pengaruh tiga cara pengolahan tanah...
TRANSCRIPT
PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME
Litopenaeus vannamei
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei adalah benar merupakan karya sendiri dan belum digunakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2009
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA C 14104044
RINGKASAN
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA. Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh ENANG HARRIS dan TATAG BUDIARDI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengolahan tanah tambak yang efektif dalam memperbaiki kualitas tanah tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan di Tambak Pandu Karawang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat sedangkan penelitian lanjutan bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian terdiri dari 3 perlakuan cara pengolahan tanah tambak yaitu, pengangkatan lapisan lumpur, pembakaran sekam, dan pencucian dengan air tawar. Udang vaname yang digunakan berumur 40 hari dengan bobot awal 5,68±0,46 gram dan panjang awal 9,76±0,21 cm. Pemeliharaan udang vaname berlangsung selama 30 hari, Padat penebaran udang vaname pada penelitian ini adalah 3 ekor/10 liter. Pemberian pakan berdasarkan FR yang telah ditentukan dan dilakukan pergantian air sebesar 30% per 3 hari. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 5 kali sehari (pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00) WIB. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan. Parameter yang digunakan dalam mengevaluasi percobaan adalah total sulfur, NH3, tingkat kelangsungan hidup, biomassa, laju pertumbuhan bobot harian, laju pertumbuhan panjang harian, efisiensi pakan, frekuensi molting, serta kualitas air yang meliputi pH, suhu, dan kadar oksigen terlarut. Analisis data menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur).
Dari hasil penelitian disimpulkan, bahwa pengolahan tanah tambak dengan cara membakar sekam di atas permukaan tanah cenderung menghasilkan nilai amoniak terlarut paling kecil (p<0,05) selama 30 hari masa pemeliharaan dibanding dengan dua cara pengolahan tanah lainnya. Demikian juga terhadap kadar total sulfur hingga 20 hari masa pemeliharaan (p<0,05). Kadar total sufur pada ketiga cara pengolahan tanah tambak cenderung naik setelah 30 hari masa pemeliharaan. Ketiga cara pengolahan tanah tambak memberikan frekuensi molting yang sama yaitu 10 hari sekali. Cara pengolahan tanah dengan bakar sekam menghasilkan tingkat kelangsungan hidup, biomassa (p<0,05) yang tertinggi sampai 30 hari pemeliharaan, sedangkan laju pertumbuhan bobot harian (p<0,05) dan efisiensi pakan (p<0,05) yang lebih baik daripada cara pengolahan tanah tambak dengan pengangkatan lapisan lumpur dan pencucian air tawar sampai 20 hari pemeliharaan.
PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME
Litopenaeus vannamei
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul : Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei
Nama : REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
Nomor Pokok : C14104044
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Enang Harris Dr. Tatag Budiardi NIP. 194908211975031001 NIP. 196310021997021001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Indra Jaya NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus : ……………….
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati, 19 Septemser 1986, adalah anak pertama dari
lima bersaudara dari pasangan Bapak Sri Udi Puspa Yuda dan Ibu Sumarsih.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 2 Kayen pada tahun 1998.
Pada tahun 2001 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SLTPN 1 Kayen
dan menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Pati pada tahun 2004.
Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
tinggi ke Intitut Pertanian Bogor di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada
Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, Penulis pernah mengikuti organisasi
HIMAKUA sebagai anggota 2006/2007, dan wakil ketua Ikatan Keluarga
Mahasiswa Pati (IKMP) tahun 2005/2006
Untuk memperdalam wawasan di bidang budidaya perairan, penulis
menjalani Praktek Kerja Lapang di PT. Tirta Mutiara Makmur dengan komoditas
udang vaname dan UD. Sumber Kerapu Sejati, Situbondo, Jawa Timur dengan
komoditas kerapu macan pada bulan Juli-Agustus 2007. Sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang perikanan penulis
melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul ”Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei”.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena
atas karunia-Nya Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus
vannamei” ini dapat diselesaikan. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Enang Harris selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Tatag
Budiardi selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan
segenap ide, pemikiran, arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Odang Carman selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama studi.
3. Bapak Dr. Eddy Supriyono selaku Dosen Penguji Tamu yang telah
memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Sri Udi Puspa Yuda dan Ibu Sumarsih, Danu Kusuma, Bayu
Kusuma, Vennandho Kusuma, dan Dhindha Kusuma serta keluarga yang
senantiasa memberikan do’a, dukungan, semangat dan kasih sayang.
5. Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda dan keluarga atas perhatian dan
dukungan moral
6. Seluruh staf BDP atas bantuan yang diberikan.
7. Rekan-rekan BDP 41 dan Pondok Angsa kru, atas dukungan, bantuan
dan kerja sama
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga
bagi semua pihak yang memerlukan informasi yang berhubungan dengan tulisan
ini. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Juli 2009
Rezqi Velyan Surya Kusuma
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
DAFTAR TABEL........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
2.1 Biologi Udang Vaname...................................................................... 3
2.2 Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan............................................ 3
2.3 Tanah Tambak .................................................................................. 5
2.4 Sulfur ................................................................................................. 5
2.4.1 Sulfat..................................................................................... 6
2.4.2 Hidrogen Sulfida (H S).......................................................... 6 2
2.5 Arang Sekam..................................................................................... 7
2.5.1 Sekam Padi........................................................................... 7
2.5.2 Pembuatan Arang Sekam..................................................... 8
2.6 Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar ........................ 8
2.7 Kapur................................................................................................. 9
2.8 Kualitas Air ........................................................................................ 9
III. BAHAN DAN METODE ............................................................................. 11
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 11
3.2 Alat dan Bahan.................................................................................. 11
3.3 Rancangan Percobaan...................................................................... 11
3.4 Prosedur Percobaan ......................................................................... 12
3.4.1 Percobaan Pendahuluan ...................................................... 12
3.4.2 Percobaan Lanjutan.............................................................. 14
3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................ 15
3.6 Analisis Data ..................................................................................... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 18
4.1 Hasil .................................................................................................. 18
4.1.1 Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S) ........................ 18
i
4.1.2 Frekuensi Pencucian Menggunakan Air Tawar .................... 18
4.1.3 Total Sulfur............................................................................ 19
4.1.4 Amoniak (NH ) ...................................................................... 20 3
4.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) ....................................... 20
4.1.6 Biomassa .............................................................................. 21
4.1.7 Laju Pertumbuhan Bobot Harian........................................... 21
4.1.8 Laju Pertumbuhan Panjang Harian....................................... 22
4.1.9 Efisiensi Pakan ..................................................................... 23
4.1.10 Frekuensi Molting.................................................................. 23
4.1.11 Kualitas Air............................................................................ 24
4.2 Pembahasan ..................................................................................... 25
V. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 34
5.1 Kesimpulan........................................................................................ 34
5.2 Saran................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 35
LAMPIRAN ................................................................................................... 37
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimiawi sekam........................................................................ 8
2 Komposisi kimia arang sekam................................................................. 8
3 Jenis kapur yang dapat digunakan di tambak ......................................... 9
4 Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dan warna tanah................. 18
5 Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan
.............................................................. 19
6 Konsentrasi total sulfur selama penelitian ............................................... 19
7 Konsentrasi amoniak (NH ) selama penelitian ....................................... 20 3
8 Tingkat kelangsungan hidup (SR) selama penelitian .............................. 21
9 Biomassa udang vaname selama penelitian .......................................... 21
10 Laju pertumbuhan bobot harian selama penelitian.................................. 22
11 Laju pertumbuhan panjang harian selama penelitian.............................. 23
12 Efisiensi pakan selama penelitian ........................................................... 23
13 Jumlah molting udang vaname selama penelitian................................... 24
14 Kisaran kualitas air selama penelitian ..................................................... 24
15 Interval molting dan penambahan bobot udang vaname ........................ 33
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bobot rata-rata udang vaname selama penelitian...................................... 21
2 Panjang rata-rata udang vaname selama penelitian.................................. 22
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Panjang dan bobot awal udang vaname................................................. 38
2 Hasil pengukuran panjang dan bobot ..................................................... 39
3 Kualitas air .............................................................................................. 42
4 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan tanah jemur .............................................. 43
5 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan bakar sekam............................................. 44
6 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan cuci air tawar ............................................ 45
7 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi total sulfur........................................................................................................ 46
8 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi amoniak................................................................................................... 47
9 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap biomassa ......................... 49
10 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot harian............................................................................................. 50
11 Analisis ragam terhadap laju pertumbuhan panjang harian .................... 51
12 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap efisiensi pakan ................. 52
v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas ekspor terbesar hasil perikanan. Volume
ekspor udang Indonesia pada tahun 2007 sebesar 154.717 ton dengan nilai
ekspor sebesar $ 1,022 milyar. Selanjutnya Ditjen Perikanan Budidaya
mencanangkan program percepatan peningkatan produksi perikanan budidaya
untuk ekspor dengan menargetkan produksi udang pada tahun 2009 sebesar
540.000 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009a). Namun terdapat
salah satu kendala dalam usaha peningkatan produksi yaitu semakin
menurunnya kualitas sumberdaya lingkungan perairan (Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, 2009b). Lumpur hitam pada dasar tambak bekas budidaya
merupakan salah satu parameter dari menurunnya kualitas lingkungan. Lumpur
hitam ini dapat menyebabkan timbulnya bau busuk (hidrogen sulfida) (Manalo,
1978) dan gas beracun seperti amoniak (Haliman dan Adijaya, 2004).
Persiapan tambak merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga
kondisi lingkungan tambak untuk menjamin kelayakan hidup udang. Persiapan
tambak yang sering dilakukan oleh petambak ialah mengolah tanah tambak
dengan cara menjemur, mengangkat lapisan lumpur dan pemberian kapur
(CaCO3). Akan tetapi, cara pengolahan tanah tambak tersebut dinilai kurang
maksimal dalam mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida dan amoniak. Oleh
karena itu, diperlukan cara pengolahan tanah tambak lain yang lebih maksimal
dalam mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida dan amoniak. Pada percobaan
ini dikaji cara pengolahan tanah tambak dengan pengangkatan lapisan lumpur
yang selanjutnya disertai pembakaran sekam dan pengangkatan lapisan lumpur
yang selanjutnya disertai pencucian air tawar.
Pada percobaan pendahuluan dilakukan pengujian dengan metode HCl
dan Zn asetat terhadap tanah dari beberapa cara pengolahan tanah tambak.
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa dengan cara pengangkatan lapisan
lumpur yang selanjutnya disertai pembakaran sekam di atas tanah merupakan
cara yang mampu menghilangkan hidrogen sulfida paling maksimal. Pada
percobaan pendahuluan dengan metode pengangkatan lapisan lumpur yang
selanjutnya disertai pencucian air tawar didapatkan hasil bahwa pengurangan
konsentrasi H2S secara maksimal terdapat pada pergantian air ke tiga dan
masing-masing dua kali pengadukan. Percobaan lanjutan perlu dilakukan untuk
mengetahui cara pengolahan tanah tambak yang efektif dalam memperbaiki
2
kualitas tanah tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian
pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan cara pengolahan tanah tambak
yang paling efektif diantara cara pengolahan tanah dengan penjemuran tanah,
pembakaran sekam, dan pencucian air tawar dalam memperbaiki kualitas tanah
tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian pertumbuhan
dan kelangsungan hidup.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Vaname
Udang vaname adalah salah satu spesies udang yang potensial untuk
dikembangkan secara komersial. Pada tahun 2008 rata-rata produksi udang
mencapai 11,6 % dari seluruh hasil budidaya (Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, 2009a). Menurut Boone (1931), udang vaname mempunyai klasifikasi dan tata
nama sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya (2004), secara morfologi udang vaname
memiliki tubuh yang dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan
endopodite. Udang vaname memiliki tubuh yang berbuku-buku dan aktivitas
berganti kulit luar atau eksosekeleton secara periodik/molting.
2.2 Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Udang vaname merupakan varietas udang yang memiliki sejumlah
keunggulan, antara lain lebih resisten atau tahan terhadap penyakit dan kualitas
lingkungan yang rendah, padat tebar cukup tinggi, dan waktu pemeliharaan lebih
pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus. Pada umumnya, budidaya vaname di
tambak menggunakan teknologi intensif dengan padat tebar yang tinggi
mencapai 100-300 ekor/m2. Resistensi terhadap penyakit dan kualitas
lingkungan hidup yang rendah terkait dengan kelangsungan hidup udang (Arifin
et al., 2005).
4
Kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentase
jumlah ikan yang hidup dalam suatu wadah selama masa pemeliharaan tertentu
(Effendie, 1997). Kelangsungan hidup akan menentukan produksi ikan yang akan
didapat dan berhubungan dengan ukuran ikan yang dipelihara. Kelangsungan
hidup udang bergantung antara lain pada lingkungan hidup udang meliputi tanah
dan air tempat (habitat) hidup udang. Kelayakan hidup udang ditentukan oleh
derajat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), kandungan oksigen terlarut,
kandungan amoniak, H2S, kecerahan air, kandungan plankton, dan lain-lain
(Hudi dan Shahab, 2005).
