pengelolaan keuangan desa pasca uu no. 6 tahun 2014
TRANSCRIPT
ARTIKEL
16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014:
Potential Problems and Solutions
Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis
Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak:
Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke-
kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal
yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me-
nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan
kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap.
Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada
risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang
memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan
baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan
kapasitas serta kesadaran aparatur desa.
Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan
Abstract:
The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until
then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most
talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people
hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.
Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that
village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency
of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective
which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly,
policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed.
Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management
PENDAHULUAN
Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU
Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-
buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-
jakan mengenai desa. UU tersebut merupa-
kan balikan paradigmatis (paradigmatic
turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-
merintah terhadap desa sebagai satuan
masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-
dang sebagai subjek pembangunan dengan
kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-
nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing
community dan self local government diakui.
Sementara melalui asas subsidiaritas, desa
diberi kewenangan untuk menyelenggarakan
empat domain urusannya secara penuh,
yakni penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Sebagai satuan masyarakat dengan seja-
rah panjang yang sudah ada sebelum Repu-
blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa
kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya
merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan
disahkan pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung
dalam UU Desa sesungguhnya berselaras
pula dengan visi-misi pemerintahan Joko
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 17
Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacita-
nya memuat ikhtiar “membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-
daerah dan Desa dalam kerangka Negara
Kesatuan.”
(http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J
okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi
tersebut berusaha membalik desa yang
selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan
obyek pembangunan yang pasif sebagai
penonton pembangunan menjadi entitas
yang menjadi lebih mandiri, berdaulat,
demokratis, dan sejahtera.
Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan
berarti perdebatan selesai. Banyak pakar,
pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan
hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah
roh yang ada di dalamnya didorong oleh
pilihan democratic driven (pokoknya proses
demokratisasi pembagian kue pembangunan
sudah didistribusikan hingga tingkat desa)
atau economic driven (berorientasi mencari
pengungkit pemberdayaan ekonomi yang
berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7),
apakah UU Desa mengadopsi paradigma
“desa membangun” atau “membangun desa”
atau gabungan dari keduanya?, apakah UU
Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa
dan dengan demikian memunculkan rezim
desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-
pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-
ran implementasi: sudahkah pemerintah
desa dan tingkatan pemerintah di atasnya
benar-benar siap melaksanakannya?
Sementara pada aras kelembagaan, per-
debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-
nangan antara Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) dengan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-
migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing
merasa yang paling berhak mengurus desa
dengan mangajukan logika dan argumennya
masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-
kan selama hampir enam bulan, polemik ter-
sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah
kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo
menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015
tentang Kemendagri dan Perpres No. 12
Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai
pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014
tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet
Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen)
Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe-
nang mengurusi pembinaan pemerintahan
desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba-
ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka-
wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe-
nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin-
tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian
kerja semacam ini, tidak muncul lagi
instrumen kebijakan dari kementerian yang
menerobos lingkup wewenangnya, seperti
misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014
tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski
demikian, ada juga yang berpendapat bahwa
format pembagian kerja semacam itu
sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo-
laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste-
mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara
menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda-
gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka
otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi-
kannya unit pemerintahan paling rendah.
Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan
bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang otonom dalam NKRI.
Namun, dari berbagai isu dan tema di
seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang
lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana
desa. Sejalan dengan pengakuan dan
perhatian besar yang diberikan kepada desa,
pendanaan yang diberikan kepadanya pun
meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu
pada waktu RUU Desa masih dibahas ada
wacana bahwa kelak setiap desa akan
mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun.
Isu ini tentu menarik sebagai janji politik
yang manis, sehingga tak heran bahwa kala
itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi
pimpinan panitia khusus (pansus) ketika
pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012
(Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU
Desa disahkan dan musim kampanye politik
untuk pemilihan umum presiden 2014
dimulai, calon presiden berlomba-lomba
menjanjikan akan memberikan miliaran
rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah
mengabaikan fakta siapapun yang terpilih
dana desa akan tetap turun karena itu
ARTIKEL
18 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan
terhadap iming-iming dana desa juga dite-
ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan
usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-
tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada
awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015
(http://www.koran-
sindo.com/read/964858/149/dana-desa-
picu-tingginya-pemekaran-1424055604,
diakses 9 Juli 2014).
Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah
demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU
Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi
anggaran yang peruntukannya langsung ke
Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)
dari dan di luar dana Transfer Daerah (on
top) secara bertahap.” Artinya, pemberian
dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa
baru akan diberlakukan di masa depan
setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada
APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana
desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1
persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000
triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya
mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang
disalurkan selama tiga tahap pada minggu
kedua bulan April, Agustus, dan Oktober.
Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093
mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017
persentase 10 persen tersebut akan
dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22
Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.
60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa
pengalokasian dana desa untuk tahun
anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3
persen, pada tahun anggaran 2016 paling
sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada
tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10
persen dari anggaran transfer ke daerah.
