pengaruh penambahan madu hutan dalam ekstrak …digilib.unila.ac.id/32226/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PENGARUH PENAMBAHAN MADU HUTAN DALAM EKSTRAKSTEROID TERIPANG GAMA (Stichopus variegatus) TERHADAPPEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER AIR TAWAR
(Cherax quadricarinatus)
(Skripsi)
Oleh
Wahyu Widianto
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRAK
PENGARUH PENAMBAHAN MADU HUTAN DALAM EKSTRAKSTEROID TERIPANG GAMA (Stichopus variegatus) TERHADAPPEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER AIR TAWAR
(Cherax quadricarinatus)
Oleh
Wahyu Widianto
Dalam budidaya lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) diketahuilobster jantan memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan lobster betina.Madu mengandung senyawa chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitorsedangkan jeroan teripang gama diketahui mengandung senyawa bioaktif sebagaisumber hormon alami, sehingga kombinasi keduanya diharapkan dapatmeningkatkan produksi testoteron dalam upaya pembalikan kelamin juvenillobster. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis madu yang paling efektifdalam pembentukan kelamin jantan lobster air tawar yang ditambahkan dalamekstrak steroid teripang gama 2 ppm dengan perendaman selama 18 jam.Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitudosis madu sebagai perlakuan dengan empat kali ulangan. Perlakuan yang diujiyaitu kontrol (tidak diberi madu), dan pemberian madu dosis 5 ml/L air, 10 ml/Lair, 15 ml/L air, serta 20 ml/L air. Hasil penelitian menunjukkan pemberian dosismadu 20 ml/L air efektif dalam pembentukan kelamin jantan juvenil lobster airtawar (83,75%). Pemberian madu dengan dosis yang berbeda tidak berpengaruhsecara signifikan terhadap persentase kelulushidupan, pertumbuhan yang meliputiberat total dan panjang total, tetapi berbeda nyata terhadap persentase kecacatan.
Kata kunci: ekstrak steroid, lobster air tawar, madu hutan, sex reversal.
PENGARUH PENAMBAHAN MADU HUTAN DALAM EKSTRAK STEROID TERIPANG
GAMA (Stichopus variegatus) TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL
LOBSTER AIR TAWAR
(Cherax quadricarinatus)
Oleh
Wahyu Widianto
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA SAINS
Pada
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lumbirejo, pada tanggal 12 Februari
1997. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan bapak Suprianto dan Ibu Ribka Saptini.
Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-
Kanan (TK) Dharma Wanita Lumbirejo pada tahun 2002,
Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Lumbirejo pada tahun 2004. Pada tahun 2009
penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Negerikaton, kabupaten Pesawaran dan pada tahun 2012 penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pringsewu dan
menempuh pendidikan selama dua tahun. Pada tahun 2014 penulis diterima
sebagai mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Bahasa Inggris Profesi, Biologi Umum, Biosistematika Tumbuhan,
Struktur Perkembangan Tumbuhan, Genetika, Pengantar Amdal, Biologi Laut dan
Karsinologi, di Jurusan Biologi, serta menjadi asisten praktikum mata kuliah
Botani Umum untuk mahasiswa Jurusan Agroteknologi, dan Biologi Umum untuk
mahasiswa Jurusan Agribisnis dan Kehutanan, Fakultas Pertanian. Selain itu,
v
penulis juga aktif berorganisasi menjadi anggota biro Kesekretariatan dan
Logistik (KALOG) di Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO), dan anggota
Departemen Ristek di Unit Kegiatan Mahasiswa Sains dan Teknologi
(SAINTEK), Universitas Lampung.
Pada tahun 2015 penulis melaksanakan Karya Wisata Ilmiah (KWI) di desa
Sidokaton , kecamatn Gisting, kabupaten Tanggamus selama 7 hari. Pada awal
tahun 2017 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa
Kesumajaya, kecamatan Bekri, kabupaten Lampung Tengah selama 40 hari dari
bulan Januari hingga Februari 2017. Pada tahun yang sama penulis juga
melaksanakan Kerja Praktik (KP) di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP)
Samas, Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTKP), Dinas
Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan judul “ Teknik
Pemeliharaan Larva Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) di
Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas”.
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, kupersembahkan karya
sederhana ini sebagai tanda bakti dan kasihku, terutama untuk:
1. Kedua orangtuaku yang telah membesarkanku, membimbing sampai saat ini,
selalu memberikan dukungan dan berdoa untuk keberhasilanku.
2. Adikku tercinta Yehezkiel Diko Ardiansyah yang selalu meberikan semangat
dan dukungan untuk menyelesaikan studiku.
3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang
bermanfaat.
4. Sahabat-sahabatku yang telah menemani saat suka maupun duka.
5. Almamater tercinta Universitas Lampung.
MOTTO
“ I can do all things through Christ, who strengthens me”Philipians 4: 13
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan ekor, engkau akantetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah Tuhan,
Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia”Ulangan 28: 13
viii
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, nikmat, dan
karuniaNya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “ Pengaruh Penambahan Madu Hutan dalam Ekstrak Steroid
Teripang Gama (Stichopus variegatus) Terhadap Pembalikan Kelamin
Juvenil Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)” sebagai salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Sains Bidang Biologi di Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung.
Selama penyusunan skripsi ini penulis menyadari banyak pihak yang telah
membantu baik secara moril maupun materil, sehingga pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. G. Nugroho Susanto, M.Sc. selaku pembimbing utama yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, ide, dan
kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Sutyarso, M.Biomed. selaku pembimbing kedua yang telah
banyak memberikan bimbingan, masukan, dan kritik yang membangun dalam
penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Sri Murwani, M.Sc. selaku pembahas yang telah memberikan saran
dan kritik, serta masukan dalam upaya perbaikan skripsi ini.
ix
4. Ibu Prof. Dr. Ida Farida Rivai, selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, nasihat, dan arahan selama masa studi penulis.
5. Ibu Dr. Nuning Nurcahyani, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung atas segala
bantuan dan dukungan, serta kritak dan saran yang telah diberikan.
6. Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu Dosen, dan seluruh staf Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, khususnya Jurusan Biologi yang telah banyak
memberikan bantuan dan ilmu yang bermanfaat.
8. Seluruh staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Sentra Inovasi dan
Teknologi, dan Laboratorium Biologi Molekuler yang telah banyak
memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian.
9. Gemma Farm Jawa Tengah (Klaten), dan Ibu Rosita pengepul teripang yang
telah turut membantu dalam menyediakan bahan yang dibutuhkan untuk
penelitian ini.
10. Kedua orangtuaku yang telah mendidik dan menyakinkan penulis untuk
menjadi pribadi yang takut akan Tuhan, disiplin, bertanggungjawab, jujur,
dan dapat dipercaya, serta adikku Diko serta keluarga besar di Lampung.
11. Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian ibu Tri Rustanti, S.Pd., M.Si.,
Deni Wahyu Safitri, Istiqomah, Anissa Gena, Aprilia Sari, Yayang Anas P.,
dan Agata Yelin yang telah memberikan banyak bantuan selama penelitian.
12. Rekan-rekan seperjuangan selama perkuliahan, Matthew Maranatha Tamba,
Daniel Argado Simanjuntak, Benardo Kristian Sitorus, Hotasi, Novi
x
Indarwati, Ribka Munthe, Rose Maria Aritonang, Melisa Siahaan, Sola
Gracia Ginting, Elsadai A. Sinaga, terimakasih untuk empat tahun
kebersamaannya.
13. Rekan-rekan Biologi angkatan 2014, terimakasih untuk kebersamaannya
selama perkuliahan di Jurusan Biologi.
14. Rekan-rekan KKN Unila Periode 1 Tahun 2017 khususnya Niko Alexander,
Yogi Maryadi, Julio Cheppy Maulidi, Ditho Nugraha, Guzel, Sugeng,
Oftikasari, Selvi, Deni, kak Uyub, kak lintang, mbak Firda, terimakasih untuk
kebersamaannya selama 40 hari.
15. Rekan-rekan Kerja Praktik di UKBAP Samas dari IPB, UGM, UNDIP,
terimakasih untuk semangat dan kebersamaannya selama 40 hari.
16. Rekan-rekan Bidikmisi 2014, Himbio, UKM Saintek, UKM Kristen, Pom
Mipa, SCI Smanda Pringsewu, Genre Pesawaran, Keluarga Rusunawa, dan
Asrama Imanuel.
17. Keluarga besar Papi Petrus, bang Boy, kak Yani, mas Cipto, bang Teguh dan
seluruh Jemaat GPCC Lampung, terimaksih atas doa, dukungan, nasihat, dan
masukan yang telah diberikan untuk menguatkan penulis.
18. Rekan-rekan GPCC Youth Lampung, terimakasih atas canda dan tawa yang
diberikan.
19. Semua Pihak yang telah membantu selama perkuliahan yang tidak dapat
dituliskan satu persatu.
20. Almamater tercinta Universitas Lampung.
xi
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun penulis berharap bahwa karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca, baik dari
segi pendidikan maupun ilmiah. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
yang terbaik untuk kita semua.