Selain mempengaruhi kelangsungan hidup, kualitas lingkungan juga
dapat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Effendie (1997), pertumbuhan
didefinisikan sebagai perubahan ukuran, baik bobot maupun panjang dalam
suatu periode waktu tertentu. Hal yang membedakan dekapoda dengan
organisme lain dalam proses pertumbuhan adalah adanya proses molting. Ada 2
hal terpenting dalam proses molting yaitu;
1. Melunaknnya lapisan kutikula yang lama yang terlepas dari epidermisnya
2. Pertumbuhan kutikula baru yang menggantikan kutikula lama dan diawali
dengan pembentukan lapisan tipis dan elastis yang memungkinkan
pemanjangan tubuh sebagai tanda pertumbuhan (Wickins dan Lee, 2002).
Genus Penaeid, termasuk udang vaname mengalami pergantian kulit
atau molting secara periodik untuk tumbuh. Proses molting berlangsung dalam 5
tahap yang bersifat kompleks, yaitu fase intermolt akhir, fase pre-molt, fase molt,
fase post-molt, fase intermolt (Wickins dan Lee, 2002).
Menurut Haliman dan Adijaya (2004), waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan molting bergantung pada jenis dan umur udang. Nafsu makan udang
mulai menurun pada 1-2 hari sebelum molting dan aktivitas makannya berhenti
total sesaat akan molting. Persiapan yang dilakukan udang sebelum molting yaitu
menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam kelenjar pencernaan
(hepatopankreas).
Molting pada udang ditandai dengan seringnya udang muncul ke
permukaan air sambil meloncat-loncat. Gerakan ini bertujuan untuk membantu
melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan salah
satu cara mempertahankan diri karena cairan molting yang dihasilkan dapat
merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada
saat molting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit
5
luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan, kulit luar udang dapat
terlepas (Haliman dan Adijaya, 2004).
2.3 Tanah Tambak
Tanah yang digunakan untuk tambak udang sebaiknya jenis tanah liat
berpasir untuk menghindari kebocoran air (Haliman dan Adijaya, 2004). Kondisi
dasar tambak dapat berubah setiap waktu yang dipengaruhi oleh akumulasi
residu bahan organik yang semakin meningkat seperti, ganggang yang mati,
feses dan residu makanan yang menyebabkan tingginya konsumsi oksigen dan
kurangnya tingkat pertumbuhan (Boyd, 1995 dalam Avnimelech et al., 2003).
Menurut Avnimelech et al. (2003), di kolam dengan kontruksi dasar tanah
akan terjadi sedimentasi dari plankton dan residu makanan yang akan
menyebabkan kondisi dasar tanah memburuk karena terjadi perubahan bahan di
dasar tanah. Akumulasi yang berlebihan dari residu bahan organik akan
menyebabkan perkembangan lingkungan anaerob, penurunan perkembangan
biota, peningkatan kebutuhan oksigen, penghambatan pertumbuhan biota dan
pembusukan dasar kolam. Residu bahan organik dan nutrien yang ada di dalam
kolam cenderung terakumulasi di dalam tanah sehingga beberapa bahan dapat
hilang dari dalam air.
Kondisi substrat merupakan faktor kritis untuk udang jika dibandingkan
dengan budidaya ikan lainnya sebab udang hidup di dasar perairan (Boyd, 1989;
Chien, 1989 dalam Ritvo et al., 1996). Pembentukan kondisi anaerob juga
dipengaruhi oleh faktor produksi dan tingkat intensifikasi budidaya (Avnimelech et
al., 2003).
2.4 Sulfur
Sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S
dan nomor atom 16. Bentuk sulfur adalah non-metal yang tak berasa, tak berbau
dan multivalent. Sulfur dalam bentuk aslinya merupakan sebuah zat padat
kristalin kuning. Di alam belerang atau sulfur ini dapat ditemukan sebagai unsur
murni atau sebagai mineral-mineral sulfit dan sulfat (http://id.wikipedia.org. 2008).
Sulfur (S) berada dalam bentuk organik dan anorganik. Sulfur anorganik
terutama terdapat dalam bentuk sulfat (SO42-), yang merupakan bentuk sulfur
utama di perairan dan tanah (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003). Di perairan, sulfur
berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Hasil akhir dari oksidasi sulfur
6
adalah sulfat (SO42-), sedangkan hasil akhir dari reduksi sulfat adalah H2S
(Madigan et al., 1996). Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2),
hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksida (SO2), sulfit (SO32), dan
sulfat (SO42-) (Effendi, 2003).
2.4.1 Sulfat
Ion sulfat yang bersifat larut dan merupakan bentuk oksidasi utama sulfur
adalah salah satu anion utama di perairan (Effendi, 2003). Sulfat yang berikatan
dengan hidrogen membentuk asam sulfat dan sulfat yang berikatan dengan
logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di danau
dan sungai (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada umumnya bentuk sulfur di air permukaan adalah sulfat (SO42-)
(Boyd, 1988). Pada perairan alami yang mendapat cukup aerasi biasanya tidak
ditemukan adanya H2S karena telah teroksidasi menjadi sulfat (Effendi, 2003).
Sulfat merupakan sulfur yang paling banyak dioksidasi, dan menjadi salah satu
anion utama dalam air laut (Madigan et al., 1996). Kadar sulfat pada perairan
tawar alami berkisar antara 2-80 mg/liter (Effendi, 2003).
2.4.2 Hidrogen Sulfida (H2S)
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang tidak berwarna, toksik
dengan bau yang sangat busuk. Menurut Wyk dan Scarpa (1999), H2S terjadi
karena dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob. Reduksi anion
sulfat menjadi hidrogen sulfida dalam proses dekomposisi bahan organik
(persamaan 1.1 dan 1.2) menimbulkan bau yang kurang sedap dan
meningkatkan korosivitas logam. bakteri SO4
2- + bahan organik S2- + H2O + CO2 (1.1)
anaerob S2- + 2H+ H2S (1.2)
Sumber utama H2S adalah dekomposisi bahan organik oleh bakteri
heterotrof tanah (Desulfovibrio spp) dalam kondisi anaerob. Bakteri heterotrof
juga dapat mereduksi sulfit (SO32-), tiosulfat (S2O3
2-), dan hiposulfat (S2O42-) serta
unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida (H2S) (Effendi, 2003). Mikroorganisme
tersebut melakukan respirasi secara anaerob dengan mengunakan sulfat (SO42-)
sebagai elektron aseptor pengganti oksigen (Hanggono, 2005).
7
Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida akan dioksidasi oleh bakteri
Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactriaceae dan
Thiorhordaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Perubahan
hidrogen sulfida menjadi sulfur juga dapat terjadi dalam proses sintesis
karbohidrat. Dalam reaksi tersebut (persamaan 1.3), hidrogen sulfida digunakan
sebagai sumber hidrogen donor untuk membentuk kembali unsur sulfur, sebagai
hasil samping dari sintesis karbohidrat (Effendi, 2003). Cahaya CO2 + 2H2S (CH2O) + H2O + 2S (1.3)
Karbohidrat
Toksisitas H2S akan meningkat seiring dengan penurunan kadar oksigen
terlarut. Selain itu, H2S juga berdisosiasi ke dalam suatu kesetimbangan
campuran dari HS- dan H+, proporsinya ditentukan oleh pH, suhu, dan salinitas.
Kadar sulfida total kurang dari 0,002 mg/liter dianggap tidak membahayakan
kelangsungan hidup organisme akuatik (Wyk dan Scarpa, 1999). Hidrogen
sulfida sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah ±
0,05 mg/liter (Hanggono, 2005).
2.5 Arang Sekam
2.5.1 Sekam Padi
Salah satu bentuk limbah pertanian adalah sekam yang merupakan
buangan pengolahan padi. Sekam padi merupakan lapisan keras yang
membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma
dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan
terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari
proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam (Nugraha dan
Setyawati, 2001).
Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi
(Nugraha dan Setyawati, 2001). Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam
mengandung beberapa unsur penting seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
8
Tabel 1. Komposisi kimiawi sekam Komponen Kandungan (%)Kadar air 9,02Protein kasar 3,03Lemak 1,18Serat kasar 35,68Abu 17,71Karbohidrat kasar 33,71Sumber : Suharno (1979) dalam Nugraha dan Setyawati (2001) 2.5.2 Pembuatan Arang Sekam
Pembuatan arang sekam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fisik
sekam agar lebih mudah ditangani dan dimanfaatkan lebih lanjut. Salah satu
kelemahan sekam bila digunakan langsung sebagai sumber energi panas adalah
menimbulkan asap dan warna bahan berubah sehingga menurunkan kualitas
bahan di samping menimbulkan polusi udara (Nugraha dan Setyawati, 2001).
Tabel 2. Komposisi kimia arang sekam
Komponen Kandungan (%)
Karbon (zat arang) 1,33Hidrogen 1,54Oksigen 33,64Silika (SiO2) 16,98Sumber : DTC-IPB dalam Nugraha dan Setyawati (2001)
Pembuatan arang sekam dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah
satunya adalah pembakaran dengan sistem cerobong asap. Cerobong
mempunyai diameter 10 cm, tinggi 1 m dan di sepanjang silinder dibuat lubang.
Pada bagian bawah cerobong dibuat rumah cerobong berbentuk segi empat.
Pembuatan arang sekam dilakukan dengan cara meletakkan bara api di lantai
kemudian ditutup dengan sekam (Nugraha dan Setyawati, 2001).
2.6 Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar
Prinsip dari pencucian tanah tambak dengan menggunakan air tawar ini
hampir sama dengan prinsip pergantian air di kolam. Penggunaan air tawar ini
bertujuan untuk melarutkan kandungan H2S yang konsentrasinya sangat tinggi
yang terdapat pada tanah tambak pascapanen.
Air tawar digunakan sebagai media pencucian karena air tawar
mempunyai kandungan sulfur yang sangat kecil (5 mg/liter) jika dibandingkan
dengan air laut yang kandungan sulfurnya sangat tinggi hingga 900 mg/liter
(Boyd, 1990).
9
2.7 Kapur
Kapur yang digunakan di tambak (Tabel 3) berfungsi untuk meningkatkan
kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat,
meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik,
mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang
pertumbuhan plankton serta benthos (Chanratchakool, 1995). Bentuk kapur yang
paling tepat digunakan pada air payau atau salin (air laut) adalah kapur bakar
CaO atau kapur hidrat Ca(OH)2, karena kalsium karbonat CaCO3 kurang larut
dalam air laut.
Tabel 3. Jenis kapur yang dapat digunakan di tambak
No Jenis kapur Formula Kadar Ca2+
1 Kalsium karbonat atau kapur kalsit atau kapur pertanian (Kaptan)
CaCO3 40%
2 Kapur Oksida atau quicklime atau kapur bakar CaO 71 %
3 Kapur Hidrat atau slaked lime atau kalsium hidroksida
Ca(OH)2 54 %
4 Kapur Dolomit CaMg(CO3)2 Tidak ada info Sumber : Chanratchakool, 1995
2.8 Kualitas air
Air sebagai media tempat hidup organisme perairan perlu dijaga kualitas
maupun kuantitasnya karena mempengaruhi kehidupan organisme tersebut.
Kualitas air meliputi fisika dan kimia perairan, diantaranya adalah amoniak, suhu,
pH, dan oksigen terlarut (DO) yang semuanya berkaitan dengan hasil produksi
ikan. Lingkungan yang buruk atau perubahan secara tiba-tiba memicu ikan
mengalami stres sehingga mudah terserang penyakit parasiter dan non-parasiter,
bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kematian.
Amoniak (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air.
Toksisitas amoniak terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi
penurunan kadar DO, serta peningkatan pH dan suhu. Persentase amoniak
bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Pada pH ≤ 7,
sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi. Sebaliknya, pada pH > 7,
amoniak tak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah lebih banyak
(Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Amoniak sangat beracun bagi
udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah ± 0,1 mg/liter (Wyk dan
Scarpa, 1999).
10
Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan
laju konsumsi hewan air. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali
lipat (Boyd, 1982). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia,
dan biologi badan air (Effendi, 2003). Suhu optimal untuk pertumbuhan udang
antara 26-32°C (Haliman dan Adijaya, 2004).
Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran konsentrasi ion hidrogen
(Boyd, 1982). Nilai pH merupakan parameter lingkungan yang bersifat
mengontrol laju metabolisme melalui pengendaliannya terhadap aktifitas enzim,
kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,0 (Boyd, 1982).
