pengelolaan trenggiling (manis javanica desmarest … filenovriyanti. 2010. pengelolaan trenggiling...

12
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 1 PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT IN-SITU DAN EX-SITU Novriyanti ([email protected] / YM: beautifulcarealways) Abstrak Pengelolaan trenggiling belum banyak dilakukan, baik secara in-situ maupun secara ex-situ. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) merupakan satwa yang memiliki manfaat ekologi dan ekonomi tinggi sehingga dalam perdagangannya sangat diatur oleh PHKA dan scientific authority-nya. Secara ekologi, trenggiling merupakan satwa yang bermanfaat dalam upaya penggemburan tanah. Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi dipasaran internasional. Permintaan terhadap satwa ini terus meningkat. Hal ini menuntut diperlukannya suatu pengaturan terhadap populasi satwa ini dengan mengetahui pengelolaannya secara in-situ maupun ex-situ. Di dalam CITES, status perdagangan trenggiling termasuk kedalam Lampiran 2 (Appendix 2) yang berarti dilarang diperdagangkan secara bebas, kecuali keturunan kedua dan seterusnya. Namun dengan maraknya perdagangan illegal dan tingginya permintaan terhadap satwa ini, beberapa anggota CITES bersepakat untuk memasukkan trenggiling ke dalam list Lampiran 1 CITES. Meskipun demikian, upaya pengelolaan terhadap satwa ini baik secara in-situ di dalam kawasan-kawasan konservasi belum banyak dilakukan. jika pun ada, pengelolaan tersebut tidak fokus pada upaya peningkatan populasi khusus trenggiling saja. Disamping itu, data dan informasi mengenai populasi trenggiling di alam juga belum banyak tersedia. Sulitnya perkembangbiakan satwa ini dipenangkaran menjadi salah satu alasan tidak banyak dibangun penangkaran terhadap satwa ini. Didukung pula oleh pola reproduksi yang cukup lambat dan sulit dalam pemilihan pasangan menjadikan pengelolaan trenggiling secara ex-situ banyak difokuskan pada pemeliharaan pakan dan kandang untuk membantu reproduksinya. Kata kunci: Trenggiling, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, perdagangan. PENDAHULUAN Latar Belakang Trenggiling merupakan salah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat menjadi penawar bagi penyakit tertentu oleh masyarakat China, terutama sisik dan dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman di Kalimantan Timur (Zainuddin 2008). Namun dalam pelaksanaan pemanfaatannya cukup sulit dilakukan. Sebagai satwa yang dilindungi (Appendix II CITES), trenggiling dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan oleh management authority (PHKA) dan scientific authority (LIPI). Menurut Kang and

Upload: dodung

Post on 09-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 1

PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT

IN-SITU DAN EX-SITU

Novriyanti

([email protected] / YM: beautifulcarealways)

Abstrak

Pengelolaan trenggiling belum banyak dilakukan, baik secara in-situ maupun

secara ex-situ. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) merupakan satwa yang

memiliki manfaat ekologi dan ekonomi tinggi sehingga dalam perdagangannya sangat

diatur oleh PHKA dan scientific authority-nya. Secara ekologi, trenggiling merupakan

satwa yang bermanfaat dalam upaya penggemburan tanah. Secara ekonomi,

trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi

dipasaran internasional. Permintaan terhadap satwa ini terus meningkat. Hal ini

menuntut diperlukannya suatu pengaturan terhadap populasi satwa ini dengan

mengetahui pengelolaannya secara in-situ maupun ex-situ. Di dalam CITES, status

perdagangan trenggiling termasuk kedalam Lampiran 2 (Appendix 2) yang berarti

dilarang diperdagangkan secara bebas, kecuali keturunan kedua dan seterusnya.

Namun dengan maraknya perdagangan illegal dan tingginya permintaan terhadap

satwa ini, beberapa anggota CITES bersepakat untuk memasukkan trenggiling ke

dalam list Lampiran 1 CITES. Meskipun demikian, upaya pengelolaan terhadap satwa

ini baik secara in-situ di dalam kawasan-kawasan konservasi belum banyak dilakukan.

jika pun ada, pengelolaan tersebut tidak fokus pada upaya peningkatan populasi

khusus trenggiling saja. Disamping itu, data dan informasi mengenai populasi

trenggiling di alam juga belum banyak tersedia. Sulitnya perkembangbiakan satwa ini

dipenangkaran menjadi salah satu alasan tidak banyak dibangun penangkaran

terhadap satwa ini. Didukung pula oleh pola reproduksi yang cukup lambat dan sulit

dalam pemilihan pasangan menjadikan pengelolaan trenggiling secara ex-situ banyak

difokuskan pada pemeliharaan pakan dan kandang untuk membantu reproduksinya.

