pengaruh suhu rendah terhadap bakteri gram positif
DESCRIPTION
Pengaruh Suhu Rendah Terhadap Bakteri Gram PositifTRANSCRIPT
Pengaruh Suhu Rendah Terhadap Bakteri Gram Positif
Tugas Mikrobiologi Pangan Lanjut
Dosen Pengajar:Dr.Ir. Harsi D. Kusumaningrum
Nanang Nasrullah – F251080111
PENGARUH SUHU RENDAH TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF
1. PENDAHULUAN
Mikroorganisme mampu beradaptasi secara optimum pada lingkungan fisiologis
yang normal. Setiap perubahan ekstrim pada kondisi lingkungan akan
mengakibatkan stress terhadap mikroorganisme. Lamanya perubahan tersebut
akan menentukan apakah organisme tersebut mati, terhambat pertumbuhannya,
atau memperpanjang fase lag dan penurunan kecepatan pertumbuhannya (Ray,
1986, Russel dkk, 1995)
Mikroorganisme melakukan hal tersebut dengan menyesuaikan diri terhadap
keadaan dan bertahan hidup atau berusaha untuk tetap tahan terhadap keadaan
stress tersebut (Herbert 1989). Untuk kebanyakan organisme, jika sel itu
mendapat peluang yang cukup untuk dapat menyesuaikan diri pada kondisi
lingkungan yang buruk maka kemampuan terhadap toleransi ini dapat dicapai
hingga batas maksimum.
Suhu rendah tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat
perkembangbiakannya. Terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang jauh dari
keadaan optimal ini maka akan mendorong terjadinya respon yang kompleks
untuk dapat bertahan dari keadaan stress tersebut. Strategi ini mendorong
mikroorganisme untuk berusaha bertahan hidup ketimbang untuk melakukan
pertumbuhan. Dengan demikian pertumbuhan mikroorganisme semakin menurun
seiring dengan semakin rendahnya suhu, dan akhirnya di bawah “suhu
pertumbuhan minimum” perkembangbiakannya akan terhenti.
Setelah terpapar pada keadaan stress fisik, penting bagi mikroorganisme untuk
tetap menjaga fisiologi dan operasional sel. Hal ini dilakukan dengan menjaga
struktur komponen-komponen sel seperti protein, selaput, dan ribosom dan
menjaga sistem yang penting sel seperti diantarnya sintesis protein (Berry dan
Foegeding, 1997).
Beberapa mikroorganisme mampu mengubah komposisi asam lemak membran
selnya setelah penurunan suhu, pH, aktivitas air (aw) atau pengawet. Hal ini
mengakibatkan fluiditas membran naik turun, dan mendorong membran untuk
melanjutkan fungsi normalnya meskipun dalam keadaan kondisi stress tersebut
(Russell dkk, 1995).
Banyak organisma menunjukkan pengaruh pola spesifik ekspresi gen, yang
nampaknya diperlukan untuk adaptasi optimal terhadap stress tertentu (Berry dan
Foegeding 1997). Resistensi atau adaptasi mikroorganisme terhadap kondisi-
kondisi seperti itu akan mendorong tumbuhnya mikroorganisme perusak dan
patogen.
2. BAKTERI GRAM POSITIF
Dinding sel bakteri gram positif terdiri atas peptidoglikan yang sangat tebal yang
memberikan kekakuan untuk mempertahankan keutuhan sel.
Proses perakitan dinding sel bakteri diawali dengan pembentukan rantai peptida
yang akan membentuk jembatan silang peptida yang menggabungkan rantai
glikan dari peptidoglikan pada rantai yang lain sehingga menyebabkan dinding sel
terakit sempurna.
Jika ada kerusakan pada dinding sel atau ada hambatan dalam pembentukannya
dapat terjadi lisis pada sel bakteri sehingga bakteri segera kehilangan kemampuan
membentuk koloni dan diikuti dengan kematian sel bakteri.
3. MEKANISME PENGARUH SUHU RENDAH
Suhu merupakan faktor ekstrinsik yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Seluruh mikroorganisme psikrofilik asidofilik dan halofilik
dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang ekstrim (Herbert 1986;
Daeschel, 1999). Psikrofilik adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh pada 0 °C
dan mempunyai temperatur pertumbuhan optimum sekitar 15 °C dan suhu
maksimum sekitar 20 °C (Prescott dkk,1990). Dibandingkan dengan mahluk
tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat lebar
(kira-kira – 15 s/d 90 °C).
