pengaruh tingkat kesegaran ikan gabus (ophiocephalus …repository.ub.ac.id/7511/1/putra, angga...
TRANSCRIPT
PENGARUH TINGKAT KESEGARAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus)
(PRE RIGOR, RIGOR MORTIS, POST RIGOR) TERHADAP KADAR EKSTRAK
ALBUMIN DENGAN METODE PENGUKUSAN
SKRIPSI
Oleh :
ANGGA BRELYAN PUTRA
NIM. 115080301111064
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH TINGKAT KESEGARAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus)
(PRE RIGOR, RIGOR MORTIS, POST RIGOR) TERHADAP KADAR EKSTRAK
ALBUMIN DENGAN METODE PENGUKUSAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
ANGGA BRELYAN PUTRA
NIM. 115080301111064
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
JUDUL : PENGARUH TINGKAT KESEGARAN IKAN GABUS
(Ophiocephalus striatus) (PRE RIGOR, RIGOR
MORTIS, POST RIGOR) TERHADAP KADAR
EKSTRAK ALBUMIN DENGAN METODE
PENGUKUSAN
NAMA MAHASISWA : ANGGA BRELYAN PUTRA
NIM : 115080301111064
PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
PENGUJI PEMBIMBING
PEMBIMBING 1 : Dr.Ir.Titik Dwi Sulistiyati, MP
PEMBIMBING 2 : Dr. Ir. Hardoko, MS
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
DOSEN PENGUJI 1 : Dr. Ir. Anies Chamidah, MP
DOSEN PENGUJI 2 : Rahmi Nurdiani, S.Pi, MappSc, PhD
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang sepengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, Juni 2017 Mahasiswa ANGGA BRELYAN PUTRA
115080301111064
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Angga Brelyan Putra
2. Tempat dan tanggal lahir : Mojokerto, 17 April 1993
3. Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan
4. Jurusan : Teknologi Hasil Perikanan
5. Alamat Rumah asal : Ds. Ngareskidul kec. Gedeg kab.
Mojokerto
6. Alamat Rumah di Malang : Jl. Simpang candi panggung no.33
7. HP : 085733142499
8. ID Line : Anggabrelyan
9. Usaha : Ayam Cemet KPK
A. Pendidikan Formal
No Jenjang Pendidikan Nama Sekolah Kota Tahun
1 Sekolah Dasar MI Alhikmah Mojokerto 1999
2 SMP MTsN Bakalan Rayung Mojokerto 2005
3 SMA SMAN Gedeg Mojokerto 2008
4 Universitas Universitas Brawijaya Mojokerto 2011
B. Pendidikan Non Formal
No NamaLembagaPendidikan
/ Training /Course
Lama
(Bln/th)
Tempat
pendidikan
dan kota
Tahun
1 Tapas 5 1 tahun Mojokerto 2009
2 -
3 -
C. Pengalaman Usaha
1. Bisnis cafe
2. Bisnis bisnis jas, karpet, sepatu
D. Prestasi /Penghargaan
No Nama Penghargaan Tahun Lembaga pemberi
Penghargaan
Kota
1 Juara 2 Olahan ikan nila
se Malang Raya
2012 Universitas
Brawijaya
Malang
2 PKM-K DIKTI 2013 DIKTI Indonesia
3 PKM-K DIKTI 2014 DIKTI Indonesia
4 PMK-K DIKTI 2015 DIKTI Indonesia
5 PMW DIKTI 2015 DIKTI Indonesia
6 GKN 2015 KEMENKOP Indonesia
13. Pengalaman Organisasi :
1. Staff Divisi BSD UKM Mahasiswa Wirausaha UB 2012-2013
2. Kadiv Developmen BSD UKM Mahasiswa Wirausaha UB 2013-2014
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan usulan Skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa
terimaksih kepada:
1. Kepada Allah SWT yang senantiasa mengabulkan do’a saya serta selalu
ada dimanapun itu.
2. Dr. Ir. Titik Dwi Sulistiyati MP dan Dr. Ir. Hardoko, MS selaku Dosen
Pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan
sejak penyusunan usulan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan
proposal usulan Skripsi ini
3. Kedua orang tuaku serta adik tercinta yang telah memberikan doa, dukungan
materiil dan moril selama penyusunan laporan ini.
4. Teman-teman THP 2011 terimakasih atas semangat dan bantuannya selama
ini.
Malang, 7 Juni 2017
PENULIS
PENGARUH TINGKAT KESEGARAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus) (PRE RIGOR,
RIGOR MORTIS, POST RIGOR) TERHADAP KADAR EKSTRAK ALBUMIN DENGAN
METODE PENGUKUSAN
The Influence Of The Level Of Freshness Of Fish Cork (Ophiocephalus striatus) (PRE RIGOR,
RIGOR MORTIS, POST RIGOR) On Extract Levels Of Albumin With The Streaming Method
Angga Brelyan Putra1)*, Titik Dwi Sulistiyati2), dan Hardoko2) 1) Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang
2) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang *[email protected]
ABSTRAK Salah satu jenis ikan yang mempunyai kandungan albumin cukup tinggi adalah Ikan gabus
(Ophiocephalus striatus). Saat ini, albumin dari ikan gabus banyak diminati masyarakat sebagai pengganti Human Serum Albumin (HSA).Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mendapatkan kadar ekstrak albumin ikan gabus (Ophiochephalus striatus) dengan fase kesegaran ikan yang berbeda (pre rigor, rigor mortis, post rigor) dengan metode pengukusan serta untuk menentukan fase yang menghasilkan kadar albumin ikan gabus terbaik. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan dan Laboratorium Nutrisi dan Biokimia Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang pada bulan Maret sampai Agustus 2015. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 3 perlakuan dengan 8 kali ulangan. Analisa yang digunakan meliputi kadar albumin, kadar protein, kadar air, profil asam amino dan rendemen. Berdasarkan hasil dari penelitian tahap pertama didapatkan data bahwa fase pre rigor terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-10, fase rigor mortis terjadi pada jam ke-10 sampai jam ke-14, dan fase post rigor terjadi pada jam ke-14. Hasil dari penelitian didapatkan ekstrak albumin ikan gabus yang terbaik pada fase pre rigor dengan kadar albumin sebesar 2,74%, kadar protein 5,92%, rendemen 24,55%, kadar air 72,22% dan serta terdapat asam amino yang tersusun di dalamnya.
Kata kunci : Tingkat kesegaran berbeda, albumin, pengukusan
ABSTRAC
One type of fish that has high enough content of albumin is fish cork (Ophiocephalus striatus). At this time, the albumin from cork fish is the favorite one as a substitute for human serum albumin. The goal of this search is to get the levels of albumin extract from fish cork ((Ophiocephalus striatus) with different phase of freshness (Pre Rigor, Rigor Mortis, Post Rigor) with the steaming method and also to determine which phase produce the best level of albumin from the extract of cork fish .This research is done in Fish Product Engineering Laboratory and Laboratory of Nutrition and Fish Biochemistry in Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Brawijaya Malang in March until August 2015. The Methods that is used in this research was Complete Randomize Design with 3 factorial treatment and 8 repetition. The analysis that is used was albumin level test, protein level test, moisture content test, profile of amino acid test and yield test. Based on the result of the study, the first stage obtained data that phase of pre rigor happened at 0 to 10th hours, phase of rigor mortis happened at 10th to 14th hours, and phase of post rigor happened at 14th. The result of this research showed that the best albumin extract is obtained in the phase of pre rigor with 2,74 % of albumin level, l5,92 % level of protei, 24,55 % of yield, 72,22 % of moisture content and there is also an amino acid. Keyword : different levels of freshness, albumin, streaming
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rahmat
serta hidayah-Nya sehingga usulan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Proposal usulan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan, dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
Malang, 7 Juni 2017
PENULIS
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
IDENTITAS PENGUJI .................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... iv
RINGKASAN ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR........................................................................... ........... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ........................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................ 3
1.4 Hipotesis ............................................................................................ 3
1.5 Kegunaan ........................................................................................... 3
1.6 Waktu dan Tempat ............................................................................. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Gabus (ophiochepalus striatus) ....................................................... 5
2.1.1 Karakteristik Ikan Gabus ............................................................... 5
2.1.2 Komposisi Kimia Ikan Gabus ........................................................ 6
2.2 Protein ................................................................................................... 7
2.2.1 Definisi Protein ................................................................................ 7
2.2.2 Struktur Protein ............................................................................... 8
2.2.3 Klasifikasi Protein ............................................................................ 9
2.2.4 Sifat-sifat Protein ............................................................................. 11
2.3 Albumin .................................................................................................. 12
2.3.1 Definisi Albumin ............................................................................ 12
2.3.2 Karakteristik Albumin .................................................................... 12
2.3.3 Fungsi Albumin ............................................................................. 13
2.4 Pengukusan ............................................................................................ 14
viii
2.5 Fase Kesegaran Ikan .............................................................................. 15
2.5.1 Fase Pre-Rigor ............................................................................. 15
2.5.2 Fase Rigor-Mortis ......................................................................... 16
2.5.3 Fase Pre-Rigor ............................................................................. 17
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian .................................................................................... 18
3.1.1 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................ 18
3.2 Metode Penelitian .................................................................................. 18
3.2.1 Tahap pertama .............................................................................. 19
3.2.2 Tahap Kedua ................................................................................ 21
3.2.2.1 Preparasi Bahan Baku ...................................................... 21
3.2.2.2 Ekstraksi Albumin Ikan Gabus........................................... 22
3.3 Prosedur Penelitian ................................................................................ 24
3.3.1 Rendemen .................................................................................... 24
3.3.2 Analisis Kadar Albumin ................................................................. 24
3.3.3 Analisis Kadar Protein ................................................................... 25
3.3.3.4 Kadar Air .................................................................................... 26
3.3.3.5 Analisis Profil Asam Amino......................................................... 26
3.4 Analisa Data ........................................................................................... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ....................................................................................... 30
4.1.1 Penelitian Tahap Pertama ............................................................. 30
4.1.2 Penelitian Tahap Kedua ................................................................ 33
4.2 Parameter Kimia ..................................................................................... 34
4.2.1 Kadar Albumin .............................................................................. 34
4.2.2 Kadar Protein ................................................................................ 39
4.2.3 Kadar Air ....................................................................................... 41
4.2.4 Rendemen .................................................................................... 43
4.2.5 Profil Asam Amino......................................................................... 45
4.3 Penentuan Nilai Terbaik .......................................................................... 46
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 48
ix
5.2 Saran ...................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49
LAMPIRAN ................................................................................................... 49
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ikan Gabus (ophiochepalus striatus) ............................................... 5
Gambar 2. Prosedur Penelitian Tahap Pertama............................................... 19
Gambar 3. Prosedur Persiapan Bahan ............................................................ 22
Gambar 4. Prosedur Pembuatan Crude Albumin ............................................. 23
Gambar 5. Grafik Kadar Albumin Tanpa Pengukusan ..................................... 36
Gambar 6. Grafik Kadar Ekstrak dengan Pengukusan ..................................... 37
Gambar 7. Grafik Kadar Protein ....................................................................... 40
Gambar 8. Grafik Kadar Air.............................................................................. 42
Gambar 9. Grafik Rendemen ........................................................................... 44
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Gabus Dalam 100 gr ........................................ 6
Tabel 2. Ciri Fisik dan Organoleptik Fase Kesegaran Ikan .............................. 21
Tabel 3.Rancangan Percobaan Penelitian Tahap Kedua ................................. 28
Tabel 4.Ciri Fisik dan Organoleptik dari Fase Kesegaran Ikan ......................... 31
Tabel 5.Perbandingan Kandungan Asam Amino Pada Ikan Gabus dan Putih
Telur ................................................................................................... 35
Tabel 6.Nilai Ekstrak Albumin Dari Perlakuan Pengukusan Dan Freeze Dryer
.....................................................................................................38
Tabel 7.Profil Asam Amino Ekstrak Ikan Gabus ............................................... 45
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Kadar Albumin .................................................. 52
Lampiran 2. Prosedur Analisa Kadar Protein ................................................... 53
Lampiran 3. Prosedur Analisa Kadar Air .......................................................... 54
Lampiran 4. Analisa Profil Asam Amino dengan HPLC .................................... 55
Lampiran 5. Kadar Albumin.............................................................................. 56
Lampiran 6. Kadar Protein ............................................................................... 58
Lampiran 7. Kadar Air ...................................................................................... 59
Lampiran 8. Rendemen ................................................................................... 60
Lampiran 9. Uji De Garmo ............................................................................... 61
Lampiran 10. Diagram Hasil Uji Asam Amino .................................................. 62
Lampiran 11. Dokumentasi Alat ....................................................................... 65
Lampiran 12. Proses Ekstraksi Ekstrak Albumin .............................................. 67
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Albumin adalah jenis protein terbanyak dalam plasma darah yang mencapai
kadar hingga 60%. Albumin bermanfaat dalam membantu pembentukan jaringan sel
baru khususnya pada proses penyembuhan luka pasca operasi. Dalam bidang
kedokteran, albumin digunakan untuk mempercepat proses pemulihan jaringan sel
pada tubuh yang rusak. Selain itu, albumin juga berfungsi mengikat logam berat
yang tidak larut dalam darah (Sumarno, 2012). Protein plasma darah yang disintesa
di hati salah satunya yaitu albumin. Albumin mempunyai peran penting untuk
menjaga tekanan osmotik pada plasma, mengangkut molekul kecil yang melewati
plasma maupun cairan ekstra sel. Albumin juga digunakan untuk mengatasi
berbagai masalah kesehatan seperti luka bakar, patah tulang, pasca operasi dan
infeksi paru-paru (Suprayitno, 2008).
