitimasi
institusi dan
kemampuan
aktor
(Fadhilah
2007 dan
Iberamsjah
1988)
Pola,
kebiasaan
atau gaya
hidup
masyarakat
dan
kemampuan,
ketrampilan
serta
pendidikan
yang
dimiliki
aktor
(Iberamsjah
1998,
Ginting
1999, Yanti
2004)
Kemampuan
dan
pendidikan
aktor yang
disertai
dengan opini
publik yang
positif. (Yanti
2004)
Modal
Sosial
Bangsawan
desa dan
ikatan
personal/jarin
gan yang luas.
(Sajogyo dan
Sajogyo
2002)
Kemampuan
serta
kepemimpinan
Kyai yang
kharismatik
(Fadhilah,
Jurnal 2007)
Modal
Ekonomi
Bangsawan
desa dan
memiliki
setengah dari
tanah yang
ada di desa
(Sajogyo dan
Sajogyo
2002)
Sumber: Diambil dari Berbagai Sumber (Diolah)
15
2.1.4. Program Pembangunan
Terdapat cukup banyak definisi mengenai pembangunan, diantaranya
seperti yang di jelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Definisi Pembangunan
Tokoh Definisi Pembangunan
Inayatullah
(1967)
Perubahan menuju pola-pola masyarakat yang
memungkinkan masyarakat mempunyai kontrol yang besar
terhadap lingkungan, tujuan politik, dan memungkinkan
warganya memperoleh kontrol yang lebih terhadap diri
mereka sendiri.
Rogers dan
Shoemaker
(1971)
Perubahan sosial di mana ide baru diperkenalkan kepada
suatu sistem sosial untuk meningkatkan pendapatan
perkapita. Modernisasi pada tingkat sistem sosial.
Kleinjans (1975)
Pencapaian pengetahuan dan ketrampilan baru, kesadaran,
perluasan wawasan dan meningkatkan semangat serta
kepercayaan diri.
Rogers (1983) Perubahan sosial dengan patrisipatori yang luas
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut
dengan pembangunan adalah perubahan sosial pada masyarakat secara
partisipatif. Perubahan tersebut tidak hanya dilihat dari perubahan pendapatan
perkapita saja tetapi juga perubahan sistem sosial, kapasitas individu, serta kontrol
masyarakat terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.
Nasution (1998) dalam bukunya Komunikasi Pembangunan juga
menambahkan bahwa pembangunan memiliki tujuan umum, khusus, dan target.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Tujuan Umum (Goals) Pembangunan adalah proyeksi terjauh dari
harapan-hatapan dan ide-ide manusia, komponan-komponen dari yang
terbaik yang mungkin, atau masyarakat ideal terbaik yang dapat
dibayangkan.
2) Tujuan Khusus (Objectives) Pembangunan adalah tujuan jangka
pendek, biasanya yang dipilih sebagai tingkat pencapaian sasaran dari
suatu program tertentu. (Suld dan Tyson 1978 dalan Nasution 1998).
3) Target Pembagunan adalah tujuan-tujuan yang dirumuskan secara
konkret, dipertimbangkan rasional dan dapat direalisasikan sebatas
teknologi dan sumber-sumber yang tersedia, yang ditegakkan sebagai
16
aspirasi antara suatu situasi yang ada dengan tujuan akhir
pembangunan.
2.1.5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Mulai Tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM
Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah
khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan.
Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa
keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi
kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil
menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. (Anonim,2006)
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri
untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses
sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1)
peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem
pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal;
(4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi
masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi
yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga
miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan
partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Alur
tahapan PNPM Mandiri lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
17
Sumber: PTO PNPM Mandiri
Gambar 1: Alur Tahapan PNPM Mandiri Perdesaan
Alur PNPM Mandiri Perdesaan berawal dari orientasi lapang yang
dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah, kemudian pada tingkat
kecamatan dibentuk Musyawarah antar Desa (MAD) untuk sosialisasi program
serta ketentuan mengikuti PNPM Mandiri. Setelah itu dilanjutkan dengan
Musyawarah Desa (MUSDES) untuk mensosialisasikan program PNPM Mandiri
kepada warga desa. Tahap selanjutnya adalah tahap penggalian gagasan, pada
tahap ini dilakukan cukup banyak musyawarah di tingkat desa yang nantinya akan
dibawa pada MAD Prioritas Usulan pada tingkat kecamatan.
Setelah MAD Prioritas Usulan, usulan tersebut ditetapkan pada MAD
Penetapan Usulan yang selanjutnya diikuti dengan musyawarah desa untuk
mensosialisasikan usulan-usulan yang didanai. Setelah musyawarah desa tersebut,
baru dilakukan pencairan dana dan tahap pelaksanaan pun dimulai, setelah
pelaksanaan diadakan dua kali musyawarah desa pertanggung jawaban yaitu
musyawarah desa pertanggung jawaban 40 persen dan 80 persen yang kemudian
ditutup dengan Musyawarah Desa Serah Terima.
