penggunaan metode vacuum bagging pada proses …repository.ub.ac.id/6919/35/pusananda, febriko...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN METODE VACUUM BAGGING PADA
PROSES PEMBUATAN KOMPOSIT BERSERAT KULIT
POHON WARU (HIBISCUS TILIACEUS)
SKRIPSI
TEKNIK MESIN KONSENTRASI TEKNIK PRODUKSI
Diajukan utuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
FEBRIKO DRIA PUSANANDA
NIM. 135060201111063
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PENGGUNAAN METODE VACUUM BAGGING PADA PROSES
PEMBUATAN KOMPOSIT BERSERAT KULIT POHON WARU
(HIBISCUS TILIACEUS)
SKRIPSI
TEKNIK MESIN KONSENTRASI
TEKNIK PRODUKSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
FEBRIKO DRIA PUSANANDA
NIM. 135060201111063
Skripsi ini telah direvisi dan disetujui oleh dosen pembimbing
pada tanggal 14 September 2017
Dosen Pembimbing I
Dr.Eng.Sofyan Arief Setyabudi,ST.,M.Eng.
NIP. 19731124 199802 1 001
Dosen Pembimbing II
Ir. Ari Wahjudi.,MT .
NIP. 19680324 199412 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi S1
Dr. Eng. Widya Wijayanti, ST., MT.
NIP. 19750802 199903 2 002
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan saya dan
berdasarkan hasil penelurusan berbagai karya ilmiah, gagasan dan masalah ilmiah yang
diteliti dan diulas didalam Naskah Skripsi ini adalah asli dari pemikiran saya. Tidak pernah
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini
dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
jiplakan, saya bersedia Skripsi dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Malang, 4 September 2017
Mahasiswa,
Febriko Dria Pusananda
NIM. 135060201111063
JUDUL SKRIPSI:
Penggunaan Metode Vacuum Bagging pada Proses Pembuatan Komposit Berserat Kulit
Pohon Waru (hibiscus tilliaceus)
Nama Mahasiswa : Febriko Dria Pusananda
NIM : 135060201111063
Program Studi : Teknik Mesin
Minat : Teknik Produksi
KOMISI PEMBIMBING
Pembimbing I : Dr. Eng. Sofyan Arief Setyabudi, S.T., M.Eng.
Pembimbing II : Ir. Ari Wahjudi, MT.
TIM DOSEN PENGUJI
Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. Achmad As’ad Sonief ., MT
Dosen Penguji 2 : Ir. Erwin Sulistyo, MT.
Dosen Penguji 3 : Nafisah Arina Hidayati, ST., M.Eng.
Tanggal Ujian : 31 Juli 2017
SK Penguji : 953/UN10.6/SK/2017
Teruntuk Kedua Orang Tua dan Kakakku, Terimakasih Telah
Memberikan Dukungan Moril dan Materiil hingga saya Sarjana.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan baik. Laporan
skripsi ini berjudul “Penggunaan Metode Vacuum Bagging pada Proses Pembuatan
Komposit Berserat Kulit Pohon Waru (hibiscus tilliaceus)”.
Laporan ini disusun sebagai bentuk dokumentasi dan hasil akhir dari proses
perkuliahan yang telah dilaksanakan. Laporan ini juga diajukan sebagai syarat kelulusan
untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik dalam kurikulum program studi Teknik Mesin
Universitas Brawijaya.
Dalam melaksanakan proses penelitian dan penyusunan laporan ini, penulis
menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan semuanya dengan baik tanpa bantuan
dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada banyak pihak di antaranya:
1. Bapak Dr. Eng. Sofyan Arief Setyabudi, ST.,M.Eng. selaku dosen pembimbing I
yang telah memberi bimbingan serta ilmu dalam penyusunan skripsi ini
2. Bapak Ir. Ari Wahjudi, MT. selaku dosen pembimbing II dan dosen pembimbing
akademik atas saran, bimbingan, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini
3. Bapak Dr.Eng. Nurcholis Hamidi, ST.,M.Eng. selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin
Universitas Brawijaya
4. Bapak Purnami, ST.,MT selaku Sekertaris Jurusan Teknik Mesin Universitas
Brawijaya
5. Ibu Dr.Eng. Widya Wijayanti, ST.,MT. selaku Kepala program studi S1
6. Bapak Agus Purwanto dan (Almh) ibu Ratih Sri Hendarti selaku orangtua yang selalu
memotivasi penulis, serta ibu Herlina, Mbak Astrid dan Diandra yang selalu
memberikan dukungan baik moral maupun materiil.
7. Seluruh dosen jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah memberi ilmu
selama perkuliahan
8. Keluarga besar Laboratorium Pengujian Bahan Teknik Mesin UB yang selalu
membantu terealisasinya tulisan ini, khususnya Bapak Erwin Sulistyo, Bapak
Suhastomo, Bu Putu, Safira, Andre, Bonang, Izhar, Padang, Ira, Ikbar, Tino, Abiel
jahat, Abiel baik, Vicky, Diyan,, Isty, Mas oye. Mas Yogi, Mas Kharisma, Mas
ii
Weko, Mas Ateng, Mas Rifki, Mas Sonson, Mas Andi, Mas Ndoy, Mas Edo dan
Mbak Disya.
9. Teman-teman CALON ST khususnya Fadio, Aga, Acil, Lutvi, Acong, Satrio,
Bangun, Gopal, Fariz, Fahri, Razan, Isna, Sondy dan Detya terimakasih teman teman
seperjuangan dari maba.
10. Laboratorium Komposit dan penunggunya, Mas Bagus, Mas Mahatir, dan Adin.
11. Pengurus Himpunan periode 2016/2017 khususnya Firman, Ayu, Fathan, Arab,
Munif, Sudiro, Gendut, Okky, Chandra, Dhika, Jipau, Dodo, Azlan, Ripal, Emak,
Kamarudin, dan seluruh anggota pengurus Himpunan, terimakasih telah menemani
dan bekerja bersama.
12. Keluarga Besar Mahasiswa Mesin, Khususnya M13 “SUSAH SENENG
TANGGUNG BARENG” Putra dio, Rudy, moris, fajar, rossi, agung, narji, puji,
wiwid, beryl, rizky agusta, reza sipit, lucky, desy, melisa, jhordan, zulfa, babat, alim,
rifki usri, dan seluruh teman teman.
13. Pengurus BEM dan teman ngopi Ifur, Razi, Adi, Mukti, Akbar, Lingga, Oase, Rudy,
Dzaky, David, Tatag, Ojan, Dio, Fani, dan Imam.
14. Dhestin Herzuna Aldila yang selalu menemani, mengingatkan dikala malas dan
memotivasi penulis dalam mengerjakan tulisan ini.
15. Seluruh pihak yang membantu tersusunnya tulisan ini
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membantu perkembangan pembahasan terkait topik laporan ini maupun bagi penulis
secara pribadi. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan bagi
perkembangan keilmuan Teknik Mesin Universitas Brawijaya.
Malang, Juli 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ x
RINGKASAN .......................................................................................................... xi
SUMMARY ............................................................................................................. xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3 Batasan Masalah................................................................................................... 2
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya ......................................................................................... 4
2.2 Material Komposit ............................................................................................... 4
2.3 Klasifikasi Komposit ............................................................................................ 5
2.4 Matrik ................................................................................................................... 7
2.5 Jenis – jenis Matrik Polimer ................................................................................. 8
2.5.1 Thermoset Resin.......................................................................................... 9
2.5.2 Thermoplastic Resin................................................................................... 10
2.6 Serat ..................................................................................................................... 11
2.6.1 Keuntungan ................................................................................................. 13
2.6.2 Kerugian ...................................................................................................... 13
2.7 Pohon Waru .......................................................................................................... 14
2.8 Polimer Dan Polimerisasi ..................................................................................... 14
2.9 Teori Ikatan Matriks dan Serat Penguat ............................................................... 16
2.10 Kekuatan Tarik dan Debonding ......................................................................... 17
2.11 Metode Manufaktur Komposit ........................................................................... 18
2.11.1 Proses Cetakan Terbuka / Open-Mold Process ......................................... 19
iv
2.11.2 Proses Cetakan Tertutup / Closed Mold Processes ................................... 21
2.12 Cacat pada komposit .......................................................................................... 24
2.13 Hipotesis ............................................................................................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian .......................................................................................... 26
3.2 Tempat Pengambilan Data Pengujian .................................................................. 26
3.3 Variabel Penelitian ............................................................................................... 26
3.3.1 Variabel Bebas ............................................................................................ 26
3.3.2 Variabel Terikat .......................................................................................... 26
3.3.3 Variabel Terkontrol ..................................................................................... 26
3.4 Spesifikasi Alat Dan Bahan ................................................................................. 27
3.4.1 Bahan Penelitian.......................................................................................... 27
A. Resin........................................................................................................ 27
B. Serat ......................................................................................................... 27
C. Larutan Alkali ......................................................................................... 28
3.4.2 Alat Penelitian ............................................................................................. 29
A. Mesin uji Tarik Komposit ....................................................................... 29
B. Gelas Ukur............................................................................................... 29
C. Timbangan digital ................................................................................... 30
D. Sealent Tape ............................................................................................ 30
E. Plastic Bag ............................................................................................... 31
F. Vacuum Compressor ............................................................................... 31
G. Resin Trap ............................................................................................... 36
H. Alas Cetakan ........................................................................................... 36
3.5 Spesimen Uji Tarik Komposit .............................................................................. 32
3.6 Instalasi Penelitian ............................................................................................... 33
3.7 Prosedur Penelitian............................................................................................... 33
3.7.1 Proses Perendaman Alkali........................................................................... 33
3.7.2 Proses Vacuum Bagging ............................................................................. 33
3.8 Analisa Data ......................................................................................................... 34
3.9 Diagram Alir Penelitian ....................................................................................... 34
v
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian......................................................................... 35
4.2 Foto Permukaan Produk Komposit Vacuum Bagging ......................................... 36
4.3 Analisa Patahan Komposit dengan Metode Vacuum Bagging ............................ 42
4.3.1 Analisa Patahan Matrik Epoxy .................................................................... 43
4.3.2 Analisa Patahan Matrik Polyester ................................................................ 45
4.3.3 Analisa Patahan Matrik Bisphenol............................................................... 47
4.3.4 Analisa Patahan Matrik Ripoxy ................................................................... 49
4.4 Perbandingan Patahan Produk Komposit ............................................................. 51
4.4.1 Epoxy ........................................................................................................... 51
4.4.2 Polyester ....................................................................................................... 52
4.4.3 Bisphenol ..................................................................................................... 53
4.4.4 Ripoxy .......................................................................................................... 54
4.5 Pengaruh Notch pada Hasil Patahan Produk Komposit ....................................... 55
4.5.1 Data Hasil Pengujian Tarik Komposit dengan Metode Vacuum
Bagging ................................................................................................................ 56
4.5.2 Diagram Tegangan Regangan Komposit Natural Fiber dengan metode
Vacuum Bagging .................................................................................................. 58
4.6 Perbandingan Kekuatan Tarik metode Vacuum Bagging dengan Resin
Infusion ...................................................................................................................... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 61
5.2 Saran ............................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 3.1 Komposisi Serat Waru ......................................................................... 28
Tabel 3.2 Ukuran Spesimen Uji Tarik ASTM D638-03 ...................................... 32
Tabel 4.1 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Epoxy ........................ 37
Tabel 4.2 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Polyester ................... 38
Tabel 4.3 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Bisphenol .................. 39
Tabel 4.4 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Ripoxy ....................... 40
vii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1. Klasifikasi Komposit ............................................................................ 6
Gambar 2.2. Particle-Reinforce (Filler Composites) ................................................ 6
Gambar 2.3 (A) Serat Panjang Orientasi Searah. (B) Serat Pendek Orientasi
Serah. (C) Serat Pendek Orientasi Acak. ................................................................... 7
Gambar 2.4. Sandwich Panel Composite .................................................................. 7