Mikroorganisme memiliki kisaran batasan lingkungan dan masa hidup tertentu
berdasarkan keadaan optimalnya. Berdasarkan suhu optimumnya,
mikroorganisme dibagi menjadi psikrofil dengan suhu optimum kurang dari + 20
°C, mesofil (+20° s/d + 40 °C) dan termofil (lebih dari +40 °C).
Tabel 1. Pertumbuhan Optimum Bakteri Gram PositifGenus atau spesies Suhu pertumbuhan minimum (°C)
Patogen atau potensial patogen
Bacillus cereusStaphylococcus aureusS. aureus pembentuk enterotoxinClostridium botulinum tipe AClostridium perfringensClostridium botulinum tipe E dan beberapa strain tipe B dan F
10 5 – 1310 - 19 5 - 8 9 3,5 – 5-18
Mikroorganisme index atau indikator
Streptococcus faecalis ±0
Mikroorganisme penyebab busuk
Bacillus subtilisStreptococcus faeciumLactobacillus sp
12±0 – 3 1
Suhu pertumbuhan minimum yang tertera dalam Tabel 1 hanyalah angka
perkiraan dan secara eksperimental hanya berlaku untuk beberapa strain dari
spesies tertentu dan tidak dapat berlaku umum. Adanya perubahan sedikit saja
pada nilai aw atau pH telah dapat menyebabkan peningkatan suhu pertumbuhan
secara drastis.
Apabila mikroba dihadapkan pada suhu rendah maka akan dapat menyebabkan
gangguan metabolisme. Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan berhenti,
sedangkan pada suhu tinggi organisme ini akan mati. Pada kedua situasi di atas
terkait dengan proses terjadinya metabolisme yang menyebabkan terjadinya
kerusakan bahan makanan. Kerusakan ini bergantung pada jenis dan kecepatan
proses pembekuan. Akibat-akibatnya adalah:
1. Cold Shock, adalah penurunan suhu yang tiba-tiba menyebabkan kematian
baketi, terutama pada bakteri muda atau pada fase logaritmik,
2. Pembekuan (freezing) adalah rusaknya sel dengan adanya kristal es di dalam
air intra seluler,
3. Lyofilisasi, adalah proses pendinginan di bawah titik beku dalam keadaan
vakum secara bertingkat. Proses ini dapat digunakan untuk mengawetkan
mikroba karena air protoplasama langsung diuapkan tanpa melalui fase cair
(sublimasi)
Sensitivitas sel-sel terhadap kondisi suhu rendah tergantung pada beberapa faktor
termasuk suhu, tingkat cooling/freezing, media biakan, strain mikroba, dan lama
penyimpanan.
Pembekuan cepat dengan suhu sangat rendah tidak atau hanya sedikit membuat
kerusakan sel bakteri, sedangkan pembekuan lambat dengan suhu pembekuan
relatif tinggi (s/d –10 °C) dapat membuat kerusakan hebat pada sel bakteri. Hal ini
didukung fakta bahwa laju kematian bakteri meningkat dengan semakin
meningkatnya suhu mendekati titik nol. Dalam suatu uji kultur diperoleh hasil
bahwa setelah disimpan selama 220 hari dalam suhu –10 °C hanya tinggal 2,5 %
sel bakteri yang masih hidup, sedangkan yang disimpan pada suhu –20 °C masih
ada 50 % sel bakteri yang hidup. Pada suhu –4 s/d – 10 °C angka kematian sangat
tinggi.
Meskipun demikian, hal ini dalam prakteknya tidak dapat digunakan untuk
menghilangkan mikroorganisme pada bahan makanan yang dibekukan karena
pada suhu ini mikroorganisme psikrofil tertentu masih dapat berkembangbiak dan
juga perombakan kimiawi masih berjalan sehingga mempengaruhi kualitas bahan
makanan. Pengetahuan mengenai proses ini penting karena alasan berikut:
Mikroorganisme yang subletal rusak sulit ditemukan pada pemeriksaan kultur
bakteriologik. Setelah bahan makanan beku ini dihangatkan dan pada kondisi
yang menguntungkan, bakteri ini dapat kembali beraktivitas.
