pengaruh penambahan ion fe3+ dan mg terhadap …
TRANSCRIPT
Skripsi
PENGARUH PENAMBAHAN ION Fe3+
DAN Mg2+
TERHADAP KANDUNGAN LIPID FITOPLANKTON Chlorella vulgaris
SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN
METODE ULTRASONIK
ALFANI MARING DATU
H 311 09 290
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
PENGARUH PENAMBAHAN ION Fe3+
DAN Mg2+
TERHADAP KANDUNGAN LIPID FITOPLANKTON Chlorella vulgaris
SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN
METODE ULTRASONIK
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana sains
Oleh :
ALFANI MARING DATU
H 311 09 290
MAKASSAR
2013
iii
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN ION Fe3+
DAN Mg2+
TERHADAP KANDUNGAN LIPID FITOPLANKTON Chlorella vulgaris
SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN
METODE ULTRASONIK
Disusun dan diajukan oleh
ALFANI MARING DATU
H 311 09 290
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh :
Pembimbing Utama Pembimbing Pertama
Dr. Indah Raya, MS Dr. Muhammad Zakir, M.Si
NIP. 19641125 199002 2 001 NIP. 19701103 199903 1 001
iv
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena
dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan
menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
(Mat. 5:44-45)
Kupersembahakan karya kecil ini kepada ayah dan ibu tercinta, saudara-
saudaraku, serta semua yang kukasihi
v
PRAKATA
Puji dan Syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala berkat dan perlindunganNya sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul “Pengaruh penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
terhadap Kandungan Lipid Fitoplankton Chlorella vulgaris sebagai
Bahan Baku Pembuatan Biodiesel dengan Metode Ultrasonik” disusun untuk
melengkapi persyaratan meraih gelar Sarjana Sains pada Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut mendukung proses penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada
kedua orang tuaku terkasih ayah Fransiskus Danga’ dan ibu Alfrida Arung Allo
yang tiada hentinya melimpahkan cinta, kasih sayang, doa, serta bimbingan yang
mampu membuat saya untuk terus bertahan dan berjuang hingga saat ini. Tak lupa
pula buat adik-adikku Julio Danga’ T.A., Cornelius Gideon D., dan Glori
Debora P., terimakasih atas dukungan doa dan kebersamaan yang telah kalian
berikan.
Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada ibu
Dr. Indah Raya, M.Si selaku pembimbing utama dan bapak Dr. Muhammad
Zakir, M.Si selaku pembimbing pertama dalam penelitian ini, terimakasih atas
kesabaran bapak dan ibu dalam membimbing penulis selama ini. Mohon maaf jika
ada tingkah laku penulis yang tidak berkenan di hati bapak dan ibu, semoga
Tuhan selalu menyertai bapak dan ibu.
vi
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Firdaus Zenta, Drs. Musa Ramang, M.Si, dan Prof. Dr. Ahyar
Ahmad, M.Si selaku penguji, terimakasih atas kritik dan saran yang sangat
bermanfaat dalam penulisan skripsi ini, semoga Tuhan selalu menyertai
dalam setiap tugas bapak.
2. Bapak Dr. Firdaus Zenta, MS dan Ibu Dr. Seniwati Dali, M.Si selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Kimia beserta semua dosen Jurusan Kimia,
terimakasih atas ilmu yang tiada hentinya dibagikan oleh bapak dan ibu dosen
selama perkuliahan dan juga kepada seluruh staf Jurusan Kimia dan Fakultas
MIPA Universitas Hasanuddin, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
3. Ibu Dra. Rugaiyah Arfah, M.Si sebagai dosen PA mulai dari semester awal,
terimakasih atas bimbingannya.
4. Para analis laboratorium: Kak Linda, Kak Fiby, Kak Anti, Pak Ikbal, Pak
Sugeng dan Ibu Tini, terimakasih atas bantuan yang telah diberikan selama
ini.
5. Raymond Kwangdinata sebagai teman untuk bertukar pikiran dalam
penelitian ini, terimakasih atas kebersamaan, bantuan, serta kerjasamanya
selama ini.
6. Buat kak Erna, kak Arti, kak Yusi, kak Bulkis, kak Imran, dan kak Ucup,
terimakasih kebersamaan serta bantuan baik itu lewat pikiran, tenaga dan
waktu yang diberikan selama penelitian ini.
7. Teman-teman serumah Riska, Igun, Lin, Hasni, Uppi, Marlin, Desi, Intan dan
semuanya tanpa terkecuali, terimakasih atas kebersamaannya.
vii
8. Teman-teman KKN desa Lebang: Mita, Inri, Allu, Anca, Sonda, Chandra,
dan Fitri, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan.
9. Saudara-saudaraku 309: Yuji, Isran, Martin, Raymond, Akbar, Ikbal, Ika,
Ayu, Ekky, Lia, Sulfit, Sherly, Upi, Anggi, Indah, Isna, Ammi, Ahdan, Nuri,
Iting, Vani, Ima, Neneng, Grace, Uti, Esty, Ayis, Ayus, Noviar, Maria, Cita,
Selfi, Nurul, Lili, Gita, July, Erni, Adol,Omel, Wiu, Nur, Mila, dan Pute,
terimakasih atas dukungan, semangat, dan kebersamaan yang telah terjalin
selama ini. Semoga tali persaudaraan kita tetap terjalin dengan baik.
10. Saudara-saudaraku di GMKI Kom.FMIPA UNHAS, terimakasih atas doa,
kebersamaan, serta dukungannya selama ini.
11. Kakak-kakak kimia angkatan 2005, 2006, 2007, dan 2008, serta adik-adik
kimia angkatan 2010, 2011, dan 2012, terimakasih atas segala bantuannya.
12. Seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak sempat
disebutkan satu per satu.
Penulis sadar akan kekurangan dalam skripsi ini baik dari segi materi dan
teknik penulisannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan dalam penulisan selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
dalam ilmu kimia khususnya dapat dijadikan referensi untuk teknik pembuatan
biodiesel yang diharapkan dapat menjadi solusi teradap kelangkaan energi.
Penulis
2013
viii
ABSTRAK
Penelitian mengenai pengaruh penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
terhadap
kandungan lipid fitoplankton Chlorella vulgaris sebagai bahan baku pembuatan
biodiesel dengan metode ultrasonik telah dilakukan. Lipid Chlorella vulgaris
diekstraksi dengan ultrasonik menggunakan pelarut etanol 96%. Sintesis
biodiesel dilakukan melaui dua tahap yaitu tahap esterifikasi dengan
menggunakan metanol dan katalis H2SO4 dan selanjutnya yaitu tahap
transestrifikasi dengan menggunakan katalis KOH. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konsentrasi optimum ion Fe3+
yang dapat meningkatkan pertumbuhan
fitoplankton Chlorella vulgaris yaitu 0,3 ppm dan konsentrasi optimum ion Mg2+
adalah 0,4 ppm. Jumlah biodiesel Fitoplankton Chlorella vulgaris dari kultur
yang ditambahkan ion Fe3+
adalah 9,2932 gram dan biodiesel dari kultur yang
ditambahkan ion Mg2+
adalah 11,5727 gram. Berat rendamen sampel biodiesel
dari kultur Fe3+
adalah 35,20 % dan berat rendamen sampel biodiesel dari kultur
Mg2+
adalah 35,29 %. Biodiesel yang dihasilkan dianalisis sifat fisik dan kimia
yang meliputi densitas, viskositas, asam lemak bebas, angka penyabunan dan
bilangan iod. Hasil analisis menunjukkan bahwa biodiesel yang dihasilkan telah
memenuhi syarat American Society for Testing and Materials (ASTM D6751),
kecuali nilai densitas dan kadar asam lemak bebas.
Kata Kunci: Chlorella vulgaris, Fe3+
, Mg2+
, Ultrasonik.
ix
ABSTRACT
Research on the influence of Fe3+
and Mg2+
ion for lipid content from
phytoplankton Chlorella vulgaris as raw materials for biodiesel by ultrasonic
method had been done. The microalgae lipid was extracted by ultrasonic method
with etanol 96% as solvent. Biodiesel were synthesized by using two steps. The
first is esterification with metanol solvent and H2SO4 as catalyst and the second
one is transesterification with KOH as catalyst. The result showed that optimum
concentration of Fe3+
ion that can increase the growth of phytoplankton was
0,3 ppm and optimum concentration of Mg2+
ion was 0,4 ppm. Quantity of
biodiesel production from culture added with Fe2+
ion was 9,2932 gram and from
culture added with Mg2+
ion was 11,5727 gram. Biodiesel yield from Fe3+
culture
was 35,20 % and from Mg2+
culture was 35,29 %. The results of biodiesel were
characterised in term of physical and chemical characteristic including: density,
viscosity, free fatty acid, saponification value, and iodine value, respectively.
Result of the analysis showed that biodiesel characteristic have standard fullfilled
the American Society for Testing and Materials (ASTM D6751), except value of
density and Free Fatty Acid.
Key Words: Chlorella vulgaris, Fe3+
, Mg2+
, Ultrasonic.
x
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ............................................................................................... v
ABSTRAK................................................................................................ viii
ABSTRACT............................................................................................. ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………....... x
DAFTAR TABEL……………………………………………………....... xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………...... xv
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN……………………………....... xvi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...... 1
1.1 Latar Belakang………………………………………........ 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………...... 5
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………………………....... 5
1.3.1 Maksud Penelitian……………………………………...... 5
1.3.2 Tujuan Penelitian……………………………………....... 6
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………..... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………...... 7
2.1 Tinjauan Tentang Fitoplankton ……...............………..... 7
2.1.1 Tinjauan Chlorella vulgaris ........………..………….. 11
2.2 Tinjauan Tentang Biodiesel .……………………............ 12
2.3 Tinjauan Biodiesel dari Fitoplankton ............................... 17
2.4 Tinjauan Tentang Nutrisi Logam ..................................... 18
2.4.1 Tinjauan Tentang Nutrisi Logam Fe ……..……………... 19
2.4.2 Tinjauan Tentang Logam Mg ………………………….... 21
xi
2.5 Tinjauan Tentang Ultrasonik ............................................. 22
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………....... 24
3.1 Bahan Penelitian………………………………………....... 24
3.2 Alat Penelitian…………………………………….............. 24
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian…………………………...... 25
3.4 Prosedur Penelitian....………………………………..….... 25
3.4.1 Pembuatan Larutan Baku..................................................... 25
3.4.2 Pembuatan Medium Conway............................................... 25
3.4.3 Mengkultur Fitoplankton Laut Chlorella vulgaris...............
26
3.4.4 Menentukan waktu pertumbuhan dan MTC
fitoplankton laut Chlorella vulgaris terhadap ion Fe3+
dan Mg2+
. ......................................…..…….... 26
3.4.5 Menentukan Laju Pertumbuhan Spesifik (µ)
fitoplankton laut Chlorella vulgaris ......…..................... 27
3.4.6 Isolasi Lipid Fitoplankton Laut Chlorella vulgaris .... 27
3.4.7 Sintesis Biodiesel Melalui Metode Ultrasonik................. 28
3.4.8 Pembuatan Pereaksi ....................................................... 28
3.4.8.1 Pembuatan Larutan KOH 0,5 N alkoholik ................. 28
3.4.8.2 Pembuatan Larutan KOH 0,1 N ................................ 28
3.4.8.3 Pembuatan Larutan HCl 0,5 N .................................. 29
3.4.8.4 Pembuatan Larutan Na2S2O3.5H2O 0,1 N ................. 29
3.4.8.5 Pembuatan Alkohol Netral 95 % (v/v) ..................... 29
3.4.8.6 Standarisasi Larutan KOH 0,1 N dengan
Asam Oksalat .......................................................... 29
3.4.8.7 Standarisasi Larutan HCl 0,5 N dengan
Bahan Baku Boraks (Na2B4O7.10H2O) .................... 29
xii
3.4.8.8 Standarisasi Larutan Na2S2O3.5H2O dengan
Bahan Baku KIO3 ..................................................... 30
3.4.9 Analisis Sifak Fisik Metil Ester (Biodiesel).................. 30
3.4.9.1 Analisis Densitas Biodiesel.......................................... 30
3.4.9.2 Analisis Viskositas Biodiesel....................................... 31
3.4.10 Analisis Sifak Kimia Metil Ester (Biodiesel) dan Lipid 31
3.4.10.1 Analisis Kadar Air untuk Lipid................................... 31
3.4.10.2 Analisis Angka Penyabunan untuk Biodiesel............. 32
3.4.10.1 Analisis Asam Lemak Bebas untuk Lipid
dan Biodiesel............................................................... 32
3.4.10.2 Analisis Bilangan Iodium........................................... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................ 34
4.1 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris…. 34
4.1.1 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan Penambahan Ion Fe3+
………………………… 34
4.5.1 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan Penambahan Ion Mg2+
………………………. 36
4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella
vulgaris dengan Penambahan Ion Fe3+
dan Mg2+
……. 39
4.2.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella
vulgaris dengan Penambahan Ion Fe3+
.......................... 39
4.2.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella
vulgaris dengan Penambahan Ion Mg2+
........................... 40
4.3 Biomassa Kering Kultur Fitoplankton Chlorella vulgaris 41
4.4 Produksi Lipid dari Biomassa Kering Fitoplankton
Chlorella vulgaris …………………………………….. 43
4.5 Analisi Sifat Kimia Lipid …………………………….. 45
4.5.1 Analisis Kadar Air ……………………………………. 45
xiii
4.5.2 Analisis Asam Lemak Bebas …………………………. 46
4.6 Sintesis Biodiesel Menggunakan Ultrasonik………… 46
4.7 Uji Sifat Fisik Biodiesel dari Lipid Chlorella vulgaris 50
4.7.1 Hasil Analisis Densitas Biodeiesel.............................. 50
4.7.2 Hasil Analisis Viskositas Biodiesel............................. 52
4.8 Uji Sifat Kimia Biodiesel …………………………... 53
4.8.1 Analisis Asam Lemak Bebas........................................ 53
4.8.2 Analisis Bilangan Penyabunan .................................... 54
4.8.3 Analisis Bilangan Iodium ............................................ 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 57
5.1 Kesimpulan ..................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 59
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Standar Biodiesel Menurut ASTM D6751…………...……….......... 16
2. Jumlah Pelarut dan Katalis pada Reaksi Esterifikasi…………….….. 47
3. Jumlah Pelarut dan Katalis pada Reaksi Transesterifikasi ….………. 48
4. Jumlah Biodiesel yang diperoleh …………………………..……….. 49
5. Berat Rendamen ……………………………………………….……... 49
6. Produktivitas Biodiesel yang dihasilkan dari Kultur Fe3+
….................. 49
7. Produktivitas Biodiesel yang dihasilkan dari Kultur Mg2+
…................. 50
8. Hasil Analisis Densitas Biodiesel …………………………………..... 51
9. Hasil Analisis Viskositas ……………………………………………… 53
10. Hasil Analisis Asam Lemak Bebas…………………………….……… 53
11. Hasil Analisis Bilangan Penyabunan………………………………….. 55
12. Hasil Analisis Bilangan Iodium ………………………………………. 56
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bentuk Sel Chlorella vulgaris ........ …....................………........... 12
2. Reaksi Transesterifikasi...................................……………............. 15
3. Proses produksi biodiesel dan bioetanol dari mikroalga ……….. 18
4. Reaksi Terang Fotosintesis ……………………………………… 19
5. Reaksi-Reaksi yang Terlibat dalam Pembentukan Trigliserisa (a) 20
6. Reaksi-Reaksi yang Terlibat dalam Pembentukan Trigliserisa (b) 20
7. Reaksi Lengkap Sintesis klorofil ......................................................... 21
8. Struktur klorofil………………....... …………..………………….... 22
9. Alat Ultrasonik ……………………………………………………... 23
10. Grafik Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan penambaha ion Fe3+
...................................................... 34
11. Grafik Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan penambaha ion Mg2+
……………………………………… 36
12. Laju Pertumbuhan Spesifik Fitoplankton Chlorella vulgaris
dalam Kultur yang ditambahkan ion Fe3+
....................................... 39
13. Laju Pertumbuhan Spesifik Fitoplankton Chlorella vulgaris
dalam Kultur yang ditambahkan ion Mg2+
.................................... 40
14. Biomassa Kering Kultur dengan Penambahan Ion Fe3+
…………. 42
15. Biomassa Kering Kultur dengan Penambahan Ion Mg2+
................ 42 16. Lipid yang diperoleh dari Kultur yang ditambahkan Ion Fe
3+ ........ 44
17. Lipid yang diperoleh dari Kultur yang ditambahkan Ion Mg
2+ ....... 44
18. Reaksi Esterifikasi Asam Lemak Bebas dengan Menggunakan
Katalis Asam Menjadi Metil Ester ………………………………. 47
19. Reaksi Transesterifikasi dengan Menggunakan Katalis Basa
Menjadi Metil Ester……………………………………………….. 48
xvi
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN
MTC = Maksimum Tolerance Concentration
µm = mikrometer
gr/cm3 = gram per centimeter kubik
g/mol = gram per mol
oC = derajat Celsius
K = derajat Kelvin
g = gram
mg/L = milligram per liter
FFA = Free Fatty Acid
cSt = centi Stokes
mm2/s = milimeter kuadrat per sekon
mL = milliliter
sel/mL = sel per milliliter
mg/g = milligram per gram
L = liter
t = waktu
cm-1
= centimeter pangkat mines satu
% = persen
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan pembangunan tingkat kebutuhan terhadap
sumber energi terus meningkat, sedangkan sumber energi yang kita gunakan saat
ini sebagian besar merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui.