Meskipun dana desa yang diperoleh desa
pada tahun ini masih terbatas, isu tentang
pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan
karena sebesar apa pun dana publik yang
diterima oleh sebuah entitas harus diperta-
nggungjawabkan secara transparan dan
akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya
hanyalah sebagian saja dari total pendapatan
yang diterima desa untuk dikelola dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis
dari kelompok pendapatan desa yang
digolongkan sebagai transfer bersama
dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari
hasil pajak daerah kabupaten/kota dan
retribusi daerah (PDRB), dan bantuan
keuangan dari APBD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga
pos pendapatan asli desa (PAD) dan
pendapatan lain-lain. Salah satu jenis
pendapatan dari kelompok transfer yang
besar, bahkan lebih besar dari dana desa,
adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan
sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data
yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana
dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya,
Kabupaten Sleman tahun 2015 ini
mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per
desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta
per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp
300 juta per desa. Sementara dari PDRB
tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total
dana yang akan masuk ke desa tahun ini di
luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar
Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015).
Total pendapatan desa akan semakin
bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana
desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016
jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47
triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.1
Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng
(2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa
di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44
triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6
triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).
Sementara Farouk Muhammad mengkalkula-
si bahwa pada 2017 minimum per desa akan
memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau
lebih (Muhammad, 2015: 6).
1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas, 15 Agustus 2015).
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 19
Jumlah pendapatan yang diterima desa,
baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-
tahun mendatang, dengan demikian dapat
dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam
menggunakan dana tersebut secara bertang-
gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-
ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-
puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-
bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan
dana desa bak memberi uang dari langit ke
kerumunan massa di mana masyarakat akan
saling berebut dan bertengkar untuk menda-
patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya
tak punya tradisi akuntabilitas
(http://www.koran-
sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-
dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-
1423968895, diakses 9 Juli 2015).
Karena khawatir bahwa dana desa dapat
menjadi jebakan yang menjerat kepala desa
untuk korupsi, baik secara sengaja maupun
tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan
mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-
waban anggaran, maka berbagai pihak pun
menyerukan solusi, misalnya dengan usulan
agar pada masa transisi (tahun pertama dan
kedua) pemerintah dan penegak hukum
jangan terlalu kaku dalam menerapkan
pengawasan dan penegakan hukum, harus
ada langkah persuasif jika pelanggaran
sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6).
Ada juga usulan untuk mempertanggungja-
wabkan dana desa cukup dengan bukti yang
menunjukkan dana telah masuk ke rekening
kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana
itu sebagai anggaran dalam kelompok mata
anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial.
Selanjutnya, urusan selesai begitu dana
diterima desa (Padjung, 2015: 7).
Kementerian yang mengurusi desa juga
melakukan berbagai upaya untuk mencegah
dana desa disalahgunakan atau dikelola
dengan tidak mengikuti kaidah yang benar.
Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-
wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-
des PDTT telah melatih para aparat desa se-
cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-
matika dalam membuat laporan penggunaan
keuangan desa secara benar. Kemendagri
juga akan memberikan pelatihan kepada ke-
pala desa dan aparat desa untuk peningkatan
kapasitas dalam penyusunan anggaran dan
pengelolaan anggaran. Satu desa minimal
mengirimkan tiga perwakilan sehingga
seluruhnya ada 273.000 orang yang akan
ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda-
gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu-
angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau-
dit dana desa secara langsung agar mengizin-
kan penyederhanaan pelaporan keuangan
bagi desa sehingga dalam membuat laporan
tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar
saja (http://www.koran-
sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-
audit-anggaran-desa-1434331148, diakses
10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT
menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit
dan pelaporan serta pelatihan administrasi
kepada aparat desa agar dana desa terkelola
secara akuntabel dan transparan
(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-
penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa,
diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan
perekrutan untuk pendamping desa yang
dapat membantu pemerintah desa mengelola
keuangannya.
Namun, ada juga kalangan yang meyakini
bahwa desa telah siap menerima dan menge-
lola dana desa. Menurut Padjung, pengelola-
an uang dalam jumlah yang relatif besar
sesungguhnya bukan barang yang sama
sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat,
melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan
Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa
mengelola bantuan langsung masyarakat.
Selama ini juga telah ada ADD yang
disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman
melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang
telah menyentuh 67.108 desa juga telah
memberikan pembelajaran kepada masyara-
kat desa mengenai arti penting akuntabilitas
dan transparansi pengelolaan dana, termasuk
tentang pentingnya menempelkan fotokopi
rekening dan rincian penggunaan dana di
papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukas-
manto memberikan bukti lain bahwa desa
ARTIKEL
20 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
sesungguhnya mampu mengelola keuangan.
Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan
yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun.
Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun
2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto,
2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa
mampu mengelola dana dengan baik karena
bila tidak maka secara logis tidak mungkin
pendapatan yang diberikan kepadanya me-
ningkat.
Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan
keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju-
annya adalah untuk memberikan pemaham-
an secara komprehensif mengenai pengelola-
an keuangan desa, substansi peraturan yang
mengaturnya, potensi permasalahan, dan
solusi untuk menghindari problem yang
mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan
tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai
berikut. Pertama, dipaparkan mengenai
keuangan desa secara rinci, mulai dari
peraturan yang menjadi landasannya dan
alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai
dari awal sampai akhir. Dengan demikian,
pembaca dapat memahami kerangka legal,
aturan main, dan logika dari pengelolaan
keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut-
nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari
pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari
berbagai aspek, mulai dari tata laksana,
kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman
atas risiko ini memampukan pembaca untuk
melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis
dari konstruksi yang membentuk tatanan
pengelolaan keuangan desa. Bagian ini
banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah
dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya,
dituliskan mengenai dua isu penting yang
menjadi kunci dan faktor determinan yang
secara krusial memengaruhi keberhasilan
pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM,
yakni isu kompetensi kepala desa selaku
kuasa pengguna anggaran di desa dan isu
pendamping desa sebagai fasilitator yang
membantu segala permasalahan di desa,
termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan
2Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik
diakhiri dengan penutup yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi.
METODE
Data dan analisis yang menjadi bagian
dari hasil kajian ini didapatkan dengan
metode kajian pustaka (literary studies) dan
diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan
dengan mempelajari UU dan berbagai
peraturan terkait lain yang berhubungan
dengan pengelolaan keuangan desa, juga
berbagai artikel dan tulisan yang membahas
mengenai isu tersebut. Sementara diskusi
terbatas dilakukan untuk mendapatkan data
primer yang relevan dengan isu pengelolaan
keuangan desa dengan mengundang nara-
sumber dari kalangan kementerian, SKPD,
dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan
oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem-
baga Administrasi Negara (LAN) selama dua
kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli
2015 dengan peserta para peneliti di lingku-
ngan LAN.3
KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA
Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal
71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1),
dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah
semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai
keuangan desa dan hal lain yang terkait
(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015. 3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto (Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng.
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 21
dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60
Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu-
mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015
tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun
2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru-
bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola-
an Keuangan Desa, Permenkeu No.
241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan
Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/-
2014 tentang Pengalokasian Transfer ke
Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No.
93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo-
kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau-
an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes
PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa.
Mengenai pendapatan desa, seturut Per-
mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian
Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa
pendapatan desa terdiri atas tiga elemen,
yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha;
hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-
royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer
(terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan
keuangan APBD provinsi; dan bantuan
keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3)
pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan
sumbangan dari pihak ketiga yang tidak
mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang
sah).
Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis
pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa
Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda-
kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa
adalah dana yang bersumber dari APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me-
lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerin-
tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina-
an kemasyarakatan, dan pemberdayaan
masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah-
wa ADD adalah dana perimbangan yang dite-
rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa-
ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu-
sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya
tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo-
tensi menimbulkan kebingungan dan kesa-
lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar-
nya pernah muncul dan diatur dalam PP No.
72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-
ca bahwa pembedaan kedua jenis dana
tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa-
ya Kemendagri mengamankan dana desa
sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin-
tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem-
berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri
yang menangani urusan pemerintahan masih
mempunyai ruang yang luas untuk bekerja
karena dana desa tidak melulu dititikberat-
kan pada urusan pembangunan dan pember-
dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per-
mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe-
netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
(Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana-
pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa-
sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah
mengunci bahwa dana desa memang harus
diprioritaskan untuk membiayai pembangun-
an dan pemberdayaan masyarakat.
Terlepas dari masalah tersebut, dana desa
dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa
pendapatan desa yang dikelola dalam APB-
Des harus dikelola secara transparan, akun-
tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter-
tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda-
gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber
dari negara, maka pengelolaannya harus
mengikuti aturan main yang berlaku terkait
pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri
No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa
telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur
bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas
lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung-
jawaban.
Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan
keuangan desa dimulai dari perencanaan.
Pertama kali diadakan musyawarah desa
yang diselenggarakan oleh Badan Permusya-
waratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal
yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU
Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa
berupa perencanaan pembangunan desa
ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba-
ARTIKEL
22 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ngunan perencanaan desa (musrenbangdes)
yang diselenggarakan kepala desa dan pe-
rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me-
mbahas mengenai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam
tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah
Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se-
kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise-
pakati bersama oleh kepala desa dan BPD
paling lambat bulan Oktober dan hasil eva-
luasi dari bupati/walikota atau camat (yang
mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra-
perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper-
des APBDes tidak bertentangan dengan ke-
pentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat
ditetapkan.
Sebelum desa dapat menerima pencairan
dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota
harus mengesahkan APBD kabupaten/kota
dan peraturan bupati/walikota mengenai
tata cara pembagian dan penetapan besaran
dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun
2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No.
93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa-
ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan
terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada-
nya peraturan kepala daerah tersebut seba-
gai indikasi bahwa kabupaten telah siap
untuk menyalurkan dana sesuai peraturan.
Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/
kota yang belum menerima pencairan dana
desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun
karena belum menyerahkan persyaratan
tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num-
for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu-
paten Waropen, Kabupaten Supiori, Ka-
bupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mam-
beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu-
paten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Ka-
bupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten
Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas,
2 Juli 2015).4
4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa
Penggunaan dana desa dikelola oleh pe-
merintah desa melalui kuasa kepala desa dan
digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP-
BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan
APBDes disampaikan kepala desa kepada
bupati/walikota berupa laporan semester
pertama yang harus disampaikan paling
lambat akhir bulan Juli dan laporan semester
akhir tahun paling lambat pada akhir bulan
Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan,
kepala desa juga harus menyampaikan
laporan pertanggungjawaban realisasi pelak-
sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa
kepada bupati/walikota setiap akhir tahun
anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113
Tahun 2014).
Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan
keuangan desa? Pengawasan memegang pe-
ranan penting dalam memastikan agar pe-
ngelolaan dana desa berjalan dengan akun-
tabel, transparan, dan partisipatif demi ke-
maslahatan umum masyarakat desa. Penga-
wasan yang ketat, terkontrol, profesional,
dan berintegritas menjadi prasyarat penting.
Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya
diawasi secara berlapis oleh banyak pihak.
Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun
2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabu-
paten/Kota membina dan mengawasi pelak-
sanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam
hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan
penting sebagai leading institution ihwal pe-
ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se-
mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe-
ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP-
KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu-
angan desa secara sampling. Dana desa
menjadi ranah pengawasan mereka karena
untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 23
dana desa adalah uang negara yang bersum-
ber dari APBN sehingga pengelolaannya
harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan
kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak-
sanaan pembinaan dan pengawasan dana
desa, pemerintah pusat juga telah mem-
bentuk tim pengendali dana desa yang bera-
nggotakan pejabat lintas kementerian
(http://www.koran-
sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-
dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180,
diakses 10 Juli 2014).
POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN
KEUANGAN DESA
Sebagaimana telah disinggung sebelum-
nya, para pengamat terbelah dalam penilai-
annya atas pembagian dana desa, yakni me-
reka yang percaya bahwa dana desa dalam
jumlah yang besar belum tepat diberikan ke-
pada desa saat ini dan mereka yang percaya
bahwa desa telah mampu mengelola dana
desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan
Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan
paradoks dari ketentuan mengenai dana desa
tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi-
kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian
dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih
pemberdayaan desa. Beberapa peraturan
yang mengatur dana desa dipandang sebagai
bentuk birokratisasi baru karena terlalu me-
ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal
seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan
dan pertanggungjawaban dana desa, priori-
tas penggunaan dana desa, pendirian Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya.
Makna pemberdayaan desa yang menjadi in-
tensi normatif dari UU Desa menjadi poten-
sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub-
stantif adalah penguatan pengetahuan aparat
dan warga desa dalam pengambilan keputu-
san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan
dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito-
ring serta evaluasi penggunaan dana desa
yang partisipatif melibatkan warga desa.
Pada titik ini, paradigma “membangun desa”
yang bernuansa top-down menjadi terasa
lebih dominan daripada paradigma “desa me-
mbangun” yang lebih bottom-up sifatnya.
Kedua, dana desa meretas kesenjangan
struktural antara negara dengan desa tetapi
menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau
lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari
Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu-
sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih
dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma-
tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73
persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan
Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku
dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena
dana desa setiap kabupaten/kota dihitung
berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1)
PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak
berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa
ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa.
Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di
kedua pulau tersebut.5
Padahal, sesungguhnya desa yang terting-
gal lebih banyak berada di luar kedua pulau
ini sehingga dana desa seharusnya lebih
banyak terdistribusi di luar keduanya.
Dengan fakta ini, maka problem pemerataan
masih belum dapat diatasi.
Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai
antara harapan dan kenyataan. Dokumen
yang disyaratkan untuk pencairan dana desa
seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun
secara partisipatif dan transparan. Karena
keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat
secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa
konsultan, sehingga hanya segelintir warga
desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten-
tangan dengan harapan pemerintah bahwa
perencanaan desa hendaknya dilakukan se-
cara partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen
perencanaan juga belum tentu sesuai dengan
kebutuhan aktual masyarakat desa.
Berbagai paradoks di atas membuka tili-
kan kepada proposisi bahwa pengelolaan
dana desa rentan disalahgunakan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji-
annya menemukan 14 persoalan dana desa
yang berpotensi menjadi korupsi yang
terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi
5Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.
ARTIKEL
24 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan,
dan sumber daya manusia
(http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-
pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-
persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7
Juli 2015).
Pada aspek regulasi dan kelembagaan,
persoalan tersebut antara lain: 1) belum
lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-
laksanaan yang diperlukan dalam pengelo-
laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-
dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan
Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri;
3) formula pembagian dana desa dalam PP
No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-
paran dan hanya didasarkan atas pemerata-
an; 4) pengaturan pembagian penghasilan
tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP
No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5)
kewajiban penyusunan laporan pertanggung-
jawaban oleh desa tidak efisien akibat
ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Pada aspek tata laksana, terdapat lima
persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-
klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi
oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa
yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-
nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa-
ransi rencana penggunaan dan pertanggung-
jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan
pertanggungjawaban yang dibuat desa belum
mengikuti standar dan rawan manipulasi,
salah satunya disebabkan karena ketidakjela-
san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-
ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya
menggambarkan kebutuhan yang diperlukan
desa karena penyusunan tidak dilakukan
secara partisipatif.
Sementara pada aspek pengawasan, ter-
dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-
vitas inspektorat daerah dalam melakukan
pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-
an di desa masih rendah; 2) saluran pengadu-
an masyarakat tidak dikelola dengan baik
oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-
annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup
evaluasi dan pengawasan yang dilakukan
oleh camat belum jelas.