18
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, tahap ini dilakukan untuk
memberikan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan program PNPM
Mandiri selanjutnya.
2.2. Kerangka Pemikiran
Pembangunan pada umumnya dilakukan secara bertahap, mulai dari kota
besar sampai ke masyarakat pedesaan. Hal ini menjadi masalah ketika dalam
proses tersebut sering terjadi ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan.
Ketimpangan tersebut akhirnya dapat memicu masalah kependudukan dimana
terjadinya pergerakan penduduk dari desa ke kota dalam jumlah besar. Oleh sebab
itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi maka pada daerah-darerah tertentu
khususnya pedesaan perlu digulirkan program-program yang bertujuan untuk
membagun desa.
Program pembangunan yang digulirkan pemerintah ke pedesaan tentunya
akan melibatkan pemimpin lokal desa. Namun tidak semua pemimpin lokal akan
terlibat. Keterlibatan pemimpin lokal ditentukan oleh pengaruh pemimpin lokal
tersebut terhadap masyarakat.
Pengaruh pemimpin lokal terhadap masyarakat tidak terlepas dari modal
yang dimilikinya. Merujuk dari pembagian modal oleh Casey, penulis mencoba
mengkategorikan ketujuh modal tersebut menjadi dua kategori. Kategorisasi ini
didasarkan dari asal modal tersebut. Modal yang berasal dari dalam individu
pemimpin lokal disebut modal internal yang terdiri dari modal manusia, modal
sosial, dan modal ekonomi. Kemudian modal yang berasal dari luar individu
pemimpin lokal atau dari atribut sosial pemimpin lokal termasuk dalam modal
eksternal yang terdiri dari modal institusi, modal simbolik, modal budaya, dan
modal moral.
Kedua kategori modal ini saling mempengaruhi yang nantinya akan
menentukan sejauhmana pemimpin lokal dapat terlihat dalam implementasi
program. Pada penelitian ini akan dilihat keterlibatan pemimpin lokal dan
pengaruhnya dalam tiga tahapan program yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi program. Hal ini dapat lebih jelasnya terlihat pada Gambar 2.
19
: Index Pengaruh Pemimpin Lokal
: Regresi
: Saling mempengaruhi
: Mempengaruhi
Gambar 2. Kerangka Analisis Pengaruh Pemimpin Lokal terhadap Keberhasilan
Program Pembangunan.
Modal Internal 1. Modal manusia
Kemampuan
Pengalaman di bidangnya
Pengalaman diluar bidang
Tingkat pendidikan formal
2. Modal Sosial
Dukungan grup kolektif
Jaringan
Reputasi 3. Modal Ekonomi
Dukungan keuangan
Modal Eksternal 1. Modal Institusi
Dukungan institusi
Ideologi institusi
Pengaruh institusi 2. Modal Simbolik
Prestise
Gelar 3. Modal Budaya
Kesesuaian dengan budaya
4. Modal Moral
Opini positif publik
Tingkat Pengaruh
Pemimpin Lokal terhadap
keberhasilan Program
Pembangunan
Pengaruh Pemimpin Lokal
Perencanaan
Kehadiran
Konsep program
Pelaksanaan
Sumbangsih pemikiran
Sumbangsih Materi
Keterlibatan sebagai anggota proyek
Evaluasi
Kehadiran
Kritik dan saran
20
2.3. Hipotesis
Pemimpin lokal dalam pengaruh dan peranannya dibentuk oleh modal
yang dimiliki oleh pemimpin lokal tersebut. Oleh karena itu dilihat sejauh mana
hubungan dominansi modal internal dan eksternal dengan keterlibatan pemimpin
lokal dalam implementasi program tersebut. Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan, terdapat beberapa hipotesis, diantaranya adalah:
1. Pemimpin lokal yang memiliki modal dominan internal cenderung
lebih banyak terlibat dalam tahap perencanaan.
2. Pemimpin lokal yang memiliki modal internal dan eksternal yang
setara cenderung lebih banyak terlibat dalam pelaksanaan program.
3. Pemimpin lokal yang memiliki modal dominan eksternal cenderung
lebih banyak terlibat dalam evaluasi kegiatan.
2.4. Definisi Operasional
Penelitian ini memiliki tiga konsep utama yaitu pemimpin, modal, dan
tahapan program. Dari ketiga konsep tersebut, maka dirumuskan definisi
operasional yang bertujuan sebagai batasan dari indikator dalam penelitian ini.