Bandar Lampung, Juni 2018Penulis
Wahyu Widianto
xii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... iv
PERSEMBAHAN.............................................................................................. vi
MOTTO ............................................................................................................. vii
SANWACANA .................................................................................................. vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xvi
I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1A. Latar Belakang ......................................................................................... 2B. Tujuan Penelitian...................................................................................... 5C. Manfaat Penelitian.................................................................................... 5D. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 6E. Hipotesis ................................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9A. Biologi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) ............................. 9
1. Klasifikasi .......................................................................................... 92. Morfologi dan Anatomi ..................................................................... 103. Ekologi dan Tingkah Laku ................................................................ 124. Perkembangan dan Ciri Kelamin Lobster Air Tawar......................... 145. Kualitas Air Pemeliharaan ................................................................. 16
B. Biologi Teripang Gama (Stichopus variegatus) ....................................... 171. Klasifikasi .......................................................................................... 172. Morfologi dan Anatomi...................................................................... 183. Habitat dan Penyebaran ..................................................................... 194. Biokimia Teripang Gama ................................................................... 20
xiii
C. Madu Hutan.............................................................................................. 211. Definisi Madu..................................................................................... 212. Komposisi Madu Hutan...................................................................... 223. Penggunaan Madu Hutan dalam Sex Reversal ................................... 25
D. Sex Reversal (Pembalikan Kelamin) ........................................................ 261. Definisi dan Manfaat Sex Reversal .................................................... 262. Metode Sex Reversal .......................................................................... 27
E. Hormon Steroid ........................................................................................ 281. Definisi dan Kandungan Hormon Steroid .......................................... 282. Hormon Steroid dalam Sex Reversal .................................................. 29
III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 31A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 31B. Alat dan Bahan Penelitian...................................................................... 31C. Desain Rancangan Penelitian................................................................. 32D. Prosedur Penelitian ................................................................................ 33
1. Persiapan Wadah Pemeliharaan dan Pengisian Air ......................... 332. Pembuatan Ekstrak Steroid Teripang............................................... 343. Uji Proksimat Kandungan Madu...................................................... 354. Pelaksanaan Penelitian..................................................................... 36
1. Persiapan dan Aklimasi Hewan Uji ........................................... 362. Seleksi Juvenil Lobster .............................................................. 363. Perlakuan (Treatment) ............................................................... 374. Pemeliharaan Hewan Uji ........................................................... 37
E. Pengambilan Data .................................................................................. 381. Persentase Pembentukan Kelamin .................................................. 392. Kelulushidupan (Survival Rate) ....................................................... 393. Laju Pertumbuhan (Growth Rate).................................................... 404. Panjang Total ................................................................................... 415. Persentase Lobster Cacat ................................................................. 416. Pengukuran Kualitas Air Pemeliharaan ........................................... 42
F. Analisis Data .......................................................................................... 42G. Diagam Alir Penelitian .......................................................................... 43
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................ 44A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 44
1. Persentase Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) Jantan............. 442. Persentase Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) Betina ............ 463. Persentase Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) Interseks ........ 474. Persentase Kelulushidupan Lobster Air Tawar
(C. quadricarinatus) selama 40 hari pemeliharaan.......................... 485. Laju Pertumbuhan Spesifik Lobster Air Tawar
(C. quadricarinatus) Selama 40 hari pemeliharaan......................... 50
xiv
6. Persentase Kecacatan Juvenil Lobster Air Tawar(C. quadricarinatus) Selama 40 hari pemeliharaan......................... 55
7. Kualitas Air Media Pemeliharaan Juvenil Lobster Air Tawar(C. quadricarinatus) Selama 40 hari pemeliharaan......................... 56
8. Hasil Analisis Proksimat Kandungan Madu Hutan ........................ 59B. Pembahasan............................................................................................ 60
1. Keberhasilan Pembentukan Kelamin Pada Juvenil Lobster AirTawar (C. quadricarinatus) ............................................................ 60
2. Kelulushidupan Juvenil Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus)... 633. Pertumbuhan Juvenil Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus)....... 654. Kecacatan Juvenil Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) ........... 685. Kualitas Air Pemeliharaan Juvenil Lobster Air Tawar
(C. quadricarinatus) ........................................................................ 69
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 71A. Kesimpulan ............................................................................................ 71B. Saran ...................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 73
LAMPIRAN....................................................................................................... 82
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Ukuran fisik dan komposisi kimia teripang gama (S. variegatus )segar.................................................................................................... 20
Tabel 2. Kandungan nutrisi madu per 100 g. .................................................... 23
Tabel 3. Rerata hasil pengukuran nilai pH selama 40 hari pemeliharaan ......... 57
Tabel 4. Rerata hasil pengukuran nilai suhu selama 40 hari pemeliharaan ...... 57
Table 5. Rerata hasil pengukuran nilai DO selama 40 hari pemeliharaan ........ 58
Tabel 6. Hasil analis proksimat madu hutan Muaraenim.................................. 59
Tabel 7. Data rerata berat lobster air tawar selama 40 hari pemeliharaan ........ 91
Tabel 8. Rerata laju pertambahan berat lobster air tawar selama 40 haripemeliharaan (Wt-Wo) ....................................................................... 91
Tabel 9. Data rerata panjang lobster air tawar selama 40 hari pemeliharaan ... 91
Tabel 10. Rerata laju pertambahan panjang lobster air tawar selama 40 haripemeliharaan (Lt-Lo).......................................................................... 90
Tabel 11. Data pengukuran suhu air (oC) selama 40 hari pemeliharaan ............. 92
Tabel 12. Data pengukuran derajat keasaman (pH) selama 40 haripemeliharaan....................................................................................... 93
Tabel 13. Data rerata hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) selama 40 haripemeliharaan....................................................................................... 93
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Morfologi lobster air tawar capit merah (C. quadricarinatus).... 9
Gambar 2. Morfologi lobster air tawar. (a) pandangan dorsal,(b)pandangan ventral .................................................................. 11
Gambar 3. Perbedaan organ reproduksi lobster air tawar jantan danbetina ........................................................................................... 15
Gambar 4. Morfologi teripang gama (S. variegatus), (a) dilihat secaraventral, (b) dilihat secara dorsal .................................................. 18
Gambar 5. Struktur kimia senyawa chrysin (5,7-dihidroxy-2-phenyl-4H-chromen-4-one) ........................................................................... 25
Gambar 6. (a) Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene)(b) Rumus bangun testoteron....................................................... 29
Gambar 7. Diagam alir penelitian ................................................................. 43
Gambar 8. Persentase juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus)Jantan........................................................................................... 44
Gambar 9. Persentase juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus)betina ........................................................................................... 46
Gambar 10. Persentase juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus)interseks....................................................................................... 47
Gambar 11. Persentase kelulushidupan juvenil lobster air tawar(C. quadricarinatus) .................................................................... 48
Gambar 12. Juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus) yang mati akibatkanibalisme dari individu lainnya ............................................... 49
Gambar 13. Rerata berat juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus) ........ 50
xvii
Gambar 14. Laju pertambahan berat rerata juvenil lobster air(C. quadricarinatus) selama 40 hari pemeliharaan ..................... 52
Gambar 15. Rerata panjang juvenil lobster air (C. quadricarinatus).............. 52
Gambar 16. Laju pertambahan panjang rerata juvenil lobster air tawar(C. quadricarinatus) 40 hari pemeliharaan ................................. 54
Gambar 17. Persentase kecacatan juvenil lobster air tawar(C. quadricarinatus) .................................................................... 55
Gambar 18. Hasil pengukuran pH selama 40 hari pemeliharaan juvenillobster air tawar (C. quadricarinatus) ......................................... 56
Gambar 19. Hasil pengukuran suhu selama 40 hari pemeliharaan juvenillobster air tawar (C. quadricarinatus) ......................................... 57
Gambar 20. Hasil pengukuran DO selama 40 hari pemeliharaan juvenillobster air tawar (C. quadricarinatus) ......................................... 58
Gambar 21. (a) Pengukuran morfologi panjang dan lebar teripang gama(b) Pengukuran bobot teripang gama ......................................... 94
Gambar 22. (a) Pembedahan sisi ventral tubuh teripang gama(b) Pengeluaran jeroan teripang gama......................................... 94
Gambar 23. Jeroan teripang gama yang telah diblender dan dimaserasiselama 48 jam .............................................................................. 94
Gambar 24. (a) Ekstrak di refluks selama 4 jam pada suhu 550C(b) Ekstrak jeroan teripang setelah di refluks .............................. 95
Gambar 25. (a) Ekstrak jeroan teripang di sentrifugasi selama 15 menitdengan suhu 40C dan kecepatan 3000 rpm.
(b) Ekstrak jeroan teripang yang telah dipisahkan antar residudan supernatan ....................................................................... 95
Gambar 26. (a) Ektrak jeroan teripang di evaporasi hingga pelarut habis(b) Ekstrak yang sudah terpisah dengan pelaut etanol ............... 95
Gambar 27. Ekstrak jeroan teripang disabunkan dengan NaOH sebanyak100 ml dan dicuci dengan akuades sebanyak 50 ml.................... 96
Gambar 28. (a) Ekstrak dievaporasi untuk memisahkan antara ekstrakjeroan teripang dengan pelarut akuades.
(b) Ekstrak diberi phenol ptialin (indikator pp) untuk mengujiadanya kandungan lemak ..................................................... 96
xviii
Gambar 29. (a) Ekstrak teripang ditambahkan dietil etil sebanyak 50 ml(b) Ekstrak teripang yang telah dicuci dengan akuades dan
siap di frezedryer .................................................................. 96
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan potensi perairan yang baik
untuk budidaya berbagai organisme perairan, salah satunya adalah lobster.
Selain itu Indonesia memiliki potensi sumber makanan yang melimpah di alam
dan memiliki siklus musim yang memungkinkan lobster dapat dibudidaya
sepanjang tahun, sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu negara
pemasok lobster air tawar terbesar di pasar internasional (Tim Karya Tani
Mandiri, 2010). Jenis lobster air tawar yang banyak dikembangkan di
Indonesia adalah lobster air tawar capit merah atau red claw (Cherax
quadricarinatus) yang berasal dari Australia (Lukito dan Prayugo, 2007).
Lobster air tawar capit merah atau Cherax quadricarinatus termasuk dalam
anggota Famili Parastacidae. Ciri utama lobster ini adalah ujung capitnya
berwarna merah (Kurniawan dan Hartono, 2007). Tempat hidup jenis lobster
air tawar ini umumnya memiliki ciri khusus seperti sungai yang tepinya
dangkal dengan bagian bawahnya terdiri atas campuran lumpur, pasir, dan
bebatuan, serta dapat ditemukan juga di sungai atau danau yang ditumbuhi
tanaman air (Setiawan, 2010).
2
Seiring meningkatnya permintaan lobster konsumsi dalam memenuhi
kebutuhan pasar dunia baik dalam maupun luar negeri, sektor usaha budidaya
lobster di Indonesia kini semakin banyak dikembangkan. Untuk permintaan
luar negeri umumnya berupa lobster air tawar dewasa yang telah dibekukan
atau berupa lobster segar (Kurniawan dan Hartono, 2009). Beberapa
keunggulan lobster air tawar yaitu mengandung lemak dan garam yang rendah
dibandingkan lobster air laut, serta memiliki daging yang lebih lunak dan
mengandung protein yang cukup tinggi. Sedangkan keunggulan lobster capit
merah dibandingkan dengan jenis lobster lainnya adalah mudah untuk
dibudidayakan, tidak rentan penyakit, pertumbuhannya relatif cepat, memiliki
ukuran cukup besar, bersifat omnivora, serta memiliki fekunditas yang tinggi,
sehingga banyak dibudidayakan oleh masyarakat (Sukmajaya dan Suharjo,
2003).
Lobster air tawar capit merah betina memiliki laju pertumbuhan yang lambat
dibandingkan dengan dengan lobster jantan pada umur yang sama.
Berdasarkan penelitian Sarida (2008) dan Hakim (2008) diketahui lobster
jantan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan lobster betina. Pada umur 7-
8 bulan lobster jantan memiliki berat 30 g/ekor, sedangkan pada umur yang
sama lobster betina hanya memiliki berat 20 g/ekor.
Salah satu cara memproduksi hewan budidaya dengan cepat yaitu dengan
menggunakan sistem budidaya tunggal kelamin (monoseks), melalui metode
pembalikan kelamin (sex reversal). Metode sex reversal merupakan teknik
pengarahan kelamin dengan menggunakan hormon steroid yang diberikan pada
3
saat diferensiasi kelamin, yaitu pada saat periode kritis ketika otak embrio
dalam keadaan bipotensial dalam mengarahkan pembentukan kelamin, baik
secara morfologi, tingkah laku, maupun fungsi (Yamazaki, 1983).
Pada umumnya untuk memproduksi benih monosex jantan dapat
menggunakan hormon sintetik seperti 17α-methyltestosterone (17α-MT).
Namun penggunaan hormon sintetik memiliki beberapa kelemahan yaitu harga
nya relatif mahal dan memiliki dampak negatif bagi lingkungan (Sukmara,
2007). Selain itu Syaifuddin (2004) menyatakan bahwa pemberian hormon
sintetik pada metode sex reversal dapat menimbulkan stres, sehingga tingkat
kelulushidupan larva menjadi rendah. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan
proses pembalikan kelamin kurang sempurna, sedangkan apabila dosis terlalu
tinggi larva lobster memiliki kecenderungan menjadi steril. Sarida et al.
(2010) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk menghindari bahaya
senyawa sintetis dan meringankan biaya produksi yaitu dengan penggunaan
bahan alternatif yang bersifat alami dan mudah diperoleh, seperti madu.
Madu merupakan bahan aternatif yang relatif aman dan ekonomis, karena
mengandung kalium dan chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor
(Haq et al. 2013). Aromatase merupakan jenis enzim yang mengkatalis
konversi testoteron (androgen) menjadi estradiol (estrogen), karena adanya
chrysin sebagai inhibitor maka steroidogenesis akan terhambat, sehingga
menyebabkan pembentukan testoteron yang akan merangsang pertumbuhan
organ kelamin jantan dan menimbulkan sifat-sifat kelamin jantan (Utomo,
2008).
4
Selain penggunaan madu sebagai bahan alami untuk pembentukan monoseks
jantan, steroid dari jeroan teripang juga terbukti dapat meningkatkan rasio
pembentukan kelamin jantan lobster. Riani et al. (2005) menyatakan bahwa
rendemen terbesar berupa ekstrak kasar steroid diperoleh dari jeroan basah
teripang pasir, dari 1 kg jeroan basah (21, 28 g ekstrak kasar) mengandung
steroid sebesar 6,124 µg/Kg testoteron, selanjutnya Kustiariah (2006)
menyatakan bahwa teripang merupakan salah satu biota laut dengan kandungan
protein yang cukup tinggi, dengan kadar lemak rendah, serta dipercaya
sebagai aprodisiaka karena mengandung steroid tinggi.