Kata kunci: Trenggiling, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, perdagangan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Trenggiling merupakan salah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat

menjadi penawar bagi penyakit tertentu oleh masyarakat China, terutama sisik dan

dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan

sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman di

Kalimantan Timur (Zainuddin 2008). Namun dalam pelaksanaan pemanfaatannya

cukup sulit dilakukan. Sebagai satwa yang dilindungi (Appendix II CITES), trenggiling

dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan

oleh management authority (PHKA) dan scientific authority (LIPI). Menurut Kang and

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 2

Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) ada wacana untuk mentransfer status

trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin

memperkuat bahwa trenggiling dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian,

perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan permintaan terhadap satwa ini terus

meningkat. Untuk itu, suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan

berkelanjutan.

Belum banyak ditemukan pelaporan mengenai pengelolaan satwa ini baik

secara in-situ maupun ex-situ. Namun demikian, telah ada upaya penelitian mengenai

trenggiling mulai dari morfologi, fisologi, dan beberapa data mengenai perilaku, dan

reproduksi. Hanya saja, aktivitas pengelolaan secara keseluruhan dan contoh-contoh

pengelolaan secara umum belum banyak diketahui. Di Sumatera Utara, khususnya

daerah Sibolga dan Binjai, telah dilakukan upaya penangkaran trenggiling secara

otodidak oleh seorang pengusaha China asal Medan. Penangkaran ini berdiri dengan

motif ingin mengatasi maraknya perburuan trenggiling, membantu mengontrol

perdagangannya di Sumatera Utara secara illegal dengan membeli trenggiling hasil

tangkapan masyarakat setempat. Akan tetapi, dalam prakteknya, kegiatan

penangkaran yang dikelola oleh UD. Multi Jaya Abadi tersebut belum banyak

dilaporkan hasilnya. Termasuk penelitian Bismark (2009) mengenai kajian trenggiling

secara ex-situ pun tidak banyak melaporkan kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu,

diperlukan suatu kajian atau sebuah bentuk studi kasus yang khusus mempelajari dan

mencari data dan fakta mengenai pengelolaan trenggiling baik di habitat alaminya (in-

situ) maupun secara ex-situ.

Tujuan

Berlatar belakang permasalahan diatas, kajian ini penting dilakukan untuk

mengetahui berbagai aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis javanica Desmarest,

1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ.

Manfaat

Dengan diketahuinya aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan

trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun

ex-situ, data dan fakta maupun informasi yang diperoleh dapat dijadikan sebagai

panduan dan inspirasi dalam pengelolaan dan konservasi satwaliar khususnya

trenggiling sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat, efektif, dan efisien dalam

pengelolaan.

BIO-EKOLOGI

Taksonomi dan Kekerabatan

Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti

Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus

variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus). Akan

tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang

dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001 dalam Farida

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 3

2010). Beberapa ahli Paleontologi mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa

Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah.

Trenggiling merupakan satwa yang berasal dari Kingdom animalia; Filum:

Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan

Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Trenggiling dapat dikatakan memiliki

kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan

dalam adaptasi hidupnya, terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya

menggunakan lidahnya.

Morfologi

Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari

trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998 dalam Farida 2010) (gambar 1).

Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif.

Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang

dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang

dengan baik sehingga makanan yang masuk kedalam mulutnya akan langsung ditelan

dan dicerna di dalam lambung. Selain itu, tulang lidahnya (os hyoideus) yang

berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus

karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan

(Cahyono 2008).

Gambar 1 Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010).

Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya,

mencapai 56 cm (Attenborough 2007 dalam Ruhyana 2007) sedangkan menurut Breen

(2003) lidah trenggiling dapat menjulur hingga 25 cm. Karena tidak memiliki gigi,

diduga trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan

yang menarik untuk diteliti.

Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan

yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih makanan yang

berasal dari lingkungan (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari

(2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang

tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi

lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin.

