pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

27
AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN GENDING, PROBOLINGGO Community Based Management of Mangrove Forest in the Gending Subdistrict, Probolinggo GRAZIANO RAYMOND P. Mahasiswa Program Magister PSLP PPSUB N. Harahap Dosen Jurusan SOSEK FPIK UB Soemarno Dosen Jurusan Tanah FPUB ABSTRACT Mangrove ecosystems suggest a high degradation rate due to its utilization pattern which ignore conservation aspect. Mangrove forest has an essential role in community economic development. Considering any degradation indicators of mangrove forest for various purposes, it is necessary to manage efficiently any mangrove resources. In order to manage of mangrove forests in a sustainable manner, it is required any knowledge about the economic values which is useful for local community. The management of community-based mangrove resources is one of management strategies that may improve efficiency and fairness in the use and management of mangrove resources. Research objectives are to analyze conditions of mangrove forest, management practices of mangrove forest, and development of community based mangrove management in the Gending Subdistrict. The approach employed in the research is descriptive analytic with survey method. The research was conducted in Gending District, Probolinggo Regency, East Java. Results indicate that mangrove vegetation found comprises 7 species from 3 families, namely Avicenniaceae family (Avicennia alba and Avicennia marina), Rhizophoraceae family (Rhizophora Mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora Stylosa, and Bruguiera gymnorrhiza), and Sonneratiaceae (Sonneratia Alba) with the value of diversity index (H’) of mangrove vegetation in Gending 185

Upload: nguyenbao

Post on 31-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN GENDING, PROBOLINGGO

Community Based Management of Mangrove Forest in the Gending Subdistrict, Probolinggo

GRAZIANO RAYMOND P.Mahasiswa Program Magister PSLP PPSUB

N. HarahapDosen Jurusan SOSEK FPIK UB

SoemarnoDosen Jurusan Tanah FPUB

ABSTRACT

Mangrove ecosystems suggest a high degradation rate due to its utilization pattern which ignore conservation aspect. Mangrove forest has an essential role in community economic development. Considering any degradation indicators of mangrove forest for various purposes, it is necessary to manage efficiently any mangrove resources. In order to manage of mangrove forests in a sustainable manner, it is required any knowledge about the economic values which is useful for local community. The management of community-based mangrove resources is one of management strategies that may improve efficiency and fairness in the use and management of mangrove resources.

Research objectives are to analyze conditions of mangrove forest, management practices of mangrove forest, and development of community based mangrove management in the Gending Subdistrict. The approach employed in the research is descriptive analytic with survey method. The research was conducted in Gending District, Probolinggo Regency, East Java.

Results indicate that mangrove vegetation found comprises 7 species from 3 families, namely Avicenniaceae family (Avicennia alba and Avicennia marina), Rhizophoraceae family (Rhizophora Mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora Stylosa, and Bruguiera gymnorrhiza), and Sonneratiaceae (Sonneratia Alba) with the value of diversity index (H’) of mangrove vegetation in Gending District in each station around 0,91-1,69 and the condition of environmental parameters of mangrove vegetation in Gending District gained texture of gritty soil that is clay, sandy clay and sandy clayey, pH of the soil is about 6,6-7,1; the temperature is around 29-31oC; salinity is about 27-31 ppt; and the organic matter contain is around 1,09-7,65.

It is suggested that three decision factors of community participation in management mangrove forest; they are management, knowledge and attitude factor. Meanwhile, the management of mangrove forests by communities in the District of Gending in the form of rehabilitation, treatment and monitoring. Therefore, in an effort to community-based mangrove forest management required active participation of the community by paying attention to the management factor, the factor of knowledge and attitude factors.

Keyword: Mangrove, Factor Analysis, Management of Community-Based Mangrove Forest

185

Page 2: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

ABSTRAK

Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam.

Di dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi hutan mangrove, mengkaji pengelolaan hutan mangrove, dan pengembangan hutan mangrove berbasis masyarakat di Kecamatan Gending. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa vegetasi mangrove yang ditemukan meliputi 7 spesies dari 3 famili, yaitu famili Avicenniaceae (Avicennia alba dan Avicennia marina), famili Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Bruguiera gymnorrhiza), dan famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba), dengan nilai indeks keanekaragaman (H’) vegetasi mangrove di Kecamatan Gending pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,91-1,69 dan kondisi parameter lingkungan vegatasi mangrove di Kecamatan Gending diperoleh tekstur tanah pasir berlempung, lempung berpasir dan lempung liat berpasir; pH tanah berkisar antara 6,6-7,1; suhu berkisar 29-31 oC; salinitas berkisar 27-31 ppt; dan kandungan bahan organik antara 1,09-7,65.

Ada tiga faktor pengambulan keputusan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap. Sedangkan, pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Gending dalam bentuk rehabilitasi, perawatan dan pengawasan. Oleh karena itu, dalam upaya pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat diperlukan partisipasi masyarakat secara aktif dengan memperhatikan faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap.