Penelitian tentang penggunaan larutan madu sebagai media perendaman telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Hasil penelitian Soelistyowati et
al. (2007) menunjukkan bahwa perendaman induk dengan dosis 60 ml/L
memperoleh persentase anakan jantan ikan guppy sebesar 59,5% dan hasil
penelitian Sukmara (2007) dengan metode perendaman larva dalam dosis 5
ml/L menghasilkan anakan jantan ikan guppy sebesar 46,99%. Sedangkan
untuk lama perendaman berdasaran penelitian Gusnanto et al., (2013)
diketahui bahwa perendaman menggunakan ekstrak steroid teripang pasir
(Holothuria scabra J.) selama 18 jam menghasilkan tingkat kelulushidupan
lobster air tawar tertinggi sebesar 75 % dan menghasilkan pembentukan
monoseks jantan tertinggi sebesar 93,25 %. Sedangkan penelitian Sarida
(2008) menunjukkan bahwa ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 2 ppm
mampu menghasilkan individu jantan udang galah (Macrobrachium
rosenbergii de Man) dengan persentase 50,4% dan tingkat kelulushidupan
5
78,9%. Dari beberapa penelitian tersebut membuktikan bahwa dosis madu dan
ekstrak steroid teripang berpengaruh terhadap proses pembalikan kelamin (sex
reversal). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
penambahan dosis madu yang berbeda dalam ekstrak steroid teripang gama
(Stichopus variegatus) pada konsentrasi 2 ppm terhadap pembalikan kelamin
juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
B. Tujuan Penelitaian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dosis madu paling efektif dalam pembentukan kelamin jantan
juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus) yang ditambahkan dalam
larutan ekstrak steroid teripang gama (S. variegatus).
2. Mengetahui persentase nisbah kelamin, kelulushidupan, dan pertumbuhan
yang meliputi berat total dan panjang total lobster air tawar
(C. quadricarinatus) selama pengamatan.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tentang dosis terbaik
penambahan madu dalam ekstrak steroid teripang gama (S. variegatus)
terhadap pembalikan kelamin jantan juvenil lobster air tawar
(C. quadricarinatus) dan informasi pendukung lain terkait usaha budidaya
lobster air tawar (C. quadricarinatus).
6
D. Kerangka Pemikiran
Lobter air tawar capit merah (C. quadricarinatus) banyak dibudidayakan oleh
masyarakat karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak diminati
untuk dikonsumsi karena memiliki nilai gizi yang tinggi. Lobster air tawar
merupakan komoditas perikanan konsumsi yang sangat menjanjikan sebagai
pengganti lobster air laut sehingga permintaan pasar cukup banyak dan usaha
budidaya lobster air tawar di Indonesia semakin meningkat.
Sedangkan dalam budidaya lobster air tawar diketahui pertumbuhan individu
jantan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan betina. Salah satu
upaya dalam meningkatkan produksi lobster air tawar dapat dilakukan dengan
teknik sex reversal yaitu dengan cara pembalikan arah kelamin yang
seharusnya berkelamin betina diarahkan perkembangan gonadnya menjadi
jantan. Sex reversal dilakukan pada saat sebelum terdiferensiasinya gonad
secara jelas antara jantan atau betina pada waktu menetas. Teknik sex reversal
dapat merubah fenotip suatu organisme budidaya tetapi tidak merubah
genotipnya.
Aplikasi sex reversal untuk maskulinisasi dapat dilakukan dengan bahan
hormon sintetis seperti 17α-methyltestosterone secara oral (melaui pakan),
dipping (perendaman pada masa larva), dan secara injeksi atau suntikan.
Namun penggunaan hormon 17α-methyltestosterone dianggap berbahaya dan
memiliki dampak negatif yaitu efek karsinogeik (menyebabkan kanker) jika
diterapkan pada ikan konsumsi dan menimbulkan pencemaran lingkungan,
oleh karena itu perlu dicari bahan alternatif lain yang lebih aman dan ramah
7
lingkungan, seperti ekstrak steroid teripang, madu hutan, atau dengan
kombinasi keduanya.
Madu dipercaya mengandung senyawa chrysin dan kalium yang berperan
sebagai inhibitor aromatase. Kedua zat tersebut dapat menghambat proses
konversi androgen menjadi estrogen, sehingga mengakibatkan peningkatan
efek yang ditimbukan androgen seperti maskulinisasi. Selain itu ekstrak
steroid teripang gama juga berpengaruh terhadap peningkatan testoteron,
sehingga penggunaan madu dan ekstrak steroid teripang gama akan lebih
efektif dalam pembentukan kelamin jantan lobster air tawar. Pemberian dosis
madu dilakukan dengan cara ditambahkan pada rendaman ekstrak steroid
teripang gama dengan konsentrasi 2 ppm selama 18 jam. Hormon yang
dilarutkan dalam media perendaman akan masuk bersamaan dengan masuknya
cairan kedalam tubuh, kemudian dilanjutkan ke sistem peredaran darah dan
mencapai target akhir pada gonad.
Dengan adanya pemberian madu dengan konsentrasi yang berbeda yang
ditambahkan dalam ekstrak steroid diharapkan dapat diketahui dosis yang
paling efektif dalam pembentukan kelamin jantan. Untuk menentukan
pembentukan kelamin jantan lobster air tawar dapat diketahui setelah juvenil
berumur 2-3 bulan, dilihat dari adanya organ kelamin pada tubuh lobster.
8
E. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Penambahan madu dalam ekstrak steroid teripang gama (S. variegatus)
berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan juvenil lobster air tawar
(C. quadricarinatus).
2. Penambahan madu dengan dosis tinggi dapat meningkatkan persentase
kelamin jantan dan laju pertumbuhan juvenil lobster air tawar
(C. quadricarinatus).
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
1. Klasifikasi
Dari beberapa jenis lobster air tawar Cherax merupakan genus yang paling
banyak dikenal. Tiga spesies dari genus Cherax yaitu Cherax tenuimanus
(marron), Cherax destructor (yabbie) dan Cherax quadricarinatus (red
claw) (Jones, 1998). Lobster air tawar capit merah merupakan salah satu
spesies endemik dari kelompok udang (Crustacea), yang pada awalnya
hidup di sungai, rawa, dan danau di kawasan Queensland Australia
(Setiawan, 2010).
Gambar 1. Morfologi Lobster Air Tawar Capit Merah(C. quadricarinatus) (Lukito dan Prayugo, 2007).
10
Klasifikasi lobster air tawar capit merah menurut Holthius (1949), adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Superfamily : Parastacoidea
Famili : Parastacidae
Genus : Cherax
Spesies : Cherax quadricarinatus
2. Morfologi dan Anatomi
Secara umum tubuh lobster air tawar terdiri atas bagian depan yaitu
bagian kepala dan dada yang menyatu (cephalotorax) dan bagian belakang
yaitu bagian badan (abdomen) dan ekor (telson) seperti pada Gambar 2.
Chepalotorax ditutupi oleh cangkang kepala yang disebut carapace yang
berfungsi untuk melindungi otak, insang, hati, dan lambung. Sedangkan
bagian kepala dan perut dihubungkan dengan bagian yang disebut
subchepalotorax (Bachtiar, 2006).
Gambar 2 menunjukkan morfologi lobster air tawar pandangan dorsal dan
ventral. Pada bagian kepala terdapat kelopak dengan bentuk meruncing
11
dan bergerigi yang disebut dengan rostrum, selain itu dibagian kepala
terdapat 6 ruas yang terdiri atas sepasang mata bertangkai pada ruas
pertama, pada ruas kedua dan ketiga terdapat sungut kecil (antenula) dan
sungut besar (antena) yang berfungsi sebagai organ sensor, sedangkan pada
ruas keempat, kelima, dan keenam terdapat rahang (mandibula), maxilla I
dan maxilla II yang berfungsi sebagai alat makan (Priyono, 2009).
Gambar 2. Morfologi lobster air tawar. (a) pandangan dorsal,(b) pandangan ventral (Sukmajaya dan Suharjo, 2006)
Menurut Setiawan (2006), apabila dilihat dari luar, tubuh lobster air tawar
memiliki organ seperti berikut:
1. Sepasang antena yang berfungsi sebagai perasa dan peraba terhadap
pakan dan kondisi lingkungan.
2. Sepasang antenulla yang berfungsi sebagai alat penciuman, dan
sepasang capid (cheliped) dengan ukuran yang lebar dan lebih panjang
dari ruas dasar capitnya.
3. Sepasang maxilla, mandibulata, dan maxillipedia.
12
4. Enam ruas pada bagian badan (abdomen), dengan bentuk memipih dan
ukuran yang lebar.
5. Ekor terdiri atas telson yang memipih dan lebar dan dilengkapi dengan
duri-duri halus yang muncul pada tepi ekor, dan terdapat dua pasang
ekor samping (uropod) dengan bentuk yang memipih.
Pada bagian kepala terdapat lima pasang kaki jalan (periopod), pada tiga
pasang kaki pertama mengalami perubahan bentuk dan fungsi sebagai capit
(chela). Capit tersebut berfungsi sebagai senjata pertahanan, menangkap
mangsa, dan memasukkan makanan kedalam mulut (Priyono, 2009).
Lobster air tawar juga memiliki tulang dalam (internal skeleton), namun
tidak terlihat karena seluruh tubuhnya terbungkus oleh cangkang atau
rangka luar (eksternal skeleton) (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Pada bagian abdomen terdapat 4 pasang kaki renang (pleopod).
Dibandingkan kaki jalan atau capit, ukuran kaki renang jauh lebih kecil
dan pendek. Pada lobster betina, 4 pasang kaki renangnya dapat digunakan
juga untuk melekatkan telurnya pada perut sebelum menetas. Sedangkan
pada bagian ujung abdomen terdapat ekor kipas (uropod) dan telson. Ekor
kipas terdiri dari 5 ruas dan pada saat mengembang akan membentuk
parabola yang menyerupai kipas terbuka (Lukito dan Prayugo, 2007).
3. Ekologi dan Tingkah Laku
Lobster air tawar merupakan organisme yang hidup di daerah tropis dan
banyak terdapat di Australia. Lobster ini dapat hidup di sungai, rawa-rawa,
13
dan danau air tawar yang memungkinkan lobster dapat bertahan dalam
berbagai kondisi dan cuaca (Setiawan, 2010). Pada habitat alaminya
lobster air tawar hidup pada perairan yang dangkal, dan lobster termasuk
hewan nocturnal. Lobster air tawar bersifat omnivora yang makanannya
berupa biji-bijian, umbi-umbian, cacing, lumut, tumbuhan air dan bangkai
hewan. Di tempat budidaya, lobster menyukai makanan berupa pelet.
Lobster mendeteksi adanya makanan disekitarnya dengan menggunakan
antenanya yang panjang, sedangkan untuk menangkap makanannya
menggunakan capit kemudian makanan dipegang menggunakan kaki jalan
pertama lalu makanan diletakkan dekat mulut untuk dimakan secara
perlahan-lahan (Iskandar, 2003).
Dalam pertumbuhannya, lobster air tawar mengalami pergantian kulit atau
dikenal dengan moulting. Lobster memiliki kerangka luar (eksoskeleton)
yang keras dan kaku, sehingga perlu menggantinya apabila tubuh lobster
sudah membesar. Frekuensi moulting pada lobster beriringan dengan
pertambahan umur lobster dan juga laju pertumbuhannya. Semakin sering
lobster melakukan moulting maka pertumbuhanya semakin baik (Lukito
dan Prayugo, 2007).
Pada lobster pergantian kulit pertama terjadi setelah lobster berusia 2-3
minggu. Frekuensi moulting lebih sering terjadi sebelum lobster berusia
dewasa (6-7 bulan), sedangkan setelah dewasa lobster mengalami moulting
2-3 kali sebelum melakukan perkawinan (Wiryanto dan Hartono, 2004).
Sebelum berganti kulit (premoulting) nafsu makan lobster akan menurun
14
dan tidak banyak bergerak serta tubuh terlihat sangat lemah selama kulit
baru belum mengeras, sehingga pada saat premoulting penyerapan air dan
mineral akan lebih besar untuk mempercepat pengerasan kulit (Priyono,
2009).