Udang vaname sensitif terhadap perubahan pH dan hidup optimum udang
vaname pada nilai pH sekitar 7-8,3 (Wyk dan Scarpa, 1999).
Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari dua bentuk senyawa
yaitu terikat dengan unsur lain seperti NO3-, NO2-, PO43-, H2O, CO2, dan CO3
2-
maupun sebagai molekul bebas (O2). Di tambak, oksigen terlarut merupakan
faktor pembatas. Oksigen dibutuhkan udang untuk respirasi, proses fisiologi
ketika sel mengoksidasi karbohidrat dan melepas energi yang dibutuhkan untuk
metabolisme nutrient dari pakan. Konsentrasi oksigen terlarut optimum untuk
hidup udang vaname 5-9 mg/liter (Wyk dan Scarpa, 1999).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan
Februari 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan di Tambak Pandu Karawang,
Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sedangkan penelitian lanjutan bertempat di
Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Sistem dan Teknologi,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Dalam percobaan pendahuluan, alat yang digunakan adalah gelas ukur,
tabung reaksi, pipet, pengaduk, timbangan digital, korek api, cerobong, dan
loyang penjemuran, sedangkan untuk percobaan lanjutan, alat yang digunakan
adalah bak fiber berukuran (200x100x50) cm3, 15 akuarium berukuran
(30x25x25) cm3, blower, termometer, salinometer, pemanas air (water heater),
pipa paralon, selang aerasi, batu aerasi, pompa air, jangka sorong, timbangan
digital, saringan, DO-meter, pH-meter, spektrofotometer dan bak tandon
berdiameter 150 cm dengan tinggi 100 cm.
Bahan yang digunakan dalam percobaan pendahuluan adalah air tawar,
sekam, kapur CaCO3, HCl 6 N, NaOH 6 N, Zn Asetat 2 N, kertas saring, dan
pewarna baju, sedangkan untuk percobaan lanjutan, bahan yang digunakan
adalah udang vaname dengan bobot rata-rata 5,68±0,46 gram dan panjang rata-
rata 9,76±0,21 cm, tanah tambak, kapur CaCO3, air laut, dan air tawar
3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan dan masing-masing menggunakan lima ulangan, yaitu : tanah tambak
bekas budidaya dijemur matahari selama 2 hingga 3 minggu kemudian lapisan
lumpur yang sudah kering diangkat. Setelah lumpur diangkat, tanah dibawahnya
diberi perlakuan sebagai berikut :
1) Perlakuan A : dikapur CaCO3
2) Perlakuan B : dibakar sekam diatas permukaan tanah dan dikapur CaCO3
3) Perlakuan C : dicuci dengan air tawar, dijemur, dan dikapur CaCO3
12
Selanjutnya akuarium diisi air, diisi udang, dan tiap 3 hari sekali diganti air
sebanyak 30%.
Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Yij = μ + σi + εij (Steel dan Torrie, 1982)
Keterangan :
Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Nilai tengah dari pengamatan
σi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
εij = Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan
ke-j
3.4 Prosedur Percobaan
3.4.1 Percobaan Pendahuluan
3.4.1.1 Prosedur Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S)
Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dapat dilakukan dengan
beberapa metode pengukuran. Pada percobaan ini, metode yang digunakan
yaitu metode uji HCl dan metode uji NaOH dan Zn Asetat. Metode uji HCl
dilakukan dengan cara mengambil tanah sampel dari tambak dengan masing-
masing diberi air dan diaduk dengan menggunakan pengaduk sampai merata.
Setelah diaduk sampai merata, masing-masing larutan yang terbentuk dari
masing-masing perlakuan diberi 10 tetes HCl 6 N dan dilakukan uji bau.
Metode uji NaOH dan Zn Asetat dilakukan dengan cara mengambil 100
ml supernatan dari larutan yang terbentuk dari hasil pengadukan masing-masing
perlakuan. Kemudian, sampel diberi 10 tetes HCl 6 N dan ditutup dengan
menggunakan kertas saring yang sudah diberi pewarna baju dengan warna
merah atau hijau yang sebelumnya sudah dioleskan NaOH 6 N sebanyak 10
tetes, 3 tetes Zn asetat 6 N. Selanjutnya, dilakukan penimbangan terhadap
kertas saring yang terdapat endapan putih dikurangi dengan bobot kertas saring
sebelum pengujian.
3.4.1.2 Prosedur Penentuan Bobot Tanah
Penentuan bobot tanah ini digunakan sebagai estimasi bobot tanah di
tambak yang mempengaruhi kualitas air di atasnya. Di tambak, kedalaman
lapisan tanah terluar yang mampu mempengaruhi kualitas air yaitu 10-15 cm
13
(Boyd, 1989) sedangkan ketinggian air rata-rata di tambak adalah 0,76-1,00
meter (Boyd, 1989). Apabila dihitung per satu meter persegi maka akan
didapatkan perhitungan sebagai berikut:
(1x1x0.1) m3 tanah : (1x1x1) m3 air
0.1 m3 tanah : 1 m3 air
0.1 x (1000000 cc/m3) tanah : 1 x (1000000cc/m3) air
0.1 cc tanah : 1 cc air
1 cc tanah : 10 cc air (2.1)
Prosedur yang dilakukan yaitu dengan menimbang bobot tanah dengan
menggunakan timbangan digital, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur
yang sudah terisi air. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kenaikan
tinggi air di gelas ukur dan dilakukan perhitungan bobot jenis tanah
menggunakan rumus sebagai berikut:
(cc) air tinggi Kenaikan(g) tanah Bobot
(g/cc) tanah jenis Bobot = (2.2)
Setelah mendapatkan hasil bobot jenis tanah dari penghitungan dengan rumus
pada persamaan (2.2), untuk selanjutnya bobot jenis tanah dimasukkan ke dalam
penghitungan bobot tanah yang akan digunakan dalam penelitian dengan
persamaan (2.1). Atas dasar itu maka untuk setiap akuarium diperlukan tanah
sebanyak 2 kg.
3.4.1.3 Prosedur Pembakaran Tanah dengan Sekam
Pembakaran tanah dengan sekam dilakukan dengan cara menimbang
tanah sebanyak 2 kg yang selanjutnya akan digunakan sebagai media yang akan
dibakar. Pada penelitian ini, sekam yang digunakan yaitu dengan perbandingan
4 ton/Ha. Dengan luasan akuarium yang berukuran (30x25) cm2 maka sekam
yang dibutuhkan yaitu 30 gram/akuarium.
Pembakaran dilakukan dengan cara meletakkan tanah yang sudah
ditimbang sebagai alas kemudian dibakar menggunakan sekam. Sekam secara
perlahan akan terbakar menjadi arang setelah 8 sampai 12 jam pembakaran.
Setelah sekam sudah menjadi arang, dilakukan pengambilan tanah. Tanah
tersebutlah yang akan digunakan dalam penelitian.
14
3.4.1.4 Prosedur Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar
Prosedur pencucian tanah dengan air tawar ini diawali dengan
menimbang tanah yang akan digunakan sebagai media yang akan dicuci. Tanah
dimasukkan ke dalam ember, kemudian diisi dengan perbandingan antara tanah
dan air yang telah ditentukan pada persamaan (2.1). Tanah yang bercampur air
di dalam ember kemudian diaduk dengan pengaduk sampai merata dan
dipindahkan ke dalam akuarium.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, hasil terbaik pencucian tanah
dengan air tawar yaitu dengan dua kali pengadukan dan tiga kali pergantian air.
Maka, tanah yang sudah dipindahkan ke dalam akuarium didiamkan hingga
terbentuk supernatan. Apabila sudah terbentuk supernatan, tanah diaduk lagi
hinga merata kemudian didiamkan lagi sampai terbentuk supernatan lagi.
Langkah berikutnya, supernatan yang terbentuk dari pengadukan yang
ke-dua dibuang dan diganti dengan air yang baru dengan volume yang sama
pada pengisian air yang pertama. Langkah tersebut diulangi sampai tiga kali
pencucian air tawar. Tanah yang dicuci akan mengalami pengembangan dan
sulit disaring dengan saringan untuk mengambil tanah hasil pencucian, maka
dilakukan proses penjemuran.
Proses penjemuran ini dilakukan dengan cara menyiapkan loyang
berbentuk persegi panjang berukuran (100x50x10) cm3 yang dilapisi dengan
plastik, lalu tanah hasil pencucian dituang ke dalam loyang tersebut. Setelah
loyang terisi dengan tanah hasil pencucian, loyang dijemur di bawah terik
matahari sampai kering. Penjemuran tanah ini membutuhkan waktu 12 sampai
14 hari hingga tanah benar-benar kering.
3.4.2 Percobaan Lanjutan
Prosedur pemeliharaan di laboratorium dilakukan dengan menyiapkan
bak fiber berukuran (200x100x50) cm3 yang sudah dibersihkan, kemudian diisi
dengan 15 akuarium berukuran (30x25x25) cm3 yang sudah terisi dengan tanah
sesuai dengan masing-masing perlakuan. Langkah selanjutnya, masing-masing
akuarium diisi dengan 10 liter air laut yang bersalinitas 30 ppt. Masing-masing
akuarium diberi aerasi dan ditutup dengan kain kasa.
Bak fiber diisi dengan air tawar dengan ketinggian air 10 cm. Pompa
udara (air lift pump) dipasang pada salah satu sudut dari bak fiber untuk
mengalirkan air sehingga air dapat terus berputar. Setelah sirkulasi air dipastikan
15
berputar dengan tepat, kemudian pemanas air (water heater) dipasang pada
kedua sisi berlawanan pada bak fiber. Kedua pemanas air diatur pada suhu
30°C.
Selanjutnya, udang vaname dimasukkan ke dalam masing-masing
akuarium dengan kepadatan 3 ekor/10 liter yang sebelumnya sudah ditimbang
bobot dan panjangnya. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 5 kali (pukul 06.00,
10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00 WIB) sesuai dengan tingkat pemberian pakan
(feeding rate) yang telah ditentukan yaitu 5% biomassa untuk hari ke-0 sampai
ke-10 hari pemeliharaan, 4% biomassa untuk hari ke-10 sampai hari ke-20
pemeliharaan serta 3% biomassa untuk hari ke-20 sampai hari ke-30
pemeliharaan.
Pemeliharaan udang vaname ini berlangsung selama 30 hari, dan setiap
10 hari sekali dilakukan pengamatan pertumbuhan dan kualitas air. Pengamatan
pertumbuhan dilakukan pada 100 % populasi udang. Pengamatan ini dilakukan
dengan menimbang bobot udang, mengukur panjang total udang, menghitung
kematian udang setiap hari dan menghitung udang yang molting setiap hari.
Pengamatan fisika-kimia air meliputi parameter H2S, amoniak, suhu, pH, dan
oksigen terlarut (DO).
3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data meliputi: hasil pengukuran bobot dan panjang udang
setiap 10 hari, kematian udang setiap hari, molting udang setiap hari, serta
pengukuran kualitas air setiap 10 hari dengan parameter amoniak, total sulfur,
suhu, pH, dan oksigen terlarut. Parameter fisika-kimia air ini diukur menggunakan
metode dan alat sebagai berikut:
1) Metoda Phenate untuk mengukur amoniak (Hariyadi et al., 1992)
2) Metoda spektofotometri untuk mengukur total sulfur ( Hidayat, 1978)
3) Termometer untuk mengukur suhu,
4) pH-meter untuk mengukur pH,dan
5) DO-meter untuk mengukur oksigen terlarut.
Pengolahan data terhadap hasil pengamatan pertumbuhan dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
16
1) Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Data kematian udang digunakan untuk menghitung tingkat kelangsungan
hidup (SR) dengan menggunakan rumus:
x100%NN
SRo
t=
Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan hidup pada saat t (ekor)
No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
2) Biomassa
Pada penelitian ini perhitungan biomassa menggunakan rumus:
tt w N W ×= Keterangan: W = Biomassa (gram)
Nt = Jumlah ikan hidup pada saat t (ekor)
wt = Bobot rata-rata ikan pada saat t (gram/ekor)
3) Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Bobot udang diukur dengan menggunakan timbangan digital dengan
ketelitian 0.01 gram. Laju pertumbuhan bobot harian (α) dihitung menggunakan
rumus dari Zonneveld et al. (1991):
( ) 100%1tww
αo
t×−=
Keterangan: α = Laju pertumbuhan bobot harian (%)
wt = Bobot rata-rata ikan pada saat t (gram/ekor)
wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram/ekor)
t = Lama pemeliharaan (hari)
4) Laju Pertumbuhan Panjang Harian
Panjang udang diukur dengan pengambilan contoh sebanyak 3
ekor/akuarium menggunakan jangka sorong. Laju pertumbuhan panjang harian
(α) dihitung menggunakan rumus dari Zonneveld et al. (1991):
( ) 100%1tLL
αo
t×−=
Keterangan: α = Laju pertumbuhan panjang harian (%)
Lt = Panjang rata-rata ikan pada saat t (cm/ekor)
Lo = Panjang rata-rata ikan pada saat awal (cm/ekor)
t = Lama pemeliharaan (hari)
17
5) Efisiensi Pakan
Pada penelitian ini perhitungan efisiensi pakan menggunakan rumus
menurut Zonneveld et al. (1991):
( )
100%F
WWW= EP
odt×
−+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Keterangan : EP = Efisiensi pakan (%)
Wt = Biomassa ikan akhir (gram)
Wo = Biomassa ikan awal (gram)
Wd = Biomassa ikan mati (gram)
F = Jumlah pakan yang diberikan (gram)
6) Frekuensi Molting
Frekuensi molting bertujuan untuk mengetahui periode molting udang per
satuan waktu. Penghitungan frekuensi molting ini dilakukan dengan cara
mengamati banyaknya udang yang molting per satuan waktu.