Salah satu jenis ikan yang mempunyai kandungan albumin cukup tinggi
adalah Ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Ikan gabus (Ophiocephalus striatus
atau Channa striata) adalah contoh ikan air tawar yang mempunyai kandungan
protein cukup tinggi. Kadar protein yang terdapat pada ikan gabus, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan jenis lainnya seperti ikan bandeng, ikan mas, ikan kakap
ataupun ikan sarden (Prasetyo et al., 2012). Ikan gabus memiliki kandungan protein
yang cukup tinggi yaitu mencapai 25,1% sedangkan 6,224% dari protein tersebut
berupa albumin. Ikan gabus ini kurang diminati oleh masyarakat untuk dikonsumsi
karena di pengaruhi oleh bentuk dan bau amis dari gabus itu sendiri (Mustar,2013).
2
Albumin berperan penting dalam proses kebutuhan manusia setiap harinya,
contohnya dalam proses penyembuhan luka. Saat ini, albumin dari ikan gabus
banyak diminati masyarakat sebagai pengganti Human Serum Albumin (HSA) yang
harganya sangat mahal (Yuniarti et al., 2013). Ikan gabus telah diketahui memiliki
manfaat yang dapat meningkatkan kandungan albumin dan daya tahan tubuh pada
manusia. Kandungan asam amino esensial dan asam amino nonesensial yang
terdapat pada ikan gabus, memiliki kualitas yang jauh lebih baik dibanding albumin
pada telur (Anggira et al., 2013).
Crude albumin dapat diperoleh dengan proses pengukusan ataupun
menggunakan alat yang bernama ekstraktor vakum (Suprayitno, 2008). Salah satu
cara untuk mendapatkan albumin yaitu dengan cara ekstraksi dengan metode
pengukusan menggunakan waterbath. Proses pengukusan nantinya dilakukan
terhadap tiga fase ikan gabus yang digunakan yaitu pre rigor, rigor mortis dan post
rigor. Karena hal itu penelitian ini bertujuan agar dapat mengetahui tingkat
perbedaan hasil akhir kualitas albumin yang didapatkan. Berdasarkan hal tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian pengaruh tingkat kesegaran ikan gabus
(ophiocephalus striatus) (pre rigor, rigor mortis, post rigor) terhadap kualitas ekstrak
albumin dengan metode pengukusan.
1.2 Rumusan masalah
Dari uraian diatas didapatkan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh tingkat kesegaran ikan gabus (Ophiochephalus striatus)
yang berbeda (pre rigor, rigor mortis, post rigor) terhadap kadar ekstrak
albumin dengan metode pengukusan?
3
2. Fase apa yang mampu menghasilkan kadar albumin ikan gabus terbaik dari
proses pengukusan?
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai kadar albumin ikan gabus (Ophiochephalus striatus) melalui
fase kesegaran ikan dan cara penyediaan alternatif albumin dengan metode
pengukusan.
Adapun tujuan penelitian secara khusus adalah
1. Mendapatkan kadar ekstrak albumin ikan gabus (Ophiochephalus striatus)
dengan fase kesegaran ikan yang berbeda (pre rigor, rigor mortis, post rigor)
dengan metode pengukusan.
2. Menentukan fase yang menghasilkan kadar albumin ikan gabus
(Ophiochephalus striatus) terbaik dengan metode pengukusan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang mendasari penelitian ini adalah:
1. Fase kesegaran yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar ekstrak
albumin ikan gabus.
2. Fase kesegaran yang berbeda berpengaruh terhadap kadar ekstrak albumin
ikan gabus.
1.5 Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai
pengaruh tingkat kesegaran ikan gabus (ophiocephalus striatus) (pre rigor, rigor
mortis, post rigor) terhadap kadar ekstrak albumin dengan metode pengukusan serta
4
memberikan penyediaan albumin alternatif bagi masyarakat dengan harga
terjangkau dan cara yang mudah dilakukan.
1.6 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan dan
Laboratorium Nutrisi dan Biokimia Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya Malang pada bulan Maret sampai Agustus 2015.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus)
2.1.1 Karakteristik Ikan Gabus
Ikan gabus (Ophiocephalus striatus atau Channa striata) merupakan salah
satu ikan air tawar yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi. Kadar protein
ikan gabus lebih tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng, ikan emas, ikan kakap
maupun ikan sarden. Ikan gabus juga mengandung protein albumin yang
merupakan salah satu jenis protein globular yang dapat larut dalam air, larutan
garam dan dapat terdenaturasi oleh panas (Prasetyo et al., 2012).
Klasifikasi ikan gabus menurut Saanin (1986), adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Teleostei Ordo : Labyrinthyci Famili : Ophiocephalidae Genus : Ophiocephalus Spesies : Ophiocephalus striatus
Morfologi ikan gabus dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Ikan gabus (Ophiochephalus striatus) Sumber : Dokumentasi penelitian, 2015
Salah satu jenis ikan yang mempunyai kandungan albumin cukup tinggi
adalah Ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Albumin diperlukan manusia dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses penyembuhan luka. Saat ini,
albumin dari ikan gabus banyak diminati oleh masyarakat untuk dijadikan sumber
6
alternatif pengganti Human Serum Albumin (HSA) yang harganya cenderung sangat
mahal (Yuniarti et al., 2013).
2.1.2 Komposisi Kimia Ikan Gabus
Ikan gabus (Ophiocephalus striatus atau Channa striata) adalah contoh ikan
air tawar yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi. Kadar protein yang
terdapat pada ikan gabus, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jenis lainnya
seperti ikan bandeng, ikan mas, ikan kakap ataupun ikan sarden (Prasetyo et al.,
2012). Ikan gabus memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu mencapai
25,1% sedangkan 6,224% dari protein tersebut berupa albumin. Ikan gabus ini
kurang diminati oleh masyarakat untuk dikonsumsi karena di pengaruhi oleh bentuk
dan bau amis dari gabus itu sendiri (Mustar,2013).
Tabel 1. Komposisi kimia ikan gabus (dalam 100 g bahan)
Komposisi Kimia Jenis Ikan Gabus Segar Ikan Gabus Kering
Kalori (Kal) 69 24 Protein (g) 25,2 58,0 Lemak (g) 1,7 4,0 Besi (mg) 0,9 0,7 Kalsium (mg) 62 15 Fosfor(mg) 176 100 Vit. A (SI) 150 100 Vit. B (mg) 0,04 0,10 Air (g) 69 24 BDD (%) 64 80
Sumber : Mulyadi et al., (2011).
Asam amino terkandung dalam albumin ikan gabus yang paling tinggi
komposisinya adalah asam glutamate yaitu sebesar 30,93 gram yang kedua
adalah lysine dan asam aspartat yaitu sebesar 17,02 gram sedangkan asam
amino yang terendah adalah sistein yaitu sebesar 0,16 gram. Lisin merupakan 1
dari 10 asam amino essensial yang tidak dapat disentesis dalam jumlah cukup
7
dalam tubuh sehingga harus diperoleh dalam asupan makanan sedangkan asam
glutamate, asam aspartat dan sistein merupakan asam amino non essensial
(Ulandari et al., 2011).
2.2 Protein
2.2.1 Definisi protein
Protein merupakan bagian penyusun tubuh terbanyak setelah air. Hal ini
diartikan bahwa protein penting dalam menopang seluruh proses kehidupan dalam
tubuh. Dalam pengaplikasianya, kode genetik yang tesimpan dalam rantai DNA
digunakan untuk membuat protein, kapan, dimana dan seberapa banyak yang
dibutuhkan. Protein mempunyai fungsi penting yaitu sebagai penyimpan dan
pengantar, contohnya hemoglobin yang memberikan warna merah pada sel darah
merah kita, yang bertugas mengikat oksigen dan membawanya ke bagian tubuh
yang memerlukan (Witarto, 2001).
Protein merupakan kelompok dari makromolekul organik kompleks yang
diantaranya terkandung hidrogen, okisgen, nitrogen, karbon, fosfor dan sulfur serta
terdiri dari satu atau beberapa rantai dari asam amino.Protein adalah senyawa
organik dengan berat molekul tinggi. Seluruh protein yang ada di alam dan di dalam
organisme yaitu manusia, hewan dan tumbuhan, sampai mikroorganisme disusun
dari senyawa monomernya yang disebut asam amino (Murwani,2010).
Menurut Ulandar et al., (2011), Ikan gabus juga memiliki keunggulan, yaitu 70
% protein, 21% albumin, asam amino yang lengkap, mikronutrien zink, selenium dan
iron. Protein memiliki fungsi yang sangat penting dalam tubuh manusia yaitu :
1. Protein sebagai zat pembangun
2. Untuk fungsi pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
8
3. Menggantikan sel-sel yang mati dan aus terpakai.
4. Mekanisme pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat toksik yang
datang dari luar yang masuk ke tubuh.
5. Mengatur proses-proses metabolisme tubuh dalam bentuk enzim dan hormone.
6. Sebagai salah satu sumber energy bersama-sama dengan karbohidrat dan lemak.
7. Dalam bentuk kromosom, protein berperan dalam menyimpan dan meneruskan
sifat-sifat keturunan dalam bentuk gen.
2.2.2 Struktur Protein
Protein mempunyai empat tingkat struktur dasar, yaitu struktur primer,
sekunder, tersier dan kuaterner. Dimana, struktur primer menunjukkan jenis, jumlah,
jenis serta urutan asam amino dalam molekul protein. Karena ikatan antar asam
amino berupa ikatan peptida, maka struktur primer protein menunjukkan ikatan
peptida yang urutannya telah diketahui (Poedjiadi dan Titin, 2006).
Struktur primer adalah susunan linier asam amino dalam protein. Susunan
linier merupakan suatu rangkaian berbentuk unik dari asam amino yang menentukan
sifat dasar pada berbagai protein, serta secara umum menentukan bentuk struktur
sekunder dan tersier. Daya kelarutan pada protein dalam air kurang baik apabila
dibandingkan dengan protein yang banyak mengandung asam amino dengan gugus
hidrofil. Hal tersebut dipengaruhi oleh kandungan asam amino dengan gugus
hidrofobik yang terkandung dalam protein (Winarno, 2004).
Asam amino terkandung dalam albumin ikan gabus yang paling tinggi
komposisinya adalah asam glutamate yaitu sebesar 30,93 gram yang kedua
adalah lysine dan asam aspartat yaitu sebesar 17,02 gram sedangkan asam
amino yang terendah adalah sistein yaitu sebesar 0,16 gram. Lisin merupakan 1
9
dari 10 asam amino essensial yang tidak dapat disentesis dalam jumlah cukup
dalam tubuh sehingga harus diperoleh dalam asupan makanan sedangkan asam
glutamate, asam aspartat dan sistein merupakan asam amino non essensial
(Ulandari et al., 2011).
