pengetahuan tentang penanganan hipotermi pada …

5
Prosiding 1 st Seminar Nasional dan Call for Paper Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Fakultas Ilmu Kesehatan ISBN 978-602-0791-41-8 97 | Universitas Muhammadiyah Ponorogo 22-23 Agustus 2019 PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA PENDAKI GUNUNG DI WANA WISATA CEMORO SEWU, GUNUNG LAWU, MAGETAN Filia Icha Sukamto 1 1 Universitas Muhammadiyah Ponorogo ABSTRACT Keyword: Pengetahuan, Penanganan Hipotermi Abstract Hypothermia is very dangerous because it can develop quickly. If left untreated, it can cause shock and be fatal (Milne, 2009). Besides exposure to cold temperatures also result in death because it can worsen pre-existing chronic conditions (such as cardiovascular disease and respiratory disease) and those who undergo treatment are more susceptible to the effects of cold (Berko et al, 2014).mThe design of this research is quantitative descriptive with 141 mountain climbers as population. The sample of this study was 50 mountain climbers using a sampling quota. The data collection method uses a closed questionnaire which is then processed and analyzed based on the percentage. The results of the study of 50 respondents showed that 26 mountain climbers (52.00%) had sufficient knowledge, 17 climbers (34.00%) had less knowledge, and 7 climbers (14.00%) had good knowledge. The results showed more than half of respondents had sufficient knowledge about handling hypothermia with various factors that affect the level of knowledge of respondents. This indicates that information from various parties must be improved to increase the knowledge of the dangers of hipootermi if not treated immediately Abstrak Hipotermi sangat berbahaya karena dapat berkembang dengan cepat. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan syok dan berakibat fatal (Milne, 2009). Selain itu paparan suhu yang dingin juga mengakibatkan kematian karena dapat memperburuk kondisi kronis yang sudah ada sebelumnya (seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan) dan mereka yang menjalani pengobatan lebih rentan terhadap efek dingin (Berko et all, 2014). Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan 141 pendaki gunung sebagai populasi. Sampel penelitian ini adalah 50 orang pendaki gunung dengan menggunakan purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup yang kemudian dilakukan pengolahan data dan dianalisis berdasarkan prosentase. Hasil penelitian terhadap 50 responden menunjukkan bahwa 26 pendaki gunung (52,00%) memiliki pengetahuan yang cukup, 17 pendaki (34,00%) memiliki pengetahuan yang kurang, dan 7 pendaki (14,00%) memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengahnya responden memiliki pengetahuan cukup tentang penanganan hipotermi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Hal ini menunjukkan bahwa masih harus ditingkatkan pemberian informasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan pendaki tetang bahaya hipootermi jika tidak ditangani dengan segera. 1. PENDAHULUAN Kegiatan mendaki gunung atau sering disebut mountaineering merupakan kegiatan yang banyak diminati oleh berbagai kalangan. Namun kegiatan mendaki gunung juga memiliki risiko yang dapat mengancam keselamatan pendaki. Salah satu risiko yang mengancam keselamatan pendaki adalah hipotermi (Iryani, 2013). Hipotermi atau hypothermia merupakan suatu kondisi dimana

Upload: others

Post on 14-Apr-2022

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA …

Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper

Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Fakultas Ilmu Kesehatan

ISBN 978-602-0791-41-8

97 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o

2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9

PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI

PADA PENDAKI GUNUNG DI WANA WISATA CEMORO

SEWU, GUNUNG LAWU, MAGETAN

Filia Icha Sukamto1

1Universitas Muhammadiyah Ponorogo

ABSTRACT

Keyword:

Pengetahuan,

Penanganan Hipotermi

Abstract

Hypothermia is very dangerous because it can develop quickly. If left

untreated, it can cause shock and be fatal (Milne, 2009). Besides exposure

to cold temperatures also result in death because it can worsen pre-existing

chronic conditions (such as cardiovascular disease and respiratory disease)

and those who undergo treatment are more susceptible to the effects of cold

(Berko et al, 2014).mThe design of this research is quantitative descriptive

with 141 mountain climbers as population. The sample of this study was 50

mountain climbers using a sampling quota. The data collection method uses

a closed questionnaire which is then processed and analyzed based on the

percentage. The results of the study of 50 respondents showed that 26

mountain climbers (52.00%) had sufficient knowledge, 17 climbers (34.00%)

had less knowledge, and 7 climbers (14.00%) had good knowledge. The

results showed more than half of respondents had sufficient knowledge about

handling hypothermia with various factors that affect the level of knowledge

of respondents. This indicates that information from various parties must be

improved to increase the knowledge of the dangers of hipootermi if not

treated immediately

Abstrak

Hipotermi sangat berbahaya karena dapat berkembang dengan cepat. Jika

tidak diobati, dapat menyebabkan syok dan berakibat fatal (Milne, 2009).