3.6 Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan
menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan
95 %. Apabila berpengaruh nyata (P<0,05), untuk melihat perbedaan antar
perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan BNJ (Beda Nyata Jujur) pada
selang kepercayaan 95%. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS ver.15.
Analisis deskripsi kuantitatif, digunakan untuk tingkat kelangsungan hidup
dan menentukan kelayakan media pemeliharaan bagi kehidupan udang vaname
selama penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil
4.1.1 Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S)
Pada Tabel 4 disajikan data keberadaan H2S beserta warna tanah yang
ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Perlakuan pengangkatan lumpur
yang disertai dengan pembakaran sekam mempunyai hasil yang terbaik daripada
perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari keberadaan H2S hasil uji HCl yang paling
rendah yang disertai dengan warna tanah yang coklat.
Tabel 4. Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dan warna tanah No Perlakuan Warna tanah H2S * Hasil Uji
HCl 1 Penjemuran lumpur Hitam +++ 2 Pembakaran sekam diatas lumpur jemur Hitam kecoklatan +++ 3 Pemberian kapur CaCO3 lumpur jemur Hitam keputihan +++ 4 Pengangkatan lumpur Coklat ++ 5 Pengangkatan lumpur dan pembakaran
sekam Coklat +
*Keterangan : tidak bau (-), sedikit bau (+), bau (++), sangat bau (+++)
4.1.2 Frekuensi Pencucian Tanah Menggunakan Air Tawar
Pada Tabel 5, disajikan data frekuensi pencucian tanah menggunakan air
tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan yang berbeda. Pada frekuensi
pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan satu kali
terdapat kecenderungan peningkatan konsentrasi H2S seiring dengan
meningkatnya frekuensi pencucian. Oleh karena itu dilakukan percobaan
berikutnya yaitu frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan
frekuensi pengadukan dua kali, empat kali dan enam kali.
Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi
pengadukan dua kali dengan frekuensi pencucian tiga kali mempunyai hasil yang
sama dengan pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi
pengadukan empat kali dengan frekuensi pencucian tiga kali dan pencucian
tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan enam kali dengan
frekuensi pencucian tiga kali. Berdasarkan hal tersebut, frekuensi pencucian
tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan dua kali dengan
frekuensi pencucian tiga kali digunakan pada percobaan lanjutan karena dinilai
paling efisien.
19
Tabel 5. Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan
Frekuensi pencucian
Frekuensi Pengadukan
H2S Hasil Uji HCl*
H2S Hasil Uji NaOH dan Zn Asetat
1 1 + Endapan putih 2 1 + Endapan putih 3 1 ++ Endapan putih tebal 4 1 ++ Endapan putih tebal 5 1 +++ Endapan putih pekat 1 2 + Endapan putih 2 2 + Endapan putih 3 2 - Endapan putih transparan 4 2 - Endapan putih transparan 1 4 + Endapan putih 2 4 + Endapan putih 3 4 - Endapan putih transparan 4 4 - Endapan putih transparan 1 6 + Endapan putih 2 6 + Endapan putih 3 6 - Endapan putih transparan 4 6 - Endapan putih transparan *Keterangan: tidak bau (-), sedikit bau (+), bau (++), sangat bau (+++)
4.1.3 Total Sulfur
Pada Tabel 6 disajikan data konsentrasi total sulfur pada setiap perlakuan
dari hari ke-0 sampai hari ke-30. Terdapat kecenderungan penurunan total sulfur
dari hari ke-0 hingga hari ke-10 dan kecenderungan peningkatan kadar total
sulfur dari hari ke-10 hingga hari ke-30.
Tabel 6. Konsentrasi total sulfur selama penelitian Konsentrasi total sulfur dalam (mg/liter) pada perlakuan Hari
Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar 0 3,65-6,33 2,97-4,75 2,49-4,58 10 2,21-5,12b 0,59-1,44a 0,47-1,73a
20 3,50-5,80b 1,07-2,42a 1,13-2,42a
30 5,69-8,23 3,44-6,47 5,50-5,69 Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris
menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan analisis statistik, total sulfur pada awal penelitian (hari ke-0)
dan akhir penelitian (hari ke-30) tidak menunjukkan pengaruh yang nyata antar
perlakuan (p>0,05) (Lampiran 7a dan 7d). Namun pada hari ke-10 dan hari ke-20
terjadi perbedaan nyata (p<0,05) yaitu total sulfur pada tanah jemur lebih tinggi
20
daripada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar (Lampiran 7b dan
7c).
4.1.4 Amoniak (NH3)
Pada Tabel 7 disajikan data konsentrasi NH3 pada setiap perlakuan dari
hari ke-0 sampai hari ke-30. Kecenderungan peningkatan kadar NH3 terjadi dari
hari ke-0 hingga hari ke-30.
Tabel 7. Konsentrasi amoniak (NH3) selama penelitian
Konsentrasi amoniak (NH3) dalam (mg/liter) pada perlakuan Hari Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar
0 0,0126-0,0290a 0,0036-0,0074a 0,0459-0,0831b
10 0,0330-0,0889b 0,0053-0,0336a 0,0225-0,0756b
20 0,0537-0,0952b 0,0085-0,0447a 0,0327-0,0788b
30 0,0732-0,0937b 0,0216-0,0376a 0,0400-0,0803b
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan analisis statistik, dapat dilihat bahwa pada awal penelitian
(hari ke-0) konsentrasi NH3 pada perlakuan cuci air tawar lebih tinggi dari pada
perlakuan tanah jemur dan bakar sekam (p<0,05) (Lampiran 8a). Hari ke-10
hingga hari ke-30, perlakuan tanah jemur dan perlakuan cuci air tawar
mempunyai nilai konsentrasi amoniak lebih tinggi daripada perlakuan bakar
sekam (p<0,05) (Lampiran 8b, 8c, dan 8d).
4.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Berdasarkan jumlah individu yang hidup selama masa pemeliharaan,
dilakukan perhitungan terhadap tingkat kelangsungan hidup udang vaname pada
masing-masing perlakuan (Lampiran 4, 5, dan 6). Tingkat kelangsungan hidup
yang diperoleh pada semua perlakuan berkisar antara 60±54,77% hingga
100±0,00 % (Tabel 8). Sampai dengan hari ke-10 belum terjadi kematian udang
dari semua perlakuan. Kematian baru terjadi setelah hari ke-10 yaitu pada
perlakuan tanah jemur sehingga nilai tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan
tanah jemur menjadi 80±44,72% pada hari ke-20.
Kematian juga terjadi setelah hari ke-20, yaitu pada perlakuan tanah
jemur dan perlakuan cuci air tawar yang masing-masing SR-nya menjadi
60±54,77% dan 66,67±47,14%. Namun, pada perlakuan bakar sekam tidak
terjadi kematian hingga akhir masa pemeliharaan sehingga SR-nya sebesar 100
±0,00%.
21
Tabel 8. Tingkat kelangsungan hidup (SR) selama penelitian Tingkat kelangsungan hidup (SR) dalam (%) pada perlakuan Hari
Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar10 100,00±0,00 100,00±0,00 100,00±0,00 20 80,00±44,72 100,00±0,00 100,00±0,00 30 60,00±54,77 100,00±0,00 66,67±47,14
4.1.6 Biomassa
Berdasarkan jumlah individu yang hidup dan bobot rata-rata udang
selama masa pemeliharaan, dilakukan perhitungan terhadap biomassa (gram)
udang vaname pada masing-masing perlakuan (Lampiran 2). Pada Tabel 9 dapat
dilihat bahwa biomassa akhir tertinggi (p<0,05) diperoleh perlakuan bakar sekam
sebesar 150,65 gram sedangkan biomassa terendah didapat oleh perlakuan
tanah jemur sebesar 88,25 gram (Lampiran 9).
Tabel 9. Biomassa udang vaname selama penelitian
Biomassa udang vaname dalam (gram) pada perlakuan Hari Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar
0 85,2 85,2 85,2 10 103,13 104,09 107,10 20 100,73 130,02 127,16 30 88,25a 150,65b 99,08ab
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.7 Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 1 dan 2), bobot rata-rata udang
mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bobot rata-rata udang vaname selama pemeliharaan
22
Hasil pengamatan pertumbuhan bobot harian selama masa pemeliharaan
(Tabel 10), bernilai antara 1,92±0,32% sampai 2,27±0,69% pada hari ke-10,
sedangkan pada hari ke-20 bernilai antara 1,77±0,20% hingga 2,25±0,21%, dan
hari ke-30 bernilai antara 1,36±0,22% hingga 1,61±0,17%. Bobot akhir yang
diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 9,81±0,60 gram sampai 10,04±0,55
gram (Gambar 1). Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa perlakuan
bakar sekam memberikan laju pertumbuhan bobot harian tertinggi pada hari ke-
20 (Lampiran 10b). Pada hari ke-10 dan hari ke-30, perlakuan tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian (p>0,05) (Lampiran 10a
dan 10c).
Tabel 10. Laju pertumbuhan bobot harian selama penelitian Laju pertumbuhan bobot harian dalam (%) pada perlakuan Hari
Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar 10 1,92±0,32 2,02±0,20 2,27±0,69 20 1,93±0,26ab 2,25±0,21a 1,77±0,20b
30 1,61±0,17 1,49±0,25 1,36±0,22 Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris
menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.8 Laju Pertumbuhan Panjang Harian
Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 1 dan 2), panjang rata-rata udang
mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Panjang rata-rata udang vaname selama pemeliharaan
Hasil pengamatan pertumbuhan panjang harian selama masa
pemeliharaan berlangsung, bernilai antara 0,31±0,22% sampai 0,37±0,19% pada
hari ke-10, hari ke-20 bernilai antara 0,34±0,11% hingga 0,37±0,11%, dan hari
ke-30 bernilai antara 0,42±0,10% hingga 0,53±0,06% (Tabel 11). Panjang akhir
23
yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 10,89±0,50 cm sampai
11,18±0,46 cm (Gambar 2). Sampai hari ke-30, diketahui bahwa perlakuan tanah
tambak tidak memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan panjang
harian (p>0,05) (Lampiran 11a, 11b, dan 11c).
Tabel 11. Laju pertumbuhan panjang harian selama penelitian Laju pertumbuhan panjang harian dalam (%) pada perlakuan Hari
Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar 10 0,36±0,17 0,31±0,22 0,37±0,19 20 0,36±0,08 0,34±0,11 0,37±0,11 30 0,43±0,08 0,42±0,10 0,53±0,06
4.1.9 Efisiensi Pakan
Berdasarkan jumlah pakan yang dikonsumsi udang vaname selama masa
pemeliharaan, nilai efisiensi pakan yang didapat pada setiap perlakuan berkisar
antara 42,14±7,65% sampai 50,76±16,81% pada hari ke-10, hari ke-20 bernilai
antara 47,89±5,94% hingga 62,26±6,54%, dan hari ke-30 bernilai antara
48,10±8,13% hingga 57,76±6,56% (Tabel 12). Berdasarkan analisis statistik,
diketahui bahwa perlakuan bakar sekam memberikan efisiensi pakan tertinggi
pada hari ke-20 (Lampiran 12b). Pada hari ke-10 dan hari ke-30, perlakuan tidak
menunjukkan pengaruh nyata terhadap efisiensi pakan (p>0,05) (Lampiran 12a
dan 12c).
Tabel 12. Efisiensi pakan selama penelitian
Efisiensi pakan dalam (%) pada perlakuan Hari Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
10 42,14±7,65 44,39±4,74 50,76±16,81 20 52,58±7,53ab 62,26±6,54a 47,89±5,94b
30 57,76±6,56 53,06±9,53 48,10±8,13 Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris
menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.10 Frekuensi Molting
Berdasarkan hasil pencatatan data udang yang molting setiap hari
selama masa pemeliharaan 30 hari diperoleh frekuensi molting (Tabel 13).