Sedangkan pada aspek sumber daya
manusia, terdapat potensi persoalan berupa
tenaga pendamping yang berpotensi melaku-
kan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya
pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa-
da program sejenis sebelumnya, PNPM Per-
desaan, di mana tenaga pendamping yang
seharusnya berfungsi membantu masyarakat
dan aparat desa justru melakukan korupsi
dan kecurangan.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian
yang serupa dengan KPK. Dalam kajian
FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan
dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia
anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana
desa dipakai untuk anggaran pilkada seren-
tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng-
gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di
desa; 4) aset desa tidak terinventarisir
dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis-
trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang
berdampak pada potensi penyalahgunaan
wewenang dan melanggar hukum; dan 6)
minimnya pengawasan dari masyarakat dan
pendamping (Kompas, 3 Juli 2015).
Dari berbagai kajian mengenai risiko
pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa
hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015
telah mengatur ulang mengenai pembagian
penghasilan tetap bagi perangkat desa dari
ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43
Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di
mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2)
bahwa penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa bagi desa yang ADD-nya
kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen,
kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen,
kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen,
dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30
persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81
ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD
sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60
persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50
persen dengan nominal minimal Rp 300 juta,
ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen
dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan
ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen
dengan nominal minimal Rp 360 juta. Keten-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 25
tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada
pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di
mana disebutkan bahwa paling banyak 30
persen dari APBDes digunakan untuk
penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa
dan perangkat desa, operasional pe-merintah
desa, tunjangan dan operasional BPD, dan
insentif rukun tetangga (RT) dan rukun
warga (RW).
Kemudian, terkait dengan formula pem-
bagian dana desa juga diadakan perubahan
seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun
2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014.
KPK menilai bahwa formulasi penentuan
besaran dana desa per kabupaten/kota pada
PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih
condong didasarkan pada pertimbangan pe-
merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90
persen dibagi secara merata kepada setiap
desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10
persen sisanya yang memperhitungkan
variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-
an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-
grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah
dana yang diterima setiap desa dalam satu
kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-
disi demografis, geografis, dan sosiologis an-
tara desa satu dengan yang lain bisa jadi
sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-
si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara
merata tersebut sesungguhnya hanya berla-
ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP
No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko
Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi
pertimbangan kepraktisan karena dikejar
waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-
terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-
an terkait tidak sanggup untuk menghitung
dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa
sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60
Tahun 2014 sebelum pencairan tahap
pertama dilakukan. Data yang paling susah
adalah data yang menyangkut IKG.
KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI
PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN
DESA YANG BAIK.
Kepala desa memegang peranan penting
dalam pengelolaan keuangan desa karena dia
merupakan pemegang kekuasaan pengelola-
an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya
tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas,
antara lain: menetapkan kebijakan tentang
pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana
Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD)
yang terdiri atas sekretaris desa, kepala
seksi, dan bendahara; menetapkan petugas
yang melakukan pemungutan penerimaan
desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan
yang ditetapkan dalam APBDes; dan
melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat
(2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).
Jelaslah di sini bahwa kepala desa
menjadi tumpuan utama untuk memastikan
apakah pengelolaan keuangan desa sudah
dijalankan sesuai dengan asas-asas dan
prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke-
pala desa sanggup menanggung tanggungja-
wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut
bisa saja beragam mengingat kualitas kepala
desa berbeda di desa satu dengan yang lain.
Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat
Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal
26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu
Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD
Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem-
berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa
di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di
bawah standar. Ada kepala desa yang korup
(menggunakan ADD untuk menutup hutang
kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik
terus dengan BPD sehingga telat atau gagal
menghasilkan APBDes dan perdes lainnya,
tidak paham perencanaan, bahkan ada yang
buta huruf.
Salah satu hal yang ditengarai menjadi
muara dari banyaknya kepala daerah yang
tidak kompeten adalah ketentuan yang ter-
maktub dalam Permendagri No. 112 Tahun
2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peratu-
ran tersebut tidak memberikan persyaratan
kompetensi bagi calon kepala desa menyang-
kut hal-hal substantif seperti memahami
(setidaknya secara teoretis) manajemen
kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan
keuangan, perencanaan pembangunan desa,
dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat per-
syaratan yang sifatnya normatif dan adminis-
ARTIKEL
26 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-
kan Pancasila, berpendidikan paling rendah
tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau
sederajat, berusia paling rendah 25 tahun
pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-
duduk dan bertempat tinggal di desa setem-
pat paling kurang satu tahun sebelum pen-
daftaran, tidak sedang menjalani hukuman
pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah
sebagai kepala desa selama tiga kali masa
jabatan, dan sebagainya.
Dengan persyaratan seperti di atas, tentu
tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala
desa yang lulus seleksi merupakan orang-
orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-
ni.6
Seharusnya, kepala desa dituntut dan di-
persyaratkan untuk memiliki kompetensi
dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-
nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana
desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin
untuk peningkatan kesejahteraan masyara-
kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-
ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-
bangunan yang semakin bertumpu kepada
desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-
calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-
fikasinya.