Kata kunci: Mangrove, Analisis Faktor, Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat

PENDAHULUAN

Wilayah pesisir merupakan suatu daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati tinggi. Adanya pasokan unsur hara dari daratan melalui aliran sungai dan aliran air permukaan ketika hujan, serta tumbuh dan berkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria, menyebabkan wilayah pesisir sangat subur. Dengan potensi tersebut dan

aksesibilitasnya yang mudah, wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.

Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan kom-paratif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beranekaragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah, sehingga mampu

186

Page 3: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Namun demikian, di balik potensi tersebut, keberadaan sumberdaya sering terancam akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.

Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan ini serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami.

Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove.

Luas hutan mangrove Indonesia menurut Departemen Kehutanan pada Tahun 1982 sekitar 4,25 juta ha. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukan oleh Departemen yang sama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996 tinggal 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 Tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia.

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Kawasan mangrove sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu.

Berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi manusia dan lingkungan sekitarnya telah diketahui secara umum. Mangrove, magal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Secara ekologis, hutan mangrove dapat

menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Disamping itu, hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu juga sebagai kehidupan dan sumber rezeki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove.

Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pulau Jawa misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit (Purnobasuki, 2005).

Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan sumber-daya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan

187

Page 4: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memper-hatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.

Dengan demikian, pelibatan masya-rakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di Indonesia yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal pengambangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya ke-bijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Indonesia upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan

dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan penelitian dibatasi dengan rumusan masalah: (1). Bagaimana kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (2). Bagaimana partisipasi masyarakat dan menge-lompokkan faktor-faktor partisipasi masya-rakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (3). Bagaimana pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (4). Bagaimana pengembangan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat?

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian: (1). Untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (2). Untuk menge-lompokkan atau memetakan faktor-faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (3) Mengkaji pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (4) Meng-ambangkan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Seperti yang kita ketahui bahwa metode deskriptif dirancang untuk mengumpulakan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama kita dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Travers, 1978 dalam Sevilla et. al, 1993).

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Selat Madura Jawa Timur, tepatnya di wilayah pesisir Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

188

Page 5: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

sampel bertujuan atau purposive sampling. Sampling dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan dengan sengaja, dengan catatan bahwa sampel tersebut representative atau mewakili populasi. Dalam penelitian mengenai partisipasi masyarakat terhadap upaya pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Probolinggo, sampel responden diambil berdasarkan keterkaitan sampel dengan obyek penelitian. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi, dalam hal ini adalah pengguna sumber daya, pemangku kepentingan dan masyarakat pesisir Kecamatan Gending yang berada dalam wilayah ekosistem hutan mangrove. Dasar pertimbangan yang menyebabkan peneliti memilih sampel responden pada masyarakat pesisir Kecamatan Gending karena masyarakat tersebut mendiami pesisir pantai tersebut dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari berhubungan langsung dengan kawasan mangrove di Kecamatan Gending.

Metode Pengumpulan DataBerdasarkan tujuan penelitian dan

metode penelotian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data biofisik dan data sosial masyarakat, yang diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/ analisis langsung dilapangan dan survey, yaitu wawancara langsung dengan masyarakat dan studi literatur.

Metode Analisis Data

1. Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2002), data-data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang telah dicatat, diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis.

Kerapatan Spesies (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:

Di = ni / A

dimana, Di. adalah kerapatan spesies i, ni. adalah jumlah total individu dari spesies i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).

Kerapatan Relatif Spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (Σn) :

RDi = (ni / Σn)x100

Frekuensi Spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak contoh/plot yang diamati :

Fi = pi / Σp

dimana, Fi adalah frekuensi spesies i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies i, dan Σp adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.

Frekuensi Relatif Spesies (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (ΣF) :

RFi = (Fi /ΣF) x 100

Penutupan Spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies i dalam suatu unit area:

Ci = ΣBA/A

dimana, BA=πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH /π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

Penutupan Relatif Spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area

189

Page 6: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

penutupan spesies i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies (ΣCi) :

RCi = (Ci /ΣCi)xl00

Nilai Penting Jenis (IVi) adalah jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi), frekuensi relatif spesies (RFi) dan penutupan relatif spesies (RCi)

IVi = RDi + RFi + RCi

Indeks Keaneka-ragaman

H’ = - Σ ni/N ln ni/N

dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner; ni = jumlah individu dari suatu jenis i; N = jumlah total individu seluruh jenis.

2. Analisis Faktor Masyarakat dan Kelembagaan

Untuk melihat faktor-faktor keadaan sosial masyarakat dan partisipasi masyarakat digunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Mangrove

Vegetasi mangrove menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Purnobasuki (2005), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi

hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicenia spp.), prepat (Sonnerateria spp.), dan tanjang (Bruguiera spp.).

Berdasarkan hasil penelititan yang dilakukan di Kecamatan Gending spesies vegetasi mangrove yang ditemukan meliputi tujuh spesies dari tiga famili, yaitu famili Avicenniaceae (Avicennia alba dan Avicennia marina), famili Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Bruguiera gymnorrhiza), dan famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba).

Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove

a. Tingkatan pohonDalam penelitian ini nilai penting

jenis (IVi) paling tinggi tiap stasiun adalah Avicennia marina (164,749) pada stasiun I, Avicennia alba (166,878) pada stasiun II, Avicennia marina (110,054) pada stasiun III, Avicennia marina (117,263) pada stasiun V, stasiun VI jenis Avicennia marina (177,621), Sonneratia alba (61,437) pada stasiun VII, dan pada stasiun VIII jenis Sonneratia alba (103,079).

Untuk mengetahui keadaan pe-nguasaan spesies vegetasi dalam suatu masyarakat tumbuhan di habitatnya, dipergunakan Indeks Nilai Penting (INP). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar peran spesies tersebut dalam komunitasnya. Secara umum tingkatan pohon didominasi oleh genus Avicennia spp. dan Soneratia spp. Menurut Bengen (2002) daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia spp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Lebih tegas Arief (2003) menyatakan bahwa genus Avicennia spp.

190

Page 7: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

banyak ditemui berasosiasi dengan Sonneratia spp.

b. Tingkatan TiangDari hasil analisis vegetasi pada

stasiun I Nilai Penting jenis (IVi) terbesar adalah jenis Rhizophora mucronata (70,586). Tingginya Nilai Penting Jenis pada stasiun I dipengaruhi oleh nilai kerapatan relatif jenis (37,143) dan nilai frekuensi relatif jenis (26,667) yang tinggi.

Pada stasiun I memiliki nilai penting jenis (IVi) yang hampir sama besarannya atau tidak ada jenis mangrove yang terlalu dominan (tabel 5.11). Hal sama juga terjadi pada stasiun III, dimana nilai penting jenis (IVi) paling tinggi adalah jenis mangrove Rhizophora mucronata (72,498) dan tidak terlalu mendominasi. Ini dapat dilihat dari selisih nilai penting jenis (IVi) dengan spesies lain tidak berbeda jauh.

Untuk ini semakin heterogen jenis dalam suatu komunitas maka peranan akan makin terbagi-bagi dan besarnya indeks nilai penting akan semakin bervariasi. Namun sebaliknya, semakin homogen jenis di dalam komunitas maka peranan jenis akan lebih terpusatkan pada beberapa jenis, bahkan mungkin hanya pada suatu jenis jika masyarakat tumbuhan tersebut membentuk suatu konsosiasi. Sangat berbeda pada stasiun II, dimana jenis Rhizophora mucronata sangat men-dominasi dengan nilai penting jenis sebesar 118,501. Jenis yang memperoleh INP tinggi berarti mempunyai nilai kumulatif penguasaan yang lebih besar dan lebih menguasai habitatnya. Jenis ini akan lebih unggul dalam memanfaatkan sumbedaya atau lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Jenis Rhizophora mucronata juga mendominasi pada stasiun VII dengan nilai penting sebesar 78,51.

Pada stasiun IV jenis spesies mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora stylosa (111,686). Sedangkan pada stasiun V, VI dan VIII nilai penting jenis yang tertinggi pada spesies Avicennia marina dengan nilai secara berturut-turut 90,884; 88,470; 60,824. Tingginya nilai

penting jenis ini disebabkan oleh sebagian besar tingginya nilai kerapatan relatif jenis pada setiap stasiun pengamatan. Dalam pengkajian suatu vegetasi, kerapatan populasi seringkali merupakan ciri populasi yang pertama kali mendapatkan perhatian. Pengaruh suatu populasi terdapat komunitas dan ekosistem tidak hanya bergantung kepada spesies dari organisasi yang terlibat tetapi bergantung juga pada jumlah atau kerapatan populasi (Odum, 1993).

c. Tingkatan PancangDari hasil perhitungan nilai penting

jenis (IVi) paling tinggi pada setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (78,437) pada stasiun I, Rhizophora mucronata (163,693) pada stasiun II, Sonneratia alba (63,751) pada stasiun III, Rhizophora stylosa (107,205) pada stasiun IV, Rhizophora apiculata (70,997) pada stasiun V, Avicennia marina (89,771) pada stasiun VI, pada stasiun VII jenis Rhizophora stylosa (67,306) dan pada stasiun VIII jenis Avicennia alba (62,021).

Pada tingkat pancang didominasi oleh spesies Rhizophora spp. hal ini dapat dilihat dari nilai penting jenis (IVi) dan keberadaan spesies ini di hampir setiap stasiun pengamatan kecuali pada stasiun III genus Sonneratia spp., dan stasiun VI dan VIII genus Avicennia spp. Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. Dominansi Rhizophora spp. disebabkan karena substrat yang berlumpur dan agak berpasir. Menurut Kusmana et al. (2003) Rhizophora stylosa tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir, dan batu, sedangkan Rhizophora mucronata menyukai areal yang lebih toleran dengan substrat yang lebih keras dan pasir.

d. Tingkatan SemaiDari analisis vegetasi tingkatan semai

yang memiliki nilai penting jenis (IVi) yang tinggi di setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (120,170) pada

191

Page 8: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

stasiun I, Rhizophora Mucronata (165,057) di stasiun II, Sonneratia alba (86,366) pad stasiun III, Rhizophora stylosa (154,339) pada stasiun IV, Avicennia marina (68,29) pada stasiun V, Rhizophora mucronata (97,173) di stasiun VI, Rhizophora mucronata (65,420) pada stasiun VII, dan Rhizophora stylosa (77,436) di stasiun VIII.