Udang vaname pada perlakuan tanah jemur mengalami molting sebanyak 19
kali, sedangkan perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar masing-
masing sebanyak 26 kali. Namun, siklus molting udang vaname pada ketiga
perlakuan relatif bersamaan yaitu tiap 10 hari sekali.
24
Tabel 13. Jumlah molting udang vaname selama penelitian
Jumlah molting udang vaname pada hari ke- Perlakuan Ulangan
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Total Molting
1 1
2 1 1 1
3 1 1 2
4 1 1 1 1 1
Tanah Jemur
5 1 2 1 1 1
Jumlah 2 3 1 1 1 0 2 1 0 3 0 0 1 2 2 19 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 2 1
3 2 1 1 1
4 1 1 1 1 1
Bakar Sekam
5 1 1 1 1 1
Jumlah 2 2 2 1 2 3 1 1 3 2 1 1 1 3 1 26 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1
3 2 1 1 2 1
4 1 1 1 1
Cuci Air Tawar
5 1 1 1 1 1 1
Jumlah 4 3 2 2 1 0 2 2 0 3 0 1 0 4 2 26
4.1.11 Kualitas Air
Nilai parameter kualitas air pada masing-masing perlakuan selama masa
pemeliharaan berlangsung tercantum dalam Tabel 14, sedangkan data terinci
terdapat dalam Lampiran 3.
Tabel 14. Kisaran kualitas air selama penelitian Kisaran kualitas air pada perlakuan Parameter Hari
Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar 0 5,1-6,0 5,5-6,0 5,2-5,6 10 5,2-6,1 5,2-5,3 5,8-6,3 20 5,2-5,8 5,6-5,8 5,6-6,0
DO (mg/liter)
30 6,2-6,6 5,5-6,3 5,2-5,8 0 28,2-28,3 28,1-28,5 28,0-28,1 10 28,8-29,1 28,6-29,0 28,5-28,9 20 28,2-28,4 28,0-28,4 28,1-28,5
Suhu (°C)
30 28,3-28,8 28,3-28,6 28,1-28,3 0 7,5-7,8 7,4-7,6 7,8-7,9 10 7,7-7,9 7,3-7,5 7,4-7,9 20 7,8-7,9 7,7-7,8 7,8-8,1
pH
30 8,2-8,4 8,0-8,2 8,2-8,4
25
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi total sulfur di dalam air
pemeliharaan cenderung menurun dari hari ke-0 hingga hari ke-10 dan
cenderung meningkat setelah hari ke-10 hingga hari ke-30 (Tabel 6).
Kecenderungan penurunan kadar total sulfur dari hari ke-0 hingga hari ke-10
pada masing-masing perlakuan ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan
tanah tambak dengan penjemuran sinar matahari pada setiap perlakuan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hanggono (2005) bahwa pengeringan tanah dasar
tambak secara periodik akan meningkatkan proses oksidasi sulfida dalam tanah
serta meningkatkan dekomposisi bahan organik. Sulfur dalam tanah merupakan
akibat dari akumulasi sulfur di air sehingga konsentrasi total sulfur air dapat
berkurang. Hal ini terjadi karena tanah masih dalam keadaan aerob dan
akumulasi bahan organik masih sedikit sehingga sulfur di air terakumulasi di
tanah pada batas tertentu dan hal ini yang menyebabkan kandungan sulfur dapat
hilang dari air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Avnimelech et al. (2003), bahwa
residu bahan organik dan nutrien yang ada di dalam kolam cenderung
terakumulasi di dalam tanah sampai taraf tertentu sehingga beberapa bahan
dapat hilang dari dalam air.
Peningkatan konsentrasi total sulfur setelah hari ke-10 hingga hari ke-30
pada ketiga perlakuan karena adanya akumulasi sulfur di tanah yang sudah
melebihi ambang batas kemampuan tanah. Adanya pergantian air sebanyak 30%
tiap 3 hari sekali akan menyebabkan terjadinya akumulasi sulfur di tanah secara
terus-menerus. Boyd (1988) menyatakan bahwa di daerah perairan dengan
salinitas yang rendah, konsentrasi sulfat berada pada selang 1-5 mg/liter sebagai
S dan konsentrasi ini akan meningkat dengan meningkatnya salinitas. Selain itu
sudah terbentuknya bahan organik di dalam media pemeliharaan juga diduga
sebagai penyebab peningkatan kadar total sulfur. Hal ini terjadi karena bahan
organik yang berasal dari residu pakan yang mengandung sulfur. Menurut
Lender (1992) dalam Nurbani (1998), sulfur dalam pakan terdapat pada asam
amino ber-S (methionin dan sistein).
Meskipun konsentrasi total sulfur di air selama pemeliharaan meningkat
diduga sulfur yang terdeteksi dalam bentuk sulfat dan sangat sedikit dalam
bentuk H2S. Ini dikarenakan selama masa pemeliharaan, oksigen terlarut dalam
air sebesar 5,2-5,3 hingga 6,2-6,6 mg/liter sehingga mampu menjaga kondisi air
pemeliharaan dalam keadaan aerob. Menurut Wyk dan Scarpa (1999), H2S
26
terjadi karena dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob. Namun, nilai
pH dan suhu juga berperan penting dalam proses pembentukan H2S. Bentuk
sulfida di alam tergantung pada pH (Madigan et al., 1996). Proporsi antara HS-
dan H2S akan berubah seiring dengan perubahan suhu dan pH (Boyd, 1988). pH
dan suhu pada media pemeliharaan yang masing-masing berkisar antara 28,0-
28,1°C hingga 28,8-29,1°C dan 7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 juga diduga sebagai
penyebab tidak terbentuknya H2S dan meskipun terbentuk H2S, jumlahnya
sangat kecil. Pada pH yang tinggi, bentuk dominan adalah sulfida (S2), pada pH
netral S- yang mendominasi dan pH < 6, H2S yang mendominasi (Madigan et al.,
1996). Hidrogen sulfida kebanyakan terdapat pada pH rendah (Boyd, 1988).
Hidrogen sulfida yang tidak terionisasi bersifat racun pada ikan, namun ion hasil
dissosiasi ini tidak selalu toksik karena hidrogen sulfida mungkin berada pada
zona aman di perairan (Boyd, 1988).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar amoniak di dalam air
semakin meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan (Tabel 7). Meskipun
kadar amoniak cenderung meningkat, konsentrasi amoniak masih dalam
toleransi kehidupan udang vaname. Konsentrasi amoniak selama penelitian
cenderung rendah karena adanya pergantian air sebanyak 30% tiap 3 hari sekali,
dan adanya penerapan aerasi diharapkan dapat membantu terciptanya suasana
aerob di dalam air sehingga terjadi proses oksidasi amoniak menjadi nitrat.
Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan
suhu perairan (Boyd, 1989). Meningkatnya pH dan suhu pada media
pemeliharaan yang masing-masing berkisar antara 28,0-28,1°C hingga 28,8-
29,1°C dan 7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 akan menyebabkan meningkatnya kadar
amoniak dalam air pemeliharaan. Pada pH ≤ 7, sebagian besar amoniak akan
mengalami ionisasi, sehingga yang banyak berada dalam perairan adalah dalam
bentuk ion amonium (NH4+). Amonium dalam perairan tidak bersifat racun bagi
ikan. Sebaliknya, pada pH > 7 maka amoniak tak terionisasi yang bersifat toksik
terdapat dalam jumlah lebih banyak (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi,
2003).
Parameter kualitas air lainnya yaitu suhu, pH, dan DO selama penelitian
masih dalam kisaran yang baik bagi kehidupan organisme. Suhu air selama
penelitian berkisar antara 28,0-28,1°C hingga 28,8-29,1°C masih dalam batas
kisaran suhu optimum udang vaname untuk hidup. Suhu optimal untuk
pertumbuhan udang antara 26°C - 32°C (Haliman dan Adijaya, 2004). Fluktuasi
27
suhu yang terjadi tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup ikan karena
menurut Stickney (1979), secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan ikan
adalah 5°C dalam waktu 1 jam. Hal ini tidak terjadi selama penelitian
berlangsung. Kandungan H2S menurun dengan meningkatnya pH dan suhu
(Boyd, 1988). Proporsi antara HS- dan H2S akan berubah seiring dengan
perubahan suhu dan pH (Boyd, 1988). Persentase amoniak bebas meningkat
dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan (Boyd, 1989).
Nilai pH media pemeliharaan pada ketiga perlakuan berkisar antara
7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 sehingga masih dalam batas kisaran suhu optimum udang
vaname untuk hidup. Sebagian besar biota akuatik termasuk udang vaname,
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,3 (Wyk dan
Scarpa, 1999). Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai
pH dan suhu perairan (Boyd, 1989). Akan tetapi persentase H2S akan meningkat
dengan menurunnya pH. Pada pH yang tinggi, bentuk dominan adalah sulfida
(S2- ), pada pH netral S- yang mendominasi dan pH < 6, H2S yang mendominasi
(Madigan et al., 1996). Fluktuasi nilai pH pada media air pemeliharaan selama
penelitian tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup udang vaname.
Konsentrasi DO dalam media air pemeliharaan semua perlakuan berkisar
antara 5,2-5,3 hingga 6,2-6,6 mg/liter masih dalam batas kisaran DO optimum
udang vaname untuk hidup. Konsentrasi oksigen terlarut optimum untuk hidup
udang vaname 5 - 9 ppm (Wyk dan Scarpa, 1999). Toksisitas H2S akan menurun
seiring dengan peningkatan kadar oksigen terlarut (Effendi, 2003). Dari
pembahasan kualitas air (suhu, pH, dan DO) dapat disimpulkan bahwa selama
penelitian, kualitas air tersebut masih layak untuk kehidupan udang vaname.
Hasil yang diperoleh selama masa pemeliharaan menunjukkan bahwa
tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 60±54,77% hingga 100±0,00%.
Kematian udang vaname selama masa pemeliharaan terjadi pada perlakuan
tanah jemur dan perlakuan cuci air tawar. Tingkat kelangsungan hidup yang
didapat hingga masa pemeliharaan hari ke-10 yaitu 100% pada ketiga perlakuan.
Hal ini diduga karena udang sudah dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungan. Udang sudah mampu beradaptasi dengan baik pada masa
pemeliharaan 10 hari karena udang sudah diaklimatisasi dengan baik pada saat
penebaran berlangsung. Hal ini terjadi karena udang sudah diadaptasikan
selama 3 hari pada perlakuan sebelum diberi pakan. Meskipun kadar amoniak
28
dan total sulfur sudah dalam berada pada konsentrasi yang cukup tinggi, udang
masih dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pada hari ke-10 sampai hari ke-20 masa pemeliharaan, tingkat
kelangsungan hidup pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar
masih 100%, namun pada perlakuan tanah jemur tingkat kelangsungan hidup
sudah mengalami penurunan yaitu dengan adanya kematian sebanyak satu ekor
pada ulangan satu pada hari ke-13 dan dua ekor pada hari ke-15. Konsentrasi
amoniak yang meningkat secara signifikan, berkisar 0,0330-0,0889 mg/liter -
0,0537-0,0952 mg/liter dan konsentrasi total sulfur berkisar 2,21-5,12 mg/liter -
3,50-5,80 mg/liter diduga sebagai penyebab terjadinya kematian udang. Udang
pada perlakuan tanah jemur ulangan satu mengalami tekanan lingkungan akibat
secara terus menerus terpapar oleh peningkatan konsentrasi amoniak dan total
sulfur sehingga tidak mampu bertoleransi lagi yang akhirnya menyebabkan
udang menjadi lemah dan akhirnya mati.
Pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar tidak terdapat
adanya kematian. Konsentrasi amoniak meningkat pada perlakuan bakar sekam
dan perlakuan cuci air tawar masing-masing berkisar antara 0,0053-0,0336
mg/liter sampai 0,0085-0,0447 mg/liter dan 0,0225-0,0756 mg/liter sampai
0,0327-0,0788 mg/liter. Tidak terjadinya mortalitas selama 20 hari disebabkan
oleh masih kecilnya peningkatan kadar amoniak dan total sulfur. Peningkatan
kadar amoniak dan total sulfur terjadi secara perlahan tidak berlangsung secara
signifikan sehingga udang masih mampu untuk bertoleransi.
Pada hari ke-20 sampai hari ke-30 masa pemeliharaan, tingkat
kelangsungan hidup pada perlakuan bakar sekam masih 100%, perlakuan cuci
air tawar sebesar 66,67±47,14%, dan perlakuan tanah jemur sebesar
60,00±54,77%. Mortalitas terjadi pada perlakuan tanah jemur ulangan tiga pada
hari ke-24 sebanyak dua ekor dan pada hari ke-27 sebanyak satu ekor.