Gambar 2.5. Klasifikasi Komposit Berdasarkan Matrik Penyusunnya...................... 8
Gambar 2.6. Tampak Penampang Samping Ikatan Molekul Thermoset Resin
Ketika Pengawetan ................................................................................ 9
Gambar 2.7. Karakteristik Beberapa Thermoset Resin .............................................. 9
Gambar 2.8. Bentuk Molekular (A) Amorphous Dan (B) Semi-Crystalline
Polimer ................................................................................................................... 10
Gambar 2.9. Beberapa Jenis Resin Thermoplastic Dan Karakteristiknya ................ 11
Gambar 2.10. Susunan Serat Acak (Kanan) Dan Teratur (Kiri) ............................... 12 14
Gambar 2.11. Daun Dan Bunga Pohon Waru Hibiscus Tiliaceus ............................ 14
Gambar 2.12. Struktur Monomer Etilen Dan Polietilen ........................................... 15
Gambar 2.13. Polimerisasi Kondensasi Pada Ikatan Amida ..................................... 16
Gambar 2.14. Ikatan Mekanik ................................................................................... 16
Gambar 2.15. Ikatan Elektrostatik ............................................................................. 17
Gambar 2.16. Ikatan Reaksi ....................................................................................... 17
Gambar 2.17. Tegangan Regangan Polimer A) Getas B) Britel C) Ulet ................... 18
Gambar 2.18. Hand Lay Up ....................................................................................... 19
Gambar 2.19. Vacuum Bag ........................................................................................ 20
Gambar 2.20. Pressure Bag ....................................................................................... 20
Gambar 2.21. Spray Up .............................................................................................. 21
Gambar 2.22 Filament Winding ................................................................................. 21
Gambar 2.23 Compression Molding .......................................................................... 22
Gambar 2.24 Injection Molding ................................................................................. 22
Gambar 2.25 Continuous Pultrusion.......................................................................... 23
viii
Gambar 2.26 Resin Transfer Molding ........................................................................ 23
Gambar 3.1 Resin Dan Katalis ................................................................................... 27
Gambar 3.2. Serat Kulit Pohon Waru ....................................................................... 27
Gambar 3.3. Larutan Alkali ...................................................................................... 28
Gambar 3.4. Mesin Uji Tarik .................................................................................... 29
Gambar 3.5. Gelas Ukur............................................................................................ 29
Gambar 3.6. Timbangan Digital................................................................................ 30
Gambar 3.7. Sealent Tape ......................................................................................... 30
Gambar 3.8. Plastic Bag ........................................................................................... 30
Gambar 3.9. Vacuum Compressor ............................................................................. 31
Gambar 3.10. Resin Trap .......................................................................................... 31
Gambar 3.11 Alas Cetakan ..................................................................................... 31
Gambar 3.12 Dimensi Spesimen Tarik Berdasarkan ASTM D638-03 .................... 32
Gambar 3.13 Penampang Melintang Spesimen Komposit ....................................... 33
Gambar 4.1. Variasi Metode Manufaktur Komposit Terhadap Porosity ................ 35
Gambar 4.2. Foto Makro Permukaan Produk Komposit. (A) Epoxy, (B)
Polyester, (C) Bisphenol, (D) Ripoxy. ................................................ 36
Gambar 4.3. Perbandingan Patahan Tiap Variasi Komposit Produk Vacuum
Bagging ............................................................................................... 42
Gambar 4.4. Fase Bentuk Patahan Specimen Uji Tarik Matrik Epoxy ................... 43
Gambar 4.5. Foto Permukaan Patah Spesimen Matrik Epoxy ................................ 44
Gambar 4.6. Fase Patahan Spesimen Uji Tarik Matrik Polyester ........................... 45
Gambar 4.7. Foto Permukaan Patah Spesimen Matrik Polyester ........................... 46
Gambar 4.8. Fase Bentuk Patahan Specimen Uji Tarik Matrik Bisphenol ............ 47
Gambar 4.9. Foto Permukaan Patah Spesimen Matrik Bisphenol .......................... 48
Gambar 4.10. Fase Patahan Specimen Uji Tarik Matrik Ripoxy ............................... 49
Gambar 4.11. Foto Permukaan Patah Specimen Matrik Ripoxy ............................... 50
Gambar 4.12. Perbandingan Hasil Patahan Produk Komposit Bermatrik Epoxy .... 51
Gambar 4.13. Perbandingan Hasil Patahan Produk Komposit Dengan Matrik
Polyester ............................................................................................. 52
Gambar 4.14. Perbandingan Hasil Patahan Produk Komposit Bermatrik
ix
Bisphenol ............................................................................................ 53 65
Gambar 4.15. Perbandingan Hasil Patahan Produk Komposit Bermatrik Ripoxy ... 54
Gambar 4.16. Bentuk Patahan Dengan Notch Pada Jenis Resin (A) Polyester, (B)
Epoxy, (C) Bisphenol, (D) Ripoxy ...................................................... 55
Gambar 4.17. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Dengan Metode
Vacuum Bagging ................................................................................ 56 68
Gambar 4.18 Diagram Tegangan-Regangan Komposit Natural Fiber Dengan
Metode Vacuum Bagging. .................................................................. 57
Gambar 4.23. Grafik Perbandingan Kekuatan Tarik Antara Vacuum Bagging
Process Dan Resin Infusion Process .................................................. 60
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
Lampiran 1 Tabel Hasil Uji Tarik Serat Tunggal Perlakuan Alkali NaOH 6%
Lampiran 2 Spesifikasi Mesin Uji Tarik
Lampiran 3 Properties of clear cast resin of RIPOXY R-802EX-1
Lampiran 4 Liquid Standart Epoxy Resin Based On Bisphenol-A
Lampiran 5 Unsaturated Polyester Resin Yukalac 157® BTQN-EX
Lampiran 6 Komposisi Serat Waru
Lampiran 7 Tabel Hasil Pengujian Kekuatan Tarik Komposit Bisphenol
Lampiran 8 Tabel Hasil Pengujian Kekuatan Tarik Komposit Epoxy
Lampiran 9 Tabel Hasil Pengujian Kekuatan Tarik Komposit Ripoxy
Lampiran 10 Tabel Hasil Pengujian Kekuatan Tarik Komposit Polyester
Lampiran 11 Tabel Hasil Uji Tarik Komposit Bisphenol
Lampiran 12 Tabel Hasil Uji Tarik Komposit Epoxy
Lampiran 13 Tabel Hasil Uji Tarik Komposit Ripoxy
Lampiran 14 Tabel Hasil Uji Tarik Komposit Polyester
Lampiran 15 Gambar Spesimen Produk Komposit Epoxy
Lampiran 16 Gambar Spesimen Produk Komposit Ripoxy
Lampiran 17 Gambar Spesimen Produk Komposit Bisphenol
Lampiran 18 Gambar Spesimen Produk Komposit Polyester
Lampiran 19 Gambar Patahan Spesimen Produk Komposit Epoxy
Lampiran 20 Gambar Patahan Spesimen Produk Komposit Polyester
Lampiran 21 Gambar Patahan Spesimen Produk Komposit Ripoxy
Lampiran 22 Gambar Patahan Spesimen Produk Komposit Bisphenol
xi
RINGKASAN
Febriko Dria Pusananda, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas
Brawijaya, Juli 2017, Penggunaan Metode Vacuum Bagging pada Proses
Pembuatan Komposit Natural Fiber, Dosen Pembimbing: Dr.Eng. Sofyan Arief
Setyabudi,ST.,M.Eng. dan Ir. Ari Wahjudi, MT .
Pengembangan komposit pada bidang industri saat ini mendorong
terus ditingkatkan pula proses manufaktur komposit. Dengan adanya pemanfaatan
serat alam (natural fiber), perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui proses
manufaktur apa yang paling cocok untuk membuat komposit berserat natural.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Vacuum Bangging.
Dengan variasi matrik Bisphenol-A, Epoxy, Ripoxy dan Polyester.
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara hasil produk manufaktur
komposit dengan metode Vacuum Bagging, dengan hasil penelitian sebelumnya,
yaitu produk komposit dengan metode manufaktur Resin Infusion pada serat waru
(hibiscus tiliaceus) untuk melihat perbedaan kualitas produk dari kedua proses
manufaktur komposit ditinjau dari bentuk patahan dan debonding yang terjadi
melalui perbandingan pengamatan makroskopik Setelah dibandingkan, didapatkan
kesimpulan bahwa metode Vacuum Bagging terbukti mengurangi debonding pada
komposit natural fiber berserat kulit pohon waru (hibiscus tiliaceus).
Kata Kunci: Vacuum Bagging, Manufaktur Komposit, Debonding, Resin
Infusion, Bisphenol, Epoxy, Ripoxy, Polyester, Kekuatan Tarik.
xii
SUMMARY
Febriko Dria Pusananda, Department of Mechanical Engineering, Faculty of
Engineering, Brawijaya University, July 2017, Vacuum Bagging Method for
Natural Fiber Composite Manufacture, Supervisor: Dr. Eng. Sofyan Arief
Setyabudi, ST.,M.Eng. and Ir. Ari Wahjudi, MT .
The development of composites in the industry field today, encourages
the continuous improvement of composite manufacturing processes. With the
utilization of natural fibers, the more research needs to be done to find out what
manufacturing process is most suitable for making natural fibrous composites.
This research was conducted by using Vacuum Bangging method. With variations
of Bisphenol-A, Epoxy, Ripoxy and Polyester matrix.
The product of Vacuum Bagging method being compared with the result
of previous research, that is composite product by manufacturing method of Resin
Infusion on fiber waru (hibiscus tiliaceus) too see the different between each
process manufacturing product review by its fracture area and debonding occurs
with macroscopic observation. After being compared, it is concluded that Vacuum
Bagging method proven to reduce debonding at Composite natural fiber of waru
tree (hibiscus tiliaceus).
Keywords: Vacuum Bagging, Composite Manufacture, Debonding, Resin Infusion
,Bisphenol, Epoxy, Ripoxy, Polyester , Tensile Strength.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan dunia industri dalam bidang material terbarukan menuntut
pengembangan material jenis baru yang dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam
dunia perindustrian. Salah satu terobosan dalam penanganan masalah tersebut adalah dengan
membuat sebuah material terbarukan yaitu komposit. Komposit merupakan gabungan
makroskopik antara dua buah atau lebih material penyusun yang memiliki sifat yang berbeda,
dimana sifat dari hasil kombinasi material tersebut memiliki sifat yang lebih baik dari pada
material penyusunnya (Gibson, 1994). Penggunaan serat alam sebagai penguat komposit
dianggap lebih ramah lingkungan dan mudah terurai, disamping itu serat alam memiliki
kelebihan yaitu mampu meredam suara, isolasi temperature dan densitas rendah, dan memiliki
kekuatan mekanik yang tinggi. Serat alam juga diklaim mampu mengurangi berat komposit
hingga 80% (Schuh, 1999). Tanaman waru (hibiscus tiliaceus) merupakan tanaman yang
banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan memiliki kekuatan yang cukup baik
contohnya untuk penggunaan sebagai tali tampar. Serat waru memiliki potensi yang
meyakinkan untuk digunakan sebagai penguat komposit dikarenakan kekuatan serat waru yang
tinggi (Arif, 2011).
Proses manufaktur komposit yang sering digunakan adalah proses hand lay up, vacuum
bagging dan vacuum infusion resin. Proses hand lay up memiliki kelebihan pada kemudahan
proses pembuatan, dan biaya yang murah. Proses vacuum bagging merupakan penyempurnaan
dari hand lay up, dan memiliki keunggulan dapat memberikan konsentrasi ikatan komposit
yang lebih baik dari pada hand lay up dan dapat mengurangi void yang terjadi. Proses vacuum
infusion resin memiliki kelebihan menghasilkan komposit yang memiliki sedikit void, dan
produk komposit yang memiliki konsentrasi ikatan yang baik. namun biaya yang dibutuhkan
cukup besar. Pembuatan komposit berserat kulit waru menggunakan metode vacuum infusion
resin dengan variasi jenis matrik menunjukkan bahwa komposit berserat kulit waru memiliki
kekuatan yang tinggi. Kendala dari penelitian ini adalah banyak terjadinya debonding pada
produk komposit (Ariska, 2016). Dimana debonding adalah proses terkelupasnya serat dan
matrik dikarenakan kurangnya gaya ikat antara serat dan matrik sehingga transfer gaya pada
saat terjadi pembebanan pada komposit tidak sempurna (Niu, 2001).
2
Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan proses penyempurnaan dari pembuatan
komposit berserat kulit pohon waru agar debonding yang terjadi dapat diminimalisir. Proses
vacuum bagging menggunakan metode hand lay up untuk meratakan resin, lalu menggunakan
pompa vakum untuk mengeluarkan udara dari dalam cetakan sehingga menekan matrik dan
serat guna menghasilkan komposit yang baik dan hasil ikatan antara serat dan matrik yang kuat.
Metode ini dapat mengurangi void yang terjadi dikarenakan udara didalam produk komposit
akan dikeluarkan menggunakan pompa vakum (Mazumdar, 2012). Metode vacuum bagging
dapat menjadi solusi dalam mengurangi debonding pada material komposit berserat kulit pohon
waru dikarenakan resin yang dituangkan dioleskan secara merata pada saat proses hand lay up
dan dilakukan proses vacuum untuk mendapatkan konsentrasi komposit yang baik sehingga
debonding yang terjadi akan berkurang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai
berikut ”Apakah metode vacuum bagging dapat menurunkan debonding yang terjadi pada
produk komposit natural fiber berpenguat serat kulit pohon waru”
1.3 Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian lebih spesifik dan hasil penelitian dapat dibandingkan,
maka batasan masalah penelitian ini harus mengacu pada penelitian sebelumnya (Ariska,2016)
Batasan masalah yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Serat yang digunakan sebagai penguat adalah serat kulit pohon waru (hibiscus tiliaceus)
2. Proses yang digunakan adalah proses vacuum bagging.
3. NaOH yang digunakan sebagai larutan alkali memiliki kadar kemurnian sebesar 98%.
4. Waktu perendaman larutan alkali NaOH selama 120 menit
5. Uji tarik menggunakan standar ASTM D638-03
6. Komposisi matrik yang digunakan adalah epoxy dengan 50 gram hardener per 50 gram
resin, bisphenol-A dengan promoter 0.8 gram dan katalis 0.4 gram per 100 gram resin,
repoxy dengan promoter 0.6 gram dan katalis 3 gram per 100 gram resin, dan polyester
dengan katalis 1 gram per 100 gram resin.