Keanekaragaman Vegetasi Mangrove

Indeks keanekaragaman spesies merupakan karakteristik yang unik dan tingkat komunitas dalam organisme yang diekspresikan melalui struktur komunitas. Indeks keanekaragaman merupakan para-meter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tum-buhan, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan faktor-faktor lingkung-an atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunutas (Fachrul, 2007)

Nilai indeks keanekaragaman (H’) vegetasi mangrove di Kecamatan Gending pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,91-1,69. Dapat diamati bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun VIII dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada stasiun IV. Tingginya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun VIII karena jumlah spesies mangrove yang ditemukan paling banyak dibandingkan dengan jumlah spesies yang ditemukan pada stasiun yang lain. Sedangkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun IV dikarena spesies mangrove yang ditemukan hanya 3 jenis.

Secara keseluruhan nilai indeks keanekargaman hampir sama besar di setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan kriteria yang dikemukan oleh Shannon-Wiener dalam Fachrul (2007) bahwa secara umum nilai indeks keanekaragaman vegetasi mangrove di Kecamatan Gending adalah sedang melimpah dengan nilai H’ 1 ≤ H’≤ 3.

Parameter Lingkungan Vegetasi Mangrove

Dalam penelitian ini, pengamatan parameter lingkungan yang diukur di Kecamatan Gending meliputi tekstur tanah, pH tanah, suhu, salinitas dan bahan organik.

Analisis Faktor Partisipasi Masyarakat

Dari hasil analisis faktor menggu-nakan SPSS 15 diperoleh tiga faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu:

a. Faktor ManajemenFaktor manajemen terdiri dari 9

(sembilan) variabel yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) masyarakat menjadi mitra dalam pengelolaan hutan mangrove; (2) masyarakat ikut mengelola hutan mangrove; (3) pembuatan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove; (4) masya-rakat berproses dalam pengelolaan hutan mangrove; (5) manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) dalam penge-lolaan hutan mangrove; (6) partisipasi masyarakat secara institusional dan administratif dalam pengelolaan hutan mangrove; (7) metode manajemen dalam pengelolaan hutan mangrove; (8) tujuan dalam pengelolaan hutan mangrove; dan (9) masyarakat sebagai manager/ pelaksana / pemroses dalam pengelolaan hutan mangrove.

Hasil interprestasi dapat menjelaskan 46,309% dari keseragaman total, artinya keputusan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove 46,309 % ditentukan oleh faktor manajemen.

b. Faktor PengetahuanFaktor pengetahuan terdiri dari 4

(empat) variabel yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tingkat pendidikan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove; (2) manfaat hutan mangrove

192

Page 9: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

yang diperoleh bagi masyarakat; (3) dukungan / fasilitas yang diberikan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove; dan (4) sistem dalam penge-lolaan hutan mangrove. Dari hasil interprestasi dapat menjelaskan 19,286 % dari keseragaman total, artinya keputusan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove 19,286 % ditentukan oleh faktor pengetahuan.

c. Faktor SikapFaktor sikap terdiri dari 2 (dua)

variabel yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan hutan mangrove; dan (2) regenerasi alam dalam pengelolaan hutan mangrove. Dari hasil interprestasi dapat menjelaskan 9,178 % dari keseragaman total, artinya keputusan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove 9,178 % ditentukan oleh faktor sikap.

Pengelolaan Hutan Mangrove di Kecamatan Gending

Pengelolaan ekosistem mangrove didasarkan atas tiga tahapan utama yaitu isu-isu yang ada. Isu-isu tersebut adalah: isu ekologi, isu ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum serta strategi dan pelaksanaan rencana. Dalam hal ini strategi dan pelaksanaan rencana adalah dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, memiliki dua konsep utama yang ditetapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang

pantai dan tepi sungai. Sedangkan usaha rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik.

Pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat yaitu Kelompok Rehabilitasi Hutan Mangrove “Bentar Indah”. Kelompok Rehabilitasi Hutan Mangrove “Bentar Indah” meru-pakan kelompok penggerak yang dibentuk pada tanggal 14 Agustus 2004. Bentuk pengelolaan yang dilakukan Kelompok ini adalah merehabilitasi mangrove di Desa Curah Sawo Kecamatan Gending. Kegiatan yang pernah dilakukan antara lain: (1) Pada bulan Oktober 2004 melakukan kegiatan penanaman dengan luas 7 ha, dengan jumlah bibit 17.500 dengan jarak tanam 2 x 2 m; (2) pada tahun berikutnya 2005 melakukan penanaman seluas 16 ha dengan jumlah bibit 40.000 dengan jarak tanam 2 x 2 m; (3) pada tahun 2006 menanam seluas 15 ha dengan jumlah bibit 37.500 batang dengan jarak tanam 2 x 2 m; (4) kegiatan pada tahun 2007 menanam bibit campuran dari jenis Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba seluas 12 ha; (5) pada tahun 2008 melaksanakan kegiatan penanaman dengan cara acak atau tambal sulam.