Dewasa ini sumber energi fosil semakin berkurang yang menyebabkan terjadinya
kelangkaan, khususnya pada sumber energi bahan bakar. Disamping itu bahan
bakar yang merupakan bahan bakar fosil lambat laun dapat memberi dampak
buruk bagi kelangsungan hidup di planet ini yaitu telah mengakibatkan kerusakan
pada lapisan ozon. Kelangkaan bahan bakar dunia telah menimbulkan keresahan.
Berbagai macam upaya dilakukan agar masalah ini dapat teratasi. Ilmuan-ilmuan
dunia terus bekerja menghasilkan berbagai inovasi baru yang dianggap lebih
efisien. Salah satu inovasi yang sedang dikembangkan saat ini yaitu mengenai
sumber daya yang terbarukan khususnya bahan bakar yang dapat dihasilkan dari
bahan bakar nabati yang sumbernya dari tumbuhan (Budiastuti, 2009; Triana,
2008).
Bumi sebagian besar terdiri dari lingkungan perairan yang kaya akan
potensi sumber daya terbarukan, khususnya pada wilayah perairan Indonesia.
Indonesia sangat berpeluang menjadi penghasil bahan bakar nabati mengingat
kekayaan alam Indonesia yang sangat besar terutama kekayaan lingkungan
perairannya, diantaranya fitoplankton. Fitoplankton atau mikroalga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber alternatif penghasil biodiesel, karena selain
xviii
mengandung protein, karbohidrat dan vitamin, juga mengandung lipid.
Kandungan lipid yang terdapat dalam fitoplankton inilah yang akan dikonversi
menjadi biodiesel. Keuntungan lain dari fitoplankton adalah tingkat pertumbuhan
yang cepat dan produktivitas yang tinggi. Fitoplankton atau mikroalga ini dapat
menghasilkan biomassa 50 kali lebih besar dibandingkan tumbuhan yang lebih
tinggi lainnya (Li dkk., 2008). Diperkirakan mikroalga mampu menghasilkan
minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan penghasil
minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya (Rachmania dkk,
2010), selain itu persaingan lahan dengan tanaman lainnya relatif tidak terjadi
karena berbagai jenis mikroalga dapat hidup pada berbagai jenis lingkungan
bahkan di daerah yang terbatas tanahnya (Mata dkk., 2010). Mikroalga dapat
hidup hampir di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air dan CO2
(Rachmania dkk, 2010).
Penelitian mengenai potensi mikroalga telah banyak dilakukan, namun
penelitian terhadap potensi Chlorella vulgaris sebagai bahan baku penghasil
biodiesel masih sangat kurang, terutama mengenai penambahan nutrisi logam
yang dapat menunjang peningkatan hasil produksi biodiesel.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa Chlorella vulgaris memiliki
kandungan lipid sekitar 40 %. Kondisi yang baik seperti kondisi dimana terdapat
cukup cahaya, nutrisi, serta suhu untuk pertumbuhan, Chlorella vulgaris dapat
menghasilkan lipid hingga 55 % berat kering (Mata dkk., 2010).
Mikroalga merupakan mikroorganisme yang pada dasarnya hidup di
lingkungan perairan, sehingga diperlukan pertimbangan terhadap teknik budidaya
xix
tertentu, panen, serta pengolahannya dalam rangka efisiensi produksi biodiesel
(Mata dkk., 2009).
Produksi biodiesel dari mikroalga, mirip dengan proses dan teknologi yang
digunakan untuk bahan baku biofuel lainnya termasuk unit produksi di mana sel-
sel tumbuh, diikuti oleh pemisahan sel-sel dari media tanam dan selanjutnya
ekstraksi lipid, kemudian produksi biodiesel atau biofuel (Mata dkk., 2010).
Menurut Rober dkk., 1990; Zhu dkk., 2000; dan Liu dkk., 2005 dalam
Minggang dkk., 2008 bahwa pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh cahaya,
suhu, nutrisi (terutama N, P) dan beberapa elemen. Selain karbon, nitrogen, dan
fosfor, kebutuhan akan unsur untuk spesies tertentu menjadi syarat
pertumbuhannya. Marschner (1995) dalam EL-Mewally dkk. (2010) menyatakan
bahwa nutrisi memainkan peranan yang sangat penting dalam proses kimia,
biokimia, fisiologis, metabolisme, geokimia, biogeokimia, dan juga proses
enzimatik. Defisiensi nutrien pada mikroalga mengakibatkan penurunan
kandungan protein, pigmen fotosintesis, serta kandungan produk karbohidrat dan
lemak (Healey, 1973).
Zat besi (Fe) merupakan salah satu unsur yang paling penting yang
dibutuhkan oleh mikroalga karena berperan dalam asimilasi nitrat dan nitrit,
deoksidasi sulfat, fiksasi nitrogen, sintesis klorofil, sintesis biologis lainnya serta
reaksi degradasi. Menurut Liu dkk. (2008) bahwa peningkatan kelat Fe3+
berhasil
merangsang produksi minyak mikroalga yang secara tidak langsung berpengaruh
pada produktivitas biodieselnya.
Marschner (1995) dalam EL-Mewally dkk. (2010) menyatakan bahwa
magnesium memiliki peranan fisiologis dan molekul utama dalam tanaman,
seperti menjadi komponen pada molekul klorofil, sebagai kofaktor pada berbagai
xx
proses enzimatik yang terkait dengan fosforilasi, defosforilasi, dan hidrolisis pada
berbagai senyawa, serta sebagai penstabil struktur berbagai nukleotida.
Sedikitnya 15- 30% dari total magnesium dalam tanaman bergabung dengan
molekul klorofil.
Kation logam magnesium (Mg2+
) merupakan inti dari molekul klorofil
yang mutlak diperlukan oleh mikroalga untuk meningkatkan produksi klorofil,
tetapi dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap pertumbuhan mikroalga
pada kondisi media defisiensi atau surplus Mg2+
, sehingga diperlukan konsentrasi
yang tepat (Astuti, 2011).
Logam Mg dan Fe merupakan bagian utama dari klorofil, sehingga kedua
logam ini sangat berpengaruh pada proses fotosintesis tanaman termasuk
mikroalga. Proses fotosintesis ini menghasilkan energi dalam bentuk NADPH
dan ATP yang diperlukan dalam reaksi pembentukan asam lemak (Rosita, 2003).
Produktivitas lemak pada tumbuhan ini berpengaruh pada hasil sintesis biodiesel
dari lemak tersebut.
Aplikasi gelombang ultrasonik akan meningkatkan laju reaksi kimia dan
menurunkan energi spesifik pengolahan biodiesel, dimana gelombang ultrasonik
menimbulkan gelombang kejut dari kavitasi yang menghasilkan tumbukan
interpartikel yang berkecepatan tinggi. Gelombang ultrasonik menyebabkan efek
mekanik pada reaksi, misalnya memperbesar luas permukaan melalui
pembentukan celah mikro pada permukaan, mempercepat pelarutan, ataupun
meningkatkan laju transfer massa. Keberhasilan penelitian ini akan menurunkan
waktu proses transesterifikasi dan memungkinkan untuk pembuatan pabrik
biodiesel yang lebih kecil dibandingkan dengan proses konvensional
xxi
(Djoyowasito dkk., 2010; Suslick dkk., 1999; Thompson dan Doraiswamy, 1999;
McNamara III dkk.,1999).
Berdasarkan uraian di atas maka, pada penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana produktivitas fitoplankton Chlorella vulgaris setelah
penambahan nutrisi ion Fe3+
dan Mg2+
sebagai bahan baku penghasil biodiesel.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. bagaimanakah perbandingan pengaruh penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
terhadap produksi biodiesel dari fitoplankton Chlorella vulgaris?
2. berapakah konsentrasi optimum ion Fe3+
dan Mg2+
yang dibutuhkan untuk
meningkatkan pertumbuhan dari fitoplankton Chlorella vulgaris, dan
3. bagaimana kuantitas dan kualitas biodiesel yang dapat dihasilkan dari
fitoplankton Chlorella vulgaris melalui metode ekstraksi ultrasonik
dengan variasi penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui perbandingan
pengaruh ion Fe3+
dan Mg2+
terhadap potensi produksi biodiesel dari fitoplankton
Chlorella vulgaris, mengetahui konsentrasi optimum ion Fe3+
dan Mg2+
yang
dapat meningkatkan pertumbuhan dari fitoplankton Chlorella vulgaris, serta
kuantitas dan kualitas dari biodiesel yang dihasilkan.
xxii
1.3.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. membandingkan pengaruh penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
terhadap
potensi produksi biodiesel dari fitoplankton Chlorella vulgaris,
2. menentukan konsentrasi optimum ion Fe3+
dan Mg2+
yang dapat
meningkatkan pertumbuhan dari fitoplankton Chlorella vulgaris, dan
3. menentukan kuantitas dan kualitas biodiesel yang dapat dihasilkan dari
fitoplankton Chlorella vulgaris melalui metode ekstraksi ultrasonik
dengan variasi penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. memberi informasi mengenai aplikasi fitoplankton Chlorella vulgaris
sebagai penghasil biodiesel,
2. hasil yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian
berikutnya, dan
3. memberikan pengetahuan serta pengalaman bagi peneliti.
BAB II
xxiii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Fitoplankton
Sebagian besar tanaman dalam laut adalah berbagai jenis plankton, dan
alga uniselular, yang disebut fitoplankton. Meskipun beberapa fitoplankton yang
cukup besar untuk dikumpulkan melalui penjaringan halus, banyak dari tanaman
mikroskopis ini hanya dapat dikumpulkan dengan penyaringan atau sentrifugasi
yang cukup besar dari volume air laut. Fitoplankton terdapat di seluruh daerah
terang dari semua lautan, termasuk di bawah es di daerah kutub. Karena
fitoplankton merupakan tanaman yang dominan dalam laut, jadi perannya dalam
rantai makanan pada laut sangat penting (Lalli dan Parson, 1997).
Menurut Diharmi (2001) dalam Hermanto dkk. (2011) bahwa mikroalga
merupakan organisme tumbuhan yang paling primitif yang berukuran renik, dan
hidup di seluruh wilayah perairan, baik air tawar maupun air laut. Mikroalga telah
dipergunakan untuk industri farmasi, kesehatan dan sebagainya. Mikroalga
diklasifikasikan sebagai tumbuhan karena memiliki klorofil dan mempunyai suatu
jaringan sel menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Spesies mikroalga
dikarakterisasi berdasarkan kesamaan morfologi biokimianya melaui suatu
pendekatan skema klasifikasi.
Meskipun bentuk kehidupan fitoplankton termasuk mikroorganisme
aselular dan termasuk dalam karakteristik archaea, sebagian besar dasar
fotosintetik organisme fitoplankton termasuk ke dalam bakteria. Pemisahan pada
bakteri dari kelompok archaeans yang dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya
membran yang dibentuk oleh percabangan hidrokarbon dan ikatan eter, sebagai
xxiv
lawan dari rantai lurus asam lemak dan ikatan ester seperti yang terdapat dalam
membran organisme yang terbentuk pada awal evolusi (Reynold, 2006).
Bentuk sel-sel fitoplankton sesuai dengan bentuk dasar sebagian besar
tanaman eukariotik. Masing-masing dibedakan atas struktur protoplasma yang
dilindungi dalam sebuah membran vital plasmalemma. Membran terdiri atas tiga
atau empat lapisan yang berbeda. Sebagian besar alga memiliki dinding sel mati
yang terbuat dari selulosa atau lainnya, relatif murni, polimer karbohidrat yang
padat, seperti pektin. Diantara beberapa kelompok alga, ada yang ditutupi oleh
deposit anorganik kalsium karbonat dan silika (Reynold, 2006).
Menurut Isnansetyo dan Kurniasututi (1995), Nontji (1993) dalam Aidia
(2011) bahwa fitoplankton yang mempunyai sifat autotrof mampu merubah bahan
anorganik menjadi bahan organik dan merupakan penghasil oksigen yang sangat
mutlak diperlukan oleh kehidupan makhluk yang lebih tinggi tingkatannya.