3
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki debonding yang terjadi pada produk
komposit berserat kulit pohon waru (hibiscus tiliaceus)
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi mengenai potensi komposit dengan serat kulit waru dengan
proses vacuum bagging untuk menghasilkan komposit yang berkualitas.
2. Dapat mengetahui matrik yang paling baik digunakan untuk membuat komposit serat
kulit waru dengan proses vacuum bagging.
3. Memberikan hasil penelitian dalam bidang rekayasa material biokomposit.
4. Sebagai pembanding metode manufaktur komposit yang paling baik digunakan untuk
mengurangi debonding pada komposit berserat kulit waru.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
Veda et.al.(2016) Melakukan penelitian tentang pengaruh variasi matrik terhadap
kekuatan Tarik dari komposit berpenguat serat kulit waru dengan metode vacuum infusion
resin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanik material komposit ditinjau dari
kekuatan tariknya terhadap jenis matrik yang di gunakan. Pengujian yang dilakukan
menggunakan standar ASTM D638-03. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kekuatan Tarik
dari maring masing matrik adalah sebagai berikut, bisphenol memili kekuatan Tarik yang
palling tinggi yaitu sebesar 312,8 MPa, lalu yang kedua adalah matrik epoxy dengan kekuatan
Tarik 277,8 MPa, selanjutnya ripoxy dengan kekuatan Tarik 261,6 MPa, dan kekuatan Tarik
terkecil didapat pada matrik polyester dengan kekuatan Tarik sebesar 232,8 MPa.
Amirkhosravi et.al.(2012) Melakukan penelitan tentang peningkatan kualitas
komposit lamina pada proses vacuum bagging dengan menggunakan bantuan magnet atau
magnet assisted composite manufacturing (MACM). Hasil dari penelitian ini adalah terjadi
penurunan void hingga sebesar 70%, peningkatan kekuatan bending dan peningkatan kekakuan.
Castegnaro et.al.(2016) Melakukan penelitian tentang proses pemilihan material,
desain, dan manufaktur pembuatan bio-komposit untuk badan perahu. Dimana serat yang
digunakan merupakan serat alam, pada proses pembuatannya dipilih serat hemp (cannabis
sativa) sebagai fiber penguat. Hasil penelitiannya adalah bio-komposit untuk badan perahu
nyatanya memiliki kekuatan yang unggul dan dapat digunakan untuk menggantikan komposit
serat sintetis. Perahu yang dibuat memiliki berat 65 kg, dan dapat berlayar dengan sangat baik
pada proses pengujian. Perahu bio-komposit ini juga mendapatkan nilai 100 pada kompetisi
Universitas Vela.
2.2 Material Komposit
Material komposit atau biasa disebut komposit adalah kombinasi makroskopik antara
dua atau lebih material yang memiliki sifat properti dan sifat yang berbeda dengan memiliki
batasan yang terlihat jelas (ASM Handbook, 2001). Pengertian lain dari komposit adalah
gabungan dari dua atau lebih material penyusun yang memiliki sifat yang berbeda, dimana sifat
dari kombinasi material tersebut memiliki sifat yang lebih baik daripada material penyusunnya
(Gibson, 1994). Keunikan dari komposit adalah, sifat dari komposit tergantung dari sifat
5
material penyusunnya, sehingga aplikasi material komposit sangat luas dan dapat disesuaikan
sesuai dengan kebutuhan. Material penyusun yang berbeda akan memberikan sifat yang
berbeda pada komposit. Material komposit serat alam, atau lebih familiar disebut bio-komposit,
merupakan komposit yang menggunakan natural fiber sebagai penguatnya. Hal ini tentu sangat
cocok dikembangkan di Indonesia yang memiliki Sumber daya alam yang melimpah dan
memiliki potensi untuk dikembangkan.
Adapun kelebihan dan kerugian materia komposit adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. Memiliki berat yang cenderung jauh lebih ringan dari pada logam.
2. Memiliki corrosive resistant yang sangat baik.
3. Ketahanan yang tinggi terhadap fatigue stress.
4. Kekuatan dan kekakuan yang tinggi.
5. Heat transfer yang mendekati 0 (nol) sehingga cocok diaplikasikan untuk
penggunaan pada pesawat antariksa.
6. Sifat komposit bergantung dari sifat material pembentuknya sehingga mudah
disesuaikan dengan kebutuhan.
7. Memiliki densitas yang rendah.
Kekurangan
1. Harga material komposit yang relatif mahal.
2. Metode pengujian komposit yang cenderung rumit dan mahal.
3. Memerlukan perlindungan dari cahaya atau sinar langsung.
4. Tempat penyimpanan memerlukan tempat khusus untuk menjaga kualitas komposit.
5. Proses pembuatan yang relatif rumit dan memerlukan waktu yang lama.
2.3 Klasifikasi Komposit
Material komposit dapat diklasifikasikan menurut beberapa aspek, berikut ini
merupakan klasifikasi komposit ditinjau dari berbagai aspek.
6
Gambar 2.1 Klasifikasi komposit
Sumber : Callister (2007)
1. Komposit partikel (Particle-Reinforce)
Particle-Reinforce (komposit berpenguat partikel) merupakan jenis Komposit yang
menggunakan partikel/butiran sebagai filler (pengisi). Partikel berupa logam atau non
logam dapat digunakan sebagai filler. Dalam penerapannya, komposit partikel dibedakan
menjadi dua, yaitu partikel besar dan partikel terdispersi merata.
Gambar 2.2 Particle-Reinforce (filler composites)
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2017)
2. Komposit serat (fiber composite )
Fiber composite merupakan komposit tersusun dari matrik dan diperkuat serat
(fiber). Serat komposit dari komposit dapat berbentuk serat pendek (short fiber composite)
atau serat panjang (long fiber composite). Komposit serat atau fiber composite ini hanya
terdiri dari satu lamina atau lapisan menggunakan serat sebagai penguat. Serat ini bisa
disusun secara acak dengan orientasi serah maupun orientasi acak.
7
(a) (b) (c)
Gambar 2.3 (a) Serat panjang orientasi searah. (b) Serat pendek orientasi serah. (c) Serat
pendek orientasi acak.
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2017)
3. Komposit Struktur (Structural Composite Materials)
Structural Composite Materials (Komposit Struktur) adalah jenis komposit yang terdiri
dari sekurang-kurangnya dua material berbeda yang direkatkan bersama-sama. Proses
pelapisan dilakukan dengan mengkombinasikan aspek terbaik dari masing-masing lapisan
untuk memperoleh material dengan sifat yang unggul. Komposit struktur dibedakan
menjadi dua, yaitu komposit lamina dan sandwich panel. Dimana dalam pembuatan
komposit lamina, dapat menggunakan dua cara yaitu dry lamination atau wet lamination.
Gambar 2.4 Sandwich panel composite
Sumber : Callister (2007)
2.4 Matrik
Jones (1999 : 5) dalam bukunya yang berjudul Mechanic of Composite Materials
menjelaskan fungsi utama dari matrik pada komposit adalah sebagai berikut:
a. Material Matrix merekatkan serat – serat pada komponen komposit dan menyampaikan
gaya yang diterima oleh material menuju serat, sehingga Matrix merupakan salah satu
komponen pendukung dalam penentuan bentuk dan kekakuan material komposit.
8
b. Material Matrix mencegah atau memperlambat terjadinya crack dengan cara
mengisolasi serat – serat, sehingga masing – masing serat dapat bekerja secara terpisah
dalam menahan gaya.
c. Material Matrix melindungi serat terhadap gangguan kimiawi dan mekanis (wear
resistance).
d. Material Matrix mempengaruhi karakteristik material komposit secara keseluruhan,
seperti keuletan, ketangguhan, dan kekuatan tariknya.
Matrik biasanya memiliki karakteristik densitas kekakuan dan kekuatan yang lebih
rendah dari serat penguat. Dengan adanya penggabungan antara serat dan matriks akan di
dapatkan ke kakuan dan kekuatan yang lebih tinggi tetapi masih mempunyai densitas yang
rendah. Matriks yang dapat digunakan dalam pembuatan komposit dapat berupa polimer
(Polymer Matrix Composite), logam (Metal Matrix Composite), dan keramik (Ceramic Matrix
Composite).
Gambar 2.5 Klasifikasi komposit berdasarkan matrik penyusunnya
Sumber : Anne Zulfia (Pengantar Komposit 2010)
2.5 Jenis – jenis Matrik Polimer
Matrik Polimer banyak digunakan dalam dunia manufaktur karena fleksibilitas dan
kemudahan pengolahannya. Matrik polimer menurut sifatnya dibedakan menjadi dua, yaitu
Thermoset Resin dan Thermoplastic Resin.
9
2.5.1. Thermoset Resin
Gambar 2.6 Tampak penampang samping ikatan molekul thermoset resin ketika pengawetan
Sumber : Mazumdar (2002)
Resin thermoset memiliki karakteristik apabila telah diawetkan maka matrix tidak dapat
dicairkan ataupun dibentuk kembali. Ketika proses pengawetan thermoset resin akan
membentuk ikatan molekul seperti pada gambar diatas. Ikatan molekul inilah yang
menyebabkan material komposit menjadi tidak elastis, tidak dapat dicairkan ataupun dilakukan
pembentukan kembali. Semakin banyak ikatan molekul yang terbentuk, maka material
komposit yang dihasilkan akan memiliki sifat kestabilan thermal dan kekakuan yang semakin
baik. Walaupun memiliki sifat yang tidak fleksibel, namun dalam penggunaannya thermoset
resin dapat dibentuk dengan cara dilakuan pemanasan terlebih dahulu. Pemanasan thermoset
resin ini biasanya digunakan pada strutur yang berbentuk melengkung.
Thermoset resin juga memiliki beberapa keunggulan, diantaranya sifatnya yang baik
untuk proses impregnasi pada serat. Hal ini disebabkan oleh thermoset resin dapat bersifat cair
pada temperatur ruangan. Keunggulan lain yang dimiliki thermoset resin diantaranya adalah
kestabilan bentuk dan thermal yang baik, kekakuan yang baik, ketahanan terhadap lingkungan
sekitar yang lebih baik.
Thermoset resin yang paling umum digunakan adalah epoxy, polyester, vinylester,
phenolics, cyanate esters, bismaleimids, dan polymides.
Gambar 2.7 Karakteristik Beberapa Thermoset Resin
Sumber : Mazumdar (2002)
10
2.5.2 Thermoplastic Resin
Secara umum resin thermoplastic bersifat ulet dan memiliki ketangguhan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan resin thermostat. Resin thermoplastic biasanya digunakan
pada pembuatan material tanpa menggunakan filler dan penguat. Resin thermoplastic dapat
dicairkan pada suhu tinggi dan kembali membeku ketika didinginkan.
Pada proses pengawetan, resin thermoplastic tidak membentuk ikatan molekuler seperti
yang terjadi pada resin thermostat. Resin thermoplastic dapat berbentuk amorphous maupun
semi-crystalline seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.8 Bentuk molekular (a) amorphous dan (b) semi-crystalline polimer
Sumber : Mazumdar (2002)
Jika dibandingkan dengan resin thermostat, resin thermoplastic memiliki sifat mekanik
lebih mudah terjadinya mulur pada suhu tinggi. Pada proses pembuatannya, resin thermoplastic
membutuhkan suhu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan resin thermostat. Berikut
adalah beberapa jenis resin thermoplastic beserta sifatnya.
11
Gambar 2.9 Beberapa Jenis Resin Thermoplastic dan Karakteristiknya
Sumber : Mazumdar (2002)
2.6 Serat
Serat adalah salah satu jenis komponen penguat (reinforcement) yang akan berikatan
pada komponen pengikat (matrix). Komponen ini berfungsi sebagai penentu kekuatan dan
kekakuan dari suatu material komposit. Hal ini dikarenakan fungsi utama dari komponen
penguat adalah sebagai penahan beban dari suatu material. Pada material komposit, serat
menahan beban sekitar 70%-90% dari total beban yang diterima oleh komposit (Mazumdar,
2002), ada dua hal yang membuat serat dapat menahan gaya yaitu :
a. Perekatan (bonding) antara serat dan matriks (interfacial bonding) yang baik dan kuat
sehingga tidak mudah terjadi pelepasan antara matrik dan serat (debonding).
b. Kelangsingan (aspec ratio) yaitu perbandingan antara panjang serat dengan diameter serat
cukup besar.
Arah serat penguat menentukan kekutan komposit dan mempengaruhi jumlah serat yang
dapat diisikan ke dalam matrik semakin cermat penataannya, semakin banyak penguat dapat
dimasukkan. Hal tersebut menentukan kekuatan optimum yang dapat diterimakomposit
(Surdia, 2003).