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 4

Habitat dan Penyebaran

Trenggiling memiliki habitat yang cukup luas. Ia dapat hidup di hutan primer

maupun hutan sekunder. Tak jarang ditemukan dibeberapa perkebunan seperti

perkebunan karet dan di daerah-daerah terbuka (Davies and Payne 1982; Foenander

1953; Medway 1969; Medway 1977; Zon 1977; Bain and Humphrey 1982). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan

biasanya ia menempati sarangnya selama beberapa bulan saja. Sarang trenggiling

selain terdapat di atas pohon, sarang trenggiling juga ditemukan di lubang-lubang

yang berada dibagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah

yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Namun tak jarang trenggiling

ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lainnya. Pintu masuk ke

lubang sarang selalu tertutup.

Selain Manis javanica masih terdapat beberapa spesies (jenis) trenggiling

lainnya seperti: M. javanica culionensis, M. crassicaudata (Thick-Tailed Pangolin), M.

gigantea (Giant Ground Pangolin), M. multiscutata; M. pentadactyla (Chinese

Pangolin), M. pentadactyla aurita, M. pentadactyla dalmanni, M. pentadactyla

pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla, M. temminckii (Temminck’s

Ground Pangolin), M. tetradactyla (Black-Bellied Pangolin), M. tetradactyla

longicaudus, M. tricuspis (Three-Cusped Pangolin), M. tricuspis tricuspis (Tree

Pangolin) (Alamendah 2009).

Trenggiling bukan hanya ditemukan di Indonesia. Trenggiling juga terdapat di

Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Di

Indonesia trenggiling (Manis javanica) tersebar di pulau Sumatera, jawa, Kalimantan

dan beberapa pulau kecil di kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias,

Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar

2007). Terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (M. tricupis, M.

tetradactyla, M. gigantea dan M. temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (M.

javanica, M. crassicaudata dan M. pentadactyla) (Rahm 1990 dalam Junandar 2007).

Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) dalam Junandar (2007) terdapat satu

spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis. Sebelumnya spesies ini

dianggap sebagai spesis M. javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan

beberapa perbedaan dengan M. javanica.

Perilaku

Trenggiling (Manis javanica) merupakan binatang nokturnal yang aktif

melakukan kegiatan hanya di malam hari. Pada siang hari trenggiling biasanya

bersembunyi di lubang sarang, salah satunya ada yang berada di atas pohon.

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 5

Gambar 2 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksda-

bali.go.id/?p=386).

Dalam memperoleh pakan, trenggiling menggunakan indera penciumannya

untuk mendapatkan mangsa. Sebelum menemukan mangsa, trenggiling biasanya

membaui daerah yang diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa. Kemudian ia

menggali sumber pakan tersebut dengan menggunakan cakar depannya hingga

mangsa keluar. Lidah trenggiling sudah bersiap-siap untuk menangkap mangsa saat

mangsa sudah mulai keluar. Perilaku minum pada trenggiling tidak jauh berbeda

dengan cara memperoleh mangsanya. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan

memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Tak jarang,

dalam aktivitas makannya di alam, trenggiling terlihat ikut memasukkan kerikil atau

butiran pasir yang tidak terlalu halus ke dalam mulutnya. Menurut Nisa (2005)

makanan yang dicerna di dalam lambung sepenuhnya dilakukan hingga menjadi halus

dengan bantuan kerikil yang tertelan.

Nilai Satwaliar (Ekonomi, Ekologi, Sosbud)

Trenggiling memiliki nilai yang cukup baik ditingkat ekologi, ekonomi maupun

sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling merupakan satwa yang bermanfaat dalam

upaya penggemburan tanah. Hal ini dikarenakan dalam mendapatkan mangsanya tak

jarang trenggiling menggali tanah atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang

sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat

menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik bantuan

dari aktivitas makan trenggiling. Menurut Mondadori (1988) dalam Farida (2010),

biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari

makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan

menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau, trenggiling juga merupakan satwa

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 6

pemangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang halus lain yang sering

menggerogoti pepohonan hingga mengalami pengeroposan. Keberadaan trenggiling ini

yang secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis

pepohonan yang ada di hutan Riau (EBN 2010).

Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki

nilai jual tinggi dipasaran internasional. Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan

budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan

sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa

Negara. Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat (Soehartono dan

Mardiastuti 2003) sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar

Internasional mencapai USD 600 (Hertanto 2010). Namun menurut Martin and Phipps

(1996), harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan

juta atau seekor trenggiling hidup dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama

di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan

harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal.