Sedangkan zooplankton tidak dapat memproduksi zat-zat organik dari zat-zat
anorganik, zooplankton yang bersifat herbivor akan memakan fitoplankton,
sedangkan zooplankton karnivor memakan zooplankton herbivor.
Menurut Martosudarmo dan Wulani (1990) dalam Budidaya (2009)
menyatakan pertumbuhan fitoplankton secara umum ditandai dengan lima tahap
terpisah yaitu:
1. Tahap Induksi
Tahap adaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga populasi tidak
berubah untuk sementara waktu.
2. Tahap Eksponensial
Ditandai dengan pembiakan sel yang cepat dan konstan.
3. Tahap Perlambatan Pertumbuhan
xxv
Kecepatan tumbuh mulai melambat, faktor yang berpengaruh adalah
kekurangan nutrient, laju suplai CO2 atau O2 dan perubahan nilai pH.
4. Tahap Stasioner
Terjadinya penurunan kecepatan perkembangan secara bertahap. Jumlah
populasi konstan dalam waktu tertentu sebagai akibat dari penghentian
pembiakan sel-sel secara total atau adanya keseimbangan antara tingkat
kematian dan tingkat pertumbuhan.
5. Tahap Kematian
Tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat perkembangan. Mengenai
pertumbuhan alga yang dinamis merupakan hal yang penting untuk
mencapai produksi alga yang dibutuhkan secara tetap. Meskipun
demikian, susunan perkembangan secara umum ditandai dengan
sedikitnya empat tahap yang terpisah.
Berdasarkan siklus hidupnya plankton dapat dibagi menjadi dua yaitu
holoplankton dan meroplankton. Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur
hidupnya bersifat planktonik, sedangkan meroplankton adalah plankton yang
hanya sebagian dari daur hidupnya yang bersifat planktonik, terdiri dari berbagai
larva hewan laut, dan pada stadium dewasa hidup sebagai benthos atau nekton
(Nybakken, 1988).
Menurut Barus dkk. (2001) dalam Aidia (2011) bahwa berdasarkan habitat
hidupnya plankton dibedakan menjadi dua bagian haliplankton yaitu plankton
yang hidup dihabitat air laut dan limnoplankton yaitu plankton yang hidup di
habitat air tawar. Selanjutnya plankton dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuhnya
xxvi
yaitu: Ultraplankton di bawah 2 µm, Nanoplankton 2-20 µm, Mikroplankton 20-
200 µm, Mesoplankton 200-2000 µm, Megaplankton di atas 2000 µm.
Sekitar 4000 fitoplankton laut telah diuraikan dan spesies-spesies baru
yang telah diidentifikasi terus dimasukkan ke dalam daftar tersebut, menurut Lalli
dan Parson (1997), kelompok yang diketahui secara terperinci adalah sebagai
berikut:
a. Diatom
Diatom merupakan fitoplankton yang jumlahnya terbesar di laut dan
merupakan kelas Bacillariophyceae. Diatom merupakan uniselular dengan ukuran
sel berkisar antara 2 µm atau lebih dari 1000 µm, dan beberapa spesies
membentuk rantai yang lebih besar. Semua spesies memiliki kerangka eksternal
atau frustule yang terbuat dari silika dan dasarnya terdiri dari dua katup (Lalli dan
Parson, 1997).
Terdapat dua jenis bentuk diatom yang dikenal yaitu bentuk pinnate dan
sentries. Diatom planktonik tidak memiliki struktur gerak dan biasanya tidak
mampu bergerak sendiri, oleh karena itu penting bagi diatom dan fitoplankton
lainnya tetap pada permukaan air yang terang untuk melakukan fotosintesis (Lalli
dan Parson, 1997)
b. Flagellata
Kelompok fitoplankton yang melimpah setelah diatom adalah kelompok
Pyrrophyceae yang biasa disebut dinoflagellata (Lalli dan Parson, 1997).
Terdapat sekitar 2.000 jenis dari dinoflagellata, dan beberapa diantaranya adalah
organisme phototrophs. Dinoflagellata memiliki ekor kecil yang disebut flagella,
bunga. Beberapa dinoflagellata bunga memiliki perisai mikroskopis yang
xxvii
membentuk sebuah bola sekitar coccolithophore yang membantu pergerakannya.
Dinoflagellata dapat berkembang biak sangat cepat dan menciptakan sejumlah
besar sel yang disebut bunga, beberapa dinoflagellata ini dalam jumlah yang
banyak dapat meracuni kehidupan laut lainnya. Selain itu juga memiliki warna
yang merah sehingga bunganya dikenal dengan “red tide” (Crewe, 2010).
c. Coccolithophores
Sebuah fraksi besar dari nanoplankton di perairan laut terbuka terdiri dari
Coccolithophores, alga flagellata uniseluler yang ditandai dengan sebuah penutup
yang dilapisi zat kapur (coccoliths). Ukuran Coccolithophores sebagian besar
kurang dari 2 µm. Kelimpahan tertinggi terdapat pada perairan subtropis dan
tropis, meskipun beberapa spesies juga terdapat di daerah dingin (Kennish, 2001).
d. Silikoflagellata
Sumber lain partikel yang mengandung silika di dasar laut merupakan
sisa-sisa kerangka silikoflagellata yang merupakan uniseluler. Organisme
uniflagellata, dan ukurannya berkisar dari 10 sampai 200 µm, mensekresikan
kerangka internal silika opaline. Meskipun ditemukan dalam sedimen dasar laut
pada semua lautan luas, sebagian besar silikoflagellata terdapat di daerah dingin
yang kaya nutrisi (Kennish, 2001).
2.1.1 Chlorella vulgaris
Klasifikasi Chlorella vulgaris dalam Wikipedia (2012) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
xxviii
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella vulgaris
Chlorella vulgaris merupakan mikroalga dari golongan alga hijau.
Bentuk selnya bulat, bulat lonjong yang memiliki garis tengah 2-8 µm. Chlorella
vulgarisi berkembang biak dengan cara membelah diri dan membentuk spora.
Mikroalga ini bersifat fotoautotrof, yaitu dapat membentuk makanannya sendiri
melalui fotosintesis (Zahir, 2011).
Gambar 1. Bentuk sel Chlorella vulgaris (Pimentel, 2008)
2.2 Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar diesel yang terbuat dari hewan atau bahan
nabati, merupakan bahan bakar alternatif yang telah digunakan pada kendaraan
bermotor sejak awal dari industri otomotif. Biodiesel ini berpotensi
menggantikan fungsi dari minyak bumi yang berbasis bahan bakar diesel (Solar)
pada mesin diesel. Kendaraan yang menggunakan biodiesel menghasilkan
xxix
polutan lebih sedikit dibandingkan petrodiesel, selain itu juga lebih hemat
(Report, 2008).
Biodiesel merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari
pengolahan tumbuhan) di samping bioetanol. Biodiesel adalah senyawa alkil ester
yang diproduksi melalui proses alkoholisis (transesterifikasi) antara trigliserida
dengan metanol atau etanol dengan bantuan katalis basa menjadi alkil ester dan
gliserol atau esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan metanol atau etanol
dengan bantuan katalis basa menjadi senyawa alkil ester dan air (Musanif, 2010).
Biodiesel dipromosikan sebagai salah satu energi alternatif pengganti
BBM (terutama sebagai pengganti minyak diesel). Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mencari alternatif bahan baku biodiesel, diantaranya telah
berhasil dikembangkan biodiesel dari berbagai bahan baku seperti biodiesel dari
minyak jelantah, minyak goreng, CPO (crude palm oil), minyak jarak kepyar dan
minyak jarak pagar (Zuhdi dan Sukardi, 2005).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biodiesel
dapat didegradasi secara biologis empat kali lebih cepat daripada bahan bakar
diesel minyak bumi, yaitu mencapai 98 % dalam tiap minggu. Akibat
biodegradasi secara biologis, emisi dan bau yang tidak sedap dapat dikurangi.
Biodiesel tidak secara spontan meletup atau menyala dalam keadaan normal
karena mempunyai titik bakar yang tinggi, yaitu 150 oC yang berbeda dengan
bahan bakar diesel minyak bumi yang titik bakarnya hanya 52 oC (Alamsyah,
2005).
Biodiesel merupakan bahan kimia yang dipakai sebagai chemical additive
untuk minyak diesel atau sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena
xxx
berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan. Menurut Sony (2005) dalam Triantoro
(2008) bahwa kelebihan biodiesel dibandingkan solar adalah :
a. Merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan
emisi yang jauh lebih baik (free sulphur, smoke number rendah).
b. Cetane number lebih baik
c. Memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin
d. Biodegradable (dapat terurai)
e. Merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat
diperbaharui
f. Meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi
secara lokal.
Produksi biodiesel didasarkan pada trans-esterifikasi minyak nabati dan
lemak melaui penambahan metanol (alkohol atau lainnya) dan katalis,
memberikan gliserol sebagai produk sampingan, dimana minyak dari bahan
diekstrak secara kimia atau mekanik. Proses lanjutan mencakup penggantian
methanol dari fosil, dengan bioetanol untuk menghasilkan asam lemak etil ester
(Energy, 2007).
Transesterifikasi adalah reaksi dengan beberapa tahap, termasuk tiga tahap
yang reversible, dimana trigliserida akan dikonversi ke digliserida, digliserida
kemudian dikonversi ke monogliserida, dan monogliserida kemudian dikonversi
menjadi ester (biodiesel) dan gliserol (produk samping). Reaksi transesterifikasi
keseluruhan dijelaskan dalam Gambar 2 dimana radikal R1, R2, R3 mewakili
panjang rantai hidrokarbon, yang dikenal sebagai asam lemak. Untuk reaksi
transesterifikasi minyak atau lemak rantai pendek dan alkohol (biasanya metanol)
digunakan sebagai reagen dalam kehadiran katalis (biasanya NaOH). Meskipun
xxxi
perbandingan molar secara teoritis alkohol: minyak adalah 3:1, rasio molar 6:1
umumnya digunakan untuk menyelesaikan reaksi yang akurat. Hubungan antara
massa input bahan baku dan massa output biodiesel dalah sekitar 1:1, yang berarti
bahwa secara teoritis, 1 kg minyak menghasilkan sekitar 1 kg biodiesel (Mata
dkk., 2010)
Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi
Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah
methanol, namun dapat pula digunakan etanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu
diperhatikan juga kandungan air dalam alkohol tersebut. Bila kandungan air
tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel yang mengakibatkan kualitasnya
rendah, karena terdapatnya kandungan sabun, ALB (Asam Lemak Bebas) dan
trigliserida tinggi. Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya
suhu operasi selama proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan
pencampuran alkohol (Rahayu, 2007).
Katalisator juga dibutuhkan untuk meningkatkan daya larut pada saat
reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu
NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Katalis yang akan dipilih tergantung
minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan
xxxii
kandungan ALB kurang dari 2 %, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin.
Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk
larutan kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol. Jika banyak air yang
diserap oleh katalis maka kerja katalis kurang baik sehingga produk biodiesel
kurang baik. Setelah reaksi selesai, katalis harus dinetralkan dengan penambahan
asam mineral kuat. Setelah biodiesel dicuci proses netralisasi juga dapat
dilakukan dengan penambahan air pencuci, HCl juga dapat dipakai untuk proses
netralisasi katalis basa, bila digunakan asam fosfat akan menghasil pupuk fosfat
(K3PO4) (Rahayu, 2007).
Bahan-bahan mentah yang sangat berperan dalam pembuatan biodiesel
adalah (Triantoro, 2008):
a. Trigliserida, yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak-lemak
b. Asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining)
lemak dan minyak-lemak.
Standar biodiesel dalam bentuk metil ester telah dikembangkan di
sejumlah Negara untuk menjamin kualitasnya. Tahun 2002, di Amerika Serikat
telah dikembangkan standar biodiesel ASTM (American Society for Testing and
Materials) D6751 yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Standar Biodiesel Menurut ASTM D6751 (Knothe, 2005)
Karakteristik Batasan Satuan
Densitas, 40 oC 860-900 Kg/m
3
Viskositas Kinematik, 40 oC 1,6-5,8 mm
2/s
FFA 0,45 (maksimum) %
xxxiii
Bilangan Penyabunan < 500 mg KOH/g
Angka Iodium 115 (maksimum) %-massa (g I2/ 100 g)
Dari tabel di atas terlihat bahwa kandungan sulfur dan karbon relatif
rendah sehingga penggunaan biodiesel pada emisinya dapat mengurangi gas
karbon monoksida (CO) dan gas sulfur. Penggunaan biodiesel tidak seperti
petrodiesel yang menghasilkan emisi gas karbon dan gas sulfur yang banyak serta
mengeluarkan asap dengan bau yang dapat mengiritasi mata. Biodiesel yang
berasal dari bahan dasar yang dapat diperbaharui ini akan mereduksi efek rumah
kaca dam pemanasan global sehingga lebih ramah terhadap lingkungan (Knothe,
2005).
2.3 Biodiesel dari Fitoplankton
Dalam rangka menghasilkan biodiesel dari alga secara efisien, strain harus
dipilih berdasarkan tingkat pertumbuhan tinggi dan kandungan minyaknya (FAO,
2009). Menurut Guschina dan Harwood (2006), komponen utama lipid mikroalga
adalah triasil gliserida (TAG) yang dapat diubah karakteristiknya menjadi metil
ester melalui transesterifikasi. Asam lemak metil ester (FAME) yang dihasilkan
dapat digunakan untuk campuran solar sebagai bahan bakar biodiesel.
Produksi biofuel dari mikroalga meliputi tahap kultifasi mikroalga, diikuti
oleh pemisahan sel-sel dari media pertumbuhan, dan ekstraksi lipid untuk
produksi biodiesel melalui transesterifikasi (Dragone, 2010).
xxxiv
Gambar 3. Proses produksi biodiesel dan bioetanol dari mikroalga (Dragone,
2010)
2.4 Tinjauan Nutrisi Logam
Sejumlah besar mineral, yang dikenal dengan mikroelemen, yang
diperlukan oleh ganggang adalah relatif pada setiap menitnya. Unsur-unsur yang
termasuk kategori ini diperlukan dalam berbagai konsentrasi mikrogram hingga
miligram per 1.000 untuk medium kultur. Dengan demikian, eksperimen harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati sehingga sesuai dengan keperluan spesies
yang diteliti. Menurut Richmond (1986) berikut ini adalah persyaratan untuk
esensilitas mikroelemen:
1. Unsur harus memiliki efek positif pada pertumbuhan total, yaitu, harus
mengizinkan penyelesaian dari siklus kehidupan normal.
