pengetahuan tentang penanganan hipotermi pada …
TRANSCRIPT
Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper
Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Fakultas Ilmu Kesehatan
ISBN 978-602-0791-41-8
97 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o
2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9
PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI
PADA PENDAKI GUNUNG DI WANA WISATA CEMORO
SEWU, GUNUNG LAWU, MAGETAN
Filia Icha Sukamto1
1Universitas Muhammadiyah Ponorogo
ABSTRACT
Keyword:
Pengetahuan,
Penanganan Hipotermi
Abstract
Hypothermia is very dangerous because it can develop quickly. If left
untreated, it can cause shock and be fatal (Milne, 2009). Besides exposure
to cold temperatures also result in death because it can worsen pre-existing
chronic conditions (such as cardiovascular disease and respiratory disease)
and those who undergo treatment are more susceptible to the effects of cold
(Berko et al, 2014).mThe design of this research is quantitative descriptive
with 141 mountain climbers as population. The sample of this study was 50
mountain climbers using a sampling quota. The data collection method uses
a closed questionnaire which is then processed and analyzed based on the
percentage. The results of the study of 50 respondents showed that 26
mountain climbers (52.00%) had sufficient knowledge, 17 climbers (34.00%)
had less knowledge, and 7 climbers (14.00%) had good knowledge. The
results showed more than half of respondents had sufficient knowledge about
handling hypothermia with various factors that affect the level of knowledge
of respondents. This indicates that information from various parties must be
improved to increase the knowledge of the dangers of hipootermi if not
treated immediately
Abstrak
Hipotermi sangat berbahaya karena dapat berkembang dengan cepat. Jika
tidak diobati, dapat menyebabkan syok dan berakibat fatal (Milne, 2009).
Selain itu paparan suhu yang dingin juga mengakibatkan kematian karena
dapat memperburuk kondisi kronis yang sudah ada sebelumnya (seperti
penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan) dan mereka yang
menjalani pengobatan lebih rentan terhadap efek dingin (Berko et all, 2014).
Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan 141 pendaki
gunung sebagai populasi. Sampel penelitian ini adalah 50 orang pendaki
gunung dengan menggunakan purposive sampling. Metode pengumpulan
data menggunakan kuesioner tertutup yang kemudian dilakukan pengolahan
data dan dianalisis berdasarkan prosentase. Hasil penelitian terhadap 50
responden menunjukkan bahwa 26 pendaki gunung (52,00%) memiliki
pengetahuan yang cukup, 17 pendaki (34,00%) memiliki pengetahuan yang
kurang, dan 7 pendaki (14,00%) memiliki pengetahuan yang baik. Hasil
penelitian menunjukkan lebih dari setengahnya responden memiliki
pengetahuan cukup tentang penanganan hipotermi dengan berbagai faktor
yang mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Hal ini menunjukkan
bahwa masih harus ditingkatkan pemberian informasi dari berbagai pihak
untuk meningkatkan pengetahuan pendaki tetang bahaya hipootermi jika
tidak ditangani dengan segera.
1. PENDAHULUAN
Kegiatan mendaki gunung atau sering disebut
mountaineering merupakan kegiatan yang banyak
diminati oleh berbagai kalangan. Namun kegiatan
mendaki gunung juga memiliki risiko yang dapat
mengancam keselamatan pendaki. Salah satu
risiko yang mengancam keselamatan pendaki
adalah hipotermi (Iryani, 2013). Hipotermi atau
hypothermia merupakan suatu kondisi dimana
Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper
Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Fakultas Ilmu Kesehatan
ISBN 978-602-0791-41-8
98 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o
2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9
tubuh kehilangan suhu panas dengan cepat sehingga
menyebabkan temperatur tubuh menurun drastis.
Seseorang bisa dikatakan mengalami hipotermi jika
suhu tubuhnya di bawah 350C. Hipotermi sangat
berbahaya karena dapat berkembang dengan cepat.
Jika tidak diobati, dapat menyebabkan syok dan
berakibat fatal (Milne, 2009). Selain itu paparan suhu
yang dingin juga mengakibatkan kematian karena
dapat memperburuk kondisi kronis yang sudah ada
sebelumnya (seperti penyakit kardiovaskular dan
penyakit pernapasan) dan mereka yang menjalani
pengobatan lebih rentan terhadap efek dingin (Berko et
all, 2014). Berdasarkan laporan dari Scottish Mountain
Rescue tahun 2011, para pendaki yang telah
diselamatkan mengatakan hipotermi menjadi
penyebab paling umum. Cuaca merupakan faktor
penyebab yang paling utama. Lingkungan yang dingin
termasuk temperatur udara maupun suhu rendah (atau
keduanya), angin kencang, radiasi sinar matahari yang
rendah, curah hujan yang tinggi, dapat meningkatkan
koefisien perpindahan panas.
