pengertian euthanasia.docx

11
Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu= baik, tanpa penderitaan sedang tanathos = mati. Maka, euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Atau mati cepat tanpa penderitaan. Belanda, salah satu Negara di eropa yang maju dalam hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuay oleh Euthanasia study group dari KNMG (ikatan dokter belanda) : “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri”. Konsep tentang kematian Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah : 1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. 2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. 3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. 4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social. Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti di anut selama ini dan yang dia atur dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah bahwa berhentinya fungsi jantung dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati terlepasnya roh dari tuuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati.

Upload: kiminzaz-cassielfwol-lichiata

Post on 24-Sep-2015

14 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

euthanasia

TRANSCRIPT

Pengertian EuthanasiaEuthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu= baik, tanpa penderitaan sedang tanathos = mati. Maka, euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Atau mati cepat tanpa penderitaan.Belanda, salah satu Negara di eropa yang maju dalam hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuay oleh Euthanasia study group dari KNMG (ikatan dokter belanda) :Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.Konsep tentang kematianBeberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah :1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir.2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh.3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen.4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social.Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti di anut selama ini dan yang dia atur dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah bahwa berhentinya fungsi jantung dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.Konsep mati terlepasnya roh dari tuuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan bahwa penentuan saat kematian kebanyakan Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan khusus, yang telah diketahui oleh semua dokter.Jenis Euthanasia1. Euthanasia Pasif yaitu perbuatan mengentikan atau mencaut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia.2. Euthanasi aktif yaitu perbuatan yang dilakukan secara medic melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan mengakhiri hidup manusia.Pandangan Syariah IslamSyariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.A. Euthanasia AktifSyariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam : 151)Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS Al-Baqarah : 178)Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-Baqarah : 178)Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim).B. Euthanasia PasifAdapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalabPerintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani, 1953)Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi SAW berkata,Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu berkata,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi,Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ otakhukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).Wallahu alam.http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/

Hukum Euthanasia dalam IslamDalam praktek real euthanasia dikenal dengan dua macam: euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

A) Euthanasia Aktif, adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif, misalnya, ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

B) Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia pasif, misalnya, penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. Euthanasia aktif haram hukumnya dalam syariat islam, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-amd), walaupun niatnya baik, yaitu untuk meringankan penderitaan pasien dan walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.:] [Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-Anam [6]: 151).

] [Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif, karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun atas permintaan keluarga atau si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan. Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah saw. bersabda:

Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?Jawaban untuk permasalahan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadwi) itu sendiri; apakah berobat itu wajib, mandb (sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut Abdul Qadim Zallum hukum berobat adalah mandb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis; pada satu sisi Nabi saw. menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarnah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.

Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?Rasulullah saw. Kemudian bersabda, Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi). Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarnah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.

Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku -saat kambuh-. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi saw. lalu berkata, Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.. Perempuan itu berkata, Baiklah aku akan bersabar. Lalu dia berkata lagi, Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh]. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.Nabi saw. kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari). Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarnah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandb), bukan wajib, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.

Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum mengatakan, bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasifdalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak)hukumnya boleh (jiz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien .Dalam hal ini yusuf Qaradhawi sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala.Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.http://afandyna.blogspot.com/2009/06/euthanasia-dalam-islam.html