2. Harus mengerahkan efek fisiologis langsung pada alga, yakni tidak
mempengaruhi pertumbuhan secara tidak langsung melalui efek pada
keseimbangan nutrisi, pH larutan, dll.
3. Seharusnya tidak tergantikan oleh elemen lain.
4. Kekurangan harus "reversible", yaitu, pada saat penambahan elemen untuk
kultur dalam tahap awal kekurangan pertumbuhan normal harus berlanjut.
5. Respon terhadap elemen harus dicatat dalam sejumlah perwakilan spesies.
Cahaya Nutrien
Kultur Mikroalga
Air CO2
Pemanenan Pengeringan Penghancuran seldan ekstraksi minyak
Fermentasi
Biodiesel
lipid dan asam lemak bebas
Amilum dan Protein
Hidrolisis Amilum
transesterifikasi
Destilasi
Bioetanol
xxxv
2.4.1 Tinjauan Besi (Fe)
Besi (Fe) berperan dalam sintesis klorofil dan sintesis protein-protein
penyusun kloroplas (Prihantini dkk., 2007). Besi terlibat dalam asimilasi nitrogen
karena ferredoxin diperlukan sebagai donor elektron untuk nitrat dan nitrit
reduktase. Besi juga penting untuk fotosintesis dimana mempengaruhi sintesis
dari pigmen fotosintesis utama klorofil-a dan PC. Sebagian besar besi itu
diperoleh pada dua waktu yang berbeda ketika sel-sel awalnya diinokulasi ke
dalam media dan setelah kulturnya telah menjadi sangat padat dan telah berhenti
tumbuh. Besi menjadi berkurang pada pertumbuhan 16 jam setelah transfer ke
media yang kekurangan zat besi, tetapi kultur mempertahankan kelangsungan
hidupnya sekitar 212 jam. Setelah besi menjadi berkurang, c-PC dan klorofil-a
yang rusak bersamaan. Hal ini diikuti oleh akumulasi glukosa intraseluler di
tempat c-PC. Aktivitas nitrat dan nitrit reduktase yang meningkat selama 50 jam,
setelah itu terus menurun. Setelah besi dikembalikan ke dalam media kultur,
pertumbuhan kembali, pigmen intraseluler meningkat pesat, dan jumlah glukosa
menurun (Richmond, 1986).
Besi berperan dalam proses fotosintesis pada reaksi terang, yakni pada
tahap ini dihasilkan ATP dan NADPH di reduksi. Pada reaksi terang terjadi
konversi energi cahaya menajadi energi kimia, dengan reaksi:
Gambar 4. Reaksi Terang Fotosintesis (Kristio, 2013)
2H2O + 4 Foton + 2 PQ (Plastokuinon) + 4H- 4H+ + O2 + 2PQH2 [1]
2PQH2 + 4PC(Cu2+) 2PQ + 4PC(Cu2
+) + 4 H+ (lumen)
4PC(Cu2+) + 4 H+ (lumen) + 4Fd(Fe3
+) 4PC(Cu2+) + 4Fd(Fe2
+) [2]
4Fd(Fe2+) + 2NADP+ + 2H+ 4Fd(Fe3
+) + 2NADPH [3]
Sinar + ADP + Pi + NADPH+ + 2H2O ATP + NADPH + 3H+ + O2 [4]
xxxvi
NADPH dari reaksi terang merupakan sebuah koenzim tereduksi yang
aktif dalam berbagai proses sintesis, memainkan peran dalam pembentukan asam
lemak yang sangat tereduksi.
Gambar 5. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam pembentukan trigliserida (a)
(Dewick, 1997)
Gambar 6. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam pembentukan trigliserida (b) (Dewick, 1997)
xxxvii
2.4.2 Tinjauan Magnesium (Mg)
Magnesium diambil/diserap oleh tanaman dalam bentuk Mg++
. Menurut
Haruna (2011) menyatakan fungsi magnesium bagi tanaman ialah:
a. Magnesium merupakan bagian dari klorofil tanaman.
b. Merupakan salah satu bagian enzim yang disebut Organic
pyrophosphatse dan Carboxy peptisida.
c. Berperan dalam pembentukan buah.
Gambar 7. Reaksi Lengkap Sintesis klorofil (Rosmarkam dan Yuwono)
Konsentrasi Mg2+
yang diserap tanaman berkisar antara 0,1 hingga 0,4%.
Mg merupakan unsur yang sangat penting dalam tanaman karena merupakan
unsur pembentuk klorofil, tanpa adanya klorofil maka tanaman tidak dapat
melakukan fotosintesis. Klorofil mengandung sekitar 15 sampai 20 % dari total
Mg2+
. Mg juga merupakan komponen pembentuk ribosom dalam sintesis protein
pada tanaman. Apabila tanaman kekurangan Magnesium maka tanaman akan
Suksinil CoA Glisin
CO2 + CoASH+ Fe
H2C-COOH
CH2
C O
H2C NH2x2
NH
CH2-CH2-COOHHOOCH2C
NH2H2C
Porfobilinogen
x4
xxxviii
kekurangan protein (Anonim, 2011). Menurut Romiyatum (2009) berikut ini
adalah gambar struktur klorofil tanaman yang mengandung magnesium:
Gambar 8. Klorofil
2.5 Tinjauan Ultrasonik
Menurtu Liu (1999) dalam Li dkk. (2004) bahwa senyawa lipofilik nabati
seperti minyak goreng, fitokimia, rasa, aroma dan warna bermanfaat dalam
produksi makanan, farmasi, dan industri kimia. Ekstraksi adalah salah satu kunci
dalam tahap memulihkan dan memurnikan senyawa lipofilik yang terkandung
dalam material nabati. Teknologi ekstraksi klasik didasarkan pada penggunaan
pelarut yang tepat untuk menghilangkan kandungan senyawa lipofilik dari
jaringan tanaman.
Sebuah teknologi baru yang potensial yang dapat meningkatkan ekstraksi
senyawa lipofilik dari tanaman adalah ultrasound intensitas tinggi. Ultrasonik
intensitas tinggi dapat mempercepat panas dan transportasi massal dalam berbagai
proses pengolahan makanan dan telah berhasil digunakan untuk meningkatkan
pengeringan, pencampuran, homogenisasi dan ekstraksi. Ultrasonik merupakan
aplikasi pada intensitas tinggi, frekuensi gelombang suara tinggi dan interaksinya
dengan bahan (Li dkk., 2004).
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terbukti
bahwa metode ultrasonik ini lebih efisien dibandingkan dengan metode lainnya,
xxxix
dimana dapat lebih mempercepat reaksi, katalis yang digunakan lebih sedikit serta
dapat mengurangi rasio alkohol terhadap minyak. Hal ini disebabkan karena
metode ultrasonik ini dapat menyebabkan perubahan fisika dan kimia pada suatu
media melalui pembentukan dan pemecahan gelembung-gelembung kavitasi yang
terjadi secara simultan dan terus menerus (Supardan, 2011).
Menurut Thompson dan Doraiswamy (1999), peran ultrasonik dalam
reaksi-reaksi (homogen atau heterogen) diklasifikasikan sesuai dengan kategori
berikut:
a. Memulai reaksi
b. Mempercepat reaksi
c. Mengubah jalur reaksi
d. Memiliki efek yang kecil atau tidak pada reaksi.
Reaksi yang mengikuti mekanisme ionik tidak dipengaruhi atau hanya
sedikit dipengaruhi oleh ultrasonik. Dalam beberapa kasus, ultrasonik mengubah
jalur reaksi dengan pembentukan radikal bebas atau mekanisme transfer elektron
tunggal (SET) dengan mengikuti jalur ionik atau radikal bebas tergantung pada
parameter reaksi (Thompson dan Doraiswamy, 1999). Berikut ini adalah gambar
ultrasonik Elmasonic S 40 (H):
Gambar 8. Alat Ultrasonik
Gambar 9. Alat Ultrasonik
BAB III
xl
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain; biakan
fitoplankton Chlorella vulgaris yang berasal dari Balai Budidaya Air Jepara, air
laut yang berasal dari daerah pantai Makassar, akuades, FeCl2.6H2O,
MnCl2.4H2O, H3BO3, Na-EDTA, NaH2PO4.2H2O, NaNO3, ZnCl2, CoCl2.6H2O,
CuSO4.5H2O, (NH4)6Mo7O24.4H2O, vitamin B12, vitamin B1, NH4Fe(SO4)2.
12H2O, MgSO4.7H2O, natrium boraks, KIO3, H2SO4, n-heksana teknis, kalium
iodida, metanol p.a (E-Merck), kalium hidroksida (KOH E-Merck), larutan KOH
alkoholik, HCl, Na2S2O3.5H2O, Na2SO4 anhidrat, asam oksalat, indikator
fenolftalein, Indikator metil orange, etanol 98 %, iodin (I2), amilum, kertas saring,
tissue roll, kertas label, kapas, dan aluminium foil.
3.2 Alat Penelitian
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain; alat-alat gelas
yang pada umumnya digunakan dalam laboratorium, toples yang terbuat dari
bahan gelas, aerator, salinometer, centrifuge, haemocytometer, mikroskop,
desikator, pompa vakum, corong Buchner, waterbath, corong pisah 250 mL
Pyrex, penangas air, rotary evaporator Butchi, blower, viskometer Oswald,
piknometer 10 mL, buret 50 mL Pyrex, neraca analitik, dan alat ultrasonik S 40 H
Elmasonic.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
xli
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Kimia Anorganik dan
Kimia Fisika, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin pada bulan Februari 2013- Mei 2013.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan Larutan Baku
3.4.1.1 Larutan Baku Fe3+
1000 ppm
Pembuatan larutan baku Fe3+
1000 ppm, ditimbang sebanyak 0,8630 gram
NH4Fe(SO4)2. 12H2O kemudian dilarutkan dengan H2SO4 pekat dan dimasukkan
ke dalam labu takar 100 mL kemudian diimpitkan dengan akuades hingga tanda
batas.
3.4.1.2 Larutan Baku Mg2+
1000 ppm
Pembuatan larutan baku Mg2+
1000 ppm, dibuat dengan melarutkan
1,0137 gram MgSO4.7H2O, dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan
ditambahkan akuades hingga tanda batas.
3.4.2 Membuat Medium Conway
Stok A dipipet sebanyak 1 L dan dididihkan, kemudian stok B dipipet
sebanyak 2 mL. Selanjutnya dicampurkan menjadi larutan medium. Setelah itu,
larutan medium dipipet sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam wadah
fitoplankton yang telah diisi 1 L air laut steril sebelumnya, kemudian
ditambahkan 1 tetes stok C. Untuk fitoplankton yang dinding selnya terbuat dari
silika, ditambahkan 1 mL stok D setelah penambahan stok C.
3.4.3 Mengkultur Fitoplankton Laut Chlorella vulgaris
xlii
(2)
Air laut ditampung dalam wadah kemudian disterilkan selanjutnya diukur
salinitasnya dengan menggunakan alat salinometer dan disaring dengan
menggunakan kertas saring. Air laut yang telah steril ditambahkan medium
Conway dan dikondisikan gas CO2 dengan proses aerasi kemudian ditambahkan
ion Fe3+
dan Mg2+
ke dalam setiap kultur yang berbeda dengan variasi konsentrasi
0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,5; dan 2,0 ppm, dan ditambahkan dengan
fitoplankton. Selanjutnya kultur fitoplankton dihitung kepadatan selnya. Cara
mendapatkan kepadatan fitoplankton yang dinginkan digunakan rumus
pengenceran :
V1 x N1 = V2 x N2 (1)
dimana V1 = Volume fitoplankton yang dibutuhkan
V2 = Volume kultur
N1 = Kepadatan sel fitoplankton stok
N2 = Kepadatan sel fitoplankton kultur
Perhitungan kepadatan sel fitoplankton menggunakan Haemositometer dengan
pengamatan mikroskop. Setelah beberapa hari, kultur dipindahkan ke dalam
toples. Selama pelaksanaa kultur, parameter fisika-kimia dipertahankan.
3.4.4 Menentukan Waktu Pertumbuhan dan MTC (Maksimum Tolerance
Concentration) ion Fe3+
dan Mg2+
Fitoplankton Laut Chlorella vulgaris
Penentuan pola pertumbuhan fitoplankton, dilakukan penghitungan jumlah
sel per milliliter medium setiap 24 jam. Contoh diambil dengan pipet tetes steril,
diteteskan sekitar 0,1-0,5 mL pada Haemositometer, kemudian diamati melalui
mikroskop (Seafdec, 1985). Bila kepadatn sel masih normal, penghitungan
kepadatannya menggunakan rumus :
Jumlah sel
mL=
jumlah sel dalam 4 kotak
jumlah blok (=4)x 10.000
Bila kepadatan selnya terlalu tinggi, penghitungannya menggunakan rumus :
xliii
Jumlah sel/mL = Jumlah sel dalam 4 bagian x 4 x 10.000 (3)
Nilai MTC (Maksimum Tolerance Concentration) dapat diperoleh dari data
kepadatan tersebut, yaitu pada konsentrasi dengan tingkat kepadatan sel tertinggi.
3.4.5 Menentukan Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Laut
Chlorella vulgaris dalam Kultur yand ditambahkan Ion Fe3+
dan Mg2+
Hasil perhitungan kepadatan sel yang diperoleh, ditentukan laju
pertumbuhan spesifiknya (µ) pada setiap konsentrasi Fe3+
dan Mg2+
yang
dipaparkan. Untuk menentukan laju pertumbuhan spesifiknya (µ) dengan
menggunakan rumus:
µ = ln Nt− No
t (4)
dimana;
Nt = kepadatan populasi sel pada saat t (sel/mL)
No = kepadatan populasi sel pada saat awal (sel/mL)
μ = tetapan laju pertumbuhan spesifik (jam-1
)
t = waktu (jam)
3.4.6 Isolasi Lipid Fitoplankton Laut Chlorella vulgaris (Surya, 2006)
Fitoplankton laut Chlorella vulgaris yang sudah dikeringkan dalam oven,
masing-masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dicampur dengan
pelarut etanol 96 % dengan perbandingan 1 : 3 b/v, kemudian dipanaskan pada
reaktor ultrasonik. Hasil yang diperoleh kemudian dipisahkan dengan
menggunakan rotary evaporator. Minyak yang diperoleh kemudian dianalisis
untuk menentukan asam lemak bebasnya.