Lebih dari 34 Juta orang di dunia bepergian ke
daerah pegunungan setiap tahun dan secara rutin
menghadapi tantangan lingkungan seperti suhu yang
sangat dingin dengan penurunan 1oC setiap naik 150
m (Brocherie et al, 2015). Dalam kurun waktu 3 bulan,
1 orang meninggal di Gunung Merbabu pada bulan
Februari 2016 (Munir, 2016). Kemudian pada bulan
Maret 2016 di Gunung Lawu 1 orang harus dirawat
intensif (Setiadi, 2016). Selain itu 1 orang juga
meninggal di puncak Cartenz pada bulan April 2016
(Rosandrani, 2016). Dari hasil wawancara terhadap
pendaki, 3 dari 5 orang tidak mengetahui tentang
penanganan hipotermi. Sedangkan 1 orang tidak
mengetahui sama sekali apa yang dimaksud dengan
hipotermi.
Kurangnya pengetahuan diantara pendaki
tentang hipotermi juga menjadi penyebab
meningkatnya kasus hipotermi. Salah satu mitos
tentang hipotermi di kalangan pendaki adalah
kehilangan panas jauh lebih besar pada bagian kepala
dibandingkan bagian tubuh yang lain. Sehingga
banyak pendaki yang menggunakan topi atau penutup
kepala untuk menjaga kehangatan bagian kepala,
namun kurang memperhatikan bagian tubuh yang lain.
Hal ini tidak dibenarkan, karena panas tubuh hilang
melalui semua bagian yang terpapar lingkungan
dingin. Pengeluaran panas pada bagian kepala orang
dewasa hanya sebesar 10% dari bagian tubuh yang lain
(Betterhealth, 2015).
Peningkatan kejadian hipotermi sebenarnya
dapat di tekan dengan memberikan penanganan yang
tepat pada penderita. Dalam hal ini pengetahuan
pendaki tentang pencegahan maupun pertolongan
pertama saat mengalami hipotermia menjadi faktor
yang paling penting. Pemberian tindakan yang tepat
dan cepat dapat mengurangi resiko kegawatan
hipotermi dan meningkatkan angka harapan hidup bagi
penderita, sehingga angka mortalitas akibat hipotermi
dapat ditekan.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibuat dengan menggunakan
metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif adalah
suatu metode penilitan yang digunakan untuk
menyediakan informasi yang berhubungan dengan
prevalensi, distribusi, dan hubungan antara variabel
dalam suatu populasi. Sedangkan kuantitatif adalah
metode pendekatan ilmiah yang memandang suatu
realitas itu dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati,
dan terukur, hubungan antar variabelnya bersifat sebab
akibat dimana data penelitiannya berupa angka-angka
dan analisisnya menggunakan statistik (Notoatmodjo,
2005). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro Sewu,
Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan dengan perkiraan jumlah rata-rata
141 pendaki perhari. Sampel pada penelitian ini
sebagian pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro
Sewu, Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan sejumlah 50 pendaki dengan
teknik pengambilan sampling Kuota Sampling.
Analisis Univariat dengan prosentase baik untuk data
umum maupun data khusus.
Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper
Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Fakultas Ilmu Kesehatan
ISBN 978-602-0791-41-8
99 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o
2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia, Pendidikan, Pengalaman Mendaki, Pernah/ tidak mengalami hipotermi,
pernah/ tidak memberikan pertolongansumber informasi Pengetahuan tentang hipotermi pada
pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro Sewu, Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan
Variabel
Umum/ Khusus
Frekuensi Persen (%)
Usia 12-25 th
26 – 45 th
≥45 th
32
15
3
64,00
30,00
6,00
Total 50 100
Pendidikan SMP
SMA
Sarjana/PT
2
31
17
4,00
62,00
34,00
Total 50 100
Pengalaman Mendaki 1 kali
2-3 kali
Lebih 4 kali
10
13
27
20,00
26,00
34,00
Total 50 100
Pernah/ Tidak mengalami
hipotermi
Pernah
Tidak
6
44
12,00
88,00
Total 50 100
Pernah/tidak Memberikan
Pertolongan
Pernah
Tidak
18
32
36,00
64,00
Total 50 100
Sumber Informasi 1 Sumber Informasi
2 Sumber Informasi
3 Sumber Informasi
4 Sumber Informasi
35
7
6
2
70,00
14,00
12,00
4,00
Total 50 100
Pengetahuan Baik
Cukup
Kurang
7
26
17
14,00
52,00
34,00
50 100
Sumber : Data primer 2017
Hasil penelitian didapatkan dari 50
responden ada (52,0%) atau sebanyak 26
responden memiliki tingkat pengetahuan cukup.
Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 26
pendaki (52,0%) yang berpengetahuan cukup
mendapatkan informasi tentang penanganan pada
hipotermi dari 1 sumber informasi, yaitu
sebanyak 17 pendaki (34,00%) dengan sumber
informai yang diperoleh dari pendaki lain,
internet, pelatihan dan petugas kesehatan.
Menurut Fahmi (2012), sumber informasi
merupakan proses pemberitahuan yang dapat
membuat seseorang mengetahui informasi
sehingga semakin banyak informasi yang didapat
maka akan semakin luas pengetahuan seseorang.
Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa pendaki
yang berpengetahuan cukup merupakan pendaki
yang sebenarnya sudah mengetahui bagaimana
penanganan hipotermi saat mendaki, namun
karena informasi yang didapatkan hanya terbatas
dari 1 sumber informasi menyebabkan informasi
yang didapat tidak begitu banyak sehingga
pengetahuan yang didapatkan juga kurang begitu
mendalam dan menyebabkan pendaki kurang
memahami terutama pada penanganan korban
hipotermi berat dan hipotermi dengan penurunan
kesadaran. Selain dari faktor sumber informasi,
tingkat pengetahuan cukup juga dimungkinkan
dipengaruhi oleh faktor lain yaitu Peneliti juga
berasumsi bahwa selain dari sumber informasi,
tingkat pengetahuan cukup dari pendaki juga
dipengaruhi oleh faktor lain yaitu pengalaman
memberikan pertolongan pada kejadian
hipotermi.
Sebanyak 14 pendaki (28,00%) yang
berpengetahuan cukup adalah pendaki yang
Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper
Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Fakultas Ilmu Kesehatan
ISBN 978-602-0791-41-8
100 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o
2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9
belum pernah menolong korban yang mengalami
hipotermi saat melakukan pendakian. Fakta
diatas sesuai dengan teori dari Notoatmodjo
(2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan
dapat diperoleh dari pengalaman baik dari
pengalaman pribadi maupun dari pengalaman
orang lain dan pengalaman merupakan suatu cara
untuk memperoleh kebenaran suatu
pengetahuan. Peneliti berasumsi bahwa pendaki
yang memiliki pengetahuan cukup dikarenakan
belum pernah mengalami hipotermi maupun
terlibat dalam memberikan pertolongan pada
korban hipotermi selama melakukan pendakian.
Sehingga meskipun sudah memiliki informasi
tentang bagaimana pertolongan pertama pada
hipotermi, pendaki tersebut masih belum
memiliki gambaran secara nyata tentang
manifestasi klinis maupun tindakan yang harus
dilakukan saat terjadi hipotermi.
Hasil penelitian menunjukkan dari 50
responden didapatkan 17 (34,00%) memiliki
pengetahuan kurang. Dimana 12 pendaki
(24,00%) diantaranya sudah melakukan
pendakian > 4 kali. Fakta lain didapatkan 16
pendaki (32,00%) tidak pernah mengalami
hipotermi. Sesuai dengan teori Budiman &
Riyanto (2014) yang mengatakan bahwa
pengalaman yang berulang-ulang dapat
menyebabkan terbentuknya pengetahuan.
pendaki yang sudah melakukan pendakian
berkali-kali masih memiliki pengalaman yang
kurang, sehingga memiliki pengetahuan kurang
tentang pertolongan pada hipotermi. Pengalaman
yang masih kurang tersebut dikarenakan pendaki
belum pernah mengalami hipotermi maupun
memberikan pertolongan pada korban hipotermi
selama melakukan pendakian, sehingga pendaki
belum punya gambaran yang nyata tentang
manifestasi klinis dari hipotermi maupun melihat
secara langsung cara penanganan korban
hipotermi.
Penelitian terhadap 42 responden juga
didapatkan sebagian kecil (16,67%) atau 7
pendaki memiliki pengetahuan baik. Fakta dari
penelitian didapatkan 6 pendaki (14,29%) yang
memiliki pengetahuan baik berada pada rentang
usia remaja. Fakta tersebut menunjukan bahwa
usia remaja justru memiliki pengetahuan yang
baik, dimana fakta tersebut tidak sesuai dengan
teori Notoatmodjo (2010) yang mengatakan
semakin bertambahnya usia seseorang maka
makin bertambah pula tingkat pengetahuan
seseorang. Peneliti berasumsi bahwa ada faktor
selain umur yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan baik dari pendaki.