12
Gambar 2.10 Susunan serat acak (kanan) dan teratur (kiri)
Sumber : Callister (2007)
Serat acak dan terartur memiliki perbedaan pada short fiber reinforced, pada reaksi serat
saat menahan beban, arah serat yang teratur memiliki kelebihan dapat menahan beban lebih
besar bila beban yang diterima searah dengan arah seratnya apabila dibandingkan dengan serat
acak, tetapi lebih lemah jika mendapat beban tegak lurus dengan arah serat. Keuntungan pada
serat acak yaitu serat acak memiliki kemampuan menahan beban dari arah manapun karena
penempatan seratnya yang acak.
Beberapa syarat untuk dapat memperkuat matriks antara lain :
1. Mempunyai modulus elastisitas yang tinggi.
2. Mampu menerima perubahan gaya dari matriks dan mampu menerima gaya yang bekerja
padanya.
3. Perbedaan kekuatan diameter serat harus relatif sama.
4. Kekuatan lentur yang tinggi.
Berdasarkan asalnya, serat dibedakan menjadi dua macam, yaitu serat alam (natural
fiber) dan serat buatan (syntetic fiber). Serat alam biasanya berasal dari tumbuhan, hewan,
maupun Sumber – Sumber mineral lainnya. Penggunaan serat buatan telah luas digunakan
dalam dunia industri pesawat terbang, diantara serat yang digunakan adalah serat glass, serat
karbon dan serat boron. Serat karbon atau CFRP (Carbon Fiber Reinforced Polymers) memiliki
sifat ringan, nilai kekuatan fatigue yang tinggi, serta memiliki konduktivitas thermal dan
konduktivitas listrik yang baik. Secara umum, pengembangan serat buatan juga terus dilakukan
dalam dunia engineering, seperti pembuatan serat aramid (aromatic polyamide) pada tahun
1964 oleh seorang ahli kimia Stephanie Kwolek, yang kini umum dikenal dengan nama dagang
13
Kevlar®. Jenis serat buatan yang paling umum digunakan adalah fiber-glass, fiber-carbon, dan
aramid fiber. Umumnya, ukuran serat berkisar antara 5 µm (0.0002 in.) hingga 20 µm (0.0008
in.). Karena ukurannya yang kecil inilah maka serat bersifat fleksibel dan mampu untuk terikat
dengan baik oleh Matrix.
Meskipun aplikasi serat buatan merupakan komoditas industri manufaktur saat ini, para
ilmuan dan peneliti nampaknya mempertimbangkan dampak serat buatan pada lingkungan.
Pengembangan komposit berserat alam marak dilakukan dan terus mengalami perkembangan
guna mencari serat alam yang dapat menggantikan serat buatan untuk industri komposit. Serat
alam memiliki massa jenis yang paling rendah diantara serat lainnya, namun serat alam
memiliki kekuatan dan kekakuan yang memadai. Maka dari itu, telah dilakukan beberapa
pengembangan pada komposit berpenguat serat alam sehingga serat alam mulai diaplikasikan
pada berbagai industri untuk menggantikan peran serat buatan. Pada industri otomotif misalnya,
serat alam digunakan sebagai pilihan alternatif untuk penggunaan fiber-glass. Contoh lainnya
pada industri sandang, serat acrylic dan serat rayon telah dikembangkan menjadi sutra dan
wool. Hal ini menunjukkan bahwa serat alam memiliki potensi untuk menggantikan serat
buatan suatu saat nanti. Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan serat alam (natural fiber)
antara lain :
2.6.1 Keuntungan
Berat jenis rendah.
Serat alam merupakan material alternatif yang termasuk Sumber daya terbarukan,
produksi hanya membutuhkan sedikit energi.
Investasi rendah dengan biaya rendah.
Serat alam memungkinkan untuk di daur ulang.
Kuat menahan panas dan memiliki sifat sebagai isolasi yang bagus.
Lebih ramah lingkungan.
2.6.2 Kerugian
Sifat kekuatan yang lebih rendah.
Kualitas serat alam tergantung pada pengaruh hal-hal yang tak terduga seperti cuaca,
jenis penanaman, besar batang dan lain sebagainya.
Penyerapan kelembaban yang menyebabkan pembusukan pada serat.
14
Terbatas pada proses perlakuan temperatur maksimum.
Daya tahan serat alam sangat rendah.
Tidak tahan api.
Harga dapat berfluktuasi dengan hasil panen.
2.7 Pohon Waru
Pohon Waru yang memiliki nama ilmiah Hibiscus tiliaceus termasuk tumbuhan pada
suku kapas-kapasan atau (Malvaceae). Pohon tersebut juga dikenal sebagai Waru laut, atau
Dadap laut (Pontianak). Pada saat ini pohon waru telah tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik
dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach
Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal Cottonwood dalam bahasa Inggris.
Gambar 2.11 Daun dan Bunga Pohon Waru Hibiscus tiliaceus
Sumber : Cancer Chemoprevention Research Center UGM
2.8 Polimer Dan Polimerisasi
Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang membentuk sebuah rantai
polimer. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola dan orientasi yang
acak disebut amorf, jika penggabunganya teratur disebut kristalin. Sifat-sifat umum yang
dimiliki bahan-bahan polimer adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan cetaknya cukup baik, artinya pada temperatur relatif rendah bahan dapat
dicetak dengan berbagai cara, diantaranya : dengan penyuntikan, penekanan, ekstruksi.
2. Produk yang ringan dan kuat dapat dibuat.
3. Baik sekali ketahananya terhadap air dan zat kimia.
4. Banyak diantaranya polimer bersifat isolasi listrik yang baik dan mudah termuati listrik
secara elektrostatik.
5. Kurang tahan terhadap panas.
6. Kekerasan permukaanya sangat kurang.
15
Pada polimer terjadi proses reaksi kimia monomer untuk membentuk rantai polimer,
dan proses ini disebut polimerisasi. Ada dua jenis reaksi polimer, yaitu :
1. Polimer Adisi
Reaksi pembentukan polimer dari monomer-monomernya tetrafluoroetilen inilah yang
disebut polimerisasi adisi. Perhatikan pada Gambar 2.4 menunjukkan pada monomer etilena
memiliki ikatan rangkap dua, sedangkan setelah terjadi proses pembentukan menjadi polietilen
tidak ada ikatan rangkap dua.
Gambar 2.12 Struktur monomer etilen dan polietilen
Sumber : Arifatun (2009)
Monomer etilen mengalami reaksi polimersisasi adisi dan membentuk polietilen yang
biasa digunakan sebagai tas plastik, pembungkus makanan, dan botol. Pasangan elektron yang
lebih dari ikatan rangkap dua pada monomer etilen dipakai untuk membentuk ikatan baru agar
dapat menjadi monomer yang lain.
Menurut reaksi ini, monomer-monomer yang mempunyai ikatan rangkap dua akan
membentuk ikatan baru dengan monomer yang lain, sehingga akan terbentuk rantai polimer.
Produk yang terbentuk dari reaksi polimerisasi adisi ini mengandung semua ato dari monomer
awal. Dari Gambar 2.4, dapat terlihat polimerisasi adisi terjadi saat polimer yang terbentuk
karena reaksi polimerisasi disertai dengan pemutusan ikatan rangkap monomer yang diikuti
oleh adisi monomer-monomernya, sehingga membentuk ikatan tunggal. Dalam reaksi polimer
adisi ini tidak disertai terbentuknya molekul kecil seperti 𝐻2𝑂 atau 𝑁𝐻3.
2. Polimer Kondensasi
Polimer kondensasi terjadi akibat dari reaksi antara gugus fungsi monomer yang
sama jenis atau monomer yang beda jenisnya. Dalam polimerisasi kondensasi terkadang
disertai terbentuknya molekul kecil seperti 𝐻2𝑂 atau 𝑁𝐻3. Dalam reaksi ini, monomer-
16
monomer bereaksi secara adisi untuk membentuk rantai, tapi setiap ikatan baru akan terbentuk
bersamaan dengan terbentuknya molekul kecil dari atom-atom monomer. Pada reaksi semacam
ini, tiap monomer harus mempunai dua gugus fungsional agar bisa menambahkan ikatan baru
pada unit monomer lainnya untuk menjadi rantai polimer.
Gambar 2.13 Polimerisasi kondensasi pada ikatan amida
Sumber : Arifatun (2009)
Proses kondensasi suatu atom hidrogen dari ujung monomer bergabung dengan gugus
Oh dari ujung monomer yang lain dan membentuk air. Pada Gambar 2.5, terjadi kondensasi
pada dua monomer yang berbeda yaitu 1,6-diaminoheksana dan asam adipat yang umum
digunakan untuk membuat jenis nylon. Nylon diberi nama menurut jumlah atom karbon pada
unit monomer. Dalam Gambar 2.5, ada enam karbon pada tiap monomer, maka jenis nylon ini
disebut nylon 66.
2.9 Teori Ikatan Matriks dan Serat Penguat
Ketika matriks melapisi dan melekat pada serat penguat.terjadi ikatan antar serat
dengan matriks. ada beberapa macam ikatan yang terbentuk antara lain
a. Ikatan mekanik (Mechanical bonding)
Metriks cair akan menyabar ke seluruh permukaan serat penguat dan mengisi
setiap lekuk dan permukaan serat serat penguat yang kasar akan saling mengunci dan
semakin kasar prtmukaan serat makan ikatan yang erjadi akan semakin kuat
17
Gambar 2.14 Ikatan mekanik
Sumber : Matthew and Rawling (1994)
b. Ikatan elektrostatik (elektostatic bonding)
Ikatan elektrostatik seperti yang di tunjukkan terjadi antara matriks dan serat
penguat ketika salah satu permukaan yang mempunyai muatan positif dan permukaan
lain mempunyai muatan negate, sehingga terjadi tarik menarik antara dua permukaan
tersebut.
Gambar 2.15 ikatan elektrostatik
Sumber : Matthew and Rawling (1994)
c. Ikatan reaksi (Reaction bonding)
Atom atau molekul dari dua komponen dalam komposit dapat bereaksi pada
permukaan sehingga terjadi ikatan reaksi. Ikatan ini membentuk lapisan permukaan
yang mempuntyai sifat yang berbeda dari kedua komponen tersebut. Ikatan ini dapat
terjadi karena adanya difusi atom-atom permukaan dari komponen komposit.
18
Gambar : 2.16 Ikatan reaksi
Sumber : Matthew and Rawling (1994)
2.10 Kekuatan Tarik dan Debonding
Niu (2001) Debonding merupakan mekanisme lepasnya ikatan interface antar material
penyusun komposit saat terjadi pembebanan dan terkelupasnya serat dari matriks. Hal ini
disebabkan ikatan antar muka (interfacial bonding) yang lemah antara serat dan matriks. Oleh
sebab itu diperlukan adhesi yang kuat pada permukaan penyusun komposit agar tidak terjadi
debonding . George (2005) mengungkapkan bahwa adhesi yang kuat diantara permukaan
antara matrik dan serat diperlukan untuk efektifnya perpindahan dan distribusi beban melalui
ikatan permukaan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila banyak terjadi debonding,
matrik akan terlepas dari serat sebelum dapat mentransfer gaya Tarik yang diterima komposit
kepada serat. Hal ini berakibat pada penurunan kekuatan Tarik komposit, karena 70% beban
yang diterima oleh komposit akan didistribusikan pada serat. Sehingga komposit akan
mengalami fracture sebelum gaya yang diterima komposit didistribusikan pada serat. Sifat
mekanik polimer mempunyai parameter yang hampir sama dengan yang dimiliki oleh logam,di
antaranya modulus elastisitas, tensile strength dan fatigue.
Kakani (2004) dalam bukunya Material Science, menuliskan tentang kurva tegangan
regangan yang dimiliki oleh komposit. Pada dasarnya komposit merupakan gabungan dari dua
material yang bersifat brittle (fiber) dan bersifat ductile (matrix). Pada grafik tersebut terlihat
bahwa kurva tegangan regangan komposit berada ditengan tengah antara kurva tegangan
regangan fiber dan matrix. ini terjadi dikarenakan komposit merupakan gabungan dari fiber dan
matrik yang saling melengkapi sehingga membentuk suatu material baru yang lebih tepat guna.
19
Gambar 2.17 Tegangan regangan Polimer (a) fibre dan matrix, (b) composite
Sumber : Kakani (2004)
2.11Metode Manufaktur Komposit
Pada zaman yang semakin maju dan modern ini, kemajuan teknologi juga
mempengaruhi berkembangnya metode manufaktur komposit. Pada dasarnya metode
manufaktur komposit terbagi menjadi dua proses, cetakan terbuka (open-mold process) dan
cetakan tertutup (close-mold process).
2.11.1 Proses Cetakan Terbuka / Open-Mold Process
A. Hand Lay Up / Contact Molding
Hand lay-up adalah metoda yang paling sederhana dan merupakan salah satu
proses dengan metode cetakan terbuka dari proses fabrikasi komposit. Adapun proses
dari pembuatan dengan metode ini adalah dengan cara menuangkan resin dengan tangan
kedalam serat berbentuk anyaman, rajuan atau kain, kemudian memberi takanan
sekaligus meratakannya menggunakan rol atau kuas. Proses tersebut dilakukan
berulang-ulang hingga ketebalan yang diinginkan tercapai. Pada proses ini resin
langsung berkontak dengan udara dan biasanya proses pencetakan dilakukan pada
temperatur kamar.
