penggunaan obat pada populasi khusus

23
PENGGUNAAN OBAT PADA POPULASI KHUSUS GERIATRI I GST AGUNG PUTU DEDDY MAHARDIKA 0708505032

Upload: timothy-olson

Post on 23-Sep-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jikppt

TRANSCRIPT

PENGGUNAAN OBAT PADA POPULASI KHUSUSGERIATRI

I GST AGUNG PUTU DEDDY MAHARDIKA0708505032

JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS UDAYANA2015BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangWarga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih.Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya.Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan kondisi fisik baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang mengakibatkan gerak-geriknya menjadi lamban. Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekadar mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya.Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut. Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau menghentikan penggunaan obat.Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented yang dikenal dengan istilah Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi apoteker dalam hal farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien.

BAB IIKARAKTERISTIK PASIEN GERIATRIBERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT

Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi medikamentosa.2.1 Perubahan Farmakokinetikaa. Bioavaibilitas oralSejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat yang absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan terpengaruh seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin dan siprofloksasin.Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obatyang masuk per oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolisme awal di hepar (first-pass metabolismdi hepar); obat-obat ini lebih sensitif terhadap perubahan bioavailabilityakibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang akibat aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % padafirst-pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5%; jika karena proses menua destruksi obat mengalami penurunan(hanya 90 %) maka yang tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk ke sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik seperti kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan high first-pass effect; contohnya nifedipin dan verapamil.

b. Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal organ akibat penuaan)Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih sangat dominan; ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan. Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan tubuh akan berkurang akibat berkurangnya pula massa otot. Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan.Kadar albumin dan 1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebasjuga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat meningkat sehingga bahaya efek samping lebih besar.c. MetabolismeFaal heparMassa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal. Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi maupun hidrolisis; obat menjadi kurang aktif atau menjadi tidak aktif sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P-450, tidak memerlukan energi) biasanya terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase dua berupa konyugasi molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat; memerlukan energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase 2 ini tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya usia. Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok, indeks ADL's (= Activities of Daily Living) Barthel serta berat ringannya penyakit yang diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan kecepatan biotransformasi obat berkurang dengan kemungkinan terjadinya peningkatan efek toksik obat.

Faal ginjalFungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur. Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan kadar kreatinin plasma tidak tepat sehingga sebaiknya menggunakan Cockroft-Gault,

CCT = (140-umur) x BB (kg) (dalam ml/menit) 72 x [kreatinin]plasmadikali 0,85 untuk pasien perempuan.

GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam; dibandingkan dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat; sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal. Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang sesuai dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian dipengaruhi antara lain oleh skor ADLs Barthel. Pemberian obat pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek toksik.Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi tentang waktu paruh obat.

T 1/2 = 0,693 x volume distribusi Clearance

contoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga menurun sehingga hasil akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam, terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance maka hasil akhirnya adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar.

2.2 Perubahan FarmakodinamikaSensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada usia lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut.Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan pada usia dewasamuda.Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat mengakibatkan postural sway-nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor 1; efek pada reseptor 2 yakni penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenali tidak terlihat. Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular.

BAB IIIKARAKTERISTIK LAIN TERAPI OBAT PAA GERIATRI

Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia lanjut juga terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu pasien menderita beberapa penyakit. Keadaan ini bisa lazim terjadi pada kelompok populasi pasien berusia lanjut mengingat pada perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu penyakit yang akan cenderung menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga cenderung menahun akibat pertambahan usia, demikian seterusnya. Di tengah perjalanannya bukan tidak mungkin seorang pasien mengalami kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih yang mengakibatkan ia harus dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada seseorang dengan berbagai penyakit kronik degeneratif acap kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi pasien.Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam. Hal ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri. Namun demikian tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut.Faktor lain yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa masih terdapat banyak kecenderungan untuk secepat mungkin mengatasi semua gejala, yang sayangnya tanpa sengaja mungkin telah melanggar prinsip cost effectiveness. Keadaan multipatologi di atas sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan multifarmasi atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah polifarmasi.Istilah polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh beberapa ahli. Beberapa definisi antara lain:

1) meresepkan obat melebihi indikasi klinik; 2) pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu; 3) penggunaan empiris lima obat atau lebih (Michocki,2001). Apapun definisi yangdigunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga sedapat mungkin dihindari (Barenbeim,2002).Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri adalah sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan bahwa drug induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang mekanismenya:1) akibat perubahan metabolisme obat terkait usia; 2) polifarmasi; 3) interaksi beberapa obat; 4) kekacauan pengobatan karena pasien sulit mengingat; 5) penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia.

Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling sering menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa neurotransmisi kolinergik memang menurun sejalan dengan penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa obat yang sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun jika diberikan pada usia lanjut akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa diantaranya adalah simetidin, ranitidin, prednisolon, teofilin, digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin. Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula kemungkinan efek antikolinergik yang bisa muncul.Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai obat yang digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat yang digunakan maka semakin banyak pula kemungkinan interaksi obat. Jumlah kemungkinan interaksi pada N obat dapat dihitung dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2. Jadi, enam obat saja dapat menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian melaporkan jumlah pasien dengan kemungkinan interaksi sebanyak 2,4% dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan 6 obat dan 55,8% dengan 12 obat. Tidak semua kemungkinan interaksi obat menunjukkan gejala klinik (Smonger, Burbank, 1995)Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan dengan metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang dibantu oleh sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini:Pemberian rifampisin akan meningkatkan kerja CYP sehingga asetaminofen yang diberikan akan lebih cepat dimetabolisme, maka efektifitasnya menurun; hal yang sama pada pemberian lansoprazolatau omeprazol yang juga meningkatkan CYP, pada gilirannya akanmempercepat metabolisme teofilin yang diberikan bersamaansehingga dosis lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika pasien menerima obat simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau amiodaron yang semuanya bersifat menghambat CYP, makapemberian bersamaan dengan asetaminofen, teofilin, diazepam, haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl (= Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan toksisitas obat-obat yang disebutkan terakhir (Schwartz, 1999).Kondisi lain yang patut dicermati adalah, gejala dan tanda pada pasien geriatri sering sekali menyimpang dari yang klasik. Dalam berbagai kepustakaan disebutkan bahwa sindroma delirium, jatuh, inkontinensia urin, vertigo, muntah dan diare sering merupakan gejala yang mengakibatkan keluarga membawa pasien geriatri ke rumah sakit. Saat diagnosis ditegakkan ternyata masalahnya tidak berhubungan dengan keluhan utama. Kondisi seperti ini mengakibatkan dokter yang kurang berpengalaman akan memiliki kecenderungan mengobati semua gejala dan tanda yang muncul sehingga menambah daftar obat menjadi lebih panjang lagi.Jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya akan terlihat bahwa dengan mengobati penyakit atau masalah utamanya maka beberapa gejala dan tanda lain yang semula diduga sebagai masalah terpisah akan teratasi dengan sendirinya. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian, ketelitian dan pengendalian keinginan untuk senantiasa mengobati semua gejala secepatnya-sebuah fenomena yang sering terjadi baik pada dokter maupun pasien tanpa memperhatikan prinsip cost effectiveness.