3.4.7 Sintesis Biodiesel Melalui Metode Ultrasonik (Stavarache dkk., 2007;
Surya, 2006)
xliv
Minyak murni dari fitoplankton laut Chlorella vulgaris yang sudah
diperoleh, masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan dalam
reaktor ultrasonik pada suhu 50-60 oC, kemudian dicampur dengan larutan yang
terbuat dari metanol (perbandingan molar minyak : metanol = 1 : 12) dan katalis
H2SO4 (9 % berat minyak) selama 2 jam, setelah itu dilanjutkan dengan
penggunaak katalis KOH (9 % berat minyak). Selama proses esterifikasi dan
transesterifikasi, suhu pemanasan perlu dijaga yakni pemanasan hingga suhu
60 oC. Selanjutnya, hasil transesterifikasi didiamkan selama 20 jam, kemudian
dipisahkan antara biodiesel dengan gliserol, yakni fasa atas merupakan biodiesel
dan fasa bawah merupakan gliserol. Biodiesel yang diperoleh disentrifugasi untuk
menghilangkan sedimennya dan diuapkan pada suhu 70-80 oC untuk menguapkan
sisa metanol. Hasilnya kemudian diukur untuk menentukan sifat kimia dan fisika
biodiesel.
3.4.8 Pembuatan Pereaksi (Chon dan Krisnandi, 1982)
3.4.8.1 Pembuatan Larutan KOH 0,5 N alkoholik
Sebanyak 14,0275 gram kalium hidroksida ditambahkan 125 mL akuades
dan 375 mL metanol.
3.4.8.2 Pembuatan Larutan KOH 0,1 N
Sebanyak 2,8055 gram kalium hidorksida ditambahkan akuades sampai
volume 500 mL. Larutan KOH 0,1 N yang telah dibuat kemudian distandarisasi
dengan menggunakan asam oksalat.
3.4.8.3 Pembuatan Larutan HCl 0,5 N
xlv
Sebanyak 10,4 mL larutan 37 % v/v dipipet dan dilarutkan dalam 250 mL
akuades. Larutan HCl 0,5 N yang telah dibuat, kemudian distandarisasi dengan
indikator metil orange (MO).
3.4.8.4 Pembuatan Larutan Na2S2O3.5H2O 0,1 N
Sebanyak 3,1 gram Na2S2O3.5H2O ditambahkan akuades hingga volume
250 mL. Larutan Na2S2O3 0,1 N kemudian distandarisasi dengan menggunakan
KIO3.
3.4.8.5 Pembuatan Alkohol Netral 95 % (v/v)
Alkohol netral 95 % (v/v) dibuat dengan melarutkan 247,4 mL etanol 98
% (v/v) dengan akuades hingga volumenya 250 mL lalu ditambahkan indikator
fenolftalein dan ditambahkan larutan KOH 0,1 N sampai berwarna merah muda.
3.4.8.6 Standarisasi Larutan KOH 0,1 N dengan Asam Oksalat
Sebanyak 1,575 gram asam oksalat dilarutkan dengan akuades dalam labu
ukur 250 mL hingga tanda batas kemudian dipipet 10 mL larutan tersebut ke
dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 10 mL akuades. Selanjutnya
ditambahkan 2 sampai 3 tetes indikator fenolftalein dan dititrasi dengan larutan
KOH 0,1 N hingga larutan berwarna merah muda (jingga).
3.4.8.7 Standarisasi Larutan HCl 0,5 N dengan Bahan Baku Boraks
(Na2B4O7.10H2O)
Sebanyak 2,3830 g hablur boraks murni, lalu ditambahkan dengan 10 mL
akuades ke dalam gelas kimia 100 mL sambil dipanaskan hingga larut.
Selanjutnya larutan boraks dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan dimpitkan
dengan akuades hingga tanda batas. Larutan ini kemudian dipipet 3 mL ke dalam
xlvi
erlenmeyer 100 mL lalu ditambahkan dengan 2-3 tetes indikator MO dan akhirnya
dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga larutan berwarna merah muda.
3.4.8.8 Standarisasi Larutan Na2S2O3.5H2O dengan Bahan Baku KIO3
Ditimbang sebanyak 0,3759 gram kristal KIO3 kemudian dilarutkan dalam
labu ukur 100 mL dengan akuades. Larutan tersebut kemudian dipipet sebanyak
25 mL dan ditambahkan 2 mL H2SO4 2 N dan 10 mL KI 10 %. Larutan tersebut
kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 yang telah disiapkan sebelumnya
hingga larutan berwarna kuning lalu ditambahkan indikator amilum dan dititrasi
hingga warna biru hilang (larutan menjadi bening).
3.4.9 Analisis Sifak Fisik Metil Ester (Biodiesel)
3.4.9.1 Analisis Densitas Biodiesel (Taba dkk, 2011)
Menentukan densitas biodiesel tersebut, digunakan alat yang dikenal
dengan sebutan piknometer. Cara kerjanya yaitu piknometer kosong yang telah
dibersihkan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik, kemudian diisi
dengan akuades sampai penuh lalu ditimbang. Akuades digunakan sebagai
pembanding untuk mengurangi kesalahan pengukuran nilai. Selanjutnya
piknometer dikeringkan, kemudian diisi dengan metil ester (biodiesel) ke dalam
piknometer, lalu ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Hasil
penimbangan tersebut dicatat dalam satuan gram (Sudarmadji, 1989).
Perhitungan densitas biodiesel (g/cm3) dapat ditentukan menggunakan
persamaan:
dbt
= Sgt x daq
t (40 oC) (5)
xlvii
3.4.9.2 Analisis Viskositas Biodiesel dengan Viskometer Ostwald (Taba d.kk,
2011)
Akuades dimasukkan ke dalam labu contoh sehingga jika cairan itu
dipindahkan ke labu pengukur, cairan masih tersisa setengahnya. Cairan diisap ke
labu pengukur menggunakan bulb sampai melewati tanda batas pertama,
kemudian dibiarkan mengalir bebas hingga ke tanda batas kedua. Waktu yang
diperlukan cairan untuk mengalir dari tanda batas pertama ke tanda batas kedua
diukur dengan stopwatch, kemudian dicatat. Akuades kemudian diganti dengan
biodiesel dan dilakukan prosedur yang sama seperti akuades sebelumnya.
Perhitungan viskositas biodiesel (cP) dapat ditentukan menggunakan persamaan:
ηb =
ρc x tc
ρa x ta x η
a (6)
dimana:
a = koefisien viskositas air (cP)
b = koefisien viskositas biodiesel (cP)
a = densitas air (g/cm3)
b = densitas biodiesel (g/cm3)
Koefisien Viskositas Kinematik (cSt) = ηb
dbt (7)
3.4.10 Analisis Sifak Kimia Lipid dan Metil Ester (Biodiesel)
3.4.10.1 Analisis Kadar Air untuk Lipid
Penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan contoh dalam oven
pada suhu 105-110 oC. Pertama, wadah tahan panas dipanaskan dalam oven pada
suhu 105-110 oC selama 30 menit kemudian ditempatkan pada desikator. Setelah
dingin, wadah ditimbang sehingga diperoleh berat wadah kosong. Selanjutnya, ke
dalam wadah ditambahkan 0,2 g sampel kemudian dioven pada suhu 105-110 oC
xlviii
selama 1 jam. Wadah yang didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang
sampai berat konstan. Pekerjaan ini diulang sebanyak tiga kali (Sudarmadji,
1989). Menurut Pontoh (2008), kadar air dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan:
Kadar air = A-B
Ax 100% (8)
dimana:
A = Berat minyak sebelum dipanaskan
B = Berat minyak setelah dipanaskan
3.4.10.2 Analisis Angka Penyabunan untuk Biodiesel
Biodiesel sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam labu erlenmeyer 100 mL,
kemudian ditambahkan 50 mL KOH 0,5 N alkoholik. Selanjutnya dididihkan
sampai minyak tersabunkan secara sempurna ditandai dengan tidak terlihatnya
butir-butir lemak atau minyak dalam larutan. Setelah didinginkan kemudian
dititrasi dengan HCl 0,5 N menggunakan indikator fenolftalein. Titik akhir titrasi
ditandai dengan tepat hilangnya warna merah (Sudarmadji, 1989).
Perhitungan angka penyabunan (mg KOH/g) dapat ditentukan
menggunakan persamaan:
Angka Penyabunan = V HClblanko - V HClminyak
Berat minyak x N HCl x 56,1 (9)
3.4.10.3 Analisis Asam Lemak Bebas untuk Lipid dan Biodiesel
Lipid sebanyak 5 g dimasukkan dalam labu erlenmeyer 100 mL,
ditambahkan 50 mL alkohol netral 95 % kemudian dipanaskan dalam waterbath
sampai terbentuk larutan homogen. Setelah didinginkan kemudian dititrasi
dengan KOH 0,1 N menggunakan indikator fenolftalein. Dihitung kadar asam
xlix
lemak bebasnya (Sudarmadji, 1989). Perhitungan asam lemak bebas (%) dapat
ditentukan menggunakan persamaan:
% FFA = N KOH x V KOH x 256
gram minyak x 1000 x 100%
(10)
Prosedur diatas diulangi digunakan untuk analisis asam lemak bebas
biodiesel dengan mengganti lipid dengan biodiesel
3.4.10.4 Analisis Bilangan Iodium
Bilangan iodium ditentukan dengan cara titrasi. Prosedur kerjanya sebagai
berikut: sebanyak 0,2 g biodiesel dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan 5 mL HCl 5 % sambil diaduk hingga homogen lalu ditutup dengan
aluminium foil dan dididihkan selama 1 menit. Setelah didinginkan, ke dalam
larutan ditambahkan 15 mL iodium 0,05 M lalu ditutup dengan segera dan
dikocok selama 1 menit kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dipipet
sebanyak 5 mL dan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat hingga berwarna
kekuningan lalu ditambahkan 2 tetes larutan amilum 1 %. Selanjutnya, titrasi
dilanjutkan hingga tidak berwarna. Catat volume larutan peniter dan ditentukan
nilai bilangan iodiumnya (Staf Pengajar Kimia Fisika, 2009).
Angka Iod = (vb-vs)x N Na2SO4x Mek Iod
berat cotoh (11)
BAB IV
l
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris
4.2.1 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
Penambahan Ion Fe3+
Pengamatan terhadap pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris yang
ditambahkan ion Fe3+
dilakukan setiap 24 jam selama 16 hari. Variasi konsentrasi
ion Fe3+
yang ditambahkan adalah 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,5 dan
2,0 ppm. Pola pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris dapat dilihat pada
Gambar berikut dan tingkat kepadatan selnya dapat dilihat pada Lampiran 6:
Gambar 10. Grafik Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
penambahan ion Fe3+
0200400600800
100012001400160018002000220024002600280030003200340036003800400042004400
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kep
ad
ate
n S
el/m
L (
10
4)
Waktu Pertumbuhan (Hari)
kontrol
0.1
0.2
0.3
0.4
0.6
0.8
1
1.5
2
li
Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 10, ion Fe3+
yang
ditambahkan ke dalam media pertumbuhan fitoplankton dapat berfungsi sebagai
nutrien yang meningkatkan pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris.
Gambar 10 dan Lampiran 6 menunjukan bahwa pertumbuhan optimum
fitoplankton Chlorella vulgaris pada media kontrol dan media dengan konsentrasi
ion Fe3+
sebesar 0,1; 0,2; 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,5 ppm dicapai pada hari ke 15.
Pertumbuhan optimum konsentrasi 0,3; 0,4; dan 2,0 ppm pada hari ke 14.
Konsentrasi yang paling baik digunakan fitoplankton Chlorella vulgaris sebagai
nutrisi untuk pertumbuhan sel adalah konsentrasi 0,1 dan 0,3 ppm. Pada
konsentrasi tersebut pola pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris berada di
atas pola pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris yang ditumbuhkan pada
media kontrol yakni tanpa penambahan ion Fe3+
. Tingkat kepadatan sel Chlorella
vulgaris yang tertinggi pada konsentrasi Fe3+
0,3 ppm yakni
3943,5 x 104 kepadatan sel/mL dan 3358 x 10
4 kepadatan sel/mL pada konsentrasi
Fe3+
0,1 ppm. Kepadatan sel Chlorella vulgaris pada media kontrol yaitu
3094 x 104 kepadatan sel/mL, sehingga konsentrasi optimum Fe
3+ yang dapat
meningkatkan pertumbuhan fitoplankton adalah 0,3 ppm. Tingkat pertumbuhan
Chlorella vulgaris pada media dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,5; dan
2,0 ppm berada di bawah tingkat pertumbuhan media kontrol, sehingga dapat
dikatakan konsentrasi tersebut kurang menimbulkan efek yang cukup signifikan
pada peningkatan pertumbuhan dari fitoplankto Chlorella vulgaris.
Nilai Maksimum Tolerance Concentrate (MTC) yang diperoleh dari data
pola pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris dalam kultur yang ditambahkan
ion Fe3+
yaitu konsentrasi 0,3 ppm pada waktu pertumbuhan 14 hari. Pada
lii
konsentrasi ini tingkat kepadatan sel Chlorella vulgaris sangat tinggi, dan pada
hari berikutnya kepadatan sel mulai berkurang.
4.5.1 Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
Penambahan Ion Mg2+
Pola pertumbuhan Chlorella vulgaris pada penambahan ion Mg2+
dalam
media pertumbuhan dengan variasi konsentrasi 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0;
1,5; dan 2,0 ppm dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Gambar 11. Pertumbuhan
optimum pada media kontrol dicapai pada hari ke 13, media dengan penambahan
ion Mg2+
konsentrasi 1,0 dan 1,5 pada hari ke 14, dan media dengan konsentrasi
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; dan 2,0 dicapai pada hari ke 15.
Gambar 11. Grafik Pola Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
penambahan ion Mg2+
0
800
1600
2400
3200
4000
4800
5600
6400
7200
8000
8800
9600
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kep
ad
ata
n S
el/m
L (
10
4)
Waktu Pertumbuhan (Hari)
kontrol
0.1
0.2
0.3
0.4
0.6
0.8
1.0
1.5
2
liii
Gambar 11 dan Lampiran 7 menunjukkan bahwa ion Mg dapat pula
digunakan sebagai nutrisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan fitoplankton
Chlorella vulgaris. Konsentrasi ion Mg2+
0,3; 0,4; 0,6; 1,5; dan 2,0 ppm
merupakan konsentrasi yang baik untuk nutrisi pertumbuhan Chlorella vulgaris.
Pada konsentrasi tersebut tingkat kepadatan sel Chlorella vulgaris lebih tinggi
dari tingkat kepadatan sel Chlorella vulgaris yang tumbuh pada media kontrol.