2.2.3 Klasifikasi protein
Berdasarkan strukturnya, protein dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan protein sederhana dan protein gabungan. Protein sederhana adalah
protein yang hanya terdiri atas molekul-molekul asam amino, sedangkan protein
gabungan ialah protein yang terdiri atas protein dan gugus bukan protein. Gugus
yang bukan protein ini disebut gugus prostetik dan terdiri atas beberapa bagian
diantaranya karbohidrat, lipid, atau asam nukleat. Sedangkan protein sederhana
dibagi menjadi dua bagian jika didasarkan berdasarkan bentuk molekulnya,
diantaranya yaitu protein fiber dan protein globular. Protein fiber berbentuk molekul
panjang seperti serat atau serabut, sedangkan protein globular mempunyai bentuk
bulat (Poedjiadi dan Titin, 2006).
Protein daging ikan secara umum dapat dibagi menjadi 3 golongan
berdasarkan sifat kelarutannya dan lokasi terdapatnya, yaitu miogen atau protein
sarkoplasma, protein struktural atau protein miofibril, dan stroma protein atau protein
jaringan pengikat (Suwetja, 2011):
1. Miogen atau protein
Golongan protein ini mudah larut dalam air, dan terdapat pada cairan sel otot,
dan mempunyao tingkat kestabilan yang lebih tinggi dari golongan protein
struktural. Pada miogen atau protein sarkoplasma ini, golongan proteinnya
terdapat minimal 50 jenis enzim. Jumlah golongan protein ini sekitar 20-22%
10
dari total protein yang terdapat pada jaringan daging ikan. Adapun jenis protein
yang termasuk golongan miogen adalah albumin, neoalbumin, dan mioprotein.
2. Protein struktural atau protein miofibril
Protein yang termasuk golongan ini bersifat sedikit larut dalam air, namun
mudah larut dalam larutan garam encer dengan konsentrasi sekitar 1% NaCl.
Golongan protein ini banyak terdapat pada benang-benang daging yang disebut
miofibril atau miofilamen. Struktur protein golongan ini lebih sederhana dari
protein sarkoplasma. Jenis protein penting yang termasuk dalam golongan
protein ini adalah aktin dan miosin yang menyusun aktomiosin.
3. Protein stroma atau protein jaringan pengikat
Golongan protein ini bersifat tidak larut dalam air maupun dalam larutan garam,
tetapi larut dalam larutan alkali. Biasanya golongan protein ini kebanyakan
terdapat pada jaringan pengikat dan dinding sel. Peranannya tidak sebesar
stroma pada dinding hewan mamalia darat yang memegang peranan yang
besar pada tekstur daging, karena jumlahnya pada daging ikan hanya sedikit.
Jenis yang terutama pada golongan protein ini ialah kolagen.
Berdasarkan tingkat kelarutannya, protein pada ikan dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok menurut Sulistiyati (2003), berdasarkan tingkat
kelarutannya dalam air, berdasarkan lokasi terdapatnya, dan berdasarkan fungsinya.
Berdasarkan kelarutannya, protein ikan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu
protein yang mudah larut dalam air, protein yang tidak dapat larut dalam air, dan
protein yang sukar larut dalam air setelah pemberian garam pada konsentrasi
tertentu. Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging ikan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu protein sarkoplasma, protein myofibril, dan protein jaringan
pengikat. Sedangkan berdasarkan fungsinya dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu
11
senyawa protein penyusun sel dan jaringan, dan senyawa pembentuk enzim,
koenzim, dan hormon.
2.2.4 Sifat-sifat Protein
Protein merupakan senyawa yang amorph, tak berwarna, dan tidak
mempunyai titik cair atau titik didih tertentu. Protein tidak dapat larut dalam cairan
organik. Apabila protein dilarutkan dalam air, maka protein tersebut akan
memberikan larutan koloidal. Protein yang diendapkan atau mengalami “salted out”
dari larutannya. Hal ini terjadi apabila protein yang digunakan ditambah dengan
garam-garam anorganik (Na2SO4, NaCl) serta menggunakan zat organik yang larut
dalam air (alkohol, aseton). Protein cenderung mengalami perubahan bentuk yang
dinyatakan sebagai denaturasi. Protein peka terhadap perubahan yang disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya seperti panas, tekanan yang tinggi, alkohol, alkali,
urea, KI, asam, dan pereaksi tertentu lainnya. Denaturasi mengakibatkan adanya
perubahan kimia dalam suatu molekul protein. Protein yang telah mengalami
denaturasi kelarutannya cenderung selalu lebih kecil dari bentuk aslinya, dan
aktivitas fisiologi aslinya akan menghilang (Sastrohamidjojo, 2005).
Protein daging bersifat ionisasi yakni akan membentuk ion yang mempunyai
muatan positif dan negatif. Pada suasana asam, molekul protein akan membentuk
ion positif, begitu juga sebaliknya. Protein mempunyai isolistrik yang tingkatanya
berbeda-beda. Beberapa jenis protein ada yang mempunyai tingkat kepekaan tinggi
terhadap perubahan lingkungannya (Subagyo, 2014).
Sifat fungsional protein dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama,
yaitu (1) sifat hidrasi (berhubungan dengan interaksi protein-air) seperti daya ikat air,
kebasahan, daya lekat, kekentalan, dan kelarutan. (2) sifat yang berhubungan
12
dengan interaksi protein-protein seperti pembentukan gel, dan (3) sifat-sifat
permukaan seperti tegangan permukaan, emulsifikasi dan pembentukan buih
(Triyono, 2010).
2.3 Albumin
2.3.1 Definisi Albumin
Albumin adalah protein penting yang terdapat dalam plasma darah yang
produksinya hanya dilakukan di hati dan dikeluarkan langsung ke dalam sirkulasi
darah. Konsentrasi albumin yang rendah dalam tubuh dapat disebabkan karena
beberapa hal di antaranya seperti malnutrisi, penyakit hati kronis (sirosis),
malabsorbsi, luka bakar hebat, saat menjalani operasi (Suprayitno, 2008).
Kadar albumin di bawah normal sering terjadi pada anak yang mengalami
gizi buruk, ibu hamil serta pada manula. Pada kondisi tersebut jika kandungan
albumin pada seseorang kurang, maka metabolisme dalam tubuh terganggu dan
akan menimbulkan dampak yang lain (Sumarno, 2012).
Albumin merupakan protein utama dalam plasma yang menyusun sekitar 55
– 60% dari keseluruhan protein plasma. Berat albumin sekitar 66,4 kDa dan
mempunyai rantai yang terdiri dari 585 asam amino serta didalamnya terkandung 17
buah ikatan disulfide. Didalam plasma terdapat sekitar 43% cadangan total albumin,
dan sisanya terdapat dalam ruang ekstravaskuler. Albumin memiliki berat molekul
yang relative rendah (66,4 kDa) dan konsentrasi yang tinggi, maka albumin
bertanggung jawab atas 75-80% dari tekanan osmotik pada plasma manusia (Mukti,
2009).
2.3.2 Karakteristik Albumin
Albumin merupakan jenis protein yang dapat larut dalam air serta dapat
terkoagulasi oleh panas. Larutan albumin dalam air dapat diendapkan apabila
13
ditambahkan dengan amonium sulfat hingga jenuh. Albumin banyak terdapat pada
serum darah dan bagian putih telur (Poedjiadi dan Titin, 2006). Ikan gabus juga
mengandung banyak protein albumin dimana protein ini merupakan salah satu jenis
protein globular yang dapat larut dalam air, larutan garam serta dapat terdenaturasi
oleh panas (Prasetyo et al., 2012).
Albumin ikan gabus memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari albumin telur
yang biasanya digunakan dalam proses penyembuhan pada pasien pasca bedah.
Ikan gabus mengandung 6,2% albumin dan 0,001741% Zn dengan kandungan
asam amino esensial diantaranya treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin,
fenilalanin, lisin, histidin, dan arginin, serta asam amino non esensial seperti asam
aspartat, serin, asam glutamat, glisin, alanin, sistein, tiroksin, hidroksilisin, amonia,
hidroksiprolin dan prolin (Suprayitno, 2008).
Karakteristik albumin yang terdapat pada ikan gabus memiliki kualitas jauh
lebih baik dari albumin telur yang biasa digunakan dalam penyembuhan pasien
pasca bedah. Kandungan albumin yang terdapat pada ikan gabus yaitu sebesar
6,2% dan Zn sebesar 0,001741% dengan asam amino esensial yaitu treonin, valin,
metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin, histidin, dan arginin, serta asam amino
nonesensial seperti asam aspartat, serin, asam glutamat, glisin, alanin, sistein,
tiroksin, hidroksilisin, amonia, hidroksiprolin dan prolin (Sulistiyati, 2011).
2.3.3 Fungsi Albumin
Albumin adalah protein globular yang mempunyai banyak fungsi. Salah satu
fungsi utamanya yaitu menjaga tekanan osmotik dalam darah. Albumin bekerja
untuk menjaga cairan dalam plasma darah sehingga dapat mempertahankan volume
cairan dalam darah (Suprayitno, 2014). Menurut Sumarno (2012), khasiat dan
kegunaan albumin diantaranya adalah:
14
1. meningkatkan kadar albumin dan daya tahan tubuh pada manusia.
2. membantu mempercepat penyembuhan luka luar maupun luka dalam.
3. membantu proses penyembuhan pada penyakit seperti Hepatitis, TBC,
Infeksi Paru-paru, Nephrotic, Syndrome, Tonsilitis, Typhus, Diabetes, Patah
tulang, ITP, HIV, Grastitis, Sepsis, Stroke, dan Thalasemia Minor.
4. mempercepat proses penyembuhan luka pasca operasi.
5. menghilangkan Oedem (pembengkakan).
6. memperbaiki gizi buruk pada bayi, anak serta ibu hamil.
7. membantu penyembuhan autis.
8. sebagai larutan pengganti pada keadaan defisiensi albumin.
Banyak metode ekstrasi untuk mendapatkan crude albumin diantaranya
dengan metode perebusan, pengukusan dan juga vacum extraction.
Menurut Dewi dan Ester (2001), terjadinya edema yang disebabkan oleh
gerakan air yang keluar dari ruang vaskuler dan masuk menuju ruang intestisial
dikarenakan adanya penurunan kadar albumin serum (hypoalbuminemia). Edema
terlihat pada malnutrisi protein yang terjadi akibat dari penurunan produksi albumin.
Adapun faktor yang dapat memicu penurunan albumin serum diantaranya adalah
sebagai berikut: penurunan masukan protein (sebagai contoh malnutrisi protein),
penurunan sintesis hepatik (sebagai contoh sirosis) dan kehilangan urin abnormal
(sebagai contoh sindrom nefrotik).
2.4 Pengukusan
Pengukusan merupakan proses pemanasan yang diterapkan dengan
menggunakan air, tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk.
pengukusan hanya memanfaatkan uap air yang dipanaskan. Uap air tersebut yang
dimanfaatkan untuk melunakkan atau memasak bahan yang diharapkan. suhu
15
pengukusan biasanya berkisar antara suhu 30 C sampai 100 C. Nugroho (2012)
menjelaskan, suhu dan lama waktu untuk menghasilkan kualitas albumin terbaik
adalah dengan suhu pengukusan 40 C dengan lama waktu 30 menit. Secara umum
tujuan pengukusan adalah untuk membuat tekstur bahan menjadi empuk. Kondisi
bahan yang empuk mudah dicabik-cabik menjadi serat-serat yang halus. Ikan
memiliki daging yang cukup lunak sehingga lebih tepat dikukus dari pada direbus.
Perebusan dilakukan apabila bahan yang digunakan cukup keras (liat) seperti
daging sapi, jantung pisang dan keluwih. Proses pengukusan dilakukan dengan
menggunakan sedang hingga mencapai titik didih. Suhu yang terlalu tinggi akan
menyebabkan penurunan mutu rupa dan tekstur bahan (Mustar,2013).
Menurut Sugiarti et al., (2014), pengukusan bertujuan untuk mengurangi
kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Pengukusan
sering diartikan pula sebagai pemasakan yang dilakukan melalui media uap panas
dengan suhu pemanasan sekitar 100oC dengan lama yang bervariasi sesuai dengan
sifat bahan. Ikan memiliki daging yang cukup lunak sehingga lebih tepat dikukus
atau direbus. Lama pengukusan atau perebusan dan tinggi suhu tidak boleh
berlebihan.