Selain bersifat omnivora, lobster juga memiliki sifat kanibalisme yaitu
dapat memakan lobster lain, hal ini disebabkan lobster menyukai aroma
amis, dan pada saat muolting kulit lobster masih lunak dan amis, sehingga
mengundang lobster lain untuk memangsanya. Kanibalisme dapat terjadi
jika pakan yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan, pertumbuhan yang
tidak seragam, dan lobster dalam keadaan lemah setelah moulting, sehingga
lobster yang berukuran kecil dan lobster lemah dapat menjadi santapan
lobster yang kuat. Penggunaan shelter dari potongan paralon yang
dirangkai dapat digunakan sebagai tempat sembunyi lobster lemah agar
terhindar dari kanibalisme lobster lain (Hamiduddin, 2005).
4. Perkembangan dan Ciri Kelamin Lobster Air Tawar
Lobster air tawar akan mengalami pembentukan kelamin dan dapat dilihat
dengan jelas setelah lobster berumur 2 bulan dengan panjang tubuh berkisar
5-7 cm. Gambar 3 menunjukan perbedaan dalam perkembangan alat
kelamin jantan pada lobster dilihat pada kaki jalan (periopod) kelima yang
terbentuk benjolan yang disebut genital papillae, sedangkan pada betina
dilihat pada kedua pangkal periopod ketiga terdapat lubang yang disebut
disebut genital openings (Wie, 2006).
15
Selain dilihat dari posisi lubang genital, perbedaan jenis kelamin pada
lobster air tawar capit merah dapat dilihat dari ada tidaknya garis merah
pada tepi luar dari capit (propodus). Pada lobster jantan akan dijumpai
adanya garis merah pada tepi luar propodusnya (Edgerton, 2005). Pada
saat lobster masih juvenil garis merah belum berkembang, karena
pertumbuhan garis merah berhubungan dengan panjang carapace orbital,
biasanya pembentukan garis merah setelah lobster jantan meliliki carapace
orbital mencapai 22 mm (Widha, 2003).
Gambar 3. Perbedaan organ reproduksi lobster air tawar jantan dan betina
Keterangan:a. Organ reproduksi jantan ditandai dengan adanya genital papillae (gp)
yaitu berupa tonjolan yang terdapat pada kaki jalan kelima.b. Organ reproduksi jantan (gp) dengan perbesaran 2,5 kali.c. Organ reproduksi betina ditandai dengan adanya genital openings (go)
yaitu berupa lubang yang terdapat pada kaki jalan ketiga.d. Organ reproduksi betina (go) dengan perbesaran 2,5 kali..
c
d
a
b
16
5. Kualitas Air Pemeliharaan
Dalam pemeliharaan lobster air tawar diperlukan air yang cukup dan
memiliki kualitas yang baik sehingga lobster dapat tumbuh dengan cepat
(Tumembouw dan Melky, 2013). Beberapa parameter penilaian kualitas
air untuk menunjang pertumbuhan dan kelulushidupan lobster air tawar
meliputi temperatur, derajat keasaman (pH), kandungan amonia dan
kekeruhan (Ikrom, 2017). Salah satu persyaratan kualitas air dalam
budidaya lobster air tawar adalah temperatur. Lobster air tawar dapat
tumbuh baik pada temperatur 24-31OC, derajat keasaman (pH) 6-8,
kandungan amonia dalam air pemeliharaan maksimal 2 ppm, dan tingkat
kekeruhan pada angka 30-40 cm (Setiawan, 2006).
Apabila pH terlalu tinggi akan ditambahkan asam fosfor, sedangkan apabila
pH terlalu rendah maka diperlukan penambahan kapur (CaC03) (Setiawan,
2010), sedangkan kesadahan yang optimal untuk pertumbuhan lobster air
tawar yaitu 10-20 dH (Wiyanto dan Hartono, 2003). Kesadahan air sedang
hingga tinggi diperlukan untuk menjaga kandungan kalsium terlarut untuk
menjamin pembentukan cangkang baru dengan baik (KPH Jember, 2006).
Sedangkan kadar oksigen terlarut dalam air untuk lobster dapat hidup
dengan baik adalah 3-5 mg/L sementara itu kandungan karbondioksida
maksimal adalah 10 mg/L (Lim, 2006).
17
B. Biologi Teripang Gama (Stichopus variegatus)
Teripang merupakan kelompok hewan invertebrata laut dari kelas
Holothuroidea (Filum Echinodermata), dan tersebar luas di wilayah laut di
seluruh dunia terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Di Indonesia
eksplorasi bahan aktif berbasis kolagen maupun senyawa aktif lainnya seperti
steroid dan saponin dari teripang (Stichopus) semakin meningkat (Rasyid,
2014).
1. Klasifikasi
Klasifikasi teripang gama menurut Sutaman (1993) adalah
sebagai berikut:
Filum : Echinodermata
Kelas : Holothuroidea
Ordo : Aspidochirotida
Famili : Stichopodidae
Genus : Stichopus
Spesies : Stichopus variegatus
Terdapat 625 jenis teripang di seluruh dunia, dan 10% berada di Indonesia.
Salah satu jenis teripang yang tergolong memiliki nilai jual yang tinggi
adalah teripang gama (S. variegatus) (Yusuf, 2008). Saat ini 29 jenis
teripang menjadi komoditas perdagangan internasional dan lokasi
pengumpulannya secara keseluruhan dari daerah-daerah kepulauan di
Indonesia yaitu termasuk famili Holothuriidae dan Stichopodidae (Darsono,
2007).
18
2. Morfologi dan Anatomi
Umumnya teripang memiliki tubuh lunak berbentuk silinder, memiliki
warna dan corak yang beragam, terdapat tentakel pada bagian mulut dan
kaki tabung, dan beberapa jenis teripang dapat mengeluarkan cairan yang
lengket seperti getah karet yang berfungsi untuk melindungi diri dari
serangan predator (Widigdo et al., 2005). Sedangkan teripang gama
memiliki ciri khusus yaitu memiliki tubuh persegi dan kaku, pada bagian
sentral lebih datar, serta tidak memiliki tabung cuvierian. Memiliki warna
tubuh kuning kecoklatan sampai hijau dengan bintik hitam di sekitar tubuh
seperti pada gambar 5. Apabila dikeluarkan dari air dinding tubuhnya
mudah memanjang atau relaksasi. Maksimum panjang tubuh pada saat
relaksasi adalah 50 cm, tetapi pada umumnya memiliki panjang 35 cm
dengan bobot 1 kg dan ketebalan tubuh sekitar 8 mm (Palomares dan
Pauly, 2011).
Gambar 4. Morfologi teripang gama (S. variegatus),(a) dilihat secara ventral, (b) dilihat secara dorsal.
Secara anatomi teripang gama memiliki bentuk otot yang melingkar, yang
terdiri dari 5 lapisan otot yang memanjang dari bagian oral ke bagian aboral
yang terletak di bawah dinding tubuhnya, yang membentuk rongga berisi
19
organ-organ dalam. Organ dalam teripang tersebut terbagi dalam 11 bagian
yaitu tentakel, kulit luar, kerongkongan, perut atau lambung, usus kecil,
usus halus, gonad, sistem sirkulasi air, cabang-cabang saluran pernafasan,
rumbai-rumbai pada pangkal pernafasan, dan kloaka (Palomares dan Pauly,
2011).
3. Habitat dan Penyebaran
Teripang pada umumnya hidup pada habitat yang kaya akan nutrien dan
berasosiasi dengan terumbu karang, dan beberapa jenis teripang hidup di
laguna, padang lamun, serta paparan pasir dan lumpur. Di Indonesia
teripang banyak tersebar di daerah Riau, Lampung, Sulawesi, Nusa
Tenggara Barat dan Timur, Maluku, dan Papua (Aziz, 1997).
Teripang ditemukan hampir di seluruh perairan pantai, mulai dari daerah
pasang surut yang dangkal hingga perairan yang dalam (Winarni et al.,
2010). Di dasar perairan teripang dapat dijumpai pada daerah berpasir,
sedikit berlumpur dan terdapat pecahan karang bercampur lumpur laut
(Nontji, 2002). Teripang merupakan hewan laut yang peka terhadap
cahaya matahari, sehingga teripang bersifat fototaksis negatif. Banyak
teripang yang ditemukan pada daerah sedikit cahaya matahari seperti
padang lamun, batu karang, dan dasar lumpur berpasir (Yusron et al.,2004).
20
4. Biokimia Teripang Gama
Teripang memiliki nilai penting sebagai biofarma potensial. Beberapa
kandungan kimia dalam teripang basah yaitu protein sebesar 44-45%,
karbohidrat 3-5%, dan lemak 1,5-5%. Selain itu teripang juga mngandung
asam amino esensial, kolagen dan vitamin E. Kandungan asam lemak
penting teripang adalah asam eikosapentaenoat (EPA), dan asam
dekosaheksaenoat (DHA), selain itu teripang juga dipercaya mengandung
senyawa aktif lainnya seperti steroid dan saponin (Rasyid, 2014).
Teripang gama memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein
yang cukup tinggi sesuai dengan Tabel 1. Protein pada teripang memiliki
asam amino yang lengkap baik asam amino esensial maupun nonesensial.
Asam amino berperan penting dalam proses pembentukan otot dan
pembentukan hormon androgen yaitu testoteron yang berfungsi dalam
sistem reproduksi baik untuk meningkatkan libido maupun pembentukan
spermatozoa (Karnila et al., 2011).
Tabel 1. Ukuran fisik dan komposisi kimia teripang gama (S. variegatus )segar.
Ukuran Fisik (Physical size) Nilai (Score)Panjang / length (cm)Lebar / width (cm)Berat / weight ( g )
20.7 ± 4.37.2 ± 0.3195.4 ± 54.6
Komposisi Kimia (Chemical compositian) Nilai (Score)Kadar air / moisture (% wb)Kadar abu / ash (% db)Kadar Lemak / fat (% db)Kadar Protein / protein (% db)
91.19 ± 0.0740.18 ± 1.932.72 ± 0.354.82 ± 0.68
Sumber : (Fawzya et al., 2016)
21
Ekstrak teripang gama dipercaya memiliki senyawa aktif steroid yang
bersifat semipolar (Meydia, 2016). Senyawa aktif steroid mengandung
hormon testoteron dan berperan dalam pembentukan organ kelamin jantan,
fungsi reproduksi, serta perilaku seksual (Sarida, 2008). Komposisi kimia
kandungan lemak teripang gama berkisar 2,87 % berat kering (Alhana et
al., 2015), jenis teripang lainnya (Stichopus horrens) juga mengandung
lemak yang tinggi yaitu 3,04% berat kering (Forghani et al., 2012)
sehingga dipercaya bahwa ekstrak teripang Stichopus mengandung lemak
yang lebih tinggi bila dibandingkan jenis teripang lainnya yang umumnya
kurang dari 2% (Aydin et al., 2011).
C. Madu Hutan
1. Definisi Madu
Madu merupakan cairan kental alami yang memiliki rasa manis yang
dihasilkan oleh lebah madu dengan bahan baku nektar yang berasal dari
sari bunga atau cairan dari bagian-bagian tanaman yang dukumpulkan,
diubah, dan diikat dengan senyawa-senyawa tertentu oleh lebah dan
disimpan dalam sarangnya. Nektar yang dihisap oleh lebah kemudian
dikeluarkan lagi dan dikunyah hingga akhirnya disimpan dalam sel hingga
masak akibat adanya enzim invertase (Sari, 2011). Sedangkan nektar
merupakan senyawa kompleks yang dihasilkan dari kelanjar tanaman
dalam bentuk larutan gula. Sebagian energi yang diperoleh lebah madu
22
berasal dari karbohidrat dalam bentuk gula (Tim Karya Tani Mandiri,
2010).
Madu berdasarkan lingkungannya dibedakan menjadi dua yaitu madu hutan
dan madu ternak. Perbedaan anatara kedua jenis madu tersebut meliputi
jenis lebah, cara perlakuan dan kandungan dalam madu tersbeut. Madu
ternak berasal dari lebah madu Apis cerana dan Apis mellifera sedangkan
madu hutan berasal dari lebah madu Apis dorsata. Dalam perlakuaannya
madu hutan tidak dapat ditangkarkan (Bima, 2013), sedangkan perbedaan
kandungan madu meliputi kadar invertase, prolin, oligosakarida dan rasio
fruktosa (Joshi et al., 2000). Madu hutan liar memiliki warna hitam
kemerah-merahan sedangkan madu ternak berwarna kekuning-kuningan
karena berasal dari tanaman pertanian disekitar hutan (Tim Karya Tani
Mandiri, 2010).