4. PENGARUH SUHU RENDAH TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF
Pertumbuhan mikroorganisme pada suhu dibawah suhu pertumbuhan optimum
dapat menyebabkan terjadinya sejumlah perubahaan fisiologis dan morfologi.
Perubahan terhadap produk-produk metabolit dapat terjadi sebagai akibat
keterlambatan aktivitas enzim (Witter dan yang lain 1966; Olson dan Nottingham
1980). Penurunan suhu selama pertumbuhan dapat juga mendorong kepada
ketidak seimbangan metabolisme dan penghentian pertumbuhan karena pengaruh
sensitif terhadap beberapa proses-proses metabolisme pengatur (Busta 1978;
Herbert 1986; Sinar 1986; Abbiss 1983).
Inkubasi pada suhu rendah dapat pula mengubah komposisi lipid sel
mikroorganisme, misalnya terjadi peningkatan asam lemak tidak jenuh akibat
menurunnya suhu. Peningkatan proporsi asam lemak tak jenuh dengan penurunan
suhu diyakini menjadi hal yang penting bagi fungsi membran pada suhu rendah.
Ketika suhu diturunkan, sebagian komponen yang secara normal merupakan
fluida berubah menjadi seperti 'gel', yang mencegah protein berfungsi secara
benar sehingga menghasilkan kebocoran membran bakteri. Bagaimanapun juga,
jika komponen-komponen membran berubah sebagaimana telah dijelaskan, akan
mendorong membran tersebut untuk mempertahankan fluiditasnya ketika suhu
turun, selanjutnya mencegah terjadinya pembentukan gel dicegah sehingga bakteri
itu masih mampu bertumbuh.
Respon lainnya terhadap penurunan suhu adalah melibatkan pola ekspresi gen,
yang disebut “cold shock response.” Hal ini melibatkan pengaruh cold shock
protein dan cold acclimatization protein, dan heat shock protein (Jones dkk, 1987;
Berry dan Foegeding, 1997).
Suhu dapat mempengaruhi respon mikroorganisme secara langsung melalui
pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan, aktivitas enzim, komposisi sel dan
kebutuhan hara, atau secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap daya
kelarutan molekul-molekul zat terlarut, transport ion dan difusi, pengaruh osmotik
pada membran, tegangan permukaan, dan kepadatan (Herbert 1986).
Pada saat suhu diturunkan, lag fase sebelum pertumbuhan meningkat, laju
pertumbuhan menurun, dan jumlah sel kemungkinan juga menurun. Selama lag
fase, banyak perubahan fisiologis terjadi, termasuk penurunan asam lemak jenuh
dan penghambatan sintesa DNA, RNA, dan protein (Russell dkk, 1995).
Pertumbuhan mikroorganisme pada suhu di bawah suhu pertumbuhan optimum
dapat juga menyebabkan terjadinya beberapa perubahan struktural. salah satu
bakteri gram positif yang mengalami perubahan struktural yakni Bacillus subtilis
(McCarthy, 1991; Flanders dan Donnelly, 1994; Smith, 1996).
Pada suhu rendah juga terjadi peningkatan produksi pigmen dan aktivitas
enzimatis.
4.1. Respon Membran Sel
Lingkungan suhu rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba. Pada suhu
minimum terjadi perubahan membran sel sehingga tidak terjadi transpor zat hara.
Pengaruh suhu rendah pada mesofil adalah inaktivasi dan perubahan struktur
protein permease.
Membran sel merupakan sistem heterogen kompleks yang sifatnya ditentukan
oleh komposisi dan lingkungannya sebagaimana juga dipengaruhi oleh keadaan
eksternalnya, diantaranya adalah pengaruh suhu yang merupakan salah satu faktor
yang paling penting (Alberts dkk, 1994).
a. Pengaruh Zat Terlarut
Mikroorganisme psikrotrof mampu tumbuh dengan cepat pada suhu yang rendah
dan mampu secara efektif mengangkut molekul-molekul terlarut melewati
membran sitoplasma (Herbert 1989). Wilkins dkk (1972) dan Wilkins (1973)
menemukan bahwa sistem transpor gula pada mikroorganisme tahan suhu dingin
dapat berlangsung karena tersedia konsentrasi tinggi substrat intraseluler yang
dapat merangsang pertumbuhan dari Listeria monocytogenes psikotropik.