2.5 Fase Kesegaran Ikan
2.5.1 Fase Pre-Rigor
Pre-rigor merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami
kematian yang ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah
permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein
dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan. Lendir yang terlepas
tesebut membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Jumlah lendir
16
yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 %
dari berat tubuhnya (Zakaria, 2008).
Ikan yang mengandung lendir dalam jumlah banyak atau sedikit bukan berarti
ikan tersebut tidak dapat dimakan.Tetapi, lendir tersebut dapat menyebabkan
penumpukan bakteri dan dapat berpenetrasi kedalam tubuh ikan. Masuknya bakteri
pada tubuh ikan akan mengurangi jaringan pada daging ikan dan ikan akan
menyebabkan ikan tersebut menjadi busuk. Salah satu cara untuk memperlambat
proses pembusukan yaitu dengan membersihkan lendir yang berda dibagian
permukaan kulit ikan (Murrachman, 2006).
Ikan yang baru mati dan masih dalam fase pre-rigor mempunyai tekstur
daging yang sama dengan ikan hidup, yaitu kenyal, elastis dan lentur, hal ini
berhubungan dengan masih adanya kontraksi dan relaksasi yang terjadi pada otot
ikan. Ikan yang baru mati masih mempunyai sisa ATP sebelum mati dan hasil
proses glikolisis anaerob yang menyebabkan otot ikan masih bisa melakukan
relaksasi, dengan demikian daging ikan mempunyai kondisi yang masih elastis dan
lentur (Liviawaty dan Afrianto, 2014).
2.5.2 Fase Rigor-Mortis
Fase rigor mortis terjadi setelah otot ikan akan menjadi kaku setelah
kematian. Serta adanya aktivitas enzim setelah ikan tersebut mati. Akan tetapi pada
aspek yang berbeda, ketika ikan masih hidup pasokan oksigen ke jaringan tidal lagi
bereaksi dan reaksi enzimatik berlangsung dengan kondisi aerobik, sehingga efek
yang dihasilkan adalah irreversible.Kreatin phospat adalah dekomposisi yanjg
hilang, dan ATP (adenosine triphosphat) terurai menjadi ADP (Adenosine
dipphospat) yang ditransfer pada otot.Kontraksi memuncak ketika ATP dan pH turun
(Noghuchi, 1972).
17
Fase rigor mortis merupakan akibat dari rangkaian perubahan kimia yang
kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya.Setelah ikan mati, sirkulasi darah
berhenti, suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi
asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula
dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan
otot mempertahankan kekenyalannya (Zakaria, 2008).
Tekstur daging ikan yang kenyal, elastis dan lentur secara berangsur- angsur
akan mengeras karena energi yang tersisa tidak cukup untuk merombak aktomiosin
menjadi aktin dan miosin. Akibatnya otot ikan mulai menjadi keras dan kaku.
Meningkatnya kekerasan pada ikan merupakan indikator ikan memasuki fase rigor
mortis (Liviawaty dan Afrianto, 2014).
2.5.3 Fase Post-Rigor
Post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi
autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Autolisis merupakan proses terjadinya
penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Proses
autolisis ditandai dengan melemasnya daging ikan. Lembeknya daging ikan
disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan
daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan
bakteri (Rustamaji, 2009).
Fase post rigor mortis terjadi pada 12 jam setelah mati. Fase ini ditandai
sengan meningkatnya pH. Peningkatan nilai pH terjadi karena enzim yang berasal
dari daging ikan dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak
sehingga menghasilkan senyawa bersifat basa (Liviawaty dan Afrianto, 2014).
18
Ketika otot melunak lagi maka merupakan fase post rigor, dimana senyawa
nitrogen terbentuk oleh reaksi enzimatik dari protein yang menyediakan nutrisi untuk
mikroorganisme. Setelah itu terjadilah pembusukan pada ikan (Noghuchi, 1972).
18
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstraksi albumin antara lain ikan
gabus (Ophiocephalus striatus) dalam keadaan hidup sebanyak 24 ekor dengan
berat kurang lebih 250-400 g per ekor yang didapatkan dari Pasar Besar, Malang,
Jawa Timur, plastik, air, kain saring, dan kertas label. Bahan yang digunakan untuk
analisis albumin yaitu CuSO4, H2SO4, aquades, Na-K tartrat, NaOH, dan reagen
biuret. Sedangkan bahan yang digunakan analisis protein antara lain aquades,
H2SO4, Na2SO4, NaOH, Na2S2O3, asam borat, indikator metil merah/ metilen biru,
0,02 N HCl.
Alat yang digunakan pada pembuatan ekstrak albumin ikan gabus antara lain:
pisau, talenan, baskom, timbangan digital, waterbath, termometer, beaker glass 500
ml, spatula, stopwatch, corong, erlenmeyer 300 ml, pipet tetes, gelas ukur 100 ml
dan botol vial. Sedangkan alat yang digunakan dalam analisis sampel antara lain
spektrofotometer, satu set alat Kjeldhal, labu ukur, pipet volume, bola hisap,
erlenmeyer, pipet tetes dan serta HPLC (Waters 2748) untuk analisis profil asam
amino.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Penelitian
eksperimen adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel yang data-datanya
belum ada sehingga perlu dilakukan proses manipulasi melalui pemberian treatment/
perlakuan tertentu terhadap subyek penelitian yang kemudian diamati/ diukur
dampaknya (data yang akan datang) (jaedun,2011). Tujuan dari penelitian
19
eksperimental adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat serta
berapa besar hubungan sebab akibat tersebut dengan cara memberikan perlakuan
tertentu.
Penelitian kali ini menggunakan dua tahapan yaitu tahapan pertama, untuk
menghitung lama waktu perubahan ikan tiap fase. Kedua, persiapan ekstraksi dan
pembuatan crude albumin.
3.2.1 Penelitian Tahap Pertama
Penelitian tahap pertama yang dilakukan bertujuan untuk menentukan
berapa lama masing-masing fase yang menunjukkan kriteria ikan gabus
(Opiochephalus striatus) dalam keadaan pre rigor, rigor mortis, post rigor setelah
ikan dimatikan. Serta untuk mengetahui berat dan ukuran dari masing-masing ikan
tersebut sebagai data. Prosedur penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Prosedur Penelitian Tahap Pertama (modifikasi Zakaria, 2008)
Dihitung lama waktu perubahan ikan pada tiap fase
Pre rigor Post rigor Rigor mortis
Diamati perubahan fisik dan organoleptik
Ikan hidup
Dimatikan dengan dipatahkan
tulang belakang
Diukur panjang tubuh ikan
Ditimbang berat ikan
20
Langkah pertama yang dilakukan pada penelitian pertama ini adalah
menyiapkan bahan utama yang digunakan yaitu ikan gabus hidup. Lalu, ikan
dimatikan dengan mematahkan tulang belakang. Ikan yang dipilih yaitu dengan berat
yang sama dengan panjang dan lebar juga hampir sama yaitu rata-rata 250-400 g
per ekor. Hal ini bertujuan untuk mempermudah mendapat data yang akurat saat
nantinya akan diberikan perlakuan pada tiap-tiap ikan. Kemudian diamati perubahan
fisik dan organoleptik yang terjadi pada tiap ikan. Fase pre rigor dilihat sampai ikan
yang baru mengalami kematian ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari
kelenjar di bawah permukaan kulit (Zakaria, 2008). Fase rigor mortis dilihat setelah
otot ikan mulai menjadi kaku setelah kematian (Nughochi, 1972). Sedangkan fase
post rigor dapat dilihat dari melemasnya daging ikan (Rstamaji, 2009). Setelah
pengamatan secara fisik dan organoleptik dilakukan, maka akan didapat berapa
lama perubahan yang terjadi hingga mencapai fase pre rigor, rigor mortis dan post
rigor.
21
Ciri-ciri fisik dan organoleptik berdasarkan fase kesegaran ikan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri Fisik dan Organoleptik Fase Kesegaran Ikan (Riyantono et al.,2009)
Perlakuan
Mata Insang Lendir Bau Tekstu
r Lama Waktu
Pre rigor
1 Menonjol, cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis X jam
2 Menonjol cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis X jam
3 Menonjol cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis X jam
Rigor mortis
1 Sedikit menonjol
Kecoklatan Sedikit lendir
Bau amoniak
Lunak Y jam
2 Sedikit menonjol
Kecoklatan Sedikit lendir
Bau amoniak
Lunak Y jam
3 Sedikit menonjol
Kecoklatan Sedikit lendir
Bau amoniak
Lunak Y jam
Post rigor
1 Agak cekung Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak
Lunak Z jam
2 Agak cekung Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak
Lunak Z jam
3 Agak cekung Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak
Lunak Z jam
3.2.2 Penelitian Tahap Kedua
Penelitian tahap kedua terdiri dari preparasi bahan dan ekstraksi albumin.
3.2.2.1 Preparasi Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan ikan gabus dengan kondisi ikan masih hidup
yang diperoleh dari pasar Besar, Malang. Kemudian ikan dimatikan dengan cara
dipatahkan tulang belakang sesuai fase yang akan digunakan, dimana fase yang
digunakan berdasarkan fase pada tahap pertama. Untuk fase pre rigor (x jam), rigor
mortis (y jam), post rigor (z jam). Lalu dilakukan penyiangan dengan cara dibuang isi
perut, kepala, sisik dan dicuci dengan air bersih. Selanjutnya ikan gabus di-fillet, dan
dipisahkan dengan kulitnya. Kemudian daging ikan gabus yang diperoleh ditimbang
22
sebanyak 100 gram dengan timbangan digital, dipotong kecil-kecil ± berukuran 1cm
x 1cm persegi dan dihaluskan dengan menggunakan alu dan mortal. Prosedur
persiapan bahan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Prosedur Persiapan Ekstraksi (modifikasi Asfar et al., 2014)
3.2.2.2 Ekstraksi Albumin Ikan Gabus
Ekstraksi ikan gabus metode pengukusan menggunakan waterbath. Hal ini
merujuk penelitian Nugroho (2012), dengan mengukus daging ikan gabus
menggunakan waterbath pada suhu 40ºC selama 30 menit menghasilkan kualitas
albumin terbaik. Untuk ekstraksi ikan gabus terlebih dahulu disiapkan alat yang akan
digunakan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengisi air pada waterbath
sampai batas yang ditentukan. Kemudian dinyalakan waterbath dan diatur suhu
Daging hasil fillet dipotong kecil-kecil ± 0,5cm x 0,5cm persegi
Ditimbang 100 gram
Daging ikan gabus siap diekstrak dengan waterbath
Dihaluskan dengan alu dan mortal
Pre Rigor
(x jam)
Ikan Gabus Hidup
Post Rigor
(z jam)
Rigor Mortis
(y jam)
Dimatikan
Disiangi (dihilangkan isi perut, sisik dan kepala)
Di-fillet dan dihilangkan kulitnya
23
400C pada waterbath. Pada suhu ini waterbath sudah menghasilkan uap. Sementara
itu disiapkan daging ikan yang telah dihaluskan sebanyak 100 gram. Kemudian
dimasukkan dalam waterbath dan dikukus selama 30 menit. Setelah selesai
kemudian daging yang dikukus diangkat dan disaring dengan menggunakan kain
blancu. Lalu didapatkan filtrat dan residu. Residu ditimbang untuk mengetahui
rendemen residu ikan gabus setelah dikukus. Dan filtrat diukur dengan gelas ukur
dan dimasukkan ke dalam beaker glass 500 ml dan didapatkan crude albumin.