Perlakuan cuci air tawar, mortalitas terjadi pada hari ke-22 sebanyak dua ekor
pada ulangan dua, dan sebanyak satu ekor pada ulangan empat. Hari ke-25 dan
hari ke-26 masa pemeliharaan, terjadi juga kematian pada perlakuan cuci air
tawar ulangan empat masing-masing sebanyak satu ekor.
Kematian udang diduga karena konsentrasi amoniak yang semakin
meningkat, sebesar 0,0537-0,0952 mg/liter hingga 0,0732-0,0937 mg/liter dan
konsentrasi total sulfur sebesar 3,50-5,80 mg/liter hingga 5,69-8,23 mg/liter pada
perlakuan tanah jemur serta konsentrasi amoniak sebesar 0,0327-0,0788 mg/liter
29
hingga 0,0400-0,0803 mg/liter dan konsentrasi total sulfur sebesar 1,13-2,42
mg/liter hingga 5,50-5,69 mg/liter pada perlakuan cuci air tawar. Udang
mengalami tekanan lingkungan dan tidak mampu bertoleransi dengan tingginya
konsentrasi amoniak dan total sulfur secara terus menerus yang kadarnya
semakin meningkat mendekati nilai toksik sehingga udang mati.
McCarty dalam Effendi (2003) mengemukakan bahwa, kadar NH3 pada
perairan sebaiknya tidak melebihi 0,1 mg/liter, karena bersifat toksik bagi
beberapa jenis ikan. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amoniak bebas
yang terlalu tinggi karena dapat menggangu proses pengikatan oksigen oleh
darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi (Effendi, 2003).
Semakin besar konsentrasi total sulfur maka semakin besar juga potensi untuk
mereduksi sulfur dalam bentuk H2S. Apabila H2S dalam perairan dalam jumlah
yang tinggi maka akan sangat berbahaya untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan.
Hidrogen sulfida sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada
konsentrasi rendah + 0,05 mg/liter (Hanggono, 2005). Menurut Hariyadi et al.
(1992), keberadaan H2S sebesar 0,025-0,25 µg/liter dalam air bersih sudah
menimbulkan bau telur busuk. Chamberlain (1988) dalam Nurbani (1998)
menyatakan bahwa H2S yang dapat dideteksi dalam jumlah apapun dianggap
merusak terhadap produksi budidaya air. Keberadaan H2S ini sangat berbahaya
karena dapat meenghambat oksigen yang akan masuk ke tubuh. H2S masuk ke
dalam lapisan epithelium insang dan menghalangi kemampuan sel untuk
transportasi oksigen. Akibatnya oksigen tidak dapat masuk ke dalam darah,
udang menjadi lemah karena kekurangan oksigen (hypoxia) dan selanjutnya
dapat mengakibatkan kematian.
Selain tingkat kelangsungan hidup, dilakukan juga penghitungan
biomassa udang selama 30 hari. Biomassa akhir udang tertinggi sebesar 150,65
gram terjadi pada perlakuan bakar sekam. Pada perlakuan tanah jemur
mempunyai nilai biomassa yang paling kecil yaitu sebesar 88,25 gram. Hal ini
terjadi karena udang pada perlakuan bakar sekam mempunyai tingkat
kelangsungan hidup sebesar 100±0,00% dan bobot rata-rata akhir yang paling
tinggi yaitu 10,04 gram/ekor sedangkan pada perlakuan tanah jemur mempunyai
tingkat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata akhir yang paling rendah yang
masing-masing sebesar 60,00±54,77% dan 9,81±0,60 gram/ekor.
30
Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-0 sampai hari ke-10 masa
pemeliharaan, pada masing-masing perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05)
(Lampiran 10a). Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-0 sampai hari ke-
10 sebesar 1,92±0,32% pada perlakuan tanah jemur, 2,02±0,20% pada
perlakuan bakar sekam, serta 2,27±0,69% pada perlakuan cuci air tawar. Hal ini
disebabkan karena udang pada setiap perlakuan sudah mampu beradaptasi
dengan baik pada lingkungannya masing-masing sehingga udang dapat
mengoptimalkan pakan yang diberikan untuk pertumbuhan bobotnya. Hadie et al.
(2002) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi pada makhluk hidup apabila
jumlah makanan yang dimakan melebihi kebutuhan untuk mempertahankan
hidupnya.
Pertumbuhan akan terjadi jika jumlah energi dari pakan yang dikonsumsi
ikan lebih besar daripada yang dibutuhkan ikan untuk pemeliharaan tubuh harian.
Pemanfaatan energi untuk pertumbuhan akan terjadi apabila energi untuk
pemeliharaan, aktifitas fisik dan pengaturan suhu tubuh telah terpenuhi.
Pertumbuhan ikan terjadi apabila ada perubahan dalam bobot tubuh ikan atau
terdapat sejumlah hasil metabolisme yang disimpan dalam tubuh (anabolisme)
(Nurbani, 1998).
Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Effendie (1997)
menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu
berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti genetik dan keadaan
fisiologi (kesehatan dan kematangan gonad) dan oleh faktor eksternal yaitu
lingkungan tempat ikan hidup, seperti sifat kimia air, kimia tanah, suhu air, sisa
metabolisme, ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan. Kualitas air yang
masih baik membuat udang pada masing-masing perlakuan tersebut dapat
mengoptimalkan pakan untuk pertumbuhan bobotnya.
Pada hari ke-10 sampai hari ke-20 masa pemeliharaan, perlakuan bakar
sekam berbeda nyata dengan perlakuan cuci air tawar (p<0,05), namun tidak
berbeda nyata perlakuan tanah jemur terhadap laju pertumbuhan bobot harian
(p>0,05) (Lampiran 10b). Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-10 sampai
hari ke-20 sebesar 1,93±0,26% pada perlakuan tanah jemur, 2,25±0,21% pada
perlakuan bakar sekam, serta 1,77±0,20% pada perlakuan cuci air tawar.
Tingginya laju pertumbuhan bobot harian pada perlakuan bakar sekam terjadi
karena udang pada perlakuan bakar sekam lebih mengoptimalkan pakan yang
diberikan untuk pertumbuhan bobotnya daripada kedua perlakuan lainnya. Hal ini
31
terjadi karena masih baiknya kualitas air pada perlakuan bakar sekam daripada
kedua perlakuan yang lain. Daya serap oksigen oleh darah akan berjalan dengan
lancar sehingga energi dari metabolisme pakan yang dimakan udang digunakan
untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan.
Pada hari ke-20 sampai hari ke-30, laju pertumbuhan bobot harian udang
cenderung mengalami penurunan. Meskipun demikian, pada masing-masing
perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) (Lampiran 10c). Penurunan laju
pertumbuhan bobot ini diduga udang mengalami tekanan lingkungan dan
direspon oleh udang dengan melakukan molting. Udang akan mengalami stres
akibat dari peningkatan kadar amoniak, peningkatan kadar total sulfur, dan
peningkatan pH.
Salah satu faktor yang mempengaruhi molting adalah stres. Penyebab
stres pada udang apabila terjadi perubahan lingkungan (suhu, kepadatan,
salinitas, pH, polusi, penyakit, tekanan air, arus air, DO, dan ketersediaan
makanan), penanganan (handling) (pemindahan ikan dengan serok,
transportasi), serta penangkapan (capture) (pukat, gill net) (Fingerman et al.,
1997 dalam Aziz, 2008). Udang yang stres dan sering melakukan molting akan
berdampak pada pertumbuhan yang tidak sempurna. Hal ini menyebabkan
udang mengalihkan pertumbuhan bobotnya menjadi pertumbuhan panjang.
Dapat dilihat pada laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-20 hingga ke-
30 yang mengalami peningkatan.
Meskipun masih dalam kondisi optimal, kualitas air yang semakin
memburuk pada media pemeliharaan (Tabel 14), apabila terpapar dalam waktu
lama juga akan mengakibatkan udang tidak mampu memaksimalkan energi yang
didapatnya untuk pertumbuhan melainkan untuk memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidupnya. Penurunan kualitas air yang ditandai dengan
peningkatan kadar amoniak, membuat daya serap oksigen oleh darah menurun
sehingga metabolisme udang juga menurun.
Laju pertumbuhan panjang harian selama masa pemeliharaan, pada
masing-masing perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) (Lampiran 11a, 11b
dan 11c). Laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-0 sampai hari ke-10
sebesar 0,31±0,22% sampai 0,37±0,19%, laju pertumbuhan panjang harian pada
hari ke-10 sampai hari ke-20 sebesar 0,34±0,11% hingga 0,37±0,11%, dan laju
pertumbuhan panjang harian pada hari ke-20 sampai hari ke-30 sebesar
0,42±0,10% hingga 0,53±0,06%.
32
Nilai laju pertumbuhan panjang harian meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu. Akan tetapi, pada hari ke-30 laju pertumbuhan panjang ini
lebih dominan daripada laju pertumbuhan bobot pada hari ke-30. Hal ini diduga
udang mengalami stres dan direspon oleh udang dengan melakukan molting.
Udang stres akibat dari peningkatan kadar amoniak, peningkatan kadar total
sulfur, dan peningkatan pH. Energi udang digunakan untuk mengadaptasikan diri
dengan lingkungan yang semakin memburuk, sehingga udang meresponnya
dengan molting akibat dari adanya tekanan dari lingkungan. Hal ini sesuai
dengan Fingerman et al., 1997 dalam Aziz, 2008 bahwab penyebab stres pada
udang apabila terjadi perubahan lingkungan (suhu, kepadatan, salinitas, pH,
polusi, penyakit, tekanan air, arus air, DO, dan ketersediaan makanan),
penanganan (handling) (pemindahan ikan dengan serok, transportasi), serta
penangkapan (capture) (pukat, gill net).
Efisiensi pakan sangat dipengaruhi oleh nafsu makan udang dan jumlah
pakan yang dimakan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hanya pada hari
ke-20 perlakuan bakar sekam bernilai lebih tinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan cuci air tawar (p<0,05) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah jemur terhadap efisiensi pakan (p>0,05) (Lampiran 12b). Hal ini
menyebabkan pertumbuhan bobot pada perlakuan bakar sekam meningkat
seiring dengan meningkatnya efisiensi pakan.
Kualitas air yang masih baik pada perlakuan bakar sekam, mendukung
pertumbuhan udang untuk mengoptimalkan energi yang didapatkan dari pakan
untuk pertumbuhan. Udang pada perlakuan bakar sekam tidak perlu
menghabiskan energi untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan, sehingga udang
pada perlakuan bakar sekam lebih dominan untuk pertumbuhan. Pada kedua
perlakuan lainnya, udang mengoptimalkan energinya untuk bertahan hidup
dengan melakukan molting sebagai akibat dari kualitas air yang semakin
memburuk yang menjadi stresor lingkungan. Akibatnya, pada kedua perlakuan ini
udang yang diperoleh cenderung kurus dan panjang.
Secara alami udang vaname mengalami pergantian kulit atau molting
secara periodik untuk tumbuh jika kondisi lingkungan dan nutrisi mencukupi.
Pertumbuhan bergantung pada efisiensi penggunaan energi, yaitu rasio antara
energi untuk tumbuh dan metabolisme termasuk energi yang dipergunakan untuk
adaptasi (Aziz, 2008). Molting sering terjadi pada perlakuan bakar sekam dan
perlakuan cuci air tawar dengan total molting sebanyak 26. Dari Tabel 13, dapat
33
diketahui bahwa siklus molting udang vaname semua perlakuan relatif
bersamaan yaitu tiap 10 hari sekali. Chanratcakool (1995) dalam Haliman dan
Adijaya (2004) menyatakan bahwa udang vaname dengan bobot 6-9 gram
interval moltingnya terjadi setiap 8-9 hari seperti yang tertera pada Tabel 15 yang
menyatakan interval molting dan penambahan bobot udang vaname.
Tabel 15. Interval molting dan penambahan bobot udang vaname
Bobot (gram) Interval molting (hari)2 - 5 7 – 86 - 9 8 – 910 - 15 9 – 1216 - 22 12 – 1323 - 40 14 – 16Sumber : Chanratcakool, 1995 dalam Haliman dan Adijaya, 2004
Fingerman et al. (1997) dalam Aziz (2008) menyatakan bahwa frekuensi
molting pada udang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti stresor, suhu,
fotoperiod, nutrisi, dan faktor internal yaitu produksi moult accelerating hormon
(MAH) berupa hormon ekdisis dan moult inhibiting hormon (MIH).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pengolahan tanah tambak dengan cara membakar sekam di atas
permukaan tanah cenderung menghasilkan nilai amoniak terlarut paling kecil
(p<0,05) selama 30 hari masa pemeliharaan dibanding dengan dua cara
pengolahan tanah lainnya. Demikian juga terhadap kadar total sulfur hingga 20
hari masa pemeliharaan (p<0,05). Kadar total sufur pada ketiga cara pengolahan
tanah tambak cenderung naik setelah 30 hari masa pemeliharaan. Ketiga cara
pengolahan tanah tambak memberikan frekuensi molting yang sama yaitu 10 hari
sekali.