Konsentrasi 0,1; 0,2; 0,8; dan 1,0 ppm kurang memiliki pengaruh yang cukup baik
dalam penggunaannya sebagai nutrisi pertumbuhan Chlorella vulgaris. Hal ini
dapat dilihat dari tingkat pertumbuhannya yang lebih rendah dari tingkat
pertumbuhan Chlorella vulgaris pada media kontrol. Konsentrasi optimum Mg2+
yang dapat meningkatkan pertumbuhan Chlorella vulgaris adalah 0,4 ppm,
dimana tingkat pertumbuhan Chlorella vulgaris pada konsentrasi tersebut
merupakan yang tertinggi yaitu 8745 kepadatan sel/ mL (x 104). Tingkat
pertumbuhan yang tinggi pada konsentrasi tersebut dapat disebabkan penyerapan
yang baik oleh fitoplankton dan juga konsentrasi tersebut dapat lebih
meningkatkan peroses metabolisme fitoplankton.
Nilai Maksimum Tolerance Concentrate (MTC) yang diperoleh dari data
pola pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris dalam kultur yang ditambahkan
ion Mg2+
yaitu konsentrasi 0,4 ppm pada waktu pertumbuhan 15 hari. Pada
konsentrasi ini tingkat kepadatan sel Chlorella vulgaris menunjukkan peningkatan
yang sangat tinggi, dan kemudian menurun pada hari berikutnya.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, tingkat pertumbuhan
fitoplankton Chlorella vulgaris dalam kultur Mg2+
lebih tinggi dibandingkan
tingkat pertumbuhan pada kultur Fe3+
. Hal ini dapat disebabkan oleh peranan Mg
liv
dalam pembentukan klorofil, dimana logam Mg ini merupakan inti dari klorofil.
Gambar 7 menjelaskan tentang proses pembentukan klorofil. Semakin banyak
klorofil yang terbentuk, maka proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik,
sehingga energi yang dihasilkan dari reaksi fotosintesis akan lebih tinggi dan
dapat lebih menunjang proses metabolisme fitoplankton. Pertumbuhan
fitoplankton akan berjalan dengan baik jika proses metabolismenya berjalan
dengan baik pula. Gambar 4 menjelaskan tentang peranan Fe dalam proses
transfer elektron pada reaksi terang, dan energi yang dihasilkan dari reaksi
tersebut juga menunjang proses metabolisme fitoplankton. Oleh karena, itu Fe
juga memiliki peran yang cukup besar dalam proses metabolisme, sehingga
peranan Fe dan Mg dalam proses metabolisme fitoplankton tidak dapat
dipisahkan.
lv
4.9 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
Penambahan Ion Fe3+
dan Mg2+
4.2.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
Penambahan Ion Fe3+
Gambar 12. Laju Pertumbuhan Spesifik Fitoplankton Chlorella vulgaris dalam
Kultur yang ditambahkan ion Fe3+
Gambar 12 dan Lampiran 8 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik
fitoplankton Chlorella vulgaris dalam kultur yang ditambahkan ion Fe3+
pada
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
La
ju P
ertu
mb
uh
an
Sp
esi
fik
(µ
) (H
ari-
1)
Waktu Pertumbuhan (Hari)
Kontrol
0,1
0,2
0,3
0,4
0,6
0,8
1,0
1,5
2,0
lvi
berbagai konsentrasi mulai dari konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,5;
dan 2,0 ppm. Berdasarkan data di atas, laju pertumbuhan masing-masing
konsentrasi sangat tinggi pada hari pertama. Hari berikutnya tetap terjadi
pertambahan jumlah sel, tetapi laju pertumbuhannya semakin menurun seiring
dengan bertambahnya waktu pengkulturan.
4.2.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Fitoplankton Chlorella vulgaris dengan
Penambahan Ion Mg2+
Gambar 13. Laju Pertumbuhan Spesifik Fitoplankton Chlorella vulgaris dalam
Kultur yang ditambahkan ion Mg2+
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
La
ju P
ertu
mb
uh
an
Sp
esi
fik
(µ
) (H
ari-
1)
Waktu Pertumbuhan Hari
Kontrol
0,1
0,2
0,3
0,4
0,6
0,8
1,0
1,5
2,0
lvii
Gambar 13 dan Lampiran 9 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik
Chlorella vulgaris dalam kultur yang ditambahkan ion Mg2+
mulai dari
konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,5; dan 2,0 ppm. Laju pertumbuhan
spesifik untuk setiap kultur dengan konsentrasi yang berbeda tidak menunjukkan
perbedaan begitu berarti. Laju pertumbuhan meningkat pada hari pertama
pengkulturan, dan hari selanjutnya laju pertumbuhan spesifik terus menurun.
4.10 Biomassa Kering Kultur Fitoplankton Chlorella vulgaris
Setelah dilakukan kultur hingga diperoleh pertumbuhan optimum
fitoplankton Chlorella vulgaris, maka tahap selanjutnya yaitu panen biomassa.
Panen biomassa dapat dilakukan dengan cara sedimentasi, sentrifugasi, filtrasi,
dan flokulasi (Mata dkk., 2010), dalam penelitian ini panen biomassa dilakukan
dengan menggunakan proses sentrifugasi.
Proses sentrifugasi dilakukan dengan menggunakan alat sentrifuge dingin
dengan kecepatan 4000 rpm hingga supernatan berwarna bening, yang
mengindikasikan biomassa telah mengendap sempurna. Supernatan yang
diperoleh disisihkan, dan endapannya dikeringkan dalam oven.
Biomassa yang dihasilkan dari kultur fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan penambahan ion Fe3+
dapat diamati pada Gambar 14 dan Lampiran 10.
lviii
Gambar 14. Biomassa Kering Kultur dengan Penambahan Ion Fe3+
Berdasarkan gambar tersebut, maka biomassa terbanyak dapat dihasilkan
dari kultur dengan penambahan ion Fe3+
sebesar 0,3 ppm dan 0,1 ppm. Hal ini
sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil perhitungan laju pertumbuhan
fitoplankton. Laju pertumbuhan fitoplankton Chlorella vulgaris pada konsentrasi
tersebut merupakan yang tertinggi. Total biomassa yang dihasilkan dari kultur ini
adalah 26,404 gram.
Biomassa yang dihasilkan dari kultur fitoplankton Chlorella vulgaris
dengan penambahan ion Mg2+
dapat diamati pada Gambar 15 dan Lampiran 11.
Gambar 15. Biomassa Kering Kultur dengan Penambahan Ion Mg2+
00.5
11.5
22.5
33.5
4
0 0.5 1 1.5 2 2.5Ber
at
Bio
ma
ssa
Ker
ing
(g)
Konsentrasi Fe3+ (ppm)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Ber
at
Bio
mass
a K
erin
g (
g)
Konsentrasi Mg2+ (ppm)
lix
Berdasarkan Lampiran 11, biomassa kering terbanyak dihasilkan pada
kultur dengan konsentrasi Mg2+
yaitu 0,2; 0,3; dan 0,8 ppm. Total biomassa yang
dihasilkan dari kultur yang ditambahkan ion Mg2+
adalah 32,7902 gram. Jumlah
biomassa dari kultur yang ditambahkan dengan ion Mg2+
lebih tinggi
dibandingkan dengan biomassa dari kultur yang ditambahkan ion Fe3.
4.11 Produksi Lipid dari Biomassa Kering Fitoplankton Chlorella vulgaris
Lipid diisolasi dari biomassa kering dengan menggunakan pelarut etanol
96% dan diekstraksi dalam alat ultrasonik dengan suhu maksimum 60 oC.
Ultrasonik merupakan aplikasi pada intensitas tinggi, frekuensi gelombang suara
tinggi dan interaksinya dengan bahan (Li dkk., 2004). Proses ekstraksi lipid ini
dilakukan hingga lipid dalam biomassa kering telah terekstrak sempurna.
Ditandai dengan ekstrak yang awalnya berwarna hijau pekat menjadi bening, dan
jika ekstrak tersebut diteteskan pada kertas minyak, tidak tampak lagi noda bening
pada kertas minyak. Waktu ekstrak untuk biomassa kering dengan penambahan
ion Fe3+
berlangsung selama 12 jam 20 menit. Waktu ekstrak untuk biomassa
kering dari kultur yang ditambahkan ion Mg2+
berlangsung selama 17 jam 45
menit. Lipid tersebut dapat terekstrak dengan cepat karena adanya gelombang
kavitasi akustik yang ditimbulkan oleh alat ultrasonik tersebut. Gelembung
kavitasi muncul secara simultan dan terus menerus yang merata pada seluruh
cairan dan terjadi sirkulasi yang tampak seperti gejala pengadukan.
Kultur dengan penambahan ion Fe3+
pada beberapa variasi konsentrasi
menghasilkan lipid total sebanyak 5,705 gram. Lipid total kultur yang
ditambahkan ion Mg2+
dengan beberapa variasi konsentrasi adalah 8,4056 gram.
Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa ion Mg2+
berpotensi dalam meningkatkan
lx
kandungan lipid pada fitoplankton. Produksi lipid dari kultur fitoplankton yang
ditambahkan ion Fe3+
dapat dilihat pada Gambar 16 dan Lampiran 12 dan lipid
dari kultur fitoplankton yang ditambahkan ion Mg2+
dapat pada Gambar 17 dan
Lampiran 13.
Gambar 16. Lipid yang diperoleh dari Kultur yang ditambahkan Ion Fe3+
Gambar 17. Lipid yang diperoleh dari Kultur yang ditambahkan Ion Mg2+
Ion Fe3+
dan Mg2+
berperan pada proses pertumbuhan dan produksi lipid
fitoplankton Chlorella vulgaris. Produksi lipid yang dipengaruhi oleh ion Fe3+
dan Mg2+
secara tidak langsung berdampak pada produksi biodieselnya, dengan
kata lain ion Fe3+
dan Mg2+
ini tidak lagi berpengaruh pada proses sintesis
biodiesel.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Bob
ot
(g)
Konsentrasi Fe3+
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Bob
ot
(g)
Konsentrasi Mg2+
lxi
Terbatasnya jumlah lipid yang diperoleh dari setiap kultur menyebabkan
kesulitan dalam proses sintesis biodiesel. Oleh karena itu, lipid yang telah
diperoleh dari masing-masing kultur fitoplankton digabungkan. Total lipid yang
diperoleh dari kultur yang ditambahkan ion Fe3+
adalah 5,705 gram dan dari
kultur yang ditambahkan Mg2+
adalah 8,4056 gram. Lipid yang telah dihasilkan
tersebut disiapkan untuk proses sintesis biodiesel.
4.12 Analisi Sifat Kimia Lipid
4.5.1 Analisis Kadar Air
Analisis kadar air ini dilakukan dengan cara memanaskan lipid yang telah
diperoleh dari biomassa kering dalam oven dengan suhu 100 – 105 oC selama
1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Proses
tersebut dilakukan hingga diperoleh bobot tetap dari lipid, yakni selisih
penimbangannya minimal 0,005 gram.
Bobot tetap total lipid yang diperoleh adalah 7,3516 gram untuk kultur
yang mengandung ion Mg2+
dan 4,5734 gram untuk kultur yang mengandung ion
Fe3+
. Dari hasil perhitungan, maka kadar air yang diperoleh utuk total lipid dari
sampel Fe3+
adalah 19,8703% dan kadar air untuk total lipid dari sampel Mg2+
adalah 12,5393%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air lipid yang diperoleh
sangatlah tinggi dimana kadar air untuk minyak yang dianjurkan menurut SNI 01-
0018-1998 adalah 0,1%. Nilai kadar air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisis
pada trigliserida menjadi asam lemak bebas yang dapat menurunkan kualitas dari
minyak yang dihasilkan.
lxii
4.5.2 Analisis Asam Lemak Bebas
Analisis asam lemak bebas dilakukan dengan menambahkan 50 mL
alkohol netral ke dalam erlenmeyer yang berisi lipid, kemudian dititrasi dengan
KOH 0,077 N. Lipid dari kultur Fe3+
dianalisis sebanyak 2,1032 gram dan
volume KOH yang digunakan untuk titrasi adalah 7,3 mL, sehingga kadar asam
lemak bebas yang diperoleh adalah 4,2176 %. Hasil analisis asam lemak bebas
untuk 2,1041 gram lipid dari kultur Mg2+
adalah 6,8389 %.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, kandungan asam lemak
bebas dari kedua sampel lipid Chlorella vulgaris tersebut tidak memenuhi standar
yaitu ≤2%, sehingga sintesis biodiesel dilakukan melalui dua tahap. Tahap
pertama yaitu esterifikasi dengan katalis asam dan tahap kedua yaitu
transesterifikasi dengan katalis basa (Sharma dkk., 2008).
4.13 Sintesis Biodiesel Menggunakan Ultrasonik
Lipid yang telah diisolasi dari biomassa kering fitoplankton Chlorella
vulgaris selanjutnya digunakan untuk sintesis biodiesel. Proses sintesis biodiesel
dilakukan dalam 2 tahap yaitu proses esterifikasi dengan katalis asam dan proses
transesterifikasi dengan katalis basa. Tahap esterifikasi dengan katalis asam
dilakukan terlebih dahulu agar kandungan asam lemak bebas pada lipid kasar
tidak tersaponifikasi pada penggunaan katalis basa. Asam lemak bebas yang
tersaponifikasi membentuk sabun sehingga biodiesel yang terbentuk sulit
dipisahkan dari gliserol yang merupakan produk sampingnya. Pada proses
esterifikasi dengan katalis asam, asam lemak bebas yang direaksikan dengan
metanol akan menghasilkan metil ester dan air, reaksi tersebut dapat dilihat pada
Gambar berikut:
lxiii
Gambar 18. Mekanisme Reaksi Esterifikasi Asam Lemak Bebas dengan
Menggunakan Katalis Asam Menjadi Metil Ester (Nilawati, 2012)
Proses esterifikasi dilakukan selama 2 jam menggunakan ultrasonik.
Perbandingan jumlah sampel dengan pelarut yang digunakan adalah 1:12, dan
katalis asam yang digunakan adalah H2SO4 sebanyak 9% dari jumlah sampel.
Tabel 2. Jumlah Pelarut dan Katalis pada Reaksi Esterifikasi
Jenis Sampel Sampel (gram) Pelarut (mL) H2SO4 (gram)
Sampel dalam kultur Fe3+
4,2667 5,5 mL 0,405
Sampel dalam kultur Mg2+
6,9741 10 mL 0,6625
Setelah dilakukan proses esterifikasi, kemudian dilanjutkan dengan proses
transesterifikasi yang berlangsung selama 4 jam. Perbandingan jumlah sampel
dengan pelarut adalah 1:12, dan katalis basa yang digunakan adalah KOH
sebanyak 9% dari jumlah sampel.