Hasil penelitian juga didapatkan 6
pendaki (14,29%) yang memiliki pengetahuan
baik merupakan pendaki yang belum pernah
mengalami hipotermi, dan 5 pendaki (11,90%)
yang berpengetahuan baik belum pernah
memberikan pertolongan pada korban hipotermi.
Fakta tersebut juga menunjukan bahwa
pengalaman pendaki yang memiliki pengetahuan
baik juga tidak begitu banyak dan tidak sesuai
dengan teori dari Fahmi (2012) yang mengatakan
bahwa pengalaman merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi pengetahuan yang
berkaitan dengan usia dan pendidikan individu.
Peneliti berasumsi bahwa ada faktor lain yang
lebih berpengaruh terhadap pengetahuan baik
dari pendaki meskipun pengalaman yang dimiliki
masih sedikit.
Hasil penelitian menunjukkan dari 7
pendaki (14,00%) yang berpengetahuan baik 4
pendaki berpendidikan SMA dan 3 pendaki
berpendidikan Kuliah/ Sarjana. Notoatmodjo
(2010) juga mengatakan bahwa intelegensi
diartikan sebagai kemampuan untuk belajar dan
berfikir secara abstrak sehingga individu mampu
menyesuaikan diri secara mental dalam situasi
baru, serta berpengaruh terhadap hasil dari proses
belajar seseorang. Peneliti berasumsi dari fakta
dan teori diatas menunjukan bahwa intelegensi
lebih mempengaruhi tingkat pengetahuan dari
pendaki sehingga berada pada taraf baik.
Intelegensi yang tinggi mempengaruhi cara
berfikir pendaki dan menyebabkan pendaki
menyerap dan menganalisis segara informasi
yang diperoleh sehingga pengetahuan yang
dimiliki berada pada taraf yang baik. Intelegensi
yang tinggi dari pendaki juga mempengaruhi
kemampuan belajar dari pendaki sehingga
mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang
dialami dan memperoleh pengetahuan yang lebih
banyak.
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pengetahuan pendaki
gunung tentang pertolongan pertama pada
hipotermi di Wana Wisata Cemoro Sewu,
Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan dapat
disimpulkan bahwa dari 50 responden lebih dari
Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper
Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Fakultas Ilmu Kesehatan
ISBN 978-602-0791-41-8
101 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o
2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9
setengahnya (52.00%) atau 26 pendaki
berpengetahuan cukup tentang penanganan pada
hipotermi
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Berko, Jeffrey, Deborah D Ingram, Shubhayu
S & Jennifer D Parker. 2014. National Health
Statistics Reports: Death Attributed to Heat,
Cold, and Other Weather Events In the United
States, 2006-2010. Hyattsville: U.S
Department of Health & Human Services.
[2]. Betterhealth. 2015. Hypothermia. Victoria:
Ambulance Victoria.
[3]. Brocherie, Franck, Olivier Girard & Grégoire
P Millet. 2015. Emerging Environmental and
Weather Challenges in Outdoor Sports.
Switzerland: Institute of Sports Sciences,
Department of Physiology, Faculty of Biology
and Medicine, University of Lausanne.
[4]. Budiman & Riyanto. 2014. Kapita Selekta
Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
[5]. Fahmi, Ismail. 2012. Gambaran Pengetahuan
Perawat Tentang Kewaspadaan Standart.
Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Program
Studi S-1 Keperawatan Universitas Indonesia.
[6]. Iryani, Neni. 2013. Dlajah: Persiapan Naik
Gunung. Bandung: Wanadri.
[7]. Milne, Tom. 2009. Hypothermia: Avoid,
Recognize and Treatment. www.wta.org diakses
pada 27 Agustus 2016.
[8]. Munir, Syahrul. 2016. Alami Hipotermia,
Seorang Pendaki Tewas di Gunung Merbabu.
www.kompas.com diakses pada 25 Agustus
2016.
[9]. Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan
Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka. Cipta. 2010.
Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
[10]. Rosandrani, K N. 2016. Hipotermia, Pendaki
Tewas di Pyramid Carstensz.
www.nationalgeographic.co.id diakses pada
tanggal 25 Agustus 2016.
[11]. Setiadi, Arif. 2016. Alami Hypotermia di
Puncak Gunung Lawu, Sri Dievakuasi.
www.okezone.com diakses pada 25 Agustus
2016.