Menurut Zainuddin (2008), di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling

dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti

dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-.

PERMASALAHAN, ANCAMAN, DAN GANGGUAN TERKINI

Trenggiling termasuk salah satu satwa yang sangat rentan terhadap ancaman

kepunahan. Trenggiling merupakan satwa yang mudah diburu karena jika

mendapatkan bahaya, ia menggulung tubuhnya seperti bola dan memudahkan para

illegal hunter menangkapnya. Selain itu, sebagai satwa pemanjat, perangkap dalam

bentuk tempat panjat pun mudah dibuat dan trenggiling dapat dengan mudah

terperangkap ditempat itu. Jika di luar habitat aslinya atau di penangkaran, trenggiling

sulit beradaptasi. Selain itu, satwa ini juga sulit bereproduksi dan berkembangbiak di

penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu et. al 2004).

Gambar 3 Trenggiling yang Sudah Dikuliti untuk Keperluan Ekspor

(Sumber: http://indonesia.mongabay.com/news/2010/id0720-0214-

hance_china_pangolin.html).

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 7

Perburuan trenggiling telah dilakukan sejak beberapa dekade tahun yang lalu. Hal ini

dapat dikatakan lazim sehingga ekspor trenggiling secara besar-besaran telah

bertahun-tahun dilakukan (gambar 3). Sebagai contoh, Serawak-Malaysia mengekspor

sebanyak 60 ton sisik trenggiling pada tahun 1958-1964 (Harrisson dan Loh 1965

dalam Shepherd 2008).

Perdagangan trenggiling saat ini masih diawasi. Ekspor trenggiling terbesar

saat ini dilakukan ke Negara China (Semiadi et al. 2008). Hal ini dikarenakan bahwa di

China, trenggiling dimanfaatkan sebagai makanan, obat tradisional maupun obat

penguat (tonics) (Wu, et al., 2004; Liou, 2006). Shepherd (2008) menyatakan bahwa

trenggiling merupakan salah satu jenis satwaliar yang paling sering dan paling banyak

disita oleh aparat berwenang terkait dengan penyelundupan dan penjualan illegal. Di

Vietnam, pada Maret 2008 yang lalu tertangkap sekitar 24 ton trenggiling beku yang

berasal dari Indonesia. Pada bulan Juli 2008 juga ditemukan hasil sitaan polisi

Sumatera sebanyak 14 ton pangolin.

Menurut Kompas (2010) Sebanyak 60 trenggiling hasil tangkapan polisi

perairan Polda Jambi di perairan Tanjung Jabung Barat pada pekan lalu dilepasliarkan

kembali di hutan restorasi Harapan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. trenggiling

yang dilepasliarkan tersebut sempat dititipkan sementara di Kebun Binatang Taman

Rimba Jambi. Puluhan trenggiling yang merupakan hewan langka dan dilindungi

undang-undang tersebut akan dilepasliarkan di hutan restorasi di Desa Bungku,

Kabupaten Batanghari, yang merupakan hutan dataran rendah di Provinsi Jambi.

Pedagang yang membawa 18 ekor trenggiling pada salah satu kapal penumpang dari

Mentawai ke Padang tertangkap oleh petugas.

KONSERVASI IN-SITU

Sesuai data dan pelaporan hasil penelitian di habitat aslinya, penemuan

trenggiling secara umum hanya terbatas pada penemuan jenis. Penemuan dan

penelitian mengenai populasi di alam belum banyak dilaporkan secara jelas. Hal ini

sebenarnya menyulitkan para peneliti trenggiling untuk melakukan penelitian di

habitat alaminya. Data tiga tahun terakhir yang dilakukan oleh LIPI hanya mengenai

kuota penetapan perdagangan trenggiling yang diizinkan ekspor tidak lebih dari 10

ekor yang diambil langsung dari alam. Selain itu data lain hanya berisi tentang

trafficking. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya keberadaan populasi di alam

dapat dikatakan sangat rendah atau bahkan belum dapat dipastikan secara langsung

berapa jumlah aktual saat ini.

Setelah mengetahui data penurunan populasi trenggiling dan ketersediaannya

di alam hendaknya pengelolaan dapat diarahkan dalam bentuk pengelolaan populasi

trenggiling dan habitatnya di alam, baik dalam kawasan Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, maupun di kawasan-kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional.