Prosedur untuk memperoleh crude albumin dari ikan gabus dengan metode
pengukusan menggunakan waterbath data dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Prosedur Pembuatan Crude Albumin (modifikasi Nugroho, 2013)
Residu ikan gabus filtrat
Diukur menggunakan gelas ukur dan
dimasukkan ke dalam botol kaca 300
ml
Didapatkan crude
albumin
Rendemen, Uji Albumin, Uji
protein, dan Uji Profil Asam
Amino ikan gabus
Beaker glass 500 ml yang berisi daging ikan dimasukan ke
dalam waterbath dan dipanaskan (suhu 40°C selama 30
menit)
Daging diangkat dan disaring dengan
menggunakan kain blancu
Daging ikan gabus (100gr) yang telah halus
dimasukan dalam beaker glass 500 ml
Perlakuan
pre rigor
Perlakuan
rigor mortis
Perlakuan
post rigor
24
3.3 Parameter Uji
Parameter uji dalam penelitian ini meliputi rendemen proses pembuatan crude
albumin, kadar albumin, kadar protein, kadar air dan kadar profil asam amino terbaik
pada ketiga fase tersebut.
3.3.1 Rendemen (Sudarmadji et al., 1997)
Rendemen merupakan persentase akhir dari daging ikan setelah diekstraksi
yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah bahan baku yang digunakan.
Perhitungan rendemen dapat menggunakan rumus:
3.3.2 Analisis Kadar Albumin (Aulanni’am, 2005)
Kadar albumin ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometer.
Sebuah spektrofotometer adalah sebuah instrument untuk mengukur transmitans
atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang, pengukuran
terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal. Pada metode
spektrofotometri, sampel menyerap radiasi (pemancar) elektromagnetis yang pada
panjang gelombang 550 nm dapat terlihat. Penentuan kadar albumin dapat
dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri, yaitu : 2 cc contoh atau
sampel ditambahkan dengan reagen biuret lalu dipanaskan pada suhu 370C selama
10 menit. Dinginkan kemudian diukur dengan spektronik 20 dan dicatat
absorbansinya. Prosedur analisa kadar albumin dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rumus perhitungan absorbansi sampel dan kadar albumin dapat
menggunakan rumus :
25
3.3.3 Analisis Kadar Protein (Sudarmadji et al., 1984)
Analisis kadar protein total diukur menggunakan metode Kjeldahl yang
dimodifikasi. Dihaluskan bahan dan ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan
dalam labu destilasi. Kemudian ditambahkan 7,5 gram K2S2O4 dan 0,35 gram HgO
dan akhirnya ditambahkan 15 ml H2SO4 pekat. Dipanaskan semua bahan dan labu
kjeldahl dalam ruang asam sampai berhenti berasap. Teruskan pemanasan sampai
api besar dan mendidih dan cairan menjadi jernih. Teruskan pemanasan tambahan
lebih kurang 1 jam. Ditunggu bahan sampai dingin.
Kemudian ditambahkan 100 ml aquades dalam labu destilasi yang didinginkan
dalam air es dan beberapa lempeng Zn, juga ditambahkan 15 ml larutan K2S 4%
(dalam air). Selanjutnya ditambahkan secara perlahan-lahan larutan NaOH 50%
sebanyak 50 ml yang sudah didinginkan dalam lemari es. Dipanaskan labu kjeldahl
perlahan-lahan sampai dua lapisan cairan tercampur, kemudian dipanaskan dengan
cepat sampai mendidih.
Distilat kemudian ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi 50 ml larutan
standar HCl (0,1 N) dan 5 tetes indikator metal merah. Dilakukan destilasi sampai
distilat mencapai 75 ml. Dititrasi destilat dengan NaOH 0,1 N sampai warna kuning.
Dilakukan pembuatan larutan blanko dengan cara yang sama tetapi sampelnya
diganti dengan aquades. Prosedur analisis kadar protein dapat dilihat pada
Lampiran 2. Nilai dari % N dan % protein dengan rumus :
26
3.3.4. Kadar Air (Sudarmadji et al., 1984)
Metode yang digunakan dalam penentuan kadar air adalah cara pemanasan.
Prinsip metode ini adalah sampel dipanaskan pada suhu (100-105)°C sampai
diperoleh berat yang konstan. Pada suhu ini semua air bebas (yang tidak terikat
pada zat lain) dapat dengan mudah diuapkan, tetapi tidak demikian halnya dengan
air terikat. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 1-2 gram dalam botol
timbang yang telah diketahui beratnya. Kemudian sampel dikeringkan didalam oven
dengan suhu 105 oC selam 3-5 jam tergantung bahannya. Selanjutnya dimasukkan
di dalam desikator dan ditimbang. Dipanaskan lagi di dalam oven selama 30 menit,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan diulangi sampai berat konstan
(selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 miligram). Prosedur analisis
kadar protein dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengurangan berat merupakan
banyaknya air dalam bahan.
Keterangan :
Wb = Kadar air basah
A = Berat botol timbang
B = Berat sampel
C = Berat botol timbang dan sampel sesudah dioven
3.3.5 Analisis Profil Asam Amino (Hermiastuti, 2013)
Analisis profil asam amino dapat dilakukan dengan berbagai peralatan,
antara lain : Amino Acid Analyzer, Thin Layer Chromatography (TLC), Ion Exchange
27
Chromatography, Liquid Chromatography-Mass Spectrofotometer (LC-MS), dan
sebagainya. Akhir ini analisis profil asam amino lebih sering menggunakan
kromatografi cair dengan kinerja tinggi atau yang lebih dikenal dengan istilah High
Performance Chromatography (HPLC).
Kromatografi cair merupakan teknik pemisahan yang cocok digunakan untuk
memisahkan senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan, seperti asam amino,
peptida dan protein. Mass Spectrofotometer (MS) merupakan alat yang dapat
memberikan informasi mengenai berat molekul dan struktur senyawa organik. Selain
itu, alat ini juga dapat mengidentifikasi dan menentukan komponen suatu senyawa.
Perpaduan HPLC dengan MS (LC-MS) memiliki selektivitas yang tinggi, sehingga
identifikasi dan kuantifikasi dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit dan
tahapan preparasi yang minimal. Hal ini membuat LC-MS semakin populer untuk
mendeteksi berbagai senyawa. Prosedur analisis kadar protein dapat dilihat pada
Lampiran 4.
LC-MS digunakan fasa gerak atau pelarut untuk membawa sampel melalui
kolom yang berisi padatan pendukung yang dilapisi cairan sebagai fasa diam.
Selanjutnya analit dipartisikan di antara fasa gerak dan fasa diam tersebut, sehingga
terjadi pemisahan karena adanya perbedaan koefisien partisi. Sampel yang telah
dipisahkan dalam kolom diuapkan pada suhu tinggi, kemudian diionisasi. Ion yang
terbentuk difragmentasi sesuai dengan rasio massa/muatan (m/z), yang selanjutnya
dideteksi secara elektrik menghasilkan spektra massa. Spektra massa merupakan
rangkaian puncak yang berbeda tingginya.
28
3.4 Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian tahap kedua adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) sederhana dengan tiga kali perlakuan delapan ulangan. Model
matematik Rancangan Acak lengkap (RAL) adalah sesuai dengan persamaan :
(n-1) (r- ≥ 5
Dimana n = perlakuan
r = ulangan
sehingga banyaknya ulangan dapat dihitung sebagai berikut:
(3-1) (r-1) ≥ 5
2r – 2 ≥ 5
2r ≥ 7
r ≥ 8,5 bu j 8 u
Metode pengujian data yang digunakan adalah analisis keragaman (ANOVA)
dimana jika terdapat pengaruh yang nyata atau sangat nyata maka akan dilanjutkan
uji lanjut Tukey dengan aplikasi software SPSS 16.
Adapun desain penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rancangan percobaan penelitian tahap kedua
Perlakuan Ulangan Rata-
rata 1 2 3 4 5 6 7 8
A A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8
B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8
C C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8
Keterangan perlakuan :
A = fase pre rigor
B = fase rigor mortis
C = fase post rigor
Selanjutnya membandingkan antara F hitung dengan F tabel :
29
Jika F hitung < F tabel 5%, maka perlakuan tidak beda nyata
Jika F hitung . F tabel 1%, maka perlakuan sangat beda nyata
Jika F tabel 5% < F hitung < F tabel 1%, maka perlakuan berbeda nyata
Jika hasil dari perhitungan memperoleh hasil brbeda nyata (F hitung > F
tabel 5%) maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk menentukan
yang terbaik.
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang didapat meliputi penelitian tahap pertama dan
penelitian tahap kedua
4.1.1 Penelitian Tahap Pertama
Penelitian tahap pertama bertujuan untuk melakukan pengamatan fisik
dan organoleptik pada ikan gabus dimana ikan dimatikan dengan perlakuan
dipatahkan tulang belakang, karena ikan akan lebih cepat mati. Pada
pengamatan fisik, diamati lama waktu perubahan tiap fase ikan yang berbeda,
berat ikan, dan ukuran ikan. Menurut Zakaria (2008), bahwa berat ikan dan
ukuran ikan yang digunakan mempengaruhi penurunan mutu ikan. Ikan dengan
ukuran lebih besar secara umum mengalami penurunan mutu yang lebih lambat
dibandingkan dengan ikan berukuran kecil, hal ini disebabkan karena kandungan
glikogen pada ikan yang berukuran besar cenderung lebih banyak dibanding
dengan ikan yang berukuran kecil, selain itu pada ikan yang berukuran besar
memiliki luas permukaan tubuh yang besar sehingga penyerangan
mikroorganisme lebih lambat. Sedangkan pada pengamatan organoleptik diamati
mata, insang, lendir dipermukaan tubuh, bau dan tekstur. Hasil pengamatan ciri
fisik dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4. Ciri fisik dan organoleptik dari fase kesegaran ikan
Perla kuan
Ulang an
Mata Insang Lendir Bau Teks tur
La ma wak tu
(jam)
pH
Pre rigor
1 Menonjol, cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis 0 6,8
2 Menonjol cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis 0 6,8
3 Menonjol cerah, bening
Merah Sedikit lendir
Spesifik jenis
Elastis 0 6,8
Rigor mortis
1 Kurang menonjol
Kecoklatan
Sedikit lendir
Bau amoniak
Kaku 11 6,2
2 Kurang menonjol
Kecoklatan
Sedikit lendir
Bau amoniak
Kaku 10 6,2
3 Kurang mennjol
Kecoklatan
Sedikit lendir
Bau amoniak
Kaku 10 6,2
Post rigor
1 Agak cekung
Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak Lunak 15 6,3
2 Agak cekung
Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak Lunak 14 6,3
3 Agak cekung
Agak kusam
Sedikit lendir
Amoniak Lunak 14 6,3
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa ciri
organoleptik pada fase kesegaran ikan gabus yang berbeda ditentukan dengan
parameter mata, insang, lendir, bau dan tekstur daging. Pada fase pre rigor
dapat terlihat kondisi mata masih menonjol, berwarna cerah dan bening. Kondisi
insang berwarna merah, sedikit berlendir, bau spesifik ikan segar dan tekstur
daging masih elastis. Kondisi ini juga terjadi pada ketiga ulangan tersebut. Dari
perubahan ciri organoleptik ikan dapat diperoleh data bahwa rata-rata ketiga
ulangan fase pre rigor terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-10.
Menurut tabel diatas dapat diketahui bahwa pada fase pre rigor nilai pH
sebesar 6,8 dimana nilai pH konstan, sedangkan setelah ikan memasuki fase
rigor mortis pada jam ke-11 nilai pH menurun menjadi 6,2. Namun setelah ikan
memasuki fase post rigor pada jam ke-15 nilai pH meningkat kembali yaitu
sebesar 6,3.
32
Hal ini terjadi dikarenakan setelah ikan mati, nilai pH berkisar antara 6,96-
7,04 hingga pH menjadi netral. Pada tahap ini terjadi proses pemecahan glikogen
yang menghasilkan asam laktat. Asam laktat ini yang mengakibatkan pH daging
menjadi menurun. Namun, setelah ikan mulai memasuki fase post rigor nilai pH
mulai meningkat. Peningkatan pH ini terjadi karena enzim yang berasal dari
daging ikan dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak
sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa (Liviawati, 2014).
Perubahan kondisi ikan pada fase pre rigor ini adalah fase ikan setelah
mati. Aliran oksigen di dalam jaringan peredaran darah terhenti dikarenakan
kontrol otak dan aktivitas jantung tidak berfungsi. Sehingga lendir di bawah
permukaan kulit terlepas. Pada fase ini kondisi ikan masih menyerupai ikan
hidup/masih bersifat segar (Riyantono et al.,2009). Lendir yang dikeluarkan ini
sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal
bagi pertumbuhan bakteri. Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk
lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar
lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan
yang tidak menyenangkan (Rustamaji, 2009).