Proses penanaman mangrove biasa-nya dilakukan pada musim penghujan, karena pengaruh faktor suhu kelembaban. Untuk proses penanaman Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia sp. hampir sama, yaitu sebagai berikut:1. Langkah pertama yaitu pengadaan bibit

yang sudah siap dalam poly bag dan siap untuk ditanam serta memper-siapkan pembuatan stick penyangga secukupnya yang terbuat dari kayu atau bambu berukuran panjang ± 30 cm serta tali rafia secukupnya.

2. Langkah kedua membuat kubangan di tanah dengan diameter 15-20 cm dan dengan kedalaman ± 20-30 cm.

193

Page 10: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

3. Langkah ketiga dimasukkanya bibit tanaman mangrove yang sudah siap dalam poly bag ke dalam tanah yang sudah disiapkan.

4. Langkah selanjutnya adalah pema-sangan penyangga pada sisi-sisi bibit tanaman mangrove tadi dengan stick yang terbuat dari kayu atau bambu, kemudian ujung yang di atas disandarkan pada batang bibit tanaman mangrove dan ditali dengan rafia. Sedangkan ujung yang satunya, yang berada dibawah ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman secukupnya.

Proses penanaman bibit tanaman mangrove seperti di atas sudah diterapkan pada mansyarakat di Kecamatan gending, terutama masyarakat Desa Curah Sawo, Pejurangan, gending, Pesisir dan Desa Klaseman. Tetapi ada satu tipe pananaman tanaman mangrove dengan dimasukkan bibit tanaman mangrove dalam bambu. Tipe penanaman ini baru dilakukan oleh masyarakat Desa Curah Sawo, tujuan dari dimasukkannya bibit tanaman mangrove dalam bambu yang sudah dilubangi adalah guna mencegah patahnya batang bibit tanaman mangrove akibat hempasan gelombang atau dimakan hewan. Cara

penanaman bibit mangrove dengan pola tanam dalam bambu adalah sebagai berikut:1. engadaan bibit yang sudah dalam poly

bag dan siap ditanam.2. Persiapan pembuatan bambu sebagai

alat bantu penanaman dengan panjang 80-100 cm diameter 5-8 cm dan bagian tengahnya dilubangi.

3. Pembuatan stick kayu dengan lebar 5 cm dan panjang 80-100 cm.

4. Membuat lubang tanam dengan kedalam 10-15 cm pada lahan pantai yang akan ditanami.

5. Bibit poly bag dikeluarkan dan ditanam pada lubang tanah yang sudah dibuat, kemudian ditancapkan bambu yang sudah dilubangi, sehingga bibit tanaman mangrove berada di dalam bambu.

6. Stick ditancapkan disekeliling tanaman dan diikat dengan tali rafia.

Selain melakukan rehabilitasi, masya-rakat Kecamatan Gending juga melakukan pemeliharaan dan pengawasan. Peme-liharaan dan pengawasan yang ditujukan terhadap tanaman mangrove berupa observasi terhadap keadaan tanaman di lahan hutan mangrove, guna menjaga apakah tanaman mangrove masih dalam keadaan yang baik atau tidak, terutama tanaman baru dari hasil rehabilitasi yang rentan terhadap gangguan hama. Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan beberapa kawasan rehabilitasi mangrove banyak terserang hama berupa tritip yang menempel pada batang mangrove yang menyebabkan pertumbuhan tanaman mangrove menjadi lambat akibat tidak munculnya akar baru yang berfungsi menyerap nutrisi dan menjaga tumbuhan mangrove dari hempasan ombak. Menurut beberapa praktisi, apabila tanaman ditumbuhi tritip langkah yang efektif untuk menyelamatkan tanaman tersebut adalah dengan cara menghilangkan tritip secara manual yaitu dengan dikerok dengan pisau secara perlahan-lahan agar tidak merusak kulit batang mangrove.

Untuk pemeliharaan tanaman baru, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Gending adalah dengan membuat penyangga pada batang tanaman mangrove baru dengan stick yang terbuat dari kayu atau bambu yang ditalikan pada batang tanaman mangrove dan ditancapkan pada substrat tempat tanaman itu tumbuh. Selain itu juga dilakukannya penjarangan pada tanaman mangrove yang ketinggianya mencapai ± 1 meter, hal ini dimaksudkan agar tanaman mangrove yang lain mendapatkan asupan energi yang cukup guna proses fotosintesis yang berdampak pada perkembanganbiakan selanjutnya.

Sedangkan pengawasan yang dilakukan terhadap pengguna hutan mangrove masih sebatas dengan pende-katan emosional, yaitu dengan cara menegur dan memperingatkan kepada

194

Page 11: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

pihak-pihak yang seenaknya menebang pohon dan pihak-pihak yang mencari cacing rotus di dalam kawasan hutan mangrove. Pengawasan dilakukan oleh seluruh masyarakat pesisir Kecamatan Gending. Jika masyarakat melihat pelanggaran tersebut, masyarakat dapat langsung melapor kepada salah satu pengurus kelompok dan kemudian pengurus kelompok akan memberikan teguran ataupun penyitaan alat yang digunakan dalam penebangan pohon maupun alat pencari cacing.

Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan perlibatan masyarakat merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan berbagai kepentingan (pemerintah dan masyarakat), ilmu pengetahuan dan pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan masyarakat umum. Pengelolaan berbasis masyarakat disini adalah bahwa penggunaan dari sumberdaya yang utama yaitu masyarakat dan harus menjadi aktor pengelola sumberdaya tersebut.

Perlibatan masyarakat diperlukan untuk kepentingan pengelolaan secara berkelanjutan pada sumberdaya, dan pada umumnya kelompok masyarakat yang berbeda akan berbeda pula dalam kepentingannya terhadap sumberdaya tersebut. Pengelolaan sumberdaya tidak akan berhasil tanpa mengikut sertakan semua pihak-pihak yang memiliki kepentingan.

Suatu pembangunan berbasis masya-rakat dapat terbentuk, jika ada suatu kelompok berkolaborasi, karena mereka sadar tidak dapat mengerjakan suatu tugas sendiri-sendiri dan tidak dapat mencapai tujuan secara individual baik karena sifat dari tugas atau tujuan itu sendiri, maupun karena keterbatasan sumber-sumber. Kebersamaan dan kesamaan dalam perhatian, kepedulian, biasanya membuat

masyarakat bersatu. Jika kebersamaan itu melembaga, dan menimbulkan kesetia-kawanan, rasa saling percaya, terciptanya aturan-aturan main, maka inilah dasar dari terbentuknya basis masyarakat. Sehingga strategi yang tepat perlu dilakukan untuk menangani isu-isu yang mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan bentuk nyata dari masyarakat pesisir itu sendiri. Adanya partisipasi dari masyarakat merupakan hal yang penting dalam upaya pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat. Banyak program dan kegiatan pengelolaan yang kurang berhasil dikarenakan pelaksanaan program yang gagal melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal program.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove pada dasar-nya adalah upaya melibatkan masyarakat agar secara sadar dan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan mangrove. Keterlibatan dapat terwujud apabila seseorang merasa bahwa keikutsertanya dapat memberikan manfaat bagi dirinya, dimana manfaat tersebut tidak hanya dalam bentuk fungsi hutan mangrove yang sifatnya dirasakan dalam jangka pendek. Berdasarkan hasil analisis faktor partisipasi dan pengelolaan hutan mangrove yang terdapat di Kecamatan Gending, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.

Faktor ManajemenSeperti yang kita ketahui bersama

pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu program apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana program hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan program semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi

195

Page 12: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

masyarakat, padahal idealnya posisi masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan program. Masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pengelolaan hutan mangrove tersebut. Masyarakat sebagai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pe-manfaatannya secara berkelanjutan semua-nya dipercayakan kepada masya-rakat, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Menurut Raharjo (1996) pengelolaan berbasiskan masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola hutan mangrove di suatu kawasan. Mengelola berarti masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merenca-nakan, mengimplementasikan, meng-evaluasi maupun memonitor sesuatu yang menjadi kebutuhannya.

Dalam rangka menjalankan program pengelolaan hutan mangrove dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat perlu dibentuk suatu Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Di Kecamatan Gending sendiri telah memiliki suatu kelompok swadaya masyarakat (KSM) yaitu kelompok rehabilitasi hutan mangrove “Bentar Indah”. Perlibatan masyarakat secara institusional dan administratif di dalam Kelompok menjadi sangat penting karena melalui KSM dapat dilaksanakan program rehabilitasi hutan mangrove, penyebarluasan informasi per-aturan perundang-undangan, penyebar-luasan informasi teknik budidaya per-ikanan, serta memudahkan dalam meng-gerakkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove.

Informasi perencanaan rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove (lokasi, luas, tujuan, sasaran, komponen yang terlibat, pelaksanaan, dan sebagainya) perlu disampaikan kepada masyarakat baik melalui aparat desa atau melalui KSM agar terdapat pegangan informasi yang jelas bagi masyarakat. Hal ini penting agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat,

bahkan diharapkan semakin mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam penge-lolaan hutan mangrove. Sebagai contoh masyarakat atau KSM melakukan kegiatan penanaman mangrove, sebelum pe-laksanaan penanaman kelompok harus memiliki pengetahuan tentang teknik rehabilitasi mangrove seperti syarat-syarat tumbuh, kondisi ideal untuk tumbuh, seleksi buah dan cara-cara penanaman mangrove. Berbekal informasi ini ke-mudian kelompok merencanakan kegiatan penanaman, seperti lokasi dan waktu penanaman serta yang terlibat dalam penanaman. Pelaksanaan kegiatan pena-naman mangrove dikoordinir oleh kelompok dengan melibatkan banyak orang, termasuk wanita dan anak-anak sekolah. Sebelum penanaman, kelompok memberikan penjelasan pada para peserta mengenai cara-cara penanaman. Pada penanaman ini kelompok menyediakan buah mangrove, ajir, makan siang dan baju kaos. Dari penanaman tahap pertama, kemudian berlanjut ke penanaman tahap kedua, ketiga dan seterusnya. Pada beberapa kegiatan pananaman diperlukan suatu kerjasama antar pemerintah daerah, LSM, dan kelompok masyarakat. Kerja-sama diperlukan untuk memperoleh bantuan dana dan penguatan kapasitas kelompok.