Cara pengolahan tanah dengan bakar sekam menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup, biomassa (p<0,05) yang tertinggi sampai 30 hari
pemeliharaan, sedangkan laju pertumbuhan bobot harian (p<0,05) dan efisiensi
pakan (p<0,05) yang lebih baik daripada cara pengolahan tanah tambak dengan
pengangkatan lapisan lumpur dan pencucian air tawar sampai 20 hari
pemeliharaan.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, pengolahan tanah tambak yang disarankan
untuk budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei adalah pengolahan tanah
tambak bakar sekam. Selain itu juga disarankan penelitian lebih lanjut tentang
pengolahan tanah tambak dengan pembakaran sekam yang berdosis sekam
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Z, Andrat K, Subiyanto. 2005. Teknik Produksi Udang Vaname Litopenaeus vannamei Secara Sederhana. Jepara: BBPBAP Jepara, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Avnimelech Y, Ritvo G, Kochva M. 2003. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture, 233: 283-292.
Aziz. 2008. Perangsangan molting pascalarva lobster air tawar jenis capit merah (Cherax quadricarinatus, Von Martens) dengan perlakuan suhu. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Boone. 1931. Litopenaeus vannamei. http://www.itis.gov (12 Agustus 2008).
Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. New York: Elsevier Scientific Publising Company.
_______. 1988. Water Quality in Warmwater Fish. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University.
_______. 1989. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University.
_______. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University.
Chanratchakool. 1995. Health Management in Shrimp Ponds. Bangkok: Department of Fisheries, Kasetsart University Campus. Aquatic Animal Health Research Institute.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2009a. Kinerja Pembangunan dan Tantangan ke Depan Perikanan Budidaya. Temu Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Pembangunan Perikanan Budidaya. Bogor.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktur Produksi. 2009b. Kinerja 2008 dan Rencana 2009 Perikanan Budidaya. Bahan Diskusi Satgas Perikanan Budidaya. Bogor.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Hadie W, Sumantadinata K, Carman O, Hadie LE. 2002. Pendugaan jarak genetik populasi udang galah Macrobrachium rosenbergii dari sungai Musi, sungai Kapuas, sungai Citanduy, dengan truss morphometric untuk mendukung program pemuliaan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 8 (2): 1-5.
36
Haliman RW, Adijaya DS. 2004. Udang Vannamei. Jakarta: Panebar Swadaya.
Hanggono B. 2005. Parameter Kualitas Air Dalam Akuakultur. BBAP Situbondo. Direktoral Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hariyadi S, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Hidayat A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan International Coorporation Agency (JICA) in the Frame Work of the Indonesia-Japan. Joint Food Crop Research Program.
Hudi L, Shahab A. 2005. Optimasi Produktifitas Budidaya Udang Vaname Litopenaeus vannamei dengan Menggunakan Metode Respon Surface dan Non Linier Programming. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
http://id.wikipedia.org/wiki/Belerang (16 juni 2008)
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1996. Brock Biology of Microorganisms. USA: Pearson US Import and Phipes.
Manalo RG. 1978. Manual on Pond Culture of Penaid Shrimp. Manila: ASEAN National Coordinating Agency of The Philippines.
Nugraha S, Setiawati J. 2001. Peluang Agribisnis Arang Sekam. Jakarta: Balai Penelitian Pascapanen Pertanian.
Nurbani Y. 1998. Evaluasi beberapa pakan komersial berdasarkan pertumbuhan, retensi nutrien, dan limbah yang dihasilkan pada pemeliharaan ikan mas Cyprinus carpio. Skripsi. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Ritvo G, Samocha TM, Lawrence AL, Neill WH. 1996. Growth of Penaeus vannamei on soils from various Texas shrimp farms, under laboratory conditions. Aquaculture, 163: 101-110.
Steel RGD, Torrie JH. 1982. Principle and Procedures of Statistics a Biometrical Aproach. 2nd edition. Florida: CRC Press.
Wickins J, Lee DOC. 2002. Crustacean Farming Ranching and Culture. 2nd edition. London: Blackweel Science.
Wyk PV, Scarpa J. 1999. Water Quality Requirements and Management. Florida: Harbor Branch Oceanographic Institution.
Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Panjang dan bobot awal udang vaname Panjang (Cm) Bobot (gram) 9,90 6,12 9,90 5,97 9,90 5,95 9,70 5,05 9,60 5,66 9,70 5,73 9,60 5,02 9,70 5,68 9,60 5,36 9,50 4,73 9,90 5,10 9,90 5,83 9,80 5,80 10,00 6,42 9,70 5,50 9,90 5,72 9,90 5,76 9,70 5,82 10,40 6,48 9,60 5,86 9,40 4,91 9,50 6,26 9,50 5,27 10,10 5,92 9,60 5,14 9,80 5,39 9,50 5,82 9,80 5,95 9,80 6,36
rataan 9,76 5,68 SD 0,21 0,46
39
Lampiran 2. Hasil pengukuran panjang dan bobot
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Hari Ke-10
Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr) Ulangan 1 9,90 6,58 Ulangan 1 9,9 6,82 Ulangan 1 10,10 6,89
9,90 6,31 9,5 6,48 10,20 7,62 10,20 7,04 10,2 7,46 10,00 6,58
Ulangan 2 10,20 6,83 Ulangan 2 9,4 6,57 Ulangan 2 10,30 7,16 9,90 6,43 10,4 6,98 10,10 6,73 9,90 7,16 9,7 6,64 10,20 6,65
Ulangan 3 10,20 6,87 Ulangan 3 10,1 6,75 Ulangan 3 10,40 6,98 9,80 6,41 10,4 7,53 10,60 8,48 10,40 7,52 9,8 6,84 10,20 7,13
Ulangan 4 10,00 6,76 Ulangan 4 10,2 6,95 Ulangan 4 10,10 6,78 10,10 6,85 9,9 6,76 10,00 6,67 10,00 6,72 10,6 7,51 9,50 6,42
Ulangan 5 10,50 7,62 Ulangan 5 10,5 7,16 Ulangan 5 10,40 8,72 10,30 6,95 10,3 6,86 10,30 6,63 10,40 7,08 10,2 6,78 9,60 7,66
Rataan 10,11 6,88 Rataan 10,07 6,94 Rataan 10,13 7,14 SD
Biomassa 0,22
0,38
103,13 SD
Biomassa 0,36
0,33
104,09 SD
Biomassa 0,29
0,69
107,10
39
40
Lanjutan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Hari Ke-20 Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr)
Ulangan 1 Ulangan 1 10,20 8,03 Ulangan 1 10,60 7,91 9,80 7,74 10,70 9,03 10,80 9,58 10,20 7,85
Ulangan 2 10,50 8,41 Ulangan 2 9,60 7,83 Ulangan 2 10,70 8,58 10,20 7,38 10,90 9,36 10,50 8,16 10,30 8,02 10,00 8,20 10,50 8,38
Ulangan 3 10,50 8,36 Ulangan 3 10,50 8,55 Ulangan 3 10,70 8,43 10,20 7,92 10,90 9,82 11,30 10,14 10,70 9,25 10,10 8,82 10,50 8,26
Ulangan 4 10,40 8,21 Ulangan 4 10,50 8,66 Ulangan 4 10,40 8,05 10,50 8,47 10,20 8,56 10,40 7,87 10,30 8,06 11,00 9,31 9,80 7,71
Ulangan 5 10,80 9,05 Ulangan 5 11,00 8,94 Ulangan 5 10,80 10,58 10,70 8,68 10,70 8,44 10,70 7,94 10,70 8,92 10,50 8,18 9,90 8,27
Rataan 10,48 8,39 Rataan 10,45 8,70 Rataan 10,51 8,48 SD
Biomassa 0,21
0,53
100,73 SD
Biomassa 0,45
0,64
130,02 SD
Biomassa 0,36
0,84
127,16
40
41
Lanjutan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Hari Ke-30
Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr) Panjang (Cm) Bobot (gr) Ulangan 1 Ulangan 1 10,6 9,69 Ulangan 1 11,2 8,97
10,3 9,59 11,3 10,57 11,6 11,09 10,5 8,78
Ulangan 2 10,9 9,47 Ulangan 2 10,1 9,32 Ulangan 2 11,2 9,35 10,6 9,28 11,6 10,55 10,8 9,39 10,4 9,22
Ulangan 3 Ulangan 3 10,8 10,02 Ulangan 3 11,4 9,72 11,3 10,74 11,8 12,55 10,4 10,18 11,1 9,11
Ulangan 4 10,9 9,78 Ulangan 4 10,9 9,75 Ulangan 4 10,9 9,56 10,5 9,81 10,6 9,13 11,5 10,51
Ulangan 5 11,4 10,38 Ulangan 5 11,4 10,48 Ulangan 5 11,6 11,43 11,2 10,83 11,1 10,23 11,4 9,67 11,3 10,43 10,9 9,47 10,3 8,93
Rataan 10,95 9,81 Rataan 10,89 10,04 Rataan 11,18 9,91 SD
Biomassa 0,29
0,60
88,25 SD
Biomassa 0,50
0,55
150,65 SD
Biomassa 0,46
1,24
99,08
41
42
Lampiran 3. Kualitas air
Hari ke-0 Hari ke-10 Hari ke-20 Hari ke-30 Perlakuan DO SUHU PH Perlakuan DO SUHU PH Perlakuan DO SUHU PH Perlakuan DO SUHU PH
P1U1 5,59 28,3 7,6 P1U1 5,20 28,80 7,7 P1U1 P1U1 P1U2 5,57 28,3 7,5 P1U2 6,10 28,80 7,9 P1U2 5,80 28,30 7,9 P1U2 6,61 28,8 8,2 P1U3 5,09 28,2 7,6 P1U3 5,30 29,10 7,8 P1U3 5,20 28,20 7,9 P1U3 P1U4 5,73 28,2 7,8 P1U4 5,80 28,90 7,8 P1U4 5,60 28,30 7,8 P1U4 6,13 28,3 8,3 P1U5 5,97 28,3 7,8 P1U5 5,80 28,90 7,7 P1U5 5,80 28,40 7,9 P1U5 6,21 28,4 8,4 P2U1 5,95 28,1 7,6 P2U1 5,20 29,00 7,3 P2U1 5,60 28,00 7,7 P2U1 6,3 28,6 8,2 P2U2 5,79 28,2 7,5 P2U2 5,20 28,70 7,4 P2U2 5,80 28,10 7,8 P2U2 6,13 28,5 8,2 P2U3 5,67 28,1 7,5 P2U3 5,20 28,60 7,3 P2U3 5,80 28,10 7,8 P2U3 5,47 28,3 8,0 P2U4 5,53 28,2 7,4 P2U4 5,30 28,80 7,5 P2U4 5,70 28,20 7,8 P2U4 5,77 28,5 8,0 P2U5 5,50 28,5 7,5 P2U5 5,30 28,90 7,4 P2U5 5,60 28,40 7,7 P2U5 5,73 28,3 8,1 P3U1 5,41 28 7,8 P3U1 6,30 28,50 7,8 P3U1 6,00 28,10 8,0 P3U1 5,79 28,2 8,5 P3U2 5,31 28,1 7,8 P3U2 6,20 28,60 7,9 P3U2 5,80 28,20 7,8 P3U2 P3U3 5,58 28,1 7,8 P3U3 6,30 28,50 7,8 P3U3 5,80 28,40 8,1 P3U3 5,45 28,1 8,4 P3U4 5,51 28 7,8 P3U4 6,00 28,80 7,7 P3U4 5,60 28,30 8,0 P3U4 P3U5 5,24 28,1 7,8 P3U5 5,80 28,90 7,4 P3U5 5,80 28,50 8,0 P3U5 5,14 28,3 8,2
42 42
43
Lampiran 4. Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan tanah jemur
Parameter Perlakuan Ulangan Hari Amoniak
(mg/l) Total S (mg/l)
SR (%)
SGR Bobot (%)
SGR Panjang (%)
EP (%)
0 0,0239 3,6525 100 10 0,0418 4,0085 100 1,58 0,24 33,96 20 0
1
30 0 0 0,0193 3,2627 100 10 0,0482 4,6695 100 1,83 0,24 39,72 20 0,0658 3,5000 100 1,55 0,29 41,50
2
30 0,0732 5,6864 100 1,68 0,40 60,62 0 0,0126 4,8644 100 10 0,0820 5,1186 100 2,01 0,38 44,18 20 0,0952 5,7966 100 2,07 0,35 56,85
3
30 0 0 0,0290 5,3559 100 10 0,0889 2,5085 100 1,78 0,28 38,66 20 0,0537 4,6525 100 1,98 0,32 54,23
4
30 0,0928 6,0678 100 1,41 0,37 50,26 0 0,0207 6,3305 100 10 0,0330 2,2119 100 2,42 0,64 54,17 20 0,0742 5,2203 100 2,10 0,48 57,74
Tanah Jemur
5
30 0,0937 8,2288 100 1,73 0,52 62,41
44
Lampiran 5. Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan bakar sekam
Parameter Perlakuan Ulangan Hari Amoniak
(mg/l) Total S (mg/l)
SR (%)
SGR Bobot (%)
SGR Panjang (%)
EP (%)
0 0,0049 4,4237 100 10 0,0053 1,0254 100 1,99 0,11 43,71 20 0,0085 1,8644 100 2,02 0,25 55,27
1
30 0,0376 5,7034 100 1,82 0,54 66,01 0 0,0074 4,7458 100 10 0,0009 1,4237 100 1,71 0,07 37,02 20 0,0040 2,2288 100 2,32 0,20 64,39
2
30 0,0376 3,4407 100 1,37 0,51 48,58 0 0,0036 2,9746 100 10 0,0173 1,4407 100 2,17 0,34 47,94 20 0,0287 2,4153 100 2,56 0,37 71,85
3
30 0,0258 6,4661 100 1,30 0,31 45,97 0 0,0072 4,4322 100 10 0,0270 0,5932 100 2,22 0,47 49,12 20 0,0342 1,2458 100 2,26 0,40 62,56
4
30 0,0216 5,3475 100 1,26 0,37 44,48 0 0,0300 3,5000 100 10 0,0336 0,8136 100 2,01 0,57 44,18 20 0,0447 1,0678 100 2,08 0,48 57,21
Bakar sekam
5