Pada fase rigor mortis kondisi mata dari bentuk cembung mulai berubah
menjadi cekung, insang berubah menjadi warna kecoklatan, sedikit lendir, bau
amoniak mulai muncul dan tekstur daging lunak. Kondisi ini terjadi pada ketiga
ulangan. Dari perubahan ciri organoleptik ikan dapat diperoleh data bahwa rata-
rata ketiga ulangan fase rigor mortis terjadi pada jam ke-10 sampai jam ke-14.
Perubahan ini adalah akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang
kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi
darah mulai terhenti, hal ini akan menyebabkan suplai oksigen berkurang
sehingga akan terjadi proses perubahan glikogen menjadi asam laktat.
Keberlanjutan dari proses ini akan berakibat pH tubuh ikan akan menurun, diikuti
33
pula dengan menurunnya jumlah Adenosin Tri Phospat (ATP) serta
ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Riyantono et
al.,2009).
Pada fase post rigor didapatkan perubahan fisik kondisi mata agak
cekung, insang agak kusam, bau amoniak menyengat, lender banyak dan keruh
dan tekstur daging ikan lunak. Kondisi ini terjadi pada ketiga ulangan ikan. Dari
perubahan ciri organoleptik ikan dapat diperoleh data bahwa rata-rata ketiga
ulangan fase post rigor terjadi pada jam ke-14.
Hal ini di sebabkan pada fase post rigor kondisi otot mulai melunak lagi
dimana senyawa nitrogen terbentuk oleh reaksi enzimatik dari protein yang
menyediakan nutrisi untuk mikroorganisme. Setelah itu terjadilah pembusukan
pada ikan (Noghuchi, 1972). Pada fase ini kondisi pH semakin lama semakin
meningkat, peningkatan nilai pH ini terjadi karena enzim yang berasal dari daging
ikan dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak sehingga
dapat menghasilkan senyawa bersifat basa (Liviawaty dan Afrianto, 2014).
Berdasarkan hasil dari penelitian tahap pertama didapatkan data bahwa
fase pre rigor terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-10, fase rigor mortis terjadi
pada jam ke-10 sampai jam ke-14, dan fase post rigor terjadi pada jam ke-14.
Data inilah yang menjadi acuan lama waktu tiap fase kesegaran ikan untuk
digunakan pada penelitian tahap kedua.
4.1.2 Penelitian Tahap Kedua
Penelitian tahap kedua berfungsi untuk mengetahui kualitas albumin ikan
gabus dengan fase kesegaran yang berbeda menggunakan waterbath pada
suhu 40ºC dengan suhu ikan ± 35ºC selama 30 menit yang didasarkan pada
penelitian tahap pertama. Berdasarkan tahap pertama didapatkan lama waktu
tiap fase kesegaran ikan yang berbeda.
34
Hasil penelitian kualitas albumin ikan gabus dengan fase kesegaran yang
berbeda didapatkan berdasarkan parameter kimia (rendemen, kadar protein,
kadar albumin, profil asam amino). Penelitian tahap kedua dilakukan dengan
melakukan pengamatan pada 3 perlakuan dengan 8 kali ulangan.
4.2 Parameter Kimia
4.2.1 Kadar Albumin
Albumin merupakan salah satu protein sederhana dalam plasma darah.
Albumin dalam tubuh disintesa di dalam hati dengan jumlah yang sangat kecil
(Matheus, 2012). Jumlah albumin dalam plasma darah mencapai kadar 60%.
Manfaat dari albumin antara lain dapat membentuk jaringan sel baru,
mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, mempertahankan
tekanan osmotik plasma dan pemenuhan gizi seseorang (Suprayitno, 2003).
Ikan gabus yang telah dikukus dengan pengukusan terkontrol tidak
mengurangi kandungan albumin di dalamnya. Kadar albumin ikan gabus mentah
sebesar 480,8% b/b, sedangkan kadar albumin dalam ikan gabus kukus 458,4%
b/b. Hal ini didapat hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ikan
gabus segar dan ikan gabus kukus (Sari, et al., 2015).
Menggunakan bahan baku ikan gabus, dikarenakan kandungan albumin
yang terdapat didalamnya jauh lebih kompleks nilai asam aminonya dibanding
dengan albumin pada bahan baku yang lain seperti putih telur. Putih telur juga
mengandung albumin, namun nilai asam amino lebih rendah dibanding pada ikan
gabus. Berikut tabel perbandingan kandungan asam amino pada ikan gabus dan
putih telur.
35
Tabel 5. Perbandingan kandungan asam amino pada ikan gabus dan putih telur
No Asam Amino Putih telur
(mg) Ikan Gabus
(mg)
1 Phenylalanine 0,03 0,730
2 Isleucine 0,7 0,838
3 Leucine 0,95 1,496
4 Methionine 0,42 0,081
5 Valine 0,84 0,866
6 Threonine 0,48 0,834
7 Lysine 0,65 1,702 8 Histidine 0,23 0,415 9 Aspartic 0,85 1,734
10 Glutamic 1,52 3,093
11 Alanine 0,65 1,007
12 Proline 0,41 0,519
13 Arginine 0,63 1,102
14 Serine 0,75 0,675
15 Glycine 0,40 0,728
16 Cysteine 0,26 0,016
17 Tyrocine 0,45 0,538
Sumber : (Puteh, 2013)
Dari Tabel 5 diatas, diketahui bahwa kandungan asam amino pada ikan
gabus lebih tinggi dibandingkan kandungan asam amino yang terdapat pada
putih telur. Serbuk albumin ikan gabus memiliki 17 jenis asam amino
(Yuniarti,et.,al, 2013).
Berat rerata residu daging pada fase pre rigor ekstrak ikan gabus dari 100
g daging sebesar 75,45 g, berat rerata residu fase rigor mortis ekstrak ikan gabus
dari 100 g daging sebesar 74,41 g, dan berat rerata residu fase post rigor
ekstrak ikan gabus dari 100 g daging sebesar 72,08 g. Hal ini dapat dilihat dari
nilai F hitung > F tabel 5%. Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variant) atau
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa fase kesegaran yang berbeda
memberikan pengaruh yang nyata pada parameter kadar albumin (p<0,05). Hasil
uji lanjut dengan BNT secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.
36
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05) Gambar 5. Grafik kadar albumin ikan gabus tanpa pengukusan berdasarkan
fase kesegaran ikan
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat kadar albumin terendah pada fase
post rigor 1,62% dan kadar albumin tertinggi pada fase pre rigor sebesar 3,12%.
Pada perlakuan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor terjadi penurunan secara
berurutan. Albumin merupakan protein globular yang mudah mengalami
degradasi. Seiring dengan ini menurunnya fase kesegaran ikan maka nilai kadar
albumin juga ikut turun. Hal ini dipengaruhi oleh degradasi protein miofibril
karena enzim kolagenase yang berperan dalam proses pelunakan tekstur daging
ikan sehingga turut mempercepat proses kemunduran mutu ikan (Rustamaji,
2009).
Berdasarkan penelitian Santoso et al., (2008), diketahui bahwa ekstrak
ikan gabus mengandung protein sebesar 3,37±0,27 (g/100ml), dengan fraksi
terbesarnya adalah albumin sebesar 2,17±0,14 (g/100ml), dan beberapa mineral
seperti Zn,Cu, dan Fe. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan,
maka didapatkan hasil bahwa kadar albumin ikan gabus tanpa penguksan pada
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
pre rigor rigor mortis post rigor
Kad
ar
Alb
um
in
tan
pa
Pen
guku
san
(g
/dL)
3,12±0,14a
2,12±0,08 b
1,62±0,19c
Fase Kesegaran Ikan
37
fase pre rigor lebih tinggi dibanding oleh penelitian yang dilakukan oleh Santoso
et al., (2008).
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing perlakuan
dilanjutkan dengan uji BNT (Lampiran 5).
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05)
Gambar 6. Grafik kadar albumin ekstrak ikan gabus dengan pengukusan berdasarkan fase kesegaran ikan
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat kadar albumin ikan gabus terendah
pada fase post rigor 1,27% dan kadar albumin tertinggi pada fase pre rigor
sebesar 2,74%. Pada perlakuan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor terjadi
penurunan secara berurutan. Berdasarkan dari nilai kadar albumin pada tiap fase
kesegaran ikan, didapatkan hasil presentase albumin terekstrak dari 100 g
daging pada fase pre rigor sebesar 87,82%, fase rigor mortis sebesar 95,75%,
dan fase post rigor sebesar 78,39%.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, perlakuan pengukusan
dengan menggunakan waterbath didapatkan hasil esktrak albumin yang lebih
2,74±0,18a
2,03±0,14b
1,27±0,19c
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
pre rigor rigor mortis post rigor
Kad
ar e
kstr
ak A
lbu
min
d
en
gan
Pen
guku
san
(g
/dL)
Fase Kesegaran Ikan
38
tinggi dibanding dengan perlakuan freeze drying dengan menggunakan
ekstraktor vakum. Dimana nilai ekstrak albumin dari dua perlakuan tersebut
dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Nilai ekstrak albumin dari perlakuan pengukusan dan freeze dryer
Aspek
Perlakuan
Pengukusan Freeze drying dengan ekstraktor
vakum
Penelitian
Pengaruh tingkat kesegaran ikan gabus
terhadap kualitas ekstrak albumin dengan metode
pengukusan
Pengaruh konsentrasi
dekstrin terhadap
kualitas crude ekstrak albumin (Yuniar, 2016)
Pengaruh perbedaan suhu
pengeringan spray dryer dan
kombinasi gum arab terhadap kualitas serbuk
albumin (Oktavia, 2016)
Nilai kadar
albumin (%)
2,74 0,78 0,78
Dari tabel 6 diatas, dapat diketahui bahwa nilai kadar albumin dari dua
perlakuan pengukusan dengan menggunakan waterbath dibandingkan dengan
freeze drying dengan menggunakan ekstractor vakum, didapatkan hasil kadar
albumin lebih tinggi pada perlakuan pengukusan yaitu 2,74.
Albumin merupakan salah satu protein sederhana dalam plasma darah.
Albumin merupakan protein globular yang mudah mengalami degradasi. Seiring
dengan ini menurunnya fase kesegaran ikan maka nilai kadar albumin juga ikut
turun. Hal ini dipengaruhi oleh degradasi protein miofibril karena enzim
kolagenase yang berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan sehingga
turut mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Secara umum didefinisikan
sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida dari kolagen saat
39
protein belum mengalami denaturasi. Aktivitas enzim ini sangat berpengaruh
terhadap proses kemunduran mutu ikan (Rustamaji, 2009).
Penurunan nilai kadar albumin, disebabkan karena adanya proses
denaturasi pada sebagian protein setelah adanya proses pemanasan. Albumin
sendiri adalah protein globular dimana pada fase rigor mortis protein miofibril
berkontraksi membentuk aktomiosin, jarak antar protein perlahan mengecil
(Wibowo et., al, 2014).
Kadar albumin akan mengalami penurunan karena adanya proses
pemanasan. Seperti yang telah diketahui bahwa albumin merupakan bagian
protein yang peka terhadap panas dan akan mengalami penurunan seiring
meningkatnya suhu karena terjadi perubahan struktur dan penurunan sifat
fungsionalnya. Protein ikan gabus segar mencapai 25,1% sedangkan 6,224%
dari protein tersebut berupa albumin. Sedangkan albumin termasuk protein
globuler yang mudah rusak oleh pemanasan (Suprayitno, 2006).
4.2.2 Kadar Protein
Protein merupakan senyawa organik yang besar yang mengandung atom
karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa diantaranya mengandung
sulfur, posfor, besi atau mineral lain. Analisa protein bertujuan untuk mengetahui
jumlah protein pada ikan gabus. Perlakuan dengan cara pemanasan memang
diharapkan untuk memutuskan ikatan tertentu sehingga dapat menyebabkan
protein ikan terdenaturasi dan meningkatkan daya cerna akan tetapi juga akan
terjadi penurunan kadar protein (Mustar, 2013).