20
Gambar 2.18 Hand Lay Up
Sumber : Mazumdar (2002)
B. Vacuum bag
Proses vacuum bag merupakan penyempurnaan dari hand lay-up, penggunaan
dari proses vakum ini adalah untuk menghilangkan udara yang terperangkap dan
kelebihan resin. Pada proses ini digunakan pompa vakum untuk menghisap udara yang
ada dalam wadah/tempat dimana komposit akan dilakukan proses pencetakan. Dengan
divakumkan udara dalam wadah maka udara yang ada diluar penutup plastik akan
menekan kearah dalam. Hal ini akan menyebabkan udara yang terperangkap dalam
spesimen komposit akan dapat diminimalkan. Metode vakum memberikan penguatan
konsentrasi yang lebih tinggi, adhesi yang lebih baik, dan kontrol yang lebih antara
lapisan dan resin.
Gambar 2.19 Vacuum bag
Sumber : Mazumdar (2002)
21
C. Pressure bag
Pressure bag memiliki kesamaan dengan metode vacuum bag, perbedaannya
adalah metode ini tidak memakai pompa vakum tetapi menggunakan udara atau uap
bertekanan yang dimasukkan malalui suatu wadah elastis. Wadah elastis ini yang akan
berkontak pada komposit yang akan dilakukan proses. Besar tekanan yang di berikan
pada proses ini adalah sebesar 30 sampai 50 psi.
Gambar 2.20 Pressure bag
Sumber : R. Hari Setyanto, Review (2012)
D. Spray-up
Spray-up merupakan metode cetakan terbuka yang dapat menghasilkan bagian-
bagian yang lebih kompleks dan lebih ekonomis dari hand lay-up. Proses spray-up
dilakukan dengan cara penyemprotan serat (fibre) yang telah melewati tempat
pemotongan (chopper). Sementara resin yang telah dicampur dengan katalis juga
disemprotkan secara bersamaan Wadah tempat pencetakan spray-up telah disiapkan
sebelumnya. Setelah itu proses selanjutnya adalah dengan membiarkannya mengeras
pada kondisi atsmosfer standar. Teknologi ini menghasilkan struktur kekuatan yang
rendah, yang biasanya tidak termasuk pada produk akhir. Spray-up ini juga digunakan
secara terbatas untuk mendapatkan fiberglass splash dari alat transfer.
22
Gambar 2.21 Spray up
Sumber : Mazumdar (2002)
E. Filament Winding
Fiber tipe roving atau single strand dilewatkan melalui wadah yang berisi
resin, kemudian fiber tersebut akan diputar sekeliling mandrel yang sedang bergerak
dua arah, arah radial dan arah tangensial. Proses ini dilakukan berulang, sehingga cara
ini didapatkan lapisan serat dan sesuai dengan yang diinginkan.
Gambar 2.22 Filament winding
Sumber : Mazumdar (2002)
2.11.2 Proses Cetakan Tertutup / Closed Mold Processes
A. Proses Cetakan Tekan (Compression Molding)
Proses cetakan ini menggunakan hydraulic sebagai penekannya. Serat yang
telah dicampur dengan resin dimasukkan ke dalam rongga cetakan, kemudian dilakukan
penekanan dan pemanasan.
23
Gambar 2.23 Compression Molding
Sumber : Mazumdar (2002)
B. Injection Molding
Metoda injection molding juga dikenal sebagai reaksi pencetakan cairan atau
pelapisan tekanan tinggi. Fiber dan resin dimasukkan ke dalam rongga cetakan bagian
atas, kondisi temperatur dijaga supaya tetap dapat mencairkan resin. Resin cair beserta
fiber akan mengalir ke bagian bawah, kemudian injeksi dilakukan oleh mandrel ke arah
nozel menuju cetakan.
Gambar 2.24 Injection Molding
Sumber : Mazumdar (2002)
C. Continuous Pultrusion
Fiber jenis roving dilewatkan melalui wadah berisi resin, kemudian secara
kontinu dituangkan ke cetakan pra cetak dan diawetkan (cure), kemudian dilakukan
pengerolan sesuai dengan dimensi yang diinginkan. Atau juga bisa disebut sebagai
penarikan serat dari suatu jaring atau creel melalui bak resin, kemudian dilewatkan pada
cetakan yang telah dipanaskan. Fungsi dari cetakan tersebut ialah mengontrol
24
kandungan resin, melengkapi pengisian serat, dan mengeraskan bahan menjadi bentuk
akhir setelah melewati cetakan.
Gambar 2.25 Continuous pultrusion
Sumber : Mazumdar (2002)
D. Resin Transfer Molding (RTM)
Resin Tansfer Molding (RTM) attau biasa disebut resin infusion adalah metode
pembuatan komposit dengan menggunaan aplikasi tekanan rendah untuk mengatur
jalannya resin menjadi lamina. Setelah lembaran - lembaran antara resin dan matrik
sudah terbentuk, vacuum akan menghisap sisa sisa resin yang tertinggal sehingga
lembaran komposit yang terbentuk memiliki ketebalan yang sama.
Gambar 2.26 Resin Transfer Molding
Sumber : Mazumdar (2002)
25
2.12 Cacat pada komposit
Dalam proses pembuatannya, sangat memungkinkan apabila terjadi cacat pada produk
hasil manufaktur komposit. Berikut ini merupakan macam-macam cacat yang sering terjadi
pada komposit sehingga menurunkan kualitas produk dan juga sifat mekaniknya.
Cacat material merupakan cacat yang terjadi sebelum material penyusun komposit
mengalami proses manufaktur dan merupakan cacat material penyusun komposit.
1. Cacat serat : Merupakan cacat yang terjadi akibat kualitas
serat yang kurang baik, serat yang tersobek, terlipat, dan
berlubang tentunya akan mempengaruhi kualitas dari produk
komposit yang dihasilkan
2. Cacat Matrik : Merupakan cacat yang terjadi pada matrik
sebelum dicampurkan dengan serat, cacat ini terjadi akibat dari
komposisi campuran matrik yang tidak sesuai sehingga matrik
memasuki gelling time sebelum tersebar secara merata.
Cacat produk merupakan cacat yang terjadi pada produk komposit setelah mengalami
proses pembuatan dan manufaktur komposit.
1. Porosity / Void : Merupakan cacat yang terbentuk
karena adanya gelembung udara yang terperangkap pada
produk komposit pada saat proses curing akibat kurang
meratanya resin yang dicampurkan pada permukaan
fiber.
2. Resin Rich : Merupakan cacat yang terjadi akibat
terlalu berlebihannya resin yang diberikan sehingga
melewati batas idealnya.
3. Resin Starved : Merupakan cacat yang terjadi akibat
kurangnya resin yang diberikan pada serat sehingga
terjadi kekuarangan resin pada komposit
4. Delaminasi : Merupakan cacat yang terjadi Karena
terpisahnya lamina satu dengan lainnya sehingga
menurunkan sifat mekanisnya.
5. Fiber ringkle : Merupakan cacat pada komposit dimana
serat pada produk komposit mengalami pengerutan di
dalam komposit.
26
6. Exess resin : Merupakan cacat komposit dimana
terdapat penumpukan matrik pada salah satu bagian
komposit.
7. Improper pressure : Merupakan cacat pada produk
komposit dikarenakan tekanan yang diberikan pada
komposit pada saat proses curing tidak sesuai dengan
yang dibutuhkan.
8. Debonding : Merupakan cacat yang terjadi akibat
kurang kuatnya ikatan antara matrik dan serat sehingga
kekuatan komposit akan menurun.
9. Srinkage : Merupakan cacat yang terjadi akibat
penyusutan dimensi komposit sehingga tidak sesuai
dengan dimensi awal.
2.13 Hipotesis
Proses vacuum bag dapat digunakan untuk memperbaiki debonding yang terjadi pada
pembuatan komposit natural fiber, karena resin yang dituangkan akan lebih merata pada setiap
bagian akibat adanya proses hand lay up dan juga digunakan metode vacuum untuk
mengeluarakan udara yang terjebak pada cetakan sehingga tekanan didalam cetakan menjadi
vacuum. Pemerataan matrik pada metode vacuum bag yang baik akan membuat kekuatan ikatan
antara fiber dan matrix relatif lebih baik daripada vacuum resin infusion. Hal ini akan
meminimalisir terjadinya debonding yang terjadi pada produk komposit, dan juga akan
menaikkan kekuatan Tarik pada komposit natural fiber.
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental nyata (True Experimental
Research). Tujuannya untuk memperbaiki debonding pada komposit berserat kulit waru
(hibiscus tiliaceus) dengan proses vacuum bagging. Diharapkan dari penelitian ini didapat data-
data yang valid agar dapat menyimpulkan permasalahan yang dibahas.
3.2 Tempat Pengambilan Data Pengujian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni Laboratorium yang
digunakan pada penelitian ini, antara lain :
Uji Tarik : Lab Pengujian Bahan Jurusan Teknik Mesin
Universitas Brawijaya Malang
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Bebas
Dalam penelitian ini variabel bebas yang digunakan adalah : Metode Vacuum Bag dan
jenis matrik Polyester, Epoxy, Ripoxy, Bisphenol-A.
3.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perbandingan foto makro dan hasil patahan
dari metode Vacuum bag dan metode Vacuum Infusion.
3.3.3 Variabel Terkontrol
Dalam hal ini yang menjadi variabel terkontrol adalah
Serat yang digunakan sebagai penguat adalah serat kulit pohon waru (hibiscus tiliaceus)
Komposisi matrik yang digunakan adalah epoxy dengan 50 gram hardener per 50 gram
resin, bisphenol-A dengan promoter 0.8 gram dan katalis 0.4 gram per 100 gram resin,
repoxy dengan promoter 0.6 gram dan katalis 3 gram per 100 gram resin, dan polyester
dengan katalis 1 gram per 100 gram resin.
NaOH yang digunakan untuk merendam serat 98%
Aquades digunakan sebagai larutan alkalisasi.
Waktu perendaman larutan alkali NaOH selama 120 menit
27
Uji tarik menggunakan standar ASTM D638-03
3.4 Spesifikasi Alat Dan Bahan
3.4.1 Bahan Penelitian
A. Resin
Resin ini berbentuk cairan kental yang digunakan untuk penguat pada komposit
atau serat. Sedangkan katalis adalah cairan yang berfungsi untuk mengeraskan bahan
dengan cepat atau yang sering disebut dengan hardener atau pengeras.
Gambar 3.1 Resin dan Katalis
B. Serat
Serat adalah bahan penguat yang memiliki kekuatan serta kekakuan yang bagus.
Serat yang digunakan adalah serat kulit pohon waru (hibiscus tiliaceus).
Gambar 3.2 Serat kulit pohon waru
28
Tabel 3.1 Komposisi Serat Waru
No Nama komposisi % berat
1 Protein mentah 17,08
2 Ekstrak eter 3.45
3 Serat mentah 22,77
4 Abu (%) 10,79
5 Karbohidrat 45,91
6 Tannin (%) 8,93
7 Saponin (mg/g) 12,90
8 Selulosa 24,22
Sumber : Waru Leaf Saponin on Ruminal Fermentation (Istiqomah,L et al, 2011)
C. Larutan Alkali
Larutan alkali (NaOH) atau Natrium Hidroxida adalah larutan yang digunakan
untuk membersihkan lignin, silica dan hemiselulosa. Proses alkalisasi ini digunakan
untuk meningkatkan penyatuan atau impregnasi dan ikatan antara serat dan matrik.
Gambar 3.3 Larutan Alkali
29
3.4.2 Alat Penelitian
A. Mesin uji Tarik Komposit
Gambar 3.4 Mesin uji tarik
B. Gelas Ukur
Gelas ukur digunakan untuk mengukur jumlah aquades dan NaOH dalam proses
alkali.
Gambar 3.5 Gelas ukur
30
C. Timbangan digital
Timbangan digital untuk mengukur berat dari serat yang akan dijadikan prosentase
terhadap resin dan katalis.
Gambar 3.6 Timbangan digital
D. Sealent Tape
Berfungsi sebagai perekat dan mencegah kebocoran.
Gambar 3.7 Sealent Tape
E. Plastic Bag
Plastic bag berfungsi sebagai penjebak udara dalam ruang agar tidak ada yang
masuk dari lari dan menjaga udara agar hanya keluar melalui PE-tube
31
Gambar 3.8 Plastic bag
F. Vacuum Compressor
Berfungsi sebagai pemberi ruang hampa dengan menghisap udara yang ada
didalam plastic bag.
Gambar 3.9 Vacuum Compressor
G. Resin Trap
Berfungsi sebagai penampung resin agar tidak masuk ke vacuum compressor.
Gambar 3.10 Resin Trap
H. Alas Cetakan
Merupakan alas sebagai tempat menaruh cetakan.