30 0,0253 3,6780 100 1,68 0,37 60,25
45
Lampiran 6. Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan cuci air tawar
Parameter Perlakuan Ulangan Hari Amoniak
(mg/l) Total S (mg/l)
SR (%)
SGR Bobot (%)
SGR Panjang (%)
EP (%)
0 0,0570 4,5763 100 10 0,0693 0,4746 100 2,16 0,34 47,59 20 0,0575 1,1271 100 1,63 0,37 43,86
1
30 0,0803 5,5000 100 1,34 0,47 47,47 0 0,0083 2,4915 100 10 0,0721 0,6271 100 1,89 0,44 41,13 20 0,0735 1,2373 100 2,03 0,40 55,74
2
30 33,33 0 0,0831 4,2627 100 10 0,0325 1,1017 100 2,86 0,64 65,22 20 0,0438 1,4153 100 1,74 0,52 46,92
3
30 0,0782 5,6525 100 1,58 0,54 56,53 0 0,0705 4,3644 100 10 0,0756 1,7288 100 1,39 0,11 29,73 20 0,0788 2,4237 100 1,90 0,22 51,87
4
30 0 0 0,0459 3,1102 100 10 0,0225 0,8559 100 3,05 0,34 70,15 20 0,0327 1,3390 100 1,53 0,35 41,07
Cuci air Tawar
5
30 0,0400 5,6949 100 1,15 0,59 40,31
46
Lampiran 7. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi total sulfur selama penelitian a. Hari Ke-0 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 2,322129656 2 1,161064828 1,179042 0,340807 3,885294
Galat 11,81703533 12 0,984752945
Total 14,13916499 14
b. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 24,2344154 2 12,1172077 17,7168 0,000262 3,885294
Galat 8,207268026 12 0,683939002
Total 32,44168342 14
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: Total Sulfur 10 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) Perlakuan (J) Perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan
baku P Batas atas Batas bawah
Bakar sekam 2,6440800(*) 0,5230354 0,001 1,248693 4,039467 Tanah jemur
Cuci air tawar 2,7457800(*) 0,5230354 0,001 1,350393 4,141167 Tanah jemur -2,6440800(*) 0,5230354 0,001 -4,039467 -1,248693
Bakar sekam Cuci air tawar 0,1017000 0,5230354 0,979 -1,293687 1,497087 Tanah jemur -2,7457800(*) 0,5230354 0,001 -4,141167 -1,350393 Cuci air tawar Bakar sekam -0,1017000 0,5230354 0,979 -1,497087 1,293687
*. Perbedaan nyata pada level 0,05 c. Hari Ke-20 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 28,62063344 2 14,31031672 29,26422 3,94E-05 3,982298
Galat 5,379043378 11 0,489003943
Total 33,99967682 13
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: Total Sulfur 20 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) Perlakuan (J) Perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P
Batas atas Batas bawah Bakar sekam 3,0279300(*) 0,4690924 0,000 1,760978 4,294882
Tanah jemur Cuci air tawar 3,2838700(*) 0,4690924 0,000 2,016918 4,550822 Tanah jemur -3,0279300(*) 0,4690924 0,000 -4,294882 -1,760978
Bakar sekam Cuci air tawar 0,2559400 0,4422646 0,834 -0,938553 1,450433 Tanah jemur -3,2838700(*) 0,4690924 0,000 -4,550822 -2,016918
Cuci air tawar Bakar sekam -0,2559400 0,4422646 0,834 -1,450433 0,938553
*. Perbedaan nyata pada level 0,05 d. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 5,64023835 2 2,820119175 2,108825 0,183827 4,45897
Galat 10,69835296 8 1,33729412
Total 16,33859131 10
47
Lampiran 8. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi amoniak a. Hari Ke-0 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,004861263 2 0,002430632 7,473704 0,007798 3,885294
Galat 0,003902694 12 0,000325225 Total 0,008763957 14
b. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,005318738 2 0,002659369 5,531767 0,01984 3,885294
Galat 0,005768939 12 0,000480745 Total 0,011087677 14
c. Hari Ke-20 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,005615559 2 0,002807779 8,534417 0,005787 3,982298
Galat 0,003618944 11 0,000328995
Total 0,009234502 13
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: NH3_0 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) perlakuan (J) perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P
Batas atas Batas bawah Bakar sekam 0,0104800 0,0114051 0,639 -0,019947 0,040907
Tanah jemur Cuci air tawar -,0318600(*) 0,0114051 0,040 -0,062287 -0,001433 Tanah jemur -0,0104800 0,0114051 0,639 -0,040907 0,019947
Bakar sekam Cuci air tawar -,0423400(*) 0,0114051 0,008 -0,072767 -0,011913 Tanah jemur ,0318600(*) 0,0114051 0,040 0,001433 0,062287 Cuci air tawar Bakar sekam ,0423400(*) 0,0114051 0,008 0,011913 0,072767
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: NH3_10 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) perlakuan (J) perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan
baku P Batas atas Batas bawah
Bakar sekam ,0419600(*) 0,0138622 0,026 0,004978 0,078942 Tanah jemur
Cuci air tawar 0,0043800 0,0138622 0,947 -0,032602 0,041362 Tanah jemur -,0419600(*) 0,0138622 0,026 -0,078942 -0,004978
Bakar sekam Cuci air tawar -,0375800(*) 0,0138622 0,046 -0,074562 -0,000598 Tanah jemur -0,0043800 0,0138622 0,947 -0,041362 0,032602
Cuci air tawar Bakar sekam ,0375800(*) 0,0138622 0,046 0,000598 0,074562
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
48
Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: NH3_20 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) perlakuan (J) perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P
Batas atas Batas bawah Bakar sekam ,0482050(*) 0,0121747 0,006 0,015323 0,081087
Tanah jemur Cuci air tawar 0,0149650 0,0121747 0,461 -0,017917 0,047847 Tanah jemur -,0482050(*) 0,0121747 0,006 -0,081087 -0,015323
Bakar sekam Cuci air tawar -,0332400(*) 0,0114784 0,036 -0,064241 -0,002239 Tanah jemur -0,0149650 0,0121747 0,461 -0,047847 0,017917 Cuci air tawar Bakar sekam ,0332400(*) 0,0114784 0,036 0,002239 0,064241
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
d. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,006589264 2 0,003294632 17,3002 0,001244 4,45897
Galat 0,001523511 8 0,000190439 Total 0,008112775 10
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: NH3_30 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) perlakuan (J) perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P Batas atas Batas bawah
Bakar sekam ,0569729(*) 0,0100781 0,001 0,028175 0,085770 Tanah jemur
Cuci air tawar 0,0204217 0,0112676 0,226 -0,011775 0,052618 Tanah jemur -,0569729(*) 0,0100781 0,001 -0,085770 -0,028175
Bakar sekam Cuci air tawar -,0365512(*) 0,0100781 0,016 -0,065349 -0,007754 Tanah jemur -0,0204217 0,0112676 0,226 -0,052618 0,011775
Cuci air tawar Bakar sekam ,0365512(*) 0,0100781 0,016 0,007754 0,065349
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
49
Lampiran 9. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap biomassa a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,897122 2 0,448561 0,887158 0,441897 4,102821
Galat 5,056155 10 0,505616 Total 5,953277 12
b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 1,637275 2 0,818637 0,617024 0,557216 3,982298
Galat 14,59428 11 1,326752
Total 16,23155 13
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 6,2019 2 3,10095 7,886846 0,028421 5,786135
Galat 1,9659 5 0,39318
Total 8,1678 7 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: Biomassa_30 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) perlakuan (J) perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P
Batas atas Batas bawah Bakar sekam -1,82500(*) 0,62216 0,059 -3,7340 0,0840
Tanah jemur Cuci air tawar -0,87000 0,74363 0,511 -3,1517 1,4117 Tanah jemur 1,82500(*) 0,62216 0,059 -0,0840 3,7340
Bakar sekam Cuci air tawar 0,95500 0,62216 0,341 -0,9540 2,8640 Tanah jemur 0,87000 0,74363 0,511 -1,4117 3,1517 Cuci air tawar Bakar sekam -0,95500 0,62216 0,341 -2,8640 0,9540
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
50
Lampiran 10. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot harian a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,314928419 2 0,157464209 0,772018 0,483725 3,885294
Galat 2,447573169 12 0,203964431 Total 2,762501588 14 b. Hari Ke-20
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: SGR_20 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) Perlakuan (J) Perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan
baku P Batas atas Batas bawah
Bakar sekam -0,32300 0,14873 0,121 -0,7247 0,0787 Tanah jemur
Cuci air tawar 0,15900 0,14873 0,551 -0,2427 0,5607 Tanah jemur 0,32300 0,14873 0,121 -0,0787 0,7247
Bakar sekam Cuci air tawar ,48200(*) 0,14022 0,014 0,1033 0,8607 Tanah jemur -0,15900 0,14873 0,551 -0,5607 0,2427 Cuci air tawar Bakar sekam -,48200(*) 0,14022 0,014 -0,8607 -0,1033
*. Perbedaan nyata pada level 0,05 c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,097052867 2 0,048526433 0,970191 0,419515 4,45897
Galat 0,400139389 8 0,050017424 Total 0,497192256 10
Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,595707628 2 0,297853814 6,028707 0,017069 3,982298
Galat 0,54346512 11 0,04940592 Total 1,139172748 13
51
Lampiran 11. Analisa ragam terhadap laju pertumbuhan panjang harian a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,00937 2 0,004685 0,124903938 0,883714156 3,885294
Galat 0,450096 12 0,037508 Total 0,459465 14 b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,002564013 2 0,001282006 0,121225 0,887001 3,982298
Galat 0,116329292 11 0,01057539
Total 0,118893305 13
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F hit Nilai P F tab
Perlakuan 0,025849 2 0,012925 1,7539 0,233556 4,45897
Galat 0,058952 8 0,007369 Total 0,084802 10
52
Lampiran 12. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap efisiensi pakan a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman JK db KT F Nilai P F tab
Perlakuan 200,0788915 2 100,0394458 0,825704 0,461342 3,885294
Galat 1453,878136 12 121,1565113 Total 1653,957028 14 b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman JK db KT F Nilai P F tab
Perlakuan 533,6236151 2 266,8118076 6,084703 0,01662 3,982298
Galat 482,3456077 11 43,8496007 Total 1015,969223 13
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: EP_20 Tukey HSD
Selang kepercayaan 95% (I) Perlakuan (J) Perlakuan Perbedaan rata-rata(I-J) Kesalahan baku P
Batas atas Batas bawah Bakar sekam -9,67600 4,44264 0,119 -21,6749 2,3229
Tanah jemur Cuci air tawar 4,68800 4,44264 0,560 -7,3109 16,6869 Tanah jemur 9,67600 4,44264 0,119 -2,3229 21,6749
Bakar sekam Cuci air tawar 14,36400(*) 4,18856 0,014 3,0513 25,6767 Tanah jemur -4,68800 4,44264 0,560 -16,6869 7,3109
Cuci air tawar Bakar sekam -14,36400(*) 4,18856 0,014 -25,6767 -3,0513
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman JK db KT F Nilai P F tab
Perlakuan 140,0263013 2 70,01315066 0,963055 0,421933 4,45897
Galat 581,5921237 8 72,69901546 Total 721,618425 10