Selama pelaksanaan kegiatan, ke-lompok masyarakat melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin dan berkala terhadap kegiatan-kegiatan yang berjalan. Monitoring dilakukan untuk memantau permasalahan-permasalahan yang muncul selama kegiatan berjalan di tiap tahapan dan mencari alternatif pemecahannya. Tidak jarang dari hasil monitoring memaksa kelompok untuk menyesuaikan atau merubah rencana kegiatan pada tahap-tahap tertentu sesuai dengan kondisi lapangan. Segenap masukan dan hasil pengamatan dari monitoring kemudian di evaluasi. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui segala kelemahan dan kelebihan dari kegiatan yang dijalankan guna perbaikan di masa mendatang. Selain

196

Page 13: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

evaluasi juga dilakukan untuk menilai dan mencocokkan tujuan yang telah ditetapkan dan bahkan menyesuaikan tujuan di tengah-tengah pelaksanaan kegiatan.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan butuh waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan hutan mangrove sangat memakan waktu dan dapat memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi hutan mangrove. Bengen (2001) menyebutkan masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove. Namun hal diatas sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen msyarakat yang kuat yang merupakan jaminan keterbelanjutan rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove. Upaya perlibatan masyarakat yang berarti dan berkelanjutan dalam pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya pesisir tidak dapat dicapai hanya melalui satu program yang dibatasi oleh ruang lingkup dan area serta kerangka dan tenggat waktu yang terbatas. Dengan demikian, strategi yang ditetapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.

Faktor PengetahuanDalam upaya pengembangan par-

tisipasi masyarakat yang perlu juga diperhatikan adalah faktor pengetahuan. Pengembangan faktor pengetahuan dapat dilakukan memalui kegiatan pendidikan. Kegiatan pendidikan merupakan upaya penyadaran masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove, pelestarian dan re-habilitasinya, serta pentingnya masyarakat berkelompok untuk menghadapi per-masalahan-permasalah mereka. Pendi-

dikan yang dilakukan lebih bersifat non formal melalui pertemuan-pertemuan / diskusi-diskusi. Dalam kegiatan ini diharapkan dukungan/fasilitas masyarakat dengan mengundang berbagai wakil masyarakat seperti tokoh-tokoh masyarakat formal dan informal, guru, ketua RT/RW, pedagang, petani tambak dan nelayan. Sebagai contoh pada pertemuan tersebut diidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat, terutama me-nyangkut pertumbuhan dan kemajuan desa, serta kegiatan pertambakan dan perikanan pada umumnya. Topik-topik yang di-bicarakan dianalisis dengan membuat perbandingan antara kondisi dahulu dengan sekarang, dan mendiskusikan mengapa perubahan-perubahan tersebut terjadi. Dari pertemuan ini digambarkan oleh peserta berbagai permasalah yang dihadapi, seperti adanya abrasi, gagal budidaya udang, menurunnya produktifitas tambak dan sebagainya. Paparan permasalahan ini dibahas untuk mencari berbagai penyebabnya yang diantaranya dalah karena rusaknya hutan mangrove disepadan pantai desa. selanjutnya dicoba mencari dan menganalisis beberapa alternatif jalan keluar. Proses ini terus berlanjut sampai pada penerimaan ide bahwa pengelolaan mangrove akan memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat seperti, pertambakan dan perikanan serta dapat mencegah abrasi yang telah merusak tambak masyarakat.

Setelah masyarakat termotivasi untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan mangrove, tahap berikutnya adalah mem-berikan pelatihan teknis dan manajemen. Tujuan dari pelatihan dimasudkan adalah memberikan pengetahuan dan ke-trampilan terkait dengan pengelolaan kawasan hutan mangrove. Materi pelatihan yang harus disampaikan adalah: Manajemen pengelolaan kawasan hutan

mangrove yang berkelanjutan. Teknik rehabilitasi, perawatan dan

perlindungan tanaman mangrove. Teknik budidaya ikan dan non ikan di

kawasan mangrove.

197

Page 14: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

Teknik penangkapan ikan/non ikan di kawasan mangrove.

Metode pelatihan dikemas dalam bentuk praktek dilokasi kawasan mangrove. Untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat, setelah pelatihan ketrampilan tersebut, pemerintah perlu memberikan paket percontohan usaha pemanfaatan kawasan hutan mangrove. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain.

Faktor SikapHingga saat ini, upaya memper-

tahankan kelestarian fungsi dan manfaat hutan mangrove atau kawasan hutan payau oleh pemerintah daerah tampaknya masih belum berjalan dengan semestinya. Masih banyak benturan-benturan kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukan kawasan mangrove. Sikap pandang masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove masih lebih dominan pada hal yang berbau ekonomi atau yang menghasilkan uang saja. Oleh karena itu, masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.

Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai “kuli” lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut

menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai-ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Untuk mencegah hal itu diperlukan suatu aturan tertulis, dimana aturan tersebut memuat sanksi-sanksi yang dibuat masyarakat disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Gending.

Dengan kebijaksanaan dan peraturan yang tepat, masih dimungkinkan untuk menjaga kelestarian mangrove, tidak hanya sekedar memperhatikan namun juga perlu tindakan nyata dalam melestarikan. Pemanfaatan mangrove haruslah sebijaksana mungkin tanpa harus merusak, namun kita bias terus- menerus mendapatkan keuntungan darinya.

KESIMPULAN

1. Vegetasi mangrove terdiri atas tujuh spesies dari tiga famili, yaitu famili Avicenniaceae (Avicennia alba dan Avicennia marina), famili Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Bruguiera gymnorrhiza), dan famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba). Nilai indeks keanekaragaman (H’) vegetasi mangrove berkisar antara 0,91-1,69. Kondisi kualitas habitat mangrove dicirikan oleh tekstur tanah pasir berlempung, lempung berpasir dan lempung liat berpasir; pH tanah 6,6-7,1; suhu 29-31oC; salinitas 27-31 ppt; dan kandungan bahan organic tanah 1,09-7,65 %C.

2. Tiga faktor pengambilan keputusan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove adalah faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap.

3. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan masyarakat meliputi rehabilitasi, perawatan dan pengawasan. Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove berbasis

198

Page 15: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

masyarakat diperlukan partisipasi masyarakat secara aktif dengan memperhatikan faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Aksornkoae, S. 1989. Management and Conservation of Mangrove Resource for coastal Development in the Southeast Assia Nations in Coastal Area Management in Southeast Asia: Policies, Management Strategies and Case Studies (Editor: Chua Tia Eng and Daniel Patty). ASEAN-USCRM Project.

Aliadi, A., B. Widjarjo., G. Gunawan., J. Moeljawaty dan W. A. Djatmiko. 1994. Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan: Kasus di Ujung Kulon-Jawa Barat; Tenganan-Bali; dan Krui-Lampung. WALHI dan FoE Indonesia.

Barkey, R. 1990. Mangrove Sulawesi selatan (Struktur, Fungsi dan Laju Degradasi). Prosiding Seminar Keterpaduan Antara Konservasi dan Tata Guna Lahan Basah di Sulawesi Selatan. LIPI-Pemda Sulawesi Selatan.

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Istitut Pertanian Bogor.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –

Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Butar-butar, M. 1998. Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Laut di Daerah. Prosiding Konferensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, IPB. 19-20 Maret 1998.

Dahuri R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1986. Survey Manual For Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project Living Coastal Resources.

Erftemeijer, P. L. A and Bualung, A. 1998. Participation of Local Communities in Mangrove Forest Rehabilitation in Pattani Bay, Thailand: Learning from Successes and Failures. Second International Conferebce on Wetlands and Development, Dakar Senegal.

Harahab, N. 2008. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.

Hutchings, P and P. Saenger. 1987. Ecology of mangrove. University of Queensland Press, Australia.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Meme-lihara dan Melestarikan Ekosistem Hutan Bakau. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Nugroho. B, F. Dwi Joko Priyono, J. Tetalepta, N. L Nurida, R. Hidayati, Rustamsjah, Wawan. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir Untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam Yang Berkelanjutan. Falsafah Sains Institut Pertanian Bogor. Bogor

Noor,Y. R, Suryadiputa, I.N. dan M. Khazali. 1999. Panduan Pengenalan

199

Page 16: pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat

AGRITEK Vol. 18 No. 2 April 2010 ISSN. 0852-5426

Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Program. Bogor.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Oleh H. Mohammad Eidman, Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Pariwono, J. I. 1996. Dinamika Perairan Pantai di Daerah Hutan Mangrove. Kumpulan Makalah Pelatihan Pelestarian Dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu Dan Berkelanjutan.PPLH – LP UNIBRAW. Malang.

Pramudji. 2001. Dinamika Areal Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Teluk Kotania, Seram Barat. Oseana. Volume XXVI (3). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya.

Rahardjo, Y. 1996. Community Base Management di Wilayah Pesisir Indonesia. Prosiding Pelatihan ICZPM, PKSPL IPB dan Ditjen Bangda Depdagri.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi.LIPI. Jakarta.

Saenger, P., E. J. Hegerl and J. D. S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. IUNC Commission on Ecology.

Soeroyo. 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin Ilmiah Instiper Duta Rimba Volume 4 No 2. Fakutas Kehutanan UGM. Jogjakarta.

Sunoto. 1997. Sistem Masyarakat Pesisir dan Strategi Pengembangannya. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, angkatan I. PKSPL-IPB dan Ditjen Bangda Depdagri. Bogor.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Belajar. Yogyakarta

Tomascik. J. W., A.J. Mah, A.Nontji, M. K. Mosa. 1997. The Ecology Of The Indonesian Seas. Part Two. Periplus Edition. Kanada.

200