Perbedaan kemampuan psikrofilik/psikotrop dan mesofilik untuk transpor zat
terlarut ke bagian dalam sel akibat suhu rendah adalah sebagai berikut: membran
permease dari psikrofilik lebih sedikit sensitif terhadap inaktivasi suhu rendah
dibanding yang mesofilik; permease di dalam mesofilik tidak sensitif terhadap
suhu dingin, namun perubahan membran lipid bilayer membuatnya tidak mampu
untuk mengikat substrat; dan pada suhu rendah, energi yang diperlukan tidak
cukup bagi mesofilik untuk mendorong terjadinya transpor aktif melalui membran
(Herbert 1986, 1989).
b. Perubahan Komposisi Asam Lemak Pada Membran Sel
Di dalam membran sel, molekul fosfolipid diatur dalam bentuk bilayer dengan
gugus polar bagian permukaan intra dan ekstraselular. Gugus-gugus ini mampu
saling berinteraksi fase air di di dalam dan di luar sel (Neidhart dkk 1990; Alberts
dkk 1994).
Mikroorganisme mampu melakukan penyesuaian komposisi lipid membran
sebagai respon terhadap perubahan-perubahan pada suhu pertumbuhan untuk
memastikan fungsi membran seperti aktivitas enzim dan transpor zat terlarut
(Brown dan Minnikin 1973; Russell 1984; Tsuchiya dkk 1987; Russell dkk 1995;
Mastronicolis dkk 1998).
Secara umum, selama pertumbuhan suhu rendah, umumnya komposisi asam
lemak fosfolipid dan glikolipid diubah karena fluiditas membran jauh lebih efektif
melalui perubahan struktur asam lemaknya dari pada gugus lainnya (Russell dkk,
1995).
Aga sel itu berfungsi secara normal, membran lipid bilayer sebagian besar harus
dalam dalam bentuk fluid sehingga protein membran dapat terus memompa ion-
ion, mengambil nutrisi, dan melakukan respirasi (Berry dan Foegeding 1997).
Oleh karena itu, adalah penting bahwa lipid membran di dalam keadaan bentuk
kristal. Ketika suhu pertumbuhan mikroorganisme diturunkan, sebagian dari
komponen fluida normal membentuk struktur seperti 'gel', yang mencegah protein
berfungsi secara normal; oleh karena itu, perubahan terhadap komposisi asam
lemaknya diperlukan untuk untuk menjaga agar komponen-komponen ini tetap
dalam bentuk fluida.
Terbentuknya rantai-rantai asam lemak tak jenuh merupakan perubahan paling
umum yang terjadi ketika suhu diturunkan; hal ini meningkatkan fluiditas
membran karena gugus asam lemak tak jenuh menciptakan lebih banyak
gangguan terhadap membran dibanding rantai-rantai asam lemak jenuh dan
diperoleh dengan cara mendesaturasi asam lemak membran itu sendiri dan
reaksinya sendiri berlangsung cepat. Sebagai contoh, Clostridium boutinum
meningkat level asam lemak tidak jenuhnya dari 27% ke 40%, setelah penurunan
suhu dari 37 °C kepada 8 °C (Russell dkk 1995).
4.2. Aktivitas Enzim
Selain itu, sebagaimana reaksi kimia yang lain, reaksi biokimia (yang dikatalisa
oleh enzim) akan menurun kecepatanya dengan faktor 2-3 setiap 10 derajat C
penurunan suhu. Pada suhu tertentu, beberapa protein enzim pada bakteri akan
melipat secara tidak sesuai dan akibatnya akan menghentikan katalisa yang secara
keseluruhan akan membunuh sel.
Pada beberapa mikroorganisme, suhu rendah dapat pula menyebabkan aktivitas
enzimatik menjadi intensif. Hal ini dapat menjelaskan hasil pengamatan yang
menunjukkan bahwa perubahan akibat kerja mikroorganisme dalam bahan
makanan sering terjadi walau jumlah mikroorganisme tidak melebihi jumlah yang
diperbolehkan. Pembekuan sedikit banyak membuat kerusakan mikroorganisme.