Nilai kadar protein dari ekstrak ikan gabus dengan pengukusan dari fase
ikan yang berbeda berkisar antara 2,69% hingga 5,92%. Kadar protein terendah
pada fase post rigor sebesar 2,69%, kadar protein tertinggi pada fase pre rigor
sebesar 5,92%. Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variant) atau analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa fase kesegaran yang berbeda memberikan
40
pengaruh yang nyata pada parameter kadar protein. Hal ini dapat dilihat dari nilai
F hitung > F tabel 5%, selanjutnya untuk mengetahui perbedaan dari masing-
masing perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT (lampiran 6). Secara garis besar
grafik kadar protein disajikan pada Gambar 7.
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05)
Gambar 7. Grafik kadar protein ekstrak ikan gabus berdasarkan fase
kesegaran ikan
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat kadar protein terendah pada fase
post rigor sebesar 2,69% dan kadar protein tertinggi pada fase pre rigor sebesar
5,92%. Pada perlakuan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor terjadi penurunan
secara berurutan .
Penurunan ini disebabkan oleh denaturasi protein yang disebabkan oleh
suhu pemanasan pada suhu 40ºC selama 30 menit. Penurunan kadar protein
diakibatkan adanya flokuasi yaitu penggumpalan dari partikel yang tidak stabil
menjadi partikel yang diendapkan. Flokuasi merupakan tahap awal denaturasi.
Pemanasan menyebabkan protein terdenaturasi. Pada saat pemanasan, panas
5,92±0,42a
4,02±0,59b
2,69±0,42c
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
pre rigor rigor mortis post rigor
Kad
ar P
rote
in (
%)
Fase Kesegaran Ikan
41
akan menembus daging dan menurunkan sifat fungsional protein. Pemanasan
dapat merusak asam amino dimana ketahanan protein oleh panas sangat terkait
dengan asam amino penyusun protein tersebut sehingga hal ini yang
menyebabkan kadar protein menurun dengan semakin meningkatnya suhu
pemanasan (Yuniarti, et., al, 2013).
Penurunan ini juga dipengaruhi pada saat degradasi protein miofibril
karena enzim kolagenase yang berperan dalam proses pelunakan tekstur daging
ikan sehingga turut mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Secara umum
didefinisikan sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida dari
kolagen saat protein belum mengalami denaturasi. Aktivitas enzim ini sangat
berpengaruh terhadap proses kemunduran mutu ikan (Rustamaji, 2009).
4.2.3 Kadar Air
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air
juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa makanan dan bahan pangan yang
lain. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagaimana air dalam
bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara tergantung dari beberapa jenis.
Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat
pengering buatan. Pada bahan yang berkadar air tinggi dilakukan evaporasi atau
penguapan (Winarno, 2004).
Menurut Sudarmadji et al. (1989), prinsip penentuan kadar air dengan
metode Thermogravimetri adalah menguapkan air yang ada dalam bahan
pangan dengan jalan pemanasan kemudian menimbang bahan sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan.
Nilai kadar air dari ektrak ikan gabus dengan pengukusan dari fase ikan
yang berbeda berkisar antara 72,22% hingga 76,42%. Kadar air terendah pada
fase pre rigor sebesar 72,22% dan kadar air tertinggi pada fase post rigor
42
sebesar 76,42%. Berdasarkan uji ANOVA (Analysis of Variant) atau analisis sidik
ragam pada taraf kepercayaan 5% (P<0,05) didapatkan hasil Fhitung < F tabel,
artinya perlakuan fase kesegaran ikan yang berbeda memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata, secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Kemudian,
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Secara garis besar disajikan
pada Gambar 8.
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05)
Gambar 8. Grafik kadar air ekstrak ikan gabus berdasarkan fase
kesegaran ikan
Berdasarkan Gambar 8. dapat dilihat kadar air terendah pada fase pre
rigor sebesar 72,22% dan kadar air tertinggi pada fase post rigor sebesar
76,42%. Pada perlakuan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor terjadi peningkatan
secara berurutan.
Peningkatan kadar air dari fase pre rigor hingga post rigor disebabkan
oleh daya ikat air. Pada ikan dengan fase pre rigor didapatkan nilai kadar air
72,22±0,57a
73,74±1,62b
76,42±1,74c
70,00
71,00
72,00
73,00
74,00
75,00
76,00
77,00
pre rigor rigor mortis post rigor
Kad
ar A
ir (
%)
Fase Kesegaran Ikan
43
relataif lebih rendah dibanding dengan fase rigor mortis dan post rigor. Pada saat
ikan mengalami fase rigor mortis pH meningkat sehingga daya ikat air akan
menurun. Hal ini dikarenakan sebagian protein pada fase rigor mortis telah
terdenaturasi sehingga pada kondisi tersebut ketika dilakukan pemanasan atau
pengepresan akan menyebabkan sarkomer pecah dan air keluar. Pada fase post
rigor kadar air semakin meningkat, hal ini dikarenakan pada fase ini ikan memiliki
pH basa sehingga protein terdenaturasi, sehingga air akan banyak keluar dari
sarkomer. Karena daya ikat air menurun. Wibowo et al (2014), menjelaskan
bahwa peningkatan kadar air disebabkan karena daging ikan pre rigor
mempunyai daya ikat air lebih tinggi dibandingkan dengan daging rigor mortis
atau post rigor, karena kadar air berhubungan erat dengan perubahan daya ikat
air (WHC). Pada fase pre rigor daya ikat air masih relatif tinggi akan tetapi secara
bertahap menurun seiring dengan menurunnya nilai pH dan jumlah ATP jaringan
otot (kondisi pre rigor mortis).
4.2.4 Rendemen
Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan berat akhir dengan berat
awal dikalikan 100%. Perbedaan hasil rendemen dapat didapatkan dari metode
yang berbeda, proses ekstraksi yang berbeda dan bahan pelarut yang
digunakan. Pelarut juga berperan dalam menghasilkan rendemen tinggi karena
pelarut yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang sama dengan komponen
yang ada pada bahan tersebut (Sari et al., 2014).
Nilai rendemen dari ekstrak albumin ikan gabus dengan pengukusan dari
fase ikan yang berbeda berkisar antara 24,55% hingga 27,91%. Rendemen
terendah pada fase pre rigor sebesar 24,55% dan rendemen tertinggi pada fase
post rigor sebesar 27,91%. Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variant) atau
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa fase kesegaran yang berbeda
memberikan pengaruh yang nyata pada parameter rendemen. Hal ini dapat
44
dilihat dari nilai F hitung > F tabel 5%, selanjutnya untuk mengetahui perbedaan
dari masing-masing perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT (lampiran 8).Secara
garis besar disajikan pada Gambar 9.
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05)
Gambar 9. Grafik rendemen ekstrak ikan gabus berdasarkan fase kesegaran ikan
Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat nilai rendemen dari ekstrak ikan
gabus dengan pengukusan dari fase ikan yang berbeda berkisar antara 24,55%
hingga 27,91%. Rendemen terendah pada fase pre rigor sebesar 24,55% dan
rendemen tertinggi pada fase post rigor sebesar 27,91%. Peningkatan rendemen
dipengaruhi oleh fase kesegaran ikan yang berbeda. Pada perlakuan pre rigor,
rigor mortis, dan post rigor terjadi peningkatan secara berurutan. Hal ini
dikarenakan tekstur daging dari masing-masing fase berbeda. Semakin lunak
kondisi tekstur daging maka semakin banyak air yang terkandung di dalamnya.
Hal inilah yang mempengaruhi nilai redemen meningkat. Sipayung et al., (2015),
menjelaskan bahwa nilai kadar air sebanding dengan nilai rendemen. Rendahnya
nilai kadar air pada suatu bahan akan menyebabkan nilai rendemen semakin
24,55±0,78a
25,59±1,18b
27,91±1,17c
22,00
24,00
26,00
28,00
30,00
pre rigor rigor mortis post rigor
Ren
dem
en (
%)
Fase Kesegaran Ikan
45
rendah. Semakin kecil kadar air yang dihasilkan menyebabkan penurunan bobot
air bahan, karena air dalam bahan merupakan komponen utama yang
mempengaruhi bobot suatu bahan. Apabila air dihilangkan maka bahan akan
lebih ringan sehingga akan mempengaruhi rendemen produk akhir.
4.2.5 Profil Asam Amino
Asam amino merupakan unit dasar struktur protein. Suatu asam amino α
terdiri dari gugus amino, gugus karboksil, atom H, dan gugus R tertentu yang
semuanya terikat pada atom karbon α. Atom karbon ini disebut α karena
bersebelahan dengan gugus karboksil (asam). Gugus R menyatakan rantai
samping. Umumnya pada protein ditemukan 20 jenis rantai samping bervariasi
dalam ukuran dan bentuk. Contohnya asam amino yang paling sederhana adalah
glisin, hanya mempunyai 1 rantai hidrogen sebagai rantai samping. Asam amino
alanin, dengan gugus metil sebagai rantai samping (Sari, 2007). Kadar asam
amino ekstrak ikan gabus pada perlakuan fase kesegaran ikan dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Profil asam amino ekstrak ikan gabus
No.
Jenis Asam Amino Kadar Asam Amino (ppm)
Esensial Non
esensial Pre Rigor
Mortis Rigor Mortis
Post Rigor Mortis
1. Aspartat 406,49 384,89 428,33 2. Glutamat 444,29 374,36 430,38 3. Serin 151,63 125,81 153,83 4. Histidin 117,54 99,31 100,5 5. Glisin 212,09 159,91 191,09 6. Treonin 143,91 125,42 147,69 7. Arginin 210,18 179,75 215,19 8. Alanin 525,19 481,24 539,79 9. Tirosin 204,34 168,24 194,75
10. Metionin 62,72 56,88 56,75 11. Valin 163,72 149,01 157,91 12. Fenilalanin 244,97 213,86 229,28 13. Isoleusin 151,69 136,50 140,62 14. Leusin 324,41 283,62 310,09 15. Lisin 566,46 436,73 423,14
46
Berdasarkan Tabel 7. Kadar asam amino ekstrak ikan gabus dengan fase
kesegaran yang berbeda dapat diketahui bahwa kandungan asam amino dengan
nilai tinggi pada asam amino alanin dan lisin yaitu pada fase pre rigor nilai lisin
sebesar 566,46 ppm, fase rigor mortis nilai tinggi didapatkan alanin sebesar
481,24 ppm dan post rigor mortis nilai tinggi didapatkan lisin sebesar 539,79 ppm
sedangkan kandungan asam amino terendah pada asam amino metionin yaitu
pada fase pre rigor sebesar 62,72 ppm, fase rigor mortis sebesar 56,88 ppm, dan
fase post rigor sebesar 56,75 ppm. Sedangkan diagram hasil uji asam amino
dapat dilihat pada lampiran 10. Dengan tingginya asam amino alanin dan lisin,
ekstrak ikan gabus ini dapat dikonsumsi guna meningkatkan asupan asam amino
esensial dan nonesensial. Menurut Winarno (2004), asam amino esensial
merupakan asam amino eksogen yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh manusia
sehingga harus diperoleh dari asupan makanan sehari-hari.
Dalam protein terdapat 20 asam amino utama yang berperan sebagai
pembangun. Masing-masing asam amino berbeda satu dengan yang lain pada
rantai sampingnya. Berdasarkan hasil uji profil asam amino terhadap filtrate
albumin ikan gabus yang telah dibuat menjadi serbuk, terdapat 14 jenis asam
amino yang terkandung didalamnya yaitu asam aspartat, asam glutamat, histidin,
glisin, threonin, arginin, alanin, tirosin, metionin, valin, fenilalanin, ileusin, leusin
dan lisin. Asam amino pada ekstrak ikan gabus ini ada 15 macam. Beberapa
jenis asam amino lainnya yang belum terdapat dalam sampel dimungkinkan
karena terjadi denaturasi akibat proses pemanasan selama proses pengambilan
ekstrak yaitu dengan cara pengukusan, sehingga beberapa jenis asam amino
lainnya tidak terkandung dalam sampel.
4.3 Penentuan Nilai Terbaik
Perlakuan terbaik ditentukan dengan menggunakan analisa De Garmo pada
setiap parameter uji (rendemen, kadar albumin, kadar protein dan kadar air).