32
Gambar 3.11 Alas Cetakan
3.5 Spesimen Uji Tarik Komposit
Produk komposit selanjutnya akan dibentuk sesuai dengan spesimen uji tarik
berdasarkan standar ASTM D638-03 untuk pengujian material komposit dengan ukuran
spesimen sebagai berikut, guna menyamakan parameter pengujian dengan penelitian
sebelumnya (Veda, 2016) :
Gambar 3.12 Dimensi Spesimen Tarik berdasarkan ASTM D638-03
Sumber : ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic
Ukuran spesimen uji tarik berdasarkan standar ASTM dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.2 Ukuran Spesimen Uji Tarik ASTM D638-03 dengan T = 3.2 mm
Spesifikasi Ukuran mm (in)
Width of narrow selection, W 13 (0.5)
Length of narrow selection, L 57 (2.25)
Width overall, Wo 19 (0.75)
Length overall, Lo 165 (6.5)
33
Gauge length, G 50 (2.00)
Distance between grips, D 115 (4.5)
Radius of fillet, R 76 (3.00)
Sumber : ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic
3.6 Instalasi Penelitian
5
32 4
1
6
Proses pembuatan komposit dengan metode vacuum bagging, dilakukan dengan
menaruh serat penguat pada cetakan (gambar 1). Lalu dilakukan proses hand lay up. Setelah itu
cetakan ditutup menggunakan sealent tape dan diletakkan plastic bag diatasnya. Selanjutnya
pasangkan selang (gambar 2) pada cetakan dan sambungkan pada vacuum trap (gambar 3).
Selanjutnya dilakukan proses vacuum menggunakan vacuum pump (gambar 4)
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Proses Perendaman Alkali
Pada proses alkalisasi dilakukan beberapa tahapan-tahapan proses pengerjaan, antara
lain
a) Siapkan peralatan, antara lain : gelas ukur dan sendok pengaduk.
b) Siapkan bahan, antara lain : aquades, NaOH 98 % dan serat kulit pohon waru
c) Gunakan perlengkapan safety, antara lain : kaos tangan, masker.
d) Masukkan persentase NaOH sebanyak 6% dari jumlah aquadest yang digunakan dengan
menggunakan gelas ukur.
e) Tuangkan aquades kedalam wadah.
f) Masukkan NaOH kedalam wadah yang telah dituangkan aquades, dilakukan pengadukan
supaya larutan tercampur merata.
1
2
4
3
34
g) Rendam serat kulit pohon waru pada larutan alkali yang telah disiapkan
h) Serat kulit pohon waru direndam selama 120 menit
i) Jika perendaman telah mencapai 120 menit, maka serat di cuci dengan air bersih dan
kemudian dikeringkan
3.7.2 Proses Vacuum Bagging
1. Persiapkan alat bahan
2. Beri tanda pada alas sesuai ukuran cetakan pola
3. Berikan release agent pada alas sesuai dengan daerah yang sudah ditandai dan berikan
pula release agent pada cetakan pola
4. Pasang sealant tape pada alas cetakan mengitari cetakan pola
5. Ukur dan potong peel ply, mesh, plastic bag
6. Masukkan serat pengisi pada cetakan pola.
7. Lakukan proses Hand Lay Up hingga serat berjumlah 20
8. Pasang PE-tube pada salah satu sisi cetakan
9. Tutup semua bagian yang ada di atas alas cetakan dengan plastic bag
10. Rekatkan plastic bag dengan sealant tape yang terpasang pada alas cetakan
11. Pastikan tidak ada kebocoran pada plastic bag
12. Potong PE-tube sesuai panjang yang dibutuhkan
13. Sambungkan PE-tube pada resin trap
14. Nyalakan vacuum compressor
15. Tunggu sampai pressure gauge sudah tidak dapat naik (kondisi maksimal)
16. Pada kondisi vacuum, clamp PE tube untuk menyumbat aliran udara
17. Lepaskan PE-tube dari resin trap
18. Matikan vacuum compressor
19. Tunggu resin hingga mongering
35
3.8 Analisa Data
Data yang diambil pada penelitian kali ini meliputi pengujian tarik dan pengujian foto
makro untuk melihat void dan debonding dari produk komposit yang dihasilkan guna
mengetahui kualitas produk. Pada setiap variasi resin akan dilakukan pengujian kekuatan tarik
sebanyak 5 kali guna memastikan validasi nilai uji tariknya dan dapat digunakan sebagai
pembanding dari data. Data yang didapat akan dicatat dan diolah kemudian dimasukkan
kedalam tabel untuk mempermudah dalam proses pencatatan data. Pengolahan data untuk
perhitungan void dilakukan dengan menggunakan software ImageJ.
36
3.9 Diagram Alir Penelitian
Mulai
Studi literatur dan Identifikasi
masalah (cara mengatasi
debonding dari Vacuum Resin
Infusion)
Persiapan alat dan bahan
Pemilihan metode
pembuatan
komposit berserat
kulit pohon waru
dengan vacuum bag
Proses Hand Lay up
Alkali Treatment pada serat waru
Proses VacuumBag
Pengumpulan data pembanding
A
37
A
Perbandingan produk
komposit hasil Vacuum
Resin Infusion dengan
Vacuum bag
Analisis dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Selesai
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian
Gambar 4.1 Variasi metode manufaktur komposit terhadap porosity
Sumber : Bryan Harris, 1999
Gambar 4.1 adalah penjelasan mengenai perbandingan porositas dengan nilai
karakteristik yang relative terhadap hand lay-up. Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa RTM
(Resin Transfer Molding) dengan metode vakum pada serat sintetis memiliki nilai porositas
yang lebih rendah di banding yang lainnya dan juga memiliki nilai karakteristik yang lebih
tinggi di banding dengan metode manufaktur yang lain. Gambar tersebut merupakan acuan
dalam proses pembuatan komposit berserat sintetis. Pada kondisi aktual, tentu saja metode
manufaktur komposit berserat natural tidak dapat disamakan dengan metode manufaktur
komposit berserat sintetis, dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi komposit berserat
natural. Lokasi penanaman, jenis pupuk, umur tanaman, kelembaban tanah, kandungan
Nitrogen dalam tanah, waktu penyiraman, bayak sedikitnya daun pada tanaman, dan lain
sebagainya tentunya akan menghasilkan jenis tanaman yang berbeda dan dengan kualitas
tanaman yang berbeda pula.
Karena banyaknya hal hal yang mempengaruhi kekuatan komposit natural fiber
tersebut, maka penulis merasa perlu dilakukannya perbandingan proses manufaktur komposit
dengan metode lain selain RTM dengan vakum, guna mengetahui pengaruh metode pembuatan
komposit, dengan kualitas produk yang dihasilkan oleh metode manufaktur komposit tersebut.
36
4.2 Foto Permukaan Produk Komposit Vacuum Bagging
Dalam penentuan kualitas dari produk komposit, tentunya kita harus melihat cacat apa
saja yang terjadi pada produk hasil komposit. Salah satu cara mengetahui cacat yang terjadi
pada produk hasil komposit dengan metode pembuatan Vacuum Bagging adalah dengan
melakukan pengematan prosentase void yang terbentuk pada produk komposit.
Pengamatan ini dilakukan menggunakan bantuan lensa kamera makro dengan
perbesaran 100x dan dilakukan pada permukaan atas spesimen, tujuannya dari diambilnya
permukaan atas spesimen adalah agar daerah luasan yang hitung memiliki luasan yang cukup
untuk diambil sample, selain itu guna melihat kualitas produk komposit dari luar, sehingga
dapat terlihat void pada produk komposit sebagai berikut :
Gambar 4.2 Foto makro permukaan produk komposit. (A) Epoxy, (B) Polyester, (C)
Bisphenol, (D) Ripoxy.
Dari gambar diatas, dilakukan perhitungan dengan mengambil 5 sample secara acak
pada permukaan spesimen dengan ukuran 5 x 5 mm dengan software ImageJ. ImageJ
menghitung void pada permukaan spesimen berdasarkan beeda kontras warna antara daerah
yang rata dan tidak rata, sehingga apabila terjadi void pada permukaan produk komposit,
dapat dengan mudah terdeteksi oleh gradasi warna yang kemudian akan dihitung secara
otomatis oleh software ImageJ.
A
D
C
B
37
Tabel 4.1 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Epoxy
Gambar Sample Pengolahan Prosentase Void (%)
40.13
43.57
33.4
30
44.35
Rata-rata 38.29%
38
Tabel 4.2 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Polyester
Gambar Sample Pengolahan Prosentase Void (%)
46.39
42.21
39.85
40.1
30.42
39
Rata-rata (%) 39.79%
Tabel 4.3 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Bisphenol
Gambar Sample Pengolahan Prosentase Void (%)
61.4
42
45.5
43.8
48.35
40
Rata-rata 48.21%
Tabel 4.4 Perhitungan Prosentase Void Komposit Matrik Ripoxy
Gambar Sample Pengolahan Prosentase Void (%)
54.8
57.7
43.56
50.94
41
55.6
Rata-rata 52.52%
Dari hasil perhitungan prosentase void yang terjadi pada produk komposit, diketahui
porositas yang paling banyak, terjadi pada produk komposit dengan matrik ripoxy sebanyak
52.52% void yang terjebak pada permukaan spesimen, setelah itu adalah produk komposit
dengan matrik bisphenol dengan void sebanyak 48.21%, setelah itu adalah spesimen polyester
dengan 39.79% void, dan yang paling sedikit memiliki prosentase void adalah matrik epoxy
dengan 38.29% void. Void adalah cacat yang terdapat pada komposit, akibat adanya udara yang
terjebak pada saat proses pembuatan komposit, sehingga menimbulkan rongga udara pada
produk hasil pembuatan komposit.
Void mempengaruhi kualitas dari komposit, semakin banyak void pada matrik, maka
kualitas dari matrik pengikat akan mengalami penurunan dan mempengaruhi kekuatan dari
komposit dikarenakan void dapat menjadi pemusatan tegangan pada saat produk komposit
menerima gaya. Dengan semakin banyak void yang terjadi, maka menunjukkan penurunan
kualitas matrik dari komposit tersebut. Bila ditinjau dari ilmu manufaktur, toleransi terjadinya
void pada material komposit skala industri harus memiliki nilai toleransi yang rendah. Hal ini
dikarenakan, produk yang akan diproduksi secara masal, harus memenuhi standart keamanan
supaya dapat digunakan oleh masyarakat. Semakin banyak void yang terjadi, maka akan
menurunkan kekuatan dari material komposit tersebut.
Void pada proses pembuatan komposit dengan metode vacuum bagging diduga terjadi pada
saat proses pencampuran resin dengan hardener maupun katalis. Setelah proses pencampuran
yang dilakukan dalam ruangan terbuka, kemudian dilakukan pengadukan pada resin secara
manual. Terjadinya gelembung udara yang terperangkap, banyak terjadi pada saat proses
pengadukan akibat kecepatan pengadukan yang telalu cepat. Pengadukan yang terlalu cepat
mengakibatkan udara disekitar ruangan ikut masuk kedalam resin. Proses hand lay up juga
mempengaruhi terjadinya gelembung udara pada spesimen, akibat bentuk serat yang berpori,
tidak menutup kemungkinan bahwa ada gelembung udara yang terjebak pada rongga serat pada
saat proses hand lay up berlangsung. Pengadukan resin hendaknya dilakukan secara perlahan
42
guna mengurangi gelembung udara yang terjebak didalam matrik sehingga akan menimbulkan
banyaknya void yang terjadi.
4.3 Analisa Patahan Komposit dengan Metode Vacuum Bagging
Pengujian tarik merupakan salah satu destructive test, sehingga akan merusak
material setelah dilakukan pengujian karena material akan ditarik hingga patah. Namun hasil
pengujian tarik juga memungkinkan untuk dilakukan analisa patahan guna melihat sifat dan
kegagalan akibat dari proses manufaktur sehingga dapat diketahui kualitas dari produk hasil
metode manufaktur komposit yang digunakan, gambar diambil menggunakan lensa makro
dengan perbesaran 100x. Adapun gambar penampang patahan spesimen uji tarik dengan
metode vacuum bagging adalah sebagai berikut:
Gambar 4.3 Perbandingan patahan tiap variasi komposit produk Vacuum Bagging
Pada gambar 4.2 menunjukkan bentuk patahan dari masing-masing variasi tiap
spesimen uji tarik komposit. Dapat dilihat bahwa variasi matrik bisphenol dan polyester
43
memiliki daerah debonding yang cukup besar pada bagian samping spesimen. Selain
debonding, masing-masing dari tiap spesimen memiliki patahan pull-out.
Debonding adalah jenis kegagalan komposit yang terjadi karena lemahnya adhesi
antara matrik dan serat. Lemahnya gaya interface antara matrik dan fiber inilah yang
menimbulkan terkelupasnya matrik pada serat sehingga mempengaruhi kualitas produk..
Dari gambar foto makro patahan komposit diatas, dapat terlihat bahwasanya komposit
dengan matrik epoxy merupakan komposit yang menghasilkan bentuk patahan terbaik dan
mengalami sedikit debonding, sedangkan untuk matrik ripoxy, mengalami cukup banyak
debonding dan fiber pull out namun jauh lebih kecil daripada matrik bisphenol dan polyester.