Kerusakan ini dapat bersifat reversibel maupun menyebabkan kematian sel
bakteri.
Pada suhu rendah, tingginya aktivitas enzim spesifik mikroorganisme psikrofilik
dianggap sebagai akibat dari terbentuknya struktur konformasi protein yang lebih
fleksibel serta lebih longgar (Jaenicke 1990; Davail dkk 1994; Berry dan
Foegeding 1997).
4.3. Perubahan Struktural
Bacillus subtilis mengalami perubahan struktural yaitu terjadinya kerusakan pada
mesosoma Selain itu terjadi pula pembentukan dinding sel ganda pada bagian
struktur dinding sel (McCarthy 1991; Flanders dan Donnelly 1994; Smith 1996).
4.4. Sensitifitas
Pada fase eksponensial, mikroorganisme sangat peka terhadap suhu rendah,
khususnya Enterobacter dan Pseudomonas, sedangkan bakteri Gram positif
nampaknya lebih tahan.
4.5. Penghambatan CO2
Penghambatan oleh CO2 meningkat sejalan dengan menurunnya suhu karena
solubilitas CO2 meningkat pada suhu rendah. Bakteri Gram negatif lebih rentan
terhadap CO2 dibandingkan bakteri Gram positif. Pseudomonas paling rentan
sedangkan bakteri asam laktat serta bakteri anaerob paling tahan.
4.6. Cold Shock Response
Penurunan suhu yang drastis terhadap mikroorganisme akan menginduksi pola
khusus dari ekspresi gen, yang diperlukan untuk proses adaptasi optimal terhadap
suhu rendah.
Salah satu efek penurunan suhu adalah menghalangi terjadinya inisiasi sintesis
protein. Cold shock response dapat menstabilkan mRNA dan menginisiasi
kembali produksi protein. Selain itu, cold shock respons juga terkait dengan usaha
untuk menjaga fluiditas membran sel sebagaimana halnya dengan pengaruh
pembentukan desaturasi asam lemak.
Pola ini kini dikenal untuk memasukkan induksi protein cold shock, sintesis
lanjutan dari protein yang terlibat di dalam transkripsi dan translasi (Jones dkk
1992), dan menekan protein-protein heat shock (Jones dkk 1987; Berry dan
Foegeding 1997).
Manfaat cold shock response belum diketahui, meski Jones dan Inouye (1994)
mengusulkan bahwa fungsinya kemungkinan untuk mengatasi blok parsial dalam
sintesis protein, proses dimana pesan genetik yang dibawa oleh mRNA mengatur
sintesis polipeptida dengan bantuan ribosom-ribosom dan komponen-komponen
sel lain (translasi), dengan demikian meningkatkan kapasitas translasi sel dan
sebaliknya. Protein-protein cold shock diperkirakan melakukan hal ini melalui
pengikatan dengan RNA selama transkripsi dan mendorong inisiasi translasi.
Sebagai tambahan, karena adanya penurunan suhu menghasilkan ekspresi cold
shock protein, sintesis lanjutan dari banyak komponen-komponen perlengkapan
translasi dan transkripi juga terjadi (Jones dan yang lain 1992). Secara normal
ketika pertumbuhan dicegah, protein-protein yang terlibat di dalam transkripsi dan
translasi akan terhambat kerjanya.
Daftar Pustaka
Anne-Mounique Gounot. 1991. Bacterial life at low temperature: physiological aspects and biotechnological implications. Journal of Applied Bacteriology, 71, 386-397
Prescott, L.M., Harley, J.P., Klein, D.A., 1999. Microbiology. 4th ed. WCB
McGraw-Hill, Boston.
Marianne D. Miliotis, Jeffrey W. Bier. 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens, Published by CRC Press, ISBN 0824706854, 9780824706852, 839 pages
Martin Dworkin, Stanley Falkow. 2006. The Prokaryotes. Published by Springer, ISBN 0387254927, 9780387254920
N. Beales. Adaptation of Microorganisms to Cold Temperatures, Weak Acid Preservatives, Low pH, and Osmotic Stress: A Review. Institute of Food Technologists, Vol. 3, 2004.