2. Komposisi Madu Hutan
Beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi dalam madu yaitu letak
geogafis, sumber botani nektar, serta kondisi lingkungan dan iklim
(Erejuwa, 2012). Pada umumnya nektar mengandung 40-80% air
sedangkan madu kental hanya mengandung air 10-20 % karena mengalami
proses penguapan (Sari, 2011). Tabel 2 menunjukan kandungan mineral
yang terdapat pada madu budidaya.
23
Tabel.2 Kandungan nutrisi madu budidaya per 100 gam.
No. Komposisi Jumlah1234567891011121314151617181920
EnergiKarbohidratGulaSerat panganLemakProteinAirRiboflavin (Vitamin B2)Niacin (Vitamin B3)Panthotenic acid (Vitamin B5)Vitamin B6Folate (Vitamin B9)Vitamin CKalsiumBesiMagnesiumPhosporusPotassiumsodiumZink
1272 kal (304 kkal)82,4 g82,12 g0,20 g0,3 g17,10 g0,038 mg0,121 mg0,068 mg0,024 mg2,25 mg0,5 mg6 mg0,42 mg2 mg4 mg52 mg4 mg0,22 mg
Sumber : (Sakri, 2015)
Kandungan terbesar dari madu adalah karbohidrat yang berkisar 95%, dan
sebagian besar terdiri dari fruktosa dan glukosa. Madu memiliki variasi
indeks glikemik dari 32 hingga 85, semakin tinggi kadar glukosa maka
indeks glikemik semakin rendah (Bogdanov et al., 2008). Manfaat madu
berkaitan dengan kandungan gula yang lebih tinggi, fruktosa 49%, glukosa
35%, dan sukrosa 1,9%, dan beberapa unsur lainnya seperti kandungan
tepung sari dengan berbagai enzim pencernaan (Tim Karya Tani Mandiri,
2010). Karbohidrat berperan sebagai sumber energi yang paling mudah
dan cepat dalam penyedian energi, selain itu apabila kesediaan karbohidrat
cukup maka dapat mencegah penggunaan protein berlebih (Kusman, 2006).
24
Selain karbohidrat madu juga mengandung protein, enzim, asam amino,
mineral, vitamin, serta senyawa aroma dan folipenol (Bongdanov et al.,
2008). Beberapa kandungan asam organik dalam madu yaitu gliokolat
asam format, asam laktat, asam sitrat, asam asetat, asam oksalat, asam
malat, dan asam tartarat beberapa asam organik tersebut berperan dalam
metabolisme tubuh. Selain asam organik yang mengandung asam amino
non esensial untuk pembentukan protein, juga terdapat asam amino esensial
seperti lysin, histidin, dan triptofan (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Lemak dibutuhkan bagi perkembangan larva crustacea hingga menjadi
juvenil. Lemak berguna sebagai sumber energi dan bahan pembentuk asam
lemak esensial (Sheen dan D’Abramo, 1991).
Beberapa kandungan mineral dalam madu seperti kalsium yang berperan
dalam proses pengerasan kulit setelah udang atau lobster saat mengalami
pergantian kulit (Zaidy, 2008). Magnesium berperan dalam mengaktifkan
fungsi replika sel, protein, dan energi. Mangan berfungsi sebagai
antioksidan, yodium berguna bagi pertumbuhan dan membantu
pembakaran apabila kelebihan lemak. Besi membantu dalam proses
pembentukan sel darah merah dalam tubuh. Apabila kekurangan mineral
seng akan menurunkan kesehatan lobster dan menyebabkan lobster mudah
terinfeksi. Madu juga mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin B2
dan beberapa enzim serta antibiotika, semua kandungan tersebut berperan
dalam pembentukan antibodi dan penghambat pertumbuhan sel kanker
(Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Selain itu vitamin berperan dalam
25
pembentukan kulit baru setelah crustacea mengalami moulting (Sheen dan
D’Abramo, 1991).
3. Penggunaan Madu Hutan dalam Sex Reversal
Madu hutan dipercaya memiliki khasiat yang lebih tinggi dari madu biasa
karena sifat madu hutan yang masih alami dan tidak adanya tambahan zat-
zat lain (Purbaya, 2002). Madu alami mengandung banyak senyawa-
senyawa golongan flavonoid seperti apigenin, pinokembrin, kaempferol,
quercetinum galagin, chrysin, dan hesperetin (Najafi et al., 2013).
Senyawa chrysin berfungsi sebagai aromatase inhibitor alami (IJEACCM,
2006) yang struktur kimianya terdapat pada Gambar 6. Adanya aromatase
inhibitor dapat menimbukan efek maskulinisasi dengan meningkatkan
persentase kelamin jantan pada ikan nila ( Oreochromis sp.) (Kwon et al.,
2000). Penurunan konsentrasi estrogen akibat adanya crysin sebagai
inhibitor yang menghambat kerja enzim aromatase sehingga menyebabkan
produksi hormon testoteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan lebih
dominan dan mengarahkan kelamin menjadi jantan (Sarida et al., 2010)
Gambar 5. Struktur kimia senyawa chrysin (5,7-dihidroxy-2-phenyl-4H-chromen-4-one) (Kasala et al., 2015)
26
Madu mengandung berbagai mineral seperti kalium, kalsium, magnesium,
dan natrium yang memiliki sifat alkali (Marhiyanto, 1999). Adanya
mineral-mineral tersebut menyebabkan tubuh lobster menjadi alkali,
sehingga berpengaruh terhadap kelulushidupan kromosom X dan kromosom
Y. Sesuai dengan sifatnya bahwa kromosom Y lebih tahan pada keadaan
basa (Irawan, 2000). Kalium didalam madu dapat merubah lemak menjadi
prenegnolon, kemudian mengubah estrogen menjadi progesteron
(Damayanti et al., 2013).
D. Sex Reversal (Pembalikan Kelamin)
1. Definisi dan Manfaat Sex Reversal
Sex reversal merupakan salah satu teknologi pembalikan arah
perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Sex reversal menyebabkan
ikan yang seharusnya berkelamin jantan dapat diarahkan perkembangan
gonadnya menjadi betina ataupun sebaliknya (Zairin, 2002). Pada dasarnya
sex reversal hanya merubah phenotip ikan tetapi tidak merubah
genotipnya, sehingga pada umumnya teknik ini dilakukan sebelum
terjadinya diferensiasi seksual secara jelas antara jantan ataupun betina
(Masduki, 2010).
Beberapa manfaat teknik sex reversal yaitu untuk meningkatkan
pertumbuhan ikan, mencegah terjadinya pemijahan liar, mendapatkan
penampilan yang baik pada ikan, dan menunjang genetika ikan (Zairin,
2002). Selain itu, menurut Tripod (2010), teknik sex reversal memiliki
27
beberapa keuntungan diantaranya yaitu, teknologi ini dapat menghasilkan
ikan jantan secara masal, penerapan teknologi yang relatif mudah, tidak
memerlukan biaya yang besar dan menghasilkan keuntungan yang berlipat
ganda dari hasil penjualan ikan jantan, serta dapat digunakan untuk
mendapatkan induk jantan unggul.
2. Metode Sex Reversal
Untuk memperoleh populasi monosex ada dua metode yang digunakan
yaitu dengan cara langsung melalui terapi hormon dan secara tidak
langsung melalui rekayasa kromosom. Sex reversal merupakan teknik
monosex secara langsung. Metode langsung memiliki kelebihan utama
yaitu mudah dan sederhana serta dapat diterapkan pada semua jenis ikan
sedangkan kelemahan metode ini yaitu keberhasilannya sangat beragam
(Zairin, 2002).
Sex reversal pada umumnya dapat dilakukan dengan menggunakan hormon
steroid baik melalui perendaman, penyuntikan, atau secara oral melalui
pemberian pakan. Pada metode perendaman diharapkan hormon akan
masuk kedalam tubuh ikan melalui proses difusi. Perendaman dengan
menggunakan steroid dapat dilakukan pada larva atau induk ikan yang
sedang bunting (Zairin, 2002). Perlakuan pemberian dosis hormon akan
berkaitan dengan lama perlakuan (Piferrer, 2001). Untuk menghasilkan
metode sex reversal yang optimal, jika dosis yang diberikan relatif rendah
maka lama perlakuannya diperpanjang, namun apabila pemberian dosis
28
yang terlalu tinggi dan masa perlakuan yang panjang dapat mengakibatkan
terjadinya kemandulan (Chatain et al., 1999).
E. Hormon Steroid
1. Definisi dan Kandungan Hormon Steroid
Hormon steroid merupakan molekul berukuran kecil yang dapat masuk
kedalam sel yang struktur bangunnya dapat dilihat pada Gambar 7a, namun
hanya sel-sel sasaran yang memiliki reseptor khusus sehingga dapat
mengikatnya dan mempengaruhi sintesis protein (Mc Donald, 1980).
Umumnya Steroid pada hewan dapat dihasilkan dari organ reproduksi
seperti testis, ovari, korteks, dan plasenta (Voet et al., 1999). Jeroan
teripang diketahui mengandung steroid tertinggi dibandingkan dengan
bagian tubuh lainnya (Riani et al., 2005).
Hormon memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan
fisiologis, dan umumumnya hormon bekerja sebagai aktivator spesifik serta
dapat bekerja dengan baik pada konsentrasi kecil (Robbins, 1996).
Hormon steroid mengandung hormon adrenal, androgen, dan estrogen yang
dapat larut dalam lemak, dan testoteron (Murray et al., 2001). Hormon
steroid merupakan turunan kolesterol, dengan rumus bangun berupa cincin
siklopentana (Kustiariah, 2006), sedangkan Gambar 7b menunjukkan
struktur kimia testoteron.
29
Gambar 6. (a) Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene)(b) Rumus bangun testoteron (Kustiariah, 2006).
2. Hormon Steroid dalam Sex Reversal
Hormon androgen merupakan salah satu golongan steroid. Hormon
androgen dihasilkan dari testis dan befungsi dalam maskulinisasi dan
pertahanan tubuh. Jenis hormon androgen yang dihasilkan secara alami
oleh tubuh yaitu testoteron struktur bangunya seperti pada gambar 7b, 11α-
ketotestoteron dan dihydrotestoteron (Sower dan Iwarnoto, 1985).
Beberapa fungsi dari hormon androgen diantaranya yaitu menstimulasi
proses spermatogenesis tahap akhir, meningkatkan pertumbuhan dan
aktifitas ekspresi dari organ kelamin pelengkap, perkembangan kelamin
sekunder dan berpengaruh terhadap tingkah laku seksual (Martin, 1979).
Hormon steroid yang diinduksi pada kelopok crustacea dapat menstimulasi
terjadinya peningkatan testoteron, sehingga mengarah pada pembentukan
kelamin jantan (Sarida, 2006). Keberhasilan penggunaan hormon steroid
dalam sex reversal ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan
umur ikan, dosis hormon dan waktu pemberian, serta cara pemberian
hormon (Soelistyowati, 2007). Hormon steroid berpengaruh terhadap
30
sintesis protein. Reseptor hormon steroid berada didalam sel, kemudian
hormon yang telah berikatan akan ditransfer kedalam inti sel untuk
melakukan modifikasi terhadap sintesis protein, sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur enzim maupun aktifitasnya dan berpengaruh
terhadap perubahan fisiologis yang dikehendaki oleh hormon yang
bersangkutan (Affandi dan Tang, 2002).
31
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksankan pada bulan Oktober 2017 – Maret 2018, di
Laboratorium Penelitian Biologi Molekuler, gedung MIPA Terpadu, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bak fiber kapasitas 48 liter
untuk aklimasi, bak kaca untuk perlakuan dengan kapasitas 5 liter, bak
pemeliharaan larva dengan kapasitas 22 liter, blower untuk penyuplai oksigen,
batu aerasi 20 buah, selang aerasi sepanjang 2 meter sebanyak 20 buah, shelter
pipa paralon 0,5 inchi sebanyak 400 buah, selang penyedot kotoran 10 m.