4.3.1 Analisa Patahan Matrik Epoxy
(1) (2) (3)
Gambar 4. 4 Fase bentuk patahan specimen Uji Tarik matrik Epoxy
Pada gambar 4.3 poin nomor (1) adalah kondisi awal spesimen pada saat proses pengujian
akan dilakukan. Poin (2) Spesimen mulai terbentuk retak awal. Poin (3) Spesimen mengalami
patah.
44
Gambar 4. 5 Foto permukaan patah spesimen matrik Epoxy
Dari gambar diatas terlihat bahwa komposit dengan matrik epoxy terdapat beberapa
cacat diantaranya terdapat pull out dan debonding. Apabila dilihat lebih seksama, komposit
dengan matrik epoxy terdapat void pada permukaan spesimen, hal ini tentunya akan
mempengaruhi kekuatan tarik dari komposit. Debonding yang terjadi pada produk komposit
dengan matrik epoxy cenderung paling kecil dibandingkan dengan patahan lainnya. Debonding
merupakan mekanisme lepasnya serat dan matrik akibat lemahnya gaya ikat antara matrik dan
serat sehingga matrik dan serat terkelupas sebelum dapat mentransfer gaya yang diterima
dengan maksimal. Apabila dibandingkan dengan patahan produk lain, komposit bermatrik
epoxy memiliki daerah patahan yang lebih seragam dan rapi.
45
4.3.2 Analisa Patahan Matrik Polyester
(1) (2) (3)
Gambar 4. 6 Fase patahan specimen Uji Tarik matrik Polyester
Pada gambar 4.6 poin nomor (1) adalah kondisi awal spesimen pada saat proses pengujian
akan dilakukan. Poin (2) Spesimen mulai terbentuk retak awal. Poin (3) Spesimen mengalami
patah.
46
Gambar 4. 7 Foto permukaan patah spesimen matrik Polyester
Dari gambar diatas terlihat bahwa produk komposit dengan matrik polyester memiliki
daerah debonding yang cukup luas. Dari gambar diatas terlihat pula terdapat void pada patahan
produk komposit dengan matrik polyester. Void ini terbentuk akibat adanya udara yang
terperangkap masuk kedalam produk komposit pada saat proses pembuatan. Diduga udara
masuk pada saat proses pengadukan dan proses hand lay up dikarenakan dalam kondisi udara
ruang dan mengalami kontak langsung dengan udara. Terjadi pula pull out yang cukup banyak
pada spesimen dengan matrik polyester.
47
4.3.3 Analisa Patahan Matrik Bisphenol
(1) (2) (3)
Gambar 4. 8 Fase bentuk patahan specimen Uji Tarik matrik Bisphenol-A
Pada gambar 4.6 poin nomor (1) adalah kondisi awal spesimen pada saat proses
pengujian akan dilakukan. Poin (2) Spesimen mulai terbentuk retak awal. Poin (3) Spesimen
mengalami patah.
48
Gambar 4. 9 Foto permukaan patah spesimen matrik Bisphenol
Dari gambar patahan diatas terlihat bahwa produk komposit dengan matrik bisphenol
mengalami kegagalan berupa debonding yang cukup besar, namun lebih kecil bila
dibandingkan dengan matrik polyester. Pada produk komposit ini juga terjadi pull out dan juga
void pada permukaan penampang komposit. Pull out merupakan kegagalan komposit dimana
terdapat serabut serat yang keluar dari komposit, serabut sera ini gagal patah pada daerah patah
matrik sehingga terjadi perbedaan patahan serabut serat yang berbeda beda. Perbedaan patahan
serabut serat ini dikarenakan tidak mampunya serat menerima gaya secara merata pada semua
bagian serat, sehingga terjadi konsentrasi tegangan pada serat dan terjadi pull out.
49
4.3.4 Analisa Patahan Matrik Ripoxy
(1) (2) (3)
Gambar 4. 10 Fase patahan specimen Uji Tarik matrik Ripoxy
Pada gambar 4.6 poin nomor (1) adalah kondisi awal spesimen pada saat proses
pengujian akan dilakukan. Poin (2) Spesimen mulai terbentuk retak awal. Poin (3) Spesimen
mengalami patah.
50
Gambar 4. 11 Foto permukaan patah specimen matrik Ripoxy
Dari gambar patahan diatas, dapat terlihat bahwa produk komposit dengan matrik ripoxy
mengalami kegagalan material diantaranya adalah debonding yang terjadi pada permukaan
produk komposit. Pada produk komposit ini juga mengalami void dan pull out pada daerah hasil
patahan. Yang membedakan dari ketiga produk lainnya adalah pada produk komposit dengan
matrik ripoxy ini mengalami resin rich, atau kelebihan resin pada saat proses pembuatan. Hal
ini terlihat dari gambar foto makro diatas yang mana terdapat penumpukan resin pada bagian
samping produk komposit. Resin rich mengakibatkan penurunan kekuatan komposit,
dikarenakan didalam matrik yang berkumpul tersebut tidak terdapat serat sehinngga apabila
dikenai gaya, matrik tidak dapat mentransfer gaya yang diterima kepada serat.
51
4.4 Perbandingan Patahan Produk Komposit
4.4.1 Epoxy
Gambar 4. 12 Perbandingan hasil patahan produk komposit bermatrik Epoxy
Gambar (a) merupakan produk komposit hasil proses resin infusion dan gambar
(b) merupakan produk hasil proses vacuum bagging. Pada gambar diatas terlihat bahwa
daerah debonding mengalami penurunan yang sangat drastis dibandingkan dengan
metode resin infusion. Daerah patahan juga mengalami penurunan sehingga patahan
spesimen lebih rapi. Pada gambar diatas terlihat pula bahwa fiber pull out mengalami
penurunan yang signifikan, sehingga pada gambar (b) terlihat fiber pull out hanya terjadi
sedikit dan memiliki ukuran yang pendek. Dari gambar diatas, terlihat bahwa metode
vacuum bagging terbukti dapat menurunkan debonding dan pull out pada produk
komposit dengan matrik epoxy.
B
A
52
4.4.2 Polyester
Gambar 4. 13 Perbandingan hasil patahan produk komposit dengan matrik Polyester
Dari gambar diatas terlihat perbandingan hasil patahan dari metode resin
infusion (a) terhadap produk komposit dengan metode pembuatan vacuum bagging.
Dari gambar diatas terlihat perbedaan lokasi terjadinya debonding. Gambar diatas juga
menunjukkan penurunan daerah debonding, terlihat dari perbedaan lokasi patah
sehingga luas area debonding pada produk komposit (b) lebih kecil. Meskipun
debonding yang terdapat pada produk (a) berhasil diminamalkan, namun pull out masih
banyak terjadi pada produk komposit hasil metode vacuum bagging. Dari gambar diatas,
vacuum bagging terbukti meningkatkan kualitas pada produk komposit dengan matrik
polyester.
B
A
53
4.4.3 Bisphenol
Gambar 4. 14 Perbandingan hasil patahan produk komposit bermatrik Bisphenol
Gambar diatasmenunjukkan perbandingan antara produk komposit dengan
menggunakan metode resin infusion (a) dan metode vacuum bagging (b). Pada gambar
terlihat bahwa produk dengan metode vacuum bagging memiliki luas patahan yang
lebih teratur dan lebih rapi apabila dibandingkan dengan bentuk patahan produk dengan
metode resin infusion. Debonding pada produk (b) secara drastis berkurang apabila
dibandingkan dengan produk komposit dengan metode resin infusion. Pull out pada
produk (b) pun mengalami penurunan dan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari luas
fracture area pada produk komposit dan juga bentuk patahan dari produk komposit. Ini
menunjukkan bahwa proses pembuatan komposit dengan metode vacuum bagging
terbukti mengurangi debonding, pull out, dan menambah kerapian patahan dari
komposit dengan matrik bisphenol.
B
A
54
4.4.4 Ripoxy
Gambar 4. 15 Perbandingan hasil patahan produk komposit bermatrik Ripoxy
Gambar diatas menunjukkan perbandingan dari produk komposit hasil metode
resin infusion (a) dan metode vacuum bagging (b). Pada gambar terlihat perbedaan luas
area patahan yang sangat signifikan, produk vacuum bagging memiliki luas area patah
yang cenderung lebih kecil dan rapi apabila dibandingkan dengan produk resin infusion.
Apabila dilihat dari debonding yang terjadi, terlihat bahwa metode resin infusion
memiliki daerah debonding yang sangat luas dan tidak beraturan, berbeda dengan
produk hasil vacuum bagging yang memiliki patahan yang rapi, serta mengalami sedikit
debonding. Pull out pada produk (b) juga mengalami penurunan yang sangat drastis.
Terlihat pada gambar produk komposit hasil metode vacuum bangging terbukti dapat
mengurangi debonding dan pull out secara signifikan.
B
A
55
4.5 Pengaruh Notch pada Hasil Patahan Produk Komposit
Pada proses pengambilan data, penulis menyadari bahwa terjadinya patahan pada tiap
spesimen produk komposit memiliki daerah patah yang berbeda – beda. Hal ini mendorong
penulis untuk melakukan pengujian tarik dengan memberikan notch pada masing masing
spesimen sedalam 1mm, dan berikut merupakan penampang patahannya.
Gambar 4.16 Bentuk patahan dengan Notch pada jenis resin (A) Polyester, (B) Epoxy, (C)
Bisphenol, (D) Ripoxy
Pada gambar 4.16 terlihat bahwa patahan epoxy dan bisphenol, mengalami patahan pada
daerah yang diberikan notch, ini membuktikan bahwasanya pemusatan tegangan pada komposit
bermatrik epoxy dan bisphenol dapat dilakukan sehingga dapat dilakukan rekayasa untuk
menentukan tempat terjadinya patahan pada komposit. Pada komposit bermatrik polyester,
pemberian notch menimbulkan patahan yang tidak dapat diprediksi, walaupun terlihat dari
gambar bahwa patahan komposit polyester selalu bermula pada notch, tetapi penyebaran beban
yang diterima tidak dapat di prediksi dan diarahkan dengan notch sehingga patahan yang
dihasilkan pun tidak beraturan. Pada gambar patahan ripoxy tidak terpengaruh dengan adanya
A
C
D
B
56
notch pada spesimen, komposit dengan matrik ripoxy mengalami patahan pada daerah diluar
notch dan berjarak cukup jauh dari notch, hal ini menunjukkan bahwa material komposit dengan
matrik ripoxy tidak dapat diprediksi letak patahannya akan terjadi.
4.5.1 Data Hasil Pengujian Tarik Komposit dengan Metode Vacuum Bagging
Gambar 4. 17 Grafik Kekuatan Tarik Komposit dengan Metode Vacuum Bagging
Pada gambar 4.1 menunjukkan perbandingan kekuatan tarik antar variasi matrik
yaitu matrik bisphenol, polyester, ripoxy, dan epoxy. dari grafik 4.1 diatas dapat terlihat
urutan perbandingan kekuatan tarik komposit dengan metode vacuum bagging dari yang
paling tinggi ke rendah adalah epoxy dengan kekuatan tarik sebesar 305,29 MPa,
selanjutnya adalah polyester dengan kekuatan tarik sebesar 266,83 MPa, pada urutan
ketiga adalah bisphenol dengan kekuatan tarik sebesar 248,80 MPa, dan pada urutan
terakhir adalah komposit dengan matrik ripoxy dengan kekuatan tarik sebesar 235,33
MPa. Perbedaan kekuatan ini disebabkan karena matrik yang digunakan memiliki
kekentalan yang berbeda-beda dan gelling time yang berbeda pula. pada proses
pembuatan dengan metode vacuum bagging, komposit dibuat dengan menggunakan
metode hand lay up sebelum akhirnya di vacuum.
Matrik epoxy memiliki kekentalan yang paling besar terhadap matrik lainnya,
tetapi memiliki gelling time yang paling lama, sehingga matrik epoxy memiliki cukup
waktu untuk meresap kedalam rongga serat waru sehingga komposit yang dihasilkan
248.7980769266.8269231
235.3365385
305.2884615
0
50
100
150
200
250
300
350
1 2 3 4
Kek
uat
an T
arik
(M
Pa)
Matriks
Bisphenol Polyester Rypoxy Epoxy
57
pun memiliki kekuatan yang baik. Matrik epoxy memiliki komposisi 50 gram resin yang
nantinya akan dicampur dengan 50 gram hardener.
Matrik polyester merupakan matrik yang relatif kecil kekentalannya, namun
kekentalannya meningkat setelah diberikan katalis. Matrik polyester memiliki
campuran 1 gram katalis per 100 gram resin. Matrik polyester merupakan matrik yang
paling cepat bereaksi dan memasuki gelling time dibandingkan ketiga matrik lainnya.