R
O
O
H
H+
R
O
O
H
H
R
O
O
H
H
R
O
O
H
H
R'O
H
R
O
O
H
H
O
HR'
-H+
R
O
O
H
H
O
R'
H+
R
O
O
H
H
O
R'
H
R
O
R'
O
H
- H2O
-H+
R
O
R'
O
lxiv
R' C
O
O CH2
R'' C
O
O CH
H2C O C
O
R'''
+ H3C O
R' C
O
O CH2
R'' C
O
O CH
H2C O C
O
R'''
OCH3
R' C
O
O CH2
R'' C
O
O CH
H2C O C
O
R'''
OCH3
R' C
O
OH CH3
R'' C
O
O CH
H2C O
+ R''' C
O
OCH3
R' C
O
O CH2
R'' C
O
O CH
H2C O
+K O H
H
R' C
O
O CH2
R'' C
O
O CH
H2C O H
+ KOH
Gambar 19. Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dengan Menggunakan
Katalis Basa Menjadi Metil Ester (Suirta, 2009)
Tabel 3. Jumlah Pelarut dan Katalis pada Reaksi Transesterifikasi
Jenis Sampel Sampel (gram) Pelarut (mL) KOH (gram)
Sampel dalam kultur Fe3+
4,2677 5,5 mL 0,405
Sampel dalam kultur Mg2+
6,9741 10 mL 0,6625
Sampel yang telah diesterifikasi, didiamkan hingga 20 jam, dan
selanjutnya terbentuk 2 fasa, yakni fasa atasnya merupakan biodiesel, dan fasa
bawahnya merupakan gliserol. Fasa biodieselnya dipisahkan dari fasa gliserolnya,
H3C O H + H3C O + K O H
H
K O H
lxv
kemudian digunakan untuk pengukuran sifat fisik dan kimia biodiesel. Hasil
sintesis biodiesel yang diperoleh dari lipid fitoplanton Chlorella vulgaris adalah:
Tabel 4. Jumlah Biodiesel yang diperoleh
Sampel Jumlah Biodiesel (gram)
Kultur yang ditambahkan ion Fe3+
9,2932
Kultur yang ditambahkan ion Mg2+
11,5727
Berdasarkan hasil perhitungan berat rendamen pada Lampiran 14
(Perhitungan berat rendamen), maka berat rendamen yang diperoleh untuk sampel
dari kultur yang ditambahkan ion Fe3+
dan Mg2+
adalah:
Tabel 5. Berat Rendamen
Sampel Berat Rendamen
Biodiesel dari kultur yang ditambahkan ion Fe3+
35,20 %
Biodiesel dari kultur yang ditambahkan ion Mg2+
35,29 %
Tabel 6. Produktivitas Biodiesel yang dihasilkan dari Kultur Fe3+
Fe
3+
(ppm)
Biomassa (g)
Berat Biodiesel (g)
Volume Biodiesel (mL)
Produktivitas Biodiesel g/Kg BK
mL/Kg BK
0,0 3,1777 1,1185 1,1899 351,9841 374,4532
0,1 3,4166 1,2025 1,2793 351,9581 374,4366
0,2 2,4650 0,8675 0,9229 351,9270 374,4016
0,3 3,4267 1,2061 1,2831 351,9713 374,4419
0,4 3,1124 1,0955 1,1654 351,9792 374,4377
0,6 2,1232 0,7472 0,7949 351,9216 374,3877
0,8 2,4236 0,8531 0,9076 351,9970 374,4842
1,0 1,9020 0,6697 0,7124 352,1030 374,5531
1,5 2,1680 0,7630 0,8117 351,9373 374,4004
2,0 2,1882 0,7702 0,8194 351,9788 374,4630
lxvi
Tabel 7. Produktivitas Biodiesel yang dihasilkan dari Kultur Mg2+
Mg
2+
(ppm)
Biomassa (g)
Berat Biodiesel (g)
Volume Biodiesel (mL)
Produktivitas Biodiesel g/Kg BK
mL/Kg BK
0,0 3.0105 1,0638 1,1198 353,3632 371,9648
0,1 3.2660 1,1400 1,2000 349.0508 367,4219
0,2 4.1284 1,4588 1,5356 353,3572 371,9601
0,3 3.7645 1,3302 1,4002 353,3537 371,9485
0,4 3.2073 1,1334 1,1931 353,3813 437,7650
0,6 3.0374 1,0733 1,1298 353,3614 371.9629
0,8 3.5417 1,2515 1,3174 353,3614 371,9683
1,0 2.6048 0,9204 0,9688 353,3477 371,9287
1,5 2.9375 1,0380 1,0926 353,3617 371,9489
2,0 3.2921 1,1633 1,2245 353,3611 371,9510
4.14 Uji Sifat Fisik Biodiesel dari Lipid Chlorella vulgaris
4.7.1 Hasil Analisis Densitas Biodeiesel
Densitas menunjukkan perbandingan berat per satuan volume. Densitas
biodiesel diukur dengan menggunakan piknometer. Menurut Irdoni (2012),
semakin panjang rantai asam lemak, maka densitas juaga akan semakin
meningkat. Banyaknya jumlah ikatan rangkap juga berpengaruh pada densitas,
dimana densitas akan menurun jika ikatan rangkap dalam sebuah produk semakin
banyak. Densitas suatu biodiesel pada suhu rendah akan semakin tinggi dan
begitu pula sebaliknya. Pengukuran densitas ini dilakukan pada suhu 40 o
C.
Densitas biodiesel total yang diperoleh dari hasil pengukuran adalah sebagai
berikut:
lxvii
Tabel 8. Hasil Analisis Densitas Biodiesel
Sampel Densitas Sampel (g/cm3) Densitas Biodiesel
ASTM D6751 (g/cm3)
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Fe3+
0,94 0,82-0,90
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Mg2+
0,95 0,82-0,90
Densitas biodiesel Chlorella vulgaris yang diperoleh dari hasil analisis
biodiesel kultur yang ditambahkan ion Fe3+
dan Mg2+
keduanya sedikit
menyimpang dari standar ASTM D6751. Standar densitas biodiesel yang
dianjurkan dalam ASTM D6751 adalah 0,82-0,90 g/cm3. Perbedaan densitas
biodiesel sampel dengan standar yang ada tidak terlalu signifikan yakni selisihnya
sebesar 0,04-0,05. Nilai densitas yang lebih tinggi tersebut dapat diatasi dengan
meningkatkan waktu reaksi serta jumlah katalis asam yang digunakan pada reaksi
esterifikasi sehingga asam lemak bebas habis bereaksi membentuk metil ester.
Semakin banyak asam lemak bebas yang terbentuk dapat tersaponifikasi
membentuk sabun. Tingginya nilai densitas tersebut dapat pula ditangani dengan
lebih memurnikan biodiesel yang telah disintesis. Pemurnian biodiesel tersebut
misalnya dengan menguapkan kandungan airnya, atau disentrifugasi untuk
menghilangkan pengotor yang massa jenisnya lebih tinggi.
Menurut Peterson dalam Dyah (2011) bahwa biodiesel yang memiliki nilai
densitas yang tinggi dapat disebabkan oleh reaksi penyabunan yang terjadi dengan
menggunakan katalis basa. KOH yang dapat memungkinkan adanya zat pengotor
seperti sabun kalium, air, KOH sisa, Kalium metoksida, ataupun sisa metanol
lxviii
yang menyebabkan densitas biodiesel yang dihasilkan menjadi lebih meningkat.
Biodiesel yang memiliki massa jenis yang melebihi ketentuan, akan
mengakibatkan tingkat keausan, emisi, dan bahkan kerusakan yang tinggi pada
mesin diesel.
4.7.2 Hasil Analisis Viskositas Biodiesel
Viskositas merupakan nilai yang menyatakan besarnya daya hambat dari
suatu zat cair untuk mengalir. Pengukuran viskositas sangat penting untuk suatu
jenis bahan bakar minyak. Viskositas sangat berkaitan dengan suplay konsumsi
bahan bakar ke dalam ruang bakar dan juga mempengaruhi kesempurnaan proses
pengkabutan bahan bakar. Nilai viskositas yang terlalu tinggi akan mengganggu
proses pengkabutan. Nilai viskositas yang rendah dari suatu bahan bakar
mengakibatkan besarnya gesekan dalam ruang bakar karena gerakan piston dalam
prosesnya membutuhkan pelumasan (Sinarep, 2011). Tingginya nilai viskositas
dari suatu bahan bakar dapat menimbulkan dampak yang kurang baik dalam
pengoperasian seperti perekatan jaringan minyak, pengentalan atau pembentukan
gel akibat adanya kontaminan (Akbar, dkk., 2009). Semakin banyak katalis yang
diberikan maka trigliserida akan semakin cepat terpecah menjadi metil ester asam
lemak yang dapat menurunkan viskositas 5-10% (Prihandana, 2006).
Pengukuran viskositas biodiesel dilakukan dengan menggunakan
viskometer Ostwald pada suhu 40 oC. Hasil pengukuran yang dilakukan pada
setiap total biodiesel adalah sebagai berikut:
lxix
Tabel 9. Hasil Analisis Viskositas
Sampel Vikositas Kinematik (cSt) ASTM D6751 (cSt)
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Fe3+
1,68 1,6-5,8
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Mg2+
2,07 1,6-5,8
Menurut ASTM D6751 standar biodiesel yang dianjurkan adalah
1,6 – 5,8 cSt. Hasil pengukuran yang dilakukan untuk biodiesel total dari kultur
dengan penambahan ion Fe3+
dan Mg2+
telah sesuai dengan standar yang
dianjurkan.
4.15 Uji Sifat Kimia Biodiesel
4.8.1 Analisis Asam Lemak Bebas
Analisis asam lemak bebas dilakukan dengan menambahkan alkohol netral
95% ke dalam erlenmeyer yang berisi biodeiesel, kemudian dipanaskan dan
dititrasi dengan KOH menggunakan indikator fenolftalein. Hasil pengkuran asam
lemak bebas yang dilakukan ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 10. Hasil Analisis Asam Lemak Bebas
Sampel FFA (%) FFA ASTM D6751 (%)
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Fe3+
1,3885 % Maksimum 0,45 %
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Mg2+
3,8485 % Maksimum 0,45 %
lxx
Menurut Soerawidjaja dkk., (2005) dan Mittelbach dkk., (2004) dalam
Dyah (2011), kandungan asam lemak bebas yang tinggi dapat mengakibatkan
endapan dalam sistem bakar dan juga merupakan indikator bahwa bahan bakar
tersebut dapat berfungsi sebagai pelarut yang dapat menurunkan kualitas pada
sistem bakar. Kadar asam lemak bebas yang tinggi menunjukkan kualitas yang
buruk pada bahan bakar dan dapat menyebabkan terjadinya korosi pada media
disamping itu juga dapat mengurangi umur dari suatu mesin.
Berdasarkan tabel , asam lemak bebas dari kedua jenis biodiesel yakni
biodiesel dari Chlorella vulgaris yang diberi ion Fe3+
dan Mg2+
, memiliki kadar
asam lemak bebas yang sangat tinggi. Kadar asam lemak bebas yang tinggi ini
dapat dipengaruhi oleh pemanasan terhadap biodiesel serta biodiesel yang
dihasilkan terlalu lama terpapar udara.
4.8.2 Analisis Bilangan Penyabunan
Angka penyabunan merupakan banyaknya mg KOH yang digunakan
untuk menyabunkan 1 g minyak. Bilangan penyabunan menunjukkan secara
relatif besar kecilnya molekul asam lemak yang terkandung dalam minyak.
Minyak yang tersusun atas asam lemak berantai C pendek, berat molekulnya
kecil sehingga angka penyabunannya relatif besar dan sebaliknya (Panangan dkk.,
2011). Bilangan penyabunan mengindikasikan nilai kandungan senyawa
intermediet yaitu mono dan digliserida serta trigliserida yang tidak bereaksi.
Tingginya senyawa intermediet dan trigliserida dalam bahan bakar dapat
mengakibatkan penyumbatan pada mesin (Knothe, 2006). Analisis angka
penyabunan ini dilakukan dengan cara titrimetri.
lxxi
Standarisasi HCl 0,5 N dengan Boraks (Na2B4O7.10H2O) terlebih daulu
dilakukan sebelum digunakan dalam analisis kandungan asam lemak total
biodiesel. Konsentrasi HCl dari hasil standarisasi yang dilakukan adalah
0,4922 N. Analisis asam lemak total dilakukan dengan cara titrasi campuran
biodiesel dan KOH alkoholik dengan HCl 0,4922 N menggunakan indikator
fenolftalein.
Tabel 11. Hasil Analisis Bilangan Penyabunan
Sampel Bilangan Penyabunan
(mg KOH/g)
Bilangan Penyabunan
ASTM (mg KOH/g)
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Fe3+
58,49 < 500
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Mg2+
43,30 < 500
4.8.3 Analisis Bilangan Iodium
Bilangan iod merupakan ukuran ketidak jenuhan dari minyak atau lemak.
Metil ester asam lemak yang memiliki derajat ketidak jenuhan yang tinggi tidak
cocok digunakan untuk biodiesel. Molekul yang tidak jenuh tersebut dapat
bereaksi dengan oksigen dari atmosfer sehingga metil ester tersebut terkonversi
menjadi peroksida. Sebagai akibatnya akan terjadi deposit pada mesin diesel
(Irdoni, 2012).
Analisis bilangan iodium dilakukan dengan cara titrasi menggunakan
Na2S2O3.5H2O yang telah distandarisasi dengan KIO3.
Konsentrasi Na2S2O3.5H2O yang diperoleh pada standarisasi adalah 0,1937 N.
lxxii
Bilangan Iodium untuk biodiesel dari lipid Chlorella vulgaris dapat diamati pada
tabel berikut:
Tabel 12. Hasil Analisis Bilangan Iodium
Sampel Bilangan Iodium (%) Bilangan Iodium ASTM
D6751 (%)
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Fe3+
10,68 Maksimum 115
Biodiesel dari kultur dengan
penambahan ion Mg2+
12,21 Maksimum 115
Hasil analisis bilangan iod pada biodiesel yang dihasilkan baik biodiesel
dari kultur yang ditambahkan ion Fe3+
maupun biodiesel dari kultur yang
ditambahkan ion Mg2+
telah memenuhi standar bilangan iodium menurut ASTM
D6751. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa biodiesel yang dihasilkan dalam
kondisi yang baik dan layak untuk dijadikan sebagai bahan bakar untuk mesin
diesel.
lxxiii
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ion Mg2+
lebih berpotensi meningkatkan jumlah biodiesel fitoplankton
Chlorella vulgaris dengan menghasilkan biodiesel 352,9317 g/kg berat kering,
sedangkan ion Fe3+
menghasilkan biodiesel 351,9618 g/kg berat kering.
Konsentrasi optimum ion Fe3+
yang dapat meningkatkan pertumbuhan
fitoplankton Chlorella vulgaris yaitu 0,3 ppm dan konsentrasi optimum ion Mg2+
adalah 0,4 ppm.
Kuantitas biodiesel dari kultur yang ditambahkan ion Mg2+
adalah
11,5727 gram dan dari kultur yang ditambahkan ion Fe3+
adalah 9,2932 gram.