Pengukuran kualitas air menggunakan pH meter untuk mengukur derajat
keasaman, DO meter untuk mengukur oksigen terlarut, termometer untuk
mengukur suhu air. Lup dan mikroskop binokuler untuk pengamaan morfologi
larva lobster, cawan petri untuk wadah larva lobster, milimeter blok untuk
pengukuran panjang tubuh larva lobster, dan neraca digital untuk pengukuran
berat tubuh larva losbter, ember plastik untuk penampungan tandon air volume
100 liter, skopnet untuk mengabil sisa kotoran yang melayang di permukaan
32
air. Beberapa alat untuk pembuatan ekstrak steroid yaitu instrumen refluks,
rotary vacum evaporator, sentrifuge, labu ukur 500 ml, gelas beaker 250 ml,
tabung reaksi, pipet tetes.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji berupa
larva lobster air tawar capit merah (C. quadricarinatus) berusia 2-3 minggu
dan sudah mengalami ekdisis yaitu sebanyak 400 ekor, ekstrak steroid dari
jeroan teripang gama (S. variegatus), madu hutan asal Muaraenim, pakan
lobster berupa cacing sutera dan pelet. Air media pemeliharaan, etanol 95 %,
kalium hidroksida (KOH) 1 M dan 0,5 M, dietil eter, akuades, dan phenol
ptialin / indikator pp untuk pembuatan ekstraksi teripang.
C. Desain Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 5 perlakuan meliputi 1 perlakuan
kontrol tanpa penambahan madu atau hanya diberi ekstrak steroid dengan
dosis 2 ppm saja dan 4 perlakuan penambahan dosis madu yang berbeda dalam
ekstrak steroid dengan dosis 2 ppm dan masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 4 kali dengan setiap bak pemeliharaan terdiri dari 20 ekor larva
lobster dengan kepadatan 4 ekor tiap liter. Semua perlakuan dilakukan
perendaman selama 18 jam. Desain perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:
33
1. SMA. Larva lobster air tawar direndam dalam ekstrak steroid dosis 2 ppm
(Kontrol) .
2. SMB. Larva lobster air tawar direndam dalam ekstrak steroid dosis 2 ppm
dan ditambahkan madu sebanyak 5 ml / L air.
3. SMC. Larva lobster air tawar dierndam dalam ekstrak steroid dosis 2 ppm
dan ditambahkan madu sebanyak 10 ml / L air.
4. SMD. Larva lobster air tawar dierndam dalam ekstrak steroid dosis 2 ppm
dan ditambahkan madu sebanyak 15 ml / L air.
5. SME. Larva lobster air tawar dierndam dalam ekstrak steroid dosis 2 ppm
dan ditambahkan madu sebanyak 20 ml / L air.
D. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Wadah Pemeliharaan dan Pengisian Air
Wadah pemeliharaan larva menggunakan bak plastik volume 22 liter.
Sebelum digunakan harus bibersihkan dan disucihamakan terlebih dahulu
dengan kaporit (CaOCl) 10 mg/l, kemudian dibilas dengan menggunakan
air steril dan dijemur hingga kering selama 24 jam. Pengisian air dilakukan
setelah bak kering. Air yang digunakan merupakan air sumur yang telah
ditandon terlebih dahulu selama 3 hari dengan salinitas 0 ppt. Pengisian air
kedalam bak pemeliharaan dilakukan hingga ketinggian air 5 cm dan
diendapkan selama 2-3 hari.
34
2. Pembuatan Ekstrak Steroid Teripang
Pembuatan ekstrak steroid teripang gama dilakukan di Laboratorium
Sentra Inovasi dan Teknologi, Universitas Lampung. Mekanisme
pembuatannya adalah sebagai berikut:
1. Pengeluaran dan pemisahan jeroan teripang dari daging teripang diikuti
pengawetan sementara dalam freezer pada suhu 4oC.
2. Ekstraksi lemak teripang dilakukan dengan maserasi pada jeroan
teripang dengan pelarut etanol menggunkan cara refluks dengan
perbandingan bahan dan pelarut 1 : 2 (berat/volume) pada suhu 40o-
50oC selama 3-4 jam atau hingga pelarut habis.
3. Hasil ekstrak disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
menit pada suhu 4oC.
4. Supernatan hasil sentrifugasi dievaporasi dengan menggunakan rotary
vacum evaporator hingga seluruh pelarut menguap dilakukan pada suhu
55oC.
5. Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan 50 ml KOH 1 M dan
direfluks kembali dalam suhu 70oC selama 1 jam, kemudian campurkan
hasil refluks dan didinginkan dengan penambahan akuades sebanyak
100 ml.
6. Campuran refluks dimasukan kedalam tabung pemisah dan disabunkan
dengan dietil eter sebanyak 100 ml, kemudian dikocok dan diendapkan
hingga diperoleh supernatan dan residu. Residu dipisah dan disabubkan
35
kembali dengan cara yang sama hingga diperoleh supernatan kedua dan
ketiga.
7. Semua supernatan yang diperoleh digabungkan, kemudian dimasukkan
kedalam corong untuk dicuci dengan menggunakan akuades 40 ml
sebanyak 3 kali.
8. Residu yang diperoleh dipisahkan dan ditambahkan KOH 0,5 M 40 ml
dan 1 tetes phenol ptialin (pp), kemuadian dikocok dan didiamkan
hingga terbentuk dua fasa.
9. Dua frasa yang terbentuk lalu dipisahkan, kemudian supernatan yang
diperoleh ditambahkan akuades 40 ml, dikocok, dan didiamkan kembali
hingga terbentuk dua frasa, lalu dipisahkan kembali.
10. Supernatan ditambah KOH 0,5 M sebanyak 40 ml, dikocok dan
didiamkan kembali hingga terbentuk dua fasa lalu dipisahkan kembali.
11. Supernatan dicuci dengan akuades hingga tidak terlihat lagi warna
merah muda jika ditambah indikator pp.
12. Larutan yang diperoleh kemudian dievaporasi dengan rotary vacuum
evaporator hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55oC).
13. Ekstrak yang sudah jadi dikeringkan selama 18 jam hingga terbentuk
serbuk putih halus dengan menggunakan frezedryer, kemudian ekstrak
steroid yang sudah jadi disimpan pada suhu ruang.
3. Uji Proksimat Kandungan Madu
Uji proksimat kandungan madu dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil
Pertanian (THP), Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tujuan
36
dilakukan uji proksimat adalah untuk mengetahui adanya kandungan
protein, lemak, kadar abu, kadar air, dan beberapa mineral yang terdapat
dalam madu hutan yang berasal dari Muaraenim.
4. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan dan Aklimasi Hewan Uji
Juvenil lobster digunakan dalam penelitian ini berumur 2-3 minggu
atau berukuran panjang tubuh 2-2,5 cm sebanyak 400 ekor yang berasal
dari Gemma Farm (Klaten) Jawa Tengah. Juvenil lobster tersebut
kemudian diaklimasi pada bak pemeliharaan sementara dengan
pemberian pakan, suplai oksigen, dan sanitasi bak yang dianggap
memadai sebelum perlakuan pemberian homon steroid dan madu.
Tujuan aklimasi adalah agar lobster dapat menyesuaikan dengan
kondisi lingkungan yang baru sebelum penelitian dimulai.
2. Seleksi Juvenil Lobster
Seleksi juvenil lobster dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri
morfologi lobster tersebut, seperti panjang tubuh, kelengkapan organ
serta lobster dalam kondisi sehat dan tidak ada kecacatan. Seleksi
lobster dilakukan satu hari sebelum dimasukan dalam bak perlakuan.
37
3. Perlakuan (Treatment)
Perlakuan dilakuan dengan metode perendaman. Dalam bak perlakuan
kontrol (SMA) diisi juvenil lobster sebanyak 80 ekor dan direndam
dalam ekstrak steroid 2 ppm, dalam bak perlakuan kedua (SMB) diisi
juvenil lobster sebanyak 80 ekor dan direndam dengan ekstrak steroid 2
ppm kemudian ditambah madu hutan 5 ml/ L air, dalam bak perlakuan
ketiga (SMC) diisi juvenil lobster sebanyak 80 ekor dan direndam
dengan ekstrak steroid 2 ppm kemudian ditambah madu hutan 10 ml/ L
air, dalam bak perlakuan keempat (SMD) diisi juvenil lobster sebanyak
80 ekor dan direndam dengan ekstrak steroid 2 ppm dan ditambah
madu hutan 15 ml/ L air, dalam bak perlakuan kelima (SME) diisi
juvenil lobster sebanyak 80 ekor dan direndam dengan ekstrak steroid 2
ppm kemudian ditambahkan madu hutan 20 ml/L air. Pemberian ektrak
steroid dan madu dilakukan secara bersamaan, kemudian semua lobster
dalam perlakuan direndam selama 18 jam.
4. Pemeliharaan Hewan Uji
Pemeliharaan juvenil lobster dilakuan selama 40 hari sehingga dapat
dibedakan jenis kelamin lobster uji. Setelah direndam dalam bak
perlakuan kemudian lobster dipindahkan ke bak pemeliharaan
berukuran 50 x 50 x 30 cm dengan kepadatan 20 ekor per wadah.
Pemeliharaan dapat dilakukan dengan pemberian pakan berupa pelet
dan cacing sutera setiap pagi dan sore hari. Selama pemeliharaan
38
kualitas air harus dijaga dengan cara melakukan pergantian air total dua
kali dalam seminggu dan melakukan penyiponan setiap pagi sebelum
pemberian pakan. Selain itu diperlukan pengukuran suhu air, DO, dan
pH untuk mengetahui kualitas air selama pemeliharaan.
E. Pengambilan Data
1. Persentase Pembentukan Kelamin
Untuk menentukan persentase kelamin yang terbentuk dapat dilakukan
pengamaan dengan menggunakan lup / kaca pembesar berdasarkan
ciri-ciri yang ada yaitu adanya tonjolan yang terdapat dikedua pangkal
periopod kelima dan lubang pada periopod ketiga. Penentuan jenis
kelamin dilakukan pada akhir penelitian. Menurut Effendi (1979),
persentase pembentukan kelamin dapat ditentukan dengan perhitungan
sebagai berikut:
Keterangan:
J = Persentase jenis kelamin jantan (%)
A = Jumlah lobster berkelamin jantan (ekor)
T = Jumlah sampel lobster yang diambil (ekor)
J (%) = x 100 %
39
Keterangan:
B = Persentase jenis kelamin betina (%)
A = Jumlah lobster berkelamin betina (ekor)
T = Jumlah sampel lobster yang diambil (ekor)
Keterangan:
I = Persentase individu interseks (%)
A = Jumlah lobster interseks (ekor)
T = Jumlah sampel lobster yang diambil (ekor)
2. Kelulushidupan (Survival rate)
Tingkat kelulushidupan populasi adalah persentase jumlah individu
yang berpeluang hidup selama masa pemeliharaan untuk menentukan
produksi yang akan didapat (Najayati, 1992). Untuk menentukan
kelulushidupan lobster maka dapat dihitung seesuai dengan rumus
berikut ini (Effendi, 1992) :
B (%) = x 100 %
I (%) = x 100 %
40
Keterangan:
SR = Kelulushidupan lobster uji (%)
Nt = Jumlah lobster uji pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah lobster uji pada awal penelitian (ekor)
3. Laju Pertumbuhan (Gowth rate)
Untuk menentukan laju pertumbuhan lobster maka dapat dilakukan
dengan mengukur rata-rata berat lobster yang ditimbang dengan
menggunkan neraca digital dan panjang total pada awal pengamaan
dan akhir pengamaan yang dihitung berdasarkan waktu pemeliharaan.