Pengaruh kondisi mental dan kognitifDepresi dan penurunan faal kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai dampak antara berupa tidak akuratnya informasi obat-obat apa yang selama ini dikonsumsi. Di sisi lain, informasi obat-obat yang dipakai adalah sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dari kecenderungan polifarmasi dan efek interaksi obat. Pada kondisi ini maka kehadiran pendamping (keluarga atau pelaku rawat) menjadi penting karena bisa menjembatani antara minimnya informasi dan keperluan data lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang diperlukan, masalahnya belum selesai, compliance atau kepatuhan minum obat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat gangguan faal kognitif maupun emosi seseorang. Depresi dan kepikunan akan mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga efek maksimal yang diharapkan bisa terganggu.Telah dibicarakan beberapa perubahan fisiologik dan kondisi multipatologi yang bisa berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien geriatri. Aklorhidria, perubahan first-pass metabolism, afinitas terhadap albumin, metabolisme oksidatif dan konyugatif di hepar serta penurunan faal ginjal akan mempengaruhi farmakokinetika obat. Perubahan komposisi tubuh di usia lanjut juga besar pengaruhnya terhadap efek obat. Perubahan reseptor obat di jaringan akan banyak berpengaruh terhadap farmakodinamika obat yang sampai saat ini masih sulit dikuantifikasi. Beberapa aspek yang juga harus diperhatikan adalah adanya pengaruh faktor emosi dan penurunan faal kognitif terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan.

BAB IVPENUTUP

Bagaimana meresepkan obat untuk pasien geriatri? Mungkinkah menghindari polifarmasi? Bagaimana menentukan prioritasnya? Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan. Pertimbangan akan kebutuhan, indikasi, kontraindikasi dan keperluan serta tujuan pengobatan menjadi penting. Tujuan pengobatan tidak selalu harus berdasarkan sudut pandang dokter, namun selain penemuan obyektif, perlu pula diingat akan pentingnya pendapat pasien dan keluarga tentang tujuan pengobatan sebelum dokter memutuskan memberikan rejimen pengobatan.Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja sendiri karena kompleksitas masalah medik dan non medik yang ada. Beberapa dokter dan tenaga kesehatan lain akan bekerja bersama dan sebaiknya di dalam sebuah tim terpadu yang bekerja dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar multidisiplin apalagi paradisiplin. Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain adalah memungkinkannya pemantauan terus menerus jumlah dan jenis obat yang diberikan sehingga berbagai pihak akan secara otomatis mempunyai kecenderungan saling mengingatkan. Pencapaian tujuan bersama sangat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang baik demi kepentingan pasien. Saling keterlibatan yang intens dari masing-masing disiplin akan memperbesar peluang rejimen pengobatan yang lebih efisien sehingga pada gilirannya akan mampu menekan polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa dituntut untuk mengevaluasi pengobatannya secara rutin; obat yang sudah tidak diprioritaskan akan diganti dengan obat lain yang lebih utama atau dapat dihilangkan dari daftar obat manakala masalah lain menjadi lebih tinggi skala prioritasnya. Dengan demikian maka efektivitas dan keamanan pengobatan bagi setiap pasien akan lebih terjamin .Beberapa langkah praktis berikut ini mungkin dapat lebih memudahkan bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan lain yang terlibat:

Mencatat semua obat yang dipakai saat ini (resep dan non-resep, termasuk jamu) Mengenali nama generik dan golongan obat Mengenali indikasi klinik untuk setiap obat Mengetahui profil efek samping setiap obat Mengenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga (misalnya interaksi) Menyederhanakan rejimen pengobatan Menghentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan Menghentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik Mengganti dengan obat yang lebih aman, bila perlu Tidak menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi Menggunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering Membiasakan untuk melakukan evaluasi daftar obat secara berkala

DAFTAR PUSTAKA

Sumber : Pedoman Pelayan Kefarmasi Untuk Pasien GeriatriDirektorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006

Berenbeim DM. 2002. Polypharmacy: overdosing on good intentions. Manag Care;10(3):1-5.Michocki RJ. 2001. Polypharmacy and principles of drug therapy. Adelman AM, Daly MP, eds. 20 Common problems in geriatrics.Boston:McGraw Hill :69-81.Schwartz JB. Clinical Pharmacology. 1999. Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:McGraw Hill,:308-9.Smonger AK, Burbank PM. 1995. Drug therapy and the elderly. Boston :Jones Barlett;:53.Tune LE. Delirium. 1999. Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:McGraw Hill :1230-3.