Namun upaya itu belum terlihat karena belum ada kawasan tertentu baik di Taman

Nasional, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa yang benar-benar fokus pada

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 8

trenggiling dan permasalahannya. Biasanya hanya ditemukan daftar jenis satwaliar

secara umum dan bentuk-bentuk pengelolaan habitat yang umum di alam.

Penanggulangan masalah trenggiling secara in-situ sebenarnya dapat dengan mudah

dilaksanakan jika seluruh stakeholder yang terkait dapat sepemahaman dan komitmen

dalam mengelola populasinya. Pengawasan sangat diperlukan dalam hal ini. bukan

hanya pengawasan terhadap bio-ekologi satwa yang dikelola, tetapi juga pengawasan

terhadap sosio-ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi in-situ.

KONSERVASI EX-SITU

Penangkaran menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) adalah suatu usaha atau

kegiatan mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar yang bertujuan untuk

memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya di

luar habitat alaminya. Usaha penangkaran trenggiling diketahui belum banyak

dilaporkan. Hal ini menjadikan banyaknya kesulitan ditemukan dalam perolehan data

dan informasi mengenai satwa ini di penangkaran. Trenggiling diketahui merupakan

satwa yang sulit beradaptasi dengan lingkungan diluar habitat aslinya sehingga sulit

pula melakukan perkembangbiakan (breeding) di penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu

et. al 2004). Namun ada yang menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup

dengan kuat dan sangat keras. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di

penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999).

Berdasarkan informasi dan penelitian terbatas, diketahui bahwa UD. Multi Jaya

Abadi telah melakukan kegiatan konservasi untuk satwa ini dalam bentuk penangkaran

(Bismark 2009). Penangkaran ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi satwa ini

dari kegiatan perdagangan liar satwa langka, terlebih lagi ada kebiasaan masyarakat

Sibolga yang gemar memburu trenggiling dengan menggunakan jerat berpaku.

Penggunaan alat tangkap ini tidak sesuai karena dapat melukai satwa. Dengan kondisi

yang luka maka trenggiling yang telah ditangkap akan memiliki nilai jual yang jauh

lebih rendah. Untuk itu muncullah ide untuk membeli seluruh trenggiling yang ada

pada warga untuk ditangani atau diselamatkan (rescue) dan ditangkarkan sekaligus

sebagai sarana penyadar-tahuan kepada masyarakat agar tidak lagi menangkap

trenggiling di alam karena populasinya sudah mulai terbatas. Untuk kasus yang sama

dengan Spesies Manis crassicaudata yang dilaporkan oleh Nowak (1999), trenggiling di

UD. Multi Jaya Abadi menurut Bismark (2009) juga dapat hidup lama di dalam

penangkaran dan telah berhasil melakukan reproduksi. Jumlah anakan (F2) yang

tercatat sejak tahun 2007 sebanyak 4 individu.

Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan konservasi ex-situ bergantung pada

teknik pemeliharaannya. Menurut Bismark (2009), teknik pemeliharaan trenggiling di

UD. Multi Jaya Abadi menggunakan sistem kandang semi permanen (semi alami)

dengan lantai tetap terbuat dari tanah dan atap kandang terbuat dari rumbia.

Meskipun demikian, sanitasi yang baik tetap diperhatikan. Jenis pakan yang diberikan

adalah kroto dan berbagai buah-buahan penarik semut. Aktivitas harian trenggiling di

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 9

dalam kandang hampir tidak jauh berbeda dengan kondisi dan aktivitasnya di habitat

asli trenggiling.

KEBIJAKAN KONSERVASI

Sama seperti perlindungan terhadap sumberdaya alam lainnya terutama

satwaliar, perlindungan terhadap trenggiling juga termaktub dalam peraturan

perundangan yang ada di Indonesia. UU No.5 tahun 1990 yang mengatur tentang

Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dibentuk dengan tujuan untuk

melindungi satwaliar dan tumbuhan beserta habitatnya. Melindungi berarti melakukan

kegiatan pengelolaan. Untuk selanjutnya kegiatan pengelolaan dilakukan dengan

berbagai peraturan lainnya yang tertuang dalam beberapa bentuk keputusan Menteri

dan Kebijakan pemerintah setempat.