Penjaringan calon kepala desa yang ber-
kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh
masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-
kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia
dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-
rakat desa berkembang secara organis dan
demokratis, maka akan muncul pemimpin-
6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.
pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom-
peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut
telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak
modal sosialnya seperti individualisme, kese-
rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka
akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca-
lon-calon pemimpin asli yang berkualitas.
PENDAMPING DESA SEBAGAI AGEN
PEMBERDAYA
Pendampingan desa merupakan aspek la-
in yang berperan krusial dalam menentukan
terjaminnya pengelolaan keuangan desa se-
cara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014
menyebutkan bahwa pendampingan masya-
rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe-
rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan
dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro-
fesional, kader pemberdayaan masyarakat
desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu,
ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa
camat atau sebutan lain melakukan koor-
dinasi pendampingan masyarakat desa di
wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat
dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari
pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta.
Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko-
ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam-
pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke-
mendes PDTT.
Menarik untuk disoroti di sini adalah
tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh
masyarakat. Pendamping desa merupakan
aktor di tingkat masyarakat yang berperan
penting dalam mengawal pengelolaan keu-
angan desa. Mereka melakukan fasilitasi un-
tuk pemerintah dan masyarakat desa agar
kegiatan pemerintahan, pembangunan, pem-
berdayaan, dan kemasyarakatan dapat ber-
jalan dengan efektif demi percepatan pening-
katan kesejahteraan masyarakat desa. Per-
mendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pen-
dampingan Desa telah mengatur dengan rinci
mengenai pendamping desa ini, di antaranya
tujuan pendampingan desa, ruang lingkup
pendampingan desa, tugas pendamping desa,
manajemen pendampingan desa, dan penda-
naannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tu-
juan pendampingan desa meliputi: a) me-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 27
ningkatkan kapasitas, efektivitas dan akunta-
bilitas pemerintahan desa dan pembangunan
Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran
dan partisipasi masyarakat Desa dalam
pembangunan desa yang partisipatif; c)
meningkatkan sinergi program pembangun-
an Desa antarsektor; dan d) mengoptimalkan
aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2
Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada
pun pendamping desa terdiri atas tenaga
pendamping profesional (yang terdiri atas
pendamping desa yang berkedudukan di
kecamatan, pendamping teknis yang berke-
dudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pem-
berdayaan masyarakat yang berkedudukan
di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan
masyarakat desa yang berkedudukan di desa
dan diperoleh melalui mekanisme musya-
warah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari
LSM, perguruan tinggi, organisasi masyara-
kat, dan perusahaan).
Pendamping desa profesional memiliki
tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana
fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuang-
an hanya salah satu di antaranya, meskipun
hal itu tak disebutkan secara ekplisit di
dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7
Rekrutmen pendamping profesional dilaku-
kan secara terbuka. Mengingat tugas dan
tanggungjawabnya yang luas, maka wajar
bila ditetapkan bahwa mereka harus memili-
ki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping
desa misalnya, disebutkan bahwa mereka
harus memiliki kompetensi yang sekurang-
kurangnya memenuhi unsur kualifikasi anta-
ra lain: memiliki pengetahuan dan kemampu-
an dalam pemberdayaan masyarakat; memi-
liki pengalaman dalam pengorganisasian ma-
syarakat desa; mampu melakukan pendam-
pingan usaha ekonomi masyarakat desa;
mampu melakukan teknik fasilitasi kelom-
pok-kelompok masyarakat desa dalam mu-
syawarah des; dan/atau memiliki kepekaan
terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilai-
nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24
Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus
untuk tenaga pendamping profesional, mere-
7 Tugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.
ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompe-
tensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifi-
kasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum
terjun ke lapangan, tenaga pendamping
profesional juga diberikan pembekalan pe-
ningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan
(Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes
PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendam-
ping desa di tingkat kabupaten, kecamatan,
dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang
merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558
sisanya merupakan tenaga baru lulusan sar-
jana dan pendamping lokal desa yang dire-
krut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8
Meskipun telah diatur dalam suatu
instrumen kebijakan yang cukup ideal secara
normatif, namun bukan berarti isu pendam-
ping desa bebas dari masalah dan risiko. Sya-
rat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa
dikompromikan mengingat kebutuhan akan
pendamping desa dalam jumlah yang banyak
perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon
pendamping yang benar-benar kompeten
dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin
dalam kajian KPK mengenai risiko pengelola-
an dana desa juga menyoroti mengenai pelu-
ang korupsi yang dilakukan oleh pendamping
desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pe-
ngalamannya, mereka dapat memanipulasi
aparatur desa sehingga penggunaan dana
desa disetir sedemikian rupa untuk kepenti-
ngan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bah-
wa pendamping desa menjadi lahan profesi
yang dijatahkan untuk kader partai politik
atau sukarelawan pendukung calon presiden
pemenang pemilu, dengan demikian mengor-
bankan tuntutan profesionalitas.
Keterpakuan berlebihan akan dimensi
profesionalitas pendamping desa juga harus
dijaga agar jangan sampai membawa kerja
pendampingan sebagai usaha yang melulu
bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam
program PNPM Mandiri Perdesaan dapat di-
petik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan ci-
tra keberhasilan yang sering digembar-gem-
borkan pemerintah, sesungguhnya banyak
8 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015.