Kualitas biodiesel dari kultur yang ditambahkan ion Mg2+
sebagian besar telah
memenuhi standar ASTM, kecuali densitas dan % FFA, yakni densitas sebesar
0,95 g/cm3, viskositas 2,07 mm
2/s, % FFA 3,8485 %, angka penyabunan 43,30
mgKOH/g, dan angka iod 10,67 %. Sedangkan kualitas biodiesel dari kultur
yang ditambahkan ion Fe3+
sebagian besar juga telah memenuhi standar ASTM,
kecuali densitas dan % FFA, yakni densitas sebesar 0,94 g/cm3, viskositas 1,68
mm2/s, % FFA 1,3885 %, angka penyabunan 58,49 mgKOH/g, dan angka iod
12,21 %.
lxxiv
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu sebaiknya digunakan sumber
nutrisi dari hasil campuran konsentrasi ion Fe3+
dan Mg2+
yang berpotensi
meningkatkan pertumbuhan fitoplankton. Dalam proses ekstraksi lipid perlu
digunakan uji KLT terhadap ekstrak yang diperoleh untuk memastikan proses
ekstraksi dapat dihentikan. Selain itu, sebaiknya digunakan teknik pemurnian
biodiesel agar kualitas biodiesel yang diperoleh lebih baik. Serta melakukan
analisis terhadap jenis asam lemak yang terdapat dalam lipid dan analisis terhadap
energi yang dihasilkan dari biodiesel yang diperoleh.
lxxv
DAFTAR PUSTAKA
Aidia, 2011, Penggolongan Plankton, (Online),
(http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/penggolongan-plankton.html,
diakses 15 September 2012).
Akbar, E., Yaakob, Z., Kamarudin, S.T., Ismail M., and Salimon, J., 2009.
Characteristic and composition of Jatropha Curcas Oil Seed From
Malaysia and its Potential as Biodiesel Feedstock. Eur. J. Sci. Res., 29 (3):
396-403 .
Alamsyah, A.N., 2005, Biodiesel Jarak Pagar, Agromedia.
Anonim, 2011, Nutrisi Tanaman, (Online),
(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_kim_055328_chapter2.pdf,
diakses 24 September 2012).
Anonim, 2012, Chlorella, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Chlorella,
diakses 07 Maret 2013).
Astuti, J.T., Sriwuryandri, L., dan Sembiring, T., 2011, Pengaruh Penambahan
Mg2+
Terhadap Produktifitas Komposisi Asam Lemak Microalgae
Scenedesmus Sebagai Bahan Biodiesel, Jurnal Riset Industri, 5 (3): 265-
274.
Bayu, A., 2010, Biodiesel dari Mikroalga Laut: Potensi dan Tantangan, Oseana,
35 (1): 15-24.
Bold, H.C., and Wynne, M.J., 1985, Introduction to The Algae: Structure and
Reproduction, Second Edition, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New
York.
Budiastuti, S., Dampak Penyimpangan Iklim Global terhadap Hasil Pertanian,
Agrosains, 11 (1): 22-27.
Budidaya, P., 2009, Budidaya Pakan Alami (Fytoplankton, Zooplankton, dan
Benthos), (online), http://ardivedca.blogspot.com/, diakses tanggal 15
September 2012.
Chon, A.M., dan Krisnandi, E., 1982, Penuntun Praktikim Kimia Analisis
Titrimetri, Pusat Pendidikan dan Latihan, Jakarta.
Crewe, Sabrina, 2010, In the Ocean, Chelsea House Publisher, New York.
Dewick, P.M., 2002, Medicinal Natural Product;A Biosynthetic Approach,
Second Edition, John Wiley and Sons, Chichester.
lxxvi
Djoyowasito, G., Hawa, L.C., dan Argo, B.D., 2010, Aplikasi Gelombang
Ultrasonik dam Kondisi Super Kritis pasa Proses Ekstraksi dan
Transesterifikasi Minyak Mikroalga Nannochloropsis sp Menjadi
Biodiesel, (Online), (http://lppm.ub.ac.id/wrp-
con/uploads/2012/03/Hendrik-Kini.pdf, diakses 15 September 2012).
Dyah, P.S., 2011, Produksi Biodiesel dari Mikroalga Chlorella Sp Dengan
Metode Esterifikasi In-situ, (Online), (http://eprints.undip.ac.id/36596/ ,
diakses 8 Mei 2013)
EL-Metwally, A.E., Abdalla, F.E., El-Saady, A.M., Safina, S.A., and EI-Sawy
S.S., 2010, Response of Wheat to Magnesium and Copper Foliar Feeding
under Sandy Soil Condition, J. Am. Sci., 6 (12): 818-823.
Energy Technology Essentials, 2007, Biofuel Production, International Energy
Agency.
Dragone, G., Fernandes, B., Vicente, A.A., and Teixeira, J.A., 2010, Third
generation biofuels from microalgae, Current Research, Technology and
Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology,
Portugal.
Food and Agriculture of the United Nation (FAO), 2005, Alga Based Biofuel: A
Review of Challenges and Opportunities for Developing Countries,
Environment, Climate Change and Bioenergy Division, Rome.
Guschina, I.A., and Harwood, J.L., 2006, Lipids and lipid metabolism in
eukaryotic algae, Prog. Lipid Res., 45: 160-186.
Haruna, 2011, Unsur Makro dan Mikro pada Tumbuhan, (Online),
(http://anieensama.wordpress.com/2011/07/26/unsur-makro-dan-mikro-
pada-tumbuhan, diakses 24 September 2012).
Healey, F.P., 1973. The inorganic nutrition of algae from an ecological viewpoint.
eRe Crit. Rev. Microb., 3: 69-113.
Hermanto, M.B., Sumardi, Hawa L.C., dan Fiqtinovri, S.M., 2011, Perancangan
Bioreaktor Untuk Pembudidayaan Mikroalga, Jurnal Teknologi Pertanian,
12 (3): 153-162.
Irdoni, H.S., 2012, Pengaruh Kecepatan Pengadukan pada Proses Pembuatan
Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas l) dengan
menggunakan Katalis Abu Tandan Sawit, (Online),
(http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/506/1/irdoni1.PDF,
diakses 8 Mei 2012).
Kennish, M.J., 2001, Practical Handbook of Marine Science,Third Edition, CRC
Press LLC, Florida.
lxxvii
Khola, G., and Ghazala B., 2012, Biodiesel Production From Algae, J. Bot., 44
(1): 379-381.
Knothe, G., 2005, Dependence of Biodiesel Fuel Properties on The Structure of
Fatty Acid Alkyl Esters, Fuel Process Technol., 86: 1059-1070.
Knothe, G., 2006, Analyzing biodiesel : standards and other methods, J. Am. Oil
Chem. Soc., 83 (10): 823-833.
Kristio, M., 2013, Artificial Life Model Proses Fotosintesis dalam Pertumbuhan
Batang Menggunakan Metode Neural Network, (Online),
(web.unair.ac.id/admin/file/f_7862_Jurnal_AI.docx, diakses 08 Mei 2013).
Lalli, C.M., and Parson, T.R., 1997, Biological Oceanography An Introduction,
Second Edition, Elsevier Butterworth-Heinemann, Kanada,
Li, H., Pordesimo, L., and Weiss, J., 2004, High intensity ultrasound-assisted
extraction of oil from soybeans, Food Res. Int., 37: 731–738.
Li, Y., Horsman, M., Lan, C.Q., and Dubois-Calero M., 2008, Biofuels from
Microalgae, Biotechnol. Prog., 24 (4): 815-820.
Liu ZY, Wang GC, and Zhou BC. 2008. Effect of iron on growth and lipid
accumulation in Chlorella vulgaris. Bioresour. Technol., 99 (11): 4717–
4722.
Mata, T.M., Martins, A.A., and Caetano, N.S., 2010, Microalgae for Biodiesel
Production and other Aplications: A Revew, Renew. and Sustainable
Energy Revews, 14 (1): 217-232.
McNamara III, W.B., Didenko, Y.T., and Suslick, K.S., 1999, Sonoluminescence
temperatures during multi-bubble cavitation, Nature, 401:772-775.
Meyen, F.J.F., 1829, Beobachtungen iiber einige niedere Algenformen, Nova Acta
Physico-Medica Academiae Caesareae Leopoldino-Carolinae Nature, 14:
768-778.
Minggang, C., Zhe, L., and Anxiang, Q., 2008, Effects of iron electrovalence and
species on growth and astaxanthin production of Haematococcus pluvialis,
Chin. J. Oceanol. and Limnol., 27(2): 370-375.
Musanif, Jamil, (2010), Bio diesel, Subdit Pengelolaan Lingkungan, Direktorat
Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian.
Nilawati, Destya, 2012, Studi Awal Sintesis Biodiesel dari Lipid Mikroalga
Chlorella vulgaris Berbasis Medium Walne Melalui Reaksi Esterifikasi
lxxviii
dan Transesterifikasi, Skripsi, Program Studi Teknologi Bioproses,
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.
Nybakken, J.W., 1988, Biologi Laut Suatu Pendekata Ekologi, PT. Garmedia,
Jakarta.
Panangan, A.T., Yoandini H., dan Gultom J.U., 2011, Analisis Kualitatif dan
Kuantitatif Asam Lemak Tak JenuhOmega-3 dari Minyak Ikan Patin
(Pangasius pangasius) dengan Metoda Kromatografi Gas, Jurnal
Penelitian Sains, 14 (4): 38-42.
Pimentel, Alexandre, 2008, Alga Chlorella, (Online),
(http://produtospimentel.blogspot.com/2008/05/alga-chlorella, diakses 12
Maret 2013)
Pontoh, J., Surbakti, M.Br., dan Papilaya, M., 2008, Kualitas Virgin Coconut Oil
dari Beberapa Metode Pembuatan, Chem. Prog., 1 (1): 60-65.
Prihandana, R., Hendroko, R., dan Nuramin, M., 2006, Menghasilkan Biodiesel
Murah, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Prihantini, N.B., Damayanti, D., dan Yunianti, R., 2007, Pengaruh Konsentrasi
Medium Ekstrak Tauge (MET) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus Isolat
Subang, Makara Sains, 11 (1): 1-9.
Rachamniah, O., Setyarini, R.D., dan Maulida, L., 2010, Pemilihan Metode
Ekstraksi Minyak Alga dari Chlorella sp. dan Prediksinya Sebagai
Biodiesel, Seminar Teknik Kimia Soehadi Reksowardojo, Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November,
Surabaya.
Rahayu, Martini. 2007. Teknologi Proses Produksi Biodiesel, (Online),
(www.geocities.ws/markal_bppt/publish/biofbbm/biraha.pdf, diakses 22
September 2012).
Reynold. C.S., 2006, The Ecology of Phytoplankton, Cambridge University Press,
New York.
Richmond, A.E., 1986, Microalgae Culture, Crit. Revews in Biotechnol., 4 (3):
369-438.
Romiyatun, D.A., 2009, Klorofil, (Online),
(http://iniblognyaromi.blogspot.com/2009/12/klorofil.html, diakses 24
September 2012).
Rosita, S., 2003, Biosintesis Asam Lemak pada Tanaman, (Online),
(http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita.pdf, diakses 15 Mei 2013).
lxxix
Rosmarkam, A., dan Yuwono, N.W., 2002, Ilmu Kesuburan Tanah, Kanisius,
Yogyakarta.
Seafdec, 1985, Prawn Hatchery Design and Operational, Aquaculture Extention
Manual No. 9, Aquaculture Department, Tigbauan, Ilolo, Philippines.
Sharma, Y.C., Singh, B., and Upadhdyay, S.N., 2008, Advancements in
development and characterization of biodiesel: A review, J. Fuel, 87 (12),
2355-2373.
Sinarep, dan Mirmanto, 2011, Karakteristik Biodiesel Minyak Kelapa yang
dihasilkan dengan cara Proses Pirolisis Kondensasi, Jurnal Teknik
Rekayasa, 12 (1): 8-18.
Stavarache, C., Vinatoru, M., and Maeda, Y., 2007, Aspects of Ultrasonically
Assisted Transesterification of Various Vegetable Oils WITH methanol,
Ultrason. Sonochem., 14: 380-386.
Sudarmadji, S., 1989, Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta.
Suirta, I W., 2009, Preparasi Biodiesel dari Minyak Jelantah Kelapa Sawit, Jurnal
Kimia, 3 (1): 1-6.
Susilaningsih, D., Djohan, A.D., Widyaningrum, D.N., dan Anam, K., 2009,
Biodiesel from Indigenous Indonesian Marine Microalgae,
Nannochloropsis sp., J. Biotechnol. Res. Trop. Reg., 2 (2): 1-4.
Supardan, M.D., 2011, Penggunaan Ultrasonik Untuk Transesterifikasi Minyak
Goreng Bekas, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 8 (1): 11-16.
Surya, D., 2006, Optimalisasi Proses Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Jarak
Pagar (Jathropa curcas L.) Dengan Menggunakan Katalis KOH
Berdasarkan variasi suhu, skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Suslick, K.S., Didenko, Y., Fang, M.M., Hyeon, T., Kolbeck, K.J., McNamara III,
W.B., Mdleni, M.M., and Wong, M., 1999, Acoustic Cavitation and its
Chemical Consequences, Phil. Trans. R. Soc. Lond. A, 357: 335-353.
Taba, P., Zakir, M., Kasim, A.H., dan Fauziah, S., 2011, Penuntun Praktikum
Kimia Fisika, Laboratorium Kimia Fisika Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin,
Makassar.
The Energy Report, 2008, Biodiesel, Texas Comptroller of Public Accounts,
Texas.
Thompson, L.H., and Doraiswamy, L.K., 1999, Sonochemistry: Science and
Engineering, Ind. Eng. Chem. Res., 38: 1215-1249.
lxxx
Triana, V., 2008, Pemanasan Global, Jurnal Kesehatan Masyarakat, II (2): 159-
163.
Triantoro, K., 2008, Alga Mikro Scenedesmus sp. Sebagai Salah Satu Alternatif
Bahan Baku Biodiesel di Indonesia, Karya Tulis Ilmiah, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.
Zahir, F.N., 2011, Peningkatan Produksi Biomassa Chlorella vulgaris dengan
Perlakuan Mikrofiltrasi pada Sirkulasi Aliran Medium Kultur sebagai
Bahan Baku Biodiesel, Skripsi, Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Indonesia, Depok.
Zuhdi, MFA., Sukardi, (2005). Alga Sebagai Bahan Baku Biodiesel, (Online):
(http://www.geocities.com/fathalaz/biodiesel.html] diakses 15 September
2012).
Zuka, Z., McConnel, B., and Farag, I., 2012, Comparison of Freshwater and
Wastwater Medium for Microalgae Growth and Oil Production, J. Am.
Sci., 8 (2): 392-398.