Menurut Tacon (1987), untuk menentukan laju pertumbuhan lobster
air tawar dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Keterangan:
BT = Berat Total (gam)
Wt = Berat rata-rata lobster pada akhir pengamaan (gam)
Wo = Berat rata-rata lobster pada awal pengamaan (gam)
t = Waktu antar pengamaan (lama pemeliharaan)
SR = x 100 %
BT = x 100%
41
Panjang total merupakan perubahan panjang rata-rata individu pada
tiap perlakuan dari awal pengamaan hingga akhir pengamaan. Panjang
total (cm) ditentukan berdasarkan selisih panjang akhir dan panjang
awal selama pemeliharaan. Panjang total dapat dihitung berdasarkan
rumus Effendi (2004), sebagai berikut:
Keterangan:
L = Pertumbuhan panjang total (cm)
Lt = Panjang rata-rata akhir (cm)
Lo = Panjang rata-rata awal (cm)
4. Persentase Lobster Cacat
Persentase jumlah lobster yang cacat atau kelainan morfologi dapat
dilihat dengan menggunakan loop pada akhir pengamaan. Menurut
Sarida (2008), persentase lobster cacat dapat dilakukan perhitungan
dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
C = Persentase lobster cacat (%)
A = Jumlah lobster cacat pada akhir pengamaan (ekor)
T = Jumlah sampel yang diamati (ekor)
L = Lt - Lo
C (%) = x 100 %
42
5. Pengukuran Kualitas Air Pemeliharaan
Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali, setiap pukul
15.00 WIB, yang meliputi:
1. Dissolved Oksigen (DO) atau oksigen terlarut yang diukur
menggunakan DO meter.
2. pH atau derajat keasaman yang diukur dengan menggunakan pH
meter elektrik.
3. Suhu diukur dengan menggunakan termometer.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain yaitu persentase
kelamin jantan, persentase kelamin betina, persentase individu interseks,
persentase kelulushidupan, laju pertumbuhan yang meliputi berat dan
panjang total, persentase lobster cacat, dan kondisi kualitas air
pemeliharaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan
software SPSS 16 dengan analisis ragam (One Way ANOVA), jika
terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) dengan taraf 0,05.
43
G. Diagam Alir Penelitian
Secara skematis diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagam alir penelitian
Persiapan Alat dan Bahan
Pembuatan ekstraksteroid teripang gama
Uji proksimat kandunganmadu hutan Muaraenim
Persiapan hewan uji dan aklimasi selama 3hari
Seleksi juvenil lobster air tawar
Perlakuan (Perendaman 18 jam)SMA= Kontrol (Steroid 2 ppm)SMB= Steroid 2 ppm + madu hutan 5 ml/L airSMC= Steroid 2 ppm + madu hutan 10 ml/L airSMD= Steroid 2 ppm + madu hutan 15 ml/L airSME = Steroid 2 ppm + madu hutan 20 ml/L air
Pemeliharaan hewan uji selama 40 hari Pemberian pakan pagi (09.00 WIB) dan sore (17.00
WIB) Pengukuran pH, DO, dan Suhu (10 hari sekali) Penyiponan setiap 3 hari sekali dan pergantian air
setiap 10 hari sekali
Pengambilan data setiap 10 hari sekali yang meliputipanjang total (cm), bobot (g), jenis kelamin, kecacatan,
dan jumlah lobster hidup.
Analisis data
71
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Penambahan madu pada dosis yang berbeda dalam ekstrak steroid
teripang gama (S. variegatus) 2 ppm berpengaruh terhadap pembalikan
kelamin juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus). Dosis madu 20
ml/l air merupakan dosis paling efektif dalam pembentukan kelamin
jantan lobster tersebut yaitu 83,75%.
2. Kelulushidupan juvenil lobster air tawar (C. quadricarinatus) tertinggi
pada pemberian dosis madu 5 ml/L air yaitu 56,25%, berat total
tertinggi pada pemberian dosis madu 10 ml/L air yaitu 1,216 gram, dan
panjang total tertinggi pada pemberian dosis madu 20 ml/L air yaitu
3,691 cm.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan jenis madu yang
berbeda dengan dosis madu yang lebih tinggi dari 20 ml/L air dengan
kepadatan individu lobster air tawar lebih rendah dari 5 ekor per liter
air pemeliharaan untuk mengurangi tingginya mortalitas juvenil lobster
air tawar akibat kanibalisme.
72
2. Perlu dilakukan penelitian tentang sumber hormon alami lainnya yang
berasal dari biota laut untuk meningkatkan pembentukan kelamin
jantan lobster air tawar (C. quadricarinatus).
3. Perlu dilakukan penelitian tentang kandungan testoteron juvenil lobster
air tawar (C. quadricarinatus) setelah di lakukan perendaman dengan
madu pada dosis yang berbeda dan ekstrak steroid teripang 2 ppm.
73
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. dan U.M. Tang. 2006. Fisiologi Hewan Air. UNRI Press. Riau.
Alhana, J. Suptijah, dan K.Tarman. 2015. Ekstraksi dan Karakterisasi Kolagendari Teripang gama. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 150-61.
Arisandi, A. 2012. Efektivitas dan Efek Toksik Ekstrak Steroid Teripang dan 17αMetiltestoteron pada Manipulasi Kelamin Udang Galah. Jurnal Kelautan.5(2): 108-114.
Aydin, M., B. Emre, H. Taufan, K. Se, dan Sevgili. 2011. Proximate Compositionand Fatty Acid Profile of Three Different Fresh and Dried CommercialSea Cucumbers From Turkey. Int J. Food Sci Tech, 4(6):500–508.
Aziz A. 1997. Status Penelitian Teripang Komersial di Indonesia. Oseana. 22 (1):9-19.
Bachtiar, Y. 2006. Usaha Budidaya Lobster Air Tawar di Rumah. AgromediaPustaka. Jakarta.
Bima. 2013. Bubblews http://www.bubblews.com/news/667951/what-is-the-difference-forest-honeyand-honey-farm. Jurnal online. Diakses padatanggal 16 Oktober 2017.
Bogdanov S, T. Jurendic , P. Gallman. 2008. Honey for Nutrition and Health: aReview. J Am Coll Nutr. 27 (3) :67-79.
Boyd. C.E. 2003. Bottom Soil and Water Quality Management in Shrimp Ponds.The Hawort Press, Inc. Pg. 11-33
Chatain B, E. Saillant dan S. Peruzzi. 1999. Production of Monosex MalePopulations of European Seabass, Dicentrarchus labrax L. By Use OfThesynthetic Androgen 17-methyldehydrotestosterone. AquacultureJournal, 178: 225-234.
Connel, D.W dan Miller, G.J. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. UIPress. Jakarta. hal. 520.
74
Damayanti, A. A., S.Wayan, Wildan. 2013. Aplikasi Madu Untuk PengarahanJenis Kelamin Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dinas Perikanandan Kelautan. Jurnal Perikanan. 2 (2): 82-86.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungan denganToksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Darsono, P. 2005. Teripang (Holothurians) Perlu dilindungi. BidangSumberdaya Laut. Puslit Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Dean, W. 2004. Chrysin: Is it an Effective Aromatase Inhibitor. Vitamin ResearchNews. 18(4). 76-84.
Dee W. 2007. Textbook of Arthropoda-Crayfish. University of Winnipeg. Canada.
Edgerton, B.F. 2005. Freshwater Crayfish Production For Poverty Allevation.World Aquaculture Journal. 36: 48-64.
Effendi, Irzal. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya . Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya danLingkungan Perairan. Kanisisus . Yogyakarta.
Erejuwa O., S.A. Sulaiman, M.S.A Wahab. 2012. Honey - A Novel AntidiabeticAgent. International Journal of Biological Sciences. 2: (2) 78-79.
Fawzya, Y.N. , E. Chasanah, H.I. Januar, dan R. Susilowati. 2015. Chemicalcomposition and fatty acid profile of some Indonesian sea cucumbersSqualen Bull of Mar and Fish. Postharvest and Biotech. 10 (1), 27-34.
Ferreira, I.C.F., E. Barreira, E. Aires, dan J.C.M. Estevinho. 2009. AntioxidantActivity of Portuguese Honey Samples: Different Contributions of TheEntire Honey and Phenolic Extract. Food Chemistry. 114: 1438-1443.
Forghani, B., A.A. Hamid , A. Ebrahimpour, J. Bakar, N.Sari, and Z. Hassan.2012. Enzyme Hydrolysates from Stichopus horrens as a New Source forAngiotensin-Converting Enzyme Inhibitory Peptides. Evidence-BasedComplementary and Alternative Medicine, Online Journal. Article ID236384: pg. 9.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan.Rineka Cipta. Jakarta.
Gencay, C., A.E. sunay, B. Kiliconglu, E. Erdemly, K. Kismet, M.A. Akkus, S.Errel, and S. Muratonglu. 2008. Effect of Honey on BacterialTranslocation and Intestinal Morpgology in Obstructive Jaundice. WorldJournal of Gastroentherology. 14 (21): 3410-3415.
75
Gusnanto, A., G.N. Susanto, dan S. Murwani. 2013. Maskulinisasi Lobster AirTawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Steroid Teripang Pasir(Holothuria scabra) Pada Umur Larva yang Berbeda. Prosiding SeminarNasional Sains dan Teknologi V, Lembaga Penelitian UniversitasLampung. Bandar lampung.
Hakim, R.R. 2008. Peningkatan Keberhasilan Pembentukan Monosex JantanLobster Air Tawar (Cheraq quadricarinatus) Melalui Pemberian HormonMetiltestoteron dengan Perendaman yang Berbeda. Skripsi. JurusanPerikanan Fakultas Peternakan-Perikanan UMM. Malang.
Hamdani, A.Y. 2017. Pengaruh Lama Perendaman Dan Variasi Dosis EkstrakSteroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Terhadap Pembalikan KelaminJuvenil Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Tesis. ProgramMagister Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hammidudin, H. 2005. Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhandan Rasio Konversi Pakan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus).Jurnal Ilmiah Perikanan. 3(1). 2-3
Handajani, H. 2006. Pengujian Hormon Metiltestoteron Terhadap KeberhasilanMonosex Jantan Lobster Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) JurnalProtein, Fakultas Peternakan-Perikanan UMM. (13) 1. 63-72.
Haq, H.B., A. Yustiati, T. Herawati. 2013. Pengaruh Lama waktu PerendamanInduk dalam Larutan Madu Terhadap Pengalihan Kelamin Anak IkanGuppy (Poecilia reticulata). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(3): 117-125.
Harper J. dan G. Jeffrey. 2008. Morphologic Effect of Stress Response in Fish.ILAR Journal. 50(3): 387-396.
Holthus, L. B. 1949. Decapoda Macrura With Revision of the New GuineaParastacidae. Zoological result of the dutch New Guinea Expedition.Nova guinea: 59. 289-328.
Huberman, A. 2000. Shrimp Endocrinology. A Review Aquaculture. 191: 191-208.
IJEACCM. 2006. Evaluation of a new Class 1 substance “Chrysin”. IJEACCM03.http://medsafe.govt.nz/regulatory/CompMed/PIL/IJEACCM/3/Chrysin.pdfdiakses pada tanggal 16 oktober 2017.
76
Ikrom, F.D. 2017. Pengaruh Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra)dan 17α Metiltestoteron pada Suhu yang Berbeda Terhadap PembalikanKelamin Juvenil Lobster Air Tawar ( Cherax quadricarinatus). Tesis.Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengtahuan Alam,Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Irawan, D. 2000. Pemisahan Sel Spermatozoa Sapi Madura Kromosom Seks Xdan Y dengan Teknik Sentrifugasi Menggunakan Kolom Percoll. Skripsi.Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Iskandar . 2003. Budidaya Lobster Air Tawar. Jurnal Akuakultur Indoensia4 :1-4.
Joshi S.R., H.Pechhacker , A. William, W. Von der Ohe. 2000. Physico-chemicalcharacteristics of Apis dorsata, A. Cerana, and A. mellifera Honey.
Jones, C. 1998. Breeding red claw – Management and Selection of Broodstock.Departement of Primary Industries. Queensland.
Kasala, E.R.,C.B. Chandan, and N.D. Laksmi. 2015. Chemopreventive Effect ofChrysin, A Dietary Flavone Against Benzo (A) Pyrene Induced LungCarcinogenesis In Swiss Albino Mice. Pharmacological Reports Journal.66 (310-318).