Selain itu paparan suhu yang dingin juga mengakibatkan kematian karena

dapat memperburuk kondisi kronis yang sudah ada sebelumnya (seperti

penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan) dan mereka yang

menjalani pengobatan lebih rentan terhadap efek dingin (Berko et all, 2014).

Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan 141 pendaki

gunung sebagai populasi. Sampel penelitian ini adalah 50 orang pendaki

gunung dengan menggunakan purposive sampling. Metode pengumpulan

data menggunakan kuesioner tertutup yang kemudian dilakukan pengolahan

data dan dianalisis berdasarkan prosentase. Hasil penelitian terhadap 50

responden menunjukkan bahwa 26 pendaki gunung (52,00%) memiliki

pengetahuan yang cukup, 17 pendaki (34,00%) memiliki pengetahuan yang

kurang, dan 7 pendaki (14,00%) memiliki pengetahuan yang baik. Hasil

penelitian menunjukkan lebih dari setengahnya responden memiliki

pengetahuan cukup tentang penanganan hipotermi dengan berbagai faktor

yang mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Hal ini menunjukkan

bahwa masih harus ditingkatkan pemberian informasi dari berbagai pihak

untuk meningkatkan pengetahuan pendaki tetang bahaya hipootermi jika

tidak ditangani dengan segera.

1. PENDAHULUAN

Kegiatan mendaki gunung atau sering disebut

mountaineering merupakan kegiatan yang banyak

diminati oleh berbagai kalangan. Namun kegiatan

mendaki gunung juga memiliki risiko yang dapat

mengancam keselamatan pendaki. Salah satu

risiko yang mengancam keselamatan pendaki

adalah hipotermi (Iryani, 2013). Hipotermi atau

hypothermia merupakan suatu kondisi dimana

Page 2: PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA …

Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper

Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Fakultas Ilmu Kesehatan

ISBN 978-602-0791-41-8

98 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o

2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9

tubuh kehilangan suhu panas dengan cepat sehingga

menyebabkan temperatur tubuh menurun drastis.

Seseorang bisa dikatakan mengalami hipotermi jika

suhu tubuhnya di bawah 350C. Hipotermi sangat

berbahaya karena dapat berkembang dengan cepat.

Jika tidak diobati, dapat menyebabkan syok dan

berakibat fatal (Milne, 2009). Selain itu paparan suhu

yang dingin juga mengakibatkan kematian karena

dapat memperburuk kondisi kronis yang sudah ada

sebelumnya (seperti penyakit kardiovaskular dan

penyakit pernapasan) dan mereka yang menjalani

pengobatan lebih rentan terhadap efek dingin (Berko et

all, 2014). Berdasarkan laporan dari Scottish Mountain

Rescue tahun 2011, para pendaki yang telah

diselamatkan mengatakan hipotermi menjadi

penyebab paling umum. Cuaca merupakan faktor

penyebab yang paling utama. Lingkungan yang dingin

termasuk temperatur udara maupun suhu rendah (atau

keduanya), angin kencang, radiasi sinar matahari yang

rendah, curah hujan yang tinggi, dapat meningkatkan

koefisien perpindahan panas.

Lebih dari 34 Juta orang di dunia bepergian ke

daerah pegunungan setiap tahun dan secara rutin

menghadapi tantangan lingkungan seperti suhu yang

sangat dingin dengan penurunan 1oC setiap naik 150

m (Brocherie et al, 2015). Dalam kurun waktu 3 bulan,

1 orang meninggal di Gunung Merbabu pada bulan

Februari 2016 (Munir, 2016). Kemudian pada bulan

Maret 2016 di Gunung Lawu 1 orang harus dirawat

intensif (Setiadi, 2016). Selain itu 1 orang juga

meninggal di puncak Cartenz pada bulan April 2016

(Rosandrani, 2016). Dari hasil wawancara terhadap

pendaki, 3 dari 5 orang tidak mengetahui tentang

penanganan hipotermi. Sedangkan 1 orang tidak

mengetahui sama sekali apa yang dimaksud dengan

hipotermi.