ARTIKEL
28 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
hal defektif yang berada di baliknya. Persen-
tase dana yang macet atau tidak bergulir
memang rendah, namun pembelajaran akan
pengembangan demokrasi dan pemberdaya-
an mandiri masyarakat desa rendah. Fasilita-
tor lebih banyak perperan sebagai perancang
yang mendikte alih-alih transformator. Dana
secara seragam lebih banyak dihabiskan un-
tuk pembangunan infrastruktur dengan sedi-
kit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pember-
dayaan dan peningkatan produktivitas mas-
yarakat. Terjadi “eksploitasi warga lewat tira-
ni partisipasi” (Agusta, 2008) dengan me-
maksa warga membangun proyek secara
gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota
mendapatkan fasilitas serupa secara gratis.
Dana yang berasal dari hutang lembaga do-
nor lebih banyak mengalir ke pendamping in-
ternasional, nasional, kabupaten, hingga ke-
camatan sehingga tak heran bahwa menurut
BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan
rumah tangga miskin mendapatkan manfaat
PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll
(2010) secara kritis menilai bahwa program
PNPM mengintrodusir nilai-nilai good
governance (partisipasi, akuntabilitas) dan
kompetisi yang kompatibel dengan
neoliberalisme.
Dengan berpijak pada pengalaman terse-
but, ada yang khawatir bahwa pendampingan
desa akan terjebak pada logika yang sama,
yakni berorientasi teknokratis-birokratis.
Meminjam istilah James Ferguson (1990),
pendamping desa berpotensi menjadi “mesin
antipolitik” yang melakukan depolitisasi war-
ga, di mana hak warga desa akan edukasi po-
litik dan penguatan representasi politik di-
blok oleh rasionalitas instrumental (Eko,
2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang
diantisipasi dengan serius, mengingat sebagi-
an besar eks fasilitator PNPM Mandiri sejum-
lah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir
pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi
pendamping desa dalam era UU Desa.9 Cara-
9 Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang.
cara dan paradigma lama mereka dalam me-
lakukan pendampingan dan fasilitasi harus
diubah. UU Desa mentransformasi dimensi
keproyekan ala PNPM menjadi lebih
tersistematisir dalam kerangka pembangun-
an desa yang holistik. Oleh karenanya, pen-
damping tidak boleh menyisihkan pemerin-
tah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM,
melainkan mendudukkannya sebagai aktor
pembangunan bersama dengan warga
(Agusta, 2015b: 7).
PENUTUP
Dana desa menjadi tema yang paling
euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja,
melalui dana desa, desa akan mendapatkan
dana dalam jumlah yang besar tanpa prese-
den. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di
kalangan publik pada umumnya dan pemer-
hati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana
Zelizer berpendapat bahwa uang dapat di-
maknai secara jamak dan cair. Cara dalam
mana masing-masing pihak memberikan
makna tertentu kepada uang disebutnya se-
bagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994).
Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana
desa dalam jumlah tertentu kepada desa
memandang uang tersebut sebagai instru-
men untuk membuat desa lebih sejahtera dan
otonom, anggota DPR memandang persetu-
juannya atas dana desa dalam APBN sebagai
modal politik yang dapat dipromosikan kepa-
da konstituen di desa bahwa dirinya adalah
pihak yang berjasa, demikian pula macam-
macam aktor yang berkecimpung di desa
akan memandang dana desa dalam pers-
pektifnya masing-masing, entah apakah itu
sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang
mencari untung, dan sebagainya.
Uang dalam jumlah yang besar adalah
gula-gula, dan berbagai pihak dengan berba-
gai kepentingan pun bisa diprediksi akan
tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan
kepentingannya. Uang yang banyak dikhawa-
tirkan dapat merusak pranata sosial dan bu-
daya yang berlaku di desa, menggerus modal
sosial melalui infiltrasi praktik-praktik kotor.
Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebe-
lum menerima dana desa sudah melakukan
pengadaan laptop yang dananya ditalangi pe-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 29
ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi Se-
latan ada pengusaha menyumbang dana
kampanye pada pemilihan kepala desa agar
mendapat proyek pengadaan dari dana desa
(Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa
yang menerima sumbangan dua mobil ambu-
lans dari perusahaan sebelum dana desa
turun.10 Fenomena kolusi dan praktik perbu-
ruan rente (rent-seeking) yang selama ini
marak di pemerintah daerah pasca-desentra-
lisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa.
Pemilihan kepala desa juga diperkirakan
akan semakin sengit dan diintervensi oleh
politik uang dan manipulasi, antara lain kare-
na tergiur oleh dana desa yang besar. Jika ke-
pala desa yang terpilih memiliki kaitan
dengan partai politik, maka dana desa bisa
dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya
kampanye dan kepentingan pribadi namun
juga untuk “sumbangan” ke partainya.
Sebagai rekomendasi untuk mencegah
pengelolaan dana desa dapat dilakukan
dengan baik dan berintegritas, maka diperlu-
kan pencermatan atas poin-poin berikut. Per-
tama, berbagai peraturan yang mengatur ten-
tang dana desa mulai dari tingkat UU, PP,
Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus
dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan
sampai ada peraturan yang tumpang tindih
dan bertentangan dan jangan sampai ada pe-
raturan yang substansinya bukan menjadi
urusan dari pihak yang mengeluarkan pera-
turan. Dengan demikian, tidak akan ada ceri-
ta pelanggaran pengelolaan dana desa akibat
peraturan yang bertentangan atau tidak jelas.
Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendak-
nya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif
dan kaku (dengan tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena
itu hanya akan memperluas birokratisasi dan
ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi
terbatas. Kemungkinan untuk perubahan
atau revisi juga harus dibuka setiap saat se-
bagai respons atas feedback dan dinamika
yang terjadi di lapangan, atau manakala pera-
turan yang ada di dalamnya tidak sesuai
dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Ke-
sediaan pemerintah untuk merevisi PP No.
10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.
43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014
merupakan contoh yang baik bahwa peme-
rintah mau mendengar aspirasi tersebut.11
Kedua, sistem pengawasan dan monev
yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat
ini, pengelolaan dana desa dikawal dan dia-
wasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai
dari pemerintah pusat (melalui BPK dan
BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspekto-
rat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya
juga melakukan penguatan dalam fungsi pe-
ngawasan internal, termasuk dalam hal pe-
ngelolaan keuangan desa. Semua pihak terse-
but harus memiliki kesamaan persepsi me-
ngenai apa yang dimaksud dengan penge-
lolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di
luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut,
masyarakat desa sendiri juga harus dibekali
dengan kesadaran kritis mengenai penting-
nya dana desa dikelola dengan transparan
dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa
dan organisasi masyarakat sipil harus aktif
memberikan pelatihan mengenai cara dan
strategi melakukan pengawasan. Penciptaan
model-model pengawasan yang efektif harus
diujicoba dengan seksama.
Ketiga, penguatan kapasitas dan kesada-
ran bagi aparatur desa mutlak diperlukan.
Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan
pemahaman dan pelatihan mengenai hal ih-
wal pengelolaan keuangan desa, mulai dari
awal (perencanaan dan penganggaran) sam-
pai akhir (laporan pertanggungjawaban). Pe-
ran pendamping desa yang memfasilitasi
desa berperan krusial di sini. Mereka harus
mampu untuk melakukan transfer pengeta-
huan dan pembimbingan intensif. Selain itu,
pendamping pada aras pemerintahan supra-
11 Misalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perhitungan belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok (atau sebutan lain). Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes. Ketentuan ini telah memenuhi aspirasi kepala desa yang khawatir bila pendapatan hasil pengelolaan tanah bengkok dimasukkan dalam perhitungan belanja desa maka pendapatannya akan berkurang.
ARTIKEL
30 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
desa juga harus mampu untuk melakukan
kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan.
Untuk ini, salah satu hal yang dapat direko-
mendasikan adalah memperlengkapi keca-
matan dengan keberadaan tenaga fungsional
yang paham dalam aspek-aspek teknis dan
sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik,
pengembangan usaha, pertanian, dan seba-
gainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf admi-
nistrasi, agar pemerintah desa dapat berkon-
sultasi kepada kecamatan. Dalam perencana-
an pembangunan dan penganggaran yang ha-
sil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKP-
Des, dan APBDes, aparat desa tidak cukup
hanya paham mengenai teknis mekanisme
pelaksanaannya, melainkan juga mampu un-
tuk melakukannya secara berkeadilan dan
demokratis, yakni disusun dengan benar-be-
nar memperhatikan kebutuhan aktual ma-
syarakat dan melibatkan partisipasi otentik
(bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari
masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan de-
mikian, pembelanjaan desa dapat diaranse-
men agar mampu meningkatkan kesejahtera-
an, kemandirian, dan keberdayaan masyara-
kat desa. Untuk mencapai ini, peningkatan
kapasitas hanya akan melahirkan keahlian
teknis yang mekanis jika tidak diiringi
dengan perubahan kesadaran. Diperlukan
peningkatan kesadaran agar kepala desa dan
aparat benar-benar memahami bahwa dana
desa adalah amanah besar yang harus diper-
tanggungjawabkan secara akuntabel, bukan-
nya hadiah yang dapat digunakan secara be-
bas oleh elite desa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Artikel Agusta, Ivanovich, 2008, “Kritik Paradigma
PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)”, dalam http://iagusta.blogspot.com/2008/11/kritik-paradigma-pnpm-mandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015.
_______________, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7.
_______________, 2015b, “Membalik Pendamping Desa”, Kompas, 4 Mei, hal. 7.
Carroll, Toby, 2010, “Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal”, Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101.
Eko, Sutoro, 2015, “Pendampingan Desa”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7.
Hasani, Ismail, 2015, “Mantra Membangun Desa”, Kompas, 22 April, hal. 7.
Huseini, Martani, 2015, “”Saemaul Undong”, Semua Berawal dari Desa”, Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7.
Jaweng, Robert Endi, 2015, “Setahun UU Desa”, Kompas, 14 Februari, hal. 6.
Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6.
Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7.
Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014”, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN.
Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7.
Sukasmanto, 2014, “Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi”. Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014.
Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press.
Undang-undang dan Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 31
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bela-nja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-naan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang
Penataan Tugas dan Fungsi Kabi-net Kerja.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27
Februari 2015, hal. 5. “Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah”,
Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2
Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3
Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koran-
sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/dana-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015.
http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015.
http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015.
http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015.