Karnila, R., A. Made, Tutik, W. Sukarno. 2011. Karakteristik Konsentrat ProteinTeripang Pasir (Holothuria scabra J.) dengan Bahan Pengekstrak Aseton.Jurnal Perikanan dan Kelautan 16(1): 90-102.
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember. 2006. Habitat dan PenyebaranLobster Air Tawar. File pdf. www.kphjember.com. Diakses pada 09Oktober 2017.
Kurniawan, T. dan Hartono, 2007. Pembesaran Lobster Air Tawar Secara Cepat.Penebaran Swadaya. Jakarta.
Kustiariah. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Aktivitas Biologis SenyawaSteroid Dari Teripang Sebagai Aprodisiaka Alami. Tesis. Program studiBioteknologi, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusman. 2006. Pembenihan Lobster Air tawar : Meraup Untung dari LahanSempit. AgroMedia Pustaka. Jakarta. hal. 120.
Kwon, J.Y., B. McAndrew, D. Penman, L.M Hurtado, and V. Hagnapah. 2000.Masculinization of Genetic Female Nila Tilapia (Oreocromis sp.) byDietery Administration of An Aromatase Inhibitor During SexualDifferentiation. Journal of Experiment Zoology. 287: 46-53.
77
Law, A.T., A.B.A. Munafi, dan Y.H. Wong. 2002. Effect of Hydrogen Ion onMacrobrachium rosenbergii (de Man) Egg Hatchability in BrackishWater. Aquaculture Journal. 247-251.
Lim.2006. The Extreme Dinisty Unit (EDU). http://www. Terrybillard.com/crayfishmain.htm. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2017.
Lukito, A. Dan S. Prayugo. 2017. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta.Penebar swadaya.
Marhiyanto, B. 1999. Peluang Bisnis Beternak Lebah Madu. Penerbit Gitamedia.Surabaya. Hal. 49.
Martati, E. 2006. Efektivitas Madu Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Guppy(Poecilia reticulata). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Martin C.R. 1979. Textbook of Endocrine Physiology. Oxford University Press.New York.
Masduki, E. 2010. Sex Reversal. SUPM Negeri Bone. Sulawesi Selatan.
Meydia, S. Pipih, S. Rudy. 2016. Isolasi Senyawa Steroid dari Teripang Gama(Stichopus variegatus) dengan Berbagai Jenis Pelarut.Jurnal IPB. FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
McDonald L.E. 1980. Veterinary Endocrinology And Reproduction: ThirdEdition. Lea and Febiger. Philadelphia.
Millamena, O. M., R.M. Coloso and F.P. Pascual. 2002. Nutrition in TropicalAquaculture. Essentials of Fish Nutrition, Feed, and Feeding of TropicalAquatic Species. SEAFDCEC. Philippines. Pg. 221.
Mukti, A.T, A. Ermawan, dan A.S Mubarak. 2009. Pengaruh Penambahan Madudalam Pakan Induk Jantan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)Terhadap Rasio Jenis Kelamin Larva. Jurnal Ilmiah Perikanan danKelautan 1(1): 37-42.
Muray, P. Ana , M. Claudia, M.S Alicia and S.M Marta. 2002. Patagonicoside A :A Novel Antifungal Disulfated Triterpene Glycoside From The SeaCucumber Psolus Patagonicus. Tetrahedron, J. Tetrahedron. 5(57) : 9563-9568.
Najafi, M., and E.O. Tahereh. 2013. Traditional and Modern Uses of NaturalHoney in Human Diseases: A Review. Iranian Journal of Basic MedicalScience. 16(6): 731–742.
78
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nurlina dan Zulfikar. 2016. Pengaruh Lama Perendaman Induk Ikan Guppy(Poecilia reticulata) dalam Madu Terhadap Nisbah Kelamin Jantan (SexReversal) Ikan Guppy. Acta Aquatica Sciences Journal. 3(2): 75-80.
Palomares, M.L.D., and D. Pauly. 2011. Ecosystem Size Spectra as Indicator ForRegional Seas. Fisheries Centre, University of Colombia, Canada. pg. 45-46.
Patasik, S. 2005. Pembenihan Lobster Air tawar Lokal Papua. Penebar Swadaya.Jakarta
Piferrer, F. 2001. Endocrine Sex Control Strategis For Feminization Of TeleostsFish. Aquaculture Journal. 197: 229 – 281.
Priyono, E. 2009. Alternatif Penambahan Suplemen Hayati Untuk MeningkatkanPertumbuhan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Tesis.Program pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Priyono, E., Muslim, dan Yulisman. 2013. Maskulinisasi Ikan Gapi (Poecilliareticulate) Melalui Perendaman Induk Bunting dalam Larutan Madudengan Lama Perendaman Berbeda. Program Studi Budidaya Perairan,Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Indralaya.
Purbaya R.J. 2002. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. Edisi 1.Pionir Jaya. Bandung.
Racotta, I.S., E. Palacios, and M.A Ibarra. 2003. Shrimp Larvae Quality inBroodstock Condition. Aquaculture Journal. 227(4) : 107-130.
Rasyid, A. 2014. Potensi Pemanfaatan Teripang (Stichopus variegatus) SebagaiSuplemen Makanan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 40 (2): 49-55.
Riani, E., Syamsu, K. Kaseno, Nurjanah, S. Kurnia. 2005. Pemanfaatan SteroidTeripang Sebagai Aprosidiaka Alami. Laporan Hibah PenelitianPascasarjana. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Robbins, A. 1996. Androgens and Male Sexual Behavior. Trends EndoclinolMetab 7(1):345-359.
Sagi , A., and D. Cohen. 1997. Growth, Maturation and Progency Of SexReversed Macrobrachium rosenbergii males . World AquacultureJournal. (21): 87-90
79
Sari N. 2011. Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan Kadar GlukosaDarah dan Gambaran Histologi Pankreas Tikus Putih (Rattus norvegicus)jantan. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makassar.
Sakri F.M. 2015. Madu dan Khasiatnya Suplemen Sehat Tanpa Efek Samping.Diandra Pustaka Indonesia. Yogyakarta.
Sarida, M. 2008. Efektifitas Ekstrak Streoid Teripang Pasir (Holothuria scabra)Dalam Produksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man)Jantan. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas lampung.Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi –II 2008 UniversittasLampung, 17-18 November 2008. Hal. 197-208
Sarida, M., Tarsim, B. Epro. 2010. Penggunaan Madu dalam Produksi IkanGuppy Jantan (Poecillia reticulate). Pusat Penelitian dan PengembanganPerikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan danPerikanan. Pasar Minggu. Jakarta
Setiawan, C. 2006. Teknik Pembenihan dan Cara Cepat Pembesaran Lobster AirTawar. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Setiawan, C. 2010. Jurus Sukses Budidaya Lobster Air Tawar. AgromediaPustaka. Jakarta.
Setyohadi, D., G.D.R. Wiadya, dan Soemarno. 2001. Pengaruh Aerasi danResirkulasi Bio-Filter Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Udang GalahMacrobrachium rosenbergii (de Man). Jurnal Biosain (1) 1: 39-46.
Server. D.M.,C. Moriaty, H.A. Davies, J. Brown, T. Halliday, and V. Waight.1999. Sperm Stroge in Females of The Smooth Newt (Triturus vulgarisL.) Ultrastructure of The Spermathecal During The Breeding Season.Journal of Experimental Zoology. 283: 51-70.
Sheen S, dan L.R. D’Abramo. 1991. Response of Juvenile Freshwater PrawnMacrobrachium rosenbergii to Different Levels Of A Cod Liver OilMixture In A Semi-Purified Diet. Aquaculture Journal. 93: 121 – 134.
Soelistyowati, D.T., E. Martati, H. Arfah. 2007. Efektivitas Madu TerhadapPengarahan Kelamin Ikan Gapi (Poecillia reticullata Peters). Tesis.Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sower, S.A., and R.N. Iwamoto. 1985. The Identification of The Sex Steroid,Testosterone In Various Commercial Salmon Diets. Aquaculture Journal.49:11-17.
80
Subandiyono, dan S. Hastuti. 2010. Nutrisi Ikan. Lembaga Pengembangan danPenjaminan Mutu Pendidikan, Universitas Diponegoro. Semarang. hal.233.
Sudrajat, A, O., M. Sarida. 2006. Effectivity of Aromatase Inhibitor and 17α-Metiltestosteron Treatments In Male Production of Freshwater Prawn(Macrobrachium roserbergii de Man). Aquaculture Indonesian Journal. 7(1):117-125.
Sudrajat, O.A., D.I. Astutik, dan H. Arfah. 2007. Sex Reversal Ikan Nila Merah(Oreochromis sp.) Melalui Perendaman Larva Menggunakan AromataseInhibitor. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Sukmajaya, Y. Dan Suharjo. 2003. Mengenal Lebih Dekat Lobster Air Tawar,Komoditas Perikanan Prospektif. Agromedia Pustaka Utama. Sukabumi
Sukmara. 2007. Sex Reversal Pada Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters) SecaraPerendaman Larva Dalam larutan Madu 5 ml/l. Jurnal Perikan dan Kelautan.Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. 6(2):118-124.
Sutaman. 1993. Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Kanisius. Yogyakarta.
Syaifuddin, A. 2004. Pengaruh Pemberian Suplemen Madu pada Pakan Larva IkanNila Gift (Oreochromis niloticus) terhadap Rasio Jenis Kelaminnya. Skripsi.Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Lobster Air Tawar. NuansaAulia. Bandung.
Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Beternak Lebah Madu.Nuansa Aulia. Bandung.
Tomembouw, S., dan L. Melky. 2013. Tingkat Pencemaran Air sungai Tondano diKelurahan Ternate Baru Kota Manado. Jurnal Budidaya Perairan 1(2): 42-48.
Tripod. 2010. Teknik Budidaya (Secara Sex Reversal).http://mitrabisnis.tripod.com/hiasbd.html. Diakses pada 12 Oktober 2017.
Utomo, B. 2008. Efektifitas Penggunaan Aromatase Inhibitor dan Madu terhadapNisbah kelamin ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters) .Skripsi. ProgramStudi Teknologi dan Manajemen Akuakultur Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Voet D, J.G Voet, and C.W Pratt. 1999. Fundamentals of Biochemistry. JohnWiley & Sons, Inc. USA.
81
Wie, L. C. 2006. Pembenihan Lobster Air Tawar : Meraup Untung dari LahanSempit. Agromedia Pustaka. Jakarta
Widha W. (2003). Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lobster Air Tawar JenisRed Claw (Cherax quadricarinatus, Von Martens, Crustacea,Parastacidae). Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Widigdo, B., M. Krisnanti, S. Suwignyo, dan Y. Wardiyatno. 2005. Avertebrataair. Penebar Swadaya. Jakarta.
Winarni, D., A.N. Kristanti, E.D. Masithoh, dan M. Affandi. 2010. PotensiTeripang Pantai Timur Surabaya Sebagai Modulator Imunitas AlamiTerhadap Mycobacterium tuberculosis. Unair. Surabaya.
Wiyanto, R. dan Hartono. 2004. Lobster Air Tawar dan Perkembangbiakannya.Gramedia. Jakarta.
Yamazaki, F.1983. Sex Contro1 and Manipulation in Fish. Aquaculture Journal33: 329–354.
Yusuf, 2008. Perbaikan Kualitas Produk Industri Kecil Teripang. Jurnal Sainsdan Teknologi Indonesia. 2(3). 52-55.
Yusron, E. dan W. Pitra. 2004. Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) diBeberapa Perairan Pantai Kai Besar, Maluku Tenggara. Jurnal Makara,Sains. 8(1) 15-20.
Yuwany. 2000. Pengaruh Lama Perendaman induk Ikan Gapi (Poecilia reticulatePeters) dalam Akriflavin Terhadap Nisbah Kelamin Keturunannya.Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zaidy , A.B. 2008. Pendayagunan Kalsium Media Perairan dalam Proses GantiKulit dan Konsekuensinya Bagi Pertumbuhan Udang Galah,(Macrobrachium rosenbergii De Man). Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan danPerikanan Indonesia. 2: 117-125
Zairin, M.J. 2002. Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.Penebar Swadaya. Jakarta.