Adapun definisi operasional tersebut yaitu:
a. Pemimpin
Seorang yang dengan cara apapun, mampu mempengaruhi pihak orang lain
untuk berbuat sesuatu, sesuai dengan kehendak orang itu sehingga tujuan
yang telah ditentukan tercapai.
a.1. Pemimpin Lokal
Seorang individu pada suatu wilayah yang mampu mempengaruhi pihak
lain untuk berbuat sesuatu, sesuai dengan kehendak orang itu sehingga
tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.
a.2. Pemimpin Informal
Seorang individu yang mampu mengendalikan bawahan berdasarkan
kekuatan pribadinya.
Elit Agama
Tuan Tanah
Tokoh Masyarakat
21
a.3. Pemimpin Formal
Seorang yang sekaligus memiliki kekuasaan posisional dan kekuatan
pribadi disebut pimpinan formal.
Kepala Desa
Ketua RW
Ketua RT
b. Modal
Sesuatu atau alat yang dimiliki oleh pemimpin lokal untuk mencapai tujuan
tertentu.
b.1. Modal Internal
Modal yang berasal dari diri pemimpin lokal tersebut
b.1.1. Modal Manusia
1) Kemampuan adalah sebaik apa pemimpin dapat menjalankan tugas
dan kewajibannya.
2) Pengalaman dibidangnya adalah kiprah pemimpin dalam bidang
yang digelutinya.
3) Pengalaman diluar bidang adalah kiprah pemimpin diluar
bidangnya.
4) Tingkat Pendidikan Formal adalah tingkat kelulusan pendidikan
formal terakhir pemimpin lokal.
b.1.2. Modal Sosial
1) Dukungan grup kolektif adalah dukungan masyarakat, kelompok,
individu kepada pemimpin lokal baik berbentuk sikap yang tidak
membantah dan mendukung kebijakan pemimpin lokal.
2) Jaringan adalah kekuatan dan keluasan jaringan yang dimiliki oleh
pemimpin lokal.
3) Reputasi adalah sejauh mana pemimpin lokal dikenal atau
familiar dimasyarakat.
b.1.3. Modal Ekonomi
1) Dukungan keuangan adalah daya dukung keuangan yang dimiliki
pemimpin lokal dalam membiayai segala aktivitasnya.
22
b.2. Modal Eksternal
Modal yang berasal dari luar diri pemimpin lokal tersebut
b.2.1. Modal Institusi
1) Dukungan Institusi adalah dukungan yang diberikan institusi
kepada pemimpin dalam menjalankan kebijakan-kebijakan
pemimpin lokal tersebut.
2) Ideologi Institusi adalah kesesuian pemimpin lokal dalam
menjalankan kebijakan-kebijakannya dengan ideologi dari
institusi tersebut.
3) Pengaruh Institusi adalah sejauhmana institusi memberikan
pengaruh positif kepada pemimpin lokal, baik dalam hal
pengaruhnya kepada masyarakat maupun dalam pelaksanaan
kebijakan.
b.2.2. Modal Simbolik
1) Prestise adalah wibawa atau kehormatan yang dimiliki oleh
pemimpin lokal dalam mempengaruhi masyarakat.
2) Gelar adalah latar belakang pendidikan dilihat dari dimana/tempat
pemimpin lokal tersebut menuntut ilmu.
b.2.3. Modal Budaya
1) Kesesuaian dengan budaya adalah kesesuaian segala tingkah laku,
kebijakan, dan aktivitas pemimpin lokal merupakan representasi
dari budayanya (sesuai dengan budaya setempat).
b.2.4. Modal Moral
1) Opini positif publik adalah bagaimana tanggapan atau pandangan
masyarakat tentang pemimpin lokal.
c. Tahapan Program
c.1. Tahap Perencanaan
1. Kehadiran adalah keikutsertaan pemimpin lokal dalam rapat atau
musyawarah yang diadakan saat perencanaan program.
2. Konsep program adalah keterlibatan pemimpin lokal dalam
menentukan konsep program yang akan dilaksanakan.
23
c.2. Tahap Pelaksanaan
1. Keterlibatan sebagai anggota proyek adalah keterlibatan secara aktif
pemimpin lokal dalam hal-hal teknis dilapangan.
2. Sumbangsih pemikiran adalah keterlibatan pemimpin lokal dalam
menyumbangkan pemikirannya dalam mengambil kebijakan saat
pelaksanaan program.
3. Sumbangsih materi adalah kemampuan pemimpin lokal dalam
mendukung pelaksanaan program dengan materi (uang) yang
dimilikinya.
c.3. Tahap Evaluasi
1. Kehadiran adalah keikutsertaan pemimpin lokal dalam rapat atau
musyawarah yang diadakan saat program berakhir.
2. Kritik dan Saran adalah keterlibatan pemimpin lokal dalam
menyumbangkan kritik, saran, atau argumen terhadap program yang
telah dilaksanakan.