Kemudian Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 berhasil dibuat dengan

harapan dapat mengatur kegiatan pengawetan tumbuhan dan satwaliar. Pada

peraturan perundangan ini, daftar jenis margasatwa yang dilindungi beserta

konservasinya dilampirkan. Hingga sampai pada saat Indonesia ikut meratifikasi

konvensi CITES dengan menjadi anggota di dalam CITES. Aksi ini sebenarnya telah

menunjukkan bahwa sebenarnya dari segi peraturan perundangan telah banyak

dilakukan upaya konservasi satwaliar. Dengan bantuan CITES, Indonesia dapat

mengontrol perdagangan satwaliar dan tumbuhan, khususnya trenggiling.

Pada PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwaliar,

trenggiling termasuk pada status satwa dilindungi. Di dalam CITES, pada lampirannya,

trenggiling termasuk dalam Appendix II sejak 1 Juli 1975 yang mengandung

pengertian bahwa satwa ini dilarang diperdagangkan. Di Indonesia, perdagangan ini

diatur oleh Management Authority (PHKA) dan Scientific Authority yang dipegang oleh

LIPI. Seluruh perizinan untuk kegiatan perdagangan dan kuotanya diatur oleh kedua

lembaga otoritas tersebut. Namun demikian, izin yang berlaku hanya untuk keturunan

kedua (F2) dan seterusnya dari trenggiling.

Pada IUCN tahun 2010, trenggiling termasuk dalam status Endangered (EN ver

3.1) yang berarti terancam punah dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan

kondisi populasi trenggiling di alam dari waktu ke waktu semakin menurun. Status

trenggiling di IUCN semakin meningkat menuju kelangkaan setelah sebelumnya

trenggiling menempati status sebagai satwa yang lower risk atau beresiko rendah

(Near Threatened) di tahun 1996. Berbeda dengan di Indonesia, dibeberapa Negara

lain seperti India, Nepal, Sri Lanka, dan USA, status trenggiling dalam CITES sudah

berada pada Appendix I.

PENGEMBANGAN KEGIATAN KONSERVASI

Kegiatan pengembangan kegiatan konservasi meliputi upaya-upaya

pembinaan populasi trenggiling baik di alam maupun secara ex-situ. Upaya ini tidak

dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja. Pengembangan melibatkan seluruh

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 10

stakeholder yang terkait. Oleh sebab itu diperlukan suatu pemahaman dan pegangan

yang sama terhadap kegiatan konservasi. Pemahaman tersebut dapat berupa

penyadar-tahuan akan kondisi populasi trenggiling di alam yang mendorong

perubahan sikap agar tidak lagi melakukan penangkapan trenggiling di habitat aslinya

dan mengupayakan terbangunnya suatu kegiatan penangkaran yang dapat memenuhi

kebutuhan trenggiling secara lokal dan internasional.

Banyak pemahaman yang telah dilakukan, pembuatan nota kesepakatan atas

perdagangan trenggiling dapat menjadi salah satu upaya pengembangan kegiatan

konservasi satwa ini. Namun tetap saja terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan

yang berakibat pada terhambatnya pengembangan kegiatan konservasi trenggiling.

Setiap Negara yang tergabung dalam CITES seharusnya menerapkan dan dan

menegakkan peraturan serta sanksi yang ada dalam konvensi yang telah disepakati.

Kewajiban menaati setiap kesepakatan dalam konvensi CITES ternyata masih minim.

Masih banyak Negara yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai Negara anggota

CITES untuk mengawasi perdagangan trenggiling (Shepherd 2007). Ditambah lagi,

CITES juga belum memiliki legislasi yang kuat untuk menjadikan konvensi ini berlaku

secara efektif pada Negara-negara anggotanya. Meskipun demikian, para anggota

CITES bersepakat untuk terus mengadakan simposium terkait dengan pengembangan

satwaliar di penangkaran, termasuk trenggiling. Rencana pendanaan pun sudah diatur

sedemikian rupa agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan penangkaran-penangkaran

satwaliar (CITES 2001).

Berbagai kebijakan konservasi dalam pengelolaan populasi trenggiling di alam

dan dipenangkaran telah banyak ditemukan. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih

berbenturan dengan berbagai kepentingan yang lebih mengedepankan aspek ekonomi

dari pemanfaatan trenggiling. Usaha-usaha penangkaran yang ada pun lebih banyak

bertujuan untuk kegiatan ekonomi, memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional

terhadap trenggiling.