Kurangnya pengetahuan diantara pendaki

tentang hipotermi juga menjadi penyebab

meningkatnya kasus hipotermi. Salah satu mitos

tentang hipotermi di kalangan pendaki adalah

kehilangan panas jauh lebih besar pada bagian kepala

dibandingkan bagian tubuh yang lain. Sehingga

banyak pendaki yang menggunakan topi atau penutup

kepala untuk menjaga kehangatan bagian kepala,

namun kurang memperhatikan bagian tubuh yang lain.

Hal ini tidak dibenarkan, karena panas tubuh hilang

melalui semua bagian yang terpapar lingkungan

dingin. Pengeluaran panas pada bagian kepala orang

dewasa hanya sebesar 10% dari bagian tubuh yang lain

(Betterhealth, 2015).

Peningkatan kejadian hipotermi sebenarnya

dapat di tekan dengan memberikan penanganan yang

tepat pada penderita. Dalam hal ini pengetahuan

pendaki tentang pencegahan maupun pertolongan

pertama saat mengalami hipotermia menjadi faktor

yang paling penting. Pemberian tindakan yang tepat

dan cepat dapat mengurangi resiko kegawatan

hipotermi dan meningkatkan angka harapan hidup bagi

penderita, sehingga angka mortalitas akibat hipotermi

dapat ditekan.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibuat dengan menggunakan

metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif adalah

suatu metode penilitan yang digunakan untuk

menyediakan informasi yang berhubungan dengan

prevalensi, distribusi, dan hubungan antara variabel

dalam suatu populasi. Sedangkan kuantitatif adalah

metode pendekatan ilmiah yang memandang suatu

realitas itu dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati,

dan terukur, hubungan antar variabelnya bersifat sebab

akibat dimana data penelitiannya berupa angka-angka

dan analisisnya menggunakan statistik (Notoatmodjo,

2005). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh

pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro Sewu,

Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,

Kabupaten Magetan dengan perkiraan jumlah rata-rata

141 pendaki perhari. Sampel pada penelitian ini

sebagian pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro

Sewu, Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,

Kabupaten Magetan sejumlah 50 pendaki dengan

teknik pengambilan sampling Kuota Sampling.

Analisis Univariat dengan prosentase baik untuk data

umum maupun data khusus.

Page 3: PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA …

Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper

Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Fakultas Ilmu Kesehatan

ISBN 978-602-0791-41-8

99 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o

2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia, Pendidikan, Pengalaman Mendaki, Pernah/ tidak mengalami hipotermi,

pernah/ tidak memberikan pertolongansumber informasi Pengetahuan tentang hipotermi pada

pendaki gunung di Wana Wisata Cemoro Sewu, Kawasan Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan,

Kabupaten Magetan

Variabel

Umum/ Khusus

Frekuensi Persen (%)

Usia 12-25 th

26 – 45 th

≥45 th

32

15

3

64,00

30,00

6,00

Total 50 100

Pendidikan SMP

SMA

Sarjana/PT

2

31

17

4,00

62,00

34,00

Total 50 100

Pengalaman Mendaki 1 kali

2-3 kali

Lebih 4 kali

10

13

27

20,00

26,00

34,00

Total 50 100

Pernah/ Tidak mengalami

hipotermi

Pernah

Tidak

6

44

12,00

88,00

Total 50 100

Pernah/tidak Memberikan

Pertolongan

Pernah

Tidak

18

32

36,00

64,00

Total 50 100

Sumber Informasi 1 Sumber Informasi

2 Sumber Informasi

3 Sumber Informasi

4 Sumber Informasi

35

7

6

2

70,00

14,00

12,00

4,00

Total 50 100

Pengetahuan Baik

Cukup

Kurang

7

26

17

14,00

52,00

34,00

50 100

Sumber : Data primer 2017

Hasil penelitian didapatkan dari 50

responden ada (52,0%) atau sebanyak 26

responden memiliki tingkat pengetahuan cukup.

Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 26

pendaki (52,0%) yang berpengetahuan cukup

mendapatkan informasi tentang penanganan pada

hipotermi dari 1 sumber informasi, yaitu

sebanyak 17 pendaki (34,00%) dengan sumber

informai yang diperoleh dari pendaki lain,

internet, pelatihan dan petugas kesehatan.