47
Menurut Tanjung dan Kusnadi (2015), Pemilihan perlakuan terbaik didapati
dengan menggunakan metode indeks efektifitas ditentukan oleh panelis terhadap
parameter kimia dan fisik serta organoleptik. Data panelis yang telah diperoleh
pembobotannya kemudian dilakukan perhitungan menggunakan metode indeks
efektifitas atau metode De Garmo. Hasil analisis De Garmo ekstrak albumin ikan
gabus (Lampiran 9).
Penentuan nilai terbaik dari ekstrak albumin ikan gabus dengan pengukusan
dari fase kesegaran yang berbeda didasarkan pada parameter utama yaitu kadar
albumin. Sedangkan parameter lainnya seperti kadar protein dan rendemen
merupakan parameter pendukung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dihasilkan kadar albumin terbaik didapatkan pada nilai kadar yang tertinggi yaitu
pada fase pre rigor memiliki kadar albumin sebesar 2,74%, kadar protein sebesar
5,92%. Sedangkan nilai kadar air dan rendemen terbaik dilihat pada nilai kadar
yang terendah. Dimana nilai kadar air terendah didapat pada fase pre rigor
sebesar 72,22% sedangkan nilai terendah rendemen didapat oleh fase pre rigor
sebesar 24,55%.
48
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Semakin rendah tingkat kesegaran ikan, berpengaruh pada kadar ekstrak
albumin ikan gabus yang dihasilkan.
2. Ekstrak albumin ikan gabus yang terbaik pada fase pre rigor dengan kadar
albumin sebesar 2,74%, kadar protein 5,92%, rendemen 24,55%, kadar air
72,22% dan serta terdapat asam amino yang tersusun didalamnya.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang cara lain mendapatkan
karakteristik ekstrak albumin terbaik, kebutuhan albumin dalam tubuh
manusia serta penelitian lanjutan tentang masa simpan ekstrak albumin ikan
gabus (Ophicephalus striatus).
49
DAFTAR PUSTAKA
Anggira, I. P. A., T.D, Sulistyati dan E. Suprayitno. 2013. Pengaruh Lama Pengeringan Vakum Terhadap Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Brawijaya. 1(1) : 93-102
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical
Chemist, Washington D.C. Hal 1673. Asfar, M., A.B. Tawall, N. Nurlallah and M. Mahendradatla. 2014. Extraction of
albumin of snakehead fish (Channa striatus) in producing the fish protein
concentrate (fpc). International journal of scientific and technology research. 3 (1): 83-88.
Aulanni’am. 2005. Protein dan Analisisnya. Malang : Mentari Group. Dewi, I.N. dan M. Ester. 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam Basa
(Edisi Kedua). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 285 hlm. Hermiastuti, M. 2013. Analisis Kadar Protein dan Identifikasi Asam Amino Pada
Ikan Patin (Pangasius djambal).Skripsi.Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Jember. Hal 16-30. Jaedun, A. 2011. Metodologi Penelitian Eksperimen. Fakultas Teknik UNY.
Makalah disampaikan pada kegiatan in service I pelatihan penulisan artikel ilmiah yang diselenggarakan oleh LPMP provinsi daerah istimewa Yogyakarta. Hal 3-4.
Kusumaningrum, G.A., M.A. Alamsjah Dan E.D. Masithah. 2014. Uji Kadar
Albumin Dan Pertumbuhan Ikan Gabus (Channa Striata) Dengan Kadar Protein Pakan Komersial Yang Berbeda.Fakultas Perikanan Dan Kelautan Universitas Airlangga. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan 6 (1) : 25-31.
Liviawaty, E. Dan E. Afrianto. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila
Merah (Oreochromis Niloticus). Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Jurnal Akuatika 5 (1) : 42-46.
Mulyadi, A. F., M. Effendi dan J. M. Maligan. 2011. Modul Teknologi Pengolahan
Ikan Gabus. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Hal 3.
Murrachman. 2006. Diktat Kuliah. Fish Handling.Fakultas Perikanan dan Ilmu Klelautan.Universitas Brawijaya Malang. Hal 33-34.
Murwani, R. 2010. Modul Perkuliahan Mata Kuliah Biokimia. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang. Hal 2. Mustar.2013. Studi Pembuatan Abon Ikan Gabus (OphiocephalusStriatus)
Sebagai Makanan Suplemen. Fakultas PertanianUniversitas Hasanuddin. Makassar.Hal 1.
50
Noghuchi, E. 1972. Utilization of Marine Product.Freshness of Fish Meat.Text book of Marine Fisheries Research Course.Overseas Technical Cooperation Agency Government of Japan.Hal 18.
Nugroho, M. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Ekstraksi Secara Pengukusan
terhadap Rendemen dan Kadar Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Jurnal Teknologi Pangan. 3 (1): 67-81
Nugroho, M. 2013. Uji Biologis Ekstrak Kasar Dan Isolat Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus Striatus) Terhadap Berat Badan Dan Kadar Serum Albumin Tikus Mencit. Jurnal Teknologi Pangan 5 (1) : 13-17.
Poedjiadi, A dan F.M. Titin. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press: Jakarta. Hal
109-115. Prasetyo, M.N, N. Sari, C.S. Budiyati. 2012. Pembuatan Kecap dari Ikan Gabus
secara Hidrolisis Enzimatis menggunakan Sari Nanas.Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 1 (1) : 329-330.
Rustamaji. 2009. Aktivitas Enzim katepsin dan kolagenase dari daging ikan
bandeng (Chanos chanos Forkskall) selama periode kemunduran mutu ikan.Skripsi.FPIK.Institut Pertanian Bogor.Hal 22.
Santoso , A.H., M. Astawan, dan T. Wresdiyanti. 2008. Potensi Ekstrak Ikan
Gabus (Channa striata) sebagai Stabilisator Albumin, SGOT dan SGPT Tikus Yang Diinduksi dengan Parasetamol Dosis Toksis “The Potential of Sbakehead Fish’s (Channa striata)Extract as a Stabilitator Albumin,
SGOT and SPGT in Rats Induced with Toxic Dose of Paracetamol. Jurnal Gizi. Fakultas Pertanian Bogor
Sari, D. K., S. A. Marliyati, L. Kustiyah, A. Khamsan, dan T. M. Gantohe. 2014.
Uji Organoleptik Formulasi Biskuit Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Jurnal Argitech. 4 (2). Hal 121-126.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik: Stereokimia, Karbohidrat, Lemak, dan
Protein. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 118Sediaoetama, AD. 2012. Ilmu Gizi. Jilid 1. Dian Rakyat. Jakarta. Hal. 53
Subagyo, W. C. 2014. Karakteristik Protein Daging Sapi Bali dan Wagyu setelah direbus. Thesis. Program Pascasarjana. Universitas Udayana. Hal 18
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1884. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Hal 98.
Sudarmadji, S., B. Haryono., Suhardi.1989. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.Hal 120. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Hal 172. Sugiarti, M., A.D. Anggo dan P.H Riyadi. 2014. Efek Perendaman pada Suhu
Undercooking dan Metode Cooking terhadap Pengurangan Kadar Formalin
51
pada Cumi – Cumi (Loligo sp.). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3 (2): 90-98.
Sumarno. 2012. Albumin Ikan Gabus (Snakehead fish) dan Kesehatan. Jurnal
Ilmiah Agri Bios. Vol. 10 (1) : 60-63.
Suprayitno, E. 2003. Penyembuhan Luka dengan Ikan Gabus. Fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Hal 3-5 Suprayitno, E. 2008. Albumin Ikan Gabus untuk Kesehatan. Artikel disampaikan
pada seminar Nasional Suprayitno, E. 2014. Profile albumin fish cork (Ophicephalus striatus) of different
ecosystems: 202. International Journal of Current Research and Academic Review. 2 (12) : 200-205.
Suwetja, I.K. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Media Prima Aksara. Jakarta. hlm
17-19. Tanjung, Y.L.R dan J. Kusnadi. 2015. Biskuit Bebas Gluten dan Bebas Kasein
Bagi Penderita Autis. Jurnal Pangan dan Agroindustri 3 (1): 11-22.
Triyono, A. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam pada Proses Isolasi Protein terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.). Disampaikan pada seminar rekayasa kimia dan
proses. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Hlm. 1-9.
Ulandari, A., D. Kurniawan., dan A.S.Putri. 2011. Potensi Protein Ikan Gabus
Dalam Mencegah Kwashiorkor Pada Balita Di Provinsi Jambi. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Jambi.
Wibowo, I.R, Y.S. Darmanto dan A.P. Anggo. 2014. Pengaruh Cara Kematian
Dan Tahapan Penurunan Kesegaran Ikan Terhadap Kualitas Pasta Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol. 3 (3): 95-103.
Winarno, F.G. 2004.Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta. Hal 65-67. Yuniarti, D.W., T.D. Sulistiyati dan E. Suprayitno. 2013. Pengaruh Suhu
Pengeringan Vakum terhadap Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus Striatus). Thpi Student Journal 1 (1): 1-11
Zakaria, R. 2008. Kemunduran Mutu Ikan Garami (Osphronemus gouramy)
Pasca Panen Pada Penyimpanan Suhu Chilling. Skripsi.FPIK.Institut Pertanian Bogor.Hal 9.
52
Lampiran 1. Prosedur Analisa Kadar Albumin (Aulanni’am, 2005)
10ml sampel ditambah dengan 8 ml reagen citrate buffer 95 mmol/L
Dipanaskan pada suhu 370C selama 10 menit.
Dinginkan kemudian ukur dengan spektronik 20 dengan panjang
gelombang 550 nm dan catat absorbansinya.
Hitung hasilnya dengan rumus.
y= 1.021x+0.009 ; satuan g/L dan r=0,997
53
Lampiran 2. Prosedur Analisa Kadar Protein (Sudarmadji et al., 1984)
1. Ambil 10 ml larutan protein dan masukkan ke dalam labu takar 100 ml dan
encerkan dengan aquades sampai tanda.
2. Ambil 10 ml dari larutan ini dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 500 ml
dan tambahkan 10 ml H2SO4 (93-98% bebas N). Tambahkan 5 gram
campuran Na2SO4- HgO (20 : 1) untuk katalisator.
3. Didihkan sampai jernih dan lanjutkan pendidihan 30 menit lagi. Setelah
dingin, cucilah dinding labu Kjeldahl dengan aquades dan didihkan lagi
selama 30 menit.
4. Setelah dingin tambahkan 140 ml aquades dan tambahkan 35 ml larutan
NaOH- Na2S2O3 dan beberapa butiran zink.
5. Kemudian lakukan distilasi. Distilat ditampung sebanyak 100 ml dalam
erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan jenuh asam borat dan beberapa tetes
indikator metil merah / metilen biru.
6. Titrasi larutan yang diperoleh dengan 0,02 N HCl.
7. Hitunglah total N atau % protein dalam contoh.
8. Perhitungan jumlah total N
Jumlah N total =
f = faktor pengenceran, dalam contoh petunjuk ini besarnya f = 10
54
Lampiran 3.Prosedur Analisa Kadar Air Metode Thermogravimetri (Sudarmadji et al., 1989)
Botol timbang yang bersih dengan tutup setengah terbuka
dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105°C selama 24 jam.
Botol timbang dikeluarkan dari dalam oven dan segera ditutup
kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit
Ditimbang botol timbang dalam keadaan kosong (A).
Ditimbang sampel atau bahan yang telah dihaluskan sebanyak 2
gram (B) dan dimasukkan dalam botol timbang yang telah diketahui
beratnya.
Dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105°C selama 2 jam tergantung
bahannya. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 15 menit
1. Ditimbang berat botol timbang dan sampel (C)
Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan.
Rumus perhitungan kadar air dalam bahan pangan sebagai
berikut.
Kadar Air =
55
Lampiran 4. Analisa profil Asam Amino dengan HPLC (Hermiastuti, 2013)
Diambil 60mg sampel + 4 ml HCL 6 M
Dipanaskan selama 24 jam dengan suhu 1100C
Dinetralkan (pH = 7) dengan NaOH 6 M hingga 10 ml
Disaring dengan kertas saring Whatman 0,2 c
Diambil 60mg25 µL larutan sampel ditambah larutan OPA
sebanyak 300 µL
sampel + 4 ml HCL 6 M
Diaduk selama 5menit
20 µL dimasukkan keinjektor HPLC