PENUTUP

Terdapat beberapa perbedaan dalam aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis

javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ. Di dalam

kawasan in-situ, trenggiling dikelola secara global dalam kawasan Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, dan Taman Nasional. Bentuk pengelolaan di dalam kawasan konservasi

ini berbeda juga saling berbeda dan biasanya kurang difokuskan pada satwa tertentu

seperti trenggiling. Kegiatan penangkaran merupakan salah satu program atau

kegiatan konservasi yang dilakukan secara ex-situ bagi pelestarian trenggiling.

Meskipun tidak banyak pelaporan mengenai penangkaran trenggiling, manajemen

pengelolaan yang ditemukan dilapangan dapat dikatakan cukup baik untuk tindakan

pengelolaan individu dan populasi.

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 11

DAFTAR PUSTAKA

Alamendah. 2009. Trenggiling, Dagingnya 1 juta per Kg. Dalam:

http://alamendah.wordpress.com/2009/10/28/trenggiling-dagingnya-1-juta-

per-kg/ [20 Mei 2010]

Bismark M. 2009. Teknologi Pengembangan Penangkaran dalam UKP Teknologi

Konservasi Biodiversitas Fauna Langka. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hutan dan Konservasi Alam. Tidak dipublikasikan.

Boonsong Lekagul and McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Association

for the Conservation of Wildlife.

Breen K. 2003. Manis javanica, Animal Diversity Web. Dalam:

http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Manis_javanica.html [3 Mei 2010].

Cahyono E. 2008. Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis javanica). [skripsi].

Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

CITES [Convention on International Trade in Endangered Species]. 2001. Relationship

between Ex-situ Breeding Operations and In-situ Conservation Programs.

Proceedings Sixteenth Meeting of the Animal Committee, USA 11-15 Desember

2000.

Davies G and Payne J. 1982. A Faunal Survey of Sabah. Kuala Lumpur: WWF Malaysia.

EBN [Era Baru News]. 2010. Spesies hutan Riau terus menyusut. Dalam:

http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/13986-spesies-hutan-riau-terus-

menyusut [15 Desember 2010].

Farida WR. 2010. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1922), mamalia bersisik yang

semakin terancam. Fauna Indonesia IX(1): 5-9.

Hertanto, editor. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. Dalam:

http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/17/21594696/Sejuta.Kilo.Dagi

ng.Trenggiling.Dijual [11 Mei 2010].

Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). [skripsi].

Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Lim NTL and Ng PKL. 2007. Home range, activity cycle and natal den usage of a

female Sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore.

Endangered Species Research. (4):233-240.

Liou C, (ed). 2006. The state of wildlife trade in China: Information on the trade in

wild animals and plants in China 2006. TRAFFIC East Asia, China.

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 12

Martin EB and Phipps M. 1996. A Review of the Wild Animal Trade In Cambodia.

TRAFFIC Bulletin Vol.16 No.2:45-60

Medway L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and Singapore. Oxford: Oxford

University Press.

Medway L. 1977. Mammals of Borneo. Monographs of the Malaysian Branch of the

Royal Asiatic Society 7:1-172.

Nisa C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin (Manis

javanica). [disertasi]. Bogor. Graduate school Bogor Agricultural University.

Ruhyana AY. 2007. Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica)

dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-paru. [skripsi]. Bogor. Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor.

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Semiadi G, Darnaedi D, Arief AJ. 2008. Sunda Pangolin Manis javanica Conservation in

Indonesia: Status and Problems. In: Pantel S and Chin SY (ed.). 2009.

Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to

South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008, Singapore Zoo, Singapore.

TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.

Shepherd CR. 2007. Bear trade in Southeast Asia: The status of protection for

Southeast Asia’s bears. In: Williamson DF. (ed). 2007. Proceedings of the

fourth international symposium on trade of bear parts, 4 October, 2006,

Nagano, Japan. TRAFFIC East Asia – Japan. Tokyo.

Shepherd CR. 2008. Overview of pangolin trade in Southeast Asia. In: Pantel S and

Chin SY (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation

of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008,

Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor,

Malaysia.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:

Japan International Cooperation Agency (JICA).

Wu S, Liu N, Zhang Y, Ma G. 2004. Assessment of threatened status of Chinese

Pangolin (Manis Pentadactyla). Chinese Journal of Applied Environmental

Biology 10(4): 456-461.

Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. Dalam:

http://www.antara.co.id/view/?i=1208940642&c=WBM&s= [11 Mei 2010].