Menurut Fahmi (2012), sumber informasi

merupakan proses pemberitahuan yang dapat

membuat seseorang mengetahui informasi

sehingga semakin banyak informasi yang didapat

maka akan semakin luas pengetahuan seseorang.

Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa pendaki

yang berpengetahuan cukup merupakan pendaki

yang sebenarnya sudah mengetahui bagaimana

penanganan hipotermi saat mendaki, namun

karena informasi yang didapatkan hanya terbatas

dari 1 sumber informasi menyebabkan informasi

yang didapat tidak begitu banyak sehingga

pengetahuan yang didapatkan juga kurang begitu

mendalam dan menyebabkan pendaki kurang

memahami terutama pada penanganan korban

hipotermi berat dan hipotermi dengan penurunan

kesadaran. Selain dari faktor sumber informasi,

tingkat pengetahuan cukup juga dimungkinkan

dipengaruhi oleh faktor lain yaitu Peneliti juga

berasumsi bahwa selain dari sumber informasi,

tingkat pengetahuan cukup dari pendaki juga

dipengaruhi oleh faktor lain yaitu pengalaman

memberikan pertolongan pada kejadian

hipotermi.

Sebanyak 14 pendaki (28,00%) yang

berpengetahuan cukup adalah pendaki yang

Page 4: PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA …

Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper

Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Fakultas Ilmu Kesehatan

ISBN 978-602-0791-41-8

100 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o

2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9

belum pernah menolong korban yang mengalami

hipotermi saat melakukan pendakian. Fakta

diatas sesuai dengan teori dari Notoatmodjo

(2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan

dapat diperoleh dari pengalaman baik dari

pengalaman pribadi maupun dari pengalaman

orang lain dan pengalaman merupakan suatu cara

untuk memperoleh kebenaran suatu

pengetahuan. Peneliti berasumsi bahwa pendaki

yang memiliki pengetahuan cukup dikarenakan

belum pernah mengalami hipotermi maupun

terlibat dalam memberikan pertolongan pada

korban hipotermi selama melakukan pendakian.

Sehingga meskipun sudah memiliki informasi

tentang bagaimana pertolongan pertama pada

hipotermi, pendaki tersebut masih belum

memiliki gambaran secara nyata tentang

manifestasi klinis maupun tindakan yang harus

dilakukan saat terjadi hipotermi.

Hasil penelitian menunjukkan dari 50

responden didapatkan 17 (34,00%) memiliki

pengetahuan kurang. Dimana 12 pendaki

(24,00%) diantaranya sudah melakukan

pendakian > 4 kali. Fakta lain didapatkan 16

pendaki (32,00%) tidak pernah mengalami

hipotermi. Sesuai dengan teori Budiman &

Riyanto (2014) yang mengatakan bahwa

pengalaman yang berulang-ulang dapat

menyebabkan terbentuknya pengetahuan.

pendaki yang sudah melakukan pendakian

berkali-kali masih memiliki pengalaman yang

kurang, sehingga memiliki pengetahuan kurang

tentang pertolongan pada hipotermi. Pengalaman

yang masih kurang tersebut dikarenakan pendaki

belum pernah mengalami hipotermi maupun

memberikan pertolongan pada korban hipotermi

selama melakukan pendakian, sehingga pendaki

belum punya gambaran yang nyata tentang

manifestasi klinis dari hipotermi maupun melihat

secara langsung cara penanganan korban

hipotermi.

Penelitian terhadap 42 responden juga

didapatkan sebagian kecil (16,67%) atau 7

pendaki memiliki pengetahuan baik. Fakta dari

penelitian didapatkan 6 pendaki (14,29%) yang

memiliki pengetahuan baik berada pada rentang

usia remaja. Fakta tersebut menunjukan bahwa

usia remaja justru memiliki pengetahuan yang

baik, dimana fakta tersebut tidak sesuai dengan

teori Notoatmodjo (2010) yang mengatakan

semakin bertambahnya usia seseorang maka

makin bertambah pula tingkat pengetahuan

seseorang. Peneliti berasumsi bahwa ada faktor

selain umur yang mempengaruhi tingkat

pengetahuan baik dari pendaki.

Hasil penelitian juga didapatkan 6

pendaki (14,29%) yang memiliki pengetahuan

baik merupakan pendaki yang belum pernah

mengalami hipotermi, dan 5 pendaki (11,90%)

yang berpengetahuan baik belum pernah

memberikan pertolongan pada korban hipotermi.