Matrik bisphenol memiliki kekentalan yang relatif kecil pada saat sudah
dicampur dengan katalis dan promoter. Matrik bisphenol yang memiliki kekentalan
kecil ini memungkinkan matrik dapat tersalur sempurna dan merata pada seluruh bagian
serat. Matrik bisphenol juga menggunakan sedikit katalis yaitu hanya sebesar 0,4 gram
dan promoter 0,8 gram per 100 gram resin. Terlihat dari campurannya, matrik bisphenol
merupakan matrik yang relatif lama memasuki gelling time.
Matrik ripoxy memiliki kekentalan yang sangat kecil ketika telah tercampur
dengan katalis dan promoter. Matrik ripoxy yang digunakan memiliki campuran 3 gram
katalis dan 0.6 gram promoter tiap 100 gram resin. Karena kekentalannya yang sangat
kecil, matrik ripoxy dapat dengan mudah diratakan secara sempurna kedalam serat.
Dalam proses pembuatan komposit dengan matrik ripoxy, serat menyerap banyak resin
ripoxy karena kekentalan yang rendah akan memungkinkan penyerapan yang lebih
optimal oleh serat.
58
4.5.2 Diagram Tegangan Regangan Komposit Natural Fiber dengan metode Vacuum
Bagging
Dari hasil pengujian tarik di dapatkan data beban dan pertambahan panjang yang
di cantumkan dalam lampiran, kemudian data diolah sehingga menghasilkan diagram
tegangan ragangan seperti pada gambar 4.18. Pada diagram tersebut diperoleh tensile
strength (kekuatan tarik) yang ditunjukkan oleh ultimate strength spesimen dan nilai
tensile strength dengan variasi matrik.
Gambar 4. 18 Diagram Tegangan-Regangan Komposit Natural Fiber dengan Metode Vacuum
Bagging.
Grafik diatas menunjukkan hubungan tegangan regangaan pada macam macam
jenis matrik yaitu bisphenol, epoxy, ripoxy, polyester. Dimana dari grafik dapat
diketahui sumbu x menunjukkan regangan dan sumbu y menunjukkan tegangan.
Pada grafik hubungan tegangan dan regangan rekayasa dengan variasi matrik
dengan metode vacuum bagging dari tinggi ke rendah adalah epoxy, polyester,
bisphenol, lalu ripoxy.
Variasi matrik Epoxy
Komposit dengan matrik epoxy memiliki kekuatan tarik sebesar 305,29 MPa.
Nilai ini merupakan tegangan maksimal yang dihasilkan spesimen hingga patah.
Dengan besar regangan maksimal yaitu 3.04%. Komposit epoxy menghasilkan nilai
tegangan yang tinggi namun diikuti oleh regangan yang cukup besar. Hal ini
0
50
100
150
200
250
300
350
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Tega
nga
n (
MP
a)
Regangan (%)
Bisphenol
Polyester
Rypoxy
Epoxy
59
menunjukkan matrik epoxy mampu menyalurkan tegangan yang diterima oleh
komposit kepada fiber secara merata seingga memiliki kekuatan yang tinggi.
Variasi matrik Polyester
Kekuatan tarik variasi matrik polyester yaitu sebesar 266.8 MPa sebagai tegangan
maksimal yang dapat dihasilkan dari komposit tersebut. Dengan besar regangan
maksimal yaitu 2,43%. Polyester merupakan matrik yang sangan baik dalam mengikat
natural fiber, sehingga komposit dengan matrik polyester sangat baik digunakan dan
memiliki nilai kekuatan tarik yang tinggi. Polyester memiliki kekentalan yang lebih
rendah dari pada matrik epoxy, hal ini memungkinkan polyester untuk dapat terserap
dan masuk kedalam rongga pada natural fiber sehingga dapat tercampur merata dan
menghasilkan komposit yang berkekuatan tarik tinggi.
Variasi matrik Bisphenol
Kekuatan tarik variasi matrik bisphenol yaitu sebesar 248,8 MPa dan merupakan
tegangan maksimal yang dapat dihasilkan dari komposit bermatrik tersebut. Dengan
besar regangan maksimal yaitu 3,67%. Dari gambar 4.2 terlihat bahwa bisphenol
memiliki nilai regangan yang terbesar dibandingkan dengan ketiga resin lainnya. hal ini
menyebabkan komposit dengan matrik bisphenol memiliki daerah plastis yang luas
namun memiliki nilai kekuatan tarik yang cukup baik.
Variasi matrik Ripoxy
Kekuatan tarik variasi matrik Ripoxy yaitu sebesar 235,34 MPa. Ripoxy memiliki
regangan maksimal sebesar 1,82%. Ripoxy memiliki kekentalan yang paling rendah
dibandingkan seluruh jenis resin, namun matrik Ripoxy memiliki nilai penyusutan yang
sangat besar, yaitu sekitar 35-40%. Karena dari penyusutan inilah, hasil produk
komposit ripoxy dengan metode vacuum bagging pada komposit natural fiber memiliki
nilai kekuatan tarik yang paling rendah, namun dapat dilihat komposit dengan matrik
ripoxy memiliki nilai kekakuan yang paling baik dibandingkan dengan seluruh
komposit dengan matrik yang lain. Hal ini dikarenakan penyusutan matrik ripoxy yang
cenderung besar, sehingga dapat memadat dengan baik sehingga kekakuannya baik.
Rendahnya kekuatan dari produk komposit ripoxy ini juga dipengaruhi oleh banyaknya
void yang terjadi pada permukaan produk.
60
4.6 Perbandingan Kekuatan Tarik metode Vacuum Bagging dengan Resin Infusion
Berikut ini adalah perbandingan kekuatan tarik dari proses pembuatan komposit dengan
metode Vacuum Bagging dan Vacuum Resin Infusion. Dapat terlihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4. 19 Grafik perbandingan kekuatan Tarik antara Vacuum Bagging Process dan
Resin Infusion Process
Dari grafik diatas dapat terlihat bahwa nilai kekuatan tarik dari metode vacuum bagging
process pada beberapa jenis matrik lebih rendah dari nilai kekuatan tarik pada proses resin
infusion process. Pada matrik bisphenol dan ripoxy, kekuatan tariknya menunjukkan lebih
rendah dari pada metode resin infusion, hal ini disebabkan karena pada proses vacuum bagging,
matrik dioleskan pada serat dan hanya bisa dilakukan satu kali sebelum akhirnya dilakukan
proses vacuum, matrik bisphenol dan ripoxy memiliki karakter kekentalan yang rendah apabila
telah tercampur dengan katalis dan promoter, sehingga pada saat proses vacuum, ada
kemungkinan resin yang telah menempel pada serat akan ikut terhisap kedalam resin trap
sehingga proses adhesi antara serat dan matrik akan mengalami penurunan akibat dari
berkurangnya jumlah resin yang menempel secara merata pada serat dan menumpuk pada
permukaan spesimen. Void yang banyak terjadi pada produk komposit dengan matrik ripoxy
dan bisphenol juga mempengaruhi kekuatan tarik dari komposit tersebut. Sedangkan pada
proses resin infusion, resin yang ditarik secara kontinyu memberikan persebaran yang lebih
merata pada seluruh bagian serat.
Pada matrik epoxy dan ripoxy, kekuatan tariknya cenderung meningkat apabila
dibandingkan dengan metode resin infusion, hal ini disebabkan karena kekentalan matrik epoxy
0
50
100
150
200
250
300
350
Bisphenol Polyester Rypoxy Epoxy
Kee
kuat
an T
arik
(M
Pa)
Perbandingan Kekuatan Tarik
Vacuum Bagging Resin Infusion
61
dan polyester yang tinggi sehingga akan sulit terhisap dan ikut masuk kedalam resin trap. Hal
ini memungkinkan resin dapat menyebar secara merata dengan dilakukannya proses hand lay
up, karena pemerataan resin pada serat dapat dikontrol sehingga proses adhesi antara matrik
dan serat dapat terjadi dengan baik. Sedangkan pada metode resin infusion, hal ini akan menjadi
masalah dikarenakan apabila matrik yang ditarik menggunakan vacuum terlalu kental, maka
fluiditas resin akan menjadi rendah dan menyebabkan resin sulit untuk mengalir masuk mengisi
rongga serat dan menyebabkan resin dapat memasuki masa gelling time sebelum dapat mengisi
rongga serat secara merata. Tidak meratanya penyebaran matrik pada serat tentunya akan
mempengaruhi kekuatan dari produk komposit karena akan transfer gaya yang diterima oleh
komposit tidak maksimal.
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut.
Prosentase terjadinya void pada metode vacuum bagging dinilai cukup tinggi, urutan
produk dengan void terbanyak berdasarkan sample yang dihitung adalah rypoxy (52.52%),
bisphenol (48.21%), polyester (39.79%), dan epoxy (38.29%).
Dari hasil penelitian, metode vacuum bagging terbukti dapat mengurangi cacat produk
seperti debonding, dan pull out. Hal ini dapat terlihat jelas dari perbandingan patahan kedua
produk komposit.produk hasil proses vacuum bagging juga memiliki fracture area yang jauh
lebih rendah dibandingkan produk hasil proses vacuum resin infusion.
Didapatkan hasil pengujian kekuatan tarik produk komposit dengan metode vacuum bagging
tertinggi terdapat pada matrik epoxy yaitu sebesar 305,29 mpa, matrik polyester mempunyai kekuatan
tarik sebesar 266,83 mpa, matrik bisphenol mempunyai kekuatan tarik sebesar 248,80 mpa dan matrik
ripoxy memiliki kekuatan tarik sebesar 235,35 mpa. Perbedaan kekuatan tarik dari tiap variasi
disebabkan oleh sifat dari masing-masing matrik yang digunakan serta banyaknya void yang
terjadi pada material produk komposit.
5.2 Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahui perbandingan
seluruh hasil proses manufaktur komposit.
2. Pada saat proses hand lay up, hendaknya proses pencampuran dan penuangan resin
dilakukan secara perlahan untuk meminimalisir void yang terjadi.
3. Perlunya perhitungan yang matang untuk dapat memperkirakan waktu resin memasuki
gelling time, dikarenakan proses hand lay up menghabiskan waktu yang cukup lama.
4. Gunakan release agent secara merata agar proses pelepasan spesimen lebih mudah.
Daftar Pustaka
Arif. (2011). Karakterisasi Kekuatan Mekanik Komposit Berpenguat Serat Kulit Waru
(Hibiscus Tiliaceus) Kontinyu Laminat Dengan Perlakuan Alkali Bermatriks
Polyester. Jurnal Rekayasa Mesin Vol.2, No. 3 Tahun 2011 : 209-217, Mechanical
Engineering, Brawijaya University.
Amirkhosravi, M. (2012). Improving laminate quality in wet lay-up/vacuum bag processes.
Oklahoma: School of Aerospace and Mechanical Engineering, University of
Oklahoma.
Ariska, V. (2016). Pengaruh Variasi Matrik terhadap Kekuatan Tarik pada Komposit
berserat Kulit Waru (hibiscus tiliaceus). Malang: Mechanical Engineering,
Brawijaya University.
ASM Handbook Committee. (2001). ASM Handbook Volume 21 : Composite. ASM
International Handbook Committee.
ASTM. (2003). ASTM D638-03, Standard Test Method for Tensile Properties of Plastic.
West Conshohocken: PA.
Callister, W. D. (2007). Material Science and Engineering, 2nd edition. New York: Jhon
Wolley & Sons ,inc.
Castegnaro, S. (2016). A bio-composite racing sailboat: Materials selection, design,
manufacturing. Venezia: Department of Industrial Engineering, University of
Padova.
George. (2005). Mechanics of Composite Materials with MATLAB. Los Angels: Springer.
Gibson, R. F. (1994). Mechanics of Composite Materials.
Istiqomah. (2011). Waru Leaf Saponin on Ruminal Fermentation. Research Unit for
Development of Chemical Engineering Process, Indonesian Institute of Science
(LIPI).
Kakani. (2004). Material Science, New Delhi. New age International Publisher.
Mazumdar, S. K. (2002). Composites manufacturing : materials, product, and process.
London: CRC PRESS LCC.
Niu, H. (2001). Analitical Modeling on Debonding Failure of FRP-Strengthened RC
Flexural Structure. Hitachi: Ibaraki University, Japan.
Octaridwan, A. (2015). Pengaruh Fraksi Berat Serat Daun Nanas dan Bentuk Cetakan
terhadap Prosentase Penyusutan Polyester. Malang: Mechanical
Engineering,Brawijaya University.
Rawling, M. (1994). Composite Materials : Engineering and Science. New York:
Chapman & Hall.
Rijswijk, K. v. (2001). Application of Natural Fibre Composites in the Development. Delft:
Faculty of Aerospace Engineering Delft University of Technology.
Setyanto, R. H. (2012). Review : Teknik Manufaktur Komposit Hijau dan Aplikasinya.
Performa Vol. 11. Performa.
Setyawati, A. A. (2009). Kimia, Mengkaji Fenomena Alam. Jakarta: Pusat Pendidikan.
Schuh,G.U (1999). Automotive application for natural fiber composite. UNESP – Sau
Paulo State University
UGM, C. C. (2016, April). Retrieved from http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=227.
Zulfia, A. (2010). Pengantar Komposit.