Fakta tersebut juga menunjukan bahwa

pengalaman pendaki yang memiliki pengetahuan

baik juga tidak begitu banyak dan tidak sesuai

dengan teori dari Fahmi (2012) yang mengatakan

bahwa pengalaman merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi pengetahuan yang

berkaitan dengan usia dan pendidikan individu.

Peneliti berasumsi bahwa ada faktor lain yang

lebih berpengaruh terhadap pengetahuan baik

dari pendaki meskipun pengalaman yang dimiliki

masih sedikit.

Hasil penelitian menunjukkan dari 7

pendaki (14,00%) yang berpengetahuan baik 4

pendaki berpendidikan SMA dan 3 pendaki

berpendidikan Kuliah/ Sarjana. Notoatmodjo

(2010) juga mengatakan bahwa intelegensi

diartikan sebagai kemampuan untuk belajar dan

berfikir secara abstrak sehingga individu mampu

menyesuaikan diri secara mental dalam situasi

baru, serta berpengaruh terhadap hasil dari proses

belajar seseorang. Peneliti berasumsi dari fakta

dan teori diatas menunjukan bahwa intelegensi

lebih mempengaruhi tingkat pengetahuan dari

pendaki sehingga berada pada taraf baik.

Intelegensi yang tinggi mempengaruhi cara

berfikir pendaki dan menyebabkan pendaki

menyerap dan menganalisis segara informasi

yang diperoleh sehingga pengetahuan yang

dimiliki berada pada taraf yang baik. Intelegensi

yang tinggi dari pendaki juga mempengaruhi

kemampuan belajar dari pendaki sehingga

mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang

dialami dan memperoleh pengetahuan yang lebih

banyak.

4. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian pengetahuan pendaki

gunung tentang pertolongan pertama pada

hipotermi di Wana Wisata Cemoro Sewu,

Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan dapat

disimpulkan bahwa dari 50 responden lebih dari

Page 5: PENGETAHUAN TENTANG PENANGANAN HIPOTERMI PADA …

Prosiding 1st Seminar Nasional dan Call for Paper

Arah Kebijakan dan Optimalisasi Tenaga Kesehatan Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Fakultas Ilmu Kesehatan

ISBN 978-602-0791-41-8

101 | U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h P o n o r o g o

2 2 - 2 3 A g u s t u s 2 0 1 9

setengahnya (52.00%) atau 26 pendaki

berpengetahuan cukup tentang penanganan pada

hipotermi

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Berko, Jeffrey, Deborah D Ingram, Shubhayu

S & Jennifer D Parker. 2014. National Health

Statistics Reports: Death Attributed to Heat,

Cold, and Other Weather Events In the United

States, 2006-2010. Hyattsville: U.S

Department of Health & Human Services.

[2]. Betterhealth. 2015. Hypothermia. Victoria:

Ambulance Victoria.

[3]. Brocherie, Franck, Olivier Girard & Grégoire

P Millet. 2015. Emerging Environmental and

Weather Challenges in Outdoor Sports.

Switzerland: Institute of Sports Sciences,

Department of Physiology, Faculty of Biology

and Medicine, University of Lausanne.

[4]. Budiman & Riyanto. 2014. Kapita Selekta

Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam

Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba

Medika.

[5]. Fahmi, Ismail. 2012. Gambaran Pengetahuan

Perawat Tentang Kewaspadaan Standart.

Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Program

Studi S-1 Keperawatan Universitas Indonesia.

[6]. Iryani, Neni. 2013. Dlajah: Persiapan Naik

Gunung. Bandung: Wanadri.

[7]. Milne, Tom. 2009. Hypothermia: Avoid,

Recognize and Treatment. www.wta.org diakses

pada 27 Agustus 2016.

[8]. Munir, Syahrul. 2016. Alami Hipotermia,

Seorang Pendaki Tewas di Gunung Merbabu.

www.kompas.com diakses pada 25 Agustus

2016.

[9]. Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan

Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka. Cipta. 2010.

Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:

Rineka Cipta.

[10]. Rosandrani, K N. 2016. Hipotermia, Pendaki

Tewas di Pyramid Carstensz.

www.nationalgeographic.co.id diakses pada

tanggal 25 Agustus 2016.

[11]. Setiadi, Arif. 2016. Alami Hypotermia di

Puncak Gunung Lawu, Sri Dievakuasi.

www.okezone.com diakses pada 25 Agustus

2016.